menerobos%20jalan%20buntu
menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu
52 Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Tidak berhenti di sini, penegasan terhadap berlakunya yurisdiksi sistem peradilan umum terhadap personel militer yang melakukan pelanggaran non-militer juga terdapat dalam suatu undang-undang, yaitu Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia: “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”76 Hal ini menunjukkan bahwa sebuah tindak pidana yang sama akan disidik-dituntutdiadili secara berbeda hanya karena tersangka atau terdakwa merupakan anggota militer. Selain itu, penggunaan pengadilan militer tidak hanya untuk kalangan prajurit. Pengadilan militer tersebut juga potensial digunakan terhadap warganegara lain yang bukan anggota militer di Indonesia, sebagaimana pada poin d. Dengan kata lain, sangat memungkinkan terjadi militerisasi penghukuman (secara militer) ke warga sipil lewat pengadilan militer. Mengenai subjektifikasi wewenang pengadilan, S. Sianturi menjelaskan, jauh sebelum munculnya UU No 31 Tahun 1997, yang menyatakan bahwa: “Hukum militer pada umumnya lebih bertitik berat kepada penggunaan asas perseorangan baik terhadap militer maupun terhadap setiap orang yang berada dalam suatu daerah musuh/lawan yang dikuasai oleh satuan angkatan perang, dalam hal tertentu (dalam hal ini dalam perkara tertentu), sudah sewajarnya apabila mereka ini ditundukkan kepada kekuasaan peradilan militer.”77 Sesungguhnya memang tidak ada alasan jelas yang bisa dijelaskan ke masyarakat mengenai kompetensi subjektif ini, selain semata-mata kepentingan militer. Pengaturan soal wewenang pengadilan ini, terutama pasal 9 ayat 1, merupakan pintu masuk bagi keleluasaan TNI untuk mengadili semua perkara - baik korupsi, pelanggaran HAM maupun pelanggaran HAM atau tindakan lainnya – ke dalam lingkup pengadilan militer. Hal ini membingungkan dan bertabrakan dengan semangat dan kebijakan/aturan perundang-undangan yang ada yang memberikan legitimasi pemisahan pengadilan berdasarkan kejahatannya. 76 Undang-Undang No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 65 ayat (2). 77 S. R. Sianturi, SH, hal 26-27.
Berdasarkan kompentensi subjektifnya, pengadilan bukan saja bisa menghindari kejahatan-kejahatan besar karena wewenang mengadilinya. Akan tetapi pengadilan militer juga bisa mengadili pelanggaran lalu lintas. Dalam pasal 108 (5) dikatakan bahwa: “Dalam pelanggaran lalu lintas, penyidik membuat berita acara pelanggaran lalu lintas yang memuat jenis pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh tersangka dan ditandatangani penyidik dan tersangka, selanjutnya diserahkan kepada Pengadilan Militer/ Pengadilan Militer Tinggi melalui Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang berwenang.” Karena berbasis pada subjek hukum, yaitu TNI, maka penyelidik dan penyidiknya pun berasal dari TNI. Dengan kata lain bahwa bukan hanya pengadilannya yang berada dalam institusi militer tetapi juga kewenangan kerja lainnya, berupa penyelidikan-penyidikan dan penuntutan. Peradilan militer mendapatkan kewenangan untuk menerima laporan atau pengaduan, menangkap, menahan, olah TKP, melakukan pemeriksaan, termasuk pemeriksaan ahli, termasuk pemeriksaan khusus seperti forensik, pemeriksaan surat di kantor pos atau telekomunikasi sampai menuju proses di pengadilan. Yang terpenting, menurut UU 31 Tahun 1997, kejahatan atau pelanggaran tersebut dilakukan oleh anggota TNI atau dilakukan oleh pihak-pihak yang masuk kualifikasi pasal 9 (1). Hal ini pastinya akan berbenturan dengan kerja peradilan umum yang seharusnya dilakukan oleh polisi dan kejaksaan. c. Kompetensi Relatif Tidak Jelas Dalam pasal 10 UU No 31 Tahun 1997 disebutkan bahwa: “Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang: a. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau b. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.” Berdasarkan pasal diatas terlihat bahwa ada inkonsistensi untuk menunjuk di mana pengadilan harus digelar atas kejahatan yang terjadi. Apakah akan digelar di pengadilan yang wilayah kerjanya melingkupi daerah kejahatan (poin a) atau digelar di pengadilan yang wilayah kerjanya melingkupi daerah kesatuan pelaku kejahatan (poin b). 53
- Page 1 and 2: MENEROBOS JALAN BUNTU KAJIAN TERHAD
- Page 3 and 4: SEKAPUR SIRIH KontraS (Komisi untuk
- Page 5 and 6: Buku hasil kajian tentang Peradilan
- Page 7 and 8: f. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 9 and 10: menghargai dan melindungi HAM. Hal
- Page 11 and 12: Sipil-Politik (ICCPR), Kovenan Inte
- Page 13 and 14: Perubahan atas peradilan militer in
