Chapter%20II
Chapter%20II
Chapter%20II
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
2.1 Tanah Lempung<br />
BAB II<br />
TINJAUAN PUSTAKA<br />
Tanah lempung dan mineral lempung adalah tanah yang memiliki partikel-<br />
partikel mineral tertentu yang “menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila<br />
dicampur dengna air” (Grim, 1953). Partikel-partikel tanah berukuran yang lebih<br />
kecil dari 2 mikron (=2µ), atau
Kebanyakan jenis tanah terdiri dari banyak campuran atau lebih dari satu<br />
macam ukuran partikel. Tanah lempung belum tentu terdiri dari partikel lempung<br />
saja, akan tetapi dapat bercampur butir-butiran ukuran lanau maupun pasir dan<br />
mungkin juga terdapat campuran bahan organik.<br />
Guna menunjang pengkajian dan penelitian terhadap ”Pengaruh Penambahan<br />
Abu Caangkang sawit Terhadap Daya Dukung dan Kuat Tekan Pada Tanah Lempung<br />
Ditinjau Dari Uji UCT dan CBR Laboratorium“, maka dibutuhkan pengetahuan serta<br />
pemahaman yang baik tentang sifat-sifat tanah berdasarkan teori yang ada terdiri dari<br />
sifat fisik (Index Properties) dan sifat keteknikan (Enginering Properties),<br />
pemahaman kedua sifat ini sangatlah penting untuk diketahui sebagai dasar dalam<br />
mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan perekayasaan pondasi (jalan,<br />
jembatan, bendungan dan lainnya).<br />
Sifat fisik dan sifat keteknikan tanah, lebih ditentukan oleh jenis dari<br />
klasifikasi tanah itu sendiri. Pengklasifikasian tanah dimaksudkan untuk<br />
mempermudah pengelompokkan berbagai jenis tanah ke dalam kelompok tanah yang<br />
sesuai dengan sifat teknik dan karakteristiknya. Pengelompokkan tanah menempatkan<br />
tanah dalam 3 kelompok, tanah berbutir kasar, tanah berbutir halus dan tanah organis.<br />
Berdasarkan USCS tanah berbutir kasar adalah yang mempunyai<br />
persentase lolos saringan nomor 200
Tanah berbutir halus dibagi dalam Lanau (M), Lempung (C) yang didasarkan<br />
pada batas cair dan indeks plastisitasnya. Tanah Organis juga termasuk dalam<br />
kelompok tanah berbutir halus.<br />
Konsistensi dari tanah lempung dan tanah kohesif lainnya sangat dipengaruhi<br />
oleh kadar air. Indeks plastisitas dan batas cair dapat digunakan untuk menentukan<br />
karateristik pengembangan. Karakteristik pengembangan hanya dapat diperkirakan<br />
dengan menggunakan indeks plastisitas, ( Holtz dan Gibbs, 1962 ).<br />
Dikarenakan sifat plastis dari suatu tanah adalah disebabkan oleh air yang<br />
terserap disekeliling permukaan partikel lempung, maka dapat diharapkan bahwa tipe<br />
dan jumlah mineral lempung yang dikandung didalam suatu tanah akan<br />
mempengaruhi batas plastis dan batas cair tanah yang bersangkutan.<br />
2.2 Sistem Klasifikasi Tanah<br />
Sistem klasifikasi tanah dibuat pada dasarnya untuk memberikan informasi<br />
tentang karakteristik dan sifat-sifat fisis tanah. Karena variasi sifat dan perilaku tanah<br />
yang begitu beragam, sistem klasifikasi secara umum mengelompokan tanah ke<br />
dalam kategori yang umum dimana tanah memiliki kesamaan sifat fisis. Sistem<br />
klasifikasi bukan merupakan sistem identifikasi untuk menentukan sifat-sifat mekanis<br />
dan geoteknis tanah. Karenanya, klasifikasi tanah bukanlah satu-satunya cara yang<br />
digunakan sebagai dasar untuk perencanaan dan perancangan konstruksi. Pada<br />
awalnya, metode klasfikasi yang banyak digunakan adalah pengamatan secara kasat-<br />
mata (visual identification) melalui pengamatan tekstur tanah. Selanjutnya, ukuran<br />
Universitas Sumatera Utara
utiran tanah dan plastisitas digunakan untuk identifikasi jenis tanah. Karakteristik<br />
tersebut digunakan untuk menentukan kelompok klasifikasinya. Sistem klasifikasi<br />
tanah yang umum digunakan untuk mengelompokan tanah adalah Unfied Soil<br />
Clasification System (USCS). Sistem ini didasarkan pada sifat-sifat indek tanah yang<br />
sederhana seperti distribusi ukuran butiran, batas cair dan indek plastisitasnya.<br />
Disamping itu, terdapat sistem lainnya yang juga dapat digunakan dalam identifikasi<br />
tanah seperti yang dibuat oleh American Association of State Highway and<br />
Transportation Officials Classfication (AASHTO), British Soil Classification System<br />
(BSCS), dan United State Department of Agriculture (USDA). Dalam penelitian ini<br />
digunakan klasifikasi tanah berdasarkan USCS dan AASHTO.<br />
2.2.1 Sistem Klasifikasi Tanah Menurut USCS<br />
Klasifikasi tanah sistem ini diajukan pertama kali oleh Casagrande dan<br />
selanjutnya dikembangkan oleh United State Bureau of Reclamation (USBR) dan<br />
United State Army Corps of Engineer (USACE). Kemudian American Society for<br />
Testing and Materials (ASTM) telah memakai USCS sebagai metode standar guna<br />
mengklasifikasikan tanah. Dalam bentuk yang sekarang, sistem ini banyak digunakan<br />
dalam berbagai pekerjaan geoteknik. Dalam USCS seperti pada Gambar 2.1 suatu<br />
tanah diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama yaitu:<br />
1. Tanah berbutir kasar (coarse-grained soils) yang terdiri atas kerikil dan pasir<br />
yang mana kurang dari 50% tanah yang lolos saringan No. 200 (F200 < 50).<br />
Simbol kelompok diawali dengan G untuk kerikil (gravel) atau tanah<br />
Universitas Sumatera Utara
plastisitasnnya berada dibawah garis A. Lanau, lempung dan tanah organis dibagi lagi<br />
menjadi batas cair yang rendah (L) dan tinggi (H). Garis pembagi antara batas cair<br />
yang rendah dan tinggi ditentukan pada angka 50 seperti:<br />
1. Kelompok ML dan MH adalah tanah yang diklasifikasikan sebagai lanau pasir,<br />
lanau lempung atau lanau organis dengan plastisitas relatif rendah. Juga<br />
termasuk tanah jenis butiran lepas, tanah yang mengandung mika juga beberapa<br />
jenis lempung kaolinite dan illite.<br />
2. Kelompok CH dan CL terutama adalah lempung organik. Kelompok CH adalah<br />
lempung dengan plastisitas sedang sampai tinggi mencakup lempung gemuk.<br />
Lempung dengan plastisitas rendah yang dikalsifikasikan CL biasanya adalah<br />
lempung kurus, lempung kepasiran atau lempung lanau.<br />
3. Kelompok OL dan OH adalah tanah yang ditunjukkan sifat-sifatnya dengan<br />
adanya bahan organik. Lempung dan lanau organik termasuk dalam kelompok<br />
ini dan mereka mempunyai plastisitas pada kelompok ML dan MH.<br />
2.2.2 Sistem Klasifikasi Tanah AASHTO<br />
Sistem klasifikasi AASHTO berguna untuk menentukan kualitas tanah guna<br />
pekerjaan jalan yaitu lapis dasar (subbase) dan tanah dasar (subgrade). Karena sistem<br />
ini ditujukan untuk pekerjaan jalan tersebut, maka penggunaan sistem ini dalam<br />
prakteknya harus dipertimbangkan terhadap maksud aslinya. Sistem ini membagi<br />
tanah ke dalam 7 kelompok utama yaitu A-1 sampai dengan A-7. Tanah yang<br />
terklasifikasikan dalam kelompok A-1, A-2, dan A-3 merupakan tanah granuler yang<br />
Universitas Sumatera Utara
2.3 Karakteristik Fisik Tanah Lempung Lunak<br />
Menurut Bowles (1989), mineral-mineral pada tanah lempung umumnya<br />
memiliki sifat-sifat:<br />
1. Hidrasi.<br />
Partikel mineral lempung biasanya bermuatan negatif sehingga partikel<br />
lempung hampir selalu mengalami hidrasi, yaitu dikelilingi oleh lapisan-<br />
lapisan molekul air yang disebut sebagai air teradsorbsi. Lapisan ini pada<br />
