menerobos%20jalan%20buntu
menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu
Sejak 2005, desakan untuk merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer telah mengemuka. Sistem ini dianggap menjadi alat langgengnya impunitas, karena memiliki yurisdiksi untuk mengadili aparat militer yang melakukan tindak pidana umum. Idealnya, mereka harus diadili di pengadilan umum. Alhasil, berbagai kasus pelanggaran HAM berat justru diadili di pengadilan militer. Prosesnya tertutup, tidak transparan dan tidak mengakomodir kepentingan korban. Akibatnya mudah ditebak: pelaku yang diadili hanyalah pelaku lapangan, hukuman rendah sementara kebenaran tidak terungkap. Lebih jauh, hak-hak korban juga tak kunjung dipenuhi. Namun hingga akhir tahun 2009, isu ini seakan menguap. Debat panjang di DPR RI sepanjang tahun 2004-2009 untuk merumuskan perubahan UU tentang Peradilan Militer ini seakan berhenti. DPR bahkan tidak mengusulkannya sebagai agenda prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2010. Pembenahan akuntabilitas TNI yang tak kunjung tuntas menunjukkan bahwa komitmen mereformasi diri tidaklah sepenuh hati, bahkan tak didukung kuat oleh pemerintah. Dari situasi seperti itulah KontraS memandang penting untuk membuat pengkajian komprehensif yang merekomendasikan kebutuhan mendesak atas revisi UU Peradilan Militer yang saat ini berlaku. Kajian ini memfokuskan diri pada tema reformasi peradilan militer, sebagai ukuran akuntabilitas anggota TNI, khususnya jika dikaitkan dengan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Terhentinya pembahasan atas diskursus ini ini akan menghambat upaya korban pelanggaran HAM untuk mencari keadilan sekaligus melegitimasi kekokohan benteng impunitas bagi anggota TNI itu sendiri. Pengkajian ini berangkat dari catatan-catatan atas pandangan, perasaan, dan pengalaman para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang kehilangan anggota keluarganya dan harus menempuh mekanisme peradilan militer untuk mencari keadilan. Tim pengkajian KontraS melakukan wawancara dengan korban, wawancara dengan anggota Pansus Peradilan Militer, diskusi dengan ahli, dan catatan advokasi yang dilakukan oleh KontraS. Pengkajian ini juga dilalui melalui penelusuran literatur, terutama melihat kelemahan-kelemahan UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan mengggunakan prinsip-prinsip hukum internasional untuk mengukur efektivitas peradilan militer yang berlangsung. Untuk mendukung data-data tersebut, tim juga menelusuri berbagai data tambahan, seperti materi RDPU Pansus Peradilan Militer tahun 2005-2009 dan berita-berita di media massa. 4
Buku hasil kajian tentang Peradilan Militer ini disusun oleh tim penulis dari badan pekerja KontraS, yaitu Ali Nursahid, Chrisbiantoro, Haris Azhar, Indria Fernida, Papang Hidayat, Puri Kencana Putri dan Syamsul Alam Agus. Terima kasih secara khusus kami sampaikan kepada Ibu Azlaini Agus yang memberikan materi-materi yang sangat berharga bagi penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Aditya Muharram, Andy Irfan, Asfinawati, David Fau, Frezia Arts, Frengky Medi Banggut, dan Kusnadi yang membantu mengumpulkan data-data sebagai bahan pendukung untuk melengkapi hasil kajian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dukungan Kedutaan Besar Amerika Serikat sebagai mitra kerja KontraS yang menerbitkan buku ini. Kami berharap hadirnya buku hasil pengkajian atas praktik Peradilan Militer ini dapat menambah pengetahuan pembaca atas perjalanan praktik peradilan militer serta bersama-sama mendorong perubahan terhadap revisi UU Peradilan Militer yang saat ini masih berlaku. Selamat membaca. Menteng, Desember 2009 Usman Hamid Koordinator KontraS 5
- Page 1 and 2: MENEROBOS JALAN BUNTU KAJIAN TERHAD
- Page 3: SEKAPUR SIRIH KontraS (Komisi untuk
- Page 7 and 8: f. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 9 and 10: menghargai dan melindungi HAM. Hal
