menerobos%20jalan%20buntu
menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu
hukum yang mengatur soal displin institusi dan individu. Hal ini terkait dengan individual conduct dalam institusi kemiliterannya. Hukum pidana militer mengatur tindakan-tindakan kejahatan dan pelanggaran kemiliteran yang dilakukan oleh anggota militer. Menariknya dalam soal hukum internasional, S. Sianturi tidak memasukkan ketentuan-ketentuan soal hukum kelautan internasional dan hukum kedirgantaraan atau angkasa internasional. Padahal hal ini menjadi penting, karena dalam gugus kerja TNI selain matra darat (TNI AD), juga terdapat matra udara (TNI AU) dan matra laut (TNI AL). Sedangkan hukum perdata militer pada gugus kerja tersebut tidak ketahui aturannya. S. Sianturi juga tidak memasukkan hukum-hukum publik yang potensial diberlakukan ke individu-individu militer. Baik karena kesalahan individual maupun kesalahan karena tugas kemiliteran. Seperti hukum pidana (KUHP) tidak dimasukkan ke dalam lingkup hukum militer. Padahal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT)70 dalam buku pertama, ketentuan umum, pendahuluan, penggunaan hukum pidana, pasal 1 angka 4 menyatakan: 40 “Di dalam mempergunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara, maka berlakulah semua ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam hukum pidana umum, terkecuali apabila ada undangundang yang menyatakan, bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku bagi KUHPT.”71 Dalam bukunya S. Sianturi tidak menjelaskan mengapa hukum pidana dan hukum perdata juga tidak menjadi bagian dalam lingkup hukum militer. Padahal jika dilihat pada aturan hukum peradilan militer digunakan kualifikasi in persona. Pengadilan militer atau mahkamah militer diberlakukan terhadap anggota militer tanpa memperhitungkan delik kesalahan serta yurisdiksi atas kesalahan tersebut. Artinya bisa saja, jika seorang anggota militer melakukan kesalahan atas delik pidana umum, pada akhirnya akan tetap diadili dalam peradilan militer. Melihat konstruksi hukum militer di atas, dalam landasan hukum militer masih memasukkan doktrin-doktrin kemiliteran seperti Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Doktrin Militer sebagai salah satu sumber hukum militer, sebagaimana dinyatakan oleh S. Sianturi, bahwa hukum militer Indonesia berpangkal tolak dari tugas militer Indonesia (TNI). 70 KUHPT yang digunakan sampai saat ini adalah undang-undang peninggalan kolonial (Belanda); Stbl. 1934 nomor 167/ Wetboek van Military Strafrecht. 71 Marjoto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Penerbit Politea, 1958.
Dalam sumber hukum sebagaimana yang diutarakan diatas juga menjadikan doktrin militer sebagai sumber formal hukum militer. S Sianturi secara tidak langsung membuktikan bahwa militer Indonesia tidak memasukkan doktrin hukum dan kepentingan masyarakat sipil serta HAM sebagai ukuran bagi perumusan aturan hukum militer. Pengaturan hukum militer sebagaimana gambaran di atas tidak semata-mata berdasarkan hukum atau konstitusi. Terbukti unsur kepentingan militer juga berperan sebagai landasan hukum militer. Padahal, seharusnya soal kepentingan militer diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam artian bahwa antara hukum dan militer bukan sesuatu yang sejajar dan berbeda. Hukum harus dimaknai sebagai modal dalam kedudukan, peran dan tugas bagi militer di Indonesia. Hal ini adalah konsekuensi dari prinsip rule of law yang menjadi prasyarat dalam demokrasi di negara mana pun. Penyimpangan-penyimpangan