umumnya mempunyai tebal dua molekul karena itu disebut sebagai lapisan<br />
difusi ganda atau lapisan ganda. Lapisan difusi ganda adalah lapisan yang<br />
dapat menarik molekul air atau kation disekitarnya. Lapisan ini akan hilang<br />
pada temperatur yang lebih tinggi dari 60 0 sampai 100 0 C dan akan<br />
mengurangi plasitisitas alamiah, tetapi sebagian air juga dapat menghilang<br />
cukup dengan pengeringan udara saja.<br />
2. Aktivitas.<br />
Hasil pengujian index properties dapat digunakan untuk mengidentifikasi<br />
tanah ekspansif. Hardiyatmo (2006) merujuk pada Skempton (1953)<br />
mendefinisikan aktivitas tanah lempung sebagai perbandingan antara Indeks<br />
Plastisitas (IP) dengan prosentase butiran yang lebih kecil dari 0,002 mm<br />
yang dinotasikan dengan huruf C, disederhanakan dalam persamaan:<br />
(2.1)<br />
Universitas Sumatera Utara
Untuk nilai A>1,25 digolongkan aktif dan sifatnya ekspansif. Nilai A<br />
1,25
flokulasi. Untuk menghindari flokulasi larutan air dapat ditambahkan zat<br />
asam.<br />
4. Pengaruh Zat cair<br />
Fase air yang berada di dalam struktur tanah lempung adalah air yang tidak<br />
murni secara kimiawi. Pada pengujian di laboratorium untuk batas Atterberg,<br />
ASTM menentukan bahwa air suling ditambahkan sesuai dengan keperluan.<br />
Pemakaian air suling yang relatif bebas ion dapat membuat hasil yang cukup<br />
berbeda dari apa yang didapatkan dari tanah di lapangan dengan air yang telah<br />
terkontaminasi.<br />
Air yang berfungsi sebagai penentu sifat plastisitas dari lempung. Satu<br />
molekul air memiliki muatan positif dan muatan negative pada ujung yang<br />
berbeda (dipolar). Fenomena hanya terjadi pada air yang molekulnya dipolar<br />
dan tidak terjadi pada cairan yang tidak dipolar seperti karbon tetrakolrida<br />
(Ccl4) yang jika dicampur lempung tidak akan terjadi apapun.<br />
5. Sifat kembang susut (swelling potensial)<br />
Plastisitas yang tinggi terjadi akibat adanya perubahan syistem tanah dengan<br />
air yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan gaya-gaya didalam<br />
struktur tanah. Gaya tarik yang bekerja pada partikel yang berdekatan yang<br />
terdiri dari gaya elektrostatis yang bergantung pada komposisi mineral, serta<br />
gaya van der Walls yang bergantung pada jarak antar permukaan partikel.<br />
Partikel lempung pada umumnya berbentuk pelat pipih dengan permukaan<br />
bermuatan likstik negatif dan ujung-ujungnya bermuatan posistif. Muatan<br />
Universitas Sumatera Utara
negatif ini diseimbangkan oleh kation air tanah yang terikat pada permukaan pelat<br />
oleh suatu gaya listrik. Sistem gaya internal kimia-listrik ini harus dalam keadaan<br />
seimbang antara gaya luar dan hisapan matrik. Apabila susunan kimia air tanah<br />
berubah sebagai akibat adanya perubahan komposisi maupun keluar masuknya air<br />
tanah, keseimbangan gaya–gaya dan jarak antar partikel akan membentuk<br />
keseimbangna baru. Perubahan jarak antar partikel ini disebut sebagai proses<br />
kembang susut.<br />
Tanah-tanah yang banyak mengandung lempung mengalami perubahan<br />
volume ketika kadar air berubah. Perubahan itulah yang membahayakan bagunan.<br />
Tingkat pengembangan secara umum bergantung pada beberapa faktor yaitu:<br />
1. Tipe dan jumlah mineral yang ada di dalam tanah.<br />
2. Kadar air.<br />
3. Susunan tanah.<br />
4. Konsentrasi garam dalam air pori.<br />
5. Sementasi.<br />
6. Adanya bahan organik, dll.<br />
2.3.1 Identifikasi Tanah Lempung Lunak<br />
Menurut Chen (1975), cara-cara yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi<br />
tanah ekspansif dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:<br />
1. Identifikasi mineralogi<br />
2. Cara tidak langsung (indeks tunggal)<br />
Universitas Sumatera Utara
1. Identifikasi minerallogi<br />
Analisa Minerologi sangat berguna untuk mengidentifikasi potensi kembang<br />
susut suatu tanah lempung. Identifikasi dilakukan dengan cara:<br />
- Difraksi sinar X (X-Ray Diffraction).<br />
- Difraksi sinar X (X-Ray Fluorescence)<br />
- Analisi Kimia (Chemical Analysis)<br />
- Mikroskop Elektron (Scanning Electron Microscope).<br />
2. Cara tidak langsung (single index method)<br />
Hasil uji sejumlah indeks dasar tanah dapat digunakan untuk evaluasi berpotensi<br />
ekspansif atau tidak pada suatu contoh tanah. Uji indeks dasar adalah uji batas-<br />
batas Atterberg, linear shrinkage test (uji susut linear), uji mengembang bebas.<br />
Untuk melengkapi data dari contoh tanah yang digunakan dalam penelitian<br />
ini, dilakukan beberapa pengujian pendahuluan. Pengujian tersebut meliputi uji sifat-<br />
sifat fisis tanah.<br />
2.3.1.1 Specific Gravity ( Gs )<br />
Harga secific gravity (Gs) dari butiran tanah sangat berperan penting dalam<br />
bermacam-macam keperluan perhitungan mekanika tanah. Harga-harga itu dapat<br />
ditentukan secara akurat dilaboraturium. Tabel 2.4 menunjukan harga-harga specific<br />
gravity beberapa mineral yang umum terdapat pada tanah.<br />
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Specific gravity mineral-mineral penting pada tanah (Das, 1994)<br />
Mineral Specific gravity<br />
Quarts (kwarsa)<br />
Kaolinite<br />
Illite<br />
Montmorillonite<br />
Halloysite<br />
Potassium feldspar<br />
Sodium and calcium feldspar<br />
Chlorite<br />
Biorite<br />
Muscovite<br />
Horn blende<br />
Limonite<br />
Olivine<br />
2.65<br />
2.60<br />
2.80<br />
- 2.80<br />
- 2.55<br />
2.57<br />
2.62 – 2.76<br />
2.60 – 2.90<br />
2.80 – 3.20<br />
2.76 – 3.10<br />
3.00 – 3.47<br />
3.60 – 4.00<br />
3.27 – 3.37<br />
Sebagian dari mineral – mineral tersebut mempunyai specific gravity berkisar<br />
antara 2,6 sampai dengan 2,9. Specific gravity dari bagian padat tanah pasir yang<br />
berwarna terang, umumnya sebagian besar terdiri dari quartz, dapat diperkirakan<br />
sebesar 2,65 untuk tanah lempung atau berlanau, harga tersebut berkisar antara 2,6 –<br />
2,9 dengan persamaan seperti dibawah ini:<br />
Gs = (2.2)<br />
Nilai-nilai specific grafity untuk berbagai jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.3.<br />
Tabel 2.3 Specific gravity tanah (Hardiyatmo, 2006)<br />
Macam tanah Specific Gravity<br />
Kerikil<br />
2,65 – 2,68<br />
Pasir<br />
2,65 – 2,68<br />
Lanau anorganik<br />
2,62 – 2,68<br />
Lanau organik<br />
2,58 – 2,65<br />
Lempung anorganik<br />
2,68 – 2,75<br />
Humus<br />
1,37<br />
Gambut<br />
1,25 – 1,80<br />
Universitas Sumatera Utara
Berat isi dalam tanah didefenisikan sebagai rasio antara berat jenis zat pada<br />
partikel tanah dengan berat isi air seperti yang ditunjukkan pada persamaan:<br />
Dimana Gs = specific gravity<br />
Gs= (2.3)<br />
s = berat volume air pada temperatur 4 0 C (gr/cm 3 )<br />
w = berat volume butiran padat (gr/cm 3 )<br />
Wiqoyah (2006), telah melakukan penelitian tentang pengaruh kadar kapur,<br />
waktu perawatan dan perendaman terhadap kuat dukung tanah lempung. Hasil uji<br />
specific gravity (Gs) dengan penambahan 2,5% , 5% dan 7,5% kapur menunjukkan<br />
adanya kecenderungan penurunan nilai specific gravity seiring dengan bertambah<br />
besarnya persentase kapur. Besarnya penurunan maksimum adalah 0,03%.<br />
2.3.1.2 Batas Konsistensi (Atterberg)<br />
