menerobos%20jalan%20buntu
menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu
diperlukan untuk menentukan bisa tidaknya suatu ekstradisi seorang tersangka dilakukan.26 Problem lainnya adalah memasukkan suatu tindak pelanggaran militer dalam konteks kerja (operasi) pasukan perdamaian (peacekeeping operations). Sayangnya konvensi ini tidak mendefinisikan atau memberikan suatu daftar tindak pelanggaran pidana militer. Dalam studinya tentang peradilan militer, ahli PBB Mr. Emmanuel Decaux menyarankan agar Kitab Hukum Pidana Militer (code of military justice) dievaluasi lewat suatu periode reguler secara sistematik agar tidak terjadi tumpang tindih antara KUHP militer dengan KUHP umum.27 Ketentuan lain yang menegaskan soal yurisdiksi eksklusif peradilan militer atas pelanggaran pidana militer dikembangkan oleh suatu instrumen yang bersifat nonbinding, yaitu “Singhvi Declaration” yang merupakan draf deklarasi para ahli dalam mengelaborasi prinsip independensi dan imparsialitas para hakim, juri, pengacara, dan alat perlengkapan persidangan lainnya. Pada Pasal 5 dari Singhvi Declaration tersebut dinyatakan bahwa: 22 “(f) The juridisdiction of military tribunals shall be confined to military offences. There shall always be a right of appeal from such tribunals to a legally qualified appellate court or tribunal or a remedy by way of an application for annulment.”28 Di tengah-tengah kabur dan luasnya definisi pelanggaran pidana militer, terdapat satu isu HAM yang menjadi problematik. Isu penolakan wajib militer berdasarkan suatu keyakinan (conscientious objection to military service) memunculkan pertanyaan apakah menjadi cakupan yurisdiksi peradilan militer atau tidak. Sejauh ini ada kecenderungan bahwa praktik penolakan wajib militer berdasarkan suatu keyakinan dianggap sebagai salah satu bentuk manifestasi dari hak atas keyakinan, pikiran, dan beragama seperti yang diatur oleh Pasal 18 ICCPR29 dan karena itu tak bisa dipidana. Meski terdapat praktik-praktik di tingkat nasional yang mengafirmasi penolakan 26 Pasal 4 dari European Convention on Extradition 1957 menyatakan: “Extradition for offences under military law which are not offences under ordinary criminal law is excluded from the application of this Convention.” 27 Emmanuel Decaux, Issue of the Administration of Justice Through Military Tribunals, E/CN.4/Sub.2/2006/58, 13 Januari 2006, Prinsip No. 20; Evaluasi atas Kitab Pidana Militer, Paragraf 64-66. 28 Singhvi Declaration, E/CN.4/Sub.2/1988/20/Add.1 and Add.1/Corr.1). Meskipun Singhvi Declaration ini tidak diadopsi, dalam resolusinya (1989/32) Komisi HAM PBB mengajak kepada seluruh pemerintah untuk mempertimbangkan prinsip-prinsip dari draf deklarasi ini. Sebelumnya dalam World Conference on the Independence of Justice di Montreal, Kanada pada Juni 1983 dihasilkan kesimpulan yang sama [the Universal Declaration on the Independence of Justice (E/CN.4/Sub.2/1985/18/Add.6, Annex IV, paragraf 20]. 29 Human Rights Committee, General Comment No 22 (The Right to Freedom of Thought, Conscience and Religion), 1993, CCPR/C/21/Rev.1/Add.4, Paragraf 11.