- Page 11 and 12: Sipil-Politik (ICCPR), Kovenan Inte
- Page 13 and 14: Perubahan atas peradilan militer in
- Page 15 and 16: prinsip internasional. Bab keempat,
- Page 17 and 18: Sistem peradilan militer tidak diat
- Page 19 and 20: Operasionalisasi sistem peradilan m
- Page 21 and 22: Ketentuan ini juga ditegaskan oleh
- Page 23 and 24: wajib militer berdasarkan suatu key
- Page 25 and 26: “Any person against whom proceedi
- Page 27 and 28: internasional -baik di tingkat inte
- Page 29 and 30: Di luar dua isu di atas; pelanggara
- Page 31 and 32: Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tenta
- Page 33 and 34: Kewenangan konstitusional negara un
- Page 35 and 36: preventif berulangnya pelanggaran H
- Page 37 and 38: BAB III PERADILAN MILITER INDONESIA
- Page 39 and 40: Aturan hukum terkait dengan militer
- Page 41 and 42: Dalam sumber hukum sebagaimana yang
- Page 43 and 44: umumnya menangani baik perkara perd
- Page 45 and 46: Pengadilan militer model ini bertah
- Page 47 and 48: acara pidana dan hukum acara gugata
- Page 49 and 50: pidana yang dilakukan sipil dan mil
- Page 51 and 52: Sumber : Data olahan Dokumentasi Ko
- Page 53 and 54: Berdasarkan kompentensi subjektifny
Sejak 2005, desakan untuk merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer<br />
telah mengemuka. Sistem ini dianggap menjadi alat langgengnya impunitas, karena<br />
memiliki yurisdiksi untuk mengadili aparat militer yang melakukan tindak pidana<br />
umum. Idealnya, mereka harus diadili di pengadilan umum. Alhasil, berbagai kasus<br />
pelanggaran HAM berat justru diadili di pengadilan militer. Prosesnya tertutup, tidak<br />
transparan dan tidak mengakomodir kepentingan korban. Akibatnya mudah ditebak:<br />
pelaku yang diadili hanyalah pelaku lapangan, hukuman rendah sementara kebenaran<br />
tidak terungkap. Lebih jauh, hak-hak korban juga tak kunjung dipenuhi.<br />
Namun hingga akhir tahun 2009, isu ini seakan menguap. Debat panjang di DPR RI<br />
sepanjang tahun 2004-2009 untuk merumuskan perubahan UU tentang Peradilan<br />
Militer ini seakan berhenti. DPR bahkan tidak mengusulkannya sebagai agenda<br />
prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2010. Pembenahan akuntabilitas TNI<br />
yang tak kunjung tuntas menunjukkan bahwa komitmen mereformasi diri tidaklah<br />
sepenuh hati, bahkan tak didukung kuat oleh pemerintah.<br />
Dari situasi seperti itulah KontraS memandang penting untuk membuat pengkajian<br />
komprehensif yang merekomendasikan kebutuhan mendesak atas revisi UU Peradilan<br />
Militer yang saat ini berlaku. Kajian ini memfokuskan diri pada tema reformasi<br />
peradilan militer, sebagai ukuran akuntabilitas anggota TNI, khususnya jika dikaitkan<br />
dengan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Terhentinya pembahasan atas diskursus<br />
ini ini akan menghambat upaya korban pelanggaran HAM untuk mencari keadilan<br />
sekaligus melegitimasi kekokohan benteng impunitas bagi anggota TNI itu sendiri.<br />
Pengkajian ini berangkat dari catatan-catatan atas pandangan, perasaan, dan<br />
pengalaman para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang kehilangan<br />
anggota keluarganya dan harus menempuh mekanisme peradilan militer untuk<br />
mencari keadilan. Tim pengkajian KontraS melakukan wawancara dengan korban,<br />
wawancara dengan anggota Pansus Peradilan Militer, diskusi dengan ahli, dan catatan<br />
advokasi yang dilakukan oleh KontraS. Pengkajian ini juga dilalui melalui<br />
penelusuran literatur, terutama melihat kelemahan-kelemahan UU No 31 Tahun 1997<br />
tentang Peradilan Militer dan mengggunakan prinsip-prinsip hukum internasional<br />
untuk mengukur efektivitas peradilan militer yang berlangsung. Untuk mendukung<br />
data-data tersebut, tim juga menelusuri berbagai data tambahan, seperti materi RDPU<br />
Pansus Peradilan Militer tahun 2005-2009 dan berita-berita di media massa.<br />
4