menerobos%20jalan%20buntu
menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu
dari kekuasaan eksekutif namun di sisi lain berkurangnya independensi peradilan. Pergeseran kekuatan ini tidak mengherankan bila melihat konteks saat itu yaitu adanya UU No 30 Tahun 1948. Di sisi lain, susunan pengadilan bertambah lengkap yaitu Mahkamah Tentara, Mahkamah Tentara Tinggi dan Mahkamah Tentara Agung. Sedangkan hukum acara nyaris tidak berubah, yaitu PP No 38 Tahun 1948 dan PP No 65 Tahun 1948. Di masa Agresi Belanda II muncul Peraturan Darurat No 46/MBDK/49 tahun 1949 tentang Menghapus Pengadilan Tentara di seluruh Jawa Madura dan mengganti dengan Pengadilan Tentara Pemerintah Militer. Kompetensi absolut pengadilan ini meliputi Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, anggota pasukan yang telah dimiliterisir serta pegawai tetap yang bekerja pada angkatan perang. Sementara hukum acara yang digunakan adalah acara summier sesuai Pasal 337 HIR dan tidak ada banding. Di sisi lain, susunan pengadilan pun disesuaikan dengan pemerintahan militer, yaitu Mahkamah Tentara zonder distrik militer, Mahkamah Tentara distrik militer serta Mahkamah Tentara daerah gubernur militer. Di masa Republik Indonesia Serikat (RIS), peraturan diganti kembali menjadi Perpu 36 Tahun 1949. Walau demikian, kompetensi absolut, susunan pengadilan dan hukum acara sama dengan PP No 37 Tahun 1948. Pada masa UUDS 1950, peraturan mengenai peradilan militer diganti kembali menjadi UU Darurat No 16 Tahun 1950, yang kemudian ditetapkan menjadi UU No 5 Tahun 1950. Kompetensi absolut peradilan militer saat ini adalah anggota angkatan perang RIS atau orang-orang yang ditetapkan sebagai angkatan perang berdasarkan UU atau PP serta orang-orang yang tidak termasuk angkatan perang tapi dapat diadili berdasarkan ketetapan Menhan dan persetujuan Menkeh. Independensi pengadilan saat ini lebih baik karena apabila ada perselisihan mengenai kewenangan mengadili antara pengadilan di lingkungan peradilan tentara dengan pengadilan biasa akan diputuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia. Bandingkan dengan masa 1946 di mana perselisihan serupa diputus oleh presiden. Walau demikian, independensi tersebut tidak sepenuhnya karena untuk perselisihan antara Mahkamah Tentara Agung dengan Mahkamah Agung tetap diputus oleh presiden. Saat ini juga terdapat pengawasan oleh Mahkamah Tentara Agung yang ketuanya adalah Ketua Mahkamah Agung terhadap Pengadilan Tentara Tinggi dan Pengadilan Tentara. Pengawasan serupa juga dilakukan oleh Jaksa Tentara Agung yang ketuanya adalah Jaksa Agung terhadap Kejaksaan Tentara Tinggi dan Kejaksaan Tentara. Hukum acara yang digunakan adalah UU Darurat No 17 Tahun 1950 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No 6 Tahun 1950. Pada saat inilah, komandan/atasan memiliki wewenang menyidik menambah pihak yang sudah tercantum dalam HIR. Walaupun demikian, pengusutan dan penyerahan perkara tetap merupakan wewenang jaksa melalui kewajiban komandan menuruti petunjuk Kejaksaan Tentara dan memberikan laporan tertulis tiap bulannya kepada Kejaksaan Tentara. Sementara susunan pengadilan tetap seperti sebelumnya. 44