oleh militer dalam menjalankan tugas dan peran profesionalnya, baik dalam kedudukannya dalam struktur pemerintahan maupun di luar kedudukan dalam struktur pemerintahan juga harus diatur dalam hukum. Doktrin-doktrin kemiliteran pun, jika ingin digunakan sebagai dasar kerja atau wewenang militer di Indonesia, seharusnya dituangkan dalam aturan perundang-undangan. Hukum seharusnya menjadi alat legitimasi terhadap tugas-tugas militer di Indonesia, termasuk legitimasi kontrol terhadap militer. Persilangan mandat dari konstitusi, termasuk Amandemen I-IV UUD 1945 dan doktrin militer dalam aturan dan implementasi aturan hukum terhadap militer pada akhirnya hanya akan mengakibatkan penerapan hukum yang tidak sejajar. Hal ini justru bertentangan dengan nilai hukum; equality before the law (semua orang dianggap sama di depan hukum) dan melanggar prinsip non-diskriminasi yang dijamin dalam konstitusi. Ketidaksejajaran dan diskriminatif-nya hukum militer tersebut dapat dilihat dalam penyataan tim penulis buku Departemen Petahanan dan keamanan (1976), Brigjen Soegiri dkk, bahwa : “Peraturan-peraturan yang bersifat khusus yang hanya berlaku bagi militer inilah kita sebut hukum militer. juga di bidang hukum pidana, diperlukan peraturan-peraturan yang bersifat khusus yang hanya berlaku bagi militer inilah kita sebut hukum militer. Juga di bidang hukum pidana, diperlukan peraturan-peraturan yang selain bersifat keras dan berat, sering harus pula didasarkan kepada asasasas yang menyimpang dari teori-teori hukum pidana umum. Tidak itu saja, juga mengenai sanksinya, sering harus menyimpang dari stelsel pemidanaan yang lazim berlaku bagi masyarakat biasa dalam arti perluasan jenis-jenis pidana dan pemberatan-pemberatan pidana.”72 72 Brigjen. Jend. TNI Soegiri SH dkk, hal 3. 41
- Page 1 and 2: MENEROBOS JALAN BUNTU KAJIAN TERHAD
- Page 3 and 4: SEKAPUR SIRIH KontraS (Komisi untuk
- Page 5 and 6: Buku hasil kajian tentang Peradilan
- Page 7 and 8: f. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 9 and 10: menghargai dan melindungi HAM. Hal
- Page 11 and 12: Sipil-Politik (ICCPR), Kovenan Inte
- Page 13 and 14: Perubahan atas peradilan militer in
- Page 15 and 16: prinsip internasional. Bab keempat,
- Page 17 and 18: Sistem peradilan militer tidak diat
- Page 19 and 20: Operasionalisasi sistem peradilan m
- Page 21 and 22: Ketentuan ini juga ditegaskan oleh
- Page 23 and 24: wajib militer berdasarkan suatu key
- Page 25 and 26: “Any person against whom proceedi
- Page 27 and 28: internasional -baik di tingkat inte
- Page 29 and 30: Di luar dua isu di atas; pelanggara
- Page 31 and 32: Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tenta
- Page 33 and 34: Kewenangan konstitusional negara un
- Page 35 and 36: preventif berulangnya pelanggaran H
- Page 37 and 38: BAB III PERADILAN MILITER INDONESIA
- Page 39: Aturan hukum terkait dengan militer
- Page 43 and 44: umumnya menangani baik perkara perd
- Page 45 and 46: Pengadilan militer model ini bertah
- Page 47 and 48: acara pidana dan hukum acara gugata
- Page 49 and 50: pidana yang dilakukan sipil dan mil
- Page 51 and 52: Sumber : Data olahan Dokumentasi Ko
- Page 53 and 54: Berdasarkan kompentensi subjektifny
- Page 55 and 56: dan keamanan negara. Sesungguhnya a
- Page 57 and 58: g. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 59 and 60: g. menentukan perkara untuk diseles
- Page 61 and 62: Menghukum yang bersangkutan dengan
- Page 63 and 64: hukum berdasarkan ketentuan peratur