- Page 15 and 16: prinsip internasional. Bab keempat,
- Page 17 and 18: Sistem peradilan militer tidak diat
- Page 19 and 20: Operasionalisasi sistem peradilan m
- Page 21 and 22: Ketentuan ini juga ditegaskan oleh
- Page 23 and 24: wajib militer berdasarkan suatu key
- Page 25 and 26: “Any person against whom proceedi
- Page 27 and 28: internasional -baik di tingkat inte
- Page 29 and 30: Di luar dua isu di atas; pelanggara
- Page 31 and 32: Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tenta
- Page 33 and 34: Kewenangan konstitusional negara un
- Page 35 and 36: preventif berulangnya pelanggaran H
- Page 37 and 38: BAB III PERADILAN MILITER INDONESIA
- Page 39 and 40: Aturan hukum terkait dengan militer
- Page 41 and 42: Dalam sumber hukum sebagaimana yang
- Page 43 and 44: umumnya menangani baik perkara perd
- Page 45 and 46: Pengadilan militer model ini bertah
- Page 47 and 48: acara pidana dan hukum acara gugata
- Page 49 and 50: pidana yang dilakukan sipil dan mil
- Page 51: Sumber : Data olahan Dokumentasi Ko
- Page 55 and 56: dan keamanan negara. Sesungguhnya a
- Page 57 and 58: g. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 59 and 60: g. menentukan perkara untuk diseles
- Page 61 and 62: Menghukum yang bersangkutan dengan
- Page 63 and 64: hukum berdasarkan ketentuan peratur
- Page 65 and 66: orang menjadi korban dalam penculik
- Page 67 and 68: pernah ada rekonstruksi yang dilaku
- Page 69 and 70: PPRM bertujuan untuk menghalau luas
- Page 71 and 72: “Saya mempertanyakan peradilan mi
- Page 73 and 74: tahu. Jadi kami memang benar - bena
- Page 75 and 76: ersamaan, Perwakilan Komnas HAM kal
- Page 77 and 78: Sampai pada awal tahun 2007, proses
- Page 79 and 80: Pembacaan putusan itu disampaikan K
- Page 81 and 82: IV. 6 Kasus Pembunuhan Theys Hiyo E
- Page 83 and 84: Marpaung Panahatan, seorang sipil,
- Page 85 and 86: menyalahi prinsip asas imparsialita
- Page 87 and 88: ahwa tersangka yang bersalah tidak
- Page 89 and 90: oleh Polisi Militer. 4 Marcus Silan
- Page 91 and 92: RI terkait kendala dalam RUU peruba
- Page 93 and 94: RUU tentang Hukum Disiplin Militer
- Page 95 and 96: Perdebatan lain yang muncul adalah
- Page 97 and 98: V.2 Stagnasi Sikap Pemerintah penyi
- Page 99 and 100: Tabel Pendapat Para Ahli mengenai P
- Page 101 and 102: Mereka sama-sama penyidik. Akan leb
Berdasarkan kompentensi subjektifnya, pengadilan bukan saja bisa menghindari<br />
kejahatan-kejahatan besar karena wewenang mengadilinya. Akan tetapi pengadilan<br />
militer juga bisa mengadili pelanggaran lalu lintas. Dalam pasal 108 (5) dikatakan<br />
bahwa:<br />
“Dalam pelanggaran lalu lintas, penyidik membuat berita acara<br />
pelanggaran lalu lintas yang memuat jenis pelanggaran lalu lintas yang<br />
dilakukan oleh tersangka dan ditandatangani penyidik dan tersangka,<br />
selanjutnya diserahkan kepada Pengadilan Militer/ Pengadilan Militer<br />
Tinggi melalui Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang<br />
berwenang.”<br />
Karena berbasis pada subjek hukum, yaitu TNI, maka penyelidik dan penyidiknya<br />
pun berasal dari TNI. Dengan kata lain bahwa bukan hanya pengadilannya yang<br />
berada dalam institusi militer tetapi juga kewenangan kerja lainnya, berupa<br />
penyelidikan-penyidikan dan penuntutan. Peradilan militer mendapatkan kewenangan<br />
untuk menerima laporan atau pengaduan, menangkap, menahan, olah TKP,<br />
melakukan pemeriksaan, termasuk pemeriksaan ahli, termasuk pemeriksaan khusus<br />
seperti forensik, pemeriksaan surat di kantor pos atau telekomunikasi sampai menuju<br />
proses di pengadilan. Yang terpenting, menurut UU 31 Tahun 1997, kejahatan atau<br />
pelanggaran tersebut dilakukan oleh anggota TNI atau dilakukan oleh pihak-pihak<br />
yang masuk kualifikasi pasal 9 (1). Hal ini pastinya akan berbenturan dengan kerja<br />
peradilan umum yang seharusnya dilakukan oleh polisi dan kejaksaan.<br />
c. Kompetensi Relatif Tidak Jelas<br />
Dalam pasal 10 UU No 31 Tahun 1997 disebutkan bahwa:<br />
“Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak<br />
pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal<br />
9 angka 1 yang:<br />
a. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau<br />
b. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah<br />
hukumnya.”<br />
Berdasarkan pasal diatas terlihat bahwa ada inkonsistensi untuk menunjuk di mana<br />
pengadilan harus digelar atas kejahatan yang terjadi. Apakah akan digelar di<br />
pengadilan yang wilayah kerjanya melingkupi daerah kejahatan (poin a) atau digelar<br />
di pengadilan yang wilayah kerjanya melingkupi daerah kesatuan pelaku kejahatan<br />
(poin b).<br />
53