15.04.2013 Views

Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi UNJ

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Volume 1 No.1, Oktober 2012<br />

<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong><br />

<strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong><br />

<strong>Psikologi</strong><br />

Volume 01<br />

Nomor 01<br />

Diterbitkan oleh Jurusan <strong>Psikologi</strong><br />

Fakultas Ilmu Pendidikan<br />

Universitas Negeri Jakarta<br />

Hal. 1 - 204<br />

Hal. 1 - 204


Volume 01, Nomor 01, Oktober 2012<br />

JPPP<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

<strong>Jurnal</strong> yang terbit dua kali dalam satu tahun, pada bulan April <strong>dan</strong> Oktober, berisi tentang kajian <strong>dan</strong><br />

hasil penelitian <strong>dan</strong> pengukuran di bi<strong>dan</strong>g psikologi.<br />

Ketua Penyunting<br />

Yufiarti<br />

Wakil Ketua Penyunting<br />

Burhanudin Tola<br />

Penyunting Ahli<br />

Herwindo Hariwibowo (Universitas Negeri Jakarta)<br />

Suparno Eko Widodo (Universitas Negeri Jakarta)<br />

Penyunting Pelaksana<br />

Anna Armeini Rangkuti<br />

Fellianti Muzdalifah<br />

Gumgum Gumelar<br />

Herdiyan Maulana<br />

Alamat Penyunting <strong>dan</strong> Tata Usaha: Program Studi <strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan<br />

Universitas Negeri Jakarta, Jl. Halimun No.2 Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan. Telp. (021)<br />

4755115/ 29266297 Fax (021) 4897535. Email: ggumelar@unj.ac.id atau tulisanpsiunj@gmail.com<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong> diterbitkan oleh Program Studi <strong>Psikologi</strong> Fakultas<br />

Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Terbit pertama kali pada bulan Oktober 2012.<br />

Penyunting menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan oleh media cetak lain. Naskah diketik<br />

dengan spasi 1 cm pada kertas ukuran A4 dengan panjang tulisan berkisar antara 10 -20 Halaman.<br />

(Informasi detil dapat dilihat pada halaman akhir jurnal)


Volume 01, Nomor 01, Oktober 2012<br />

Nama<br />

JPPP<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Daftar Isi<br />

Judul <strong>Penelitian</strong> Hal<br />

Anggita Amelia Pengaruh Konflik Peran terhadap Terjadinya Burnout pada<br />

Pangesti<br />

Mahasiswa KoAss<br />

Astried Fitri Karnita Pengaruh Persepsi Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja<br />

Pada Karyawan Blitzmegaplex Teras Kota<br />

Ria Kurniawaty Dinamika <strong>Psikologi</strong>s Pelaku Self Injury (Studi Kasus pada Wanita<br />

Dewasa Awal)<br />

13<br />

Nur Fitriah Resiliensi pada Anak dengan Kanker 23<br />

Wening Pusparini Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Penyesuaian Perkawinan<br />

pada Usia Dewasa Awal<br />

29<br />

Kamilia Asmarany Efektivitas Penerapan Hypnobirthing dalam Menurunkan Tingkat<br />

Kecemasan Ibu Hamil Trisemester Tiga Menjelang Persalinan<br />

Anak Pertama di Usia Dewasa Awal<br />

37<br />

Dessy Lestari Gambaran Faktor-Faktor yang Menyebabkan Remaja Putri untuk<br />

Merokok<br />

46<br />

Disa Dwi Fajrina Resiliensi pada Remaja Putri yang Mengalami Kehamilan Tidak<br />

Diinginkan Akibat Kekerasan Seksual<br />

55<br />

Rury Siti Ruhaniah Perbandingan Tingkat Loyalitas terhadap Merek (Brand Loyalty)<br />

pada Pengguna Smartphone berdasarkan Teori Kepribadian Big<br />

Five Factors of Personality<br />

63<br />

Imanika Bunga Ayu Resiliensi pada Wanita yang Mengalami Abortus Spontanea 71<br />

Fatchun Nikmah Konsep Diri Anak Pekerja Seks Komersial yang Tinggal di Tengah<br />

Masyarakat<br />

78<br />

Fickar<br />

Profil Tipe Testimonial Online pada Produk Komputer terhadap 85<br />

Suryadinningrat Sikap atas Iklan <strong>dan</strong> Sikap atas Perilaku Membeli<br />

Firda Ridhania Pengaruh Citra Merek terhadap Gaya Keputusan Konsumen pada<br />

Produk Starbucks<br />

93<br />

Freeco Lisa L. S. Gambaran Sikap Remaja Awal terhadap Iklan Anti Rokok 99<br />

Yusnia Nasution Kepuasan Kerja Karyawan pada CV. Mitra Boga Tama 107<br />

Mirrah Apsari Nubi Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Kemampuan Mengelola<br />

Konflik di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wanita Tangerang<br />

116<br />

Eva Wulandari Pengaruh Attachment terhadap Orientasi Perilaku Prososial pada 121<br />

1<br />

7


Remaja di SMAN 2 Bekasi<br />

Ajeng Triani Pengaruh Persepsi Penerimaan Teman Sebaya terhadap Kesepian<br />

pada Remaja<br />

Aghnia Fathunnisa Pengaruh Penyesuaian Diri terhadap Kecemasan Komunikasi<br />

Interpersonal pada Remaja di Panti Asuhan Muslimin<br />

Nur Hasyanah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri pada Wanita<br />

Infertilitas<br />

Christiara Ully Latar Belakang Terbentuknya Clique The Allay's <strong>dan</strong> Faktor-Faktor<br />

yang Mendorong Kekohesifan antar Anggotanya<br />

153<br />

Eunike Apastelina Resiliensi Keluarga pada Keluarga yang Memiliki Anak Autis 164<br />

Zeni Per<strong>dan</strong>a Rizeki Hubungan antara Keterampilan Sosial dengan Perilaku Agresif<br />

Remaja pada Siswa SMK Bunda Kandung<br />

177<br />

Dwi Wulandari Gambaran Kecerdasan Emosional pada Siswa SMKN 1 Jakarta 183<br />

Sri Maryani Gambaran Adversity Quotient (AQ) pada Siswa di SMU Negeri 27<br />

Jakarta Pusat<br />

191<br />

Asti Asri Pengaruh Kepercayaan Diri terhadap Perilaku Konsumtif pada<br />

Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Babelan<br />

197<br />

128<br />

135<br />

143


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 1<br />

PENGARUH KONFLIK PERAN TERHADAP TERJADINYA BURNOUT<br />

PADA MAHASISWA KOASS<br />

Anggita Amelia Pangesti<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Rawamangun, Jakarta<br />

Email: anggita_amelia@ymail.com<br />

Abstract<br />

The study was conducted 49 co-ass students who are doing clinical practice (N=49), investigate the effect of role<br />

conflict with the occurrence of burnout. Using a purposive technique sampling, these studies make use of two<br />

instruments as a measure of role conflict and burnout measurement tools that has been modified from the<br />

Maslach Burnout Inventory (MBI) with Likert models. The result is that there is significant influence between<br />

role conflict and the occurrence of burnout in co-ass students. The amount of influence (R Square) to the<br />

occurrence of role conflict and burnout is 0.389 (38.9%) which means that the conflict affects the role of burnout<br />

by 38.9% and the remaining 61.1% influenced by other factors outside of role conflict. This indecated any<br />

significant positive effect of role conflict and the occurrence of burnout.<br />

1. Pendahuluan<br />

Kesehatan merupakan aspek penting dalam<br />

kehidupan manusia. Sehat bukan berarti tidak<br />

a<strong>dan</strong>ya suatu penyakit tapi juga optimalnya kondisi<br />

fisik, mental, <strong>dan</strong> kesejahteraan sosial. Selama ini<br />

kalau berbicara tentang kesehatan hanya tertuju<br />

pada satu pokok pembicaraan yaitu penderita atau<br />

pasien saja, se<strong>dan</strong>gkan petugas kesehatan seperti<br />

dokter, perawat, psikolog, pekerja sosial <strong>dan</strong> lain<br />

sebagainya yang bekerja bagi pasien atau klien<br />

sendiri pada umumnya jarang menjadi pokok<br />

pembicaraan. Padahal petugas kesehatan<br />

merupakan sumber daya manusia yang sangat<br />

penting dalam mengembangkan ilmu kesehatan <strong>dan</strong><br />

juga sebagai pihak yang mendukung promosi di<br />

bi<strong>dan</strong>g kesehatan dalam bentuk penyuluhan<br />

mengenai bahaya-bahaya kesehatan <strong>dan</strong> usahausaha<br />

pencegahannya. Dokter sebagai salah satu<br />

petugas kesehatan merupakan profesi yang<br />

Keywords: co-ass, role conflict, burnout<br />

dianggap mempraktikkan ilmu kedokteran secara<br />

harfiah, dibandingkan dengan profesi-profesi<br />

perawatan kesehatan terkait<br />

(http://id.wikipedia.org/wiki/ Kedokteran).<br />

Menurut Abrori (2007) dokter adalah tenaga<br />

kesehatan tempat kontak pertama pasien dengan<br />

tenaga kesehatan, untuk menyelesaikan semua<br />

masalah kesehatan yang dihadapi tanpa<br />

meman<strong>dan</strong>g jenis penyakit, organologi, golongan<br />

usia, <strong>dan</strong> jenis kelamin. Dokter sebagai elemen<br />

terpenting di Rumah Sakit diharapkan memberikan<br />

dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaannya dalam<br />

hubungannya dengan pasien. Untuk memenuhi hal<br />

tersebut dokter melakukan tugasnya dengan<br />

memberikan pelayanan yang baik saat berhubungan<br />

dengan pasien. Hal ini sulit dilakukan karena<br />

kuantitas pasien yang dilayani tidak sebanding<br />

dengan jumlah dokter yang ada. Namun keadaan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 2<br />

tersebut berbeda di setiap negara bahkan dalam satu<br />

negara (William, dalam Medical Ethics Manual,<br />

2005).<br />

China Daily melaporkan bahwa pada tahun<br />

2010, terdapat 17.000 insiden kekerasan yang<br />

menimpa sekitar 70% rumah sakit negara, termasuk<br />

pembunuhan. Pada akhir Maret, seorang dokter<br />

muda di Affiliated Hospital of Harbin Medical<br />

University di China timur laut, ditikam sampai mati<br />

oleh seorang pasien yang marah (http://luarnegeri.kompasiana.com/2012/04/30/menjadidokter-di-china-adalah-profesi-yang-berbahaya/).<br />

Secara umum situasi tersebut sepertinya lebih<br />

buruk. Banyak calon dokter yang merasa bahwa<br />

mereka tidak lagi dihormati sebagaimana mereka<br />

dulu dihormati. Oleh karena hal itu kompetensi<br />

harus dimiliki oleh seorang calon dokter yang<br />

nantinya akan melayani pasien atau klien, dimana<br />

relasi pasien <strong>dan</strong> dokter merupakan proses utama<br />

dari praktik kedokteran<br />

(http://id.wikipedia.org/wiki/Kedokteran.<br />

Calon dokter, dokter muda, atau koass adalah<br />

suatu jenjang pendidikan profesi yang dijalani oleh<br />

seorang lulusan sarjana kedokteran untuk dapat<br />

memperoleh gelar dokter umum dengan lama<br />

pendidikan koass adalah kurang lebih dua tahun.<br />

Selama kurun waktu tersebut, seorang koass harus<br />

melewati sebanyak 14 bagian stase kecil serta harus<br />

melewati 4 bagian stase besar<br />

(http://id.wikibooks.org/wiki/Catatan_Dokter_Mud<br />

a).<br />

Secara umum seorang koass harus bersikap<br />

profesional kepada pasien serta tenaga medis<br />

lainnya selama menjalani praktik klinik. Disamping<br />

itu masih ada tugas lain dimana seorang koass<br />

mendapatkan tuntutan dalam menyelesaikan<br />

jenjang profesinya, yang harus mereka lakukan<br />

untuk syarat kelulusan, diantaranya membuat<br />

makalah tentang suatu kasus mulai dari definisi,<br />

patfis, prevensi yang nantinya akan dipresentasikan,<br />

mereka juga dituntut untuk belajar <strong>dan</strong><br />

menyelesaikan tugas-tugas yang harus diselesaikan<br />

dalam waktu bersamaan. Sering kali tuntutan<br />

mereka saat berada di lingkungan rumah sakit<br />

menghambat kegiatan balajar mereka, sehingga<br />

sedikit waktu yang mereka miliki digunakan untuk<br />

beristirahat bukan digunakan untuk belajar.<br />

A<strong>dan</strong>ya tugas yang berbeda pada masingmasing<br />

peran kerja <strong>dan</strong> kewenangan yang berbeda,<br />

serta tuntutan yang berbeda pula dapat<br />

memunculkan konflik peran dalam diri koass <strong>dan</strong><br />

memiliki konsekuensi atau dampak terhadap<br />

mahasiswa itu sendiri, rekan kerja, pasien, atau<br />

organisasi dalam hal ini rumah sakit tempat mereka<br />

bekerja. Menurut Baron & Byrne (1997) peran<br />

adalah suatu set tingkah laku yang diharapkan<br />

untuk dilakukan oleh individu dalam menjalankan<br />

posisi tertentu dalam suatu kelompok dengan<br />

harapan <strong>dan</strong> tuntutan Harapan <strong>dan</strong> tuntutan ini<br />

menghasilkan batasan-batasan perilaku tertentu<br />

yang diharapkan untuk ditampilkan oleh individu<br />

tersebut.<br />

Harapan <strong>dan</strong> tuntutan dari masyarakat terhadap<br />

peran yang dimiliki koass dapat menimbulkan<br />

ketegangan jika mereka tidak mampu menjalani<br />

masing-masing peran yang berbeda tersebut dengan<br />

baik. Dengan kata lain, jika seorang koass tidak<br />

mampu menjalani kedua peran tersebut dengan baik<br />

maka akan menimbulkan konflik peran dalam diri<br />

mereka, dalam hal ini seorang koas memiliki peran<br />

sebagai sebagai dokter <strong>dan</strong> sebagai mahasiswa<br />

magang (trainee). Meskipun kedua peran tersebut<br />

tidak sepenuhnya mengganggu, ketegangan yang<br />

melekat antara kedua peran tersebut pasti ada<br />

(Schaufeli, 2009). Misalnya, peran mereka sebagai<br />

mahasiswa mensyaratkan bahwa mereka harus<br />

belajar dari pekerjaan mereka, mengerjakan modul<br />

yang harus diselesaikan,<strong>dan</strong> deadline tugas. Disaat<br />

yang sama mereka diharapkan memberikan<br />

perawatan pasien yang efisien saat berperan sebagai<br />

dokter.<br />

Dalam jurnal workaholism, burnout and wellbeing<br />

among junior doctors (Schaufeli. W, Bakker,<br />

et al, 2009) mengatakan bagaimanapun juga, ketika<br />

individu melakukan satu peran, maka individu<br />

tersebut tidak dapat melakukan peran lainnya<br />

dengan baik. Tuntutan yang mensyaratkan bahwa<br />

seorang koass belajar dari pekerjan <strong>dan</strong><br />

pengharapan yang besar untuk memberikan<br />

perawatan pasien yang efisien membuat mereka<br />

menghabiskan jumlah waktu yang berlebihan <strong>dan</strong><br />

energi di kedua peran, serta kemampuan tersebut<br />

dihabiskan dalam satu peran dengan mengorbankan<br />

peran lain, <strong>dan</strong> begitu pula sebaliknya, sehingga<br />

menyebabkan konflik intra-peran di tempat kerja.<br />

Selain itu terdapat juga tuntutan lain dimana<br />

seorang koass harus memproses sejumlah besar<br />

informasi <strong>dan</strong> membuat keputusan rumit (tuntutan<br />

mental), bekerja dalam lingkungan organisasi yang<br />

kompleks (tuntutan organisasi) <strong>dan</strong> harus<br />

berhadapan dengan pasien yang menderita <strong>dan</strong><br />

keluarga mereka (tuntutan emosional).<br />

Tuntutan kualitatif tersebut menghasilkan stres<br />

tambahan yang membuat seorang koass lebih sulit<br />

untuk melakukan dengan baik peran mereka<br />

sebagai dokter <strong>dan</strong> mahasiswa magang (trainee)<br />

sehingga memperparah konflik intra-peran. Stres<br />

tambahan ini membuat seseorang secara subjektif<br />

merasa ada “masalah” yang membebani drinya.<br />

Walaupun sebenarnya semua orang dapat<br />

mengalami stress, tetapi pembahasan mengenai<br />

stress lebih banyak dikaitkan dengan dunia kerja.<br />

Masalah yang membebani ini beresiko besar<br />

terhadap terjadinya kejenuhan yang sangat<br />

berhubungan dengan terjadinya burnout di dalam<br />

pekerjaan yang berhubungan langsung dengan<br />

manusia (human service work), karena profesi<br />

dokter merupakan salah satu bentuk pekerjaan yang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 3<br />

berhubungan langsung dengan manusia dalam hal<br />

pelayanan jasa.<br />

Burnout sebagai respon terhadap stres yang<br />

berlebihan atau akibat ketidakpuasan dalam<br />

pekerjaan, gejala tersebut merupakan salah satu<br />

bentuk coping yang dipilih individu untuk<br />

mengatasi stres dalam pekerjaan yang dihadapinya.<br />

Inividu menarik diri dari masyarakat, penarikan diri<br />

sendiri maksudnya adalah munculnya perilaku–<br />

perilaku yang contohnya antara lain mudah<br />

tersinggung, menurunnya sikap positif terhadap<br />

masyarakat yang dihadapi, menyalahkan<br />

masyarakat, menghindar dari masyarakat yang<br />

seharusnya ditangani, berbuat sewenang–wenang,<br />

<strong>dan</strong> sebagainya. Gejala ini pada beberapa kasus<br />

muncul pada individu yang sebelumnya<br />

menunjukan dedikasi yang tinggi dalam<br />

pekerjaannya (Cherniss, 1980). Individu yang<br />

memasuki profesi pelayanan sosial “merasa<br />

terpanggil” sehingga idealisme mereka pun tinggi.<br />

Namun stress yang dialami secara kronis<br />

menyebabkan individu mengalami perubahan<br />

motivasi sehingga mereka mengalami burnout<br />

(Cherniss, 1980).<br />

Tokoh lain, Freudenberger meman<strong>dan</strong>g<br />

burnout sebagai keadaan lelah atau frustasi yang<br />

disebabkan terhalangnya pencapaian harapan. Ia<br />

mengamati individu yang memulai berkarir<br />

memiliki idealisme. Ketika realitas yang ada tidak<br />

mendukung idealisme mereka maka individu tetap<br />

berupaya mencapai idealisme tersebut sampai<br />

akhirnya sumber diri mereka terkuras sehingga<br />

mengalami keadaan kelelahan atau frustrasi<br />

(Freudenberger & Richelson, 1980).<br />

Dari kedua pan<strong>dan</strong>gan tokoh mengenai definisi<br />

burnout dapat disimpulkan bahwa burnout<br />

merupakan suatu keadaan lelah atau frustasi yang<br />

disebabkan terhalangnya pencapaian harapan<br />

sehingga muncul perubahan sikap <strong>dan</strong> perilaku<br />

dalam bentuk menarik diri secara psikologis dari<br />

pekerjaannya, seperti menjaga jarak dengan klien<br />

maupun bersikap sinis terhadap mereka. Dari<br />

definisi mengenai burnout juga dapat diuraikan<br />

mengenai dimensi-dimensi burnout itu sendiri yaitu<br />

pertama Kelelahan Emosional (Emotional<br />

Exhaustion) yaitu kelelahan emosioal yang ditandai<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa<br />

koass yang se<strong>dan</strong>g melaksanakan praktik klinik di<br />

rumah sakit selama 6 bulan atau lebih. Subjek<br />

dalam penelitian ini adalah mahasiswa koass<br />

Rumah Sakit UKI. Jumlah kuesioner yang disebar<br />

sebanyak 60 buah, namun yang dapat dianalaisis<br />

sebanyak 49 buah.<br />

dengan terkurasnya sumber-sumber emosional,<br />

seperti perasaan lelah secara psikologis sehingga<br />

mereka merasa tidak mampu lagi untuk<br />

memberikan pelayanan <strong>dan</strong> sumber daya psikologis<br />

terhadap orang lain. Kedua, Depersonalisasi<br />

(Depersonalization) yaitu berkembangnya sikap<br />

negatif atau repon yang sinis <strong>dan</strong> pemberian jarak<br />

dengan penerima layanan dari suatu pelayanan atau<br />

pengasuhan yang diberikan seseorang. Terakhir,<br />

Penurunan hasrat pencapaian diri (Reduced of<br />

Personal Accomplisment) yaitu suatu evaluasi diri,<br />

dimana seseorang tidak lagi efektif dalam bekerja<br />

degan penerima layanan <strong>dan</strong> dalam pemenuhan<br />

tanggung jawab berkaitan dengan pelayanan yang<br />

diberikan, serta merupakan perkembangan sikap<br />

negatif yang berkaitan dengan tugas-tugasnya<br />

(Schaufeli & Enzmann, 1998).<br />

Burnout jelas merugikan karena akan<br />

mengurangi kemampuan <strong>dan</strong> efektifitas kerja para<br />

calon dokter. Burnout juga dapat berdampak buruk<br />

dimana dapat mempengaruhi pekerjaan <strong>dan</strong> pekerja<br />

itu sendiri, seperti keengganan untuk pergi kerja,<br />

a<strong>dan</strong>ya perasaan gagal, marah <strong>dan</strong> dendam,<br />

perasaan bersalah <strong>dan</strong> cenderung menyalahkan,<br />

kecil hati <strong>dan</strong> masa bodoh (ignoring), negativisme,<br />

mengisolasi <strong>dan</strong> menarik diri, merasa lelah <strong>dan</strong><br />

letih yang berat setiap hari, kelelahan yang sangat<br />

setelah bekerja, kehilangan perasaan positif<br />

terhadap pasien, setelah masa kontak dengan pasien<br />

berakhir, menolak panggilan dari pasien,<br />

ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau<br />

mendengarkan apa yang dikatakan pasien, perasaan<br />

dilumpuhkan, sinis terhadap pasien, bersikap<br />

menyalahkan, serta kaku dalam berpikir serta<br />

bertahan untuk tidak berubah (Cherniss, 1980).<br />

Berdasarkan fenomena serta teori yang telah<br />

dipaparkan, fenomena yang terjadi mengenai<br />

tututan tugas seorang koass seperti melayani pasien<br />

dengan professional, tuntutan dari pasien yang<br />

mengharuskan seorang calon dokter bekerja dengan<br />

cekatan, minimnya interaksi antara calon dokterpasien,<br />

hal ini disebabkan karena seorang calon<br />

dokter (koass) mengalami burnout akibat sumber<br />

daya yang terkuras habis juga situasi kerja yang<br />

menuntut secara emosi terus menerus, serta<br />

kuantitas pasien yang terlalu banyak.<br />

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data<br />

dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri<br />

dari skala burnout (26 aitem) <strong>dan</strong> skala konflik<br />

peran (27 aitem). Untuk menganalisis kontribusi<br />

konflik peran terhadap terjadinya burnout pada<br />

subjek penelitian adalah dengan menggunakan<br />

analisis regresi sederhana.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 4<br />

3. Hasil <strong>dan</strong> Pembahasan<br />

<strong>Penelitian</strong> ini berusaha melihat kontribusi konflik<br />

peran terhadap terjadinya burnout pada mahasiswa<br />

koass. Pada awalnya dilakukan uji korelasi untuk<br />

Tabel 1. Analisa Korelasi Product Moment<br />

Correlations<br />

melihat hubungan antara kedua variabel dengan<br />

menggunakan korelasi product moment diperoleh<br />

seperti pada Tabel 1.<br />

skor_BUR<br />

NOUT<br />

skor_ROLE_CONFLI<br />

CT<br />

Pearson Correlation skor_BURNOUT 1.000 .624<br />

skor_ROLE_CON<br />

FLICT<br />

.624 1.000<br />

Sig. (1-tailed) skor_BURNOUT . .000<br />

skor_ROLE_CON<br />

FLICT<br />

.000 .<br />

N skor_BURNOUT 49 49<br />

skor_ROLE_CON<br />

FLICT<br />

49 49<br />

Hasil analisis tersebut menunjukkan a<strong>dan</strong>ya<br />

hubungan positif yang signifikan antara konflik<br />

peran <strong>dan</strong> burnout. Kesimpulan yang dapat diambil<br />

bahwa semakin tinggi konflik peran maka akan<br />

semakin tinggi terjadinya burnout pada mahasiswa<br />

koass <strong>dan</strong> semakin rendak konflik peran maka akan<br />

semakin rendah terjadinya burnout pada mahasiswa<br />

koass. Tuntutan-tuntutan kualitastif seperti a<strong>dan</strong>ya<br />

tuntutan secara mental, tuntutan dari organisasi, <strong>dan</strong><br />

tuntutan secara emosional menghasilkan stress<br />

tambahan dimana seorang koass sulit untuk<br />

melakukan dengan baik peran-peran yang mereka<br />

Tabel 2. Analisis Regresi Sederhana<br />

Model Summary<br />

Model R R Square Adjusted R<br />

miliki. Stress ini membuat seorang koass merasa<br />

memiliki beban yang berat yang akan beresiko<br />

terhadap terjadinya burnout (Cherniss, 1980).<br />

Analisis regresi sederhana dilakukan untuk<br />

mengetahui kontribusi konflik peran terhadap<br />

terjadinya burnout <strong>dan</strong> diperoleh hasil seperti pada<br />

Tabel 2.<br />

Hasil analisis diatas menunjukkan a<strong>dan</strong>ya<br />

kontribusi konflik peran yang signifikan terhadap<br />

terjadinya burnout, yaitu sebesar 38,9 %. Konflik<br />

peran yang dialami akan menghambat produktivitas<br />

kerja <strong>dan</strong> kemangkiran kerja.<br />

Square<br />

Std. Error of the<br />

Estimate<br />

1 .624 a .389 .376 7.215<br />

Konflik antar peran sebagai dokter <strong>dan</strong> mahasiswa<br />

magang pada seorang koass cenderung mengarah<br />

pada terjadinya burnout dimana terdapat<br />

ketidakseimbangan antara tuntutan dalam pekerjaan<br />

<strong>dan</strong> keamanan individu untuk mengatasi masalah.<br />

Tekanan sering kali terjadi pada individu saat lebih<br />

banyak waktu yang dihabiskan pada satu peran<br />

saja, se<strong>dan</strong>gkan peran lainnya yang juga memiliki<br />

tuntutan terabaikan (Schaufeli, W, Bakker, 2009).<br />

Berdasarkan hasil penelitian yang telah<br />

dilakukan, faktor yang mempengaruhi burnout<br />

bukan hanya konflik peran saja. Hal ini dibuktikan<br />

dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0.389<br />

berarti konflik peran mempengaruhi terjadinya<br />

burnout mahasiswa koass sebesar 38,9% <strong>dan</strong><br />

sisanya 61,1% dipengahi oleh faktor-faktor lain<br />

antara lain lingkungan kerja yang bersumber dari<br />

beban kerja, ambiguitas peran, dukungan sosial,<br />

<strong>dan</strong> gaya kepemimpinan, <strong>dan</strong> faktor individual<br />

seperti introvert <strong>dan</strong> locus of control eksternal, <strong>dan</strong><br />

hal-hal lain yang tidak diteliti pada penelitian ini.<br />

Hasil penelitian ini juga mengindikasikan<br />

bahwa ketidakmampuan mahasiswa koass<br />

menjalankan dua peran sekaligus yaitu dokter <strong>dan</strong><br />

mahasiswa magang <strong>dan</strong> bagaimana mereka<br />

menjalin hubungan dengan orang lain yang berada


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 5<br />

di lingkungan kerjanya maka hal tersebut dapat<br />

memberikan pengaruh positif pada terjadinya<br />

burnout. Artinya bahwa mahasiswa koass yang<br />

4. Kesimpulan <strong>dan</strong> Saran<br />

Hasil uji korelasional menunjukkan a<strong>dan</strong>ya<br />

hubungan positif yang signifikan antara konflik<br />

peran <strong>dan</strong> terjadinya burnout. Hal ini berarti<br />

semakin tinggi konflik peran yang dialami subjek<br />

maka akan semakin tinggi terjadinya burnout,<br />

demikian juga sebaliknya, semakin rendah<br />

konflikperan yang dialami subjek maka akan<br />

semakin rendah terjadinya burnout.<br />

Hasil uji regresi sederhana menunjukkan<br />

a<strong>dan</strong>ya kontribusi konflik peran secara signifikan<br />

terhadap terjadinya burnout pada subjek, dengan<br />

besar kontribusi 38,9%. Hal ini berarti 38,9%<br />

terjadinya burnout pada subjek dipengaruhi oleh<br />

konflik peran yang dialami subjek, se<strong>dan</strong>gkan<br />

61,1% dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.<br />

Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk<br />

meneliti faktor-faktor yang dapat meneyebabkan<br />

burnout. Selain harus diperhatikan dalam<br />

perencanaan penelitian seperti penambahan<br />

jumlah responden agar hasil penelitian lebih<br />

representatif untuk populasi. Lebih lanjut,<br />

pertimbangan mengenai karakteristik responden,<br />

pengkonstrukan instrument atau alat ukur yang<br />

lebih mapu mewakili konsep variabel penelitian,<br />

serta penggunaan metode pengumpuan data yang<br />

lebih menunjang, juga termasuk beberapa hal<br />

yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut untuk<br />

pelaksanaan penelitian-penelitian selanjutnya.<br />

Daftar Pustaka<br />

Abrori, C. 2007. Perbedaan antara dokter <strong>dan</strong><br />

dokter keluarga. Jakarta: Perhimpunan<br />

Dokter Keluarga Indonesia.<br />

Anastasi, A. & Urbina, S. 2007. Tes <strong>Psikologi</strong>.<br />

Jakarta: PT. Indeks<br />

Armeini R, A. 2010. Analisis Data <strong>Penelitian</strong><br />

Kuantitatif Dengan SPSS. <strong>Psikologi</strong> <strong>UNJ</strong>:<br />

Tidak diterbitkan.<br />

Azwar, S. 2009. Metode <strong>Penelitian</strong> (Cetakan<br />

Kesembilan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />

Baron, R.A & Byrne,D. 1997. Social Psychology<br />

(8 th ed). USA: Allyn and Bacon<br />

mengalami konflik peran berpengaruh terhadap<br />

terjadinya burnout.<br />

Caputo,J.S. 1991. Stress and Burnout In Library<br />

Service. Canada: Oryx Press<br />

Cherniss, Cary . 1980. Staff burnout. Job Stress in<br />

the human service . Beverly Hills Sage<br />

Publications.<br />

Cox, T., Kuk, G., & Leiter, M.P.1993.Burnout,<br />

Health, Work Stress, And Organizational<br />

Healthiness. Dalam W.B. Schaufeli, C.<br />

Maslach, & T. Marek (Eds.), Professional<br />

Burnout: Recent Departement in Theory And<br />

Research (pp.58-66). Washington DC: Taylr<br />

& Francis.<br />

Coyney,J.C., & Lazarus,R.S. 1980. Cognitive<br />

Style, stress, perception, and coping. Dalam<br />

I.L. Kutash & L.B. Schlesinger (Eds),<br />

Handbook of stress and anxiety:Contempory<br />

knowledge, Theory, and treatment. San<br />

Francisco: Jossey-Bass.<br />

Febriana, Anna. 2002. Burnout pada Perempuan<br />

yang Bekerja Sebagai Caregiver (Skripsi).<br />

Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas Indonesia.<br />

Freudenberger, H.J. 1989. Burnout: past, present,<br />

and future concerns. Dalam D.T Wessels, Jr.,<br />

A.H. Kutscher, I.B. Seeland, F. E. Selder,<br />

D.J. Cherico, & E.J. Clark (eds.),<br />

Professional burnout In Medicine and The<br />

Helping Professions (pp.1-10). New<br />

York:The Haworth Press.<br />

Freudenberger, H.J.,& Richelson,G. 1980.<br />

Burnout: The High Cost of Success and How<br />

to Cope with It. London: Arrow Book.<br />

Freudenberger, Herbert J.1974. Staff burnout.<br />

Journal of Social Issues. 30, 150-1665.<br />

Holroyd, K.A., & Lazarus, R.S. 1982. Stress,<br />

Coping, and Somatic Adaption. Dalam L.<br />

Goldberg, & S. Breznitz (Eds.). Handbook of<br />

Stress: Thereotical And Clinical Aspects.<br />

New York: The Free Press.<br />

http://id.wikibooks.org/wiki/Catatan_Dokter_Mu<br />

da<br />

http://id.wikipedia.org/wiki/ Kedokteran


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 6<br />

http://luarnegeri.kompasiana.com/2012/04/30/menjadidokter-di-china-adalah-profesi-yangberbahaya/<br />

posting 30 April 2012 09.43<br />

http://siapjadidokter.wordpress.com/kehidupanmahasiswa-vs-koass/mahasiswa-vs-koas/kata-dokter-yang-udah-praktek/<br />

http://staff.blog.ui.ac.id/nani.cahyani/files/2009/1<br />

2/buku‐pedoman‐praktik‐klinik‐<br />

http://www.dikti.go.id/Archive2007/kepmendikna<br />

s_no_045u2002.<br />

Kerlinger, Fred N. 1995. Asas-asas <strong>Penelitian</strong><br />

Behavioral (Edisi Ketiga). Yogyakarta: Gajah<br />

Mada University Press.<br />

Konsil Kedokteran Indonesia, 2006. Standar<br />

Kompetensi Dokter, Edisi Pertama.<br />

Linzey, G., & Aronson, E. 1968. The hand book<br />

of social psychology, 2 nd ed. Massachussetts:<br />

Addison-Wesley Publishing Company.<br />

Maslach, C. 1993. Burnout: A Multidiensi<br />

Perspective. Dalam W.B. Schaufeli, C.<br />

Maslach,& T. Marek (Eds), Profession<br />

Burnout: Recent development in theory and<br />

research (pp.19-32). Washington DC: Taylor<br />

& Francis.<br />

Maslach,C. 1982. Burnout: The Cost of Caring.<br />

New Jersey: Prentice-Hall, Inc.Ferber, B.A.<br />

1991. Crisis in Education: Stress and Burnout<br />

In America Teacher. San Fransisco: Jossey-<br />

Bass Publisher.<br />

Mereike, Flaviani. 2005. Peranan Gaya<br />

Kepemimpinan Atasan Terhadap Burnout<br />

Pada Perawat Rumah Sakit (Skripsi)<br />

Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas Indonesia.<br />

Murtiasari, Eka. 2006. Anteseden <strong>dan</strong><br />

Konsekuensi Burnout Pada Auditor:<br />

Pengembangan Terhadap Role Stres Model<br />

(Tesis). Program Magister Science Akutansi<br />

Universitas Diponegoro.<br />

Myers,D. 1988. Social Psychology.<br />

Singapore:McGraw – Hill, Inc.<br />

Prameswary, Dyah. 2007. Gambaran Burnout<br />

pada Caregiver Keluarga Pasien Stroke<br />

(Skripsi) Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas<br />

Indonesia.<br />

Robbin, Stephen P. 2003. Organizational<br />

Behavior. New Jersey: Prentice Hall.<br />

Schaufeli, W, Bakker, et al. Workaholism,<br />

burnout and well-being among junior<br />

doctors:The mediating role of role conflict.<br />

Routledge.<br />

Sedarmaryanti. 2007. Manajemen Sumber Daya<br />

Manusia. Bandung: Refika Aditama.<br />

Singer, J.E, & Davidson, L.M. 1986. Specificity<br />

and stress Research. Dalam M.H. Appley &<br />

R.Trumbull (Eds), Dynamics of Stress:<br />

Physiological, Psycholgical, and social<br />

perspectives (pp.47-59). New York: Plenum<br />

Press.<br />

Sugiono, DR. 2009. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Kuantitatif, Kualitatif <strong>dan</strong> R&D. Bandung:<br />

CV. Alfabeta.<br />

Sullivan, I.G.1989. Burnout: A Study of A<br />

Psychiatric Center. Wessels,Jr., A.H.<br />

Kutcher,I.B.Seeland, F.E.Selder,<br />

D.J.Cherico,&E.J.Clark(eds.), Professional<br />

Burnout in Medicine and The Helping<br />

Professions (pp.83-90). New York: The<br />

Haworth Press.<br />

Usman, Husaini. 1995. Pengantar Statistika.<br />

Yogyakarta: Bumi Aksara.<br />

Wexley, Yuki. 2001. Perilaku Organisasi <strong>dan</strong><br />

<strong>Psikologi</strong> Personalia, Jakarta : Rineke Cipta.<br />

Williams, John R, Medical Ethics Manual. 2005.<br />

Pusat Studi Kedokteran Islam Fakultas<br />

Kedokteran: Universitas Muhammadiyah<br />

Yogyakarta via website<br />

http://www.wma.net/en/30publications/30eth<br />

icsmanual/pdf/ethics manual indonesian.pdf<br />

diunduh pada tanggal 1 Maret 2012 13:18.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 7<br />

PENGARUH PERSEPSI GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP<br />

KEPUASAN KERJA PADA KARYAWAN BLITZMEGAPLEX TERAS<br />

KOTA<br />

Astried Fitri Karnita<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jakarta<br />

E-mail: astriedfk@yahoo.com<br />

Abstract<br />

The research was aimed to determine influence of perception of leadership styles toward job satisfaction<br />

among the employee in Blitzmegaplex Teras Kota. Dimensions of leadership styles in this research are<br />

participative, caregiver, authoritarian, bureaucratic, and task-oriented leadership styles. Dimensions of job<br />

satisfaction are hygiene factors and motivators. Methods of data collection in this research used leadership<br />

styles and job satisfaction scales. Sampling technique was purposive sampling to obtained a sample of 30<br />

people. Analysis of the data used is regression analysis. The result of this research explain that there is a<br />

significant influence of perception of leadership styles toward job satisfaction among the employee in<br />

Blitzmegaplex Teras Kota, with a correlation coefficient (rxy) is 0,523 and R Square (R 2 ) is 0,273. The<br />

magnitude show that the variable of job satisfaction accounted for by variable leadership styles as much as<br />

27%. This means that as much as 27% of the leadership style variables influence to job satisfaction, and vice<br />

versa. This can be used as guidelines for companies to improve the style of leadership in order to increase<br />

employee job satisfaction, and maintain company productivity. From this result, it is suggested that other<br />

variables which have not been revealed such as the fulfillment of expectations of salary, interpersonal<br />

relations, work environment and physical condition, can be further studies.<br />

1. Pendahuluan<br />

Setiap manusia yang tumbuh <strong>dan</strong> berkembang<br />

akan mengalami suatu masa untuk berkecimpung di<br />

dalam dunia pekerjaan. Dunia kerja merupakan<br />

sebuah wadah yang menampung sumber daya<br />

manusia yang memiliki kemampuan, dalam hal ini<br />

pendidikan <strong>dan</strong> keterampilan.<br />

Salah satu masalah nasional yang dihadapi oleh<br />

bangsa Indonesia saat ini adalah penanganan<br />

terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia.<br />

Jumlah sumber daya manusia yang besar apabila<br />

digunakan secara efektif <strong>dan</strong> efisien, hal ini akan<br />

bermanfaat untuk menunjang kemajuan<br />

pembangunan nasional yang berkelanjutan.<br />

Melimpahnya sumber daya manusia yang ada saat<br />

ini mengharuskan untuk berpikir bagaimana dapat<br />

memanfaatkannya secara optimal. Agar di dalam<br />

masyarakat memiliki sumber daya manusia yang<br />

handal, maka diperlukan pendidikan yang<br />

berkualitas, penyediaan berbagai fasilitas sosial,<br />

<strong>dan</strong> lapangan pekerjaan yang memadai. Saat ini<br />

kemampuan sumber daya manusia masih rendah<br />

Keywords: Perception of Leadership Style, Job Satisfaction<br />

baik dilihat dari kemampuan intelektualnya maupun<br />

keterampilan teknis yang dimilikinya (Koesmono,<br />

2005).<br />

Ada berbagai tuntutan yang harus dijalani<br />

ketika seseorang memutuskan untuk berkarier di<br />

dunia kerja. Hal ini dikarenakan dalam dunia kerja<br />

menuntut interaksi dengan rekan sekerja <strong>dan</strong> atasan,<br />

mengikuti aturan <strong>dan</strong> kebijakan organisasi,<br />

memenuhi standar kinerja, hidup pada kondisi yang<br />

sering kurang dari ideal, <strong>dan</strong> hal serupa lainnya.<br />

Setiap individu memiliki tantangan untuk mampu<br />

meningkatkan kualitas diri sehingga mampu<br />

bersaing di dalam dunia kerja. Hal ini berkaitan<br />

dengan kemampuan seseorang untuk dapat bertahan<br />

dalam posisinya di tengah persaingan yang ada.<br />

Seseorang yang mampu bertahan dalam posisi<br />

kerja dapat dipengaruhi oleh banyak hal, salah<br />

satunya adalah kepuasan kerja. Kepuasan kerja<br />

merupakan penilaian dari pekerja yaitu seberapa<br />

jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan<br />

kebutuhannya (As’ad, 1987). Wexley <strong>dan</strong> Yukl<br />

mengartikan kepuasan kerja adalah cara karyawan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 8<br />

merasakan dirinya atau pekerjaannya. Dapat<br />

disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan<br />

yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri<br />

karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan<br />

maupun kondisi dirinya. Perasaan yang<br />

berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspekaspek<br />

seperti upaya, kesempatan pengembangan<br />

karier, hubungan dengan karyawan lain,<br />

penempatan kerja, <strong>dan</strong> struktur organisasi.<br />

Sementara itu, perasaan yang berhubungan dengan<br />

dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi<br />

kesehatan, kemampuan, <strong>dan</strong> pendidikan.<br />

Dalam suatu organisasi atau perusahaan,<br />

kepuasan kerja harus mendapat perhatian yang<br />

cukup besar karena dengan a<strong>dan</strong>ya kepuasan kerja,<br />

maka seseorang akan lebih bersemangat dalam<br />

bekerja sehingga dapat menunjang pencapaian<br />

tujuan organisasi atau perusahaan. Kepuasan kerja<br />

berhubungan erat dengan sikap dari karyawan<br />

terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja,<br />

kerjasama antara pemimpin dengan sesama<br />

karyawan. Pada dasarnya kepuasan kerja<br />

merupakan sesuatu yang bersifat individual, artinya<br />

setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang<br />

berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang<br />

berlaku pada dirinya. Hal ini disebabkan karena<br />

a<strong>dan</strong>ya perbedaan pada masing-masing individu.<br />

Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang<br />

sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka<br />

semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan,<br />

<strong>dan</strong> juga sebaliknya. Dalam teori Maslow,<br />

kepuasan kerja menempati peringkat yang tinggi<br />

sebab berkaitan dengan tujuan manusia untuk<br />

merealisasikan <strong>dan</strong> mengaktualisasikan potensi<br />

dirinya dalam pekerjaan.<br />

Setiap organisasi atau perusahaan akan<br />

berupaya <strong>dan</strong> berorientasi pada tujuan jangka<br />

panjang yaitu berkembangnya organisasi atau<br />

perusahaan yang diindikasikan dengan<br />

meningkatnya pendapatan, sejalan pula dengan<br />

meningkatnya kesejahteraan para karyawannya.<br />

Namun dalam prakteknya untuk mencapai tujuan<br />

tersebut organisasi atau perusahaan sering<br />

menghadapi kendala. Salah satu faktornya adalah<br />

ketidakpuasan kerja dari para karyawannya.<br />

Sebagai akibatnya dapat berpengaruh kepada<br />

kinerja karyawan maupun kinerja organisasi atau<br />

perusahaan secara keseluruhan.<br />

Kepuasan kerja merupakan dampak atau hasil<br />

dari keefektifan performance <strong>dan</strong> kesuksesan dalam<br />

bekerja. Kepuasan kerja yang rendah pada<br />

organisasi adalah rangkaian dari menurunnya<br />

pelaksanaan tugas, meningkatnya absensi, <strong>dan</strong><br />

penurunan moral organisasi (Yukl, 1989).<br />

Se<strong>dan</strong>gkan pada tingkat individu, ketidakpuasan<br />

kerja berkaitan dengan keinginan yang besar untuk<br />

keluar dari kerja, meningkatnya stress kerja, <strong>dan</strong><br />

munculnya berbagai masalah psikologis <strong>dan</strong> fisik.<br />

Karyawan <strong>dan</strong> perusahaan merupakan dua hal<br />

yang tidak dapat dipisahkan. Karyawan memegang<br />

peran utama dalam menjalankan roda kehidupan<br />

perusahaan. Biasanya karyawan yang puas dengan<br />

apa yang diperolehnya dari perusahaan akan<br />

memberikan lebih dari apa yang diharapkan <strong>dan</strong><br />

karyawan tersebut akan terus berusaha<br />

memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya karyawan<br />

yang kepuasan kerjanya rendah, cenderung melihat<br />

pekerjaan sebagai hal yang menjemukan <strong>dan</strong><br />

membosankan, sehingga karyawan bekerja dengan<br />

terpaksa <strong>dan</strong> asal-asalan. Oleh karena itu<br />

merupakan keharusan bagi perusahaan untuk<br />

mengenali faktor-faktor apa saja yang membuat<br />

karyawan puas bekerja di perusahaan. Dengan<br />

terciptanya kepuasan kerja karyawan, produktivitas<br />

individu <strong>dan</strong> perusahaan akan meningkat.<br />

Banyak perusahaan berkeyakinan bahwa<br />

pendapatan, gaji, atau salary merupakan faktor<br />

utama yang mempengaruhi kepuasan karyawan.<br />

Sehingga ketika perusahaan mereka sudah<br />

memberikan gaji yang cukup, merasa bahwa<br />

karyawannya sudah puas. Sebenarnya kepuasan<br />

kerja karyawan tidak mutlak dipengaruhi oleh gaji<br />

semata. Banyak faktor yang mempengaruhi<br />

kepuasan kerja karyawan, diantaranya adalah<br />

kesesuaian pekerjaan, kebijakan organisasi<br />

termasuk kesempatan untuk berkembang,<br />

lingkungan kerja <strong>dan</strong> perilaku atasan dalam hal ini<br />

yaitu faktor kepemimpinan memegang peran yang<br />

cukup dominan di dalam meningkatkan kepuasan<br />

kerja dari karyawan.<br />

Keberadaan seorang pemimpin di dalam<br />

organisasi sangat dibutuhkan untuk membawa<br />

organisasi kepada tujuan yang telah ditetapkan.<br />

Pengaruh kepemimpinan terhadap kepuasan kerja<br />

karyawan sangatlah penting karena faktor<br />

kepemimpinan akan mempengaruhi efektivitas dari<br />

karyawan. Kepemimpinan seseorang tentunya akan<br />

diarahkan untuk kepentingan anggota dalam suatu<br />

organisasi. Artinya bahwa kepemimpinan terjadi<br />

pada saat seseorang menggunakan pengaruhnya<br />

kepada orang lain terhadap pencapaian tujuan<br />

dalam organisasi.<br />

Pemimpin yang baik berarti mau menghargai<br />

pekerjaan bawahannya. Aspek atasan (supervision)<br />

atau pemimpin dapat berkaitan dengan gaya<br />

kepemimpinan yang diterapkan atasan tersebut<br />

dalam berinteraksi dengan bawahannya. Gaya<br />

kepemimpinan adalah suatu cara yang digunakan<br />

oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi<br />

perilaku orang lain (bawahan). Gaya kepemimpinan<br />

merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh<br />

seseorang pada saat orang tersebut mencoba<br />

mempengaruhi perilaku orang lain. Masing-masing<br />

gaya kepemimpinan memiliki keunggulan <strong>dan</strong><br />

kelemahan. Seorang pemimpin akan menggunakan<br />

gaya kepemimpinan sesuai kemampuan <strong>dan</strong><br />

kepribadiannya.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 9<br />

Setiap pemimpin dalam memberikan perhatian<br />

untuk membina, menggerakkan <strong>dan</strong> mengarahkan<br />

semua potensi karyawan di lingkungannya<br />

memiliki pola yang berbeda-beda antara satu<br />

dengan yang lainnya. Perbedaan itu disebabkan<br />

oleh gaya kepemimpinan yang berbeda-beda pula<br />

dari setiap pemimpin. Dengan kesesuaian gaya<br />

kepemimpinan yang diterapkan, maka berkaitan<br />

dengan kepuasan kerja karwayan yang akan<br />

dihasilkan. Seseorang yang mampu bertahan akan<br />

merasa survive dalam perkerjaannya sehingga dapat<br />

menguntungkan perusahaan tempat ia bekerja.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan seseorang yang tidak mampu bersaing<br />

maka ia akan keluar dari pekerjaan <strong>dan</strong><br />

mempengaruhi tingkat turnover pada perusahaan<br />

tersebut. Oleh karena itu, untuk tercapainya<br />

kepuasan kerja karyawan, maka suatu perusahaan<br />

atau organisasi dapat memperhatikan gaya<br />

kepemimpinan yang efektif dalam mengelola<br />

sumber daya manusia dalam satu unit kerja. Karena<br />

hal ini akan berpengaruh pada perilaku kerja yang<br />

mengindikasikan dengan peningkatan kepuasan<br />

kerja individu <strong>dan</strong> kerja unit itu sendiri, yang pada<br />

akhirnya akan mempengaruhi kinerja perusahaan<br />

secara keseluruhan.<br />

Blitzmegaplex adalah suatu perusahaan yang<br />

bergerak di bi<strong>dan</strong>g entertainment. Blitzmegaplex<br />

merupakan sebuah tempat bagi para pecinta film<br />

untuk menghabiskan waktunya menyaksikan filmfilm<br />

yang mereka sukai. Image yang dimiliki<br />

Blitzmegaplex adalah suasana tempat menonton<br />

yang menarik karena memiliki design interior yang<br />

berbeda-beda di setiap lokasi yang dimilikinya.<br />

Selain itu, Blitzmegaplex juga memiliki karyawan<br />

yang tergolong muda, yaitu berusia 18 sampai<br />

dengan 23 tahun. Sehingga hal ini membuat daya<br />

tarik tersendiri bagi Blitzmegaplex untuk bisa<br />

menarik customer dari kalangan remaja sampai<br />

dengan orang dewasa yang ingin menonton.<br />

Blitzmegaplex memiliki 7 lokasi yang tersebar di<br />

Jakarta, Tangerang, Bekasi, <strong>dan</strong> Bandung. Dari<br />

ketujuh lokasi tersebut memiliki suasana kerja yang<br />

berbeda-beda, <strong>dan</strong> pemimpin yang berbeda-beda<br />

pula. Pemimpin atau atasan merupakan seseorang<br />

yang sangat berperan dalam terciptanya tujuan<br />

perusahaan <strong>dan</strong> kelancaran operasional di semua<br />

institusi/ perusahaan termasuk Blitzmegaplex,<br />

karena pemimpinlah yang memiliki pengaruh<br />

kepada setiap karyawannya. Atasan di<br />

Blitzmegaplex terdiri dari beberapa orang, sehingga<br />

akan tercipta berbagai tipe gaya kepemimpinan.<br />

Menurut Spector (1997), kepemimpinan merupakan<br />

salah satu aspek yang mempengaruhi kepuasan<br />

kerja karyawan, <strong>dan</strong> tercapainya kepuasan kerja<br />

dapat dilihat dari tingkat turnover pada perusahaan<br />

tersebut. Setiap lokasi Blitzmegaplex memiliki<br />

tingkat turnover karyawan yang berbeda-beda.<br />

Berdasarkan data yang didapatkan mengenai<br />

turnover karyawan Blitzmegaplex Teras Kota per<br />

Januari 2012 sampai dengan Mei 2012, dapat<br />

dilihat bahwa dengan jumlah karyawan 42 orang,<br />

turnover yang ada adalah sebanyak 10 orang. Hal<br />

ini menunjukkan bahwa selama periode Januari<br />

2012 sampai dengan Mei 2012 tingkat turnover<br />

Blitzmegaplex Teras Kota adalah sebesar 23,8%.<br />

Berdasarkan data yang didapatkan,<br />

Blitzmegaplex Teras Kota merupakan lokasi<br />

dengan tingkat turnover <strong>dan</strong> absensi karyawan yang<br />

tinggi. Melihat fenomena tingginya tingkat<br />

turnover <strong>dan</strong> menghubungakannya dengan gaya<br />

kepemimpinan para atasan di Blitzmegaplex Teras<br />

Kota, hal ini memiliki daya tarik tersendiri bagi<br />

peneliti untuk mengkaji <strong>dan</strong> melakukan penelitian<br />

untuk memperoleh data-data yang lebih akurat.<br />

Berdasarkan uraian sebelumnya, peneliti<br />

merumuskan permasalahan penelitian sebagai<br />

berikut: “Apakah ada pengaruh persepsi gaya<br />

kepemimpinan terhadap kepuasan kerja pada<br />

karyawan Blitzmegaplex Teras Kota ?”<br />

Hipotesis yang diajukan yaitu Ha: Ada<br />

pengaruh persepsi gaya kepemimpinan terhadap<br />

kepuasan kerja pada karyawan Blitzmegaplex Teras<br />

Kota. Se<strong>dan</strong>gkan hipotesis Nullnya yaitu H0: Tidak<br />

ada pengaruh persepsi gaya kepemimpinan<br />

terhadap kepuasan kerja pada karyawan<br />

Blitzmegaplex Teras Kota.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Variabel penelitian. Variabel penelitian<br />

adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,<br />

obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi<br />

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk<br />

dipelajari <strong>dan</strong> kemudian ditarik kesimpulannya<br />

(Sugiyono, 2009). Dalam penelitian ini terdapat dua<br />

jenis variabel, yaitu variabel independen (bebas)<br />

<strong>dan</strong> variabel dependen (terikat). Variabel<br />

independen (variabel X) merupakan variabel yang<br />

mempengaruhi atau yang menjadi sebab<br />

perubahannya atau timbulnya variabel dependen<br />

(terikat). Dalam penelitian ini, yang menjadi<br />

variabel independen adalah persepsi gaya<br />

kepemimpinan. Variabel dependen (variabel Y)<br />

merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang<br />

menjadi akibat, karena a<strong>dan</strong>ya variabel independen<br />

(bebas). Dalam penelitian ini, yang menjadi<br />

variabel dependen adalah kepuasan kerja karyawan.<br />

Subjek <strong>Penelitian</strong>. Karakteristik subjek dalam<br />

penelitian ini adalah:<br />

1. Karyawan (crew) Blitzmegaplex Teras Kota<br />

yang sudah bekerja minimal selama 6 bulan.<br />

Hal ini agar subjek dapat memahami situasi<br />

gaya kepemimpinan yang ada di Blitzmegaplex<br />

Teras Kota.<br />

2. Usia 18 – 23 tahun. Hal ini dimaksudkan<br />

karena pada umur tersebut adalah syarat<br />

sebagai crew di Blitzmegaplex.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 10<br />

3. Tidak mendapatkan Surat Peringatan dalam 3<br />

bulan terakhir. Surat Peringatan merupakan<br />

surat yang diberikan kepada karyawan ketika<br />

karyawan tersebut melakukan pelanggaran<br />

terhadap peraturan yang ada di perusahaan. Hal<br />

ini dijadikan kriteria agar tidak terdapat emosi<br />

negatif ketika menilai gaya kepemimpinan<br />

yang ada.<br />

Berdasarkan kriteria subjek penelitian di atas,<br />

maka diperoleh 30 orang crew yang menjadi<br />

sampel penelitian. Subjek diperoleh dengan<br />

bantuan informasi dari perusahaan <strong>dan</strong> diambil dari<br />

lokasi Blitzmegaplex Teras Kota.<br />

Teknik Pengumpulan Data. Dalam penelitian<br />

ini, teknik pengumpulan data yang digunakan<br />

adalah dengan teknik skala. Skala pada penelitian<br />

ini disusun berdasarkan model Likert. Skala Likert<br />

digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, <strong>dan</strong><br />

persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang<br />

fenomena sosial. Dengan skala Likert, maka<br />

variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi<br />

indikator variabel. Kemudian indikator tersebut<br />

dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun itemitem<br />

instrumen yang dapat berupa pernyataan atau<br />

pertanyaan. Jawaban setiap item instrumen yang<br />

menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari<br />

sangat positif sampai sangat negatif (Sugiyono,<br />

2009). Skala Likert dalam penelitian ini terdiri atas<br />

lima kategori jawaban pernyataan sikap, yaitu :<br />

Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak Sesuai (TS),<br />

Netral (N), Sesuai (S), Sangat Sesuai (SS).<br />

Skala yang disusun dalam penelitian ini terdiri<br />

dari skala kepuasan kerja <strong>dan</strong> skala gaya<br />

kepemimpinan. Skala kepuasan kerja disusun<br />

berdasarkan teori dua faktor kepuasan kerja<br />

menurut Herzberg (Munandar, 2001), yang meliputi<br />

hygiene factors <strong>dan</strong> motivators. Se<strong>dan</strong>gkan skala<br />

gaya kepemimpinan disusun berdasarkan sumber<br />

dari Sunita Singh-Sengupa (Fuad Mas’ud, 2004),<br />

yang meliputi lima dimensi gaya kepemimpinan,<br />

yaitu (1) gaya partisipatif, (2) gaya pengasuh, (3)<br />

gaya otoriter, (4) gaya birokratis, <strong>dan</strong> (5) gaya<br />

berorientasi pada tugas.<br />

Teknik Analisis Data. Teknik analisis data<br />

yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis<br />

regresi. Teknik analisis regresi adalah suatu teknik<br />

statistik parametrik yang dapat digunakan untuk<br />

mengadakan prediksi besarnya variasi yang terjadi<br />

pada variabel Y berdasarkan variabel X,<br />

menentukan bentuk hubungan antara variabel X<br />

dengan variabel Y, serta menentukan arah <strong>dan</strong><br />

besarnya koefisien korelasi antara variabel X<br />

dengan variabel Y. Analisis regresi sangat erat<br />

kaitannya dengan analisis korelasi. Hal ini dapat<br />

dipahami dari lambang r yang dipakai untuk<br />

menyatakan koefisien korelasi itu sebenarnya<br />

merupakan kependekan dari kata regresi.<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

Hasil analisis data dilakukan untuk menguji H0<br />

yang mengatakan tidak ada pengaruh persepsi gaya<br />

kepemimpinan terhadap kepuasan kerja pada<br />

karyawan. Hasil analisis regresi dapat dilihat pada<br />

tabel berikut ini:<br />

Tabel 1. Hasil Perhitungan Analisis Regresi<br />

Variabel<br />

Persepsi<br />

Gaya<br />

Kepemim<br />

Konstanta Koefisien<br />

regresi<br />

Signifikansi<br />

-pinan<br />

terhadap<br />

Kepuasan<br />

kerja<br />

13,443 0,998 0,003<br />

Berdasarkan data pada tabel, dapat dilihat<br />

bahwa besarnya signifikansi adalah 0,003. Hal ini<br />

menunjukkan bahwa nilai tersebut lebih kecil dari<br />

0,05 (p=0,003 < 0,05). Sehingga H0 yang<br />

menyatakan tidak ada pengaruh persepsi gaya<br />

kepemimpinan terhadap kepuasan kerja pada<br />

karyawan, ditolak. Se<strong>dan</strong>gkan Ha yang mengatakan<br />

ada pengaruh persepsi gaya kepemimpinan dengan<br />

kepuasan kerja pada karyawan, diterima. Untuk<br />

persamaan regresi dapat disusun sebagai berikut:<br />

Y = 13,443 + 0.998X<br />

Kepuasan Kerja = 13,443 + 0,998 Persepsi Gaya<br />

Kepemimpinan<br />

Interpretasi persamaan tersebut adalah jika<br />

persepsi gaya kepemimpinan (X) mengalami<br />

kenaikan satuan, maka kepuasan kerja (Y)<br />

mengalami peningkatan sebesar 0,998.<br />

Berdasarkan persamaan regresi di atas, maka<br />

dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh antara<br />

persepsi gaya kepemimpinan terhadap kepuasan<br />

kerja yang bersifat positif. Hal ini berarti semakin<br />

baik gaya kepemimpinan akan diiringi dengan<br />

tingginya kepuasan kerja. Begitu pula sebaliknya,<br />

buruknya gaya kepemimpinan akan diiringi dengan<br />

rendahnya kepuasan kerja pada karyawan.<br />

Analisis regresi menghasilkan R Square (R 2 )<br />

sebesar 0,273. Artinya adalah variabel gaya<br />

kepemimpinan mempengaruhi kepuasan kerja<br />

sebesar 27% <strong>dan</strong> sisanya 73% dipengaruhi oleh<br />

faktor lain.<br />

Berdasarkan hasil analisis statistik, dihasilkan<br />

R Square (R 2 ) sebesar 27%. Hal tersebut dapat<br />

dijadikan implikasi dari penelitian ini dalam dunia<br />

kerja, yaitu apabila gaya kepemimpinan diperbaiki<br />

dalam suatu perusahaan/ organisasi, maka kepuasan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 11<br />

kerja karyawan akan meningkat sebesar 27%, <strong>dan</strong><br />

hal ini juga akan meningkatkan produktivitas<br />

perusahaan.<br />

A<strong>dan</strong>ya pengaruh yang positif antara gaya<br />

kepemimpinan dengan kepuasan kerja dapat terjadi<br />

mengingat gaya kepemimpinan memegang peranan<br />

penting terhadap kepuasan kerja. Pemimpin yang<br />

diharapkan mampu memberikan cara-cara<br />

memimpin dengan tepat sesuai dengan situasi <strong>dan</strong><br />

kondisi yang terjadi tanpa melupakan fokus<br />

terhadap tujuan yang hendak dicapai organisasi.<br />

Menurut Robbins (2001) perilaku atasan<br />

merupakan determinan utama dari kepuasan kerja<br />

karyawan meningkat bila penyelia langsung bersifat<br />

ramah <strong>dan</strong> dapat memahami, memberikan pujian<br />

untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat<br />

karyawan <strong>dan</strong> menunjukkan suatu minat kepada<br />

karyawan.<br />

Kategorisasi Skor. Kategorisasi skor<br />

bertujuan untuk mengelompokkan skor ke dalam<br />

kategori tinggi, se<strong>dan</strong>g, <strong>dan</strong> rendah. Dalam<br />

penelitian ini, variabel kepuasan kerja dapat<br />

diketegorisasikan untuk mengetahui posisi skor<br />

tersebut di dalam kelompok responden yang diteliti.<br />

Sehingga dapat diketahui arti skor tersebut jika<br />

dibandingkan dengan skor-skor kepuasan kerja<br />

yang diperoleh oleh responden lainnya.<br />

Berdasarkan perhitungan, maka diperoleh hasil<br />

sebagai berikut:<br />

Tabel 2. Kategorisasi Skor Kepuasan Kerja<br />

Kategori Frekuensi Persentase (%)<br />

Tinggi 30 100%<br />

Se<strong>dan</strong>g 0 0%<br />

Rendah 0 0%<br />

Jumlah 30 100%<br />

Berdasarkan tabel di atas, kategori tinggi<br />

dihasilkan ketika skor total kepuasan kerja lebih<br />

besar dari 113,67 ( X > 113,67), kategori se<strong>dan</strong>g<br />

ketika skor total berada diantara 72,33 sampai<br />

dengan 113,67 ( 72,33 < X < 113,67), <strong>dan</strong> kategori<br />

rendah ketika skor total lebih kecil dari 72,33 ( X <<br />

72,33 ). Dari pengkategorisasian tersebut, maka<br />

diperoleh 30 responden berada pada kategori tinggi.<br />

Hal ini berarti bahwa kepuasan kerja pada<br />

karyawan Blitzmegaplex Teras Kota tergolong<br />

tinggi 100%.<br />

4. Kesimpulan<br />

Didasari hasil analisis data yang telah<br />

diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa ada<br />

hubungan yang signifikan dengan arah positif<br />

antara gaya kepemimpinan dengan kepuasan kerja<br />

pada karyawan Blitzmegaplex Teras Kota. Analisis<br />

regresi menghasilkan R Square (R 2 ) sebesar 0,273.<br />

Artinya adalah variabel gaya kepemimpinan<br />

mempengaruhi kepuasan kerja sebesar 27%. Hasil<br />

koefisien korelasi dengan arah positif menunjukkan<br />

bahwa tingginya gaya kepemimpinan akan diiringi<br />

dengan tingginya kepuasan kerja, begitu pula<br />

sebaliknya, rendahnya gaya kepemimpinan maka<br />

akan diiringi rendahnya kepuasan kerja.<br />

5. Daftar pustaka<br />

Aamodt, Michael G. (1999). Applied Industrial/<br />

Organizational Psychology (3 rd Edition). USA:<br />

Wadsworth Publishing Company.<br />

As’ad, M. (1987). Seri Ilmu Sumber Daya<br />

Manusia: <strong>Psikologi</strong> Industri (Edisi Ketiga).<br />

Yogyakarta: Liberty Yogyakarta<br />

Azwar, Saifudin. (2010). Penyusunan Skala<br />

<strong>Psikologi</strong>. Yogyakarta: Pustaka Belajar.<br />

Azwar, Saifudin. (2009). Dasar-dasar Psikometri.<br />

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />

Baron, Robert A, & Byrne. (2005). <strong>Psikologi</strong> Sosial<br />

Jilid 2 (Edisi Kesepuluh). Jakarta: Erlangga.<br />

Bass, B.M. (1981). Stodgill’s Handbook of<br />

Leadership: A Survey of Theory and Reseacrh.<br />

New York: The Free Press.<br />

Gerungan, W.A. (1996). <strong>Psikologi</strong> Sosial (Edisi<br />

Kedua). Bandung: PT Refika Aditama.<br />

Hadi, Sutrisno. (2004). Metodologi Reseacrh Jilid<br />

1. Yogyakarta: Andi.<br />

Hughes, Richard L., Ginnett & Curphy. (2006).<br />

Leadership: Enhancing the Lessons of Experience<br />

(5 th Edition). Singapore: McGraw-Hill.<br />

Ivancevich, John M., Konopaske, & Matteson.<br />

(2005). Perilaku <strong>dan</strong> Manajemen Organisasi jilid 2<br />

(Edisi Ketujuh). Jakarta: Erlangga.<br />

Kerlinger, Fred N. (1995). Asas-asas <strong>Penelitian</strong><br />

Behavioral (Edisi Ketiga). Yogyakarta: Gajah<br />

Mada University Press.<br />

Kotler, Philip. (2000). Marketing Manajemen:<br />

Analysis, Planning, Implementation, and Control<br />

(9 th Edition). New Jersey: Prentice Hall<br />

International, Int.<br />

Mangkunegara, A.A.A. (2009). Manajemen Sumber<br />

Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja<br />

Rosdakarya.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 12<br />

Manning, George, & Kent Curtis. (2003). The Art<br />

of Leadership. New York: McGraw-Hill<br />

Companies, Inc.<br />

Mar’at. (1991). Sikap Manusia, Perubahan, Serta<br />

<strong>Pengukuran</strong>nya. Jakarta: Ghalia Indonesia.<br />

Miner, John B. (1992). Industrial-Organizational<br />

Psychology. New York: McGraw-Hill Inc.<br />

Munandar, Ashar S. (2001). <strong>Psikologi</strong> Indistri <strong>dan</strong><br />

Organisasi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.<br />

Robbins, Stephen P. (1994). Teori Organisasi:<br />

Struktur, Desain, <strong>dan</strong> Aplikasi. Jakarta: Arcan<br />

Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku Organisasi.<br />

Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia<br />

Sahlan, Asnawi. (1999). Semangat Kerja <strong>dan</strong> Gaya<br />

Kepemimpinan.<br />

.<br />

Spector, Paul E. (1997). Job Satisfaction:<br />

Application, Assessment, Cause, and<br />

Consequences. London: Sage Publication Ltd.<br />

Spector, Paul E. (2008). Industrial and<br />

Organizational Psychology (5 th Edition). New<br />

York: John Wiley & Sons Inc.<br />

Sudijono, Anas. (1987). Pengantar Statistik<br />

Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.<br />

Sugiyono. (2009). Metode <strong>Penelitian</strong> Kuantitatif,<br />

Kualitatif, <strong>dan</strong> R&D. Bandung: Alfabeta.<br />

Walgito, Bimo. (2003). Pengantar <strong>Psikologi</strong><br />

Umum. Yogyakarta: Andi Offset.<br />

Wexley, Kenneth N, & Yukl. (2003). Perilaku<br />

Organisasi <strong>dan</strong> <strong>Psikologi</strong> Personalia. Jakarta :<br />

Rineka Cipta.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 13<br />

DINAMIKA PSIKOLOGIS PELAKU SELF-INJURY<br />

(STUDI KASUS PADA WANITA DEWASA AWAL)<br />

Ria Kurniawaty<br />

<strong>Psikologi</strong>. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Jakarta<br />

Jl. Rawamangun Muka, Jakarta Timur<br />

Email : kurniawaty.inhere@gmail.com<br />

ABSTRACT<br />

This study aimed to gain insight about the dynamics of self-Injury actors. The approach used in this<br />

research is a qualitative approach with case study method. Subjects in this study is that two actors Injury<br />

non suicidal self-injury self-moderate. Data collection techniques used were observation and interviews.<br />

Data analysis using qualitative data analysis techniques and examination techniques data using<br />

triangulation. Triangulation is used in this study is the triangulation of methods and sources. This study<br />

shows that the psychological dynamics of self-Injury actors in subject 1 came from the family, parenting<br />

adopted in the family persuasive. The role of each member of the family is not running as it should.<br />

Circumstances are not good parents is what makes the subject to self-injury. Lack of attention and<br />

affection from parents makes the subject perform actions that are not controlled by it as self-injury.<br />

Subject 2 showed that the role of the family is quite influential for him. Parenting is applied by the<br />

subject's father was so protective that makes the subject very often want to feel free. This event makes the<br />

subject feel guilty and depressed. Taste is exactly what makes the subject matter that is not doing well<br />

coping with self-injury.<br />

1. Pendahuluan<br />

Wanita adalah sosok tangguh <strong>dan</strong> juga<br />

sering dikatakan lemah dibandingkan pria. Wanita<br />

di balik sosok lembutnya menyimpan banyak<br />

pesona yang luar biasa dalam dirinya namun, karena<br />

sifat wanita yang lembut <strong>dan</strong> dikatakan lemah inilah<br />

Keywords: Self-Injury, Psychological Dynamics.<br />

yang sering membuat wanita direndahkan <strong>dan</strong><br />

dilecehkan secara psikis oleh orang-orang<br />

disekitarnya. Sehingga banyak dari para wanita<br />

khususnya mempunyai masalah psikis yang cukup<br />

berat, seperti stress terhadap keluarga maupun stress


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 14<br />

terhadap masalah-masalah di lingkungan sekitarnya.<br />

Hal ini sering sekali membuat wanita memendam<br />

masalahnya <strong>dan</strong> meluapkan masalahnya dengan cara<br />

yang tidak baik. Cara-cara inilah yang terka<strong>dan</strong>g<br />

membuat khawatir dirinya <strong>dan</strong> lingkungan<br />

sekitarnya.<br />

Hubungan seorang anak dengan<br />

keluarganya merupakan bentuk sosialisasi pertama<br />

anak tersebut, karena lingkungan awal terbatas pada<br />

rumah, maka hubungan antar keluarga mempunyai<br />

peran yang penting dalam menentukan sikap <strong>dan</strong><br />

perilaku seorang anak itu kelak <strong>dan</strong> hubungannya<br />

dengan orang lain. Meskipun pola ini akan berubah<br />

dengan semakin besarnya anak tersebut <strong>dan</strong> luasnya<br />

hubungan lingkungan yang akan dijalaninya, tetapi<br />

pola inti cenderung dimulai dari keluarga <strong>dan</strong> ini<br />

bersifat tetap. Inilah mengapa hubungan keluarga<br />

merupakan unsur yang sangat penting bagi<br />

perkembangan seseorang baik secara fisik maupun<br />

emosional (Hurlock, 1980).<br />

Perkembangan emosional pada masa<br />

kanak-kanak sampai remaja sangatlah penting<br />

perannya bagi perjalanan emosinya. Bahaya awal<br />

emosional seorang anak adalah dominasi emosi<br />

yang kurang baik, terutama amarah. Seorang anak<br />

yang mengalami emosi negatif yang terlalu banyak<br />

<strong>dan</strong> hanya sedikit mengalami emosi-emosi yang<br />

menyenangkan maka hal ini akan mengganggu<br />

pan<strong>dan</strong>gan hidup <strong>dan</strong> mendorong perkembangan<br />

watak yang tidak baik. Perkembangan emosional<br />

dapat di dukung dari interaksi sosialnya.<br />

Lebih lanjut menurut Hurlock (1980) masa<br />

remaja adalah masa perubahan dari masa anak-anak<br />

menuju masa dewasa <strong>dan</strong> masa dewasa adalah<br />

puncak kematangan seseorang dalam hidupnya.<br />

Dalam menjalani masa transisi ini pasti akan ada<br />

konflik yang terjadi, konflik internal (konflik dalam<br />

dirinya) maupun konflik eksternal (konflik yang<br />

berasal dari luar). Konflik internal misalnya<br />

perasaan malu, perasaan yang mendalam atau putus<br />

asa. Se<strong>dan</strong>gkan konflik eksternal misalnya<br />

pertengkaran hebat dengan orang yang dicintai,<br />

tidak diterima di lingkungan sosialnya, atau bahkan<br />

mendapatkan perlakuan yang tidak baik dar temantemannya.<br />

Konflik-konflik ini menyebabkan<br />

seseorang menjadi tertekan secara emosional<br />

menimbulkan perasaan yang tidak nyaman pada<br />

dirinya (Walsh, 2006).<br />

Usia-usia remaja <strong>dan</strong> dewasa awal<br />

seorang akan menemukan banyak konflik yang<br />

terjadi kepa<strong>dan</strong>ya. Cara penyelesaian konflik atau<br />

coping yang ia lakukan merupakan salah satu<br />

gambaran dari bentuk penerapan atau cara yang<br />

biasa ia lakukan sedari masa kecilnya. Ada<br />

mekanisme coping yang dilakukan dengan baik<br />

<strong>dan</strong> ada mekanisme coping yang dilakukan<br />

dengan baik dari seorang individu itu sendiri.<br />

Mekanisme coping yang baik di lakukan dengan<br />

cara-cara yang positif misalnya menyelesaikan<br />

masalah dengan baik kepada individu yang<br />

bersangkutan, mengolah perasaannya sehingga<br />

terbentuk regulasi emosi yang baik <strong>dan</strong> mengarah.<br />

Sehingga dapat membantu individu itu untuk<br />

dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik<br />

namun, lain halnya bagi seseorang yang tidak<br />

dapat melakukan penyelesaian masalahnya<br />

dengan baik. Banyak hal yang dilakukannya<br />

menjadi tidak baik bagi dirinya maupun bagi<br />

orang-orang yang berada di luar lingkungannya.<br />

Mereka yang seperti itu cenderung melakukan<br />

aksi penyelesaian masalahnya seperti dengan<br />

memendam rasa emosinya, <strong>dan</strong> tidak<br />

menyalurkannya. Hal ini juga terpengaruh dari<br />

pembentukan pribadi seseorang <strong>dan</strong> pola dari<br />

lingkungannya, (Hurlock, 1980).<br />

Tidak semua orang dapat mengolah<br />

perasaan ini. Perasaan distress yang ditimbulkan<br />

akibat tekanan yang dialami dari dalam <strong>dan</strong> luar<br />

dirinya. Selain itu masalah ini bisa juga<br />

disebabkan oleh daya tahan terhadap distresnya<br />

yang rendah <strong>dan</strong> tidak terkontrol. Ada sebagian<br />

orang yang melampiaskan distresnya dengan cara<br />

yang negatif <strong>dan</strong> berdampak buruk bagi dirinya<br />

<strong>dan</strong> lingkungan disekitarnya. Seperti misalnya<br />

menyakiti dirinya sendiri dengan cakaran-cakaran<br />

yang dibuat sendiri, melukai tubuhnya secara<br />

sengaja sehingga mengkhawatirkan banyak<br />

orang-orang di sekitarnya. Perilaku menyakiti<br />

atau melukai dirinya sendiri di sebut sebagai<br />

perilaku Self-Injury.<br />

Self-Injury (Klonsky & Jenifer, 2007)<br />

adalah prilaku dimana seseorang sengaja melukai<br />

tubuhnya sendiri bukan bertujuan untuk bunuh<br />

diri melainkan hanya untuk melampiaskan emosiemosi<br />

yang menyakitkan. Banyak yang<br />

melakukannya karena mekanisme ini bekerja <strong>dan</strong><br />

bahkan dapat menyebabkan kecanduan, self-<br />

Injury hanya menyebabkan pembebasan yang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 15<br />

bersifat sementara <strong>dan</strong> tidak mengatasi akar<br />

permasalahan sehingga seseorang yang pernah<br />

melakukannya akan memiliki kecenderungan<br />

untuk mengulanginya dengan peningkatan<br />

frekuensi.<br />

Pelaku menyakiti diri mereka sendiri<br />

(self-injury) dalam upaya mengurangi masalah<br />

emosionalnya karena bagi para pelaku lebih baik<br />

sakit fisik dari pada sakit psikis atau sakit secara<br />

emosionalnya. Pelaku self-Injury melakukan<br />

tindakan menyakiti diri sendiri secara sengaja<br />

karena maksud untuk mengurangi ketegangan<br />

<strong>dan</strong> merasa lebih tenang yang ia rasakan dari<br />

perasaan yang tidak nyaman yang diperoleh dari<br />

rasa penolakan yang ia rasakan. Perasaan tenang<br />

tersebut hanya bersifat sementara karena pada<br />

dasarnya tindakan ini tidak menyelesaikan<br />

permasalahan yang sebenarnya terjadi pada<br />

dirinya (Hit & Cha, 2006). Self-Injury merupakan<br />

mekanisme coping yang digunakan seseorang<br />

secara individu untuk mengatasi rasa sakitnya<br />

secara emosional atau menghilangkan rasa<br />

kekosongan secara kronis dalam diri dengan<br />

memberikan sensasi pada diri sendiri, self-Injury<br />

sendiri merupakan mekanisme coping yang tidak<br />

baik namun banyak orang yang melakukan karena<br />

memang mekanisme tersebut menjadi cara yang<br />

efektif bekerja <strong>dan</strong> bahkan bisa menyebabkan<br />

kecanduan (Alderman, 1997).<br />

Beberapa orang mungkin pergi ketempat<br />

beladiri atau atau tempat hiburan untuk<br />

berolahraga atau untuk melampiaskan kemarahan<br />

mereka. Beberapa orang mungkin melakukan<br />

jogging, berenang atau yoga, untuk alasan<br />

kesehatan <strong>dan</strong> juga untuk mendapatkan sensasi<br />

kebahagiaan secara fisik atau emosional. Hal itu<br />

semua tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh<br />

para pelaku self-Injury karena mereka mengalami<br />

hambatan baik secara psikis maupun fisik dalam<br />

mengungkapkan kemarahan mereka; Fieldman<br />

(2000); dalam Mounty, (2005) berpendapat<br />

bahwa. kemungkinan perilaku self-Injury yang<br />

tinggi adalah pada korban kekerasan, <strong>dan</strong> individu<br />

anti sosial, dalam sebuat situasi dimana mereka<br />

mengalami hambatan baik secara fisik maupun<br />

psikis <strong>dan</strong> mengungkapkan kemarahan mereka.<br />

Hambatan yang terjadi adalah rasa rendah diri <strong>dan</strong><br />

2. Metode<br />

Pelaku self-injury bersifat subjek dimana<br />

alasan dari pelaku berbeda-beda, alasan terjadinya<br />

self-injury juga secara subjektif. Oleh karena itu<br />

penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.<br />

Menurut Poerwandari (2005) pendekatan kualitatif<br />

menarik diri dari lingkungannya karena merasa<br />

malu <strong>dan</strong> merasa tidak di terima di<br />

lingkungannya.<br />

Banyak orang yang mengira bahwa self-<br />

Injury dilakukan untuk mencari perhatian namun,<br />

dalam kenyataannya banyak pelaku yang<br />

menyadari keberadaan luka pada tubuh mereka<br />

<strong>dan</strong> berusaha menyembunyikannya dengan<br />

memakai baju lengan panjang. Jika orang lain<br />

menanyakan bagaimana mereka memperoleh luka<br />

tersebut, mereka akan menjawab dengan cara lain<br />

misalnya jatuh atau mengalami kecelakaan. Self-<br />

Injury dipercaya untuk meregulasi emosi dengan<br />

merasakan rasa sakit. Lebih mudah untuk<br />

menghadapi rasa sakit fisik daripada rasa sakit<br />

emosional. Untuk beberapa orang, cara satusatunya<br />

untuk melepaskan tekanan adalah dengan<br />

self-Injury. Prilaku ini cenderung muncul setelah<br />

mengalami pengalaman yang menyedihkan <strong>dan</strong><br />

muncul saat seseorang tidak mengetahui cara<br />

untuk mengekspresikan perasaan dengan cara<br />

yang lebih sehat. Mereka berpikir jika mereka<br />

merasakan rasa sakit secara eksternal dimana<br />

lukanya terlihat maka mungkin akan ada<br />

kemungkinan untuk sembuh. Mereka juga<br />

percaya bahwa luka akan membuktikan bahwa<br />

rasa sakit emosional mereka nyata.<br />

Sebagian besar pelaku self-injury<br />

mengatakan bahwa self-injury terjadi begitu saja,<br />

namun hal tersebut juga dapat berkembang<br />

melakui proses observasi dengan memperhatiakan<br />

<strong>dan</strong> mencontoh apa yang dilakukan oleh orang<br />

lain. Mereka yang terlibat dalam self-injury<br />

memiliki alasan yang kompleks <strong>dan</strong> ka<strong>dan</strong>gkala<br />

sulit dimengerti sebagian orang, sehingga orang<br />

yang melakukan self-injury terlihat seperti orang<br />

yang aneh atau orang gila karena melukai dirinya<br />

secara sadar (Mounty, 2005). Meskipun tidak<br />

seluruhnya, kebanyakan pelaku self-injury<br />

mengalami penyiksaan di masa lalunya, baik<br />

secara fisik, emosional, maupun seksual, sehingga<br />

pada umumnya kurang mampu mengendalikan<br />

emosinya <strong>dan</strong> cenderung menghadapi banyak<br />

masalah di kemudian hari (Conterio, dalam<br />

Mounty, 2005). Menurut Walsh (1998), para<br />

pelaku cenderung melakukan self-injury adalah<br />

untuk meringankan emosi terlalu banyak<br />

sesuai digunakan untuk memahami manusia dalam<br />

segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif,<br />

serta hal-hal yang membutuhkan pemahaman yang<br />

mendalam.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 16<br />

Metode penelitian kualitatif yang<br />

digunakan dalam penelitian ini<br />

menggunakan penelitian studi kasus.<br />

<strong>Penelitian</strong> studi kasus bertujuan untuk<br />

mempertahankan keutuhan (wholesness) dari<br />

objek penelitian, dalam arti objek dipelajari<br />

sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi.<br />

<strong>Penelitian</strong> ini memilih dua subjek<br />

penelitian <strong>dan</strong> dua orang significant person<br />

yakni salah satu anggota keluarga <strong>dan</strong> teman<br />

dekat subjek. <strong>Penelitian</strong> ini menggunakan<br />

pengambilan sample kasus tipikal yaitu<br />

kasus yang dipilih adalah yang mewakili<br />

kelompok dari fenomena yang diteliti.<br />

Sumber data pada penelitian ini<br />

yaitu pelaku self-injury nonsuicidal. Data<br />

yang digunakan dari penelitian ini yaitu<br />

berupa catatan wawancara, <strong>dan</strong> observasi.<br />

Observasi dalam penelitian ini<br />

berguna untuk membantu peneliti dalam<br />

melihat reaksi <strong>dan</strong> observasi merupakan<br />

metode pengumpulan data yang essensial<br />

dalam penelitian, kegiatan memperhatikan<br />

secara akurat, dengan mencatat fenomena<br />

yang muncul <strong>dan</strong> mempertimbangkan<br />

hubungan dengan subjek penelitian<br />

(Purwandari, 2005). Obeservasi yang<br />

digunakan dalam penelitian ini adalah<br />

nonpartisipatif <strong>dan</strong> di tuliskan secara naratif,<br />

yaitu observer tidak ikuut melakukan apa<br />

yang dilakukan oleh subjek penelitian.<br />

3. Hasil <strong>dan</strong> Diskusi<br />

Mounty (2005) mengatakan bahwa<br />

pola asuh orang tua berperan penting bagi<br />

awal mula terjadinya pembentukan perilaku<br />

self-injury, karena ketahanan seorang anak<br />

didasarkan dari penerapan dia dengan situasi<br />

di dalam keluarganya. Dalam penelitian ini<br />

subjek (AL), tidak mendapatkan perhatian<br />

<strong>dan</strong> bimbingan dari orang tuanya sejak kecil.<br />

Sedari kecil subjek teloah di bebaskan oleh<br />

kedua orang tua subjek. peran orang tua<br />

dalam keluarga subjek tidaklah berjalan<br />

normal. Subjek (LT) sedari kecil<br />

Bentuk wawancara yang digunakan<br />

dalam penelitian ini adalah Wawancara<br />

dengan pedoman umum, dalam proses ini<br />

peneliti dilengkapi pedoman wawancara<br />

yang sangat umum, yang mencatumkan isuisu<br />

yang harus diliput tanpa menentukan<br />

urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa<br />

berbentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman ini<br />

digunakan untuk mengingatkan peneliti<br />

mengenai aspek-aspek yang harus di bahas,<br />

sekaligus menjadi daftar pengecek<br />

(checklist) apakah aspek-aspek tersebut<br />

relevan tersebut akan dijabarkan atau<br />

ditanyakan. Wawancara adalah percakapan<br />

<strong>dan</strong> tanya jawab yang diarahkan untuk<br />

mecapai tujuan tertentu (poerwandari,<br />

2002). Pada penelitian ini peneliti<br />

menggunakan pedoman wawancara untuk<br />

mengurangi penyimpangan dari tujuan<br />

penelitian, membantu mengarahkan peneliti<br />

mengenai aspek-aspek yang perlu di gali<br />

dari subjek.<br />

Dalam hal ini peneliti melakukan<br />

triangulasi sumber data <strong>dan</strong> triangulasi<br />

metode. Triangulasi sumberdata yaitu<br />

mengambil data dari subjek penelitian <strong>dan</strong><br />

dari orang-orang terdekat subjek.<br />

Triangulasi metode yaitu mengambil data<br />

dengan wawancara, catatan lapangan, <strong>dan</strong><br />

dokumentasi.<br />

mendapatkan perhatian yang penuh kepada<br />

subjek. ayah <strong>dan</strong> ibu subjek selalu<br />

memberikan perhatian yang penuh kepada<br />

anak-anaknya. Subjek tidak pernah<br />

kekurangan kasih sayang. Namun, sikap<br />

ayah yang otoriter membuat subjek ingin<br />

merasa bebas.<br />

Dari subjek yang diteliti memang<br />

peran pola asuh dalam keluarga sangat<br />

berperan sekali bagi perkembangan<br />

kepribadian seseorang. Pembentukan<br />

perilaku self-injury dirasakan subjek karena


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 17<br />

pera pola asuh orang tua subjek (AL) yang<br />

kurang cukup berperan. Serta peran pola<br />

asuh orang tua yang cenderung protective<br />

membuat subjek ingin merasakan<br />

kebebasan.<br />

Menurut Hurlock (1980), pada<br />

umumnya sikap anak kepada orang tua<br />

berbeda-beda <strong>dan</strong> kehidupan secara<br />

keseluruhan berpola pada kehidupan rumah.<br />

Meskipun tidak satupun pola pendidikan<br />

anak yang dapat menjamin kesesuaian yang<br />

baik atau penyesuaian yang buruk, baik<br />

pribadi maupun sosial, ada bukti yang<br />

menunjukan bahwa anak dibesarkan dalam<br />

suasana rumah yang demokratis umumnya<br />

mempunyai penyesuaian diri yang lebih baik<br />

di bandingkan seorang anak yang dibesarkan<br />

secara otoriter.<br />

Peran orang tua berbeda pada<br />

subjek penelitian ini. subjek (AL) tidak sama<br />

sekali mendapatkan peran orang tua yang<br />

baik baginya. Se<strong>dan</strong>gkan subjek (LT) peran<br />

orang tua sangant baik berjalan di dalam<br />

keluarganya. Sehingga dapat disimpulkan<br />

bahwa peran orang tua belum tentu selalu<br />

merupakan alasan seseorang dalam<br />

melakukan self-injury ini. peran orang tua<br />

memang penting namun bagaimana seorang<br />

anak menerimanya itu adalah sebuah proses<br />

pembentukan kepribadian.<br />

Kebanyakan pelaku self-Injury<br />

mengalami penyiksaan di masa lalunya,<br />

baik secara fisik, emosional, maupun<br />

seksual, sehingga pada umumnya kurang<br />

mampu mengendalikan emosinya <strong>dan</strong><br />

cenderung menghadapi banyak masalah di<br />

kemudian hari (Conterio, dalam Mounty,<br />

2005).<br />

Peristiwa yang terjadi dimasa lalu<br />

membangun emosional tersendiri bagi<br />

subjek (AL) ia selalu terbayang-bayang oleh<br />

peristiwa pertengkaran orang tua subjek.<br />

Peristiwa tersebut terasa sangat membekas<br />

bagi subjek ia tidak mengira bahwa<br />

pertengkaran orang tuanya itu akan<br />

berakibat fatal baginya. Peristiwa itu<br />

menjadi pencetus subjek dalam melakukan<br />

pemutusan masalah-masalah selanjutnya.<br />

Subjek merasakan bahwa masalah-masalah<br />

ia tidak akkan pernah selesai. Subjek<br />

semakin tertekan karena subjek tidak pernah<br />

berbagi cerita kepada orang lain mengenai<br />

masalah-masalah yang datang kepa<strong>dan</strong>ya.<br />

Kenangan masalalu yang tidak<br />

mengenakan juga dialami oleh subjek LT. ia<br />

menjadi seseorang yang murung <strong>dan</strong><br />

menghindar dari orang lain saat ibu subjek<br />

meninggal dunia. Subjek yang sangat dekat<br />

dari ibunya tersebut merasa kehilangan<br />

sosok seseorang yang paling<br />

menyayanginya. Kejadian lain mengaggu<br />

dirinya adalah kejadian saat subjek<br />

berhubungan dengan pacaranya. Saat itu<br />

subjek merasa sangat menyesali<br />

perbuatannya <strong>dan</strong> menjadi rendah diri.<br />

Sehingga dari situ tercetuslah luapan-luapan<br />

emosi yang tidak terkendali olehnya.<br />

Self-Injury dilakukan sebagai<br />

pembebasan tekanan dalam tubuhnya. Para<br />

pelaku self-Injury merasakan tubuhnya<br />

tertekan <strong>dan</strong> merasakan ketegangan yang<br />

mengganggu kenyamanan dirinya. Pelaku<br />

self-Injuy berusaha membuang emosi<br />

negatifnya dengan melakukan self- injury.<br />

(Alderman, 2007).<br />

Subjek (AL), yang sedari kecil<br />

tidak mendapatkan perhatian <strong>dan</strong> kasih<br />

sayang orang tuanya, tumbuh menjadi<br />

perempuan yang bebas <strong>dan</strong> tidak suka di<br />

atur-atur. Subjek melakukan segala<br />

sesuatunya sesuai dengan keinginan subjek<br />

tanpa memikirkan orang lain. Ini juga yang<br />

dilakukan subjek saat menghadapi sebuat<br />

masalah. Ia cenderung merepres masalah<br />

tersebut <strong>dan</strong> membiarkan msalah tanpa<br />

menyelesaikannya. Subjek tidak suka<br />

berbagi cerita kepada orang lain. Sehingga<br />

setiap masalah yang datang kepa<strong>dan</strong>ya<br />

menjadi sebuah beban tersendiri bagi subjek.<br />

Lain halnya dengan subjek (LT)<br />

meskipun ia mengalami kejadian yang<br />

menggangu dirinya subjek masih dapat<br />

menerima <strong>dan</strong> menyiapkan diri se<strong>dan</strong>gan<br />

segala resiko yang akan ia terima. Subjek<br />

yang di didik oleh orang tua subjek dengan<br />

baik menjadi semakin baik dalam<br />

menghadapai setiap masalah yang ia temui.<br />

Sifat subjek yang terbuka kepada orang lain<br />

juga menjadi salah satu alasan dia lebih siap<br />

menerima setiap masalah dengan baik.<br />

Kematangan umur subjek juga menjadi


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 18<br />

alasan subjek dalam penerimaan diri dari<br />

masalah yang datang kepa<strong>dan</strong>ya. Subjek saat<br />

menghadapi sebuah masalah ia akan<br />

bersegera untuk menyelesaikan masalhnya<br />

itu sesegera mungkin. Namun tekanantekanan<br />

dari liuar diri subjek menjadikan<br />

subjek terka<strong>dan</strong>g tidak dapat mengontrol<br />

emosi-emosi yang ada dalam dirinya.<br />

Jadi penerimaan diri dalam<br />

menghadapi setiap masalah memang<br />

berperan sangat penting sehingga, seseorang<br />

dapat dengan siap menerima konflik atau<br />

masalah yang datang kepa<strong>dan</strong>ya, <strong>dan</strong> ia<br />

dapat menyelesaikan masalahnya tersebut<br />

dengan cara yang baik. Kesiapan diri ini<br />

juga dibentuk dari lingkungan <strong>dan</strong><br />

kematangan diri seseorang.<br />

Alderman <strong>dan</strong> Connors (2000)<br />

mengatakan bahwa sesungguhnya self-injury<br />

merupakan suatu metode yang digunakan<br />

untuk mempertahankan hidup <strong>dan</strong><br />

merupakan suatu coping terhadap keadaan<br />

emosional yang sulit, seperti kecemasan,<br />

stress, <strong>dan</strong> perasaan negatif lainnya.<br />

Kedua subjek sepakat bahwa<br />

melakukan self-injury adalah salah satu<br />

bentuk coping yang mereka pilih untuk<br />

menyelesaikan masalah mereka. Sebagai<br />

bentuk pelepasan-pelepasan emosi yang<br />

tidak terkendali, penyaluran emosi yang baik<br />

yang subjek pilih.<br />

<strong>Penelitian</strong> ini menggunakan batasan<br />

bahwa subjek yang di teliti adalah bukan<br />

seorang pengguna narkoba, berba<strong>dan</strong> sehat<br />

<strong>dan</strong> menyadari bahwa ia melakukan<br />

tindakan self-injury. batasan ini di gunakan<br />

agar dapat membatasi subjek agar tidak<br />

keluar dari konteks penelitian ini. Self-injury<br />

adalah perilaku dimana seseorang sengaja<br />

melukai tubuhnya sendiri bukan bertujuan<br />

untuk bunuh diri melainkan hanya untuk<br />

melampiaskan emosi-emosi yang<br />

menyakitkan. Hal ini yang juga dilakukan<br />

oleh para subjek.<br />

Banyak yang melakukannya karena<br />

mekanisme ini bekerja <strong>dan</strong> bahkan dapat<br />

menyebabkan kecanduan, self-Injury hanya<br />

menyebabkan pembebasan yang bersifat<br />

sementara <strong>dan</strong> tidak mengatasi akar<br />

permasalahan sehingga seseorang yang<br />

pernah melakukannya akan memiliki<br />

kecenderungan untuk mengulanginya<br />

dengan peningkatan frekuensi. Self-injury<br />

para pelakunya lebih sering terjadi pada<br />

remaja <strong>dan</strong> orang dewasa muda<br />

dibandingkan dengan orang dewasa madya.<br />

Remaja <strong>dan</strong> orang dewasa muda se<strong>dan</strong>g<br />

berada dalam masa transisi sehingga sering<br />

menimbulkan gejolak yang tidak dapat di<br />

batasi oleh dirinya sendiri.<br />

Dinamika psikologis seseorang<br />

adalah suatu perjalanan hidup seseorang dari<br />

mulai ia dilahirkan sampai dengan ia saat<br />

ini. Melalui dinamika dapat dilihat <strong>dan</strong><br />

dipaparkan berbagai macam peristiwa <strong>dan</strong><br />

kejadian yang terjadi selama kehidupannya.<br />

Pertistiwa-peristiwa tersebut merupakan<br />

kejadian masalalu yang dapat selalu<br />

dikenang <strong>dan</strong> membekas dalam diri<br />

seseorang. Begitu pula yang dialami oleh<br />

pelaku self-injury ini. Tahapan-tahapan<br />

dalam hidup seorang pelaku self-injury<br />

adalah sebuah rentetan peristiwa penting <strong>dan</strong><br />

sebagai latar belakang ia melakukan<br />

tindakan self-injury ini.<br />

Penerimaan diri dalam menghadapi<br />

masalah atau kejadian peristiwa yang terjadi<br />

dalam kehidupan pelaku di masa lampau<br />

dipengaruhi oleh keinginan yang tidak dapat<br />

tersalurkan. Keinginan yang tidak<br />

tersalurkan inilah yang kemudian<br />

membentuk suatu tingkah laku yang<br />

selanjutnya dijadikan tempat untuk dapat<br />

melepaskan keinginan-keinginan yang tidak<br />

tersalurkan tersebut, seperti misalnya<br />

melukai dirinya sendiri dengan cara<br />

menyilet tangan, mencakar-cakar tubuhnya,<br />

melebamkan bagian tubuhnya. Pelaku selfinjury<br />

ini menikmati <strong>dan</strong> merasakan<br />

pelepasan keinginan <strong>dan</strong> emosi yang tidak<br />

tersalurkan dari masalahnya tersebut.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 19<br />

