menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

266 Pada aras ekonomi, ABRI adalah alat stabilitas pengaman proyek pembangunan ekonomi Orde Baru. Juga penentu Penanaman Modal Asing dan mempunyai bisnis-bisnis sendiri konon demi kesejahteraan prajurit. Kini itu mulai dihapuskan. Namun belum jelas fonnat penghapusannya. Usulan agar Presiden segera mengeluarkan Peraturan Presiden tak mendapat respon. Gerakan refonnasi mahasiswa menuntut dihapuskannya komando tentorial. ABRI dulu membangun komando tentorial di berbagai wilayah, mulai dari daerah aman seperti Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi Kalimantan hingga daerah konflik seperti Aceh dan Papua. ABRI membayangi pemerintahan sipil. ABRI penentu kebijakan daerah lewat Muspida dan Muspika. Struktur ini pula yang kelak mengontrol dan mengintervensi kehidupan sosial politik rakyat. ABRI digunakan untuk memberangus lawan politik yang berkuasa. ABRI juga terlibat dalam sengketa perburuhan, tanah rakyat, dan perkebunan, hingg sumber daya alam seperti tambang, minyak dan emas di Aceh dan Papua. Pada aras hukum, ABRI juga memiliki sistem peradilan otonom, lepas dan peradilan umum. Karena itu tak heran bila peradilan umum tak bisa mengadili angota TNI yang melanggar hukum. Apakah melakukan kekerasan terhadap warga sipil, tindak pidana biasa atau pelanggaran HAM. Apapun delik atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan, bila pelakunya anggota TNI maka tak akan dibawa ke peradilan umum. Contohnya, mahkamah militer kasus penembakan mahasiswa Trisakti, dan kasus penculikan aktivis oleh Tim Bunga Mawar Kopassus. Nah, jika pelakunya warga sipil dan militer, maka peradilan yang digelar adalah peradilan campuran, atau koneksitas. Hakimnya, selain sipil juga ada militer. Contoh pada masa refonnasi adalah kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah beserta para santrinya oleh pasukan Kostrad di Beutong Ateuh, Aceh, 1999. Di masa reformasi telah ada Pengadilan HAM. Pengadilan ini dibentuk khusus untuk memeriksa kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan penghilangan orang secara paksa. Tapi sayang, banyak kasus kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang pelakunya anggota TNI tak diadili. Ada kesan yang dibuat, mengadili anggota TNI sama dengan mengadili institusi TNI. Jadi, lagi-lagi pengadilan militer yang digunakan untuk menanganinya. Contoh, perkosaan atas perempuan warga sipil di Aceh

pada masa darurat militer, serta penculikan dan pembunuhan terhadap Theys Hiyo Elluay bersama supirnya, Aristoteles Masoka. Belum lagi skandal jual beli persenjataan militer, beredamya bahan peledak, amunisi hingga senjata organik militer yang hingga kini terus menjadi sorotan. Dengan perspektif pengadilan militer, soal-soal ini seringkali dilihat sebagai persoalan administratif dan disiplin internal semata. Padahal jika menggunakan sistim hukum dan peradilan yang berlaku umum, persoalan ini harus dilihat sebagai sebuah kejahatan. Pelakunya, harus dipidanakan. Upaya DPR untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer mendapat resistensi dari pemerintah. Alasannya, kalangan sipil belum siap. Aparat penegak hukum belum siap, ujar seorang Menhan yang berasal dari sipil, Juwono Sudarsono. Semua pengalaman negatif pada masa lalu dan yang terjadi di masa reformasi, telah menempatkan anggota TNI menjadi warga negara kelas satu. Banyak warga sipil biasa termasuk mahasiswa, buruh dan petani merasa tidak adil. Namun begitu, akumulasi kekecewaan atas pengalaman itu berbuah pada Perubahan. Pada tahun 1998, kekuasaan berganti. Pergantian Presiden Suharto ke B.J Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa Indonesia bersepakat untuk 'reformasi'. Dari reformasi politik, ekonomi hingga reformasi ABRI. Belum bekerjanya ideal demokrasi saat itu, membuat TNI mendefinisikan sendiri makna reformasi atas dirinya. Hal ini dirumuskan dalam TNI Abad XXI: Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran TNI dalam Kehidupan Bangsa, yang dikeluarkan Mabes TNI, 1999. Bila dipahami benar, maka tiga premis itu belum merubah mindset dwifungsi ABRI. Redefmisi misalnya dinyatakan "embanan peran sosial politik TNI di masa depan merupakan bagian dari peran pembangunan bangsa, yang tetap menjadi bagian dari sistem nasional dan atas kesepakatan bangsa". Peran sosial politik tidak dilihat sebagai 'yang salah' dan harus 'ditinggalkan' Penegasan bahwa Dwifungsi ABRI/TNI adalah salah dan harus ditinggalkan baru terjadi pada tahun 2000. Rapat Pimpinan TNI, Panglima TNI Laksamana TNI Widodo AS, menyatakan bahwa TNI tidak lagi mengemban fungsi sosial politik guna memusatkan perhatian pada tugas pokok pertahanan (April 2000). Inti reformasi, merubah, mengkoreksi dan menempatkan semua yang menyimpang kembali pada relnya. Bahkan kekuasaan BJ Habibie yang dinilai tak jauh berbeda dengan kekuasaan sebelumnya pun telah berganti. Berganti empat kali, dari Presiden KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri 267

