buku rencana dnpi adaptasi - Adaptation and... - Dewan Nasional ...
buku rencana dnpi adaptasi - Adaptation and... - Dewan Nasional ...
buku rencana dnpi adaptasi - Adaptation and... - Dewan Nasional ...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
RENCANA AKSI NASIONAL<br />
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM<br />
INDONESIA
I II<br />
Dokumen ini sebagai masukan dalam proses penyusunan RAN Adaptasi<br />
yang dikerjakan Bappenas – KLH – DNPI di tahun 2012<br />
RENCANA AKSI NASIONAL<br />
ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM<br />
INDONESIA
III<br />
Sambutan<br />
Ketua Harian DNPI<br />
IV<br />
Dampak dan ancaman Perubahan iklim telah diakui sebagai ancaman terhadap lingkungan, sosial dan<br />
ekonomi suatu masyarakat. Adanya pergeseran cara mem<strong>and</strong>ang yang melihat faktor penyebab dan<br />
akibat perubahan iklim tidak lagi semata persoalan lingkungan hidup, namun lebih terkait dengan pola<br />
strategi pembangunan yang dijalankan selama ini. Akibatnya berpengaruh pada stabilitas ekonomi makro<br />
negara, regional bahkan global. Untuk merespon ancaman tersebut, pendekatan strategi pembangunan<br />
harus melibatkan seluruh sektor strategis pembangunan, mulai dari sektor yang berpengaruh pada<br />
kesediaan pangan sampai pada infrastruktur fisik melalui strategi pembangunan yang mengadopsi<br />
pengarusutamaan (mainstreaming) perubahan iklim. Disisi lain persoalan koordinasi antar sektor masih<br />
menjadi kelemahan birokrasi dalam mewujudkan pembangunan yang menyeluruh, efektif dan efesien.<br />
Pasca konferensi perubahan iklim ke 13 di Bali, Desember 2007 (Conference of Parties /CoP13), Pemerintah<br />
Indonesia memiliki keinginan kuat untuk mengintegrasikan <strong>rencana</strong> , strategi dan implementasi kebijakan<br />
perubahan iklim.<br />
Melalui Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 mengenai <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim diharapkan<br />
strategi pembangunan dilakukan melalui koordinasi dan melibatkan seluruh sektor strategis<br />
pembangunan, mulai dari sektor yang berpengaruh pada kesediaan pangan sampai pada infrastruktur fisik<br />
melalui strategi pembangunan yang mengadopsi pengarusutamaan perubahan iklim. Sasaran kebijakan<br />
adalah memperkuat peran sektor pembangunan untuk mencapai target dan tujuannya melalui koordinasi<br />
antar sektor. Upaya Mitigasi dan Adaptasi perubahan iklim membutuhkan kerjasama yang kuat diantara<br />
sektor-sektor pembangunan. Kedua upaya tersebut membutuhkan sumber dana yang tidak sedikit. Agar<br />
pendanaan pembangunan saat ini berjalan secara optimal dan pembangunan yang akan dilakukan<br />
berpengaruh terhadap sektor lain maka dibutuhkan suatu lembaga yang dapat mengkoordinasikannya.<br />
Dengan dibentuknya <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim yang diketuai langsung oleh Presiden Republik<br />
Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono men<strong>and</strong>akan bahwa persoalan perubahan iklim diakui sebagai<br />
persoalan ancaman utama pembangunan yang harus segera memperoleh perhatian prioritas dari pilihanpilihan<br />
strategi pembangunan. Pembangunan yang meletakkan etika lingkungan dalam politik<br />
pembangunan menjadi prasyarat berjalannya koordinasi pembangunan yang memiliki perspektif<br />
perubahan iklim.<br />
Adanya Rencana Aksi Adaptasi <strong>Nasional</strong> merupakan salah satu upaya untuk menjawab persoalan di atas.<br />
Rencana ini merupakan cermin kesiapan sektor untuk merespon dan mengantisipasi ancaman perubahan<br />
iklim melalui program yang didasari oleh proyeksi ancaman ke depan. Berharap pula bahwa <strong>rencana</strong> aksi ini<br />
dapat menjadi media informasi dan komuniaksi antar sektor sehingga integrasi dan koordinasi kegiatan<br />
dapat disiapkan sejak awal.<br />
Kepada semua pihak yang telah terlibat secara aktif guna tersusunnya Rencana Aksi Adaptasi <strong>Nasional</strong> ini<br />
diucapkan banyak terima kasih dan penghargaannya.<br />
Jakarta, Februari 2011.<br />
Ketua Harian<br />
Rachmat Witoelar
V VI<br />
Sambutan<br />
Ketua Kelompok Kerja<br />
Adaptasi DNPI<br />
Laporan ke 4 (fourth assessment report) yang dipublikasikan pertengahan April 2007 oleh kelompok kerja II<br />
IPCC - Intergovernmental Panel on Climate Change semakin memperkuat keyakinan akan dampak ancaman<br />
perubahan iklim terhadap umat manusia di bumi ini. Diantaranya adalah naiknya rata-rata temperatur suhu<br />
udara, naiknya permukaan air laut yang menyebabkan tenggelamnya pesisir dan pulau-pulau kecil.<br />
Tentang Indonesia sendiri, disebutkan bahwa akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan Selatan,<br />
sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Artinya kawasan yang menurun curah<br />
hujannya sangat berpotensi merusak sistem tanam pertanian, khususnya tanaman yang tidak memiliki<br />
potensi resitan terhadap kekeringan, krisis air untuk menopang kehidupan (air bersih) dan infrastruktur<br />
pembangkit listrik turbin. Di sisi lain, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang<br />
merusakan sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah.<br />
Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis<br />
Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut<br />
dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil<br />
merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.<br />
Hasil kajian yang dari Departemen Pekerjaan Umum serta Kementrian Lingkungan Hidup (Indonesia<br />
Report, 2007) memperkuat laporan IPCC diatas. Bahkan disebutkan dengan kenaikan sekitar 1 meter,<br />
diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir. Dampak yang<br />
(berpotensi) besar di beberapa area pesisir seperti wilayah pantai/pesisir utara Jawa, pesisir timur Sumatra<br />
dan pesisir selatan Sulawesi. Hilangnya beberapa pulau kecil di garis terluar wilayah Indonesia juga menjadi<br />
ancaman serius akibat naiknya permukaan air laut serta intrusi air laut (garam) ke daratan/pedalaman.<br />
Dikatakan pula bahwa pola panen saat ini kemungkinan (sudah) tidak dapat dilakukan kembali pada masa<br />
yang akan datang.<br />
Pengarusutamaan strategi <strong>adaptasi</strong> ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan lokal merupakan<br />
prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan<br />
stakeholder lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah<br />
dokumen yang aplikatif. Pada saat yang bersamaan menyusun peraturan pelaksana tentang perubahan<br />
iklim dan Dokumen Strategi <strong>Nasional</strong>/Daerah Lainnya.<br />
Berharap keluarnya Rencana Aksi Adaptasi <strong>Nasional</strong> ini dapat menjadi langkah awal keluarnya strategi yang<br />
lebih utuh dan menyeluruh. Dibutuhkan kerja-sama dan keinginan kuat diantara sektor untuk<br />
mewujdukannya. Terakhir, kekurangan yang ada pada dokumen <strong>rencana</strong> ini menjadi tantangan untuk<br />
memperbaikinya ke arah yang lebih baik.<br />
Jakarta, Februari 2011<br />
Ketua Kelompok Kerja Adaptasi DNPI<br />
Imam Santoso Ernawi
VII VIII<br />
Pengarah, Kontributor<br />
dan Penyusun<br />
PENGARAH<br />
Rachmat Witoelar<br />
Ketua Harian <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim / Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim<br />
Agus Purnomo<br />
Kepala Sekretariat <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim / Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim<br />
Imam Santoso Ernawi<br />
Ketua Kelompok Kerja Adaptasi DNPI / Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum<br />
Emma Rachamawaty<br />
Wakil Ketua I Kelompok Kerja Adaptasi DNPI / Asisten Deputi Bidang Adaptasi Kementerian Lingkungan Hidup<br />
Armi Sus<strong>and</strong>i<br />
Wakil Ketua II Kelompok Kerja Adaptasi DNPI / Institut Teknologi B<strong>and</strong>ung<br />
KONTRIBUTOR<br />
Andi Arief, Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana; Yusni Emilia Harahap, Staf Ahli Menteri<br />
Bidang Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian; Irsal Las, Kepala Balai Besar lahan dan Sumber Daya Lahan<br />
Pertanian, Kementerian Pertanian; William M. Putuhena, Kepala Balai Hidrologi dan Tata Air Puslitbang Sumber<br />
Daya Air, Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum; Pantja D. Oetojo, Kepala Balai Lalu Lintas dan Lingkungan<br />
Jalan, Puslitbang Jalan dan Jembatan, Kementerian Pekerjaan Umum; Iman Soedrajat, Direktur Penataan Ruang<br />
Wilayah <strong>Nasional</strong>, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum; Togap Simangunsong,<br />
Asisten Deputi Urusan Bencana, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat; D. Anwar Musadad, Kepala<br />
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat , Balitbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan; Hadi<br />
Sucahyono, Kasubdit Kebijakan dan Strategi, Dit. Bina Program, Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan<br />
Umum; Heru Santoso, Geotek-LIPI; Elnora Runtunuwu, Balai Besar lahan dan Sumber Daya Lahan Pertanian,<br />
Kementerian Pertanian; Agus Supangat, Koordinator Divisi Pengembangan Kapasitas dan Riset, <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong><br />
Perubahan, iklim, Budi Haryanto, Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,<br />
Universitas Indonesia; Hendra Yusran Siry, Kepala Pelayanan Teknis Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan<br />
Perikanan; Berny A Subky, Kementerian Kelautan Perikanan; Syofyan Hasan, Kementerian Kelautan Perikanan;<br />
Mustikorini Indri Jatiningrum, Kementerian Kesejahteraan Rakyat; Tutut Indra Wahyuni, Kementerian<br />
Kesehatan; Ann Natallia Umar, Kementerian Kesehatan; Kemal Taruc, UN Habitat; Pramita Harjati, Mercycorps;<br />
Budi Chairuddin, MercyCorps; Tri Prasetyo Sasimartoyo, WHO; Lilik Kurniawan, BNPB; Arifin Muhammad<br />
Hadi, Kepala Divisi Penanggulangan Bencana PMI Pusat; Avianto Muhtadi, Ketua Lembaga Penanggulangan<br />
Bencana dan Perubahan Iklim- Nahdlatul Ulama (LPBI-NU); Victor Remberth, UNJSPDRR; Chris<strong>and</strong>ini, WWF; Erna<br />
Witoelar, Kelompok Kerja Adaptasi DNPI<br />
PENYUSUN<br />
Ari Muhammad, Sekretaris Kelompok Kerja Adaptasi; Ardiyanto Aryoseno, Kelompok Kerja Adaptasi DNPI; Ade<br />
Rachmi Yuliantri, Kelompok Kerja Adaptasi DNPI
IX X<br />
Daftar Isi<br />
SAMBUTAN KETUA HARIAN DNPI.......................................................................................................................................... III<br />
SAMBUTAN KETUA KELOMPOK KERJA ADAPTASI......................................................................................................... V<br />
PENGARAH, KONTRIBUTOR DAN PENYUSUN.................................................................................................................. VII<br />
DAFTAR ISI......................................................................................................................................................................................... IX<br />
DAFTAR TABEL DAN MATRIKS................................................................................................................................................. XIII<br />
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................................................................................... XIV<br />
I. PENDAHULUAN............................................................................................................................................................... 1<br />
I.1 LATAR BELAKANG........................................................................................................................................................... 1<br />
I.2 METODOLOGI................................................................................................................................................................... 3<br />
I.3 SEKTOR UTAMA RENCANA AKSI NASIONAL ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM.............................................. 3<br />
II. PEMETAAN TANTANGAN DAN PELUANG ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM TIAP<br />
SEKTOR............................................................................................................................................................................... 5<br />
II.1 SEKTOR PERTANIAN....................................................................................................................................................... 5<br />
II.1.1 Latar Belakang................................................................................................................................................................. 5<br />
II.1.2 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 5<br />
II.1.3 Ancaman perubahan iklim pada sektor pertanian............................................................................................. 8<br />
II.1.4 Faktor-faktor yang turut mempengaruhi kerentanan akibat perubahan<br />
iklim di sektor pertanian.............................................................................................................................................. 9<br />
II.1.5 Matriks................................................................................................................................................................................ 11<br />
II.2 SEKTOR PESISIR, KELAUTAN, PERIKANAN DAN PULAU PULAU KECIL.......................................................... 13<br />
II.2.1 Latar Belakang................................................................................................................................................................. 13<br />
II.2.2 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 13<br />
II.2.3 Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan dan Perikanan......................................................................................... 15<br />
II.2.4 Ancaman Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan............................................... 17<br />
II.2.5 Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan<br />
Perikanan........................................................................................................................................................................... 18<br />
II.3 SEKTOR KESEHATAN....................................................................................................................................................... 22<br />
II.3.1 Pendahuluan.................................................................................................................................................................... 22<br />
II.3.2 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 22<br />
II.3.3 Ancaman Perubahan Iklim pada Bidang Kesehatan.......................................................................................... 23<br />
II.3.4 Matriks................................................................................................................................................................................ 25<br />
II.4 SEKTOR PEKERJAAN UMUM........................................................................................................................................ 28<br />
II.4.1 Sub Bidang Sumber Daya Air..................................................................................................................................... 28<br />
II.4.1.1 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 28<br />
II.4.1.2 Tingkat Kekritisan Sumber Daya Air:....................................................................................................................... 29<br />
II.4.1.3 Matriks................................................................................................................................................................................ 29<br />
II.4.2 Sub Bidang Cipta Karya................................................................................................................................................ 31<br />
II.4.2.1 Adapun tujuan Pembangunan Sub Bidang Cipta Karya adalah;................................................................... 31<br />
II.4.2.2 Isu strategis pembangunan Sub Bidang Cipta karya dipengaruhi oleh<br />
6 (enam) hal, yaitu:......................................................................................................................................................... 32<br />
II.4.2.3 Matriks................................................................................................................................................................................ 33<br />
II.4.3 Sub Bidang Jalan dan Jembatan............................................................................................................................... 35<br />
II.4.3.1 Prioritas pembangunan Infrastruktur <strong>Nasional</strong> adalah:.................................................................................... 35
XI XII<br />
II.4.3.2 Tantangan Bidang Jalan terkait Dampak Perubahan Iklim............................................................................. 36<br />
II.4.3.3 Matriks................................................................................................................................................................................ 37<br />
II.4.4.1 Sub Bidang Penataan Ruang...................................................................................................................................... 37<br />
II.4.4.2 Justifikasi............................................................................................................................................................................ 38<br />
II.4.4.3 Kebijakan dan Strategi Tata Ruang Terhadap Perubahan Iklim..................................................................... 39<br />
II.4.4.4 Matriks................................................................................................................................................................................ 41<br />
III. STRATEGI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM NASIONAL......................................................................................... 43<br />
III.1 KEMAMPUAN ADAPTASI (ADAPTIVE CAPACITY)................................................................................................. 43<br />
III.2 KEBUTUHAN STRATEGI ADAPTASI DI INDONESIA............................................................................................... 48<br />
III.3 PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI............................................................................................................................... 49<br />
III.4 ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN PENGELOLAAN RESIKO BENCANA...................................................... 50<br />
III.5 KELOMPOK KERJA ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM............................................................................................... 50
XIII XIV<br />
TABEL 1.<br />
PROSENTASE KONTRIBUSI SEKTOR TERHADAP PDB NASIONAL<br />
TAHUN 2005-2006.......................................................................................................................................................... 7<br />
TABEL 2.<br />
PERKEMBANGAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN PADA TAHUN<br />
2001-2006.......................................................................................................................................................................... 8<br />
TABEL 3.<br />
TINGKAT PENDIDIKAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN........................................................................... 10<br />
TABEL 4.<br />
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR PERIKANAN TAHUN 2006..............................................<br />
TABEL 5.<br />
DAERAH YANG EKONOMI PERIKANANNYA MEMPUNYAI LAJU PERTUMBUHAN<br />
TERBESAR PADA PERIODE 2002-2006.....................................................................................................................<br />
TABEL 6. TINGKATAN PENDIDIKAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN................................................. 24<br />
TABEL 7.<br />
BAHAYA DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KESEHATAN..........................................<br />
TABEL 8.<br />
IDENTIFIKASI TINGKAT KERENTANAN DAN RISIKO PERUBAHAN IKLIM........................................................ 39<br />
TABEL 9.<br />
Daftar Tabel dan Matriks Daftar Gambar<br />
LUAS TANAMAN PADI TERKENA BENCANA BANJIR DAN KEKERINGAN DAN PUSO (ha) PADA<br />
TAHUN 1988-1997 (YUSMIN,2000)...........................................................................................................................<br />
MATRIKS I.1.1.................................................................................................................................................................. 11<br />
MATRIKS II.3.4................................................................................................................................................................. 25<br />
MATRIKS II.4.1.3............................................................................................................................................................. 29<br />
MATRIKS II.4.2.3............................................................................................................................................................. 33<br />
MATRIKS II.4.4.4............................................................................................................................................................. 41<br />
16<br />
16<br />
24<br />
45<br />
GAMBAR 1.<br />
KERANGKA KONSEP PELAKSANAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM<br />
BIDANG KESEHATAN......................................................................................................................................... 7<br />
GAMBAR 2.<br />
PROGRAM STRATEGIS INFRASTRUKTUR JALAN 2014 (RENSTRA KEMENTERIAN PU)............... 35<br />
GAMBAR 3.<br />
JUMLAH TITIK PANAS PER-TAHUN DAN SOI (SOUTHERN OSCILLATION INDEX) DI<br />
INDONESIA TAHUN 2002-2007..................................................................................................................... 45<br />
GAMBAR 4.<br />
EFEK PERUBAHAN IKLIM PDA LEVEL YANG BERBEDA.......................................................................... 48
1 2<br />
Pendahuluan<br />
I.1 Latar Belakang<br />
Laporan kelompok kerja II dibawah IPCC (Inter-Governmental Panel on Climate Change/Panel antar<br />
Pemerintah) mengenai dampak dan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim yang di realese pada Bulan April 2007<br />
menyebutkan bahwa Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan di kawasan Selatan, sebaliknya<br />
kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Artinya kawasan yang menurun curah hujannya<br />
sangat berpotensi merusak sistem tanam pertanian, khususnya tanaman yang tidak memiliki potensi<br />
resitan terhadap kekeringan, krisis air untuk menopang kehidupan (air bersih) dan infrastruktur pembangkit<br />
listrik turbin. Di sisi lain, peningkatan curah hujan menjadi potensial ancaman banjir yang merusakan<br />
sarana dan prasarana serta lahan-lahan basah. Selain itu kejadian perubahan pola intensitas curah hujan<br />
lokal yang ekstrim juga sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Perubahan pola curah hujan tersebut<br />
makin sulit untuk diprediksi guna mengantisipasi dampak perubahan cuaca dan iklim yang akan terjadi.<br />
Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis<br />
Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut<br />
dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil<br />
merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.<br />
Hasil kajian lain yang memperkuat laporan IPCC diatas menyebutkan bahwa dengan kenaikan sekitar 1<br />
(satu) meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan kecil akan banjir.<br />
(Kementerian Pekerjaan Umum, Indonesia Report, 2007).<br />
Pendahuluan<br />
Dampak yang (berpotensi) besar di beberapa area pesisir seperti wilayah pantai/pesisir utara Jawa, pesisir<br />
timur Sumatra dan pesisir selatan Sulawesi. Hilangnya beberapa pulau kecil di garis terluar wilayah<br />
Indonesia juga menjadi ancaman serius akibat naiknya permukaan air laut serta intrusi air laut (garam) ke<br />
daratan/pedalaman. Dikatakan pula bahwa pola panen saat ini kemungkinan (sudah) tidak dapat dilakukan<br />
kembali pada masa yang akan datang.<br />
Oleh sebab itu dibutuhkan upaya g<strong>and</strong>a (double effort) dan kerja keras oleh negara-negara berkembang dan<br />
miskin. Mengingat hal tersebut, langkah antisipatif akan lebih efektif dan biaya yang dikeluarkan akan lebih<br />
rendah bila dib<strong>and</strong>ing dengan upaya <strong>adaptasi</strong> yang dilakukan nanti pada saat keadaan sudah semakin<br />
memburuk dimana dampak sudah semakin besar sehingga upaya <strong>adaptasi</strong> akan membutuhkan biaya lebih<br />
mahal. Oleh sebab itu, sangatlah mendesak untuk segera melakukan upaya-upaya <strong>adaptasi</strong>, guna<br />
menyesuaikan ataupun mengurangi dampak-dampak ekstrem perubahan iklim.<br />
Pengarusutamaan strategi <strong>adaptasi</strong> ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan lokal merupakan<br />
prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Terlepas apa yang terjadi pada negosiasi internasional perubahan<br />
iklim (yang alot dan tarik menarik antar pihak), pemerintah harus segera menyiapkan <strong>rencana</strong> aksi nasional.<br />
Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan pemangku kepentingan lainnya serta<br />
mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah dokumen yang aplikatif.