Kedudukan fisik tanah berbutir halus pada kadar air tertentu disebut<br />
konsistensi. Menurut Atterberg batas-batas konsistensi tanah berbutir halus<br />
tersebut adalah batas cair, batas plastis, batas susut. Batas konsistensi tanah ini<br />
didasarkan kepada kadar air yaitu:<br />
a. Batas Cair (Liquid Limit)<br />
Batas cair adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan<br />
plastis. Alat uji batas cair dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan kurva penentuan<br />
batas cair dapat dilihat pada Gambar 2.4.<br />
Atterberg (1990), telah meneliti sifat konsistensi mineral lempung pada<br />
Universitas Sumatera Utara
kadar air yang bervariasi yang dinyatakan dalam batas cair, batas plastis, dan batas<br />
susut.<br />
Gambar 2.4 Skema uji batas cair<br />
Gambar 2.4 Kurva pada penentuan batas cair tanah lempung<br />
Universitas Sumatera Utara
. Batas Plastis ( Plastic Limit )<br />
Pengertian batas plastisitas adalah sifat tanah dalam keadaan konsistensi, yaitu<br />
cair, plastis, semi padat, atau padat bergantung pada kadar airnya. Kebanyakan dari<br />
tanah lempung atau tanah berbutir halus yang ada dialam dalam keadaan plastis.<br />
Secara umum semakin besar plastisitas tanah, yaitu semakin besar rentang kadar air<br />
daerah plastis maka tanah tersebut akan semakin berkurang kekuatan dan mempunyai<br />
kembang susut yang semakin besar.<br />
Indeks plastisitas adalah selisih batas cair dan batas plastis ( Interval kadar air<br />
pada kondisi tanah masih bersifat plastis ), karena itu menunjukkan sifat keplastisan<br />
tanah.<br />
Dimana<br />
PI = LL – PL (2.4)<br />
PI = Plastis Indeks ( % )<br />
LL = Liquid Limit ( % )<br />
PL = Plastis Limit ( % )<br />
Batasan mengenai indeks plastisitas, sifat, macam tanah, dapat dilihat pada Tabel 2.4<br />
Tabel 2.4 Nilai indeks plastisitas dan macam tanah (Chen, 1975)<br />
PI Sifat Macam tanah<br />
0<br />
17<br />
Non Plastis<br />
Plastisitas rendah<br />
Plastisitas sedang<br />
Plastisitas tinggi<br />
Pasir<br />
Lanau<br />
Lempung berlanau<br />
Lempung<br />
Universitas Sumatera Utara
c. Batas Susut (Shrinkage Limit)<br />
Suatu tanah akan mengalami penyusutan bila kadar air secara perlahan–lahan<br />
hilang dari dalam tanah. Dengan hilangnya air terus menerus akan mencapai suatu<br />
tingkat keseimbangan, dimana penambahan kehilangan air tidak akan menyebabkan<br />
perubahan volume tanah.<br />
Batas susut dapat dinyatakan dalam persamaan:<br />
éæ<br />
Berat Air ö æ Volume Air öù<br />
SL = êç<br />
÷ - ç<br />
÷ úx100%<br />
ëè<br />
Berat Tanah Kering ø è Berat Tanah Kering øû<br />
(2.5)<br />
Kandungan mineral montmorillonite mempengaruhi nilai batas konsistensi.<br />
Semakin besar kandungan mineral montmorillonite semakin besar batas cair dan<br />
indeks plastisitas serta semakin kecil nilai batas susut dan batas plastisnya<br />
(Hardiyatmo, 2006).<br />
Angka-angka batasan Atterberg untuk bermacam-macam mineral lempung<br />
menurut Mitchell (1976) dapat dilihat pada Tabel 2.5.<br />
Tabel 2.5 Harga-harga batasan atterberg untuk mineral lempung (Mitchell, 1976)<br />
Mineral Batas Cair Batas Plastis Batas Susut<br />
Monmorrillonite<br />
Montronite<br />
Illite<br />
Kaolinite<br />
Halloysite<br />
Terhidrasi<br />
Holloysite<br />
Attapulgite<br />
Chlorite<br />
Allophane<br />
100 – 900<br />
37 – 72<br />
60 – 120<br />
30 – 110<br />
50 – 70<br />
35 – 55<br />
160 – 230<br />
44 – 47<br />
200 - 250<br />
50 – 100<br />
19 – 72<br />
35 – 60<br />
25 – 40<br />
47 – 60<br />
30 – 45<br />
100 – 120<br />
36 – 40<br />
130 – 140<br />
8,5 – 15<br />
-<br />
15 – 17<br />
25 – 29<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
-<br />
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Variasi volume dan kadar air pada kedudukan batas cair,<br />
batas plastis, dan batas susut<br />
Kadar air dapat mempengaruhi perubahan volume tanah seperti yang terlihat<br />
dalam Gambar 2.5 diatas. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi jenis tanahnya<br />
seperti tanah kohesif ataupun non kohesif. Kesimpulan adalah tanah kohesif seperti<br />
lempung memiliki perbedaan dengan tanah non kohesif seperti pasir. Perbedaan<br />
tersebut adalah:<br />
1. Tahanan friksi tanah kohesif < tanah non kohesif.<br />
2. Kohesi Lempung > tanah granular.<br />
3. Permeability lempung < tanah berpasir.<br />
4. Pengaliran air pada lempung lebih lambat dibandingkan pada tanah berpasir.<br />
5. Perubahan volum pada lempung lebih lambat dibandingkan pada tanah<br />
granular.<br />
Universitas Sumatera Utara
2.4 Struktur Komposisi Mineral Lempung<br />
Mineral lempung merupakan pelapukan akibat reaksi kimia yang<br />
menghasilkan susunan kelompok partikel berukuran koloid dengan diameter butiran<br />
lebih kecil dari 0,002 mm. Menurut Holtz & Kovacs (1981) satuan struktur dasar<br />
dari mineral lempung terdiri dari Silica Tetrahedron dan Alumina Oktahedron.<br />
Satuan-satuan dasar tersebut bersatu membentuk struktur lembaran . Jenis-jenis<br />
mineral lempung tergantung dari kombinasi susunan satuan struktur dasar atau<br />
tumpukan lembaran serta macam ikatan antara masing-masing lembaran.<br />
Susunan pada kebanyakan tanah lempung terdiri dari silika tetrahedra dan<br />
alumunium okthedra (Gambar 2-7). Silika Tetrahedron pada dasarnya merupakan<br />
kombinasi dari satuan Silika Tetrahedron yang terdiri dari satu atom silicon yang<br />
dikelilingi pada sudutnya oleh empat buah atom Oksigen. Sedangkan Aluminium<br />
Oktahedron merupakan kombinasi dari satuan yang terdiri dari satu atom Alumina<br />
yang dikelilingi oleh atom Hidroksil pada keenam sisinya.<br />
Silika dan aluminium secara parsial dapat digantikan oleh elemen yang lain<br />
dalam kesatuannya, keadaan ini dikenal sebagai substansi isomorf. Kombinasi dari<br />
susunan kesatuan dalam bentuk susunan lempeng terbentuk oleh kombinasi<br />
tumpukan dari susunan lempeng dasarnya dengan bentuk yang berbeda-beda.<br />
Kaolinite merupakan mineral dari kelompok kaolin, terdiri dari susunan<br />
satu lembaran silika tetrahedra dengan lembaran aluminium oktahedra, dengan satuan<br />
susunan setebal 7,2 Å (Gambar 2-7a). Kedua lembaran terikat bersama-sama,<br />
sedemikian rupa sehingga ujung dari lembaran silika dan satu dari lepisan lembaran<br />
Universitas Sumatera Utara
oktahedra membentuk sebuah lapisan tunggal. Dalam kombinasi lembaran silika dan<br />
aluminium, keduanya terikat oleh ikatan hidrogen (Gambar 2-7b). Pada keadaan<br />
tertentu, partikel kaolinite mungkin lebih dari seratus tumpukan yang sukar<br />
dipisahkan. Karena itu, mineral ini stabil dan air tidak dapat masuk di antara<br />
lempengannya untuk menghasilkan pengembangan atau penyusutan pada sel<br />
satuannya.<br />
silika tetrahedra<br />
aluminium oktahedra<br />
lembaran alumnium<br />
lembaran silika<br />
silikon alumninium<br />
oksigen<br />
hidroksil<br />
(a) (b)<br />
silika<br />
aluminium<br />
silika<br />
aluminium<br />
silika<br />
aluminium<br />
silika<br />
aluminium<br />
(a)<br />
Gambar 2.6 Mineral - mineral lempung<br />
7,2 A<br />
OH<br />
OH<br />
OH<br />
OH<br />
OH<br />
OH<br />
(b)<br />
OH<br />
OH<br />
OH<br />
OH<br />
OH<br />
OH<br />
oksigen<br />
hidroksil<br />
aluminium<br />