Analisis Psikopatologis Antar Subjek<br />

Kategorisasi Subjek 1 (AL) Subjek 2 (LT)<br />

Childhood Event Kurang mendapatkan<br />

perhatian dari orangtua<br />

<strong>dan</strong> keluarga<br />

Hubungan dengan<br />

orangtua tidak berjalan<br />

dengan baik<br />

Melihat pertengkaran<br />

orangtua sejak duduk<br />

kelas 4 sekolah dasar<br />

Peran orangtua tidak<br />

berjalan dengan baik.<br />

Hubungan ayah <strong>dan</strong> ibu<br />

tidak harmonis<br />

Later life Merasa disalahkan oleh<br />

ayah, melakukan percobaan<br />

bunuh diri.<br />

Orangtua subjek bercerai<br />

Subjek mendapatkan<br />

kebebasan sepenuhnya dari<br />

orangtua subjek<br />

Subjek melakukan<br />

hubungan intim dengan<br />

pacar subjek<br />

Subjek kehilangan sosok<br />

seorang ayah.<br />

Conditioning event Kecewa terhadap sikap<br />

orangtua<br />

Ayah yang tidak berperan<br />

baik dalam keluarga<br />

Kecewa terhadap keluarga<br />

yang tidak harmonis<br />

Precipitating event Orangtua yang sering<br />

bertengkar<br />

Subjek yang merasa selalu<br />

disalahkan oleh ayah<br />

Complex Tidak diperhatikan oleh<br />

orangtua<br />

Peran keluarga yang tidak<br />

baik<br />

Selalu memendam<br />

masalah<br />

Putus cinta <strong>dan</strong> hubungan<br />

dengan pacar tidak baik<br />

Self-injury behavior Intensitas subjek<br />

melakukan self-injury<br />

sering<br />

Self-injury dilakukan<br />

subjek dengan<br />

Subjek mendapatkan<br />

perhatian <strong>dan</strong> kasih sayang<br />

dari orangtua subjek secara<br />

utuh <strong>dan</strong> penuh<br />

Ayah memberikan perhatian<br />

yang protektif kepada<br />

subjek.<br />

Peran orangtua sangat<br />

berjalan dengan baik.<br />

Ibu meniggal<br />

Subjek kehilangan sosok ibu<br />

Ayah subjek sangat menjaga<br />

subjek.<br />

Subjek merasakan ingin<br />

bebas dari sikap protektif<br />

ayahnya<br />

Subjek melakukan<br />

hubungan intim dengan<br />

pacar subjek<br />

Merasa sangat tertekan <strong>dan</strong><br />

bersalah<br />

Subjek menjadikan pacar<br />

subjek sebagai pengganti<br />

peran ayah<br />

Sikap ayah yang terlalu<br />

protektif<br />

Perasaan kehilangan sosok<br />

ibu<br />

Pembatasan yang di berikan<br />

ayah<br />

Pertengkaran dengan pacar<br />

subjek<br />

Perhatian yang berlebihan<br />

dari orangtua<br />

Sikap ayah yang protektif<br />

Memendam masalah<br />

Intensitas subjek melakukan<br />

self-injury tidak sering.<br />

Self-Injury subjek dilakukan<br />

dengan menggunakan silet<br />

Subjek merasa lebih baik


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 20<br />

menggunakan silet<br />

Subjek merasa tenang saat<br />

setelah melakukan selfinjury<br />

Subjek melakukan selfinjury<br />

sebagai pelepasan<br />

emosi-emosi subjek.<br />

Awal mula melakukan<br />

self-injury karena melihat<br />

orangtua subjek<br />

bertengkar<br />

Simptom Gelisah<br />

Cemas<br />

Rendah diri<br />

Melukai diri<br />

4. Kesimpulan<br />

Self-injury dalam penelitian ini<br />

dilakukan oleh wanita. Secara keseluruhan<br />

subjek ini cenderung melakukan self-injury<br />

untuk membantunya mengalihkan emosi<br />

yang ia rasakan <strong>dan</strong> berusaha menghindari<br />

masalahnya. Meskipun cara penyampaian<br />

<strong>dan</strong> penyelesaian masalah mereka berbeda,<br />

namun mereka cenderung tidak<br />

menyampaikan setiap masalah pada orang<br />

yang bersangkutan <strong>dan</strong> sebagai bentuk<br />

refleksi dari masalah yang ditimbulkan oleh<br />

orang lain kepada diri subjek. Mereka lebih<br />

melakukan self-injury sebagai cara<br />

penyelesaian mereka. Subjek cenderung<br />

memendam masalahnya <strong>dan</strong> membiarkan<br />

masalahnya tidak terselesaikan. Pengasuhan<br />

<strong>dan</strong> pengajaran yang di terapkan di dalam<br />

keluarga cukup berperan bagi subjek sebagai<br />

pemicu perilaku self-injury ini.<br />

Subjek AL melakukan self-injury di<br />

dasari oleh faktor keluarga. Pola asuh yang<br />

diterapkan di dalam keluarga AL tidaklah<br />

baik. Peran masing-masing anggota keluarga<br />

tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sikap<br />

orang tua yang kasar <strong>dan</strong> tidak memberikan<br />

contoh yang baik kepada subjek. keadaan<br />

orang tua yang tidak baik inilah yang<br />

membuat subjek melakukan self-injury.<br />

Kurangnya perhatian <strong>dan</strong> kasih sayang dari<br />

orang tua membuat subjek melakukan<br />

tindakan-tindakan yang tidak terkontrol<br />

olehnya seperti melakukan self-injury.<br />

Subjek merupakan orang yang tertutup<br />

sehingga ia sering sekali merepress<br />

ketika melakukan self-injury<br />

Subjek melakukan selfinjury<br />

sebagai emosi subjek<br />

tidak tersalurkan<br />

Self-injury dilakukan subjek<br />

karena subjek merasa cemas<br />

sehabis melakukan<br />

hubungan dengan pacar<br />

subjek<br />

Menarik diri<br />

Tidak perceya diri<br />

Gelisah<br />

Melukai diri<br />

masalahnya, sehingga penerimaan diri<br />

terhadap masalahnya kurang baik bagi<br />

subjek. ia cenderung menghindar dari<br />

masalah <strong>dan</strong> membiarkan masalah tidak<br />

terselesaikan. Tumbuh dengan tanpa arahan<br />

dari orang tua membuat subjek mengikuti<br />

pergaulan bebas, sehingga apabila menerima<br />

suatu konflik ia melakukan coping dengan<br />

cara yang tidak baik yang menghawatirkan<br />

dirinya sendiri serta orang lain.<br />

Subjek LT didapatkan hasil bahwa<br />

peran keluarga cukup berpengaruh<br />

banginya. Pola asuh yang di terapkan oleh<br />

keluarga subjek sangatlah baik, namun<br />

sikap ayah yang terlalu protective membuat<br />

subjek sering sekali ingin merasakan bebas.<br />

Perasaan-perasaan ingin bebas inilah yang<br />

mendorong subjek untuk mencoba hal-hal<br />

baru dalam hidpunya, sampai ia tidak dapat<br />

mengontrol tingkahlakunya <strong>dan</strong> melakukan<br />

sebuah hubungan dengan lelaki teman<br />

dekatnya. Peristiwa ini menjadikan subjek<br />

merasa bersalah <strong>dan</strong> tertekan. Rasa<br />

tersebutlah yang menjadikan subjek<br />

melakukan coping masalah yang tidak baik<br />

dengan melakukan self-injury. Subjek<br />

bukanlah merupakan orang yang tertutup ia<br />

berbagi cerita kepada orang-orang<br />

terdekatnya, namun subjek kurang dapat<br />

mengontrol emosi-emosi dari konflikkonflik<br />

yang ia hadapi. Hal inilah yang<br />

menjadikan subjek melakukan self-injury<br />

sebagai coping <strong>dan</strong> pelepasan masalah yang<br />

ia rasakan.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 21<br />

Terjadinya perilaku self-injury<br />

bergantung pada keadaan emosional,<br />

sehinga setiap subjek berbeda durasi <strong>dan</strong><br />

kelangsungan perilaku self-injury nya.<br />

Daftar Pustaka<br />

Alderman, T. (1997). The scarred<br />

soul: Understanding & ending self-inflicted<br />

violence. Oakland, CA : New Harbinger.<br />

Barent W. Walsh, (2006) Treating<br />

Self-Injuri: A Practical Guide. New York:<br />

Guilford Press.<br />

Connors, R. E. (2000). Self-Injuri:<br />

psychotherapy with people who engage in<br />

self-inflicted violence.Northvale, NJ: Jakson<br />

Aronson Inc.<br />

Creswell. Jhon. W., (2010).<br />

research desain (qualitative, quaititative,<br />

and mixed method approaches. Third<br />

Edition. Jakarta: pustaka pelajar<br />

Favazza.A.R. (1987). Bodies Under<br />

Siege: Self-Mutilation in Culture and<br />

Psychiatry. Baltimore: Johns Hopkins<br />

University Press<br />

Favazza. A., Conterio. K., (1989).<br />

Female habitual self-mutilators. Acta<br />

Psychiatrica Scandinavica79:283-289<br />

Favazza, A. R. (1996). Bodies<br />

under siege: self-mutilation and body<br />

modification in culture and psychiatry (2 nd<br />

edition). CA: Jhons Hopkins University<br />

Press.<br />

Favazza, A. R. (1996). Bodies<br />

under siege: Self-mutilation and body<br />

modification in culture and psychiatry.<br />

London: The John Hopkins University<br />

Press.<br />

Hilt.L.M., Cha.C.B.,<br />

Nolen.Hoeksema.C. (2008). Nonsuicidal<br />

self-Injuri in young adolescent girls:<br />

Moderators of the distress-function<br />

relationship. J.Consult Clin Psychol<br />

Hulock. Elizabeth. (1980).<br />

<strong>Psikologi</strong> Perkembangan edisi kelima<br />

terjemahan. Jakarta: Penerbit erlangga<br />

subjek. Penerimaan diri dalam penyelesaian<br />

masalah seseorang menjadi salah satu<br />

faktor dalam terjadinya perilaku self-injury.<br />

Hyman.J. (1999). Women Living<br />

With Self-Injuri. Philadelphia: Temple<br />

University Press.<br />

Ilmi, Rizqi. T, M. (2011). Pengaruh<br />

kematangan emosi terhadap kecenderungan<br />

perilaku self-injury pada remaja. Skripsi<br />

(tidak diterbitkan). Universitas Islam Syarif<br />

Hidayatullah Jakarta.<br />

Kettlewell. C. (1999). Skin Game:<br />

A Cutter's Memoir. New York: St Martin's<br />

Klonsky, E. D., Muehlenkemp, J. J<br />

(2007). Self injury: A research review for<br />

the practioner. Wiley interscience.<br />

Klonsky, E. D., Oltmanns, T. F., &<br />

Turkheimer, E. (2003). Deliberate self-harm<br />

in a nonclinical population: Prevalence and<br />

psychological correlates. The American<br />

Journal of Psychiatry,<br />

Levenkron.S. (1998). Cutting:<br />

Understanding and Overcoming Self-<br />

Mutilation. New York: Norton.<br />

Mazelis, R. (2008). Self-Injuri:<br />

understanding and responding to people<br />

who live whit self-inflicted violence.<br />

California : national center for traumainformed<br />

care.<br />

Muehlenkamp.et al. (2012). Child<br />

and Adolescent Psychiatry and Mental<br />

Health.<br />

http://www.capmh.com/content/6/1/12 6:10<br />

Muehlenkamp. J. J. (2007).<br />

Gutierrez PM: Risk for suicide attempts<br />

among adolescents who engage in nonsuicidal<br />

self-Injuri. Arch Suicide Res<br />

Monty. P. S., Tresno. F. ( 2005).<br />

Dinamika emosional pelaku self-Injuri,<br />

Jakarta: Universitas Taruma Negara.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 22<br />

Patton GC, and all. (2007).<br />

Pubertal stage and deliberate self-harm in<br />

adolescents. J.Am Acad Child Adolesc<br />

Psychiatry<br />

Pegerl, Naomi, L. (2010). A<br />

comparison of the fuction or eating disorder<br />

behaviors to non-suicidal self-injury.<br />

Disertation and These. Universiti of north<br />

Dakota.<br />

Spigner, C., Shigaki, A., & Tu, S.<br />

P. (2005). Perceptions of Asian American<br />

men about tobacco cigarette consumption: A<br />

social learning theory framework. Journal of<br />

Immigrant Health.<br />

Stanley, B., Winchel, R. M.,<br />

Molcho, A., Simeon, D., & Stanley, M.<br />

(1992). Suicide and the self-harm<br />

continuum: Phenomenological and<br />

biochemical evidence. International Review<br />

of Psychiatry.<br />

Stein, D., Lilenfield, L. R. R.,<br />

Wildman, P. C., & Marcus, M. (2004).<br />

Attempted suicide and self-Injuri in patients<br />

diagnosed with eating disorders.<br />

Comprehensive Psychiatry.<br />

Strong.M. A., Bright. (1998). Red<br />

Scream: Self-Mutilation and the Language<br />

of Pain. New York: Viking<br />

Sugiyono. (2009). Metode<br />

penelitian kuantitaif, kualitatif, <strong>dan</strong> R&D.<br />

Cetakan ke Jakarta: cv. Alfabeta<br />

Supardi, Sawitri. (1982).<br />

Paradigma Psikopatologi. Bandung: biro<br />

psikologi psikodinamika<br />

Turner, V. J. (2002). Secret scars:<br />

Unconvering, and Understanding the<br />

addiction of self-injry. Center city, MN:<br />

Hazelden<br />

Walsh. B, Rosen P (1988). Self-<br />

Mutilation: Theory, Research, and<br />

Treatment. New York: Guilford


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 23<br />

RESILIENSI PADA ANAK DENGAN KANKER<br />

Nur Fitriah<br />

Jurusan <strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jakarta<br />

Email : fiitriikuu@gmail.com<br />

Abstract<br />

The aim of this research was to provide about resilience in children with cancer. Resilience<br />

obtained through identification of three resilience factors. That is I Am for the individual<br />

strength in personal, I Have for external support and the sources, and I Can for interpersonal<br />

skills, and output from interaction of the three factors consist of trust, autonomy, initiative,<br />

industry, and identity. Research that has been used was qualitative approach. Overview of<br />

resilience of the subject obtained from the interview with children with cancer, relatives<br />

(mother and uncle), instructor, and doctor who deal with children with cancer. The results of<br />

this research were both subjects can develop resilience characteristic well. However, there are<br />

some differences from the two subjects. 1 st subject achieve resilience attitude more depth on<br />

interaction I Have and I Can factors clearly. Yet, still supported by I Am factor. Whereas 2 nd<br />

subject achieve resilience attitude more on I Am and I Can factors. Yet, I Have factor still<br />

fulfilled. Moreover, 1 st subject was able to established initiative and industry better than 2 nd<br />

subject.<br />

Key Words : Resilience, Children, Cancer, Development, Psychology<br />

1. Pendahuluan<br />

Dewasa ini, terdapat berbagai macam penyakit<br />

mematikan yang meyerang kehidupan manusia.<br />

Salah satunya adalah penyakit kanker. Kanker<br />

adalah suatu penyakit yang disebabkan pembelahan<br />

sel yang melebihi batas normal <strong>dan</strong> tidak terkendali<br />

sehingga dapat menyebar <strong>dan</strong> menyerang jaringan<br />

tubuh lainnya. Kanker merupakan penyakit yang<br />

mengerikan bagi kebanyakan orang. Cara, sikap<br />

ataupun reaksi orang dalam menghadapi kanker<br />

pada dirinya, berbeda satu sama lain <strong>dan</strong> individual<br />

sifatnya. Hal ini tergantung kepada seberapa jauh<br />

kemampuan individu yang bersangkutan<br />

menyesuaikan diri terhadap situasi yang<br />

mengancam kehidupannya. Berbagai reaksi<br />

penderita kanker di bi<strong>dan</strong>g kejiwaan antara lain<br />

kecemasan, ketakutan <strong>dan</strong> depresi (Hawari, 2004).<br />

Kanker menjadi salah satu penyebab kematian<br />

terbesar bagi orang dewasa maupun anak – anak.<br />

Sekitar 25% kematian di dunia, disebabkan oleh<br />

kanker. Dalam setahun, sekitar 0,5% dari populasi<br />

terdiagnosa kanker. Kanker pada anak diperkirakan<br />

mencapai 1% dari jumlah penyakit kanker secara<br />

menyeluruh. Data statistik resmi dari IARC<br />

(International Agency for Research on Cancer)<br />

menyatakan bahwa 1 dari 600 anak akan menderita<br />

kanker sebelum umur 16 tahun. Sekitar 10%<br />

kematian pada masa anak – anak disebabkan oleh<br />

kanker, namun kanker pada anak dapat<br />

disembuhkan bila dideteksi secara dini <strong>dan</strong>


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 24<br />

pengobatan serta perawatannya dilaksanakan<br />

dengan sarana/prasarana yang memadai sehingga<br />

kemungkinan untuk sembuh menjadi lebih besar<br />

apabila anak tersebut dapat bertahan setidaknya 5<br />

tahun sesudah pengobatan (Fromer, 1995).<br />

Kanker pada anak merupakan masalah yang<br />

cukup kompleks mengingat perawatan <strong>dan</strong> atau<br />

pengobatannya melibatkan selain orang tua, tenaga<br />

profesional, <strong>dan</strong> tak kalah penting keluarga,<br />

sekolah, serta lingkungan sangat berperan untuk<br />

membantu proses penyembuhan anak penderita<br />

kanker. Selama masa tersebut anak harus menjalani<br />

proses pengobatan untuk mencegah sel-sel kanker<br />

berkembang kembali. Pengobatan kanker pada anak<br />

dapat dilakukan dengan kemoterapi, transplantasi<br />

sumsum tulang, radioterapi, <strong>dan</strong> operasi, tergantung<br />

pada jenis kanker yang dialaminya (Dixon-Woods,<br />

Young, & Heney, 2005).<br />

Anak – anak penderita kanker juga tidak hanya<br />

harus menghadapi tugas-tugas perkembangan <strong>dan</strong><br />

pertumbuhan sebagaimana anak yang tidak<br />

mengalami kanker, tetapi juga harus mengatasii<br />

dampak-dampak dari kanker yang dialaminya<br />

(Wear, Covey, & Brush, 1982).<br />

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan<br />

Browns et.al pada tahun 1992 <strong>dan</strong> Ishibasi pada<br />

tahun 2003 menyatakan bahwa ada beberapa anak<br />

yang menderita kanker mampu bertahan dengan<br />

baik sehingga dapat menjalani kehidupannya sesuai<br />

tugas perkembangannya. Ketahanan yang dimiliki<br />

oleh anak-anak yang mengalami hambatan dalam<br />

kehidupannya, khususnya anak-anak yang<br />

menderita kanker disebut resiliensi.<br />

Individu dengan resiliensi yang baik adalah<br />

individu yang optimis, yang percaya bahwa segala<br />

sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu<br />

mempunyai harapan terhadap masa depan <strong>dan</strong><br />

percaya bahwa individu dapat mengontrol arah<br />

kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi<br />

lebih sehat <strong>dan</strong> mengurangi kemungkinan<br />

menderita depresi. Resiliensi adalah kapasitas untuk<br />

merespon secara sehat <strong>dan</strong> produktif ketika<br />

berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang<br />

diperlukan untuk mengelola tekanan hidup seharihari<br />

(Reivich <strong>dan</strong> Shatte, 2002).<br />

Faktor yang mendukung resiliensi, diantaranya<br />

adalah dukungan sosial, berhubungan dengan<br />

tingkat stress yang rendah. Individu dengan<br />

resiliensi yang tinggi memiliki dukungan sosial<br />

yang lebih baik <strong>dan</strong> memiliki tingkat stress yang<br />

rendah (Aitken <strong>dan</strong> Morgan, 1999). Resiliensi<br />

sebagai kemampuan untuk secara terus menerus<br />

mendefinisikan diri <strong>dan</strong> pengalaman, menjadi dasar<br />

untuk proses kehidupan yang menghubungkan<br />

antara sumber daya individu <strong>dan</strong> spiritual<br />

(Southwick, 2001).<br />

Resiliensi pada anak yang menderita kanker<br />

menunjukkan bahwa anak tersebut tetap dapat<br />

memiliki kompetensi sosial dengan baik,<br />

mengembangkan kemampuan intelektualnya,<br />

memiliki harapan untuk masa depan, serta memiliki<br />

kemandirian dalam hidupnya meskipun mereka<br />

se<strong>dan</strong>g menjalani tahap pengobatan yang sedikit<br />

banyak dapat mengganggu kehidupan mereka.<br />

Mengingat kondisi anak yang masih sangat<br />

memerlukan dampingan <strong>dan</strong> bantuan dari orang<br />

terdekat mereka yaitu keluarga atau orang tua.<br />

Maka resiliensi yang terbentuk dalam diri anak,<br />

turut dipengaruhi oleh resiliensi yang tercipta dalam<br />

keluarganya. Keluarga memberikan peranan yang<br />

sangat penting bagi anak-anak yang menderita<br />

kanker dengan memberikan pendampingan <strong>dan</strong><br />

perhatian selama anak-anak menjalani pengobatan.<br />

Resiliensi sebagai kemampuan untuk secara terus<br />

menerus mendefinisikan diri <strong>dan</strong> pengalaman,<br />

menjadi dasar untuk proses kehidupan yang<br />

menghubungkan antara sumber daya individu <strong>dan</strong><br />

spiritual (Southwick, 2001).<br />

Usia anak – anak adalah suatu masa<br />

dimana seorang individu dibentuk kepribadiannya<br />

sehingga hal tersebut menentukan tumbuh<br />

kembangnya di masa depan. Salah satu hal penting<br />

yang dapat mendukung kebahagian dalam awal<br />

masa kanak – kanak adalah kesehatan yang baik<br />

yang memungkinkan anak mampu menikmati apa<br />

pun yang ia lakukan <strong>dan</strong> berhasil melakukannya<br />

(Hurlock, 2008).<br />

Namun, bagi anak penderita kanker, hal tersebut<br />

jadi terbatasi. Dengan kondisi fisik mereka yang<br />

kurang memungkinkan untuk bisa melakukan<br />

berbagai macam aktifitas, tentu saja hal tersebut<br />

merupakan tekanan yang sangat mempengaruhi<br />

keadaan psikologis seorang anak. Anak penderita<br />

kanker tidak selalu dapat melakukan berbagai jenis<br />

kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan fisik <strong>dan</strong><br />

hal itu menghambat tumbuhnya kebahagiaan dalam<br />

diri mereka. Waktu yang sebagian besar dihabiskan<br />

di rumah sakit untuk menjalankan pengobatan, juga<br />

menjadi dasar timbulnya rasa rendah diri pada anak<br />

penderita kanker. Selain itu, usia mereka yang<br />

masih termasuk dalam kategori usia pembentukan<br />

karakter <strong>dan</strong> perkembangan membuat mereka<br />

kurang dapat menentukan sikap yang tepat untuk<br />

menghadapi keadaan yang sulit yang se<strong>dan</strong>g<br />

mereka alami. Namun, dengan dukungan sosial<br />

yang baik, yang berasal dari keluarga, teman, <strong>dan</strong><br />

lingkungan sekitarnya, membuat anak dapat<br />

bertahan dalam menghadapi tekanan yang berat<br />

dalam hidupnya. Resiliensi pada beberapa anak<br />

mampu berfungsi secara baik walaupun mereka<br />

hidup dalam lingkungan buruk <strong>dan</strong> penuh tekanan<br />

(Garmezy <strong>dan</strong> Rutter, 1983, dalam Rutter et.al,<br />

1994).<br />

Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk<br />

meneliti bagaimana gambaran resiliensi pada anak<br />

yang menderita kanker <strong>dan</strong> bagaimana dukungan<br />

sosial yang mereka peroleh sehingga mereka dapat<br />

menjadi orang yang resilien dalam menjalani proses


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 25<br />

pengobatan kanker. Individu dengan resiliensi yang<br />

tinggi memiliki dukungan sosial yang lebih baik<br />

<strong>dan</strong> memiliki tingkat stress yang rendah (Aitken<br />

<strong>dan</strong> Morgan, 1999). Dengan demikian, penelitian<br />

ini juga akan mengeksplorasi konsep resiliensi<br />

seperti apa yang ditanamkan orang tua atau<br />

lingkungan sosial mereka pada anak yang<br />

mengalami kanker.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>Penelitian</strong> ini menggunakan penelitian<br />

pendekatan kualitatif. Menurut Poerwandari (1998)<br />

penelitian kualitatif adalah penelitian yang<br />

menghasilkan <strong>dan</strong> mengolah data yang sifatnya<br />

deskriptif, seperti transkripsi wawancara , catatan<br />

lapangan, gambar, foto rekaman video <strong>dan</strong> lainlain.<br />

Dalam penelitan kualitatif perlu menekankan<br />

pada pentingnya kedekatan dengan orang-orang <strong>dan</strong><br />

situasi penelitian, agar peneliti memperoleh<br />

pemahaman jelas tentang realitas <strong>dan</strong> kondisi<br />

kehidupan nyata.( Patton dalam Poerwandari,<br />

1998).<br />

Pada penelitian Reseliensi pada Anak Penderita<br />

Kanker, peneliti menggunakan tipe studi kasus<br />

intrinsik. Studi kasus intrinsik adalah penelitian<br />

yang dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian<br />

pada suatu kasus khusus. <strong>Penelitian</strong> dilakukan<br />

untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa<br />

harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep –<br />

konsep / teori ataupun tanpa ada upaya<br />

menggeneralisasi.<br />

Dalam penelitian ini, karakteristik subjek adalah<br />

anak – anak yang berada pada usia sekolah dengan<br />

jenis kelamin laki – laki <strong>dan</strong> perempuan yang<br />

mengidap penyakit kanker minimal 3 bulan terakhir<br />

terhitung dari penelitian ini dimulai serta terlihat<br />

memiliki beberapa karakteristik resiliensi dari<br />

wawancara terdahulu yang dilakukan pada orang –<br />

orang di sekitar subyek.<br />

Peneliti menggunakan metode pengambilan<br />

sampel purposif terstratifikasi. Dalam metode<br />

pengambilan sampel ini, peneliti mengambil subjek<br />

yang sesuai dengan klasifikasi subjek yang<br />

diperlukan <strong>dan</strong> menjelaskan tentang kasus yang<br />

diangkat. Dengan strategi ini peneliti tidak<br />

memfokus pada upaya mengidentifikasi masalah –<br />

masalah mendasar, melainkan pada upaya<br />

menangkap variasi – variasi besar dari responden<br />

atau subyek penelitian.<br />

Menurut Poerwandari (1998) penelitian<br />

kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan <strong>dan</strong><br />

mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti<br />

transkripsi wawancara , catatan lapangan, gambar,<br />

foto rekaman video <strong>dan</strong> lain-lain.<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

Dalam penelitian ini, kedua subjek memiliki<br />

faktor – faktor yang menunjukan sikap resiliensi<br />

dalam diri mereka. Z adalah seorang anak laki –<br />

laki yang sangat dekat dengan Ibunya karena<br />

Ibunya adalah satu – satunya orang yang paling<br />

setia menemaninya selama menjalani pengobatan di<br />

Jakarta, se<strong>dan</strong>gkan I lebih dekat dengan pamannya<br />

yang merupakan adik dari Ayahnya. Dikarenakan<br />

kedua orangtuanya sudah tidak mau mengurusnya<br />

lagi, maka Pamannya-lah yang menemani <strong>dan</strong><br />

mengurusi pengobatan I di Jakarta.<br />

Dalam keluarganya, Z hidup dalam suatu<br />

keluarga kecil sederhana dimana semua peraturan<br />

<strong>dan</strong> peran orangtua merupakan hal yang paling Z<br />

contoh. Subjek memiliki teman bermain yang<br />

cukup banyak di sekolahnya. Se<strong>dan</strong>gkan I hidup<br />

dalam keluarga Ayahnya dimana ia dirawat oleh<br />

bibinya <strong>dan</strong> kedua kake neneknya <strong>dan</strong> juga selalu<br />

bermain dengan sepupunya. Oleh karena itu, Z akan<br />

lebih cepat berbaur <strong>dan</strong> bersosialisasi dengan anak<br />

– anak sebayanya, se<strong>dan</strong>gkan I akan sangat cepat<br />

berkomunikasi dengan orang yang lebih dewasa<br />

dari usianya.<br />

Kedua subjek adalah anak yang mandiri <strong>dan</strong><br />

pemberani. Baik Z maupun I dapat menunjukan<br />

sikap tersebut. Seperti saat harus ditinggal oleh<br />

Paman atau Ibunya saat harus di rumah sakit, maka<br />

I <strong>dan</strong> Z tidak akan menangis ataupun rewel. Merek<br />

akan dengan tenang menunggu <strong>dan</strong> merasa nyaman<br />

untuk bersosialisasi dengan para dokter <strong>dan</strong><br />

perawat. Selain itu, Z adalah seorang anak yang<br />

sudah dapat melakukan kegiatan dasar untuk<br />

pemenuhan kebutuhan pribadinya sendiri, seperti<br />

makan <strong>dan</strong> mandi. Se<strong>dan</strong>gkan I, dikarenakan<br />

usianya yang masih sangat muda, Ia tetap<br />

membutuhkan pamannya untuk membantunya<br />

makan atau mandi walaupun ia terka<strong>dan</strong>g<br />

menentukan sendiri apa yang ingin ia makan atau<br />

baju apa yang ingin dipakainya.<br />

Selama menjalani pengobatan, kedua subjek<br />

dapat menunjukan sikap yang jauh lebih dewasa<br />

dari usianya. Hal ini ditunjukan dengan<br />

kemampuan kedua subjek yang mampu mengontrol<br />

emosi <strong>dan</strong> perasaan yang mereka miliki. Z adalah<br />

seorang anak yang tenang <strong>dan</strong> dapat mengontrol<br />

emosi dalam dirinya. Se<strong>dan</strong>gkan I, walaupun<br />

terka<strong>dan</strong>g Ia masih menunjukan sikap egosentris,<br />

namun Ia dapat mengekspresikan perasaan –<br />

perasaan yang ia miliki dengan cara yang tepat.<br />

Kedua subjek dapat membengun rasa saling<br />

percaya karena memiliki hubungan yang erat<br />

dengan keluarga terdekatnya. Z memiliki hubungan<br />

yang sangat erat dengan Ibunya sehingga mendapat<br />

dorongan kepercayaan diri yang bagus namun tidak<br />

berlebihan . Se<strong>dan</strong>gkan I, memiliki hubungan yang<br />

sangat erat dengan Pamannya, sehingga walaupun<br />

anak perempuan, terlihat sangat aktif <strong>dan</strong> percaya<br />

diri Kedua subjek dapat mengerti akan penyakitnya<br />

<strong>dan</strong> bisa menerima hal tersebut. Z dapat<br />

menjelaskan bagaimana penyakit tersebut datang<br />

menghadapi dirinya. Se<strong>dan</strong>gkan I hanya dapat<br />

mengungkapkan apa yang Ia rasakan tentang<br />

penyakit yang ada dalam tubuhnya. Z, mampu


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 26<br />

bertindak inisiatif <strong>dan</strong> dapat mempengaruhi oleh<br />

orang lain atas ide yang ia keluarkan. Se<strong>dan</strong>gkan I<br />

mampu berinisiatif untuk melakukan kegiatan yang<br />

menjadi kesenangan dirinya sendiri. Z lebih banyak<br />

menunjukan keterampilan di bi<strong>dan</strong>g pendidikan,<br />

se<strong>dan</strong>gkan I lebih banyak menunjukan keterampilan<br />

di bi<strong>dan</strong>g permainan.Walaupun memiliki<br />

kelemahan fisik yang nyata, namun Z selalu optimis<br />

<strong>dan</strong> penuh harapan akan mendapatkan kesembuhan<br />

dari kanker yang dideritanya. Begitu juga dengan I,<br />

walaupun ada sedikit rasa malu dengan kepala yang<br />

botak <strong>dan</strong> matanya yang “berbeda”, namun<br />

menunjukan semangat yang tinggi dalam menjalani<br />

pengobatan.<br />

Menurut Grotberg, resiliensi adalah suatu<br />

kapasitas yang bersifat universal <strong>dan</strong> dengan<br />

kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun<br />

komunitas mampu mencegah, meminimalisir<br />

ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat<br />

mereka mengalami musibah atau kemalangan.<br />

Grotberg mengemukakan faktor-faktor resiliensi<br />

yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber<br />

yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri<br />

pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan<br />

eksternal <strong>dan</strong> sumber-sumbernya, digunakan istilah<br />

‘I Have’, se<strong>dan</strong>gkan untuk kemampuan<br />

interpersonal digunakan istilah’I Can’. Berikut ini<br />

adalah penjabaran dari hasil analisa terhadap<br />

wawancara yang telah dilakukan.<br />

Dalam hal ini, kedua subjek adalah pribadi yang<br />

cukup mandiri di kalangan anak seusianya.<br />

Menurut Grotberg, individu dapat melakukan<br />

berbagai macam hal menurut keinginan mereka <strong>dan</strong><br />

menerima berbagai konsekuensi <strong>dan</strong> perilakunya.<br />

Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri <strong>dan</strong><br />

bertanggung jawab atas hal tersebut. Walaupun<br />

subjek saat ini se<strong>dan</strong>g mengidap penyakit yang<br />

cukup banyak mengambil kemampuannya serta<br />

membatasi dirinya untuk melakukan berbagai<br />

macam hal, namun subjek tetap bisa melakukan<br />

sendiri beberapa hal yang menjadi kebutuhan<br />

dasarnya.<br />

Faktor I Have yang dimiliki oleh anak dengan<br />

kanker ditunjukan dari seberapa besar dorongan<br />

dari luar diri subjek dalam membentuk resiliensi<br />

yang dimiliki oleh subjek. Dalam hal ini, selama<br />

menjalani proses pengobatan, subjek mendapatkan<br />

pelayanan yang sangat menunjang kebutuhan<br />

subjek namun tetap membuat subjek dapat menjadi<br />

anak yang mandiri.<br />

Resiliensi merupakan hasil kombinasi antara<br />

faktor – faktor I am, I have, <strong>dan</strong> I can. Untuk<br />

menjadi seorang yang resilien, tidak cukup hanya<br />

memiliki satu faktor saja, melainkan harus ditopang<br />

oleh faktor – faktor lain. Misalnya seorang anak<br />

mungkin dicintai (I have), tetapi jika ia tidak<br />

mempunyai kekuatan dalam dirinya (I am) atau<br />

tidak memiliki keterampilan – keterampilan<br />

interpersonal <strong>dan</strong> sosial ( I can), maka ia tidak dapat<br />

menjadi resilien. Demikian juga seorang anak yang<br />

mungkin mempunyai harga diri ( I am), tetapi jika<br />

ia tidak mengetahui bagaimana berkomunikasi<br />

dengan orang lain atau memecahkan masalah (I<br />

can) <strong>dan</strong> tidak ada orang yang membantunya (I<br />

have), maka ia tidak akan menjadi resilien. Oleh<br />

sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi anak,<br />

ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu<br />

sama lain. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat<br />

dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial di mana<br />

si anak hidup<br />

Kepercayaan/Trust akan menjadi sumber<br />

pertama bagi pembentukan resiliensi pada diri<br />

seorang anak. Oleh karena itu, bila anak diasuh <strong>dan</strong><br />

dididik dengan perasaan penuh kasih sayang <strong>dan</strong><br />

kemudian mampu mengembangkan relasi yang<br />

berlandaskan kepercayaan (I have), maka akan<br />

tumbuh pemahaman darinya bahwa ia dicintai <strong>dan</strong><br />

dipercaya ( I am). Kondisi demikin pada gilirannya<br />

akan menjadi dasar bagi anak ketika ia<br />

berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya<br />

secara bebas (I can). Dalam hal ini, subjek diasuh<br />

dengan penuh perhatian <strong>dan</strong> kasih sayang oleh<br />

keluarganya yang mampu memberikan kasih<br />

sayang secra penuh <strong>dan</strong> menganggap subjek seperti<br />

anak sendiri sehingga menumbuhkan pemahaman<br />

yang kuat dalam diri subjek bahwa ia disayang <strong>dan</strong><br />

mendapat kepercayaan serta dorongan yang besar<br />

untuk sembuh dari om-nya sehingga membuatnya<br />

dapat tampil secara percaya diri di hadapan orang<br />

lain <strong>dan</strong> dapat berinteraksi dengan sangat baik.<br />

Kemudian faktor Autonomy, dimana anak dapat<br />

menyadari seberapa jauh mereka terpisah dari<br />

lingkungannya. Pemahaman bahwa dirinya juga<br />

merupakan sosok mandiri yang terpisah <strong>dan</strong><br />

berbeda dari lingkungan sekitar, akan membentuk<br />

kekuatan – kekuatan tertentu pada diri seorang<br />

anak. Dalam hal ini subjek mampu menerima<br />

keadaan dirinya <strong>dan</strong> mengerti apa yang se<strong>dan</strong>g ia<br />

alami.<br />

Kemudian, dengan kepercayaan <strong>dan</strong> rasa<br />

otonomi yang ia miliki, mampu mengembangkan<br />

sikap inisiatif dalam diri subjek. Menurut Grotberg,<br />

dengan inisiatif, anak menghadapi kenyataan bahwa<br />

dunia adalah lingkungn dari berbagai macam<br />

aktivitas, dimana ia dapat mengambil bagian untuk<br />

berperan aktif dari setiap aktivitas yang ada. Ketika<br />

anak berada pada lingkungan yang memberikan<br />

kesempatan mengikuti aktivitas (I have), maka anak<br />

akan memiliki sikap optimis serta bertanggung<br />

jawab (I am). Kondisi ini pada gilirannya juga akan<br />

menumbuhkan perasaan mampu anak untuk<br />

mengungkapkan apa yang mereka mampu lakukan<br />

(I can). Seperti yang telah dilakukan subjek selama<br />

menjlani pengobatan, subjek memiliki kesemapatan<br />

untuk melakukan kegiatan – kegiatan yang<br />

diselenggarakan oleh YKAKI seperti bersekolah<br />

atau bermain dengan anak – anak seusianya.<br />

Dengan begitu, subjek memiliki keyakinan dalam


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 27<br />

dirinya, walaupun Ia se<strong>dan</strong>g dihinggapi oleh suatu<br />

penyaakit, tidak menghalangi dirinya untuk<br />

melakukan kegiatan – kegiatan yang menjadi<br />

minatnya. Dengan begitu, subjek dengan percaya<br />

diri mampu mengekspresikan dengan bangga hal –<br />

hal apa saja yang mampu Ia lakukan.<br />

Industri merupkan faktor resiliensi yang<br />

berhubungan dengan pengembangan keterampilan –<br />

keterampilan yang berkaitan dengan aktivitas<br />

rumah, sekolah, <strong>dan</strong> sosialisasi. Bila anak berada di<br />

lingkungan yang memberikan kesempatan untuk<br />

mengembangkan keterampilan – keterampilan, baik<br />

di rumah, sekolah, maupun di lingkungan sosial (I<br />

have), maka anak akan mengembangkan perasaan<br />

bangga terhadap prestasi –prestasi yang telah <strong>dan</strong><br />

akan dicapainya (I am). Kondisi demikian pada<br />

gilirannya akan menumbuhkan perasaan mampu<br />

serta berupaya untuk memecahkan setiap persoalan,<br />

atau mencapai prestasi sesuai dengan kebutuhannya<br />

(I can).<br />

Rasa bangga <strong>dan</strong> bahagia yang ditunjukan oleh<br />

subjek saat ia mampu menunjukan kemampuan<br />

yang ia miliki menumbuhkan rasa optimis <strong>dan</strong><br />

percaya diri dalam dirinya. Dengan begitu,<br />

keyakinannya untuk dapat mengatasi berbagai<br />

permasalahan yang datang membut ia tumbuh<br />

menjadi seorang anaka dengan resiliensi yang kuat.<br />

Setelah semua faktor terpenuhi, Identitas<br />

menjadi faktor kunci dalam pembentukan resiliensi<br />

seorang anak. Faktor ini berkaitan dengan<br />

pengembangan pemahaman anak akan dirinya<br />

sendiri, baik kondisi fisik mupun psikologisnya.<br />

Identitas membantu anak mendefinisikan dirinya<br />

<strong>dan</strong> mempengaruhi self image-nya. Keadaan mata<br />

subjek yang berbeda dengan anak pada umumnya.<br />

Pad awalnya membat subjek merasa kesulitan untuk<br />

beradaptasi dengan lingkungnnya. Namun,<br />

dorongan dari orang sekitarnya <strong>dan</strong> kemampuan<br />

penerimaan diri yang Ia miliki membuatnya<br />

menjadi seorang anak yang mengendalikan <strong>dan</strong><br />

mengatur dirinya sendiri. kemampuan ini menjadi<br />

penting karena kemampuan subjek dalam<br />

memahami keadaan dirinya membuatnya menjadi<br />

anak yang mampu menghadapi masalah besar yang<br />

se<strong>dan</strong>g terjadi di dalam kehidupannya saat ini.<br />

4. Kesimpulan<br />

Setelah peneliti melakukan penelitian mengenai<br />

resiliensi pada anak dengan kanker peneliti<br />

memperoleh pemahaman secara nyata <strong>dan</strong><br />

menemukan faktor – faktor resiliensi pada anak<br />

dengan kanker.<br />

Berikut ini adalah penjabaran hasil kesimpulan<br />

kemampuan resiliensi dari kedua subjek.<br />

1. Z adalah seorang anak laki – laki yang sangat<br />

dekat dengan Ibunya karena Ibunya adalah satu<br />

– satunya orang yang paling setia menemaninya<br />

selama menjalani pengobatan di Jakarta,<br />

se<strong>dan</strong>gkan I lebih dekat dengan pamannya yang<br />

merupakan adik dari Ayahnya. Dalam<br />

keluarganya, Z hidup dalam suatu keluarga kecil<br />

sederhana dimana semua peraturan <strong>dan</strong> peran<br />

orangtua merupakan hal yang paling Z contoh.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan I hidup dalam keluarga Ayahnya<br />

dimana ia dirawat oleh bibinya <strong>dan</strong> kedua kakek<br />

neneknya.<br />

2. Z <strong>dan</strong> I adalah anak yang berani, mandiri, <strong>dan</strong><br />

percaya diri. Kedua subjek menunjukan sikap<br />

membutuhkan keberadaan orang dewasa, namun<br />

tetap percaya diri menunjukan keinginan yang<br />

mereka miliki.<br />

3. Selama menjalani pengobatan, kedua subjek<br />

dapat menunjukan sikap yang jauh lebih dewasa<br />

dari usianya. Hal ini ditunjukan dengan<br />

kemampuan kedua subjek yang mampu<br />

mengontrol emosi <strong>dan</strong> perasaan yang mereka<br />

miliki. Z adalah seorang anak yang tenang <strong>dan</strong><br />

dapat mengontrol emosi dalam dirinya.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan I, walaupun terka<strong>dan</strong>g Ia masih<br />

menunjukan sikap egosentris, namun Ia dapat<br />

mengekspresikan perasaan – perasaan yang ia<br />

miliki dengan cara yang tepat.<br />

Selain itu, interaksi antara ketiga faktor<br />

resiliensi yang telah ditunjukan oleh keddua subjek,<br />

memperkuat kemampuan resiliensi yang dimiliki<br />

oleh keduanya. Kedua subjek dapat membangun<br />

rasa saling percaya karena memiliki hubungan yang<br />

erat dengan keluarga terdekatnya. Z memiliki<br />

hubungan yang sangat erat dengan Ibunya sehingga<br />

mendapat dorongan kepercayaan diri yang bagus<br />

namun tidak berlebihan . Se<strong>dan</strong>gkan I, memiliki<br />

hubungan yang sangat erat dengan Pamannya,<br />

sehingga walaupun anak perempuan, terlihat sangat<br />

aktif <strong>dan</strong> percaya diri.<br />

Walaupun terka<strong>dan</strong>g kedua subjek ingin<br />

melakukan aktivitas yang lebih banyak seperti anak<br />

– anak lain yang sehat, namun kedua subjek dapat<br />

mengerti akan penyakitnya <strong>dan</strong> bisa menerima hal<br />

tersebut. Z dapat menjelaskan bagaimana penyakit<br />

tersebut datang menghadapi dirinya. Se<strong>dan</strong>gkan I<br />

hanya dapat mengungkapkan apa yang Ia rasakan<br />

tentang penyakit yang ada dalam tubuhnya.<br />

Selain itu, Z mampu bertindak inisiatif <strong>dan</strong><br />

dapat mempengaruhi oleh orang lain atas ide yang<br />

ia keluarkan. Se<strong>dan</strong>gkan I mampu berinisiatif untuk<br />

melakukan kegiatan yang menjadi kesenangan<br />

dirinya sendiri. Z lebih banyak menunjukan<br />

keterampilan di bi<strong>dan</strong>g pendidikan, se<strong>dan</strong>gkan I<br />

lebih banyak menunjukan keterampilan di bi<strong>dan</strong>g<br />

permainan.Walaupun memiliki kelemahan fisik<br />

yang nyata, namun Z selalu optimis <strong>dan</strong> penuh<br />

harapan akan mendapatkan kesembuhan dari<br />

kanker yang dideritanya. Cita – citanya yang tinggi<br />

membangkitkan semangat yang tinggi pula dari


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 28<br />

dalam dirinya. Begitu juga dengan I, walaupun ada<br />

sedikit rasa malu dengan kepala yang botak <strong>dan</strong><br />

matanya yang “berbeda”, namun keceriaan <strong>dan</strong><br />

kepolosannya sebagai seorang anak – anak<br />

menunjukan sikap yakin <strong>dan</strong> percaya bahwa Ia<br />

mampu untuk menghadapi <strong>dan</strong> melewti semua<br />

masalah yang datang menimpa di kehidupannya.<br />

5. Daftar Pustaka<br />

Desmita. (2009). <strong>Psikologi</strong> Perkembangan Peserta<br />

Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.<br />

Dixon-Woods, M. (2005). Rethinking Experiences<br />

of Childhood Cancer: A Multidisciplinary<br />

Approach to Chronic Childhood Illness.<br />

London: Open University Press.<br />

Dong H Kim, Il Y Yoo. (2012). Factor Associated<br />

with Resilience of School Age Children with<br />

Cancer. Journal of Pediatrics and Child Health<br />

, 431-436.<br />

Eiser, C. (2003). Children With Cancer, The<br />

Quality of Life. New Jersey: Lawrence Erlbaum<br />

Associates.<br />

Fromer. (1995). School Reintegration for Children<br />

and Adolescents with Cancer: The Role of<br />

School Psychologist. Psychology in the Schools<br />

, 579-592.<br />

Glover, J. (2009). Bouncing Back : How can<br />

resilience be promoted in vulnerable children<br />

and young people? London: Barnado’s.<br />

Grotberg, E. (2001). Resilience Programs for<br />

Children in Disaster. Ambulatory Child Health 7<br />

, 75-83.<br />

Grotberg, E. (1999). Tapping Your Inner Strength.<br />

Oakland: New Harbinger Publication Inc.<br />

Hawari, D. (2004). Manajemen Stress, Cemas, <strong>dan</strong><br />

Depresi. Jakarta: FKUI.<br />

Helen Herman,MD; Donna E Stewart,MD; Natalia<br />

Diaz-Granados; Elena L Berger; Beth Jackson;<br />

Tracy Yuen. (2011). What Is Resilience? La<br />

Revue Canadienne de Psychiatrie , 258-266.<br />

K. Reivick & A. Shatte. (2002). The Resilience<br />

Factor: 7 Essential Skills for Overcoming Life's<br />

Inevitable Obstacles. New York: Broadway<br />

Books.<br />

Kazak, A. E. (2004). Evidence-Based Interventions<br />

for Survivors of Childhood Cancer and Their<br />

Families. Journal of Pediatric Psychology , 29-<br />

39.<br />

M. Bellin, Kovaks P. (2006). Fostering Resilience<br />

in Sibling o Youthswith a Cronic Health<br />

Condition: A Review of The Literature. London:<br />

National Association of Social Workers.<br />

Maria Hewitt, Susan L. Weiner, Joseph V. Simone.<br />

(2003). Childhood Cancer Survivorship.<br />

Washington D.C.: The National Academies<br />

Press.<br />

Poerwandari, E. K. (2009). Pendekatan Kualitatif<br />

untuk <strong>Penelitian</strong> Perilaku Manusia. Depok:<br />

LPSP3.<br />

Rebecca Siegel; Deepa Naishadham; Ahmedin<br />

Jemal. (2012). Cancer Statistics, 2012. A<br />

Cancer Journal For Clinicians , 10-29.<br />

Sugiyono. (2009). Metode <strong>Penelitian</strong> Kuantitatif,<br />

Kualitatif <strong>dan</strong> R&D. Bandung: Alfabe


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 29<br />

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PENYESUAIAN<br />

PERKAWINAN PADA USIA DEWASA AWAL<br />

Wening Pusparini<br />

Program Studi <strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

ABSTRACT<br />

The objective of this study is to determine the effects of emotional intelligence on marital adjustment in early<br />

adulthood. The study was conducted in South Jakarta. The population of this study is the early adulthood resident of<br />

district Pela Mampang, South Jakarta . Total population is about 500 people and the researchers took 46 people as<br />

the sample in this study because they meet the study requirement.<br />

This study used a quantitative approach. The method used in this study is ex post facto. And the sampling<br />

technique is probability sampling.The type of probability sampling that is used in this study is purposive sampling,<br />

whereas the sampling technique depends on the criteria. Data collection technique used emotional intelligence and<br />

marital adjustment scale. The analytical techniques used in this study is normality test, linear test, and regression<br />

analysis.<br />

Based on the study result, F = 275 912, p = 0.00


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 30<br />

Permasalahan dalam keluarga yang akan<br />

mempengaruhi kondisi psikologis anak hingga<br />

terjadinya perceraian seharusnya dapat ditekan jika<br />

masing-masing pasangan memiliki penyesuaian<br />

perkawinan yang baik. Pentingnya permasalah<br />

penyesuaian perkawinan di masa awal perkawinan<br />

juga telah dikemukakan oleh salah satu tokoh<br />

psikologi perkembangan, yaitu Erikson. Erikson<br />

(1990) menjelaskan bahwa perkawinan merupakan<br />

salah satu cara logis untuk meraih intimacy pada<br />

masa dewasa muda (usia 20 – 40 tahun). Dalam<br />

rentang usia tersebut, manusia akan mengalami<br />

banyak transisi atau perubahan. Perubahan-perubahan<br />

itu yang nantinya akan menuntut dari calon orang tua<br />

suatu sikap <strong>dan</strong> sifat yang ditandai oleh a<strong>dan</strong>ya<br />

kematangan emosional <strong>dan</strong> sosial. Apabila<br />

perubahan-perubahan tersebut tidak disertai dengan<br />

kematangan emosional yang baik maka akan<br />

menimbulkan banyak masalah dalam kehidupan<br />

rumah tangga.<br />

Kecerdasan emosional adalah suatu keajaiban<br />

dalam pemikiran yang memperlihatkan bagaimana<br />

keberhasilan tidak hanya ditentukan berdasarkan<br />

ukuran besar-kecilnya otak seseorang tetapi lebih<br />

kepada gagasan atau pemikiran seseorang dalam<br />

mengamati, memahami dirinya sendiri <strong>dan</strong> interaksi<br />

dengan orang lain (Schwartz, 1997). Kecerdasan<br />

emosi berperan penting dalam melakukan interaksi<br />

kehidupan sehari-hari, terlebih pada interaksi suami-<br />

istri. Kecerdasan emosi juga ditandai oleh<br />

kemampuan dalam membina hubungan dengan orang<br />

lain. Adapun kemampuan ini sangat berguna dalam<br />

membina kehidupan rumah tangga. Berdasarkan<br />

uraian diatas, mendorong peneliti untuk mengadakan<br />

penelitian tentang bagaimana pengaruh kecerdasan<br />

emosional terhadap penyesuaian perkawinan pada<br />

usia dewasa awal.<br />

II.METODE PENELITIAN<br />

Tipe penelitian ini adalah penelitian kuantitatif<br />

dengan desain penelitian survei. Untuk mendapatkan<br />

data yang diinginkan, maka penelitian ini<br />

menggunakan alat ukur berbentuk skala dengan<br />

model skala Likert. Adapun alat ukur yang digunakan<br />

dalam penelitian ini terdiri dari dua buah skala, yaitu<br />

skala kecerdasan emocional <strong>dan</strong> skala penyesuaian<br />

pernikahan. Metode pengumpulan data menggunakan<br />

kuesioner. Kuesioner yang akan digunakan dalam<br />

penelitian ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu;<br />

a) Pengantar: memberikan informasi singkat kepada<br />

subjek mengenai tujuan penelitian <strong>dan</strong> petunjuk<br />

pengisian kuesioner.<br />

b) Form A: berisi data pribadi subjek, yaitu jenis<br />

kelamin, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan,<br />

agama, lama menikah, jumlah <strong>dan</strong> usia anak.<br />

c) Form B: merupakan kuesioner kecerdasan<br />

emosional yang berisi instruksi <strong>dan</strong> pernyataan-<br />

pernyataan mengenai kecerdasan emosional .<br />

d) Form C: merupakan kuesioner penyesuaian<br />

perkawinan yang berisi instruksi <strong>dan</strong> pernyataan-<br />

pernyataan mengenai penyesuaian perkawinan.<br />

Adapun populasi subjek penelitian ini adalah<br />

suami atau istri usia dewasa muda yang berdomisili<br />

di kelurahan Pela Mampang, Jakarta Selatan. Teknik<br />

pengambilan sampel yang digunakan adalah<br />

probability sampling. Jenis probability sampling<br />

yang akan digunakan adalah purposive sampling.<br />

Alat ukur kecerdasan emosional yang digunakan<br />

dalam penelitian ini adalah adaptasi dari BarOn<br />

Emotional Quotient Inventory (BarOn EQ-i) yang<br />

disusun oleh Reuven Bar-On, Ph.D. Peneliti<br />

mengadaptasi BarOn EQ-i versi bahasa Inggris yang<br />

peneliti lihat dalam group report BarOn Emotional<br />

Quotient Inventory oleh Multi-Health Systems. Bar-


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 31<br />

On Emotion Quotient Inventory adalah tes<br />

menyeluruh yang dapat mengklasifikasikan setiap<br />

subjek penelitian ke dalam rentang skor EQ <strong>dan</strong><br />

dapat digunakan dalam banyak keadaan <strong>dan</strong> situasi,<br />

termasuk dalam perusahaan, pendidikan, klinis,<br />

medis, penelitian, <strong>dan</strong> pencegahan.<strong>Pengukuran</strong><br />

kecerdasan emosional dilakukan dengan<br />

menggunakan skala Likert yang terbagi menjadi 6<br />

respon.<br />

Pada penelitian ini penyesuaian perkawinan akan<br />

diukur dengan menggunakan adaptasi Dyadic<br />

Adjustment Scale (DAS). Peneliti mengadaptasi DAS<br />

dari versi Bahasa Inggris. DAS adalah sebuah alat<br />

ukur dengan 32 pernyataan laporan diri. DAS terdiri<br />

dari dyadic consensus, dyadic cohesion, dyadic<br />

satisfaction, <strong>dan</strong> affectional expression. DAS yang<br />

telah diadaptasi oleh peneliti menggunakan skala<br />

Likert dengan 6 kontinum. Setiap jawaban yang<br />

dipilih subjek akan dikonversi ke dalam bentuk angka<br />

<strong>dan</strong> diberi skor 1 hingga 6.<br />

Teknik analisis data yang digunakan dalam<br />

penelitian ini sesuai dengan permasalahan <strong>dan</strong><br />

hipotesis yang ingin diuji yaitu analisis data dengan<br />

menggunakan analisis Regresi Linier Sederhana. Dan<br />

sebelum melakukan pengujian hipotesis, peneliti<br />

melakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas<br />

data <strong>dan</strong> uji linieritas.<br />

III.HASIL PENELITIAN DAN<br />

PEMBAHASAN<br />

Pada Tabel 1 dapat dilihat jumlah subjek<br />

penelitian berdasarkan jenis kelamin adalah 28 orang<br />

berjenis kelamin wanita (60,86 %) <strong>dan</strong> 18 orang<br />

berjenis kelamin pria (39,13 %), maka dapat dilihat<br />

bahwa jumlah subjek penelitian wanita lebih banyak<br />

dibanding jumlah subjek penelitian pria.<br />

1: Jenis Kelamin<br />

Jenis Kelamin F %<br />

Pria 18 39,13<br />

Wanita 28 60,86<br />

Tabel 2 menunjukkan persentase usia subjek<br />

penelitian yang sebagian besar berkisar antara 26-30<br />

tahun, yaitu sebesar 63,63 %.<br />

2: Usia<br />

Usia<br />

(dalam tahun)<br />

F %<br />

21 – 25 11 23,91<br />

26 – 30 30 65,21<br />

31 – 35 4 8,69<br />

36 – 40 1 2,17<br />

Pada Tabel 3 menunjukkan sebagian besar<br />

subjek penelitian dengan jumlah 21 orang<br />

berpendidikan hingga jenjang SMA/SMK/sederajat<br />

(45,65%) se<strong>dan</strong>gkan diurutan berikutnya, sebanyak<br />

17 orang berpendidikan hingga jenjang S-1 (36,95%)<br />

kemudian sebanyak 5 orang berpendidikan hingga<br />

jenjang Diploma (10,86%) <strong>dan</strong> 3 orang<br />

berpendidikan hingga jenjang S-2 (6,52%).<br />

3: Pendidikan Terakhir<br />

Pendidikan f %<br />

SMA/SMK/sederajat 21 45,65<br />

Diploma 5 10,86<br />

S-1 17 36,95<br />

S-2 3 6,52<br />

S-3 - 0<br />

Pada Tabel 4 dapat dilihat sebagian besar subjek<br />

penelitian bekerja sebagai ibu rumah tangga <strong>dan</strong><br />

karyawan swasta. Kedua jenis pekerjaan ini memiliki<br />

jumlah yang lebih banyak dibanding dengan jenis<br />

pekerjaan lainnya, yakni masing-masing sebanyak 15<br />

orang (32,60%).


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 32<br />

4: Pekerjaan<br />

Pekerjaan F %<br />

Ibu Rumah<br />

Tangga<br />

15 32,60<br />

Mahasiswa 1 2,17<br />

Wiraswasta 5 10,86<br />

Perawat 1 2,17<br />

Guru 5 10,86<br />

Karyawan<br />

Swasta<br />

15 32,60<br />

PNS 4 8,69<br />

Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui bahwa<br />

sebagian besar dari populasi sampel memiliki<br />

penghasilan diatas Rp. 2.000.000 atau dapat<br />

dikategorikan menengah keatas.<br />

5: Penghasilan<br />

Penghasilan f %<br />

< Rp. 300.000 2 4,34<br />

Rp. 300.001 – Rp.<br />

500.000<br />

1 2,17<br />

Rp. 500.001 – Rp.<br />

800.000<br />

0 0<br />

Rp. 800.001 – Rp.<br />

1.000.000<br />

5 10,86<br />

Rp. 1.000.001 – Rp.<br />

2.000.000<br />

15 32,60<br />

> Rp. 2.000.000 23 50<br />

Pada tabel 6, diperlihatkan bahwa sebagian<br />

besar subjek penelitian dalam penelitian ini beragama<br />

Islam, yakni sebanyak 44 orang (95,65%), lainnya<br />

beragama Kristen Protestan sebanyak 2 orang<br />

(4,34%).<br />

6: Agama<br />

Agama F %<br />

Islam 44 95,65<br />

Kristen<br />

Protestan<br />

2 4,34<br />

Katolik 0 0<br />

Hindu 0 0<br />

Buddha 0 0<br />

Pada tabel 7, sebagian besar subjek penelitian<br />

yakni sebanyak 24 orang (52,17%) sudah menjalani<br />

perkawinan dalam rentang waktu antara 1-2 tahun.<br />

7: Usia Perkawinan<br />

Usia Perkawinan<br />

(dalam tahun)<br />

F %<br />

1 – 2 24 52,17<br />

3 – 4 13 28,26<br />

5 – 6 3 6,52<br />

7 – 8 5 10,86<br />

9 – 10 1 2,17<br />

Pada tabel 8, dapat dilihat subjek penelitian<br />

dalam penelitian ini sebanyak 35 orang sudah<br />

memiliki anak (76,08) <strong>dan</strong> sebanyak 11 orang belum<br />

memiliki anak (23,91).<br />

8: Kepemilikan Anak<br />

Memiliki Anak F %<br />

Ya 35 76,08<br />

Tidak 11 23,91<br />

Data mengenai kecerdasan emosional diperoleh<br />

melalui kuesioner yang berupa skala kecerdasan<br />

emosional dari 80item <strong>dan</strong> diisi oleh 46 subjek<br />

penelitian. Dari hasil penelitian <strong>dan</strong> pengolahan data<br />

diperoleh skor minimum adalah 300 <strong>dan</strong> skor<br />

maksimum adalah 439. Skor rata-rata (mean)<br />

kecerdasan emosional adalah 366,85 <strong>dan</strong> standar<br />

deviasinya adalah 32,148.<br />

Diagram Batang Kecerdasan Emosional<br />

Berdasarkan tabel 9, terlihat bahwa subjek<br />

penelitian yang memiliki kecerdasan emosional<br />

tinggi adalah subjek penelitian dengan kriteria


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 33<br />

perempuan, usia 26-30 tahun, berpendidikan S-1,<br />

pekerjaan karyawan swasta, penghasilann<br />

>Rp.2.000.000, usia perkawinan antara 1-2 tahun <strong>dan</strong><br />

sudah memiliki anak.<br />

9. Skor Kecerdasan Emosional Tertingi <strong>dan</strong><br />

Terendah Berdasarkan Kriteria Tertentu<br />

Skor<br />

Kecerdasan<br />

Emosional<br />

Tinggi<br />

(>382)<br />

Jenis Perempuan<br />

Kelamin (11 orang)<br />

Usia 26 – 30<br />

tahun<br />

(9 orang)<br />

Pendidikan S-1<br />

(14 orang)<br />

Pekerjaa<br />

n<br />

Karyawan<br />

Swasta<br />

(9 orang)<br />

Penghasilan >Rp.2.000.00<br />

0<br />

(10 orang)<br />

Usia 1-2 tahun<br />

Perkawinan (9 orang)<br />

Kepemilikan<br />

Anak<br />

Ya<br />

(14 orang)<br />

Skor Kecerdasan<br />

Emosional Rendah<br />

(125)<br />

Jenis Perempuan<br />

Kelamin (8 orang)<br />

Usia 31 – 35<br />

tahun<br />

(4 orang)<br />

Pendidikan S-1<br />

(8 orang)<br />

Pekerjaa<br />

n<br />

Karyawan<br />

Swasta<br />

(4 orang)<br />

Penghasilan >Rp.2.000.00<br />

0<br />

(7 orang)<br />

Usia 1-2 tahun<br />

Perkawinan (5 orang)<br />

Kepemilikan<br />

Anak<br />

Ya<br />

(8 orang)<br />

Skor Penyesuaian<br />

Perkawinan<br />

Rendah (Rp.2.000.000, usia perkawinan antara 1-2 tahun <strong>dan</strong><br />

sudah memiliki anak.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 34<br />

Dari hasil pengujian normalitas diperoleh dari<br />

perhitungan dengan menggunakan uji Chi-Square.<br />

Dengan menggunnakan SPSS 20 diperoleh nilai p<br />

pada variabel kecerdasan emosional sebesar 0,816<br />

se<strong>dan</strong>gkan nilai p pada variabel penyesuaian<br />

perkawinan sebesar 0,482. jika dibandingkan dengan<br />

alpha yaitu 0.05 maka kedua penelitian ini dapat<br />

dikatakan berasal dari sampel yang berdistribusi<br />

normal karena p>0.05.<br />

Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan<br />

SPSS 20 dengan taraf signifikansi sebesar 0.05.<br />

Kedua variabel dikatakan memiliki hubungan yang<br />

linear apabila hasil uji linearitasnya menunjukan hasil<br />

p


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 35<br />

tinggi. Apabila tingkat kecerdasan emosional rendah<br />

maka penyesuaian perkawinan juga ikut rendah.<br />

IV.KESIMPULAN<br />

<strong>Penelitian</strong> ini mengkaji masalah pengaruh antara<br />

kecerdasan emosional terhadap penyesuaian<br />

perkawinan pada usia usia dewasa awal. Berdasarkan<br />

hasil penelitian, terdapat pengaruh yang signifikan<br />

antara kecerdasan emosional terhadap penyesuaian<br />

perkawinan pada usia dewasa awal. Pengaruh<br />

kecerdasan emosional terhadap penyesuaian<br />

perkawinan sebesar 85,9% se<strong>dan</strong>gkan sisanya<br />

dipengaruhi oleh faktor lain.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Agustian, Ari Ginanjar. (2001). Rahasia Sukses<br />

Membangun Kecerdasan Emosi <strong>dan</strong> Spiritual<br />

(ESQ, Emotional Spiritual Quotient). Jakarta:<br />

Arga.<br />

Anastasi, A. (1982). Psychological Testing. 7 th<br />

edition. New York: MacMillan Publishing<br />

Co., Inc.<br />

An<strong>dan</strong>inggar, A. (2009). Hubungan antara pilihan<br />

genre buku fiksi favorit <strong>dan</strong> kecerdasan<br />

emosional pada dewasa muda. Skripsi (tidak<br />

diterbitkan). Depok: Fakultas <strong>Psikologi</strong><br />

Universitas Indonesia.<br />

Anjani, Cinde & Suryanto. (2006). Pola penyesuaian<br />

perkawinan pada periode awal. <strong>Jurnal</strong> Ilmiah.<br />

Semarang: Universitas Airlangga.<br />

Anonim. (2010). Modul Pelatihan SPSS Statistik.<br />

Pusat Pengembangan Teknologi Informasi<br />

Universitas Negeri Jakarta, h.22-64.<br />

Azwar, Saifuddin. (2008). Penyusunan Skala<br />

<strong>Psikologi</strong>. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />

Bharwaney,Geetu., Bar-On, Reuven., and<br />

MacKinlay, Adele (2007). EQ and the Bottom<br />

Line: Emotional Intelligence Increases<br />

Individual Occupational Performance,<br />

Leadership and Organisational Productivity.<br />

United Kingdom: Ei World.<br />

Brown, Shelley and Ivonne. (2004). A review of the<br />

emocional intelligence literature and<br />

implications for corrections. Canada:<br />

correctional service of Canada.<br />

Emzir. (2007). Metodologi <strong>Penelitian</strong> Pendidikan.<br />

Jakarta: Rajawali Press.<br />

Goleman, Daniel. (2002). Mengapa EI lebih penting<br />

daripada IQ. Jakara: PT.Gramedia Pustaka<br />

Utama.<br />

Goleman, Daniel. (2003). Kecerdasan Emosi untuk<br />

Mencapai Puncak Prestasi, Jakarta: PT.<br />

Gramedia Pustaka Utama.<br />

Gottman, John. (2001). Kiat-kiat Membesarkan Anak<br />

yang Memiliki Kecerdasan Emosional<br />

(terjemahan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka<br />

Utama.<br />

Hurlock, E.B. (2002). <strong>Psikologi</strong> Perkembangan 5 th<br />

edition. Jakarta: Erlangga.<br />

Safitri, A. (2008). Hubungan antara resolusi konflik<br />

dengan penyesuaian perkawinan pada dewasa<br />

muda. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok:<br />

Facultas <strong>Psikologi</strong> Universitas Indonesia.<br />

Sampoerno, Does <strong>dan</strong> Azwar, Azrul. (1987).<br />

Perkawinan <strong>dan</strong> Kehamilan pada wanita usia


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 36<br />

muda “Early Age of Marriage and Pregnancy<br />

among Women in Indonesia”. Jakarta: Ikatan<br />

Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (The<br />

Indonesian Public Health Association).<br />

Santrock, J. W. (1995). Life – Span Development<br />

Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Penerbit<br />

Erlangga.<br />

Saphiro, Lawrence. E. (1997). Mengajarkan<br />

Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta :<br />

PT Gramedia Pustaka Utama.<br />

Spanier, Graham. (1976). Measuring Dyadic<br />

Adjustment: New Scale for Assessing the<br />

Quality of Marriage and Similar Dyads. The<br />

Pennsylvania State University.<br />

Sri, Lanawati. (1999). Hubungan Antara Emotional<br />

Intelligence <strong>dan</strong> Intelektual Quetion dengan<br />

Prestasi Belajar Siswa SMU.Tesis Master :<br />

Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas Indonesia.<br />

Sukardi. (2003). Metodologi <strong>Penelitian</strong> Pendidikan.<br />

Yogyakarta: Penerbit Bumi Aksara.<br />

Wahyuningsih, Hepi. (2005). Penyesuaian<br />

Perkawinan Pasangan Suami-Istri Dewasa<br />

Muda Ditinjau dari Kecerdasan Emosional<br />

<strong>dan</strong> Umur Perkawinan. <strong>Jurnal</strong> Ilmiah.<br />

Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.<br />

3007 istri di Jakarta Selatan gugat cerai suami. (12<br />

Juni 2012). Kompasiana. Diambil dari<br />

http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/06<br />

/12/3007-istri-di-jak-sel-gugat-cerai-suami/


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 37<br />

EFEKTIFITAS PENERAPAN HYPNOBIRTHING DALAM<br />

MENURUNKAN TINGKAT KECEMASAN IBU HAMIL<br />

TRIMESTER TIGA MENJELANG PERSALINAN ANAK<br />

PERTAMA DI USIA DEWASA AWAL<br />

Kamilia Asmarany<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jl. Halimun No. , Jakarta<br />

E-mail: asmaranykamilia@gmail.com<br />

Abstract<br />

The aim of this study is to find the influence of hypnobirthing method to decrease level’s<br />

of anxiety of early adult women’s confinement . The research was held in Ningsih Midwife’s from<br />

March until June 2012. This research used experimental research method which is kind of quasi<br />

experiment with one-group pre-posttest design. Analysis obtainded using the Wilcoxon test z = -<br />

3.061 , p = 0.002 < 0.05 (significant), meaning that there are significant differences in before and<br />

after hypnobirthing. From these results it was found that there are significant difference between<br />

groups of measurements before. Based on the results of this analysis, the hypothesis of this study<br />

is acceptable. This research’s hypothesis is hypnobirthing method effective to reduce anxiety in<br />

the first child labour in early adult mother. The implication of this research is hypnobirthing<br />

method can decrease the pregnant women’s level of anxiety towards confinement and easy to be<br />

executed. This method can be applied not only at midwife but also in pregnant women by her self..<br />

Keywords: anxiety, hypnobirthing method, early adult mother<br />

1. Pendahuluan<br />

Kehamilan adalah suatu keajaiban<br />

sekaligus amanat dari Allah SWT.<br />

Hendaknya setiap wanita merasa<br />

bersyukur atas kehamilan tersebut karena<br />

tidak semua wanita dapat merasakan<br />

kehadiran seorang janin di dalam<br />

rahimnya. Selama sembilan bulan wanita<br />

akan merasakan kehidupan bayi di dalam<br />

rahimnya <strong>dan</strong> harus menjaganya serta<br />

saling berbagi dalam berbagai hal karena<br />

sesungguhnya rahim (berasal dari bahasa<br />

Arab) berarti kasih <strong>dan</strong> sayang.<br />

Kelembutan, kasih, <strong>dan</strong> sayang sangat<br />

dibutuhkan selama proses kehamilan<br />

sehingga anak lahir dengan penuh<br />

kebaikan.<br />

Bagi beberapa wanita, kehamilan<br />

merupakan hal yang dapat membawa<br />

kebahagian sekaligus sebuah kecemasan.<br />

Dikatakan membawa kebahagiaan<br />

karena kehamilan merupakan suatu<br />

peristiwa <strong>dan</strong> pengalaman yang sangat<br />

penting dalam hidup seorang wanita<br />

dimana ia telah merasa menjadi seorang<br />

wanita secara utuh. Dikatakan<br />

kecemasan karena merasa cemas apa<br />

yang akan terjadi pada diri <strong>dan</strong> bayinya<br />

saat proses persalinan. Pada umumnya,<br />

kehamilan pertama memiliki lebih<br />

banyak masalah psikologis dibandingkan<br />

ibu yang hamil anak kedua <strong>dan</strong><br />

setelahnya. Wanita yang hamil untuk<br />

pertama kali dibandingkan dengan<br />

wanita yang telah hamil sebelumnya<br />

menunjukan kecemasan yang lebih pada<br />

diri <strong>dan</strong> bayinya serta timbulnya<br />

perasaan mudah tersinggung <strong>dan</strong> merasa<br />

tegang (Erickson dalam Williams, 1996).


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 38<br />

Ibu hamil pertama tidak jarang memiliki<br />

pikiran yang mengganggu karena a<strong>dan</strong>ya<br />

reaksi kecemasan terhadap cerita yang<br />

diperolehnya tentang proses persalinan.<br />

Hampir semua orang selalu mengatakan<br />

bahwa melahirkan itu sakit sekali. Oleh<br />

karena itu, muncul rasa cemas pada ibu<br />

hamil pertama yang belum memiliki<br />

pengalaman bersalin.<br />

Pan<strong>dan</strong>gan lain mengatakan bahwa<br />

pada usia kandungan tujuh bulan ke atas,<br />

tingkat kecemasan ibu hamil semakin<br />

menjadi <strong>dan</strong> intensif seiring dengan<br />

mendekatnya kelahiran bayi pertamanya.<br />

Di samping itu, trimester ini merupakan<br />

masa riskan terjadinya kelahiran bayi<br />

prematur sehingga menyebabkan<br />

tingginya kecemasan pada ibu hamil.<br />

Secara hormonal, kecemasan dapat<br />

disebabkan karena a<strong>dan</strong>ya penurunan<br />

hormon endorfin. Hormon endorfin<br />

adalah hormon yang secara alami<br />

diproduksi oleh tubuh <strong>dan</strong> berfungsi<br />

sebagai analgesik alami. Menurut<br />

penelitian dalam Batbual (2010),<br />

endorfin memikili kekuatan 200 kali<br />

lipat dari pada morfin. Peningkatkan<br />

produksi endorfin dapat diperoleh<br />

dengan menciptakan kondisi tenang pada<br />

tubuh<br />

Selama kehamilan, wanita<br />

merasakan perubahan-perubahan baik<br />

secara fisik <strong>dan</strong> psikis yang terjadi akibat<br />

dari perubahan hormon. Perubahan fisik<br />

terlihat jelas dengan meningkatnya bobot<br />

tubuh <strong>dan</strong> beberapa sistem kerja organ<br />

tubuh serta hormon yang dihasilkan<br />

tubuh se<strong>dan</strong>gkan perubahan psikis<br />

adalah efek dari perubahan hormonal<br />

sehingga mempengaruhi emosi seperti<br />

lebih sensitif. Selama hamil, wanita juga<br />

membutuhkan dukungan emosional dari<br />

pasangan serta orang-orang terdekat<br />

untuk beradaptasi terhadap kehamilan<br />

<strong>dan</strong> menyiapkan dirinya untuk berperan<br />

menjadi seorang ibu.<br />

Pada beberapa wanita, kegelisahan<br />

<strong>dan</strong> ketidaknyamanan fisik pada minggumingu<br />

terakhir masa kehamilan<br />

ditampilkan dengan meningkatknya<br />

aktifitas hingga hampir tidak pernah<br />

tinggal diam. Hal ini dirangsang dari<br />

dorongan-dorongan untuk “melupakan”<br />

keresahan hatinya. Akibatnya adalah<br />

memperlambat kelahiran bayinya,<br />

perpanjangan dari masa kehamilan, <strong>dan</strong><br />

kelahiran bayi menjadi tertunda<br />

disebabkan masalah psikis berupa<br />

kegelisahan hati <strong>dan</strong> keinginan mau<br />

cepat-cepat melahirkan (Kartono, 1992).<br />

Dalam sebuah penelitian oleh Jatmika<br />

(1999) menunjukan bahwa lama<br />

persalinan kala I memiliki hubungan<br />

yang signifikan dengan tingkat<br />

kecemasan saat proses persalinan.<br />

Semakin tinggi tingkat kecemasan maka<br />

semakin lama persalinan kala I.<br />

Rasa takut akan menghalangi<br />

proses persalinan karena ketika tubuh<br />

manusia mendapatkan sinyal rasa takut,<br />

tubuh akan mengaktifkan pusat siaga <strong>dan</strong><br />

pertahanan. Perubahan psikologis pada<br />

masa kehamilan yang tidak dapat<br />

ditangani oleh calon ibu umumnya akan<br />

menyebabkan terjadinya kecemasan pada<br />

calon ibu. Dilihat dari segi psikologis,<br />

persalinan merupakan suatu kejadian<br />

penuh dengan stres yang menyebabkan<br />

peningkatan rasa nyeri, takut <strong>dan</strong> cemas.<br />

Menurut Batbual (2010), dalam ilmu<br />

kedokteran, rasa nyeri merupakan suatu<br />

hubungan kompleks antara berbagai<br />

macam faktor fisik <strong>dan</strong> psikis.<br />

Menurut Dr. Tb Erwin Kusuma,<br />

SpKj (dalam Aprilia, 2011), rasa cemas<br />

pada banyak orang dewasa sekarang<br />

adalah akibat dari rekaman getaran<br />

mereka sejak dalam kandungan. Pada<br />

kenyataannya bayi dalam kandungan<br />

perlu mendapatkan ketenangan <strong>dan</strong><br />

kedamaian dari ibunya. Kecemasan <strong>dan</strong><br />

stress yang berlebihan pada saat hamil<br />

sama dengan ibu hamil perokok.<br />

Keadaan tersebut bisa mengakibatkan<br />

bayi lahir prematur, kesulitan belajar,<br />

anak menjadi hiperaktif atau bahkan<br />

mengalami autisme, se<strong>dan</strong>gkan bagi ibu<br />

akan mengakibatkan kadar hormon<br />

prognanolone dalam tubuh tidak<br />

mencukupi.<br />

Ibu hamil yang sering kali merasa<br />

khawatir bahkan stres memiliki<br />

kecenderungan untuk melahirkan bayi<br />

prematur. Selain itu, efek dari rasa<br />

cemas tersebut dapat membuat bayi saat<br />

lahir memiliki berat ba<strong>dan</strong> tubuh


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 39<br />

persalinan dengan pembedahan lebih<br />

banyak dipilih oleh ibu hamil sebagai<br />

cara persalinan.<br />

Berikut adalah beberapa cerita atau<br />

pengalaman dari ibu yang mengalami<br />

kecemasan menjelang persalinan<br />

berdasarkan hasil wawancara:<br />

“Saya lebih memilih proses operasi<br />

karena dari pengalaman <strong>dan</strong> cerita yang<br />

saya dengar percuma aja udah sampe<br />

pembukaan delapan <strong>dan</strong> sakit-sakit tapi<br />

akhirnya harus tetap di operasi juga.” -<br />

Fairus-<br />

“Saya takut buta karena sehabis<br />

melahirkan mata teman saya menjadi<br />

sangat merah <strong>dan</strong> bengkak. Waktu saya<br />

tanya kenapa, katanya saat dia mengejan<br />

dia sempat memejamkan mata sehingga<br />

pembuluh mata nya putus. “ -Lilis<br />

Setiawaty-<br />

“Saya dengar cerita dari keluarga<br />

saya yang udah pernah melahirkan<br />

sakitnya pas dijahit sangat menyiksa<br />

selain itu bisa bikin vagina menjadi<br />

lebar. Saya gak mau bikin kecewa suami<br />

saya.” –Ria-<br />

Dari pernyataan di atas, terlihat<br />

bahwa untuk beberapa wanita<br />

melahirkan secara alami atau normal<br />

adalah hal yang menakutkan sehingga<br />

dapat menimbulkan kecemasan. Efek<br />

dari rasa cemas <strong>dan</strong> stres saat ibu hamil<br />

tersebut akan mempengaruhi jiwa ibu<br />

<strong>dan</strong> bayi dalam kandungannya. Secara<br />

psikologis, ibu yang tidak tenang dapat<br />

menurunkan kondisi tersebut kepada<br />

bayi sehingga bayi akan menjadi mudah<br />

merasa gelisah <strong>dan</strong> berdampak pada<br />

kesehatannya. Hal ini terjadi karena apa<br />

yang tertanam dalam pikiran ibu akan<br />

tertanam pula pada bayi lewat hubungan<br />

batin yang kuat antara ibu <strong>dan</strong> bayi.<br />

Akibatnya, proses persalinan secara<br />

alami atau normal pun semakin kurang<br />

diminati oeh ibu hamil karena pikiran<br />

akan rasa sakit <strong>dan</strong> nyeri saat proses<br />

persalinan. Oleh karena itu, dibutuhkan<br />

cara untuk mengatasi rasa nyeri saat<br />

proses persalinan.<br />

Saat ini, terdapat berbagai macam<br />

cara mengatasi rasa nyeri untuk proses<br />

persalinan baik secara farmakologis atau<br />

menggunakan obat maupun nonfarmakologis<br />

atau tanpa obat-obatan.<br />

Cara-cara farmakologis adalah<br />

penggunaan obat-obatan seperti<br />

penggunaan analgesia yaitu berupa<br />

cairan yang dimasukan ke dalam tubuh<br />

sehingga tidak merasakan nyeri atau<br />

kontraksi. Pada kenyataannya,<br />

penggunaan analgesia memiliki dampak<br />

negatif seperti depresi, gangguan<br />

pernapasan ibu maupun janin, mual,<br />

muntah hingga ketergantungan<br />

(Twycross,1994, dalam Batbual, 2010).<br />

Adapun cara non-farmakologis yaitu<br />

dengan cara mengurangi hingga<br />

menghilangkan nyeri tanpa penggunaan<br />

obat-obatan sehingga efek negatif dapat<br />

dihindari. Cara non-farmakologis yang<br />

sering digunakan saat ini seperti terapi<br />

manual dengan sentuhan, terapi musik,<br />

air, relaksasi, <strong>dan</strong> hypnobirthing.<br />

Pada tahun 1914, Dr. Grantly<br />

Dick-Read, seorang dokter Inggris<br />

mengemukakan bahwa rasa sakit pada<br />

proses bersalin timbul dari rasa takut.<br />

Untuk menghilangkan rasa takut<br />

tersebut, ia menyarankan persalinan<br />

alami (natural childbirth); mendidik para<br />

wanita dengan psikologi reproduksi <strong>dan</strong><br />

melatih mereka dengan latihan fisik,<br />

pernapasan, <strong>dan</strong> relaksasi pada saat<br />

persalinan <strong>dan</strong> kelahiran (Papalia, Old,<br />

<strong>dan</strong> Feldman, 2008).<br />

Seperti yang telah dijelaskan diatas<br />

bahwa untuk mengurangi kecemasan saat<br />

ini terdapat beberapa metode <strong>dan</strong> salah<br />

satunya adalah metode yang<br />

menggunakan hipnosis. Penggunaan<br />

hipnosis dalam menangani kecemasan<br />

menghadapi persalinan merupakan<br />

metode yang sangat terkenal di Amerika<br />

Serikat, <strong>dan</strong> telah menjadi bi<strong>dan</strong>g kajian<br />

tersendiri yang telah teruji<br />

keilmiahannya. Konsep hipnotis yang<br />

khusus di berlakukan pada ibu hamil,<br />

popular dengan sebutan hypnostetri atau<br />

hypnobirthing. Hypnobirthing<br />

merupakan metode untuk mencapai<br />

relaksasi mendalam, menggunakan pola<br />

pernapasan lambat, fokus, tenang <strong>dan</strong><br />

dalam keadaan sadar sepenuhnya.<br />

Di Indonesia, hypnobirthing belum<br />

cukup banyak diketahui oleh orangorang<br />

karena kurangnya sosialisasi<br />

terutama ke rumah sakit <strong>dan</strong> rumah<br />

bersalin. Lanny Kuswandi, seorang bi<strong>dan</strong><br />

<strong>dan</strong> Dr. Tb Erwin Kusuma, SpKj,<br />

merupakan orang yang mengembangkan<br />

metode hypnobirthing di Indonesia.<br />

Dalam mengembangkan metode


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 40<br />

hypnobirthing, diadakan pelatihanpelatihan<br />

untuk bi<strong>dan</strong> maupun perawat<br />

untuk mempelajari metode<br />

hypnobirthing akan tetapi biaya untuk<br />

mengikuti pelatihan hypnobirthing yang<br />

cukup mahal mengakibatkan tidak semua<br />

dapat mengikuti pelatihan tersebut.<br />

Hypnobirthing memiliki<br />

keunggulan dibandingkan metodemetode<br />

lain karena tidak membutuhkan<br />

peralatan yang sulit <strong>dan</strong> biaya yang<br />

terjangkau. Selain itu, hypnobirthing<br />

banyak memberikan manfaat karena<br />

melatih ibu hamil untuk selalu rileks,<br />

bersikap tenang <strong>dan</strong> menstabilkan emosi.<br />

Hypnobirthing bertujuan agar ibu<br />

merasa tenang sejak masa kehamilan<br />

sehingga dapat melahirkan dengan<br />

nyaman <strong>dan</strong> menghilangkan rasa sakit<br />

melahirkan tanpa bantuan obat bius<br />

apapun <strong>dan</strong> tidak ketergantungan<br />

terhadap obat kimia. Metode ini juga<br />

lebih menekankan melahirkan dengan<br />

cara menanamkan pikiran positif,<br />

lembut, aman <strong>dan</strong> bagaimana menjalani<br />

proses persalinan dengan mudah.<br />

Keunggulan lain yang dimiliki<br />

metode hypnobirthing adalah ibu hamil<br />

akan dilatih untuk menanamkan pikiran<br />

positif <strong>dan</strong> melakukan hipnosis diri atau<br />

self-hypnosis sehingga tidak<br />

membutuhkan pendamping setelah<br />

diberikan beberapa bimbingan di awal.<br />

Relaksasi yang mendalam, pemusatan<br />

perhatian (fokus), <strong>dan</strong> hipnosis berguna<br />

untuk lebih banyak memasukkan<br />

pemahaman kepada alam bawah sadar<br />

sehingga tindakan akan lebih banyak<br />

dipengaruhi oleh alam bawah sadar<br />

dibandingkan dengan alam sadar.<br />

Beberapa penelitian membuktikan<br />

bahwa metode hipnosis dapat<br />

meminimalkan <strong>dan</strong> bahkan<br />

menghilangkan rasa takut, ketegangan,<br />

sindrom rasa sakit <strong>dan</strong> kepanikan selama<br />

proses persalinan serta periode<br />

setelahnya sehingga tidak menjadi truma<br />

pasca persalinan dibandingkan dengan<br />

metode lain seperti aromaterapi,<br />

akupuntur, audio-analgesia, <strong>dan</strong> pijatan<br />

(Smith et, al, 2006). <strong>Penelitian</strong> lain yang<br />

dilakukan oleh Cyna et,al (2006)<br />

membuktikan bahwa metode hipnosis<br />

metode sederhana efektif untuk<br />

mengurangi penanganan dengan obatobatan<br />

kimia saat persalinan <strong>dan</strong><br />

menghemat pengeluaran dalam<br />

perawatan saat persalinan <strong>dan</strong><br />

setelahnya. <strong>Penelitian</strong> yang dilakukan<br />

oleh mahasiswa kedokteran di Surakarta<br />

menunjukan bahwa metode<br />

hypnobirthing memiliki pengaruh yang<br />

positif <strong>dan</strong> signifikan dalam mengurangi<br />

tingkat kecemasan <strong>dan</strong> lama proses<br />

persalinan.<br />

Berdasarkan teori-teori tersebut<br />

maka hipotesis yang diajukan dalam<br />

penelitian ini adalah penerapan metode<br />

hypnobirthing efektif dalam<br />

menurunkan tingkat kecemasan<br />

menjelang persalinan anak pertama pada<br />

ibu usia dewasa awal.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Tipe penelitian ini adalah<br />

eksperimen yaitu jenis kuasi eksperimen<br />

karena dalam penelitian ini tidak ada<br />

kelompok kontrol <strong>dan</strong> desainnya adalah<br />

One Group Pretest-Postest Design.<br />

Variabel tergantung dalam penelitian ini<br />

adalah kecemasan menjelang persalinan<br />

anak pertama, yaitu respon yang muncul<br />

pada ibu hamil trimester tiga menjelang<br />

persalinan pertama yang penyebabnya<br />

tidak diketahui. Variabel bebas adalah<br />

hypnobirthing yang merupakan sebuah<br />

metode baru yang menggunakan self<br />

hypnosis <strong>dan</strong> bertujuan untuk membuat<br />

ibu hamil menikmati kehamilannya<br />

hingga masa persalinan dengan nyaman,<br />

aman, <strong>dan</strong> tenang.<br />

Subjek penelitian ini adalah ibu<br />

hamil usia trimester tiga yang akan<br />

menghadapi persalina anak pertama.<br />

Jumlah subjek dalam penelitian ini<br />

sebanyak 12 orang. Teknik yang<br />

digunakan dalam mengambil subjek<br />

adalah dengan purposive sampling, yaitu<br />

karakteristik subjek telah ditentukan<br />

sesuai tujuan penelitian. Adapun<br />

karakteristi-karakteristiknya adalah: (1)<br />

usia kehamilan >7 bulan (28 minggu) ;<br />

(2) kehamilan anak pertama; (3)<br />

pendidikan minimal SMA/SMK; (4)<br />

berusia 20-30 tahun; (5) kondisi<br />

kehamilan sehat tanpa kelainan medis;<br />

(6) mengalami kecemasan berdasarkan<br />

hasil wawancara pendahuluan.<br />

Sebelum memberikan perlakuan,<br />

peneliti terlebih dahulu melakukan<br />

wawancara pendahuluan untuk survei<br />

terhadap 40 orang ibu hamil untuk<br />

memperoleh gambaran tentang<br />

kecemasan yang dirasakan ibu hamil<br />

terutama yang berkaitan dengan proses


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 41<br />

persalinan anak pertama yang akan<br />

dihadapi. Setelah mendapatkan hasil<br />

tersebut, peneliti menentukan subjek<br />

yang akan dipilih untuk mengikuti<br />

penelitian ini. Skala kecemasan<br />

menjelang persalinan anak pertama<br />

berdasarkan teori gejala kecemasan dari<br />

Maramis (1980) yang membedakan<br />

gejala kecemasan menjadi empat<br />

komponen yaitu komponen psikologis,<br />

komponen somatik, komponen koginitif,<br />

<strong>dan</strong> komponen motorik. Skala terdiri dari<br />

empat pilihan jawaban yang diberikan<br />

sebelum diberikan perlakuan (pretest)<br />

<strong>dan</strong> diberikan kembali setelah subjek<br />

mendapatkan perlakuan hypnobirthing<br />

(posttest). Selain itu, digunakan<br />

kuesioner data diri untuk memperoleh<br />

identitas diri subjek penelitian <strong>dan</strong><br />

beberapa data dari kuesioner digunakan<br />

sebagai data variabel yang akan<br />

dikontrol. Pelaksanaan hypnobirthing<br />

diberikan oleh tenaga profesional yang<br />

sudah sering memberikan kelas<br />

hypnobirthing.<br />

Analisis statistik yang digunakan<br />

adalah analisis statistik uji dua sampel<br />

yang berhubungan yaitu analisis<br />

perbedaan skor kecemasan sebelum<br />

mendapat perlakuan <strong>dan</strong> setelah<br />

mendapat perlakuan , yaitu dengan Uji<br />

Wilcoxon.<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

Hasil analisis statistik dengan uji<br />

Wilcoxon menunjukan a<strong>dan</strong>ya perbedaan<br />

kecemasan menjelang persalinan anak<br />

pertama sebelum diberikan<br />

hypnobirthing <strong>dan</strong> setelah diberikan<br />

perlakuan hypnobirthing.<br />

Tabel 1 Hasil analisis uji Wilcoxon<br />

Nilai Z Signifikansi<br />

Sesudah -3.061 0.002<br />

Sebelum<br />

Berikut adalah perubahan tingkat<br />

kecemasan ibu hamil trimester tiga<br />

menjelang persalinan anak pertama<br />

sebelum mendapatkan perlakuan<br />

hypnobirthing (pretest) <strong>dan</strong> setelah<br />

mendapatkan perlakuan hypnobirthing<br />

(posttest).<br />

200<br />

190<br />

180<br />

170<br />

160<br />

150<br />

140<br />

130<br />

120<br />

110<br />

100<br />

90<br />

Pretest<br />

Posttest<br />

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12<br />

Gambar 1 Skor Pretest <strong>dan</strong> Posttest<br />

Kecemasan Menjelang Persalinan Anak<br />

Pertama<br />

Hipotesis yang berbunyi penerapan<br />

metode hypnobirthing efektif dalam<br />

menurunkan tingkat kecemasan menjelang<br />

persalinan anak pertama pada ibu usia<br />

dewasa awal diterima.<br />

Tingkat kecemasan subjek penelitian<br />

sebelum diberikan perlakuan hypnobirthing<br />

berada di kategori tinggi sebanyak empat<br />

orang <strong>dan</strong> kategori se<strong>dan</strong>g delapan orang.<br />

Setelah diberikan perlakuan hypnobirthing,<br />

seluruh subjek berada di kategori se<strong>dan</strong>g<br />

dengan perubahan skor kecemasan yang<br />

signifikan.<br />

Berdasarkan hasil penelitian ini,<br />

hypnobirthing terbukti memiliki dampak<br />

positif dalam membantu mengurangi tingkat<br />

kecemasan ibu hamil menjelang persalinan<br />

anak pertama. Empat teknik dasar dalam<br />

hypnobirthing yaitu teknik relaksasi dengan<br />

pernapasan, teknik relaksasi otot, teknik<br />

visualisasi dengan relaksasi pelangi, <strong>dan</strong><br />

berkomunikasi dengan janin memberian<br />

efek relaksasi.<br />

Wanita yang hamil untuk pertama<br />

kali dibandingkan dengan wanita yang telah<br />

hamil sebelumnya menunjukan kecemasan<br />

yang lebih pada diri <strong>dan</strong> bayinya serta<br />

timbulnya perasaan mudah tersinggung <strong>dan</strong><br />

merasa tegang (Erickson dalam Williams,<br />

1996). Ibu hamil pertama tidak jarang<br />

memiliki pikiran yang mengganggu karena<br />

a<strong>dan</strong>ya reaksi kecemasan terhadap cerita


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 42<br />

yang diperolehnya tentang proses persalinan.<br />

Menurut Kartono (1992), pertanyaan <strong>dan</strong><br />

bayangan apakah dapat melahirkan normal,<br />

cara mengejan, apakah akan terjadi sesuatu<br />

saat melahirkan, atau apakah bayi lahir<br />

selamat. Hal ini mengakibatkan reaksi fisik<br />

<strong>dan</strong> psikologis pada ibu.<br />

Dengan metode hypnobirthing<br />

dapat membantu menanamkan keyakinan<br />

pada ibu hamil bahwa dapat mengalami<br />

persalinan secara alami dengan tenang,<br />

nyaman, <strong>dan</strong> percaya diri. Latihan ini<br />

mengajarkan ibu hamil menjalankan teknik<br />

relaksasi yang alami, sehingga tubuh dapat<br />

bekerja dengan seluruh syaraf secara<br />

harmonis. Rangkaian metode hypnobirthing<br />

mulai dari relaksasi otot, teknik pernapasan,<br />

teknik visualisasi dengan relaksasi pelangi<br />

<strong>dan</strong> berkomunikasi dengan janin yang<br />

dilakukan secara teratur <strong>dan</strong> konsentrasi<br />

akan menyebabkan kondisi rileks pada tubuh<br />

sehingga tubuh memberikan respon untuk<br />

mengeluarkan hormon endorfin yang<br />

membuat ibu menjadi rileks <strong>dan</strong><br />

menurunkan rasa nyeri terutama ketika otak<br />

mencapai gelombang alfa atau saat relaksasi.<br />

Pada kondisi ini saat tubuh mengeluarkan<br />

hormon serotonin <strong>dan</strong> endorfin sehingga<br />

manusia dalam kondisi rileks tanpa<br />

ketegangan <strong>dan</strong> kecemasan (Kuswandi,<br />

2011).<br />

Hasil dari penelitian hypnobirthing<br />

menunjukan penurunan tingkat kecemasan<br />

menjelang persalinan anak pertama yang<br />

signifikan setelah mengikuti hypnobirthing.<br />

Hasil analisis data dengan menggunakan uji<br />

Wilcoxon menemukan yaitu z = -3.061;p =<br />

0.002 < 0.05 (signifikan). Dari hasil tersebut<br />

didapatkan bahwa ada penurunan yang<br />

signifikan signifikan antara pengukuran<br />

sebelum perlakuan (pretest) <strong>dan</strong> sesudah<br />

perlakuan (posttest) yaitu metode<br />

hypnobirthing.<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil pengolahan data<br />