3 4<br />
Rangkaian kegiatan penyusunan dokumen strategi <strong>adaptasi</strong> yang sistematis dan te<strong>rencana</strong> merupakan<br />
suatu kebutuhan yang mendesak. Adanya <strong>rencana</strong> aksi <strong>adaptasi</strong> merupakan keharusan dan prioritas<br />
utama <strong>rencana</strong> pembangunan strategi <strong>adaptasi</strong> itu sendiri di tingkat nasional. Langkah-langkah yang dapat<br />
dilakukan dalam tingkat nasional adalah adalah merumuskan dan menetapkan daftar kebutuhan masingmasing<br />
sektor, yang disertai perumusan program dan strategi implementasi <strong>adaptasi</strong> masing-masing<br />
sektor.<br />
I.2 Metodologi<br />
Rencana aksi nasional <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim disusun melalui keterlibatan pemangku kepentingan<br />
(stakeholder) dari berbagai sektor. Adanya definisi berbagai terminologi perubahan iklim, khususnya yang<br />
terkait dengan <strong>adaptasi</strong>, yang disepakati secara nasional akan memudahkan dialog antar disiplin ilmu dan<br />
antar sektor.<br />
Rencana aksi nasional perubahan iklim merupakan hal yang dinamis, yang akan terus diperbarui dengan<br />
adanya perkembangan data, informasi dan metodologi. Adanya mekanisme monitoring data yang sudah<br />
sistematis akan menjamin perbaruan data secara berkala.<br />
Koordinasi Kelembagaan; sebagai tindak lanjut dari keterlibatan para pemangku kepentingan<br />
(stakeholder) dalam penyusunan <strong>rencana</strong> aksi nasional <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim adalah dibutuhkannya<br />
integrasi dan keterkaitan koordinasi kelembagaan dari berbagai sektor dalam menyusun aksi <strong>adaptasi</strong><br />
perubahan iklim di Indonesia. Koordinasi diperlukan agar dapat teridentifikasi secara jelas dan dalam<br />
menyusun strategi <strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan iklim.<br />
Sinergisitas Adaptasi dan Rencana Pembangunan <strong>Nasional</strong>/Daerah. Pendekatan yang mensinergikan<br />
antara persoalan <strong>adaptasi</strong> dan <strong>rencana</strong> pembangunan di tingkat nasional dan daerah menjadi peluang<br />
dalam mencapai tujuan dari pembangunan yang telah ditetapkan. Tantangan yang akan dihadapi adalah<br />
bagaimana pemahaman <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim di tingkat pemerintahan maupun masyarakat hingga<br />
dapat disusun <strong>rencana</strong> aksi di tingkat yang lebih lokal.<br />
I.3 Sektor Utama Rencana Aksi <strong>Nasional</strong> Adaptasi Perubahan Iklim<br />
Rencana aksi nasional <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim akan di prioritaskan pada lima (5) sektor utama, yaitu:<br />
1. Sektor Pertanian<br />
2. Sektor Pesisir, Kelautan, Perikanan dan Pulau Pulau Kecil<br />
3. Sektor Kesehatan<br />
4. Sektor Pekerjaan Umum :<br />
1) Sumber Daya Air<br />
2) Cipta Karya<br />
3) Jalan dan Jembatan<br />
4) Penataan Ruang
5<br />
Pemetaan Tantangan Dan<br />
Peluang Adaptasi Perubahan Iklim<br />
Tiap Sektor<br />
II.1 Sektor Pertanian<br />
II.1.1 Latar Belakang<br />
Perubahan iklim merupakan isu utama di dunia saat ini karena berdampak pada keberlanjutan dan<br />
eksistensi kehidupan manusia di bumi. Perubahan iklim dit<strong>and</strong>ai dengan peningkatan temperatur global<br />
dan peningkatan muka air laut. Perubahan temperatur global berimplikasi pada perubahan pola<br />
temperatur permukaan bumi, sehingga mempengaruhi perubahan pola-pola cuaca yang ada dipermukaan<br />
bumi. Selanjutnya dampak tersebut berbeda dari suatu wilayah (lokasi) ke wilayah lainnya dipermukaan<br />
bumi ini.<br />
Walaupun berkontribusi relatif kecil (sekitar 7%) terhadap emisi GRK nasional, namun sektor pertanian,<br />
terutama subsektor tanaman pangan, mengalami dampak perubahan iklim yang cukup besar. Di sisi lain,<br />
sektor pertanian berperan penting dalam kehidupan dan perekonomiannasional, terutama sebagai<br />
penghasil utama bahan pangan, bahan baku industri dan bioenergi.Sektor pertanian juga mengasilkan jasa<br />
lingkungan dan berbagai fungsi lainnya seperti penyedia lapangan kerja bagi sekitar 40% angkatan kerja<br />
Indonesia, penyumbang pertumbuhan ekonomi. menjaga ketahanan pangan<br />
II.1.2 Justifikasi<br />
Selain dari perubahan iklim masih memiliki banyak persoalan khususnya dalam meningkatkan pengelolaan<br />
usaha tani dan memperkuat kapasitas para petani dalam mendorong produktivitas petani terhadap tingkat<br />
1<br />
kesejahteraan mereka dan PDB <strong>Nasional</strong> , sektor pertanian terbukti mampu memberikan kontribusi positif<br />
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia 2 (lihat tabel 1) . Saat Indonesia mengalami krisis ekonomi tahun<br />
1997/1998 3 dimana ekonomi kita mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 13,68 persen (BPS, 2000),<br />
sektor pertanian sebaliknya mengalami pertumbuhan 0,26 persen 4 dan mampu menyerap tenaga kerja<br />
sebesar 60 persen dari angkatan kerja nasional 5.<br />
Sektor ini pun mampu memberikan nilai tambah produksi<br />
sebesar 18,04 persen. Dengan kondisi ini tak heran jika sumbangan sektor ini bagi PDB mencapai angka 17<br />
persen dan penyediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data BPS pada tahun 2004 tercatat 43,3 persen<br />
dan tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi 44,0 persen. Pada tahun 2006 penyerapan tenaga kerja<br />
mencapai 44,5 persen 6.<br />
Besarnya angka penyediaan lapangan pekerjaan sangat terkait dengan sifat padat<br />
karya di sektor tersebut (lihat tabel 2).<br />
1 Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja tertinggi, yaitu sebesar 44,5 persen pada tahun 2006 (BPS). Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dalam<br />
Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 13,3 persen.<br />
2 Berdasarkan data BPS (Agustus 2006) disebutkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap PDB <strong>Nasional</strong> menempati urutan ketiga setelah sektor industri dan perdagangan-hotel-<br />
restoran, yaitu berkisar 13,3 persen. PDB sektor pertanian tersebut sebagian besar masih didominasi oleh sub sektor Tanaman Bahan Makanan (TBM), meskipun cenderung fluktuatif.<br />
Tempat selanjutnya diduduki oleh sub sektor perkebunan diikuti perikanan dan peternakan.<br />
3 Akibat krisis ekonomi ini, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sebanyak 6,4 juta orang.<br />
4 Karena kondisi krisis tahun 1997-1998, sector ini memperoleh penurunan anggaran belanja. Pada tahun 1998, kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan PDB secara absolut<br />
masih menurun, walaupun sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan positif (0,26 persen), di antara perpaduan retrogesi seluruh<br />
sektor ekonomi yang mencapai minus 14 persen per tahun”.<br />
5 Dalam periode dan kondisi perekonomian yang sama terbentuk 21.30 juta unit usaha kecil berupa rumah tangga petani (…..).<br />
6 Bila seluruh anggota keluarga diperhitungkan maka hamper 80 persen dari total penduduk Indonesia mengembangkan hidupnya pada sector agribisnis masih merupakan basis<br />
ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia (Simatupang, 1997).<br />
6
7 8<br />
Sulawesi Utara merupakan contoh wilayah yang dimana sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan<br />
positif yang menguatkan ekonomi mikro mereka sehingga pertanian memerankan sangat penting dan<br />
strategis dalam pembangunan perekonomian masyarakat Sulawesi Utara. Walaupun pada tahun 2007<br />
mengalami penurunan apabila dib<strong>and</strong>ingkan dengan tahun 2006 dimana sektor ini memberikan<br />
kontribusi sebesar 19,7 persen, namun kembali pada tahun 2008 sektor pertanian mengalami peningkatan<br />
1,1 persen menjadi 7,5 persen (dari tahun 2007 yang tumbuh sebesar 6,1 persen). Pertumbuhan ini<br />
melampaui target yang ditetapkan untuk tahun 2005-2010. Pertumbuhan ini tentunya memberikan<br />
kontribusi positif terhadap penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pengentasan kemiskinan,<br />
penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat.<br />
Bagi Indonesia, pertanian merupakan sektor utama perekonomian. Bagi Negara berkembang lainnya,<br />
keberhasilan sektor ini menjadi prasyarat keberhasilan sektor industri dan jasa (El-said M, 2001), oleh sebab<br />
itu kebijakan sektor pertanian sangat dipengaruhi dengan keberhasilan pembangunan di sektor-sektor<br />
lainnya (Sadaulet dan de Janvry, 1995).<br />
Tabel 1. Prosentase Kontribusi Sektor terhadap PDB <strong>Nasional</strong> Tahun 2005-2006<br />
Lapangan Usaha<br />
Pertanian, ternak, hutan dan ikan<br />
Pertambangan dan Penggalian<br />
Industri Pengolahan<br />
Listrik, Gas dan Air Bersih<br />
Konstruksi<br />
Perdagangan, Hotel dan restoran<br />
Pengangkutan dan Komunikasi<br />
Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan<br />
Jasa-jasa<br />
PDB<br />
PDB Tanpa Migas<br />
2005<br />
Triwulan I Triwulan II<br />
14,5<br />
9,2<br />
27,8<br />
0,9<br />
6,3<br />
16,2<br />
6,4<br />
8,5<br />
10,2<br />
100<br />
90,5<br />
13,9<br />
10,1<br />
27,9<br />
0,9<br />
6,3<br />
16,1<br />
6,5<br />
8,4<br />
10,0<br />
100<br />
89,4<br />
* Laju Pertumbuhan Semester I 2006 terhadap Semester I 2005<br />
Sumber: BPS<br />
2006<br />
Triwulan I Triwulan II<br />
13,5<br />
10,2<br />
28,8<br />
0,9<br />
6,4<br />
15<br />
7,0<br />
8,3<br />
9,8<br />
100<br />
88,6<br />
13,3<br />
10,5<br />
28,9<br />
0,9<br />
6,5<br />
14,9<br />
7,0<br />
8,2<br />
9,8<br />
100<br />
87,7<br />
Laju<br />
Tumbuh<br />
4,5<br />
4,5<br />
3,1<br />
5,7<br />
7,7<br />
4,7<br />
12,2<br />
5.2<br />
5,7<br />
4,9<br />
5,5<br />
Tabel 2. Perkembangan Tenaga Kerja Sektor pertanian pada Tahun 2001-2006<br />
Tahun Angkatan Kerja <strong>Nasional</strong> (Juta<br />
Orang)<br />
2001<br />
2002<br />
2003<br />
2004<br />
2005<br />
2006<br />
Rata-rata<br />
* Sampai Februari 2006<br />
Sumber: BPS 2006 diolah<br />
II.1.3 Ancaman perubahan iklim pada sektor pertanian<br />
Tenaga Kerja Pertanian (Juta<br />
Orang)<br />
Prosentasi (Nas/<br />
Pertanian, %)<br />
89,7 39,7 44,3<br />
91,7 40,6 44,3<br />
92,8 43,0 46,4<br />
93,7 40,6 43,3<br />
94,9 41,8 44,0<br />
95.2 42,3 44,5<br />
93,0 41,4 44,5<br />
Hasil lokakarya internasional mengenai "Perubahan Iklim dan Masa Depan Pertanian Asia", yang<br />
dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 di Nepal, Kathm<strong>and</strong>u, menyampaikan keprihatinan dan perhatian<br />
terhadap Negara-negara di kawasan Asia dan Negara-negara yang memiliki tingkat kerentanan cukup<br />
tinggi karena Negara-negara tersebut tersebut memiliki kemampuan yang tak memadai untuk<br />
menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang berubah 7.<br />
Pertemuan ini menyerukan kepada para<br />
pemimpin sektor pertanian di wilayah Asia agar menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang berubah.<br />
Indonesia, melalui Kementrian Pertanian telah menempatkan ancaman variabilitas dan perubahan iklim<br />
8<br />
(pemanasan global) sebagai ancaman terhadap sumber daya lahan dan lingkungan pertanian . Di sisi lain<br />
sektor ini ditempatkan sebagai sektor yang juga memberikan kontribusi terhadap pemanasan gas rumah<br />
kaca melalui Lahan dan budidaya pertanian. Intervensi kebijakan yang pada persoalan pendanaan,<br />
teknologi, kelembagaan dan sosial ekonomi menjadi sangat penting. Oleh sebab itu, kementrian ini telah<br />
menyusun strategi untuk mengantisipasi persoalan dan ancaman perubahan iklim, baik mitigasi maupun<br />
<strong>adaptasi</strong>. Diharapkan kebijakan yang dilahirkan terintagrasi dan menyeluruh dari sisi aspek yang<br />
mempengaruhinya.<br />
Dampak perubahan iklim yang telah dipetakan oleh Kementrian Pertanian diantaranya adalah degradasi<br />
sumberdaya lahan dan air, infrastrukur (irigasi), banjir dan kekeringan dan penciutan serta degradasi lahan<br />
yang berpotensi mengancam penurunan produktivitas, produksi, mutu hasil, efesiensi dan lainnya yang<br />
berujung kepada Ketahanan Pangan dan pada akhirnya terhadap kehidupan social dan ekonomi serta<br />
kesejahteraan petani dan masyarakat produsen.<br />
7 Lokakarya regional ini diselenggarakan oleh Federasi Internasional mengenai Prosedur Pertanian dan Federasi Kerja Sama <strong>Nasional</strong> Nepal (NCFN). Lokakarya tersebut diikuti oleh 30<br />
peserta dari 12 negara, yaitu India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Jepang, Israel, Filipina, Indonesia, Armenia, Kamboja, Vietnam dan Thail<strong>and</strong>.<br />
8 Ancaman lainnya diluar persoalan perubahan dan variabilitas iklim adalah konversi/alih fungsi lahan pertanian, terutama Lahan Sawah Irigasi, degradasi lahan, air dan lingkungan<br />
pertanian (pencemaran, dll.) dan perluasan lahan terlantar serta Keterbatasan potensi dan ketersediaan sumber daya lahan untuk ekstensifikasi pertanian, khususnya dalam<br />
mendorong ketahanan pangan dan bioenergi.
