menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

Siaran Pers terkait Peradilan Militer medio 1999-2009 (sumber : www.kontras.org) 226 1. 14 Desember 2009 SIARAN PERS KONTRAS RESPON TERHADAP PENGESAHAN PROLEGNAS 2010 KontraS menyesalkan Program Legislasi Nasional 2010 tidak mengagendakan pembahasan beberapa regulasi penting yang menajadi mandat reformasi. Padahal regulasi-regulasi penting tersebut telah dibahas baik oleh Pemerintah dan DPR serta dikawal oleh masyarakat sipil di tahun-tahun sebelumnya, dan terlebih lagi telah dicantumkan dalam beberapa ketentuan hukum lainnya. Beberapa di antaranya bahkan telah melalui perdebatan panjang dan pembahasannya hampir berakhir. Kami memandang aturan-aturan yang semestinya masuk dalam agenda Prolegnas adalah : 1. Revisi terhadap RUU Peradilan Militer. RUU Revisi Peradilan Militer semestinya menjadi prioritas utama dalam agenda reformasi militer. Tidak tuntasnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu menyisakan persoalan mendasar, yaitu inefektivitas dari mekanisme

akuntabilitas TNI. Masalah ini kian mempertebal tembok impunitas institusi TNI. Kebuntuan pembahasan dalam Pansus DPR periode 2004-2009 tidak bisa menghalangi urgnsi pembahasan terhadap revisi RUU Peradilan Militer di tahun 2010. Kami meminta Komisi III DPR RI untuk segera melakukan re-orientasi terhadap draf dan menindak lanjuti pembahasan rencana perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang telah dikerjakan oleh Pansus sebelumnya. 2. Revisi terhadap RUU Komisi Kebenaran Mekanisme Komisi Kebenaran merupakan salah satu mandat dari TAP MPR No.V/MPR/2000 tentang Persatuan dan Kesatuan Nasional dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Mekanisme ini merupakan mekanisme komplementer terhadap Pengadilan HAM yang saat ini berlaku. Ketidakjelasan penyelesaian kasuskasus pelanggaran HAM masa lalu – selain kasus-kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM – menjadi urgensi pemberlakuan RUU ini. Apalagi mekanisme ini juga telah menjadi mandat dari UU tentang Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi Khusus Papua. Komisi Kebenaran yang mengarusutamakan nilai dan prinsip HAM, khususnya pemenuhan hak terhadap korban ini tidak bisa ditunda lagi. Kami meminta Pemerintah, dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM untuk memperhatikan aspirasi korban pelanggaran HAM, khususnya di wilayah Aceh dan Papua dalam draft RUU KKR yang baru. Revisi ini tidak boleh mengulang kesalahan UU KKR yang lama yang justru membatasi hak-hak korban yang paling prinsipil. 3. Pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Orang Secara Paksa Keluarga korban penghilangan paksa adalah pihak yang paling sulit posisinya. Selain harus menanti ketidakjelasan atas keberadaan dan nasib korban, mereka juga harus bergelut dengan persoalan kekininan, berupa administrasi kependudukan yang tidak jelas dalam sistem kenegaraan. Pemerintah telah berkomitmen untuk mengesahkan konvensi penghilangan orang secara paksa, seperti dinyatakan Menteri Hukum dan HAM dalam Forum Petinggi Negara dalam Dewan HAM PBB tahun 2006. Komitmen ini juga ditegaskan dalam pertemuan-pertemuan korban pelanggaran HAM dengan Komnas HAM, Departemen Luar Negeri dan Departemen Hukum dan HAM sendiri. Di penghujung masa DPR periode 2004-2009, Pansus Orang Hilang DPR RI 227

akuntabilitas TNI. Masalah ini kian mempertebal tembok impunitas institusi TNI.<br />

Kebuntuan pembahasan dalam Pansus DPR periode 2004-2009 tidak bisa<br />

menghalangi urgnsi pembahasan terhadap revisi RUU Peradilan Militer di tahun<br />

2010.<br />

Kami meminta Komisi III DPR RI untuk segera melakukan re-orientasi terhadap draf<br />

dan menindak lanjuti pembahasan rencana perubahan UU Nomor 31 Tahun 1997<br />

tentang Peradilan Militer yang telah dikerjakan oleh Pansus sebelumnya.<br />

2. Revisi terhadap RUU Komisi Kebenaran<br />

Mekanisme Komisi Kebenaran merupakan salah satu mandat dari TAP MPR<br />

No.V/MPR/2000 tentang Persatuan dan Kesatuan Nasional dan UU No. 26 tahun<br />

2000 tentang Pengadilan HAM. Mekanisme ini merupakan mekanisme komplementer<br />

terhadap Pengadilan HAM yang saat ini berlaku. Ketidakjelasan penyelesaian kasuskasus<br />

pelanggaran HAM masa lalu – selain kasus-kasus yang telah diselidiki oleh<br />

Komnas HAM – menjadi urgensi pemberlakuan RUU ini. Apalagi mekanisme ini<br />

juga telah menjadi mandat dari UU tentang Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi<br />

Khusus Papua. Komisi Kebenaran yang mengarusutamakan nilai dan prinsip HAM,<br />

khususnya pemenuhan hak terhadap korban ini tidak bisa ditunda lagi.<br />

Kami meminta Pemerintah, dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM untuk<br />

memperhatikan aspirasi korban pelanggaran HAM, khususnya di wilayah Aceh dan<br />

Papua dalam draft RUU KKR yang baru. Revisi ini tidak boleh mengulang kesalahan<br />

UU KKR yang lama yang justru membatasi hak-hak korban yang paling prinsipil.<br />

3. Pengesahan Konvensi Anti Penghilangan Orang Secara Paksa<br />

Keluarga korban penghilangan paksa adalah pihak yang paling sulit posisinya. Selain<br />

harus menanti ketidakjelasan atas keberadaan dan nasib korban, mereka juga harus<br />

bergelut dengan persoalan kekininan, berupa administrasi kependudukan yang tidak<br />

jelas dalam sistem kenegaraan. Pemerintah telah berkomitmen untuk mengesahkan<br />

konvensi penghilangan orang secara paksa, seperti dinyatakan Menteri Hukum dan<br />

HAM dalam Forum Petinggi Negara dalam Dewan HAM PBB tahun 2006.<br />

Komitmen ini juga ditegaskan dalam pertemuan-pertemuan korban pelanggaran HAM<br />

dengan Komnas HAM, Departemen Luar Negeri dan Departemen Hukum dan HAM<br />

sendiri. Di penghujung masa DPR periode 2004-2009, Pansus Orang Hilang DPR RI<br />

227

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!