menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

untuk mengadili personel militer yang melakukan pelanggaran/kejahatan militer.39 Rumusannya adalah: 26 “In order to avoid military courts, in those countries where they have not yet been abolished, helping to perpetuate impunity owing to a lack of independence resulting from the chain of command to which all or some of their members are subject, their jurisdiction must be restricted solely to specifically military offences committed by military personnel, to the exclusion of human rights violations, which shall come under the jurisdiction of the ordinary domestic courts or, where appropriate, in the case of serious crimes under international law, that of an international criminal court. Perkembangan tentang limitasi yurisdiksi peradilan militer untuk mengadili kejahatan serius HAM ini kemudian diadopsi oleh studinya Decaux, di mana pada Prinsip No 9 tentang Persidangan terhadap Orang-Orang yang Dituduh Melakukan Pelanggaran Serius HAM, dinyatakan: “In all circumstances, the jurisdiction of military courts should be set aside in favour of the jurisdiction of the ordinary courts to conduct inquiries into serious human rights violations such as extrajudicial executions, enforced disappearances and torture, and to prosecute and try persons accused of such crimes.”40 Uniknya mekanisme pengadilan internasional pertama di dunia -untuk merespon agenda keadilan pasca Perang Dunia II yang mengadili para pelaku kejahatan serius di muka hukum internasional berbentuk suatu pengadilan militer, yaitu the International Military Tribunal at Nuremberg (berlangsung antara November 1945 hingga Oktober 1946) pada yang kemudian lebih dikenal sebagai Tribunal Nuremberg.41 Model serupa diterapkan untuk mengadili para penjahat dari rezim fasis di Jepang, yang dikenal sebagai The International Military Tribunal for the Far East (Tribunal Tokyo) antara Mei 1946 hingga November 1948.42 Namun demikian, pasca dua pengadilan pidana internasional tersebut, seluruh mekanisme penyelesaian suatu kejahatan serius di bawah hukum HAM dan humaniter 39 Ibid, hal. 26. 40 Emmanuel Decaux, Issue of the Administration of Justice Through Military Tribunals, E/CN.4/Sub.2/2006/58, 13 Januari 2006, hal 13. 41 Nuremberg Tribunal mengadili 24 terdakwa yang merupakan para petinggi Nazi yang tersisa saat itu, yang didakwa terlibat atas kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). 42 Tokyo Tribunal mengadili 28 terdakwa yang terdiri dari petinggi militer dan pemimpin politik Jepang saat itu, yang didakwa melakukan tiga kejahatan serius internasional di atas.

internasional –baik di tingkat internasional, nasional, atau campuran- di kemudian harinya mengambil bentuk pengadilan non-militer (sipil). Pasca Perang Dingin dibentuk lagi dua pengadilan pidana internasional; Pengadilan Pidana untuk Bekas Negara Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY)43 dan Pengadilan Pidana untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR)44, hingga terbentuknya suatu pengadilan pidana internasional yang permanen; Pengadilan Pidana Internasional permanen (International Criminal Court/ICC).45 Meski yurisdiksi sistem peradilan militer di Indonesia masih juga mencakup segala kejahatan apa pun yang dilakukan oleh personel militer, termasuk juga kejahatan serius HAM,46 terdapat suatu undang-undang (UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) yang membatasi yurisdiksi sistem peradilan militer untuk dua kategori kejahatan, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang didefinisikan oleh undang-undang tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat.47 Undang-undang ini dirancang dan disahkan sebagai akibat tekanan internasional yang sangat besar terhadap peristiwa kekerasan massif yang terjadi di Timor-Timur pada tahun 1999 di seputar momentum referendum atau jajak pendapat. Saat itu Pemerintahan Abdurrahman Wahid memilih untuk mengadili para tersangka pelaku di Indonesia melalui yurisdiksi nasional ketimbang menyerahkannya kepada suatu mekanisme internasional serupa dengan ICTY atau ICTR.48 Sebagai jaminan legal 43 Tribunal ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 827, 25 Mei 1993. Persidangan dimulai pada tahun 1994 dan baru diperkirakan selesai di tahun 2009 dengan jumlah terdakwa 161 orang. 44 Juga dibentuk oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB dengan jumlah terdakwa 29 orang, memulai persidangan pada tahun 1997 dan berakhir pada akhir 2008. 45 ICC dibentuk berdasarkan suatu treaty yang sudah diratifikasi oleh 109 negara, yaitu Statuta Roma (Rome Statute). Meski demikian ICC bisa menerima suatu kasus –terlepas negara bersangkutan belum meratifikasinya- yang dilimpahkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB. ICC ini berkedudukan di kota Den Haag, Belanda. Sudah memulai persidangannya pada awal 2009. 46 Contoh yang mudah terlihat adalah pengadilan militer untuk anggota Tim Mawar yang dituduh melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis pro-demokrasi di tahun 1998 dan kepada personel militer yang dituduh membunuh aktivis mahasiswa Yap Yun Hap di tahun 1999. 47 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 4 dan 7. Meski mengadopsi banyak ketentuan dari Statuta Roma, undang-undang ini tidak memasukkan dua kategori kejahatan lainnya; kejahatan perang dan kejahatan agresi mengingat saat itu operasi militer masih sangat aktif di Aceh dan Papua. 48 Awalnya Presiden Wahid menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang) No 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 27