9 10<br />
Karena perubahan pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrim mengakibatkan areal padi sawah di<br />
beberapa wilayah/daerah mengalami kekeringan. Luas areal yang mengalami kekeringan meningkat dari<br />
0,3-1,3 persen menjadi 3,1-7,8 persen. Sementara itu, luas real padi yang mengalami puso, meningkat dari<br />
0,004-0,41 persen menjadi 0,04-1,87 persen. Di sisi lain, akibat banjir, luas areal yang mengalami kerusakan<br />
meningkat dari 0,75-2,68 persen menjadi 0,97-2,99 persen dan mengakibatkan puso dari 0,24-0,73 persen<br />
menjadi 8,7-13,8 persen. Akibat itu semua, potensi peningkatan penurunan produksi dari 2,4-5 persen<br />
menjadi lebih dari 10 persen9.<br />
Akibat lainnya yang ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap sector pertanian adalah peningkatan suhu<br />
udara yang mengakibatkan penurunan produksi pangan seperti padi, jagung dan kedelai sekitar 10,0-19,5<br />
persen selama 40 tahun yang akan datang. Penciutan lahan dan degradasi sawah produktif sekitar 292-400<br />
ribu hektar atau 3,7% di Jawa akibat peningkatan muka air laut diproyeksikan sampai dengan tahun 2050.<br />
Kondisi ini berdampak serius terhadap pertanian di daerah pesisir. Contoh kasus terjadi di Kabupaten<br />
Karawang dan Subang dimana produksi beras berkurang sekitar 300,000 ton, produksi jagung berkurang<br />
5,000 ton karena genangan. Naiknya permukaan air laut juga menimbulkan salintas dan instrusi air laut yang<br />
mengancam sumber air bersih.<br />
II.1.4 Faktor-faktor yang turut mempengaruhi kerentanan akibat perubahan iklim di sektor<br />
pertanian.<br />
Pengelolaan sumberdaya air berhadapan dengan 4 (empat) jenis kerentanan yang sangat mempengaruhi<br />
11<br />
keberlanjutan sumberdaya air yaitu kerentanan fisik, social, ekonomi dan lingkungan .<br />
Konsumsi dan kebutuhan air di sektor pertanian sebesar 80% dari kebutuhan total air, jauh dib<strong>and</strong>ingkan<br />
dengan industri dan rumah tangga yang hanya 20%. Kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan<br />
turut memperparah terhadap krisis air. Misalnya beberapa daerah aliran sungai (DAS) mengalami degradasi<br />
akibat sedimentasi yang sangat memprihatinkan, hal ini khususnya banyak terjadi di pulau Jawa ditambah<br />
dengan perubahan penggunaan dan peruntukkan pada kawasanya hulu-nya.<br />
Menurut pendapat beberapa perwakilan petani yang disampaikan dalam kegiatan focus group discussion<br />
12<br />
yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Adaptasi <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim/DNPI ketersediaan<br />
air merupakan faktor utama bagi mereka. Hampir 60 persen sawah di Indonesia merupakan sawah tadah<br />
hujan. Kondisi ini menjadikan sektor pertanian kita berada pada posisi yang rentan akibat kekeringan<br />
karena perubahan iklim.<br />
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat cenderung berpotensi terhadap tingginya kerentanan (lihat<br />
tabel 3). Hal ini pula yang terjadi pada para tenaga kerja di sektor pertanian. Oleh sebab itu adanya<br />
peningkatan kapasitas, baik mengenai cara meningkatkan produktifitas, memahami iklim (contoh yang<br />
9 Litbang, Kementrian Pertanian.<br />
10 Kerentanan adalah suatu keadaan penurunan ketahanan akibat pengaruh eksternal yang mengancam kehidupan, mata pencaharian, sumberdaya alam, property, infrastruktur,<br />
produktivitas ekonomi dan kesejahteraan. Kerentanan sosial, misalnya, adalah sebagian dari produk kesenjangan sosial, yaitu faktor sosial yang mempengaruhi atau membentuk<br />
kerentanan berbagai kelompok dan yang juga mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menghadapi bencana, bencana kekeringan, bencana banjir, degradasi kualitas air<br />
dlsbnya. Dalam konteks perubahan iklim, kerentanan merupakan hasil dari potensi dampak dikurangi dengan upaya <strong>adaptasi</strong> (Kerentanan = Potensi dampak – Adaptasi).<br />
Kerentanan terhadap perubahan iklim berkurang apabila langkah <strong>adaptasi</strong> dilakukan. Potensi dampak bergantung Eksposure dan Sensitivitas.<br />
11 Budi Wignyosukarto, Pengelolaan Sumberdaya Air ditengah Kerentanan Sosial dan Lingkungan.<br />
12 Diselenggarakan pada 26 November 2010<br />
telah dikembangkan oleh Kementrian Pertanian adalah sekolah iklim) dan wirausaha agribisnis melalui<br />
pelatihan dan penguatan para petani menjadi salah solusi.<br />
Tabel 3 . Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian<br />
Sumber: BPS<br />
Tahun Tingkat Pendidikan<br />
2000<br />
2001<br />
2002<br />
2003<br />
2004<br />
2005 (Feb)<br />
2005 (Nop)<br />
2006 (Feb)<br />
% 2006 (Feb)<br />
SLTA<br />
4.767,9<br />
5.200,3<br />
5.348,2<br />
7.557,7<br />
6.567,1<br />
6.913,8<br />
7.367,5<br />
7.188,0<br />
17,0<br />
Total<br />
40.676,7<br />
39.751,0<br />
40.636,2<br />
43.047,5<br />
38.930,9<br />
41.869,1<br />
41.309,8<br />
42.323,2<br />
100
11 12<br />
II.1.5 Matriks<br />
Kebijakan Program Aksi<br />
1. UU No: 16 Tahun 2006, Tentang<br />
Sistem Penyuluhan Pertanian,<br />
Perikanan dan Kehutanan<br />
2. UU No: 41 Tahun 2009, Tentang<br />
Perlindungan Lahan Pertanian<br />
Pangan Berkelanjutan.<br />
3. Peraturan Menteri Petanian No:<br />
39/Permentan/OT.140/6/2010<br />
Tentang Pedoman Perizinan Usaha<br />
Budidaya Tanaman Pangan.<br />
1. UU No: 18 Tahun 2004, Tentang<br />
Perkebunan.<br />
2. UU No: 16 Tahun 2006, Tentang<br />
Sistem Penyuluhan Pertanian,<br />
Perikanan dan Kehutanan<br />
3. Peraturan Menteri Pertanian No:<br />
14/Permentan/PL.110/2/ 2009<br />
Tentang Pedoman Pemanfaatan<br />
Lahan Gambut Untuk Budidaya<br />
Kelapa Sawit.<br />
1. UU No: 6 Tahun 1967 Tentang<br />
Ketentuan-ketentuan Pokok<br />
Peternakan dan Kesehatan Hewan<br />
(Lembaran Negara tahun 1967<br />
Nomor 10, Tambahan Lembaran<br />
Negara Nomor: 2824)<br />
2. UU No: 16 Tahun 2006, Tentang<br />
Sistem Penyuluhan Pertanian,<br />
Perikanan dan Kehutanan<br />
Tanaman pangan dan hortikultura<br />
1. Perbaikan manajemen pengelolaan air, termasuk sistem<br />
dan jaringan irigasi.<br />
2. Pengembangan teknologi panen air (embung, dam parit) dan<br />
efisiensi penggunaan air seperti irigasi tetes dan mulsa.<br />
3. Pengembangan jenis dan varietas tanaman yang toleran<br />
terhadap stres lingkungan seperti kenaikan suhu udara,<br />
kekeringan, genangan (banjir), dan salinitas.<br />
4. Pengembangan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman<br />
untuk meningkatkan daya <strong>adaptasi</strong> tanaman<br />
5. Pengembangan sistem perlindungan usahatani dari<br />
kegagalan akibat perubahan iklim atau crop weather<br />
insurance.<br />
Tanaman perkebunan<br />
1. Pengembangan komoditas yang mampu bertahan dalam<br />
cekaman kekeringan dan kelebihan air.<br />
2. Penerapan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman<br />
untuk meningkatkan daya <strong>adaptasi</strong> tanaman.<br />
3. Pengembangan teknologi hemat air.<br />
4. Penerapan teknologi pengelolaan air, terutama pada<br />
lahan yang rentan terhadap kekeringan.<br />
Pengelolaan peternakan<br />
1. Pengembangan ternak yang adaptif terhadap<br />
lingkungan yang lebih ekstrim (kekeringan, suhu tinggi,<br />
genangan).<br />
2. Pengembangan teknologi silase untuk mengatasi<br />
kelangkaan pangan musiman.<br />
3. Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (crop<br />
livestock system, CLS) untuk mengurangi risiko dan<br />
optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan.<br />
Dalam mewujudkan implementasi kebijakan, terdapat beberapa tantangan yang menyebabkan belum<br />
teroptimalkannya kebijakan di dalam implementasinya namun di sisi lain terdapat peluang yang dapat<br />
dimanfaatkan dalam mendorong diimplementasikannya kebijakan yang telah dimiliki oleh Kementrian<br />
Pertanian.<br />
TANTANGAN<br />
1. Sektor pertanian berperan penting dalam perekonmian nasional terutama pengahsil pangan, bahan<br />
baku industry, bioenergi.<br />
2. Masih rendahnya komitmen dan dukungan para pemangku kepentingan terhadap keseimbangan<br />
program aksi disektor pertanian.<br />
3. Sektor pertanian juga sebagai penyedia lapangan kerja sekitar 40% angka kerja Indonesia<br />
PELUANG<br />
Kekayaan sumber daya alam (negara agraris dan maritim) yang perlu dikelola dengan baik didukung oleh<br />
keberadaan sumber daya manusia.
13 14<br />
II.2 Sektor Pesisir, Kelautan, Perikanan dan Pulau Pulau Kecil<br />
II.2.1 Latar Belakang<br />
Sebagian besar sumber pendapatan ekonomi bangsa Indonesia sangat bergantung kepada kondisi iklim<br />
dan perubahannya. Sektor kelautan dan perikanan yang merupakan sektor dengan potensi sumber<br />
pendapatan ekonomi yang tinggi sangat bergantung dan rentan terhadap perubahan iklim. Kondisi cuaca<br />
ekstrim misalnya, yang dipicu dan dipacu oleh fenomena perubahan iklim mempengaruhi pola<br />
penangkapan dan budidaya perikanan, yang pada akhirnya mempengaruhi pendapatan ekonomi bangsa.<br />
Fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini telah menjadi ancaman, terhadap kondisi<br />
lingkungan hidup dan memberikan dampak pada aspek sosial, ekonomi bahkan aspek keamanan dan<br />
pertahanan suatu bangsa. Dalam lingkup lokal, ancaman fenomena perubahan iklim berpotensi<br />
menimbulkan gangguan ekonomi secara mikro. Bila ancaman tersebut terlambat untuk diantisipasi secara<br />
nasional maka dapat dipastikan terjadi gangguan ekonomi secara makro.<br />
Fenomena perubahan iklim semakin memperparah persoalan pengelolaan dan tata kelola lingkungan laut,<br />
pesisir dan perairan umum, seperti tekanan pertambahan penduduk, eksploitasi dan degradasi lingkungan,<br />
peningkatan pencemaran akibat aktifitas industri dan perumahan. Situasi tersebut menjadikan Indonesia<br />
semakin rentan (more vulnerable) dalam menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim. Hal ini<br />
berimplikasi pada semakin besarnya tantangan yang harus dibenahi yang membutuhkan upaya luar biasa,<br />
mulai dari <strong>rencana</strong> pembangunan, dukungan pendanaan dan teknologi.<br />
Untuk menekan tingkat kerentanan tersebut bisa dilakukan melalui pembangunan yang memperhatikan<br />
manajemen lingkungan hidup dan memperdulikan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh suatu<br />
pembangunan terhadap ekologi serta ekosistem pesisir, laut dan perairan umum. Peningkatan ketahanan<br />
ekonomi masyarakat (community economic resiliences) juga merupakan langkah menekan tingkat<br />
kerentanan melalui upaya memperkuat kesiapan perekonomian dan penduduk agar lebih tahan terhadap<br />
dampak negatif perubahan iklim.<br />
II.2.2 Justifikasi<br />
Untuk mengantisipasi ancaman dan dampak perubahan iklim sekaligus mengurangi tingkat kerentanan<br />
sangat diperlukan kebijakan mengantisipasi potensi ancaman dan meng<strong>adaptasi</strong> dampak yang<br />
ditimbulkan oleh fenomena perubahan iklim. Kebijakan antisipasi tersebut bisa direfleksikan dalam bentuk<br />
<strong>rencana</strong> aksi <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim. Dokumen ini merupakan Rencana Aksi <strong>Nasional</strong> Adaptasi<br />
Perubahan Iklim yang disusun sebagai upaya menginventarisasi dan mendokumentasikan upaya aksi<br />
<strong>adaptasi</strong> perubahan iklim.<br />
Dokumen ini diharapkan bisa menjadi rujukan untuk aksi <strong>adaptasi</strong> dan antisipasi terhadap ancaman<br />
pertumbuhan ekonomi dan capaian pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang telah ditetapkan<br />
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang<br />
(RPJP). Sistematika penulisan dokumen diawali dengan gambaran dan analisa atas kontribusi ekonomi<br />
sektor kelautan dan perikanan, dilanjutkan dengan tinjauan atas atas ancaman perubahan iklim di sektor<br />
kelautan dan perikanan.<br />
13 Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam periode waktu yang panjang pada suatu wilayah tertentu. Pengenalan cuaca dan iklim menyangkut semua peristiwa yang terjadi di<br />
atmosfir yang diantaranya radiasi surya, suhu udara, tekanan udara, angin, hujan dan awan, kelembaban udara, penguapan, keseluruhannya disebut juga unsur-unsur cuaca.<br />
Peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk daerah yang sempit atau disekitar lokasi usaha tertentu disebut iklim mikro (micro climate) (Darsiman, 2007).<br />
13
15 16<br />
Pada bagian akhir ditampilkan matriks Rencana Aksi <strong>Nasional</strong> Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kelautan<br />
dan Perikanan yang merangkum kebijakan program aksi, kebutuhan teknologi, kebutuhan pendanaan,<br />
proses keterlibatan stakeholder serta periode waktu yang diperlukan untuk menjalankan <strong>rencana</strong> aksi.<br />
II.2.3 Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan dan Perikanan<br />
14<br />
Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan<br />
dari tahun ke tahun 15.<br />
Pada tahun 2007 kontribusi PDB dari kegiatan usaha perikanan terhadap PDB<br />
nasional sebesar 2.74 persen yang terdiri dari 2,45 persen industri primer (penangkapan dan pembudidaya)<br />
dan 0,29 persen dari industri sekunder (pengolahan hasil perikanan) 16.<br />
Kontribusi sektor ini pada tahun<br />
2009 naik menjadi 3,12 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 2,75 persen 17.<br />
Hal ini menujukkan ratarata<br />
pertumbuhan sektor perikanan naik mencapai lima (5) persen per tahun<br />
Krisis global tahun 2009 berimbas pada kontribusi sektor kelautan dan perikanan. Produksi perikanan<br />
Indonesia tahun 2009 yang mencapai 10,06 juta ton hanya menghasilkan nilai ekspor perikanan Rp. 2,3<br />
miliar yang merupakan penurunan nilai ekspor sebesar 15 persen dib<strong>and</strong>ing tahun 2008.<br />
Pada 2010, produksi ditargetkan mencapai 10,76 juta ton dan 22,39 juta ton pada tahun 2014. Guna<br />
mendukung pertambahan produktifitas, Pemerintah menyiapkan insentif peningkatan produksi perikanan<br />
lewat dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp 1,7 triliun 18.<br />
14 Lingkup bidang kelautan menjadi tujuh sektor, yaitu perikanan, pertambangan, industri kelautan, jasa kelautan, bangunan kelautan, pariwisata bahari, dan perhubungan laut. Dari tujuh sektor itu,<br />
yang memiliki sumbangsih paling besar adalah sektor pertambangan yaitu sebanyak 9,1 persen sementara sektor perikanan sebesar 2,7 persen.<br />
15 Kontribusi sub sektor perikanan terhadap PDB total meningkat 4,35 persent dan 2,18 persent pertahun sejak 2002. Pada tahun 2007 kontribusi sub sektor periknan terhadap PDB kelompok<br />
pertanian mencapai 17,69 persent atau senilai Rp. 96,822 milyar. Sub sektor perikanan memiliki pertumbuhan tahunan PDB tertinggi sejak tahun 2002 dib<strong>and</strong>ing sub sector lainnya dalam<br />
kelompok pertanian, yaitu 19,36 persen per tahun. Sementara itu pertumbuhan PDB <strong>Nasional</strong> hanya mencapai 16,85 persen pertahun sejak tahun 2002.<br />
16 Sumbangan PDB pengolahan hasil perikanan terhadap PDB nasional sangat kecil sehingga tidak banyak pengaruh terhadap kenaikan kontribusi PDB perikanan secara menyeluruh<br />
17 Pusat Data Statistik dan Informasi.<br />
18 Dr. Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan pada Rakornas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa KKP bakal merestrukturisasi armada perikanan nasional. KKP<br />
akan memberlakukan zero growth (pertumbuhan nol) armada perahu tanpa motor. Untuk perahu tempel, pertumbuhan armada dibatasi 2% per tahun dan kapal dengan tonase di bawah 5 gros<br />
ton (GT) sekitar 3%. Untuk kapal berukuran 5-10 GT dan 10-30 GT akan ditingkatkan menjadi 8% dan 12% untuk mengejar target pertumbuhan 55% dalam lima tahun ke depan. Restrukturisasi ini<br />
dimaksudkan agar kapal ikan Indonesia mampu beroperasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE).<br />
Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Perikanan Tahun 2006<br />
No Provinsi Kontribusi (%)<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
16,58<br />
Sulawesi Tenggara 12,55<br />
Papua Barat 10,74<br />
Sulawesi Selatan 8,62<br />
Lampung 8,4<br />
Sulawesi Tengah 7,5<br />
Tabel 5. Daerah yang ekonomi perikanannya mempunyai laju pertumbuhan terbesar pada periode<br />
2002-2006<br />
1.<br />
2.<br />
3.<br />
4.<br />
5.<br />
6.<br />
7.<br />
Maluku<br />
No Provinsi Kontribusi (%)<br />
Lampung 11.37<br />
D.I Yogyakarta 9.67<br />
Sulawesi Barat 9.64<br />
Jawa Timur 8.70<br />
Papua 8.53<br />
Bali<br />
Sulawesi Tengah<br />
8.15<br />
8.02
17 18<br />
II.2.4 Ancaman Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan<br />
Ancaman dampak perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan berdasarkan identifikasi Working<br />
Group I of the Intergovernmental Panel on Climate Change (WG1-IPCC) dan laporan keempat (Fourth<br />
Assesment Report) dari Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 2007 dapat dijabarkan sebagai<br />
berikut :<br />
1. Kenaikan temperatur air laut<br />
2. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim (badai, siklon)<br />
3. Perubahan pola variabilitas iklim alamiah (El-Nino, La-Nina, IPO) yang menimbulkan<br />
bahaya lanjutan berupa perubahan pola curah hujan dan aliran sungai dan perubahan<br />
pola sirkulasi angin dan arus laut<br />
4. Kenaikan muka air laut<br />
Ancaman tersebut di atas dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan berpotensi mengalami<br />
berbagai gaya-gaya iklim atau bahaya-bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim sekaligus.<br />
Dampak perubahan iklim yang menjadi ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis<br />
Indonesia adalah naiknya permukaan air laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut<br />
dan ancaman terhadap tenggelamnya pulau-pulau kecil. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil<br />
merupakan salah satu fenomena yang akan pasti terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.<br />
Data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu hanya dua tahun, yaitu<br />
2005–2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara. Lokasi ke-24 pulau yang tenggelam<br />
tersebut adalah sebagai berikut: tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di Sumatera<br />
Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di<br />
kawasan Kepulauan Stereribu, Jakarta.<br />
Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut diakibatkan oleh erosi air laut yang diperburuk oleh<br />
kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga<br />
berdampak pada tenggelamnya tiga pulau kecil setempat. Kehilangan pulau-pulau kecil ini terutama yang<br />
berada di daerah perbatasan dengan negara lain akan berdampak hukum yang merugikan Indonesia.<br />
Karena dengan kehilangan pulau-pulau tersebut (yang semula jadi penentu tapal batas Indonesia dengan<br />
negara tetangga) wilayah perairan Indonesia akan berkurang. Hal ini perlu diantisipasi mengingat<br />
kemungkinan di wilayah tersebut terdapat sumber mineral.<br />
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memprediksi, permukaan bakal naik setinggi 40<br />
sentimeter pada akhir abad ini. Kondisi ini membahayakan penduduk yang tinggal di pesisir pantai.<br />
Lembaga internasional ini menilai Indonesia dan Thail<strong>and</strong> belum menunjukkan upaya konkret dalam<br />
mengatasi ancaman ini. Padahal bencana iklim mengakibatkan kerugian ekonomi 6-7 persen dari total<br />
produk domestik bruto pada 2100. Saat ini kerugian ekonomi dari bencana iklim masih 2,6 persen dari<br />
produk domestik bruto.<br />
Makna yang disampaikan diatas adalah bahwa dampak perubahan iklim pada bidang kelauatan dan<br />
perikanan akan dirasakan secara luas oleh komunitas yang tinggal didaerah pesisir, seperti terjadinya banjir<br />
dan erosi akibat kenaikan permukaan air laut, terjadinya perpindahan penduduk, pengeluaran untuk<br />
menjaga dan mengelola pantai menjadi meningkat dan juga berpotensi meningkatnya intensitas badai<br />
tropis. Akibat dampak dari hal-hal diatas akan menurunkan aktivitas perekonomian dan dampak yang<br />
terlokalisasi (pada daerah tertentu saja) juga dapat merusak perekonomian lokal.<br />
II.2.5 Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan<br />
Penyusunan Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan perlu merujuk<br />
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri sebagai modal dasar untuk dapat mengatur<br />
pelaksanaan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim. Peraturan perundangan yang terkait dengan pada sektor kelautan<br />
dan perikanan, antara lain:<br />
1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.<br />
2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.<br />
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.<br />
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-<br />
2025.<br />
5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan<br />
Kehutanan.<br />
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.<br />
7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang kemudian direvisi menjadi<br />
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.<br />
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Pe<strong>rencana</strong>an Pembangunan <strong>Nasional</strong>.<br />
Matriks Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan mendefinisikan amanat<br />
dari peraturan perundangan yang terkait dengan program <strong>adaptasi</strong> dampak perubahan iklim dengan<br />
menyelaraskan dengan kebutuan teknologi dan jangka waktu <strong>rencana</strong> aksi.
