menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

62 “Dalam hal terdakwanya berpangkat kolonel, hakim anggota, dan oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat terdakwa dan dalam hal terdakwanya perwira tinggi hakim ketua, hakim anggota dan oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat terdakwa.” Lebih jauh, dalam pasal 40 dan pasal 41 UU No 31 Tahun 1997 secara jelas pemisahan permanen atas pengadilan berdasar kepangkatan. Pengadilan tingkat pertama adalah diperuntukkan bagi kepangkatan kapten ke bawah. Pasal 40 menyatakan: “Pengadilan militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah: a. Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah; b. Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" kapten ke bawah; Sementara yang berpangkat mayor ke atas diadili di Pengadilan Militer Tinggi;” Pasal 41, (1) menyatakan: “Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama: a. memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah: 1) Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat mayor ke atas; 2) Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" mayor ke atas;” h. Tata Usaha Militer dan Militerisasi Sengketa Salah satu bagian yang menyita banyak tugas dan kerja peradilan militer adalah fungsi untuk mengadili perkara tata usaha militer. Peran ini dimaksudkan sebagai usaha untuk melakukan persidangan atas kasus gugatan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh otoritas pertahanan, dalam hal ini Markas Besar TNI. Hal ini secara jelas tercantum dalam Pasal 1 angka 34 yang menyatakan bahwa: “Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berisi tindakan

hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan berkaitan dengan penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan keamanan negara di bidang personel, materiil, fasilitas dan jasa yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.” Berdasarkan ketentuan diatas jelas bahwa keputusan yang bisa dipersengketakan adalah keputusan yang terkait dengan upaya pertahanan (dan keamanan) di Indonesia. Hal tersebut diasumsikan merupakan hal yang sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dan memang sudah seharusnya hal tersebut diatur dan dituangkan dalam ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi ketentuan di atas menunjukkan bahwa adanya kemungkinan keputusan soal pertahanan negara menimbulkan kerugian dipihak masyarakat atau tidak mempertimbangkan kepentingan masyarakat sipil. Aturan ini sangat potensial untuk digunakan sebagai upaya melakukan penyelesaian sengketa akibat dikeluarkannya sebuah keputusan dari Mabes TNI yang menimbulkan kerugian di pihak masyarakat. Hal lain yang patut diperhatikan, adalah penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan di peradilan militer. Sementara lembaga peradilan militer sebagaimana digambarkan dalam Pasal 1 (poin 9 dan 10) dan Pasal 74 dalam UU No 31 Tahun 1997 merupakan lembaga yang didominasi oleh para komandan di dalam lingkup militer dan strukturnya juga dibina oleh institusi militer. Oleh karenanya peradilan militer merupakan representasi kepentingan militer. Persoalannya kemudian, jika yang dirugikan adalah pihak non militer seperti masyarakat sipil, maka penyelesaian sengketa akibat keputusan tata usaha angkatan bersenjata tidak bisa diselesaikan lewat peradilan militer. Pola penyelesaian lewat peradilan (tata usaha) militer ini merupakan tindakan militerisasi sipil atau masyarakat melalui sistem peradilan (tata usaha) militer. Masyarakat dipaksa masuk dalam sistem peradilan ‘militer”, di mana hakim, panitera, tergugatnya adalah militer. Padahal jelas bahwa kerugiannya bukan pada militer. Peradilan militer mengambil yurisdiksi pengadilan atas keputusan tata usaha militer hanya berdasar pada keputusan yang dikeluarkan oleh institusi militer. 63

62<br />

“Dalam hal terdakwanya berpangkat kolonel, hakim anggota, dan oditur<br />

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat<br />

setingkat dengan pangkat terdakwa dan dalam hal terdakwanya perwira<br />

tinggi hakim ketua, hakim anggota dan oditur sebagaimana dimaksud<br />

pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat<br />

terdakwa.”<br />

Lebih jauh, dalam pasal 40 dan pasal 41 UU No 31 Tahun 1997 secara jelas<br />

pemisahan permanen atas pengadilan berdasar kepangkatan. Pengadilan tingkat<br />

pertama adalah diperuntukkan bagi kepangkatan kapten ke bawah. Pasal 40<br />

menyatakan:<br />

“Pengadilan militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama<br />

perkara pidana yang terdakwanya adalah:<br />

a. Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah;<br />

b. Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan<br />

huruf c yang terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" kapten ke<br />

bawah;<br />

Sementara yang berpangkat mayor ke atas diadili di Pengadilan Militer<br />

Tinggi;”<br />

Pasal 41, (1) menyatakan:<br />

“Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama:<br />

a. memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah:<br />

1) Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat mayor ke atas;<br />

2) Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan<br />

huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya "termasuk<br />

tingkat kepangkatan" mayor ke atas;”<br />

h. Tata Usaha Militer dan Militerisasi Sengketa<br />

Salah satu bagian yang menyita banyak tugas dan kerja peradilan militer adalah<br />

fungsi untuk mengadili perkara tata usaha militer. Peran ini dimaksudkan sebagai<br />

usaha untuk melakukan persidangan atas kasus gugatan terhadap keputusan yang<br />

dikeluarkan oleh otoritas pertahanan, dalam hal ini Markas Besar TNI. Hal ini secara<br />

jelas tercantum dalam Pasal 1 angka 34 yang menyatakan bahwa:<br />

“Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang<br />

selanjutnya disebut Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah<br />

suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata<br />

Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berisi tindakan

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!