menerobos%20jalan%20buntu
menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu
sewenang-wenang (arbitrary detention), dan sebagainya.33 Pendapat lainnya menyatakan pelanggaran/kejahatan serius HAM mencakup segala pelanggaran terhadap hak-hak yang dikategorikan sebagai non-derogable rights (hak yang tak dapat dikurangi dan dibatasi dalam situasi apapun, termasuk dalam situasi perang) seperti yang diatur dalam Pasal 4(2) ICCPR, yaitu: hak atas hidup (Pasal 6); bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi (Pasal 7); bebas dari perbudakan dan kerja paksa [Pasal 8 (paragraf 1 dan 2)]; bebas dari pemidanaan karena perjanjian hutang piutang (Pasal 11); bebas dari berlakunya pemidanaan secara retroaktif (Pasal 15); hak atas pengakuan sebagai subjek hukum (Pasal 16); kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (Pasal 18). Sementara itu kejahatan serius di bawah hukum internasional mencakup baik hukum HAM maupun hukum humaniter internasional, yaitu; kejahatan genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan kejahatan perang (war crimes) seperti yang diatur dalam Konvensi Jenewa (Geneva Convention) 1949 dan Protokol I 1977.34 Limitasi sistem peradilan militer untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM juga sudah menjadi kecenderungan umum di tingkat global.35 Untuk instrumen HAM yang secara eksplisit membatasi yurisdiksi peradilan militer untuk mengadili para pelaku pelanggaran serius HAM ini adalah the Declaration on the Protection of all Persons from Enforced Disappearances36 yang Pasal 16 paragraf 2-nya menyatakan: 24 “They shall be tried only by the competent ordinary courts in each State, and not by any other special tribunal, in particular military courts.” Sayangnya ketentuan ini tidak terdapat dikonvensi yang isunya serupa, yaitu International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance, 20 Desember 2006. Konvensi ini belum berlaku. Pasal 11 paragraf 3 hanya mengatur soal ketentuan umum yang tidak eksplisit mengarah pada limitasi yurisdiksi peradilan militer untuk para pelaku tindak penghilangan paksa, yang isinya: 33 Louis Joinet, Issue of the Administration of Justice Through Military Tribunals, E/CN.4/Sub.2/2002/4, paragraf 28 dan 30. 34 Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts of ILC, Pasal 2-3. Daftar ini tidaklah final dan tertutup (exhausted) mengingat berbagai konvensi juga menegaskan kewajiban negara untuk melakukan ‘remedies’ terhadap berbagai jenis kejahatan (pelanggaran berat HAM). Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation, Resolusi Majelis Umum PBB 60/147, 16 Desember 2005, paragraf 4-5. Lihat Theo van Boven, Study Concerning the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms, 2 Juli 1993, E/CN.4/Sub.2/1993/8, paragraf 8-13 dan paragraf 41. 35 Emmanuel Decaux, Issue of the Administration of Justice Through Military Tribunals, E/CN.4/Sub.2/2003/4, 27 Juni 2003, paragraf 40. 36 Resolusi Majelis Umum PBB 47/133, 18 Desember 1992.
“Any person against whom proceedings are brought in connection with an offence of enforced disappearance shall be guaranteed fair treatment at all stages of the proceedings. Any person tried for an offence of enforced disappearance shall benefit from a fair trial before a competent, independent and impartial court or tribunal established by law”. Hal yang sama ditegaskan oleh Inter-American Convention on Forced Disappearance of Persons 1994 (suatu konvensi HAM regional untuk kawasan benua Amerika), Pasal IX yang menyatakan: “Persons allegeded to be responsible for the acts constituting the offence of forced disappearance of persons may be tried only in the competent jurisdiction of ordinary law in each State, to the exclusion of all other special jurisdiction, particularly military jurisdictions.” Sementara itu, limitasi yurisdiksi peradilan militer ini untuk kejahatan serius di bawah hukum –HAM dan humaniter- internasional juga ditegaskan oleh studi ahli PBB tentang upaya-upaya memerangi impunitas (Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity).37 Pada Prinsip No 29 tentang Restriksi Yurisdiksi Peradilan Militer dalam studi ini dinyatakan bahwa: “The jurisdiction of military tribunals must be restricted solely to specifically military offences committed by military personnel, to the exclusion of human rights violations, which shall come under the jurisdiction of the ordinary domestic courts or, where appropriate, in the case of serious crimes under international law, of an international or internationalized criminal court.” Studi ini merupakan pengembangan dari studi sebelumnya yang dilakukan oleh Louis Joinet pada tahun 1997 dengan judul Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity38 di mana pada Prinsip 31 tentang Restriksi Yuridiksi Peradilan Militer ditegaskan bahwa sistem peradilan militer yang ada dianggap masih melanggengkan praktik impunitas, memiliki karakter tidak independen dan tidak akomodatif terhadap prinsip tanggung jawab komando (command responsibility) sehingga yurisdiksinya dibatasi hanya 37 Diane Orentlicher, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity, E/CN.4/2005/102/Add.1, 8 Februari 2005. 38 Louis Joinet, Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity, E/CN.4/Sub.2/1997/Rev.1, 2 Oktober 1997. 25