19 20<br />
II.2.6 Matriks<br />
Kebijakan Program Aksi Kebijakan Program Aksi<br />
1. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007<br />
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan<br />
Pulau-Pulau Kecil.<br />
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun<br />
2007 tentang Konservasi Sumberdaya<br />
Ikan.<br />
3. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor Per.16/MEN/2008<br />
tentang Pe<strong>rencana</strong>an Pengelolaan<br />
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.<br />
4. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor Per.17/MEN/2008<br />
tentang Kawasan Konservasi di Wilayah<br />
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.<br />
5. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor Per.18/MEN/2008<br />
tentang Akreditasi terhadap Program<br />
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau<br />
Kecil.<br />
6. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor Per.20/MEN/2008<br />
tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil<br />
dan Perairan di Sekitarnya.<br />
7. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor Per.08/MEN/2009<br />
tentang Peran Serta dan Pemberdayaan<br />
Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah<br />
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.<br />
8. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor Per.14/MEN/2009<br />
tentang Mitra Bahari.<br />
1. Undang-Undang No: Nomor 31 Tahun<br />
2004 tentang Perikanan<br />
2. Undang-Undang No: 27 Tahun 2007,<br />
Tentang Sistem Penyuluhan<br />
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.<br />
3. Peraturan Pemerintah Nomor 54<br />
Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.<br />
4. Peraturan Pemerintah Nomor 60<br />
Tahun 2007 tentang Konservasi<br />
Sumberdaya Ikan<br />
5. Peraturan Pemerintah Nomor 30<br />
Tahun 2007 tentang<br />
Kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau<br />
kecil<br />
1. Identifikasi dan pemetaan kawasan kerentanan<br />
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.<br />
2. Penyusunan Rencana Zonasi Rinci atau Zone<br />
Development Plan.<br />
3. Relokasi atau penataan ulang tata ruang wilayah<br />
pesisir dan pulau-pulau kecil<br />
4. Penerapan dan perbaikan pengelolaan terpadu<br />
ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.<br />
5. Rehabilitasi dan Restorasi Ekosistem Pesisir dan Laut<br />
6. Pengembangan teknologi sistem peringatan dini<br />
untuk pengurangan resiko kerentanan.<br />
7. Penerapan sempadan pantai dan teknologi<br />
perlindungan pantai secara alami (mangrove, bukit<br />
pasir, terumbu karang dan hutan pantai) dan<br />
buatan (breakwater, tembok laut, reklamasi, beach<br />
nourishment, rumah panggung)<br />
8. Pengembangan sistem perlindungan aset wilayah<br />
pesisir dan pulau-pulau kecil dari resiko dampak<br />
perubahan iklim.<br />
9. Pengembangan Desa Pesisir yang Tahan terhadap<br />
Bencana (Coastal Resilience Village).<br />
10. Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan<br />
Konservasi.<br />
11. Pengembangan Daerah Perlindungan Laut.<br />
12. Pengembangan Desa Pesisir/Kawasan Minapolitan<br />
Bersih dan Lestari.<br />
Perikanan Budidaya Pantai, Laut Dan Perairan<br />
Umum<br />
1. Perbaikan manajemen lahan budidaya.<br />
2. Pengembangan teknologi pakan rendah berbasis<br />
sumberdaya lokal dan efisiensi penggunaannya.<br />
3. Pengembangan jenis dan varietas benih ikan yang<br />
toleran dan adaptif terhadap stres lingkungan<br />
(kenaikan temperature perairan, kekeringan,<br />
genangan dan salinitas).<br />
4. Pengembangan sistem terpadu budidaya ikan<br />
dengan pertanian (mina padi), kehutanan (wana<br />
mina) dan peternakan untuk meningkatkan daya<br />
<strong>adaptasi</strong> ikan.<br />
Penyelenggaraan Penelitian dan<br />
Pengembangan Perikanan.<br />
1. Undang-Undang No: Nomor 31 Tahun<br />
2004 tentang Perikanan.<br />
2. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005<br />
tentang Penangkapan Ikan<br />
3. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor PER.16/MEN/2006<br />
tentang Pelabuhan Perikanan<br />
4. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor Nomor<br />
PER.18/MEN/2006 tentang Skala Usaha<br />
Pengolahan Hasil Perikanan.<br />
5. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor PER.01/MEN/2007<br />
tentang Pengendalian Sistem Jaminan<br />
Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.<br />
6. Peraturan Menteri Kelautan dan<br />
Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008<br />
tentang Usaha Perikanan Tangkap.<br />
7. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun<br />
2007 tentang Penyelenggaraan<br />
Penelitian dan Pengembangan<br />
Perikanan.<br />
5. Pengembangan teknologi pengelolaan lahan<br />
budidaya untuk meningkatkan daya <strong>adaptasi</strong> ikan.<br />
6. Pengembangan teknologi budidaya di lahan kritis,<br />
rusak, dan gambut.<br />
7. Pengembangan sistem perlindungan usaha<br />
perikanan dari kegagalan akibat dampak<br />
perubahan iklim.<br />
Perikanan Tangkap<br />
1. Pengembangan teknologi dan sistem informasi<br />
peta prakiraan penangkapan ikan.<br />
2. Penerapan teknologi alat tangkap dan kapal<br />
tangkap yang ramah lingkungan dan adaptif<br />
terhadap perubahan iklim ekstrem.<br />
3. Pengembangan teknologi pasca penangkapan<br />
dan pengolahan hasil tangkapan.<br />
4. Pengembangan teknologi perlindungan<br />
pelabuhan perikanan.<br />
5. Pengembangan sistem perlindungan usaha<br />
penangkapan ikan dari tidak melaut/menangkap<br />
akibat dampak perubahan iklim.<br />
Dalam mewujudkan implementasi kebijakan, terdapat beberapa tantangan yang menyebabkan<br />
belum teroptimalkannya kebijakan di dalam implementasinya namun di sisi lain terdapat peluang<br />
yang dapat dimanfaatkan dalam mendorong diimplementasikannya kebijakan yang telah dimiliki<br />
oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.<br />
TANTANGAN<br />
1. Besarnya biaya yang diperlukan untuk melakukan beberapa program aksi <strong>adaptasi</strong> di sektor<br />
kelautan dan perikanan.<br />
2. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagain yang paling rentan terhadap dampak perubahan<br />
iklim.<br />
3. Masih kurangnya data dan informasi kelautan dan perikanan, dan sebagian besar masih bersifat<br />
sporadis.<br />
4. Belum adanya peraturan perundangan atau payung hukum yang jelas mengenai <strong>adaptasi</strong> perubahan<br />
iklim.<br />
5. Belum adanya Rencana dokumen Hirarki pe<strong>rencana</strong>an pengelolaan wilayah pesisir dn pulaupulau<br />
kecil Kabupaten/Kota.
21 22<br />
TANTANGAN<br />
6. Meningkatkan dan perluasan skala program aksi <strong>adaptasi</strong> sektor kelautan dan<br />
perikanan.<br />
7. Memonitor dan memverifikasi program <strong>adaptasi</strong> sektor kelautan dan perikanan.<br />
PELUANG<br />
1. Pemanfaatan dan pengintegrasian pengetahuan, kearifan dan nilai-nilai lokal dan<br />
tradisional yang bisa saling bersinergi dengan program aksi <strong>adaptasi</strong>.<br />
2. Potensi praktek-praktek <strong>adaptasi</strong> yang telah ada dan bisa dijadikan ajang<br />
pembelajaran untuk peningkatan dan perluasan upaya <strong>adaptasi</strong> sektor kelautan<br />
dan perikanan.<br />
II.3 Sektor Kesehatan<br />
II.3.1 Pendahuluan<br />
Dalam menghadapi isu perubahan iklim di bidang kesehatan, Kementrian Kesehatan menyusun Strategi<br />
Adaptasi Dampak Perubahan Iklim yang dapat dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun di daerah dan<br />
diharapkan dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah <strong>adaptasi</strong> yang ditunjang oleh tingginya<br />
kesadaran, sikap mental dan prilaku masyarakat, sehingga dapat memberikan kontribusi yang bermakna<br />
terhadap peningkatan kemampuan selaras dengan visi Kementrian Kesehatan yakni mewujudkan<br />
masyarakat dalam mewujudkan kesehatan yang optimal menuju masyarakat yang produktif dan m<strong>and</strong>iri<br />
dengan pembudayaan hidup bersih dan sehat.<br />
Disamping itu, perubahan iklim juga memicu semakin berkurangnya keanekaragaman hayati sehingga<br />
dapat menyebabkan langkanya bahan baku obat dari tumbuhan.<br />
Sementara itu, degradasi lahan dan perubahan fungsi ekosistem dapat menyebabkan perubahan<br />
penyebaran vektor penyakit dan penurunan sumber daya air. Hal itu bisa berujung pada keterbatasan akses<br />
air bersih dan sanitasi yang sehat.Peningkatan temperatur udara sebesar 2-3 derajat celsius akan<br />
meningkatkan jumlah penderita penyakit tular vektor sebesar 3-5 persen 19 .<br />
Untuk mengantisipasi ancaman perubahan iklim ini, pada bulan Mei 2011, Kementrian Kesehatan telah<br />
menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1080 Tahun 2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor<br />
Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim.<br />
II.3.2 Justifikasi<br />
Dalam pelaksanaan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim di Bidang Kesehatan, telah disusun Tim Koordinasi Adaptasi<br />
Sektor Kesehatan. Disamping itu, Kementrian Kesehatan juga telah menyusun startegi <strong>adaptasi</strong> sektor<br />
kesehatan terhadap perubahan iklim, pedoman faktor resiko perubahan iklim dan modul perubahan iklim.<br />
Dalam upaya menanggulangi perubahan iklim, sektor kesehatan mengupayakan <strong>adaptasi</strong>. Kerangka<br />
konsep pelaksanaan <strong>adaptasi</strong> sektor kesehatan tergambarkan sebagaimana dibawah ini (gambar 1):<br />
ROADMAP<br />
STRATEGI<br />
ADAPTASI<br />
TIM KOORDINASI<br />
ADAPTASI PERUBAHAN<br />
IKLIM<br />
NSPK:<br />
Pedoman Modul<br />
Gambar 1. Kerangka Konsep Pelaksanaan Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan<br />
19 Disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tj<strong>and</strong>ra Yoga Aditama.<br />
IMPLEMENTASI<br />
(PROGRAM DAN<br />
KEGIATAN)
23 24<br />
Faktor-faktor yang menyebabkan Indonesia rentan dari sisi kesehatan akibat perubahan iklim diantaranya<br />
adalah masih adanya penduduk Indonesia yang belum menerapkan budaya hidup bersih dan sehat, masih<br />
ada wilayah di Indonesia yang mendapatkan pelayanan kesehatan terbatas, termasuk adanya penduduk<br />
yang memiliki akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan karena kendala jarak, belum memadainya<br />
sarana dan prasarana kesehatan khususnya dalam merespon dampak perubahan iklim serta terbatasnya<br />
informasi dan data terkait resiko di sektor kesehatan akibat perubahan iklim.<br />
Guna mengantisipasi dan menyiasati ancaman dan kondisi kerentanan tersebut, dikembangkan alternatif<br />
strategi <strong>adaptasi</strong>, yang mencakup:<br />
1. Memperkuat sistem kewaspadaan dini dan tanggap darurat terhadap bencana di masyarakat.<br />
2. Memperkuat kajian kerentanan dan penilaian resiko sektor kesehatan akibat perubahan iklim.<br />
3. Mengembangkan kerangka kerja kebijakan yang didukung dengan peraturan<br />
perundangan dan pengaturannya.<br />
4. Mengembangkan pe<strong>rencana</strong>an dan pengambilan keputusan berdasarkan bukti<br />
(evidence) berbasis wilayah.<br />
5. Meningkatkan kerjasama lintas sektor.<br />
6. Meningkatkan partisipasi masyarakat dan swasta serta perguruan tinggi/akademisi.<br />
7. Memperkuat kemampuan pemerintah daerah.<br />
8. Mengembangkan jaringan kerja (networking) dan berbagi (sharing) informasi.<br />
II.3.3 Ancaman Perubahan Iklim pada Bidang Kesehatan<br />
Pengaruh kenaikan temperatur, perubahan pola curah hujan, kenaikan muka laut dan meningkatnya<br />
frekuensi dan intensitas iklim ekstrim terhadap jalur kontaminasi mikroba, transmisi dinamis, agro<br />
ekosistem dan hidrologi serta sosio ekonomi dan demografi yaitu dapat menimbulkan dampak terhadap<br />
kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung.<br />
Dampak kesehatan akibat perubahan iklim diantaranya polusi udara yang berpengaruh terhadap<br />
kesehatan, penyakit yang berhubungan dengan air dan makanan (water <strong>and</strong> food borne diseases), penyakit<br />
yang berhubungan dengan vektor (vector borne diseases), malnutrisi, mental disorders, heat stress (lihat<br />
pada tabel 1) .<br />
Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, sosial dan sistem kesehatan. Ketiga<br />
kondisi tersebut akan berdampak terhadap kesehatan. Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dapat<br />
terjadi secara langsung maupun tidak langsung:<br />
Mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung berupa paparan langsung dari perubahan pola cuaca<br />
(temperatur, curah hujan, kenaikan muka air laut, dan peningkatan frekuensi cuaca ekstrim). Kejadian cuaca<br />
ekstrim dapat mengancam kesehatan manusia bahkan kematian (tabel 2). Misalnya, perubahan curah<br />
hujan, salinitas dapat meningkatkan atau mnegurangi kepadatan populasi vektor penyakit. Selain itu,<br />
secara langsung berpengaruh terhadap kejadian bencana seperti banjir, longosr dan angin puting beliung.<br />
Berdasarkan data dari PPK Kementrian Kesehatan, selama tahun 2009 telah terjadi 287n kejadian bencana<br />
yangterdiri dari 14 jenis kejadian bencana, antara lain banjir, longsor, angin puting beliung dan kebakaran<br />
hutan.<br />
Mempengaruhi kesehatan manusia secara tidak langsung. Mekanisme yang terjadi adalah perubahan iklim<br />
mempengaruhi faktor lingkungan seperti perubahan kualitas lingkungan (kualitas air, udara, dan makanan),<br />
penipisan lapisan ozon, penurunan sumber daya air, kehilangan fungsi ekosistem, dan degradasi lahan yang<br />
pada akhirnya faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kesehatan manusia.<br />
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian<br />
Climate<br />
Change<br />
Tabel 7. Bahaya dan Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Kesehatan<br />
Bahaya Perubahan<br />
Iklim<br />
Bahaya Perubahan<br />
Iklim<br />
Regional<br />
weather<br />
changes<br />
• Heatwaves<br />
• Extreme weather<br />
• Temperature<br />
• Precipation<br />
Bahaya lebih lanjut terhadap<br />
sektor kesehatan<br />
Kenalan aliran permukaan<br />
dan kelembaban tanah,<br />
menyebabkan:<br />
º Banjir.<br />
º Gangguan<br />
keseimbangan air.<br />
º Tanah longsor<br />
Bersama kenaikan<br />
temperatur akan<br />
menurunkan aliran permukaan,<br />
menyebabkan:?<br />
º Penurunan ketersediaan<br />
air.<br />
º Kekeringan.<br />
Modulating<br />
influences<br />
Microbial<br />
contamination<br />
pathways<br />
Transmission<br />
dynamics<br />
Agro-ecosystems,<br />
hydrology<br />
Socioeconomic,<br />
demographics<br />
Health Effects<br />
Temperature-related<br />
illness <strong>and</strong> death<br />
Extreme weatherrelated<br />
health effects Air<br />
pollution-related health<br />
effects<br />
Water <strong>and</strong> fod-borne<br />
diseases<br />
Vector-borne <strong>and</strong><br />
rodent-borne diseases<br />
Effect of food <strong>and</strong> water<br />
shortages Mental,<br />
nutritional, infectious<br />
<strong>and</strong> other health effects<br />
Dampak perubahan Iklim<br />
º? Banjir dan gangguan keseimbangan air<br />
dapat berpengaruh terhadap kondisi<br />
sanitasi dan penyebaran penyakit bawaan<br />
air seperti diare.<br />
º Banjir dan gangguan keseimbangan air<br />
dapat berpengaruh terhadap gagal panen<br />
sehingga dapat menyebabkan malnutrisi.<br />
º Curah hujan berpengaruh terhadap tipe dan<br />
jumlah habitat perkembangbiakan vektor<br />
penyakit.<br />
º Perubahan curah hujan bersama dengan<br />
perubahan temperatur dan kelembabab<br />
dapat meningkatkan atau mengurangi<br />
kepadatan populasi vektor penyakit serta<br />
kontak manusia dengan vektor penyakit.