<strong>dan</strong> analisa data hasil penelitian yang<br />

dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa<br />

hipotesis nol (Ho) yang menyatakan<br />

bahwa tidak efektifnya penerapan<br />

metode hypnobirthing dalam<br />

menurunkan tingkat kecemasan ibu<br />

hamil trimester tiga menjelang persalinan<br />

anak pertama di usia dewasa awal ditolak<br />

sehingga hipotesis penelitian (Ha) yang<br />

menyatakan bahwa penerapan metode<br />

hypnobirthing efektif dalam<br />

menurunkan tingkat kecemasan ibu<br />

hamil trimester tiga menjelang persalinan<br />

anak pertama di usia dewasa awal<br />

diterima. Oleh karena itu, dapat<br />

disimpulkan bahwa penerapan metode<br />

hypnobirthing efektif dalam menurunkan<br />

tingkat kecemasan ibu hamil trimester<br />

tiga menjelang persalinan anak pertama<br />

di usia dewasa awal<br />

5. Daftar Pustaka<br />

Andriana, E. (2007). Melahirkan Tanpa<br />

Rasa Sakit dengan Metode<br />

Relaksasi Hypnobirthing. Jakarta:<br />

PT Bhuana Ilmu Populer.<br />

Aprillia, Y. (2010). Hipnostetri (Rileks,<br />

Nyaman, <strong>dan</strong> Aman Saat Hamil <strong>dan</strong><br />

Melahirkan). Jakarta: Gagas Media.<br />

Aprillia, Y. (2011). Siapa Bilang<br />

Melahirkan itu Sakit. Yogyakarta:<br />

Penerbit Andi.<br />

Armeini.R, Anna. (2010). Analisis Data<br />

<strong>Penelitian</strong> Kuantitatif dengan<br />

SPSS. Jakarta: Universitas Negeri<br />

Jakarta<br />

Azwar, Saifuddin. (2010). Metode<br />

<strong>Penelitian</strong>. Yogyakarta: Pustaka<br />

Pelajar<br />

Azwar, Saifuddin. (2010). Penyusunan<br />

Skala <strong>Psikologi</strong>. Yogyakarta:<br />

Pustaka Pelajar<br />

Azwar, Saifuddin. (2008). Reliabilitas <strong>dan</strong><br />

Validitas. Yogyakarta: Pustaka<br />

Pelajar.<br />

Batbual, Bringiwatty. (2010). Hypnosis<br />

Hypnobirthing-Nyeri Persalinan<br />

<strong>dan</strong> Berbagai Metode<br />

Penanganannya.Yogyakarta:<br />

Gosyen Publishing<br />

Chaplin, J.P. (2009). Kamus Lengkap<br />

<strong>Psikologi</strong>, (Terjemahan Kartini <strong>dan</strong><br />

Kartono). Jakarta: Raja Grafindo<br />

Persada.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 43<br />

Corey,Gerald. (2009). Teori <strong>dan</strong> Praktek<br />

Konseling <strong>dan</strong> Psikoterapi.<br />

Bandung: Rafika Aditama.<br />

Creswell, John.W. (2010). Research Design<br />

(Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,<br />

<strong>dan</strong> Mixed).Yogyakarta: Pustaka<br />

Pelajar<br />

Cunningham, Gary F. (2010). William<br />

Obstetric 23rd edition. USA: The<br />

McGraw Hill Companies, Inc.<br />

Cyna, et.al. (2006). Hypnosis Antenatal<br />

Training for Childbirth (HATCh): a<br />

randomised controlled trial. USA:<br />

BMC Pregnancy and Childbirth.<br />

Dacey, J. S., & Fiore, L. B. (2005). Your<br />

Anxious Child (How Parents and<br />

Teachers Can Relieve Anxiety ini<br />

Children). San Fransisco: Jossey-<br />

Bass Publishers.<br />

Dacey.John & Travers. (2002). Human<br />

Development (Across the Lifespan).<br />

Mc Graw Hill; New York<br />

Durand, V., & Barlow, D. H. (2006).<br />

<strong>Psikologi</strong> Abnormal (Edisi<br />

Keempat). Yogyakarta: Pustaka<br />

Pelajar.<br />

E.Papalia, D., Old, S. W., & Feldman, R. D.<br />

(2008). Human Development<br />

(<strong>Psikologi</strong> Perkembangan) Edisi<br />

Kesembilan. Jakarta: Kencana<br />

Prenada Media Group.<br />

F.Mongan, M. (2007). Hypnobirthing The<br />

Mongan Method-Metode<br />

Melahirkan Secara Aman, Mudah,<br />

<strong>dan</strong> Nyaman. Jakarta: PT Bhuana<br />

Ilmu Populer.<br />

Fitri Fausiah. (2005). <strong>Psikologi</strong> Abnormal<br />

Klinis Dewasa. Jakarta: UI-Press<br />

Friana, Dina. (2000). Strategi Coping<br />

Wanita Hamil Menghadapi<br />

Kecemasan Kehamilan Pertama.<br />

Skripsi (tidak diterbitkan). Depok:<br />

Universitas Indonesia.<br />

Ganley, Jackie. (2004). Becoming a Parent<br />

(The Emotional Journey Through<br />

Pregnancy and Chilbirth) . Inggris:<br />

John Wiley & Sons, Ltd<br />

Grossman, F.K, et al. (1980). Pregnancy,<br />

Birth, and Parenthood. San<br />

Fransisco: Jessey Bass Publishers<br />

Hawari, D. (2000). Manajemen Stress,<br />

Cemas, <strong>dan</strong> Depresi. Jakarta:<br />

Fakultas Kedokteran Universitas<br />

Indonesia.<br />

Hurlock, Elizabeth.B. (1980). <strong>Psikologi</strong><br />

Perkembangan (Suatu Pendekatan<br />

Sepanjang Rentang Kehidupan).<br />

Jakarta: Erlangga.<br />

Ibrahim, A. S. (2012). Panik Neurosis <strong>dan</strong><br />

Gangguan Cemas. Tangerang:<br />

Jelajah Nusa.<br />

Jatmika, Wahyu. (1999). Hubungan Skor<br />

Kecemasan Terhadap Lama<br />

Persalinan Kala 1. Tesis. (tidak<br />

diterbitkan). Semarang: Fakultas<br />

Kedokteran Universitas<br />

Diponegoro.<br />

Kartono, Kartini. (1989). <strong>Psikologi</strong><br />

Abnormal <strong>dan</strong> Abnormalitas<br />

Seksual. Mandar Maju: Bandung<br />

Kartono, Kartini. (1992). <strong>Psikologi</strong> Wanita<br />

(Jilid 2) Mengenal Wanita Sebagai<br />

Ibu <strong>dan</strong> Nenek. Bandung: Mandar<br />

Maju.<br />

Kuncono. (2004). Aplikasi Komputer<br />

<strong>Psikologi</strong>. Jakarta: Fakultas<br />

<strong>Psikologi</strong> Universitas Persada<br />

Indonesia.<br />

Kusumawati, Farida & Hartono, Yudi.<br />

(2011). Buku Ajar Keperawatan<br />

Jiwa. Jakarta: Salemba Medika<br />

Kuswandi, Lanny. (2011). Keajaiban<br />

Hypno-Birthing (Panduan Praktis<br />

Melahirkan Alami, Lancar, <strong>dan</strong><br />

Tanpa Rasa Sakit). Jakarta: Pustaka<br />

Bunda<br />

Latipun. (2010). <strong>Psikologi</strong> Eksperimen<br />

(Edisi Kedua). Malang: UMM<br />

Press.<br />

Long, Amanda Gwyne. (2009). Hypnobirth<br />

Therapy, The Answer to Pain Free


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 44<br />

Labour?. Archives of Family<br />

medicine 3, 10:881 : London<br />

Malicha,Siti. (2011). Pengaruh Metode<br />

Hypnobirthing Terhadap Tingkat<br />

Kecemasan Dan Lama Proses<br />

Persalinan Pada Ibu Bersalin Di<br />

Puskesmas Blooto Kota Mojokerto.<br />

Thesis (tidak diterbitkan).<br />

Surakarta: Universitas Sebelas<br />

Maret.<br />

Maramis, W.F. (1980). Catatan Ilmu<br />

Kedokteran Jiwa. Surabaya:<br />

Lembaga Penerbitan Universitas<br />

Airlangga.<br />

Martin, et.al. (2001). Effects of Hypnosis on<br />

the Labour Processes and Birth<br />

Outcomes of Pregnant Adolescents.<br />

Florida:University of Florida.<br />

Matlin.W, Margaret. (1987). The<br />

Psychology of Women;<br />

Pregnancy,Childbirth,and<br />

Motherhood. Florida:<br />

Holt,Reinhart,and Winston,Inc.<br />

Mochtar, Rustam. (1998). Sinopsis Obstetri<br />

(Obstetri Operatif <strong>dan</strong> Obstetri<br />

Sosial). Jakarta: Penerbit Buku<br />

Kedokteran EGC.<br />

Parlina, Nining. (2010). Pengaruh program<br />

penurunan kecemasan melalui<br />

terapi menulis buku harian terhadap<br />

siswa kelas VI sebelum<br />

menghadapi UASBN. Skripsi (tidak<br />

diterbitkan). Jakarta: Universitas<br />

Negeri Jakarta.<br />

Peurifoy, Reneau. (2005). Anxiety, Phobias,<br />

and Panic (Revised and Updated).<br />

Warner Books: New York.<br />

Prasertcharoensuk, Witoon & Thinkhamrop,<br />

Jadsada. (2004). Non-<br />

Pharmacologic Labour Pain.<br />

Thailand: Department of Obstetrics<br />

and Gynecology, Faculty of<br />

Medicine, Khon Kaen University.<br />

Prawirohardjo, S. (2002). Ilmu kebi<strong>dan</strong>an.<br />

Jakarta : Yayasan Bina Pustaka<br />

Sarwono<br />

Santoso,Singgih. (2006). Menggunakan<br />

SPSS untuk Statistik Non<br />

Parametrik. Jakarta: PT Elex Media<br />

Komputindo.<br />

Santrock, John W. (2002). Life Span<br />

Development (Perkembangan Masa<br />

Hidup) 5th ed. Jakarta: Penerbit<br />

Erlangga<br />

S.Hall, C., & Lindzey, G. (1993). Teori-teori<br />

Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta:<br />

Kanisius.<br />

Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N.<br />

(2011). <strong>Psikologi</strong> Eksperimen.<br />

Jakarta: PT.Ilndeks.<br />

Siegel, Sidney. (1986). Statistik Non<br />

Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial.<br />

Jakarta: Gramedia<br />

Smith, et.al. (2006). Complementary and<br />

alternative therapies for pain<br />

management in labour (Review).<br />

John Wiley & Sons, Ltd.<br />

Spielberger, Charles.D. (1972). Anxiety<br />

(Current Trends ini Theory and<br />

Research) Volume II. London:<br />

Academic Press, Inc.<br />

Stuart & Sundden. (1998). Buku saku<br />

keperaawatan jiwa, 3rd ed.<br />

Terjemahan<br />

oleh Achir Yani S Hamid. Jakarta: EGC.<br />

Sugiyono. (2009). Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Kuantitatif, Kualitatif, <strong>dan</strong> R & D.<br />

Bandung: Penerbit Alfabeta<br />

Bandung.<br />

Sumapraja, S. (1999). Untuk suami yang<br />

istrinya hamil. Jakarta : Yayasan<br />

Sayang Ibu.<br />

Williams, Juanita H. (1996). Psychology of<br />

Women: Behavior an a Biosocial<br />

Context. New York; W.W.Norton<br />

& Company.inc<br />

Wulandari, Primatia Yogi. (2006).<br />

Efektivitas Senam Hamil sebagai<br />

Pelayanan Prenatal dalam<br />

Menurunkan Kecemasan<br />

Menghadapi Persalinan Pertama.<br />

<strong>Jurnal</strong> Insan Vol.8 No.2: Fakultas<br />

<strong>Psikologi</strong> Universitas Airlangga.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 45<br />

Zuckerman, Marvin & Spielberger, C.D.<br />

(1976). Emotion and Anxiety (New<br />

Concept, Methods, and<br />

Application). John Wiley and Sons:<br />

New York.<br />

http://beritasore.com/2012/03/21/bkkbnberupaya-dongkrak-minatpasangan-usia-subur/<br />

diakses<br />

tanggal 12 April 2012 pukul 10.08<br />

http://www.bkkbn.go.id/berita/Pages/Kemati<br />

an-Ibu-Melahirkan-di-Indonesia-<br />

Masih-Tinggi.aspx. diakses tanggal<br />

17 Maret 2012 jam 11.20<br />

http://www.bkkbn.go.id/berita/Pages/Bkkbn-<br />

Bidik-Generasi-Muda.aspx diakses<br />

tanggal 17 Maret 2012 jam 11.30<br />

http://www.conectique.com/tips_solution/pr<br />

egnancy/baby_delivery/article.php?<br />

article_id=6786 diakses tanggal 21<br />

Mei 2012 jam 19.20<br />

http://www.mayoclinic.com/health/hypnobir<br />

thing/AN02138 diakses tanggal 20<br />

Februari 2012 jam 21.17


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 46<br />

Gambaran Faktor – Faktor yang Menyebabkan Remaja Putri<br />

Untuk Merokok<br />

Dessy Lestari<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jalan Rawamangun Muka 13220, Jakarta Timur<br />

Email: abcdesy@rocketmail.com<br />

ABSTRACT<br />

The purpose of this research is to give a representation about teenage girls cigarette<br />

smoking factor in Jakarta.<br />

Sample for this research are 61 teenage girls with different characteristics age range 15-<br />

18 years, smoking and live in Jakarta. Data collection technique is non–probability sampling<br />

technique with accidental sampling. The research design used by the writer is descriptive<br />

statistical analysis.<br />

According to the results obtained from the respondents, of the three dimentions that can<br />

lead teenage girls smoking is peer influence, family influence, and self – image of smokers<br />

showed that the three dimentions there are no dimention are very striking as a cause of teenage<br />

girls smoking, but from the third dimentions of peer influence reached the highest score compared<br />

with the other two dimentions with the percentage of 35%.<br />

Pendahuluan<br />

Keywords: The factors that cause smoking, Teenage girls<br />

Merokok merupakan salah satu<br />

fenomena gaya hidup pada kebanyakan<br />

orang saat ini. Setiap perokok memiliki<br />

alasan yang berbeda mengapa mereka<br />

merokok, ada yang merasa lebih bebas,<br />

dapat mengalihkan pikiran, menghilangkan<br />

stress, memperbaiki memori, mengurangi<br />

kecemasan, memperbaiki konsentrasi <strong>dan</strong><br />

bisa pula orang merokok sebagai ekspresi<br />

perlawanan <strong>dan</strong> pemberontakan (Stefanus,<br />

2002, p.71). Para perokok memiliki alasan<br />

yang menguntungkan bagi dirinya, namun<br />

tidak ada yang memungkiri bahwa a<strong>dan</strong>ya<br />

dampak negatif dari perilaku merokok,<br />

namun para perokok tetap saja tidak peduli<br />

apabila diingatkan terhadap ancaman yang<br />

setiap saat akan dapat menyiksanya dalam<br />

waktu lama <strong>dan</strong> bahkan dapat merenggut<br />

nyawanya. Tidak mengherankan jika saat ini<br />

merokok seakan telah menjadi gaya hidup.<br />

Ironisnya, gaya hidup ini telah merambah<br />

usia muda, yakni remaja.<br />

Berdasarkan data World Health<br />

Organization (WHO), sekitar 20 persen dari<br />

satu milyar perokok di dunia adalah wanita,<br />

tujuh persen remaja perempuan <strong>dan</strong> 12<br />

persen remaja laki-laki perokok di 151<br />

negara di dunia aktif merokok. Jumlah<br />

tersebut akan terus meningkat jika tidak<br />

diwaspadai. Di Indonesia, Data Rumah Sakit<br />

Persahabatan, Jakarta, menunjukkan 4


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 47<br />

persen perokok berasal dari remaja putri.<br />

Remaja perempuan yang masih duduk di<br />

kursi sekolah menengah pertama merokok<br />

berjumlah 11,5 persen. Angka prevalensi<br />

perokok perempuan di Indonesia mencapai<br />

4,83 persen. Sementara, data prevalensi<br />

perokok Lembaga Demografi Universitas<br />

Indonesia 2008, menunjukkan delapan<br />

persen perokok dari total perokok di Jakarta<br />

adalah perempuan. Perokok aktif perempuan<br />

paham <strong>dan</strong> mengetahui resiko dari perilaku<br />

merokoknya tersebut. Banyak hal yang<br />

merugikan, terutama bagi kesehatan.<br />

Merokok bagi seorang perempuan yaitu<br />

merokok dapat mengurangi sekresi estrogen<br />

yang diduga bertanggung jawab atas<br />

gangguan menstruasi termasuk timbulnya<br />

rasa nyeri. Merokok juga bisa menyebabkan<br />

perubahan nada suara <strong>dan</strong> peningkatan bulu<br />

tubuh <strong>dan</strong> juga menopause terjadi 1 sampai<br />

2 tahun lebih awal di kalangan perokok<br />

perempuan.<br />

Sudah cukup jelasnya pengaruh<br />

negatif ataupun akibat dari rokok namun<br />

masih banyak alasan yang melatarbelakangi<br />

remaja untuk merokok. Secara umum<br />

berdasarkan kajian Kurt Lewin (dalam<br />

Komalasari, 2002, p.2), merokok merupakan<br />

fungsi dari lingkungan <strong>dan</strong> individu.<br />

Artinya, perilaku merokok selain disebabkan<br />

dari faktor lingkungan juga disebabkan oleh<br />

faktor diri atau kepribadian. Faktor<br />

lingkungan dapat disebabkan karena orang<br />

tua atau teman sebaya yang merokok. Ketika<br />

orang – orang terdekatnya merupakan<br />

perokok aktif, maka remaja akan lebih<br />

mudah untuk memulai merokok, karena<br />

orang tua atau teman sudah menjadi<br />

modeling bagi remaja tersebut. Faktor dalam<br />

diri remaja dapat dilihat dari kajian<br />

perkembangan remaja. Remaja mulai<br />

merokok dikatakan oleh Erikson (dalam<br />

Komalasari, 2002, p.2) berkaitan dengan<br />

a<strong>dan</strong>ya krisis aspek psikososial yang dialami<br />

pada masa perkembangannya yaitu masa<br />

ketika mencari jati diri. Dalam masa<br />

pencarian jati diri remaja ini sering terjadi<br />

ketidaksesuaian antara perkembangan psikis<br />

<strong>dan</strong> perkembangan sosial. Upaya-upaya<br />

untuk menemukan jati diri tersebut tidak<br />

selalu dapat berjalan sesuai dengan harapan<br />

masyarakat. Beberapa remaja melakukan<br />

perilaku merokok sebagai cara<br />

kompensatoris, dengan kata lain perilaku<br />

merokok bagi remaja merupakan perilaku<br />

simbolisasi, simbol dari kematangan,<br />

kekuatan, kepemimpinan, <strong>dan</strong> daya tarik<br />

terhadap lawan jenis.<br />

Egosentrisme remaja juga disebut<br />

sebagai satu hal yang mempengaruhi remaja<br />

merokok. Remaja akan semakin peduli pada<br />

penampilan mereka dalam pan<strong>dan</strong>gan orang<br />

lain sehingga remaja memiliki kebutuhan<br />

untuk menunjukan citra diri yang positif<br />

kepada orang lain. Citra diri perokok adalah<br />

faktor yang berpengaruh pada perilaku mulai<br />

merokok. Remaja telah mengidentifikasi<br />

merokok dengan kejantanan, kebebasan,<br />

ketampanan, pergaulan, daya tarik seksual,<br />

kesejahteraan <strong>dan</strong> kehidupan yang baik<br />

(Rice, 2001, p.436). Apabila citra diri ideal<br />

remaja mirip dengan citra tipikal perokok,<br />

maka remaja akan cenderung merokok. Hal<br />

lain yang mendorong remaja untuk mulai<br />

merokok juga berhubungan dengan<br />

kebutuhan status <strong>dan</strong> harga diri (Rice, 2001,<br />

p.437). A<strong>dan</strong>ya anggapan keliru yang<br />

dipahami para remaja yakni dengan<br />

merokok, remaja merasa gaul, macho,<br />

sehingga timbul rasa percaya diri.<br />

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat<br />

bahwa perilaku merokok pada remaja<br />

berhubungan dengan kebutuhan untuk<br />

memiliki citra diri yang ideal yang berasal<br />

dari faktor dalam diri <strong>dan</strong> faktor<br />

lingkungan, keduanya membantu untuk<br />

meningkatkan harga diri remaja. Seringkali<br />

remaja merokok sebagai kompensasi<br />

ketertinggalan mereka dibanding teman<br />

sebaya disekolah, karena mereka tidak<br />

berpartisipasi dalam kegiatan<br />

ekstrakulikuler, atau karena mereka tidak<br />

mempunyai kebutuhan ego lain yang ingin<br />

mereka puaskan.<br />

Dari faktor – faktor yang<br />

menyebabkan remaja putri merokok <strong>dan</strong><br />

juga fakta diatas yang ditemukan<br />

dilapangan, maka peneliti ingin melakukan<br />

penelitian lebih lanjut mengenai faktor –<br />

faktor yang menyebabkan remaja putri<br />

merokok di Jakarta.<br />

Metode <strong>Penelitian</strong><br />

a. Definisi Operasional variabel<br />

penelitian<br />

Definisi operasional faktor – faktor<br />

yang mempengaruhi remaja merokok<br />

didalam penelitian ini adalah skor total dari<br />

kuesioner faktor-faktor yang mempengaruhi<br />

remaja putri merokok serta hasil coding dari<br />

pertanyaan terbuka yang terkait dengan<br />

faktor – faktor remaja putri merokok.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 48<br />

b. Subjek <strong>Penelitian</strong><br />

Sebagai sumber data penelitian ini<br />

adalah remaja putri yang berada di daerah<br />

Jakarta dengan rentang usia 15 – 18 tahun<br />

yang merupakan perokok aktif. Dalam<br />

penelitian ini melibatkan 61 remaja putri<br />

perokok aktif yang berada di Jakarta.<br />

c. Alat <strong>Pengukuran</strong> Data<br />

Pada penelitian ini, metode<br />

penelitian yang digunakan adalah metode<br />

survey. Metode survey digunakan untuk<br />

mendapatkan data dari tempat tertentu yang<br />

alamiah (dalam arti responden tidak<br />

diberikan perlakuan), tetapi peneliti<br />

melakukan dalam bentuk penggunaan<br />

instrument penelitian untuk mengumpulkan<br />

data (Sugiyono, 2008, p.199).<br />

Pada penelitian ini alat pengumpulan<br />

data yang digunakan adalah kuesioner.<br />

Kuesioner merupakan salah satu jenis alat<br />

pengumpulan data berupa sejumlah daftar<br />

pertanyaan atau pernyataan tertulis yang<br />

disampaikan kepada responden atau<br />

partisipan penelitian.<br />

Peneliti menggunakan skala yang<br />

dibuat sendiri yang terdiri dari tiga dimensi<br />

seperti berikut:<br />

Tabel 1. Dimensi Faktor – Faktor Remaja Merokok<br />

Dimensi Indikator<br />

Teman sebaya 1. Mengalami konformitas dalam kelompok<br />

2. Mengalami tekanan dalam kelompok<br />

Keluarga<br />

1. Memiliki anggota keluarga yang merokok<br />

2. Memiliki masalah yang ada dalam keluarga<br />

Citra diri 1. Merasakan image positif menjadi perokok<br />

2. Bertujuan untuk menutupi kekurangan diri<br />

Uji coba alat ukur data dilakukan kepada 60 remaja putri merokok di Jakarta. Hasil uji<br />

validitas <strong>dan</strong> reliabilitas terhadap skala tersebut terlihat dalam tabel berikut:<br />

Tabel 2. Hasil Uji Validitas <strong>dan</strong> Reliabilitas<br />

Jenis Skala Jumlah Aitem Aitem Valid Koefisien Reliabilitas<br />

Faktor Remaja Putri<br />

Merokok<br />

40 35 0.902<br />

d. Teknik Analisis Data<br />

<strong>Penelitian</strong> ini menggunakan analisis<br />

deskriptif. Analisis deskriptif digunakan<br />

untuk melakukan analisis suatu kumpulan<br />

data sehingga kumpulan data tersebut dapat<br />

memberikan suatu informasi tertentu. Dalam<br />

penelitian ini peneliti penggunakan<br />

perangkat SPSS versi 17.0 untuk mencari<br />

hasil perhitungan.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 49<br />

Hasil <strong>dan</strong> Diskusi<br />

Berikut ini akan disajikan hasil uji data secara deskriptif seperti terlihat pada tabel 2.<br />

Dimensi Maksimum Minimum Mean Median Modus SD Range<br />

Pengaruh<br />

Teman<br />

sebaya<br />

Pengaruh<br />

Keluarga<br />

31 12 24.20 25.00 26 3.4 19<br />

33 14 25.61 26.00 27 4.1 19<br />

Citra Diri 57 32 45.72 46.00 46 5.3 25<br />

Setelah mendapatkan skala final, skala diisi oleh 61 remaja putri merokok yang berada<br />

dijakarta, setelah dilakukan perhitungan, didapatkan hasil seperti dibawah ini.<br />

Tabel 3. Hasil Perhitungan Tiga Dimensi<br />

Dimensi Jumlah Aitem Total Skor Presentase<br />

Pengaruh Teman<br />

sebaya<br />

8 184, 36 35%<br />

Pengaruh Keluarga 10 170,4 33%<br />

Citra Diri 17 163,78 32%<br />

Total 35 518.54 100%<br />

Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari responden, didapatkan bahwa dari ketiga<br />

dimensi tersebut tidak memiliki selisih yang cukup jauh sebagai faktor yang dapat menyebabkan<br />

remaja putri untuk merokok, namun untuk dimensi pengaruh teman sebaya merupakan dimensi<br />

yang paling tinggi perolehannya sebagai dimensi yang dapat menyebabkan remaja putri merokok<br />

yaitu dengan total skor sebesar 184,36.<br />

Tabel 4. Hasil Perhitungan Per Indikator dari Tiga Dimensi<br />

Indikator<br />

Mengalami konformitas dalam<br />

Total Skor Presentase<br />

kelompok<br />

Mengalami tekanan dalam kelompok<br />

201.5<br />

20%<br />

Memiliki anggota keluarga yang<br />

167.5<br />

16%<br />

merokok<br />

Memiliki masalah yang ada dalam<br />

141.5<br />

14%<br />

keluarga<br />

Merasakan Image positif menjadi<br />

189.51<br />

19%<br />

perokok<br />

Bertujuan untuk menutupi<br />

137.01<br />

13%<br />

kekurangan diri<br />

182.8<br />

18%<br />

Total 1019.82 100%


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 50<br />

Selain menggunakan skala dengan terdapat juga pertanyaan terbuka yang diberikan<br />

kepada responden dengan hasil sebagai berikut:<br />

Deskripsi data dibawah ini menyajikan data hasil coding pada pertanyaan pertama<br />

yaitu “sejak kapan kamu merokok?”<br />

Tabel 5. Hasil Coding Pertanyaan 1<br />

No Jawaban Frekuensi Persentase<br />

1. 12 Tahun 2 3%<br />

2. 13 Tahun 1 2%<br />

3. 14 Tahun 16 26%<br />

4. 15 Tahun 11 18%<br />

5. 16 Tahun 18 30%<br />

6. 17 Tahun 13 21%<br />

Jumlah 61 100%<br />

Deskripsi data dibawah ini menyajikan data hasil coding pada pertanyaan kedua<br />

yaitu “apa yang menyebabkan kamu merokok pada saat itu?”<br />

Tabel 6. Hasil Coding Pertanyaan 2<br />

No Jawaban Frekuensi Persentase<br />

1. Masalah keluarga 7 11%<br />

2. Masalah pribadi 20 33%<br />

3. Mencoba – coba 19 31%<br />

4. Terpengaruh teman 15 25%<br />

Jumlah 61 100%<br />

Deskripsi data dibawah ini menyajikan data hasil coding pada pertanyaan ketiga<br />

yaitu “ berapa batang rokok yang biasanya kamu hisap?”<br />

Tabel 7. Hasil Coding Pertanyaan 3<br />

No Jawaban Frekuensi Presentase<br />

1. 1 – 8 batang 41 67%<br />

2. 12 batang 17 28%<br />

3. Kalau mau saja 3 5%<br />

Jumlah 61 100%<br />

Deskripsi data dibawah ini menyajikan data hasil coding pada pertanyaan kelima<br />

yaitu “apakah orang tua mengetahui bahwa kamu merokok?”<br />

Tabel 8. Hasil Coding Pertanyaan 5<br />

No Jawaban Frekuensi Presentase<br />

1. Mengetahui 18 29%<br />

2. Tidak Mengetahui 42 69%<br />

3. Mungkin Tahu 1 2%<br />

Jumlah 61 100%<br />

Deskripsi data dibawah ini menyajikan data hasil coding pada pertanyaan keenam<br />

yaitu “apa yang akan kamu lakukan bila orang tua mengetahui bahwa kamu merokok?”


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 51<br />

Tabel 9. Hasil Coding Pertanyaan 6<br />

No Jawaban Frekuensi Presentase<br />

1. Diam 28 46%<br />

2. Menjelaskan 5 8%<br />

3. Biasa saja 13 21%<br />

4. Mencoba berhenti 1 2%<br />

5. Minta maaf 4 7%<br />

6. Menangis 2 3%<br />

7. Jawaban tidak sesuai 8 13%<br />

Jumlah 61 100%<br />

Deskripsi data dibawah ini menyajikan data hasil coding pada pertanyaan ketujuh yaitu<br />

“menurut kamu, apa yang akan orang tua kamu lakukan bila mengetahui bahwa kamu merokok?”<br />

Tabel 10. Hasil Coding Pertanyaan 7<br />

No Jawaban Frekuensi Presentase<br />

1. Menegur 9 15%<br />

2. Marah 45 74%<br />

3. Menasehati 4 6%<br />

4. Tidak Tahu 3 5%<br />

Jumlah 61 100%<br />

Deskripsi data dibawah ini menyajikan data hasil coding pada pertanyaan terakhir yaitu<br />

“bagaimana pan<strong>dan</strong>gan kamu terhadap remaja putri yang merokok<br />

Tabel 11. Hasil Coding Pertanyaan 8<br />

No Jawaban Frekuensi Presentase<br />

1. Bandel 1 2%<br />

2. Kurang baik 10 16%<br />

3. Ironis 1 2%<br />

4. Biasa saja 39 64%<br />

5. Keren 2 3%<br />

6. Merokok pasti ada<br />

alasannya<br />

8 13%<br />

Jumlah 61 100%<br />

Dari hasil penelitian, remaja putri<br />

merokok yang berada pada kategori tinggi<br />

menggambarkan bahwa dimensi dari faktor<br />

remaja merokok cukup sesuai dengan<br />

kondisi yang responden alami. Ketiga<br />

dimensi tersebut adalah pengaruh teman<br />

sebaya yang terdiri dari dua indikator yaitu<br />

konformitas dalam kelompok <strong>dan</strong> tekanan<br />

dalam kelompok . Dimensi kedua yaitu<br />

pengaruh keluarga, dimensi tersebut dibagi<br />

menjadi dua indikator yaitu anggota<br />

keluarga yang merokok <strong>dan</strong> masalah yang<br />

ada dalam keluarga. Dimensi terakhir yaitu<br />

citra diri yang terbagi menjadi dua indikator<br />

yaitu Image positif menjadi perokok <strong>dan</strong><br />

menutupi kekurangan diri.<br />

Dari keseluruhan hasil data yang<br />

diperoleh dari responden, didapatkan bahwa<br />

dari enam indikator yang berasal dari tiga<br />

dimensi tersebut tidak memiliki selisih yang<br />

cukup jauh sebagai faktor yang dapat<br />

menyebabkan remaja putri untuk merokok,<br />

namun untuk indikator mengalami<br />

konformitas dalam kelompok merupakan<br />

indikator yang paling tinggi perolehannya<br />

sebagai indikator yang dapat menyebabkan<br />

remaja putri merokok yaitu dengan<br />

presentase 20%.<br />

Berdasarkan hasil yang diperoleh<br />

dari responden, maka didapatkan bahwa<br />

dimensi pengaruh teman sebaya merupakan<br />

faktor yang paling menyebabkan remaja<br />

putri untuk merokok di Jakarta. Hasil


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 52<br />

tersebut diperoleh dari hasil perhitungan<br />

yang dilakukan oleh peneliti yaitu jumlah<br />

hasil persebaran jawaban responden setiap<br />

dimensi dibagi oleh jumlah aitem masing –<br />

masing dimensi. Dari hasil perhitungan<br />

tersebut didapatkan bahwah pengaruh teman<br />

sebaya memperoleh total skor sebesar<br />

184.36 dengan presentase sebesar 35%,<br />

pengaruh keluarga mendapat total skor<br />

sebesar 170.4 dengan presentase sebesar<br />

33% <strong>dan</strong> dimensi citra diri memperoleh total<br />

skor sebesar 163,78 dengan presentase 32%<br />

.<br />

Hasil yang diperoleh diatas sesuai<br />

dengan yang dikemukakan oleh Rice (2001)<br />

yaitu remaja mulai merokok karena tekanan<br />

teman sebaya. Bahkan suatu penelitian<br />

menunjukan walaupun orang tua tidak<br />

merokok namun remaja memiliki teman<br />

sebaya yang merokok maka mempunyai<br />

pengaruh pada perilaku mulai merokok sejak<br />

remaja awal. A<strong>dan</strong>ya anggapan bahwa<br />

remaja yang melakukan kebiasaan orang<br />

dewasa sebelum pada waktunya akan lebih<br />

dikagumi dibanding teman – teman yang<br />

lainnya.<br />

Menurut hasil yang diperoleh yaitu<br />

remaja putri akan cenderung merokok<br />

apabila mendapatkan pengaruh dari teman<br />

sebayanya. Berdasarkan hasil penelitian<br />

jangka panjang (Chassin, Presson, Sherman,<br />

1990; Edwards; Muray, Swan, Johnson, &<br />

Bewley, dalam Sarafino, 2006) mengenai<br />

peran psikososial dalam perkembangan<br />

merokok menunjukan bahwa merokok<br />

cenderung diteruskan atau ditingkatkan jika<br />

remaja merasa mendapat tekanan dari teman<br />

sebaya untuk merokok. a<strong>dan</strong>ya laporan<br />

“orang lain akan mengejek kamu jika kamu<br />

tidak merokok” <strong>dan</strong> “kamu harus merokok<br />

jika se<strong>dan</strong>g bersama dengan teman – teman<br />

yang merokok”. Teman sebaya memang<br />

memiliki banyak pengaruh terhadap diri<br />

remaja karena waktu <strong>dan</strong> kegiatan diluar<br />

rumah lebih banyak bersama dengan teman<br />

sebaya dibandingkan untuk sekedar sharing<br />

dirumah bersama dengan keluarga, terlebih<br />

pada masa remaja seorang remaja merasa<br />

dirinya sudah mandiri, sehingga merasa<br />

bahwa kurang perlu untuk berbagi cerita<br />

atau masalah kepada orang tua karena pada<br />

saat remaja tersebut seseorang akan lebih<br />

membutuhkan teman untuk berbagi cerita.<br />

Dari hasil data demografi didapatkan bahwa<br />

mayoritas dari responden merokok tanpa<br />

sepengetahuan dari orang tua mereka,<br />

terlihat disini ada suatu ketakutan dari<br />

responden untuk berterus terang mengenai<br />

perilaku merokok tersebut karena dari<br />

jawaban pada pertanyaan terbuka lainnya,<br />

remaja putri sudah memiliki bayangan apa<br />

yang akan dilakukan oleh orang tuanya<br />

apabila mengetahui bahwa anak putrinya<br />

merokok, mayoritas responden menjawab<br />

orang tua mereka akan marah terhadap<br />

dirinya. Namun tampaknya ketakutan<br />

tersebut tidak mempengaruhi keinganan<br />

responden untuk berhenti merokok, sebab<br />

remaja putri merokok yang menjadi<br />

responden beranggapan bahwa saat ini sudah<br />

tidak masalah apabila remaja putri merokok,<br />

sudah hal yang wajar <strong>dan</strong> biasa saja karena<br />

responden merasa itu merupakan hak dari<br />

setiap individu.<br />

Dari hasil penelitian yaitu remaja<br />

putri perlu menemukan solusi ataupun<br />

kompensasi yang lebih positif apabila<br />

se<strong>dan</strong>g menghadapi masalah yang mereka<br />

anggap berat. Tidak hanya pengaruh yang<br />

berasal dari luar yaitu pengaruh teman <strong>dan</strong><br />

pengaruh keluarga, namun pengaruh yang<br />

berasal dari dalam diri pun sangat<br />

berpengaruhi keputusan remaja putri untuk<br />

merokok.<br />

Lingkungan keluarga <strong>dan</strong> teman<br />

sepermainan juga menjadi alasan bagi<br />

remaja putri yang merokok.<br />

Ketidaknyamanan yang didapatkan dalam<br />

lingkungan keluarga <strong>dan</strong> lingkungan<br />

pertemanan dapat mengakibatkan remaja<br />

putri yang awalnya tidak merokok menjadi<br />

merokok. Ketidakstabilan emosi<br />

mengantarkan remaja putri menjadi perokok<br />

karena mereka merasa bahwa dengan<br />

merokok dapat mengurangi beban ataupun<br />

melupakan hal yang memang tidak mereka<br />

harapkan. Oleh karena itu bagi keluarga <strong>dan</strong><br />

teman sepermainan sangat diharapkan agar<br />

dapat menciptakan suasana yang kondusif<br />

<strong>dan</strong> juga nyaman agar remaja putri tersebut<br />

tidak terbebani dengan hal – hal negatif yang<br />

berasal dari keluarga ataupun teman.<br />

Meskipun berdasarkan data yang<br />

diperoleh dari responden penelitian, hasil<br />

yang tertinggi yaitu pengaruh teman sebaya,<br />

bukan berarti dimensi yang lain ditidak<br />

berpengaruh. Dimensi pengaruh keluarga<br />

<strong>dan</strong> citra diri juga dapat menjadi penyebab<br />

dari remaja putri merokok namun memang<br />

bukan alasan utama bagi remaja putri yang<br />

merokok. Bila dilihat dari hasil data<br />

demografi bahwa masalah pribadi menjadi<br />

jawaban mayoritas remaja sebagai alasan<br />

awal mengapa mereka merokok. Masalah<br />

pribadi tersebut sesuai dengan dimensi citra<br />

diri, karena citra diri tersebut lebih kepada


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 53<br />

bagaimana penilian responden terhadap diri<br />

mereka sendiri.<br />

Kesimpulan<br />

Berdasarkan data yang diperoleh<br />

dari responden, dari ketiga dimensi faktor –<br />

faktor yang menyebabkan remaja putri untuk<br />

merokok berasal dari faktor dimensi<br />

ekstrinsik yaitu pengaruh teman sebaya <strong>dan</strong><br />

pengaruh keluarga serta dimensi intrinsik<br />

yaitu citra diri. <strong>Penelitian</strong> tersebut<br />

menunjukan hasil bahwa ketiga dimensi<br />

tersebut tidak ada yang sangat mencolok<br />

sebagai penyebab remaja putri merokok,<br />

namun dari ketiga dimensi tersebut pengaruh<br />

teman sebaya memperoleh skor tertinggi<br />

dibandingkan dua dimensi yang lainnya<br />

dengan presentase sebesar 35%.<br />

Daftar Pustaka<br />

Creswell. John W. (2010). Research Design<br />

Pendekatan kualitatif, Kuantitatif,<br />

<strong>dan</strong> Mixed. Yogyakarta. Pustaka<br />

Pelajar<br />

Hurlock, B.Elizabeth. (1999). <strong>Psikologi</strong><br />

Perkembangan: Suatu Pendekatan<br />

Sepanjang Rentang Kehidupan.<br />

Terjemahan oleh Istidawanti &<br />

Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.<br />

Kaplan, R.M.,Salis, J.F., Patterson, T.L.<br />

(1993). Health and Human Behavior.<br />

New York: McGraw-Hill, Inc<br />

Komalasari, Dian & Helmi, Avin Fadilla.<br />

(2000). Faktor-Faktor Penyebab<br />

Perilaku Merokok Pada Remaja.<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Psikologi</strong>, 28: 37-47.<br />

Loureiro, Maria L et all. Smoking Habits:<br />

Like Father, Like Son,Like Mother,<br />

Like Daughter. Germany. IZA<br />

Maggi S, Hertzman C, and Vaillancourt T.<br />

“Changes in smoking behaviours<br />

from late childhood to adolescence:<br />

Insights from the Canadian National<br />

Longitudinal Survey of Children and<br />

Youth.” Health Psychology 26(2)<br />

(2007)<br />

McIlveen, Rob & Gross, Richard. (1997).<br />

Developmental Psychology. London:<br />

Hodder&Stoughton<br />

Oskam. Stuart & Schultz, P. Wesley.<br />

(1998). Applied Social Psychology<br />

2 nd edition. New Jersey: Prentice-<br />

Hall, Inc<br />

Raharjo, Budi. Jumlah Perokok Wanita<br />

Bertambah Pesat, (online),<br />

(http://www.republika.co.id/berita/br<br />

eakingnews/nasional/10/05/31/117775jumlah-perokok-wanita-bertambahpesat<br />

,diakses pada 21 Desember<br />

2011, 20.13)<br />

Rice. F Philip. (2001). The Adolescent<br />

Development, Relationship, and<br />

Culture. London:. Pearson<br />

Rossi, Indra Manenda. Perokok Remaja<br />

Indonesia Tertinggi Di Dunia,<br />

(online)<br />

(http://www.tempo.co/read/news/200<br />

6/06/01/05578242/Perokok-Remaja-<br />

Indonesia-Tertinggi-di-Dunia<br />

,diakses pada 25 Desember 2011,<br />

13.03)<br />

Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology<br />

Biopsychosocial Interactions 5 th<br />

Edition. New Jersey : John Willey<br />

and Sons<br />

Sitepoe, Mangku. (2000). Kekhususan<br />

Rokok Indonesia. Jakarta: PT<br />

Gramedia Widiasarana<br />

Smet, B. (1994). <strong>Psikologi</strong> Kesehatan.<br />

Semarang: PT Gramedia<br />

Snow, P.C,. Bruce, D.D. (2003). Cigarette<br />

smoking in teenage girls: exploring<br />

the role of peer reputations, selfconcept<br />

and coping. Health education<br />

research. Oxford University Press<br />

SSDC. (2000). Understanding Smoking<br />

Behavior, (online),<br />

(http://ssdc.ucsd.edu/<br />

tobacco/reports/Chap3.pdf, diakses 3<br />

Maret 2009).<br />

Taylor, Shelley E. (2008). Health<br />

Psychology ( 7thed). New York: McGraw<br />

Hill<br />

Wika, Angela. Merokok resiko lebih besar<br />

pada perempuan , (online),


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 54<br />

(http://www.ayahbunda.co.id/Berita.<br />

Ayahbunda/Info+keluarga/merokok.ri<br />

siko.lebih.besar.pada.perempuan/002/<br />

002/52/35/-/4/c. , diakses pada 21<br />

Desember 2011)<br />

Wulandari. Devi. (2005). Adolescents<br />

Smoking Behavior. Determinants of<br />

Smoking In Indonesia Adolescents.<br />

Jakarta: Universitas Paramadina


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 55<br />

RESILIENSI PADA REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI<br />

KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN AKIBAT KEKERASAN SEKSUAL<br />

Disa Dwi Fajrina<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jl. Rawamangun Muka, Jakarta Timur<br />

Email: disadwifajrina@ymail.com<br />

ABSTRACT<br />

This study aims to provide an overview of resilience in teenagers girl who experience unwanted pregnancy due<br />

to sexual abuse. The approach used in this study is a qualitative approach with a qualitative case study approach.<br />

Data collection techniques used were interviews, observation and documentation. Data were analyzed using<br />

qualitative data analysis techniques and techniques of data validity checks using triangulation.These results<br />

indicate that both the resilience so that the subject has the ability to positively adapt to the event of unwanted<br />

pregnancy due to sexual abuse. Subject I adapt to calm down and think over the matter while subject II adapting<br />

to talk to someone nearby. Both subjects also have a seventh aspect of building resilience with the capability of<br />

different quality. The subject I is better to regulate and control the negative impulse that is felt while subject II<br />

more visible sense of optimism and efficacy of the problem itself. The results also showed that support from the<br />

nearest such as family, friends, is one of the most influential factor on the development of resilience both<br />

subjects.<br />

1. Pendahuluan<br />

Keywords: Resilience, teenagers girl, unwanted pregnancy, sexual abuse<br />

Kehamilan merupakan dambaan bagi setiap<br />

wanita <strong>dan</strong> tentunya bagi mereka yang telah<br />

menikah, namun luapan perasaan terasa berbeda<br />

apabila pada usia remaja mengalami kehamilan<br />

tidak diinginkan akibat dari kekerasan seksual.<br />

Pada dasarnya, kekerasan seksual adalah setiap<br />

bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual<br />

secara paksa yang dilakukan oleh seseorang atau<br />

sejumlah orang namun tidak disukai <strong>dan</strong> tidak<br />

diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran<br />

sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti rasa<br />

malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga<br />

diri, kehilangan kesucian hingga mengalami<br />

kehamilan pada diri orang yang menjadi korban<br />

(Supardi & Sadarjoen, 2006). Beberapa kasus<br />

mengenai tindakan kekerasan seksual sebagian<br />

besar dialami oleh kaum perempuan. Salah satunya,<br />

dalam Laporan Khusus Komnas Perempuan tentang<br />

Kekerasan Seksual (2008) yang terjadi pada<br />

kerusuhan Mei 1998 menegaskan bahwa telah<br />

terjadi kekerasan seksual termasuk pemerkosaan<br />

didalam rangkaian kerusuhan Mei 1998 pada<br />

perempuan etnis Tionghoa dari usia anak, remaja<br />

sampai dewasa. Meskipun tidak ada jumlah yang<br />

pasti, hasil laporan ini menunjukkan bahwa jumlah<br />

korban dapat lebih dari yang pernah dilaporkan,<br />

termasuk oleh TGPF Mei 1998 yang menyebutkan<br />

a<strong>dan</strong>ya 85 orang perempuan korban kekerasan<br />

seksual. Serangan seksual dalam rangkaian<br />

kerusuhan Mei 1998 terjadi dalam bentuk<br />

kekerasan seksual dimana didalamnya terdapat<br />

ancaman perkosaan hingga tindak pemaksaan oral<br />

seks <strong>dan</strong> penganiayaan seksual dimana vagina<br />

dirusak dengan menggunakan berbagai benda.<br />

Dalam Laporan Khusus Komnas Perempuan<br />

tentang Kekerasan Seksual (2008) yang terjadi pada<br />

kerusuhan Mei 1998 juga menyebutkan bahwa<br />

dampak dari kejadian kekerasan seksual yang<br />

dialami oleh korban adalah takut terkena penyakit<br />

menular <strong>dan</strong> terjadinya kehamilan tidak diinginkan.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 56<br />

Dalam kasus lain, remaja mengalami kehamilan<br />

akibat tindak kekerasan dalam berhubungan<br />

seksual. Hasil riset yang dilakukan BKKBN (2010)<br />

di Jakarta menyebutkan pada tahun 2010, 51%<br />

remaja putri mengalami kasus hamil tidak<br />

diinginkan sebelum menikah. Rata-rata terdapat 17<br />

% kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan<br />

seksual yang dialami remaja putri.<br />

Balai Besar <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> Pengembangan<br />

Pelayanan Kesejahteraan Sosial <strong>dan</strong> Departemen<br />

Sosial Republik Indonesia (BKKBN, 2008) juga<br />

melakukan penelitian yang bertujuan untuk<br />

mengetahui perkembangan kasus-kasus kehamilan<br />

pada remaja putri usia 10-24 tahun. Hasil penelitian<br />

menunjukkan bahwa tahun 2002-2005, remaja putri<br />

yang mengalami kehamilan tidak diinginkan akibat<br />

kekerasan seksual dari pasangan sebanyak 35%.<br />

Berdasarkan data penelitian tersebut, kekerasan<br />

seksual telah menimbulkan dampak kehamilan<br />

yang tidak diinginkan pada kaum perempuan<br />

terlebih remaja putri. Kehamilan yang terjadi<br />

adalah bukan kehamilan yang diinginkan oleh<br />

setiap pasangan yang telah menikah pada umumnya<br />

melainkan kehamilan terjadi akibat kekerasan<br />

seksual dalam berhubungan diluar sebuah<br />

pernikahan. Kehamilan tidak diinginkan tersebut<br />

terjadi akibat kekerasan secara seksual serta<br />

paksaan yang dialami oleh remaja putri disaat<br />

belum menikah.<br />

Secara umum, kehamilan tidak diinginkan<br />

merupakan suatu kondisi dimana pasangan tidak<br />

mengkehendaki a<strong>dan</strong>ya kelahiran akibat dari suatu<br />

kehamilan baik bagi pasangan yang sudah menikah<br />

ataupun belum menikah (DepKesRI, 2007). Salah<br />

satu faktor yang menyebabkan kehamilan tidak<br />

iinginkan adalah kehamilan yang diakibatkan oleh<br />

kekerasan dalam berhubungan seksual diluar<br />

pernikahan.<br />

Kehamilan tidak diinginkan sebagian besar<br />

dialami oleh remaja putri. Kehamilan tidak<br />

diinginkan yang dialami oleh remaja putri terjadi<br />

akibat kekerasan seksual yang disertai paksaan<br />

dalam berhubungan seksual. Kekerasan seksual<br />

dapat terjadi ketika pelaku memiliki kekuasaan<br />

yang lebih daripada remaja putri. Kekuasaan dapat<br />

berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi,<br />

kekuasaan ekonomi <strong>dan</strong> kekuasaan jenis kelamin<br />

(Wardhani & Lestari, 2009). Bahkan kekerasan<br />

seksual yang banyak terjadi dilakukan oleh<br />

pasangan remaja putri itu sendiri (BKKBN, 2008).<br />

Pasangan yang melakukan hubungan seksual<br />

seperti mencium tanpa persetujuan, sentuhan<br />

dibagian sensitif tanpa persetujuan, hingga<br />

berhubungan seksual tanpa ijin dapat dikatakan<br />

juga sebagai pemaksaan dalam kegiatan atau<br />

kontak seksual apabila salah satu pihak pasangan<br />

tidak menghendakinya (Murray, 2007). Remaja<br />

putri akan merasa takut apabila pasangan akan<br />

memutuskan hubungan <strong>dan</strong> melakukan hal yang<br />

lebih parah jika remaja putri menolak sehingga<br />

pasangan melakukan apapun sesukanya dengan<br />

bebas (Juniarsih, 2011).<br />

Beberapa remaja putri yang mengalami<br />

kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan<br />

seksual berupa paksaan dalam melakukan<br />

hubungan seksual mengakui bahwa telah a<strong>dan</strong>ya<br />

unsur paksa dalam melakukan hubungan seksual<br />

dari pasangan.<br />

Remaja putri yang mengalami kehamilan tidak<br />

diinginkan akibat kekerasaan seksual, beberapa<br />

diantaranya juga ditinggalkan oleh pasangan.<br />

Pasangan yang diharapkan oleh remaja putri untuk<br />

bertanggung jawab atas kehamilannya memilih<br />

pergi, menyarankan untuk menggugurkan<br />

kehamilan <strong>dan</strong> membiarkan remaja putri<br />

menanggung kehamilan serta dampak dari<br />

kehamilan tidak diinginkan tersebut seorang diri.<br />

Dina (2008) menyatakan bahwa remaja putri<br />

mengalami kehamilan tidak diinginkan menghadapi<br />

dilema sebab apabila hubungan berakhir akan<br />

terjadi luka <strong>dan</strong> trauma yang cukup medalam.<br />

Reivich <strong>dan</strong> Shatte (2002) mengemukakan<br />

beberapa emosi yang biasa dialami oleh remaja<br />

putri karena kandasnya hubungan percintaan<br />

setelah terjadinya kehamilan tidak diinginkan,<br />

yaitu kesedihan <strong>dan</strong> depresi, perasaan bersalah,<br />

marah, kecemasan <strong>dan</strong> juga perasaan malu.<br />

Perubahan mood yang kuat, cepat <strong>dan</strong> sering,<br />

perasaan mudah tersinggung, kesepian, mengalami<br />

masalah yang berkaitan dengan pola tidur <strong>dan</strong> nafsu<br />

makan, merasa putus asa <strong>dan</strong> bingung.<br />

Remaja putri yang mengalami kehamilan tidak<br />

diinginkan akibat kekerasan dari pasangan<br />

membuat remaja putri harus menanggung<br />

kehamilannya diusia yang masih belia seorang diri<br />

bahkan tanpa pasangan. Beberapa dampak yang<br />

membahayakan keselamatan remaja putri yang<br />

mengalami kehamilan juga turut mengancam.<br />

Sistem hormonal remaja putri juga belum stabil<br />

yang ditandai dengan belum teraturnya haid.<br />

Ketidakteraturan hormon tersebut akan membuat<br />

kehamilan menjadi tidak stabil, mudah terjadi<br />

perdarahan <strong>dan</strong> keguguran atau kematian (DepKes<br />

RI, 2007). McKenry, Walters <strong>dan</strong> Johnson (dalam<br />

Papalia <strong>dan</strong> Olds, 2001) juga menyatakan bahwa<br />

kehamilan pada remaja putri yang tidak diinginkan<br />

memiliki dampak tertentu seperti ketidaksiapan<br />

untuk melahirkan. Ketidaksiapan tersebut sangat<br />

mempengaruhi kondisi psikologis remaja putri.<br />

Kehamilan yang tidak diinginkan akibat<br />

kekerasan seksual dari pasangan mempengaruhi<br />

kondisi psikologis remaja putri sehingga telah<br />

menimbulkan posisi remaja putri dalam situasi<br />

yang serba salah <strong>dan</strong> memberikan tekanan batin,


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 57<br />

depresi, gangguan psikologis yang sangat<br />

berbahaya, marah pada diri sendiri, pada pasangan<br />

atau orang yang menyebabkan kehamilannya.<br />

Situasi yang dirasa remaja tersebut disebabkan oleh<br />

beberapa faktor, yaitu seperti malu karena<br />

kehamilannya adalah sebuah aib, takut tidak<br />

diterima oleh dari keluarga <strong>dan</strong> masyarakat,<br />

terpaksa harus keluar dari sekolah, terganggunya<br />

perekonomian keluarga <strong>dan</strong> persalinan yang tidak<br />

dipersiapkan. A<strong>dan</strong>ya keinginan untuk<br />

menggugurkan kandungan yang dapat mengancam<br />

jiwa remaja, cacat janin, perdarahan <strong>dan</strong> gangguan<br />

masa nifas. Terakhir, a<strong>dan</strong>ya pan<strong>dan</strong>gan remaja<br />

bahwa kehamilan yang tidak diinginkan dapat<br />

mempengaruhi pendidikan, rencana karier,<br />

kecemasan dalam menghadapi kehamilan,<br />

persalinan <strong>dan</strong> masa depannya (Manuaba, 1999).<br />

Remaja putri yang mengalami kehamilan tidak<br />

diinginkan tidak mendapatkan pertanggungjawaban<br />

dari pasangannya dihadapkan oleh dua pilihan,<br />

yaitu tetap melanjutkan kehamilan dengan<br />

konsekuensi mendapatkan aib <strong>dan</strong> tekanan<br />

masyarakat atau melakukan tindakan anarki seperti<br />

menggugurkan kandungan dengan resiko bahaya<br />

kesehatan <strong>dan</strong> keselamatan (Yuarsi, 2005).<br />

Beberapa dari remaja putri yang mengalami<br />

kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasaan<br />

seksual melakukan tindakan anarki <strong>dan</strong> percobaan<br />

bunuh diri. Tindakan anarki yang biasa dilakukan<br />

oleh remaja putri adalah dengan menggugurkan<br />

kandungan (aborsi) <strong>dan</strong> pembunuhan bayi, sebab<br />

itu adalah satu-satunya cara untuk meringankan<br />

dampak negatif dari kehamilan yang tidak<br />

diinginkan <strong>dan</strong> menghindari ketidaksiapan menjadi<br />

orang tua.<br />

Tindakan anarki lainnya adalah percobaan<br />

bunuh diri yang dilakukan oleh remaja putri di<br />

Pontianak, remaja yang masih berusia 18 tahun<br />

mencoba melakukan bunuh diri dengan cara<br />

meminum racun nyamuk karena malu mengandung<br />

janin yang tidak diinginkan akibat hubungan paksa<br />

yang dilakukan pasangannya. Remaja putri tersebut<br />

menenggak racun <strong>dan</strong> seketika tak sadarkan diri<br />

(Pontianak Post, 2012).<br />

Berbagai tindakan anarki dilakukan remaja putri<br />

untuk menghindari konsekuensi berat dalam<br />

hidupnya. Tidak mudah bagi remaja putri yang<br />

hamil akibat kekerasan seksual memperoleh suami.<br />

Bisa saja remaja putri yang mengalami kehamilan<br />

tidak diinginkan tersebut menikah dengan pasangan<br />

yang telah menyebabkan kehamilannya, namun<br />

bukan hal yang mudah untuk membangun bahtera<br />

perkawinan dengan seseorang yang pernah<br />

menghamilinya melalui kekerasan seksual. Fakta<br />

lainnya telah menyebutkan beberapa remaja justru<br />

ditinggalkan oleh pasangan yang menyebabkan<br />

kehamilannya.<br />

Kekerasan seksual yang dialami remaja putri<br />

juga dapat menimbulkan efek trauma yang<br />

mendalam. Remaja putri yang mengalami<br />

kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan<br />

seksual yang terjadi dapat mengalami stres.<br />

Keputusan untuk tetap melahirkan merupakan<br />

keputusan yang tidak mudah apalagi menerima<br />

kenyataan bahwa bayi yang dilahirkannya adalah<br />

hasil hubungan yang tidak diinginkan. Kehamilan<br />

tidak diinginkan akibat dari kekerasaan seksual<br />

yang terjadi merupakan sesuatu yang dapat<br />

mempengaruhi hidup remaja putri seumur hidup.<br />

Remaja putri yang mengalami kekerasan seksual<br />

mengalami stres karena peristiwa tersebut<br />

merupakan peristiwa traumatis yang sangat<br />

membekas bagi dirinya. Ketika seseorang<br />

mengalami kekerasan secara seksual secara fisik<br />

maupun psikologis, maka kejadian tersebut dapat<br />

menimbulkan suatu trauma yang sangat mendalam<br />

dalam diri seseorang tersebut terutama pada remaja<br />

(Wardhani & Lestari, 2009).<br />

Beberapa remaja putri lain yang mengalami<br />

kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasaan<br />

seksual dari pasangannya memilih untuk tetap<br />

melanjutkan kehamilan walaupun dengan<br />

konsekuensi mendapatkan aib <strong>dan</strong> tekanan<br />

masyarakat.<br />

Remaja putri tersebut merasakan perasaan malu,<br />

sedih, kecewa, rasa bersalah, tertekan <strong>dan</strong> perasaan<br />

negatif lainnya, tetapi mereka tidak membiarkan<br />

perasaan-perasaan negatif berada pada dalam<br />

dirinya berlarut. Remaja putri yang mengalami<br />

kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasaan<br />

seksual dari pasangannya berusaha untuk bertahan<br />

<strong>dan</strong> bangkit dari keadaan yang tertekan.<br />

Kemampuan untuk mengatasi, beradaptasi serta<br />

bertahan dalam keadaan tertekan <strong>dan</strong> bahkan<br />

berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau<br />

trauma yang dialami dalam kehidupannya disebut<br />

resiliensi (Reivich <strong>dan</strong> Shatte, 2002).<br />

Dari penelitian yang dilakukan oleh Tugade <strong>dan</strong><br />

Frederickson (2004) dinyatakan bahwa seorang<br />

individu yang resilien akan menyadari bahwa<br />

regulasi emosi positif lebih berguna daripada emosi<br />

negatif. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa<br />

individu yang resilien dapat mengatasi pengalaman<br />

buruknya secara lebih baik, ketika individu lain<br />

mengalami kondisi serupa <strong>dan</strong> tidak dapat<br />

mengatasinya sebaik individu yang resilien. Remaja<br />

putri yang resilien akan berusaha dengan sekuat<br />

tenaganya untuk bangkit <strong>dan</strong> menghadapi kesulitan<br />

atas kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan<br />

seksual dari pasangan, bahkan mampu mengatasi<br />

kesulitannya tersebut <strong>dan</strong> mengubahnya menjadi<br />

sesuatu yang positif. Oleh sebab itu, ada remaja<br />

putri yang mampu bertahan <strong>dan</strong> pulih dari situasi<br />

negatif secara efektif <strong>dan</strong> ada remaja putri lain yang<br />

gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 58<br />

kesulitan atas kehamilan tidak diinginkan akibat<br />

kekerasan seksual dari pasangan.<br />

Secara umum, resiliensi bermakna kemampuan<br />

seseorang untuk bangkit dari keterpurukan yang<br />

terjadi dalam kehidupannya. Individu dengan<br />

resiliensi yang positif mampu mengelola emosi<br />

mereka secara sehat. Remaja putri yang mengalami<br />

kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan<br />

seksual dari pasangannya juga merasakan perasaan<br />

sedih, marah, merasa kehilangan, sakit hati <strong>dan</strong><br />

tertekan. Dilain sisi, remaja putri tidak membiarkan<br />

perasaan semacam itu menetap dalam waktu lama.<br />

Remaja putri tersebut cepat memutus perasaan yang<br />

tidak nyaman <strong>dan</strong> tidak sehat, kemudian justru<br />

membantunya bertumbuh menjadi individu yang<br />

lebih kuat.<br />

Remaja putri tersebut tentunya mengalami<br />

proses stres, mereka harus beradaptasi, menerima<br />

kenyataan dengan keadaannya <strong>dan</strong> meneruskan<br />

kehamilan yang memang tidak diinginkan,<br />

melahirkan, mengasuh anaknya sendiri <strong>dan</strong> menjadi<br />

orang tua bagi anak dari kehamilannya tersebut.<br />

Bahkan sebagian dari mereka tetap<br />

mengembangkan pendidikan maupun kariernya<br />

sambil menyan<strong>dan</strong>g status ibu. Remaja putri yang<br />

mampu melewati masa-masa sulit atas kehamilan<br />

tidak diinginkan akibat kekerasan seksual dari<br />

pasangan menampakkan perilaku positif. Remaja<br />

putri tersebut mampu menyesuaikan diri dengan<br />

keadaan yang tidak menyenangkan, melewati<br />

keadaan yang tidak menyenangkan tersebut dengan<br />

baik bahkan menerima kehamilan yang tidak<br />

diinginkan tersebut menjadi bagian dari hidupnya<br />

dengan merawat kehamilan hingga anak tersebut<br />

besar. Proses pengambilan keputusan sampai<br />

remaja putri dapat menerima kenyataan <strong>dan</strong><br />

bertanggung jawab sebagai orang tua serta menjadi<br />

orang yang lebih baik merupakan salah satu<br />

kemampuan individu yang resilien (Reivich <strong>dan</strong><br />

Shatte, 2002).<br />

Kemampuan remaja putri untuk melanjutkan<br />

hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah<br />

mengalami tekanan yang berat seperti kesulitannya<br />

menghadapi kehamilan tidak diinginkan akibat<br />

kekerasan seksual dari pasangannya bukanlah<br />

sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut<br />

menggambarkan a<strong>dan</strong>ya kemampuan tertentu pada<br />

individu (Tugade & Fredrikson, 2004). Resiliensi<br />

adalah keterampilan yang penting untuk<br />

dikembangkan disegala sektor kehidupan. Adapun<br />

beberapa ciri utama pribadi dengan resiliensi tinggi<br />

itu berkisar pada kemampuan mempertahankan<br />

perasaan positif <strong>dan</strong> juga kesehatan serta energi.<br />

Individu yang resilien juga memiliki kemampuan<br />

memecahkan masalah yang baik, berkembangnya<br />

harga diri, konsep diri <strong>dan</strong> kepercayaan diri secara<br />

optimal. Oleh karena itu, resiliensi merupakan<br />

faktor penting dalam proses perkembangan<br />

psikologis untuk kembali memperbaiki keadaan <strong>dan</strong><br />

menerima kenyataan bagi remaja putri yang<br />

mengalami kehamilan tidak diinginkan akibat<br />

kekerasan seksual dari pasangannya.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini<br />

adalah pendekatan secara kualitatif sebagaimana<br />

yang dikemukakan oleh Creswell (2010) bahwa<br />

pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami<br />

makna dari masalah sosial yang terjadi pada<br />

sejumlah individu atau sekelompok orang. Dalam<br />

penelitian ini, masalah sosial yang diangkat<br />

mengenai resiliensi pada remaja yang mengalami<br />

kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan<br />

seksual. Resiliensi itu sendiri bersifat subjektif<br />

sebab setiap individu memiliki permasalahan yang<br />

berbeda-beda. Resiliensi juga bersifat dinamis,<br />

dapat berubah sesuai dengan kondisi yang<br />

berkembang setiap individu. Oleh karena itu, dalam<br />

prosesnya dibutuhkan pendekatan kualitiatif yang<br />

cocok digunakan untuk memahami manusia dalam<br />

segala kompleksitasnya sebagai mahkluk subjektif<br />

<strong>dan</strong> digunakan untuk hal yang membutuhkan<br />

pemahaman secara mendalam <strong>dan</strong> khusus<br />

(Poerwandari, 2009).<br />

Metode penelitian yang digunakan yaitu studi<br />

kasus, yaitu suatu penelitian dimana peneliti<br />

menyelediki secara cermat suatu aktivitas sejumlah<br />

individu (Creswell, 2010). Peneliti mengumpulkan<br />

informasi secara lengkap dengan menggunakan<br />

berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan<br />

waktu yang telah ditentukan (Stake dalam Creswell,<br />

2010).<br />

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil subjek<br />

remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan<br />

akibat kekerasan seksual sebanyak 2 orang dengan<br />

pertimbangan bahwa jumlah tersebut dapat<br />

memperlihatkan gambaran yang lebih menyeluruh<br />

terhadap resiliensi remaja yang mengalami<br />

kehamilan tidak diinginkan akibat kekerasan<br />

seksual.<br />

Proses pengambilan data dalam penelitian ini<br />

juga menggunakan observasi, wawancara, <strong>dan</strong><br />

dokumentasi. Observasi dilakukan untuk<br />

melengkapi <strong>dan</strong> memperoleh data tentang hal yang<br />

tidak diungkapkan oleh partisipan secara terbuka<br />

dalam wawancara (Creswell, 2010). Dalam<br />

penelitian ini observasi yang dilakukan adalah non<br />

partisipatif <strong>dan</strong> dituliskan secara naratif, yaitu<br />

observer tidak ikut melakukan apa yang dilakukan<br />

oleh subjek penelitian.<br />

Dalam penelitian ini, bentuk wawancara yang<br />

digunakan adalah wawancara semi terstruktur yaitu<br />

peneliti merancang serangkaian pertanyaan yang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 59<br />

disusun dalam suatu daftar wawancara akan tetapi<br />

daftar tersebut digunakan untuk menuntun bukan<br />

untuk mendikte wawancara tersebut (Smith, 2009).<br />

Oleh karena itu, dalam proses wawancara ini<br />

peneliti melengkapi dengan pedoman wawancara<br />

yang sangat umum berkenaan topik penelitian tanpa<br />

menentukan urutan pertanyaan. Menurut<br />

Poerwandari (2009), pedoman wawancara<br />

digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai<br />

aspek-aspek yang harus dibahas dalam proses<br />

wawancara <strong>dan</strong> juga sebagai daftar pengecek<br />

apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas<br />

atau telah ditanyakan. Prosedur pengumpulan data<br />

yang ketiga adalah dokumentasi dengan materi<br />

audio <strong>dan</strong> visual. Dalam penelitian ini dokumentasi<br />

dilakukan dengan materi audio berupa rekaman<br />

suara subjek.<br />

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan<br />

triangulasi sumber data <strong>dan</strong> triangulasi metode.<br />

Triangulasi sumber data yaitu mengambil data dari<br />

subjek penelitian <strong>dan</strong> dari orang-orang terdekat<br />

subjek. Triangulasi metode yaitu mengambil data<br />

dengan wawancara, observasi <strong>dan</strong> dokumentasi.<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

Menurut Reivich <strong>dan</strong> Shatte (2002), regulasi<br />

emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang<br />

dibawah tekanan. Individu yang memiliki<br />

kemampuan meregulasi emosi dapat<br />

mengendalikan dirinya apabila se<strong>dan</strong>g kesal <strong>dan</strong><br />

dapat mengatasi rasa cemas, sedih atau marah<br />

sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu<br />

masalah. Walaupun subjek I sempat merasakan<br />

perasaan sedih, marah, malu bahkan terlintas<br />

dibenakknya untuk bunuh diri <strong>dan</strong> menggugurkan<br />

kandungan, namun subjek I dapat segera mengatasi<br />

perasaan-perasaan negatif tersebut. Subjek I<br />

meregulasi emosinya dengan memilih untuk<br />

bersikap tenang dengan cara diam sambil terus<br />

berpikir mencari jalan keluar terhadap masalah<br />

kehamilan tidak diinginkan yang dialaminya. Jalan<br />

keluar tersebut didapatkan oleh SR ketika dirinya<br />

memutuskan untuk bercerita kepada ibu penjaga di<br />

sekolahnya.<br />

Sama halnya dengan subjek I, subjek II juga<br />

merasakan perasaan-perasaan negatif seperti rasa<br />

sedih, marah, malu, takut <strong>dan</strong> lain-lain. Subjek II<br />

meregulasi emosinya tersebut dengan cara mencari<br />

tempat yang tepat untuk meredam semua perasaanpreasaan<br />

negatifnya. Subjek II menjatuhkan pilihan<br />

dengan bercerita kepada tetangga yang sudah<br />

subjek II anggap sebagai kakaknya sendiri untuk<br />

mencari jalan keluar.<br />

Reivich <strong>dan</strong> Shatte (2002) juga memberikan<br />

definisi dari pengendalian impuls sebagai<br />

kemampuan individu untuk mengendalikan<br />

keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang<br />

muncul dari dalam diri. Dorongan-dorongan<br />

perasaan negatif yang muncul dari tekanan dalam<br />

diri subjek I seperti rasa amarah, sedih, perasaan<br />

bersalah, keinginan untuk bertindak anarki atas<br />

kehamilan tidak diinginkan yang dialaminya dapat<br />

dikendalikan oleh subjek I. Subjek I terus berusaha<br />

untuk tenang dengan cara berdiam diri<br />

menenangkan pikiran tanpa ada orang lain yang<br />

mengganggunya.<br />

Subjek II juga merasakan dorongan-dorongan<br />

dari perasaan negatif yang muncul akibat dari<br />

berbagai rasa tertekan yang dirasakan subjek II.<br />

Rasa sedih, kecewa, malu, takut, merasa berdosa<br />

terus meletup-letup namun subjek II berusaha untuk<br />

bersikap tenang <strong>dan</strong> tidak gegabah dengan<br />

menenangkan pikiran. Salah satu cara subjek II<br />

menenangkan pikiran adalah dengan berbagi apa<br />

yang se<strong>dan</strong>g dirasakannya dengan orang yang<br />

paling dekat dengan subjek II.<br />

Ketika individu melihat bahwa masa depan<br />

dirinya cemerlang <strong>dan</strong> percaya bahwa dirinya dapat<br />

menangani masalah-masalah yang muncul dimasa<br />

yang akan datang merupakan definisi optimisme<br />

menurut Reivich <strong>dan</strong> Shatte (2002). Subjek I<br />

optimis dengan masa depannya sebab akan<br />

meneruskan ujian kelulusan sekolah <strong>dan</strong> bekerja<br />

agar dapat hidup bahagia dengan anaknya. Subjek I<br />

juga yakin bahwa dirinya dapat melewati lika-liku<br />

kehidupannya nanti bersama orang-orang terdekat.<br />

Tidak jauh subjek II juga sangat optimis dengan<br />

kehidupannya nanti bahwa masa depannya akan<br />

berubah lebih baik dari sekarang. Subjek II akan<br />

berusaha untuk bekerja gara dapat memenuhi<br />

kebutuhan anaknya kelak.<br />

Menurut Reivich <strong>dan</strong> Shatte (2002), empati<br />

sangat erat kaitannya dengan kemampuan untuk<br />

membaca tanda-tanda emosi <strong>dan</strong> psikologis orang<br />

lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu<br />

mengenali bahasa-bahsa non verbal yang<br />

ditunjukkan oleh orang lain. Werner <strong>dan</strong> Smith<br />

(dalam Reivich <strong>dan</strong> Shatte, 2002) juga<br />

menambahkan individu yang berempati mampu<br />

mendengarkan <strong>dan</strong> memahami orang lain sehingga<br />

mendatangkan reaksi yang positif dari lingkungan.<br />

Subjek I sangat memahami <strong>dan</strong> merasakan<br />

kesedihan, kekecewaan <strong>dan</strong> kemurkaan<br />

keluarganya terhadap dirinya atas kesalahan yang<br />

telah dilakukan oleh dirinya. Bahkan subjek I juga<br />

memposisikan jika dirinya memiliki anak yang<br />

mengalami kehamilan tidak diinginkan. Subjek I<br />

sangat sedih ketika dirinya telah mengecewakan<br />

keluarga terutama ibunya <strong>dan</strong> berusaha untuk<br />

meminta maaf kepada seluruh keluarganya <strong>dan</strong>


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 60<br />

menyadari kesalahannya. Tidak sebatas itu usaha<br />

yang dilakukan oleh subjek I juga mencari<br />

tambahan uang agar dirinya tidak terlalu<br />

bergantung <strong>dan</strong> meringankan beban orang tuanya.<br />

Subjek II juga sangat memahami kesedihan,<br />

kekecewaan <strong>dan</strong> kemurkaaan yang dirasakan oleh<br />

keluarganya. Subjek II sangat sedih <strong>dan</strong> merasa<br />

telah mengecewakan keluarganya <strong>dan</strong> berusaha<br />

untuk meminta maaf kepada kedua orang tuanya<br />

terutama ibu. Subjek II juga memperlihatkan rasa<br />

kepedulian terhadap keluarga dengan bekerja<br />

menambah penghasilan untuk membantu biaya<br />

keluarganya.<br />

Menurut Reivich <strong>dan</strong> Shatte (2002), analisis<br />

penyebab masalah menggambarkan kemampuan<br />

individu untuk mengidentifikasikan secara akurat<br />

penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi.<br />

Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan<br />

penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi<br />

secara tepat, dirinya akan cenderung mengulang<br />

kesalahan yang sama. Kedua subjek mampu<br />

mengidentifikasi penyebab kehamilan tidak<br />

diinginkan mereka. Mereka dapat mengidentifikasi<br />

penyebab kehamilan tidak diinginkan yaitu karena<br />

melakukan hubungan yang seharusnya tidak boleh<br />

dilakukan sebelum menikah <strong>dan</strong> terlalu rela<br />

berkorban kepada seseorang yang baru dianggap<br />

kekasih. Kedua subjek juga percaya bahwa semua<br />

yang terjadi adalah atas kehendak Tuhan.<br />

Individu yang resilien adalah individu yang<br />

memiliki fleksibilitas kognisi <strong>dan</strong> mampu<br />

mengidentifikasi semua penyebab yang signifikan<br />

dalam permasalahan yang mereka hadapi tanpa<br />

terperangkap dalam explanatory style tertentu.<br />

Subjek I cenderung memiliki fleksibilitas<br />

kognisi dalam dimensi personal (saya-bukan-saya)<br />

Subjek I menyadari bahwa dirinya sendiri yang<br />

menyebabkan terjadinya kehamilan tidak<br />

diinginkan. Disamping itu, SR berpikir bahwa dia<br />

harus memikirkan bagaimana kehidupannya nanti<br />

<strong>dan</strong> tidak perlu unuk mencari kambing hitam dalam<br />

penyebab kehamilannya.<br />

Subjek I juga cenderung memiliki fleksibilitas<br />

kognisi dalam permanen (selalu-tidak selalu).<br />

Subjek I pun merasa kehamilan tidak diinginkan<br />

yang dialami bukan merupakan akhir<br />

kehidupannya. SR optimis bahwa semua itu adalah<br />

ujian dari Tuhan <strong>dan</strong> dirinya harus berusaha<br />

mencari solusi dari ujian yang diberikan oleh Tuhan<br />

bukan menjadikan masalah kehamilan dirinya<br />

sebagai suatu hambatan.<br />

Fleksibilitas kognisi subjek I dalam dimensi<br />

pervasif (semua-tidak semua), pada awalnya subjek<br />

I menganggap bahwa kehamilan tidak diinginkan<br />

yang dialami adalah suatu awal mula kehidupan<br />

yang suram, namun dengan selalu berbagi cerita<br />

dengan orang terdekat dirinya dapat bangkit <strong>dan</strong><br />

menjadi orang yang lebih baik.<br />

Subjek II cenderung memiliki fleksibilitas<br />

kognisi dalam dimensi personal (saya-bukan-saya)<br />

Subjek II menyadari bahwa kecerobohan dirinya<br />

ikut andil dalam hal yang menyebabkan terjadinya<br />

kehamilan tidak diinginkan. Subjek II sendiri tidak<br />

dapat mempersalahkan sepenuhnya kepada<br />

kekasihnya.<br />

Selain itu, subjek II juga cenderung memiliki<br />

fleksibilitas kognisi dalam permanen (selalu-tidak<br />

selalu). Subjek II berpikir bahwa dengan<br />

mengalami permasalahan kehamilan tidak<br />

diinginkan, hidupnya akan selalu bermasalah.<br />

Namun akhirnya subjek II yakin hidupnya akan<br />

berubah jika mau berusaha untuk menjadi lebih<br />

baik dari sebelumnya <strong>dan</strong> juga percaya setiap<br />

masalah pasti ada solusinya sehingga hidup tidak<br />

selalu penuh masalah. Subjek II yakin bahwa<br />

dirinya dapat melewati permasalahannya dengan<br />

terus berusaha untuk memperbaiki diri.<br />

Fleksibilitas kognisi PL dalam dimensi pervasif<br />

(semua-tidak semua), pada awalnya PL merasa<br />

kehamilan diluar pernikahan yang dialami adalah<br />

akhir dari kehidupannya, namun semakin lama PL<br />

merasa bahwa bukan saatnya unutk terus dalam<br />

keadaan yang seperti itu. PL yakin bahwa dirinya<br />

dapat melewati permasalahannya dengan terus<br />

berusaha untuk memperbaiki diri.<br />

Reivich <strong>dan</strong> Shatte (2002) mendefinisikan<br />

efikasi diri adalah keyakinan pada kemampuan diri<br />

sendiri bahwa mampu menghadapi <strong>dan</strong><br />

memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri<br />

juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil<br />

<strong>dan</strong> sukses. SR memiliki keyakinan bahwa dirinya<br />

dapat menyelesaikan masalah yang se<strong>dan</strong>g<br />

dihadapinya, sebab subjek memiliki keluarga <strong>dan</strong><br />

teman yang siap membantunya kapan saja. SR<br />

yakin dengan dirinya sendiri bahwa dirinya dapat<br />

membesarkan anakya hingga besar nanti. SR yakin<br />

anaknya akan jauh lebih baik dari ibunya.<br />

Subjek II meyakini bahwa dirinya mampu<br />

melewati masalah <strong>dan</strong> memiliki kehidupan yang<br />

lebih baik. Alasannya karena memiliki orang-orang<br />

selalu senantiasa ada disampingnya untuk<br />

membantunya ketika menghadapi masalah. Subjek<br />

II juga sangat yakin bahwa dirinya dapat<br />

membesarkan <strong>dan</strong> menghidupi anaknya hingga<br />

nanti.<br />

Resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang<br />

individu memiliki kemampuan untuk mengatasi<br />

kemalangan <strong>dan</strong> bangkit dari keterpurukan<br />

melainkan juga kemampuan individu untuk meraih<br />

aspek positif setelah kemalangan yang<br />

menimpanya. Kedua subjek mampu mengambil


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 61<br />

banyak pelajaran dari peristiwa kehamilan yang<br />

dialaminya. Kedua subjek mampu mampu memetik<br />

pelajaran yang bermakna dari peristiwa kehamilan<br />

yang dialaminya. Mereka mendapatkan pelajaran<br />

yang berharga bahwa dalam hidup seberat apapun<br />

itu masalah yang se<strong>dan</strong>g dihadapi, dirinya harus<br />

menghadapi <strong>dan</strong> bertanggung jawab atas semuanya,<br />

meskipun itu resiko pahit. Selain itu kedua subjek<br />

juga ingin menjadi orang yang lebih baik <strong>dan</strong> dapat<br />

membahagiakan orang lain. Hal tersebut tentunya<br />

juga mendukung kemampuan kedua subjek dalam<br />

peningkatan aspek positif dalam dirinya.<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil penelitian bahwa kedua subjek<br />

penelitian ini memiliki kemampuan pembangun<br />

resiliensi sehingga kedua subjek mampu<br />

beradaptasi positif dengan peristiwa kehamilan<br />

tidak diinginkan yang terjadi akibat kekerasan<br />

seksual dari pasangan subjek. Kedua subjek<br />

mengalami proses kesedihan, keterpurukan <strong>dan</strong><br />

kemudian berusaha untuk menerima kenyataan,<br />

melanjutkan kehamilan, melahirkan <strong>dan</strong> menjadi<br />

orang tua tunggal untuk anaknya. Masing-masing<br />

subjek memiliki tujuh aspek kemampuan<br />

pembangun resiliensi yang berbeda-beda.<br />

Subjek I baik dalam meregulasi emosi <strong>dan</strong><br />

mengendalikan dorongan-dorongan perasaan<br />

negatif atas masalah yang se<strong>dan</strong>g dihadapi oleh<br />

dirinya yaitu dengan cara menenangkan diri <strong>dan</strong><br />

menjauh dari orang lain yang dapat<br />

mengganggunya. Sehingga dengan itu subjek I<br />

dapat menemukan jalan keluar permasalahannya.<br />

Subjek I juga memiliki rasa optimis <strong>dan</strong> efikasi diri<br />

baik terhadap kehidupannya dimasa yang akan<br />

datang sebab subjek I memilih untuk melanjutkan<br />

sekolahnya yang sempat terhenti.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan subjek II kurang dalam hal<br />

meregulasi emosi <strong>dan</strong> mengendalikan doongandorongan<br />

negatif atas masalah yang se<strong>dan</strong>g<br />

dihadapi oleh dirinya sebab subjek II masih sulit<br />

mengendalikan sendiri apabila mengalami<br />

kesedihan yang meletup-letup. Subjek II juga masih<br />

membutuhkan orang lain untuk mendapatkan<br />

ketenangan <strong>dan</strong> menemukan jalan keluar terhadap<br />

masalahnya. Rasa optimis <strong>dan</strong> efikasi diri subjek II<br />

juga tidak jauh berbeda dengan subjek I namun<br />

subjek II lebih memilih untuk langsung bekerja<br />

daripada melanjutkan sekolahnya.<br />

Faktor orang terdekat, seperti keluarga, sahabat<br />

<strong>dan</strong> masyarakat sekitar kehidupan subjek juga<br />

sangat membantu proses perkembangan resiliensi<br />

kedua subjek. Sebab, kedua subjek membutuhkan<br />

dukungan, harapan positif <strong>dan</strong> kepedulian untuk<br />

menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan<br />

resiliensi dalam dirinya sehingga dapat menjadi<br />

sosok remaja putri yang lebih baik darisebelumnya.<br />

Daftar Pustaka<br />

Ali, Mohammad <strong>dan</strong> Mohammad Asrori. (2008).<br />

<strong>Psikologi</strong> Remaja Perkembangan Peserta Didik.<br />

Jakarta: Bumi Aksara.<br />

Apriani, Arista. Hubungan Antara Pengetahuan<br />

Tentang Resiko Kehamilan Pada Remaja di Luar<br />

Pernikahan Dengan Sikap Terhadap Hubungan<br />

Seksual Pranikah Pada Siswa SMAN 3 Magetan.<br />

(2010). Skripsi, Program Studi Kebi<strong>dan</strong>an.<br />

Universitas Sebelas Maret.<br />

Arida, I Nyoman Sukma, Kutanegara Pande Made,<br />

Basilica Dyah Putranti. Seks <strong>dan</strong> Kehamilan<br />

Pranikah Remaja Bali di Dua Dunia. 2005. Pusat<br />

Studi Kependudukan <strong>dan</strong> Kebijakan: Universitas<br />

Gajahmada Ford Foundation. 2005.<br />

Ba<strong>dan</strong> Koordinasi Keluarga Berencana Nasional<br />

(BKKBN). 51 dari 100 Remaja di Jabodetabek<br />

Sudah Tak Perawan. 2010.<br />

(http://www.ceria.bkkbn.go.id/beritanasional/kepala-bkkbn-51-dari-100remaja-dijabodetabek-sudah-tak-perawan.html)<br />

diakses pada<br />

tanggal 16 Februari 2012, pukul 09 : 48 WIB.<br />

Ba<strong>dan</strong> Koordinasi Keluarga Berencan Nasional<br />

(BKKBN). Kehamilan Tidak Diinginkan Dilakukan<br />

Oleh Remaja Usia 15-25 Tahun. 2008.<br />

(http://ceria.bkkbn.go.id/ceria/penelitian/detail/495)<br />

diakses pada tanggal 19 Februari 2012, pukul 19:39<br />

WIB.<br />

Creswell, John W. (2009). Research Design<br />

Qualitative, Quantitative, and Mixed Approaches<br />

3rd Edition. Thousand Oaks California: Sage<br />

Publication.<br />

Departemen Kesehatan RI. (2007). Modul<br />

Pelatihan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja<br />

(PKPR).<br />

Desmita. (2010). <strong>Psikologi</strong> Perkembangan.<br />

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.<br />

Hurlock, Elizabeth B. (1980). <strong>Psikologi</strong><br />

Perkembangan Edisi 5. Jakarta: Erlangga.<br />

Huraerah. (2007). Dampak Sosial <strong>Psikologi</strong>s<br />

Perkosaan.<br />

http://ebookfreetoday.com/download.php?lj=http://f<br />

atur.staff.ugm/file/jurnal/ %20Dampak%20Sosial-


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 62<br />

<strong>Psikologi</strong>s%20Perkosaan..pdf) diakses pada tanggal<br />

15 Juli 2012, pukul 10.30 WIB.<br />

Juniarsih, Devi. Kekerasan Dalam Berpacaran.<br />

2011.<br />

(http:m.kompasiana.com/post/muda/2011/03/10/re<br />

maja-kekerasan-dalam-berpacaran-part-iii/) diakses<br />

pada tanggal 15 Juli 2012, pada pukul 10.00 WIB<br />

KemenKes. Penyakit Menular Seksual. 2010.<br />

(http://kemenkes.net/datapenelitianpenyakitmenular<br />

seksual/indexx.php?module=detaildata&id=424)<br />

diakses pada tanggal 19 Februari 2012, pukul<br />

19:39 WIB<br />

Khodijah, Wahyu. (2010). Resiliensi Pada Siswa<br />

SMA yang Tidak Lulus Ujian Nasional. Skripsi,<br />

<strong>Psikologi</strong> Pendidikan. Universitas Negeri Jakarta.<br />

10 Tahun Tragedi Mei 1998 Saatnya Meneguhkan<br />

Rasa Aman, Langkah Maju Pemenuhan Hak<br />

Perempuan Korban Kekerasan Seksual. (2008).<br />

Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan<br />

Tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 <strong>dan</strong><br />