- Page 1 and 2: MENEROBOS JALAN BUNTU KAJIAN TERHAD
- Page 3 and 4: SEKAPUR SIRIH KontraS (Komisi untuk
- Page 5 and 6: Buku hasil kajian tentang Peradilan
- Page 7 and 8: f. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 9 and 10: menghargai dan melindungi HAM. Hal
- Page 11 and 12: Sipil-Politik (ICCPR), Kovenan Inte
- Page 13 and 14: Perubahan atas peradilan militer in
- Page 15 and 16: prinsip internasional. Bab keempat,
- Page 17 and 18: Sistem peradilan militer tidak diat
- Page 19 and 20: Operasionalisasi sistem peradilan m
- Page 21 and 22: Ketentuan ini juga ditegaskan oleh
- Page 23: wajib militer berdasarkan suatu key
- Page 27 and 28: internasional -baik di tingkat inte
- Page 29 and 30: Di luar dua isu di atas; pelanggara
- Page 31 and 32: Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tenta
- Page 33 and 34: Kewenangan konstitusional negara un
- Page 35 and 36: preventif berulangnya pelanggaran H
- Page 37 and 38: BAB III PERADILAN MILITER INDONESIA
- Page 39 and 40: Aturan hukum terkait dengan militer
- Page 41 and 42: Dalam sumber hukum sebagaimana yang
- Page 43 and 44: umumnya menangani baik perkara perd
- Page 45 and 46: Pengadilan militer model ini bertah
- Page 47 and 48: acara pidana dan hukum acara gugata
- Page 49 and 50: pidana yang dilakukan sipil dan mil
- Page 51 and 52: Sumber : Data olahan Dokumentasi Ko
- Page 53 and 54: Berdasarkan kompentensi subjektifny
- Page 55 and 56: dan keamanan negara. Sesungguhnya a
- Page 57 and 58: g. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 59 and 60: g. menentukan perkara untuk diseles
- Page 61 and 62: Menghukum yang bersangkutan dengan
- Page 63 and 64: hukum berdasarkan ketentuan peratur
- Page 65 and 66: orang menjadi korban dalam penculik
- Page 67 and 68: pernah ada rekonstruksi yang dilaku
- Page 69 and 70: PPRM bertujuan untuk menghalau luas
- Page 71 and 72: “Saya mempertanyakan peradilan mi
- Page 73 and 74: tahu. Jadi kami memang benar - bena
“Any person against whom proceedings are brought in connection with an<br />
offence of enforced disappearance shall be guaranteed fair treatment at all<br />
stages of the proceedings. Any person tried for an offence of enforced<br />
disappearance shall benefit from a fair trial before a competent, independent<br />
and impartial court or tribunal established by law”.<br />
Hal yang sama ditegaskan oleh Inter-American Convention on Forced Disappearance<br />
of Persons 1994 (suatu konvensi HAM regional untuk kawasan benua Amerika),<br />
Pasal IX yang menyatakan:<br />
“Persons allegeded to be responsible for the acts constituting the offence<br />
of forced disappearance of persons may be tried only in the competent<br />
jurisdiction of ordinary law in each State, to the exclusion of all other<br />
special jurisdiction, particularly military jurisdictions.”<br />
Sementara itu, limitasi yurisdiksi peradilan militer ini untuk kejahatan serius di bawah<br />
hukum –HAM dan humaniter- internasional juga ditegaskan oleh studi ahli PBB<br />
tentang upaya-upaya memerangi impunitas (Updated Set of Principles for the<br />
Protection and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity).37<br />
Pada Prinsip No 29 tentang Restriksi Yurisdiksi Peradilan Militer dalam studi ini<br />
dinyatakan bahwa:<br />
“The jurisdiction of military tribunals must be restricted solely to<br />
specifically military offences committed by military personnel, to the<br />
exclusion of human rights violations, which shall come under the<br />
jurisdiction of the ordinary domestic courts or, where appropriate, in the<br />
case of serious crimes under international law, of an international or<br />
internationalized criminal court.”<br />
Studi ini merupakan pengembangan dari studi sebelumnya yang dilakukan oleh Louis<br />
Joinet pada tahun 1997 dengan judul Set of Principles for the Protection and<br />
Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity38 di mana pada<br />
Prinsip 31 tentang Restriksi Yuridiksi Peradilan Militer ditegaskan bahwa sistem<br />
peradilan militer yang ada dianggap masih melanggengkan praktik impunitas,<br />
memiliki karakter tidak independen dan tidak akomodatif terhadap prinsip tanggung<br />
jawab komando (command responsibility) sehingga yurisdiksinya dibatasi hanya<br />
37 Diane Orentlicher, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human<br />
Rights through Action to Combat Impunity, E/CN.4/2005/102/Add.1, 8 Februari 2005.<br />
38 Louis Joinet, Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights through<br />
Action to Combat Impunity, E/CN.4/Sub.2/1997/Rev.1, 2 Oktober 1997.<br />
25