25 26<br />
Bahaya Perubahan<br />
Iklim<br />
Kenaikan Paras Muka<br />
Air Laut (SLR)<br />
Peningkatan<br />
Frekuensi dan<br />
Intensitas Iklim<br />
Ekstrim.<br />
II.3.4 Matriks<br />
Bahaya lebih lanjut terhadap<br />
sektor kesehatan<br />
º Dengan tingkat pengambilan<br />
air tanah tertentu air tanah<br />
bergeser ke atas,<br />
menyebabkan instrusi air laut<br />
sehingga mempengaruhi<br />
ketersediaan air.<br />
º Pengaliran air di pesisir dapat<br />
terganggu sehingga dapat<br />
memperburuk sanitasi<br />
º Curah hujan di atas normal<br />
menyebabkan kenaikan<br />
aliran permukaan dan<br />
kelembaban tanah, sehingga<br />
menyebabkan banjir longsor.<br />
º Badai.<br />
Kebijakan Program Aksi<br />
1. Peraturan Menteri<br />
Kesehatan Nomor<br />
1018/MENKES/PER/V/2011<br />
tentang Strategi Adaptasi<br />
Sektor Kesehatan Terhadap<br />
Dampak Perubahan Iklim<br />
Dampak perubahan Iklim<br />
º Gangguan fungsi sanitasi<br />
berpengaruh pada peningkatan<br />
penyebaran penyakit bawaan air<br />
seperti diare.<br />
º Ekosistem rawa dan mangrove<br />
dapat berubah.<br />
º Pola penyebaran vektor penyakit di<br />
pantai dan pesisir dapat berubah.<br />
º Bencana banjir, badai, dan longsor<br />
dapat menyebabkan kematian.<br />
º Bencana banjir, badai dan longsor<br />
dapat menimbulkan kerusakan<br />
rumah tinggal sehingga terjadi<br />
pengungsian yang dapat<br />
menimbulkan banyak gangguan<br />
kesehatan.<br />
º Berpengaruh terhadap daya tahan<br />
tubuh manusia<br />
Sosialisasi dan advokasi <strong>adaptasi</strong> sektor kesehatan<br />
terhadap dampak perubahan iklim<br />
1. Melaksanakan sosialisasi <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim sektor<br />
kesehatan terhadap dampak perubahan iklim.<br />
2. Melaksanakan advokasi <strong>adaptasi</strong> perubahan ikloim sektor<br />
kesehatan terhadap dampak perubahan iklim.<br />
Pemetaan populasi dan daerah rentan perubahan iklim<br />
1. Pengumpulan data penyebaran penyakit,<br />
perubahan/variabel iklim, faktor resiko lingkungan, faktor<br />
resiko sosial, ekonomi dan geografi.<br />
2. Analisis penyebaran penyakit.<br />
3. Analisis perubahan/variabel iklim.<br />
4. Analisis faktor resiko lingkungan.<br />
5. Analisis faktor resiko sosial, ekonomi dan demografi.<br />
6. Analisis korelasi variabel di atas.<br />
Kebijakan Program Aksi<br />
1. Peraturan Menteri<br />
Kesehatan Nomor<br />
1018/MENKES/PER/V/2<br />
011 tentang Strategi<br />
Adaptasi Sektor<br />
Kesehatan Terhadap<br />
Dampak Perubahan<br />
Iklim<br />
Peningkatan sistem tanggap perubahan iklim<br />
sektor kesehatan.<br />
1. Kajian dan penelitian dampak perubahan iklim sektor kesehatan.<br />
2. Penguatan sistem kewaspadaan dini dampak perubahan iklim.<br />
3. Pengembangan strategi <strong>adaptasi</strong> spesifik lokal sesuai dengan dampak<br />
yang muncul.<br />
4. Pengembangan teknologi tepat guna.<br />
Peraturan Perundang-undangan.<br />
Menyusun peraturan perundang-undangan.<br />
Peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan, khususnya daerah<br />
rentan perubahan iklim<br />
1. Pengembangan sarana pelayanan kesehatan yang disesuaikan dengan<br />
populasi dan daerah rentan perubahan iklim.<br />
2. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan.<br />
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang kesehatan<br />
1. Pelaksanaan pelatihan.<br />
2. Penyusunan pedoman.<br />
3. Pelaksanaan kegiatan diseminasi informasi.<br />
4. Pembinaan dan pengawasan.<br />
Peningkatan pengendalian dan pencegahan penyakit akibat dampak<br />
perubahan iklim<br />
1. Penguatan kesehatan lingkungan.<br />
2. Pengendalian faktor risiko penyakit.<br />
3. Penemuan penderita dan pengobatan.<br />
4. Pengendalian vektor secara terpadu.<br />
5. Penanggulangan bencana.<br />
Peningkatan kemitraan<br />
Pembentukan kelompok kerja dampak perubahan iklim di lingkungan<br />
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan provinsi, Dinas Kesehatan<br />
Kabupaten/Kota.<br />
Peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam <strong>adaptasi</strong> perubahan<br />
iklim sesuai kondisi setempat<br />
1. Pemberdayaan individu<br />
2. Pemberdayaan keluarga.<br />
3. Pemberdayaan kelompok/masyarakat umum.<br />
Peningkatan surveilans dan sistem informasi.<br />
1. Pengumpulan dan analisis data penyakit, faktor resiko lingkungan,<br />
perilaku, dan iklim.<br />
2. Diseminasi informasi.<br />
3. Rencana Tindak Lanjut
27 28<br />
Dalam pelaksanaan program dan kegiatan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim, sektor kesehatan masih<br />
ditemui tantangan antara lain sebagai berikut:<br />
TANTANGAN<br />
1.Kolaborasi Lintas sektor.<br />
a. Jejaring informasi terkait dengan perubahan iklim sektor kesehatan perlu<br />
ditingkatkan.<br />
b. Integrasi implementasi berdasarkan <strong>rencana</strong> aksi nasional perubahan iklim bidang<br />
kesehatan belum terlaksana dengan baik.<br />
2.Peningkatan Kapasitas<br />
Perlu adaya pelatihan<br />
3.Komunikasi<br />
a. Kampanye sosial mengenai perubahan iklim.<br />
b. Advokasi pada pemangku kebijakan<br />
4.Partisipasi masyarakat<br />
a. Program terkait perubahan iklim bidang kesehatan belum merupakan prioritas.<br />
b. Membangun kerjasama pemerintah, swasta dan LSM.<br />
5.Sumber dana.<br />
Dukungan politik dalam penetapan anggaran perlu ditingkatkan.<br />
6.Data dan fakta.<br />
Adaptasi perubahan iklim sektor kesehatan harus menjadi indikator dalam renstra<br />
Kementerian Kesehatan.<br />
II.4 Sektor Pekerjaan Umum<br />
Untuk sektor Pekerjaan Umum, strategi dan kegiatan <strong>adaptasi</strong> dibagi ke dalam 4 (empat) sub bidang, yaitu;<br />
1) Sumber Daya Air, 2) Cipta Karya, 3) Jalan dan Jembatan dan 4) Penataan Ruang.<br />
II.4.1 Sub Bidang Sumber Daya Air<br />
Sumber Daya Air sangat berkaitan erat dengan perubahan iklim, karena siklus hidrologi Sumber Daya Air<br />
(SDA) sangat dipengaruhi oleh iklim. Definisi SDA menurut Undang-undang (UU) No.7 Tahun 2004 tentang<br />
Pengelolaan Sumber Daya Air adalah air, sumber air dan daya air yang terk<strong>and</strong>ung didalamnya. Jadi SDA<br />
adalah merupakan sumber daya mengalir (flowing resources), sumber daya terbatas (limited resources),<br />
sumber daya langka (scarce resources) yang memiliki nilai-nilai social, ekonomi dan lingkungan.<br />
Perkiraan SDA Indonesia ditahun 2025 adalah 9.200 M3/kapita. Ketersediaan air di Pulau Jawa adalah yang<br />
terkecil dengan 1.600 M3/kapita/th, sementara Papua/Maluku adalah yang terbesar dengan 25.500<br />
M3/kapita/th. Luas Pulau Jawa 7% dari luas daratan Indonesia yang merupakan 4,5% dari seluruh potensi air<br />
tawar Indonesia, tetapi menopang 65% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.<br />
Pentingnya upaya <strong>adaptasi</strong> bidang SDA karena perubahan iklim tidak dapat dihindari serta upaya dan<br />
<strong>rencana</strong> <strong>adaptasi</strong> harus dilakukan dan mendapat perhatian. Fokus upaya <strong>adaptasi</strong> sektor SDA adalah:<br />
keseimbangan air (kebutuhan dan ketersediaan), infrastruktur SDA yang memadai, penyediaan sumbersumber<br />
air alternatif, kelengkapan data dan riset, serta konservasi air.<br />
II.4.1.1 Justifikasi<br />
Kondisi infrastruktur SDA khususnya dalam mendukung pencapaian kinerja pembangunan bidang<br />
pekerjaan umum secara keseluruhan masih perlu ditingkatkan, hal ini disebabkan oleh karena menurunnya<br />
fungsi dan kerusakan prasarana SDA akibat dari bencana alam, rendahnya biaya operasional dan rendahnya<br />
keterlibatab masyarakat serta fluktuasi debit musiman, semua itu sangat mempengaruhi ketahanan<br />
pangan. Berkembangnya daerah permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan<br />
mengancam kapasitas lingkungan dalam penyediaan air, hal ini menyebabkan debit sumber air turun dan<br />
intrusi air laut.<br />
World Competitiveness Yearbook 2008 menempatkan Indonesia pada peringkat 55 dari 143 negara, dimana<br />
ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai (16,4%) merupakan penyumbang kedua sebagai<br />
problematik dalam melakukan usaha setelah birokrasi pemerintah yang tidak efisien (19,3%). Tantangan<br />
pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus meningkatkan ketersediaan<br />
infrastruktur yang berkualitas dan kinerjanya semakin dapat di<strong>and</strong>alkan agar daya tarik dan daya saing<br />
Indonesia dalam konteks global dapat membaik.<br />
Dalam mengantisipasi dampak akibat perubahan iklim, dilakukan upaya <strong>adaptasi</strong> dan mitigasi sektor ke-<br />
PU-an terutama terkait dukungan infrastruktur sumber daya air untuk menyokong produksi pangan<br />
nasional dan respon terhadap pengelolaan infrastruktur dalam mengantisipasi bencana terkait dengan<br />
perubahan iklim.
29 30<br />
II.4.1.2 Tingkat Kekritisan Sumber Daya Air:<br />
1. Meningkatnya kekritisan DAS, dimana pada tahun 13,1 juta ha (22 DAS) sedangkan pada tahun<br />
2005 meningkat menjadi 18,5 juta ha (62 DAS), hal tersebut membutuhkan pengelolaan hutan,<br />
karena mengakibatkan resapan air menurun, fluktuasi debit sungai semakin tinggi, dan<br />
meningkatnya laju erosi serta sedimentasi;<br />
2. Penurunan kualitas air pada sumber air karena pencemaran yang mengakibatkan: meningkatnya<br />
biaya pengolahan air, dampak negative kesehatan masyarakat dan membahayakan keberadaan<br />
biota air;<br />
3. Degradasi dasar sungai sebagai akibat dari aktivitas penambangan golongan C dapat<br />
mempercepat kerusakan infrastruktur sepanjang sungai;<br />
4. Meningkatnya laju sedimentasi, sampah dan pemanfaatan lahan dapat mengakibatkan:<br />
perubahan morfologi sungai, kerusakan ekosistem (penurunan kapasitas aliran sungai) dan<br />
ancaman bencana banjir;<br />
5. Exploitasi air tanah yang dapat mengakibatkan penurunan muka tanah (l<strong>and</strong> subsidence) dan<br />
intrusi air laut;<br />
6. Konversi daerah irigasi teknis lebih dari 35.000 ha/tahun.<br />
7. Kenaikan elevasi muka air laut akibat pemanasan global yang berdampak pada produktifitas<br />
450.000 Ha lahan tambak existing dan 1,45 juta ha dan areal reklamasi pasang surut<br />
II.4.1.3 Matriks<br />
Kebijakan Program Aksi<br />
1. UU No. 7/2004 tentang<br />
Pengelolaan Sumber Daya<br />
Air;<br />
2. Peraturan Pemerintah No.<br />
42/2008 tentang Pengelolaan<br />
Sumber Daya Air;<br />
3. Peraturan Pemerintah No.<br />
20/2004 tentang Irigasi;<br />
4. Peraturan Pemerintah No.<br />
37/2010 tentang Bendungan;<br />
5. Peraturan Menteri No.<br />
11A/2006 tentang Kriteria<br />
dan Penetapan Wilayah<br />
Sungai;<br />
6. Peraturan Menteri Pekerjaan<br />
Umum No. 22/2009 tentang<br />
Pedoman Teknis dan Tata<br />
Cara Penyusunan Pola<br />
Pengelolaan Sumber Daya<br />
Air;<br />
7. Peraturan Menteri Pekerjaan<br />
Umum No. 04/ 2008 tentang<br />
Pedoman Pembentuk Wadah<br />
Koordinasi Pengelolaan<br />
Sumber Daya Air pada<br />
Tingkat Propinsi,<br />
Kabupaten/Kota dan Wilayah<br />
Sungai.<br />
Meningkatkan manajemen prasarana sda dalam rangka<br />
mendukung penyediaan air dan ketahanan pangan<br />
1. Pembangunan pengelolaan dan rehabilitasi endung,<br />
embung dan bendungan serta meningkatnya kualitas<br />
pengelolaannya.<br />
2. Pengendalian penggunaan air pada sumber air.<br />
3. Pemantauan pengelolaan kualitas air pada sumber air.<br />
4. Pembangunan, pemeliharaan dan rehabilitasi prasarana<br />
penyediaan air baku, untuk pemenuhan kebutuhan pokok<br />
sehari-hari, perkotaan dan industry.<br />
5. Pembangunan, pengelolaan dan rehabilitasi sistem<br />
jaringan irigasi (termasuk subak) untuk menjaga ketahanan<br />
pangan nasional.<br />
6. Pengembangan dan penerapan teknologi irigasi hemat air<br />
dalam rangka intensifikasi pertanian.<br />
7. Penyusunan dan pemutakhiran NSPK untuk pengelolaan<br />
sumber daya air.<br />
Mengembangkan disaster risk management untuk<br />
banjir (sungai, rob, lahar dingin), longsor & kekeringan.<br />
1. Pembangunan dan/atau pemeliharaan bangunan pantai<br />
untuk mengatasi banjir/rob pada kota-kota besar di daerah<br />
pesisir dan strategis lainnya.<br />
2. Pelaksanaan penataan, penertiban sempadan sungai untuk<br />
lokasi-lokasi yang mengalami banjir/penyebab banjir.<br />
3. Pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana dan<br />
Kebijakan Program Aksi<br />
8. UU No. 7/2004 tentang<br />
Pengelolaan Sumber<br />
Daya Air;<br />
9. Peraturan Pemerintah<br />
No. 42/2008 tentang<br />
Pengelolaan Sumber<br />
Daya Air;<br />
10. Peraturan Pemerintah<br />
No. 20/2004 tentang<br />
Irigasi;<br />
11. Peraturan Pemerintah<br />
No. 37/2010 tentang<br />
Bendungan;<br />
12. Peraturan Menteri No.<br />
11A/2006 tentang<br />
Kriteria dan Penetapan<br />
Wilayah Sungai;<br />
13. Peraturan Menteri<br />
Pekerjaan Umum No.<br />
22/2009 tentang<br />
Pedoman Teknis dan<br />
Tata Cara Penyusunan<br />
Pola Pengelolaan<br />
Sumber Daya Air;<br />
14. Peraturan Menteri Pekerjaan<br />
Umum No. 04/<br />
2008 tentang Pedoman<br />
Pembentuk Wadah<br />
Koordinasi Pengelolaan<br />
Sumber Daya Air pada<br />
Tingkat Propinsi,<br />
Kabupaten/Kota dan<br />
Wilayah Sungai.<br />
sarana pengendalian banjir dan kekeringan utnuk kota dan<br />
kabupaten yang rentan terhadap bencana.<br />
4. Peningkatan kapasitas (capacity building) dalam disaster<br />
risk management.<br />
5. Pembangunan prasarana early warning system untuk antisipasi<br />
bencana (bencana dan kekeringan).<br />
6. Penyusunan dan pemutakhiran NSPK untuk disaster risk<br />
management sumber daya air.<br />
7. Penyusunan <strong>rencana</strong> tata tanam yang reliable dan pelaksanaan<br />
sosialisasinya dalam rangka antisipasi kekeringan.<br />
8. Penyeleggaraan perbaikan sistem pengelolaan irigasi dengan<br />
mengintegrasikan pengelolaan resiko perubahan iklim.<br />
9. Pelaksanaan reevaluasi pengaturan operasi dan pemeliharaan<br />
irigasi untuk mengakomodasi dampak perubahan iklim dalam hal<br />
bertambahnya atau berkurangnya intensitas curah hujan.<br />
Meningkatkan manajemen dan mengembangkan prasarana<br />
sumber daya air untuk pengendalian daya rusak air.<br />
1. Pengembangan teknologi, pembangunan dan pemeliharaan<br />
prasarana dan sarana untuk pengendalian pencemaran air pada<br />
sumber air (sungai,danau dan waduk).<br />
2. Pengembangan teknologi, pembangunan dan pemeliharaan<br />
prasarana dan sarana untuk pengendalian sedimentasi<br />
sungai,danau dan waduk.<br />
3. Pengembangan teknologi, pembangunan dan pemeliharaan<br />
prasarana dan sarana untuk pengendalian erosi dan sedimentasi<br />
pada pantai.<br />
Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat tentang<br />
penyelamatan air.<br />
1. Pelaksanaan kampanye hemat air/Gerakan <strong>Nasional</strong><br />
Penyelamatan Air (GNPA).<br />
2. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam gerakan hemat air<br />
dan penyelamatan air.<br />
Meningkatkan penyediaan dan akses terhadap data dan<br />
informasi terkait dampak perubahan iklim.<br />
1. Penyusunan dan pemutakhiran database mengenai neraca air<br />
(potensi dan kebutuhannya) wilayah sungai untuk ketersediaan<br />
air di masa depan dengan memperhitungkan perubahan iklim.<br />
2. Penyusunan kajian dan database kerawanan kawasan/daerah<br />
yang rentan terhadap bencana dampak perubahan iklim.<br />
3. Pelaksanaan rasionalisasi jaringan pos hidrologi dan penerapan<br />
teknologi telemetri dalam forecasting untuk memantau damapak<br />
perubahan iklim.