Dampaknya.<br />

Manuaba, Prof. Dr. Ida Bagus Gde. (1999).<br />

Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta:<br />

Arcan.<br />

M. M, Tugade & B. L Frederickson. (2004).<br />

Resilient Individual Use Positive Emotion To<br />

Bounce Back From Negative Emotional<br />

Experience, Journal of Personality and Social<br />

Psychology, Volume 24, no 2.<br />

Moloeng, Lexy J. (2007). Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.<br />

Murray. (2007). Dating Violence.<br />

http://ebookfreetoday.com/viewpdf.php?bt=DATING-VIOLENCE-Pengertian-<br />

DatingViolence&lj=http://repositiry.usu.ac.id/bitstr<br />

eam/123456789/22787/Chapter%2011.pdf) diakses<br />

pada tanggal 15 Juli 2012, pukul 10.30 WIB.<br />

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D.<br />

Human Developmen Edisi 8. (2001). USA:<br />

Macgraw – Hill Companis.<br />

Poerwandari, E. Kristi. (2009). Pendekatan<br />

Kualtitaif Untuk <strong>Penelitian</strong> Perilaku Manusia.<br />

Depok: LPSP3UI.<br />

Pontianak Post. Remaja Putri Bunuh Diri di<br />

Pontianak. 2012.<br />

(http://www.pontianakpost.com/berita/11428-<br />

Remaja-putri-bunuh-diri-dipontianak.html)<br />

Prof. Dr. Sugiyono. (2008). Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Pendidikan. Bandung: Alfabeta.<br />

Reivich and Shatte. (2002). The Resilience Factor 7<br />

Essential Skills for Overcoming Life’s Inevitable<br />

Obstacle. New York: Random House inc.<br />

Riana, Dina. (2008). Gambaran Resiliensi Pada<br />

Perempuan yang Putus Hubungan Setelah<br />

Melakukan Hubungan Seksual Premarital. Skripsi,<br />

<strong>Psikologi</strong>. Universitas Indonesia.<br />

Rice, Philip. (1999). The Adolescent Development,<br />

Relationship and Culture Edisi 9. Boston: Allyn<br />

Bacon.<br />

Santrock, John W. (2005). A Tropical Approach To<br />

Life Span Development. New York: Mcgraw – Hill<br />

Companis.<br />

Santrock, John W. (2002). Life Span Development<br />

Perkembangan Masa Hidup Edisi 5 Jilid 1. Jakarta:<br />

Erlangga.<br />

Sarlito, Sarwono Wirawan. (2006). <strong>Psikologi</strong><br />

Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.<br />

Smith, A. Jonathan. (2009). Dasar-dasar <strong>Psikologi</strong><br />

Kualitatif. Bandung: Nusa Media.<br />

Supardi & Sadarjoen. (2006). Teori Kekerasan.<br />

(http://ebookfreetoday.com/viewpdf.php?bt=TEORI-KEKERASAN-Pengertian-<br />

Kekerasan&lj=http://repositiry.usu.ac.id/bitstream/<br />

123456789/22787/Chapter%2011.pdf) diakses pada<br />

tanggal 15 Juli 2012, pukul 10.00 WIB.<br />

Tuapatiinaja, Josetta Maria Remila. (1998). Firo-B<br />

<strong>dan</strong> Hubungan Seksual Sebelum Pernikahan (Studi<br />

Kasus Pada Remaja Putri Yang Pernah Melakukan<br />

Hubungan Seksual Sebelum Pernikahan). Skripsi,<br />

<strong>Psikologi</strong>. Universitas Indonesia.<br />

Wardhani, Yurika & Weni Lestari. (2009).<br />

Gangguan Stres Pasca Trauma Pada Korban<br />

Pelecehan Seksual <strong>dan</strong> Perkosaan. Pusat <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>dan</strong> Pengembangan Sistim <strong>dan</strong> Kebijakan<br />

Kesehatan. Surabaya.<br />

Yuarsi, Susi Eja. (2005). Perempuan Yang<br />

Terpuruk Kehamilan Tidak Dikehendaki di<br />

Kalangan Pengungsi. Pusat Studi Kependudukan<br />

<strong>dan</strong> Kebijakan: Universitas Gajahmada Ford<br />

Foundation.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 63<br />

PERBANDINGAN TINGKAT LOYALITAS TERHADAP MEREK<br />

PADA PENGGUNA SMARTPHONE BERDASARKAN TEORI<br />

KEPRIBADIAN BIG FIVE FACTORS OF PERSONALITY<br />

Rury ST. Ruhaniah<br />

1. <strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

2. Jl. Mampang Prapatan V No: 17, Jakarta Selatan<br />

E-mail: rury.ruhaniah@ymail.com<br />

Abstract<br />

This study aims to know whether there is comparative of brand loyalty degree based on theory Big Five<br />

Factors of Personality on smart-phone user. The level of brand loyalty formed based on brand loyalty<br />

pyramid by David A. Aaker (1991) that having a certain characteristics on each level of brand loyalty.<br />

Research conducted by involving 142 smartphone user that settle in Jakarta. An instrument consisting of<br />

two research scale, the level of brand loyalty scale and personality scale that adopted from personality<br />

scale of International Personality Item Pool (IPIP) which based on NEO-PI R. Hypotheses tested by chi<br />

square analyze with the assistance program SPSS ver 17.0 for Windows. Based on the analysis result of<br />

data that has been done obtained chi square of personality variable is 58,070, degree of freedom is 4 with<br />

p-value 0.00 < 0.05, chi square of brand loyalty level variable is 15,958, degree of freedom is 4 with pvalue<br />

0.03 < 0.05. This means that the null hypothesis is rejected and the alternative hypothesis is<br />

accepted, then there is a significant comparison of levels of brand loyalty based on the theory the Big Five<br />

Factors of Personality on the smart-phone user.<br />

1. Pendahuluan<br />

Keywords: Brand Loyalty Personality, Big Five Factors, Smartphone, NEO-PI R<br />

Seiring dengan pesatnya kemajuan<br />

teknologi di bi<strong>dan</strong>g informasi dewasa ini,<br />

mendorong perkembangan teknologi internet<br />

berakselerasi lebih cepat yang berimbas pada<br />

cepatnya arus informasi di kalangan<br />

masyarakat. Terutama bagi mereka yang<br />

terbuka dengan informasi terbaru <strong>dan</strong> mampu<br />

mengikuti perkembangan teknologi. Hal ini<br />

mampu mendorong inovasi pada industri<br />

telekomunikasi, khususnya telepon seluler.<br />

Fungsi telepon seluler tidak lagi hanya untuk<br />

menelepon atau berkirim pesan melainkan juga<br />

sarana hiburan bagi pemiliknya <strong>dan</strong> didukung<br />

salah satunya dengan akses internet.<br />

Terdapat salah satu inovasi yang<br />

mendukung peningkatan kebutuhan internet<br />

melalui telepon seluler yaitu telepon seluler<br />

jenis smartphone. Smartphone atau telepon<br />

pintar merupakan jenis telepon seluler dengan<br />

beragam fungsi. Fungsi Smartphone mampu<br />

mengoptimalkan pengolahan data, penggunaan<br />

<strong>dan</strong> pemanfaatan data multimedia, <strong>dan</strong><br />

memberikan keleluasaan pada pengguna untuk<br />

berkomunikasi dengan berbagai bentuk, bisa<br />

menggunakan tulisan, foto, suara ataupun video<br />

serta beragam cara seperti layanan SMS (Short<br />

Message Service), MMS (Multimedia Message<br />

Service) atau layanan dengan menggunakan<br />

koneksi internet seperti email atau situs sosial<br />

(Ilyas & Ahson, 2006).<br />

Salah satu gambaran meningkatnya minat<br />

pada smartphone yaitu hingga akhir 2011,<br />

Blackberry merajai pasar Smartphone Indonesia<br />

dengan 51% hingga Desember 2011<br />

(tekno.kompas.com, 2012), produk tipe iPhone<br />

4s yang habis terjual saat peluncuran (Tempo,<br />

2012), <strong>dan</strong> Samsung yang hingga Juni 2011<br />

penjualan untuk produk jenis Smartphone terus<br />

meningkat <strong>dan</strong> mendekati angka 15%.<br />

Sejalan dengan dengan tingginya minat<br />

pada smartphone, terdapat fenomena mengenai<br />

golongan konsumen yang bergerak secara<br />

massal untuk mengkonsumsi beberapa produk<br />

kebutuhan tersier <strong>dan</strong> terkait pada brand tertentu<br />

(Tempo, 2012). Keberadaan golongan ini<br />

memberikan efek dalam kegiatan<br />

mengkonsumsi. Ketika mereka yang termasuk<br />

dalam golongan ini membeli satu merek<br />

smartphone dalam waktu berdekatan maka hal


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 64<br />

tersebut menjadi trend <strong>dan</strong> diikuti oleh orang<br />

disekeliling mereka. Hal ini dapat dilihat ketika<br />

Blackberry dimunculkan untuk mendukung<br />

mobilitas para penggelut bisnis namun faktanya<br />

tidak sedikit remaja atau ibu rumah tangga yang<br />

juga menggunakannya untuk mendapatkan<br />

akses internet yang mudah.<br />

Pola konsumsi ini sejalan dengan apa yang<br />

dijelaskan oleh Leis (1996) mengenai<br />

masyarakat modern. Perilaku mereka<br />

mempunyai gambaran kunci, yaitu dengan<br />

jumlah <strong>dan</strong> kompleksitas barang-barang yang<br />

tersedia di pasar berkembang dengan pesat,<br />

individu-individu cenderung<br />

menginterpretasikan perasaan-perasaan<br />

‘makmur’ dengan cara yang lebih eksklusif<br />

dalam pengertian sukses relatif mereka untuk<br />

memperoleh akses terhadap konsumsi tingkat<br />

tinggi.<br />

Berdasarkan gambaran fenomena pada<br />

bagian sebelumnya, terdapat kemungkinan<br />

konsumen untuk membeli produk smartphone<br />

tidak hanya sebagai penunjang komunikasi,<br />

mobilitas dalam karir <strong>dan</strong> berdasarkan<br />

kemampuan finansial yang mereka miliki,<br />

namun juga didorong oleh keterikatan pada<br />

merek tertentu sebagai salah satu bentuk untuk<br />

menunjukkan status sosial, kemodernan <strong>dan</strong><br />

kepribadian mereka yang teratribusi dalam<br />

merek yang mereka pilih.<br />

Gambaran tersebut terlihat ketika terjadi<br />

pembelian yang dilakukan oleh banyak individu<br />

yang terjadi secara massal terkait hanya pada<br />

merek-merek tertentu seperti BlackeBerry,<br />

iPhone, <strong>dan</strong> Samsung. Tidak sekedar membeli,<br />

terdapat pengorbanan yang dilakukan oleh<br />

konsumen untuk mendapatkan Smartphone dari<br />

merek yang mereka inginkan <strong>dan</strong> tidak terbatas<br />

pada harga dari produk tersebut atau segi<br />

finansial. Mereka rela mengantri, berdesakdesakan<br />

atau mendaftar dalam daftar tunggu<br />

atau waiting list untuk mendapatkan smartphone<br />

yang mereka inginkan. Kemudian mereka tidak<br />

ragu untuk melakukan pembelian ulang untuk<br />

produk yang berbeda namun dari merek yang<br />

sama.<br />

Terdapat kesukaan atau keterikatan yang<br />

muncul antara konsumen dengan merek<br />

Smartphone. Sehingga dapat dikatakan terdapat<br />

suatu bentuk kecenderungan komitmen intrinsik<br />

dalam diri konsumen pada merek tertentu yang<br />

disebut sebagai brand loyalty atau loyalitas<br />

merek.<br />

Brand Loyalty atau loyalitas terhadap<br />

merek didefinisikan sebagai derajat dimana<br />

konsumen mempunyai sikap positif terhadap<br />

merek, mempunyai komitmen terhadap merek<br />

itu, <strong>dan</strong> memiliki niat untuk tetap melakukan<br />

pembelian ulang. Seorang konsumen akan<br />

menunjukkan loyalitas merek ketika ia tidak<br />

hanya melakukan pembelian berulang tapi ia<br />

juga benar-benar menyukai <strong>dan</strong> memilih merek<br />

tersebut (Mowen, 2003).<br />

Loyalitas merek yang dimiliki individu<br />

dapat berbeda dengan individu yang lain. Ketika<br />

beberapa individu memutuskan ikut mengantri<br />

dalam peluncuran produk iPhone, terdapat<br />

individu lain yang mendaftarkan dirinya dalam<br />

daftar tunggu untuk mendapatkan iPhone yang<br />

diinginkan. Selain itu, terdapat individu yang<br />

cukup sering merekomendasikan merek yang ia<br />

gunakan kepada lingkungan sosialnya namun<br />

ada pula yang tidak merekomendasikan<br />

meskipun ia sangat puas akan merek tersebut.<br />

Perbedaan ini dijelaskan oleh Aaker (1991)<br />

dalam bentuk piramida loyalitas. Tingkat teratas<br />

dari loyalitas adalah Commited buyer atau<br />

pembeli yang berkomitmen. Mereka yang<br />

tergolong dalam tingkatan ini yaitu selain<br />

melakukan pembelian ulang, mereka bangga<br />

akan produk tersebut, melakukan rekomendasi,<br />

<strong>dan</strong> menjadikan produk kesukaan mereka<br />

sebagai sarana mengekspresikan diri mereka.<br />

(Aaker, 1991).<br />

Dilain sisi, meskipun konsumen dapat<br />

dilihat berdasarkan tingkatan loyalitasnya,<br />

namun terdapat perbedaan tentang bagaimana<br />

cara seorang konsumen untuk menunjukkan<br />

loyalitas pada merek yang mereka sukai. Hal ini<br />

karena terdapat perbedaan kecenderungan<br />

perilaku dalam menunjukkan loyalitasnya, yaitu<br />

kecenderungan afeksi, evaluasi positif, <strong>dan</strong><br />

respon perilaku positif. Ketiga hal ini dapat<br />

muncul sebagai respon yang khas <strong>dan</strong> berbeda<br />

pada masing-masing individu karena ada<br />

kepribadian yang berbeda pula.<br />

Kepribadian merupakan salah satu sistem<br />

penting untuk memahami alasan orang<br />

memperlihatkan perbedaan dalam konsumsi<br />

produk <strong>dan</strong> preferensi merek. Kepribadian yang<br />

mendasar <strong>dan</strong> nilai yang mereka refleksikan<br />

kerap tampak <strong>dan</strong> mudah terlihat. Bahkan<br />

kepribadian lebih tampak jika dibandingkan<br />

dengan motivasi atau pengetahuan. Bukan hal<br />

yang tidak lazim dalam bahasa sehari-hari untuk<br />

berbicara tentang sifat individu sebagai<br />

“kepribadiannya” (Engel, Blackwell, &<br />

Miniard, 1994).<br />

Seseorang mengatribusikan keinginan <strong>dan</strong><br />

sifat pribadinya dalam sebuah merek . Hal ini<br />

terjadi karena individu memilih sebuah merek<br />

yang sesuai dengan aspek yang ada dalam<br />

dirinya . Tidak hanya itu, beberapa penelitian<br />

menunjukkan bahwa merek dapat mendukung<br />

penggunanya dalam mengekspresikan diri<br />

mereka sendiri (Belk, 1988), diri ideal atau<br />

harapan akan diri mereka (Malhotra, 1988), atau


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 65<br />

dimensi spesifik dari dalam diri mereka (Kleine,<br />

Kleine, Keman, 1993) (Solomon, 2007).<br />

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, aspek<br />

dalam diri ataupun dimensi spesifik dalam diri<br />

terkait dengan bagaimana unsur kepribadian<br />

yang dominan mendorong individu dalam<br />

berperilaku. Hal inilah yang dapat<br />

memunculkan beragam respon perilaku yang<br />

terkait merek seperti bagaimana cara konsumen<br />

mempersepsikan merek tertentu, proses berpikir<br />

<strong>dan</strong> mengambil keputusan, proses emosional<br />

<strong>dan</strong> kognitif serta keunikan pribadi yang dapat<br />

dilihat secara kesatuan melalui kecenderungan<br />

kepribadian yang dimiliki.<br />

Kepribadian merupakan suatu pola tingkah<br />

laku, pikiran, <strong>dan</strong> emosi yang cenderung<br />

menetap <strong>dan</strong> mencirikan cara individu<br />

beradaptasi dengan dunia. Salah satu perspektif<br />

dalam kepribadian yaitu pan<strong>dan</strong>gan mengenai<br />

sifat. Teori sifat menyatakan bahwa kepribadian<br />

terdiri dari cakupan yang luas mengenai<br />

pembawaan yang cenderung tetap yang<br />

mengarahkan dalam respon yang berkarakter<br />

(Santrock, 2002).<br />

Berdasarkan teori kepribadian sifat, sifat<br />

atau ciri merupakan pola konsisten yang<br />

cenderung menetap dalam cara individu<br />

berperilaku, merasa <strong>dan</strong> berpikir dengan cara<br />

tertentu. Individu yang memiliki kecenderungan<br />

kuat untuk berperilaku dengan suatu cara<br />

dijelaskan sebagai individu yang cenderung<br />

memiliki sifat tersebut. (Pervin, Cervone, &<br />

John, 2005)<br />

Terdapat salah satu teori kepribadian sifat<br />

yaitu The Big Five Factors of Personality.<br />

Lewis Goldberg (1981) menganalisa kembali<br />

penelitian yang telah dilakukan <strong>dan</strong> terpesona<br />

dengan konsistensi akan hasil yang didapat,<br />

menyatakan bahwa “adalah hal yang mungkin<br />

untuk mendiskusikan tentang kasus <strong>dan</strong> model<br />

apapun dalam menstrukturkan perbedaan<br />

individu –dalam beberapa tingkatan- dalam<br />

dimensi ‘Big Five’ seperti ini” (Pervin,<br />

Cervone, & John, 2005: 255). “Big” atau besar<br />

memiliki makna bahwa setiap faktor atau<br />

dimensi menggolongkan sifat-sifat yang<br />

spesifik.<br />

The Big Five model memiliki lima faktor<br />

atau dimensi dari sifat yaitu Neuroticism (N),<br />

Extraversion (E), Openness (O), Agreeableness<br />

(A), <strong>dan</strong> Conscientiousness (C) atau yang lebih<br />

dikenal dengan faktor OCEAN yang diambil<br />

dari huruf awal kelima faktor tersebut.<br />

Neuroticism berhubungan dengan sifat yang<br />

menggambarkan kestabilan emosi, Extraversion<br />

mengarah pada kuantitas <strong>dan</strong> intensitas<br />

hubungan interpersonal, Openness terkait<br />

dengan keaktifan <strong>dan</strong> keterbukaan terhadap hal<br />

baru, Agreeableness mengarah pada orientasi<br />

individu mengenai kasih sayang hingga<br />

ketidaksukaan sepanjang kontinum, <strong>dan</strong><br />

Conscientiousness mengarah pada sifat yang<br />

mendorong perilaku yang mengarah pada tujuan<br />

(Pervin, Cervone, & John, 2005).<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Studi yang dilakukan dalam penelitian ini<br />

merupakan penelitian kuantitatif dengan<br />

pendekatan komparasi. Variabel terikat dalam<br />

penelitian ini adalah tingkat loyalitas merek.<br />

Tingkatan loyalitas merek merupakan skor<br />

tertinggi yang diperoleh dari hasil pengukuran<br />

pengisian kuesioner loyalitas merek yang<br />

disusun berdasarkan teori loyalitas David A.<br />

Aaker mengenai piramida loyalitas merek<br />

(Gambar 1). Tingkat loyalitas merek diukur<br />

dengan indikator-indikator yang berada pada<br />

setiap tingkatan piramida loyalitas yaitu tingkat<br />

switcher buyer, habitual buyer, satisfied buyer,<br />

likes the brand, <strong>dan</strong> committed buyer (Aaker,<br />

1991).<br />

Commited<br />

Buyer<br />

Likes the Brand<br />

Satisfied Buyer<br />

Habitual Buyer<br />

Switchers<br />

Gambar 1. Piramida Loyalitas Merek<br />

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah<br />

kepribadian. Tipe kepribadian berdasarkan Big<br />

Five Factors of Personality merupakan skor<br />

tertinggi diantara faktor-faktor lainnya yang<br />

diperoleh dari hasil pengukuran pengisian skala<br />

kepribadian yang diadaptasi dari NEO-PI R.<br />

Populasi yang digunakan dalam penelitian<br />

ini yaitu para pengguna smartphone dengan<br />

karakteristik sampel yaitu berada pada rentang<br />

usia 18 tahun keatas <strong>dan</strong> berdomisili di Jakarta.<br />

Teknik sampling dilakukan dengan metode<br />

nonprobability sampling yaitu sampling<br />

aksidental. Sehingga subyek yang diikutsertakan<br />

dalam kegiatan penelitian berjumlah 142<br />

subyek.<br />

Data dikumpulkan dengan menggunakan<br />

dua buah skala pengukuran, yaitu skala yang<br />

mengukur tingkat loyalitas merek <strong>dan</strong> skala<br />

yang mengukur kepribadian. Skala tingkat<br />

loyalitas merek disusun berdasarkan piramida<br />

loyalitas merek dari Aaker (1991). Uji coba<br />

dilakukan terhadap kelompok sampel uji coba


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 66<br />

yang berjumlah 35 orang (Sugiyono, 2003).<br />

Seleksi item-item yang gugur <strong>dan</strong> valid<br />

menggunakan batas koefisien korelasi sebesar<br />

0,30. Item dengan koefisien korelasi di atas 0,30<br />

dianggap memiliki daya beda item yang<br />

memuaskan. Berdasarkan hasil uji coba,<br />

koefisien reliabilitas yang didapat terhadap item<br />

terpilih dengan menggunakan teknik Alpha<br />

Cronbach sebesar 0.935 sehingga terdapat 32<br />

item valid dari 50 item awal atau sekitar 64%<br />

dari total item awal.<br />

Pada skala kepribadian berasal dari<br />

organisasi International Personality Item Pool<br />

(IPIP) yang telah diadopsi. Uji coba dilakukan<br />

terhadap kelompok sampel uji coba yang<br />

berjumlah 35 orang. Seleksi item-item yang<br />

gugur <strong>dan</strong> valid menggunakan batas koefisien<br />

korelasi sebesar 0,30. Berdasarkan hasil uji<br />

coba, Koefisien reliabilitas yang didapat dengan<br />

menggunakan teknik Alpha Cronbach sebesar<br />

0,905 <strong>dan</strong> kemudian terdapat 18 item valid.<br />

Selanjutnya dilakukan analisis data berdasarkan<br />

data lapangan dengan menggunakan teknik uji<br />

statistic Chi Square.<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

3.1 Hasil<br />

Subyek didominasi oleh individu pada<br />

rentang usia 21-25 tahun dengan jumlah 95<br />

subyek atau setara dengan 68% dari total<br />

keseluruhan subyek. Dengan menggunakan<br />

perhitungan statistik, maka diperoleh rata-rata<br />

usia subyek yaitu ±23 tahun (mean = 23,51)<br />

dengan usia tertua yaitu 44 tahun <strong>dan</strong> usia<br />

termuda yaitu 18 tahun (Tabel 1).<br />

Usia Jumlah Persentase<br />

18 - 20<br />

Tahun<br />

18 13%<br />

21 - 25<br />

Tahun<br />

95 68%<br />

26 - 30<br />

Tahun<br />

17 12%<br />

31 - 35<br />

Tahun<br />

7 4%<br />

36 - 40<br />

Tahun<br />

5 3%<br />

Total 142 100%<br />

Tabel 1. Prevalensi subyek berdasarkan usia<br />

Subyek penelitian didominasi individu<br />

berjenis kelamin pria dengan jumlah 88 subyek<br />

atau setara dengan 62% dari keseluruhan jumlah<br />

subyek. Se<strong>dan</strong>gkan subyek berjenis kelamin<br />

wanita berjumlah 54 subyek atau setara dengan<br />

38% (Tabel 2)<br />

Jenis Kelamin Jumlah Persentase<br />

Pria 88 62%<br />

Wanita 54 38%<br />

Total 142 100%<br />

Tabel 2. Prevalensi subyek berdasarkan jenis<br />

kelamin<br />

Tingkat pendidikan terakhir subyek<br />

terbanyak yaitu D3/S1 berjumlah 69 subyek<br />

atau setara dengan 48% <strong>dan</strong> tingkat pendidikan<br />

lain yang berjumlah tidak jauh berbeda yaitu<br />

SMP/SMA berjumlah 65 subyek atau setara<br />

dengan 46% (Tabel 3)<br />

Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase<br />

SMP/SMA 65 46%<br />

D3/S1 69 48%<br />

S2 8 6%<br />

Total 142 100%<br />

Tabel 3. Prevalensi subyek berdasarkan<br />

tingkat pendidikan<br />

Sekitar 41,5% atau sejumlah 59 subyek<br />

yang berdomisili di wilayah Jakarta Selatan. Hal<br />

ini terjadi karena lokasi pengambilan data<br />

langsung ke lapangan dilakukan di wilayah<br />

Jakarta Selatan, yaitu Rasuna Said. Se<strong>dan</strong>gkan<br />

subyek yang berdomisili di wilayah Jakarta<br />

Timur sebagai domisili terbanyak kedua<br />

berjumlah 32 subyek atau setara dengan 22,5%<br />

(Tabel 4)<br />

Domisili Jumlah Persentase<br />

Jakarta Utara 16 11.3%<br />

Jakarta Barat 18 12.7%<br />

Jakarta 59 41.5%<br />

Selatan<br />

Jakarta Timur 32 22.5%<br />

Jakarta Pusat 17 12%<br />

Total 142 100%<br />

Tabel 4. Prevalensi subyek berdasarkan<br />

Domisili<br />

BlackBerry merupakan jenis smartphone<br />

yang paling banyak digunakan oleh subyek<br />

yaitu 70 subyek yang menggunakannya atau


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 67<br />

sekitar 49,3% dari total keseluruhan subyek.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan iPhone menempati tempat kedua<br />

dengan jumlah 29 subyek atau 20,4% (Tabel 5)<br />

Jenis Smartphone Jumlah Persentase<br />

BlackBerry 70 49.3%<br />

iPhone 29 20.4%<br />

Samsung 19 13.4%<br />

Nokia 14 9.9%<br />

LG 1 0.7%<br />

Asus Padphone 1 0.7%<br />

HTC 4 2.8%<br />

Sony/SonyEricsson 4 2.8%<br />

Total 142 100%<br />

Tabel 5. Prevalensi subyek berdasarkan<br />

Jenis Smartphone<br />

Berdasarkan masa penggunaan smartphone,<br />

didominasi oleh kelompok subyek dengan<br />

waktu kurang dari 1 (satu) tahun dengan jumlah<br />

65 subyek atau setara dengan 46% dari total<br />

keseluruhan. Se<strong>dan</strong>gkan terdapat 36 subyek atau<br />

sekitar 25% yang sudah menggunakan<br />

smartphone kurang dari 2 (dua) tahun <strong>dan</strong> 15<br />

subyek atau sekitar 11% yang sudah<br />

menggunakan smartphone selama lebih dari 3<br />

tahun (Tabel 6)<br />

Masa penggunaan Jumlah Persentase<br />

≤12 bulan 65 46%<br />

13-24 bulan 36 25%<br />

25-36 bulan 26 18%<br />

>36 bulan 15 11%<br />

Total 142 100%<br />

Tabel 6. Prevalensi subyek berdasarkan<br />

Masa Penggunaan<br />

Setelah proses pengukuran dengan skala<br />

loyalitas merek, diperoleh jumlah subyek<br />

terbanyak berada pada tingkatan satisfied buyer<br />

yaitu berjumlah 36 subyek atau setara dengan<br />

25,4% dari total keseluruhan. Se<strong>dan</strong>gkan subyek<br />

yang berada pada tingkatan habitual buyer<br />

hanya berselisih satu angka dengan satisfied<br />

buyer, yaitu 35 subyek (Tabel 7)<br />

N Min Max Mea<br />

n<br />

Std.<br />

Devi<br />

ation<br />

Committe<br />

d Buyer<br />

32 2.38 4.00 3.125 .4164 7,1%<br />

Likes The<br />

Brand<br />

29 2.57 4.00 3.197 .4066 24,6%<br />

Satisfied 36 2.43 4.00 3.159 .4081 25,4%<br />

%<br />

Buyer<br />

Habitual<br />

Buyer<br />

35 2.60 3.60 3.023 .2509 20,4%<br />

Switcher 10 2.80 3.20 2.940 .1897 22,5%<br />

Total 142 100%<br />

Tabel 7. Deskripsi data tingkatan loyalitas<br />

merek subyek<br />

Mayoritas subyek memiliki kecenderungan<br />

kepribadian Openness to Experience dengan<br />

jumlah 55 subyek atau setara dengan 38,7% dari<br />

total keseluruhan subyek. Se<strong>dan</strong>gkan terbanyak<br />

kedua yaitu kepribadian agreeableness yang<br />

berjumlah 40 subyek atau sekitar 28,2% dari<br />

total keseluruhan jumlah subyek (Tabel 8)<br />

N Min Max Mean<br />

Std.<br />

Deviat<br />

ion<br />

%<br />

Conscien 11 3.25 4.75 4.3182 .40452 4,2<br />

tiousness<br />

%<br />

Agreeabl 40 2.75 5.00 4.1063 .50917 21,2<br />

eness<br />

%<br />

Opennes 55 3.00 5.00 4.3030 .41709 38,7<br />

s<br />

%<br />

Extraver 30 2.75 5.00 3.7750 .55844 28,2<br />

sion<br />

%<br />

Neurotic 6 2.67 4.67 3.7778 .77936 7,7<br />

ism<br />

%<br />

Total 142 100<br />

Tabel 8. Deskripsi data kepribadian subyek<br />

Selanjutnya frekuensi dari masing-masing<br />

kelompok subyek. Subyek dengan<br />

kecenderungan kepribadian Neuroticism <strong>dan</strong><br />

berada pada tingkat loyalitas switcher, satisfied<br />

buyer, likes the brand, <strong>dan</strong> committed buyer<br />

berjumlah masing-masing 1(satu) subyek, serta<br />

berjumlah 2(dua) subyek pada tingkatan<br />

habitual buyer. Subyek dengan kepribadian<br />

Extraversion mayoritas berada pada tingkatan<br />

loyalitas habitual buyer <strong>dan</strong> satisfied buyer<br />

dengan jumlah yang sama yaitu 9 subyek.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan untuk tingkatan switcher, likes the<br />

brand <strong>dan</strong> committed masing-masing secara urut<br />

berjumlah 3, 5, <strong>dan</strong> 4 subyek.<br />

Pada kelompok subyek dengan kepribadian<br />

Opennes mayoritas berada pada tingkatan likes<br />

the brand dengan jumlah 16 subyek. Selain itu,<br />

terdapat 14 subyek termasuk dalam tingkat<br />

satisfied buyer, 12 subyek termasuk dalam<br />

tingkat habitual buyer, 11 subyek termasuk<br />

dalam tingkat committed buyer, <strong>dan</strong> 2 subyek<br />

termasuk dalam tingkat switcher.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan untuk kelompok subyek dengan<br />

kepribadian Agreeableness mayoritas berada


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 68<br />

pada tingkat loyalitas committed buyer dengan<br />

jumlah 13 subyek. Terdapat 10 subyek pada<br />

tingkatan habitual buyer, 9 pada tingkat<br />

satisfied buyer, 5 subyek pada tingkat likes the<br />

brand, <strong>dan</strong> 3 subyek pada tingkat switcher.<br />

Selanjutny pada kelompok subyek kepribadian<br />

conscientiousness terdapat 3 subyek yang<br />

berada pada tingkatan committed buyer, <strong>dan</strong><br />

dengan jumlah yang sama pada tingkatan<br />

satisfied buyer. Se<strong>dan</strong>gakan pada tingkatan likes<br />

the brand <strong>dan</strong> habitual buyer memiliki jumlah<br />

yang sama yaitu 2 subyek, <strong>dan</strong> terdapat 1<br />

subyek yang berada pada tingkatan switcher<br />

(Tabel 9)<br />

Swit<br />

che<br />

r<br />

Habi<br />

tual<br />

Buye<br />

r<br />

Satis<br />

fied<br />

Buye<br />

r<br />

Like<br />

The<br />

Bran<br />

d<br />

Comm<br />

itted<br />

Buyer<br />

To<br />

tal<br />

Neurot<br />

icism<br />

1 2 1 1 1 6<br />

Extrav<br />

ersion<br />

3 9 9 5 4 30<br />

Openn<br />

ess<br />

2 12 14 16 11 55<br />

Agree<br />

ablene<br />

ss<br />

3 10 9 5 13 40<br />

Consci<br />

entiou<br />

sness<br />

1 2 3 2 3 11<br />

Total 10 35 36 29 32 14<br />

2<br />

Tabel 9. Perbandingan Frekuensi Tingkat<br />

Loyalitas Subyek berdasarkan Kepribadian<br />

Selanjutnya analisa Skor chi kuadrat pada<br />

variabel kepribadian adalah 58,070 dengan<br />

derajat bebas (df) adalah 4 <strong>dan</strong> signifikansi 0,00.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan skor chi kuadrat pada variabel<br />

tingkat loyalitas adalah 15,958 dengan derajat<br />

bebas (df) adalah 4 <strong>dan</strong> signifikansi sebesar<br />

0,003. Jika dilihat pada tabel nilai chi kuadrat,<br />

skor untuk taraf signifikansi 0,05 <strong>dan</strong> nilai df= 4<br />

adalah 9,488. Dengan demikian dapat dikatakan<br />

bahwa Ho ditolak <strong>dan</strong> Ha diterima karena skor<br />

chi kuadrat hitung lebih besar dibandingkan<br />

skor chi kuadrat tabel <strong>dan</strong> terbukti signifikan<br />

karena p


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 69<br />

Selanjutnya terdapat jumlah subyek<br />

terbanyak kedua adalah kelompok individu<br />

dengan kecenderungan kepribadian<br />

Agreeableness yaitu berjumlah 40 subyek <strong>dan</strong><br />

13 diantaranya berada pada tingkatan loyalitas<br />

committed <strong>dan</strong> individu yang berada pada<br />

tingkat loyalitas committed memang didominasi<br />

oleh individu dengan kecenderungan<br />

Agreeableness.<br />

Hal ini diasumsikan karena individu dengan<br />

karakteristik Agreeableness yang dominan<br />

memiliki sifat yang baik hati, tidak mudah<br />

kecewa, cenderung menaruh kepercayaan pada<br />

hal-hal kehidupannya, <strong>dan</strong> pemaaf (Pervin,<br />

Cervone, & John, Theory and Research, 2005).<br />

Sehingga ketika merek Smartphone yang<br />

dimiliki memberikan pengalaman yang kurang<br />

menyenangkan, individu dengan karakteristik<br />

Agreeableness yang dominan mampu<br />

memakluminya.<br />

Pernyataan ini sejalan dengan gambaran<br />

respon jawaban pada pernyaataan nomor 17<br />

pada skala tingkat loyalitas merek yang<br />

berbunyi “Saya mengeluhkan kelemahan<br />

smartphone saya di media sosial”. Sebanyak 75<br />

subyek atau setara dengan 53% dari total<br />

keseluruhan subyek yang menyatakan “Tidak<br />

Setuju”, termasuk didalamnya seluruh subyek<br />

dalam kategori Agreeableness.<br />

Individu Agreeableness menunjukkan hasil<br />

yang sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya<br />

oleh Wilburn Lane <strong>dan</strong> Chris Manner mengenai<br />

pengaruh sifat kepribadian berdasarkan<br />

penggunaan telepon seluler. Hasil penelitian<br />

tersebut menunjukkan bahwa Agreeableness<br />

lebih mengutamakan fungsi telepon, audio, atau<br />

video (Lane & Manner, 2011). Tiga fitur utama<br />

yang dapat dinikmati secara optimal dengan<br />

menggunakan smartphone<br />

Selanjutnya pada kelompok subyek dengan<br />

kecenderungan kepribadian conscientiousness<br />

mengisi dua tingkat loyalitas dengan jumlah<br />

subyek yang sama yaitu satisfied buyer <strong>dan</strong><br />

committed buyer. Satisfied buyer merupakan<br />

tingkatan bagi individu yang pada hakikatnya<br />

puas dengan kualitas merek namun<br />

membutuhkan switching cost jika<br />

mengharuskan untuk berpindah merek.<br />

Sehingga seringkali mereka melakukan analisa<br />

perbandingan. Penjelasan tersebut memiliki<br />

kesesuaian dengan karakteristik dari tipe<br />

conscientiousness. Individu dengan karakteristik<br />

conscientiousness yang dominan akan<br />

cenderung terorganisir, disiplin, <strong>dan</strong> teliti<br />

(Pervin, Cervone, & John, 2005). Selanjutnya<br />

adalah subyek dengan kepribadian neuroticism<br />

yang memiliki jumlah subyek terbanyak pada<br />

tingkat loyalitas habitual. Individu neuroticism<br />

rentan untuk merasakan kecemasan sehingga<br />

mereka akan lebih nyaman untuk membeli<br />

merek yang telah biasa dibeli.<br />

4. Kesimpulan<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa<br />

terdapat perbandingan tingkat loyalitas merek<br />

pada pengguna smartphone berdasarkan teori<br />

kepribadian Big Five Factors of Personality.<br />

Berdasarkan syarat hitung > tabel maka<br />

hipotesis null ditolak <strong>dan</strong> p


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 70<br />

Pervin, L. A., Cervone, D., & John, O. P.<br />

(2005). Personality (9 th ed.). United States of<br />

America: John Wiley & Sons, Inc.<br />

Santrock, J. W. (2002). Psychology (7 th ed.).<br />

United States of America: Mc Graw Hill.<br />

Solomon, M. R. (2007). Consumer Behavior (7 th<br />

ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall.<br />

Sugiyono. (2003). Statistika untuk <strong>Penelitian</strong>.<br />

Bandung: CV ALFABETA<br />

www.tekno.kompas.com. Accessed on April 10,<br />

2012, from<br />

tekno.kompas.com:http://tekno.kompas.com/rea<br />

d/2012/02/22/10251619/Indonesia.Pasar.Mengg<br />

iurkan.bagi.BlackBerry


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 71<br />

RESILIENSI PADA WANITA YANG MENGALAMI ABORTUS<br />

SPONTANEA<br />

Imanika Bunga Ayu<br />

<strong>Psikologi</strong>,Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jakarta<br />

Imanika_luphpepala@yahoo.com<br />

Abstrack<br />

The purpose of this research is to provide a depiction of the resilience of women who had<br />

experienced spontaneous abortion.<br />

The research method used is descriptive quantitative. The authors use questionnaires based on<br />

the dimensions of resilience resilience by Reivich & Shatte (2002). Characteristics of the survey<br />

respondents were women who had experienced a spontaneous abortion, aged 18-40 years, and had never<br />

married. Respondents totaling 44 people were taken by purposive sampling technique. Results showed<br />

resilience try out the scale reliability scores are interpreted 0.813 resilience questionnaire is reliable. The<br />

test data is done with SPSS version 16.00.<br />

The results of this research, indicate that the level of resilience of women who had experienced a<br />

spontaneous abortion was 27 respondents are in a high level of resilience, 17 respondents were in<br />

medium level of resilience.<br />

Keyword : Resilience, Women, Spontaneous Abortion<br />

I. Pendahuluan<br />

Dewasa awal bagi seorang wanita<br />

merupakan suatu gerbang menuju tugas<br />

perkembangan yang sangat menentukan bagi<br />

masa depan kehidupan rumah tangga. Hurlock<br />

(1980) mengatakan bahwa salah satu tugas<br />

perkembangan dari wanita dewasa awal<br />

meliputi memilih seorang teman hidup, belajar<br />

hidup bersama dengan suami membentuk suatu<br />

keluarga, memiliki anak <strong>dan</strong> membesarkannya<br />

serta mengelola sebuah rumah tangga dengan<br />

baik. Hal tersebut mutlak dilakukan oleh<br />

mayoritas wanita sebagai bentuk pemenuhan<br />

kebutuhan baik secara fisik maupun secara<br />

psikologis.<br />

Ketika wanita beranjak dewasa <strong>dan</strong><br />

memutuskan untuk menikah dengan<br />

pasangannya, wanita cenderung memiliki<br />

harapan untuk memiliki buah hati dalam rumah<br />

tangga. Sehingga tidak sedikit dari wanita<br />

tersebut untuk tidak menunda memiliki anak.<br />

Kehamilan merupakan satu-satunya cara bagi<br />

wanita agar memiliki keturunan. Bagi sebagian


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 72<br />

besar wanita, kehamilan merupakan anugerah.<br />

Menurut Okun <strong>dan</strong> Rappapport, kelahiran<br />

seorang anak akan menyelamatkan pernikahan<br />

(Santrock, 2002:120). Budaya di Indonesia pun<br />

menganggap bahwa wanita dapat dikatakan<br />

sempurna jika wanita tersebut menikah, dapat<br />

merasakan hamil <strong>dan</strong> memiliki keturunan. Tidak<br />

heran jika wanita di Indonesia cenderung<br />

berpikir untuk cepat menikah <strong>dan</strong> memiliki<br />

keturunan. Kehamilan bisa menjadi pengalaman<br />

yang bisa dibagi, melibatkan lebih dari sekedar<br />

keadaan fisik seseorang wanita yang<br />

mengandung janin.<br />

Ketika proses kehamilan tersebut<br />

terjadi, tidak selamanya kehamilan<br />

menghasilkan suatu kelahiran anak yang sehat.<br />

Banyak faktor yang mempengaruhi kondisi ibu<br />

<strong>dan</strong> janin sehingga tidak sedikit wanita yang<br />

mengalami masalah dalam kehamilannya. Salah<br />

satu permasalahannya adalah wanita mengalami<br />

keguguran atau abortus spontanea.<br />

Abortus spontanea adalah keluarnya<br />

hasil konsepsi atau janin tanpa intervensi medis<br />

maupun mekanis sebelum janin mencapai usia<br />

kehamilan 22 minggu (Saifuddin, dkk, 2002:M-<br />

11). Orang-orang awam lebih mengenal abortus<br />

spontanea dengan istilah keguguran. Faktorfaktor<br />

yang menyebabkan wanita mengalami<br />

abortus spontanea terdiri dari faktor eksternal<br />

<strong>dan</strong> faktor internal. Faktor-faktor tersebut<br />

diperjelas oleh Roeshadi (2004) yang<br />

menyatakan bahwa kemiskinan, kebodohan,<br />

ketidaktahuan, <strong>dan</strong> budaya diam wanita<br />

Indonesia, ditambah lagi oleh transportasi yang<br />

sulit <strong>dan</strong> ketidakmampuan membayar<br />

pelayanan yang baik akan menyebabkan<br />

pelayanan untuk ibu hamil di Indonesia masih<br />

kecil cakupannya, sehingga banyak kasus<br />

rujukan yang diterima di Rumah Sakit sudah<br />

sangat terlambat <strong>dan</strong> gawat sehingga sulit<br />

ditolong (Roeshandi, 2004).<br />

Terdapat faktor-faktor medis yang<br />

melatarbelakangi terjadinya abortus spontanea,<br />

diantaranya karena wanita mengalami kelainan<br />

pertumbuhan hasil konsepsi, kelainan pada<br />

plasenta, penyakit ibu yang tiba-tiba menyerang<br />

(seperti pneumonia <strong>dan</strong> cacar), <strong>dan</strong> masih<br />

banyak lagi alasan medis yang menyebabkan<br />

wanita hamil harus mengalami abortus<br />

spontanea. Usia juga berpengaruh dengan<br />

kerentanan wanita terhadap abortus spontanea<br />

dalam kehamilannya. Wanita pada usia 25-29<br />

tahun beresiko mengalami abortus spontanea<br />

sebesar 10,7%, sementara wanita berusia 30-34<br />

beresiko mengalami abortus spontanea sebesar<br />

14,2% <strong>dan</strong> pada usia 35-39 tahun wanita<br />

beresiko mengalami abortus spontanea sebesar<br />

26,2% (“European Journal of Endocrinology”,<br />

2004). Jika melihat pada kenyataan di atas,<br />

semakin wanita dewasa secara usia, maka<br />

beresiko tinggi mengalami abortus spontanea<br />

pada kehamilannya.<br />

Abortus spontanea berdampak secara<br />

fisik <strong>dan</strong> psikologis bagi para wanita yang<br />

mengalaminya. Dari beberapa dampaknya<br />

diantaranya : kehilangan harga diri (82%),<br />

berteriak-teriak histeris (51%), mimpi buruk<br />

berkali-kali mengenai bayi (63%), ingin<br />

melakukan bunuh diri (28%), mulai mencoba<br />

menggunakan obat-obat terlarang (41%), tidak<br />

bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)<br />

(www.aborsi.org).<br />

Berakhirnya kehamilan akibat<br />

keguguran dapat menyebabkan timbulnya<br />

depresi. Para wanita tersebut mungkin akan<br />

kehilangan kepercayaan diri akibat merasa tidak<br />

mampu untuk mempercayai tubuh si wanita itu<br />

sendiri <strong>dan</strong> melahirkan. Merasa kehilangan,<br />

sedih, merasa kosong, marah, merasa tidak<br />

cukup, bersalah <strong>dan</strong> cemburu merupakan<br />

berbagai perasaan yang ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g dialami<br />

setelah berakhirnya kehamilan (Patel,<br />

2001:222). Hal tersebut diperkuat dengan hasil<br />

penelitian yang menyebutkan bahwa wanita<br />

yang mengalami abortus spontanea menderita<br />

depresi, dilanda kesedihan, rasa bersalah <strong>dan</strong><br />

kecemasan (Broen, et al, 2004).<br />

Pernyataan sedih, cemas, takut <strong>dan</strong><br />

merasa bersalah yang berkepanjangan dapat<br />

mengakibatkan kesehatan secara psikologis pun<br />

menjadi terganggu. Wanita-wanita ini secara<br />

alamiah tentunya akan lebih sensitif. Tetapi<br />

tuntutan untuk terus melanjutkan hidup <strong>dan</strong><br />

merubah hidup wanita tersebut di tengah masa<br />

krisis setelah mengalami abortus spontanea<br />

menjadi suatu keadaan yang membuat wanita<br />

menjadi dilema terhadap perannya. Perlu<br />

a<strong>dan</strong>ya dorongan dari lingkungan eksternal<br />

untuk membangun kembali motivasi <strong>dan</strong><br />

semangat hidup dari para wanita yang pernah<br />

mengalami abortus spontanea ini. Dukungan<br />

sosial <strong>dan</strong> moral berupa dukungan <strong>dan</strong><br />

pendekatan personal sangat diperlukan oleh para<br />

wanita ini, disamping itu peran suami <strong>dan</strong><br />

keluarga yang meyakinkan kebermaknaan suatu<br />

kehidupan merupakan hal yang paling penting<br />

bagi peningkatan rasa kepercayaan diri para<br />

wanita yang pernah mengalami abortus<br />

spontanea. Memberikan perhatian <strong>dan</strong><br />

penanganan secara medik juga merupakan<br />

bagian dari cara agar membangkitkan rasa<br />

kepercayaan diri di dalam hidupnya.<br />

Dengan dukungan yang besar, akan<br />

timbul dari wanita ini untuk melakukan adaptasi<br />

dengan hidup yang baru, menilai, mengatasi,<br />

<strong>dan</strong> meningkatkan diri ataupun mengubah<br />

dirinya dari keterpurukan dalam hidupnya,


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 73<br />

sehingga wanita ini memiliki keteguhan hati <strong>dan</strong><br />

kekuatan untuk menghadapi kehidupannya baik<br />

sekarang <strong>dan</strong> untuk menjalani kehidupannya<br />

menuju ke masa depan. Kekuatan-kekuatan<br />

tersebut dapat mengantarkan individu terhadap<br />

suatu titik yang dinamakan resiliensi.<br />

Resiliensi adalah kemampuan untuk<br />

mengatasi dengan baik perubahan hidup pada<br />

level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah<br />

kondisi penuh tekanan, bangkit dari<br />

keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah<br />

cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak<br />

sesuai lagi dengan kondisi yang ada, <strong>dan</strong><br />

menghadapi permasalahan tanpa melakukan<br />

kekerasan (Siebert, 2005).<br />

Abortus spontanea merupakan kejadian<br />

yang luar biasa bagi para wanita, bukan hanya<br />

dapat mengindikasikan kelainan dalam bentuk<br />

fisik, juga menghasilkan kondisi psikologis.<br />

Wanita tersebut dapat dikatakan resiliensi jika<br />

wanita mampu bertahan dalam keadaan<br />

tertekan, <strong>dan</strong> bahkan berhadapan dengan<br />

kesengsaraan (adversity) atau trauma yang<br />

dialami dalam kehidupannya (Reivich. K &<br />

Shatte. A, 2002).<br />

II. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>Penelitian</strong> ini merupakan penelitian<br />

deskriptif kuantitatif. Teknik pengambilan<br />

sampel yang dilakukan dalam penelitian ini<br />

menggunakan teknik non-random sampling.<br />

Peneliti menggunakan kuisioner resiliensi<br />

berdasarkan dimensi resiliensi oleh Reivich &<br />

Shatte (2002) sebanyak 50 aitem pernyataan<br />

ditambah dengan 8 pertanyaan terbuka sebagai<br />

penguat dari jawaban 50 aitem penyataan<br />

sebelumnya. Karakteristik responden penelitian<br />

adalah wanita yang pernah mengalami Abortus<br />

Spontanea, berusia 18-40 tahun, <strong>dan</strong> sudah<br />

pernah menikah. Responden berjumlah 44 orang<br />

yang diambil dengan teknik purposive<br />

sampling. Hasil try out skala resiliensi<br />

menunjukan skor reliabilitas 0,813 yang<br />

dimaknai kuesioner resiliensi adalah reliabel.<br />

Pengujian data dilakukan dengan SPSS versi<br />

16.00.<br />

III. Hasil <strong>dan</strong> Pembahasan<br />

A. Hasil<br />

Dari data 44 responden tersebut dapat<br />

dilihat hasil analisis statistik berupa ukuran<br />

tendensi sentral. Ukuran tendensi sentral yang<br />

dihitung berupa mean atau rataan sebaran skor<br />

sebesar 158,77; median atau nilai tengah skor<br />

sebesar 159; modus atau skor yang paling<br />

banyak di dapat responden sebesar 165; standar<br />

deviasi atau skor simpangan sebesar 1,277 <strong>dan</strong><br />

ukuran juling atau kecondongan kurva bergerak<br />

positif dengan skewness 0,426. Range dari data<br />

sebesar 46.<br />

Grafik 1. Sebaran Data Sampel <strong>Penelitian</strong><br />

Untuk menentukan Tinggi atau<br />

rendahnya tingkat resiliensi responden, peneliti<br />

menginput data sesuai dengan hasil data yang<br />

dikumpulkan. Penentuan batas atas <strong>dan</strong> batas<br />

bawah dilakukan berdasarkan mean teoritik dari<br />

data.<br />

Penggolongan tersebut dilakukan<br />

dengan menghitung menggunakan rumus :<br />

a. Tinggi : X > (μ + 1 SD)<br />

b. Se<strong>dan</strong>g : (μ - 1 SD) < X < (μ + 1 SD)<br />

c. Rendah : X< (μ - 1 SD)<br />

Dengan melihat hasil jawaban<br />

instrumen penelitian, skor total bergerak dari<br />

angka terendah yaitu 140, <strong>dan</strong> angka tertinggi<br />

yaitu 186. Nilai rata-rata 158,77 ; median 159 ;<br />

<strong>dan</strong> modus 165. Terdapat 27 responden yang<br />

memiliki tingkat resiliensi yang tinggi, <strong>dan</strong> 17<br />

responden memiliki tingkat resiliensi yang<br />

se<strong>dan</strong>g. Tidak terdapat responden yang<br />

memiliki resiliensi rendah.<br />

Secara teoritik, resiliensi terbangun<br />

atas 7 aspek, diantaranya regulasi emosi, kontrol<br />

terhadap sikap-sikap impulsif, optimisme,<br />

empati, kemampuan menganalisa masalah,<br />

efikasi diri <strong>dan</strong> pencapaian. Secara garis besar,<br />

dapat dikatakan bahwa responden yang<br />

memiliki resiliensi yang tinggi jika skor total<br />

berada di atas 150. Sehingga responden yang<br />

dikatakan resilien adalah responden yang<br />

bersikap atau memiliki lebih dari 75% dari<br />

pernyataan yang mewakili ketujuh aspek<br />

resiliensi tersebut. Dan responden dikatakan<br />

memiliki resiliensi rendah jika responden<br />

memiliki sikap yang kurang dari 50% dari


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 74<br />

pernyataan yang mewakili ketujuh aspek<br />

resiliensi<br />

tersebut.<br />

Tabel 1. Prosentase<br />

Kategorisasi Kelas Resiliensi Responden<br />

200<br />

180<br />

160<br />

140<br />

120<br />

100<br />

80<br />

60<br />

40<br />

20<br />

0<br />

Grafik 2. Tabulasi Nilai Resiliensi Wanita Yang Pernah Mengalami Abortus<br />

Spontanea.<br />

Dari pemaparan data-data di atas, jelas responden (dalam penelitian ini adalah wanita yang<br />

mengalami abortus spontanea) memiliki 2 tingkatan, yaitu tinggi <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g.<br />

B. Pembahasan<br />

NO KATEGORISASI JUMLAH PROSENTASE<br />

1 Tinggi 27 responden 61, 36%<br />

2 Se<strong>dan</strong>g 17 responden 38,64%<br />

3 Rendah 0 responden 0%<br />

Dari data demografis yang diperoleh oleh<br />

peneliti, usia wanita yang menjadi responden<br />

tersebar dari usia 21 tahun hingga 40 tahun. Hal<br />

ini sesuai dengan kodrat perkembangan wanita<br />

dewasa awal yang memiliki tugas<br />

perkembangan untuk menikah, membentuk<br />

keluarga <strong>dan</strong> memiliki anak. Nampaknya,<br />

kehamilan yang dirasakan oleh responden tidak<br />

berujung pada kelahiran anak melainkan pada<br />

peristiwa abortus spontanea. Semakin<br />

bertambah usia pada wanita, maka kehamilan<br />

akan semakin rentan terhadap masalah abortus<br />

spontanea.<br />

Selanjutnya, dari data utama yang diperoleh<br />

oleh peneliti dapat dilihat bahwa wanita yang<br />

pernah mengalami abortus spontanea memiliki<br />

tingkat resiliensi yang cenderung tinggi <strong>dan</strong><br />

se<strong>dan</strong>g. Dari data kuantitatif menyebutkan<br />

bahwa 61,36% responden dinyatakan memiliki<br />

resiliensi tinggi <strong>dan</strong> 38,64% responden memiliki<br />

resiliensi se<strong>dan</strong>g. Dalam teori Reivich <strong>dan</strong><br />

Shatte (2002) menyatakan bahwa orang yang<br />

memiliki resiliensi adalah orang-orang yang<br />

memiliki ketujuh aspek yang menjadi dimensi<br />

dalam penelitian ini. Aspek tersebut adalah<br />

memiliki regulasi emosi yang baik, mampu<br />

mengontrol sikap impulsif yang ada pada<br />

dirinya, bersikap optimis, mampu menganalisis<br />

masalah, memiliki empati terhadap orang lain,


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 75<br />

memiliki efikasi diri <strong>dan</strong> pencapaian terhadap<br />

hal-hal yang positif. Dalam pemaparan tersebut<br />

jelas bahwa wanita-wanita yang menjadi<br />

responden penelitian ini memiliki ketujuh aspek<br />

dari resiliensi tersebut.<br />

Setiap orang mengalami kejadian traumatik<br />

<strong>dan</strong> menimbulkan stres yang tinggi, sehingga<br />

resiliensi diperlukan dalam menghadapi <strong>dan</strong><br />

mengendalikan diri sendiri. kemunduran yang<br />

dirasakan biasanya begitu ekstrim sehingga<br />

peneliti menggunakan aitem-aitem unfavorable<br />

dalam instrumen penelitian agar dapat melihat<br />

respon dari responden terhadap pernyataan yang<br />

bersifat tidak menggambarkan ciri-ciri pribadi<br />

yang memiliki resiliensi. Pada kesempatan yang<br />

sama peneliti menggunakan aitem favorable<br />

dalam instrumen agar dapat melihat respon dari<br />

responden terhadap pernyataan yang bersifat<br />

mewakili ciri-ciri pribadi yang memiliki<br />

resiliensi. Dari hasil yang didapat dengan<br />

kecenderungan tingkat resiliensi yang tinggi <strong>dan</strong><br />

se<strong>dan</strong>g tersimpulkan bahwa responden<br />

cenderung tidak setuju dengan aitem<br />

unfavorable <strong>dan</strong> cenderung setuju dengan aitem<br />

favorable sehingga menghasilkan skor total<br />

yang tinggi <strong>dan</strong> se<strong>dan</strong>g sesuai dengan batas<br />

mean teoritik yang terhitung manual.<br />

Selain itu, sebagai penguat jawaban dari<br />

pernyataan instrumen penelitian, peneliti<br />

memberikan pertanyaan terbuka yang terkait<br />

dengan intrumen penelitian. Pertanyaan tersebut<br />

merupakan perwakilan dari ketujuh dimensi<br />

resiliensi yang digunakan untuk membentuk<br />

suatu instrumen penelitian. Dari delapan<br />

pertanyaan terbuka yang diberikan terlihat<br />

bahwa responden cenderung memiliki perasaan<br />

sedih <strong>dan</strong> kecewa. Rasa duka yang mendalam<br />

pasti ada dalam diri responden tapi ketika<br />

responden tahu bahwa responden telah<br />

mengalami abortus spontanea <strong>dan</strong> merespon<br />

kejadian tersebut dengan sedih <strong>dan</strong> kecewa,<br />

responden telah mengindentifikasi masalah,<br />

dalam konteks abortus spontanea, sehingga<br />

responden bersikap sebagaimana mestinya.<br />

Responden tidak bersikap resiliensi jika<br />

responden berlarut-larut menangisi keadaanya.<br />

Mendekatkan diri merupakan hal yang<br />

menjadi pilihan terbanyak bagi responden untuk<br />

mengatasi perasaan tersebut sehingga responden<br />

dinilai mampu mengontrol sikap-sikap impulsif<br />

yang ada pada diri responden dengan<br />

mengendalikan diri <strong>dan</strong> berpikir jernih. Cara<br />

responden untuk mengumpulkan kekuatan<br />

untuk memiliki anak juga lebih bersifat spiritual<br />

dengan mendekatkan diri Tuhan dengan berdoa,<br />

ikhtiar, dsb. Hal tersebut merupakan gambaran<br />

bahwa responden mampu mengatasi permasalah<br />

dengan keyakinan <strong>dan</strong> kekuatan yang dimiliki<br />

oleh pribadi sehingga responden cenderung<br />

memiliki efikasi diri. Cara mengumpulkan<br />

kekuatan menjadi penguat aitem 44 pada<br />

instrumen penelitian. Keyakinan responden<br />

untuk memiliki momongan juga terbilang tinggi<br />

mencapai 90% - 100%. Hal tersebut<br />

menggambarkan bahwa ada harapan <strong>dan</strong> sikap<br />

optimis pada diri responden yang menjadi ciri<br />

utama pribadi yang resilien.<br />

Responden juga memiliki regulasi emosi<br />

yang baik dengan bersikap biasa saja terhadap<br />

lingkungan <strong>dan</strong> menghilangkan kecanggungan<br />

karena telah mengalami abortus spontanea.<br />

Ketika responden mengalami abortus<br />

spontanea, responden juga langsung mengetahui<br />

apa yang orang terdekat responden rasakan<br />

sehingga dapat dikatakan bahwa responden<br />

memiliki empati di dalam dirinya. Responden<br />

juga mampu mengambil hikmah positif dari<br />

kejadian abortus spontanea yang pernah dialami<br />

sehingga responden dapat dikatakan memiliki<br />

pencapaian dalam diri terkait dengan aitem 45.<br />

Responden memiliki harapan untuk rumah<br />

tangganya, tentunya berupa hal-hal positif yang<br />

diharapkan mewarnai rumah tangga responden<br />

setelah kejadian abortus spontanea yang<br />

responden alami. Hal tersebut mampu melihat<br />

bahwa responden memiliki sikap optimisme<br />

yang baik terhadap rumah tangga (baik dari segi<br />

keluarga, keturunan, ekonomi, sosial) <strong>dan</strong><br />

dirinya sendiri.<br />

Menurut Reivich and Shatte (2002),<br />

resiliensi berguna untuk mengatasi pengalaman<br />

negatif, stres, atau menyembuhkan diri dari<br />

trauma, juga berguna untuk mendapatkan<br />

pengalaman hidup yang lebih kaya <strong>dan</strong><br />

bermakna serta berkomitmen dalam mengejar<br />

pembelajaran <strong>dan</strong> pengalaman baru. Ketika<br />

responden mampu menarik hikmah dari suatu<br />

persitiwa, pasti individu tersebut telah belajar<br />

<strong>dan</strong> berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.<br />

Hal tersebut dapat mereduksi pengalaman<br />

negatif, stres <strong>dan</strong> menyembukan diri dari trauma<br />

sehingga responden dapat kembali melanjutkan<br />

hidupnya. Kehidupan berlanjut dengan sikapsikap<br />

optimis yang dibangun dengan<br />

berlandaskan pada kemampuan meregulasi<br />

emosi, efikasi diri, kontrol sikap, mahir<br />

menganalisis masalah, berempati <strong>dan</strong> mau<br />

belajar dari pengalaman maka muncul pribadi<br />

yang baru yang mampu bersikap positif <strong>dan</strong><br />

mencapai suatu pencapaian yang positif dalam<br />

hidupnya.<br />

Selanjutnya, dari jawaban-jawaban<br />

pernyataan pada instrumen <strong>dan</strong> pertanyaan<br />

terbuka dihasilkan jawaban yang cenderung<br />

konsisten sehingga peneliti tidak meragukan<br />

jawaban responden baik dalam pernyataan<br />

dalam aitem maupun pertanyaan dalam<br />

pertanyaan terbuka.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 76<br />

IV. Kesimpulan<br />

Dari hasil penelitian yang sudah<br />

dilakukan, tergambar tingkatan resiliensi pada<br />

wanita yang pernah mengalami abortus<br />

spontanea. Berdasarkan 44 responden yang<br />

mewakili populasi, hasil yang didapat bahwa<br />

tingkat resiliensi wanita yang mengalami<br />

abortus spontanea adalah pada kategori tingkat<br />

tinggi <strong>dan</strong> kategori tingkat se<strong>dan</strong>g. Tidak ada<br />

responden yang tergolong kategori tingkat<br />

rendah pada penelitian ini.<br />

V. Daftar Pustaka<br />

Anonim. (2010). Modul Pelatihan SPSS. Jakarta<br />

: Pusat Pengembangan Teknologi<br />

Informasi <strong>UNJ</strong>. h. 32-40.<br />

Armeini, A. (2010). Modul Analisis Data<br />

<strong>Penelitian</strong> Kuantitatif dengan SPSS.<br />

Jakarta : Program Studi <strong>Psikologi</strong> <strong>UNJ</strong>.<br />

h.7-19.<br />

Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M.<br />

(2007). Social Psychology. New Jersey<br />

: Pearson Education, Inc. p. 485.<br />

Azhari. (2002, Juni). Seminar Kelahiran Tidak<br />

diinginkan (aborsi) Dalam<br />

Kesejahteraan Reproduksi Remaja,<br />

Palembang : Fakultas Kedokteran<br />

Universitas Sriwijaya.<br />

Azwar, S. (2009). Dasar-Dasar Psikometri.<br />

Yokyakarta : Pustaka Pelajar.<br />

Azwar, S. (2010). Penyusunun Skala <strong>Psikologi</strong>.<br />

Yokyakarta : Pustaka Pelajar. h.51-59<br />

Bernas. (2011, Mei 31). Tiap Tahun 3,5 Juta<br />

Wanita Keguguran. Retrieved April<br />

29, 2012. from www.bkkbn.go.id:<br />

http://kepri.bkkbn.go.id/berita/.<br />

Beutel, M. E., et al. (2010, March). Life<br />

Satisfaction, Anxiety, Depression, and<br />

Resilience Across the Life Span of<br />

Men. Journal of The Aging Male,<br />

13(1): 32-39.<br />

Broen, et al. (2004). Psychological Impact on<br />

Women of Miscarriage Versus Induced<br />

Abortion : A 2-Year Follow-up Study.<br />

Psychosomatic Medicine (2004)<br />

66:265–271.<br />

Creswell, J.W. (2010). Reserach Design<br />

Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif <strong>dan</strong><br />

Mixed, 3rd ed, (terj.). Yokyakarta :<br />

Pustaka Pelajar. h.216-225.<br />

Desmita. (2010). <strong>Psikologi</strong> Perkembangan.<br />

Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.<br />

h.226-231.<br />

Hadi, S. (2004). Metodologi Research Jilid I.<br />

Yokyakarta: Andi Yokyakarta. h. 89-<br />

91.<br />

Hamilton, P.M. (1995). Dasar-Dasar<br />

Keperawatan Maternalis (Ni Luh Gede<br />

Yasmin Asih, Penerjemah). Jakarta :<br />

Penerbit Buku Kedokteran EGC.<br />

h.102.<br />

Hurlock, E.B. (1980). <strong>Psikologi</strong><br />

Perkembangan. Jakarta : Erlangga. h.<br />

245-272.<br />

Kerlinger, F. (2006). Asas-Asas <strong>Penelitian</strong><br />

Behavioral. Edisi ketiga (terj.).<br />

Yokyakarta : Gajah Mada University<br />

Press. h.660.<br />

Kusmaryanto, C.B. (2002). Kontroversi<br />

Abortus. Jakarta : PT. Grasindo. h.19-<br />

47.<br />

Mansjoer, A., et al. (2001). Kapita Selekta<br />

Kedokteran. Jakarta : Media<br />

Aesculapis. h.260-261.<br />

Norman, E,. (eds.), 2000, Resiliency<br />

Enhancement : Putting The Strengths<br />

Perspective Into Social Work Practice.<br />

New York : Columbia University<br />

Press. http://ebooksclub.org.<br />

Noviastuti & Fidianty, A. (2010). Kecemasan<br />

Pada Wanita Hamil Pasca Abortus.<br />

<strong>Jurnal</strong> No. 4, Januari-Juni 2010.<br />

Media Medika Muda.<br />

Patel, V. (n.d.). Ketika Tidak Ada Psikiater,<br />

Buku Panduan Pelayanan Kesehatan<br />

Jiwa (terj.). Aceh : The Royal College<br />

of Psychiatrist. h.222.<br />

Prummel, M. F., & Wiersinga, W. M. (2004).<br />

Thyroid Autoimmunity And<br />

Miscarriage. European Journal of<br />

Endocrinology (2004) 150 751–755.<br />

From<br />

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1<br />

1786691.<br />

Reivich , K & Shatte A. (2002). The Resilience<br />

Factor. New York : Broadway Books,<br />

Random House, Inc. p.9-47.<br />

Resiko Aborsi. (n.d.). Retrieved February 11,<br />

2012. http://aborsi.org/resiko.htm.<br />

Rinaldi. (2010). Resiliensi Pada Masyarakat<br />

Kota Pa<strong>dan</strong>g Ditinjau Dari Jenis<br />

Kelamin. <strong>Jurnal</strong> <strong>Psikologi</strong> Volume 3,<br />

No. 2, Juni 2010.<br />

Roeshadi, H. (2004). Ganguan <strong>dan</strong> Penyulit<br />

pada Masa Kehamilan. Me<strong>dan</strong> :<br />

Fakultas Kedokteran Universitas<br />

Sumatera Utara. From<br />

http://library.usu.ac.id/download/fk/obs<br />

tetri-haryono.pdf.<br />

Saifuddin, B. A., dkk. (2002). Buku Panduan<br />

Pelayanan Kesehatan Maternal <strong>dan</strong><br />

Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina<br />

Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h.M-<br />

11 – M-13.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 77<br />

Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development:<br />

Perkembangan Masa Hidup, 5rd ed,.<br />

Jakarta: Erlangga. p. 71-92.<br />

Sastrawinata, S, et al. (2005). Obstetri Patologi,<br />

Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi II,.<br />

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran<br />

EGC. h. 1-9.<br />

Sedgh, G. & Ball, H. (2008). Aborsi di<br />

Indonesia. Seri 2008, No.2. New York.<br />

Retrieved April 29, 2012. from<br />

www.guttmacher.org /<br />

info@guttmacher.org.<br />

Siebert, Al. (2005). The Resiliency Advantages.<br />

California : Berrett-Koehler Publisher,<br />

Inc. http://www.bkconnection.com.<br />

Statistik aborsi. (n.d.). Retrieved February 11,<br />

2012.<br />

http://www.aborsi.org/statistik.htm.<br />

Sudaryanto. (2007). Resiliensi <strong>dan</strong> Locus of<br />

Control Guru <strong>dan</strong> Staf Sekolah Pasca<br />

Gempa. <strong>Jurnal</strong> Kependidikan No.1,<br />

Mei 2007.<br />

Sugiyono. (2011). Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Pendidikan. Bandung : Alfabeta. h.<br />

207-208.<br />

Suryaratri, R.D. <strong>dan</strong> Armeini, A. (2009).<br />

Statistik Deskriptif : Statistika Dasar<br />

<strong>Psikologi</strong> <strong>dan</strong> Pendidikan. Jakarta :<br />

Program Studi <strong>Psikologi</strong> <strong>UNJ</strong>.<br />

UNDP. Human Development Index Tren Report<br />

2011. Retrieved February 11, 2012.<br />

From www.undp.org :<br />

http://hdr.undp.org/en/statistics/hdi/.<br />

UNDP. Human Development Report 2011 -<br />

Sustainability and Equity: A Better<br />

Future for All. Retrieved Ferbruary 11,<br />

2012. From www.undp.org:<br />

http://hdr.undp.org/en/media/HDI2008<br />

Tables.xls.<br />

Wijanarko, B. (n.d.). Presentasi Mengenai<br />

Abortus. Jakarta: Fakultas Kedokteran<br />

<strong>dan</strong> Kesehatan UMJ.<br />

Wiknjosastro, H. et al. (2006). Ilmu Kebi<strong>dan</strong>an<br />

(Edisi Ketiga). Jakarta : Yayasan Bina<br />

Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h.<br />

302-312.<br />

Wingo, A. P., Fani, N., Bradley, B., & Ressler,<br />

K. J. (2010). Psychological Resilience<br />

And Neurocognitive Performance In A<br />

Traumatized Community Sample.<br />

Journal of Depression And Anxiety 27 :<br />

768–774 (2010).


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 78<br />

KONSEP DIRI ANAK PEKERJA SEKS KOMERSIAL<br />

YANG TINGGAL DITENGAH MASYARAKAT<br />

Fatchun Nikmah<br />

Jurusan <strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jakarta<br />

E-mail: fatchun.nikmah@yahoo.co.id<br />

Abstract<br />

Stigma in today's society considers more sex workers as the dregs of society who only regarded as an<br />

immoral person who violates the norms of religion and society, so they are not appreciated. A prostitute is<br />

almost the majority have families, both parents, brother, husband or child. Communities usually negative<br />

view sex workers family and those views may influence the psychological development of child prostitutes.<br />

This study aims to determine the child's self-concept of prostitutes who live in the community.This study<br />

uses a qualitative case study approach, which is a special phenomenon that is present in a limited context,<br />

although the boundaries between phenomenon and context are not entirely clear. Determination techniques<br />

are the subject of the researchers used snowball sampling or chain sampling. The research was conducted in<br />

two villages that are within the scope of the district in one district on the island of Java. The subject of this<br />

study were children and adolescents aged prostitute who is still undergoing formal schooling.This study<br />

found that the first subject has a good self concept. There is not much of a gap between the basic self-concept<br />

and ideal self-concept on the subject. The first subject has a perceptual self-concept is not good because the<br />

subject is not satisfied with the current physical condition and there are gaps in the basic perceptual<br />

components and ideal self-concept. As for the conceptual and attitudinal self concept self concept can be<br />

considered a good subject because there is no gap between the conceptual and attitudinal components of the<br />

basic categories and ideal self-concept. While the second subject has a poor self-concept, as there are many<br />

gaps between the basic self-concept and ideal self concept on the subject. The subject has a perceptual selfconcept<br />

is not good, because the subject was not satisfied with his physical condition and his subjects make<br />

the situation as a benchmark of the ideal situation for him. In addition, the subject has attitudinal poor self<br />

concept.<br />

Keywords: Self-concept, children, sex workers, society, qualitative<br />

1. Pendahuluan<br />

Setiap individu memiliki kedudukan, status <strong>dan</strong><br />

peran tertentu dalam hubungannya dengan orang<br />

lain. Peran menggambarkan apa yang seharusnya<br />

diperlihatkan oleh individu pemegang peran<br />

tersebut dalam situasi yang umum. Misalnya, peran<br />

ibu dimasyarakat adalah membesarkan <strong>dan</strong><br />

mendidik anak dengan baik, mengatur rumah<br />

tangga, disamping melayani <strong>dan</strong> menjadi<br />

pendamping suami serta ikut membantu<br />

meningkatkan kesejahteraan keluarga. Karakteristik<br />

peran ini sering kali berbeda, tergantung dari<br />

budaya <strong>dan</strong> faktor-faktor sosial ekonomi lainnya.<br />

Oleh karena itu, biasanya setiap individu terlibat<br />

dalam interaksi dengan lebih dari satu kelompok<br />

<strong>dan</strong> masing-masing individu terka<strong>dan</strong>g harus<br />

menjalani peran status ganda dalam keadaan<br />

tertentu. Peran ganda seorang individu dalam<br />

masyarakat terka<strong>dan</strong>g tidak dapat dihindari oleh<br />

individu tersebut. Hal tersebut biasanya<br />

dikarenakan oleh keadaaan yang mendesak <strong>dan</strong><br />

memaksa individu tersebut untuk menjalaninya.<br />

Misalnya individu yang berperan sebagai ibu<br />

sekaligus sebagai pekerja seks. Peran seorang ibu<br />

yang diidentikkan dengan kasih sayang <strong>dan</strong> sosok<br />

yang mengajarkan kebaikan pada anaknya harus<br />

menjalani peran lain sebagai seorang pekerja seks<br />

yang dianggap bertentangan dengan norma<br />

masyarakat <strong>dan</strong> agama. Hal tersebut secara tidak<br />

langsung akan mempengaruhi peran individu itu<br />

sendiri baik sebagai ibu maupun sebagai pekerja<br />

seks, dimana pekerjaan sebagai pekerja seks<br />

mempengaruhi peran mereka sebagai seorang ibu.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 79<br />

Peran pekerja seks sering diidentikan dengan dunia<br />

pelacuran. Pelacuran merupakan masalah yang<br />

klasik <strong>dan</strong> struktural tetapi karena kebutuhan untuk<br />

menyelesaikannya maka menjadi relevan dengan<br />

tiap perkembangan zaman. Menurut Kartono<br />

(1999), pelacuran atau yang sering disebut dengan<br />

prostitusi atau pemuas nafsu seks, merupakan jenis<br />

pekerjaan yang setua umur manusia itu sendiri.<br />

Prostitusi sebagai masalah sosial sementara ini<br />

dilihat dari hubungan sebab-akibat <strong>dan</strong> asal<br />

mulanya tidak dapat diketahui dengan pasti, namun<br />

sampai saat ini pelacuran masih banyak dijumpai<br />

dalam kehidupan sehari-hari <strong>dan</strong> ada di hampir<br />

setiap wilayah di Indonesia, baik yang dilakukan<br />

secara terang-terangan maupun sembunyisembunyi.<br />

Para PSK berasal dari latar belakang keluarga yang<br />

bermacam-macam. Ada yang masih lajang, janda,<br />

sudah punya suami <strong>dan</strong> ada juga yang sudah<br />

memiliki anak. PSK yang memiliki anak,<br />

kebanyakan memilih profesi tersebut karena<br />

kebutuhan ekonomi. Mereka biasanya tinggal<br />

bersama anak-anak mereka <strong>dan</strong> membesarkannya<br />

seorang diri atau sebagai orang tua tunggal. Ada<br />

beberapa dari PSK yang sudah memiliki anak<br />

memilih untuk tinggal di lokalisasi. Namun, ada<br />

juga yang memilih untuk tinggal di tengah<br />

masyarakat <strong>dan</strong> hidup membaur dengan masyarakat<br />

lainnya. Kehidupan anak PSK yang tinggal di<br />

daerah lokalisasi agak berbeda dengan anak PSK<br />

yang tinggal di masyarakat. Permasalahan<br />

pendidikan bagi anak PSK yang tinggal di<br />

lokalisasi sangat memprihatinkan, orang tua kurang<br />

peduli terhadap pendidikan anaknya sehingga<br />

perkembangan mental <strong>dan</strong> otaknya agak kurang.<br />

Hal ini berdasarkan kunjungan Sinta dari dolly<br />

bahwa anak-anak disana ketika mereka diberikan<br />

pertanyaan, maka jawaban yang diberikan banyak<br />

yang salah <strong>dan</strong> kurang peka terhadap lingkungan.<br />

Kemungkinan efek bahwa pornografi merusak<br />

salah satu pusat keseimbangan di otak secara<br />

hormonal. Bahkan perilaku mereka cenderung liar<br />

seperti hewan buruan (Sinta, 2009). Dari sisi<br />

pemenuhan hak-hak anak di bi<strong>dan</strong>g pendidikan<br />

oleh pemerintah masih belum merata <strong>dan</strong><br />

diskriminatif. Anak-anak yang terpinggirkan di<br />

komplek lokalisasi belum diperhatikan. Mereka<br />

adalah kelompok rentan terhadap berbagai<br />

kerawanan. Tekanan sosial, rendahnya derajat<br />

kesehatan, tindak kekerasan, perdagangan manusia<br />

<strong>dan</strong> pelacuran anak itu sendiri (Suar, 2009). Setiap<br />

anak adalah istimewa <strong>dan</strong> berhak mendapatkan<br />

pendidikan dimanapun anak tersebut tinggal,<br />

termasuk anak-anak yang tinggal di kompleks<br />

pelacuran. Lalu bagaimana perkembangan<br />

psikologis seorang anak PSK yang tinggal di tengah<br />

masyarakat? Bagaimana ia dapat membaur dengan<br />

masyarakat sekitar se<strong>dan</strong>gkan profesi ibunya dinilai<br />

melanggar norma masyarakat <strong>dan</strong> agama? Apakah<br />

ia dapat menerima bahwa ibunya seorang pekerja<br />

seks komersial? Bagaimana perlakuan dari<br />

masyarakat sekitar yang mengetahui kenyataan<br />

bahwa ia adalah anak seorang PSK?<br />

Konsep diri sebagai inti dari kepribadian memiliki<br />

pengaruh yang besar dalam perilaku individu. Ia<br />

akan mempengaruhi cara individu berhubungan<br />

atau berespon terhadap orang lain <strong>dan</strong> situasisituasi<br />

kehidupan serta menentukan pula kualitas<br />

perilaku individu itu sendiri (Hurlock, 1974).<br />

Konsep diri mewakili rasa ketertarikan penulis<br />

untuk mengetahui bagaimana anak pekerja seks<br />

komersial bertahan di tengah lingkungan<br />

masyarakat? Bagaimana ia membentuk pemahaman<br />

tentang dirinya? Bagaimana ia menilai dirinya<br />

berdasarkan pemikirannya sendiri <strong>dan</strong> berdasarkan<br />

penilaian orang lain akan dirinya? Oleh karena itu,<br />

penulis merasa tetarik untuk meneliti bagaimana<br />

gambaran konsep diri pada anak pekerja seks<br />

komersial yang tinggal di tengah lingkungan<br />

masyarakat.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

2.1 Subjek <strong>Penelitian</strong><br />

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian<br />

ini adalah subjek yang memenuhi kualifikasi atau<br />

karakteristik yang telah ditentukan, yaitu:<br />

1.Remaja yang ibunya bekerja sebagai pekerja seks<br />

komersial<br />

2.Berusia 13 tahun – 18 tahun (remaja)<br />

3.Se<strong>dan</strong>g menjalani pendidikan formal<br />

4.Tinggal di tengah-tengah lingkungan masyarakat<br />

5.Tinggal bersama dengan ibunya<br />

Penentuan karakteristik subjek didasarkan pada<br />

alasan praktis <strong>dan</strong> kajian teoritis. Penulis<br />

menggunakan subjek penelitian berusia remaja<br />

dikarenakan usia remaja merupakan masa pencarian<br />

identitas <strong>dan</strong> pembentukan pola kepribadian<br />

melalui pengaruhnya pada konsep diri (Hurlock,<br />

1994). Peneliti menggunakan subjek dengan usia 13<br />

tahun - 18 tahun dikarenakan pada usia tersebut<br />

individu berada pada usia remaja. Teknik<br />

penentuan subjek yang digunakan peneliti adalah<br />

pengambilan sampel bola salju atau berantai<br />

(snowball/chain sampling) yaitu pengambilan<br />

sampel yang dilakukan secara berantai dengan<br />

meminta informasi pada orang yang telah<br />

diwawancarai atau dihubungi sebelumnya<br />

(Poerwandari, 2009). Subjek penelitian didapatkan<br />

melalui jasa penyalur pekerja seks komersial yang<br />

menghubungkan peneliti dengan pekerja seks<br />

komersial yang memiliki anak. Kemudian dari<br />

pekerja seks komersial tersebut, peneliti bertemu<br />

dengan subjek yang sesuai dengan karakteristik<br />

subjek yang telah ditentukan.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 80<br />

<strong>Penelitian</strong> ini di lakukan di dua desa yang berada<br />

dalam satu lingkup kecamatan di salah satu<br />

kabupaten di pulau Jawa. <strong>Penelitian</strong> dilakukan di<br />

daerah pedesaan dikarenakan norma masyarakat<br />

<strong>dan</strong> norma agama pada masyarakat di pedesaan<br />

yang masih kental.<br />

2.2Tempat <strong>dan</strong> Waktu <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>Penelitian</strong> ini di lakukan di dua desa yang berada<br />

dalam satu lingkup kecamatan di salah satu<br />

kabupaten di pulau Jawa. Waktu penelitian<br />

dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2012<br />

2.3 Pendekatan Metode Kualitatif<br />

<strong>Penelitian</strong> mengenai gambaran konsep diri pada<br />

anak pekerja seks komersial yang tinggal di tengah<br />

masyarakat ini menggunakan pendekatan<br />

kualitatif. <strong>Penelitian</strong> kualitatif menghasilkan <strong>dan</strong><br />

mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti<br />

transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar,<br />

foto, rekaman video, <strong>dan</strong> lain sebagainya.<br />

Pendekatan kualitatif yang peneliti gunakan adalah<br />

pendekatan kualitatif studi kasus. <strong>Penelitian</strong> studi<br />

kasus adalah fenomena khusus yang hadir dalam<br />

suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas<br />

antara fenomena <strong>dan</strong> konteks tidak sepenuhnya<br />

jelas. Kasus tersebut dapat berupa individu, peran,<br />

kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan<br />

suatu bangsa (Poerwandari, 2009). Hal ini sesuai<br />

dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian<br />

ini, yaitu untuk memperoleh data empiris mengenai<br />

gambaran konsep diri pada anak pekerja seks<br />

komersial yang tinggal di tengah masyarakat. Oleh<br />

karena itu, pendekatan tersebut dianggap paling<br />

sesuai dengan masalah penelitian <strong>dan</strong> paling tepat<br />

untuk menjawab permasalahan tersebut.<br />

3. Hasil <strong>dan</strong> Diskusi<br />

3.1Subjek 1 (LA)<br />

Subjek adalah seorang remaja perempuan berusia<br />

13 tahun yang duduk di bangku SMP (Sekolah<br />

Menengah Pertama). Subjek merupakan anak kedua<br />

dari empat bersaudara. Subjek tinggal di sebuah<br />

desa di pulau Jawa. Subjek merupakan keturunan<br />

Jawa-Cina, ibu subjek berasal dari suku Jawa<br />

se<strong>dan</strong>gkan ayah subjek berasal dari suku Cina.<br />

Subjek tinggal bersama ibu, kakak, <strong>dan</strong> kedua<br />

adiknya. Subjek dibesarkan oleh ibunya yang<br />

merupakan orang tua tunggal. Orang tua subjek<br />

sudah bercerai sejak subjek masih kecil, sehingga<br />

ibu subjek yang harus membiayai kehidupan subjek<br />

<strong>dan</strong> keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan<br />

keluarga, Ibu subjek berprofesi sebagai pekerja seks<br />

komersial (PSK). Ibu subjek menjalani profesinya<br />

sebagai seorang PSK selama kurang lebih 10 tahun.<br />

Subjek merupakan orang yang bersifat keras, setiap<br />

subjek memiliki keinginan, maka keinginan<br />

tersebut harus terpenuhi. Namun subjek sangat<br />

perhatian dengan orang-orang disekitarnya baik<br />

keluarganya maupun temannya. Subjek sering<br />

menolong temannya yang se<strong>dan</strong>g kesusahan,<br />

walaupun keadaan ekonomi keluarganya pas-pasan<br />

<strong>dan</strong> ibunya mencari uang dengan berprofesi sebagai<br />

PSK. Secara akademik, subjek cukup berprestasi di<br />

sekolahnya. Subjek selalu masuk tiga besar di<br />

kelasnya. Kemauan subjek untuk terus melanjutkan<br />

sekolah sangat besar walaupun ibunya tidak<br />

memantau perkembangan subjek di sekolah..<br />

Walaupun keadaan perekonomian keluarganya paspasan<br />

subjek tetap yakin jika ada kemauan maka<br />

akan ada jalan untuk mewujudkan cita-citanya.<br />

Subjek mengenakan jilbab ketika pergi ke sekolah.<br />

Hal tersebut karena ayah subjek menginginkan<br />

subjek untuk menggunakan jilbab <strong>dan</strong> tetap terus<br />

bersekolah. Walaupun subjek sudah lama tidak<br />

bertemu ayahnya, namun subjek masih tetap<br />

berkomunikasi dengan ayahnya melalui telepon.<br />

3.2 Subjek 2 (DH)<br />

Subjek merupakan remaja perempuan berusia 15<br />

tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar<br />

(SD). Subjek merupakan anak pertama dari empat<br />

bersaudara. Subjek tinggal bersama ibu <strong>dan</strong> ketiga<br />

adiknya. Subjek merupakan keturunan dari suku<br />

jawa, kedua orang tua subjek berasal dari suku<br />

Jawa. Ibu subjek merupakan orang tua tunggal yang<br />

harus bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya.<br />

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ibu subjek<br />

bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Ibu<br />

subjek bekerja sebagai PSK sudah berjalan selama<br />

8 tahun. Orang tua subjek bercerai ketika subjek<br />

berusia dua tahun. Subjek belum pernah bertemu<br />

dengan ayahnya. Hal tersebut dikarenakan ayah<br />

subjek telah pindah ke pulau Sumatra setelah<br />

bercerai dengan ibunya.<br />

Tempat tinggal subjek sering berpindah-pindah<br />

namun masih dalam satu desa. Hubungan subjek<br />

dengan tetangga sekitar tidak terlalu akrab karena<br />

subjek jarang keluar rumah. Subjek harus mengurus<br />

adik-adiknya yang masih kecil sementara ibunya<br />

pergi bekerja.<br />

Keadaan akademik subjek tidak terlalu baik karena<br />

di usia 15 tahun subjek masih duduk di kelas 6 SD.<br />

Subjek tidak naik kelas ketika duduk di kelas 4 <strong>dan</strong><br />

kelas 6. Hal tersebut dikarenakan subjek jarang<br />

masuk sekolah sehingga sering ketinggalan<br />

pelajaran <strong>dan</strong> ujian. Subjek juga sudah 6 bulan<br />

tidak masuk sekolah, sehingga gurunya harus<br />

datang kerumah subjek untuk membujuknya agar<br />

mau mengikuti ujian. Subjek tidak memiliki<br />

keinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang<br />

SMP. Subjek ingin langsung bekerja ketika lulus


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 81<br />

SD agar dapat membantu ibunya dalam mencukupi<br />

kebutuhan keluarganya. Subjek sebenarnya bercitacita<br />

sebagai dokter. Namun, cita-cita subjek<br />

tersebut dilupakan oleh subjek karena melihat<br />

keadaan keluarganya yang serba kekurangan.<br />

Subjek menganggap kekurangan dalam hal<br />

keuangan menjadi salah satu penghambat di<br />

hidupnya <strong>dan</strong> hal tersebut yang menjadi salah satu<br />

penyebab subjek malas pergi ke sekolah.<br />

Subjek merupakan remaja yang pendiam, berkulit<br />

hitam gelap <strong>dan</strong> tinggi. Subjek berpenampilan<br />

seperti wanita dewasa dalam hal berpakaian<br />

maupun berperilaku. Subjek sering mengenakan<br />

pakaian ketat <strong>dan</strong> terbuka <strong>dan</strong> menggunakan make<br />

up. Hubungan subjek dengan lawan jenis berjalan<br />

dengan baik. Subjek sudah memiliki pacar <strong>dan</strong><br />

sudah berencana untuk berhubungan serius.<br />

3.3. Hasil Temuan Intra Subjek<br />

Subjek 1 sudah merasa cukup puas dengan keadaan<br />

fisiknya, se<strong>dan</strong>gkan subjek 2 merasa kurang puas<br />

dengan keadaan fisiknya. Ia ingin kulitnya lebih<br />

putih lagi. Subjek dua juga merasa tidak puas<br />

dengan keadaan perekonomiannya. Ia ingin agar ia<br />

dapat membeli berbagai pakaian agar<br />

penampilannya bisa melebihi teman-temannya yang<br />

lain.<br />

Kedua subjek sama-sama berada di usia remaja.<br />

Namun, dalam segi penampilan subjek 2 lebih<br />

berani memakai pakaian ketat <strong>dan</strong> terbuka. Ia juga<br />

sudah pintar ber<strong>dan</strong><strong>dan</strong> atau menggunakan make up<br />

karena telah diajari oleh ibunya. Se<strong>dan</strong>gkan subjek<br />

1, dia masih seperti anak remaja pada umumnya<br />

yang mengenakan pakaian yang biasa saja namun<br />

sopan <strong>dan</strong> sama seklai tidak menggunakan make up<br />

karena dia lebih cenderung bersikap cuek pada<br />

penampilan.<br />

Dalam hal sifat, subjek 1 memiliki sifat yang keras.<br />

Apapun yang menjadi keinginannya harus<br />

terlaksana <strong>dan</strong> ketika ia memiliki kemauan maka ia<br />

akan mengejarrnya <strong>dan</strong> mewujudkan kemauan itu.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan pada subjek 2, ia memiliki sifat yang<br />

pendiam <strong>dan</strong> penurut. Iya lebih penurut dengan<br />

ibunya <strong>dan</strong> tidak banyak berbicara .Kedua subjek<br />

penelitian sama-sama memiliki kemampuan<br />

menyanyi. Subjek 1 lebih suka untuk menyanyikan<br />

lagu pop. Se<strong>dan</strong>gkan subjek 2 lebih suka untuk<br />

menyanyikan lagu <strong>dan</strong>gdut. Ia juga pernah<br />

menyanyi di atas panggung diajak oleh teman lakilaki<br />

ibunya yang berprofesi sebagai pemain music<br />

di <strong>dan</strong>gdut koplo.<br />

Subjek 1 sempat merasakan menjalani kehidupan<br />

keluarga yang utuh dengan keberadaan ayah <strong>dan</strong><br />

ibunya. Orang tua subjek bercerai ketika subjek<br />

sudah mengerti akan kehadiran ayah <strong>dan</strong> ibunya.<br />

Subjek juga masih berkomunikasi dengan ayahnya<br />

melalui telepon walaupun sudah lama tidak<br />

bertemu. Se<strong>dan</strong>gkan subjek kedua, ia tidak pernah<br />

bertemu dengan ayahnya sama sekali. Ia tidak<br />

mengenal seperti apa sosok ayahnya itu. Orang tua<br />

subjek bercerai saat ia berusia dua tahun, dimana<br />

dia belum dapat menyadari keberadaan ayah <strong>dan</strong><br />

ibunya sebagai sebuah keluarga yang utuh.<br />

Pada subjek 1, subjek memiliki motivasi belajar<br />

yang tinggi <strong>dan</strong> ingin meneruskan sekolahnya<br />

sehingga ia dapat meraih cita-citanya. Prestasi<br />

subjek di sekolah juga cukup memuaskan. Subjek<br />

selalu mendapatkan rangking tiga besar. Subjek<br />

juga tetap mengurus urusan sekolahnya sendiri<br />

karena ibunya hanya menyediakan biaya tetapi<br />

tidak memantau perkembangan sekolahnya. Subjek<br />

tetap pergi ke sekolah walaupun ibunya tidak<br />

pernah menyuruhnya untuk pergi sekolah atau<br />

mengawasinya.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan pada subjek yang kedua, motivasi<br />

belajarnya rendah. Subjek sempat tidak naik kelas<br />

dua kali yaitu ketika duduk di bangku kelas 2 <strong>dan</strong><br />

kelas 4 karena subjek sering tidak masuk sekolah.<br />

Subjek mengaku jarang masuk sekolah karena ia<br />

bermalas-malasan di rumah se<strong>dan</strong>gkan ibunya<br />

membiarkan saja. Subjek menjadi tertinggal<br />

pelajaran <strong>dan</strong> ujian sehingga nilainya tidak cukup<br />

<strong>dan</strong> mengakibatkan ia tidak naik kelas. Subjek<br />

harus dibujuk gurunya selama berkli-kali agar<br />

bersedia untuk mengikuti ujian nasional. Subjek<br />

juga tidak memiliki niatan untuk melanjutkan<br />

pendidikan ke jenjang SMP.<br />

Subjek 1 merasa tidak puas dengan keadaan<br />

keluarganya yang tidak lengkap <strong>dan</strong> dia tidak<br />

mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.<br />

se<strong>dan</strong>gkan subjek kedua merasa tidak puas dengan<br />

keadaan financial keluarganya. Subjek ingin serba<br />

berkecukupan agar dapat membeli barang-barang<br />

yang ia inginkan <strong>dan</strong> dapat tampil lebih dari temantemannya<br />