silikon<br />
Gambar 2.7 (a) Diagram skematik struktur kaolinite (Lambe, 1953)<br />
(b) Struktur atom kaolinite (Grim, 1959)<br />
Universitas Sumatera Utara
Halloysite, hampir sama dengan kaolinite, tetapi kesatuan yang berturutan<br />
lebih acak ikatannya dan dapat dipisahkan oleh lapisan tunggal molekul air. Jika<br />
lapisan tunggal air menghilang oleh karena proses penguapan, mineral ini akan<br />
berkelakuan lain. Maka, sifat tanah berbutir halus yang mengandung halloysite akan<br />
berubah secara tajam jika tanah dipanasi sampai menghilangkan lapisan tunggal<br />
molekul airnya. Sifat khusus lainnya adalah bahwa bentuk partikelnya menyerupai<br />
silinder-silinder memanjang, tidak seperti kaolinite yang berbentuk pelat-pelat.<br />
Montmorillonite, disebut juga dengan smectit, adalah mineral yang dibentuk<br />
oleh dua buah lembaran silika dan satu lembaran aluminium (gibbsite) (Gambar<br />
2.8a). lembaran oktahedra terletak di antara dua lembaran silika dengan ujung<br />
tetrahedra tercampur dengan hidroksil dari lembaran oktahedra untuk membentuk<br />
satu lapisan tunggal (Gambar 2.8b). Dalam lembaran oktahedra terdapat substitusi<br />
parsial aluminium oleh magnesium. Karena adanya gaya ikatan van der Waals yang<br />
lemah di antara ujung lembaran silica dan terdapat kekurangan muatan negatif dalam<br />
lembaran oktahedra, air dan ion-ion yang berpindah-pindah dapat masuk dan<br />
memisahkan lapisannya. Jadi, kristal montmorillonite sangat kecil, tapi pada waktu<br />
tertentu mempunyai gaya tarik yang kuat terhadap air. Tanah-tanah yang<br />
mengandung montmorillonite sangat mudah mengembang oleh tambahan kadar air,<br />
yang selanjutnya tekanan pengembangannya dapat merusak struktur ringan dan<br />
perkerasan jalan raya.<br />
Universitas Sumatera Utara
silika<br />
silika<br />
aluminium<br />
silika<br />
silika<br />
aluminium<br />
silika<br />
aluminium<br />
silika<br />
silika<br />
(a)<br />
OH<br />
Lapisan-lapisan nH2O dan kation-kation yang dapat bertukar<br />
(b)<br />
OH<br />
OH<br />
OH<br />
oksigen<br />
hidroksil<br />
aluminium, besi<br />
magnesium<br />
silika. kadang-kadang<br />
aluminium<br />
Gambar 2.8 (a) Diagram skematik struktur montmorrilonite (Lambe, 1953)<br />
(b) Struktur atom montmorrilonite (Grim, 1959)<br />
Illite adalah bentuk mineral lempung yang terdiri dari mineral-mineral<br />
kelompok illite. Bentuk susunan dasarnya terdiri dari sebuah lembaran<br />
aluminium oktahedra yang terikat di antara dua lembaran silika tetrahedra.<br />
Dalam lembaran oktahedra, terdapat substitusi parsial aluminium oleh<br />
magnesium dan besi, dan dalam lembaran tetrahedra terdapat pula substitusi<br />
silikon oleh aluminium (Gambar 2-9). Lembaran-lembaran terikat besama-<br />
sama oleh ikatan lemah ion-ion kalium yang terdapat di antara lembaran-<br />
lembarannya. Ikatan-ikatan dengan ion kalium (K + ) lebih lemah daripada<br />
ikatan hidrogen yang mengikat satuan kristal kaolinite, tapi sangat lebih kuat<br />
daripada ikatan ionik yang membentuk kristal montmorillonite. Susunan Illite<br />
tidak mengembang oleh gerakan air di antara lembaran-lembarannya.<br />
Universitas Sumatera Utara
o<br />
10 A<br />
K<br />
silika<br />
aluminium<br />
silika<br />
K<br />
silika<br />
aluminium<br />
K<br />
silika<br />
aluminium<br />
silika<br />
K<br />
silika<br />
silika<br />
ion kalium<br />
Gambar 2.9 Diagram skematik struktur illite (Lambe, 1953).<br />
Air biasanya tidak banyak mempengaruhi kelakuan tanah nonkohesif.<br />
Sebagai contoh, kuat geser tanah pasir mendekati sama pada kondisi kering<br />
maupun jenuh air. Tetapi, jika air berada pada lapisan pasir yang tidak padat,<br />
beban dinamis seperti gempa bumi dan getaran lainnya sangat mempengaruhi<br />
kuat gesernya. Sebaliknya, tanah butiran halus khususnya tanah lempung akan<br />
banyak dipengaruhi oleh air. Karena pada tanah berbutir halus, luas<br />
permukaan spesifik menjadi lebih besar, variasi kadar air akan mempengaruhi<br />
plastisitas tanahnya. Distribusi ukuran butiran jarang-jarang sebagai faktor<br />
yang mempengaruhi kelakuan tanah butiran halus. Batas-batas Atterberg<br />
digunakan untuk keperluan identifikasi tanah ini.<br />
Universitas Sumatera Utara
Molekul air merupakan molekul dipolar karena atom Hidrogen tidak tersusun<br />
simetris disekitar atom oksigen, melainkan membentuk sudut ikatan 105 o akibatnya<br />
molekul-molekul air berperilaku seperti batang-batang kecil yang mempunyai muatan<br />
positif disatu sisi dan muatan negatif disisi lain.<br />
Interaksi antara molekul-molekul air dengan partikel lempung dapat melalui<br />
tiga proses. Pertama, kutub positif molekul dipolar air akan saling menarik dengan<br />
muatan negatif permukaan partikel lempung. Kedua, molekul air diikat oleh partikel<br />
lempung melalui ikatan Hidrogen (Hidrogen air ditarik oksigen atau hidroksil lain<br />
yang ada pada permukaan partikel lempung). Proses ketiga, penarikan molekul air<br />
oleh muatan negatif permukaan lempung secara berantai melalui kation yang<br />
mengapung dalam larutan air. Faktor paling dominan adalah proses ikatan hidrogen.<br />
Menurut Mitchell (1976) molekul air dekat permukaan akan memiliki sifat<br />
kelistrikan dan termodinamika yang berbeda dengan molekul air bebas yang sangat<br />
jauh dari daerah ikatan. Jumlah molekul air yang berinteraksi dengan permukaan<br />
lempung akan sangat dipengaruhi oleh jenis mineral yang ada yaitu pada nilai luasan<br />
permukaan spesifiknya (specific surface). Luas permukaan lempung merupakan<br />
faktor utama yang mempengaruhi besarnya molekul air yang ditarik untuk<br />
membentuk lapisan Rangkap (Diffuse Double Layer). Fenomena ini<br />
mengidentifikasikan kemampuan mineral lempung menarik molekul air atau<br />
menunjukkan kapasitas perilaku plastis tanah lempung.<br />
Universitas Sumatera Utara
2.6 Stabilisasi Tanah<br />
2.6.1 Modifikasi Tanah<br />
Istilah modifikasi digunakan untuk menggambarkan suatu proses stabilisasi<br />
yang hanya ditujukan untuk perbaikan sifat-sifat tanah, tapi tidak ditujukan untuk<br />
menambah kekuatan maupun keawetan tanah. Tujuan dilakukan modifikasi tanah<br />
dasar adalah untuk menciptakan landasan kerja bagi alat berat, dengan tanpa<br />
memperhatikan pengaruh modifikasi tanah tersebut terhadap hitungan perancangan<br />
perkerasan. Walaupun sebenarnya modifikasi tanah juga menunjukkan proses<br />
stabilisasi, namun tujuan utamanya lebih mengarah untuk perbaikan sifat-sifat teknis<br />
tanah, misalnya mereduksi plastisitas, mempertinggi kemudahan dikerjakan dan<br />
mengurangi potensi pengembangan.<br />
2.6.2 Stabilisasi Tanah Lempung<br />
Maksud dari stabilisasi tanah adalah untuk menambah kapasitas dukung tanah<br />
dan kenaikan kekuatan yang akan diperhitungkan pada proses perancangan tebal<br />
perkerasan. Karena itu, stabilisasi tanah membutuhkan metode perancangan dan<br />
pelaksanaan yang lebih teliti dibandingkan dengan modifikasi tanah.<br />
Banyak material tanah di lapangan tidak dapat digunakan sebagai bahan dasar<br />
dalam pengerjaan konstruksi. Kondisi material tanah yang tidak memenuhi syarat ini<br />
dapat diperbaiki sifat teknisnya sehingga kekuatannya meningkat. Memperbaiki sifat-<br />