31 32<br />
II.4.2 Sub Bidang Cipta Karya<br />
PELUANG<br />
1. Meningkatnya luasan lahan kritis;<br />
2. Menurunnya daya dukung beberapa daerah tangkapan air;<br />
3. Menurunnya kuantitas dan kualitas sumber daya air;<br />
4. Disparitas potensi sumber daya air antara wilayah barat dan timur Indonesia yang<br />
menyebabkan kerentanan wilayah meningkat;<br />
5. Terbatasnya sarana dan prasarana sumber daya air dalam menghadapi dampak<br />
negative perubahan iklim;<br />
6. Penyediaan pembiayaan yang diperlukan untuk melakukan program aksi <strong>adaptasi</strong> di<br />
bidang sumber daya air;<br />
7. Kurangnya pemahaman dan kapasitas SDM/kelembagaan pengelola sumber daya air<br />
(termasuk masyarakat) untuk menetapkan dampak risiko perubahan iklim dan<br />
menyusun <strong>rencana</strong> & program <strong>adaptasi</strong> pada skala yang tepat;<br />
8. Minimnya informasi dan belum terbangunnya database yang baik terkait dampak<br />
perubahan iklim bidang SDA;<br />
9. Belum tersedianya informasi baseline upaya <strong>adaptasi</strong> bidang sumber daya air;<br />
10. Belum tersedianya metodologi yang mapan mendukung MRV <strong>adaptasi</strong>.<br />
TANTANGAN<br />
1. Sumber daya air merupakan bagian kekayaan alam yang bersifat terbarukan;<br />
2. Potensi sumber daya air Indonesia berlimpah, walaupun sangat variatif sesuai waktu,<br />
ruang, kuantitas dan kualitasnya;<br />
3. Pemanfaatan dan pengintegrasian pengetahuan dan kearifan lokal/tradisional untuk<br />
menunjang program <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim.<br />
Dengan visi untuk mewujudkan permukiman perkotaan dan perdesaan yang layak, produktif, berdaya<br />
saing dan berkelanjutan melalui peningkatan pembangunan infrastruktur permukiman di perkotaan dan<br />
perdesaan, dan kem<strong>and</strong>irian daerah melalui peningkatan kapasitas pemerintah daerah, masyarakat dan<br />
dunia usaha dalam penyelenggaraan pembangunan infrastruktur pemukiman.<br />
Melalui visi ini, bidang ini menerjemahkannya dalam suatu misi menyediakan infrastruktur permukiman<br />
bagi kawasan kumuh/nelayan, daerah perbatasan, kawasan terpencil, pulau-pulau kecil terluar dan daerah<br />
tertinggal serta mewujudkan organisasi yang efisien, tata laksana yang efektif dan SDM yang profesional<br />
dengan menerapkan prinsip good governance.<br />
II.4.2.1 Adapun tujuan Pembangunan Sub Bidang Cipta Karya adalah<br />
1. Meningkatkan kualitas pe<strong>rencana</strong>an pembangunan infrastruktur PU dan permukiman dan<br />
pengendalian pemanfaatan ruang bagi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan (termasuk<br />
<strong>adaptasi</strong> dan mitigasi perubahan iklim) dengan cara:<br />
penyusunan NSPK (UU, PP, Perpres, Permen, SNPI), pendampingan penyusunan NSPK Daerah/Perda,<br />
Pembinaan SDM, Sosialisasi, Pendidikan/pelatihan.<br />
2. Meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan cakupan pelayanan (dasar) bidang pekerjaan<br />
umum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pengembangan prasarana dan<br />
sarana bidang cipta karya.<br />
3. Meningkatkan pembangunan kawasan strategis, wilayah tertinggal dan penanganan kawasan<br />
rawan bencana untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah.<br />
Terdapat 3 (tiga) Strategic Goals yang ingin dicapai, yaitu;<br />
1. Kontribusi pelayanan infrastruktur bagi pertumbuhan ekonomi;<br />
2. Kontribusi pelayanan infrastruktur bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; dan<br />
3. Kontribusi pelayanan infrastruktur bagi peningkatan kualitas lingkungan.<br />
II.4.2.2 Isu strategis pembangunan Sub Bidang Cipta Karya dipengaruhi oleh 6 (enam) hal, yaitu:<br />
1. Proporsi penduduk perkotaan yang bertambah, dimana arus urbanisasi perkotaan mengalami<br />
peningkatan yang amat tajam, yaitu penduduk yang bermukim di perkotaan mencapai 112 juta<br />
jiwa. Diperkirakan pada tahun 2025 nanti 68,3% penduduk Indonesia akan mendiami kawasan<br />
perkotaan. Setiap tahun lahir sekitar 4,5 juta jiwa bayi yang setara dengan jumlah penduduk<br />
Singapura atau lebih dari empat kali jumlah penduduk Timor Leste. Saat ini jumlah penduduk telah<br />
mencapai 237,6 juta jiwa (Kompas Tanggal 10 januari 2011). Terjadi ledakan penduduk sebanyak 3,5<br />
juta jiwa, hal ini berimplikasi kewajiban pemerintah untuk menyediakan pangan, permukiman,<br />
kesehatan dan fasilitas dasar lainnya. Berdasarkan data Program Pembangunan PBB (UNDP), indeks<br />
pembangunan manusia Indonesia pada tahun 2010 menduduki peringkat ke-108 dari 169 negara<br />
dan posisi ke-6 diantara amper-negara Asia Tenggara.<br />
2. Angka kemiskinan perkotaan yang masih tinggi yaitu 9,87% dan amper seperempatnya masih<br />
bertempat tinggal di kawasan pemukiman kumuh.<br />
3. Kota sebagai engine of growth dimana tahun 2010 kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto<br />
(PDB) masih didominasi oleh Pulau Jawa dan Sumatera (P. Jawa 57,8%, P. Sumatera 23,6%, P.<br />
Kalimantan 9,5%, P.Sulawesi 4,4%, Bali – Nusa Tenggara 2,8%, Maluku dan Papua 1,9%).<br />
4. Desentralisasi, di satu sisi, desentralisasi berhasil membawa pemerintah daerah dalam nuansa<br />
kompetisi yang kondusif untuk mendorong pembangunan perkotaan di masing-masing daerah. Di<br />
sisi lain, pembangunan yang ekspansif dan tidak te<strong>rencana</strong> justru membahayakan daya dukung<br />
kota, terutama di kota besar dan metropolitan.<br />
5. Kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari meningkatnya penggunaan ruang dan sumber<br />
daya alam di kawasan perkotaan yang tidak terkendali.<br />
6. Perubahan iklim dan bencana alam yang mengakibatkan meningkatnya temperature rata-rata<br />
bumi dan meningkatnya permukaan air laut, serta posisi Indonesia yang berada di kawasan ring of<br />
fire memerlukan pe<strong>rencana</strong>an permukiman yang terarah dan berkelanjutan.<br />
Dengan demikian, terkait ancaman perubahan iklim, kondisi di atas akan berdampak pada krisis air besih<br />
perkotaan, kerawanan pangan, perubahan pola curah hujan, meningkatnya permukaan air laut, rusaknya<br />
infrastruktur daerah tepi pantai. Untuk mengantisipasi perubahan iklim ini, maka diperlukan antisipasi
33 34<br />
penyediaan sarana dan prasarana perkotaan, seperti; drainase yang baik untuk mengantisipasi curah<br />
hujan yang meningkat dan persediaan air minum untuk mengantisipasi kemarau panjang serta<br />
ruang terbuka hijau dan penataan bangunan untuk mengantisipasi peningkatan suhu.<br />
II.4.2.3 Matriks<br />
Kebijakan Program Aksi<br />
Pembinaan dan Pengembangan Infrastruktur<br />
Pemukiman<br />
1. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan dan<br />
penyelenggaraan dalam Pengembangan Pemukiman.<br />
2. Pengaturan, pembinaan dan Pengawasan dalam<br />
Penataan Bangunan dan Lingkungan, termasuk<br />
Pengelolaan Gedung dan Rumah Negara.<br />
3. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan, Pengembangan<br />
Sumber Pembiayaan dan Pola Investasi, serta Pengelolaan<br />
Pengembangan Infrastruktur Sanitasi dan Persampahan.<br />
4. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan, Pengembangan<br />
Sumber Pembiayaan dan Pola Investasi, serta<br />
pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.<br />
5. Dukungan Manajemen Bidang Permukiman.<br />
6. Penyusunan Kebijakan, Program dan Anggaran,<br />
Kerjasama Luar Negeri, data Informasi serta Evaluasi<br />
Kinerja Infrastruktur Bidang Permukiman.<br />
7. Badan pendukung Pengembangan SPAM.<br />
TANTANGAN<br />
1. Penataan bangunan dan lingkungan terkendala oleh ketersediaan lahan dan keterbatasan<br />
peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintah Daerah.<br />
2. Pengembangan Permukiman terkendala dalam ketersediaan lahan dan keterbatasan DDUB.<br />
3. Pengembangan PLP terkendala dengan luasnya cakupan kegiatan yang perlu ditangani,<br />
ketersediaan lahan dan keterbatasan OM. Pengembangan Air Minum terkendala luasnya cakupan<br />
kegiatan yang perlu ditangani, keterbatasan OM, keterbatasan sumber air baku dan pencemaran<br />
sumber air baku
35 36<br />
II.4.3 Sub Bidang Jalan dan Jembatan<br />
Sasaran pembangunan jangka panjang bidang Infrastruktur di tahun 2005 – 2025 adalah: 1) Terwujudnya<br />
bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera ditunjukkan oleh<br />
hal-hal berikut: tersusunnya jaringan infrastruktur perhubungan yang <strong>and</strong>al dan terintegrasi satu sama<br />
lain. 2)Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan dit<strong>and</strong>ai oleh hal-hal berikut: tingkat<br />
pembangunan yang makin merata ke seluruh wilayah yang diwujudkan dengan peningkatan kualitas<br />
hidup dan kesejahteraan masyarakat, termasuk berkurangnya kesenjangan antar wilayah dalam kerangka<br />
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan 3) Terwujudnya Indonesia sebagai Negara kepulauan yang<br />
m<strong>and</strong>iri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional: terbangunnya jaringan sarana dan prasarana<br />
sebagai perekat semua pualu dan kepulauan Indonesia.<br />
II.4.3.1 Prioritas pembangunan Infrastruktur <strong>Nasional</strong> adalah:<br />
Meningkatkan daya saing perekonomian yang didukung oleh pengembangan jaringan infrastruktur<br />
transportasi melalui percepatan pembangunan infrastruktur melalui kerja sama antara pemerintah dan<br />
dunia usaha. Prioritas tersebut menjadi target di tahun 2010 – 2014.<br />
Terpenuhinya ketersediaan jaringan infrastruktur transportasi yang sesuai dengan <strong>rencana</strong> tata ruang<br />
dalam meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia melalui kerja sama pemerintah dan dunia usaha.<br />
Prioritas ini menjadi target di tahun 2015 – 2019.<br />
Mewujudkan masyarakat maju dan sejahtera melalui terselenggaranya jaringan transportasi pos dan<br />
telematika yang <strong>and</strong>al bagi seluruh masyarakat yang menjangkau seluruh wilayah NKRI. Prioritas ini<br />
menjadi target di tahun 2020 – 2024.<br />
Sementara itu, kebijakan dan strategi RTRWN Sistem Jaringan Prasarana <strong>Nasional</strong> (Jaringan Transportasi)<br />
2008-2028 adalah, peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi dan<br />
adanya keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut dan udara.<br />
Gambar 2. Program Strategis Infrastruktur Jalan 2014 (Renstra Kementerian PU)<br />
II.4.3.2 Tantangan Bidang Jalan terkait Dampak Perubahan Iklim.<br />
A. Meningkatnya Temperatur Udara<br />
Temperatur rata-rata tahunan di Indonesia mengalami kenaikan 0,3oC (pengamatan sejak 1990).<br />
Dampak terhadap infrastruktur: Mempercepat aging permukaan jalan, baik pada perkerasan lentur<br />
maupun beton; Meningkatnya sebaran titik api (hot spot) yang akan berpengaruh terhadap struktur<br />
jalan maupun jembatan; Menurunkan kekuatan (daya dukung) lapisan aspal deformasi makin besar.<br />
Pengendalian temperatur udara dapat dilakukan dengan penanaman pohon di pinggir jalan atau<br />
penggunaan low heat reflective pavement.<br />
B. Meningkatnya Curah Hujan<br />
Diperkirakan akibat perubahan iklim, Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3% per<br />
tahun. Serta musim hijan yang lebih pendek. Dampak terhadap infrastruktur: Terendamnya jalan<br />
akibat banjir dapat menyebabkan air masuk kedalam perkerasan jalan, sehingga mengakibatkan<br />
terjadinya pumping saat kendaraan melewatinya; Pengikisan tiang pancang jembatan akibat<br />
terbentur material sampah keras yang hanyut bersama air; Curah hujan yang tinggi pada rentang<br />
waktu pendek dapat memicu terjadinya gerusan permukaan dan longsor; Melemahnya ikatan aspal<br />
terhadap aggregate.<br />
Pengendalian dapat dilakukan dengan: Membuat drainase jalan yang memadai dan memenuhi<br />
persyaratan teknis untuk menangani run off karena meningkatnya curah hujan pada kondisi curah<br />
hujan tinggi; Meningkatnya intensitas pemeliharaan drainase untuk dapat diyakininya pelayanan<br />
drainase jalan; Memperbaiki system drainase dengan memperpanjang waktu run off<br />
(pembangunan retusion pond untuk kondisi topografi curam).<br />
C. Kenaikan Permukaan Air Laut<br />
Sekitar 40 juta masyarakat Indonesia yang bermukim dalam jarak 10m dari permukaan air laut ratarata,<br />
sangat rentan terhadap perubahan permukaan air laut. Dampak terhadap infrastruktur:<br />
Jaringan jalan di pesisir akan terendam dan mengakibatkan peningkatan laju korosi pada jalan<br />
beton dan peningkatan proses penuaan dan oksidasi pada jalan beraspal; Lebih lanjut akan<br />
mengakibatkan kota yang berada di pesisir rentan “kehilangan” aset jalan, sehingga keh<strong>and</strong>alan<br />
keberlanjutan pemanfaatanjalan berkurang dan menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama<br />
apabila jalan tersebut merupakan akses ke pusat distribusi (seperti pelabuhan).<br />
Pengendalian kenaikan air laut dapat dilakukan dengan cara: Memindahkan jalan ke kawasan yang<br />
lebih aman dari pengaruh kenaikan permukaan air laut; Pembangunan tanggul-tanggul di daerah<br />
pantai; Perlindungan terhadap pelabuhan, bangunan atau infrastruktur lainnya yang rentan<br />
terhadap kenaikan air laut.<br />
D. Meningkatnya Intensitas Kejadian Ekstrim<br />
Dampak terhadap infrastruktur: bertambah panjangnya periode musim kering mengakibatkan<br />
lapisan aspal banyak mengelupas; Badai dan angin kencang dapat merusak struktur hingga<br />
mengakibatkan terputusnya jalur jalan dan jembatan.
