menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

isa campur tangan pada proses peradilan dan peradilan tidak boleh bertindak sebagai kepanjangan tangan dari eksekutif dalam menghadapi warga negara”. xxxiii Prinsip No. 2 Penghormatan pada standar-standar hukum internasional Peradilan militer dalam segala situasi harus menerapkan standar dan prosedur yang diakui secara internasional sebagai jaminan atas peradilan yang adil (fair trial), termasuk aturan hukum humaniter internasional. Pengadilan militer, bila ada, dalam segala situasi harus menghormati prinsip prinsip hukum international yang berkaitan dengan peradilan yang adil. Hal ini berkaitan dengan jaminan minimum; bahkan di masa masa krisis, terutama yang berdasarkan Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, pembatasan/derogasi dari Negara Pihak (State Party) terhadap ketentuan hukum umum seharusnya tidak “inkonsisten dengan kewajiban lainnya di bawah hukum internasional” atau tidak melibatkan “diskriminasi yang dilandaskan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan asal usul”. Jika Pasal 14 dari Kovenan itu tidak secara eksplisit memasukkan inti dari hak-hak yang tidak bisa dibatasi (non-derogable rights), eksistensi peradilan yang efektif menjamin dihormatinya elemen-elemen yang terkandung dalam kovenan, khususnya isi Pasal 4, sebagaimana Komite HAM tekankan dalam Komentar Umumnya No 29. xxxiii Tanpa jaminan tersebut, kita bisa menghadapi penyangkalan keadilan. Penjaminan ini dibuat jelas dengan prinsipprinsip di bawah ini. 198 Prinsip No 3 Penerapan Hukum Perang Pada masa krisis, penerapan hukum perang atau rezim khusus tidak boleh mengurangi jaminan atas peradilan yang adil. Setiap pembatasan “yang terbatas berdasarkan kekhususan situasi” harus konsisten dengan prinsip administrasi yang layak untuk keadilan. Secara khusus, pengadilan militer tidak boleh menggantikan pengadilan umum, sebagai pembatasan dari hukum biasa. Prinsip baru ini diperkenalkan sebagai landasan dari sesi ke 57 Sub-Komisi, berdasarkan usul dari Francoise Hampson. Tujuannya adalah agar mempertimbangkan situasi krisis internal yang muncul setelah bencana alam atau “darurat umum” berdasarkan pemahaman Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, ketika hukum perang atau rezim sejenisnya, seperti negara dalam keadaan bahaya, dideklarasikan. Ini adalah area abu-abu, di mana derogasi/pengurangan serius bisa dibuat dari jaminan yang berkaitan dengan ‘rule of law’ akan tetapi pengamanan yang disediakan berdasarkan hukum humaniter

internasional tidak diterapkan. Sebagaimana ditekankan oleh Komite HAM dalam Komentar Umumnya No 29, merujuk ke atas, “Sebagaimana beberapa elemen dari hak untuk peradilan yang adil secara eksplisit dijamin di bawah hukum humaniter internasional pada masa konflik bersenjata, Komite menemukan tidak adanya justifikasi untuk menderogasi jaminan ini pada situasi situasi bahaya. Komite berpendapat bahwa prinsip legalitas dan ‘rule of law’ mensyaratkan persyaratan dasar peradilan yang adil harus dihormati pada masa negara dalam keadaan bahaya” (para. 16). Setiap pembatasan “terbatas hanya pada kekhususan situasi” harus konsisten dengan prinsip administrasi peradilan yang layak. Konsekuensinya, semua prinsip yang berkaitan dengan administrasi peradilan oleh peradilan militer harus diterapkan sepenuhnya. Secara khusus, pengadilan militer tidak boleh menggantikan pengadilan umum, sebagai pembatasan dari hukum biasa. Prinsip No 4 Penerapan hukum humaniter Pada masa konflik bersenjata, prinsip-prinsip hukum humaniter, khususnya ketentuan Konvensi Jenewa tentang Penanganan Tahanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War), bisa diaplikasikan secara penuh pada peradilan militer. Hukum humaniter internasional juga menerapkan jaminan minimum dalam persoalan yudisial. Pasal 75, paragraf 4, Protokol I dari Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949 menyediakan jaminan dasar dalam persoalan yudisial yang harus dihormati termasuk pada masa konflik internasional, merujuk pada “Pengadilan yang dibentuk secara imparsial dan reguler”, sebagaimana dinyatakan oleh Komite Palang Merah Internasional/the International Committee of the Red Cross (ICRC), “penekanan pada kebutuhan menjalankan keadilan seimparsial mungkin, bahkan dalam keadaan ekstrem konflik bersenjata, ketika harga nyawa manusia terkadang sangat murah”. xxxiii Pasal 6, paragraf 2, dari Protokol II mengacu pada “suatu peradilan menawarkan jaminan dasar berupa independensi dan imparsialitas”. Menurut ICRC, “kalimat ini menegaskan prinsip bahwa siapa pun yang dituduh memiliki pelanggaran berkaitan dengan konflik, berhak atas peradilan yang adil. Hak ini hanya efektif jika penilaian yang diberikan oleh pengadilan, menawarkan jaminan dasar berupa independensi dan imparsialitas”. xxxiii Jika penghormatan atas jaminan yudisial ini wajib semasa konflik bersenjata, tidak jelas bagaimana jaminan tersebut dihormati dalam kondisi tidak adanya konflik bersenjata. Perlindungan hak-hak pada masa damai seharusnya lebih besar, atau sama dengan, yang diakui pada masa perang. Pasal 84 dari Konvensi Jenewa berkaitan dengan Penanganan Tahan Perang, tertulis: “Tahanan perang harus diadili hanya oleh peradilan militer, kecuali hukum yang 199