- Page 65 and 66: orang menjadi korban dalam penculik
- Page 67 and 68: pernah ada rekonstruksi yang dilaku
- Page 69 and 70: PPRM bertujuan untuk menghalau luas
- Page 71 and 72: “Saya mempertanyakan peradilan mi
- Page 73 and 74: tahu. Jadi kami memang benar - bena
- Page 75 and 76: ersamaan, Perwakilan Komnas HAM kal
- Page 77 and 78: Sampai pada awal tahun 2007, proses
- Page 79 and 80: Pembacaan putusan itu disampaikan K
- Page 81 and 82: IV. 6 Kasus Pembunuhan Theys Hiyo E
- Page 83 and 84: Marpaung Panahatan, seorang sipil,
- Page 85 and 86: menyalahi prinsip asas imparsialita
- Page 87 and 88: ahwa tersangka yang bersalah tidak
- Page 89 and 90: oleh Polisi Militer. 4 Marcus Silan
hukum yang mengatur soal displin institusi dan individu. Hal ini terkait dengan<br />
individual conduct dalam institusi kemiliterannya.<br />
Hukum pidana militer mengatur tindakan-tindakan kejahatan dan pelanggaran<br />
kemiliteran yang dilakukan oleh anggota militer. Menariknya dalam soal hukum<br />
internasional, S. Sianturi tidak memasukkan ketentuan-ketentuan soal hukum kelautan<br />
internasional dan hukum kedirgantaraan atau angkasa internasional. Padahal hal ini<br />
menjadi penting, karena dalam gugus kerja TNI selain matra darat (TNI AD), juga<br />
terdapat matra udara (TNI AU) dan matra laut (TNI AL). Sedangkan hukum perdata<br />
militer pada gugus kerja tersebut tidak ketahui aturannya.<br />
S. Sianturi juga tidak memasukkan hukum-hukum publik yang potensial diberlakukan<br />
ke individu-individu militer. Baik karena kesalahan individual maupun kesalahan<br />
karena tugas kemiliteran. Seperti hukum pidana (KUHP) tidak dimasukkan ke dalam<br />
lingkup hukum militer. Padahal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara<br />
(KUHPT)70 dalam buku pertama, ketentuan umum, pendahuluan, penggunaan<br />
hukum pidana, pasal 1 angka 4 menyatakan:<br />
40<br />
“Di dalam mempergunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana<br />
Tentara, maka berlakulah semua ketentuan-ketentuan yang terdapat<br />
didalam hukum pidana umum, terkecuali apabila ada undangundang<br />
yang menyatakan, bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak<br />
berlaku bagi KUHPT.”71<br />
Dalam bukunya S. Sianturi tidak menjelaskan mengapa hukum pidana dan hukum<br />
perdata juga tidak menjadi bagian dalam lingkup hukum militer. Padahal jika dilihat<br />
pada aturan hukum peradilan militer digunakan kualifikasi in persona. Pengadilan<br />
militer atau mahkamah militer diberlakukan terhadap anggota militer tanpa<br />
memperhitungkan delik kesalahan serta yurisdiksi atas kesalahan tersebut. Artinya<br />
bisa saja, jika seorang anggota militer melakukan kesalahan atas delik pidana umum,<br />
pada akhirnya akan tetap diadili dalam peradilan militer.<br />
Melihat konstruksi hukum militer di atas, dalam landasan hukum militer masih<br />
memasukkan doktrin-doktrin kemiliteran seperti Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan<br />
Doktrin Militer sebagai salah satu sumber hukum militer, sebagaimana dinyatakan<br />
oleh S. Sianturi, bahwa hukum militer Indonesia berpangkal tolak dari tugas militer<br />
Indonesia (TNI).<br />
70 KUHPT yang digunakan sampai saat ini adalah undang-undang peninggalan kolonial<br />
(Belanda); Stbl. 1934 nomor 167/ Wetboek van Military Strafrecht.<br />
71 Marjoto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara Serta Komentar-komentarnya<br />
Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Penerbit Politea, 1958.