37 38<br />
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara: Teknologi aspal poro (penggunaan material aditif yang dapat<br />
menurunkan suhu percampuran dan waktu pemadatan lebih cepat); Sistem peringatan dini untuk badai;<br />
pembangunan jalan dan jembatan dengan struktur tahan badai; Perbaikan kapasitas system drainase untuk<br />
menampung kondisi curah hujan ekstrim.<br />
II.4.3.3 Matriks<br />
Meningkatkan kualitas pelayanan<br />
prasarana dan sarana jalan yang<br />
mampu memenuhi kebutuhan<br />
social-ekonomi masyarakat dalam<br />
hal mobilitas dan aksesibilitas yang<br />
lebih efisien.<br />
II.4.4.1 Sub Bidang Penataan Ruang<br />
Kebijakan Program Aksi<br />
Kegiatan Prioritas, Sasaran dan Target 2014<br />
Pembangunan Infrastruktur Jalan (Mengurangi resiko<br />
terganggunya fungsi jalan yang bersumber pada<br />
dampak banjir, kenaikan muka air laut, longsor dan<br />
abrasi).<br />
1. Pelaksanaan Preservasi dan Peningkatan Kapasitas Jalan<br />
dan Jembatan <strong>Nasional</strong>.<br />
2. Pembinaan Pelaksanaan Preservasi dan Kapasitas Jalan<br />
dan Fasilitasi Jalan Bebas Hambatan dan Perkotaan.<br />
Upaya <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim dalam penataan ruang perlu dilakukan dalam tataran pengarusutamaan<br />
perubahan iklim dalam sistem penataan ruang nasional. Prinsip dari pengarusutamaan perubahan iklim<br />
dalam sistem penataan ruang nasional dalam hal ini adalah penjaminan bahwa penataan ruang yang<br />
dilakukan telah mempertimbangkan proyeksi perubahan iklim di masa datang serta menjamin bahwa<br />
penataan ruang yang dilakuan tidak meningkatkan kerentanan wilayah terhadap dampak perubahan iklim<br />
sekaligus meningkatkan ketahanan wilayah terhadap dampak perubahan iklim di masa depan.<br />
Pengarus-utamaan (mainstreaming) perubahan iklim dalam sistem penataan ruang dengan demikian<br />
memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yaitu:<br />
a. Untuk memastikan penyelenggaraan penataan ruang telah mempertimbangkan potensi risiko<br />
perubahan iklim dan untuk menghindari dampak dari terjadinya perubahan iklim<br />
b. Untuk memastikan bahwa penyelenggaraan penataan ruang tidak mengakibatkan peningkatan<br />
kerentanan wilayah terhadap berbagai jenis bahaya akibat dampak peubahan iklim di seluruh<br />
sektor<br />
c. Untuk memastikan bahwa penyelenggaraan penataan ruang berkontribusi terhadap tujuan<br />
pembangunan dan upaya <strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan iklim di masa datang.<br />
Pendekatan yang digunakan dalam kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong><br />
perubahan iklim adalah:<br />
a. Pendekatan sektoral, dengan melihat sektor-sektor yang terkena dampak perubahan iklim dan<br />
mengkaji risiko yang dihadapi setiap wilayah terkait bahaya yang ditimbulkan sebagai dampak dari<br />
perubahan iklim di masa datang<br />
b. Pendekatan kewilayahan, dengan melihat kerentanan dan risiko dampak perubahan iklim yang<br />
dihadapi berdasarkan tipologi wilayah kepulauan di Indonesia dengan memperhatikan<br />
karakteristik dari masing-masing wilayah.<br />
II.4.4.1 Justifikasi<br />
Tujuan penataan ruang yang diharapkan mengarah pada upaya untuk menciptakan penataan ruang yang<br />
aman terhadap berbagai jenis risiko perubahan iklim, nyaman sebagai tempat tinggal dengan segala<br />
fasilitas pendukungnya, serta berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan penataan ruang yang diharapkan,<br />
ditetapkan kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim.<br />
Secara lebih detail, kebijakan dan strategi penataan ruang juga menggunakan metoda untuk<br />
mengidentifikasi isyu pengembangan wilayah terkait perubahan iklim dan penataan ruang nasional.<br />
Secara umum kerangka penyusunan rekomendasi kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka<br />
<strong>adaptasi</strong> perubahan iklim mengikuti Gambar di bawah ini.<br />
KAJIAN LITERATUR<br />
KONSEP TATA RUANG<br />
KONSEP ADAPTASI P.I.<br />
KONDISI WILAYAH<br />
KERENTANAN<br />
WILAYAH<br />
RISIKO PERUBAHAN IKLIM<br />
ISYU WILAYAH<br />
TUJUAN<br />
PENATAAN RUANG<br />
KEBIJAKAN<br />
PENATAAN RUANG<br />
Adaptasi Perubahan Iklim<br />
PEMANASAN GLOBAL<br />
PERUBAHAN IKLIM<br />
BAHAYA IKLIM<br />
STRATEGI<br />
PENATAAN RUANG<br />
KEBIJAKAN NASIONAL &<br />
PERATURAN PERUNDANG2AN<br />
RTRW NASIONAL
39 40<br />
Terkait dengan penetapan kebijakan dan strategi penataan ruang, peta risiko perubahan iklim dikaitkan,<br />
dilakukan identifikasi terhadap tingkat kerentanan dan risiko perubahan iklim di wilayah Indonesia serta<br />
kaitannya dengan RTRW <strong>Nasional</strong> yang telah ditetapkan. Tabel berikut juga digunakan dalam rangka<br />
mengkaitkan hasil kajian risiko perubahan iklim dengan sistem penataan ruang nasional, khususnya terkait<br />
sistem perkotaan nasional dan penetapan kawasan strategis nasional.<br />
TABEL. 8 IDENTIFIKASI TINGKAT KERENTANAN DAN RISIKO PERUBAHAN IKLIM<br />
TINGKAT<br />
SANGAT<br />
TINGGI<br />
TINGGI<br />
KERENTANAN RISIKO<br />
PKN PKW KSN PKN PKW KSN<br />
II.4.4.3 Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Terhadap Perubahan Iklim<br />
Terkait dengan penataan ruang, kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong> terhadap<br />
perubahan iklim secara umum bertujuan untuk:<br />
Meningkatkan penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah yang aman, nyaman dan<br />
berkelanjutan di masa sekarang dan yang akan datang dalam rangka mengurangi risiko<br />
wilayah terhadap dampak perubahan iklim terutama melalui upaya pengurangan risiko<br />
perubahan iklim.<br />
Menyiapkan ruang bagi pemenuhan kebutuhan aktivitas masyarakat di masa datang dengan<br />
mempertimbangkan daya dukung wilayah serta upaya pengurangan risiko perubahan iklim<br />
terutama melalui upaya mengurangi kerentanan wilayah terhadap bahaya perubahan iklim<br />
Meningkatkan kualitas penyediaan prasarana dan sarana wilayah yang berkelanjutan dengan<br />
mempertimbangkan tingkat risiko perubahan iklim dalam rangka menjamin kualitas hidup<br />
masyarakat<br />
Kebijakan dan strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim dikembangkan berdasarkan<br />
kondisi kerentanan dan risiko dampak perubahan iklim di masa datang serta isu pembangunan yang terkait<br />
dengan dampak perubahan iklim. Salah satu pertimbangan utama dalam perumusan kebijakan dan<br />
strategi penataan ruang dalam rangka <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim ini adalah kajian terhadap <strong>rencana</strong> tata<br />
ruang nasional. Maksudnya adalah untuk memberikan pertimbangan bagi pengembangan tata ruang<br />
nasional yang lebih berkelanjutan.<br />
Kebijakan<br />
KET.<br />
Kebijakan Penataan Ruang yang terpenting dalam perubahan iklim adalah pengarusutamaan perubahan<br />
iklim dalam pe<strong>rencana</strong>an tata ruang yang dilakukan agar dapat menjamin dan tidak mengakibatkan<br />
penurunan kerentanan wilayah serta meningkatkan ketahanan (resilience) wilayah terhadap potensi<br />
dampak perubahan iklim.<br />
Strategi<br />
Terkait dengan upaya pengarusutamaan perubahan iklim dalam penataan ruang nasional, salah satu<br />
strategi yang penting adalah memastikan bahwa penataan ruang melalui <strong>rencana</strong> tata ruang yang<br />
ditetapkan telah mempertimbangkan perubahan iklim dan sensitif terhadap perubahan iklim.<br />
Dengan demikian diharapkan <strong>rencana</strong> tata ruang wilayah yang ditetapkan dapat mendorong upaya<br />
pengurangan risiko wilayah terhadap perubahan iklim, baik melalui upaya pengurangan kerentanan<br />
maupun peningkatan kapasitas wilayah dalam menghadapi/ber<strong>adaptasi</strong> dengan perubahan iklim.<br />
Dalam dokumen RAN MAPI Kementerian Pekerjaan Umum 2012-2010, bidang penataan ruang secara<br />
umum memfokuskan upaya <strong>adaptasi</strong> Perubahan Iklim lebih lebih diarahkan pada identifikasi wilayah<br />
(kabupaten/kota) rentan terkena dampak Perubahan Iklim, dimana pada kawasan tersebut akan diberikan<br />
pendampingan dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), adapun strategi bidang penataan<br />
ruang menghadapi perubahan iklim adalah sebagai berikut :<br />
1. Identifikasi wilayah (kabupaten/kota) yang mengalami dampak perubahan iklim<br />
2. Pengarusutamaan konsep kota dan peran masyarakat yang memiliki dayatahan terhadap dampak<br />
perubahan iklim (Climate Change resilience)<br />
3. Pengembangan kapasitas kelembagaan dan jaringan mitigasi dan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim<br />
4. Penyediaan akses dan pengolahan terhadap data dan informasi terkait perubahan iklim terhadap<br />
tata ruang<br />
Sejalan dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PerMen PU Nomor 11<br />
Tahun 2009 tentang Pedoman persetujuan substansi dalam penetapan rancangan peraturan daerah<br />
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, semua<br />
<strong>rencana</strong> tata ruang wilayah perlu disesuaikan dengan peraturan perundangan yang baru. Saat ini<br />
merupakan momen dan waktu yang tepat sebagai inisiasi bagi upaya pengarusutamaan perubahan iklim<br />
dalam sistem penataan ruang.
41 42<br />
II.4.4.4 Matriks<br />
Kebijakan Strategi/Program Aksi<br />
Undang-Undang Nomor. 26 tahun 2007<br />
tentang Penataan Ruang<br />
1. Penyediaan akses dan pengolahan terhadap data<br />
dan informasi terkait perubahan iklim terhadap<br />
tata ruang<br />
1.1 Pemutakhiran data mengenai perubahan<br />
penggunaan lahan akibat perubahan iklim<br />
1.2 Pengolahan data geospasial<br />
2. Pe<strong>rencana</strong>an ruang<br />
2.1 Identifikasi kawasan (kabupaten/kota) yang<br />
mengalami dampak perubahan iklim<br />
2.2 Percepatan proses revisi RTRW Provinsi<br />
dan/atau Kabupaten/Kota yang terkena<br />
dampak perubahan iklim (poin 2.1)<br />
2.3 Penyiapan <strong>rencana</strong> detil tata ruang kawasan<br />
yang responsif secara fisik, secara teknologi,<br />
dan secara sosial<br />
3. Pemanfaatan ruang<br />
3.1 Penyediaan ruang terbuka hijau perkotaan<br />
minimal dengan luas 30% dari luas wilayah<br />
dalam rangka penurunan temperatur<br />
3.2 Urban restoration<br />
4. Pengendalian ruang<br />
4.1 Arahan peraturan zonasi pada kawasan yang<br />
terkena dampak perubahan iklim<br />
4.2 Arahan perijinan<br />
4.3 Perangkat insentif disinsentif<br />
4.4 Arahan sanksi berupa sanksi administratif<br />
5. Peningkatan kapasitas kelembagaan<br />
3.1 Pengembangan kegiatan <strong>adaptasi</strong> (capacity<br />
building) aparat<br />
3.2 Penyusunan model pemetaan ruang yang<br />
responsif terhadap perubahan iklim di k wilayah<br />
dan awasanperkotaan<br />
6. Pembinaan penataan ruang<br />
6.1 Penyiapan NSPK<br />
6.2 Sosialisasi <strong>rencana</strong> tata ruang dan NSPK<br />
7. Pengawasan<br />
7.1 Pemantauan dan evaluasi<br />
7.2 Pelaporan
43 44<br />
Strategi Adaptasi Perubahan<br />
20<br />
Iklim <strong>Nasional</strong><br />
III.1 Kemampuan Adaptasi<br />
Melalui skenario optimis IPCC, dimana dunia mengambil tindakan substansial untuk memotong emisi gas<br />
rumah kaca saat ini, gas rumah kaca atmosfer diperkirakan mencapai 450 ppm, menaikkan suhu global<br />
sebesar 2?C. Laporan ke-empat dari Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC akhir tahun<br />
2007 menyebutkan perubahan suhu akhir-akhir ini telah berdampak kepada banyak sistem fisik dan<br />
biologis alam. Tingkat kemungkinan ancaman perubahan iklim disebutkan high confidence, memiliki<br />
angka prosentase kebenaran sekitar 80%. Laporan kelompok kerja yang bertanggung jawab atas<br />
pengetahuan dan teknologi (Scientific & Technology) bahkan memperkirakan akhir abad 21, suhu bumi<br />
akan naik sebesar 1,8–4 C, sedangkan permukaan air laut akan naik setinggi 28 – 43 cm, jika tidak ada upaya<br />
serius menurunkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK). Laporan ini menunjukkan bahwa pemanasan global<br />
hingga tahun 2030 akan sedikit dipengaruhi oleh emisi gas rumah kaca dalam 20 tahun mendatang karena<br />
kelambanan dalam system iklim.<br />
Perkiraan Bank Dunia (2006) yang menyebutkan biaya atau bantuan pendanaan dari negara-negara maju<br />
untuk kegiatan <strong>adaptasi</strong> di negara berkembang dan miskin hanya akan terkumpul sebesar US$ 500 milyar.<br />
Padahal kerugian global akibat perubahan iklim mencapai US$ 4,4 triliun. Perdana Menteri Inggris, Gordon<br />
Brown mengajak negara-negara maju untuk menginvestasikan US$100 juta per tahun di negara-negara<br />
berkembang untuk mendukung low carbon growth. Most Vulnerable Countries Civil Society menyebut paling<br />
kecil dibutuhkan UD$50 juta –dari sedikitnya US$150 juta untuk kebutuhan negara-negara berkembang<br />
pada persoalan perubahan iklim. The Global Environment Facility (GEF), pengelola pendanaan <strong>adaptasi</strong><br />
20 Ditulis oleh Ari Muhammad<br />
dibawah konvensi telah menyepakati alokasi untuk inisiatif prioritas strategi <strong>adaptasi</strong> (Strategic Priority on<br />
<strong>Adaptation</strong> /SPA) sebesar $50 juta.<br />
Berdasarkan tinjauan Nicholas Stern (Ekonomi Perubahan iklim), Perubahan iklim merupakan sebuah<br />
21<br />
rintangan besar untuk pengurangan kemiskinan berkelanjutan di seluruh dimensi-dimensinya . Ancaman<br />
perubahan iklim terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development) akan memperlambat<br />
pencapaian pembangunan berkelanjutan, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk mendorong<br />
berkelanjutan, maka pembangunan harus secara tegas memasukkan persoalan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim<br />
serta mendorong kemampuan <strong>adaptasi</strong>nya.<br />
Khusus mengenai Indonesia, laporan IPCC tersebut menyebutkan bahwa kawasan Selatan akan mengalami<br />
penurunan curah hujan dan sebaliknya kawasan Utara akan mengalami peningkatan curah hujan. Ancaman<br />
kekeringan akibat gejala El-Nino tentunya pula (kembali) menjadi faktor pendorong kebakaran hutan yang<br />
selama ini telah menghilangkan jutaan hektar lahan hutan. Dampak perubahan iklim yang menjadi<br />
ancaman besar lainnya apabila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia adalah naiknya permukaan air<br />
laut (sea level rise). Ancaman terhadap naiknya permukaan air laut dan ancaman terhadap tenggelamnya<br />
pulau-pulau. Tenggelam atau hilangnya suatu pulau kecil merupakan salah satu fenomena yang akan pasti<br />
terjadi apabila dampak perubahan iklim tidak diindahkan.<br />
21 Negara berkembang berada pada keadaan geografis yang merugikan yang umumnya sudah berada pada kondisi lebih panas dan mereka juga menderita dari variasi curah hujan<br />
yang tinggi. Sebagai hasilnya, pemanasan lebih lanjut akan membawa biaya tinggi dan keuntungan yang sedikit bagi negara miskin. Mereka umumnya sangat bergantung pada<br />
pertanian, sektor yang paling sensitive terhadap iklim dib<strong>and</strong>ingkan semua sektor ekonomi, dan menderita karena kurangan fasilitas kesehatan dan pelayanan masyarakat yang<br />
berkualitas rendah. Pendapatan rendah dan kerentanan mereka membuat <strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan iklim menjadi sulit. Karena kerentanan-kerentanan ini, perubahan iklim<br />
sangat mungkin mengurangi pendapatan yang sudah rendah dan meningkatkan tingkat penyakit dan kematian di negara berkembang.