internasional tidak diterapkan. Sebagaimana ditekankan oleh Komite HAM dalam<br />

Komentar Umumnya No 29, merujuk ke atas, “Sebagaimana beberapa elemen dari<br />

hak untuk peradilan yang adil secara eksplisit dijamin di bawah hukum humaniter<br />

internasional pada masa konflik bersenjata, Komite menemukan tidak adanya<br />

justifikasi untuk menderogasi jaminan ini pada situasi situasi bahaya. Komite<br />

berpendapat bahwa prinsip legalitas dan ‘rule of law’ mensyaratkan persyaratan<br />

dasar peradilan yang adil harus dihormati pada masa negara dalam keadaan<br />

bahaya” (para. 16). Setiap pembatasan “terbatas hanya pada kekhususan situasi”<br />

harus konsisten dengan prinsip administrasi peradilan yang layak. Konsekuensinya,<br />

semua prinsip yang berkaitan dengan administrasi peradilan oleh peradilan militer<br />

harus diterapkan sepenuhnya. Secara khusus, pengadilan militer tidak boleh<br />

menggantikan pengadilan umum, sebagai pembatasan dari hukum biasa.<br />

Prinsip No 4<br />

Penerapan hukum humaniter<br />

Pada masa konflik bersenjata, prinsip-prinsip hukum humaniter, khususnya<br />

ketentuan Konvensi Jenewa tentang Penanganan Tahanan Perang (Geneva<br />

Convention relative to the Treatment of Prisoners of War), bisa diaplikasikan<br />

secara penuh pada peradilan militer.<br />

Hukum humaniter internasional juga menerapkan jaminan minimum dalam persoalan<br />

yudisial. Pasal 75, paragraf 4, Protokol I dari Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus<br />

1949 menyediakan jaminan dasar dalam persoalan yudisial yang harus dihormati<br />

termasuk pada masa konflik internasional, merujuk pada “Pengadilan yang dibentuk<br />

secara imparsial dan reguler”, sebagaimana dinyatakan oleh Komite Palang Merah<br />

Internasional/the International Committee of the Red Cross (ICRC), “penekanan pada<br />

kebutuhan menjalankan keadilan seimparsial mungkin, bahkan dalam keadaan<br />

ekstrem konflik bersenjata, ketika harga nyawa manusia terkadang sangat murah”. xxxiii<br />

Pasal 6, paragraf 2, dari Protokol II mengacu pada “suatu peradilan menawarkan<br />

jaminan dasar berupa independensi dan imparsialitas”. Menurut ICRC, “kalimat ini<br />

menegaskan prinsip bahwa siapa pun yang dituduh memiliki pelanggaran berkaitan<br />

dengan konflik, berhak atas peradilan yang adil. Hak ini hanya efektif jika penilaian<br />

yang diberikan oleh pengadilan, menawarkan jaminan dasar berupa independensi<br />

dan imparsialitas”. xxxiii Jika penghormatan atas jaminan yudisial ini wajib semasa<br />

konflik bersenjata, tidak jelas bagaimana jaminan tersebut dihormati dalam kondisi<br />

tidak adanya konflik bersenjata. Perlindungan hak-hak pada masa damai seharusnya<br />

lebih besar, atau sama dengan, yang diakui pada masa perang.<br />

Pasal 84 dari Konvensi Jenewa berkaitan dengan Penanganan Tahan Perang, tertulis:<br />

“Tahanan perang harus diadili hanya oleh peradilan militer, kecuali hukum yang<br />

199

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!