wajib militer berdasarkan suatu keyakinan, masih banyak negara lain yang justru mengkriminalkannya di mana sebagian darinya mendefinisikannya sebagai pelanggaran pidana militer. Ada dua implikasi skenario dari isu kriminalisasi praktik penolakan wajib militer berdasarkan suatu keyakinan ini. Pertama, bila penolakan wajib militer tersebut terjadi sebelum seorang warga sipil ikut wajib militer maka persoalannya sederhana. Ia harus diadili oleh peradilan sipil umum. Yang problematik adalah situasi kedua di mana seseorang telah masuk dalam wajib militer dan kemudian karena keyakinan atau nuraninya ia menolaknya. Masih terjadi kontroversi apakah ia harus diadili di suatu tribunal militer atau tidak.30 Badan-badan HAM internasional dan regional telah menunjukkan keprihatinan bahwa sistem peradilan militer belum menyesuaikan evolusi HAM terkait isu penolakan terhadap wajib militer berdasarkan keyakinan.31 II.4. Limitasi Yurisdiksi terhadap Kejahatan Serius Hak Asasi Manusia Pengalaman sistem peradilan militer yang mengadili para pelaku militer terhadap suatu kejahatan serius hak asasi manusia menunjukkan hasil yang cenderung melanggengkan praktik impunitas.32 Untuk melawan praktik impunitas ini, penting pula untuk membatasi jangkauan sistem peradilan militer untuk tidak mengadili para pelaku yang terlibat dalam suatu pelanggaran/kejahatan serius hak asasi manusia, dengan penekanan khusus pada kejahatan serius di bawah hukum internasional. Pelanggaran/kejahatan serius hak asasi manusia yang dimaksud adalah pelanggaran/kejahatan terhadap hak integritas personal (personal integrity rights) seperti pembunuhan/eksekusi di luar proses hukum (extra-judicial execution), penyiksaan (torture), penghilangan paksa (enforced disappearance), penahanan 30 Emmanuel Decaux, Issue of the Administration of Justice Through Military Tribunals, E/CN.4/Sub.2/2006/58, 13 Januari 2006, Prinsip No 6; Penolakan Wajib Militer Berdasarkan suatu Keyakinan, Paragraf 64-66. 31 Emmanuel Decaux, Issue of the Administration of Justice Through Military Tribunals, E/CN.4/Sub.2/2006/58, 13 Januari 2006, hal. 11. HR Committee bahkan menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 18 ICCPR juga bahkan membenarkan suatu keberatan seorang personel militer untuk menolak menggunakan senjata mematikan dalam suatu konflik atau perang. Lihat Human Rights Committee, General Comment No 22 (The Right to Freedom of Thought, Conscience and Religion), 1993, CCPR/C/21/Rev.1/Add.4, Paragraf 11. 32 Louis Joinet, Issue of the Administration of Justice Through Military Tribunals, E/CN.4/Sub.2/2002/4, paragraf 17. Putusan dan hasil obervasi Human Rights Committee –yang mengawal ICCPR- menunjukkan praktik tersebut umumnya melanggar prinsip effective remedy [Pasal 2 paragraf 3(a)], prinsip independensi dan imparsialitas pengadilan (Pasal 14, paragraf 1), dan prinsip persamaan perlindungan oleh hukum (Pasal 26) dari ICCPR. 23
- Page 1 and 2: MENEROBOS JALAN BUNTU KAJIAN TERHAD
- Page 3 and 4: SEKAPUR SIRIH KontraS (Komisi untuk
- Page 5 and 6: Buku hasil kajian tentang Peradilan
- Page 7 and 8: f. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 9 and 10: menghargai dan melindungi HAM. Hal
- Page 11 and 12: Sipil-Politik (ICCPR), Kovenan Inte
- Page 13 and 14: Perubahan atas peradilan militer in
- Page 15 and 16: prinsip internasional. Bab keempat,
- Page 17 and 18: Sistem peradilan militer tidak diat
- Page 19 and 20: Operasionalisasi sistem peradilan m
- Page 21: Ketentuan ini juga ditegaskan oleh
- Page 25 and 26: “Any person against whom proceedi
- Page 27 and 28: internasional -baik di tingkat inte
- Page 29 and 30: Di luar dua isu di atas; pelanggara
- Page 31 and 32: Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tenta
- Page 33 and 34: Kewenangan konstitusional negara un
- Page 35 and 36: preventif berulangnya pelanggaran H
- Page 37 and 38: BAB III PERADILAN MILITER INDONESIA
- Page 39 and 40: Aturan hukum terkait dengan militer
- Page 41 and 42: Dalam sumber hukum sebagaimana yang
