menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

jika pun ada dugaan terjadinya pelanggaran hukum di lingkungan TNI yang tidak memberikan sanksi atau hukuman kepada prajurit yang bersalah, semata-mata kesalahan bukan berada di wilayah pengadilan militer. Hal lain yang ditambahkan dalam pernyataan pemerintah bahwa penerapan prinsip equality before the law lebih berat diterapkan oleh prajurit ketimbang warga sipil, karena TNI secara institusional terkait pada hukum pidana umum dan ketentuan hukum pidana militer lainnya. Jika akhirnya prajurit TNI terbukti terlibat dalam sebuah tindak pidana umum dan diadili di peradilan umum, maka dikhawatirkan hakim peradilan umum tidak bisa mempertimbangkan aspek kepentingan militer dalam penyelenggaraan pertahanan negara secara proporsional, karena menurut mereka hakim peradilan umum tidak dibekali dengan pengetahuan dan kapasitas yang mendalam di bidang militer. Mengenai produk kebijakan, pemerintah menyatakan bahwa ketetapan MPR RI No VII/MPR/2000 sejak berlakunya UU Pemilu dan UU TNI maka ketetapan MPR tersebut tidak dapat dijadikan pijakan dalam menyusun RUU tentang perubahan UU Peradilan Militer. Ditambahkan oleh mereka, ketentuan pasal 65 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, menyatakan bahwa ketundukan TNI pada kekuasaan peradilan militer terhadap pelanggaran hukum militer dan peradilan umum atas pelanggaran hukum pidana umum adalah substansi yang dipaksakan dan harus ‘diluruskan’ dengan UU Peradilan Militer, yakni perubahan atas UU No 31 Tahun 1997. Terkait dengan tawaran masa transisi, pemerintah memandang bahwa permasalahan yang dihadapi sangat kompleks dan rumit, sehingga memerlukan waktu yang cukup dan secara teknis hukum stelsel pemidanaan yang diatur dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP tidak akan dapat diterapkan. Beragam dalih dan alasan psikologis menjadi alasan pembenar bagi pemerintah untuk menahan laju perubahan RUU ini. Selain itu, secara gamblang bisa dilihat adanya kebuntuan komunikasi yang terjalin antara pansus dan pemerintah dalam pembahasan ini. Namun demikian, pansus tetap menyepakati bahwa perubahan Undang-Undang No 31 Tahun 1997 harus dilakukan. Kehadiran Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum dan HAM untuk memenuhi undangan yang dilayangkan oleh DPR sesungguhnya dipandang sebagai permulaan itikad baik untuk melakukan pembahasan lebih lanjut. Namun dalam prosesnya, pemerintah lebih banyak bersikap bertahan dan kontra produktif dengan menolak tawaran DPR untuk melakukan masa transisi atas rencana perubahan RUU Peradilan Militer. Kebuntuan yang terus menerus dihadapi ini dicoba diterabas dengan inisiatif DPR yang meminta kepada seluruh anggota pansus melalui perwakilan fraksi untuk melakukan siaran pers dan membuat desakan kepada presiden melalui pimpinan DPR 90

RI terkait kendala dalam RUU perubahan UU No 31 Tahun 1997. 131 Namun langkah inisiatif yang diambil ini tidak diikuti dengan upaya pemaksimalan penggalian sumber informasi yang bisa didapat dari proses assessment maupun risetriset mendalam mengenai prinsip pemisahan kekuatan, kewenangan fungsional peradilan militer, prinsip-prinsip kompetensi, independensi dan imparsialitas pengadilan militer. Alih-alih melakukan hal tersebut, pansus lebih mendahulukan kunjungan studi banding ke beberapa negara, seperti mengunjungi Korea Selatan dan Spanyol.132 Jika sejatinya studi banding itu digunakan untuk menemukan beberapa hal penting dari penerapan konsep pengadilan koneksitas di negara-negara demokratis, pansus bisa menggalinya sekaligus dalam RDPU dengan duta besar atau perwakilan 7 Atase Pertahanan dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda, India, Malaysia, dan Filipina terkait dengan mekanisme internal yang dijalankan di negaranya masing-masing.133 Pada level hukum, harus diakui TNI masih memiliki sistem peradilan otonom, yang tidak bisa disangkutpautkan dengan peradilan umum. Karena itu tak heran jika peradilan umum tidak bisa mengadili anggota TNI yang melanggar hukum. Apakah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, tindak pidana biasa atau pelanggaran HAM. apapun perbuatan yang bisa dikaitkan dengan pelanggaran hukum bila pelakunya anggota TNI maka tidak akan bisa dibawa ke peradilan umum. Pengalaman ini bisa kita lihat dari kasus Mahkamah Militer kasus penembakan mahasiswa Trisakti dan kasus penculikan aktivis pro-demokrasi medio 1997-1998 oleh Tim Mawar Kopassus.134 Masa lalu juga menggambarkan, jika pelakunya warga sipil dan militer maka peradilan yang digelar adalah peradilan campuran atau koneksitas. Hakimnya tentu akan melibatkan kolaborasi hakim sipil dan juga hakim militer. Contoh ini bisa dipetik dari kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah beserta santrinya yang dibantai oleh pasukan Kostrad di Beutong Ateuh, Aceh, medio 1999. Pemerintah tentu harus segera memperbaiki performanya. Di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono lah RUU ini kembali ditinjau, meski harus diakui ada banyak kebuntuan yang telah dipaparkan di atas mewarnai proses pembahasan RUU ini. Presiden SBY secara tegas menyatakan setuju bahwa prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum. Pernyataan SBY 131 Dokumen Rapat Intern IX, dihadiri 32 dari 50 anggota dan dipimpin oleh Azlaini Agus, SH, MH, Jakarta 21 September 2006. 132 Dokumen Rapat Intern ke-13, dihadiri 26 dari 50 anggota dan dipimpin oleh Hj. Azlaini Agus, SH, MH, Jakarta 24 Mei 2007. 133 Dokumen Rapat Lanjutan Pansus 1 November 2005. 134 Siaran Pers KontraS, 4 Oktober 2006, “Sewindu Reformasi TNI (5 Oktober 1998 – 5 Oktober 2006)”. 91