Subjek 1 memiliki hubungan yang kurang harmonis<br />

dengan ibunya. Ia awalnya seperti ingin<br />

memberontak dengan keputusan ibunya yang<br />

menikah untuk kedua kalinya <strong>dan</strong> keputusan ibunya<br />

untuk bekerja sebagai PSK. Walaupun pada<br />

akhirnya ia memilih untuk diam <strong>dan</strong> membiarkan<br />

ibunya melakukan apa yang diinginkannya.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan subjek 2, hubungannya dengan ibunya<br />

sangat baik. Subjek sangat dekat dengan ibunya <strong>dan</strong><br />

berusaha untuk mengerti jika ibunya mengambil<br />

keputusan untuk bekerja sebagai PSK karena<br />

terpaksa <strong>dan</strong> karena alasan ekonomi yaitu untuk<br />

memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Subjek<br />

juga sangat penurut dengan setiap perkataan<br />

ibunya.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 82<br />

Subjek 1 <strong>dan</strong> subjek 2 merasa bangga dengan<br />

dirinya karena dapat membantu orang tua nya<br />

mengurus rumah <strong>dan</strong> adik-adiknyaKedua subjek<br />

adalah anak yang rajin <strong>dan</strong> sayang pada adikadiknya.<br />

Baik subjek 1 maupun subjek 2, bersedia<br />

merawat adik mereka <strong>dan</strong> mengurus pekerjaan<br />

rumah ketika ibu mereka tidak ada. Mereka juga<br />

tetap menyayangi adik-adik mereka walaupun adik<br />

mereka bukan berasal dari ayah yang sama dengan<br />

mereka.<br />

Subjek 1 <strong>dan</strong> subjek 2, keduanya sama-sama<br />

bersikap cuek dengan masyarakat sekitar yang tidak<br />

suka dengan keluarga mereka <strong>dan</strong> profesi ibunya<br />

sebagai seorang PSK. Walaupun sebenarnya<br />

mereka sedih <strong>dan</strong> sakit hati atas perlakuan yang<br />

mereka dapatkan, namun mereka lebih memilih<br />

untuk diam <strong>dan</strong> membiarkan orang-orang tersebut<br />

melakukan apa yang ingin mereka lakukan.<br />

Pada subjek 1, ia belum berani menjalin hubungan<br />

dengan lawan jenis karena dilarang oleh kakaknya.<br />

Ia diperbolehkan untuk menjalin hubungan dengan<br />

lawan jenis jika usianya sudah cukup atau ia sudah<br />

dewasa. Se<strong>dan</strong>gkan pada subjek kedua, ia sudah<br />

berani menjalin hubungan dengan lawan jenis. Ia<br />

bahkan sudah merencanakan untuk berhubungan<br />

serius dengan pacarnya.<br />

Orang tua subjek 1 lebih membebaskan anaknya<br />

dalam hal pergaulan maupun dalam hal bepergian.<br />

Namun, subjek 1 membatasi dirinya sendiri untuk<br />

tidak keluar rumah jika tidak bersama dengan<br />

kakaknya. Subjek juga memiliki banyak teman di<br />

sekolahnya <strong>dan</strong> teman-teman sekolahnya sering<br />

datang ke rumah subjek. Subjek juga diijinkan<br />

untuk memiliki handphone sendiri. Se<strong>dan</strong>gkan<br />

orangtua subjek 2 lebih protektif terhadap anaknya.<br />

Subjek 2 dilarang sering-sering keluar rumah<br />

karena harus membantu mengurus adiknya yang<br />

masih kecil-kecil. Selain itu, subjek dilarang untuk<br />

pergi keluar rumah jika dengan pacarnya. Jika<br />

pacarnya datang berkunjung, subjek hanya<br />

diijinkan untuk bertemu di rumah saja. Subjek juga<br />

tidak diijinkan memiliki handphone sendiri.<br />

3.4 Pembahasan<br />

Pada dasarnya konsep diri tidak terbentuk secara<br />

tunggal tetapi merupakan gabungan dari beberapa<br />

kategori atau bentuk konsep diri. Tiap kategori<br />

tersebut merupakan hasil dari evaluasi individu<br />

terhadap dirinya berdasarkan sudut pan<strong>dan</strong>g<br />

(perspektif) yang berbeda-beda (Hurlock, 1974).<br />

Masing-masing bentuk atau kategori dari konsep<br />

diri ini dibangun oleh komponen-komponen konsep<br />

diri yang sama yaitu komponen perceptual,<br />

conceptual, <strong>dan</strong> attitudinal. Empat kategori konsep<br />

diri yaitu basic self concept, transitory self<br />

concept, social self concept, <strong>dan</strong> ideal self concept.<br />

Peneliti tidak memasukkan transitory self concept<br />

karena konsep diri ini hanya bersifat sementara <strong>dan</strong><br />

dipengaruhi oleh keadaan mood.<br />

Tabel 1. Analisis Subjek 1<br />

Berdasarkan tabel diatas, dapat ditarik kesimpulan<br />

bahwa subjek 1 memiliki konsep diri yang baik,<br />

karena tidak terdapat banyak kesenjangan antara<br />

basic self concept <strong>dan</strong> ideal self concept. Subjek<br />

memiliki perceptual self concept yang buruk karena<br />

subjek tidak merasa puas dengan keadaan fisiknya<br />

saat ini <strong>dan</strong> terdapat kesenjangan pada komponen<br />

perceptual pada basic <strong>dan</strong> ideal self concept.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan untuk conceptual self concept <strong>dan</strong><br />

attitudinal self concept subjek dapat dikategorikan<br />

baik karena tidak terdapat kesenjangan antara basic<br />

<strong>dan</strong> ideal self concept. Subjek ingin menjadi dirinya<br />

sendiri <strong>dan</strong> dapat membantu orang tuanya.<br />

Walaupun subjek merasa tidak puas <strong>dan</strong> tidak<br />

nyaman dengan keadaan keluarganya <strong>dan</strong> profesi<br />

ibunya, namun ia tetap optimis dapat mewujudkan<br />

harapan-harapannya selama ada kemauan pada<br />

dirinya.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 83<br />

Tabel 2. Analisis Subjek 2<br />

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat ditarik<br />

kesimpulan bahwa subjek 2 memiliki konsep diri<br />

yang buruk, sebab terdapat banyak kesenjangan<br />

antara basic self concept <strong>dan</strong> ideal self concept.<br />

Subjek memiliki perceptual self concept yang<br />

buruk, karena subjek merasa tidak puas dengan<br />

keadaan fisiknya <strong>dan</strong> subjek menjadikan keadaan<br />

temannya sebagai tolak ukur keadaan yang ideal<br />

baginya. Selain itu, subjek memiliki attitudinal self<br />

concept yang buruk. subjek merasa tidak puas<br />

dengan keadaan perekonomian keluarganya yang<br />

kekurangan padahal subjek ingin membeli barangbarang<br />

yang ia inginkan <strong>dan</strong> tampil lebih dari<br />

teman-temannya. Tetapi subjek justru pesimis akan<br />

masa depan <strong>dan</strong> memilih pasrah dengan keadaan<br />

<strong>dan</strong> menuruti keinginan ibunya. Subjek tidak<br />

berniat melanjutkan sekolahnya <strong>dan</strong> berniat untuk<br />

bekerja, padahal subjek hanya memiliki ijasah SD<br />

yang akan didapatkannya jika ia lulus Ujian<br />

Nasional Sekolah Dasar. Subjek merasa pesimis<br />

akan masa depannya <strong>dan</strong> memilih untuk melupakan<br />

cita-citanya sebagai seorang dokter.<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, maka<br />

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :<br />

Subjek 1 memiliki konsep diri yang baik, karena<br />

tidak terdapat banyak kesenjangan antara basic self<br />

concept <strong>dan</strong> ideal self concept. Subjek 2 memiliki<br />

konsep diri yang kurang baik, sebab terdapat<br />

banyak kesenjangan antara basic self concept <strong>dan</strong><br />

ideal self concept. Subjek 1 <strong>dan</strong> subjek 2 memiliki<br />

perceptual self concept yang kurang baik karena<br />

subjek tidak merasa puas dengan keadaan fisiknya<br />

saat ini . Subjek 2 bahkan menjadikan keadaan<br />

temannya sebagai tolak ukur keadaan yang ideal<br />

baginya. Pada subjek 1 terdapat kesenjangan pada<br />

komponen perceptual pada basic <strong>dan</strong> ideal self<br />

concept. Subjek 1 memiliki conceptual self concept<br />

<strong>dan</strong> attitudinal self concept yang dapat<br />

dikategorikan baik karena tidak terdapat<br />

kesenjangan antara komponen conceptual <strong>dan</strong><br />

attitudinal pada kategori basic <strong>dan</strong> ideal self<br />

concept. Se<strong>dan</strong>gkan subjek 2 memiliki attitudinal<br />

self concept yang kurang baik. Subjek merasa tidak<br />

puas dengan keadaan perekonomian keluarganya<br />

yang kekurangan padahal subjek ingin membeli<br />

barang-barang yang ia inginkan <strong>dan</strong> tampil lebih<br />

dari teman-temannya. Tetapi subjek justru pesimis<br />

akan masa depan <strong>dan</strong> memilih pasrah dengan<br />

keadaan <strong>dan</strong> menuruti keinginan ibunya.<br />

Daftar Pustaka<br />

Abdul, Kadir Hatib. (2007). Tangan kuasa dalam<br />

kelamin telaah homoseks: pekerja seks <strong>dan</strong> seks<br />

bebas di Indonesia. Yogyakarta : Insist Press<br />

Atmaja Dwi. (2012, Januari). Motivasi dalam<br />

berprostusi di desa Dukuhseti Kabupaten Pati Jawa<br />

Tengah. Web Kajian <strong>Psikologi</strong>. Diambil dari<br />

http://kajianpsikologi.guruindonesia.net/artikel_detail-17037.html.<br />

Diakses<br />

pada 12 April 2012<br />

Christine M. Sloss & GaryW. Harper. (2004).<br />

When street sex workers are mothers. Archives of<br />

Sexual Behavior, Vol. 33, No. 4<br />

Dario Agnote. (1998). Sex trade key part of SE<br />

Asian economies, study say. Kyodo News. Diambil<br />

dari http://peppycenter.blogspot.com/2012/03/<br />

pelacuran.html. Diakses pada 11 April 2012<br />

Ganiarti, Rita. (2003). Gambaran konsep diri<br />

remaja dari keluarga poligini (Skripsi). Fakultas<br />

<strong>Psikologi</strong>, Universitas Indonesia, Jakarta<br />

Harwantiyoko, &Neltje F. Katuuk. (1997). Seri<br />

diktat kuliah MKDU Ilmu Sosial Dasar. Penerbit<br />

Gunadarma


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 84<br />

Hastantyo. (2010, November). Perkawinan campur.<br />

Diambil dari<br />

http://jolompong.blogspot.com/2010_11_01_archiv<br />

e.html. Diakses 15 April 2012<br />

Hurlock E.B. (1974). Children development.<br />

Tokyo: Kogakusha co, Ltd<br />

Hurlock E.B. (1994). <strong>Psikologi</strong> perkembangan.<br />

suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan<br />

(Ed.5). (Istiwidayanti & Soedjarwo, Penerjemah).<br />

Jakarta: Penerbit Erlangga<br />

Kartono, K. (1999). Patologi sosial. Jakarta: PT.<br />

Raja Grafindo Persada<br />

Koentjoro. (2004). Tutur dari sarang pelacur.<br />

Yogyakarta: Tinta<br />

Lestari, Febrisari Adlina. (2010). Dinamika mental<br />

pada pekerja seks komersial (PSK) dalam<br />

menghadapi pembubaran lokalisasi di kabupaten<br />

Blitar. Fakultas <strong>Psikologi</strong>, Universitas Islam Negeri<br />

Maulana Malik Ibrahim, Malang<br />

Moleong, L.J. (2002). Metode penelitian kualitatif.<br />

Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.<br />

Novianto Prasetyo. (2008). Dinamika Konsep Diri<br />

Pada Narapi<strong>dan</strong>a Menjelang Bebas di Lembaga<br />

Pemasyarakatan Sragen. Universitas<br />

Muhammadiyah Surakarta<br />

Poerwandari E., K. (2009). Pendekatan kualitatif<br />

untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3<br />

UI<br />

Pudjijogyanti, C.R. (1991). Konsep diri dalam<br />

proses belajar mengajar. Jakarta: Pusat <strong>Penelitian</strong><br />

UNIKA Atmajaya<br />

Rakhmat, J. (2001). <strong>Psikologi</strong> komunikasi.<br />

Bandung: PT Remaja Rosdakarya<br />

Sianturi Marliana N. (2007). Konsep diri remaja<br />

yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah<br />

tangga (Skripsi). Universitas Diponegoro,<br />

Semarang.<br />

Waluyo, Suwardi, Feryanto A., & HaryantoT.<br />

(2008). Ilmu pengetahuan sosial kelas VII. Pusat<br />

perbukuan Departemen pendidikan nasional<br />

Sinta, Y. (2009). Berbuka bersama anak-anak para<br />

PSK & mucikari. Diambil dari<br />

http://sintayudisia.wordpress.com/category/jurnalharian/page/4/.<br />

Diakses pada 15 April 2012<br />

Soeriwidjaja, A. (1989, Agustus). Bila wanita<br />

diibaratkan sepetak sawah. Diambil dari<br />

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/08<br />

/26/ PRK/mbm.19890826.PRK2115.id.htm.<br />

Diakses pada 15 April 2012<br />

Suar, H. (2009, Maret). Pendidikan anak-anak di<br />

lokalisasi. Diambil dari http://majalahsoerat.blogspot.com/2009/03/pendidikan-anakanak-di-lokalisasi.html.<br />

Diakses pada 15 April 2012<br />

Sutrisno, M& Putranto, H. 2005. Teori-teori<br />

kebudayaan. Yogyakarta: penerbit kanisius


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 85<br />

Profil Tipe Testimonial online pada produk Komputer terhadap Sikap atas Iklan<br />

& Sikap atas Perilaku Membeli<br />

Fickar Suryadinningrat<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Rawamangun, Jakarta<br />

Email: ningrat@rocketmail.com<br />

Abstract<br />

With increasing, product line sales consumers not only in the real world of shopping mall, or the department<br />

store now the use of technology enables the consumer can do shopping activity over the internet.With just open,<br />

computer facility and typed site desired then transaction activity can be done.Still many consumers have limited<br />

in doing online activities shopping. Consumers like shopping buying clothes, sometimes only online electronics<br />

and computer. Consumer spending often doing online activities can diperngaruhi by a variety of factors, among<br />

other activities, product interesting advertising mounted coquet.Advertising is a process involving<br />

communication sponsor certain.Testimonials is part of an advertising, any type testimonials advertising<br />

surveyed: experts, celebrity and ordinary people. Testimonials through the ad will impact consumers, to attitude<br />

this attitude can be attitude toward advertising, attitude toward brands, attitude toward behavior.This research<br />

purposes to perceive the difference between profile type testimonials other experts, artist, and people ordinary<br />

online on the computer products with the advertising and attitudes of behavior membeli.metode used in this<br />

research is research methods descriptive.<br />

These studies have samples 32 responden. From this research result that there are differences type testimonials<br />

online at the computer products with the advertising and attitudes of behavior buy.Turns experts has a higher<br />

value than artist and ordinary people.even though artist had a low value on advertising and with the attitude of<br />

behavior buy.Researchers assumed that experts have preference better in the use of computers on celebrities and<br />

ordinary people.<br />

Key word : Type Testimonials , Attitude toward advertising, Attitude towards Behavior of buy<br />

Pendahuluan<br />

Perkembangan internet di Indonesia<br />

telah berkembang pesat,ini terlihat dari tahun<br />

2003 hingga tahun 2007 awal pengguna<br />

internet naik sebesar 31%(APJII). Jadi<br />

masyrakat indonesia sekarang sudah mengerti<br />

mengenai dunia internet. Menurut Staf Ahli<br />

Bi<strong>dan</strong>g Komunikasi <strong>dan</strong> Media Massa<br />

Kementerian Komunikasi <strong>dan</strong> Informatika<br />

Henry Subiakto di Banjarmasin Rabu<br />

mengatakan, khusus pengguna Internet<br />

wilayah Jakarta ditetapkan sebagai pengguna<br />

Internet <strong>dan</strong> Twitter terbesar di Asia.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 86<br />

(http://www.antaranews.com) Dengan<br />

bertambah nya pengguna internet (online<br />

Browser) membuat dampak positif <strong>dan</strong> negatif<br />

terhadap kemajuan ekonomi <strong>dan</strong> pengetahuan<br />

masyarakat.<br />

Angka pertumbuhan pengguna Internet<br />

di Indonesia masih didominasi oleh anak muda<br />

dari kelompok umur 15-30 tahun. Di masing-<br />

masing kota yang disurvei oleh MarkPlus<br />

Insight, sekitar 50 persen hingga 80 persen dari<br />

pengguna Internet merupakan kaum<br />

muda(www.tekno-kompas.com)Dengan<br />

begitu, pengguna internet masih banyak<br />

dilakukan oleh kaum muda, baik pengguna<br />

hanya memakai sebagai pelajaran, media sosial<br />

, <strong>dan</strong> jual/beli online.<br />

Konsumen yang sering belanja<br />

secara online menganggap bahwa produk<br />

yang dijual secara online lebih lengkap<br />

dari departemen store atau mall, ini<br />

membuat konsumen selalu belanja produk<br />

melalui online. Konsumen dapat memiliki<br />

sikap tentang berbagai objek fisik <strong>dan</strong><br />

soisal termasuk didalamnya produk,<br />

merek, model , toko, <strong>dan</strong> orang , di<br />

samping berbagai aspek strategi pemasaran<br />

(J.Paul Peter <strong>dan</strong> Jerry C.Olson, 2000 ;<br />

27).<br />

Ada berbagai macam faktor yang<br />

mempengaruhi mengapa seseorang<br />

(konsumen) membeli suatu produk berupa<br />

barang atau jasa untuk memenuhi keinginan<br />

<strong>dan</strong> kebutuhannya (Dr Paulus Lilik,2011;65<br />

).faktor-faktor tersebut meliputi seperti merek<br />

barang, pelayanan toko, kualitas barang, serta<br />

masih banyak faktor lainnya. faktor tersebut<br />

juga dapat mempengaruhi sikap membeli pada<br />

konsumen. Sikap konsumen terdiri dari : (1)<br />

kepercayaan, (2) perasaan, <strong>dan</strong> (3) tujuan<br />

perilaku terhadap beberapa objek-dalam<br />

konteks pemasaran, biasanya brand atau toko<br />

retail ( Drs Paulus Lilik,2011;44 ).<br />

Iklan merupakan suatu proses komunikasi<br />

yang melibatkan sponsor tertentu, yakni si<br />

pemasang iklan, yang membayar jasa sebuah<br />

media massa atas penyiaran iklan nya<br />

(Kkustadi S, 2010;20). Bentuk komunikasi dari<br />

iklan sangat lah beragam ada yang<br />

menggunakan media TV, Radio, Majalah, dll.<br />

Iklan merupakan suatu bentuk komunikasi<br />

ajakan / rayuan untuk konsumen melakukan<br />

pembalian produk/ jasa..<br />

Ajakan atau rayuan tersbut mempunyai<br />

bagian iklan yaitu testimonial, Testimonial<br />

adalah pesan advertising yang dianggap oleh<br />

konsumen dianggap merefleksikan opini,<br />

keyakinan, atau pengalaman dari individu atau<br />

kelompok (Sandra, Nancy, William, 2011;56 )<br />

Testimonial adalah komentar-<br />

komentar atau pendapat dari konsumen<br />

mengenai produk atau jasa yang telah di beli<br />

nya , kemudian pendapat tersebut di<br />

sebarluaskan.Menurut Keneth Roman <strong>dan</strong> Jane<br />

Mass ada 3 jenis macam tipe testimonial yaitu<br />

:<br />

1. Celebrity Endorsement<br />

2. Endorsement by Experts<br />

3. Testimonial by Ordinary People


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 87<br />

Dari ketiga jenis diatas, kemungkinan<br />

salah satu jenis dapat mempengaruhi sikap<br />

konsumen terhadap suatu produk. Dalam<br />

bi<strong>dan</strong>g periklanan, testimonial sering di<br />

gunakan untuk menarik minat dari konsumen,<br />

penggunaan testimonial dapat di terapkan<br />

melalui berbagai cara, seperti dengan<br />

memberikan testimonial pada orang ahli, artis<br />

atau orang biasa untuk menceritakan atau<br />

berbagi pengalaman terhadap suatu produk<br />

yang telah di beli atau di gunakan nya.<br />

Dalam jurnal Testimonial Versus<br />

Informational Persuasive Messages (The<br />

Moderating Effect of delivery Mode and<br />

Personal Involvement)menyimpulkan bahwa<br />

konsumen yang memiliki ketelibatan rendah<br />

pada suatu produk harus menggunakan pesan<br />

testimonial se<strong>dan</strong>gkan konsumen yang<br />

memiliki ketelibatan yang tinggi pada suatu<br />

produk harus menggunakan pesan informasi.<br />

<strong>Penelitian</strong> tesebut juga melihat tingkat<br />

keterlibatan yang berbeda (high involvement<br />

and low involvement) melalui pengantar pesan<br />

yaitu suara (audio) <strong>dan</strong> tulisan<br />

(written).kemudian di dalam penelitian<br />

tersebut melihat pesan yang bersifat infomasi<br />

(Informational messages) lebih baik<br />

menggunakan pengiriman pesan berupan<br />

tulisan (written) <strong>dan</strong> pesan yang bersifat<br />

testimonial (Testimonial Messages)<br />

Paul <strong>dan</strong> olson (1999) menyatakan bahwa<br />

sikap adalah evaluasi konsep secara<br />

menyeluruh yang dilakukan oleh seseorang<br />

dapat di jelaskan bahwa sikap adalah suatu<br />

perilaku yang di dapat dari proses<br />

pengorganisasian emosi, <strong>dan</strong> persepsi yang<br />

berupa tindakan atau respon positiv atau<br />

negativ pada suatu objek<br />

Salah satu pendekatan yang secara<br />

langsung dapat mempengaruhi sikap<br />

konsumen tanpa perlu mengubah kepercayaan<br />

konsumen terhadap produk adalah melalui<br />

iklan.iklan selalu biasa menggunakan seorang<br />

model atau bintang iklan untuk mempengaruhi<br />

konsumen untuk melakukan pembelian suatu<br />

produk yang di iklankan. Penggunaan bintang<br />

iklan yang diungkapkan tidak hanya berfungsi<br />

daya tarik tetapi juga mampu memberikan<br />

keyakinan karena pesan yang disampaikan<br />

dapat mewakili produk yang ditawarkan,<br />

sehingga dari pihak audiens paling tidak<br />

memiliki sedikit kepercayaan terhadap produk<br />

yang diklan kan (Paulus Lilik,2011 ;119).<br />

Sikap konsumen terhadap iklan merupakan<br />

sikap suka atau tidak suka konsumen terhadap<br />

stimulus iklan tertentu pada saat penayangan<br />

iklan. Sikap konsumen terhadap iklan dapat<br />

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang<br />

meliputi isi iklan baik berupa visual maupun<br />

verbal seperti isi iklan, strategi kreatif iklan,<br />

kredibilitas sumber pengaruh suatu iklan<br />

terhadap suasana hati <strong>dan</strong> emosi konsumen.<br />

para konsumen membentuk bermacam-macam<br />

perasaan (afektif )<strong>dan</strong> penilaian (kognitif)<br />

sebagai hasil dari pemaparan suatu iklan.<br />

Sikap terhadap perilaku ialah sikap<br />

yang menggambarkan perilaku konsumen baik<br />

positif atau negatif terhadap suatu objek.<br />

Dengan penjelasan diatas, maka sikap terhadap<br />

perilaku membeli adalah perilaku nyata yang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 88<br />

ditampilkan pada konsumen baik perilaku<br />

positif atau perilaku negatif terhadap suatu<br />

objek,dengan keyakinan <strong>dan</strong> perasaan tentang<br />

perilaku yang mempengaruhi konsumen untuk<br />

membeli suatu produk.<br />

Iklan (advertising) adalah komunikasi<br />

pemasaran yang merupakan istilah umum yang<br />

mengacu kepada semua bentuk teknik<br />

komunikasi yang digunakan pemasar untuk<br />

5. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Pada penelitian ini, tipe penelitian yang<br />

digunakan adalah deskriptif. <strong>Penelitian</strong><br />

deskriptif adalah suatu metode yang dalam<br />

meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek,<br />

suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran<br />

ataupun suatu kelasperistiwa pada masa<br />

sekarang.(Paul Ozny,2011;78). <strong>Penelitian</strong><br />

deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam<br />

masyarakat, serta tatacara yang berlaku dalam<br />

masyarakat serta situasi-situasi<br />

tertentu,termasuk tentang hubungan, kegiatan-<br />

6. Hasil <strong>dan</strong> Pembahasan<br />

<strong>Penelitian</strong> ini berusaha melihat gambaran<br />

perbedaan profil tipe testimonial online pada<br />

produk komputer terhadap sikap atas iklan &<br />

sikap atasperilaku membeli.kemudian setelah<br />

penyebaran data, peneliti dapat memperoleh<br />

hasil dari pilihan respoden bedasarkan tipe<br />

menjangkau konsumennya <strong>dan</strong> menyampaikan<br />

pesannya (Sandra, Nancy, William, 2011;29).<br />

Testimonial merupakan suatu alat<br />

perantara yang digunakan oleh orang untuk<br />

menyampaikan pendapat atau pengalaman<br />

nya.pendapat tersebut bisa berupa positif atau<br />

negatif. Salah satu teknik iklan yang awet<br />

adalah testimonial. Seseorang berbicara kepada<br />

suatu produk yang telah digunakannya..<br />

kegiatan, sikap-sikap, <strong>dan</strong> pengaruh-pengaruh<br />

dari suatu fenomena.<br />

Subjek penelitian yang diambil sekitar 30<br />

responden, ini meliputi beberapa kriteria,<br />

antara lain pria-wanita usia 19-35 tahun,<br />

bertempat tinggal dijakarta.oleh karena itu<br />

teknik pengambilan sampel dilakukan melalui<br />

teknik purposive sampling. Dalam penelitian<br />

ini menggunakan 4 butir Testimonial, 23 butir<br />

skala sikap atas iklan, <strong>dan</strong> 3 butir skala sikap<br />

atas perilaku membeli.<br />

testimonial tersebut, misalnya iklan 1<br />

mengambarkan tipe testimonial ahli, iklan 2<br />

menggambarkan tipe testimonial artis ,<br />

se<strong>dan</strong>gkan iklan 3 menggambarkan tipe<br />

testimonial orang biasa. .


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 89<br />

Bedasarkan garfik diatas, dapat kita<br />

lihat dari 32 responden yang menjadi sampel<br />

penelitian. 12 responden memilih iklan 1<br />

dengan model iklan Roy Suryo, 15 responden<br />

memilih iklan 2 dengan model iklan Raditya<br />

dika, se<strong>dan</strong>gkan 5 responden memilih iklan 3<br />

Sikap atas<br />

Iklan<br />

16<br />

14<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

Iklan 1<br />

(Ahli)<br />

Gambar 1<br />

Pemilihan Subjek Bedasarkan Iklan<br />

dengan model iklan Mahasiswa ITB, dengan<br />

begitu terlihat bahwa responden lebih tertarik<br />

dengan iklan yang kedua.<br />

Selanjutnya, melalui perhitungan hasil<br />

analisis explore dapat terlihat hasil nya berikut<br />

ini:.<br />

Tabel 1. Analisis Explore Sikap atas Iklan<br />

Iklan 1<br />

(Ahli)<br />

Iklan 2<br />

(Artis)<br />

Iklan 2 (<br />

Artis)<br />

Iklan 3<br />

(Orang<br />

Biasa)<br />

Mean 60.000 57.133 58.200<br />

Dengan begitu terlihat bahwa rata-rata<br />

responden lebih banyak percaya atau memilih<br />

orang ahli terhadap sikap atas iklan tersebut.<br />

Iklan 3<br />

(Orang<br />

Biasa)<br />

Kemudian bila dibandingkan dengan sikap atas<br />

perilaku membeli sebagai berikut<br />

Sikap atas<br />

Perilaku<br />

Membeli<br />

Iklan<br />

1<br />

(Ahli)<br />

Nilai<br />

Iklan 2<br />

(Artis)<br />

Iklan 3<br />

(Orang<br />

Biasa)<br />

Mean 8.67 7.533 7.600


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 90<br />

Dari hasil analisi diatas, responden yang<br />

memiliki respon terbanyak terdapat di iklan 1<br />

yaitu iklan yang menggambarkan orang ahli,<br />

se<strong>dan</strong>gan iklan 2 memiliki nilai rata-rata yang<br />

kecil.<br />

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa<br />

terdapat penilaian yang berbeda antara iklan 1<br />

(Ahli), iklan 2 (Artis) <strong>dan</strong> iklan 3 (Orang<br />

Biasa) terhadap sikap atas iklan <strong>dan</strong> sikap atas<br />

perilaku membeli. Perbedaan nilai ini<br />

ditunjukan dari hasil masing-masing mean<br />

yang diperoleh.Pertama perbedaan profil tipe<br />

testimonial terhadap sikap atas iklan.<br />

Bedasarkan hasil <strong>dan</strong> analisis teresbut,<br />

peneliti menyimpulkan bahwa tipe testimonial<br />

online pada produk komputer yang<br />

berpengaruh terhadap sikap atas iklan <strong>dan</strong><br />

sikap atas perilaku membeli adalah tipe<br />

testimonial orang ahli. Ini disebabkan bahwa<br />

orang ahli lah yang lebih mempunyai referensi<br />

lebih baik <strong>dan</strong> pengalaman mengenai produk<br />

komputer tersebut..<br />

Pada iklan 2 yaitu artis memiliki nilai yang<br />

terendah terhadap sikap atas iklan <strong>dan</strong> sikap<br />

atas perilaku membeli. Peneliti berasumsi<br />

bahwa artis tidak mempunyai referensi atau<br />

pengalaman yang baik dalam penggunaan<br />

komputer, sehingga beberapa responden<br />

menilai rendah terhadap sikap atas iklan<br />

maupun sikap atas perilaku membeli. Seperti<br />

yang dikatakan oleh Drs Paulus Lilik bahwa<br />

Penggunaan bintang iklan yang diungkapkan<br />

tidak hanya berfungsi daya tarik tetapi juga<br />

mampu memberikan keyakinan karena pesan<br />

yang disampaikan dapat mewakili produk yang<br />

ditawarkan, sehingga dari pihak audiens paling<br />

tidak memiliki sedikit kepercayaan terhadap<br />

produk yang diklankan.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 91<br />

7. Kesimpulan <strong>dan</strong> Saran<br />

Bedasarkan hasil penelitian, terdapat<br />

perbedaan yang menggambarkan Profil Tipe<br />

Testimonial online pada produk Komputer<br />

terhadap sikap atas iklan <strong>dan</strong> sikap atas<br />

perilaku membeli. Tipe Testimonial Expertise<br />

mempunyai nilai yang lebih tinggi terhadap<br />

sikap atas iklan <strong>dan</strong> sikap atas perilaku<br />

membeli.<br />

Peneliti harus dapat membuat kalimat<br />

testimonial lebih baik lagi untuk profil tipe<br />

testimonial,<strong>dan</strong> dapat membedakan kalimat<br />

suatu iklan persuasive dengan kalimat iklan<br />

testimonial. Peneliti selanjutnya bisa dapat<br />

menggunakan Analisis Faktorial 2x3 dimana<br />

dibedakan Profil Tipe Testimonial bedasrkan<br />

teori sikap atas iklan <strong>dan</strong> sikap atas perilaku<br />

membeli.<br />

Daftar Pustaka<br />

1. Hasan Ali.(2010).Marketing dari<br />

Mulut ke Mulut, Word Of Mounth<br />

Marketing, Jakarta : Medpress<br />

2. Anna Armeni R , S.Psi, M.Si<br />

.(2010)Analisis Data <strong>Penelitian</strong><br />

Kuantitatif dengan SPSS. Jakarta :<br />

<strong>Psikologi</strong><br />

3. Simamora Bilson. (2002).Panduan<br />

Riset Perilaku Konsumen, Jakarta<br />

:Gramedia Pustaka<br />

4. Cresswel John.W. (2010).Research<br />

Design : Pendekatan Kualitatif,<br />

Kuantitatif, <strong>dan</strong> Mixed. Jakarta:<br />

Pustaka Pelajar<br />

5. Drs paulus Lilik<br />

Kristianto.(2011).<strong>Psikologi</strong><br />

Pemasaran.Yogyakarta.:Msi. Caps<br />

6. Ferinda Erna.(2003), Merek <strong>dan</strong><br />

<strong>Psikologi</strong> Konsumen <strong>dan</strong> implikasi<br />

pada strategi pemasaran. Jakarta<br />

:Graha ilmu<br />

7. Kenneth Roman and Jane<br />

Mass.(1976). How to Advertise.<br />

New york : st Martin press<br />

8. Loundon David L & Della Bitta<br />

.(1993).Consumer Behavior :<br />

Concepts and Applications .United<br />

States :libary of congress<br />

cataloging<br />

9. Nugroho.(2003).Perilaku<br />

Konsumen Strategi & Implikasi<br />

Pemasaran. Jakarta: Kencana<br />

10. Peter, Paul & Olson<br />

Jerry.(1999).Consumer Behavior<br />

Perilaku Konsumen <strong>dan</strong> Strategi<br />

Pemasaran.Jakarta : Erlangga,<br />

11. Paul c.Cozby .(2009).Methods in<br />

Behavioral Resarch.Jogjakarta:<br />

Pustaka Pelajar<br />

12. Ratna Dyah Suryarati & Anna<br />

Armeni.(2009).Statistik Deskriptif :


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 92<br />

Statistik Dasar <strong>Psikologi</strong> <strong>dan</strong><br />

Pendidikan. Jakarta :<strong>Psikologi</strong><br />

13. Rangkuti Freddy.(2010).Measuring<br />

Customer Satisfaction.Jakarta<br />

:Gramedia Pustaka Utama<br />

14. Sandra,Nancy, William.<br />

(2011).Advertising.Jakarta:<br />

Kencana<br />

15. Setiadi Nugroho.(2008).Perilaku<br />

Konsumen ; Konsep <strong>dan</strong> Implikasi<br />

untuk Strategi <strong>dan</strong> <strong>Penelitian</strong><br />

Pemasaran.Jakarta :Kencana<br />

16. Suhan<strong>dan</strong>g<br />

Kustanding.(2010).Periklanan :<br />

Manajemen Kiat <strong>dan</strong> Strategi<br />

.Bandung : Nuansa<br />

17. Usman Husaini & Setiady<br />

Purnomo.(2008).Pengantar<br />

Statistika. Jakarta: Bumi Aksara<br />

18. Wahyono Teguh.(2009).25 Model<br />

Analisis Statistik dengan SPSS 17.<br />

Jakarta :Elex Media Komputindo<br />

19. http://www.antaranews.com/berita/<br />

288895/pengguna-internet-di-<br />

indonesia-48-juta, 12/03/2012,<br />

21.06<br />

20. http://tekno.kompas.com/read/2011<br />

/10/28/16534635/Naik.13.Juta..Pen<br />

gguna.Internet.Indonesia.55.Juta.Or<br />

ang, 12/03/2012, 21.17<br />

21. http://apkomindojateng.info<br />

/index.php?option=com_content&v<br />

iew=article&id=154:penjualan-<br />

komputer-ditarget-<br />

meningkat&catid=5:klip-<br />

media&Itemid=19, 23/03/2012.<br />

22.06


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 93<br />

PENGARUH CITRA MEREK TERHADAP GAYA KEPUTUSAN<br />

KONSUMEN PADA PRODUK STARBUCKS<br />

Firda Ridhania<br />

Program Studi <strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Rawamangun, Jakarta<br />

E-mail: f.ridhania@yahoo.com<br />

Abstract<br />

The aim of this research is for analyzing a influence brand image with consumer decision-making styles<br />

Starbucks’s product. The sample in this research amount 85 persons. The Sampling is using a non probability<br />

sampling technique, purposive sampling.<br />

Assessment tools in the form of questionnaires, which consist of Likert-Scale. The Process of data sampling is<br />

using two scales; those are Brand Image Scale and Consumer Decision-Making Styles Scale. Brand Image Scale<br />

was adopted from journals “The Effect Of Brand Image On Overall Satisfaction And Loyalty Intention In The<br />

Context Of Color Cosmetic” and “Measuring customer-based restaurant brand equity”. For measuring<br />

consumer decision-making styles is using Consumer Style Inventory (CSI) that was developed by Kendall and<br />

Sproles (1986). Data Analysis in this research is using simple regression analysis with the result of correlation<br />

coefficient at number 0,498(r = 0,498 p


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 94<br />

menjadi merek nomor satu yang diingat oleh<br />

konsumen di seluruh dunia. Perusahaan<br />

membangun persepsi konsumen yang baik<br />

untuk sebuah produk melalui jalur merek <strong>dan</strong><br />

memahami perilaku merek. Persepsi<br />

melibatkan kognisi tingkat tinggi dalam<br />

penginterpretasian terhadap informasi sensorik<br />

(Solso, 2008, h.75). Sementara itu merek<br />

adalah hal yang penting untuk konsumen<br />

karena dapat menjadi alat ukur sebuah produk<br />

baik <strong>dan</strong> berkualitas.<br />

Menurut Kotler (2006, h.268) citra merek<br />

(Brand image) adalah seperangkat keyakinan<br />

konsumen mengenai merek tertentu. Citra<br />

merek adalah kumpulan berbagai sikap yang<br />

dimiliki konsumen tentang layanan yang<br />

diberikan oleh suatu perusahaan yang<br />

dihubungkan dengan harapan konsumen<br />

terhadap merek tertentu. Citra merek lebih<br />

mengacu kepada kesan yang ada dalam pikiran<br />

konsumen atas suatu merek yang berkaitan<br />

dengan pengalaman <strong>dan</strong> pengetahuan<br />

konsumen. Sebuah produk akan memiliki citra<br />

merek yang baik dengan waktu yang tidak<br />

sebentar.<br />

Citra merek yang melekat pada Starbucks<br />

yaitu Starbucks sebagai tempat ketiga untuk<br />

melepaskan diri dari dunia nyata setelah rumah<br />

<strong>dan</strong> kantor. Starbucks mengutamakan<br />

kesetaraan personal <strong>dan</strong> kemewahan yang<br />

dapat dinikmati oleh orang-orang yang ingin<br />

memanjakan diri dengan pengalaman kopi<br />

terbaik yang disediakan. Starbucks juga<br />

menempatkan diri sebagai versi modern dari<br />

teras ketetanggaan, serta tempat untuk<br />

mendapatkan kekuatan sosial (Michelli, 2007,<br />

h.17).<br />

Citra merek dapat menentukan titik<br />

perbedaan yang mengindikasikan suatu merek<br />

lebih dikenal dibandingkan dengan alternatif<br />

merek lain dalam satu kategori produk. Merek<br />

dibentuk oleh persepsi konsumen <strong>dan</strong> persepsi<br />

konsumen berperan penting dalam<br />

pengambilan keputusan pembelian.<br />

Menurut Joseph Plummer (dalam Aaker,<br />

1991, h.139), citra merek terdiri dari tiga<br />

komponen yaitu:<br />

a. Product Attributes (Atribut Produk)<br />

Atribut produk merupakan hal-hal yang<br />

berkaitan dengan merek tersebut sendiri<br />

seperti, kemasan, isi produk, harga, rasa,dll;<br />

b. Consumer Benefits (Keuntungan<br />

Konsumen)<br />

Keuntungan konsumen merupakan<br />

kegunaan produk dari merek tersebut. Nilai<br />

personal yang dikaitkan oleh konsumen pada<br />

atribut-atribut produk atau jasa tersebut.<br />

1) Functional benefits : berhubungan dengan<br />

pemenuhan kebutuhan dasar seperti kebutuhan<br />

fisik <strong>dan</strong> keamanan atau pemecahan masalah.<br />

2) Experiental benefits : berhubungan dengan<br />

perasaan yang muncul dengan menggunakan<br />

suatu produk atau jasa. Benefit ini<br />

memuaskan kebutuhan bereksperimen seperti<br />

kepuasan sensori, pencarian variasi, <strong>dan</strong><br />

stimulasi kognitif.<br />

3) Symbolic benefits : berhubungan dengan<br />

kebutuhan akan persetujuan sosial atau<br />

ekspresi personal <strong>dan</strong> self-esteem seseorang.<br />

Konsumen akan menghargai nilai-nilai<br />

prestise, eksklusivitas <strong>dan</strong> gaya fashion dari<br />

sebuah merek karena hal-hal ini berhubungan<br />

dengan konsep diri mereka.<br />

4) Social benefits (keuntungan sosial):<br />

berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan<br />

untuk diterima oleh lingkungan sosial <strong>dan</strong><br />

orang lain.<br />

5) Appearance Enhances (meningkatkan<br />

penampilan): berhubungan dengan<br />

pemenuhan harapan, kesan, <strong>dan</strong> efektif dalam<br />

pemenuhan kebutuhan dibandingkan dengan<br />

merek lain.<br />

c. Brand Personality (Kepribadian Merek)<br />

Kepribadian merek merupakan asosiasi yang<br />

membayangkan mengenai kepribadian<br />

sebuah merek apabila merek tersebut seorang<br />

manusia. Kepribadian merek merupakan<br />

serangkaian karakteristik yang oleh<br />

konsumen diasosiasikan dengan merek<br />

tersebut, seperti, kepribadian, penampilan,<br />

nilai-nilai, kesukaan, gender, ukuran, bentuk,<br />

etnis, inteligensi, kelas sosioekonomi, <strong>dan</strong><br />

pendidikan. Hal ini membuat merek seakanakan<br />

hidup <strong>dan</strong> mempermudah konsumen<br />

mendeskripsikannya, serta faktor penentu<br />

apakah konsumen ingin diasosiasikan dengan<br />

merek tersebut atau tidak. Persona merek<br />

membantu pemasar lebih mengerti kelebihan<br />

<strong>dan</strong> kekurangan merek tersebut <strong>dan</strong> cara<br />

memposisikan merek secara tepat.<br />

Konsumen akan belajar dari pengalaman,<br />

yaitu pengalaman diri sendiri <strong>dan</strong> juga<br />

pengalaman orang lain. Sehingga setiap<br />

konsumen akan melakukan proses pengambilan<br />

keputusan sebelum melakukan pembelian.<br />

Pilihan pembelian seseorang dipengaruhi oleh<br />

faktor psikologis yang utama, yaitu motivasi,<br />

persepsi, proses belajar, serta kepercayaan <strong>dan</strong><br />

sikap (Simamora, 2000, h.4). Konsumen yang<br />

sudah percaya pada citra yang melekat di<br />

sebuah merek akan mudah untuk mengambil<br />

keputusan pembelian. Pengambilan keputusan<br />

atau decision making adalah proses memilih<br />

atau menentukan berbagai kemungkinan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 95<br />

diantara situasi-situasi yang tidak pasti<br />

(Suharnan, 2005, h.194). Pengambilan<br />

keputusan erat kaitannya di dalam kegiatan<br />

sehari-hari.<br />

Dalam pengambilan keputusan, konsumen<br />

mempunyai gaya yang berbeda-beda.<br />

Konsumen dihadapkan pada pilihan-pilihan<br />

sebagai orientasi, pola mental, <strong>dan</strong> kognitif<br />

terhadap belanja <strong>dan</strong> pembelian. Hal ini<br />

merupakan gaya pengambilan keputusan<br />

konsumen. <strong>Pengukuran</strong> pada pengambilan<br />

keputusan dapat dengan pendekatan gaya<br />

hidup, tipologi pendekatan konsumen, <strong>dan</strong> juga<br />

pendekatan karakteristik.<br />

Gaya pengambilan keputusan menurut<br />

Sprolles <strong>dan</strong> Kendal dalam Mokhlis et al.<br />

(2002, h.142) berhubungan dengan kebiasaan<br />

yang dilakukan konsumen sebelum membeli<br />

suatu produk sehingga tidak berubah dalam<br />

waktu yang cukup lama. Menurut Xiao <strong>dan</strong><br />

Jessie (1998 dalam Mokhlis, 2002, h.142)<br />

ketika konsumen membuat suatu keputusan<br />

pembelian, konsumen memiliki beberapa<br />

dimensi yang dipertimbangkan secara<br />

bersamaan. Kemampuan dalam memperkirakan<br />

gaya keputusan konsumen penting untuk<br />

melihat apakah konsumen dalam memilih suatu<br />

produk <strong>dan</strong> berbelanja terhubungkan dengan<br />

sebuah merek tertentu yang sudah konsumen<br />

percaya.<br />

Ada tujuh model faktor yang dapat digunakan<br />

untuk menjelaskan karakteristik gaya<br />

pengambilan keputusan konsumen (Sprolles<br />

<strong>dan</strong> Kendal dalam Mokhlis et al., 2009, h.144),<br />

yaitu :<br />

1. High-Quality Conscious<br />

Consumer Dalam hal ini, konsumen akan<br />

melakukan pencarian terhadap produk yang<br />

memiliki mutu terbaik. Pencarian dilakukan<br />

dengan sangat hati-hati <strong>dan</strong> sistematis.<br />

2. Brand Conscious<br />

Dalam hal ini, orientasi konsumen dalam<br />

berbelanja adalah membeli produk yang lebih<br />

mahal dengan merek terkenal. Dalam hal ini,<br />

diyakini bahwa semakin tinggi harga, maka<br />

mutu produk akan semakin baik.<br />

3. Novelty-Fashion Conscious<br />

Dalam hal ini, konsumen menyukai produk<br />

baru <strong>dan</strong> inovatif. Konsumen tertarik untuk<br />

mencari <strong>dan</strong> mendapatkan hal baru. Konsumen<br />

selalu mencari keragaman <strong>dan</strong> mengikuti<br />

perkembangan mode.<br />

4. Recreational Shopping Conscious<br />

Dalam hal ini, konsumen menganggap<br />

kegiatan berbelanja merupakan rekreasi <strong>dan</strong><br />

hiburan. Konsumen berpendapat bahwa<br />

berbelanja adalah aktivitas yang<br />

menyenangkan, yaitu membeli suatu produk<br />

hanya untuk kesenangan.<br />

5. Price-Value Conscious<br />

Dalam hal ini, konsumen berusaha<br />

mendapatkan nilai terbaik dari uang yang<br />

dibelanjakan, yaitu tertarik dengan harga grosir<br />

<strong>dan</strong> produk yang dijual di bawah harga normal.<br />

Sebelum memutuskan untuk membeli,<br />

konsumen akan melakukan pencarian informasi<br />

<strong>dan</strong> membanding-bandingkan harga.<br />

6. Impulsive<br />

Dalam hal ini, keputusan pembelian yang<br />

dilakukan konsumen sangat dipengaruhi oleh<br />

dorongan dari situasi. Konsumen tampak tidak<br />

mempedulikan jumlah uang yang dibelanjakan<br />

untuk mendapatkan pembelian terbaik.<br />

7. Habitual and Brand-Loyal<br />

Dalam hal ini, konsumen memiliki merek<br />

atau toko favorit <strong>dan</strong> telah terbiasa melakukan<br />

pembelian berulang.<br />

Dari uraian di atas peneliti mengajukan<br />

sebuah hipotesis, yaitu: terdapat pengaruh citra<br />

merek terhadap gaya keputusan konsumen<br />

pada produk Starbucks. Bila citra merek<br />

Starbucks positif maka gaya pengambilan<br />

keputusan konsumen terhadap merek itu tinggi.<br />

Sebaliknya, jika citra merek negatif maka gaya<br />

keputusan konsumen rendah.<br />

Hipotesis Statistik yang diajukan dalam<br />

penelitian ini yaitu:<br />

H0 : Tidak ada pengaruh citra merek<br />

terhadap gaya keputusan konsumen pada<br />

produk Starbucks.<br />

Ha : Ada pengaruh citra merek<br />

terhadap gaya keputusan konsumen pada<br />

produk Starbucks.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

2.1. Subjek <strong>Penelitian</strong><br />

Subjek yang dijadikan sampel penelitian<br />

adalah konsumen Starbucks di Jakarta.<br />

Konsumen Starbucks yang dijadikan sampel<br />

penelitian yaitu perempuan <strong>dan</strong> laki-laki,<br />

remaja hingga dewasa akhir dari segala jenis<br />

profesi. Peneliti tidak membatasi jenis kelamin<br />

<strong>dan</strong> profesi subjek untuk memperkaya hasil<br />

penelitian ini. Namun, peneliti membatasi usia<br />

subjek mulai dari remaja berusia 11 tahun<br />

hingga dewasa akhir, 65 tahun atau lebih.<br />

2.2.Skala Citra Merek<br />

Skala citra merek diadaptasi dari jurnal<br />

“The Effect Of Brand Image On Overall<br />

Satisfaction And Loyalty Intention In The<br />

Context Of Color Cosmetic” <strong>dan</strong> juga jurnal<br />

“Measuring customer-based restaurant brand<br />

equity”. Skala ini terdiri dari enam indikator<br />

yaitu, keuntungan eksperiental, keuntungan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 96<br />

simbolik, keuntungan sosial, keuntungan<br />

fungsional, <strong>dan</strong> meningkatkan penampilan,<br />

serta citra merek. Skala disusun menggunakan<br />

skala Likert dengan lima alternatif jawaban<br />

Tabel 1. Blue Print Skala Citra Merek<br />

Aspek Indikator<br />

yaitu sangat tidak setuju, tidak setuju, netral,<br />

setuju, <strong>dan</strong> sangat setuju.<br />

Keuntungan Kepuasan Sensori<br />

Eksperiental Pengalaman Menggunakan Merek<br />

Keuntungan<br />

Nilai-nilai prestise<br />

Simbolik<br />

Eksklusivitas<br />

Keuntungan Sosial Kebutuhan<br />

sosial<br />

diterima oleh lingkungan<br />

Keuntungan<br />

Pemenuhan Kebutuhan dasar<br />

Fungsional<br />

Ekonomis<br />

Meningkat-kan<br />

Pemenuhan harapan<br />

penampilan<br />

Pemenuhan kesan<br />

Citra Merek Persepsi Individu<br />

Jumlah<br />

2.3. Skala Gaya Keputusan<br />

Konsumen<br />

Untuk mengukur gaya keputusan<br />

konsumen mengunakan Consumer Style<br />

Inventory (CSI) yang dikembangkan oleh<br />

Kendall <strong>dan</strong> Sproles (1986). Skala ini terdiri<br />

3. Hasil <strong>dan</strong> Diskusi<br />

Hasil dari pengalaman<br />

Tabel 2. Blue Print Skala Gaya Keputusan Konsumen<br />

Aspek Indikator<br />

dari delapan indikator yaitu, perfeksionis,<br />

kesadaran akan kualitas merek, kesenangan<br />

konsumen, reaksional atau hedonistik,<br />

kesadaran akan harga, konsumen impulsif,<br />

kebingungan akan pilihan merek, <strong>dan</strong> loyalitas<br />

merek.<br />

Perfeksionis Pencarian Mutu Terbaik<br />

Kesadaran akan Membeli merek mahal<br />

kualitas merek Membeli merek terkenal<br />

Kesenangan<br />

Menyukai produk baru<br />

Konsumen<br />

Menyukai inovasi<br />

Reaksional atau Rekreasi<br />

hedonistik<br />

Hiburan<br />

Kesadaran harga Mendapatkan nilai terbaik<br />

Konsumen impulsif Berbelanja dipengaruhi dorongan<br />

situasi<br />

Loyalitas merek Mempunyai merek favorit<br />

<strong>Penelitian</strong> dilaksanakan mulai tanggal 28 Juni<br />

– 1 Juli 2012 dengan menggunakan Skala Citra<br />

Merek yang tersusun dari 20 item <strong>dan</strong> Skala Gaya<br />

Keputusan Konsumen yang terdiri dari dari 14<br />

item.<br />

Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov-<br />

Smirnov, didapatkan koefisien sebesar 0,520<br />

(p>0,05) untuk skala citra merek. Hal ini berarti<br />

sebaran data pada variabel citra merek berbentuk<br />

normal. Skala Gaya Keputusan Konsumen


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 97<br />

memiliki koefisien sebesar 0,660 (p>0,05), maka<br />

sebaran data pada variabel gaya keputusan<br />

konsumen juga berbentuk normal. Hasil uji<br />

kehomogenan menandakan bahwa kehomogenan<br />

terpenuhi, hal ini konsisten dengan hasil koefisien<br />

yang siginifikan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 98<br />

Setiap aktivitas pembelian konsumen, dasarnya<br />

adalah a<strong>dan</strong>ya keinginan untuk menyamakan citra<br />

diri konsumen dengan citra dari merek yang paling<br />

kita sukai. Konsep akan citra diri konsumen<br />

merupakan campuran dari karakteristik fisik<br />

konsumen <strong>dan</strong> karakteristik emosional atau citra<br />

“diri ideal” – citra diri yang dia inginkan. Dari hal<br />

ini, pola pembelian konsumen dapat diprediksi, yaitu<br />

konsumen membeli merek produk yang konsisten<br />

dengan citra dirinya, konsumen menghindari merek<br />

produk yang tidak sesuai dengan citra diri, <strong>dan</strong><br />

membeli merek produk yang dapat meningkatkan<br />

citra dirinya. Merek bisa memperkuat citra diri <strong>dan</strong><br />

persepsi orang lain terhadap pemakainya (Tjiptono,<br />

2011, h.47).<br />

Citra merek memengaruhi gaya keputusan<br />

konsumen secara positif. Gaya pengambilan<br />

keputusan konsumen didefinisikan sebagai orientasi<br />

pola mental, <strong>dan</strong> kognitif terhadap berbelanja <strong>dan</strong><br />

pembelian yang selalu mendominasi pilihan<br />

konsumen.<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan analisis data <strong>dan</strong><br />

pembahasan yang dikemukakan pada bab<br />

sebelumnya, maka dapat dapat diambil kesimpulan<br />

variabel independen dalam penelitian ini yaitu<br />

citra merek memiliki pengaruh <strong>dan</strong> signifikan<br />

terhadap variabel dependen yaitu gaya keputusan<br />

konsumen. Pernyataan hipotesis alternatif dapat<br />

diterima, maka citra merek berpengaruh positif <strong>dan</strong><br />

signifikan terhadap gaya keputusan konsumen.<br />

Daftar Pustaka<br />

Aaker, D. A. (1991). Managing Brand Equity:<br />

Capitalizing on the value of a brand name.<br />

New York: Free Press.<br />

Drezner, W. (2002). A Balanced Perspective on<br />

Brands. Baringstoke: McMillan.<br />

Keller & Kotler. (2006). Marketing Management.<br />

New Jersey: Pearson International Edition.<br />

Kotler, Philip. (2005). Manajemen Pemasaran jilid<br />

1. Jakarta: Indeks.<br />

Kristianto, Paulus Lilik. (2011). <strong>Psikologi</strong><br />

Pemasaran. Jakarta: Caps.<br />

Michelli, Joseph. (2006). The Starbucks Experience.<br />

Jakarta: Esensi.<br />

Produksi Kopi Indonesia Masih Posisi Empat<br />

Dunia. (Rabu, 19 Maret 2008 ). Harian Kompas.<br />

From: http://nasional.kompas.com/read/2008/03/<br />

19/1102529/produksi.kopi.indonesia.masih.posis<br />

i.empat.dunia<br />

Safiek, Mukhlis. (2009). International Journal of<br />

Business Management: “An Investigation of<br />

Consumer Decision-Making Styles of Young-<br />

Adults in Malaysia”<br />

Schiffman, L.G., Kanuk, L.L. (2000). Consumers<br />

Behavior 7th ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.<br />

Simamora Bilson. (2003). Aura Merek. Jakarta:<br />

Gramedia Pustaka Utama.<br />

Simamora, Bilson. (2003). Panduan Riset Perilaku<br />

Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.<br />

Solso Robert, dkk. (2007). <strong>Psikologi</strong> Kognitif.<br />

Jakarta: Erlangga.<br />

Suharnan. (2005). <strong>Psikologi</strong> Kognitif. Surabaya:<br />

Srikandi.<br />

Starbucks Coffee Company Indonesia, available<br />

from: http://www.starbucks.co.id


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 99<br />

GAMBARAN SIKAP REMAJA AWAL TERHADAP IKLAN ANTI<br />

ROKOK<br />

Freeco Lisa Lamhab Sari<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Cijantung, Jakarta<br />

E-mail: freecolisa@yahoo.com<br />

ABSTRACT<br />

Development of the cigarette industry in Indonesia in recent years has increased. According in data<br />

from the World Institute for Health Care (WHO), the member of smokers in Indonesia is ranked third in the<br />

world, while for the ASEAN region, Indonesia tops the list, The death rate from smoking in Indonesia<br />

reaches 427.948 people annually, most of them are of productive age.<br />

The purpose of this study was to determine Preview Early Adolescent Attitudes toward Anti Smoking<br />

Advertising. The research was conducted by quantitative descriptive methode. Study was conducted on 56<br />

people arl teens, who sit in second grade junior high school. Engineering samples used was quota sampling.<br />

Prior to data analysis, first testing the validity and reliability of research instrument with SPSS. The<br />

result showed that of three components of attitudes toward advertising, the affective component, cognitive<br />

component, and conative components, describing all aspects of early adolescent attitudes toward antismoking<br />

ads.<br />

Keywords: Early Adolescent, Anti Smoking Advertisment<br />

1. Pendahuluan<br />

Merokok merupakan perilaku yang telah<br />

mewabah di Indonesia. Perkembangan industri<br />

rokok di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir<br />

ini juga semakin meningkat. Menurut data<br />

Lembaga Kesehatan Dunia (WHO), jumlah<br />

perokok di Indonesia menempati peringkat ke-3<br />

di dunia, se<strong>dan</strong>gkan untuk kawasan ASEAN,<br />

Indonesia menempati urutan teratas. Lebih dari 80<br />

juta penduduk Indonesia merokok. Kematian<br />

akibat merokok di Indonesia mencapai 427.948<br />

orang setiap tahunnya atau 1172 perhari.<br />

Sebagian besar di antaranya adalah usia produktif<br />

(WHO, 2008, hal. 19).<br />

Pada kenyataanya mengkonsumsi rokok yang<br />

mengandung berbagai zat dapat meracuni tubuh.<br />

Nikotin <strong>dan</strong> tar adalah sebagian dari ribuan zat<br />

yang terkandung dalam rokok yang dapat<br />

mengakibatkan terganggunya kesehatan, baik<br />

bagi perokok maupun orang lain. Menurut<br />

American Cancer Society, 90 persen penderita<br />

kanker mulut (bibir, lidah, tenggorokan, <strong>dan</strong><br />

mulut) merupakan pengguna tembakau dalam<br />

beberapa bentuk (American Cancer Society, 2011,<br />

hal. 23).<br />

Sedikitnya 25 jenis penyakit timbul karena<br />

kebiasaan merokok, antara lain kanker kandung<br />

kemih, kanker paru, penyempitan pembuluh<br />

darah, yang dapat menyebabkan penyakit jantung<br />

<strong>dan</strong> stroke, serta kelainan osteoporosis<br />

(A.Hawamdeh, 2003, hal. 441-445).<br />

Fenomena merokok di Indonesia memang sudah<br />

sangat memprihatinkan, bahkan kini sudah<br />

merambah kepada para pelajar sekolah. Bila<br />

diperhatikan dengan seksama mengenai kebiasaan<br />

merokok di kalangan remaja, terlihat jelas rokok<br />

telah merambah siswa SMP <strong>dan</strong> sudah menjadi<br />

semacam trend atau bukan merupakan suatu<br />

peman<strong>dan</strong>gan yang mengherankan lagi. Dari hasil<br />

pengamatan terhadap siswa SMP pada jam-jam<br />

istirahat <strong>dan</strong> pulang sekolah, banyak diantaranya<br />

mempunyai kebiasaan merokok baik di warung


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 100<br />

sekitar sekolah, supermarket atau di tempattempat<br />

mereka berkumpul.<br />

Sesungguhnya merokok pada siswa dapat<br />

menurunkan kecerdasan mereka. Menurut<br />

penelitian The Sheba Medical Center, Israel, para<br />

perokok muda cenderung memiliki tingkat<br />

kecerdasan yang lebih rendah dibandingkan rekan<br />

mereka yang tidak merokok (2010, hal.358–363).<br />

Mengingat begitu buruk dampak konsumsi<br />

rokok, upaya penanggulangannya merupakan<br />

suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan.<br />

Upaya-upaya tersebut dapat berupa penyebaran<br />

informasi yang berupa edukasi <strong>dan</strong> sosialisasi<br />

mengenai rokok <strong>dan</strong> dampaknya. Melalui hal ini<br />

masyarakat, khususnya remaja, dapat terus<br />

diketuk kesadarannya.<br />

Salah satu upaya penyebarluasan informasi<br />

tentang bahaya merokok adalah dengan<br />

menggunakan media promosi yaitu iklan. Iklan<br />

merupakan sarana komunikasi antara produsen<br />

dengan konsumennya. Iklan tidak selalu<br />

menampilkan produk atau jasa yang bernuansa<br />

profit. Ada kalanya iklan menayangkan tema<br />

sosial. Hal ini bermanfaat bagi khalayak banyak.<br />

Tema sosial tersebut tentunya tidak memiliki<br />

muatan komersial yang hanya menguntungkan<br />

salah satu pihak saja. Iklan dengan nuansa sosial<br />

biasa dikenal dengan nama Iklan Layanan<br />

Masyarakat (ILM).<br />

Iklan layanan masyarakat merupakan media<br />

alternatif yang digunakan berbagai pihak, baik<br />

instansi maupun pemerintah sebagai pengenalan<br />

suatu program. Dalam hal ini, pembuatan iklan<br />

layanan masyarakat dapat berupa kampanye iklan<br />

anti rokok yang isinya berupa dampak-dampak<br />

dari merokok. Hal ini diharapkan dapat<br />

memberikan informasi yang bermanfaat bagi<br />

masyarakat tentang bagaimana dampak rokok.<br />

Iklan kampanye anti rokok dapat dilakukan<br />

dengan berbagai cara baik media cetak, radio,<br />

maupun televisi.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>Penelitian</strong> ini menggunakan pendekatan<br />

penelitian kuantitatif. Jenis penelitian yang<br />

dilakukan termasuk dalam penelitian deskriptif,<br />

yaitu penelitian yang bertujuan untuk<br />

menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu<br />

individu, keadaan, gejala atau kelompok topik<br />

tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau<br />

penyebaran suatu gejala atau frekuensi a<strong>dan</strong>ya<br />

hubungan tertentu antara satu gejala dengan<br />

gejala yang lainnya dalam masyarakat<br />

(Koentjaraningrat 1993, hal. 29).<br />

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah<br />

siswa-siswi kelas 2 SMPN 102 Jakarta Timur<br />

(tidak dalam masa penundaan kegiatan<br />

akademik). Siswa-siswi tersebut termasuk remaja<br />

awal dengan rentang usia antara 11-15 tahun,<br />

dimana pada usia tersebut seseorang memasuki<br />

masa remaja awal. Alasan pemilihan ini seperti<br />

yang sudah diutarakan sebelumnya, usia ini<br />

adalah usia dimana remaja rentan untuk merokok.<br />

Penarikan sampel penelitian ini dilakukan dengan<br />

teknik non-probability sampling dengan cara<br />

quota sampling. Sampling kuota merupakan<br />

teknik sampling yang menentukan jumlah<br />

anggota sampel berdasarkan jumlah kuota tertentu<br />

yang ditentukan oleh peneliti. Jumlah sampel<br />

yang digunakan dalam penelitian ini adalah 56<br />

orang.<br />

Pada penelitian ini tiap subjek diminta untuk<br />

memperhatikan poster iklan anti rokok yang<br />

ditampilkan <strong>dan</strong> kemudian mengisi skala sikap<br />

yang terdiri dari pilihan jawaban Sangat Setuju,<br />

Setuju, Tidak Setuju <strong>dan</strong> Sangat Tidak Setuju,<br />

sesuai dengan penilaian masing-masing.<br />

3. Hasil<br />

Data umum dimulai dari karateristik responden<br />

yang meliputi karakteristik usia <strong>dan</strong> jenis kelamin<br />

responden. Se<strong>dan</strong>gkan analisis data untuk<br />

mengetahui hasil tabulasi silang antara usia <strong>dan</strong><br />

jenis kelamin terhadap sikap remaja awal<br />

terhadap iklan anti rokok.<br />

Tabel 1. Frekuensi pada Jenis Kelamin<br />

Valid<br />

PEREMPUAN<br />

LAKI-LAKI<br />

TOTAL<br />

Frequency Percen<br />

35<br />

21<br />

56<br />

Gambar 1. Diagram Jenis Kelamin<br />

t<br />

62.5<br />

37.5<br />

100.0<br />

Valid<br />

Percen<br />

t<br />

62.5<br />

37.5<br />

100.0<br />

Cumulativ<br />

e Percent<br />

62.5<br />

100.0


Valid 13 Tahun<br />

14Tahun<br />

Total<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 101<br />

Tabel 2. Frekuensi pada Usia<br />

50<br />

Frequency Percent Valid<br />

0<br />

11<br />

45<br />

56<br />

19.6<br />

80.4<br />

100.0<br />

Gambar 2. Diagram Usia<br />

Berikut ini merupakan pembahasan dari data<br />

yang telah didapat tentang sikap remaja awal<br />

terhadap iklan anti rokok. Dalam sub bab ini akan<br />

menggambarkan penilaian remaja awal terhadap<br />

ketiga aspek sikap yaitu komponen afektif,<br />

komponen kognitif, <strong>dan</strong> komponen konatif. Dari<br />

tiap komponen dilihat seberapa banyak penilaian<br />

sujek yang muncul dari tiap pernyataan sikap<br />

dalam bentuk persentase.<br />

1. Pernyataan Terhadap Komponen Afektif<br />

Gambar 3. Sikap Remaja pada Komponen<br />

Afektif<br />

KOMPONEN<br />

AFEKTIF<br />

TS S SS<br />

Percent<br />

19.6<br />

80.4<br />

100.0<br />

Cumulative<br />

Percent<br />

19.6<br />

100.0<br />

Ket: TS (Tidak Setuju), S (Setuju), SS (Sangat<br />

Setuju)<br />

Dari data di atas menunjukkan bahwa sebanyak<br />

10 orang atau sebanyak 17.9% menilai Tidak<br />

Setuju pada pernyataan dalam komponen afektif.<br />

Sementara itu 31 orang menjawab Setuju atau<br />

sebanyak 55.4% <strong>dan</strong> yang menjawab Sangat<br />

Setuju sebanyak 15 orang atau sebesar 26.8%.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan yang menjawab Sangat Tidak Setuju<br />

tidak ada. Dengan demikian dapat disimpulkan<br />

bahwa sebagian besar remaja setuju terhadap<br />

iklan anti rokok yang ditampilkan pada komponen<br />

afektif. Hal tersebut tentu mempengaruhi<br />

perasaan mereka dalam bersikap terhadap rokok.<br />

2. Pernyataan Terhadap Komponen Kognitif<br />

Gambar 4. Sikap Remaja pada<br />

Komponen Kognitif<br />

50<br />

0<br />

KOMPONEN<br />

KOGNITIF<br />

TS S SS<br />

Ket: TS (Tidak Setuju), S (Setuju), SS<br />

(Sangat Setuju)<br />

Dari data di atas menunjukkan bahwa<br />

sebanyak 5 orang atau sebanyak 8.9% menilai<br />

Tidak Setuju pada pernyataan dalam komponen<br />

kognitif. Sementara itu 33 orang menjawab Setuju<br />

atau sebanyak 58.9%, se<strong>dan</strong>gkan yang menjawab<br />

Sangat Setuju sebanyak 18 orang atau sebesar<br />

32.1%. Sementara itu, tidak ada yang memilih<br />

untuk jawaban Sangat Tidak Setuju. Dengan<br />

demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian<br />

besar remaja setuju terhadap iklan anti rokok<br />

yang ditampilkan pada komponen kognitif. Hal<br />

itu dapat mempengaruhi pemahaman <strong>dan</strong> cara<br />

pan<strong>dan</strong>g remaja dalam rokok.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 102<br />

3. Pernyataan Terhadap Komponen Konatif<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

Gambar 5. Sikap Remaja pada Komponen<br />

Konatif<br />

KOMPONEN<br />

KONATIF<br />

TS S SS<br />

Ket: TS (Tidak Setuju), S (Setuju), SS (Sangat<br />

Setuju)<br />

Dari data di atas menunjukkan bahwa<br />

sebanyak 6 orang atau sebanyak 10.7% menilai<br />

Tidak Setuju pada pernyataan dalam komponen<br />

konatif. Sementara itu 27 orang menjawab Setuju<br />

atau sebanyak 48.2%. Sementara itu subjek yang<br />

menjawab Sangat Setuju sebanyak 23 orang atau<br />

sebesar 41.1%. Untuk pilihan jawaban Sangat<br />

Tidak Setuju tidak ada yang memilih. Dengan<br />

demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian<br />

besar remaja setuju terhadap iklan anti rokok<br />

yang ditampilkan pada komponen konatif. Hal itu<br />

dapat mempengaruhi kecenderungan remaja<br />

dalam bersikap atas rokok. Pada iklan anti rokok<br />

yang ditampilkan, remaja yang setuju cenderung<br />

akan mengikuti saran <strong>dan</strong> informasi yang<br />

ditampilkan pada iklan.<br />

4. Pernyataan Terhadap Komponen Secara<br />

Keseluruhan<br />

Gambar 6. Sikap Remaja pada Komponen<br />

Sikap Secara Keseluruhan<br />

50<br />

0<br />

Ket : TS (Tidak Setuju), S (Setuju), SS (Sangat<br />

Setuju)<br />

Dari data di atas menunjukkan bahwa<br />

sebanyak 4 orang atau sebanyak 7.1% menilai<br />

Tidak Setuju pada iklan anti rokok yang<br />

ditampilkan. Sementara itu 31 orang menjawab<br />

Setuju atau sebanyak 55.4%. sementara yang<br />

menjawab Sangat Setuju sebanyak 21 orang atau<br />

sebesar 37.5% <strong>dan</strong> tidak ada yang menjawab<br />

untuk pernyataan Sangat Tidak Setuju. Dengan<br />

demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian<br />

besar remaja setuju terhadap iklan anti rokok<br />

yang ditampilkan.<br />

KOMPONEN<br />

SECARA<br />

KESELURUHAN<br />

TS S SS<br />

Hal ini tentu dapat berpengaruh<br />

kecenderungan remaja dalam bersikap atas rokok.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 103<br />

Penilai setuju atas iklan anti rokok menunjukan<br />

bahwa remaja telah tahu <strong>dan</strong> paham atas dampak<br />

dari rokok. Dengan begitu remaja dapat<br />

menghindari ataupun meminimalkan dampak dari<br />

rokok dengan cara tidak ikut merokok ataupun<br />

menghindari paparan asap rokok dalam berbagai<br />

cara.<br />

Hasil Tabulasi Silang<br />

1. Perbedaan Sikap Remaja Awal<br />

Terhadap Iklan Anti Rokok<br />

Berdasarkan Jenis Kelamin<br />

Gambar 7. Grafik Bar Tabulasi Silang Jenis<br />

Kelamin <strong>dan</strong> Sikap Remaja Secara<br />

Keseluruhan<br />

Ket: TS (Tidak Setuju), S (Setuju), SS (Sangat<br />

Setuju)<br />

Berdasarkan data di atas, sikap remaja awal<br />

terhadap iklan anti rokok secara keseluruhan<br />

dilihat dari jenis kelamin menunjukkan bahwa,<br />

baik laki-laki <strong>dan</strong> perempuan menyatakan Setuju<br />

terhadap iklan anti rokok yakni sebanyak 31<br />

orang. Akan tetapi terdapat perbedaan penilaian<br />

antara laki-laki <strong>dan</strong> perempuan. Pada perempuan<br />

yaitu penilaian Sangat Setuju terhadap iklan anti<br />

rokok sebanyak 18 orang, Setuju sebanyak 16<br />

orang <strong>dan</strong> Tidak Setuju Sebanyak 1 orang. Pada<br />

laki-laki, penilaian Sangat Setuju terhadap iklan<br />

anti rokok sebanyak 3 orang, Setuju sebanyak 15<br />

orang <strong>dan</strong> Tidak Setuju Sebanyak 3 orang.<br />

Sikap remaja awal terhadap iklan anti rokok<br />

secara keseluruhan dilihat dari jenis kelamin tidak<br />

lepas dari penilaian terhadap berbagai komponen<br />

sikap di dalamnya. Berikut adalah hasil penelitian<br />

sikap remaja awal terhadap iklan anti rokok<br />

berdasarkan jenis kelamin, dilihat dari ketiga<br />

komponen sikap, antara lain :<br />

Untuk Komponen Afektif, pada setiap jenis<br />

kelamin laki-laki maupun perempuan menilai<br />

Setuju yakni sebanyak 31 orang. Pada bagian ini<br />

jumlah laki-laki sebanyak 2 orang menilai Sangat<br />

Setuju, 14 orang menilai setuju <strong>dan</strong> 5 orang<br />

menilai tidak setuju. Pada perempuan, sebanyak<br />

13 orang menilai Sangat setuju, 17 orang<br />

menjawab Setuju, <strong>dan</strong> 5 orang menjawab Tidak<br />

Setuju.<br />

Untuk komponen Kognitif, pada setiap jenis<br />

kelamin laki-laki maupun perempuan menilai<br />

Setuju pada iklan anti rokok yakni sebanyak 33<br />

orang. Pada bagian ini jumlah laki-laki sebanyak<br />

4 orang menilai Sangat Setuju, 13 orang menilai<br />

setuju <strong>dan</strong> 4 orang menilai Tidak Setuju. Pada<br />

perempuan, sebanyak 14 orang menilai Sangat<br />

Setuju. Selanjutnya 20 orang menjawab Setuju,<br />

<strong>dan</strong> 1 orang menjawab Tidak Setuju.<br />

Untuk komponen Konatif, pada setiap jenis<br />

kelamin laki-laki maupun perempuan menilai<br />

Setuju pada iklan anti rokok yakni sebanyak 22<br />

orang. Pada bagian ini jumlah laki-laki sebanyak<br />

4 orang menilai Sangat Setuju, 14 orang menilai<br />

setuju <strong>dan</strong> 3 orang menilai tidak setuju. Pada


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 104<br />

perempuan, sebanyak 19 orang menilai Sangat<br />

Setuju. Selanjutnya 13 orang menjawab Setuju,<br />

<strong>dan</strong> 3 orang menjawab Tidak Setuju.<br />

Berdasarkan dari keseluruhan jawaban atau<br />

penilaian pada jenis kelamin terhadap seluruh<br />

komponen sikap, maka dapat disimpulkan bahwa<br />

responden perempuan lebih banyak memilih<br />

sangat setuju terhadap masing-masing aspek,<br />

se<strong>dan</strong>gkan laki-laki lebih banyak merasa setuju<br />

pada masing-masing komponen sikap.<br />

2. Perbedaan Sikap Remaja Awal<br />

Terhadap Iklan Anti Rokok<br />

Berdasarkan Usia<br />

Gambar 8. Grafik Bar Tabulasi Silang Usia<br />

<strong>dan</strong> Sikap Remaja Secara Keseluruhan<br />

Ket: TS (Tidak Setuju), S (Setuju), SS (Sangat<br />

Setuju)<br />

Berdasarkan data di atas, sikap remaja awal<br />

terhadap iklan anti rokok secara keseluruhan<br />

dilihat dari usia menunjukkan bahwa, baik remaja<br />

awal usia 13 tahun <strong>dan</strong> remaja awal usia 14 tahun<br />

menyatakan Setuju terhadap iklan anti rokok<br />

yakni sebanyak 31 orang. Dari masing-masing<br />

usia, pada remaja awal yang berusia 13 tahun<br />

menilai Sangat Setuju terhadap iklan anti rokok<br />

sebanyak 4 orang, Setuju sebanyak 5 orang <strong>dan</strong><br />

Tidak Setuju Sebanyak 3 orang. Pada remaja awal<br />

yang berusia 14 tahun, penilaian Sangat Setuju<br />

terhadap iklan anti rokok sebanyak 11 orang,<br />

Setuju sebanyak 26 orang <strong>dan</strong> Tidak Setuju<br />

Sebanyak 7 orang.<br />

Sikap remaja awal terhadap iklan anti rokok<br />

secara keseluruhan dilihat dari usia tidak lepas<br />

dari penilaian terhadap berbagai komponen sikap<br />

di dalamnya. Berikut adalah hasil penelitian sikap<br />

remaja awal terhadap iklan anti rokok<br />

berdasarkan usia, dilihat dari ke-3 komponen<br />

sikap, antara lain :<br />

Untuk Komponen Afektif, pada setiap remaja<br />

usia 13 tahun maupun 14 tahun yang menilai<br />

Setuju yakni sebanyak 31 orang. Pada remaja<br />

yang berusia 13 tahun, sebanyak 4 orang menilai<br />

Sangat Setuju, 5 orang menilai setuju <strong>dan</strong> 3 orang<br />

menilai tidak setuju. Pada remaja awal yang<br />

berusia 14 tahun, sebanyak 11 orang menilai<br />

Sangat setuju, 26 orang menjawab Setuju, <strong>dan</strong> 7<br />

orang menjawab Tidak Setuju.<br />

Untuk komponen Kognitif, Pada remaja awal<br />

yang berusia 13 tahun maupun 14 tahun menilai<br />

Setuju pada iklan anti rokok yakni sebanyak 33<br />

orang. Pada bagian ini jumlah remaja awal yang<br />

berusia 13 tahun, sebanyak 2 orang menilai<br />

Sangat Setuju, 8 orang menilai setuju <strong>dan</strong> 2 orang<br />

menilai Tidak Setuju. Pada remaja awal yang<br />

berusia 14 tahun, sebanyak 16 orang menilai<br />

Sangat Setuju. Selanjutnya 25 orang menjawab<br />

Setuju, <strong>dan</strong> 3 orang menjawab Tidak Setuju.<br />

Untuk komponen Konatif, pada remaja awal<br />

yang berusia 13 tahun maupun 14 tahun menilai<br />

Setuju pada iklan anti rokok yakni sebanyak 27<br />

orang. Pada bagian ini jumlah remaja awal yang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 105<br />

berusia 13 tahun, sebanyak 3 orang menilai<br />

Sangat Setuju, 6 orang menilai setuju <strong>dan</strong> 3 orang<br />

menilai Tidak Setuju. Pada remaja awal yang<br />

berusia 14 tahun, sebanyak 20 orang menilai<br />

Sangat Setuju. Selanjutnya 21 orang menjawab<br />

Setuju, <strong>dan</strong> 3 orang menjawab Tidak Setuju.<br />

Berdasarkan dari keseluruhan jawaban atau<br />

penilaian berdasarkan usia terhadap seluruh<br />

komponen sikap, maka dapat disimpulkan bahwa<br />

responden yang berusia 14 tahun lebih banyak<br />

daripada yang berusia 13 tahun. Remaja yang<br />

berusia 13 <strong>dan</strong> 14 tahun lebih banyak menilai<br />

setuju terhadap masing-masing komponen sikap.<br />

4.Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil analisis penelitian maka<br />

dapat disimpulkan bahwa :<br />

4.1 Komponen sikap afektif menggambarkan<br />

sikap remaja awal terhadap iklan anti rokok<br />

4.2 Komponen sikap kognitif menggambarkan<br />

sikap remaja awal terhadap iklan anti rokok<br />

4.3 Komponen sikap konatif menggambarkan<br />

sikap remaja awal terhadap iklan anti rokok<br />

5. Daftar Pustaka<br />

Aryanpur, Mahshid M.D , (2011).Comparison<br />

of Spermatozoa Quality in Male Smokers and<br />

Nonsmokers of Iranian Infertile Couples, Royan<br />

Institute International Journal of Fertility and<br />

Sterility<br />

Azwar, Syaifudin. (1995).Sikap Manusia Teori<br />

<strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong>nya. Yogyakarta: Pustaka<br />

Pelajar<br />

Azwar, Syaifudin. (2010).Penyusunan Skala<br />

<strong>Psikologi</strong>. Yogyakarta: Pustaka Pelajar<br />

Belch, George E.,& Michael A. Belch. (2012).<br />

Advertising and Promotion: An Itergrated<br />

MerketingCommunication Perspective. Boston:<br />

Mc.Grawhill<br />

Bitter John R.(1986). Mass Communication, An<br />

Introduction. New Jercy : Prentice Hall<br />

Englewood Cliffs<br />

Chaplin,J.P. (2008).Kamus Lengkap <strong>Psikologi</strong>.<br />

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada<br />

Compston , Juliet. (2007). Smoking and<br />

Skeleton, The Journal of Endrocrinology &<br />

Metabolism. U.S.A: The Endrocrine Society<br />

Gerungan. (2009). <strong>Psikologi</strong> Sosial. Bandung:<br />

Refika Aditama<br />

Hawamdeh,A,etc, (2003). Effects of passive<br />

smoking on children’s health (Vol. 9, No.3),<br />

Eastern Mediterranean Health Journal<br />

Hawkins,D.I, Best RJ &Coney,K.A. Consumer<br />

Behaviour: Implication for Marketing Strategy.<br />

Boston: McGraw-Hill<br />

Hurlock, Elizabet. (1980). <strong>Psikologi</strong><br />

Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang<br />

Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga<br />

Jefkins,Frank.(1997). Periklanan. Jakarta:<br />

Erlangga<br />

Kementrian Kesehatan RI. (2010). Riset<br />

Kesehatan Dasar. Republik Indonesia: Ba<strong>dan</strong><br />

<strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> Pengembangan Kesehatan<br />

Kerlinger,Fred.N. (2006). Asas-Asas <strong>Penelitian</strong><br />

Behavioral (Ed.3). Yogyakarta: Gajah Mada<br />

University Press<br />

Komalasari, Dian. (2004). Faktor-Faktor<br />

Penyebab Perilaku Merokok Remaja. Depok:<br />

Universitas Indonesia<br />

Kotler, Philip. (2012). Marketing Management<br />

(14 th edition). Pearson: London<br />

Liliweri, Alo ,M.S. (2011). Komunikasi Serba<br />

Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana Prenada<br />

Media Group<br />

Mar’at. (1981). Sikap Manusia Perubahan Serta<br />

<strong>Pengukuran</strong>. Jakarta: Ghalia Indonesia<br />

Martin, Rod.A. (2007). The Psychology of<br />

Humor An Integrative Approach. Elsevier<br />

Academic Press: UK<br />

Moriarty,Sandra,dkk. (2011). Advertising<br />

(Edisi:8). Jakarta: Kencana<br />

Peter, J. Paul. (2001). Consumer behavior and<br />

marketing strategy. New York : Mc Graw-Hill


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 106<br />

Rakhmat, Jalaluddin,M.Sc.(2007). <strong>Psikologi</strong><br />

Komunikasi. Bandung: Rosda<br />

Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development-<br />

Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga<br />

Seniati, Liche,dkk.(2011). <strong>Psikologi</strong><br />

Eksperimen. Jakarta: Indeks<br />

Solomon, Michael R.(2009).Consumer<br />

behavior : Buying, having and being. New<br />

York : Pearson - Prentice Hal<br />

Sugiyono. (2009).Metode <strong>Penelitian</strong> Kuantitatif<br />

<strong>dan</strong> Kualitatif. Bandung : Alfabeta<br />

Tammemagi, C.M,April (2010), Archives of<br />

Otolaryngology and Head and Neck Surgery<br />

(vol 136), hal. 327-334<br />

The MPOWER. (2008). WHO Report on The<br />

Global Tobacco Epidemic. World Health<br />

Organitation<br />

Vaidya, Bijay (2007), Detection of Thyroid<br />

Dysfunction in Early Pregnancy: Universal<br />

Screening or Targeted High-Risk Case<br />

Finding?, Journal of Clinical Endocrinology &<br />

Metabolism<br />

Widyatama, Rendra. (2007). Pengantar<br />

Periklanan. Jakarta: Pustaka


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 107<br />

KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA<br />

CV. MITRA BOGA TAMA<br />

Yusnia Nasution<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jakarta Timur<br />

usninasti@gmail.com<br />

Abstract<br />

The purpose of this research is how the picture of the level of employee job satisfaction CV. Mitra<br />

Boga Tama in general are viewed from the six aspects of job satisfaction: the nature of work, attitude and<br />

superior leadership, the relationship between co-workers, working conditions, salaries and benefits, and<br />

opportunities to develop a career. It also determines which aspects of job satisfaction has been providing job<br />

satisfaction and aspects which do not provide job satisfaction.<br />

This type of study is a descriptive quantitative questionnaires as primary data collection tool which<br />

is supported by interviews. The research was conducted on 26 respondents who are employees in the sample<br />

of the population CV. Mitra Boga Tama. Sample technique used is total sampling that is taking on the entire<br />

sample population, this is because the amount is less than 100 respondents. Prior to the analysis of data, it<br />

first tested the validity and reliability of research instruments with SPSS 17.0 for Windows. Validity testing<br />

is done using correlation Pearson Product Moment in SPSS program for windows version 17.00. As for the<br />

reliability of testing instruments in this study, reliability tests carried out using Cronbach Alpha Formula<br />

techniques and by using the SPSS program for windows 17.00.<br />

The results showed that of the six aspects of job satisfaction: the nature of work, attitude and<br />

superior leadership, the relationship between co-workers, working conditions, salaries and benefits, and<br />

opportunities to develop a career, describing all aspects of employee job satisfaction. Moreover, if viewed a<br />

picture of the six aspects of job satisfaction that no aspect has been providing job satisfaction, four aspects of<br />

assessing only the neutral and the judge is not satisfied aspect is the aspect of salary and career development.<br />

