menerobos%20jalan%20buntu
menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu
268 hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Kini telah sewindu pasca reformasi. Pertanyaannya, sejauhmana perubahan ABRI melebihi sekadar perubahan nama menjadi TNI? Ada kekhawatiran, reformasi bukan sekadar menghapus priveledge tentara, tapi juga mengeliminasi hak TNI sebagai warga negara. Itu makanya muncul upaya pemulihan hak pilih. Lalu bagaimana kita melihatnya? Dalam hak asasi manusia, hak pilih adalah hak politik yang melekat pada setiap individu, apakah warga berstatus sipil atau militer. Dalam soal TNI, harus diingat bahwa hak itu melekat pada individu dan bukan hak institusi. Institusi tak punya hak pilih atau hak politik. Institusi harus netral dalam politik. Dulu, hak pilih itu dicabut pemerintah Soeharto. Tapi kini bukan berarti bisa dipulihkan begitu saja. Sebab jabatan dan fasilitas seperti tersebut diatas, adalah kompensasi luar biasa. Sebab masih banyak agenda reformasi TNI yang belum tuntas. Pemulihan hak pilih itu mensyaratkali kesungguhan kita mereformasi TNI. Dari semua catatan evaluasi diatas, maka kami menuntut pemerintah mempercepat lima agenda reformasi TNI. 1) Penuntutan Kekerasan militer dan Pelanggaran berat HAM masa lalu; 2) Pemberantasan skandal jual beli persenjataan; 3) Penghapusan bisnis TNI; 4) Penghapusan dan Restrukturisasi Kodam; 5) Revisi peradilan militer agar TNI tunduk pada supremasi hukum. 16. 7 Agustus 2006 Siaran Pers Bersama MENDESAK PENYELESAIAN HUKUM YANG ADIL KASUS BATARA
KontraS dan LBH Jakarta menyesalkan terjadinya kembali penembakan warga sipil oleh aparat TNI. Peristiwa terakhir terjadi pada 21 Juli 2006 di jalan tol Cengkareng-Kapuk yang dilakukan oleh Kapten Batara terhadap Dadang Suhendar. Akibatnya, korban Dadang Suhendar mengalami luka serius dan masih menjalani perawatan intensif. Dari informasi yang diperoleh, Kapten Batara adalah personil TNI Kodam Brawijaya juga terlibat pada serangkaian peristiwa tindak pidana. Misalnya, pada 10 Nopember 2004, Batara yang saat itu masih berpangkat Letnan Satu bersama dua saudara kandungnya mengeroyok Philipus Montolalu hingga luka-Iuka. Batara juga sebelumnya terlibat kasus kriminalitas lain berupa aksi penodongan senjata api terhadap Wehelmina Rompas pada 5 Agustus 2004. penodongan senjata api juga terjadi kepada Teddy Masinambow pada 13 Agustus 2004 serta pengeroyokan terhadap Philipus Montolalu pada 10 November 2004. Pengeroyokan ini dilakukan bersama-sama dengan saudarasaudara pelaku. Pada kasus pengeroyokan, Pengadilan Militer II-08 Jakarta telah memanggil para pihak untuk menghadiri persidangan pada 13 Juni 2006. Namun ternyata pada hari yang telah ditentukan, pengadilan batal digelar. Alasannya, pelaku Batara telah naik pangkat dari Letnan Satu menjadi Kapten. Dua orang saudara Batara (warga sipil) yang juga terlibat, diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan atas Batara menjadi kian sulit karena menurut penelusuran Pomdam Jaya, yang bersangkutan sedang mengikuti pendidikan di Pusat Pendidikan Bahasa TNI di Pondok Labu, dalam rangka mengikuti pendidikan militer di Inggris. Keluarga korban penembakan aparat TNI di Cengkareng meminta Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto serta Kepala Staf TNI membawa aparat TNI yang terlibat mendapatkan hukuman yang setimpal dan memberi keadilan pada korban dan keluarga korban. Kami memandang bahwa peradilan militer tidak serius untuk menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan personilnya. Hal ini mencerminkan bahwa pengadilan militer tidak mampu menegakkan hukum tanpa diskriminasi, dan menempatkan setiap orang pada posisi setara (equality before the law). 269
