menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

64 BAB IV KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM YANG DITANGANI OLEH PERADILAN MILITER Pasca diberlakukannya UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, terjadi berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM di seluruh negeri, dari Aceh sampai Papua. Penyelesaian kasus-kasus tersebut banyak diselesaikan lewat mekanisme peradilan militer. Karena mekanisme yang lemah, maka acapkali pelaksanaannya justru menghambat upaya pemenuhan hak bagi korban pelanggaran HAM. Tujuan utama pengadilan untuk menegakkan keadilan melalui cara mengadili pelaku, membuat efek jera dan memenuhi rasa keadilan bagi korban justru terabaikan secara sistematik. Selain itu, peradilan militer cenderung tidak akuntabel karena didominasi oleh institusi militer. Akibatnya peradilan militer hanya mampu menghukum prajurit bawahan dalam institusi militer. Sementara bagi atasannya, peradilan militer bisa dilihat secara politik sebagai alat impunitas de jure (peniadaan hukuman yang layak melalui mekanisme judisial). Bahkan oleh pihak kejaksaan agung dalam sistem peradilan HAM, proses dan institusi peradilan militer bisa menjadi alat untuk menyatakan ne bis in idem (double jeopardy). Akibatnya, debat hukum yang berkembang justru seakan terus melegitimasi urgensi efektifitas dan keberlangsungan mekanisme peradilan militer. Peradilan militer merupakan salah satu mekanisme yang dianggap tertutup dan sulit dijangkau oleh korban pelanggaran HAM. Ketiadaan access to justice, berupa minimnya informasi, ketertutupan partisipasi korban, ketiadaan bantuan hukum membuat pemenuhan atas hak-hak korban berupa kebenaran, keadilan dan pemenuhan atas kompensasi, restitusi, rehabilitasi terus diabaikan oleh negara. Di sisi lain, proses, putusan dan pelaksanaan putusan pengadilan militer – di semua tingkatan - sulit diawasi oleh publik. Lebih lanjut, berlangsungnya pengadilan militer yang penuh dengan kelemahan tersebut membatasi efektivitas pengadilan HAM yang dianggap memiliki kewenangan yang lebih memadai untuk terpenuhinya rasa keadilan. Di bawah ini adalah gambaran proses penyelesaian beberapa kasus pelanggaran berat HAM yang diadili melalui mekanisme peradilan militer, termasuk melalui mekanisme koneksitas. IV.1 Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997/ 1998 Kasus penculikan terjadi pada penghujung era pemerintahan Presiden Soeharto, seiring menguatnya desakan terhadap reformasi politik di Indonesia. Dua puluh empat

orang menjadi korban dalam penculikan tersebut, dan baru sembilan orang dikembalikan, tiga belas orang masih dinyatakan hilang dan satu orang ditemukan meninggal di Magetan Jawa Tengah. Diduga kuat, Komando Pasukan kusus (Kopassus) berada di belakang kasus ini. Sebuah elit dari Angkatan Darat membentuk unit khusus yang dinamai sebagai Tim Mawar untuk melaksanakan misinya dengan metode pengambilan paksa.78 Setelah terkuak ke publik adanya keterlibatan militer dalam kasus tersebut, kemudian muncul desakan menuntut pertanggungjawaban keterlibatan ABRI (Angkatan bersenjata Republik Indonesia). Pada 3 Agustus 1998 pemerintah membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Tim ini diketuai oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Subagyo Hadisiswoyo.79 Kemudian pada tanggal 6 April 1999, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (MABES ABRI) menggelar peradilan militer untuk 11 orang anggota Tim Mawar yang diduga melakukan peculikan. Sayangnya para terdakwa hanya dituntut dengan kejahatan perampasan kemerdekaan secara bersama-sama. Oditur Militer Tinggi II Jakarta menuntut terdakwa dengan dakwaan Pasal 333 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) KUHP dan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas kemiliteran. Selanjutnya pasca putusan di Mahkamah Militer 1999, keluarga korban dan KontraS telah mengirimkan surat secara resmi untuk meminta dokumen kopi putusan tingkat pertama dan banding. Keluarga korban dan KontraS juga telah mengajukan pertemuan dengan ketua Mahkamah Militer untuk mempertanyakan perkembangan kasus ini. Namun tidak pernah ada respon yang positif dari Mahkamah Militer. Terdapat dua orang petinggi militer yang diperiksa dalam kasus ini, yakni Pangkostrad Letjen TNI AD Prabowo Subianto dan Danjen Kopassus Mayjen TNI AD Muchdi Purwopranjono. Selanjutnya keputusan sidang DKP memberhentikan Letjen TNI AD Prabowo Subianto dari dinas aktif Militer, dan memberhentikan Mayjen TNI AD Muchdi Purwopranjono dari jabatannya sebagai Danjen Kopassus. Di sini para anggota pasukan hanya dinyatakan bersalah atas penculikan atas 14 korban yang kembali. Sedangkan lainnya yang masih hilang hingga saat ini tidak diakui oleh para pelaku (Tim Mawar) yang diadili di pengadilan militer. Di sisi lain, 78 Tim Mawar adalah salah satu tim di Kopassus Grup IV TNI AD. 79 Sebelumnya bernama Dewan Kehormatan Militer (DKM) kemudian mengalami perubahan nama, fungsi dan tatacara menjadi Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Ketentuan mengenai DKP terdapat dalam beberapa peraturan perundangan yaitu; UU Nomor 2 Tahun 2008 ketentuan Pasal 38 ayat 2 dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, ketentuan pasal 62. 65