From the results of this study can be in the know that the need for companies / leaders to improve the system<br />

or human resources personnel and employees need to do an evaluation for the purpose of the enterprise can<br />

be met or improved than before.<br />

Key words: Job Satisfaction<br />

1. Pendahuluan<br />

Pekerjaan menghasilkan uang, kebebasan,<br />

<strong>dan</strong> kemandirian. Biasanya orang akan merasa puas<br />

atas kerja yang dijalankannya apabila apa yang<br />

dikerjakannya itu dianggap telah memenuhi<br />

harapannya sesuai dengan tujuannya bekerja.<br />

Apabila seseorang mendambakan sesuatu, itu<br />

berarti ia memiliki suatu harapan <strong>dan</strong> dengan<br />

demikian ia termotivasi untuk melakukan tindakan<br />

pencapaian harapan itu. Jika harapannya itu<br />

terpenuhi, ia akan merasa puas. Kepuasan kerja


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 108<br />

merupakan komponen dari sikap yang paling<br />

banyak diteliti. Hal ini disebabkan karena kepuasan<br />

kerja dapat meningkatkan motivasi kerja <strong>dan</strong><br />

produktivitas kerja individu (Spector,2000:1996).<br />

Kepuasan kerja adalah<br />

pan<strong>dan</strong>gan positif karyawan terhadap<br />

pekerjaannya, lingkungannya, relasi<br />

kerjanya, <strong>dan</strong> lain sebagainya yang<br />

berhubungan dengan pekerjaannya.<br />

Menurut Robbins “Kepuasan kerja adalah<br />

sebagai suatu sikap umum seorang<br />

individu terhadap pekerjaannya, pekerjaan<br />

menuntut interaksi dengan rekan kerja,<br />

atasan, peraturan <strong>dan</strong> kebijakan organisasi,<br />

standar kinerja, kondisi kerja <strong>dan</strong><br />

sebagainya. Seorang dengan tingkat<br />

kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap<br />

positif terhadap kerja itu, sebaliknya<br />

seseorang tidak puas dengan pekerjaannya<br />

menunjukkan sikap negatif terhadap kerja<br />

itu. (Robbins, 1996 : 179).<br />

Menurut Herzberg seperti yang dikutip<br />

oleh Suryana Sumantri (2001:83), ciri perilaku<br />

pekerja yang puas adalah mereka yang mempunyai<br />

motivasi yang tinggi untuk bekerja, mereka lebih<br />

senang dalam melakukan pekerjaannya, se<strong>dan</strong>gkan<br />

ciri pekerja yang kurang puas adalah mereka yang<br />

malas berangkat bekerja ketempat bekerjanya <strong>dan</strong><br />

malas dalam melakukan pekerjaannya. Sehingga<br />

dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah<br />

perasaan atau sikap seseorang terhadap pekerjaan<br />

yang dilakukanya, yang dapat dipengaruhi oleh<br />

berbagai macam faktor, baik itu faktor internal<br />

maupun faktor eksternal, <strong>dan</strong> faktor-faktor tersebut<br />

yang akan menentukan mengapa karyawan merasa<br />

puas atau tidak puas dalam menjalankan<br />

pekerjaanya.<br />

Menurut Job Descriptive Index (JDI)<br />

faktor penyebab kepuasan kerja adalah :<br />

1. Bekerja pada tempat yang tepat<br />

2. Pembayaran yang sesuai<br />

3. Organisasi <strong>dan</strong> manajemen<br />

4. Supervisi pada pekerjaan yang tepat<br />

5. Orang yang berada dalam pekerjaan<br />

yang tepat<br />

Se<strong>dan</strong>gkan menurut Hasibuan (2005:203)<br />

kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktorfaktor<br />

:<br />

1. Balas jasa yang layak <strong>dan</strong> adil<br />

2. Penempatan yang tepat <strong>dan</strong> sesuai<br />

dengan keahlian<br />

3. Berat ringannya pekerjaan<br />

4. Suasana <strong>dan</strong> lingkungan pekerjaan<br />

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan<br />

pekerjaan<br />

6. Sikap pemimpin dalam<br />

kepemimpinannya<br />

7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak<br />

Perusahaan keluarga adalah sebuah<br />

perusahaan yang dimiliki, dikontrol, <strong>dan</strong> dijalankan<br />

oleh anggota sebuah atau beberapa keluarga.<br />

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa semua<br />

pekerja dalam perusahaan harus merupakan<br />

anggota keluarga. Banyak perusahaan keluarga,<br />

terutama perusahaan-perusahaan kecil,<br />

memperkerjakan orang lain untuk menempati<br />

posisi rendahan, sementara posisi tinggi (top<br />

manager) dipegang oleh orang dari dalam keluarga<br />

pemilik perusahaan.<br />

CV Mitra Boga Tama merupakan<br />

perusahaan yang bersifat kekeluargaan <strong>dan</strong><br />

merupakan perusahaan keluarga, sehingga segala<br />

keputusan tergantung dari pemiliki modal atau<br />

sekutu pasif. Begitu juga dalam pengambilan<br />

keputusan mengenai masalah karyawan.<br />

Pelaksanaan analisa jabatan berpatokan pada satu<br />

pihak yaitu HRD dimana pada perusahaan ini<br />

hanya satu orang yang melaksanakannya. Pihak<br />

HRD merekrut calon karyawan tergantung pada<br />

laporan dari masing-masing manager yang<br />

membutuhkan tenaga. Tenaga yang di butuhkan<br />

dapat dilihat dari kebutuhan produksi, supplier,<br />

<strong>dan</strong> logistik. Jika terjadi kenaikan pada ketiga<br />

kegiatan tersebut maka masing-masing manager<br />

melaporkan kepada pihak HRD untuk melakukan<br />

perekrutan karyawan. Setelah itu HRD membuat<br />

<strong>dan</strong> menyebar brosur atau lowongan pekerjaan.<br />

Jadi perusahaan ini menarik karyawan hanya<br />

dengan melalui satu orang yang bukan<br />

dibi<strong>dan</strong>gnya, sehingga perputaran atau turnover<br />

karyawan kurang mendapat perhatian. Selain itu<br />

perputaran karyawan dilihat karena a<strong>dan</strong>ya<br />

peningkatan produksi pada masing-masing bagian<br />

bukan karena faktor lain atau faktor dari<br />

karyawan itu sendiri. Jika tidak terjadi kenaikan<br />

produksi maka tidak melakukan perekrutan<br />

karyawan. Perusahaan akan tetap<br />

mempertahankan karyawan yang ada agar biaya<br />

produksi tetap stabil. Sebaliknya jika perusahaan<br />

itu mengalami penurunan produksi maka akan<br />

dilakukan pengurangan karyawan.<br />

Pada CV Mitra Boga Tama sebelumnya<br />

tidak pernah melakukan penelitian atau pun<br />

evaluasi mengenai kepuasan kerja karyawan,<br />

sehingga tidak ada gambaran bagaimana<br />

kepuasan kerja para karyawan pada perusahaan<br />

tersebut. Oleh karena itu fokus peneltian ini yaitu<br />

menggambarkan tentang enam aspek kepuasan<br />

kerja karyawan pada CV Mitra Boga Tama yaitu<br />

sifat pekerjaan itu sendiri, kepemimpinan,<br />

hubungan antar rekan kerja, kondisi kerja, gaji ,<br />

<strong>dan</strong> kesempatan mengembangkan karir.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

2.1 Tipe <strong>Penelitian</strong>


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 109<br />

Dalam penelitian ini, jenis penelitian<br />

deskripstif kuantitatif bertujuan untuk<br />

mengetahui gambaran tingkat<br />

kepuasan kerja seluruh karyawan CV<br />

Mitra Boga Tama tidak termasuk<br />

pemilik perusahaan <strong>dan</strong> direktur.<br />

<strong>Penelitian</strong> ini juga termasuk<br />

penelitian studi kasus, yaitu penelitian<br />

tentang subjek penelitian yang<br />

berkenaan dengan suatu fase<br />

spesifik/khas dari keseluruhan<br />

personalitas (Maxfield dalam Natsir<br />

1998).<br />

2.2 Populasi <strong>dan</strong> Sample<br />

Jumlah populasi dalam penelitian ini<br />

sebesar 28 orang, maka teknik<br />

penarikan sample yang dipilih adalah<br />

total sampling. Total sampling<br />

merupakan teknik penentuan sample<br />

yang mengambil seluruh anggota<br />

populasi sebagai sample penelitian<br />

(Sugiono 2003,91). Dengan total<br />

sampling diharapkan tingkat<br />

keakuratan yang diperoleh dari hasil<br />

penelitian ini akan relatif lebih tinggi.<br />

2.3 Teknik Pengumpulan Data<br />

Dalam penelitian ini menggunakan<br />

instrument yang telah ada <strong>dan</strong> tidak<br />

melakukan modifikasi <strong>dan</strong> translation<br />

pada instrument tersebut. Adapun<br />

instrument ini di peroleh dari<br />

penelitian skripsi S1 oleh Eka<br />

Jumarlita jurusan kepustakaan<br />

Universitas Indonesia yang berjudul<br />

“Kepuasan Kerja Staff Perpustakaan<br />

: Studi Kasus Di Lingkungan<br />

Universitas Indinesia”. Instrumen<br />

dalam skripsi ini didasarkan pada The<br />

Job Satisification Survey (JSS;<br />

Spector,1985) <strong>dan</strong> digunakan untuk<br />

mengukur kepuasan kerja staff<br />

perpustakaan Universitas Indonesia<br />

dari keenam aspek kepuasan kerja.<br />

Adapun populasi <strong>dan</strong> sample<br />

penelitian itu seluruh staff<br />

perpustakaan Universitas Indonesia.<br />

Instrument itu terdiri dari 30 aitem<br />

<strong>dan</strong> validitas <strong>dan</strong> reabilitasnya cukup<br />

tinggi.<br />

Dalam penelitian ini proses<br />

pengumpulan data dilakukan melalui :<br />

1. Studi Literatur<br />

Studi literatur dilakukan<br />

dalam upaya untuk menggali<br />

konsep <strong>dan</strong> memahami teori-teori<br />

dari literature serta dokumen<br />

yang berkaitan dengan masalah<br />

penelitian.<br />

2. Kuesioner atau Instrumen<br />

penelitian<br />

Kegiatan pengumpulan<br />

data yang utama dalam penelitian<br />

ini adalah penyebaran kuesioner.<br />

Kuesioner merupakan rangkaian<br />

pertanyaan tentang suatu hal atau<br />

sutau bi<strong>dan</strong>g yang digunakan<br />

untuk memperoleh data berupa<br />

jawaban-jawaban dari para<br />

responden (Koentjaraningrat<br />

1993,173). Isi pertanyaan dalam<br />

kuesioner ini dapat berupa<br />

pertanyaan tentang fakta <strong>dan</strong><br />

pendapat dalam bentuk<br />

pertanyaan terbuka <strong>dan</strong> tertutup.<br />

Hasil kuesioner tersebut akan<br />

diolah menjadi angka-angka,<br />

table-tabel, analisa statistic, <strong>dan</strong><br />

pembahasan serta penarikan<br />

kesimpulan hasil penelitian.<br />

Analisa data kuantitatif<br />

dilandaskan pada hasil kuesioner<br />

tersebut (Singarimbun 1989,175).<br />

Bentuk pertanyaan untuk<br />

kuesioner dalam penelitian ini<br />

adalah pertanyaan tertutup, yaitu<br />

pertanyaan yang dilengkapi<br />

dengan alternatif jawaban<br />

sehingga responden hanya tinggal<br />

memilih salah satu jawaban yang<br />

sesuai dengan kenyataan <strong>dan</strong><br />

yang dirasakan oleh responden<br />

yang bersangkutan. Pada bagian<br />

akhir dari kuesioner, responden<br />

diminta untuk memberikan saran<br />

<strong>dan</strong> harapannya menyangkut<br />

masalah kepuasan kerja yang<br />

dialami responden, hal ini<br />

berguna sebagai data pendukung<br />

dalam melakukan analisis data.<br />

Adapun skala kepuasan<br />

kerja berdasarkan teori dua faktor<br />

Herzberg baik secara intrinsik<br />

maupun ekstrinsik maka ada<br />

enam aspek kepuasan kerja yaitu<br />

sifat pekerjaan, sikap <strong>dan</strong><br />

kepemimpinan atasan, hubungan<br />

antar rekan kerja, kondisi kerja,<br />

gaji <strong>dan</strong> tunjangan, <strong>dan</strong><br />

kesempatan mengembangkan<br />

karir.<br />

Dalam penelitian ini,<br />

jawaban responden untuk bagian<br />

pertanyaan mengenai kepuasan<br />

kerja diungkapkan dengan<br />

menggunakan skala Likert. Skala<br />

Likert adalah pertanyaan sikap<br />

seseorang terhadap sesuatu yang<br />

diukur dengan 5 poin tingkat


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 110<br />

kepuasan. Berikut penjelasan dari<br />

skala Likert yang akan digunakan<br />

dalam kuesioner :<br />

5 poin : Sangat Puas, bila pada<br />

kenyataan yang dirasakan saat ini<br />

melebihi harapannya.<br />

4 poin : Puas, bila kenyataan<br />

yang dirasakan saat ini sesuai<br />

dengan kebutuhan.<br />

3 poin : Netral, bila tidak dapat<br />

memutuskan jawaban setuju atau<br />

tidak.<br />

2 poin : Tidak Puas, bila<br />

kenyataan yang dirasakan tidak<br />

sesuai dengan kebutuhan<br />

1 poin : Sangat Tidak Puas, bila<br />

kenyataan yang dirasakan saat ini<br />

sangat tidak sesuai dengan<br />

kebutuhan.<br />

Pertanyaan-pertanyaan<br />

dalam kuesioner dibagi menjadi 2<br />

bagian. Pada bagian pertama<br />

berisi pertanyaan tentang data<br />

dasar responden yang meliputi<br />

jenis kelamin, tingkat pendidikan,<br />

<strong>dan</strong> jabatan. Se<strong>dan</strong>gkan pada<br />

bagian kedua adalah beberapa<br />

indikator pengukuran kepuasan<br />

kerja antara lain : aspek sifat<br />

pekerjaan yang dibebankan<br />

kepada karyawan, kepemimpinan<br />

atasan, hubungan antarrekan<br />

kerja, kondisi kerja (lingkungan<br />

fisik), gaji/tunjangan <strong>dan</strong><br />

kesempatan mengembangkan<br />

karir. Masing-masing aspek<br />

kepuasan kerja tersebut akan<br />

diukur dengan menggunakan<br />

beberapa pertanyaan.<br />

3. Wawancara<br />

Pengumpulan data dalam<br />

penelitian ini juga didukung<br />

dengan mewawancarai direktur<br />

<strong>dan</strong> manajer perusahaan CV<br />

Mitra Boga Tama untuk<br />

memperoleh informasi tantang<br />

karyawan serta kebijakan<br />

pengelolaan sumber daya<br />

manusia di perusahaan tersebut.<br />

2.4 Pengolahan Data<br />

Kuesioner yang telah<br />

terkumpul akan diolah secara<br />

kuantitatif, dimulai dengan<br />

memberikan skor untuk setiap<br />

pertanyaan dalam kuesioner dari<br />

setiap responden. Pemberian skor ini<br />

untuk mengukur pendapat responden<br />

tentang objek penelitian yaitu<br />

kepuasan kerja karyawan dengan<br />

menggunakan skala Likert.<br />

Selanjutknya data yang telah diolah<br />

disajikan dalam bentuk tabel <strong>dan</strong><br />

grafik untuk kemudian dianalisis<br />

secara kuantitatif. Berikut tahap<br />

pengolahan data dalam penelitian ini<br />

:<br />

1. Penyuntingan<br />

Penulis akan memeriksa apakah<br />

seluruh data dari kuesioner yang<br />

telah dikembalikan responden<br />

memenuhi syarat untuk diolah<br />

artinya apakah semua pertanyaan<br />

dalam kuesioner tersebut telah diisi<br />

lengkap, jika tidak lengkap kuesioner<br />

tersebut dinyatakan tidak valid <strong>dan</strong><br />

tidak dapat diolah.<br />

2. Penilaian (skoring) <strong>dan</strong> input data<br />

Dalam menjawab suatu pertanyaan<br />

tentang kepuasan kerja seringkali<br />

menjadi hal yang tidak mudah bagi<br />

responden untuk mengungkapkan<br />

tingkat kepuasan yang dirasakan.<br />

Untuk itu digunakan skala Likert<br />

karena skala ini memiliki gradasi<br />

jawaban mulai dari yang sangat<br />

positif sampai dengan yang sangat<br />

negatif, sehingga responden dapat<br />

dengan mudah menentukan pilihan<br />

jawaban yang sesuai dengan apa<br />

yang dirasakan.<br />

Pada tahap ini penulis memberikan<br />

nilai (skor) terhadap jawaban pada<br />

tiap pertanyaan yang terdapat dalam<br />

kuesioner. Setiap jawaban diberikan<br />

nilai sebagai berikut :<br />

Tabel 3.6<br />

Nilai Skor<br />

Pertanyaan<br />

Kepuasan<br />

Nilai<br />

Sangat Puas (SP) 5<br />

Puas (P) 4<br />

Netral (N) 3<br />

Tidak Puas (TP) 2<br />

Sangat Tidak Puas<br />

(STP)<br />

1<br />

Data yang diperoleh dari setiap<br />

jawaban, kemudian diolah dengan<br />

bantuan Statistical Program For The<br />

Social Sciences (SPSS) 17.0 version<br />

for Windows.<br />

3. Perhitungan Frekuensi <strong>dan</strong><br />

Presentase<br />

Penulis menghitung semua data yang<br />

dihasilkan dari responden dengan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 111<br />

bantuan SPSS. Program ini<br />

memudahkan penulis untuk<br />

perhitungan data statistik dalam<br />

proses pengolahan data <strong>dan</strong><br />

menyajikan hasilnya.<br />

Agar memudahkan penafsiran<br />

terhadap nilai persentase data yang<br />

telah diolah, maka akan digunakan<br />

ukuran penafsiran menurut Wasito<br />

(1992,10) sebagai berikut :<br />

0 % : Tidak satupun<br />

1 % - 25 % : Sebagian kecil<br />

26 % - 49 % : Hampir setengahnya<br />

50 % : Setengahnya<br />

51 % - 75 % : Sebagian besar<br />

76 % - 99 % : Hampir seluruhnya<br />

100 % : Seluruhnya<br />

Data yang akan diperoleh dari hasil<br />

pengolahan data adalah berupa angkangka<br />

seperti sebaran frekuensi <strong>dan</strong><br />

presentase. Dalam proses analisa<br />

hasil penelitian, penafsiran nilai-nilai<br />

presentase di atas dapat memudahkan<br />

penulis untuk menyatakan ke dalam<br />

kalimat-kalimat pernyataan yang<br />

lebih jelas.<br />

2.5 Analisis Data<br />

Data yang telah dihitung kemudian<br />

dikelompokkan <strong>dan</strong> disusun ke dalam<br />

aspek-aspek kepuasan kerja yang<br />

telah ditentukan. Setelah itu adalah<br />

proses tabulasi, yaitu data yang telah<br />

tersusun dimasukan dalam bentuk<br />

tabel <strong>dan</strong> grafik, karena proses<br />

tabulasi ini merupakan langkah awal<br />

dari analisa data deskriptif. Data<br />

yang terdapat dalam tabel <strong>dan</strong> grafik<br />

tersebut dipaparkan secara deskriptif<br />

kedalam kalimat-kalimat pernyataan<br />

yang menggambarkan secara jelas<br />

keadaan atau kondisi kepuasan kerja<br />

karyawan CV. Mitra Boga Tama.<br />

Dari hasil analisis tersebut akan<br />

diambil beberapa kesimpulan yang<br />

pada akhirnya dapat menjawab<br />

pertanyaan penelitian sehingga tujuan<br />

dari penelitian ini juga akan tercapai<br />

3. Hasil <strong>dan</strong> Diskusi<br />

Berikut ini merupakan<br />

pembahasan dari data yang telah<br />

didapat tentang tingkat kepuasan<br />

kerja karyawan CV. Mitra Boga<br />

Tama. Dalam sub bab ini akan<br />

menggambarkan penilaian karyawan<br />

CV. Mita Boga Tama terhadap ke-6<br />

20<br />

10<br />

0<br />

aspek kepuasan kerja yaitu sifat<br />

pekerjaan, sikap <strong>dan</strong> kepemimpinan<br />

atasan, hubungan antar rekan kerja,<br />

kondisi kerja (Lingkungan fisik), gaji<br />

<strong>dan</strong> tunjangan, serta kesempatan<br />

mengembangkan karir. Untuk<br />

penelusuran tingkat kepuasan kerja<br />

pada masing-masing aspeknya, dapat<br />

terlihat seperti di bawah ini :<br />

1. Pernyataan Terhadap Aspek Sifat<br />

Pekerjaan<br />

Grafik 4.1<br />

Grafik Bar Kepuasan Kerja pada<br />

Aspek Sifat Pekerjaan<br />

Sangat Puas<br />

(5)<br />

Puas (4) Netral (3)<br />

Dari data diatas<br />

menunjukkan bahwa sebanyak 17<br />

orang (65.4%) atau sebagian besar<br />

karyawan CV. Mitra Boga Tama<br />

menilai pekerjaan mereka<br />

memuaskan <strong>dan</strong> 7 orang (26.9%)<br />

menilai sangat memuaskan,<br />

sementara itu ada 2 orang (7.7%)<br />

yang menjawab netral. Hasil ini<br />

cukup mengejutkan bahwa dari hasil<br />

survei ternyata tidak ada satupun<br />

karyawan CV.Mitra Boga Tama yang<br />

menilai pekerjaan mereka tidak<br />

memuaskan <strong>dan</strong> sangat tidak<br />

memuaskan. Dengan demikian dapat<br />

disimpulkan bahwa sebagian besar<br />

karyawan CV.Mitra Boga Tama<br />

telah merasa puas terhadap<br />

pekerjaan yang mereka lakukan.<br />

Hal ini tentu sangat<br />

mempengaruhi peningkatan kinerja<br />

<strong>dan</strong> produktifitas mereka dalam<br />

bekerja, seperti yang dikemukakan<br />

oleh Cook <strong>dan</strong> Hunsaker (2001,24)<br />

yang mengatakan bahwa pegawai<br />

yang senang adalah pegawai yang<br />

produktif <strong>dan</strong> inovatif.<br />

2. Pernyataan Terhadap Aspek Sikap<br />

<strong>dan</strong> Kepemimpinan Atasan<br />

Grafik 4.2<br />

Grafik Bar Kepuasan kerja pada<br />

Aspek Sikap <strong>dan</strong> Kepemimpinan<br />

Atasan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 112<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Sangat Puas (4) Netral<br />

Puas (5)<br />

(3)<br />

Tidak Sangat<br />

Puas (2) Tidak<br />

Puas (1)<br />

Dari data diatas<br />

menunjukkan bahwa sebanyak 13<br />

orang (50%) karyawan CV. Mitra<br />

Boga Tama menilai kepemimpinan<br />

atasan mereka memuaskan, hanya 7<br />

(26.9%) orang yang menilai sangat<br />

memuaskan, se<strong>dan</strong>gkan 5 orang<br />

(19.2%) menjawab netral <strong>dan</strong> 1<br />

orang (3.8%) yang menilai tidak<br />

memuaskan, se<strong>dan</strong>gkan tidak ada<br />

yang menilai sangat tidak<br />

memuaskan.<br />

Penilaian seperti ini<br />

merupakan hal yang subjektif, akan<br />

tetapi tidak ada satupun yang menilai<br />

dengan ekstrim bahwa atasan mereka<br />

sangat tidak memuaskan. Dengan<br />

demikian dapat disimpulkan bahwa<br />

sebagian karyawan CV.Mitra<br />

Boga Tama menilai kepemimpinan<br />

atasan mereka memuaskan. Hasil<br />

penelitian ini dapat menunjukkan<br />

bahwa kepemimpinan atasan para<br />

karyawan CV. Mitra Boga Tama<br />

telah dikatakan baik <strong>dan</strong> mengerti<br />

bagaimana cara memperlakukan<br />

karyawan sebagaimana mestinya<br />

sesuai dengan kemampuan <strong>dan</strong><br />

kontribusi mereka terhadap<br />

perusahaan, sehingga karyawan pun<br />

merasa diakui <strong>dan</strong> dihargai atas apa<br />

yang telah mereka lakukan untuk<br />

perusahaan.<br />

3. Pernyataan Terhadap Aspek<br />

Hubungan Antar Rekan Kerja<br />

Grafik 4.3<br />

Grafik Bar Kepuasan kerja pada<br />

Aspek Hubungan antar Rekan<br />

Kerja<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Sangat Puas<br />

(5)<br />

Puas (4) Netral (3)<br />

Dari data diatas<br />

menunjukkan bahwa sebanyak 16<br />

orang (61.5%) menilai hubungan<br />

antar rekan kerja memuaskan, 7<br />

orang (26.9%) menilai sangat<br />

memuaskan, 3 orang (11.5%) tidak<br />

dapat memutuskan jawaban.<br />

<strong>Penelitian</strong> seperti ini<br />

merupakan suatu hal yang biasa jika<br />

dalam suatu organisasi seperti<br />

perusahaan terjadi ketidakcocokan<br />

satu sama lain, karena setiap orang<br />

begitupun juga para karyawan CV<br />

Mitra Boga Tama memiliki banyak<br />

perbedaan, baik perbedaan karakter<br />

maupun perbedaan kepentingan.<br />

Berdasarkan data diatas<br />

maka dapat disimpulkan bahwa<br />

sebagian besar karyawan CV.<br />

Mitra Boga Tama menilai bahwa<br />

hubungan antar rekan kerja<br />

adalah memuaskan. Kondisi seperti<br />

ini tentu saja akan mendukung bagi<br />

peningkatan kepuasan kerja<br />

karyawan CV. Mitra Boga Tama.<br />

Hubungan dengan sesama rekan<br />

kerja yang cenderung baik, dapat<br />

menimbulkan suasana kerjasama<br />

yang sehat <strong>dan</strong> menyenangkan.<br />

4. Pernyataan Terhadap Aspek Kondisi<br />

Kerja<br />

Grafik 4.4<br />

Grafik Bar Kepuasan Kerja pada<br />

Aspek Kondisi Kerja<br />

Sangat<br />

Puas (5)<br />

Puas (4) Netral (3) Tidak<br />

Puas (2)<br />

Data diatas<br />

menunjukkan bahwa sebanyak 18<br />

orang (69.2%) menilai kondisi kerja<br />

tempat mereka bekerja memuaskan,


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 113<br />

selain itu ada 6 orang (23.1%) yang<br />

menilai sangat memuaskan, ada 1<br />

orang (3.8%) menilai netral.<br />

Sementara itu ada 1 orang (3.8%)<br />

yang menilai kondisi kerja tidak<br />

memuaskan.<br />

Dengan demikian dapat<br />

disimpulkan bahwa sebagian besar<br />

karyawan CV.Mitra Boga Tama<br />

telah merasa puas terhadap<br />

kondisi kerja. Hal ini dapat<br />

memberikan informasi kepada<br />

perusahaan bahwa tempat bekerja<br />

karyawan telah memberikan rasa<br />

tenang <strong>dan</strong> nyaman <strong>dan</strong> bagi<br />

karyawan yang merasa kondisi kerja<br />

kurang baik perusahaan dapat<br />

memperbaiki bagian apa pada tempat<br />

kerja yang membuat karyawan<br />

merasa kurang baik.<br />

5. Pernyataan Terhadap Aspek Gaji <strong>dan</strong><br />

Tunjangan<br />

Grafik 4.5<br />

Grafik Bar Kepuasan Kerja pada<br />

Aspek Gaji <strong>dan</strong> Tunjangan<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Sangat Puas (4) Netral<br />

Puas (5)<br />

(3)<br />

Tidak<br />

Puas (2)<br />

Berbeda dengan aspek<br />

kepuasan kerja lainnya, data yang<br />

diperoleh untuk aspek gaji <strong>dan</strong><br />

tunjangan sangat ekstrim, terlihat<br />

bahwa tidak ada karyawan yang<br />

menilai gaji <strong>dan</strong> tunjangan sangat<br />

memuaskan, hanya ada 3 orang<br />

(11.5%) yang menilai memuaskan,<br />

sebanyak 15 orang (57.7%) tidak<br />

dapat memberikan jawaban.<br />

Sementara itu yang cukup<br />

mengejutkan bahwa ada karyawan<br />

yang menilai gaji <strong>dan</strong> tunjangan<br />

kurang, yaitu ada 7 orang (26.9%)<br />

yang menilai tidak memuaskan <strong>dan</strong> 1<br />

orang (3.8%) yang menilai sangat<br />

tidak memuaskan.<br />

Dengan demikian dapat<br />

disimpulkan bahwa sebagian besar<br />

karyawan tlebih bersikap netral<br />

menilai gaji <strong>dan</strong> tunjangan yang<br />

diterima. Data diatas memberikan<br />

Sangat<br />

Tidak<br />

Puas (1)<br />

informasi kepada kita bahwa<br />

penilaian karyawan CV Mitra Boga<br />

Tama terhadap aspek gaji <strong>dan</strong><br />

tunjangan adalah cukup<br />

mengejutkan. Artinya bahwa<br />

karyawan menilai tidak puas<br />

terhadap gaji <strong>dan</strong> tunjngan tetapi ada<br />

pula yang menjawab puas, sebagian<br />

besar dari karyawan tidak mampu<br />

memberikan jawaban. Perbedaan ini<br />

tentu dipengaruhi oleh banyak faktor<br />

seperti perbedaaan tingkat<br />

pendidikan, jabatan, pengalaman,<br />

keahlian, bahkan gaya hidup.<br />

Penulis berpendapat<br />

bahwa pemberian gaji <strong>dan</strong> tunjangan<br />

kepada karyawan kurang baik,<br />

karena berdasarkan data yang telah<br />

didapat penilaian yang paling banyak<br />

adalah netral, se<strong>dan</strong>gkan tidak ada<br />

penilaian sangat memuaskan <strong>dan</strong><br />

hanya ada memuaskan yang nilainya<br />

lebih sedikit dari tidak memuaskan.<br />

Oleh karena itu pihak perusahaan<br />

harus lebih memperhatikan<br />

kebutuhan karyawan terutama<br />

pemberian gaji <strong>dan</strong> perlu untuk terus<br />

memperbaiki <strong>dan</strong> meningkatkan<br />

sistem gaji <strong>dan</strong> tunjangan yang<br />

diberikan karena cukup banyak<br />

karyawan yang merasa kecewa<br />

karena gaji yang mereka terima.<br />

6. Pernyataan Terhadap Aspek<br />

Kesempatan Mengembangkan Karir<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

Grafik 4.6<br />

Grafik Bar Kepuasan Kerja pada<br />

Aspek Kesempatan<br />

Mengembangkan Karir<br />

Sangat Puas<br />

(5)<br />

Puas (4) Netral (3)<br />

Data diatas menunjukkan<br />

bahwa sebanyak 10 orang (38.5%)<br />

menilai kesempatan mengembangkan<br />

karir adalah memuaskan, 3 orang<br />

(11.5%) menilai sangat memuaskan.<br />

Sementara itu sebanyak 13 orang<br />

(50%) tidak dapat memutuskan<br />

jawaban atau memilih untuk bersikap<br />

netral <strong>dan</strong> tidak ada yang menilai<br />

tidak memuaskan serta tidak ada


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 114<br />

satupun dari para karyawan yang<br />

menyatakan sangat tidak puas.<br />

Cukup banyak yang<br />

memilih untuk bersikap netral dalam<br />

kuesioner ini disebabkan karena para<br />

karyawan merasa pelatihan yang<br />

diberikan tidak sesuai dengan<br />

harapan mereka <strong>dan</strong> kebutuhan kerja<br />

saat ini. Dapat disimpulkan bahwa<br />

sebagian besar karyawan CV.<br />

Mitra Boga Tama tidak dapat<br />

memutuskan penilaian atau<br />

bersikap netral terhadap penilaian<br />

aspek kesempatan<br />

mengembangkan karir. Dari data<br />

ini memberikan informasi kepada<br />

kita khususnya bagi perusahaan<br />

harus memberikan pelatihan <strong>dan</strong><br />

pendidikan formal maupun non<br />

formal <strong>dan</strong> terus ditingkatkan agar<br />

para karyawan CV. Mitra Boga<br />

Tama semakin terlatih <strong>dan</strong><br />

profesionel dalam melakukan<br />

pekerjaannya sehingga dapat<br />

memberikan hasil yang maksimal<br />

dalam pencapaian tujuan perusahaan.<br />

7. Pernyataan Tingkat Kepuasan Kerja<br />

secara Keseluruhan<br />

Setelah membahas tingkat<br />

kepuasan kerja dilihat dari masingmasing<br />

aspek di atas, maka pada<br />

bagian ini akan diketahui tingkat<br />

kepuasan kerja karyawan CV Mitra<br />

Boga Tama secara keseluruhan,<br />

hasilnya sebagai berikut :<br />

Grafik 4.7<br />

Grafik Bar Tingkat Kepuasan<br />

Kerja secara Keseluruhan<br />

Dari data diatas menunjukkan<br />

bahwa penilaian dari seluruh<br />

karyawan terhadap seluruh aspek<br />

kepuasan kerja, sebanyak 19 orang<br />

(73.1%) menilai memuaskan, 4 orang<br />

(15.4%) menilai sangat memuaskan, 3<br />

orang (11.5%) menilai netral, <strong>dan</strong><br />

tidak ada karyawan yang menilai<br />

tidak puas <strong>dan</strong> sangat tidak<br />

memuaskan. Data ini terlihat cukup<br />

mengejutkan bahwa tidak ada satupun<br />

karyawan yang menilai tidak puas <strong>dan</strong><br />

sangat tidak puas <strong>dan</strong> dapat<br />

disimpulkan bahwa sebagian<br />

karyawan CV Mitra Boga Tama<br />

menilai secara keseluruhan aspek<br />

kepuasan kerja adalah puas.<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil analisis penelitian<br />

maka dapat disimpulkan bahwa :<br />

a. Semua aspek kepuasan kerja<br />

menggambarkan kepuasan kerja<br />

karyawan<br />

b. Berdasarkan rata-rata setiap aspek<br />

kepuaan kerja maka ada empat aspek<br />

yang memberikan jawaban netral,<br />

se<strong>dan</strong>gkan yang belum memberikan<br />

kepuasan kerja yaitu gaji atau<br />

tunjangan <strong>dan</strong> kesempatan<br />

mengembangkan karir<br />

Daftar Pustaka<br />

Arikunto, Siharsimi. (2000). Prosedur Penulisan :<br />

suatu pendekatan prakte. Edisi revisi.<br />

Jakarta : Renika Cipta.<br />

Armeini R, Anna. (2010). Analisis Data <strong>Penelitian</strong><br />

Kuantitatif Dengan SPSS. Jakarta.<br />

Azwar, Saifudin. (2008). Penyusunan Skala<br />

<strong>Psikologi</strong>. Yogyakarta : Pustaka pelajar.<br />

Cooper, Cory. (2005) “Research reveals that<br />

dissatisfication at work causes illness”.<br />

http://www.lums.lances.ac.uk/news/cooper<br />

research/.<br />

Davis, Keith <strong>dan</strong> John W. Newstrom. (1995).<br />

Perilaku organisasi. Edisi ke-7. Jakarta :<br />

Erlangga.<br />

Hasibuan, Melayu SP. (2001). Manajemen SDM,<br />

Edisi revisi. Bumi aksara<br />

Hartono. (2004). Manajemen SDM. Edisi revisi.<br />

Bumi aksara.<br />

Jumarlita Eka. (2008). Kepuasan Kerja Staf<br />

Perpustakaan : Studi Kasus Dilingkungan<br />

Universitas Indonesia.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 115<br />

Keit, Davis, Jhon W, New strom. (1995). Perilaku<br />

dalam Organisasi, Edisi ke-7. Jakarta:<br />

Erlangga<br />

Koentjaraningrat. (1993). Metode-metode<br />

penelitian masyarakat. Edisi ke-3. Jakarta :<br />

Gramedia.<br />

Muhaimin. “Hubungan antara kepuasan kerja<br />

dengan disiplin kerja karyawan operator<br />

shawing computer bagian produksi pada<br />

PT. Primarindo Asia International,Tbk. di<br />

Bandung”. (2004). Palembang : Fakultas<br />

psikologi Universitas Bina Dharma<br />

Palembang.<br />

http://psikologi.binadarma.ac.id/jurnal/jur<br />

nalmuhaimin.pdf.<br />

Munandar, Ashar Sunyoto. (2001) . <strong>Psikologi</strong><br />

Industri <strong>dan</strong> organisasi. Jakarta : UI press.<br />

Moch As’ad. (1995). <strong>Psikologi</strong> Industri. Jakarta :<br />

Liberty<br />

Robbins Stephans. (1994). Organizational Theory,<br />

Structur, Design, and Aplication, Alih<br />

bahasa Yusuf Udara, Arean. Jakarta.<br />

Roussel. “Motivation and Productivity Related to<br />

Job Satisfication”. 1999<br />

http://www.causework.ifo/i/12520.html.<br />

Singarimbun, Masri <strong>dan</strong> Sofyan Effendi. (1989).<br />

Metode <strong>Penelitian</strong> Survei. Edisi revisi.<br />

Jakarta : LP3ES.<br />

Sudijono Anas. (2008). Pengantar Statistik<br />

Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Garfindo.<br />

Sugiono. (2003). Metode <strong>Penelitian</strong> Administrasi.<br />

Jakarta : C.V Alfabeta.<br />

Sugiono. (2009). Metode <strong>Penelitian</strong> Kuantitatif<br />

Kualitatif <strong>dan</strong> R&D. Bandung : C.V<br />

Alfabeta.<br />

Winardi. (2000). Asas-asas Manajemen. Bandung :<br />

Mandar Maju.<br />

Winardi. (2004). Manajemen Perilaku Organisasi.<br />

Jakarta : Prenada Media.<br />

Wursanto. (2003). Dasar-dasar Ilmu Organisasi.<br />

Yogyakarta : Penerbit Andi.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 116<br />

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP<br />

KEMAMPUAN MENGELOLA KONFLIK DI LEMBAGA<br />

PEMASYARAKATAN KLAS IIA WANITA TANGERANG\<br />

Mirrah Apsari Nubi<br />

Jurusan <strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jl. Rawamangun Muka, Jakarta Timur<br />

E-mail: miemirra@hotmail.com<br />

Abstract<br />

This study aims to determine the effect of emotional intelligence with the ability to manage a conflict. The<br />

experiment was held in Tangerang. The method used is ex post facto method with quantitative approach.<br />

Population sample of inmates or residents guided the study sample as many as 362 and as many as 70 people<br />

with a random sampling technique. The instrument used is to test the ability to manage conflict as the<br />

dependent variable and the scale on emotional intelligence as independent variables. From anareg equation<br />

Ŷ = 1,86 + 0,16X, Fcount = 47.19, Ftable = 3.99, because the regression is Fcount> of Ftable is very<br />

significant. To determine the linearity seen as Fcount = 1.14, and Ftable = 1.76, so it means the form of linear<br />

regression Fcount <br />

Ttable (1.67) at α 0.05. So the hypothesis is "There is the any influence of emotional intelligence with ability<br />

of Managing Conflict".<br />

PENDAHULUAN<br />

Keywords: influence, emotional intelligence, the ability to manage conflict, prisoners<br />

Sehubungan dengan percepatan<br />

perubahan dunia <strong>dan</strong> merebaknya pengaruh<br />

globalisasi, Lembaga Pemasyarakatan<br />

mempunyai peranan yang cukup penting <strong>dan</strong><br />

strategis dalam ikut serta mewujudkan<br />

terciptanya masyarakat <strong>dan</strong> manusia Indonesia<br />

yang lebih baik. Setiap kehidupan bermasyarakat<br />

tentu saja tidak dapat lepas dari aturan-aturan<br />

ataupun kaidah hukum yang berlaku<br />

dimasyarakat. Bila seseorang melangggar aturanaturan<br />

<strong>dan</strong> hukum, baik pelanggaran ringan<br />

hingga berat, maka akan dikenakan sanksi yang<br />

berlaku di masyarakat.<br />

Pemberian hukuman bagi narapi<strong>dan</strong>a<br />

atau warga binaan adalah untuk memberikan efek<br />

jera <strong>dan</strong> penyesalan dengan mengetahui kesalahan<br />

yang telah diperbuatnya. Menimbulkan rasa derita<br />

atas penderitaan <strong>dan</strong> kesendirian serta hilangnya<br />

rasa kebebasan yang ia rasakan di dalam LAPAS<br />

(lembaga pemasyarakatan), sehingga ia akan<br />

berbuat baik kembali di masyarakat.<br />

Narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan adalah<br />

terpi<strong>dan</strong>a yang menjalani pi<strong>dan</strong>a hilang<br />

kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan<br />

(Priyatno, 2006). Seorang yang dipenjara berarti<br />

telah terbukti melakukan pelanggaran hukum,<br />

yang tentu saja tidak disukai <strong>dan</strong> ditentang oleh<br />

masyarakat. Narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan yang<br />

ada di Lembaga Pemasyarakatan dibedakan<br />

berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu pria <strong>dan</strong><br />

wanita<br />

Dari data yang diperoleh peneliti saat<br />

melakukan praktek kerja psikologi di LAPAS<br />

Klas IIA Wanita Tangerang, peneliti mendeteksi<br />

a<strong>dan</strong>ya konflik atau permusuhan yang sering kali<br />

terjadi dilingkungan LAPAS antara sesama<br />

narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan. Konflik yang<br />

terjadi bisa dikarenakan sesuatu hal yang kecil,<br />

kesalahpahaman, ketidakcocokkan, pertentangan,<br />

permusuhan, perbedaan pendapat antara satu<br />

dengan yang lain, hal itulah yang menjadikan<br />

konflik terjadi di LAPAS. Menurut sebagian<br />

narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan yang berada di<br />

LAPAS bahwa menjalani hukuman didalam<br />

LAPAS tidaklah terlalu berat untuk mereka, akan<br />

tetapi konflik serta permusuhan dengan sesama<br />

narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan yang mereka


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 117<br />

rasakan berat untuk menjalani kesehariannya<br />

didalam LAPAS.<br />

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA<br />

Wanita Tangerang memiliki visi <strong>dan</strong> misi yaitu<br />

sebagai berikut: Visi : Mewujudkan Manusia<br />

Yang Beriman, Bertaqwa, Aktif <strong>dan</strong> Produktif<br />

Serta Bertanggung Jawab Dalam Kehidupan<br />

Bermasyarakat. Misi : Melaksanakan Pembinaan<br />

Spiritual Baik Rohani maupun Jasmani Untuk<br />

Meningkatkan Kemandirian sebagai Manusia<br />

yang Bermartabat <strong>dan</strong> Mandiri.<br />

Sebagian masyarakat menganggap<br />

bahwa seseorang yang masuk kedalam Lembaga<br />

Pemasyarakatan sudah pasti bersalah <strong>dan</strong><br />

merupakan dosa besar. Padahal tidak jarang<br />

banyak orang yang masuk kedalam lembaga<br />

pemasyarakatan adalah korban dari ketidak<br />

mengertian mereka akan hukum. Berada didalam<br />

lembaga pemasyarakatan bukan membuat<br />

seseorang menjadi buruk, tujuan lembaga<br />

pemasyarakatan adalah membina para narapi<strong>dan</strong>a<br />

atau warga binaan agar dapat memiliki<br />

kemampuan dengan mengisi kegiatan dengan<br />

kegiatan yang bermanfaat <strong>dan</strong> dapat mereka<br />

aplikasikan setelah mereka keluar dari lembaga<br />

pemasyarakatan.<br />

Narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan yang ada<br />

dalam di lembaga pemasyarakatan tentunya<br />

saling berhubungan, <strong>dan</strong> berinteraksi satu sama<br />

lain. Ketika interaksi tersebut berlangsung dapat<br />

terjadi kemungkinan konflik akibat a<strong>dan</strong>ya<br />

perbedaan pendapat, persaingan <strong>dan</strong> berbagai<br />

pertentangan.<br />

Permasalahannya adalah pemahaman<br />

tehadap konflik kurang dipahami secara<br />

komprehensif. Keberanian pihak yang terlibat<br />

Konflik untuk mengelola Konflik tersebut masih<br />

dipengaruhi oleh persepsi konflik yang<br />

disfungsional sifatnya. Yaitu “Pertentangan antar<br />

kelompok yang mengganggu atau merintangi<br />

upaya pencapaian tujuan organisasi” (Gibson<br />

et.al. 2009). Konsekuensi konflik bisa destruktif<br />

atau negatif <strong>dan</strong> bisa juga konstruktif atau positif.<br />

Lembaga pemasyarakatan seperti halnya<br />

organisasi lain, dalam perjalanan nya juga tidak<br />

luput dari masalah konflik, baik konflik yang<br />

terjadi di dalam maupun di luar lingkungan<br />

Lembaga pemasyarakatan, antara narapi<strong>dan</strong>a atau<br />

warga binaan dengan narapi<strong>dan</strong>a atau warga<br />

binaan lainnya, antara narapi<strong>dan</strong>a atau warga<br />

binaan dengan masyarakat, antara narapi<strong>dan</strong>a atau<br />

warga binaan dengan aparat yang ada di lembaga<br />

pemasyarakatan, maupun komponen lainnya yang<br />

terkait. Narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan, secara<br />

langsung atau tidak langsung juga terlibat di<br />

dalamnya berkenaan dengan a<strong>dan</strong>ya konflik.<br />

Bagaimana seorang narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan<br />

mengatur agar konflik tersebut dapat dikelola<br />

dengan baik <strong>dan</strong> dapat memberikan dampak yang<br />

positif bagi semua pihak atau sebaliknya.<br />

Salah satu faktor yang mempengaruhi<br />

kemampuan mengelola konflik adalah<br />

Kecerdasan emosional. Kecerdasaan emosional<br />

merupakan komponen yang membuat seseorang<br />

menjadi pintar menggunakan emosi. Emosi<br />

manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk<br />

hati, naluri yang tersembunyi, <strong>dan</strong> sensasi emosi<br />

yang apabila diakui <strong>dan</strong> dihormati, kecerdasaan<br />

emosional menyediakan pemahaman yang lebih<br />

mendalam <strong>dan</strong> lebih utuh tentang diri sendiri <strong>dan</strong><br />

orang lain.<br />

Narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan sebagai<br />

individu jika meman<strong>dan</strong>g dirinya sebagai orang<br />

yang tidak cukup mampu untuk mengelola<br />

konflik yang ada <strong>dan</strong> rendahnya kecerdasan emosi<br />

yang dimiliki, akan mengikut sertakan seluruh<br />

perasaan <strong>dan</strong> pengetahuannya dalam perilaku<br />

pengelolaan konflik di lembaga pemasyarakatan.<br />

Seluruh perasaan <strong>dan</strong> pengetahuan narapi<strong>dan</strong>a<br />

atau warga binaan akan mewarnai corak<br />

perilakunya, baik dalam pola interaksinya dengan<br />

para narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan maupun<br />

komponen lainnya. Kapasitas narapi<strong>dan</strong>a atau<br />

warga binaan dengan perasaan <strong>dan</strong> pengetahuan<br />

di atas akan menyulitkan dirinya dalam<br />

lingkungan lembaga pemasyarakatan tersebut.<br />

Narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan yang memiliki<br />

kecerdasan emosi yang rendah akan sulit<br />

mengelola konflik yang ada.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Sampel<br />

Sampel dalam penelitian ini adalah<br />

warga binaan LAPAS Klas IIA Wanita<br />

Tangerang. Sebanyak 70 orang yang dijadikan<br />

sampel penelitian.<br />

Instrumen<br />

Skala Kemampuan Mengelola Konflik<br />

Instrumen Kemampuan Mengelola<br />

Konflik dikembangkan atas beberapa indikator,<br />

yaitu: pengertian konflik, persaingan yang sehat,<br />

menghindar, akomodasi, kompromi. Instrument<br />

penelitian untuk kemampuan mengelola konflik<br />

sebagai atribut dari aspek kognitif selain juga<br />

sebagai atribut psikologis. Dari 20 soal, hanya 17<br />

soal yang dapat digunakan untuk analisis lebih<br />

lanjut. Adapun skor untuk dari setiap item akan<br />

memiliki bobot satu untuk setiap jawaban yang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 118<br />

benar. Se<strong>dan</strong>gkan untuk item yang salah tidak<br />

mendapatkan nilai atau nol. Koefisien<br />

reliabilitasnya .85.<br />

Skala Kecerdasan Emosional<br />

Instrumen Kecerdasan Emosional<br />

dikembangkan atas beberapa indikator, yaitu:<br />

kesadaran diri, pengelolaan diri, motivasi, <strong>dan</strong><br />

empati. Dari 25 item yang ada hanya 17 item<br />

yang dapat dianalisis. Dengan koefisien<br />

reliabilitas sebesar .87.<br />

HASIL DAN DISKUSI<br />

Analisis data yang dilakukan dalam<br />

penelitian ini dilakukan secara kuantitatif. Untuk<br />

mengetahui pengaruh kecerdasaan emosioan<br />

terhadap kemampuan mengelola konflik di<br />

LAPAS Klas IIA Wanita Tangerang. Perhitungan<br />

dilakukan dengan persamaan regresi sederhana.<br />

Tabel 1<br />

Persamaan Hasil Regresi<br />

Sumber dk<br />

(JK) (RJK)<br />

Fhitung Ftabel<br />

α = 0,05<br />

Total 70 10934<br />

1 130,72 130,72 47,19 3,99<br />

Regresi b/a<br />

**<br />

Tuna<br />

Cocok<br />

24 72,39 3,02 1,14 ns 1,76<br />

Galat 44 115,98 2,64<br />

Grafik 1<br />

Persamaan regresi Ŷ = 1,86 + 0,16X.<br />

Diperoleh Fhitung = 47,19 lebih besar dari pada<br />

Ftabel 3,99 pada α = 0,05. Karena Fhitung ><br />

Ftabel maka persamaan regresi dinyatakan sangat<br />

signifikan. Untuk uji linieritas, diperoleh Fhitung<br />

= 1,14 lebih kecil dari pada Ftabel =1,76 pada α =<br />

0,05. Karena Fhitung < Ftabel maka sebaran titik<br />

yang terestimasi membentuk garis linier dapat<br />

diterima. Secara visual dapat terlihat pada gambar<br />

di bawah ini.<br />

Konflik (Y)<br />

18<br />

16<br />

14<br />

12<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

0 20 40 60 80 100<br />

Grafik Persamaan Regresi Ŷ = 1,86 + 0,16X<br />

Tabel 2<br />

Pengaruh Langsung Antar Variabel<br />

Kecerdasan emosional mempengaruhi<br />

kemampuan mengelola konflik pada warga binaan<br />

di LAPAS Klas IIA Wanita Tangerang.<br />

Kecerdasan emosional yang baik dapat<br />

membuat warga binaan mengelola konflik yang<br />

dialaminya dengan baik, dengan begitu konflik<br />

yang terjadi dapat terselesaikan dengan baik.<br />

Hasil dari penelitian ini dapat<br />

memberikan gambaran bagaimana seseorang<br />

dengan kecerdasan emosional yang baik akan<br />

dapat mengelola konflik yang dihadapi.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan jka seseorang dengan kecerdasan<br />

emosional yang kurang akan kesulitan dalam<br />

mengelola konflik yang dihadapi.<br />

KESIMPULAN<br />

Kecerdasan Emosi (X)<br />

Koefisien Jalur dk thitung<br />

ttabel<br />

0,05<br />

X terhadap Y 0,640 67 6,88 ** 1,67<br />

Berdasarkan hasil penelitian yang telah<br />

dilakukan <strong>dan</strong> dianalisis, maka dapat disimpulkan<br />

bahwa terdapat pengaruh Kecerdasan Emosional<br />

terhadap Kemampuan Mengelola Konflik pada<br />

narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan di Lapas Klas IIA<br />

Wanita Tangerang.<br />

<strong>Penelitian</strong> ini pada dasarnya merupakan<br />

upaya untuk memahami pengaruh antara<br />

kecerdasan emosional terhadap kemampuan<br />

mengelola konflik narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 119<br />

di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita<br />

Tangerang.<br />

Upaya meningkatkan kecerdasan<br />

emosional dalam memberi kontribusi terhadap<br />

kemampuan mengelola konflik narapi<strong>dan</strong>a atau<br />

warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas<br />

IIA Wanita Tangerang, diharapkan untuk<br />

meningkatkan kualitas hubungan sosial<br />

narapi<strong>dan</strong>a atau warga binaan maupun komponen<br />

lainnya di Lingkungan LAPAS .<br />

Dengan begitu warga binaan yang<br />

memiliki kecerdasan emosional yang cenderung<br />

baik maka dirinya dapat mengelola konflik<br />

dengan baik, namun sebaliknya jika warga binaan<br />

kurang memiliki kecerdasan emosional yang baik<br />

maka dirinya akan mengalami kesulitan untuk<br />

mengelola konflik.<br />

Adapun kelemahan-kelemahan yang<br />

menjadi keterbatasan dalam penelitian ini antara<br />

lain ialah, penelitian ini hanya dibatasi pada<br />

variable kecerdasaan emosional dengan demikian<br />

tidak dapat mengungkap informasi lebih<br />

komprehensif tentang faktor faktor yang<br />

mempengaruhi kemampuan mengelola konfli,<br />

penelitian menggunakan instrument penelitian<br />

untuk kemampuan mengelola konflik sebagai<br />

atribut dari aspek kognitif selain juga sebagai<br />

atribut psikologis, dalam penelitian ini peneliti<br />

menemukan satu dua buah sampel yang memiliki<br />

keterbatasan kemampuan kognitif (dalam<br />

memahami <strong>dan</strong> membaca ataupun menulis)<br />

instrument yang diberikan <strong>dan</strong> ada beberapa<br />

sampel yang sedikit enggan untuk mengisi<br />

instrument yang diberikan oleh peneliti.<br />

Daftar Pustaka<br />

Atherton, C.R & D.L Klemmark. (1999).<br />

Research Method in Social Work: An Introdution,<br />

dikutip (atau tidak langsung) oleh Irawan<br />

Suhartono, Metode <strong>Penelitian</strong> Sosial. Bandung<br />

Rosdakarya.<br />

Barret, Jim & Williams Geof. (2000). Tes Bakat<br />

Anda, terjemahan Tito Ananta Darwin Rasyid.<br />

Jakarta, Gaya Media Pratama.<br />

Cooper, Robert K. & Aryman Sawaf. (2002).<br />

Emosional dalam Kepemimpinan <strong>dan</strong> Organisasi,<br />

terjemahan Alex Tri Kuncoro. Jakarta, Gramedia<br />

Pustaka Utama.<br />

Efendi, Agus. (2005). Revolusi Kecerdasan Abad<br />

21, Kritik MI, EI, SQ <strong>dan</strong> Successful Intelligence<br />

atas IQ. Bandung, Alfabeta.<br />

Gibson, James L. M. Ivanevich, James. R <strong>dan</strong>.<br />

Donnelly, Junior. (2009). Organisasi, terjemahan<br />

Djarkasih. Jakarta, Erlangga.<br />

Goleman, Daniel. (2001). Kecerdasan Emosional,<br />

terjemahan T. Hermaya. Jakarta, Gramedia<br />

Pustaka Utama.<br />

Graig, Jeanne A. (2004). Bukan Seberapa Cerdas<br />

Diri Anda Tetapi Bagaimana Anda Cerdas, alih<br />

bahasa Arvin Saputra. Batam, Interaksara.<br />

Greenberg, Jerald & A. Baron, Robert. (1993).<br />

Behaviour In Organization. USA, A Division of<br />

Simon & Schuster, Inc.<br />

Hendricks, William (1996). Bagaimana<br />

Mengelola Konflik, terjemahan Arif Santoso.<br />

Jakarta, Bumi Aksara.<br />

Kapadila, Mala. (1998). Emotional Intelligence, a<br />

Work book for beginner. New Delhi, BPI.<br />

Kartono, Kartini. (1991). Pemimpin <strong>dan</strong><br />

Kepemimpinan. Jakarta, Rajawali Pers.<br />

Kerlinger, Fred. N. (1986). Asas-Asas <strong>Penelitian</strong><br />

Behavioral. Yogyakarta, Gajah Mada University<br />

Press.<br />

Kinichi, Angelo & Robert Kreitner. (2009).<br />

Organisational Behaviour. New York, McGraw.<br />

Lussier, Robert N. (1996). Human Relations in<br />

Organizations A Skill Building Approach. USA,<br />

The Mc Graw-Hill Companies Inc.<br />

Muhtadi, Ali. (2009). Model Pembelajaran<br />

Interpersonal-managemen konflik<br />

Pritayno, Dwidja. (2006). Sistem Pi<strong>dan</strong>a Penjara<br />

di Indonesia. Bandung, PT Refika Aditama.<br />

R, Rahayu. (2010) SPSS Versi 17.00. Bandung,<br />

Alfabeta.<br />

Richard H, Richard. (1991) Structures Processes<br />

and Outcomes. New Jersey, Prentice Hall, Inc.<br />

Robbins, Stephen P. (2003). Organisational<br />

Behaviour. Jakarta, Indeks.<br />

R. Bootzin, Richard. H. Bower, Gordon. B.<br />

Zayonc, Robert <strong>dan</strong> Hall, Elizabeth. (1956)<br />

Psychology Today An Introduction. California,<br />

The Mc Graw-Hill Publishing Company.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 120<br />

R. Meyer. (2004) Managing With Emotional<br />

Inteligence: It Takes Two To Tango. Kuala<br />

Lumpur, Golden Book Center SDN BHD.<br />

Segal, Jeanne. (2001) Meningkatkan Kecerdasan<br />

Emosional, alih bahasa Dian Paramesti Bahar.<br />

Jakarta, PT. Citra Aksara.<br />

Setiawan, Conny. A.S Munandar <strong>dan</strong><br />

Utami.Munandar (1987) Memupuk Bakat <strong>dan</strong><br />

Kreativitas Siswa Menengah. Jakarta, Gramedia<br />

Pustaka Utama.<br />

Stoner, JamesA.F & Charles Winkel. (1986).<br />

Manajemen, alih bahaasa Wilhelmus W.<br />

Bakowatum, Jakarta, CV Intermedia.<br />

Sugiyono. Metode <strong>Penelitian</strong> Kuantitatif <strong>dan</strong><br />

Kualitatif. Yogyakarta, PT. Bina Insan Cendikia.<br />

Supranto. (2004) Analisis Multivariat Arti <strong>dan</strong><br />

Interpretasi. Jakarta, Rineka Cipta.<br />

Weisinger, Hendra. (1998) Emotional Inteligence<br />

at Work. San Fransisco, Josset Bass, Publisher.<br />

Wright, Patrick M. & A. Noe, Raymond. (1995).<br />

Management of Organizations. USA, United<br />

Status: Richard D. Irwin.<br />

Yukl, Gary. (1994) Leadership in Organizations.<br />

New Jersey, Prentice Hall, Inc.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 121<br />

PENGARUH ATTACHMENT TERHADAP ORIENTASI PERILAKU<br />

PROSOSIAL PADA REMAJA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS<br />

NEGERI (SMAN) 2 BEKASI<br />

Eva Wulandari<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universias Negeri Jakarta<br />

Jl. Rawamangun Muka, Jakarta<br />

Email: eva.wulandari15@gmail.com<br />

Abstract<br />

This research is aimed to analyze the effect of attachment on orientation prosocial behavior of<br />

Adolescents. The research was conducted at 2 State High School of Bekasi. The method used in this study is<br />

quantitative research methods using the Ex Post Facto design. The sampling technique in this study is<br />

proportionate stratified probability sampling with random sampling. The number of samples used in this<br />

study as many as 100 people. Data analysis techniques are used to test the hypothesis is to test the regression<br />

by using SPSS 20. Based on the results of a calculation, a large effect (Adjusted R Square) variable<br />

attachment to orientation of prosocial behavior were 0.123 (12.3%), which means that attachment affects<br />

orientation of prosocial behavior as much as 12.3% and the remaining 87.7% is influenced by factors other<br />

than attachment. The results showed Ha received so it can be concluded that there is influence of attachment<br />

on orientation of prosocial behavior in adolescents in State High School (SMAN) 2 Bekasi.<br />

PENDAHULUAN<br />

Keywords: Attachment, Orientation, Prosocial Behavior, Adolescents<br />

Masa remaja merupakan suatu fase<br />

peningkatan kebutuhan pada perilaku prososial.<br />

Usia remaja diharapkan mampu mengembangkan<br />

pribadinya sesuai nilai etika <strong>dan</strong> moral dengan<br />

berorientasi perilaku prososial, namun remaja di<br />

Indonesia saat ini se<strong>dan</strong>g mengalami perubahan<br />

sosial yang cepat dari masyarakat tradisional<br />

menuju masyarakat modern, yang juga mengubah<br />

norma-norma, nilai-nilai <strong>dan</strong> gaya hidup mereka.<br />

Remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh<br />

sistem keluarga, adat budaya serta nilai-nilai<br />

tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan<br />

yang disebabkan oleh urbanisasi <strong>dan</strong><br />

industrialisasi yang cepat. Sesuai dengan<br />

pendapat Papilaya yang mengemukakan bahwa<br />

manusia Indonesia ditengarai mulai menunjukkan<br />

ciri-ciri <strong>dan</strong> karakteristik kepribadian yang<br />

individualis, materialis <strong>dan</strong> hedonistik (Asia,<br />

2008).<br />

Seiring dengan kemajuan teknologi<br />

informasi pada masa sekarang, nilai-nilai perilaku<br />

prososial di dalam kehidupan sehari-hari<br />

khususnya di Indonesia menunjukkan<br />

perkembangan yang cukup menarik,<br />

menyebabkan sikap individu menjadi semakin<br />

individualis <strong>dan</strong> sikap sosial yang dimiliki<br />

individu semakin pudar. Hal ini diperkuat oleh<br />

pendapat Fida (Isnandar, 2010) yang menjelaskan<br />

bahwa gerakan modernisasi yang meliputi<br />

segenap aspek kehidupan manusia menimbulkan<br />

terjadinya pergeseran pada pola interaksi<br />

antarindividu <strong>dan</strong> berubahnya nilai-nilai dalam<br />

kehidupan bermasyarakat. Interaksi antarindividu<br />

menjadi bertambah longgar <strong>dan</strong> kontak sosial<br />

yang terjadi semakin rendah kualitas <strong>dan</strong><br />

kuantitasnya. Kemajuan alat komunikasi<br />

menyebabkan munculnya alat-alat komunikasi<br />

yang memungkinkan manusia berkomunikasi dari<br />

jarak jauh secara langsung, sehingga berdampak<br />

berkurangnya budaya silaturahmi antarindividu.<br />

Sebagai makhluk sosial, manusia<br />

khususnya remaja diharapkan memiliki orientasi<br />

perilaku prososial yang tinggi, karena dalam<br />

perilaku prososial bertujuan untuk<br />

mensejahterakan orang lain <strong>dan</strong> mengurangi<br />

penderitaan bila dalam kesulitan. Perilaku<br />

prososial yang dilakukan diharapkan akan<br />

menciptakan kehidupan yang lebih selaras,<br />

terbentuk perilaku saling tolong menolong,<br />

menghargai, <strong>dan</strong> terjalin hubungan yang harmonis<br />

antara individu satu dengan individu yang lain.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 122<br />

Fenomena yang terjadi di SMAN 2<br />

Bekasi cukup menjelaskan bahwa tidak semua<br />

remaja yang tinggal di kota berorientasi perilaku<br />

antisosial, masih ada sekumpulan remaja yang<br />

peduli <strong>dan</strong> memiliki jiwa sosial yang cukup<br />

tinggi. SMAN 2 Bekasi termasuk salah satu<br />

sekolah negeri unggulan di kota Bekasi. Banyak<br />

siswa yang menjadikan SMAN 2 Bekasi sekolah<br />

favorit <strong>dan</strong> ingin menjadi siswa atau bagian dari<br />

sekolah tersebut. Tidak sedikit pula siswa yang<br />

tidak lolos seleksi masuk SMAN 2 Bekasi<br />

kemudian masuk ke sekolah swasta selama 1<br />

tahun lalu pindah ke SMAN 2 Bekasi. Selain letak<br />

sekolah yang strategis, gedung yang cukup bagus,<br />

lingkungan sekolah yang asri <strong>dan</strong> nyaman,<br />

pendidikan di sanapun terkenal bagus. Tidak<br />

heran banyak siswa maupun orang tua yang<br />

menginginkan anaknya bersekolah di sana.<br />

Secara umum perilaku prososial<br />

merupakan suatu tindakan menolong yang<br />

menguntungkan orang lain tanpa harus<br />

menyediakan suatu keuntungan langsung pada<br />

orang yang melakukan tindakan tersebut, <strong>dan</strong><br />

mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi<br />

orang yang menolong (Baron & Byme, 2005).<br />

Bentuk-bentuk perilaku prososial ini seperti<br />

menolong, bekerjasama, jujur, berderma dengan<br />

melayani kebutuhan orang lain. Perilaku prososial<br />

ini muncul atas inisiatif sendiri, termasuk juga<br />

bentuk pertolongan apa yang akan digunakan<br />

individu dalam memberikan bantuan pada orang<br />

lain.<br />

Orientasi perilaku prososial pada remaja,<br />

umumnya muncul dengan melakukan peniruan<br />

terhadap lingkungannya, seperti orang tua, teman<br />

atau guru. Jika ia mampu berperilaku<br />

menyenangkan orang lain, maka ia akan<br />

mendapatkan reward dalam bentuk pujian <strong>dan</strong><br />

penerimaan sosial dari lingkungan terhadap<br />

dirinya (Asia, 2008).<br />

Sesuai dengan pan<strong>dan</strong>gan teori belajar,<br />

respon-respon prososial timbul karena a<strong>dan</strong>ya<br />

reinforcement (pengukuh). <strong>Penelitian</strong> yang<br />

dilakukan oleh Moss <strong>dan</strong> Page (Baron & Byrne,<br />

2005) menyatakan bahwa seseorang yang<br />

mendapatkan pengukuh positif pada saat<br />

melakukan suatu perilaku prososial maka ia<br />

cenderung akan melakukan perilaku itu lagi pada<br />

saat yang lain, se<strong>dan</strong>gkan seseorang yang<br />

mendapatkan pengukuh negatif pada saat<br />

melakukan suatu perilaku prososial maka akan<br />

cenderung menghindari perilaku tersebut pada<br />

saat yang lain.<br />

Memang banyak faktor yang<br />

melatarbelakangi seseorang dalam memiliki<br />

orientasi perilaku prososial, seperti yang telah<br />

disebutkan di atas, namun hubungan yang terjalin<br />

dengan orang tua adalah faktor penentu utama<br />

dalam keberhasilan dalam berperilaku prososial<br />

ketika berinteraksi di lingkungan sosial yang lebih<br />

luas. Bahkan kecerdasan-kecerdasan itu akan<br />

muncul dengan baik jika hubungan mereka<br />

berjalan juga dengan baik. Orang tua yang berada<br />

dalam suatu keluarga memiliki peran penting<br />

dalam pembentukkan <strong>dan</strong> arahan perilaku remaja.<br />

Hal-hal yang diperoleh dari lingkungan<br />

keluarga terlebih orang tua akan menentukan<br />

cara-cara remaja dalam melakukan interaksi<br />

dengan lingkungan sosial di luar keluarga, <strong>dan</strong><br />

akan digunakan sebagai dasar untuk menjalani<br />

kehidupan sosial yang lebih kompleks. Interaksi<br />

diantara orang tua <strong>dan</strong> anak yang tidak lancar<br />

akan mengakibatkan pada interaksi remaja di luar<br />

keluarga juga mengalami hambatan. Hetherington<br />

<strong>dan</strong> Parke (1999) mengatakan bahwa<br />

sebagaimana perilaku prososial pada umumnya,<br />

perkembangan perilaku prososial dipengaruhi<br />

banyak faktor. Salah satunya adalah faktor<br />

keluarga (Tambunan & Retnaningsih, 2007).<br />

Dalam keluarga a<strong>dan</strong>ya hubungan afeksi<br />

antara orang tua <strong>dan</strong> anak. Hubungan afeksi yang<br />

mendalam tersebut sering disebut attachment.<br />

Teori attachment yang diformulasikan oleh John<br />

Bowlby adalah teori yang paling berpengaruh<br />

pada zaman sekarang ini dalam membahas<br />

hubungan antara orang tua dengan anak maupun<br />

hubungan dekat lainnya. Attachment adalah ikatan<br />

afeksi yang dibentuk antara satu individu dengan<br />

yang lainnya <strong>dan</strong> bertahan sepanjang waktu <strong>dan</strong><br />

tempat (Ainsworth; Ainsworth <strong>dan</strong> Bell;<br />

Bretherton, dalam Zanden, 1997, dalam<br />

Tambunan & Retnaningsih, 2007). Bowlby<br />

(1979) <strong>dan</strong> Ainsworth (1989) juga mendefinisikan<br />

attachment sebagai ikatan afeksi antara individu<br />

(Edwards, 2002).<br />

Attachment pada manusia pertama kali<br />

terbentuk dari hubungan antara pengasuh. Pada<br />

usia yang sangat dini, ikatan ini adalah antara bayi<br />

<strong>dan</strong> orang tua atau pengasuhnya. Banyak ahli<br />

psikologi yang menekankan pentingnya hubungan<br />

antara anak dengan pengasuh menjadi faktor<br />

penentu utama dalam keberhasilan anak<br />

berorientasi perilaku prososial ketika berinteraksi<br />

di lingkungan sosial yang lebih luas.<br />

Secara umum attachment dibedakan<br />

menjadi secure <strong>dan</strong> insecure attachment. Insecure<br />

attachment kemudian masih dibedakan lagi<br />

menjadi tiga, yaitu insecure-avoi<strong>dan</strong>t attachment,<br />

insecure-resistance attachment, <strong>dan</strong> insecuredisorganized<br />

attachment (Ainsworth, dalam<br />

Hetherington <strong>dan</strong> Parke (1999), dalam Tambunan<br />

& Retnaningsih, 2007). Perbedaan ini dapat<br />

diamati dari bentuk interaksi yang berlangsung<br />

antara anak <strong>dan</strong> pengasuhnya. Secure attachment<br />

diasosiasikan dengan cara pengasuhan orang tua<br />

yang sensitif <strong>dan</strong> konsisten (Cassidy & Berlin,


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 123<br />

dalam Hetherington <strong>dan</strong> Parke (1999), dalam<br />

Tambunan & Retnaningsih, 2007), responsif,<br />

interaksi yang syncrony (Isabella <strong>dan</strong> Belsky;<br />

Isabella, Belsky, <strong>dan</strong> Von Eye; Kochanska, 2000,<br />

dalam Tambunan & Retnaningsih, 2007).<br />

Sebaliknya, insecure-avoi<strong>dan</strong>t attachment banyak<br />

dikaitkan dengan cara pangasuhan yang<br />

overstimuli <strong>dan</strong> mengganggu (Cassidy <strong>dan</strong> Berlin,<br />

dalam Tambunan & Retnaningsih, 2007).<br />

Se<strong>dan</strong>gkan insecure-resistance attachment<br />

dihubungkan dengan pengalaman pengasuhan<br />

yang inkonsisten, kurang terlibat <strong>dan</strong> kurang<br />

responsif (Cassidy <strong>dan</strong> Berlin; Isabella <strong>dan</strong><br />

Belsky, dalam Berk (2000), dalam Tambunan &<br />

Retnaningsih, 2007). Untuk insecuredisorganized<br />

attachment sering dikaitkan dengan<br />

pengasuhan yang sangat tidak adequat, yaitu<br />

a<strong>dan</strong>ya penolakan <strong>dan</strong> kekerasan fisik dari<br />

pengasuh (Lyons-Ruth <strong>dan</strong> Block, dalam Berk<br />

(2000), dalam Tambunan & Retnaningsih, 2007).<br />

Namun dalam bukunya yang<br />

kontroversial “The Nurture Assumption” Judith<br />

Rich Harris (2009) menjelaskan bahwa orang tua<br />

kurang atau bahkan tidak memiliki kekuasaan<br />

untuk menentukan menjadi seperti apa anaknya<br />

kelak, bahkan dalam perkembangan sosial<br />

mereka. Menurutnya cara atau interaksi awal <strong>dan</strong><br />

hubungan afeksi orang tua dengan anaknya yang<br />

akan menentukan perkembangan anaknya itu<br />

hanyalah mitos budaya semata. Gen <strong>dan</strong> kekuatan<br />

peer group lah yang akan membentuk kehidupan<br />

anak-anak untuk kedepannya.<br />

Dalam bukunya, Harris menyampaikan<br />

bahwa tidak ada be<strong>dan</strong>ya antara anak yang diberi<br />

kasih sayang ekstra dengan kasih sayang yang<br />

sewajarnya atau bahkan diabaikan. Masalah<br />

pengukuhan yang diberikan pada setiap perilaku<br />

anak pun menurutnya tidak berpengaruh.<br />

Semestinya seorang anak akan menjadi seperti<br />

hasil didikan yg diperolehnya semasa mereka<br />

muda,namun dalam teorinya menyatakan<br />

nyatanya dalam banyak hal <strong>dan</strong> kasus, hasil akhir<br />

seorang anak (saat mereka dewasa) tidaklah<br />

sepenuhnya mencerminkan hasil didikan semasa<br />

mu<strong>dan</strong>ya, terutama pendidikan yg diperolehnya di<br />

rumah. Selain itu, asumsi dalam pemeliharan<br />

selama ini yaitu anak-anak yg lebih sering dipeluk<br />

<strong>dan</strong> mendapat curahan kasih sayang cenderung<br />

untuk bertumbuh menjadi dewasa sebagai orang<br />

yang "menyenangkan". Sebaliknya, anak yg lebih<br />

sering dipukul <strong>dan</strong> didisiplinkan secara keras<br />

cenderung untuk menjadi orang yang "sulit" atau<br />

"bermasalah" dikemudian hari. Namun sekali lagi<br />

Harris percaya bahwa proses hubungan ortu <strong>dan</strong><br />

anak adalah dua arah, bayi yg "menarik" secara<br />

fisik (lucu, cantik, menggemaskan, dsb)<br />

cenderung untuk mendapat lebih banyak perhatian<br />

<strong>dan</strong> tindakan kasih sayang dibanding bayi yg<br />

penampilannya "kurang menarik".<br />

Selain Harris, Knafo <strong>dan</strong> Plomin (2006)<br />

juga menjelaskan a<strong>dan</strong>ya pengaruh gen dalam<br />

menentukan perilaku pada anak terutama perilaku<br />

prososial. Meskipun beberapa penelitian<br />

melaporkan bahwa tidak ada pengaruh genetik<br />

pada dimensi tertentu seperti pada orang tua<br />

(Deater, Deckard, <strong>dan</strong> Rowe, dalam Knafo <strong>dan</strong><br />

Plomin, 2006). Namun dalam penelitiannya,<br />

Knafo <strong>dan</strong> Plomin menemukan a<strong>dan</strong>ya pengaruh<br />

gen dalam menentukan perilaku prososial anak.<br />

A<strong>dan</strong>ya perbedaan pendapat antara teori<br />

tersebut yang masih belum menemukan<br />

kepastiannya, apakah terdapat pengaruh yang<br />

signifikan atau tidak signifikan antar 2 variabel<br />

tersebut. Alasan lain yang menjadi landasan<br />

penelitian ini adalah karena anak atau khususnya<br />

remaja adalah tunas bangsa yang akan<br />

meneruskan nilai-nilai kemanusiaan atau<br />

kebudayaan bangsa yang ramah, <strong>dan</strong> saling tolong<br />

menolong, untuk itu anak memerlukan<br />

bimbingan, arahan <strong>dan</strong> didikan dari orang tua<br />

sejak dini, sebagai persiapan untuk menghadapi<br />

masa yang akan datang, <strong>dan</strong> keluarga adalah<br />

masyarakat terkecil yang paling inti, dari<br />

keluargalah anak mulai memperoleh nilai-nilai<br />

kemanusiaan sebelum berhadapan langsung<br />

dengan orang lain, oleh karena itu attachment<br />

dalam mendidik anak akan mempengaruhi<br />

keberhasilan anak dalam perkembangan<br />

sosialnya. Selain itu, penelitian-penelitian tentang<br />

attachment-orientasi perilaku prososial pada<br />

remaja di Indonesia masih terbatas.<br />

METODE PENELITIAN<br />

Sample<br />

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa<br />

SMAN 2 Bekasi sebanyak 100 orang. Berikut ini<br />

adalah rincian populasi yang dijadikan objek<br />

penelitian:<br />

Tabel 1<br />

Data Seluruh Siswa SMAN 2 Bekasi<br />

No Kelas Jumlah<br />

1 X 636<br />

2 XI 521<br />

3 XII 495<br />

Jumlah Siswa 1652


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 124<br />

Instrumen<br />

Skala Attachment<br />

Untuk mengukur attachment ibu-anak,<br />

digunakan skala attachment yang diukur dengan<br />

mengacu kepada aspek-aspek dari Bowlby <strong>dan</strong><br />

Ainsworth. Aspek-aspeknya adalah ketersediaan<br />

ibu, sensitivitas ibu, <strong>dan</strong> responsivitas ibu. Dari<br />

25 item, 23 item yang digunakan untuk analisis.<br />

Adapun skor untuk respon dari item favorable<br />

akan memiliki bobot nilai empat untuk respon<br />

sangat sesuai, tiga untuk respon sesuai, dua untuk<br />

respon tidak sesuai, <strong>dan</strong> satu untuk respon sangat<br />

tidak sesuai. Respon dari item unfavorable akan<br />

memiliki bobot nilai satu untuk respon sangat<br />

sesuai, dua untuk respon sesuai, tiga untuk respon<br />

tidak sesuai <strong>dan</strong> empat untuk respon sangat tidak<br />

sesuai. Koefisien reliabilitasnya .842.<br />

Skala Orientasi Perilaku Prososial<br />

Untuk mengukur orientasi perilaku<br />

prososial, digunakan skala orientasi perilaku<br />

prososial dengan mengacu kepada aspek-aspek<br />

orientasi perilaku prososial Cheung, Ma, <strong>dan</strong><br />

Shek dengan pemisahan antara aspek berbagi <strong>dan</strong><br />

bekerjasama, dikarenakan perbedaan arti atau<br />

pengertian. Sehingga dalam penelitian ini aspekaspeknya<br />

adalah perilaku menolong, perilaku<br />

berbagi, perilaku bekerjasama, hubungan afeksi,<br />

<strong>dan</strong> perilaku patuh terhadap aturan. Dari 50 item,<br />

43 item yang digunakan untuk analisis, dengan<br />

koefisisen reliabilitas .899.<br />

HASIL DAN DISKUSI<br />

Analisis data dilakukan secara<br />

kuantitatif. Untuk mengetahui pengaruh<br />

attachment terhadap orientasi perilaku prososial<br />

pada remaja di SMAN 2 Bekasi digunakan<br />

perhitungan dengan analisis regresi sederhana.<br />

Tabel 2<br />

Perhitungan Hasil Regresi<br />

Variabel Konstanta Koefisien Sig. t Sig.<br />

Regresi (p)<br />

Attachment<br />

terhadap<br />

100.659 . 445 .000 11,883 .000<br />

orientasi<br />

perilaku<br />

prososial<br />

3.799 .000<br />

Model Summary<br />

M<br />

od<br />

el<br />

1 ,363<br />

a<br />

R R<br />

Squa<br />

re<br />

Adjuste<br />

d R<br />

Square<br />

Std.<br />

Error of<br />

the<br />

Estimat<br />

e<br />

,132 ,123 8,870<br />

Dari hasil penghitungan data, telah<br />

dilakukan penghitungan dengan analisis regresi<br />

sederhana, <strong>dan</strong> dari hasil tersebut didapatkan<br />

bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara<br />

attachment terhadap orientasi perilaku prososial<br />

pada remaja. Hal ini diketahui dari harga t= 3.799<br />

yang memiliki signifikansi 0.000.<br />

Berdasarkan perolehan tersebut dapat<br />

disimpulkan bahwa attachment memiliki<br />

pengaruh terhadap orientasi perilaku prososial<br />

pada remaja di SMAN 2 Bekasi. Besarnya<br />

sumbangan attachment terhadap orientasi perilaku<br />

prososial diketahui dengan melihat perolehan nilai<br />

Adjusted R Square. Nilai R Square yang diperoleh<br />

pada penelitian ini sebesar 0.123 atau sebersar<br />

12.3%. Hal ini menunjukkan bahwa sisanya<br />

sebesar 87.7% dipengaruhi oleh faktor lain selain<br />

attachment. Secara statistik nilai ini memberikan<br />

penjelasan bahwa orientasi perilaku prososial<br />

dipengaruhi oleh attachment.<br />

Jika melihat penjelasan mengenai orientasi<br />

perilaku prososial, banyaknya beberapa faktor<br />

yang mendasari individu untuk berperilaku<br />

prososial diantaranya ada faktor situasi, salah<br />

satunya seperti a<strong>dan</strong>ya bystanders (orang lain<br />

yang kebetulan berada bersama kita di tempat<br />

kejadian) yang menurut Sarlito (2002) sebagai<br />

faktor utama. A<strong>dan</strong>ya desakan waktu yang<br />

biasanya individu yang sibuk <strong>dan</strong> tergesa-gesa<br />

cenderung tidak menolong. Keterbatasan<br />

kemampuan yang dimiliki individu juga menjadi<br />

salah satu faktor lainnya, dimana individu yang<br />

merasa mampu, ia akan cenderung menolong.<br />

Selain faktor situasi ada pula faktor lain yaitu<br />

faktor pengaruh dari dalam diri. Dimana a<strong>dan</strong>ya<br />

perasaan yang se<strong>dan</strong>g dirasakan oleh individu<br />

terka<strong>dan</strong>g juga menjadi salah satu sebab ia akan<br />

menolong atau tidak, biasanya individu yang<br />

se<strong>dan</strong>g merasakan perasaan yang positif<br />

cenderung akan menolong, begitu sebaliknya<br />

individu yang se<strong>dan</strong>g merasakan perasaan negatif<br />

atau sampai dalam keadaan depresi cenderung<br />

tidak akan menolong orang lain.<br />

Tidak hanya faktor-faktor yang telah<br />

dijelaskan di atas, kehidupan pertemanan pun ikut<br />

mempengaruhi bagaimana anak berperilaku.<br />

Kehidupan pertemanan membentuk hubungan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 125<br />

yang erat antara individu dengan individu sebaya.<br />

Kehidupan pertemanan cenderung membawa<br />

pergaulan ke arah kelompok. Penerimaan untuk<br />

dapat terlibat dalam kegiatan kelompok<br />

bergantung pada sekumpulan sifat <strong>dan</strong> pola<br />

perilaku (Hurlock, 1980). Penerimaan terhadap<br />

keadaan individu dari teman maupun kelompok<br />

dapat memberikan pengaruh terhadap individu<br />

untuk mengikuti pola perilaku teman maupun<br />

kelompok tersebut. Individu yang sebelumnya<br />

berperilaku sesuai norma dapat menjadi individu<br />

yang berperilaku tidak sesuai norma. Individu<br />

yang lebih banyak menghabiskan waktunya<br />

bersama teman maupun kelompoknya, akan<br />

mempengaruhi kehidupan sosialnya terlebih<br />

dalam berperilaku. Walaupun tidak semua<br />

individu seperti itu, dikarenakan a<strong>dan</strong>ya kelekatan<br />

yang terjalin antara individu tersebut dengan<br />

keluarganya terlebih kepada ibu yang selalu<br />

memberikan perhatian <strong>dan</strong> kasih sayang, yang<br />

biasa disebut (attachment).<br />

Attachment antara individu dengan<br />

ibunya dimulai dari individu tersebut lahir. Jika<br />

individu memiliki attachment yang secure<br />

terhadap ibunya, individu tersebut cenderung<br />

akan berperilaku prososial. Seperti yang<br />

dikemukakan oleh Retnaningsih & Marliah<br />

(2007), “anak dengan secure attachment memiliki<br />

karakteristik cenderung akan lebih pintar dalam<br />

menyelesaikan masalah, lebih kooperatif, patuh<br />

pada orang tua, memiliki hubungan yang lebih<br />

baik dengan teman sebayanya, lebih mampu<br />

dalam mengambil inisiatif, <strong>dan</strong> memiliki empati<br />

terhadap orang lain”. Begitu sebaliknya dengan<br />

individu yang tidak memiliki secure attachment,<br />

atau biasa disebut insecure attachment. Dimana<br />

mereka cenderung tidak berperilaku prososial,<br />

bahkan dalam kehidupan sosialnyapun memiliki<br />

masalah. Seperti yang dikemukakan oleh<br />

Retnaningsih & Marliah (2007), “Kebalikan dari<br />

dampak secure attachment, anak insecure<br />

attachment memiliki ketergantungan berlebih<br />

pada orang tuanya, menjadi teman yang buruk,<br />

licik, <strong>dan</strong> manipulatif, serta mencari keuntungan<br />

dari kesulitan orang lain”. Richters <strong>dan</strong> Waters<br />

(dalam Retnaningsih & Marliah, 2007)<br />

berpendapat bahwa “Perbedaan individual dalam<br />

attachment menjadi penting karena implikasinya<br />

bagi perkembangan sosial anak selanjutnya”.<br />

Semakin individu memiliki secure<br />

attachment terhadap ibunya akan membuat<br />

perkembangan sosial individu tersebut baik <strong>dan</strong><br />

memiliki kecenderungan untuk berperilaku<br />

prososial terhadap kejadian yang terjadi di<br />

sekitarnya.<br />

Hasil dari penelitian ini dapat<br />

memberikan gambaran bagaimana orientasi<br />

perilaku prososial <strong>dan</strong> attachment, sehingga dapat<br />

dijadikan referensi untuk para ibu dalam menjalin<br />

kelekatan terhadap anak yang berdampak pada<br />

perilaku prososialnya. Jika permasalahan tidak<br />

ditangani dikhawatirkan membawa dampak<br />

negatif kedepannya pada diri anak.<br />

KESIMPULAN<br />

Berdasarkan hasil penelitian dapat<br />

disimpulkan bahwa a<strong>dan</strong>ya pengaruh yang<br />

signifikan attachment terhadap orientasi perilaku<br />

prososial pada remaja di Sekolah Menengah Atas<br />

Negeri (SMAN) 2 Bekasi.<br />

Orientasi perilaku prososial pada remaja<br />

mempunyai pengaruh yang besar terhadap<br />

kelangsungan proses sosialisasi yang mereka<br />

jalani. Remaja akan lebih mudah untuk menyatu<br />

dengan lingkungan sekitar <strong>dan</strong> nyaman menjalani<br />

perkembangan sosial di lingkungan sekitar. Peran<br />

dari ibu diperlukan dalam upaya membentuk<br />

remaja agar memiliki perilaku prososial yang<br />

tinggi.<br />

Walaupun demikian diketahui masih<br />

terdapat siswa yang memiliki orientasi perilaku<br />

prososial <strong>dan</strong> attachment yang tergolong kategori<br />

rendah. Adapun cara mengembangkan orientasi<br />

perilaku prososial <strong>dan</strong> attachment pada anak,<br />

salah satu caranya yaitu dengan menanamkan<br />

nilai-nilai perilaku prososial kepada siswa, seperti<br />

menolong orang lain, tidak memaksakan<br />

keinginan pribadi, serta belajar untuk berbagi<br />

dengan orang lain <strong>dan</strong> lebih menjalin kelekatan<br />

antara ibu dengan anak.<br />

Perlu a<strong>dan</strong>ya konsistenan antara<br />

responsivitas <strong>dan</strong> sensitivitas ibu dari anak<br />

tersebut lahir dalam menciptakan kondisi dimana<br />

remaja merasa percaya <strong>dan</strong> nyaman ketika berada<br />

di lingkungan bersosialisasinya. Jika hal tersebut<br />

tercapai, maka remaja memiliki secure<br />

attachment, yang membangun karakteristik<br />

cenderung lebih pintar dalam menyelesaikan<br />

masalah, lebih kooperatif, patuh pada orang tua,<br />

memiliki hubungan yang lebih baik dengan teman<br />

sebayanya, lebih mampu dalam mengambil<br />

inisiatif, <strong>dan</strong> memiliki empati terhadap orang lain.<br />

Begitupun sebaliknya jika hal tersebut tidak<br />

tercapai, maka remaja memiliki insecure<br />

attachment, yang membangun karakteristik<br />

cenderung memiliki ketergantungan berlebih pada<br />

orang tuanya, menjadi teman yang buruk, licik,<br />

<strong>dan</strong> manipulatif, serta mencari keuntungan dari<br />

kesulitan orang lain.<br />

Dengan begitu remaja yang memiliki<br />

secure attachment cenderung akan berorientasi<br />

perilaku prososial dalam lingkungan sosialnya,<br />

<strong>dan</strong> begitu juga sebaliknya dengan remaja yang<br />

memiliki insecure attachment, mereka cenderung


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 126<br />

tidak berorientasi perilaku prososial, bahkan<br />

dalam kehidupan sosialnyapun memiliki masalah.<br />

Adapun keterbatasan <strong>dan</strong> kelemahan<br />

penelitian ini, yaitu jumlah item penelitian yang<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Alhusin, Syahri. 2003. Aplikasi Statistik Praktis<br />

dengan SPSS.10. Yogyakarta: Graha<br />

Ilmu.<br />

Anna Armeini Rangkuti <strong>dan</strong> Ratna Dyah<br />

Suryaratri, 2009. Statistika Inferensial<br />

Untuk <strong>Penelitian</strong> <strong>Psikologi</strong> <strong>dan</strong><br />

Pendidikan (Jakarta: Fakultas Ilmu<br />

Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.<br />

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur <strong>Penelitian</strong><br />

(7th ed), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />

Baron, Robert A., & Donn Byrne. 2005. <strong>Psikologi</strong><br />

Sosial (Ratna Juwita, penerjemah) (10th<br />

ed). Jakarta: Erlangga.<br />

Bee. H. 2005. Lifespan Development. New York:<br />

Pearson Education, Inc.<br />

Caplin, JP. 2006. Kamus Lengkap <strong>Psikologi</strong> (Dr.<br />

Kartini Kartono, penerjemah) (Rev. ed.).<br />

Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.<br />

Casthazahra. 2010. Aksi Pelajar Damai Palestina.<br />

4 Juli, 2012.<br />

http://casthazahra.blogdetik.com/2010/0<br />

6/12/aksi-pelajar-damaipalestina/#more-507.<br />

Cheung, Chung P., Hing Keung Ma., Daniel T. L.<br />

Shek. 1998. Conceptions of Success:<br />

Their Correlates With Prososial<br />

Orientation and Behaviour in Chinese<br />

Adolescents. Journal of Adolescence. No<br />

21. 31-42.<br />

Davies, D. 1999. Child Development: A<br />

Practitioner Guide. New York: The<br />

Guilford Press.<br />

Davies, D. 2004. Child Development: A<br />

Practitioner Guide. New York: The<br />

Guilford Press.<br />

Desmita. 2006. <strong>Psikologi</strong> Perkembangan.<br />

Bandung: PT. Remaja Rusda Karya.<br />

Doyle, A. B., Morreti, M. M. 2000. Attachment to<br />

Parents and Adjustment in Adolescence.<br />

cukup banyak dalam penelitian ini, dikhawatirkan<br />

terjadi masalah dalam pengisian karena siswa<br />

bosan sehingga pada kuesioner ada beberapa item<br />

yang terlewat untuk diisi.<br />

http://www.hcsc.gc.ca/hppb/childhoodyouth.<br />

Edwards, Martha E. 2002. Attachment, Mastery,<br />

and Interdependence: A Model of<br />

Parenting Processes.Family Process, 41,<br />

3, 389-404.<br />

E-psikologi. 2002. Problem Kelekatan Anak. 4<br />

April, 2012. http://www.epsikologi.com/epsi/search.asp.<br />

Guilford, Jean P. 1978. Fundamental Statistic in<br />

Psychology & Education (6th ed.).<br />

Kayakusha: Mc Graw Hill.<br />

Harris, Judith Rich. 2009. The Nurture<br />

Assumption. New York: Free Press.<br />

Hastings, Paul D., Kenneth H. Rubin., Laura<br />

Derose. 2005. Link Among Gender,<br />

Inhibition, and Parental Socialization in<br />

The Development of Prosocial Behavior.<br />

Merri II. Palmer Quarterly, 51, 4, 467-<br />

493.<br />

Hetherington, E. M., Parke, R. D. 1988. Child<br />

Psychology: A contemporary Viewpoint.<br />

Edisi 5. Boston: Mc. Grow-Hill Collage.<br />

Hurlock, Elizabeth B. 1980. <strong>Psikologi</strong><br />

Perkembangan (Suatu Pendekatan<br />

Sepanjang Rentan Kehidupan)<br />

(Istiwidayanti & Soedjarwo, penerjemah)<br />

(5th e.d.). Jakarta: Erlangga.<br />

Isnandar, Tri Windha. 2010. Hubungan Antara<br />

Konsep Diri Dengan Perilaku Prososial<br />

Pada Siswa SMA 1 Purwodadi. Skripsi.<br />

Universitas Muhammadiyah Malang.<br />

Kamus Bahas Indonesia Online. (n.d.). 18 Juli,<br />

2012.<br />

http://kamusbahasaindonesia.org/orientas<br />

i.<br />

Kipdiah, Maryatul. 2012. Pengaruh Kecerdasan<br />

Emosional Terhadap Perilaku Prososial<br />

pada Siswa Boarding School Fathan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 127<br />

Mubina Ciawi Bogor. Skripsi.<br />

Universitas Negeri Jakarta.<br />

Knafo, Arif <strong>dan</strong> Robert Plomin. 2006. Parental<br />

Discipline and Affection and Children’s<br />

Prosocial Behavior: Genetic and<br />

Environmental Links. Journal of<br />

Personality and Social Psychology, 90,<br />

1, 147-164.<br />

Luthfiani, Fia Silfa. 2008. Hubungan Antara<br />

Kualitas Attachment Dengan Ibu <strong>dan</strong><br />

Motivasi Berprestasi pada Santri Pondok<br />

Pesantren Tingkat Pertama di Kota-<br />

Kabupaten Tasikmalaya. Skripsi.<br />

Universitas Indonesia.<br />

Namakuddn. 2011. Kisah 2 Remaja Chechnya<br />

yang Berusaha Hentikan Aksi Teroris<br />

Kristen Breivik. 4 Juli, 2012.<br />

http://namakuddn.wordpress.com/2011/1<br />

1/16/kisah-2-remaja-chechnya-yangberusaha-hentikan-aksi-teroris-kristenbreivik/.<br />

