menerobos%20jalan%20buntu
menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu
Berdasarkan pasal di atas ada kemungkinan, berdasarkan poin b, bahwa pengadilan dilakukan di wilayah yang sama dengan keberadaan kesatuan dari pelaku kejahatan. Hal ini jelas akan menyulitkan kinerja peradilan karena peradilan untuk perkara pidana harus dilakukan di atau oleh lembaga yang berada di wilayah kejahatan terjadi. Namun hal ini untuk memudahkan proses pengambilan barang bukti (investigasi) serta memudahkan saksi untuk hadir. Jika peradilan dilaksanakan di wilayah lain sudah barang tentu hal itu akan menyulitkan pembuktian, akan memakan jarak, waktu dan biaya yang banyak. Jalan keluar yang ditawarkan terdapat dalam Pasal 11, 54 “Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara itu lebih dahulu harus mengadili perkara tersebut.” Pasal 11 jelas mencerminkan usaha memudahkan penyelesaian sengketa sebagaimana yang digambarkan dalam pasal 10. Tergantung pada pengadilan yang menerima lebih dahulu. Alasan ini jelas tidak berdasar. Seharusnya penyelesaian sengketa wewenang tersebut dibangun berdasarkan alasan kepentingan penyelesaian perkara secara efektif dan efesien. Selain itu, pasal 11 membuka peluang bahwa pengadilan dilakukan di luar wilayah kejahatan terjadi, sebagaimana poin b. Sekali lagi, bahwa hal ini akan menyulitkan pembuktian. d. Posisi Peradilan yang Tidak Independen Peradilan militer di Indonesia dalam gambaran UU No 31 Tahun 1997 sangat memungkinkan kontrol oleh Panglima (ABRI). Dalam nuansa militeristik, unsur komando dan kepangkatan menjadi faktor penting dan mempengaruhi proses peradilan. Sebagai contoh dalam soal pemecatan hakim peradilan militer. Dalam pemberhentian hakim peradilan militer, sebagaimana alasan-alasannya diatur dalam UU No 31 Tahun 1997 Pasal 25. Hakim tersebut dapat melakukan pembelaan di hadapan Majelis Kehormatan Hakim (Pasal 25 ayat 2), sementara pembentukan Majelis Kehormatan tersebut ditetapkan oleh Panglima TNI (Pasal 25 ayat 3 jo pasal 1). Selain itu dominasi panglima juga terlihat dalam pengangkatan dan pemberhentian Panitera Pengadilan Militer (Pasal 29) melalui keputusan panglima. Selain itu perlu diingat bahwa status hakim dalam peradilan militer adalah militer aktif sehingga akan terjadi kekacauan administrasi terhadap seseorang yang menjadi hakim dalam peradilan militer karena harus tunduk pada 2 institusi; institusi kehakiman di bawah MA dan institusi TNI. Di sisi lain, Panglima TNI juga aktif menentukan keberlanjutan sebuah perkara. Hal ini dikarenakan Panglima TNI berposisi sebagai Papera. Posisi ini sangat dominan untuk menentukan proses peradilan (Pasal 1 angka 10 jo 123). Salah satu alasan yang bisa digunakan oleh Papera untuk menghentikan perkaranya adalah alasan pertahanan
dan keamanan negara. Sesungguhnya alasan ini bukan sesuatu yang dilarang. Akan tetapi soal wewenang tersebut sangatlah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokratisasi. Bahwa ancaman dan keputusan untuk merespon ancaman merupakan keputusan politik. Maka haruslah dengan pertimbangan politik oleh pemegang kekuasaan yang politis pula seperti presiden dan DPR, dan bukan Panglima TNI. Di sisi lain, akibat adanya Pepera mengakibatkankan bertambah panjangnya proses yang harus dilalui agar suatu perkara dapat disidangkan di pengadilan. Hal ini dapat disebabkan kinerja-subjektifitas Pepera dan juga proses yang harus dilalui apabila ada perbedaan pendapat antara oditur militer dengan Papera. Dalam mengeluarkan surat keputusan, Pepera akan mempertimbangkan pendapat oditur militer. Bila