sifat tanah dapat dilakukan dengan cara, yaitu cara pemadatan (secara teknis),<br />
Universitas Sumatera Utara
mencampur dengan tanah lain, mencampur dengan semen, kapur atau belerang<br />
(secara kimiawi), pemanasan dengan temperatur tinggi, dan lain sebagainya.<br />
Usaha-usaha stabilisasi tanah telah lama dilakukan penelitian dan pelaksanaan<br />
baik secara tradisional maupun dengan beberapa teknologi. Stabilisasi tanah biasanya<br />
dilakukan untuk perbaikan lapisan tanah lantai kerja, badan jalan, bendungan,<br />
konstruksi timbunan dan sebagainya.<br />
Prinsip usaha stabilisasi tanah ialah menambah kekuatan lapisan tanah<br />
sehingga bahaya keruntuhan diperkecil. Peningkatan kekuatan ini dikaji dari<br />
perubahan tegangan. Menurut Ingels dan Metcalf (1972), sifat-sifat tanah yang<br />
diperbaiki dengan stabilisasi dapat meliputi : kestabilan volume, kekuatan/daya<br />
dukung, permeabilitas, dan kekekalan/keawetan. Dan menurut Ingles dan Metcalf<br />
(1972) stabilisasi kapur dapat mengubah tanah menjadi gumpalan-gumpalan partikel.<br />
Banyaknya kapur yang digunakan berkisar antara 5-10%, yang menghasilkan<br />
konsentrasi ion kalsium lebih besar dari yang diperlukan sebenarnya.<br />
Sedangkan pada penelitian ini pada abu cangkang sawit terdapat unsur CaO<br />
yang kadar kapurnya sebesar 1,54%, sedangkan pencampuran lempung dan abu<br />
cangkang sawit memiliki kadar CaO sebesar 1,74% ini menunjukkan kenaikan yang<br />
hanya sedikit sekitar 20%.<br />
Metode atau cara memperbaiki sifat-sifat tanah ini juga sangat bergantung<br />
pada lama waktu pemeraman, hal ini disebabkan karena didalam proses perbaikan<br />
sifat-sifat tanah terjadi proses kimia yang dimana memerlukan waktu untuk zat kimia<br />
yang ada didalam aditif untuk bereaksi. Pada penelitian ini peneliti mencoba<br />
Universitas Sumatera Utara
melakukan stabilisasi tanah dengan menggunakan bahan aditif yaitu abu cangkang<br />
sawit dimana komposisi kimia yang terkandung dalam abu cangkang sawit salah<br />
satunya silika (SiO2) yang merupakan unsure pembentuk utama dalam pembuatan<br />
semen. Hasil penelitian unsur kimia yang terdapat didalam tanah lempung dapat<br />
dilihat pada Tabel 2.7.<br />
Tabel 2.7 Komposisi unsur kimia pada tanah lempung<br />
(Lab kimia FMIPA USU,2011)<br />
Unsur/senyawa Lempung (%)<br />
Silica (SiO2)<br />
Kalsium Oksida (CaO)<br />
Magnesium Oksida (MgO)<br />
Besi Oksida (Fe2O3)<br />
Aluminium Karbonat (Al2O3)<br />
2.7 Limbah Pengolahan Kelapa Sawit<br />
75,40<br />
0,70<br />
0,71<br />
0,01<br />
14,10<br />
Luas area kelapa sawit dan produksi minyak sawit mentah CPO (Crude Palm<br />
Oil), di Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Data luas area kelapa sawit dan<br />
produksi CPO di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.10.<br />
Gambar 2.10 Data luas area kepala sawit dan produksi CPO Indonesia dari<br />
Dirjenbun.<br />
Universitas Sumatera Utara
Pohon kelapa sawit menghasilkan buah sawit yang terkumpul di dalam satu<br />
tandan, oleh karena itu sering disebut dengan istilah TBS (Tandan Buah Segar). Sawit<br />
yang sudah berproduksi optimal dapat menghasilkan TBS dengan berat antara 15-30<br />
kg/tandan. Tandan-tandan inilah yang kemudian diangkut ke pabrik untuk diolah<br />
lebih lanjut menghasilkan minyak sawit. Produksi utama pabrik sawit adalah CPO<br />
dan minyak inti sawit. CPO diekstrak dari sabutnya (fiber), yaitu bagian antara kulit<br />
dengan cangkangnya. Sedangkan dari daging buahnya akan menghasilkan minyak<br />
inti sawit. Varietas sawit dengan kulit tebal banyak dicari orang, karena buah sawit<br />
seperti ini yang rendaman minyaknya tinggi. Gambar pengolahan sawit di pabrik<br />
kelapa sawit kurang lebih seperti pada Gambar 2.11.<br />
Gambar 2.11 Pengolahan kelapa sawit<br />
Neraca pengolahan sawit di pabrik kelapa sawit kurang lebih seperti gambar<br />
neraca massa di bawah ini. Dari setiap ton TBS yang diolah dapat menghasilkan<br />
140 – 200 kg CPO. Selain CPO pengolahan ini juga menghasilkan limbah/produk<br />
Universitas Sumatera Utara
samping, antara lain : limbah cair (POME = Palm Oil Mill Effluent), cangkang sawit,<br />
fiber/serat, dan tandan kosong kelapa sawit.<br />
Perkembangan industri sawit yang terus meningkat akan berdampak pada<br />
limbah padat yang dihasilkan dari pengolahan tandan buah segar (TBS). Limbah ini<br />
adalah sisa produksi minyak sawit kasar berupa tandan kosong, sabut/serat dan<br />
cangkang sawit. Limbah padat berupa cangkang dan serat digunakan sebagai bahan<br />
bakar ketel (boiler) untuk menghasilkan energy mekanik dan panas. Uap dari boiler<br />
dimanfaatkan untuk menghasilkan energy listrik dan untuk merebus TBS sebelum<br />
diolah di dalam pabrik, seperti yang terlihat pada Gambar 2.12.<br />
Gambar 2.12 Penggunaan cangkang dan fiber sawit sebagai bahan bakar pada boiler<br />
Masalah yang kemudian timbul adalah sisa dari pembakaran pada ketel (boiler)<br />
berupa abu dengan jumlah yang terus meningkat sepanjang tahun yang sampai<br />
sekarang masih belum termanfaatkan. Ternyata limbah abu cangkang sawit banyak<br />
mengandung unsur silika (SiO2) yang merupakan bahan pozzolanic.<br />
(http://isroi.wordpress.com/2009/06/19/limbah-pabrik -kelapa-sawit/ , diakses pada<br />
16/12/2010)<br />
Universitas Sumatera Utara
2.7.1. Pemanfaatan Abu Cangkang Sawit<br />
Abu cangkang sawit merupakan bahan pozzolanic, yaitu material utama<br />
pembentuk semen, yang mengandung senyawa silika oksida (SiO2) aktif yang<br />
apabila bereaksi dengan kapur bebas atau kalsium hidroksida (Ca(OH2) dan air akan<br />
membentuk material semen yaitu kalsium silikat hidrat (C – S – H).<br />
Gambar 2.13 Abu cangkang sawit yang menggunung di pabrik kelapa sawit sisa dari<br />
pembakaran cangkang dan serat kelapa sawit di dalam dapur atau<br />
tungku pembakaran (boiler).<br />
Selain itu, abu cangkang sawit tersebut juga mengandung kation anorganik<br />
seperti kalium, natrium. Berdasarkan pengamatan secara visual, abu cangkang sawit<br />
memiliki berbagai karakteristik diantaranya, bentuk partikel abu-abu tidak beraturan,<br />
ada yang memiliki butiran bulat panjang dan bersegi dengan ukuran butiran 0 – 2,3<br />
mm serta memiliki warna abu-abu kehitaman seperti yang terlihat pada Gambar 2.13<br />
diatas.<br />
Universitas Sumatera Utara
(http://sipilholic.blogspot.com/abu%20sawit/abu-sawit-perekat-alternatif-dalam.html<br />
diakses pada 16/12/2010)<br />
Aplikasi dalam ilmu teknik, abu cangkang sawit dimanfaatkan sebagai bahan<br />
tambahan pengeras semen dalam desain beton mutu tinggi, bahan pengisaph dalam<br />
lapisan perkerasan jalan raya, bahan stabilisator campuran tanah lempung dan tanah<br />
dasar pada lapisan jalan raya.<br />
Hasil penelitian unsur kimia yang terdapat didalam abu cangkang sawit pada<br />
penelitian yang dilakukan di FMIPA Kimia USU dapat dilihat pada Tabel 2.8.<br />
Tabel 2.8 Komposisi unsur kimia abu cangkang sawit<br />
(Labkimia FMIPA USU, 2011)<br />
Unsur/Senyawa Abu Cangkang Sawit (%)<br />
Silica (SiO2)<br />
Kalsium Oksida (CaO)<br />
Magnesium Oksida (MgO)<br />
Besi Oksida (Fe2O3)<br />
Aluminium Karbonat (Al2O3)<br />
2.7.2 Material Alternatif Abu Cangkang Sawit<br />
67,40<br />
1,54<br />
3,02<br />
0,01<br />
10,01<br />