Nancy, Eisenberg., (eds.), 2006, Handbook of<br />

Child Psychology, New Jersey: John<br />

Wiley & Sons Inc, (29/02/2012).<br />

Nazir,Moh. 1999. Metodologi <strong>Penelitian</strong>. Jakarta:<br />

Ghalia Indonesia.<br />

Nur Asia. 2008. Hubungan Antara Harga Diri<br />

<strong>dan</strong> Asertivitas Dengan Perilaku<br />

Prososial Pada Remaja. Skripsi.<br />

Surakarta. Universitas Muhammadiyah<br />

Surakarta.<br />

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development<br />

(5th e.d.). Jakarta: Erlangga.<br />

Santrock, John W. 2005. Psycholog (7th e.d.).<br />

Boston: McGraw-Hill.<br />

Sarlito, Sarwono. 2002. <strong>Psikologi</strong> Sosial (3rd<br />

e.d.). Jakarta: Balai Pustaka.<br />

Seputar Indonesia. 2011. Yue Yue Tidak<br />

Tertolong. 4 Juli, 2012.<br />

http://www.seputar-<br />

indonesia.com/edisicetak/content/view/4<br />

37825/.<br />

Siregar, A. R. 2010. Pengaruh Attachment Style<br />

Terhadap Kualitas Persahabatan.<br />

Skripsi. Universitas Sumatera Utara.<br />

SMA Batik. 2012. PMR SMA Batik 2Adakan Aksi<br />

Donor Darah. 4 Juli, 2012.<br />

http://smabatik2.com/component/content<br />

/article/86-pmr-sma-batik-2-adakan-aksidonor-darah.html?showall=1.<br />

Staub, E. 1979. Positive Social Behavior and<br />

Morality: Socialization and<br />

Development. New York: Academic<br />

Press.<br />

Sugiyono. 2009. Metode <strong>Penelitian</strong> Kuantitatif,<br />

Kualitatif, <strong>dan</strong> R & D (7th e.d.).<br />

Alfabeta.<br />

Sulaiman, Samad. 2003. Pengasuhan<br />

Prososialitas Anak. <strong>Jurnal</strong> Edukasi, 4, 2.<br />

Suryoputro, Antono., Nicholas J. Ford., Zahroh<br />

Shaluhiyah. 2006. Faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja<br />

di Jawa Tengah: Implikasinya Terhadap<br />

Kebijakan <strong>dan</strong> Layanan Kesehatan<br />

Seksual <strong>dan</strong> Reproduksi. Makara.<br />

Kesehatan, 10, 1.<br />

Tambunan, Siti Marliah., & Retnaningsih. 2007.<br />

Peranan Kualitas Attachment, Usia, <strong>dan</strong><br />

Jender Pada Perilaku Prososial. <strong>Jurnal</strong><br />

<strong>Penelitian</strong> <strong>Psikologi</strong>, 12, 1, 120-129.<br />

Vaughan, Graham M., Michael A. Hogg. 2005.<br />

Social Psychological (4th e.d.). London:<br />

Pearson Education.<br />

Vivanews. 2012. Bakti Sosial untuk Masyarakat<br />

Pesisir Jakarta. 4 Juli, 2012.<br />

http://ureport.vivanews.com/news/read/2<br />

89843-bakti-sosial-untuk-masyarakatpesisir-jakarta.<br />

Zaden, J. W. V. 1985. Human Development (3rd<br />

e.d.). New York: Alfred A. Knopf.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 128<br />

PENGARUH PERSEPSI PENERIMAAN TEMAN SEBAYA<br />

TERHADAP KESEPIAN PADA REMAJA<br />

Ajeng Triani<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Unversitas Negeri Jakarta<br />

Rawamangun Jakarta Timur<br />

Email : ajengtriani25@gmail.com<br />

Abstrack<br />

This research is aimed to analyze the influence of perception of peer acceptance to loneliness in<br />

adolescense. The research was conducted at Jakarta on June 2012.<br />

The population of this research are adolescences at Jakarta between 12 years old until 21 years old. Data<br />

was gathered by using scale and analyze by regression test (Anareg) using SPSS 16.0 program. The result revealed<br />

that Adjusted R Square perception of peer acceptance on loneliness was 0.051 (5.1%), which means that peer<br />

acceptance influence loneliness as much as 5.1% and the rest 94.9% influence by other factors beyond loneliness.<br />

The result of this research showed Ho is rejected and Ha is accepted, therefore the research conclusion was that<br />

perception of peer acceptance influenced loneliness toward adolescence.<br />

PENDAHULUAN<br />

Keywords : Perception of Peer Acceptance. Loneliness, Adolescences, Jakarta<br />

Kesepian merupakan salah satu masalah<br />

psikologis yang tidak dapat dipisahkan dalam<br />

kehidupan manusia. Setiap manusia pernah<br />

menghadapi situasi yang dapat menyebabkan<br />

kesepian. Menurut Burns (1988) berjuta-juta manusia<br />

kini adalah manusia yang kesepian, terkucil, terpisah<br />

dari hubungan dengan teman, sahabat, atau pasangan.<br />

Hubungan yang akrab dengan sesama semakin sulit<br />

dicari sehingga kesepian merupakan masalah yang<br />

tidak terhindarkan. Apabila manusia mengalami<br />

kegagalan dalam menjalin hubungan sosial maka<br />

manusia akan mengalami kesepian. Intensitas<br />

kesepian berbeda-beda pada tiap individu, ada yang<br />

dapat segera melalui perasaan kesepian, namun ada<br />

juga individu yang terus menerus merasakan<br />

kesepian.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 129<br />

Kesepian bukan merupakan suatu gejala<br />

yang langka <strong>dan</strong> luar biasa. Kesepian telah menjadi<br />

sebuah fenomena yang universal, yang dapat<br />

dirasakan oleh setiap individu, hal ini didukung oleh<br />

pernyataan Graham (1995) yang mengatakan bahwa<br />

kesepian dapat menyerang individu setiap saat, tanpa<br />

memilih tempat atau keadaan. Individu dalam sebuah<br />

keramaian dapat mengalami kesepian karena merasa<br />

terasing, individu tersebut merasa tidak terpenuhi<br />

kebutuhan sosialnya meskipun dikelilingi oleh<br />

banyak orang. Kesepian berbeda dengan kesendirian,<br />

jika seseorang se<strong>dan</strong>g sendirian, belum tentu ia<br />

merasa kesepian, hal ini diperjelas oleh Weiss (dalam<br />

Pepleu <strong>dan</strong> Perlman, 1982) yang menga takan bahwa<br />

kesepian tidak disebabkan oleh kesendirian, namun<br />

disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan akan<br />

hubungan atau rangkaian hubungan yang pasti, atau<br />

karena tidak tersedianya hubungan yang dibutuhkan<br />

oleh individu tersebut.<br />

Dalam bahasa asing, kesepian dapat disebut<br />

dengan istilah loneliness. Beberapa ahli memberikan<br />

pemaparan tentang definisi kesepian diantaranya<br />

adalah De Jong Gierveld (1999), Ia mendefinisikan<br />

kesepian sebagai kondisi isolasi sosial yang subyektif<br />

(subjective social isolation), di mana situasi yang<br />

dialami individu tersebut dirasa tidak menyenangkan<br />

<strong>dan</strong> tidak diragukan lagi terjadi kekurangan kualitas<br />

hubungan (lack of quality of relationship). Selain itu,<br />

jumlah (kuantitas) jalinan hubungan yang ada pada<br />

individu juga ditemukan lebih sedikit dari yang<br />

diharapkan <strong>dan</strong> diterima, serta situasi intimacy<br />

(keakraban) yang diharapkan juga tidak pernah<br />

terealisir (Latifa dalam <strong>Jurnal</strong> Enlightment, 2008).<br />

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diasumsikan<br />

bahwa kesepian terjadi karena kurangnya hubungan<br />

dengan orang lain <strong>dan</strong> individu merasa tidak<br />

menemukan hubungan yang istimewa dengan orangorang<br />

yang berada di sekitarnya.<br />

Kesepian dapat menimbulkan akibat negatif<br />

pada individu. Individu yang merasakan kesepian bisa<br />

melakukan hal-hal spontanitas yang ka<strong>dan</strong>g diluar<br />

nalar. Seorang psikiater dari Swiss, Tournier (dalam<br />

Graham, 1995), bahkan menyebut kesepian sebagai<br />

penyakit yang paling menghancurkan pada zaman<br />

sekarang. Individu yang menderita kesepian akan<br />

terhambat kemampuannya untuk berkembang dengan<br />

baik <strong>dan</strong> melakukan kegiatan-kegiatan yang<br />

produktif. University of Illionois menjelaskan<br />

mengenai hasil penelitian Lambert bahwa ada<br />

perilaku-perilaku tertentu yang sering dilakukan<br />

individu untuk mengatasi rasa kesepian, beberapa<br />

diantaranya adalah: perilaku konsumtif, pesta-pora,<br />

tidur, menangis, menyendiri, menonton TV, ikut<br />

dalam kelompok tertentu, minum-minuman keras,<br />

menggunakan narkoba, atau bahkan sampai mencoba<br />

bunuh diri.<br />

Masyarakat seringkali menganggap bahwa<br />

kesepian banyak dialami oleh individu pada<br />

kelompok usia lanjut, usia dimana seorang individu<br />

yang tinggal sendiri karena sudah ditinggal oleh<br />

pasangannya, atau usia dimana individu sudah tidak<br />

lagi mengurus anaknya. Graham (1995) justru<br />

menyebutkan bahwa kesepian yang dialami remaja<br />

pada zaman sekarang jumlahnya semakin meningkat<br />

dari jumlah tahun-tahun sebelumnya. Ba<strong>dan</strong> survey<br />

UNICEF bahkan menyebutkan Jepang merupakan<br />

Negara dengan tingkat remaja kesepian yang paling<br />

tinggi (antaranews.com). Hasil survei nasional di<br />

Amerika yang dilakukan oleh majalah Psychology<br />

Today (dalam Sears, 1994), memperlihatkan bahwa<br />

dari 40.000 individu, yang ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g bahkan<br />

seringkali merasa kesepian adalah individu pada<br />

kelompok usia remaja, yaitu sebanyak 79%,<br />

dibandingkan dengan kelompok individu yang<br />

berusia diatas 55 tahun, yaitu hanya 37%.<br />

Berdasarkan fakta tersebut, dapat terlihat gambaran<br />

bahwa remajalah yang paling banyak merasakan<br />

kesepian saat ini.<br />

Remaja di Indonesia tampaknya juga tidak<br />

luput dari permasalahan kesepian tersebut. Banyak<br />

fenomena yang terjadi pada remaja akibat perasaan<br />

kesepian. Remaja yang se<strong>dan</strong>g berada di masa transisi<br />

ini, terka<strong>dan</strong>g tidak mampu bertahan dengan perasaan<br />

kesepian. Sebagai contoh sebuah kasus bunuh diri<br />

dilakukan oleh remaja berusia 15 tahun berinisial LU.<br />

Remaja yang masih bersekolah di sekolah negeri di<br />

Jakarta tersebut menurut hasil penyelidikan pihak<br />

Polda Metro Jaya, kasus bunuh diri tersebut terjadi<br />

karena korban merasa kesepian, tidak mampu<br />

bersosialisasi dengan keluarga maupun teman, tidak<br />

mampu mengikuti pelajaran dengan baik, <strong>dan</strong> sering<br />

diejek teman karena pernah tidak naik kelas<br />

(www.news.indosiar.com).<br />

Selain tindakan yang ekstrim tersebut,<br />

remaja di Indonesia yang mengalami kesepian juga<br />

seringkali terlibat dalam tindakan-tindakan yang<br />

berdampak negatif, seperti: merokok, berkelahi,<br />

terlibat por nografi, perilaku seks bebas, serta<br />

penyalahgunaan narkotika <strong>dan</strong> psikotropika. Pikas<br />

atau Pusat Informasi Keluarga Berkualitas<br />

(www.bkkbn.go.id), memaparkan semakin banyaknya<br />

kasus-kasus perilaku remaja yang berdampak negatif,<br />

beberapa diantaranya, yaitu: kebiasaan merokok.<br />

Hasil survei harian menyatakan, yaitu 38,9% pelajar<br />

Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengenal rokok


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 130<br />

sejak usia 12 tahun; juga fenomena tawuran pelajar<br />

yang semakin meningkat tiap tahun baik kuantitas<br />

maupun kualitasnya; penggunaan narkoba, saat ini<br />

sedikitnya terdapat lima juta orang pecandu narkoba,<br />

75% diantaranya berusia 14 tahun sampai dengan 25<br />

tahun.<br />

Hasil survei Lembaga <strong>dan</strong> Pembinaan<br />

Masalah Narkotika <strong>dan</strong> Generasi Muda Indonesia<br />

diketahui dari 100 kasus tawuran pelajar, sebanyak<br />

67% adalah pengguna narkoba. National Institute on<br />

Drug Abuse (NIDA) merilis hasil survey tahun 2011<br />

tentang perkembangan penggunaan narkoba di<br />

kalangan remaja, <strong>dan</strong> hasilnya: Jumlah remaja yang<br />

mengkonsumsi rokok <strong>dan</strong> alkohol berkurang, tetapi<br />

jumlah remaja yang merokok ganja meningkat.<br />

Menurut hasil penelitiannya, sekitar 25% dari remaja<br />

m engatakan bahwa mereka mencoba ganja<br />

setidaknya sekali setahun, <strong>dan</strong> sejak tahun 2007 naik<br />

sekitar 4%. Selain itu, 6,6% dari siswa kelas 12 juga<br />

mengaku merokok ganja sehari-hari. Peningkatan<br />

penggunaan ganja tertinggi terjadi pada tahun 1981.<br />

Pada tahun yang sama, penggunaan rokok <strong>dan</strong><br />

alkohol juga mencapai posisi terendah dalam<br />

sejarah. Sebanyak 11,7% dari remaja AS mengisap<br />

rokok dalam 30 hari terakhir, dibandingkan dengan<br />

12,8% pada 2010. Salah satu contoh nyata di<br />

Indonesia, yaitu kasus di Me<strong>dan</strong> 2011 lalu, dua orang<br />

remaja ARM (17thn) <strong>dan</strong> SA (14thn) tertangkap<br />

basah se<strong>dan</strong>g menggunakan narkotika jenis shabu<br />

(Tribunnews.com).<br />

Semakin banyaknya remaja yang mulai<br />

terjerumus dalam hal-hal negatif dapat diasumsikan,<br />

bahwa remaja tersebut merasakan perasaan kesepian,<br />

perasaan yang menyakitkan yang harus dihilangkan<br />

sesegera mungkin. Dengan melakukan hal-hal negatif<br />

tersebut, maka para remaja mampu memperoleh<br />

hubungan sosial baru sebagai penghilang perasaan<br />

kesepian. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Arief<br />

(www.narkoba_mania.com,) yang mengungkapkan<br />

bahwa salah satu penyebab terjadinya kasus-kasus<br />

pemakaian obat-obat terlarang pada remaja adalah<br />

faktor kesepian. Turner <strong>dan</strong> Feldman dalam uraian<br />

Luthfie (www.bkkbn.go.id) juga mengungkapkan<br />

bahwa salah satu tujuan remaja melakukan tindakantindakan<br />

tersebut adalah untuk mengatasi rasa<br />

kesepian yang dialami. Remaja yang terlibat pada<br />

perilaku-perilaku tersebut tidak mampu mengatasi<br />

rasa kesepian yang dialami secara tepat, sehingga<br />

remaja mencari penyelesaian dengan tindakan salah<br />

yang justru dapat berdampak negatif baik pada<br />

dirinya sendiri maupun pada orang lain.<br />

Remaja seringkali mendiskripsikan kesepian<br />

yang dialami sebagai kekosongan, kebosanan,<br />

keterasingan, ketidakmampuan beradaptasi dengan<br />

lingkungan sosialnya. Menurut Rice (2008), remaja<br />

lebih sering merasa kesepian ketika merasa ditolak,<br />

terasing <strong>dan</strong> tidak mampu memiliki peran dalam<br />

lingkungannya. Kesepian yang dirasakan adalah<br />

karena belum terbentuknya keintiman baru yang<br />

berakibat remaja tidak mempunyai hubungan<br />

interpersonal yang intim. Berdasarkan hasil penelitian<br />

Pretty dkk (2005) terhadap 234 remaja berusia 13-18<br />

tahun di Australia ditemukan bahwa sense of<br />

community and social support mempengaruhi tingkat<br />

kesepian pada remaja. Keinginan remaja untuk<br />

menjadi bagian dalam sebuah komunitas sosial <strong>dan</strong><br />

mendapatkan dukungan dari lingkungan sosialnya<br />

apabila tidak terpenuhi akan mempengaruhi tingginya<br />

tingkat kesepian pada remaja. Selain itu, masa remaja<br />

adalah masa yang memerlukan banyak penyesuaian<br />

dalam hidupnya, seperti contoh seorang remaja yang<br />

se<strong>dan</strong>g berada di bangku SMP, <strong>dan</strong> akan memasuki<br />

bangku SMA, di masa itu seorang remaja dituntut<br />

untuk bisa beradaptasi <strong>dan</strong> dengan segera melakukan<br />

penyesuaian dengan lingkungan barunya. Apabila<br />

remaja tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan<br />

baik dengan lingkungan sosialnya, maka bukan hal<br />

yang mustahil jika remaja tersebut merasakan<br />

kesepian.<br />

Masa remaja merupakan salah satu masa<br />

yang penting dalam periode perkembangan hidup<br />

individu, masa tersebut sering disebut sebagai masa<br />

transisi. Pada masa ini, remaja mengalami<br />

perkembangan dalam berbaga aspek, yaitu fisik,<br />

kognitif emosi, <strong>dan</strong> sosial. Individu pada masa remaja<br />

mulai meninggalkan kebiasaan masa kanak-kanak<br />

<strong>dan</strong> menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan<br />

orang dewasa. Remaja dihadapkan pada tugas-tugas<br />

perkembangan yang baru yaitu mencapai hubungan<br />

baru yang lebih matang dengan teman sebaya,<br />

mencapai peran sosial pria <strong>dan</strong> wanita, beradaptasi<br />

dengan perubahan fisik, mempersiapkan karier<br />

ekonomi <strong>dan</strong> pernikahan (Havighurst dalam Hurlock,<br />

1999). Dalam perkembangan sosial, remaja<br />

mengalami perubahan hubungan, remaja mulai<br />

memisahkan diri dari orangtua menuju pada<br />

keintiman dengan teman-teman sebaya. Condry,<br />

Simon, & Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2003)<br />

menyatakan bahwa remaja muda laki-laki <strong>dan</strong><br />

perempuan menghabiskan waktu dua kali lebih<br />

banyak dengan teman sebaya daripada waktu dengan<br />

orang tuanya. Disinilah mereka saling mengisi <strong>dan</strong><br />

mempengaruhi satu sama lain <strong>dan</strong> ka<strong>dan</strong>g-ka<strong>dan</strong>g<br />

membentuk kelompok-kelompok dengan remaja yang<br />

memiliki usia sebaya. Menurut Monks dkk (1999)


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 131<br />

perubahan hubungan tersebut memerlukan<br />

kesinambungan, perubahan memisahkan diri dari<br />

orangtua tanpa disertai perubahan hubungan remaja<br />

menuju teman sebaya akan mengakibatkan remaja<br />

mengalami kesepian<br />

Teman sebaya merupakan sumber status,<br />

persahabatan <strong>dan</strong> rasa saling memiliki yang penting<br />

di sekolah. Teman sebaya dapat mengarahkan remaja<br />

ke arah yang positif atau bahkan ke arah yang negatif.<br />

Pengaruh teman sebaya yang saat ini dapat terlihat<br />

dalam lingkungan sekolah adalah gaya berpakaian,<br />

<strong>dan</strong> gaya rambut yang cenderung sama (pada<br />

perempuan), Hal ini juga dikemukakan oleh Santrock<br />

(2003), yang mengatakan bahwa kelompok teman<br />

sebaya juga merupakan komunitas belajar peranperan<br />

sosial <strong>dan</strong> standar yang berkaitan dengan kerja<br />

<strong>dan</strong> prestasi. Seorang remaja akan lebih banyak<br />

menghabiskan waktu bersama teman-temannya<br />

dibandingkan orangtuanya, hal ini tentu dirasakan<br />

oleh setiap individu, dimana keberadaan teman<br />

menjadi sangat penting dalam fase remaja. Hal ini<br />

didukung pula oleh Sullivan yang menyatakan bahwa<br />

seorang remaja menghabiskan 103 menit per hari<br />

untuk melakukan interaksi yang berarti <strong>dan</strong> 28 menit<br />

untuk berkomunikasi dengan orangtuanya.<br />

Menurut Santrock (2003) dengan a<strong>dan</strong>ya<br />

interaksi dengan teman sebaya, remaja dapat belajar<br />

mengenai hubungan timbal balik, prinsip kejujuran<br />

<strong>dan</strong> keadilan, serta dapat meneliti minat teman<br />

sebaya dalam upaya memudahkan remaja dalam<br />

melakukan penyesuaian diri kepada aktivitas teman<br />

sebayanya yang se<strong>dan</strong>g berlangsung. Selain itu,<br />

dengan a<strong>dan</strong>ya interaksi yang akrab dengan teman<br />

sebayanya, remaja meningkatkan harga diri <strong>dan</strong><br />

kemampuan sosial remaja (Desmita, 2005).<br />

METODE PENELITIAN<br />

Metode yang digunakan dalam penelitian ini<br />

menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode<br />

penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang<br />

tidak mementingkan kedalaman data, pemecahan<br />

masalahnya didominasi oleh peran statistik (Sukardi,<br />

2011)<br />

Desain penelitian ini adalahh expost facto,<br />

Kerlinger (dalam Nazir, 1999) mengatakan bahwa<br />

penelitian expost facto adalah penyelidikan secara<br />

empiris yang sistematik dimana peneliti tidak<br />

mempunyai kontrol langsung terhadap variabelvariabel<br />

bebas (independent variables) karena<br />

Teman sebaya memiliki peranan yang begitu<br />

penting sehingga para remaja berusaha melakukan<br />

beragam cara agar bisa diterima oleh teman<br />

sebayanya. A<strong>dan</strong>ya penerimaan dari teman sebayanya<br />

dapat dilihat dari persepsi mereka atas reaksi dari<br />

teman sebayanya. Apabila mereka meman<strong>dan</strong>g<br />

bahwa teman sebayanya dapat menerima mereka<br />

maka mereka akan tahu bagaimana mereka mesti<br />

berperilaku dalam kelompok. Sebaliknya, bila mereka<br />

meman<strong>dan</strong>g bahwa mereka tidak diterima oleh<br />

kelompoknya maka berbagai akibat negatif akan<br />

timbul. Mereka akan merasa kesepian, tidak aman,<br />

memiliki konsep diri yang negatif, kurang memiliki<br />

pengalaman belajar, sedih, kurang memiliki<br />

keterampilan sosial, <strong>dan</strong> melakukan penyesuaian<br />

sosial secara berlebihan.<br />

Hal ini diperkuat oleh Santrock (2003), yang<br />

menyatakan bahwa pengabaian <strong>dan</strong> penolakan dari<br />

teman sebaya juga dapat mengakibatkan para remaja<br />

merasa kesepian <strong>dan</strong> timbul rasa permusuhan yang<br />

selanjutnya berhubungan dengan kesehatan mental<br />

individu <strong>dan</strong> masalah kriminal. Selain itu, penolakan<br />

dari teman sebaya dalam pertemanan dapat<br />

memunculkan perilaku-perilaku negatif. Miller-<br />

Johnson, dkk (1999) dengan penelitian<br />

longitudinalnya menemukan bahwa a<strong>dan</strong>ya<br />

penolakan dari teman sebaya dapat memunculkan<br />

perilaku agresif <strong>dan</strong> beberapa perilaku menyimpang<br />

pada masa remaja.<br />

Melihat a<strong>dan</strong>ya keterkaitan tersebut, peneliti<br />

tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan<br />

menguji lebih lanjut mengenai pengaruh antara<br />

persepsi penerimaan teman sebaya terhadap kesepian<br />

pada remaja.<br />

manifestasi fenomena telah terjadi atau karena<br />

fenomena sukar dimanipulasikan.<br />

Pada penelitian ini, subjek penelitian tidak<br />

diberikan perlakuan sehingga data yang di ambil<br />

adalah apa yang telah dialami subjek. Untuk<br />

mendapatkan data yang diinginkan, maka pada<br />

penelitian ini menggunakan alat ukur berbentuk<br />

kuesioner dengan skala Likert. Dalam penelitian ini,<br />

variabel bebasnya yaitu persepsi penerimaan teman<br />

sebaya (X), se<strong>dan</strong>gkan variabel terikatnya adalah<br />

kesepian (Y).


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 132<br />

HASIL DAN DISKUSI<br />

Tabel 1.<br />

Jumlah Responden Berdasarkan<br />

Wilayah Tempat Tinggal<br />

No Asal Kotamadya Jumlah<br />

1 Jakarta Pusat 30<br />

2 Jakarta Barat 30<br />

3 Jakarta Timur 30<br />

Jumlah 90 orang<br />

Tabel 2.<br />

Jumlah Responden Berdasarkan<br />

Jenis Kelamin<br />

No Jenis Jumlah Persentase<br />

Kelamin<br />

(%)<br />

1 Laki-laki 31 34,44<br />

2 Perempuan 59 65,56<br />

Jumlah 90 100<br />

40<br />

35<br />

30<br />

25<br />

20<br />

15<br />

10<br />

5<br />

0<br />

12-14 tahun 15-17 tahun 18-21 tahun<br />

Gambar 1. Jumlah responden berdasarkan usia<br />

Berdasarkan kategorisasi data, dapat terlihat<br />

bahwa remaja yang berada dalam kategori tinggi<br />

dalam variabel kesepian berjumlah 25 orang, yang<br />

berada dalam kategori rendah berjumlah 23 orang,<br />

se<strong>dan</strong>gkan sisanya tidak terkategorisasi. Maka dapat<br />

disimpulkan bahwa sebesar 27.78% remaja dari<br />

seluruh responden mengalami tingkat kesepian yang<br />

tinggi.<br />

Selanjutnya, dalam variabel persepsi<br />

penerimaan teman sebaya, terdapat 23 orang berada<br />

dalam kategori rendah, 29 orang tidak terkategori<br />

<strong>dan</strong>, 38 orang berada dalam kategori tinggi. Maka<br />

sebesar 42.22% remaja dari jumlah responden<br />

berada dalam kategori tinggi.<br />

Dari hasil penelitian dengan analisis regresi<br />

sederhana, didapat persamaan regresi Y = 55.265 –<br />

0.216X. Persamaan tersebut bermakna bahwa<br />

variabel kesepian (Y) rata-rata akan berubah sebesar<br />

-0,216 untuk setiap unit perubahan yang terjadi<br />

pada variabel persepsi penerimaan teman sebaya<br />

(X). Berdasarkan penghitungan, nilai F=5.786 yang<br />

memiliki signifikansi 0,018 maka didapatkan bahwa<br />

terdapat pengaruh yang signifikan antara persepsi<br />

penerimaan teman sebaya terhadap kesepian pada<br />

remaja.<br />

Berdasarkan perolehan tersebut dapat<br />

disimpulkan bahwa persepsi penerimaan teman<br />

sebaya memiliki pengaruh terhadap kesepian pada<br />

remaja di Jakarta. Besarnya sumbangan pengaruh<br />

persepsi penerimaan teman sebaya terhadap<br />

kesepian diketahui dengan melihat perolehan nilai<br />

Adjusted R Square. Nilai Adjusted R Square yang<br />

diperoleh pada penelitian ini sebesar 0.051 atau<br />

sebersar 5.1%. Hal ini menunjukkan bahwa sisa nya<br />

sebesar 94.9% dipengaruhi oleh faktor lain selain<br />

dari penerimaan teman sebaya. Secara statistik nilai<br />

ini memberikan penjelasan bahwa kesepian<br />

dipengaruhi oleh persepsi penerimaan teman<br />

sebaya.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 133<br />

Persepsi penerimaan teman sebaya merupakan<br />

salah satu hal yang memperngaruhi kesepian pada<br />

remaja. Selain hal tersebut terdapat pula hal lain<br />

yang mempengaruhi perasaan kesepian pada<br />

remaja, salah satunya adalah hubungan dengan<br />

keluarga, keluarga adalah salah satu kebutuhan<br />

pokok bagi perkembangan individu dalam rangka<br />

pembentukan karakter yang baik. Dalam<br />

prakteknya, beberapa orangtua mengetahui hal ini<br />

namun mengabaikannya dengan alasan mengejar<br />

karier atau materi demi kebahagiaan. Demikian pula<br />

dengan keefektifan komunikasi dengan orangtua<br />

yang merupakan hal penting pula dalam<br />

perkembangan seorang remaja. Hal ini diteliti oleh<br />

Marika (2007), hasil dari penelitian ini menunjukan<br />

bahwa ada pengaruh yang signifikan antara<br />

keefektifan komunikasi dengan orangtua terhadap<br />

perasaan kesepian yang dialami oleh remaja.<br />

Perasaan kesepian yang dialami remaja ini<br />

bukan semata-mata disebabkan oleh remaja itu<br />

sendiri, melainkan dikarenakan oleh kualitas<br />

hubungan dengan orang-orang disekitarnya, Seperti<br />

yang diketahui, masa remaja juga merupakan masa<br />

dimana seseorang remaja memulai hubungan<br />

dengan teman lawan jenisnya, jika remaja tersebut<br />

dapat menjalin kualitas hubungan yang baik dengan<br />

lawan jenisnya, maka perasaan kesepian yang<br />

dialami oleh remaja tersebut tidak akan tinggi,<br />

namun jika kualitas hubungan dengan lawan<br />

jenisnya kurang baik, maka remaja tersebut akan<br />

lebih mudah untuk mengalami kesepian.<br />

Kesepian yang dialami remaja banyak<br />

dikarenakan karena hubungan dengan teman-teman<br />

sebayanya yang kurang baik. salah satunya dengan<br />

penerimaan dari teman-teman sebayanya. Semakin<br />

diterima oleh teman sebayanya, makan akan<br />

semakin berkurang perasaan kesepian yang<br />

dirasakan. Seorang remaja yang dapat diterima<br />

dengan baik oleh teman sebayanya akan merasakan<br />

perasaan nyaman, serta menyenangkan jika berada<br />

di lingkungan teman sebayanya, hal ini merupakan<br />

suatu hal yang penting karena menjalin hubungan<br />

yang baik dengan teman sebayanya juga merupakan<br />

salah satu tugas perkembangan yang seharusnya<br />

dijalani oleh remaja.<br />

KESIMPULAN DAN SARAN<br />

Berdasarkan hasil pengolahan data<br />

statistik, dapat diambil kesimpulan bahwa Ho<br />

ditolak, sehingga Ha diterima. Kesimpulannya yaitu<br />

terdapat pengaruh yang signifikan persepsi<br />

penerimaan teman sebaya terhadap kesepian pada<br />

remaja.<br />

Saran :<br />

1. Kepada remaja, diharapkan mampu<br />

menyesuaikan diri serta membangun interaksi yang<br />

baik dalam lingkungan sosialnya, terutama<br />

kelompok teman sebaya agar tercipta hubungan<br />

yang sehat agak terhindar dari perasaan kesepian.<br />

2. Kepada orangtua, diharapkan mampu menjaga<br />

efektitias komunikasi dengan anaknya, karena<br />

keluarga tetap memegang peranan utama dalam<br />

proses perkembangan remaja, supaya terhindar dari<br />

perasaan kesepian.<br />

3. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan mampu<br />

mengembangkan penelitian mengenai kesepian di<br />

kalangan remaja dengan variabel selain penerimaan<br />

teman sebaya, supaya dapat menambah wawasan<br />

mengenai psikologi perkembangan <strong>dan</strong> sosial pada<br />

remaja.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Azwar, S. 2001. Reliabilitas <strong>dan</strong> Validitas.<br />

Yogyakarta: Pustaka Pelajar<br />

Burns, D.D., 1988. Terapi Kognitif. Pendekatan<br />

Baru Bagi Penanganan depresi. Penerbit<br />

Erlangga. Jakarta<br />

Burns, R. B. 1993. Konsep Diri Teori <strong>Pengukuran</strong>,<br />

Perkembangan, <strong>dan</strong> Perilaku (Terjemahan<br />

Eddy). Jakarta: Arcan.<br />

Chaplin, J.P.2004. Kamus Umum <strong>Psikologi</strong><br />

(Penerjemah Kartino Kertono). Jakarta :<br />

PT. Raja Grafindo Persada<br />

De Jong Gierveld, J & Till Burg, T.V. (1999).<br />

Manual of The Loneliness Scale. Vrije<br />

Universiteit Amsterdam<br />

Desmita.2005. <strong>Psikologi</strong> Perkembangan. Bandung:<br />

PT Remaja Rosdakarya.<br />

Graham, B. 1995. Kesepian: Bagaimana cara<br />

menyembuhkannya? Sukses <strong>dan</strong> Prestasi:<br />

Rahasia Pembaharuan Diri. 04, 11-17.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 134<br />

Hurlock, Elizabeth B. 1968. Developmental<br />

Psychology Edisi ketiga terjemahan. New<br />

York: Mc Graw-Hill Book Company.<br />

Hurlock, Elizabeth B. 1980. <strong>Psikologi</strong><br />

Perkembangan. Edisi kelima. Jakarta:<br />

Erlangga.<br />

Kuncono, 2004. Aplikasi Komputer <strong>Psikologi</strong>.<br />

Jakarta: Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas<br />

Persada Indonesia.<br />

Monks, F.J., dkk. 1999. <strong>Psikologi</strong> Perkembangan,<br />

Pengantar dalam berbagai bagiannya.<br />

Yoygakarta: Gadjah Mada University<br />

Press<br />

Nazir, Moh. 1999. Metodologi <strong>Penelitian</strong>. Jakarta:<br />

Ghalia Indonesia<br />

Papalia Diane. E, Sally Wendkos Olds, Ruth Duskin<br />

Feldman. 2001. Human Development eight<br />

edition. New York: Mc Graw Hill<br />

Papalia Diane. E. 1995.Human Development.<br />

NewYork, Mc Graw Hill<br />

Pepleu, L.A., <strong>dan</strong> Perlman, D. 1982. Loneliness : A<br />

Sourcebook of Current Theory, Research<br />

and Therapy. New York: John Wiley <strong>dan</strong><br />

Sons<br />

Priyatno, Duwi. 2011. SPSS Analisis Statistik Data.<br />

Yogyakarta :MediaKom<br />

Rangkuti, Anna Armeini. 2010. Analisis Data<br />

<strong>Penelitian</strong> Kuantitatif dengan SPSS.<br />

Universitas Negeri Jakarta<br />

Rangkuti, Anna Armeini. 2012. Statistika<br />

Inferensial untuk <strong>Penelitian</strong> <strong>Psikologi</strong> <strong>dan</strong><br />

Pendidikan. Universitas Negeri Jakarta<br />

Rice, F.Philip. 2005. The Adolescence,<br />

Development, Relationship and Culture.<br />

Boston: Pearson<br />

Riduwan <strong>dan</strong> Sunarto. 2009. Pengantar Statistika<br />

untuk <strong>Penelitian</strong>. Alfabeta: Bandung.<br />

Russell, D., (1996). UCLA Loneliness Scale<br />

(Version3): Reliability, Validity, and Factor<br />

Structure. Journal of Personality Assessment.<br />

Volume: 66. Issue: 1. Publication Year:<br />

1996. Page Number: 40<br />

Santrock, John W. 2003. Perkembangan Remaja<br />

edisi terjemahan. Jakarta: Erlangga.<br />

Santrock, John W. 2008. Adolescence. New York :<br />

Mc Graw-Hill International Edition.<br />

Shaffer D.R (2001). Developmental psychology.<br />

USA: Wadsworth.<br />

Sharaswaty, NT. 2009. Hubungan Kesepian <strong>dan</strong><br />

Agresi pada Remaja yang Berpacaran.<br />

Universitas Indonesia<br />

Sukardi. 2011. Metodologi <strong>Penelitian</strong> Pendidikan<br />

Kompetensi <strong>dan</strong> Praktiknya. Jakarta: Bumi<br />

Aksara<br />

Walgito, Bimo.2002.Pengantar <strong>Psikologi</strong> Urnum.<br />

Yogyakarta : Andi<br />

http://www.tribunnews.com/2011/03/18/dua-gadisdi-bawah-umur-tertangkap-nyabu<br />

http://www.antaranews.com/view/?i=1171934446&<br />

c=INT&s=<br />

http://www.legalisasiganja.com/mengapa-remajalebih-menyukai-ganja-daripada-alkohol/<br />

NIDA<br />

http://www.scribd.com/doc/67029284/Hubungan-<br />

Antara-Konsep-Diri-Dengan<br />

http://www.4skripsi.com/metodologipenelitian/teknik-pengambilan-sampelpenelitian.html#ixzz1pjfObXj7


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 135<br />

PENGARUH PENYESUAIAN DIRI TERHADAP KECEMASAN<br />

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA<br />

DI PANTI ASUHAN MUSLIMIN<br />

Aghnia Fathunnisa<br />

<strong>Psikologi</strong><br />

Fakultas Ilmu Pendidikan<br />

Universitas Negeri Jakarta<br />

Jl. Rawamangun Muka, Jakarta Timur<br />

E-mail: aghniafathunnisa@yahoo.com<br />

Abstract<br />

The objective of this study is to determine the influence of personal adjustment toward interpersonal<br />

communication anxiety in the teenagers of Muslimin Orphanage. The variables in this study were personal<br />

adjustment as variable (X) and interpersonal communication anxiety variables as variable (Y).<br />

Data analysis technique that is used to test the hypothesis is a simple regression using SPSS version<br />

16.00. Based on calculations, the value of F = 50.207 with a significant value of 0.000. Regression equation Y = -<br />

6245 + 0.976X and the influence of personal adjustment toward interpersonal communication anxiety 0.558<br />

(55.8%), which means that personal adjustment affects communication anxiety in adolescent students in an<br />

orphanage by 55.8% and the remaining 44.2% is affected by other than personal adjustment. Hence, Ho is<br />

rejected and Ha is accepted so it can be concluded that there was a significant effect on personal adjustment<br />

toward interpersonal communication anxiety in adolescents in an orphanage.<br />

Keywords: Personal adjustment, Interpersonal communication anxiety<br />

1. Pendahuluan<br />

Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi<br />

dengan manusia lain untuk melangsungkan<br />

kehidupannya. Di dalam berinteraksi antara<br />

manusia yang satu dengan yang lainnya tidak<br />

dapat terlepas dari kegiatan komunikasi.<br />

Manusia yang normal akan selalu terlibat<br />

komunikasi dalam melakukan interaksi dengan<br />

sesamanya sepanjang kehidupannya. Salah satu<br />

tempat terdekat manusia melakukan interaksi<br />

<strong>dan</strong> berkomunikasi adalah keluarga.<br />

Keluarga adalah tempat utama bagi<br />

individu untuk mendapatkan pengalaman<br />

bersosialisasi pertama kalinya. Orang tua<br />

mempunyai peran penting dalam kehidupan<br />

untuk memenuhi kebutuhan psikologis anak,<br />

khususnya pada remaja. Remaja dalam mencari<br />

jati diri tentunya tidak bisa melepaskan diri<br />

dari kodratnya untuk senantiasa berhubungan<br />

dengan orang lain. Namun, di antara mereka<br />

ada yang dihadapkan pada kenyataan untuk<br />

berpisah dari keluarga karena suatu alasan<br />

sehingga menjadi yatim, piatu atau yatim-piatu<br />

bahkan memungkinkan mereka menjalani hidup<br />

di panti asuhan dengan segala keterbatasannya.<br />

Kondisi ini cenderung menyebabkan<br />

ketidaklengkapan dalam hidupnya baik secara<br />

fisik maupun psikologis, terlebih ketika anak<br />

tersebut sudah memasuki masa remaja.<br />

Pada dasarnya remaja berada di masa yang<br />

cenderung belum mempunyai tempat yang jelas.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 136<br />

Mereka sudah tidak termasuk golongan anakanak,<br />

tetapi belum juga dapat diterima secara<br />

penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa.<br />

Remaja ada di antara anak-anak <strong>dan</strong> orang<br />

dewasa. Oleh karena itu, remaja diidentikkan<br />

dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan<br />

<strong>dan</strong> badai” (Mohammad Ali <strong>dan</strong> Asrori, 2009:<br />

9).<br />

Masa remaja adalah masa transisi dari<br />

masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang<br />

diikuti dengan berbagai masalah yang ada<br />

karena a<strong>dan</strong>ya perubahan fisik, psikis <strong>dan</strong><br />

sosial. Masa peralihan itu banyak menimbulkan<br />

kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian terhadap<br />

dirinya maupun terhadap lingkungan sosial. Hal<br />

ini dikarenakan remaja merasa bukan kanakkanak<br />

lagi tetapi juga belum dewasa <strong>dan</strong> remaja<br />

ingin diperlakukan sebagai orang dewasa<br />

(Hurlock, 1994:174).<br />

Dengan segala keterbatasan yang ada di<br />

panti, remaja cenderung memiliki rasa ingin<br />

tahu yang lebih besar <strong>dan</strong> hal ini memaksa<br />

untuk melakukan komunikasi dengan orang<br />

lain. Komunikasi memiliki peran yang sangat<br />

vital bagi kehidupan manusia. Melalui<br />

komunikasi manusia dapat menyampaikan<br />

pesan atau informasi kepada orang lain sehingga<br />

dapat berhubungan atau berinteraksi antara satu<br />

dengan yang lain dengan melakukan<br />

komunikasi (Cangara,2009: 1).<br />

Komunikasi interpersonal berlangsung di<br />

antara individu, bersifat mempribadi <strong>dan</strong><br />

dibangun atas sendi-sendi pengakuan <strong>dan</strong><br />

penghargaan yang tinggi atas martabat<br />

manusiawi. Maka komunikasi Interpersonal<br />

(kerap disebut juga komunikasi antarpribadi)<br />

mampu memanusiawikan manusia sebagai<br />

pribadi yang pantas <strong>dan</strong> selayaknya dihormati,<br />

dihargai <strong>dan</strong> diberdayakan.<br />

Menurut sejumlah penelitian 75% dari<br />

seluruh waktu kita dipakai untuk komunikasi<br />

(Stewart &Moss 2001) sehingga komunikasi<br />

sangat dibutuhkan <strong>dan</strong> penting bagi setiap<br />

manusia, karena komunikasi merupakan media<br />

dalam hubungan antar pribadi.<br />

Dalam proses komunikasi ada salah satu<br />

masalah yang dihadapi dalam berkomunikasi<br />

yang dikenal dengan istilah hambatan<br />

komunikasi (communication apprehension).<br />

Burgoon <strong>dan</strong> Ruffner (1978) dalam buku<br />

“Human Communication” menjelaskan bahwa<br />

communication apprehension merupakan istilah<br />

yang tepat untuk menggambarkan reaksi negatif<br />

dalam bentuk kecemasan yang dialami<br />

seseorang dalam pengalaman komunikasinya,<br />

baik itu kecemasan berbicara di muka umum<br />

maupun kecemasan komunikasi antar pribadi<br />

(dalam Lita Hadiati,2002).<br />

Kecemasan dalam berkomunikasi pada<br />

dasarnya adalah gejala yang normal dalam<br />

berinteraksi, namun jika kecemasan tersebut<br />

berlebihan akan menjadi masalah yang serius.<br />

Ketidakmampuan seseorang dalam<br />

berkomunikasi dapat menyebabkan komunikasi<br />

menjadi terhambat, <strong>dan</strong> membentuk seseorang<br />

menjadi pribadi yang pasif. Hasil komunikasi<br />

menjadi tidak tercapai karena proses pertukaran<br />

pesan yang tidak efektif. Dalam situasi cemas<br />

seseorang cenderung melakukan mekanisme<br />

pertahanan diri (fight) atau melarikan diri<br />

(flight) sebagai bentuk upaya penyesuaian diri<br />

pada kecemasan tersebut.<br />

Burgoon <strong>dan</strong> Ruffner (1978) dalam<br />

Mariani mengemukakan tentang kecemasan<br />

komunikasi interpersonal , yaitu :<br />

1. Unwillingness, tidak kesediaan untuk<br />

berkomunikasi berkomunikasi. Individu<br />

tidak berminat berkomunikasi disebabkan<br />

a<strong>dan</strong>ya rasa cemas, sifat introvert, <strong>dan</strong><br />

rendahnya frekuensi partisipasi dalam<br />

berbagai situasi komunikasi<br />

2. Avoiding (penghindaran), Individu<br />

cenderung menghindar terlibat dalam<br />

berkomunikasi, dapat disebabkan a<strong>dan</strong>ya<br />

kecemasan, atau kurang pengenalan situasi<br />

komunikasi yang mempengaruhi intimasi<br />

<strong>dan</strong> empati.<br />

3. Control, rendahnya pengendalian terhadap<br />

situasi komunikasi yang terjadi karena,<br />

faktor lingkungan, ketidakmampuan<br />

menyesuaikan diri dengan individu yang<br />

berbeda, reaksi dari lawan bicara.<br />

Ada dua kebutuhan yang mendorong<br />

manusia sehingga ingin berkomunikasi dengan<br />

manusia lainnya, yakni kebutuhan untuk<br />

mempertahankan kelangsungan hidupnya <strong>dan</strong><br />

kebutuhan untuk menyesuaikan diri.<br />

Kemampuan menyesuaikan diri merupakan<br />

usaha untuk mencapai keharmonisan <strong>dan</strong><br />

keseimbangan dengan lingkungan<br />

(Cangara,2009: 2).<br />

Penyesuaian diri diperlukan pada setiap<br />

tahapan manusia di dalam kehidupan untuk<br />

bersosialisasi dengan lingkungannya. Akan<br />

tetapi, hal tersebut lebih diperlukan khususnya<br />

pada tahap masa remaja. Pada masa tersebut,<br />

remaja dihadapkan pada berbagai kegoncangan<br />

<strong>dan</strong> perubahan di dalam dirinya, baik perubahan<br />

fisik, psikologis maupun sosial. Perubahan-


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 137<br />

perubahan yang begitu cepat menuntut<br />

kemampuan individu mengikuti perubahan<br />

tersebut, tanpa kemampuan mengikuti<br />

perubahan tersebut individu akan mengalami<br />

kesukaran <strong>dan</strong> masalah-masalah pribadi maupun<br />

sosial.<br />

Menurut Haber & Runyon, terdapat lima<br />

karakteristik penyesuaian diri yang efektif,<br />

yaitu:<br />

1. Persepsi yang tepat terhadap realitas<br />

Persepsi yang tepat terhadap realitas<br />

merupakan salah satu prasyarat agar dapat<br />

menyesuaikan diri dengan baik dalam<br />

lingkungan. Individu yang dapat<br />

menyesuaikan diri dengan baik dapat<br />

menentukan tujuan efektif yang dapat<br />

dicapainya. Salah satu aspek penting dalam<br />

mempersepsikan realitas secara tepat adalah<br />

kemampuan mengenali konsekuensi dari<br />

setiap tindakan sehingga dapat mengarahkan<br />

tindakan yang akan dilakukan.<br />

2. Kemampuan mengatasi kecemasan <strong>dan</strong> stres<br />

Individu menyadari a<strong>dan</strong>ya<br />

kepentingan dalam berhubungan dengan<br />

orang lain. Terka<strong>dan</strong>g seseorang berharap<br />

untuk mendapat kepuasan sesegera<br />

mungkin, namun seringkali hal tersebut<br />

terhalang oleh kenyataan yang terjadi,<br />

kemudian muncul rasa tidak nyaman <strong>dan</strong><br />

stres. Individu tidak dapat berharap meraih<br />

tujuan dalam waktu tertentu <strong>dan</strong> harus<br />

menyadari untuk menunda kebutuhan agar<br />

tercapainya tujuan. Individu yang mampu<br />

menyesuaikan diri dengan baik ialah apabila<br />

ia mampu menetapkan tujuan, mengatasi<br />

berbagai masalah <strong>dan</strong> konflik yang terjadi<br />

dalam hidupnya.<br />

3. Citra diri yang positif<br />

Para psikolog berpan<strong>dan</strong>gan bahwa<br />

persepsi terhadap diri sendiri merupakan<br />

indikator dari penyesuaian diri. Salah<br />

satunya adalah dengan meman<strong>dan</strong>g diri<br />

secara positif. Namun perlu diingat untuk<br />

tidak melupakan realitas yang ada dalam<br />

diri. Apabila seseorang mampu mengetahui<br />

<strong>dan</strong> memahami dirinya secara realistis, maka<br />

ia dapat mengetahui berbagai potensi yang<br />

dimiliki sebagai sumber kekuatan dalam<br />

dirinya.<br />

4. Kemampuan untuk mengekspresikan<br />

perasaan<br />

Kemampuan mengekspresikan perasaan<br />

sangat dibutuhkan dalam proses penyesuaian<br />

diri tiap individu. Beberapa individu tidak<br />

dapat mengekspresikan emosinya secara<br />

bebas. Di sisi lain, beberapa individu dapat<br />

sangat mengekspresikan perasaannya secara<br />

bebas. Penyesuaian diri yang baik<br />

memerlukan keseimbangan di antara<br />

keduanya. Individu yang sehat secara mental<br />

dapat merasakan, mengekspresikan emosi<br />

<strong>dan</strong> perasaannya secara menyeluruh.<br />

Walaupun demikian, ketika seseorang dapat<br />

mengekspresikan perasaannya maka hal<br />

yang perlu diperhatikan adalah bagaimana<br />

individu tersebut menampilkan emosinya<br />

secara realistis <strong>dan</strong> dibawah kontrol dirinya.<br />

5. Hubungan interpersonal yang baik<br />

Aspek yang penting dalam hubungan<br />

interpersonal yang menyenangkan adalah<br />

melibatkan berbagai perasaan <strong>dan</strong> emosi.<br />

Individu yang dapat menyesuaikan diri<br />

dengan baik mampu melakukan hubungan<br />

interpersonal di tingkat kedekatan tertentu.<br />

Mereka kompeten <strong>dan</strong> nyaman dalam<br />

berhubungan dengan orang lain (Haber. A &<br />

Runyon. RP, 1984: 10-18).<br />

Demikian pula khususnya dengan remaja<br />

yang tinggal dipanti asuhan, mereka harus<br />

menyesuaikan diri dengan lebih baik. Karena<br />

jika tidak bisa, maka akan timbul masalahmasalah<br />

seperti tidak kerasan, kurang terbuka<br />

<strong>dan</strong> masih banyak lagi masalah yang dapat<br />

ditimbulkan. Remaja yang dapat menyesuaikan<br />

dir dengan dengan baik maka tidak akan<br />

mengalami kesulitan yang berarti dalam<br />

melakukan komunikasi dengan orang lain, tetapi<br />

bagi remaja yang kurang dalam menyesuaikan<br />

diri dengan lingkungannya maka akan<br />

menimbulkan masalah-masalah dalam<br />

komunikasi, seperti merasakan kecemasan bila<br />

berkomunikasi ada rasa canggung berbicara<br />

dengan lawan bicaranya <strong>dan</strong> sebagainya.<br />

Menurut Haber & Runyon, penyesuaian<br />

diri yang efektif dapat terjadi jika individu dapat<br />

menerima keterbatasan-keterbatasan yang tidak<br />

dapat diubah namun tetap melakukan modifikasi<br />

terhadap keterbatasan-keterbatasan itu seoptimal<br />

mungkin (penyesuaian diri aktif). Se<strong>dan</strong>gkan<br />

penyesuaian diri yang tidak efektif adalah jika<br />

seseorang hanya menerima kenyataan secara<br />

pasif <strong>dan</strong> tidak melakukan usaha apapun untuk<br />

mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.<br />

(Azizah,2010)<br />

Dalam diri remaja tentu berbeda<br />

penyesuaian diri maupun kecemasan yang<br />

dialami antara remaja satu dengan yang lainnya.<br />

Berdasarkan keterkaitan penyesuaian diri<br />

terhadap kecemasan komunikasi interpersonal


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 138<br />

sesuai dengan uraian di atas, maka peneliti<br />

tertarik untuk meneliti pengaruh penyesuaian<br />

diri terhadap kecemasan komunikasi<br />

interpersonal pada remaja di Panti Asuhan<br />

Muslimin.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Variabel – variabel yang digunakan dalam<br />

penelitian ini adalah sebagai berikut :<br />

a. Penyesuaian diri merupakan suatu usaha yang<br />

dilakukan oleh individu untuk menyesuaikan<br />

tuntutan diri sendiri dengan lingkungan, baik<br />

secara aktif maupun pasif yang melibatkan<br />

respon mental, sikap <strong>dan</strong> tingkah laku, sehingga<br />

dapat tercapai hubungan yang harmonis antara<br />

diri dengan lingkungannya. karakteristikkarakteristik<br />

penyesuaian diri yang efektif<br />

menurut Runyon & Haber, yaitu: persepsi yang<br />

akurat terhadap realitas, kemampuan mengatasi<br />

stres <strong>dan</strong> kecemasan, citra diri yang positif,<br />

kemampuan mengekspresikan perasaan, <strong>dan</strong><br />

hubungan interpersonal yang baik.<br />

b. Kecemasan komunikasi interpersonal yaitu<br />

merupakan ketakutan, kekhawatiran, berupa<br />

perasaan negatif yang dirasakan individu dalam<br />

melakukan komunikasi, biasanya berupa<br />

perasaan tegang, gugup, atau pun panik yang<br />

dialami individu dalam melakukan komunikasi<br />

ketika berada didalam situasi tertentu, baik<br />

dalam situasi komunikasi yang nyata ataupun<br />

komunikasi yang akan dilakukan individu<br />

dengan orang lain maupun dengan orang banyak.<br />

kecemasan komunikasi interpersonal dalam<br />

penelitian ini adalah skor total yang diperoleh<br />

dari pengisian skala kecemasan komunikasi<br />

interpersonal. Kriteria kecemasan komunikasi<br />

interpersonal yang digunakan dalam penelitian<br />

ini yaitu dari teori kecemasan komunikasi oleh<br />

Burgoon <strong>dan</strong> Ruffner (dalam Mariani). Aspekaspek<br />

dari kecemasan komunikasi yaitu<br />

Unwillingness, Avoiding, Control.<br />

Subyek Penelitin<br />

Populasi adalah wilayah genaralisasi yang<br />

terdiri atas subjek atau objek dengan kualitas <strong>dan</strong><br />

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti<br />

untuk dipelajari <strong>dan</strong> kemudian ditarik kesimpulan<br />

(Etta <strong>dan</strong> Sopiah, 2010: 185). Adapun populasi dalam<br />

penelitian ini adalah remaja laki-laki <strong>dan</strong> perempuan<br />

yang tinggal di Panti Asuhan Muslimin. Dalam<br />

penelitian ini terdapat sebanyak 40 subjek yang<br />

terlibat. karena sesuai dengan kriteria yang ditetapkan<br />

penulis. Adapun Kriteria sampel adalah sebagai<br />

berikut:<br />

1. Remaja laki-laki <strong>dan</strong> perempuan yang tinggal di<br />

panti asuhan.<br />

2. Memiliki rentang usia antara 12 hingga 18<br />

tahun.<br />

3. Tingkat pendidikan SMP <strong>dan</strong> SMA.<br />

Pertimbangan menggunakan kriteria di atas<br />

karena subjek yang dibutuhkan dalam penelitian ini<br />

adalah remaja, maka penulis hanya menggunakan<br />

subjek yang berusia remaja pada usia 12 sampai 18<br />

tahun yang dimana terjadi perkembangan fisik,<br />

psikologis <strong>dan</strong> sosial yang sangat pesat. Hurlock<br />

(2000) menyatakan pada usia remaja banyak masalah<br />

sosial yang menjadi gangguan psikis bagi remaja,<br />

antara lain penyesuaian diri dengan masyarakat <strong>dan</strong><br />

norma-norma yang berlaku di dalamnya.<br />

Sampel adalah bagian dari jumlah <strong>dan</strong><br />

karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik<br />

pengambilan sampel yang digunakan dalam<br />

penelitian ini yaitu sampling purposif, Teknik<br />

sampling purposif adalah teknik penentuan sampel<br />

dengan pertimbangan tertentu (Etta <strong>dan</strong> Sopiah,<br />

2010: 189).<br />

Metode Pengumpulan Data<br />

Skala penyesuaian diri yang digunakan dalam<br />

penelitian ini menggunakan skala model Likert <strong>dan</strong><br />

disusun berdasarkan acuan teori penyesuaian diri<br />

yang efektif dari Haber <strong>dan</strong> Runyon.<br />

Skala penyesuaian diri berjumlah 60 butir aitem<br />

yang terdiri dari 28 aitem favorable <strong>dan</strong> 32<br />

unfavorable. Jawaban yang tersedia adalah sangat<br />

setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), <strong>dan</strong> sangat<br />

tidak setuju (STS). Subjek diminta untuk memilih<br />

satu dari alternatif jawaban.<br />

Hasil dari pengujian terhadap validitas Skala<br />

penyesuaian diri menghasilkan perhitungan validitas,<br />

maka didapatkan hasil butir skala yang tersisih adalah<br />

sebanyak 30 butir dari total 60 butir, sehingga butir<br />

yang valid berjumlah 30 butir. Dari uji coba, peneliti<br />

juga melakukan pengujian reliabilitas skala dengan<br />

menggunakan teknik reliabilitas alpha. Hasil uji<br />

reliabilitas alpha sebesar 0,824.<br />

Skala kecemasan komunikasi interpersonal yang<br />

digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala<br />

model Likert <strong>dan</strong> disusun berdasarkan kriteria<br />

kecemasan komunikasi yang efektif dari teori<br />

kecemasan komunikasi oleh Burgoon <strong>dan</strong> Ruffner<br />

(dalam Mariani).


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 139<br />

Skala kecemasan komunikasi interpersonal<br />

berjumlah 60 butir aitem yang terdiri dari 30 aitem<br />

favorable <strong>dan</strong> 30 unfavorable. Jawaban yang tersedia<br />

adalah sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju<br />

(TS), <strong>dan</strong> sangat tidak setuju (STS). Subjek diminta<br />

untuk memilih satu dari alternatif jawaban.<br />

Hasil dari pengujian terhadap validitas Skala<br />

kecemasan komunikasi interpersonal menghasilkan<br />

perhitungan validitas, maka didapatkan hasil butir<br />

skala yang tersisih adalah sebanyak 25 butir dari total<br />

60 butir, sehingga butir yang valid berjumlah 35<br />

butir. Dari uji coba, peneliti juga melakukan<br />

pengujian reliabilitas skala dengan menggunakan<br />

teknik reliabilitas alpha. Hasil uji reliabilitas alpha<br />

sebesar 0,870.<br />

3. Hasil <strong>dan</strong> Diskusi<br />

Hasil<br />

a. Penyesuaian Diri<br />

Hasil kategorisasi maka dapat diambil kesimpulan<br />

bahwa 12 responden atau sebesar 30% masuk ke<br />

dalam kategori rendah, <strong>dan</strong> 11 responden atau<br />

sebesar 27,5% masuk ke dalam kategori tinggi.<br />

b. Kecemasan Komunkasi Interpersonal<br />

Hasil kategorisasi maka dapat diambil kesimpulan<br />

bahwa 11 responden atau sebesar 27,5% masuk<br />

ke dalam kategori tinggi, <strong>dan</strong> 7 responden atau<br />

sebesar 17,5% masuk ke dalam kategori rendah.<br />

Uji Prasyarat<br />

Pengujian normalitas dalam penelitian ini<br />

menggunakan Shapiro Wilk karena jumlah sampel 40<br />

responden dengan kriteria pengujian berdistribusi<br />

normal apabila signifikansi Shapiro Wilk (p) > taraf<br />

signifikansi (α =0,05). Pengujian variabel<br />

penyesuaian diri <strong>dan</strong> kecemasan komunikasi<br />

interpersonal dapat dilihat pada tabel.<br />

Hasil Perhitungan Uji Normalitas Data<br />

Variabel Shapiro Kesimpulan<br />

Wilk (p)<br />

Penyesuaian Diri 0.175 Normal<br />

Kecemasan<br />

Komunikasi<br />

Interpersonal<br />

0.090 Normal<br />

Uji linearitas dilakukan dengan melihat taraf<br />

signifikansi (0,05) curve estimation. Apabila nilai p <<br />

α maka hubungan kedua variabel bersifat linear, <strong>dan</strong><br />

sebaliknya jika nilai p > α maka hubungan kedua<br />

variabel tidak bersifat liniear.<br />

Untuk lebih jelasnya, perhitungan uji linearitas<br />

kedua variabel dapat dilihat pada tabel dibawah ini.<br />

Hasil Uji Linearitas Dengan SPSS Versi 16.0<br />

Variabel<br />

Penyesuaian Diri<br />

Sig. (p) Kesimpulan<br />

terhadap<br />

Kecemasan<br />

Komunikasi<br />

Interpersonal<br />

0.000 Linear<br />

Dari hasil perhitungan diperoleh p = 0,00 dimana<br />

p < 0,05. Maka hubungan kedua variabel adalah<br />

linear.<br />

Uji Hipotesis<br />

Besar pengaruh (Adjusted R Square) variabel<br />

penyesuaian diri terhadap kecemasan komunikasi<br />

interpersonal adalah 0.558 (55.8%), yang artinya<br />

bahwa penyesuaian diri mempengaruhi kecemasan<br />

komunikasi interpersonal sebanyak 55.8% <strong>dan</strong><br />

sisanya 44.2% dipengaruhi oleh faktor lain diluar<br />

penyesuaian diri.<br />

Pembahasan<br />

Dari hasil pengujian dengan analisis regresi<br />

sederhana, diperoleh bahwa terdapat pengaruh yang<br />

signifikan penyesuaian diri terhadap Kecemasan<br />

Komunikasi interpersonal. Hal ini diketahui dari<br />

harga F= 50,207 yang memiliki signifikansi 0,000.<br />

Dari hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan<br />

analisis regresi liniear sederhana, didapat bahwa hasil<br />

perolehan nilai konstanta variabel penyesuaian diri<br />

sebesar -6,245 <strong>dan</strong> nilai koefisien regresi variabel<br />

penyesuaian diri sebesar 0,976. Persamaan regresi<br />

berdasarkan data yang ada, yaitu:<br />

Y = -6.245 + 0.976 X.<br />

Berdasarkan perolehan tersebut dapat<br />

disimpulkan bahwa penyesuaian diri memiliki<br />

pengaruh negatif terhadap kecemasan komunikasi<br />

interpersonal pada remaja di Panti Asuhan Muslimin.<br />

Besarnya sumbangan penyesuaian diri terhadap<br />

Kecemasan Komunikasi interpersonal diketahui<br />

dengan melihat perolehan nilai Adjusted R Square.<br />

Nilai Adjusted R Square yang diperoleh pada<br />

penelitian ini sebesar 55.8% <strong>dan</strong> sisanya 44.2%<br />

dipengaruhi faktor lain selain penyesuaian diri.<br />

Hal ini menunjukkan salah satu faktor yang<br />

mempengaruhi perilaku kecemasan komunikasi<br />

adalah penyesuaian diri. Hasil hipotesis tersebut<br />

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif yang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 140<br />

menjelaskan bahwa jika tingkat penyusuaian diri<br />

semakin baik kecemasan komunikasi semakin<br />

rendah. Apabila penyesuaian diri buruk maka<br />

kecemasan komunikasi semakin tinggi.<br />

Menurut Cangara ada dua kebutuhan yang<br />

mendorong manusia sehingga ingin berkomunikasi<br />

dengan manusia lainnya, yakni kebutuhan untuk<br />

mempertahankan kelangsungan hidupnya <strong>dan</strong><br />

kebutuhan untuk menyesuaikan diri. Kemampuan<br />

menyesuaikan diri merupakan usaha untuk mencapai<br />

keharmonisan <strong>dan</strong> keseimbangan dengan lingkungan.<br />

Jadi apabila seseorang mengalami kecemasan dalam<br />

berkomunikasi maka seseorang itu sulit untuk<br />

menyesuaikan diri. Menurut Haber & Runyon<br />

Karakteristik penyesuaian diri, yaitu persepsi<br />

terhadap realitas, kemampuan mengatasi stres <strong>dan</strong><br />

kecemasan, citra diri yang positif, kemampuan<br />

mengekspresikan perasaan, <strong>dan</strong> hubungan<br />

interpersonal yang baik hal ini juga berkaitan dengan<br />

berkomunikasi.<br />

Jika dilihat dari hasil penelitian yang telah<br />

dilakukan, faktor yang mempengaruhi kecemasan<br />

komunikasi bukan hanya penyesuaian diri saja saja,<br />

hal ini dibuktikan dengan nilai koefisien determinasi<br />

sebesar 55.8% Berarti peneysuaian diri<br />

mempengaruhi kecemasan komunikasi sebesar 55.8%<br />

<strong>dan</strong> sisanya dipengaruhi oleh faktor lainnya misalnya<br />

kepercayaan diri, harga diri, konsep diri ataupun hal<br />

lainnya yang dapat mempengaruhi. Dari keseluruhan<br />

pembahasan ini maka dapat disimpulkan bahwa<br />

bahwa penyesuaian diri mempengaruhi kecemasan<br />

komunikasi pada remaja di Panti Asuhan Muslimin.<br />

Semakin baik penyesuain diri maka semakin rendah<br />

kecemasan komunikasi interpersonal.<br />

4. Kesimpulan<br />

<strong>Penelitian</strong> ini mengkaji masalah pengaruh<br />

penyesuaian diri terhadap kecemasan komunikasi<br />

interpersonal pada remaja di Panti Asuhan Muslimin.<br />

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat pengaruh yang<br />

signifikan antara penyesuaian diri dengan kecemasan<br />

komunikasi interpersonal remaja di Panti Asuhan<br />

Muslimin.<br />

Daftar Pustaka<br />

Ali &Asrori. (2009). Psikolgi Remaja. Jakarta: Bumi<br />

Aksara<br />

Azwar, Saifudin. (2007). Penyusunan Skala<br />

<strong>Psikologi</strong>.Yogyakarta: Pustaka Pelajar<br />

Bandung:Remaja Rosdakarya<br />

Cangara, H. (2009). Pengantar Ilmu Komunikasi.<br />

Jakarta: Raja Grafindo<br />

Chaplin J.P. 2006. Kamus Lengkap <strong>Psikologi</strong>. Jakarta<br />

: PT.Raja Grafindo Persada.<br />

Crain, William. (2007). Teori Perkembangan.<br />

Yogyakarta: Pustaka Pelajar<br />

Enjang. (2009). Komunikasi Konseling.Bandung:<br />

Nuansa Cendekia<br />

Etta <strong>dan</strong> Sopiah. (2010). Metodologi <strong>Penelitian</strong>.<br />

Yogyakarta: ANDI<br />

Fausiah, F & Widury, J. (2008). <strong>Psikologi</strong> Abnormal<br />

Klinis Dewasa. Jakarta: Universitas<br />

Indonesia (UI-press)<br />

Gerungan ,W.A. (1991). <strong>Psikologi</strong> Sosial . Bandung:<br />

Eresco.<br />

Gunarsa,S. (2008). <strong>Psikologi</strong> Perawatan. Jakarta:<br />

BPK Gunung Mulia<br />

Haber, and Runyon. (1984). Pschology of Adjusment.<br />

Illionis: TheDorsey Press<br />

Hurlock E.B. (2000). <strong>Psikologi</strong> Perkembangan :<br />

Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang<br />

Kehidupan (Terjemahan : Istiwidayati).<br />

Jakarta : Erlangga.<br />

Hurlock, E. B. (1980). <strong>Psikologi</strong> Perkembangan<br />

Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga<br />

Hurlock, E. B. (1994). <strong>Psikologi</strong> Perkembangan<br />

Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga<br />

John W Santrock. (2003). Perkembangan Remaja<br />

(edisi terjemahan). Jakarta: Erlangga<br />

Kuncono. (2004). Aplikasi Komputer <strong>Psikologi</strong>.<br />

Jakarta: Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas<br />

Persada Indonesia<br />

M.A, Morissan & Wardhani. (2008). Teori<br />

Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia<br />

Persada.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 141<br />

Rakhmat, Jalaluddin. (2002). <strong>Psikologi</strong><br />

Komunikasi.Bandung: PT Remaja<br />

Rosdakarya<br />

Rakhmat, Jalaluddin. (2009). <strong>Psikologi</strong> Komunikasi.<br />

Bandung: PT Remaja Rosdakarya<br />

Ramadhani, Hapriyanita. (2012). Perbedaan<br />

Kecemasan Komunikasi Antara Mahasiswa<br />

yang Mengikuti Pendekatan Pembelajaran<br />

Student Centered Learning Dengan Teacher<br />

Centered Learning. Skripsi Universitas<br />

Sumatera Utara<br />

Triana, Azizah. (2010). pengaruh penyesuaian diri<br />

terhadap kompetensi interpersonal pada<br />

siswa kelas VII full day school di Jakarta<br />

Selatan. Skripsi Universitas Negeri Jakarta<br />

Uchjana,Onong. (2005). Ilmu Komunikasi (Teori <strong>dan</strong><br />

Praktek). Bandung:Remaja Rosdakarya.<br />

Uchjana,Onong. (2008). Dinamika Komunikasi.<br />

Bandung:Remaja Rosdakarya<br />

Wahjudi, Sugeng. (2009). Tingkat <strong>dan</strong> Faktor-Faktor<br />

Kecemasan Komunikasi Mahasisiwa<br />

Dengan Dosen. <strong>Jurnal</strong> Ilmu Komunikasi<br />

Vol.3 No.1<br />

Winarsunu, Tulus. (2002). Statistik dalam penelitian<br />

<strong>Psikologi</strong> <strong>dan</strong> Pendidikan. Malang:<br />

Universitas Muhammadiyah<br />

Wulandari, Lita Hadiati . (2002). Efektivitas<br />

Modifikasi Perilaku Kognitif Untuk<br />

Mengurangi Kecemasan Komunikasi Antar<br />

Pribadi. Thesis Universitas Sumatera Utara<br />

http://pksa_kemensos.com/wpcontent/uploads/2011/0<br />

1/standart-pengasuhan.pdf<br />

diunduh tanggal 1 Juni 2012<br />

http://www.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=sFVih<br />

7igmEEC&oi=fnd&pg=PA5&dq=kecemasan+komun<br />

ikasi+interpersonal<br />

diunduh tanggal 1 juni 2012<br />

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=komunik<br />

asi%20pada%20masa%20remaja&source=web&cd=<br />

7&ved=0CEcQFjAG&url=http%3A%2F%2Fperpust<br />

akaan.uns.ac.id%2Fjurnal<br />

diunduh tanggal 5 juni 2012


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 142


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 143<br />

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN DIRI<br />

PADA WANITA INFERTILITAS<br />

Nurhasyanah<br />

<strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Rawamangun, DKI Jakarta<br />

adhespin@gmail.com<br />

Abstract<br />

This study aims to determine the factors that influence self-acceptance in women who<br />

experience infertility. This study uses a qualitative method approach to the case study technique.<br />

Characteristics among the study subjects had been married for at least three years, had never given<br />

birth, and there is no any proximity to the researchers.<br />

The data was collected using the methods of observation and interviews. Data were analyzed<br />

using qualitative data analysis with a technical examination of the validity of the data using the<br />

technique of triangulation. Triangulation is used in this study is the triangulation of data sources and<br />

methods. Triangulation of data sources that extract data from research subjects and significant others.<br />

Triangulation method to get the data by observation, interviews, and documentation.<br />

The study found that the two subjects in this study is able to accept yourself, but picture<br />

yourself acceptance in both different and influenced by different factors as well. At first the subject<br />

there are several internal factors that influence the acceptance of the subject, including an<br />

understanding of self, realistic expectations, the influence of success, the identification of the person<br />

who has a good adjustment, self-concept is stable. External factors that influence the acceptance of him<br />

as there are no obstacles in the environment, positive social attitudes, and parenting little future. On the<br />

subject of the second, it can be seen several internal factors that influence the acceptance of himself<br />

that is, an understanding of themselves, have realistic expectations, did not experience severe<br />

emotional disturbance, identification with a person who has a good adjustment, a broad perspective of<br />

self, and self-concept subjects stable. In addition, there are also external factors that affect selfacceptance<br />

on the subject that the two of them, good parenting in childhood, positive social attitudes,<br />

and there are no obstacles in the environment. The third external factor is equal to the external factors<br />

that affect self-acceptance on the subject first.<br />

1. Pendahuluan<br />

Bagi seorang wanita yang telah menikah<br />

umumnya memiliki keturunan adalah sebuah<br />

keinginan yang wajar. Peran wanita sebagai<br />

seorang istri akan terasa lengkap dengan hadirnya<br />

buah hati di dalam keluarga yang merupakan<br />

anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Pada<br />

kenyataannya terdapat sebagian wanita yang sulit<br />

memperoleh keturunan hingga bertahun-tahun<br />

menikah. Wanita tersebut mengalami infertilitas.<br />

Infertilitas merupakan kesulitan memperoleh<br />

keturunan pada pasangan (DepKes RI, 2008).<br />

WHO memperkirakan 8-12% pasangan di<br />

dunia mengalami kesulitan untuk memiliki anak<br />

<strong>dan</strong> jumlah ini tersebar di seluruh negara <strong>dan</strong><br />

bagian-bagian (Wiersema, et.al., dalam <strong>Jurnal</strong><br />

Keywords: Self-Acceptance, Women, Infertility<br />

Pemikiran <strong>dan</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>Psikologi</strong>, 2009). Secara<br />

umum, para peneliti medis membedakan infertilitas<br />

menjadi dua bagian, yaitu infertilitas primer<br />

(primary infertility) <strong>dan</strong> infertilitas sekunder<br />

(secondary infertility). Pasangan yang mengalami<br />

infertilitas primer mengalami kegagalan<br />

pembuahan setelah melakukan hubungan seksual<br />

secara teratur tanpa alat kontrasepsi selama<br />

setahun, <strong>dan</strong> pembuahan sama sekali tidak pernah<br />

terjadi. Pasangan disebut mengalami infertilitas<br />

sekunder bila telah terjadi pembuahan, namun tidak<br />

berhasil mempertahankannya (McFalls dalam<br />

Sugiarti, 2008).<br />

Menurut Worlth Health Organization<br />

(WHO) menunjukkan bahwa jumlah pasangan<br />

infertilitas sebanyak 36% diakibatkan a<strong>dan</strong>ya<br />

kelainan pada suami, se<strong>dan</strong>gkan 64% berada pada<br />

istri. Hal ini dialami 17% pasangan yang sudah<br />

menikah lebih dari dua tahun belum mengalami<br />

tanda-tanda kehamilan bahkan sama sekali belum<br />

pernah hamil (Ida, 2010).


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 144<br />

Bila dibanding dengan pria, kondisi wanita<br />

yang tidak memiliki anak menunjukkan a<strong>dan</strong>ya<br />

tekanan (distres) psikososial yang lebih besar (Lee,<br />

Sun, <strong>dan</strong> Chao dalam Sugiarti, 2008). Kondisi ini<br />

dapat terjadi karena masalah infertilitas<br />

mempengaruhi identitas seksual wanita dewasa <strong>dan</strong><br />

self-efficacy-nya akan kehadiran anak di dalam<br />

perkawinannya (Lee dkk, 2001).<br />

Seorang wanita yang mengalami infertilitas<br />

dapat memiliki beragam kondisi psikologis, baik<br />

positif maupun negatif. Seorang wanita yang<br />

mengalami infertilitas pernah merasa sedih <strong>dan</strong><br />

lelah ketika ditanya tentang anak. Wanita yang<br />

mengalami infertilitas tersebut sempat<br />

mengungkapkan perasaannya dalam sebuah<br />

wawancara. Berikut kutipannya:<br />

“Saya sempat merasa cape kalo ditanya<br />

kapan punya anak, sama sodara yang ga<br />

tertalu tau saya? Kenapa belom punya<br />

anak? Saya jadi males ngobrol. Saya<br />

jawab aja sekenananya..saya malah<br />

dibilang sengaja ga punya anak,<br />

padahal kan enggak”<br />

Ungkapan di atas seperti memperlihatkan<br />

kelelahan subjek dalam menanggapi pertanyaan<br />

kerabat yang tidak terlalu mengenalnya.<br />

Kerabatnya berprasangka bahwa subjek sengaja<br />

menunda kehamilan, yang pada kenyataannya tidak<br />

sama sekali. Anggapan negatif tersebut sering kali<br />

menjadi suatu hal yang menyudutkan bagi seorang<br />

wanita yang belum memiliki anak.<br />

“Bagi saya, saya belum sempurna, masih<br />

belum lengkap karena saya belum<br />

memberikan anak bagi suami saya..saya<br />

cemas, jika sampai tua nanti saya tidak<br />

memiliki anak, siapa yang mau merawat<br />

saya <strong>dan</strong> suami saya..sedih”<br />

Subjek merasa bahwa dirinya bukanlah istri<br />

yang baik atau sempurna seperti istri-istri lainnya<br />

karena ia belum memiliki keturunan dalam<br />

pernikahannya. Kekhawatiran akan masa tua pun<br />

datang, subjek bertanya-tanya <strong>dan</strong> sangat cemas<br />

bila sampai tua nanti ia tidak memiliki keturunan.<br />

Menyalahkan diri sendiri <strong>dan</strong> diliputi rasa sedih<br />

yang mendalam menjadi hal yang sering terjadi<br />

dalam diri subjek.<br />

Menurut Dr. Kartini Kartono dalam<br />

bukunya yang berjudul <strong>Psikologi</strong> Wanita jilid II,<br />

wanita yang tidak memiliki anak dianggap salah<br />

atau mempunyai kelainan. Persepsi seperti itu<br />

terbentuk dengan sendirinya terutama karena<br />

didukung oleh nilai <strong>dan</strong> budaya di suatu<br />

lingkungan. Adat, kebiasaan, <strong>dan</strong> religi dari banyak<br />

suku di dunia menegaskan bahwa wanita yang<br />

tidak mampu untuk melahirkan anak adalah<br />

inferior. Selanjutnya, Kartono memamaparkan<br />

bahwa hampir setiap bangsa di dunia ini selalu<br />

menyalahkan <strong>dan</strong> melemparkan tanggung jawab<br />

sepenuhnya kepada wanita apabila tidak mampu<br />

melahirkan seorang anak. Selain itu dikalangan<br />

orang Yahudi <strong>dan</strong> muslim, serta di tengah bangsabangsa<br />

di Afrika <strong>dan</strong> Indian Amerika,<br />

ketidakhadiran anak dijadikan sebab utama bagi<br />

pria untuk menceraikan istrinya.<br />

Bahkan UU Perkawinan tahun 1974 yang<br />

mengatur ketentuan perkawinan Indonesia<br />

menyatakan bahwa seorang suami diizinkan untuk<br />

menikah dengan lebih dari satu wanita, bila wanita<br />

yang sebelumnya dinikahi tidak mampu melahirkan<br />

anak (Sarwono dalam Sugiarti, 2008).<br />

Bila dikaji lebih lanjut, UU Perkawinan<br />

tersebut terkesan memojokkan wanita yang tidak<br />

mampu untuk memiliki anak. Maka dapat<br />

disimpulkan bahwa seorang istri harus merelakan<br />

suaminya untuk menikah dengan wanita lain lagi,<br />

<strong>dan</strong> bukan hal yang mudah bagi wanita untuk dapat<br />

menerima keputusan tersebut dengan baik. Di<br />

Indonesia, sosok istri yang dianggap ideal adalah<br />

istri yang mampu memiliki anak, <strong>dan</strong> bila ia tidak<br />

mampu, dirinya harus merelakan suaminya untuk<br />

mendapatkan keturunan (Sarwono dalam Sugiarti,<br />

2008). Terlebih lagi, media informasi <strong>dan</strong> hiburan<br />

yang banyak menampilkan tentang idealnya sebuah<br />

keluarga <strong>dan</strong> seorang wanita bila memberikan<br />

keturunan untuk suaminya.<br />

Banyak wanita yang ingin merasakan<br />

menjadi seorang ibu <strong>dan</strong> menikmatinya (Donelson<br />

dalam Sugiarti, 2008). Lebih lanjut lagi Donelson<br />

menjelaskan bahwa terdapat beberapa streotipe<br />

sosial bahwa menjadi ibu merupakan pencapaian<br />

utama bagi seorang wanita.<br />

Oleh karena itu dengan a<strong>dan</strong>ya masalah<br />

yang berkaitan dengan status sebagai wanita<br />

dewasa, tekanan di dalam masyarakat untuk<br />

memiliki anak, maka reaksi yang ditunjukkan oleh<br />

wanita yang mengalami infertilitas adalah depresi,<br />

perasaan bersalah, helpness, cemas, <strong>dan</strong> takut (Bird<br />

& Mellville dalam Sugiarti, 2008). Tentunya reaksi<br />

tersebut dapat mengganggu kesejahteraan<br />

psikologis pada wanita yang mengalami infertilitas.<br />

Ryff (dalam Papalia dkk, 2004) menyatakan<br />

bahwa salah satu dimensi kesejahteraan psikologis<br />

adalah penerimaan diri (self acceptance).<br />

Penerimaan diri dianggap sebagai ciri-ciri penting<br />

dalam kesehatan mental seseorang <strong>dan</strong> juga sebagai<br />

karakteristik aktualisasi diri, optimal functioning,<br />

<strong>dan</strong> kematangan.<br />

Menurut Anderson (dalam Hurlock, 1986),<br />

penerimaan diri ini sangat berpengaruh terhadap<br />

bagaimana seseorang menjalani hidup. Seseorang<br />

yang mampu menerima dirinya dengan baik, maka<br />

ia akan melihat <strong>dan</strong> berlaku secara jujur, tanpa<br />

harus merekayasa apa yang ada dalam dirinya agar<br />

terlihat baik untuk dirinya sendiri maupun orang<br />

lain. Penerimaan diri ini diperlukan untuk<br />

menyatukan tubuh, pikiran, <strong>dan</strong> jiwa. Kebutuhan<br />

ini sama pentingnya dengan self appraisal untuk<br />

perkembangan moral <strong>dan</strong> spiritual. Wanita yang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 145<br />

mengalami infertilitas dapat menimbulkan<br />

penerimaan diri negatif. Respon awal yang timbul<br />

adalah menutup diri, merasa bersalah, cemas,<br />

stress, tidak berdaya, <strong>dan</strong> tertekan yang demikian<br />

itu dapat mempengaruhi penerimaan diri individu,<br />

bagaimana individu meman<strong>dan</strong>g dirinya <strong>dan</strong><br />

menyikapi kondisi tersebut.<br />

Menurut Hurlock (1986), penerimaan diri<br />

merupakan sikap positif yaitu ketika individu<br />

menerima dirinya sebagai manusia. Individu<br />

tersebut dapat mengatasi keadaan emosionalnya<br />

(takut, marah, cemas, <strong>dan</strong> lain-lain) tanpa<br />

mengganggu orang lain. Penerimaan diri yang baik<br />

hanya akan terjadi bila individu ingin <strong>dan</strong> mampu<br />

memahami keadaan dirinya sebagaimana a<strong>dan</strong>ya,<br />

bukan sebagaimana yang diiginkannya. Selain itu,<br />

memiliki harapan yang realistis sesuai dengan<br />

kemampuannya. Dengan demikian, jika individu<br />

memiliki konsep yang menyenangkan <strong>dan</strong> rasional<br />

mengenai dirinya, maka dapat dikatakan individu<br />

tersebut menyukai <strong>dan</strong> menerima dirinya.<br />

Hurlock (1986) menjelaskan ada beberapa<br />

kondisi yang dapat mendukung seseorang dalam<br />

mencapai penerimaan diri, salah satunya adalah<br />

tidak a<strong>dan</strong>ya stres yang berat. Besarnya tekanan,<br />

baik dari dalam maupun luar diri yang dihadapi<br />

seorang wanita infertilitas dapat menyebabkan stres<br />

yang cukup berat. Stres yang cukup berat ini<br />

mungkin dapat mengganggu penerimaan diri<br />

seorang wanita yang mengalami infertilitas.<br />

Sebuah proses penerimaan diri yang baik<br />

bagi wanita yang telah menikah <strong>dan</strong> mengharapkan<br />

kehadiran anak merupakan hal yang sangat luar<br />

biasa, karena tidak mudah untuk mencapainya.<br />

Besarnya tekanan <strong>dan</strong> patokan nilai yang dihadapi<br />

seorang wanita yang belum memiliki anak baik dari<br />

dalam dirinya maupun dari luar dirinya seperti<br />

keluarga atau lingkungan sekitarnya dapat<br />

menghambat seorang wanita dalam mencapai<br />

penerimaan diri.<br />

Berdasarkan penjelasan diatas peneliti<br />

tertarik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja<br />

yang dapat mempengaruhi penerimaan diri pada<br />

wanita yang mengalami infertilitas.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>Penelitian</strong> ini menggunakan pendekatan<br />

kualitatif. Alasan peneliti menggunakan<br />

pendekatan kualitatif ialah agar penggalian data<br />

secara mendalam mengenai faktor-faktor apa saja<br />

yang mempengaruhi penerimaan diri pada wanita<br />

yang mengalami infertilitas dapat diketahui. Oleh<br />

karena itu kurang tepat bila dilakukan melalui<br />

pendekatan kuantitatif yang menampilkan data<br />

dalam bentuk angka-angka (Poerwandari, 2005).<br />

<strong>Penelitian</strong> kualitatif merupakan metode yang<br />

memiliki banyak fokus, yang meliputi pendekatan<br />

interpretatif <strong>dan</strong> alamiah terhadap subjek.<br />

<strong>Penelitian</strong> kualitatif dimaksudkan sebagai jenis<br />

penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh<br />

melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan<br />

lainnya (Sudjiwanati, dalam <strong>Jurnal</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Psikovidya 2006). Melakukan penelitian kualitatif<br />

peneliti dapat mempelajari penelitiannya lebih<br />

detail <strong>dan</strong> mendalam. <strong>Penelitian</strong> ini diarahkan pada<br />

latar <strong>dan</strong> individu secara keseluruhan atau holistik<br />

<strong>dan</strong> dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata<br />

<strong>dan</strong> bahasa, pada suatu konteks khusus yang<br />

alamiah <strong>dan</strong> dengan memanfaatkan berbagai<br />

metode ilmiah (Moleong, 2010)<br />

Peneliti kualitatif mempelajari hal-hal dalam<br />

setting alamiah, serta berusaha membuat kaitan<br />

atau interpretasi dari suatu fenomena (Denzin &<br />

Lincoln, 1994). Data yang dihasilkan <strong>dan</strong> diolah<br />

dalam penelitian kualitatif adalah data yang<br />

sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara,<br />

catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, <strong>dan</strong><br />

lain sebagainya (Poerwandari, 2005). Dengan data<br />

kualitatif, seseorang dapat membuat alur kronologis<br />

<strong>dan</strong> melihat secara akurat peristiwa-peristiwa yang<br />

mengarah pada suatu konsekuensi, serta<br />

menghasilkan penjelasan yang kaya (Miles &<br />

Huberman, 1994).<br />

<strong>Penelitian</strong> kualitatif merupakan penelitian<br />

yang memanfaatkan wawancara untuk menelaah<br />

<strong>dan</strong> memahami sikap, pan<strong>dan</strong>gan, perasaan, <strong>dan</strong><br />

perilaku individu atau sekelompok orang. Hal ini<br />

sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh<br />

peneliti yaitu untuk memperoleh data empiris<br />

mengenai penerimaan diri pada wanita yang<br />

mengalami infertilitas.<br />

Pendekatan metode kualitatif yang<br />

digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus.<br />

Alasan menggunakan pendekatan studi kasus<br />

dalam penelitian ini ialah untuk memperoleh<br />

pemahaman utuh <strong>dan</strong> terintegrasi mengenai<br />

interrelasi berbagai fakta <strong>dan</strong> dimensi kasus khusus<br />

tersebut (Poerwandari, 2005). Kasus itu dapat<br />

berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi,<br />

komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Kasus dapat<br />

pula berupa keputusan, kebijakan, proses, atau<br />

suatu peristiwa tertentu (Punch dalam Poerwandari,<br />

2005).<br />

Terdapat tiga cara yang bisa digunakan<br />

dalam mengumpulkan data dalam penelitian<br />

kualitatif, yaitu wawancara mendalam <strong>dan</strong> terbuka,<br />

observasi langsung, <strong>dan</strong> penelitian dokumendokumen<br />

tertulis (Patton dalam Moleong, 2010).<br />

Sumber data dalam penelitian ini adalah<br />

wanita yang mengalami infertilitas dengan masa<br />

pernikahan minimal dua tahun.<br />

Subjek yang terdapat dalam penelitian ini<br />

berjumlah dua orang. Berbeda dengan penelitian<br />

kuantitatif yang jumlah sampel <strong>dan</strong> cara<br />

pengambilannya mendapat perhatian serius untuk<br />

tujuan generalisasi, pada penelitian kualitatif yang<br />

berfokus pada proses, cenderung dilakukan dengan<br />

jumlah kasus yang sedikit. Tidak ada aturan yang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 146<br />

pasti dalam jumlah subjek yang harus diambil<br />

untuk penelitian kualitatif. Jumlah subjek sangat<br />

tergantung pada apa yang ingin diketahui dalam<br />

penelitian, tujuan penelitian. Konteks pada saat itu,<br />

apa yang dianggap bermanfaat <strong>dan</strong> dapat dilakukan<br />

dengan waktu <strong>dan</strong> sumber daya yang tersedia<br />

(Poerwandari, 2005).<br />

Untuk mendapatkan pemahaman yang<br />

mendalam terhadap fenomena yang ingin diteliti<br />

<strong>dan</strong> agar dapat melakukan perbandingan diantara<br />

subjek penelitian, maka subjek harus lebih dari satu<br />

orang.<br />

Subjek dalam penelitian ini adalah dua<br />

orang wanita yang mengalami infertilitas. Berikut<br />

karakteristik subjek dalam penelitian ini<br />

diantaranya:<br />

a. Subjek telah menikah selama minimal dua<br />

tahun masa pernikahan,<br />

b. Subjek belum pernah sama sekali<br />

mengandung <strong>dan</strong> melahirkan, <strong>dan</strong><br />

c. Subjek tidak memiliki hubungan kekerabatan<br />

dengan peneliti, agar data yang diperoleh<br />

lebih valid.<br />

<strong>Penelitian</strong> ini memilih dua orang subjek <strong>dan</strong><br />

satu orang significant person, yakni salah satu<br />

anggota keluarga subjek (suami atau saudara<br />

kandung subjek) atau tetangga subjek.<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