Papera tidak setuju dengan pendapat oditur militer, ia harus memberikan jawaban tertulis. Terhadap jawaban itu oditur militer juga dapat tidak menyetujuinya. Bila demikian, maka oditur menyerahkan permohonan disertai alasan-alasannya kepada Papera. Permohonan ini wajib dikirim oleh Papera kepada pengadilan militer utama dan akan diputuskan hakim pengadilan militer utama setelah mendengar pendapat oditur jenderal. Berkas akan dikembalikan kepada Papera bila putusan menyatakan perkara harus diadili di pengadilan. Dominasi Panglima TNI juga terlihat dalam beberapa hal lainnya seperti; peran pembinaan organisasi dan prosedur, administrasi, finansial badan-badan peradilan dan odituriat (Pasal 7). Dalam hal ini panglima diberi kewenangan untuk memberikan usul kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian hakim pengadilan militer (Pasal 21). Panglima juga menentukan Oditur, Oditur Jenderal serta Majelis Kehormatan Oditur. e. Koneksitas Dalam Pasal 198, dijelaskan mengenai definisi dan kewenangan koneksitas, “(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk justisiabel peradilan militer dan justisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.” Penyidikan perkara koneksitas dilaksanakan oleh sebuah tim gabungan antara polisi militer, oditur, dan penyidik dalam lingkungan peradilan umum (198 ayat 2). Hal ini berarti penyidikan dilakukan bukan oleh institusi permanen. Hal ini jelas menimbulkan inefisiensi kerja. Karena akan banyak tim yang dibentuk jika kasusnya merupakan kasus yang tergolong koneksitas. Inefisiensi juga tergambar dalam upaya 55
- Page 3 and 4: SEKAPUR SIRIH KontraS (Komisi untuk
- Page 5 and 6: Buku hasil kajian tentang Peradilan
- Page 7 and 8: f. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 9 and 10: menghargai dan melindungi HAM. Hal
- Page 11 and 12: Sipil-Politik (ICCPR), Kovenan Inte
- Page 13 and 14: Perubahan atas peradilan militer in
- Page 15 and 16: prinsip internasional. Bab keempat,
- Page 17 and 18: Sistem peradilan militer tidak diat
- Page 19 and 20: Operasionalisasi sistem peradilan m
- Page 21 and 22: Ketentuan ini juga ditegaskan oleh
- Page 23 and 24: wajib militer berdasarkan suatu key
- Page 25 and 26: “Any person against whom proceedi
- Page 27 and 28: internasional -baik di tingkat inte
- Page 29 and 30: Di luar dua isu di atas; pelanggara
- Page 31 and 32: Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tenta
- Page 33 and 34: Kewenangan konstitusional negara un
- Page 35 and 36: preventif berulangnya pelanggaran H
- Page 37 and 38: BAB III PERADILAN MILITER INDONESIA
- Page 39 and 40: Aturan hukum terkait dengan militer
- Page 41 and 42: Dalam sumber hukum sebagaimana yang
- Page 43 and 44: umumnya menangani baik perkara perd
- Page 45 and 46: Pengadilan militer model ini bertah
- Page 47 and 48: acara pidana dan hukum acara gugata
- Page 49 and 50: pidana yang dilakukan sipil dan mil
- Page 51 and 52: Sumber : Data olahan Dokumentasi Ko
- Page 53: Berdasarkan kompentensi subjektifny
- Page 57 and 58: g. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 59 and 60: g. menentukan perkara untuk diseles
- Page 61 and 62: Menghukum yang bersangkutan dengan
- Page 63 and 64: hukum berdasarkan ketentuan peratur
- Page 65 and 66: orang menjadi korban dalam penculik
- Page 67 and 68: pernah ada rekonstruksi yang dilaku
- Page 69 and 70: PPRM bertujuan untuk menghalau luas
- Page 71 and 72: “Saya mempertanyakan peradilan mi
- Page 73 and 74: tahu. Jadi kami memang benar - bena
- Page 75 and 76: ersamaan, Perwakilan Komnas HAM kal
