menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

230 pihak pemerintah –lewat Dephan- untuk tetap memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada pihak militer dan bukan kepada Polri. Hal ini sungguh ironis mengingat berbagai pihak (institusi sipil) sudah memiliki posisi yang jelas untuk mereformasi secara institusional sistem peradilan militer berdasarkan prinsip demokratik. Hampir semua fraksi dalam Pansus Peradilan Militer sudah menyetujui ketentuan adanya akuntabilitas eksternal (perangkat penegak hukum dari luar militer) bagi suatu pelanggaran/kejahatan/tindak pidana umum yang dilakukan seorang personel TNI. Bahkan pihak Polri dan Kejaksaan Agung dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan para anggota Pansus di DPR sudah menyatakan kesiapannya untuk melakukan fungsi penyelidik dan penyidikan (Polri) dan penuntutan (Kejaksaan Agung). Alasan pihak Dephan dan TNI bahwa institusi sipil belum siap untuk menghadapi personel militer dalam proses penegakan hukum jelas bentuk insubordinasi terhadap tata supremasi sipil. Memberikan kewenangan penyidikan tetap kepada pihak militer jelas menyalahi prinsip asas imparsialitas dan independensi suatu sistem peradilan serta menyimpang dari system hokum yang berlaku. Menunda penuntasan reformasi sistem peradilan militer jelas menjadi hambatan bagi upaya mencari format keadilan yang otentik mengingat selama ini benteng impunitas begitu tebal bagi segelintir orang (anggota TNI). Selain itu, jelas penundaan reformasi sistem peradilan militer ini merupakan pelanggaran terhadap mandat undang-undang. DPR periode 2009-2014 hendaknya menetapkan UU ini salah satu menjadi prioritas utama dengan memasukkan dalam agenda prolegnas. Langkahlangkah maju dalam pembahasan sebelumnya harus ditindaklanjuti dengan mengambil keputusan atas kebuntuan pembahasan kewenangan yurisdiksi dalam kewenangan penuntutuan, dengan mendasarkan diri pada ketertundukan reformasi militer serta ketaatan terhadap system pidana terpadu (criminal justice system) Kedua, Restrukturisasi bisnis militer Pasal 76 dari undang-undang no. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan: "Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-

undang ini [pada bulan September 2004], Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung." Pada 2005 pemerintah membentuk Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) menerapkan undang-undang tersebut. Sayangnya tidak mencakup pengambilalihan seluruh bisnis militer. Yayasanyayasan dan koperasi-koperasi tetap diperbolehkan karena badan-badan tersebut merupakan badan yang mandiri dan terlepas dari pihak militer. Lebih jauh yayasan dan koperasi tersebut dianggap melaksanakan fungsi social untuk kesejahteraan prajurit. Persoalan restrukturisasi bisnis militer ini mengandung dua persoalan pokok; pertama, bahwa definisi bisnis militer tidak mencakup praktek bisnis atau ekonomi yang melibatkan aparat militer, baik secara individual maupun institusional, yang kerap dilaksanakan secara tidak fair dan mengandung kekerasan. Kedua, praktek restrukturisasi ini dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, namun kurang membawa hasil yang optimal dalam mengikis persoalan. Ketiga, Komando Teritorial Reformasi TNI yang diharapkan menjadi kekuatan pertahanan negara dari serangan luar (eksternal military) belum terwujudkan. Hal ini masih terlihat dengan masih kuatnya sturuktur Komando Teritorial (Koter) diberbagai daerah (kodam, korem, kodim, koramil). Hal ini menandakan bahwa TNI masih menganggap rakyat sebagai potensi ancaman yang perlu di waspadai. Sebaliknya, hal ini diperparah oleh lemahnya pengawasan masyarakat sipil terhadap TNI. Komando territorial yang dimiliki oleh TNI masih di pahami sebagai suatu operasi yang berkelanjutan untuk menangkal dan mengatasi segala macam gangguan keamanan seperti konflik horizontal, konflik di papua serta terorisme. Hal ini menyebabkan tugas utama TNI sebagai alat utama pertahanan negara terabaikan. Bahkan lebih jauh dalam soal penganggaran sebagian besar biaya APBN untuk TNI tersita hanya untuk operasionalisasi Koter. Kampanye untuk mempertahankan Koter belakangan ini juga dikaitkan dengan upaya menanggulangi tindak terorisme tanpa memperhatikan mekanisme perbantuan ke Polisi sebagai otoritas yang berwenang menindak kejahatan terorisme (lihat Pasal 7 ayat 3 UU No.34/2004 tentang TNI, Pasal 41 UU No.2/2002 tentang Polri, dan asal 4 ayat (2) Tap MPR No VII. tahun 231

undang ini [pada bulan September 2004], Pemerintah harus mengambil alih<br />

seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara<br />

langsung maupun tidak langsung." Pada 2005 pemerintah membentuk Tim<br />

Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) menerapkan undang-undang tersebut.<br />

Sayangnya tidak mencakup pengambilalihan seluruh bisnis militer. Yayasanyayasan<br />

dan koperasi-koperasi tetap diperbolehkan karena badan-badan<br />

tersebut merupakan badan yang mandiri dan terlepas dari pihak militer. Lebih<br />

jauh yayasan dan koperasi tersebut dianggap melaksanakan fungsi social untuk<br />

kesejahteraan prajurit. Persoalan restrukturisasi bisnis militer ini mengandung<br />

dua persoalan pokok; pertama, bahwa definisi bisnis militer tidak mencakup<br />

praktek bisnis atau ekonomi yang melibatkan aparat militer, baik secara<br />

individual maupun institusional, yang kerap dilaksanakan secara tidak fair dan<br />

mengandung kekerasan. Kedua, praktek restrukturisasi ini dilaksanakan dalam<br />

kurun waktu yang cukup lama, namun kurang membawa hasil yang optimal<br />

dalam mengikis persoalan.<br />

Ketiga, Komando Teritorial<br />

Reformasi TNI yang diharapkan menjadi kekuatan pertahanan negara dari<br />

serangan luar (eksternal military) belum terwujudkan. Hal ini masih terlihat<br />

dengan masih kuatnya sturuktur Komando Teritorial (Koter) diberbagai<br />

daerah (kodam, korem, kodim, koramil). Hal ini menandakan bahwa TNI<br />

masih menganggap rakyat sebagai potensi ancaman yang perlu di waspadai.<br />

Sebaliknya, hal ini diperparah oleh lemahnya pengawasan masyarakat sipil<br />

terhadap TNI.<br />

Komando territorial yang dimiliki oleh TNI masih di pahami sebagai suatu<br />

operasi yang berkelanjutan untuk menangkal dan mengatasi segala macam<br />

gangguan keamanan seperti konflik horizontal, konflik di papua serta<br />

terorisme. Hal ini menyebabkan tugas utama TNI sebagai alat utama<br />

pertahanan negara terabaikan. Bahkan lebih jauh dalam soal penganggaran<br />

sebagian besar biaya APBN untuk TNI tersita hanya untuk operasionalisasi<br />

Koter. Kampanye untuk mempertahankan Koter belakangan ini juga dikaitkan<br />

dengan upaya menanggulangi tindak terorisme tanpa memperhatikan<br />

mekanisme perbantuan ke Polisi sebagai otoritas yang berwenang menindak<br />

kejahatan terorisme (lihat Pasal 7 ayat 3 UU No.34/2004 tentang TNI, Pasal 41<br />

UU No.2/2002 tentang Polri, dan asal 4 ayat (2) Tap MPR No VII. tahun<br />

231

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!