- Page 43 and 44: umumnya menangani baik perkara perd
- Page 45 and 46: Pengadilan militer model ini bertah
- Page 47 and 48: acara pidana dan hukum acara gugata
- Page 49 and 50: pidana yang dilakukan sipil dan mil
- Page 51 and 52: Sumber : Data olahan Dokumentasi Ko
- Page 53 and 54: Berdasarkan kompentensi subjektifny
- Page 55 and 56: dan keamanan negara. Sesungguhnya a
- Page 57 and 58: g. Melanggar Prinsip Peradilan yang
- Page 59 and 60: g. menentukan perkara untuk diseles
- Page 61 and 62: Menghukum yang bersangkutan dengan
- Page 63 and 64: hukum berdasarkan ketentuan peratur
- Page 65 and 66: orang menjadi korban dalam penculik
- Page 67 and 68: pernah ada rekonstruksi yang dilaku
- Page 69 and 70: PPRM bertujuan untuk menghalau luas
- Page 71 and 72: “Saya mempertanyakan peradilan mi
diperlukan untuk menentukan bisa tidaknya suatu ekstradisi seorang tersangka<br />
dilakukan.26 Problem lainnya adalah memasukkan suatu tindak pelanggaran militer<br />
dalam konteks kerja (operasi) pasukan perdamaian (peacekeeping operations).<br />
Sayangnya konvensi ini tidak mendefinisikan atau memberikan suatu daftar tindak<br />
pelanggaran pidana militer. Dalam studinya tentang peradilan militer, ahli PBB Mr.<br />
Emmanuel Decaux menyarankan agar Kitab Hukum Pidana Militer (code of military<br />
justice) dievaluasi lewat suatu periode reguler secara sistematik agar tidak terjadi<br />
tumpang tindih antara KUHP militer dengan KUHP umum.27<br />
Ketentuan lain yang menegaskan soal yurisdiksi eksklusif peradilan militer atas<br />
pelanggaran pidana militer dikembangkan oleh suatu instrumen yang bersifat nonbinding,<br />
yaitu “Singhvi Declaration” yang merupakan draf deklarasi para ahli dalam<br />
mengelaborasi prinsip independensi dan imparsialitas para hakim, juri, pengacara, dan<br />
alat perlengkapan persidangan lainnya. Pada Pasal 5 dari Singhvi Declaration tersebut<br />
dinyatakan bahwa:<br />
22<br />
“(f) The juridisdiction of military tribunals shall be confined to military<br />
offences. There shall always be a right of appeal from such tribunals to a<br />
legally qualified appellate court or tribunal or a remedy by way of an<br />
application for annulment.”28<br />
Di tengah-tengah kabur dan luasnya definisi pelanggaran pidana militer, terdapat satu<br />
isu HAM yang menjadi problematik. Isu penolakan wajib militer berdasarkan suatu<br />
keyakinan (conscientious objection to military service) memunculkan pertanyaan<br />
apakah menjadi cakupan yurisdiksi peradilan militer atau tidak. Sejauh ini ada<br />
kecenderungan bahwa praktik penolakan wajib militer berdasarkan suatu keyakinan<br />
dianggap sebagai salah satu bentuk manifestasi dari hak atas keyakinan, pikiran, dan<br />
beragama seperti yang diatur oleh Pasal 18 ICCPR29 dan karena itu tak bisa dipidana.<br />
Meski terdapat praktik-praktik di tingkat nasional yang mengafirmasi penolakan<br />
26 Pasal 4 dari European Convention on Extradition 1957 menyatakan: “Extradition for<br />
offences under military law which are not offences under ordinary criminal law is excluded<br />
from the application of this Convention.”<br />
27 Emmanuel Decaux, Issue of the Administration of Justice Through Military Tribunals,<br />
E/CN.4/Sub.2/2006/58, 13 Januari 2006, Prinsip No. 20; Evaluasi atas Kitab Pidana Militer,<br />
Paragraf 64-66.<br />
28 Singhvi Declaration, E/CN.4/Sub.2/1988/20/Add.1 and Add.1/Corr.1). Meskipun Singhvi<br />
Declaration ini tidak diadopsi, dalam resolusinya (1989/32) Komisi HAM PBB mengajak<br />
kepada seluruh pemerintah untuk mempertimbangkan prinsip-prinsip dari draf deklarasi ini.<br />
Sebelumnya dalam World Conference on the Independence of Justice di Montreal, Kanada<br />
pada Juni 1983 dihasilkan kesimpulan yang sama [the Universal Declaration on the<br />
Independence of Justice (E/CN.4/Sub.2/1985/18/Add.6, Annex IV, paragraf 20].<br />
29 Human Rights Committee, General Comment No 22 (The Right to Freedom of Thought,<br />
Conscience and Religion), 1993, CCPR/C/21/Rev.1/Add.4, Paragraf 11.