Pabrik pengolahan minyak sawit Bakrie Plantations yang terletak didaerah<br />
Kisaran dengan kapasitas produksi sebesar 42 Ton/jam atau 504 Ton/hari dengan<br />
jumlah jam kerja pabrik 12 jam, maka pabrik kelapa sawit memproduksi 500 ton<br />
TBS/hari menghasilkan 30.000 kg cangkang kelapa sawit dan 60.000 kg fiber/sabut<br />
kelapa sawit.<br />
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini stabilitator menggunakan abu cangkang sawit yang terdiri<br />
dari cangkang dan fiber yang digunakan sebagai bahan bakar ketel, sebagai limbah<br />
yang dihasilkannya berupa abu cangkang sawit, dapat kita lihat pada Tabel 2.9.<br />
Tabel 2.9 Data pemakaian fiber dan cangkang (Kisaran Palm Oil Mill, 2010)<br />
TBS diolah Cangkang dan fiber yang<br />
dihasilkan<br />
TBS (Kg) Cangkang Fiber Total<br />
500400 (Kg) (Kg) (Kg)<br />
30.000 60.000 90.000<br />
Cangkang dan fiber setelah<br />
pembakaran<br />
Total<br />
(Kg)<br />
4.500<br />
Dari jumlah total cangkang dan fiber yang dihasilkan dari produksi TBS dapat<br />
diketahui jumlah abu cangkang sawit setelah pembakaran yaitu:<br />
% ACS = x 100% = 5%<br />
Tabel diatas adalah hasil survey 1 Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang ada di<br />
Sumatera Utara tepatnya, pada Pabrik Pengolahan Kepala Sawit Bakrie Plantation<br />
yang terletak di Kisaran Sumatera Utara, ketersedian abu cangkang sawit sebagai<br />
berikut:<br />
Untuk 1 hari produksi, dari 504 ton/hari dapat menghasilkan abu cangkang<br />
sawit ± 4.500 kg/hari atau 5% ACS dari 504 Ton TBS.<br />
Untuk 30 hari ± 4.500 kg x 30 = 135.000 kg abu cangkang sawit/bulan atau<br />
135 Ton/bulan.<br />
Hal ini bisa diakumulasi dari jumlah pabrik pengolahan kelapa sawit yang ada di<br />
seluruh Indonesia khususnya area Sumatera Utara. Tabel 2.10 menunjukkan jumlah<br />
Pabrik dan Kapasitas Pengolahan Kelapa Sawit di Indonesia pada Tahun 1998.<br />
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.10 Jumlah pabrik dan kapasitas PKS di Indonesia pada Tahun 1998<br />
No Propinsi Jumlah Pabrik Kapasitas TON TBS/jam<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
9<br />
10<br />
11<br />
12<br />
13<br />
14<br />
15<br />
16<br />
D.I Aceh<br />
Sumatera Utara<br />
Sumatera Barat<br />
Riau<br />
Jambi<br />
Sumatera Selatan<br />
Bengkulu<br />
Lampung<br />
Jawa Barat<br />
Kalimantan Barat<br />
Kalimantan Tengah<br />
Kalimantan Selatan<br />
Kalimantan Timur<br />
Sulawesi Tengah<br />
Sulawesi Selatan<br />
Irian Jaya<br />
13<br />
80<br />
7<br />
44<br />
9<br />
13<br />
7<br />
4<br />
2<br />
10<br />
3<br />
3<br />
3<br />
1<br />
4<br />
2<br />
380<br />
3071<br />
295<br />
2017<br />
375<br />
501<br />
230<br />
125<br />
60<br />
430<br />
90<br />
110<br />
130<br />
30<br />
150<br />
80<br />
INDONESIA 205 8074<br />
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004<br />
Berikut adalah tabulasi mengenai produksi TBS perkebunan kelapa sawit di<br />
Indonesia berdasarkan pengusahaannya pada kurun waktu 1998-2006 seperti pada<br />
Tabel 2.11.<br />
Tabel 2.11 Produksi TBS perkebunan kelapa sawit di Indonesia.<br />
Produksi TBS (Ton)<br />
Tahun Perkebunan Perkebunan Perkebunan<br />
Rakyat Besar Negara Besar Swasta<br />
1998 1.344.569 1.501.747 3.084.099<br />
1999 1.547.881 1.468.949 3.438.830<br />
2000 1.905.653 1.460.954 3.633.901<br />
2001 2.798.032 1.519.289 4.079.151<br />
2002 3.426.739 1.607.734 4.587.871<br />
2003 3.517.324 1.750.651 5.172.859<br />
2004 3.745.264 2.031.130 6.466.132<br />
2005 3.873.677 2.158.684 7.079.579<br />
2006 4.189.000 2.343.000 7.668.000<br />
Sumber : Balai Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2007<br />
Total Nasional<br />
5.930.415<br />
6.455.660<br />
7.000.508<br />
8.396.472<br />
93922.344<br />
10.440.824<br />
12.224.526<br />
13.111.940<br />
14.200.000<br />
Universitas Sumatera Utara
Sumatera Utara merupakan salah satu pusat perkebunan kelapa sawit di<br />
Indonesia. Luas perkebunan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara pada tahun 2007<br />
sebesar 372.153 Ha dengan produksi 4.8951.830 ton TBS kelapa sawit. Kabupaten<br />
Labuhan Batu merupakan pusat perkebunan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara.<br />
Didaerah ini terdapat 132.670 Ha kebun sawit rakyat atau 35,65% dari seluruh<br />
perkebunan kelapa sawit rakyat di Sumatera Utara seperti disajikan dalam Tabel 2.12.<br />
Tabel 2.12 Produksi TBS perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara 2004-2007<br />
No Propinsi Luas Tanaman(Ha)<br />
1<br />
2<br />
3<br />
4<br />
5<br />
6<br />
7<br />
8<br />
9<br />
10<br />
11<br />
12<br />
13<br />
14<br />
15<br />
16<br />
17<br />
18<br />
19<br />
20<br />
Nias<br />
Mandailing Natal<br />
Tapanuli Selatan<br />
Tapanuli Tengah<br />
Tapanuli Utara<br />
Toba Samosir<br />
Labuhan Batu<br />
Asahan<br />
Simalungun<br />
Dairi<br />
Karo<br />
Deli Serdang<br />
Langkat<br />
Nias Selatan<br />
Humbang Hasundutan<br />
Pakpak Barat<br />
Samosir<br />
Serdang Bedagai<br />
Batubara<br />
Padang Lawas Utara<br />
Total 2007<br />
2006<br />
2005<br />
2004<br />
-<br />
14.075<br />
67.572<br />
2.259<br />
38<br />
769<br />
132.670<br />
60.997<br />
25.748<br />
133<br />
1.197<br />
13.860<br />
41.424<br />
-<br />
396<br />
1.508<br />
9.505<br />
-<br />
-<br />
-<br />
372.153<br />
363.095<br />
314.213<br />
243.100<br />
Sumber : Balai Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2007.<br />
ProduksiTBS(Ton)<br />
-<br />
176.353<br />
827.320<br />
24.140<br />
4<br />
11.243<br />
1.703.156<br />
797.129<br />
490.304<br />
739<br />
16.661<br />
177.267<br />
534.762<br />
-<br />
325<br />
12.648<br />
123.774<br />
-<br />
-<br />
-<br />
4.895.830<br />
4.486.478<br />
4.167.262<br />
3.132.124<br />
Universitas Sumatera Utara
Dari data perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit dapat dilihat jumlah<br />
tandan buah segar (TBS) yang begitu besar maka dapat ditentukan pula jumlah abu<br />
cangkang sawit yang tersedia dari jumlah TBS yang diproduksi dimulai dari jumlah<br />
TBS yang akan diolah kemudian jumlah cangkang dan fiber hasil pengolahan TBS<br />
lalu dapat dilihat jumlah abu cangkang sawit hasil pembakaran cangkang dan fiber<br />
sebagai bahan bakar ketel perebusan tandan buah segar (TBS).<br />
Ketersediaan material alternatif sebagai bahan stabilisasi yang ada saat ini<br />
dirasa cukup karena didalam penggunaannya juga akan dicampur dengan tanah<br />
lempung yang rusak, penggunaannya juga berdasarkan persentase berat tanah yang<br />
akan distabilisasi.<br />
2.8 Stabilisasi Tanah Lempung Dengan Abu Cangkang Sawit<br />
Stabilisasi tanah terhadap kuat geser maupun kuat tekan adalah suatu usaha<br />
yang selalu dilakukan untuk meningkatkan ketahanan tanah terhadap tegangan tekan<br />
maupun tegangan geser. Sehingga, sampai saat ini stabilisasi tanah merupakan kajian<br />
yang menarik untuk diteliti baik metodenya mapun bahan-bahan yang dipakai untuk<br />
stabilisasi tanah tersebut. Bahan-bahan yang digunakan selama ini antara lain :<br />
GEOSTA yang masih diimpor dan harganya relatif mahal, abu terbang, yang dahulu<br />
merupakan limbah saat ini dimanfaatkan untuk pozzolan pada adukan beton maupun<br />
