menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

komposisi panel di persidangan atau memasukkan mereka ke dalam pelatihan dan pendidikan yang kompeten serupa dengan hakim sipil lainnya.54 Untuk menjamin prinsip independensi peradilan ini, dibutuhkan suatu jaminan legal berdasarkan suatu hierarki hukum tertinggi seperti konstitusi atau minimal lewat perundang-undangan ini juga ditegaskan kembali oleh UN Basic Principles on the Independence of Judiciary Pasal 1: 30 “The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary.” Berdasarkan prinsip universal di atas tentang independensi sistem peradilan, suatu sistem peradilan militer juga seharusnya secara minimal merupakan subordinat dari sistem peradilan umum yang lebih besar. Wilayah abu-abu dari prinsip legalitas dan pengintegrasian peradilan militer ke dalam sistem pidana umum yang lebih besar adalah menentukan batasnya: apakah segala keputusan dari suatu pengadilan militer sudah bisa dibanding di tingkat kedua (appeal court) atau hanya bisa dibanding di tingkat kasasi (cassation) pada suatu Mahkamah Agung (Supreme Court)? Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, sistem peradilan di Indonesia juga mengalami reformasi setelah sebelumnya mengalami subordinasi dari lembaga eksekutif. Hal ini bisa terlihat pada Amandemen III UUD 1945 (tahun 2001) pada Pasal 24 yang menyatakan: “(1). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Ketentuan tersebut secara eksplisit berusaha menegaskan adanya suatu independensi peradilan –yang mencakup dan lebih superior dari sistem peradilan militer- berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tidak terjadi sebelumnya di bawah rezim Orde Baru. Hal ini kembali ditegaskan pada undang-undang turunannya, yaitu 54 Emmanuel Decaux, Issue of the Administration of Justice Through Military Tribunals, E/CN.4/Sub.2/2006/58, 13 Januari 2006, hal 18.

Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang- Undang No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang keduanya merupakan produk reformasi legislasi pasca Orde Baru. Dalam studinya tentang kaitan antara suatu sistem peradilan militer dengan prinsip independensi peradilan, Decaux mengembangkannya lebih jauh dan dikaitkan dengan prinsip fair trial, dengan mengacu pada resolusi Komisi HAM PBB 2004/32 tertanggal 19 April 2004: “[…] calls upon States that have military courts or special criminal tribunals for trying criminal offenders to ensure that such courts are an integral part of the general judicial system and that such courts apply due process procedures that are recognized according to international law as guarantees of a fair trial, including the right to appeal a conviction and a sentence.”55 III.2. Jaminan atas Prinsip Fair Trial Prinsip fair trial dalam suatu administrasi peradilan diatur secara cukup rinci pada Pasal 14 ICCPR dan berulang kali ditegaskan kembali oleh Komite HAM sebagai badan otoritatif dari kovenan ini. General Comment No 13, Komite HAM menyatakan bahwa prinsip fair trial ini berlaku baik untuk tata peradilan umum maupun peradilan khusus seperti peradilan militer.56 Bahkan lebih jauh pada General Comment No 29, Komite HAM menyatakan bahwa berbagai hak-hak dan jaminan prosedural hukum di dalam Pasal 14 ICCPR sebagai prinsip fair trial tidak dapat dikurangi dalam situasi apa pun, baik itu kondisi normal maupun keadaan darurat.57 Prinsip fair trial dalam Pasal 14 ICCPR tersebut dielaborasi oleh Decaux dalam risetnya tentang administrasi peradilan militer (Prinsip No 15) menjadi beberapa ketentuan: • Setiap orang yang dituduh melakukan suatu tindak kejahatan harus menikmati asas praduga tak bersalah sampai terbukti lewat suatu putusan yang sah; • Setiap tersangka atau terdakwa harus diinformasikan secara cepat tentang rincian kejahatan yang dituduhkan kepadanya, dan sebelum dan selama 55 Resolusi Komisi HAM PBB 2004/32 tertanggal 19 April 2004, paragraf 8. 56 HR Committee, General Comment No 13, 1984, paragraf 4. 57 Meski tidak masuk dalam kategori 7 non-derogable rights sesuai dengan Pasal 4(2) dari ICCPR, prinsip fair trial dalam Pasal 14 ini dinyatakan sebagai de facto non-derogable rights. HR Committee, General Comment No 29, 2001, paragraf 8 dan 15. 31

Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-<br />

Undang No 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 14 Tahun<br />

1985 Tentang Mahkamah Agung, yang keduanya merupakan produk reformasi<br />

legislasi pasca Orde Baru.<br />

Dalam studinya tentang kaitan antara suatu sistem peradilan militer dengan prinsip<br />

independensi peradilan, Decaux mengembangkannya lebih jauh dan dikaitkan dengan<br />

prinsip fair trial, dengan mengacu pada resolusi Komisi HAM PBB 2004/32<br />

tertanggal 19 April 2004:<br />

“[…] calls upon States that have military courts or special criminal<br />

tribunals for trying criminal offenders to ensure that such courts are an<br />

integral part of the general judicial system and that such courts apply<br />

due process procedures that are recognized according to international<br />

law as guarantees of a fair trial, including the right to appeal a<br />

conviction and a sentence.”55<br />

III.2. Jaminan atas Prinsip Fair Trial<br />

Prinsip fair trial dalam suatu administrasi peradilan diatur secara cukup rinci pada<br />

Pasal 14 ICCPR dan berulang kali ditegaskan kembali oleh Komite HAM sebagai<br />

badan otoritatif dari kovenan ini. General Comment No 13, Komite HAM<br />

menyatakan bahwa prinsip fair trial ini berlaku baik untuk tata peradilan umum<br />

maupun peradilan khusus seperti peradilan militer.56 Bahkan lebih jauh pada General<br />

Comment No 29, Komite HAM menyatakan bahwa berbagai hak-hak dan jaminan<br />

prosedural hukum di dalam Pasal 14 ICCPR sebagai prinsip fair trial tidak dapat<br />

dikurangi dalam situasi apa pun, baik itu kondisi normal maupun keadaan darurat.57<br />

Prinsip fair trial dalam Pasal 14 ICCPR tersebut dielaborasi oleh Decaux dalam<br />

risetnya tentang administrasi peradilan militer (Prinsip No 15) menjadi beberapa<br />

ketentuan:<br />

• Setiap orang yang dituduh melakukan suatu tindak kejahatan harus<br />

menikmati asas praduga tak bersalah sampai terbukti lewat suatu putusan<br />

yang sah;<br />

• Setiap tersangka atau terdakwa harus diinformasikan secara cepat tentang<br />

rincian kejahatan yang dituduhkan kepadanya, dan sebelum dan selama<br />

55 Resolusi Komisi HAM PBB 2004/32 tertanggal 19 April 2004, paragraf 8.<br />

56 HR Committee, General Comment No 13, 1984, paragraf 4.<br />

57 Meski tidak masuk dalam kategori 7 non-derogable rights sesuai dengan Pasal 4(2) dari<br />

ICCPR, prinsip fair trial dalam Pasal 14 ini dinyatakan sebagai de facto non-derogable rights.<br />

HR Committee, General Comment No 29, 2001, paragraf 8 dan 15.<br />

31

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!