orang menjadi korban dalam penculikan tersebut, dan baru sembilan orang<br />

dikembalikan, tiga belas orang masih dinyatakan hilang dan satu orang ditemukan<br />

meninggal di Magetan Jawa Tengah. Diduga kuat, Komando Pasukan kusus<br />

(Kopassus) berada di belakang kasus ini. Sebuah elit dari Angkatan Darat membentuk<br />

unit khusus yang dinamai sebagai Tim Mawar untuk melaksanakan misinya dengan<br />

metode pengambilan paksa.78<br />

Setelah terkuak ke publik adanya keterlibatan militer dalam kasus tersebut, kemudian<br />

muncul desakan menuntut pertanggungjawaban keterlibatan ABRI (Angkatan<br />

bersenjata Republik Indonesia). Pada 3 Agustus 1998 pemerintah membentuk Dewan<br />

Kehormatan Perwira (DKP). Tim ini diketuai oleh Kepala Staf Angkatan Darat<br />

(KSAD) Jenderal TNI Subagyo Hadisiswoyo.79 Kemudian pada tanggal 6 April<br />

1999, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (MABES ABRI)<br />

menggelar peradilan militer untuk 11 orang anggota Tim Mawar yang diduga<br />

melakukan peculikan. Sayangnya para terdakwa hanya dituntut dengan kejahatan<br />

perampasan kemerdekaan secara bersama-sama.<br />

Oditur Militer Tinggi II Jakarta menuntut terdakwa dengan dakwaan Pasal 333 ayat<br />

(1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) KUHP dan pidana tambahan berupa pemecatan dari<br />

dinas kemiliteran. Selanjutnya pasca putusan di Mahkamah Militer 1999, keluarga<br />

korban dan KontraS telah mengirimkan surat secara resmi untuk meminta dokumen<br />

kopi putusan tingkat pertama dan banding. Keluarga korban dan KontraS juga telah<br />

mengajukan pertemuan dengan ketua Mahkamah Militer untuk mempertanyakan<br />

perkembangan kasus ini. Namun tidak pernah ada respon yang positif dari Mahkamah<br />

Militer.<br />

Terdapat dua orang petinggi militer yang diperiksa dalam kasus ini, yakni<br />

Pangkostrad Letjen TNI AD Prabowo Subianto dan Danjen Kopassus Mayjen TNI<br />

AD Muchdi Purwopranjono. Selanjutnya keputusan sidang DKP memberhentikan<br />

Letjen TNI AD Prabowo Subianto dari dinas aktif Militer, dan memberhentikan<br />

Mayjen TNI AD Muchdi Purwopranjono dari jabatannya sebagai Danjen Kopassus.<br />

Di sini para anggota pasukan hanya dinyatakan bersalah atas penculikan atas 14<br />

korban yang kembali. Sedangkan lainnya yang masih hilang hingga saat ini tidak<br />

diakui oleh para pelaku (Tim Mawar) yang diadili di pengadilan militer. Di sisi lain,<br />

78 Tim Mawar adalah salah satu tim di Kopassus Grup IV TNI AD.<br />

79 Sebelumnya bernama Dewan Kehormatan Militer (DKM) kemudian mengalami perubahan<br />

nama, fungsi dan tatacara menjadi Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Ketentuan mengenai<br />

DKP terdapat dalam beberapa peraturan perundangan yaitu; UU Nomor 2 Tahun 2008<br />

ketentuan Pasal 38 ayat 2 dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,<br />

ketentuan pasal 62.<br />

65

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!