untuk stabilisasi tanah, sehingga nilai ekonomisnya menjadi tinggi. Dan masih<br />
banyak contoh lain yang pada umumnya harganya sudah cukup mahal. Dalam<br />
penelitian ini akan dicari bahan alternatif untuk stabilisasi tanah dengan limbah<br />
Universitas Sumatera Utara
kelapa sawit tidak terpakai berupa abu cangkang sawit. Ketersediaan abu cangkang<br />
sawit memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai material konstruksi bangunan.<br />
Pada prinsipnya yang dimaksudkan dengan stabilisasi cangkang sawit adalah<br />
mencampurkan secara langsung antara abu cangkang sawit dan tanah yang telah<br />
dihancurkan, kemudian menambahkannya dengan air dan kemudian dipadatkan. Dari<br />
hasil campuran tersebut diharapkan dapat menghasilkan tanah yang memiliki sifat<br />
atau karakteristik teknis yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.<br />
Hasil penelitian unsur kimia yang terdapat didalam tanah lempung dicampur<br />
dengan abu cangkang sawit dapat dilihat pada Tabel 2.13.<br />
Tabel 2.13 Komposisi unsur kimia tanah lempung dicampur dengan abu<br />
cangkang sawit (Labkimia FMIPA USU, 2011)<br />
Unsur/Senyawa Abu Cangkang Sawit (%)<br />
Silica (SiO2)<br />
Kalsium Oksida (CaO)<br />
Magnesium Oksida (MgO)<br />
Besi Oksida (Fe2O3)<br />
Aluminium Karbonat (Al2O3)<br />
2.8.1 Proses Kimia Pada Stabilisasi Tanah<br />
87,60<br />
1,75<br />
3,14<br />
0,02<br />
17,10<br />
Menurut Bowless (1984), dalam bukunya Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis<br />
(Mekanika Tanah) stabilisasi tanah dalam realisasinya terdiri dari salah satu atau<br />
gabungan pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut:<br />
1. Mekanis, stabilisasi dengan berbagai macam alat mekanisme seperti mesin<br />
gilas, benda-benda berat yang dijatuhkan (pounder), peledakan dengan alat<br />
peledak, tekanan statis, pembekuan, pemanasan, dll.<br />
Universitas Sumatera Utara
2. Bahan pencampur/tambahan (aditif) seperti: kerikil untuk kohesif (lempung),<br />
lempung untuk tanah berbutir kasar, pencampur kimiawi (semen portland,<br />
gamping/kapur, abu batu bara, semen aspal, dll).<br />
Reaksi kimia yang terjadi pada stabilisasi tanah dengan abu cangkang sawit adalah:<br />
a. Absorbsi Air dan reaksi pertukaran ion<br />
b. Reaksi pembentukan silikat<br />
c. Reaksi pozzolan.<br />
a. Absorbsi air, reaksi eksotermis dan reaksi ekspansif.<br />
1. Silika (SiO2).<br />
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan Abu Cangkang sawit<br />
yang banyak mengandung silika adalah sebagai berikut:<br />
SiO2 + H2O Adsorbsi<br />
Reaksi antara SiO2 bukan merupakan reaksi kimia, SiO2 terhadap air<br />
menyebabkan adsorpsi fisika dimana molekul air akan terperangkap pada pori-<br />
pori SiO2. Dimana setelah molekul air terperangkap di dalam pori-pori SiO2,<br />
pori-pori SiO2 akan tertutup rapat dan molekul air akan terikat didalamnya, hal<br />
ini mengakibatkankan tanah lempung akan menjadi kering dan keras.<br />
2. Alumunium Oksida (Al2O3).<br />
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan abu cangkang sawit<br />
yang terdapat senyawa alumunium oksida didalam kandungan abu cangkang<br />
sawit dan tanah lempung adalah sama dengan proses kimia yang terjadi pada<br />
Universitas Sumatera Utara
unsur silika bahwa alumunium (Al2O3) tidak dapat bereaksi dengan air secara<br />
kimia karena tidak ada reaksi atau senyawa baru yang dihasilkan akibat<br />
alummunium bereaksi dengan air.<br />
Al2O3 + H2O tidak ada reaksi Kimia<br />
3. Besi (Fe2O3).<br />
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan besi adalah sebagai<br />
berikut:<br />
Bila Besi dicampurkan pada tanah yang ada kandungan airnya akan terjadi<br />
reaksi sebagai berikut:<br />
Fe2O3 + H2O 2Fe(OH)3<br />
Bereaksinya antara besi dan air akan terjadi pengendapan berupa karat besi dan<br />
larutan tersebut berwarna coklat kemerahan. Adanya karat besi didalam tanah<br />
akan mengakibatkankan rongga udara didalam tanah akan semakin kecil dan<br />
pori-pori didalam tanah lempung semakin padat sehingga kekuatan tanah akan<br />
meningkat.<br />
4. Calsium Oksida (CaO)<br />
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan besi adalah sebagai<br />
berikut:<br />
Bila CaO dicampurkan pada tanah yang ada kandungan airnya akan terjadi<br />
reaksi sebagai berikut:<br />
CaO + H2O Ca(OH)2 + Panas<br />
Universitas Sumatera Utara
Bereaksinya antara air dengan kapur akan menimbulkan panas dan pada saat<br />
yang bersamaan, volume kapur menjadi lebih besar dari pada volume asalnya<br />
sehingga menyebabkan turunnya kandungan air didalam tanah.<br />
5. Magnesium Oksida (MgO)<br />
Tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan besi adalah sebagai<br />
berikut:<br />
Bila Magnesium dicampurkan pada tanah yang ada kandungan airnya, akan<br />
terjadi reaksi sebagai berikut:<br />
MgO + H2O Mg(OH)2 + Panas<br />
Bereaksinya antara air dengan Magnesium akan menimbulkan panas dan pada<br />
saat yang bersamaan, volume kapur menjadi lebih besar dari pada volume<br />
asalnya sehingga menyebabkan turunnya kandungan air didalam tanah.<br />
b. Reaksi pertukaran ion<br />
Butiran lempung dalam kandungan yang berbentuk halus dan bermuatan<br />
negatif. Ion positif seperti ion hydrogen (H + ), ion sodium (Na + ), dan ion kalium<br />
(K + ), serta air yang berpolarisasi, semuanya melekat pada permukaan butiran<br />
lempung. Jika unsur kimia seperti Fe2O3, CaO dan MgO ditambahkan pada<br />
tanah dengan kondisi seperti diatas, maka pertukaran ion segera terjadi, dan ion<br />
yang berasal dari larutan Fe2O3, CaO dan MgO diserap oleh permukaan butiran<br />
lempung. Jadi, permukaan butiran lempung tadi kehilangan kekuatan tolaknya<br />
Universitas Sumatera Utara
a. Berkurangnya penurunan permukaan tanah (subsidence), yaitu gerakan<br />
vertikal di dalam massa tanah itu sendiri akibat berkurangnya angka pori.<br />
b. Bertambahnya kekuatan tanah.<br />
c. Berkurangnya volume akibat berkurangnya kadar air pada saat pengeringan.<br />
Pada umumnya pemadatan tanah yang dilakukan di laboratorium terdiri dari 2<br />
macam, yakni Standard Proctor AASHTO T 99 (ASTM D 689) dan Modified Proctor<br />
AASHTO T 180 (ASTM D 1557). Kedua cara pemadatan tersebut yaitu:<br />
1. Pemadatan standart, menggunakan alat penumbuk 2,5 kg, tinggi jatuh 30<br />
cm, dan jumlah lapisan 3 lapis dengan energy pemadatan sebesar 593<br />
kJ/m 3 .<br />
2. Pemadatan modified, dengan alat penumbuk 5,5 kg, tinggi jatuh 45,7 cm<br />
dan jumlah lapisan 5 lapis dengan energy pemadatan sebesar 2694 kJ/m 3 .<br />
Aplikasi<br />
· Pemadatan standart digunakan untuk memeriksa kepadatan lapisan tanah<br />
dasar dan timbunan.<br />
· Pemadatan modified digunakan untuk memeriksa kepadatan lapisan pondasi<br />
suatu jalan.<br />
Spesifikasi alat:<br />
Keterangan Standart Modified<br />
Berat penumbuk 5,5 lb =2,5 kg 10 lb= 5,5 kg<br />
Tinggi jatuh 12 inch=30,48 cm 18 inch=45,72 cm<br />
Diameter cetakan 4 inch=10,16 cm 4 inch=10,16 cm<br />
Jumlah tumbukan 25 kali 25 kali<br />
Volume 1/30 ft³=9,44 cm³ 1/30 ft³=9,44 cm³<br />
Jumlah lapisan 3 lapisan 5 lapisan<br />
Universitas Sumatera Utara
(2.7)<br />
Peristiwa bertambahnya berat volume kering oleh beban dinamis disebut<br />