internasional –baik di tingkat internasional, nasional, atau campuran- di kemudian<br />

harinya mengambil bentuk pengadilan non-militer (sipil). Pasca Perang Dingin<br />

dibentuk lagi dua pengadilan pidana internasional; Pengadilan Pidana untuk Bekas<br />

Negara Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former<br />

Yugoslavia/ICTY)43 dan Pengadilan Pidana untuk Rwanda (International Criminal<br />

Tribunal for Rwanda/ICTR)44, hingga terbentuknya suatu pengadilan pidana<br />

internasional yang permanen; Pengadilan Pidana Internasional permanen<br />

(International Criminal Court/ICC).45<br />

Meski yurisdiksi sistem peradilan militer di Indonesia masih juga mencakup segala<br />

kejahatan apa pun yang dilakukan oleh personel militer, termasuk juga kejahatan<br />

serius HAM,46 terdapat suatu undang-undang (UU No 26 Tahun 2000 tentang<br />

Pengadilan Hak Asasi Manusia) yang membatasi yurisdiksi sistem peradilan militer<br />

untuk dua kategori kejahatan, kejahatan genosida dan kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan, yang didefinisikan oleh undang-undang tersebut sebagai pelanggaran<br />

hak asasi manusia yang berat.47<br />

Undang-undang ini dirancang dan disahkan sebagai akibat tekanan internasional yang<br />

sangat besar terhadap peristiwa kekerasan massif yang terjadi di Timor-Timur pada<br />

tahun 1999 di seputar momentum referendum atau jajak pendapat. Saat itu<br />

Pemerintahan Abdurrahman Wahid memilih untuk mengadili para tersangka pelaku di<br />

Indonesia melalui yurisdiksi nasional ketimbang menyerahkannya kepada suatu<br />

mekanisme internasional serupa dengan ICTY atau ICTR.48 Sebagai jaminan legal<br />

43 Tribunal ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 827, 25 Mei 1993.<br />

Persidangan dimulai pada tahun 1994 dan baru diperkirakan selesai di tahun 2009 dengan<br />

jumlah terdakwa 161 orang.<br />

44 Juga dibentuk oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB dengan jumlah terdakwa 29 orang,<br />

memulai persidangan pada tahun 1997 dan berakhir pada akhir 2008.<br />

45 ICC dibentuk berdasarkan suatu treaty yang sudah diratifikasi oleh 109 negara, yaitu Statuta<br />

Roma (Rome Statute). Meski demikian ICC bisa menerima suatu kasus –terlepas negara<br />

bersangkutan belum meratifikasinya- yang dilimpahkan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB.<br />

ICC ini berkedudukan di kota Den Haag, Belanda. Sudah memulai persidangannya pada awal<br />

2009.<br />

46 Contoh yang mudah terlihat adalah pengadilan militer untuk anggota Tim Mawar yang<br />

dituduh melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis pro-demokrasi di tahun 1998 dan<br />

kepada personel militer yang dituduh membunuh aktivis mahasiswa Yap Yun Hap di tahun<br />

1999.<br />

47 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 4 dan 7. Meski mengadopsi banyak<br />

ketentuan dari Statuta Roma, undang-undang ini tidak memasukkan dua kategori kejahatan<br />

lainnya; kejahatan perang dan kejahatan agresi mengingat saat itu operasi militer masih sangat<br />

aktif di Aceh dan Papua.<br />

48 Awalnya Presiden Wahid menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang)<br />

No 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.<br />

27

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!