- Page 77 and 78: Sampai pada awal tahun 2007, proses
- Page 79 and 80: Pembacaan putusan itu disampaikan K
- Page 81 and 82: IV. 6 Kasus Pembunuhan Theys Hiyo E
- Page 83 and 84: Marpaung Panahatan, seorang sipil,
- Page 85 and 86: menyalahi prinsip asas imparsialita
- Page 87 and 88: ahwa tersangka yang bersalah tidak
- Page 89 and 90: oleh Polisi Militer. 4 Marcus Silan
- Page 91 and 92: RI terkait kendala dalam RUU peruba
- Page 93 and 94: RUU tentang Hukum Disiplin Militer
- Page 95 and 96: Perdebatan lain yang muncul adalah
- Page 97 and 98: V.2 Stagnasi Sikap Pemerintah penyi
- Page 99 and 100: Tabel Pendapat Para Ahli mengenai P
- Page 101 and 102: Mereka sama-sama penyidik. Akan leb
- Page 103 and 104: 6. Panja menyepakati penggunaan ist
dan keamanan negara. Sesungguhnya alasan ini bukan sesuatu yang dilarang. Akan<br />
tetapi soal wewenang tersebut sangatlah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip<br />
demokratisasi. Bahwa ancaman dan keputusan untuk merespon ancaman merupakan<br />
keputusan politik. Maka haruslah dengan pertimbangan politik oleh pemegang<br />
kekuasaan yang politis pula seperti presiden dan DPR, dan bukan Panglima TNI.<br />
Di sisi lain, akibat adanya Pepera mengakibatkankan bertambah panjangnya proses<br />
yang harus dilalui agar suatu perkara dapat disidangkan di pengadilan. Hal ini dapat<br />
disebabkan kinerja-subjektifitas Pepera dan juga proses yang harus dilalui apabila ada<br />
perbedaan pendapat antara oditur militer dengan Papera. Dalam mengeluarkan surat<br />
keputusan, Pepera akan mempertimbangkan pendapat oditur militer. Bila Papera tidak<br />
setuju dengan pendapat oditur militer, ia harus memberikan jawaban tertulis.<br />
Terhadap jawaban itu oditur militer juga dapat tidak menyetujuinya. Bila demikian,<br />
maka oditur menyerahkan permohonan disertai alasan-alasannya kepada Papera.<br />
Permohonan ini wajib dikirim oleh Papera kepada pengadilan militer utama dan akan<br />
diputuskan hakim pengadilan militer utama setelah mendengar pendapat oditur<br />
jenderal. Berkas akan dikembalikan kepada Papera bila putusan menyatakan perkara<br />
harus diadili di pengadilan.<br />
Dominasi Panglima TNI juga terlihat dalam beberapa hal lainnya seperti; peran<br />
pembinaan organisasi dan prosedur, administrasi, finansial badan-badan peradilan dan<br />
odituriat (Pasal 7). Dalam hal ini panglima diberi kewenangan untuk memberikan<br />
usul kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian hakim pengadilan militer<br />
(Pasal 21). Panglima juga menentukan Oditur, Oditur Jenderal serta Majelis<br />
Kehormatan Oditur.<br />
e. Koneksitas<br />
Dalam Pasal 198, dijelaskan mengenai definisi dan kewenangan koneksitas,<br />
“(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang<br />
termasuk justisiabel peradilan militer dan justisiabel peradilan umum,<br />
diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan<br />
umum kecuali apabila menurut keputusan menteri dengan persetujuan<br />
Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh<br />
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”<br />
Penyidikan perkara koneksitas dilaksanakan oleh sebuah tim gabungan antara polisi<br />
militer, oditur, dan penyidik dalam lingkungan peradilan umum (198 ayat 2). Hal ini<br />
berarti penyidikan dilakukan bukan oleh institusi permanen. Hal ini jelas<br />
menimbulkan inefisiensi kerja. Karena akan banyak tim yang dibentuk jika kasusnya<br />
merupakan kasus yang tergolong koneksitas. Inefisiensi juga tergambar dalam upaya<br />
55