pemadatan. Oleh akibat beban dinamis, butir-butir tanah merapat satu sama lain<br />
sebagai akibat berkurangnya rongga udara.<br />
Tanah lempung yang dipadatkan dengan cara yang benar akan dapat<br />
memberikan kuat geser tinggi. Stabilitas terhadap sifat kembang- susut tergantung<br />
dari jenis kandungan mineralnya. Sebagai contoh, lempung montmorillonite akan<br />
mempunyai kecendurangan yang lebih besar terhadap perubahan volume dibanding<br />
dengan lempung kaolinite. Lempung padat mempunyai permeabilitas yang rendah<br />
dan tanah ini tidak dapat dipadatkan dengan baik pada waktu sangat basah (jenuh).<br />
Bekerja dengan tanah lempung yang sangat basah akan mengalami banyak kesulitan,<br />
karena pada saat lempung dipadatkan, air sulit mengalir ke luar dari rongga pori<br />
lempung. Air yang tidak mau ke luar dari rongga pori tanah ini menyebabkan butiran<br />
sulit merapat satu sama lain saat dipadatkan.<br />
2.9.1 Penentuan Kadar Air Optimum<br />
Tujuan pemadatan diantaranya untuk memadatkan tanah dalam keadaan kadar<br />
air optimum, sehingga udara dalam pori-pori tanah akan keluar. Untuk mengetahui<br />
kadar air yang optimum pada tanah, maka dilakukan pengujian pemadatan proktor<br />
standar, pengujian tersebut dilakukan dengan pemadatan sampel tanah basah (pada<br />
kadar air terkontrol) dalam suatu cetakan dengan jumlah 3 lapisan. Setiap lapisan<br />
Universitas Sumatera Utara
tinggi. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa sebaiknya tanah dasar dipadatkan<br />
dengan kadar air rendah supaya mendapat nilai CBR yang tinggi, karena kadar air<br />
kemungkinan tidak akan konstan pada kondisi ini.<br />
Pemeriksaan CBR bertujuan untuk menentukan harga CBR tanah yang<br />
dipadatkan di laboratorium pada kadar air tertentu. Disamping itu, pemeriksaan ini<br />
juga dimaksudkan untuk menentukan hubungan antara kadar air dan kepadatan<br />
tanah.Pemeriksaan CBR Laboratorium mengacu pada AASHTO T-193-74 dan<br />
ASTM-1883-73.<br />
Untuk perencanaan jalan baru, tebal perkerasan biasanya ditentukan dari nilai<br />
CBR dari tanah dasar yang dipadatkan. Nilai CBR yang digunakan untuk<br />
perencanaan ini disebut “design CBR“.<br />
Cara yang dipakai untuk mendapat “design CBR“ ini ditentukan dengan<br />
perhitungan dua faktor (Wesley, 1977) yaitu:<br />
a. Kadar air tanah serta berat isi kering pada waktu dipadatkan.<br />
b. Perubahan pada kadar air yang mungkin akan terjadi setelah perkerasan<br />
selesai dibuat.<br />
Nilai CBR sangat bergantung kepada proses pemadatan. Jadi, CBR digunakan<br />
selain untuk menilai kekuatan tanah dasar atau bahan lain yang hendak dipakai CBR<br />
juga dipakai sebagai dasar untuk menentukan tebal lapisan dari suatu perkerasan.<br />
Untuk menilai subgrade yang dipadatkan hingga mencapai kepadatan kering<br />
maksimum, dan membentuk profil sesuai yang direncanakan.<br />
Universitas Sumatera Utara
Faktor –faktor yang mempengaruhi kepadatan material subgrade adalah:<br />
1. Karekteristik material tanah dasar.<br />
2. Kadar air material tanah dasar.<br />
3. Jenis alat pemadat yang digunakan.<br />
4. Berat alat pemadat yang tergantung pada lebar roda dan pelat dasarnya.<br />
5. Ketebalan lapisan material yang dipadatkan.<br />
6). Jumlah lintasan alat pemadat yang diperlukan.<br />
Kekuatan tanah dasar tentu banyak bergantung pada kadar airnya. Makin<br />
tinggi kadar airnya makin kecl kekuatan nilai CBR dari tanah tersebut. Walaupun<br />
demikian, hal itu tidak berarti bahwa sebaiknya tanah dipadatkan dengan kadar air<br />
rendah untuk mendapatkan nilai CBR yang tinggi, karena kadar air tidak tahan<br />
konstan pada nilai rendah itu. Setelah pembuatan jalan maka air akan meresap ke<br />
dalam tanah dasar, sehingga kekuatan dan CBR turun sampai kadar air mencapai<br />
nilai yang konstan. Kadar air konstan inilah yang disebut kadar air keseimbangan.<br />
Batas-batas kadar air dan berat isi kering dapat ditentukan dari hasil percobaan<br />
laboratorium yaitu percobaan pemadatan dan CBR.<br />
Pemeriksaan CBR laboratorium dapat dilakukan dengan 2 cara:<br />
a. Percobaan terendam (soaked)<br />
b. Percobaan tidak terendam (unsoaked)<br />
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah CBR unsoaked dan CBR Soaked<br />
karena penelitian ini hanya bertujuan untuk mendapatkan kuat dukung tanah<br />
lempung.<br />
Untuk pengujian Swelling rendaman diperoleh persamaan:<br />
Dimana S = Potensi Pengembangan (%)<br />
A = pembacaan Dial (mm)<br />
H = Tinggi Benda Uji (mm)<br />
2.10 Uji Tekan Bebas (Unconfined Compression Test)<br />
(2.10)<br />
Yang dimaksud dengan kekuatan tekan bebas adalah besarnya beban aksial<br />
persatuan luas pada saat benda uji mengalami keruntuhan atau pada saat renggangan<br />
aksial mencapai 20%. Percobaan ini dimaksudkan untuk menentukan besarnya<br />
kekuatan tekan bebas contoh tanah dan batuan yang bersifat kohesif dalam keadaan<br />
asli maupun buatan (remoulded).<br />
Bila maksud pengujian adalah untuk menentukan parameter kuat geser tanah,<br />
pengujian ini hanya cocok untuk jenis tanah lempung jenuh, dimana pada<br />
pembebanan cepat, air tidak sempat mengalir ke luar dari benda uji. Pada lempung<br />
jenuh, tekanan air pori dalam benda uji pada awal pengujian negatif (tegangan<br />
kapiler).<br />
Universitas Sumatera Utara
Gambar skematik dari prinsip pembebanan dalam percobaan ini dapat dilihat<br />
pada Gambar 2.15.<br />
s 3 = 0<br />
s1<br />
Contoh<br />
tanah<br />
s1<br />
s 3 = 0<br />
Gambar 2.15 Skema uji tekan bebas<br />
Tegangan aksial yang diterapkan di atas benda uji berangsur-angsur ditambah<br />
sampai benda uji mengalami keruntuhan. Sedangkan untuk hubungan konsistensi<br />
dengan kuat tekan bebas tanah lempung diperlihatkan dalam Tabel 2.14.<br />
Tabel 2.14 Hubungan kuat tekan bebas (qu) tanah lempung dengan konsistensinya<br />
(Holtz and Kovacs, 1981)<br />
Konsistensi qu (kN/m 2 )<br />
Lempung keras<br />
Lempung sangat kaku<br />
Lempung kaku<br />
Lempung sedang<br />
Lempung lunak<br />
Lempung sangat lunak<br />
> 400<br />
200 – 400<br />
100 – 200<br />
50 – 100<br />
25 – 50<br />
< 25<br />
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi, untuk memperoleh hasil uji tekan<br />
bebas (Holtz and Kovacs, 1981) adalah:<br />
Universitas Sumatera Utara
1. Benda uji harus 100% jebuh, kalau tidak, akan terjadi desakan udara di dalam<br />
ruang pori yang menyebabkan angka pori (e) berkurang sehingga kekuatan benda<br />
uji bertambah.<br />
2. Benda uji tidak boleh mengandung retakan atau kerusakan yang lain. Dengan kata<br />
lain benda uji harus utuh dan merupakan lempung homogen. Dalam praktek,<br />
sangat jarang lempung overconsolidated dalam keadaan utuh, dan bahkan sering<br />
terjadi pula lempung normally consolidated mempunyai retakan-retakan.<br />
3. Proses pengujian harus berlangsung dengan cepat sampai contoh tanah mencapai<br />
keruntuhan. Pengujian ini merupakan uji tegangan total dan kondisinya harus<br />
tanpa drainase selama pengujian berlangsung. Jika waktu yang dibutuhkan dalam<br />
pengujian terlalu lama, penguapan dan pengeringan benda uji akan menambah<br />
tegangan kekang dan dapat menghasilkan kuat geser yang lebih tinggi. Waktu<br />
yang cocok biasanya sekitar 5 sampai 15 menit.<br />
Universitas Sumatera Utara