45 46<br />
nilai SOI positif = La Nina<br />
Nilai SOI negatif = El Nino<br />
Sumber: Australian Bureau of Meteorology<br />
Gambar 3. Jumlah titik panas per-tahun dan SOI (Southern Oscillation Index) di Indonesia<br />
tahun 2002-2007<br />
Data yang dimuat dalam OFDA/CRED International Disaster Database (2007), menyebut bahwa setelah tahun 1990-an<br />
merupakan periode dimana terdapat sepuluh bencana terbesar di Indonesia sepanjang periode tahun 1907 dan 2007.<br />
Sebagian besar bencana tersebut sangat terkait dengan iklim, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan<br />
penyakit. Total kerugian ekonomi mencapai kurang lebih 26 milyar dimana 70% dikontribusikan oleh iklim.<br />
Tabel 9. Luas tanaman padi terkena bencana banjir dan kekeringan dan puso (ha)<br />
pada tahun 1988-1997 (Yusmin, 2000)<br />
Tahun<br />
2000<br />
2001<br />
2002<br />
2003<br />
2004<br />
2005 (Feb)<br />
2005 (Nop)<br />
2006 (Feb)<br />
% 2006 (Feb)<br />
2005 (Nop)<br />
2006 (Feb)<br />
% 2006 (Feb)<br />
Sumber: http://iklim.dirgantara-lapan.or.id<br />
Total<br />
14.618,5<br />
14.194,1<br />
14.260,2<br />
12.158,9<br />
11.815,7<br />
12.473,8<br />
11.080,7<br />
11.783,0<br />
27,8<br />
11.080,7<br />
11.783,0<br />
27,8<br />
Total Total<br />
18.873,9<br />
18.104,3<br />
18.705,4<br />
20.635,2<br />
18.253,8<br />
19.616,6<br />
20.217,5<br />
20.812,5<br />
49,2<br />
20.217,5<br />
20.812,5<br />
49,2<br />
4.767,9<br />
5.200,3<br />
5.348,2<br />
7.557,7<br />
6.567,1<br />
6.913,8<br />
7.367,5<br />
7.188,0<br />
17,0<br />
7.367,5<br />
7.188,0<br />
17,0<br />
Total<br />
40.676,7<br />
39.751,0<br />
40.636,2<br />
43.047,5<br />
38.930,9<br />
41.869,1<br />
41.309,8<br />
42.323,2<br />
100<br />
41.309,8<br />
42.323,2<br />
100<br />
Laporan lain yang dibuat oleh Departemen Pekerjaan Umum bekerjasama dengan Kementri-an Negara<br />
Lingkungan Hidup (Country Report, 2007) menyebutkan bahwa dampak ancaman perubahan iklim yaitu<br />
naiknya permukaan air laut akan menjadi ancaman terhadap beberapa industri seperti; anjungan minyak<br />
dan gas di laut, transportasi, perikanan, pertanian dan ekowisata serta perkampungan masyarakat pesisir.<br />
Dengan kenaikan sekitar 1 meter, diperkirakan sekitar 405,000 ha dari lahan pesisir termasuk kepulauan<br />
kecil akan banjir.<br />
Berbagai studi/kajian yang dikumpulkan oleh Panel ilmiah untuk perubahan iklim atau IPCC/<br />
Intergovernmental Panel on Climate Change dan lembaga-lembaga riset lainnya yang berasal dari luar negeri<br />
dan dalam negeri menunjukkan tingkat kerentanan (vulnerability) negara ekonomi berkembang dan<br />
terbelakang yang relatif tinggi, plus kapasitas <strong>adaptasi</strong>nya yang relatif rendah.<br />
Kotak 1: Bencana yang terkait iklim di Indonesia<br />
º Berdasarkan hasil pemantauan kekeringan pada tanaman padi selama 10 tahun terakhir (1993-2002) yang<br />
dilakukan Departemen Pertanian, diperoleh angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan<br />
mencapai 220.380 ha dengan lahan puso mencapai 43.434 ha atau setara dengan kehilangan 190.000 ton<br />
gabah kering giling (GKG). Sedangkan, yang terl<strong>and</strong>a banjir seluas 158.787 ha dengan puso 39.912 ha<br />
(setara dengan 174.000 ton GKG) (Boer, 2003). Menurut Departemen Pertanian, dalam periode Januari-Juli<br />
2007, tercatat bahwa luas lahan pertanian yang mengalami kekeringan adalah 268.518 ha; 17.187 ha<br />
diantaranya mengalami puso (gagal panen). Hal tersebut berimplikasi pada penurunan produksi padi<br />
hingga 91.091 ton GKG.<br />
º Penurunan curah hujan akibat variabilitas iklim maupun perubahan musiman disertai dengan<br />
peningkatan temperatur telah menimbulkan dampak signifikan pada cadangan air. Pada tahun-tahun<br />
kejadian El Niño Southern Oscillation (ENSO), volume air di tempat penampungan air menurun cukup<br />
berarti (jauh di bawah normal), khususnya selama musim kering (Juni-September). Banyak pembangkit<br />
listrik memproduksi listrik jauh di bawah produksi normal pada tahun-tahun tersebut. Data dari 8 waduk (4<br />
waduk kecil dan 4 waduk besar di Pulau Jawa) menunjukkan bahwa selama tahun-tahun kejadian ENSO<br />
pada tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2004, dan 2006, sebagian besar pembangkit listrik yang dioperasikan<br />
di 8 waduk tersebut memproduksi listrik di bawah kapasitas normal (Indonesia Country Report, 2007).<br />
º Peningkatan temperatur air laut khususnya saat El Niño 1997 telah menyebabkan masalah serius pada<br />
ekosistem terumbu karang. Wetl<strong>and</strong>s International (Burke et al., 2002) melaporkan bahwa El Niño pada<br />
tahun tersebut telah menghancurkan sekitar 18% ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan<br />
terumbu karang (coral bleaching) telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera,<br />
Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang yang berada di kedalaman 25<br />
m sebagian telah mengalami pemutihan.<br />
º Variasi cuaca seperti ENSO, telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran penyakit seperti malaria,<br />
demam berdarah, diare, kolera, dan penyakit akibat vektor lainnya. World Health Organization (WHO) juga<br />
menyatakan bahwa penyebaran penyakit malaria dipicu oleh terjadinya curah hujan di atas normal dan<br />
dipengaruhi juga oleh pergantian cuaca yang kurang stabil, seperti setelah hujan lebat cuaca berganti
47 48<br />
menjadi panas terik matahari yang menyengat. Hal tersebut mendorong perkembangbiakan nyamuk<br />
dengan cepat<br />
º Di Indonesia, peningkatan curah hujan di atas normal terjadi khususnya pada tahun-tahun La Niña. Kasus<br />
demam berdarah dengue (DBD) juga ditemukan meningkat signifikan pada tahun-tahun terakhir ini.<br />
Berdasarkan data kejadian DBD di berbagai kota besar di Indonesia, laju kejadian DBD di Pulau Jawa dalam<br />
kurun waktu 1992 hingga 2005 meningkat secara konsisten (Indonesia Country Report, 2007)<br />
º Data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu hanya dua tahun,<br />
yaitu 2005–2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara. Lokasi ke-24 pulau yang<br />
tenggelam tersebut adalah sebagai berikut: tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di<br />
Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan<br />
tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut diakibatkan<br />
oleh erosi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu,<br />
bencana tsunami Aceh 2004 juga berdampak pada tenggelamnya tiga pulau kecil setempat. Kehilangan<br />
pulau-pulau kecil ini terutama yang berada di daerah perbatasan dengan negara lain akan berdampak<br />
hukum yang merugikan Indonesia. Karena dengan kehilangan pulau-pulau tersebut (yang semula jadi<br />
penentu tapal batas Indonesia dengan negara tetangga) wilayah perairan Indonesia akan berkurang. Hal<br />
ini perlu diantisipasi mengingat kemungkinan di wilayah tersebut terdapat sumber mineral.<br />
º Dari segi ekonomi, menurut World Disaster Report (2001), kerugian akibat bencana iklim di tingkat global<br />
yang terjadi sekarang dib<strong>and</strong>ing dengan yang terjadi di tahun 1950-an sudah meningkat 14 kali, yaitu<br />
mencapai US$ 50-100 milyar per tahun. Demikian juga jumlah kematian akibat bencana iklim meningkat<br />
50% per dekadenya. Pada tahun 2050, apabila pemanasan global terus terjadi dan tidak ada upaya-upaya<br />
<strong>adaptasi</strong> yang te<strong>rencana</strong> dilakukan dari sekarang, maka diperkirakan kerugian ekonomi akibat bencana<br />
iklim akan meningkat mencapai US$ 300 milyar per tahun dan jumlah kematian bisa mencapai 100 ribu<br />
orang per tahun (SEI, IUCN, dan IISD, 2001). Upaya <strong>adaptasi</strong> yang dilakukan sejak dini akan dapat<br />
mengurangi kerugian akibat bencana secara signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa setiap<br />
1 USD yang dikeluarkan untuk melakukan upaya <strong>adaptasi</strong> dapat menyelamatkan sekitar 7 USD biaya yang<br />
harus dikeluarkan untuk pemulihan akibat dampak dari bencana iklim (Biemans et al., 2006).<br />
Sumber:<br />
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1696&Itemid=195<br />
III.2 Kebutuhan Strategi Adaptasi di Indonesia<br />
Walau indikator negara atau wilayah yang dikategorikan rentan masih menjadi perdebatan di<br />
sidang Subsidiary Body for Scientific <strong>and</strong> Technological Advice (badan pembantu UNFCCC yang<br />
menangani masalah-masalah teknis dan ilmiah), namun Indonesia sebagai negara yang masih<br />
banyak memiliki persoalan pembangunan sosial dan ekonomi serta lingkungan hidup akan<br />
semakin terdorong ke dalam wilayah yang sangat rentan dengan kemampuan daya tahan<br />
(resilience) yang rendah. Bencana salah urus tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang besar.<br />
tentunya faktor perubahan iklim akan mempercepat dan memperparah kondisi rentan dan<br />
lemahnya daya tahan tadi.<br />
Dari sisi geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis<br />
pantai lebih dari 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 sehingga<br />
wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan<br />
keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir<br />
seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) 22 dan padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al.<br />
1996).<br />
Oleh sebab itu penguatan kapasitas <strong>adaptasi</strong> menjadi hal yang krusial dan urgent. Kuat atau<br />
lemahnya kapasitas <strong>adaptasi</strong> dapat dilihat dari sisi eksternal seperti daya dukung ekosistem dan<br />
lingkungan saat ini, juga sisi internal yang dilihat dari kesiapan perangkat regulasi dan<br />
kelembagaan, anggaran serta sumberdaya manusia.<br />
climate change:<br />
Global warming<br />
Ÿ productivity increase<br />
Ÿ Latitudinal migraion of<br />
ecosystems<br />
first order effects:<br />
Rainfall changes, extreme<br />
events <strong>and</strong> disasters<br />
Ÿ structural changes of<br />
ecosystems<br />
Ÿ changes in bio-geo chemical<br />
cycles<br />
Gambar 4. Efek Perubahan Iklim pada Level yang Berbeda<br />
second order effects:<br />
Droughts, floods,<br />
fires, plagues<br />
Ÿ forest fires<br />
Ÿ changes in structure<br />
<strong>and</strong> function of the<br />
ecosystem<br />
forest ecosystems <strong>and</strong> forest sector: Autonomous adaptation capacity<br />
other natural <strong>and</strong> human systems<br />
22 World Resource Institute (WRI) (2002) mengestimasi bahwa luas terumbu karang di Indonesia adalah sekitar 51.000 km.
49 50<br />
Aktifitas yang saat ini telah dilakukan untuk memperkuat kapasitas <strong>adaptasi</strong> oleh beberapa sektor dan<br />
departemen harus juga menyentuh persoalan regulasi, sebaliknya tidak semata menjawab persoalan<br />
teknis. Kebijakan besar yang dituangkan ke dalam Rencana Aksi <strong>Nasional</strong> Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-<br />
API) harus dipertajam melalui instrumen-instrumen lainnya untuk mendukung implementasinya.<br />
Berbagai dokumen <strong>rencana</strong> aksi, baik yang telah dikeluarkan oleh KLH dengan Rencana Aksi Mitigasi dan<br />
Adaptasi Perubahan Iklim (RAN MAPI) pada tahun 2007, kemudian disusul dengan dokumen Pe<strong>rencana</strong>an<br />
Pembangunan <strong>Nasional</strong>: Indonesia Menjawab Perubahan Iklim (dikenal dengan istilah yellow book), yang<br />
dikeluarkan oleh Bappenas. Dokumen ini mencakup Policy Matrix tiga tahunan yang dibagi menjadi tiga<br />
bagian: mitigasi, <strong>adaptasi</strong>, dan isu lintas-sektoral. Untuk kegiatan <strong>adaptasi</strong> difokuskan kepada sektor pesisir<br />
dan kelautan, pertanian dan sumber daya air.<br />
Pada tahun 2009, Pemerintah melalui Badan Pe<strong>rencana</strong>an Pembangunan <strong>Nasional</strong>/Bappenas meluncurkan<br />
peta jalan bagi sektor-sektordalam mengimplementasikan kebijakan perubahan iklim di Indonesia<br />
(Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap/ICCSR) pada tahun 2009 yang diharapkan menjadi pedoman<br />
bagi semua pihak dalam mencegah dan mengurangi dapak perubahan iklim. Pada tahun itu juga,<br />
diperkenalkan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), sebuah lembaga di ‘bawah naungan’ Bappenas<br />
untuk menutupi kebutuhan kegiatan yang telah dipetakan tadi. Dana yang dipakai bersumber hibah negara<br />
maju.Terdapat strategi sembilan (9) sektor yang ada pada dokumen ICCSR, yaitu; 1) Kehutanan, 2) energi, 3)<br />
industri, 4) transportasi, 5) limbah, 6) pertanian, 7) kelautan dan perikanan, 8) sumber daya air dan 9)<br />
kesehatan<br />
III.3 Pengarus-utamaan Adaptasi<br />
Tingkat intervensi kebijakan harus dilihat dengan perkembangan informasi yang ada serta kebutuhan nyata<br />
wilayah atau pulau tersebut. Oleh sebab itu analisa dan respon dampak perubahan ekosistem, sosial/<br />
ekonomi serta budaya (termasuk menggali dan menggunakan kearifan lokal) merupakan prioritas yang<br />
harus dilakukan oleh pemerintah.<br />
Dengan mendorong pengarusutamaan <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim kedalam agenda pembangunan nasional<br />
atau daerah, pertimbangan-pertimbangan risiko dan dampak perubahan iklim diterjemahkan tidak saja<br />
dalam <strong>rencana</strong> strategis jangka menengah, namun juga ke dalam kebijakan dan struktur kelembagaan.<br />
Pengarusutamaan strategi <strong>adaptasi</strong> ke dalam kebijakan tiap sektor di tingkat nasional dan lokal merupakan<br />
prioritas yang tidak bisa ditawar-tawar. Perumusannya yang melibatkan sektor-sektor yang terkait dan<br />
stakeholder lainnya serta mengikuti metodologi yang telah ada saat ini dipastikan menghasilkan sebuah<br />
dokumen yang aplikatif.<br />
Bentuk <strong>adaptasi</strong> yang menjadi sasaran dari kolektivitas komponen-komponen adalah terwujudnya sistem<br />
dan kebijakan ke arah yang mendukung <strong>adaptasi</strong> yang di<strong>rencana</strong>kan, yang merupakan hasil keputusan<br />
kebijakan berdasarkan kesadaran dan komitmen serta <strong>adaptasi</strong> publik, yaitu yang diinisiasi dan<br />
dilaksanakan oleh pemerintah di setiap level (adanya kebutuhan bersama).’Kedua pendekatan’ ini muncul<br />
sebagai respon dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor strategis yang berpengaruh pada nilai<br />
budaya, sosial dan ekonomi masyarakat.<br />
III.4 Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengelolaan<br />
Resiko Bencana<br />
Dalam perspektif bencana, dengan dikeluarkannya Undang-undang tentang Penanggulangan<br />
Bencana (UU Nomor 24 tahun 2007) maka pengelolaan resiko bencana harus menjadi satu potret<br />
utuh dimana pencegahan bencana terkait dengan upaya <strong>adaptasi</strong>. Oleh sebab itu adanya strategi<br />
dan harmonisasi agenda nasional atau daerah mengenai <strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan iklim ke<br />
dalam strategi penanggulangan bencana di masing-masing wilayah menjadi langkah yang<br />
mendesak dan tepat.<br />
Sampai saat ini, informasi dan pemahaman yang terintegrasi dan menyeluruh terkait bencana dan<br />
<strong>adaptasi</strong> akibat perubahan iklim di Indonesia masih merupakan sesuatu yang langka dalam<br />
pengelolaan bencana atau kebijakan perubahan iklim. Informasi dan pemahamn banyak yang<br />
masih terkotak-kotak dan partial sehingga derajat kapasitas penanggulangan bencana dan<br />
<strong>adaptasi</strong> ditempatkan dalam kotak yang berbeda. Kondisi ini berpengaruh pada strategi<br />
penanggulangan bencana dan <strong>adaptasi</strong> yang diberlakukan atau akan menjadi <strong>rencana</strong> kebijakan<br />
pembangunan nasional atau daerah.<br />
Oleh sebab itu dalam kerangka pengintegrasian persoalan penanggulangan bencana dalam<br />
bingkai <strong>adaptasi</strong> perubahan iklim, dibutuhkan adanya pemahaman yang utuh antara <strong>adaptasi</strong><br />
perubahan iklim dan prosedur serta sistem penanggulangan bencana melalui kemampuan untuk<br />
mengidentifikasi praktek pengurangan resiko dan dampak bencana dalam bingkai <strong>adaptasi</strong><br />
perubahan iklim. Dengan demikian proyek <strong>adaptasi</strong> sepatutnya turut dalam memberikan<br />
pemikiran dan konsepnya mengenai penanggulangan bencana dalam bingkai <strong>adaptasi</strong><br />
perubahan iklim dan menyusun strategi kampanye dan pendidikan mengenai perubahan iklim<br />
dan penanggulangan bencana di daerah masing-masing.<br />
III.5 Kelompok Kerja Adaptasi Perubahan Iklim<br />
Kehadiran kebijakan pada level <strong>Nasional</strong> dan Daerah dalam mengantisipasi ancaman dan dampak<br />
perubahan iklim sangat diperlukan untuk menilai kesiapan dan ‘kesungguhan’ melalui<br />
perangkat/instrument yang dimilikinya. Tinggi atau rendahnya antisipasi ini sangat menentukan<br />
terhadap peluang ancaman yang ditimbulkan terhadap target pertumbuhan ekonomi dan<br />
capaian pembangunan lainnya yang telah ditetapkan dalam <strong>rencana</strong> pembangunan jangka<br />
menengah dan panjang. Sebagian besar sumber pendapatan ekonomi bangsa Indonesia sangat<br />
bergantung kepada kondisi iklim.<br />
Pertanian, perkebunan dan perikanan adalah contoh dari sektor utama pembangkit ekonomi<br />
sekaligus pilar penyangga ketahanan pangan. Oleh sebab itu adanya faktor luar terhadap kondisi<br />
iklim yang dapat mengganggu sudah pasti berpengaruh buruk pada sumber-sumber ekonomi<br />
tadi. Dalam lingkup lokal ancaman dan dampak perubahan iklim berpotensi menimbulkan<br />
gangguan ekonomi secara mikro. Bila saja ancaman perubahan iklim ini terlambat untuk<br />
diantisipasi secara nasional maka dapat dipastikan terjadi gangguan ekonomi secara makro.<br />
Artinya begitu besar tantangan yang harus dibenahi yang membutuhkan upaya luar biasa, mulai<br />
dari <strong>rencana</strong> pembangunan, dukungan pendanaan dan tentunya teknologi.
51 52<br />
Namun tentunya, belum terpenuhinya langkah-langkah atau upaya tadi bukan berarti tak ada upaya serius<br />
yang harus dilakukan karena ancaman dan dampak perubahan iklim serta iklim ekstrem telah dirasakan<br />
pengaruhnya. Kembali, yang paling rentan tentunya adalah masyarakat yang sumber kehidupannya<br />
bergantung pada iklim dan masyarakat yang tak memiliki pilihan disaat tempat tinggalnya mengalami<br />
dampak yang ditimbulkannya seperti banjir dan longsor disaat hujan turun dengan intensitas yang tinggi<br />
dan ancaman kebakaran hutan, kekeringan, krisis air bersih di saat kemarau panjang.<br />
Sebagai salah satu kelompok kerja (pokja) di <strong>Dewan</strong> <strong>Nasional</strong> Perubahan Iklim, pokja <strong>adaptasi</strong> berjalan pada<br />
koridor tugas yang dim<strong>and</strong>atkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) nomor 46 tahun 2008, yaitu (turut<br />
memfasilitasi) perumusan kebijakan, strategi, program nasional <strong>adaptasi</strong> dan mengkoordinasikannya serta<br />
(membantu fungsi) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan. Dalam konferensi dan pertemuanpertemuan<br />
internasional mengenai perubahan iklim, pokja <strong>adaptasi</strong> memiliki tugas untuk memperkuat<br />
posisi Indonesia. Arah strategis penanganan perubahan iklim DNPI adalah mewujudkan pembangunan<br />
rendah emisi karbon dan pembangunan berkelanjutan yang mampu ber<strong>adaptasi</strong> terhadap perubahan<br />
iklim. Oleh karenanya, program dari Pokja ini diarahkan pula untuk mendukung kebijakan strategis DNPI,<br />
yaitu diprioritaskan pada upaya penguatan kapasitas <strong>adaptasi</strong> pada tingkat nasional dan daerah. Pada<br />
tingkat daerah, fokus perhatian terhadap pengembangan kegiatan <strong>adaptasi</strong> dalam pe<strong>rencana</strong>an<br />
pembangunan daerah.<br />
Peran yang dijalankan dimaknai sebagai katalisator untuk mengintegrasikan <strong>rencana</strong> dan pelaksanaan<br />
kegiatan yang dilakukan oleh sektor-sektor yang bertanggungjawab langsung dengan lingkup program,<br />
kegiatan/aktifitasnya. Dengan demikian isu strategis yang muncul adalah menempatkan peran, tugas dan<br />
fungsi pokja yang mampu mengkoordinasikan dan mengharmonisasikan kebijakan sektor terkait strategi<br />
menghadapi ancaman dan dampak perubahan iklim.<br />
Oleh sebab itu langkah yang harus dilakukan pokja adalah mempersiapkan kerangka kerja yang menjadi<br />
prioritas dengan capaian kerja yang terukur. Peran memfasilitasi inisiatif daerah untuk memasukkan<br />
perubahan iklim ke dalam kebijakan lokal menjadi peran yang juga dilakukan oleh pokja ini. Adanya urgensi<br />
kebutuhan, akan menjadi salah satu keinginan kuat daerah. Kharakteristik geografi, demografi dan<br />
topografi masing-masing wilayah menjadi alasan adanya pendekatan yang berbeda. Peluang lebih dekat<br />
untuk mengetahui iklim mikro lebih mudah untuk dilakukan dan validitas kebijakan yang dirumuskan lebih<br />
dapat dipertanggungjawabkan karena didasari oleh data proyeksi iklim mikro di wilayah atau daerah<br />
tersebut. Sehingga upaya <strong>adaptasi</strong> lebih merupakan tindakan proaktif dari kecenderungan yang akan<br />
terjadi.