pada masa darurat militer, serta penculikan dan pembunuhan terhadap Theys<br />

Hiyo Elluay bersama supirnya, Aristoteles Masoka.<br />

Belum lagi skandal jual beli persenjataan militer, beredamya bahan peledak,<br />

amunisi hingga senjata organik militer yang hingga kini terus menjadi sorotan.<br />

Dengan perspektif pengadilan militer, soal-soal ini seringkali dilihat sebagai<br />

persoalan administratif dan disiplin internal semata. Padahal jika menggunakan<br />

sistim hukum dan peradilan yang berlaku umum, persoalan ini harus dilihat<br />

sebagai sebuah kejahatan. Pelakunya, harus dipidanakan.<br />

Upaya DPR untuk merevisi Undang-Undang Peradilan Militer mendapat<br />

resistensi dari pemerintah. Alasannya, kalangan sipil belum siap. Aparat<br />

penegak hukum belum siap, ujar seorang Menhan yang berasal dari sipil,<br />

Juwono Sudarsono.<br />

Semua pengalaman negatif pada masa lalu dan yang terjadi di masa reformasi,<br />

telah menempatkan anggota TNI menjadi warga negara kelas satu. Banyak<br />

warga sipil biasa termasuk mahasiswa, buruh dan petani merasa tidak adil.<br />

Namun begitu, akumulasi kekecewaan atas pengalaman itu berbuah pada<br />

Perubahan. Pada tahun 1998, kekuasaan berganti. Pergantian Presiden Suharto<br />

ke B.J Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa Indonesia bersepakat untuk<br />

'reformasi'. Dari reformasi politik, ekonomi hingga reformasi ABRI.<br />

Belum bekerjanya ideal demokrasi saat itu, membuat TNI mendefinisikan<br />

sendiri makna reformasi atas dirinya. Hal ini dirumuskan dalam TNI Abad<br />

XXI: Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran TNI dalam Kehidupan<br />

Bangsa, yang dikeluarkan Mabes TNI, 1999. Bila dipahami benar, maka tiga<br />

premis itu belum merubah mindset dwifungsi ABRI. Redefmisi misalnya<br />

dinyatakan "embanan peran sosial politik TNI di masa depan merupakan<br />

bagian dari peran pembangunan bangsa, yang tetap menjadi bagian dari sistem<br />

nasional dan atas kesepakatan bangsa". Peran sosial politik tidak dilihat<br />

sebagai 'yang salah' dan harus 'ditinggalkan'<br />

Penegasan bahwa Dwifungsi ABRI/TNI adalah salah dan harus ditinggalkan<br />

baru terjadi pada tahun 2000. Rapat Pimpinan TNI, Panglima TNI Laksamana<br />

TNI Widodo AS, menyatakan bahwa TNI tidak lagi mengemban fungsi sosial<br />

politik guna memusatkan perhatian pada tugas pokok pertahanan (April 2000).<br />

Inti reformasi, merubah, mengkoreksi dan menempatkan semua yang<br />

menyimpang kembali pada relnya. Bahkan kekuasaan BJ Habibie yang dinilai<br />

tak jauh berbeda dengan kekuasaan sebelumnya pun telah berganti. Berganti<br />

empat kali, dari Presiden KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri<br />

267

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!