Pengadilan militer model ini bertahan hingga pemberlakukan UU No 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara. UU No 29 Tahun 1954, Pasal 35 menjadi dasar adanya perwira penyerah perkara yang diikuti dengan UU Darurat 1 Tahun 1958 tentang perubahan UU No 6 Tahun 1950 yang mengatur atasan yang berhak menghukum atau komandan dengan sejumlah hak yaitu melakukan pemeriksaan sendiri, dapat memerintahkan pengusutan, dapat menentukan suatu perkara tindak pidana atau disiplin, dapat menahan atau membebaskan, memerintah Jaksa Tentara melakukan pengusutan /pemeriksaan, berhak menyerahkan perkara kepada Pengadilan Tentara dan penentuan hari persidangan. Sejak tahun 1964, seluruh sistem pengadilan berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung yang dituangkan dalam UU 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Walaupun demikian, pengadilan-pengadilan ini belum sepenuhnya independen dari kekuasaan lain karena untuk beberapa hal masih berada di bawah kekuasaan eksekutif, seperti di bawah pimpinan MA, organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan Depkeh, Depag dan departemendepartemen dalam lingkungan angkatan bersenjata. Di tahun 1965, kontrol militer terhadap peradilan militer semakin besar melalui PNPS No 22 Tahun 1965 tentang Perubahan UU No 5 Tahun 1950. Melalui peraturan ini pejabat utama pada badan-badan peradilan militer dijabat oleh kalangan militer sendiri. PNPS ini diikuti oleh SKB Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Kepala Staf AD No MK/KPTS-189/9/196174 UP/DKT/A/11022/181/Pen, yang menyatakan pengalihan wewenang administratif termasuk pengangkatan, penghentian jaksa tentara dan penentuan kebijaksanaan dalam kejaksaan militer kepada Menteri/KSAD. Kompetensi absolut peradilan militer semakin luas dalam PNPS No 3 tahun 1965. UU ini memberlakukan pidana tentara, hukum acara pidana tentara dan hukum disiplin tentara kepada anggota-anggota angkatan kepolisian RI. Kepolisian pada saat ini hanya memiliki kewenangan penyidikan, penyerahan perkara dan pengambilan tindakan disiplin. Pihak yang dapat diadili di peradilan militer semakin luas lagi dengan disahkannya PNPS No 4 Tahun 1965, yang memberlakukan hukum pidana tentara, hukum acara pidana tentara dan hukum disiplin tentara berlaku kepada hansip dan sukarelawan. 74 SKB yang sama isinya juga dibuat antara Menteri/Jaksa Agung dengan Kepala Staf angkatan lainnya. 45
- Page 1 and 2: MENEROBOS JALAN BUNTU KAJIAN TERHAD
- Page 3 and 4: SEKAPUR SIRIH KontraS (Komisi untuk
- Page 5 and 6: Buku hasil kajian tentang Peradilan
- Page 7 and 8: f. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 9 and 10: menghargai dan melindungi HAM. Hal
- Page 11 and 12: Sipil-Politik (ICCPR), Kovenan Inte
- Page 13 and 14: Perubahan atas peradilan militer in
- Page 15 and 16: prinsip internasional. Bab keempat,
- Page 17 and 18: Sistem peradilan militer tidak diat
- Page 19 and 20: Operasionalisasi sistem peradilan m
- Page 21 and 22: Ketentuan ini juga ditegaskan oleh
- Page 23 and 24: wajib militer berdasarkan suatu key
- Page 25 and 26: “Any person against whom proceedi
- Page 27 and 28: internasional -baik di tingkat inte
- Page 29 and 30: Di luar dua isu di atas; pelanggara
- Page 31 and 32: Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tenta
- Page 33 and 34: Kewenangan konstitusional negara un
- Page 35 and 36: preventif berulangnya pelanggaran H
- Page 37 and 38: BAB III PERADILAN MILITER INDONESIA
- Page 39 and 40: Aturan hukum terkait dengan militer
- Page 41 and 42: Dalam sumber hukum sebagaimana yang
- Page 43: umumnya menangani baik perkara perd
- Page 47 and 48: acara pidana dan hukum acara gugata
- Page 49 and 50: pidana yang dilakukan sipil dan mil
- Page 51 and 52: Sumber : Data olahan Dokumentasi Ko
- Page 53 and 54: Berdasarkan kompentensi subjektifny
- Page 55 and 56: dan keamanan negara. Sesungguhnya a
- Page 57 and 58: g. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 59 and 60: g. menentukan perkara untuk diseles
