18.04.2013 Views

menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu

menerobos%20jalan%20buntu

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

yuridis, UU No 31/1997 menjustifikasi praktik diskriminatif dibanding dengan<br />

pemberlakuan yurisdiksi peradilan lainnya. Misalnya dalam UU No 26/2000 tentang<br />

Pengadilan HAM, yurisdiksi didasari oleh bentuk kejahatan (kejahatan terhadap<br />

kemanusiaan dan genosida). Sedangkan dalam UU No 31/1997 pemberlakuannya<br />

didasari oleh identitas pelaku, selama pelaku adalah anggota militer atau sesorang<br />

yang dipersamakan dengan militer maka UU No 31/1997 bisa diberlakukan, tanpa<br />

mempertimbangkan bentuk kejahatannya. Seharusnya terhadap kejahatan yang<br />

melibatkan personel militer atas delik apapun institusi TNI bisa melakukan sejumlah<br />

hal seperti bantuan hukum atau bertindak sebagai amicus curie dalam proses-proses di<br />

peradilan umum.<br />

Atas temuan ketimpangan pada UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer terhadap<br />

prinsip-prinsip HAM maka UU tersebut harus segera direvisi. Revisi harus menitik<br />

beratkan pada pemberlakuan peradilan militer yang harus berdasarkan pada delik<br />

pelanggaran internal kemiliteran. Sedangkan kejahatan yang merupakan kejahatan<br />

umum termasuk kejahatan perang harus diadili di pengadilan umum, termasuk<br />

pengadilan korupsi dan pengadilan HAM. Intinya harus disesuaikan dengan deliknya.<br />

Dengan kata lain peradilan militer tidak boleh menghalangi bekerjanya yurisdiksi<br />

pengadilan lain. Untuk itu perlu dilakukan kategorisasi bentuk pelanggaran internal<br />

kemiliteran. Jika ada benturan yurisdiksi misalnya tidakan indisipliner berupa<br />

penghilangan orang secara paksa, maka pengadilan militer harus mendahulukan<br />

mekanisme peradilan HAM untuk berjalan terlebih dahulu. Keputusan dan barang<br />

bukti dari pengadilan HAM bisa digunakan atau dilengkapi dengan proses peradilan<br />

militer untuk melakukan penghukuman tindakan indisplinernya. Konsekuensi dari<br />

usulan di atas maka peradilan militer hanya untuk lingkup internal dan keberadaannya<br />

di bawah institusi TNI.<br />

Dari gambaran kasus-kasus di atas memperlihatkan bahwa sistem pengadilan militer<br />

yang berlaku tidak mampu menggali kebenaran ataupun gambaran utuh dari sebuah<br />

kejahatan, terutama kejahatan terhadap kemanusiaan (pelanggaran HAM berat). Hal<br />

ini tentu berimplikasi terhadap ketidakpuasan korban atas proses tersebut. Akibat lain<br />

dari hal ini adalah para pihak yang harusnya bertanggung jawab tidak bisa diajukan ke<br />

pengadilan. Meskipun hanya sebagai saksi sekali pun. Justru para pihak tersebut<br />

bertindak sebagai Ankum (Atasan yang Berhak Menghukum) ataupun Papera<br />

(Perwira Penyerah Perkara), dengan hak menghentikan perkara demi kepentingan<br />

tertentu. Meskipun peradilan militer berada dalam institusi militer, peradilan militer<br />

harus tetap memperhatikan sejumlah prinsip pengadilan yang jujur dan tidak berpihak<br />

(fair trial) dan independensi suatu administrasi peradilan. Problem lainnya<br />

menyangkut berlakunya tanggung jawab atasan (superior responsibility) yang kini<br />

sudah menjadi tren kemajuan di tempat lain yang tidak ditemui dalam pengalaman<br />

digelarnya suatu pengadilan militer terkait kasus-kasus pelanggaran HAM yang<br />

serius, seperti yang ditemui dalam penelitian ini.<br />

108

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!