- Page 217 and 218: PRAKTIK-PRAKTIK PERADILAN PIDANA MI
- Page 219 and 220: kesatuan angkatan bersenjata. Sedan
- Page 221 and 222: Kronik Perkembangan Peradilan Milit
- Page 223 and 224: 2000 Mahmil 1-04 Semanggi II untuk
- Page 225 and 226: 2007 2008 2009 Rapat internal IX, D
- Page 227 and 228: akuntabilitas TNI. Masalah ini kian
- Page 229 and 230: penting untuk melakukan evaluasi ek
- Page 231 and 232: undang ini [pada bulan September 20
- Page 233 and 234: 3. 2 Juli 2009 DPR Segera Selesaika
- Page 235 and 236: umum. Di negara-negara demokrasi, t
- Page 237 and 238: Lebih dari itu, segala kemajuan ref
- Page 239 and 240: akyat dalam konteks perang gerilya
- Page 241 and 242: terdakwa tersebut. Oleh karena itu
- Page 243 and 244: Pemerintah agar memberikan hak atas
- Page 245 and 246: 1. Bahwa peristiwa penembakan terha
- Page 247 and 248: 1. Mendesak Menteri Pertahanan untu
- Page 249 and 250: 9. 19 Februari 2008 TNI HARUS TUNDU
- Page 251 and 252: Delapan Tahun Tragedi 28 September
- Page 253 and 254: Rizal dan Saidatul Fitria layak dis
- Page 255 and 256: Demikian hal ini disampaikan Terima
- Page 257 and 258: Lampiran: Putusan perkara No. PUT.2
- Page 259 and 260: keamanan di Indonesia. Karena bagai
- Page 261 and 262: penegakan HAM dan demokrasi pemerin
- Page 263 and 264: sikap yang jelas terhadap tindak la
- Page 265 and 266: Kepala Bidang Operasional Kepala Bi
- Page 267: pada masa darurat militer, serta pe
- Page 271 and 272: Kami menyambut baik janji Pangdam V
- Page 273 and 274: Kejaksaan Agung telah mencampuraduk
- Page 275 and 276: keamanan. Dengan demikian seolah-ol
- Page 277 and 278: 2. Pernyatan kasum TNI, letjend (TN
- Page 279 and 280: A. Pengaturan kewenangan peradilan
- Page 281 and 282: Adanya pembenaran moralitas dan huk
- Page 283 and 284: pada tanggal 5 Oktober 1999 dengan
- Page 285: • Dibentuknya peradilan khusus ba
268<br />
hingga Susilo Bambang Yudhoyono.<br />
Kini telah sewindu pasca reformasi. Pertanyaannya, sejauhmana perubahan<br />
ABRI melebihi sekadar perubahan nama menjadi TNI? Ada kekhawatiran,<br />
reformasi bukan sekadar menghapus priveledge tentara, tapi juga<br />
mengeliminasi hak TNI sebagai warga negara. Itu makanya muncul upaya<br />
pemulihan hak pilih. Lalu bagaimana kita melihatnya? Dalam hak asasi<br />
manusia, hak pilih adalah hak politik yang melekat pada setiap individu,<br />
apakah warga berstatus sipil atau militer.<br />
Dalam soal TNI, harus diingat bahwa hak itu melekat pada individu dan bukan<br />
hak institusi. Institusi tak punya hak pilih atau hak politik. Institusi harus netral<br />
dalam politik. Dulu, hak pilih itu dicabut pemerintah Soeharto. Tapi kini bukan<br />
berarti bisa dipulihkan begitu saja. Sebab jabatan dan fasilitas seperti tersebut<br />
diatas, adalah kompensasi luar biasa. Sebab masih banyak agenda reformasi<br />
TNI yang belum tuntas. Pemulihan hak pilih itu mensyaratkali kesungguhan<br />
kita mereformasi TNI.<br />
Dari semua catatan evaluasi diatas, maka kami menuntut pemerintah<br />
mempercepat lima agenda reformasi TNI. 1) Penuntutan Kekerasan militer dan<br />
Pelanggaran berat HAM masa lalu; 2) Pemberantasan skandal jual beli<br />
persenjataan; 3) Penghapusan bisnis TNI; 4) Penghapusan dan Restrukturisasi<br />
Kodam; 5) Revisi peradilan militer agar TNI tunduk pada supremasi hukum.<br />
16. 7 Agustus 2006<br />
Siaran Pers Bersama<br />
MENDESAK PENYELESAIAN HUKUM YANG ADIL KASUS<br />
BATARA