- Page 61 and 62: Menghukum yang bersangkutan dengan
- Page 63 and 64: hukum berdasarkan ketentuan peratur
- Page 65 and 66: orang menjadi korban dalam penculik
- Page 67 and 68: pernah ada rekonstruksi yang dilaku
- Page 69 and 70: PPRM bertujuan untuk menghalau luas
- Page 71 and 72: “Saya mempertanyakan peradilan mi
- Page 73 and 74: tahu. Jadi kami memang benar - bena
- Page 75 and 76: ersamaan, Perwakilan Komnas HAM kal
- Page 77 and 78: Sampai pada awal tahun 2007, proses
- Page 79 and 80: Pembacaan putusan itu disampaikan K
- Page 81 and 82: IV. 6 Kasus Pembunuhan Theys Hiyo E
- Page 83 and 84: Marpaung Panahatan, seorang sipil,
- Page 85 and 86: menyalahi prinsip asas imparsialita
- Page 87 and 88: ahwa tersangka yang bersalah tidak
- Page 89 and 90: oleh Polisi Militer. 4 Marcus Silan
- Page 91 and 92: RI terkait kendala dalam RUU peruba
- Page 93 and 94: RUU tentang Hukum Disiplin Militer
Pengadilan militer model ini bertahan hingga pemberlakukan UU No 29 Tahun 1954<br />
tentang Pertahanan Negara. UU No 29 Tahun 1954, Pasal 35 menjadi dasar adanya<br />
perwira penyerah perkara yang diikuti dengan UU Darurat 1 Tahun 1958 tentang<br />
perubahan UU No 6 Tahun 1950 yang mengatur atasan yang berhak menghukum atau<br />
komandan dengan sejumlah hak yaitu melakukan pemeriksaan sendiri, dapat<br />
memerintahkan pengusutan, dapat menentukan suatu perkara tindak pidana atau<br />
disiplin, dapat menahan atau membebaskan, memerintah Jaksa Tentara melakukan<br />
pengusutan /pemeriksaan, berhak menyerahkan perkara kepada Pengadilan Tentara<br />
dan penentuan hari persidangan.<br />
Sejak tahun 1964, seluruh sistem pengadilan berada dalam satu atap di bawah<br />
Mahkamah Agung yang dituangkan dalam UU 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok<br />
Kekuasaan Kehakiman. Walaupun demikian, pengadilan-pengadilan ini belum<br />
sepenuhnya independen dari kekuasaan lain karena untuk beberapa hal masih berada<br />
di bawah kekuasaan eksekutif, seperti di bawah pimpinan MA, organisatoris,<br />
administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan Depkeh, Depag dan departemendepartemen<br />
dalam lingkungan angkatan bersenjata.<br />
Di tahun 1965, kontrol militer terhadap peradilan militer semakin besar melalui PNPS<br />
No 22 Tahun 1965 tentang Perubahan UU No 5 Tahun 1950. Melalui peraturan ini<br />
pejabat utama pada badan-badan peradilan militer dijabat oleh kalangan militer<br />
sendiri. PNPS ini diikuti oleh SKB Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Kepala Staf AD<br />
No MK/KPTS-189/9/196174<br />
UP/DKT/A/11022/181/Pen,<br />
yang menyatakan pengalihan wewenang administratif termasuk pengangkatan,<br />
penghentian jaksa tentara dan penentuan kebijaksanaan dalam kejaksaan militer<br />
kepada Menteri/KSAD.<br />
Kompetensi absolut peradilan militer semakin luas dalam PNPS No 3 tahun 1965. UU<br />
ini memberlakukan pidana tentara, hukum acara pidana tentara dan hukum disiplin<br />
tentara kepada anggota-anggota angkatan kepolisian RI. Kepolisian pada saat ini<br />
hanya memiliki kewenangan penyidikan, penyerahan perkara dan pengambilan<br />
tindakan disiplin. Pihak yang dapat diadili di peradilan militer semakin luas lagi<br />
dengan disahkannya PNPS No 4 Tahun 1965, yang memberlakukan hukum pidana<br />
tentara, hukum acara pidana tentara dan hukum disiplin tentara berlaku kepada hansip<br />
dan sukarelawan.<br />
74<br />
SKB yang sama isinya juga dibuat antara Menteri/Jaksa Agung dengan Kepala Staf angkatan<br />
lainnya.<br />
45