jika pun ada dugaan terjadinya pelanggaran hukum di lingkungan TNI yang tidak<br />

memberikan sanksi atau hukuman kepada prajurit yang bersalah, semata-mata<br />

kesalahan bukan berada di wilayah pengadilan militer.<br />

Hal lain yang ditambahkan dalam pernyataan pemerintah bahwa penerapan prinsip<br />

equality before the law lebih berat diterapkan oleh prajurit ketimbang warga sipil,<br />

karena TNI secara institusional terkait pada hukum pidana umum dan ketentuan<br />

hukum pidana militer lainnya. Jika akhirnya prajurit TNI terbukti terlibat dalam<br />

sebuah tindak pidana umum dan diadili di peradilan umum, maka dikhawatirkan<br />

hakim peradilan umum tidak bisa mempertimbangkan aspek kepentingan militer<br />

dalam penyelenggaraan pertahanan negara secara proporsional, karena menurut<br />

mereka hakim peradilan umum tidak dibekali dengan pengetahuan dan kapasitas yang<br />

mendalam di bidang militer.<br />

Mengenai produk kebijakan, pemerintah menyatakan bahwa ketetapan MPR RI No<br />

VII/MPR/2000 sejak berlakunya UU Pemilu dan UU TNI maka ketetapan MPR<br />

tersebut tidak dapat dijadikan pijakan dalam menyusun RUU tentang perubahan UU<br />

Peradilan Militer. Ditambahkan oleh mereka, ketentuan pasal 65 UU No 34 Tahun<br />

2004 tentang TNI, menyatakan bahwa ketundukan TNI pada kekuasaan peradilan<br />

militer terhadap pelanggaran hukum militer dan peradilan umum atas pelanggaran<br />

hukum pidana umum adalah substansi yang dipaksakan dan harus ‘diluruskan’<br />

dengan UU Peradilan Militer, yakni perubahan atas UU No 31 Tahun 1997. Terkait<br />

dengan tawaran masa transisi, pemerintah memandang bahwa permasalahan yang<br />

dihadapi sangat kompleks dan rumit, sehingga memerlukan waktu yang cukup dan<br />

secara teknis hukum stelsel pemidanaan yang diatur dalam Pasal 63 sampai dengan<br />

Pasal 71 KUHP tidak akan dapat diterapkan.<br />

Beragam dalih dan alasan psikologis menjadi alasan pembenar bagi pemerintah untuk<br />

menahan laju perubahan RUU ini. Selain itu, secara gamblang bisa dilihat adanya<br />

kebuntuan komunikasi yang terjalin antara pansus dan pemerintah dalam pembahasan<br />

ini. Namun demikian, pansus tetap menyepakati bahwa perubahan Undang-Undang<br />

No 31 Tahun 1997 harus dilakukan. Kehadiran Menteri Pertahanan dan Menteri<br />

Hukum dan HAM untuk memenuhi undangan yang dilayangkan oleh DPR<br />

sesungguhnya dipandang sebagai permulaan itikad baik untuk melakukan<br />

pembahasan lebih lanjut. Namun dalam prosesnya, pemerintah lebih banyak bersikap<br />

bertahan dan kontra produktif dengan menolak tawaran DPR untuk melakukan masa<br />

transisi atas rencana perubahan RUU Peradilan Militer.<br />

Kebuntuan yang terus menerus dihadapi ini dicoba diterabas dengan inisiatif DPR<br />

yang meminta kepada seluruh anggota pansus melalui perwakilan fraksi untuk<br />

melakukan siaran pers dan membuat desakan kepada presiden melalui pimpinan DPR<br />

90

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!