menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu menerobos%20jalan%20buntu

18.04.2013 Views

1996 antara Amerika Serikat dan Prancis; Pasal 5 dari perjanjian tersebut, yang ditujukan bagi pelanggaran militer, menyatakan bahwa ekstradisi tidak akan diberikan apabila pelanggaran yang dijadikan dasar permintaan ekstradisi merupakan pelanggaran militer semata. 37. Pada tingkatan domestik, sebuah studi undang-undang komparatif terhadap peraturan-peraturan keadilan militer yang berbeda akan sangat berguna, terlepas dari apakah peraturan tersebut diterapkan oleh sebuah pengadilan biasa maupun khusus. Terutama, konsep “pelanggaran (atau kejahatan) militer” harus didefinisikan dengan memperhatikan agar definisi tersebut tidak memberikan dampak bagi warga sipil tanpa pembenaran, dan harus dibuat perbedaan antara pelanggaran kriminal militer stricto sensu dan pelanggaran atau perilaku buruk disipliner. 38. Sebaliknya, pelanggaran tertentu justru harus dikecualikan dari yurisdiksi militer. Ini berlaku dalam perkara conscientious objection (keberatan atas dasar nurani) sejauh, dalam resolusinya No 1998/77, Komisi Hak Asasi Manusia mengajak negara-negara untuk menetapkan badan-badan pengambil-keputusan yang independen dan tidak-berpihak dengan tugas menentukan apakah sebuah conscientious objection benar-benar diyakini oleh orang yang mengajukan. Berdasarkan definisinya, pengadilan militer akan menjadi hakim sekaligus pihak terkait dalam kasus semacam itu. Conscientious objector (orang yang mengajukan keberatan) adalah warga sipil, yang harus berada di bawah proses hukum sipil. Ketika hak atas conscientious objection, yang merupakan bagian integral dari hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama seperti yang terkandung dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tidak diakui oleh undang-undang, maka conscientious objector diperlakukan sebagai seorang diserter dan peraturan kriminal militer diberlakukan. 170

39. Setidaknya, seperti dinyatakan dalam rekomendasi No R (87) 8 dari Committee of Ministers of the Council of Europe mengenai prosedur untuk pengakuan atas status seorang conscientious objector: “5. Pertimbangan terhadap permohonan tersebut harus mengandung seluruh jaminan yang dibutuhkan untuk persidangan yang adil; “6. Pemohon harus mampu mengajukan naik banding pada putusan pertama; “7. Lembaga naik-banding tersebut haruslah terpisah dari administrasi militer dan komposisinya harus menjamin kemandirian lembaga tersebut.” 2. Pelanggaran hak asasi manusia 40. Berkaitan dengan definisi dari sebuah pelanggaran yang bersifat murni militer, pemikiran bahwa pelaku pelanggaran hak asasi manusia tidak dapat diadili di hadapan pengadilan militer sekarang ini semakin diterima, seolah-olah ada semacam distorsi dengan mana personel militer kehilangan pengecualian mereka dari yurisdiksi sehingga hak-hak para korban dapat dipertimbangkan secara penuh. 41. Pasal 16 paragraf 2 Deklarasi Perlindungan bagi Setiap Orang Dari Penghilangan Paksa, yang dikeluarkan oleh Majelis Umum dalam resolusinya No 47/133 tanggal 18 Desember 1992, menyatakan bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas penghilangan paksa “hanya boleh diadili oleh pengadilan biasa yang kompeten di tiap negara, dan bukan oleh pengadilan khusus lainnya yang manapun, terutama pengadilan militer”. 42. Prinsip ini disuarakan dalam Konvensi Inter-Amerika tahun 1994 mengenai Penghilangan Orang Secara Paksa, Pasal IX, yang menyatakan bahwa: 171

39. Setidaknya, seperti dinyatakan dalam rekomendasi No R (87) 8 dari Committee of<br />

Ministers of the Council of Europe mengenai prosedur untuk pengakuan atas status<br />

seorang conscientious objector:<br />

“5. Pertimbangan terhadap permohonan tersebut harus mengandung seluruh jaminan<br />

yang dibutuhkan untuk persidangan yang adil;<br />

“6. Pemohon harus mampu mengajukan naik banding pada putusan pertama;<br />

“7. Lembaga naik-banding tersebut haruslah terpisah dari administrasi militer dan<br />

komposisinya harus menjamin kemandirian lembaga tersebut.”<br />

2. Pelanggaran hak asasi manusia<br />

40. Berkaitan dengan definisi dari sebuah pelanggaran yang bersifat murni militer,<br />

pemikiran bahwa pelaku pelanggaran hak asasi manusia tidak dapat diadili di hadapan<br />

pengadilan militer sekarang ini semakin diterima, seolah-olah ada semacam distorsi<br />

dengan mana personel militer kehilangan pengecualian mereka dari yurisdiksi<br />

sehingga hak-hak para korban dapat dipertimbangkan secara penuh.<br />

41. Pasal 16 paragraf 2 Deklarasi Perlindungan bagi Setiap Orang Dari Penghilangan<br />

Paksa, yang dikeluarkan oleh Majelis Umum dalam resolusinya No 47/133 tanggal<br />

18 Desember 1992, menyatakan bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas<br />

penghilangan paksa “hanya boleh diadili oleh pengadilan biasa yang kompeten di tiap<br />

negara, dan bukan oleh pengadilan khusus lainnya yang manapun, terutama<br />

pengadilan militer”.<br />

42. Prinsip ini disuarakan dalam Konvensi Inter-Amerika tahun 1994 mengenai<br />

Penghilangan Orang Secara Paksa, Pasal IX, yang menyatakan bahwa:<br />

171

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!