1. Dinamika <strong>Psikologi</strong>s Subjek I<br />

Subjek pertama dalam penelitian ini<br />

berinisial KS. KS merupakan seorang wanita yang<br />

kini berusia 38 tahun. KS tumbuh <strong>dan</strong> berkembang<br />

dalam keluarga yang berekonomi menengah ke<br />

bawah. Kedua orangtua subjek menerapkan pola<br />

asuh yang bebas sesuai dengan keinginan <strong>dan</strong><br />

kewajiban haknya sebagai seorang anak<br />

perempuan. KS lebih dekat dengan figur ayah<br />

daripada ibu. KS merasa lebih sering<br />

menghabiskan waktu masa kecilnya bersama ayah<br />

daripada ibu. Menurutnya, ibu lebih banyak<br />

memperhatikan saudara kandungnya daripada<br />

dirinya. Hal tersebut tidak menjadi halangan KS<br />

untuk tetap dapat bergaul atau bersosialisasi dengan<br />

teman-teman sebayanya. Pada saat KS duduk di<br />

kelas lima MI, ayah KS meninggal. KS merasa<br />

sedih <strong>dan</strong> bingung bagaimana menjalani hidup<br />

tanpa orang yang selama masa kanak-kananknya<br />

sering bersama. Setelah kepergian ayahnya, KS<br />

melakukan operasi usus buntu. Kedua hal tersebut<br />

cukup menyita kebahagiaan KS saat itu,<br />

menghadapi kepergian ayah <strong>dan</strong> harus melakukan<br />

operasi tanpa orang yang ia sayangi. Keluarga<br />

terdekat KS tetap menemani <strong>dan</strong> mendukungnya<br />

dalam menjalani kehidupan selanjutnya tanpa ayah,<br />

sehingga KS harus memiliki cara terbaik agar<br />

dirinya tak terus-menerus mengingat almarhum<br />

ayahnya. Coping yang KS lakukan saat itu ialah<br />

bermain <strong>dan</strong> lebih banyak membantu ibunya dalam<br />

mencukupi kebutuhan keluarga. Ibu KS berjuang<br />

lebih keras lagi untuk mencukupi segala kebutuhan<br />

hidup dengan berdagang di rumah. KS pun ikut<br />

merasakan kondisi tersebut, melihat perjuangan <strong>dan</strong><br />

mencoba membantu usaha ibunya saat itu.<br />

KS tumbuh <strong>dan</strong> berkembang sesuai dengan<br />

tugas-tugas perkembangan individu pada<br />

umumnya. KS mengenyam pendidikan hanya<br />

sampai tingkat Sekolah Dasar. KS merasa lelah<br />

untuk melanjutkan pendidikannya kembali karena<br />

sebelumnya KS bersekolah di Madrasah Ibtidayah<br />

yang cukup menguras pemikirannya. Setelah KS<br />

lulus sekolah KS lebih banyak menghabiskan<br />

waktu bersama teman-teman sebayanya yang<br />

tinggal tidak jauh dari rumahnya. KS merasa<br />

mereka lah yang selalu ada <strong>dan</strong> bisa menenangkan<br />

pikirannya. Teman sebayanya membuat KS<br />

semakin merasa senang <strong>dan</strong> menikmati<br />

kehidupannya tanpa harus memikirkan batas<br />

pendidikannya yang masih dasar saat itu. Berlanjut<br />

hingga masa remajanya, selain bergaul dengan<br />

teman-teman sebayanya, KS juga disibukkan<br />

dengan ikut meramaikan beberapa cabang olahraga<br />

tingkat RT setempat. Cabang olahraga yang KS<br />

ikuti ialah voli, bulu tangkis. Kegiatannya tersebut<br />

ia lakukan karena ajakan teman-teman, tetangga,<br />

<strong>dan</strong> dukungan dari keluarga KS. KS merasa senang<br />

menjalani hal tersebut, walaupun KS mempunyai<br />

tujuan yang tersirat bahwa ia pun ingin membentuk<br />

ba<strong>dan</strong>nya sehingga terlihat lebih proporsional dari<br />

sebelumnya.<br />

Pada saat usia KS genap 26 tahun, KS<br />

menikah dengan seorang pria yang baru dikenalnya<br />

beberapa bulan di sebuah pertemuan singkatnya.<br />

Masa perkenalan KS dengan suaminya hanya dua<br />

hingga tiga bulan saja, setelah itu KS <strong>dan</strong> suami<br />

merasa cocok <strong>dan</strong> siap untuk melanjutkan<br />

hubungan ke pernikahan. Pernikahan yang<br />

sederhana menjadi tujuan keduanya. KS bersedia<br />

menerima perbedaan yang terjadi sebelum <strong>dan</strong><br />

sesudah ia menikah dengan suaminya. Saat<br />

pernikahan berlangsung, keluarga suami KS tidak<br />

dapat menghadiri pernikahannya saat itu, karena<br />

hampir seluruh keluarga suaminya tinggal di<br />

Sumatera Barat. KS mencoba memahami hal<br />

tersebut. Pada awal pernikahannya KS merasa<br />

bahagia karena bisa memiliki suami yang cukup<br />

tampan <strong>dan</strong> berhasil menurutnya kala itu.<br />

Keinginan terbesar KS saat itu ialah segera<br />

mendapatkan anak. Perempuan atau laku-laki KS<br />

tidak terlalu mempermasalahkan, yang terpenting<br />

baginya iala memiliki seorang anak. Baginya anak<br />

merupakan penghibur ketika dirinya gundah. Akan<br />

lengkap rasanya bila KS <strong>dan</strong> suaminya memiliki<br />

keturunan. Anak pun menjadi salah satu tujuan KS<br />

menikah.<br />

Sejak menikah KS tidak tinggal lagi<br />

bersama keluarganya, KS <strong>dan</strong> suami mencari<br />

tempat tinggal yang tidak jauh dari rumah orang


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 147<br />

tua KS. Jika masa kontrak rumah sudah habis, KS<br />

<strong>dan</strong> suami pindah <strong>dan</strong> mencari rumah kontrakan<br />

lagi. Hal tersebut terjadi kurang lebih di tiga tahun<br />

masa perkawinannya. Menginjak masa ke empat<br />

tahun perkawinannya, KS merasa kondisi<br />

hidupnya menurun, baik dari segi fisik maupun<br />

ekonomi. Suami KS mengalami beberapa gejala<br />

penyakit TBC seperti batuk-batuk, nafas tidak<br />

teratur, mudah lelah, <strong>dan</strong> yang lebih terlihat ialah<br />

berat ba<strong>dan</strong> suami KS yang semakin menyusut.<br />

Melihat ciri-ciri tersebut KS sedih <strong>dan</strong> segera<br />

meminta suaminya untuk memeriksakan kondisi<br />

kesehatannya tersebut. Ternyata hasil yang<br />

didapat dari pemeriksaan tersebut ialah suami KS<br />

terkena flek paru-paru. Setiap hari kondisi suami<br />

KS semakin menurun <strong>dan</strong> suami KS memilih<br />

tidak bekerja <strong>dan</strong> beristirahat saja. KS memilih<br />

untuk pindah <strong>dan</strong> tinggal dengan ibu <strong>dan</strong> saudara<br />

kandungnya. Keluarga KS mencoba memahami<br />

keadaan KS yang semakin susah. Harapan KS<br />

untuk memiliki anak seperti apa yang telah ia<br />

inginkan selama ini mulai bergeser oleh harapan<br />

KS membantu kesembuhan suaminya.<br />

Ketidakhadiran anak dalam pernikahannya<br />

membuat KS sadar bahwa ia belum menjadi istri<br />

yang baik. Berbagai solusi <strong>dan</strong> saran KS coba<br />

lakukan <strong>dan</strong> dengan persetujuan suaminya.<br />

Penyakit suami KS belum juga sembuh walaupun<br />

beberapa jalan medis telah dilakukan. Kepergian<br />

KS <strong>dan</strong> suami ke Pa<strong>dan</strong>g lalu kembali ke Jakarta<br />

telah KS lalui. Keluarga suami KS tidak pernah<br />

dirasa menuntutnya untuk segera memiliki anak,<br />

namun KS merasa sedih <strong>dan</strong> berusaha menjauh<br />

ketika berkumpul dengan keluarga atau kerabat<br />

ketika acara-acara tentu berlangsung. Hal tersebut<br />

diketahui suaminya, namun suami KS tidak sama<br />

sekali menyalahkannya. KS sering mencoba usaha<br />

untuk melakukan hubungan suami isteri dengan<br />

suaminya <strong>dan</strong> hasilnya nihil. Suami KS lebih<br />

cepat merasa lelah <strong>dan</strong> KS mencoba memahami<br />

keadaan tersebut. Dua belas tahun masa<br />

pernikahannya, dihadapkan dengan masalah yang<br />

pelik menurut orang-orang di sekitarnya. Kondisi<br />

kesehatan suami yang semakin menurun, belum<br />

mempunyai keturunan, <strong>dan</strong> kondisi ekonomi yang<br />

semakin menyita perhatiannya membuat KS harus<br />

berjuang lebih keras lagi. KS menyadari<br />

kekurangannya tersebut, sehingga KS dapat<br />

menerima dirinya. Dukungan <strong>dan</strong> empati yang ia<br />

dapatkan dari orang-orang sekitarnya membuat<br />

KS merasa bahwa dirinya tidak sendiri dalam<br />

menghadapi ujian hidup yang diberikan Tuhan<br />

kepa<strong>dan</strong>ya. KS mencoba menerima kondisi <strong>dan</strong><br />

menjalani berbagai usaha demi kesembuhan <strong>dan</strong><br />

keturunan yang ia damba-dambakan selama ini.<br />

Curahan kasih sayang <strong>dan</strong> semangat KS dapatkan<br />

hingga saat ini terutama dari suami <strong>dan</strong> keluarga<br />

terdekatnya, sehingga KS mampu bertahan <strong>dan</strong><br />

tetap menjalani hidup dengan sebaik-baiknya.<br />

2. Dinamika <strong>Psikologi</strong>s Subjek II<br />

JM merupakan inisial dari subjek kedua<br />

dalam penelitian ini. JM adalah seorang wanita<br />

yang berusia 34 tahun. Sejak kecil JM tinggal<br />

bersama kedua orangtuanya <strong>dan</strong> saudara-saudara<br />

kandungnya. JM tumbuh sebagai seseorang yang<br />

lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Orang<br />

tua JM menerapkan pola asuh yang demokratis,<br />

berlandaskan agama. Keluarga JM tergolong<br />

keluarga yang berekonomi cukup. Dalam hal<br />

pendidikan <strong>dan</strong> fasilitas dapat JM peroleh dengan<br />

mudah. JM lebih dekat <strong>dan</strong> cenderung mengagumi<br />

sosok ibu daripada ayahnya. Ibu baginya<br />

merupakan seseorang yang hebat, mandiri, <strong>dan</strong><br />

bertanggung jawab. Ketika JM se<strong>dan</strong>g<br />

Masa kanak-kanak JM sama dengan<br />

individu lainnya, bersekolah, bermain. JM tidak<br />

mempunyai banyak teman yang akrab dengannya.<br />

JM lebih senang bermain dengan teman yang<br />

memang mengenalnya sejak awal <strong>dan</strong> mempunyai<br />

banyak kesamaan. JM tidak mau berteman terlalu<br />

akrab dengan banyak orang.<br />

Kehilangan sosok ibu membuat JM sedih,<br />

karena ia sempat berpikir tak akan ada lagi yang<br />

menyayanginya. Terlebih lagi setelah beberapa<br />

bulan kepergian ibu, ayah JM menikah kembali<br />

dengan seorang wanita beranak satu. Sejak saat itu<br />

JM semakin sensitif <strong>dan</strong> menyimpan amarah<br />

terhadap ayahnya. Kehadiran ibu tiri dalam<br />

keluarga JM tidak terlalu disukainya. Berulang kali<br />

JM menghalalkan berbagai cara agar ibu tirinya<br />

tersebut tidak betah <strong>dan</strong> pergi dari rumah JM.<br />

Seiring berjalannya waktu ayah JM selalu<br />

memberikan pengertian yang baik terhadap JM.<br />

Begitu pula dengan ibu tiri JM yang tak pernah<br />

marah jika dirinya mendapat perlakuan tidak baik<br />

dari JM. Melihat kesabaran <strong>dan</strong> merasakan<br />

kelembutan ibu tirinya tersebut, pelan-pelan JM<br />

mulai menaruh simpati terhadap wanita tersebut.<br />

Kakak kandung JM pun sering memberi pengertian<br />

terhadapnya bahwa tidak semua ibu tiri itu<br />

berkepribadian buruk.<br />

Setelah tamat SMA, JM ingin melanjutkan<br />

pendidikan ke perguruan tinggi, namun<br />

keinginannya tersebut ditahan oleh ayahnya.<br />

Ayahnya menyarankan JM untuk bekerja terlebih<br />

dahulu, setelah itu barulah melanjutkan kuliah<br />

dengan biaya hasil keringat JM. JM menyetujui<br />

<strong>dan</strong> menjalankan saran tersebut, namun tidak<br />

bertahan lama niatnya untuk melanjutkan<br />

perkuliahan pun gagal. JM terlanjur menikmati<br />

hidupnya sebagai seorang pekerja.<br />

Pada saat dirinya mulai fokus bekerja, ia<br />

bertemu <strong>dan</strong> berkenalan lebih lanjut dengan<br />

seorang pria yang sebenarnya sudah JM kenal<br />

sejak JM masih bersekolah SMA dulu. Tidak lama<br />

selang masa perkenalannya JM kemudian<br />

menikah dengan lelaki yang telah mendapatkan<br />

restu ayahnya. Setelah menikah JM <strong>dan</strong> suami<br />

tinggal di rumah orangtua JM, namun hanya


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 148<br />

berlangsung hingga dua tahun masa<br />

pernikahannya saja. Suami JM merasa kurang<br />

puas jika masih tinggal dengan orangtua JM, maka<br />

dari itu suami JM mencari rumah kontrakan <strong>dan</strong><br />

akhirnya menemukan rumah kontrakan yang<br />

lokasinya tak jauh dengan rumah orang tua suami<br />

JM.<br />

Awal pernikahan JM merencanakan ingin<br />

memiliki empat anak dengan sepasang anak<br />

kembar. Keinginannya untuk memiliki anak begitu<br />

besar, terlebih lagi karena ia melihat orang-orang<br />

sekitar, teman-teman sebayanya yang setelah<br />

menikah beberapa bulan segera mendapatkan anak.<br />

suami JM pun menyetujui <strong>dan</strong> mendukung hal<br />

tersebut. Bagi JM memberikan keturunan bagi<br />

suami <strong>dan</strong> keluarga merupakan kesempurnaan<br />

seorang wanita dalam menjalani kodratnya. Suatu<br />

kebanggaan yang hakiki bila seorang wanita telah<br />

menjadi seorang isteri <strong>dan</strong> ibu bagi anak-anaknya<br />

kelak. Bagitu pula dengan suaminya yang secara<br />

tersirat ingin memiliki anak dari rahim JM. Hari<br />

demi hari hinga tahun ke empat masa pernikahan<br />

JM dengan suaminya tak kunjung mendapatkan<br />

keturunan. Kekosongan akan hari-hari yang dilalui<br />

JM kian terasa. Kerabat jauh yang bertemu dengan<br />

JM ketika suatu acara tertentu mulai bertanya silih<br />

berganti. Tak heran JM mengalihkan kegiatan<br />

sehari-harinya dengan bekerja, membantu<br />

perekonomian ia <strong>dan</strong> suaminya. JM sempat merasa<br />

kurang <strong>dan</strong> tidak lengkap dalam menjalani masa<br />

pernikahannya ini, kekosongan <strong>dan</strong> rasa hampa<br />

akan tnagis <strong>dan</strong> canda tawa seorang anak sangat ia<br />

harapkan. Apalagi jika ia melihat suaminya<br />

menggendong anak kecil, keponakan suaminya. JM<br />

merasa belum bisa membahagiakan suaminya.<br />

Akhirnya JM meminta kesediaan suaminya<br />

untuk memeriksakan kondisi kesehatan reproduksi<br />

keduanya ke rumah sakit. Hasil yang didapat<br />

menyatakan bahwa ia mengalami infertilitas,<br />

walaupun tidak ada kelainan. Semakin hari JM<br />

berusaha semakin kuat menerima segala ketentuan<br />

yang Tuhan berikan untuknya, atas keterbatasan<br />

yang ia miliki. JM berusaha menjalankan solusi<br />

yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya. JM<br />

merasa bahwa usaha <strong>dan</strong> masa penantiannya<br />

belum seberapa dibanding dengan masalahmasalah<br />

yang orang lain yang lebih berat. JM<br />

tetap menanti untuk mendapatkan keturunan <strong>dan</strong><br />

merealisasikan segala keinginannya dengan terus<br />

berusaha. Suami <strong>dan</strong> keluarga dekat nya sangat<br />

berperan dalam proses penerimaan diri JM. Tanpa<br />

mereka JM merasa sendiri <strong>dan</strong> semakin kurang<br />

bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya.<br />

JM berpikiran bahwa dirinya harus bisa tegar <strong>dan</strong><br />

mandiri seperti apa yang dicontohkan ibunya<br />

dahulu.<br />

3. Makna Anak<br />

Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk<br />

memiliki anak, <strong>dan</strong> perkawinan merupakan wadah<br />

untuk pengesahan kelahiran anak (Woolet dalam<br />

Lintang, 2008). Begitu pula pada kedua subjek<br />

dalam penelitian ini. Makna anak bagi kedua<br />

subjek sama-sama memberikan pengaruh positif<br />

terutama terhadap diri <strong>dan</strong> suami. Mempunyai anak<br />

merupakan tujuan <strong>dan</strong> kebanggaan bagi setiap<br />

pasangan yang menikah. Namun, pada masingmasing<br />

subjek memiliki pan<strong>dan</strong>gan <strong>dan</strong> kebutuhan<br />

yang berbeda terkait dengan makna anak.<br />

Menurut KS anak adalah harta terindah<br />

bagi setiap keluarga. Kelengkapan keluarga ada<br />

ketika anak hadir di tengah-tengah hidup KS <strong>dan</strong><br />

suaminya. Anak merupakan dambaan setiap<br />

keluarga karena dengan hadirnya anak bisa<br />

menjadi penghibur, penghilang rasa suntuk <strong>dan</strong><br />

sebagainya. Pasangan suami istri yang menikah<br />

ingin merasakan Enjoyment and fun, anak dilihat<br />

sebagai pembawa kebahagiaan <strong>dan</strong> warna bagi<br />

kehidupan orangtua, seperti apa yang diungkapkan<br />

oleh Woolet, Phoenix, <strong>dan</strong> Lloyd (dalam Sugiarti<br />

2008).<br />

Tak pernah terbayangkan oleh KS bahwa<br />

tidak mempunyai anak hingga akhir hayatnya.<br />

Namun, KS juga menyadari kondisi dirinya <strong>dan</strong><br />

suaminya yang menderita penyakit TBC. Selain<br />

mengakibatkan suaminya berhenti bekerja,<br />

kualitas hubungan seksual mereka pun menjadi<br />

tidak semaksimal sebelumnya.<br />

KS mencoba menerima <strong>dan</strong> memahami<br />

keadaan suaminya tersebut dengan cara tidak<br />

memaksakan keadaan untuk memiliki anak. KS<br />

tidak mau memperkeruh keadaan <strong>dan</strong><br />

membebankan impiannya memiliki anak pada<br />

suaminya. Hal yang lebih diharapkannya saat ini<br />

adalah kesembuhan suaminya, karena<br />

pertimbangan beberapa faktor, terutama usia KS<br />

yang kini tak produktif lagi untuk melahirkan.<br />

Namun, kehadiran anak yang menjadi harapannya<br />

setelah dua belas tahun pernikahan masih tetap<br />

ada.<br />

Berbeda dengan KS, JM memiliki makna<br />

tersendiri tentang kehadiran anak dalam hidupnya.<br />

Anak merupakan suatu anugerah terindah yang<br />

diberikan Tuhan kepada hambanya. Tak dapat<br />

terganti kan rasa bahagianya ketika seorang<br />

wanita yang menikah dapat melahirkan anak.<br />

Selain itu, mempunyai anak merupakan<br />

salah satu tujuan utama untuk menikah. Baginya,<br />

wanita yang sempurna adalah wanita yang<br />

menikah <strong>dan</strong> memberikan keturunan untuk<br />

keluarganya, penerus garis keturunan. Seperti<br />

pada salah satu poin makna anak menurut Woolet,<br />

Phoenix, <strong>dan</strong> Lloyd (dalam Sugiarti 2008) yakni,<br />

Expansion of self, menjadi orangtua dapat dilihat<br />

sebagai suatu pertumbuhan, sebagai hal yang<br />

dapat menambah arti bagi kehidupan, memastikan<br />

kelanjutan hubungan sebagai orangtua.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 149<br />

JM juga mengungkapkan bahwa anak<br />

adalah harta yang paling berharga <strong>dan</strong><br />

dinantikannya hingga kapanpun. Empat tahun<br />

pernikahan sudah cukup membuatnya merindukan<br />

kehadiran anak.<br />

Menurut JM, anak merupakan masa depan<br />

bagi setiap pasangan yang menikah. JM berharap<br />

untuk memiliki anak agar di masa tuanya nanti<br />

ada yang merawat JM <strong>dan</strong> suaminya. Bahkan, JM<br />

sempat merasa dirinya belum sempurna sebagai<br />

seorang wanita karena belum memberikan<br />

keturunan dalam pernikahannya. Disaat seperti<br />

itu, suami JM memberikan keyakinan <strong>dan</strong><br />

dukungan yang lebih terhadapnya, sehingga JM<br />

paham bahwa ini semua ketentuan Tuhan. JM <strong>dan</strong><br />

suami masih berharap, berusaha <strong>dan</strong> terutama<br />

berdoa agar suatu saat nanti mereka bisa<br />

mendapatkan anak.<br />

4. Penerimaan Diri<br />

Self acceptance atau penerimaan diri<br />

merupakan suatu kondisi psikologis yang harus<br />

ada pada setiap individu. Self acceptance yang<br />

baik hanya akan terjadi bila individu yang<br />

bersangkutan bersedia <strong>dan</strong> mampu memahami<br />

keadaan dirinya sebagaimana a<strong>dan</strong>ya, bukan<br />

sebagaimana yang diinginkannya. Selain itu ia<br />

juga harus memiliki harapan yang realistis, sesuai<br />

dengan kemampuannya. Dengan demikian bila<br />

seseorang individu memiliki konsep yang<br />

menyenangkan <strong>dan</strong> rasional mengenai dirinya,<br />

maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut dapat<br />

menyukai <strong>dan</strong> menerima dirinya (Hurlock, 2000).<br />

Penerimaan diri pada setiap individu<br />

dipengaruhi sepuluh faktor yang masing-masing<br />

diklasifikasikan dalam dua faktor, faktor internal<br />

<strong>dan</strong> eksternal. Terdapat tujuh faktor internal yang<br />

dapat mempengaruhi penerimaan diri seseorang<br />

yakni pemahaman tentang diri sendiri, harapan<br />

yang realistis, tidak a<strong>dan</strong>ya gangguan emosional<br />

yang berat, pengaruh keberhasilan yang dialami,<br />

identifikasi dengan orang yang memiliki<br />

penyesuaian diri yang baik, perspektif diri yang<br />

luas, <strong>dan</strong> konsep diri yang stabil. Se<strong>dan</strong>gkan<br />

faktor eksternal yang mempengaruhi penerimaan<br />

diri, diantaranya tidak a<strong>dan</strong>ya hambatan di<br />

lingkungan, sikap-sikap sosial yang positif, <strong>dan</strong><br />

pola asuh di masa kecil.<br />

Hurlock (1986:436), memberi pan<strong>dan</strong>gan<br />

bahwa semakin baik seorang individu dapat<br />

menerima dirinya, semakin baik pula penyesuaian<br />

diri <strong>dan</strong> penyesuaian sosialnya. Penyesuaian diri<br />

yang positif adalah a<strong>dan</strong>ya keyakinan <strong>dan</strong> a<strong>dan</strong>ya<br />

harga diri sehingga timbul kemampuan menerima<br />

<strong>dan</strong> membangun kritik demi perkembangan<br />

dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan rasa<br />

aman untuk mengembangkan diri ini<br />

memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya<br />

secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan<br />

potensinya secara efektif.<br />

Semakin baik seseorang menerima dirinya,<br />

maka semakin baik penyesuaian diri <strong>dan</strong><br />

penyesuaian sosialnya. Orang yang memiliki<br />

penyesuaian diri yang baik akan merasa bahagia<br />

<strong>dan</strong> dapat mencapai keberhasilan.<br />

Kedua subjek dapat dikatakan telah<br />

mencapai penerimaan diri. Namun, penerimaan<br />

diri diantara keduanya memiliki gambaran <strong>dan</strong><br />

proses yang berbeda. Penerimaan diri KS<br />

terbentuk oleh pemahaman dirinya yang baik,<br />

konsep diri yang stabil, <strong>dan</strong> dukungan serta<br />

semangat dari suami <strong>dan</strong> keluarga yang termasuk<br />

dalam sikap-sikap sosial yang positif. KS<br />

memahami bahwa saat ini kemungkinannya untuk<br />

memiliki anak lebih kecil dibandingkan dengan<br />

masa-masa awal pernikahannya, selain karena<br />

usianya yang tak lagi produktif, kondisi kesehatan<br />

suami KS pun kurang baik. Pemahaman diri ini<br />

juga membawa KS untuk memiliki harapan yang<br />

lebih realistis, yaitu kesembuhan suaminya.<br />

Harapan ini muncul karena KS memiliki<br />

pemahaman mengenai kekuatan <strong>dan</strong> kelemahan,<br />

keterbatasan atas kemampuan dirinya.<br />

Pemahaman diri KS juga terbentuk karena<br />

KS mau menerima dengan ikhlas <strong>dan</strong> mencoba<br />

untuk tidak terlarut dalam masalah yang<br />

dihadapinya. Sikap ini mampu mencegah a<strong>dan</strong>ya<br />

gangguan emosional yang berat, walaupun<br />

awalnya keinginan KS untuk memiliki anak<br />

sangatlah besar. Tanpa gangguan emosional yang<br />

berat, KS dapat membentuk evaluasi diri yang<br />

positif, KS berusaha menerima <strong>dan</strong> mampu<br />

menjalani hidupnya yang hanya berdua dengan<br />

suaminya tanpa kehadiran anak. Secara tersirat<br />

keinginan terbesar KS saat ini adalah kesembuhan<br />

suaminya.<br />

Keberhasilan KS dalam mempertahankan<br />

rumah tangganya hingga kini merupakan satu<br />

pencapaian yang berarti baginya, sehingga<br />

mendukung KS dalam mendapatkan perasaan<br />

yang tentram. Hal tersebut merupakan<br />

keberhasilan yang terjadi pada diri KS yang akan<br />

membuat KS memiliki penerimaan diri yang<br />

positif.<br />

KS merasa suami <strong>dan</strong> keluarganya selalu<br />

menunjukkan sikap yang positif terhadap dirinya,<br />

mereka tidak pernah menekan KS untuk segera<br />

memiliki anak. Justru mereka memberikan<br />

perhatian <strong>dan</strong> beberapa solusi untuk KS dalam<br />

menghadapi masalahnya. Sehingga KS tidak<br />

merasakan a<strong>dan</strong>ya hambatan di lingkungan<br />

sekitarnya.<br />

Secara keseluruhan, KS telah memenuhi<br />

beberapa faktor internal <strong>dan</strong> faktor internal<br />

sehingga mempengaruhi dirinya untuk melakukan<br />

penyesuaian diri <strong>dan</strong> sosial dengan baik. Hal<br />

tersebut terbukti ketika lingkungan memberikan<br />

dukungan <strong>dan</strong> beberapa solusi untuk KS <strong>dan</strong>


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 150<br />

suami dalam menghadapi masalah rumah<br />

tangganya.<br />

A<strong>dan</strong>ya penerimaan diri yang baik dengan<br />

permasalahan yang dialami KS membuat dirinya<br />

pun mampu dalam melakukan penyesuaian diri<br />

<strong>dan</strong> penyesuaian sosialnya. Terbukti dari KS yang<br />

lebih memprioritaskan hubungan dengan suami,<br />

membantu penyembuhan suami, <strong>dan</strong> menyadari<br />

keadaan yang dialaminya. Harapan memiliki anak<br />

mampu KS sesuaikan dengan kenyataan yang KS<br />

hadapi. Penilaian yang realistis terhadap diri KS<br />

juga menjadikan KS bersikap jujur <strong>dan</strong> tidak<br />

berpura-pura. Penyesuaian sosial KS pun berjalan<br />

dengan baik. KS masih memperhatikan keluarga<br />

<strong>dan</strong> lingkungan sekitarnya. Selain itu, KS mampu<br />

mengatasi keadaan emosionalnya tanpa<br />

mengganggu orang lain.<br />

Berbeda dengan KS, penerimaan diri JM<br />

terbentuk dengan kuat karena konsep diri yang<br />

stabil, pemahaman diri, identifikasi dengan orang<br />

yang mempunyai penyesuaian diri yang baik.<br />

Konsep diri yang stabil mendukung JM untuk<br />

dapat menerima dirinya dengan baik dalam setiap<br />

perubahan yang terjadi pada dirinya. Pemahaman<br />

tentang diri sendiri muncul ketika JM mampu<br />

menyadari kekurangannya yakni belum menjadi<br />

wanita yang sempurna karena belum memiliki<br />

anak. Namun, hal tersebut tidak membuat JM<br />

menjadi pribadi yang menghindar atas ketentuan<br />

yang telah diberikan Tuhan. Terlebih lagi<br />

dukungan <strong>dan</strong> keyakinan dari suaminya bahwa<br />

suatu saat nanti akan mempunyai anak. Semakin<br />

individu memahami dirinya, maka semakin besar<br />

penerimaan individu terhadap dirinya. Ibu<br />

merupakan salah satu faktor yang mendukung<br />

penerimaan diri JM. Sosok ibu baginya<br />

merupakan sosok yang tepat untuk<br />

diidentifikasinya. JM ingin menerapkan beberapa<br />

sikap-sikap positif ibunya. Identifikasi dengan<br />

orang yang mempunyai penyesuaian diri yang<br />

baik dapat membuat JM berproses membentuk<br />

penerimaan diri yang baik pula. Terlihat jelas,<br />

dalam menghadapi masalah yang timbul dengan<br />

orang-orang sekitarnya, semakin membuat JM<br />

mengerti karakteristik mereka <strong>dan</strong><br />

memakluminya. Lebih tegar <strong>dan</strong> mandiri telah ia<br />

terapkan dalam dirinya. Ingin mencontoh sifat<br />

positif ibunya, juga menjadi harapan yang realistis<br />

dalam hidupnya.<br />

Perlu diketahui, harapan JM untuk<br />

memiliki anak sangatlah realistis karena menurut<br />

pemeriksaan, JM memiliki kesempatan yang besar<br />

untuk mendapatkan anak. Selain itu, memiliki<br />

usaha sendiri, seperti yang pernah ibunya lakukan<br />

dulu membuat JM berkeinginan untuk memiliki<br />

warung. Hal tersebut merupakan harapan yang<br />

realistis, sebab dalam prosesnya JM se<strong>dan</strong>g<br />

mengumpulkan modal demi memiliki sebuah<br />

warung.<br />

Prilaku negatif yang JM dapatkan dari<br />

pihak keluarga suaminya tidak yang membuatnya<br />

merasa sangat tertekan. Walaupun awalnya JM<br />

sempat merasa sedih <strong>dan</strong> bingung mengapa<br />

mereka berprilaku seperti itu terhadap dirinya. JM<br />

mencari teman untuk mengeluarkan segala keluh<br />

kesahnya tersebut <strong>dan</strong> akhirnya JM menemukan<br />

adik iparnya sebagai teman berbagi selain dengan<br />

suaminya. Hal tersebut dapat menghindari JM dari<br />

gangguan emosional yang berat.<br />

JM sempat resah ketika teman kerjanya<br />

mengejek <strong>dan</strong> menanyakan kenapa hingga empat<br />

tahun pernikahan ini belum memiliki anak. JM<br />

sempat berpikir bahwa dirinya belum sempurna,<br />

sama seperti yang anggapan teman kerjanya.<br />

Namun, JM berusaha untuk tetap meman<strong>dan</strong>g<br />

dirinya secara positif, dengan keyakinan diri <strong>dan</strong><br />

dukungan suaminya. Hal tersebut juga tidak<br />

membuat JM merasa terhambat dalam menjalani<br />

hidup bersama suaminya.<br />

JM yakin bahwa orang-orang yang lebih<br />

dekatnya dapat memahami bagaimana keadaan<br />

dirinya dengan baik. Hal tersebut terbukti dari<br />

dukungan <strong>dan</strong> solusi yang diberikan oleh keluarga<br />

terdekatnya. Pola asuh yang diterapkan oleh<br />

orangtua JM juga memberikan pengaruh penting<br />

dalam penerimaan diri JM. Sikap positif yang<br />

ditunjukkan oleh suaminya membuat JM tidak<br />

merasa tertekan <strong>dan</strong> dapat menciptakan harapan<br />

yang realistis agar rumah tangganya tetap<br />

langgeng walaupun belum memiliki anak.<br />

Dampak a<strong>dan</strong>ya penerimaan diri pada JM<br />

tentu berpengaruh pada penyesuaian diri <strong>dan</strong><br />

sosialnya. JM lebih mengetahui keterbatasannya<br />

hingga saat ini. Selain itu, JM mampu menilai diri<br />

secara realistis, tanpa harus menjadi orang lain.<br />

Penyesuaian sosial JM dapat terlihat dari<br />

hubungannya dengan lingkungan sekitar seperti<br />

keluarga, teman kerja, <strong>dan</strong> tetangganya, tanpa<br />

harus merasa rendah diri. JM dapat mengatasi<br />

emosi negatifnya tanpa harus mengganggu<br />

lingkungannya.<br />

5. Kesimpulan<br />

Pada dasarnya setiap manusia hidup dengan<br />

karakteristik pribadi yang unik <strong>dan</strong> berbeda satu<br />

sama lain. Demikian halnya pada kedua subjek<br />

dalam penelitian ini. Kedua subjek memiliki<br />

penerimaan diri yang berbeda satu sama lain,<br />

terutama prosesnya. Berdasarkan hasil penelitian<br />

ini, dapat disimpulkan bahwa kedua subjek dapat<br />

dikatakan telah mencapai penerimaan diri.<br />

Penerimaan diri antara keduanya dipengaruhi oleh<br />

faktor internal <strong>dan</strong> faktor eksternal. Walaupun<br />

keduanya dihadapkan dengan kondisi yang sama,<br />

yaitu belum memiliki keturunan hingga lebih dari<br />

dua tahun masa pernikahan.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 151<br />

Penerimaan diri pada subjek pertama<br />

dipengaruhi oleh beberapa faktor internal yang<br />

paling mendasari diantaranya, pemahaman tentang<br />

diri sendiri, harapan yang realistis, tidak a<strong>dan</strong>ya<br />

gangguan emosional yang berat, pengaruh<br />

keberhasilan, konsep diri yang stabil. Tiga faktor<br />

eksternal yang mempengaruhi penerimaan diri<br />

pada subjek pertama diantaranya mendapatkan<br />

sikap-sikap sosial yang positif, tidak a<strong>dan</strong>ya<br />

hambatan di lingkungan, <strong>dan</strong> pola asuh yang baik<br />

dimasa kecil. Pada subjek kedua faktor internal<br />

yang mempengaruhinya ialah pemahaman tentang<br />

diri sendiri, harapan yang realistis, pengaruh<br />

keberhasilan, identifikasi dengan orang yang<br />

memiliki penyesuaian diri yang baik, perspektif<br />

diri yang luas, konsep diri yang stabil. Selain<br />

faktor internal, faktor eksternal pun berperan<br />

dalam proses penerimaan diri pada subjek kedua,<br />

diantaranya pola asuh di masa kecil, sikap-sikap<br />

sosial yang positif, <strong>dan</strong> tidak a<strong>dan</strong>ya hambatan di<br />

laingkungan.<br />

Daftar Pustaka<br />

Brill, R.R. (2000). Emotional Honsety and Self-<br />

Acceptance. United States of America: Xlibris<br />

Corporation.<br />

Creswell, J.W. (2010). Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,<br />

<strong>dan</strong> Mixed. Yogyakarta: Pustaka Belajar.<br />

Departemen Kesehatan RI. (2008). Yang Perlu Diketahui<br />

Petugas Kesehatan tentang: KESEHATAN<br />

REPRODUKSI. Jakarta: Departemen Kesehatan<br />

Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina<br />

Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan<br />

Ibu.<br />

Harga Diri pada Pasangan infertilitas. (2010).Diakses pada<br />

tanggal 6 April 2012 dari<br />

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/111/jtptunim<br />

us-gdl-mahfudikhs-5510-2-babi.pdf<br />

Hermawanti, Puji. (2011). Penerimaan Diri Perempuan<br />

Pekerja Seks yang Menghadapi Status HIV Positif<br />

di Pati Jawa Tengah. Jawa Tengah:<br />

PSIKOBUANA <strong>Jurnal</strong> Ilmiah <strong>Psikologi</strong>.<br />

Hidayah, Nurul. 2007. Makalah Identifikasi <strong>dan</strong><br />

Pengelolaan Stress Infertilitas. Bandung: Fakultas<br />

<strong>Psikologi</strong>. Diakses tanggal 6 April 2012, dari<br />

http://images.ikapsi.multiply.multiplycontent.com/<br />

attachment/0/ScTV9woKCGcAAAb5AlI1/ka1nurul%20hidayah<br />

20identifikasi%20<strong>dan</strong>%20pengelolaan%20stress%<br />

20infertilitas.pdf?key=ikapsi:journal:22&nmid=22<br />

1545165<br />

Hurlock, Elizabeth B. (1986). Personality Development.<br />

New Delhi: McGraw-Hill Inc.<br />

Kartono, K. (2007). <strong>Psikologi</strong> Wanita jilid 2: Mengenal<br />

Wanita sebagai Ibu <strong>dan</strong> Nenek. Bandung: Mandar<br />

Maju.<br />

Moleong, L.J. (2010). Metodologi <strong>Penelitian</strong> Kualitatif.<br />

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya<br />

Patton, M.Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research<br />

Method. (3 rd ). California: Sage Publication.<br />

Permatasari, Eka Mudya. (2010). Penerimaan Diri pada<br />

Wanita Dewasa Madya yang Menderita Gagal<br />

Ginjal Kronik. Skripsi tidak dipublikasikan.<br />

Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas Gunadarma,<br />

Depok.<br />

Poerwandari, Kristi. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk<br />

<strong>Penelitian</strong> Perilaku Manusia. Depok: LPSP3<br />

Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas Indonesia.<br />

Siregar, Hasanah R. Siregar, Grace. M. (2009) Makna<br />

Hidup pada Pasangan yang belum Memiliki<br />

Keturunan. <strong>Jurnal</strong> Pemikiran <strong>dan</strong> <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>Psikologi</strong> PSIKOLOGIA. Sumatera Utara:<br />

Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas Sumatera Utara.<br />

Smith, Jonathan A. (2009). Dasar-dasar <strong>Psikologi</strong><br />

Kualitatif Pedoman Praktis Metode <strong>Penelitian</strong>.<br />

Bandung: Nusa Media.<br />

Sudjiwanati. (2006). Pendekatan Kuantitatif <strong>dan</strong> Kulitatif<br />

dalam <strong>Penelitian</strong> <strong>Psikologi</strong>. PSIKOVIDYA <strong>Jurnal</strong><br />

<strong>Psikologi</strong>. Jawa Timur: Fakultas <strong>Psikologi</strong><br />

Universitas Wisnuwardhanamalang.<br />

Sugiarti, Lintang. (2008). Gambaran Proses Penerimaan<br />

Diri pada Wanita Involuntary Childness. Skripsi<br />

tidak dipublikasikan. Depok: Fakultas <strong>Psikologi</strong><br />

Universitas Indonesia.<br />

Syaiful Hamidin, Aep. (2012). Akhirnya, Aku Bisa Punya<br />

Anak !. Jogjakarta: DIVA Press (Anggota IKAPI).<br />

Wardhani, Dyah Ayu. (2010). Penerimaan Diri pada Ibu<br />

Rumah Tangga yang Mengalami Histeroktomi.<br />

Skripsi tidak dipublikasikan. Depok: Fakultas<br />

<strong>Psikologi</strong> Universitas Gunadarma.<br />

Wiknjosastro, Hanifa. (2009). Ilmu Kandungan. Jakarta:<br />

PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 152


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 153<br />

LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA CLIQUE THE ALLAY’S DAN<br />

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG KEKOHESIFAN ANTAR<br />

ANGGOTANYA<br />

Christiara Ully<br />

Jurusan <strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jalan Rawamangun Muka Jakarta Timur 13220, DKI Jakarta<br />

E-mail: grey_lights@ymail.com<br />

Abstract<br />

This research aims to determine the formed background of The Allay’s clique and the factors that push<br />

cohesiveness among its member. The approach used in this research is a qualitative approach with<br />

phenomenology qualitative technique. This research’s subjects are five second grade of junior high school earlyadolescence<br />

females. The data collection techniques were used are survey, semi-structured interviews, field<br />

notes, and documentation. Data were analyzed by using qualitative data analysis techniques and data validity<br />

checking techniques with data triangulation based on sources and methods. The results of this study indicate that<br />

the formed background The Allay's clique is initially due to the intensity of frequent meetings. It supports their<br />

verbal interactions, and then through the interaction they find their common similarities, such as like the same<br />

type of food and music. They also like to do the same things. This clique cohesiveness built through intensive<br />

interaction among its members. Interaction is also occurred by physical, non-verbal and emotionally, when the<br />

five members spent much of their spare time together, both within and outside the school environment. The<br />

members of the clique have the same goal, which is self-actualization. Clique cohesiveness is also influenced by<br />

the structure, roles, norms, personal relationships among its members and sense of groupness that makes each<br />

member is felt as a unity.<br />

1. Pendahuluan<br />

Keywords: Clique, Early Adolescence, Female Friendship, Group, Cohesiveness<br />

Setiap individu bertumbuh <strong>dan</strong> berkembang<br />

seiring dengan berjalannya waktu <strong>dan</strong> pertambahan<br />

usia. Salah satu fase yang akan dialami masingmasing<br />

individu adalah masa remaja. Masa remaja<br />

merupakan transisi dari masa kanak-kanak menuju<br />

masa dewasa. Pada masa ini oleh Stanley Hall<br />

disebut sebagai period of great stress and strain,<br />

storm and strife (Hall dalam Vishala, 2008: 113).<br />

Konsep Hall tentang remaja sebagai masa yang<br />

sarat idealisme, juga masa penuh goncangan yang<br />

ditandai dengan konflik <strong>dan</strong> perubahan suasana hati<br />

yang ekstrim <strong>dan</strong> fluktuatif. Seperti pada fase<br />

kehidupan lainnya, untuk dapat melewati masa<br />

remaja yang penuh dengan tekanan, tegangan,<br />

badai <strong>dan</strong> perselisihan, remaja harus mampu<br />

melakukan penyesuaian (adjustment) dengan<br />

perubahan-perubahan yang terjadi.<br />

Remaja sebagai individu muda harus<br />

menghadapi perubahan yang unik <strong>dan</strong> bervariasi.<br />

Berbagai perubahan yang terjadi kerap<br />

menimbulkan masalah bagi remaja, misalnya<br />

perasaan tidak nyaman yang timbul akibat<br />

perubahan bentuk tubuh secara signifikan. Remaja<br />

membutuhkan teman sebaya untuk menjadi wadah<br />

bertukar cerita <strong>dan</strong> pengalaman, terutama untuk<br />

berbagi hal-hal tertentu yang kurang nyaman untuk<br />

didiskusikan dengan orang tua seperti masalah<br />

kencan, seksualitas, <strong>dan</strong> sebagainya.<br />

Ketergantungan terhadap teman sebaya meningkat<br />

pada remaja awal <strong>dan</strong> pertengahan dimana<br />

ketergantungan terhadap orang tua menurun<br />

(Bukowski dkk., 1996: 167). Dalam situasi seperti<br />

ini, remaja mulai memiliki keinginan untuk<br />

membentuk atau bergabung dalam kelompok.<br />

Istilah geng di Indonesia dipakai untuk<br />

hampir seluruh bentuk hubungan kelompok atau<br />

grup sosial remaja dengan teman sebayanya. Dalam<br />

kamus besar Bahasa Indonesia, geng didefinisikan<br />

sebagai kelompok remaja yang terkenal karena<br />

kesamaan latar belakang sosial, sekolah, daerah,<br />

<strong>dan</strong> sebagainya; geng juga dapat berarti<br />

gerombolan (Dependnas, 2001: 353). Berdasarkan<br />

definisi tersebut istilah geng identik dengan remaja,


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 154<br />

<strong>dan</strong> saat ini kata geng sendiri mengalami perubahan<br />

denotasi sehingga sering dikaitkan dengan perilaku<br />

negatif seperti tindak kekerasan, pelecehan <strong>dan</strong> lain<br />

sebagainya, baik terhadap anggota geng lain atau<br />

orang-orang yang berada di luar dari geng tersebut.<br />

Menjalin hubungan dengan teman sebaya <strong>dan</strong><br />

menjadi bagian dari suatu kelompok merupakan<br />

salah satu tugas perkembangan remaja. Bentuk<br />

hubungan teman sebaya pada masa remaja dapat<br />

dikategorikan ke dalam tiga jenis yaitu, crowd<br />

(kerumunan), clique (klik), <strong>dan</strong> friendship<br />

(persahabatan) (Santrock, 2003: 236). Crowd<br />

merupakan bentuk yang terbesar, <strong>dan</strong> anggota dari<br />

crowd bertemu karena minat yang sama dalam<br />

suatu aktivitas. Clique merupakan kelompok<br />

dengan jumlah yang lebih kecil, namun tingkat<br />

keakraban di antara anggota lebih besar <strong>dan</strong> kohesif<br />

daripada crowd. Friendship memiliki ukuran yang<br />

lebih kecil lagi dibandingkan clique, bersifat sangat<br />

personal dengan tingkat keakraban yang juga lebih<br />

tinggi dibandingkan dua jenis hubungan<br />

sebelumnya.<br />

Di sisi lain, terdapat empat tipe close<br />

friendship yang diidentifikasi menurut definisi dari<br />

Richards <strong>dan</strong> Rice (1981: 217) <strong>dan</strong> Urberg dkk.,<br />

(1998: 313) yaitu: isolates, dyads, liaisons, <strong>dan</strong><br />

clique members. Pengertian dari masing-masing<br />

empat tipe close friendship tersebut antara lain<br />

(Henrich dkk., 2000: 17 – 18):<br />

“Isolates were defined as individuals who<br />

were isolated from a larger friendship network in<br />

that they did not report any mutual close friendship<br />

with the other members of the sample. Dyads were<br />

defined as pairs of individuals who are were<br />

engaged in an exclusive, mutual close friendship.<br />

Liaisons were defined as individuals connected<br />

through one or more mutual close friendship to a<br />

larger school-based friendship network. Cliques<br />

members were defined as individuals who belonged<br />

to a group in which each group member had at<br />

least two mutual close friendhips with other<br />

members of the group.”<br />

Ketika memikirkan hal lain apa yang<br />

mungkin terjadi dalam lingkaran kehidupan,<br />

fenomena clique muncul pada remaja <strong>dan</strong> memiliki<br />

arti serta tujuan khusus (Freedson, 2012: 1). Bentuk<br />

hubungan clique mungkin ditemukan pada fase<br />

kehidupan lainnya, namun lebih bersifat resesif<br />

sehingga eksistensi clique diantara para remaja,<br />

terutama pada masa remaja awal menjadi sebuah<br />

fenomena tersendiri dalam rentang kehidupan<br />

sepanjang hayat. Clique yang dalam Bahasa<br />

Indonesia diartikan sebagai klik, merupakan<br />

kelompok kecil orang tanpa struktur formal yang<br />

mempunyai pan<strong>dan</strong>gan atau kepentingan bersama<br />

(Dependnas, 2001: 575). Namun istilah clique<br />

kurang populer di kalangan masyarakat Indonesia<br />

yang lebih familiar dengan istilah geng, sehingga<br />

tidak terdapat batas perbedaan yang jelas antara<br />

geng <strong>dan</strong> clique. Kebanyakan definisi mengenai<br />

geng mencakup beberapa elemen berikut (Lee,<br />

2005: 219):<br />

“An organizational structure—This refers to<br />

having some aspect of internal orderincluding<br />

participation in regular meetings, having leaders<br />

or core gang members, and seeing themselves as a<br />

group. A group of individuals who share a sense of<br />

identity—This involves the use of symbols to create<br />

a shared sense of identity. Gangs commonly use<br />

symbols such as a name, special clothing or colors,<br />

and allegiance to a specified territory. Involvement<br />

in criminal or antisocial activity—This<br />

characteristic is tautological by nature. Most<br />

definitions include a reference to delinquent<br />

activity, allowing a defining feature to be a possible<br />

product of gang activity.”<br />

Pengertian ini semakin mengaburkan<br />

perbedaan antara geng <strong>dan</strong> clique. Namun, geng<br />

pada umumnya memiliki keterlibatan dalam<br />

tindakan kriminal atau aktivitas anti sosial. Clique<br />

sendiri adalah sebuah grup sosial kecil yang<br />

biasanya terdiri dari dua sampai dua belas orang<br />

(rerata enam orang). Mereka terbentuk karena<br />

kesamaan karakteristik antar anggota-anggotanya,<br />

termasuk usia, jenis kelamin, ras, status sosial, serta<br />

saling berbagi ketertarikan <strong>dan</strong> aktivitas (Davis<br />

dalam Salkind, 2008: 149).<br />

Clique memegang peranan penting dalam<br />

penyesuaian secara psikologis (Prinstein dalam<br />

Salkind, 2002: 87). Self-esteem (harga diri),<br />

identitas diri, <strong>dan</strong> kompetensi interpersonal remaja<br />

merupakan beberapa aspek vital yang dapat<br />

dipengaruhi sebagai timbal balik dari perasaan<br />

dihargai, diterima <strong>dan</strong> diakui sebagai bagian dari<br />

suatu kelompok. Hasil penelitian korelasional<br />

menunjukkan bahwa harga diri dapat memperbesar<br />

seorang remaja menjadi anggota suatu clique sama<br />

seperti keanggotaan dari suatu clique akan<br />

meningkatkan harga diri remaja (Santrock, 2003:<br />

238). Remaja dengan harga diri yang tinggi akan<br />

merasa lebih nyaman dengan diri mereka sendiri<br />

<strong>dan</strong> dapat mengembangkan konsep <strong>dan</strong> identitas<br />

diri yang positif. Identitas diri seorang remaja<br />

dibangun melalui interaksi dengan teman sebaya<br />

(Erikson dalam Warga, 1983: 76). Dalam masa<br />

pembentukan identitas diri, remaja dihadapkan<br />

pada peran-peran baru yang membawa mereka<br />

pada jawaban atas pertanyaan siapa diri mereka <strong>dan</strong><br />

apa makna eksistensi mereka dalam hidup yang<br />

dijalani.<br />

Sebuah hasil studi memaparkan bahwa<br />

remaja, terutama pada remaja putri yang memiliki<br />

close relationship seperti liaisons maupun menjadi<br />

anggota clique memiliki kompetensi interpersonal<br />

yang lebih baik dibandingkan remaja yang hanya<br />

memiliki dyads atau tidak memiliki ketiganya<br />

(isolates) (Henrich dkk., 2000: 19 – 20).<br />

Kompetensi interpersonal atau yang sering juga<br />

disebut sebagai kecerdasan interpersonal<br />

merupakan kemampuan untuk berhubungan dengan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 155<br />

orang-orang yang ada disekitarnya, di luar dari diri<br />

individu. Buhrmester mengadopsi istilah<br />

kompetensi interpersonal – berbeda dengan istilah<br />

yang lebih luas, seperti kompetensi sosial – untuk<br />

menunjukkan kompetensi tersebut dalam close<br />

interpersonal relationships seperti hubungan<br />

dengan orang tua, teman dekat <strong>dan</strong> pasangan<br />

(Bukowski dkk., 1996: 173). Salah satu kekuatan<br />

mereka (individu dengan kompetensi interpersonal<br />

yang baik) adalah bahwa mereka berhubungan baik<br />

dengan orang lain <strong>dan</strong> baik dalam menyelesaikan<br />

perselisihan antar orang-orang (Lwin dkk., 2008:<br />

197).<br />

Pada sebuah hasil penelitian lain, Predictors<br />

of Bullying and Victimization in Childhood and<br />

Adolescence: A Meta-analytic Investigation (Cook<br />

dkk., 2010: 71 – 72) yang membahas mengenai<br />

prediktor terhadap tiga status kelompok dalam<br />

tindak kekerasan (bullies, pelaku kekerasan;<br />

victims, korban kekerasan; <strong>dan</strong> bully victim, pelaku<br />

sekaligus korban kekerasan) di kalangan anak-anak<br />

<strong>dan</strong> remaja usia sekolah menemukan bahwa, faktor<br />

komunitas <strong>dan</strong> peer influence memberikan efek<br />

terbesar terhadap seseorang untuk menjadi pelaku<br />

kekerasan. Kemudian peer status <strong>dan</strong> iklim sekolah<br />

menjadi prediktor terbesar terhadap seseorang<br />

untuk menjadi korban kekerasan. Selanjutnya,<br />

prediktor terbesar terhadap seseorang untuk<br />

menjadi pelaku sekaligus korban kekerasan adalah<br />

faktor peer status <strong>dan</strong> peer influence. Hill <strong>dan</strong><br />

Holmbeck mengungkapkan bahwa pengaruh teman<br />

sebaya lebih besar pada masa remaja awal<br />

dibandingkan pada remaja selanjutnya (Hill &<br />

Holmbeck dalam Schicke<strong>dan</strong>z dkk., 2001: 635).<br />

Clique telah sering dianggap sebagai ‘lahan<br />

subur’ atas peer pressure <strong>dan</strong> konformitas (Henrich<br />

dkk., 2000: 15). Konformitas terhadap keinginan<br />

leader adalah harga yang harus dibayar oleh<br />

anggota clique. Dengan memilih atau melakukan<br />

kekerasan terhadap orang lain yang dianggap<br />

terlihat maupun memiliki nilai berbeda, clique<br />

menjaga keeksklusifan <strong>dan</strong> ilusi dari rasa<br />

superioritas mereka (Walker, 2008: 1). Peer<br />

influence membuat seluruh anggota clique tampak<br />

seperti memiliki karakteristik yang homogen, hal<br />

ini dipengaruhi oleh dua bentuk tekanan yaitu<br />

seleksi <strong>dan</strong> konformitas. Seleksi merupakan<br />

ketertarikan terhadap orang yang mirip dengan diri<br />

mereka, <strong>dan</strong> konformitas sendiri merupakan<br />

kekuatan dari peer influence (Henrich dkk., 2000:<br />

16). Di sekolah, mungkin terjadi dimana guru<br />

memberi label kepada clique tertentu sebagai<br />

‘pembuat masalah’, <strong>dan</strong> keanggotaan dari clique<br />

dapat membiaskan persepsi guru terhadap tingkah<br />

laku siswa secara individual (Henrich dkk., 2000:<br />

23).<br />

Studi pendahuluan dilakukan di SMP Negeri<br />

58 Jakarta Selatan, sebagai salah satu sekolah yang<br />

bersedia untuk bekerjasama <strong>dan</strong> dijadikan tempat<br />

penelitian. Berdasarkan studi pendahuluan yang<br />

dilakukan pada seluruh siswa kelas VIII yang<br />

berjumlah 201 orang (110 orang remaja putra <strong>dan</strong><br />

91 orang remaja putri), teridentifikasi setidaknya<br />

terdapat sebelas clique remaja putra <strong>dan</strong> lima belas<br />

clique remaja putri.<br />

Di SMP Negeri 58 Jakarta Selatan eksistensi<br />

clique remaja putri lebih menonjol dibandingkan<br />

clique remaja putra. Dua clique remaja putri di<br />

kelas VIII yang paling dikenal adalah clique The<br />

Allay’s <strong>dan</strong> clique Kawicaditi. Keberadaan kedua<br />

clique ini menimbulkan kontroversi antara<br />

beberapa guru mata pelajaran dengan guru BK.<br />

Menurut beberapa guru, kedua clique tersebut perlu<br />

dibubarkan karena mereka dianggap terlalu banyak<br />

bermain <strong>dan</strong> kerap kali berbuat onar di dalam kelas<br />

<strong>dan</strong> di lingkungan sekolah. Di sisi lain, guru BK<br />

berpendapat bahwa keberadaan clique cukup<br />

penting khususnya bagi remaja di usia-usia SMP,<br />

terutama untuk mengembangkan <strong>dan</strong> mengasah<br />

kemampuan interpersonal mereka, “Kelompokkelompok<br />

siswa ini lebih perlu dibina ketimbang<br />

dibubarkan.”<br />

Secara personal, beberapa guru yang kontra<br />

dengan pendapat guru BK melakukan pendekatan<br />

kepada setiap anggota dalam clique untuk saling<br />

menjauhi satu sama lain. Dalam kondisi seperti ini<br />

para remaja putri tersebut dihadapkan pada pilihan<br />

yang menimbulkan pertentangan batin dalam<br />

dirinya, pertentangan batin itu bias berupa konflik.<br />

Clique Kawicaditi akhirnya bubar <strong>dan</strong> saat ini tidak<br />

terlihat lagi bentuk kebersamaan mereka secara<br />

signifikan di sekolah. Namun, pada clique The<br />

Allay’s kendati mendapatkan banyak saran untuk<br />

keluar dari clique tersebut, mereka tetap bersamasama<br />

sehingga muncul pertanyaan hal-hal apa yang<br />

melatarbelakangi terbentuknya clique The Allay’s,<br />

<strong>dan</strong> faktor-faktor apa saja yang membuat kelekatan<br />

(kekohesifan) antar anggota clique sangat kuat.<br />

A. Hakikat Clique<br />

A. 1 Pengertian Clique<br />

Hubungan di luar rumah menjadi semakin<br />

penting ketika anak memasuki masa remaja (Davis<br />

dalam Salkind, 2008: 149). Kelompok dalam<br />

remaja awal (early adolescence) telah<br />

dideskripsikan ke dalam istilah clique (Kiesner<br />

dkk., 2002: 196). Clique dalam Oxford Advanced<br />

Learner’s Dictionary of Current English diartikan<br />

sebagai sekelompok orang yang berkumpul karena<br />

memiliki kesamaan dalam ketertarikan (khususnya<br />

buku <strong>dan</strong> seni), setiap anggota mendukung anggota<br />

lainnya <strong>dan</strong> menghalangi orang lain masuk ke<br />

dalam kelompok mereka (Hornby, 1987: 155).<br />

Clique merupakan sebuah kelompok<br />

persahabatan kecil dimana setiap anggotanya saling<br />

berbagi latar belakang umum, tinggal dekat satu<br />

sama lain, <strong>dan</strong> berbagi aktivitas. Clique adalah<br />

kelompok teman sebaya yang terjalin erat<br />

berdasarkan ketertarikan tertentu, seperti musik,<br />

olahraga, atau penampilan fisik (Schicke<strong>dan</strong>z dkk.,


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 156<br />

2001: 636 – 637). Setiap anggota clique<br />

berkemungkinan besar untuk bekerja sama dalam<br />

mengerjakan tugas-tugas akademik, berpartisipasi<br />

dalam aktivitas pendidikan <strong>dan</strong> ekstrakurikuler<br />

yang sama <strong>dan</strong> menghabiskan waktu luang<br />

bersama-sama (Hallinan & Smith, 1989: 898).<br />

Kelompok kecil yang disebut sebagai clique<br />

ini biasanya terdiri dari dua sampai dua belas<br />

orangrata-ratanya berjumlah lima atau enam<br />

orang–yang umumnya memiliki jenis kelamin <strong>dan</strong><br />

usia yang relatif sama. Clique merupakan latar<br />

sosial dimana para remaja nongkrong, berbicara<br />

satu sama lain, <strong>dan</strong> membentuk persahabatan yang<br />

dekat (Steinberg, 1999: 163). Salah satu cara untuk<br />

melihat hubungan antar remaja adalah melalui<br />

clique, yang dapat dijelaskan dalam dua cara<br />

(Davis dalam Salkind, 2008: 149):<br />

1) Para peneliti menetapkan clique sebagai sebuah<br />

kelompok dari orang-orang yang saling<br />

berinteraksi satu sama lain dengan cara yang<br />

lebih teratur (terus-menerus) <strong>dan</strong> intensif<br />

dibandingkan interaksi dengan orang lain di luar<br />

kelompok, dalam latar yang sama.<br />

2) Definisi yang lebih populer dari orang awam<br />

yaitu, clique merupakan kelompok sosial dari<br />

orang-orang yang menunjukkan kesepakatan<br />

kuat atas peer pressure di antara anggotaanggotanya<br />

<strong>dan</strong> juga eksklusif, berdasarkan pada<br />

perbedaan yang <strong>dan</strong>gkal.<br />

A. 2 Perbedaan Gender dalam Clique<br />

Clique merupakan kelompok persahabatan<br />

yang penting khususnya pada remaja awal, namun<br />

beberapa peneliti mengindikasikan bahwa mungkin<br />

ada perbedaan terhadap arti <strong>dan</strong> fungsi atas clique<br />

untuk remaja putra <strong>dan</strong> putri (Henrich dkk., 2000:<br />

16). Perbedaan tersebut dijelaskan sebagai berikut:<br />

1) Remaja putri sepertinya secara keseluruhan<br />

berkemungkinan besar untuk menjadi anggota<br />

clique, dimana remaja putra lebih<br />

berkemungkinan besar untuk tidak menjadi<br />

anggota. Remaja putri juga berkemungkinan<br />

besar untuk membentuk clique di usia yang lebih<br />

dini sekitar usia 11 tahun, se<strong>dan</strong>gkan remaja<br />

putra pada usia 13 atau 14 tahun (Davis dalam<br />

Salkind, 2008: 150).<br />

2) Meskipun merupakan kelompok yang eksklusif,<br />

namun terdapat juga clique yang terbuka<br />

terhadap orang di luar clique (Steinberg, 1999:<br />

163). Sehubungan dengan perbedaan gender,<br />

clique pada remaja putri lebih akrab <strong>dan</strong> juga<br />

lebih eksklusif dibandingkan clique remaja putra<br />

(Karweit & Hansell dalam Henrich dkk, 2000:<br />

17).<br />

3) Clique remaja putri lebih fokus pada aktivitas<br />

lisan, termasuk gosip <strong>dan</strong> bertukar pikiran serta<br />

perasaan, juga lebih mudah disakiti oleh gosip<br />

<strong>dan</strong> komentar menyakitkan yang disebarkan<br />

clique tersebut. Clique remaja putra secara khas<br />

lebih berfokus seputar aktivitas <strong>dan</strong> ketertarikan<br />

yang sama (Davis dalam Salkind, 2008: 149).<br />

Khususnya pada early adolescence, sulit bagi<br />

remaja putri untuk menjadi bagian dari clique<br />

remaja putra, dimana aktivitas remaja putra<br />

didominasi oleh kegiatan atletik <strong>dan</strong> pengejaran<br />

aktivitas fisik lainnya; juga sulit bagi remaja<br />

putra untuk menjadi bagian dari clique remaja<br />

putri, dimana aktivitas cenderung berpusar pada<br />

pakaian, <strong>dan</strong><strong>dan</strong> <strong>dan</strong> membahas tentang lawan<br />

jenis (Steinberg, 1999: 172).<br />

4) Remaja putra memiliki keinginan yang lebih<br />

besar atas penerimaan dari kelompok, <strong>dan</strong> lebih<br />

memerhatikan status dibandingkan remaja putri,<br />

yang lebih tertarik dalam kedekatan secara<br />

emosional kepada kelompok yang lebih kecil<br />

diantara sesamanya (Davis dalam Salkind, 2008:<br />

149).<br />

A. 3 Perubahan Struktur Clique dari Waktu ke<br />

Waktu<br />

Struktur dari clique berkembang secara pararel<br />

terhadap perkembangan identitas; selanjutnya,<br />

perubahan penting terlihat ketika remaja memasuki<br />

masa dewasa (Davis dalam Salkind, 2008: 150):<br />

1. Remaja Awal. Masa remaja awal menandai<br />

permulaan dari clique ketika individu muda<br />

mulai berpisah dari hubungan kekeluargaan, <strong>dan</strong><br />

hal tersebut menjadi kepentingan utama. Clique<br />

awal ini terbentuk hampir seluruhnya dari<br />

individu-individu dengan jenis kelamin yang<br />

sama <strong>dan</strong> terbentuk karena kesamaan<br />

ketertarikan <strong>dan</strong> aktivitas dibandingkan<br />

karakteristik demografi lainnya.<br />

2. Remaja Pertengahan. Masa remaja pertengahan<br />

meliputi perubahan besar antara struktur <strong>dan</strong><br />

aktivitas clique, ketika remaja menjadi lebih<br />

tertarik pada lawan jenis, tetapi belum juga<br />

berpacaran. Ini merupakan waktu dimana clique<br />

menjadi lebih terpisah berdasarkan demografi di<br />

luar jenis kelamin <strong>dan</strong> ketertarikan atau aktivitas<br />

umum. Clique mulai terintegrasi pada tempat<br />

yang sama dengan clique lawan jenis, tetapi<br />

anggotanya tidak berubah. Selanjutnya, saat<br />

remaja menjadi tertarik pada hubungan pacaran,<br />

clique mulai terbuka untuk berbaur antar jenis<br />

kelamin <strong>dan</strong> bahkan antar usia.<br />

3. Remaja Akhir. Ketika remaja memasuki masa<br />

remaja akhir, hubungan pacaran mulai<br />

mengambil prioritas di antara anggota clique.<br />

Clique mulai menurun saat anggota-anggotanya<br />

menghilang <strong>dan</strong> digantikan dengan pasanganpasangan<br />

remaja yang berpacaran. Pasanganpasangan<br />

ini membentuk loosely terkait clique,<br />

dimana terpisah dari aktivitas kelompok yang<br />

lebih besar dalam mendukung aktivitas<br />

individual. Sturuktur clique bentuk ini<br />

berkembang ke dalam hubungan orang dewasa.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 157<br />

A. 4 Status <strong>dan</strong> Hirarki dalam Clique<br />

a) Pengaturan Status (Davis dalam Salkind, 2008:<br />

150)<br />

Clique memiliki status hirarki yang sangat<br />

kuat didalamnya, termasuk setidaknya terdapat satu<br />

pemimpin. Bagi pemimpin clique, ini dapat<br />

menjadi proses yang sulit, dimana telah membuat<br />

orang memegang pan<strong>dan</strong>gan negatif terhadap<br />

clique. Satu cara pemimpin mengatur statusnya<br />

dengan secara berseling memuji <strong>dan</strong> mengkritik<br />

tiap anggota, yang membuat pemimpin tetap<br />

mendapatkan perhatian yang negatif terhadap<br />

dirinya. Pemimpin juga dapat merubah cara clique<br />

meman<strong>dan</strong>g aktivitas, nilai-nilai, <strong>dan</strong> juga opini<br />

terhadap suatu hal untuk membuat anggotanya<br />

tidak yakin dimana mereka harus berdiri dalam<br />

kelompok.<br />

b) Ragam dalam Anggota Kelompok<br />

Dalam bukunya yang berjudul Queen Bees &<br />

Wannabes: Helping Your Daughter Survive<br />

Cliques, Gossip, Boyfriends & Other Realities of<br />

Adolescence, Rosalind Wiseman mendeskripsikan<br />

hasil observasinya terhadap clique <strong>dan</strong> kelompok<br />

remaja putri ke dalam beberapa jenis peran<br />

(Wiseman dalam Davis dalam Salkind, 2008: 150):<br />

1. Queen Bee: Pemimpin grup, yang dideskripsikan<br />

sebagai penguasa dengan “karisma, kekuatan,<br />

uang, penampilan, kehendak, <strong>dan</strong> manipulasi.”<br />

2. Sidekick: Letnan dari clique, yang dikatakan<br />

tidak memiliki suara kecuali dari Queen bee,<br />

secara konsisten membantunya apapun<br />

masalahnya.<br />

3. Banker: Orang yang memegang seluruh<br />

informasi <strong>dan</strong> gosip, <strong>dan</strong> akan membocorkannya<br />

demi keuntungannya sendiri.<br />

4. Floater: Mirip dengan bentuk hubungan liaison,<br />

orang yang dapat keluar masuk lebih dari satu<br />

clique.<br />

5. Pleaser: Orang ini bisa masuk <strong>dan</strong> keluar dari<br />

clique, ia secara konsisten mendukung Queen<br />

Bee <strong>dan</strong> Sidekick, namun menerima timbal balik<br />

yang sangat sedikit atas tindakannya tersebut.<br />

6. Target: Khususnya orang di luar dari clique,<br />

orang ini dikucilkan oleh para anggota <strong>dan</strong><br />

biasanya selalu dipermalukan.<br />

A. 5 Manfaat <strong>dan</strong> Masalah dalam Clique<br />

Clique merupakan salah satu ciri dari<br />

perkembangan identitas sosial. Melalui formasi dari<br />

peer group seperti clique, para remaja belajar untuk<br />

mengidentifikasi tipe-tipe <strong>dan</strong> mengatur interaksi<br />

sosial. Para remaja mulai untuk melihat diri mereka<br />

sebagaimana orang lain melihat mereka, <strong>dan</strong><br />

mereka diajarkan melalui interaksi ini untuk<br />

mengontrol emosi <strong>dan</strong> tingkah laku (Davis dalam<br />

Salkind, 2008: 152).<br />

Manfaat kedua dari clique adalah mereka<br />

dapat mengembangkan harga diri remaja.<br />

<strong>Penelitian</strong> menujukkan bahwa clique memberikan<br />

efek yang kuat terhadap harga diri. Remaja mulai<br />

melihat bagaimana orang lain melihat mereka<br />

melalui peer group, <strong>dan</strong> persepsi dari orang lain<br />

telah ditemukan memiliki dampak yang besar<br />

terhadap bagaimana seseorang meman<strong>dan</strong>g diri<br />

mereka sendiri (Davis dalam Salkind, 2008: 152).<br />

Kelompok teman sebaya berjenis kelamin sama<br />

dapat membantu anak-anak mempelajari perilaku<br />

yang sesuai dengan gendernya <strong>dan</strong> memasukkan<br />

peran gender ke dalam konsep diri mereka (Papalia<br />

dkk., 2009: 511).<br />

Remaja dalam clique yang bersaing secara<br />

berlebihan melihat seluruh jaringan sosial dengan<br />

cara ini, sehingga bertingkah seperti se<strong>dan</strong>g<br />

menandingi orang lain. Dengan harga diri, remaja<br />

dapat dengan mudah mengembangkan sudut<br />

pan<strong>dan</strong>g yang negatif terhadap bagaimana orang<br />

lain meman<strong>dan</strong>g mereka, atau mereka mungkin<br />

melihat perubahan tetap dalam status <strong>dan</strong> berfikir<br />

bahwa mereka berharga hanya jika mereka<br />

memiliki sesuatu untuk ditunjukkan <strong>dan</strong> jika<br />

mereka menjatuhkan orang lain (Davis dalam<br />

Salkind, 2008: 152).<br />

A. 6. Clique Sebagai Kelompok Sosial<br />

Kelompok sosial menurut Sherif dalah suatu<br />

kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih<br />

individu yang telah mengadakan interaksi sosial<br />

yang cukup intensif <strong>dan</strong> teratur sehingga di antara<br />

individu itu sudah terdapat pembagian tugas,<br />

stuktur, <strong>dan</strong> norma-norma tertentu yang khas bagi<br />

kesatuan sosial tersebut (Gerungan, 2009: 91).<br />

Clique termasuk ke dalam kelompok primer <strong>dan</strong><br />

tidak formal. Pertama, karena di dalam clique<br />

terdapat interaksi sosial yang lebih intensif <strong>dan</strong><br />

lebih erat antaranggotanya daripada dalam<br />

kelompok sekunder. Kedua, clique tidak berstatus<br />

resmi, meskipun di dalamnya terdapat perananperanan<br />

<strong>dan</strong> hierarki tertentu serta norma pedoman<br />

tingkah laku anggotanya, namun hal ini tidak<br />

dirumuskan secara tegas <strong>dan</strong> tertulis seperti pada<br />

kelompok formal.<br />

Interaksi yang terjadi antar anggota dalam<br />

clique yang dinamis <strong>dan</strong> timbal balik akan<br />

membentuk dinamika kelompok. Dinamika<br />

kelompok menurut Floyd D. Ruch adalah analisis<br />

dari hubungan-hubungan kelompok sosial yang<br />

berdasarkan prinsip bahwa tingkah laku dalam<br />

kelompok adalah hasil dari interaksi yang dinamis<br />

antara individu-individu dalam situasi sosial<br />

(Gerungan, 2009: 119). Analisis dari hubunganhubungan<br />

tiap kelompok di mana remaja termasuk<br />

di dalamnya memiliki dua hal umum yaitu normanorma<br />

<strong>dan</strong> peran-peran (Santrock, 2003: 231).<br />

Dengan terjadinya atau terbentuknya<br />

kelompok, maka akan terbentuk pula norma<br />

kelompok. Yang dimaksud dengan norma<br />

kelompok ialah pedoman-pedoman yang mengatur<br />

perilaku atau perbuatan anggota kelompok<br />

(Walgito, 2003: 89). Peran (role) merupakan posisi<br />

tertentu dalam kelompok yang disusun oleh aturan-


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 158<br />

aturan <strong>dan</strong> harapan-harapan. Peran menentukan<br />

bagaimana remaja harus bertingkah laku dalam<br />

posisi tersebut (Santrock, 2003: 233).<br />

A. 6.1 Ciri-ciri Umum Kelompok Sosial<br />

Di samping a<strong>dan</strong>ya interaksi sebagai sifat atau<br />

ciri suatu kelompok, kelompok masih mempunyai<br />

ciri-ciri yang lain, yaitu tujuan, struktur, <strong>dan</strong><br />

groupness (Walgito, 2003: 84 – 86):<br />

1. Interaksi. Interaksi adalah saling mempengaruhi<br />

individu satu dengan individu yang lain (mutual<br />

influence). Interaksi dapat berlangsung dengan<br />

secara fisik, non-verbal, emosional <strong>dan</strong><br />

sebagainya, yang merupakan salah satu sifat dari<br />

kehidupan kelompok.<br />

2. Tujuan. Orang yang tergabung dalam kelompok<br />

mempunyai beberapa tujuan ataupun alasan.<br />

Tujuan dapat bersifat intrinsik, misalnya<br />

tergabung dalam kelompok mempunyai rasa<br />

senang. Namun juga dapat bersifat ekstrinsik,<br />

yaitu bahwa untuk mencapai sesuatu tujuan tidak<br />

dapat dicapai secara sendiri, tetapi dapat dicapai<br />

dengan secara bersama-sama, ini merupakan<br />

tujuan bersama atau merupakan common goals.<br />

Common goals ini merupakan yang paling kuat<br />

<strong>dan</strong> faktor pemersatu dalam kelompok.<br />

Tujuan sesuatu kelompok mungkin berbeda<br />

dengan tujuan kelompok lain. Dengan tujuan<br />

yang lain, maka hal tersebut juga akan<br />

mempengaruhi hal-hal yang lain yang ada dalam<br />

kelompok yang bersangkutan. Dengan tujuan<br />

yang berbeda, maka hal tersebut akan dapat<br />

mempengaruhi struktur yang ada dalam<br />

kelompok tersebut, juga akan dapat<br />

mempengaruhi pola interaksi dalam kelompok<br />

yang bersangkutan. Karena itu sesuatu pola yang<br />

dapat diterapkan pada sesuatu kelompok belum<br />

tentu dapat diterapkan dengan tepat pada<br />

kelompok lain.<br />

3. Struktur. Kelompok itu mempunyai struktur (a<br />

stable pattern of relationships among members),<br />

yang berarti a<strong>dan</strong>ya peran (roles), norma, <strong>dan</strong><br />

hubungan antar anggota. Peran dari masingmasing<br />

anggota kelompok yang berkaitan<br />

dengan posisi individu dalam kelompok. Peran<br />

dari masing-masing anggota kelompok akan<br />

tergantung pada posisi ataupun kemampuan<br />

individu masing-masing. Seseorang pada suatu<br />

kelompok belum tentu mempunyai peran yang<br />

sama pada kelompok lain. Hal tersebut karena<br />

dalam kenyataan seseorang dapat menjadi<br />

anggota dari berbagai macam kelompok.<br />

Seseorang menjadi pemimpin pada suatu<br />

kelompok, tetapi menjadi anggota kelompok<br />

biasa pada kelompok yang lain, sehingga dengan<br />

demikian seseorang mempunyai peran <strong>dan</strong> status<br />

yang berbeda-beda dalam kelompok yang<br />

berbeda-beda.<br />

4. Groupness. Kelompok merupakan suatu entity<br />

(kesatuan), merupakan objek yang unified.<br />

Menurut Campbell, orang mempersepsi<br />

kelompok lebih sebagai suatu unified whole<br />

daripada sekelompok orang yang saling<br />

berdekatan satu dengan yang lain. Jadi satu<br />

dengan lain tidak saling lepas, tetapi kelompok<br />

merupakan suatu kesatuan dari para anggotanya,<br />

merupakan kesatuan yang bulat. Karena itu<br />

dalam menganalisis perilaku kelompok, unit<br />

analisisnya adalah perilaku kelompok tersebut,<br />

bukan perilaku individu-individu.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Metode yang digunakan dalam penelitian ini<br />

adalah metode kualitatif. Metode kualitatif<br />

merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan<br />

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan<br />

dari orang-orang <strong>dan</strong> perilaku yang dapat diamati<br />

(Bog<strong>dan</strong> <strong>dan</strong> Taylor dalam Moleong, 2002: 3).<br />

<strong>Penelitian</strong> kualitatif tidak menekankan pada<br />

generalisasi, tetapi lebih menekankan pada makna.<br />

Generalisasi dalam penelitian kualitatif dinamakan<br />

transferability, artinya hasil penelitian tersebut<br />

dapat digunakan di tempat lain, manakala tempat<br />

tersebut memiliki karakteristik yang tidak jauh<br />

berbeda (Sugiyono dalam Kuswana, 2011: 44).<br />

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian<br />

ini adalah pendekatan studi kasus. Yang<br />

didefinisikan sebagai kasus adalah fenomena<br />

khusus yang hadir dalam suatu konteks yang<br />

terbatasi (bounded context), meski batas-batas<br />

antara fenomena <strong>dan</strong> konteks tidak sepenuhnya<br />

jelas. Pendekatan studi kasus membuat peneliti<br />

dapat memperoleh pemahaman utuh <strong>dan</strong><br />

terintegrasi mengenai interrelasi berbagai fakta <strong>dan</strong><br />

dimensi dari kasus yang khusus (Poerwandari,<br />

2009: 124 – 125).<br />

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan<br />

teknik survei, wawancara, <strong>dan</strong> catatan lapangan.<br />

Survei, merupakan teknik pengumpulan data yang<br />

sangat populer dalam penelitian deskriptif<br />

(descriptive research). Teknik ini dapat membantu<br />

peneliti dalam mendeskripsikan karakteristik atau<br />

ciri-ciri kelompok, kejadian, atau fenomena. Survei<br />

juga dapat digunakan untuk mengetahui opini,<br />

sikap, atau persepsi subjek (Chaedar, 2006: 151).<br />

Dalam penelitian ini, survei dilakukan pada saat<br />

mengambil data mengenai jaringan hubungan<br />

sosial di dalam kelas responden penelitian,<br />

menggunakan sosiometri pada studi pendahuluan.<br />

Wawancara, tujuan dari wawancara kualitatif<br />

adalah untuk menangkap bagaimana interviewee<br />

melihat dunia mereka; untuk mempelajari<br />

terminologi <strong>dan</strong> penilaian mereka, <strong>dan</strong> untuk<br />

menangkap kompleksitas dari persepsi <strong>dan</strong><br />

pengalaman individual mereka (Patton, 2002: 348).<br />

Untuk mendukung tujuan dari penelitian,<br />

pertanyaan dalam wawancara didominasi oleh open<br />

questions yaitu pertanyaan terbuka yang bersifat<br />

ekspansif, biasanya mengkhususkan pada satu


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 159<br />

topik, <strong>dan</strong> memberikan responden kebebasan yang<br />

cukup dalam menentukan banyak <strong>dan</strong> jenis<br />

informasi untuk diberikan (Stewart & Cash, 2008:<br />

51). Catatan Lapangan, merupakan catatan tertulis<br />

apa yang didengar, dilihat, dialami, <strong>dan</strong> dipikirkan<br />

dalam rangka pengumpulan data <strong>dan</strong> refleksi<br />

terhadap data dalam penelitian kualitatif. Catatan<br />

lapangan diperlukan dalam melakukan penelitian<br />

kualitatif agar mendapatkan informasi yang lebih<br />

luas <strong>dan</strong> menghindari a<strong>dan</strong>ya informasi yang<br />

terlupakan (Moleong, 2007: 208).<br />

Sumber data dalam penelitian kualitatif adalah<br />

subjek penelitian. Subjek dalam penelitian ini<br />

adalah remaja putri yang bersekolah SMP Negeri<br />

58 Jakarta Selatan. Menurut Sarantakos, sumber<br />

data dalam penelitian kualitatif umumnya<br />

menampilkan karakteristik subjek sebagai berikut<br />

(Sarantakos dalam Poerwandari, 2009: 110):<br />

a) Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar,<br />

melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai<br />

dengan kekhususan masalah penelitian.<br />

b) Tidak ditentukan secara kaku dari awal, tetapi<br />

tidak dapat berubah baik dalam hal jumlah<br />

maupun karakteristik sampel sesuai dengan<br />

pemahaman yang berkembang dalam penelitian.<br />

c) Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti<br />

jumlah atau peristiwa) melainkan pada<br />

kecocokan konteks.<br />

Subjek penelitian ditentukan dengan<br />

menggunakan teknik purposive sampling. Dalam<br />

purposive sampling, pemilihan sekelompok subjek<br />

didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu<br />

(Kuswana, 2011: 139). Individu-individu yang<br />

menjadi subjek dalam penelitian ini berjumlah lima<br />

orang yang merupakan satu anggota clique, yang<br />

diberi nama The Allay’s <strong>dan</strong> memiliki karakteristik<br />

sebagai berikut:<br />

1. Remaja putri (early adolescence) dengan rentang<br />

usia antara 12-15 tahun.<br />

2. Tergabung atau menjadi anggota clique berbasis<br />

sekolah.<br />

Menurut Poerwandari, langkah-langkah yang<br />

dilakukan untuk melakukan analisis data dalam<br />

penelitian kualitatif yaitu mengorganisasikan data,<br />

koding <strong>dan</strong> analisis, pengujian terhadap dugaan,<br />

<strong>dan</strong> interpretasi (Poerwandari, 2009: 168).<br />

1. Mengorganisasikan data. Mengorganisasikan<br />

data dengan mentranskrip hasil wawancara<br />

dalam bentuk verbatim setelah wawancara<br />

selesai dilakukan.<br />

2. Koding <strong>dan</strong> analisis. Kode ditulis pada bagian<br />

samping transkrip verbatim <strong>dan</strong> membuat<br />

kategorisasi sesuai dengan teori yang digunakan.<br />

Pada observasi <strong>dan</strong> wawancara, peneliti<br />

melakukan koding data agar jelas dalam<br />

pengklarifikasian subjek, yaitu a<strong>dan</strong>ya simbolsimbol<br />

seperti W yang merupakan wawancara,<br />

L/P melambangkan jenis kelamin (L) untuk laki-<br />

laki se<strong>dan</strong>gkan (P) untuk perempuan, kemudian<br />

inisial nama subjek yang pada penelitian ini<br />

dilambangkan dengan RN (Subjek I), AB<br />

(Subjek II), AD (Subjek III), RR (Subjek IV),<br />

<strong>dan</strong> GF (Subjek V).<br />

3. Pengujian terhadap dugaan. Diskusi dilakukan<br />

dengan dosen pembimbing untuk mengetahui<br />

apakah ada sudut pan<strong>dan</strong>g yang berbeda<br />

terhadap pemahaman lain dari hasil wawancara<br />

yang didapat.<br />

4. Interpretasi. Pelaksanaan interpretasi data-data<br />

yang telah didapat, yaitu interpretasi pemahaman<br />

teoritis <strong>dan</strong> penarikan kesimpulan. Hasil yang<br />

didapatkan akan dibandingkan dengan gambaran<br />

dari konsep teori yang digunakan.<br />

Teknik kalibrasi keabsahan data menggunakan<br />

triangulasi. Triangulasi adalah teknik menguji<br />

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang<br />

lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan<br />

atau pembanding terhadap data itu (Moleong, 2007:<br />

330). Triangulasi merujuk pada dua konsep yakni<br />

dimensioalitas melalui sudut pan<strong>dan</strong>g yang jamak<br />

<strong>dan</strong> stabilitas. Sumber-sumber, metode, <strong>dan</strong> teknik<br />

yang berbeda bila digabungkan akan meningkatkan<br />

kredibilitas (Chaedar, 2006: 176).<br />

Triangulasi yang digunakan pada penelitian ini<br />

adalah triangulasi metode <strong>dan</strong> triangulasi sumber.<br />

Triangulasi metode adalah cara pengumpulan data<br />

yang menggunakan teknik yang berbeda-beda<br />

untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.<br />

Se<strong>dan</strong>gkan triangulasi sumber merupakan teknik<br />

pengumpulan data yang menggunakan teknik<br />

pengumpulan data dengan metode yang sama<br />

dengan metode sama dari sumber berbeda<br />

(Poerwandari, 2009: 223).<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

Kelompok dalam remaja awal (early<br />

adolescence) telah dideskripsikan ke dalam istilah<br />

clique (Kiesner dkk., 2002: 196). Clique sendiri<br />

adalah sebuah grup sosial kecil yang biasanya<br />

terdiri dari dua sampai dua belas orang (rerata<br />

enam orang). Mereka terbentuk karena kesamaan<br />

karakteristik antar anggota-anggotanya, termasuk<br />

usia, jenis kelamin, ras, status sosial, serta saling<br />

berbagi ketertarikan <strong>dan</strong> aktivitas (Davis dalam<br />

Salkind, 2008: 149). Clique merupakan latar sosial<br />

dimana para remaja nongkrong, berbicara satu<br />

sama lain, <strong>dan</strong> membentuk persahabatan yang<br />

dekat (Steinberg, 1999: 163).<br />

Berdasarkan pada hasil penelitian pada SMP<br />

Negeri 58 Jakarta, ditemukan sebuah clique remaja<br />

putri yang bernama The Allay’s. Clique The<br />

Allay’s beranggotakan lima orang antara lain RN,<br />

AB, AD, RR, <strong>dan</strong> GF. Di dalam clique The Allay’s<br />

para remaja saling berinteraksi satu sama lain,<br />

saling berbagi ketertarikan seperti kesukaan mereka<br />

makan ceker <strong>dan</strong> mendengarkan musik <strong>dan</strong>gdut,<br />

serta melakukan berbagai aktivitas bersama seperti


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 160<br />

nongkrong, berbagi cerita satu sama lain <strong>dan</strong><br />

membentuk suatu kelompok persahabatan yang<br />

dekat. Para anggota clique The Allay’s juga<br />

menggambarkan perilaku mereka yang sama antara<br />

lain suka ngelawak (membuat lelucon), petakilan<br />

(tidak bisa diam) <strong>dan</strong> usil.<br />

Clique ini terbentuk ketika para anggotanya<br />

duduk di kelas delapan. Berawal dari kebiasaan<br />

bermain <strong>dan</strong> menghabiskan waktu istirahat<br />

bersama-sama membuat interaksi satu sama lain<br />

semakin intensif. Tiga anggota diantaranya<br />

sebelumnya sudah saling mengenal karena berada<br />

di satu kelas di kelas tujuh empat (7.4), se<strong>dan</strong>gkan<br />

dua anggota lainnya berada di satu kelas di kelas<br />

tujuh dua (7.2). Ketika naik ke kelas delapan,<br />

empat anggota diantaranya berada di satu kelas<br />

yaitu kelas delapan empat (8.4), se<strong>dan</strong>gkan satu<br />

orang berada di kelas delapan dua (8.2). Kedekatan<br />

dimulai dari intensitas pertemuan mereka yang<br />

sering karena berada di dalam kelas yang sama <strong>dan</strong><br />

duduk berdekatan. Se<strong>dan</strong>gkan kedekatan anggota<br />

yang berlainan kelas dengan anggota clique lainnya<br />

dimulai saat mereka bertemu di suatu acara. Pada<br />

akhirnya mereka semakin dekat setelah bercakapcakap<br />

<strong>dan</strong> kedekatan itu berlanjut juga di sekolah.<br />

Tetapi lebih dari itu, clique yang merupakan<br />

kelompok sosial dapat terbetuk karena para<br />

anggotanya memiliki tujuan yang mirip atas alasan<br />

mereka mengapa lebih banyak menghabiskan<br />

waktu di luar rumah bersama-sama. Kedua orang<br />

tua RN, AD <strong>dan</strong> GF bekerja di luar rumah,<br />

sehingga menyebabkan kondisi rumah sering<br />

ditinggalkan dalam keadaan kosong. Dalam<br />

menghadapi situasi ini, RN, AD <strong>dan</strong> GF memilih<br />

menghabiskan waktu mereka untuk berkumpul<br />

bersama teman-teman satu clique di tempat-tempat<br />

mereka biasa nongkrong seperti Sevel, Plangi,<br />

Rumyog, atau Taman Menteng, <strong>dan</strong> pulang sore<br />

atau malam hari ketika paling tidak salah satu<br />

orang tua mereka sudah tiba di rumah.<br />

Pada kasus AB <strong>dan</strong> RR, hanya salah satu dari<br />

orang tua mereka yang bekerja di luar rumah.<br />

Alasan AB <strong>dan</strong> RR untuk lebih memilih<br />

menghabiskan waktu mereka untuk berkumpul<br />

bersama teman-teman satu clique daripada di<br />

rumah adalah karena a<strong>dan</strong>ya konflik yang sering<br />

terjadi antara mereka dengan ibu mereka masingmasing.<br />

Ibu AB kerap membanding-bandingkan<br />

AB dengan kakak perempuan AB dalam hal<br />

mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti<br />

menyapu, mengepel, mencuci, <strong>dan</strong> sebagainya. Di<br />

sisi lain, ibu RR juga kerap kali mengkritik hasil<br />

pekerjaan RR dalam mengerjakan pekerjaan rumah<br />

tangga. Hal ini berdampak negatif baik pada AB<br />

maupun RR dimana mereka berusaha untuk tidak<br />

berada di rumah demi menghindari konflik.<br />

Suatu clique juga dapat terbentuk karena<br />

a<strong>dan</strong>ya kesamaan <strong>dan</strong> ketertarikan yang sama pada<br />

setiap anggota. RN, AB, AD, RR <strong>dan</strong> GF<br />

mengenyam pendidikan di sekolah yang sama <strong>dan</strong><br />

tinggal berdekatan. Pada awalnya, hal ini<br />

mempermudah mereka untuk berinteraksi satu<br />

sama lain. Kemudian, interaksi yang terjadi di<br />

antara RN, AB, AD, RR <strong>dan</strong> GF terutama dalam<br />

bentuk komunikasi, membuat mereka semakin<br />

mengenal satu sama lain <strong>dan</strong> terdapat cukup<br />

banyak kesamaan <strong>dan</strong> ketertarikan yang sama pada<br />

setiap anggota, antara lain:<br />

1. Mereka menyukai satu jenis makanan yang sama<br />

(ceker ayam), serta tertarik <strong>dan</strong> menyukai aliran<br />

musik yang sama (musik <strong>dan</strong>gdut).<br />

2. Mereka sama-sama suka untuk melakukan halhal<br />

yang lucu (ngelawak), sama-sama tidak bisa<br />

diam (petakilan) <strong>dan</strong> usil.<br />

3. Mereka melengkapi kesamaan yang ada di<br />

antara mereka dengan membeli barang-barang<br />

(berupa baju, gelang, jam tangan, head band,<br />

kalung, kutek) yang sama.<br />

4. Hal yang paling krusial adalah bahwa mereka<br />

memiliki latar belakang keluarga yang relatif<br />

mirip. Baik RN, AB, AD, RR <strong>dan</strong> GF tidak<br />

dekat dengan orang tua laki-laki mereka masingmasing.<br />

RN <strong>dan</strong> GF tinggal dengan bapak tiri<br />

<strong>dan</strong> jarang berinteraksi satu sama lain; bapak AB<br />

<strong>dan</strong> RR jarang berada di rumah <strong>dan</strong> mereka juga<br />

jarang melakukan aktivitas bersama-sama; <strong>dan</strong><br />

pada kasus AD, yang menyebabkan<br />

renggangnya hubungan antara AD dengan<br />

bapaknya adalah karena masalah perceraian<br />

orang tua.<br />

Clique memiliki status hirarki yang sangat kuat<br />

didalamnya, termasuk setidaknya terdapat satu<br />

pemimpin. Bagi pemimpin clique, ini dapat<br />

menjadi proses yang sulit, dimana telah membuat<br />

orang memegang pan<strong>dan</strong>gan negatif terhadap<br />

clique. Satu cara pemimpin mengatur statusnya<br />

dengan secara berseling memuji <strong>dan</strong> mengkritik<br />

tiap anggota, yang membuat pemimpin tetap<br />

mendapatkan perhatian yang negatif terhadap<br />

dirinya. Pemimpin juga dapat merubah cara clique<br />

meman<strong>dan</strong>g aktivitas, nilai-nilai, <strong>dan</strong> juga opini<br />

terhadap suatu hal untuk membuat anggotanya<br />

tidak yakin dimana mereka harus berdiri dalam<br />

kelompok (Davis dalam Salkind, 2008: 151).<br />

Clique The Allay’s memiliki seorang leader<br />

yaitu AD. Berbeda dengan paparan teori, AD<br />

selama proses penelitian tidak menunjukkan<br />

pengaturan status, termasuk tidak a<strong>dan</strong>ya status<br />

tertentu yang mengikat pada anggota clique<br />

lainnya. Perhatian negatif dari luar (contohnya dari<br />

sudut pan<strong>dan</strong>g guru) dalam clique ini justru berasal<br />

dari anggota clique di luar leader, yaitu RN yang<br />

dianggap guru memberikan pengaruh kurang baik<br />

terhadap anggota-anggota dalam kelompok kecil<br />

ini. Hal ini dibuktikan dengan a<strong>dan</strong>ya provokasi<br />

beberapa guru kepada anggota clique lainnya untuk<br />

tidak bergaul dengan RN.<br />

Dengan terjadinya atau terbentuknya<br />

kelompok, maka akan terbentuk pula norma<br />

kelompok. Yang dimaksud dengan norma


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 161<br />

kelompok ialah pedoman-pedoman yang mengatur<br />

perilaku atau perbuatan anggota kelompok<br />

(Walgito, 2003: 89). Peran (role) merupakan posisi<br />

tertentu dalam kelompok yang disusun oleh aturanaturan<br />

<strong>dan</strong> harapan-harapan. Peran menentukan<br />

bagaimana remaja harus bertingkah laku dalam<br />

posisi tersebut (Santrock, 2003: 231).<br />

Dalam clique The Allay’s, nongkrong adalah<br />

hal yang rutin <strong>dan</strong> wajib. Namun, ada kesepakatan<br />

di antara mereka untuk tidak terpengaruh pada halhal<br />

yang negatif sebagai dampak dari pergaulan<br />

mereka yang luas. Hal-hal negatif yang mereka<br />

hindari adalah seperti rokok, narkoba <strong>dan</strong><br />

pergaulan bebas. Memiliki teman dekat yang<br />

berlawanan jenis (pacar) juga menjadi hal yang<br />

penting dalam clique ini. Ketika seorang teman<br />

memiliki pacar, maka teman yang lain pun harus<br />

memiliki pacar. Jika suatu saat seorang teman putus<br />

dengan pacarnya, sudah merupakan kewajiban bagi<br />

teman yang lain untuk membantu teman tersebut<br />

untuk mendapatkan pacar lagi.<br />

Salah satu peran leader tampak dalam clique<br />

The Allay’s ini adalah dengan berusaha menjaga<br />

kesatuan kelompok, terutama dalam menangani<br />

konflik yang terjadi. Meskipun tidak ditunjukkan<br />

secara eksplisit, leader memberikan keyakinan<br />

pada setiap kelompok untuk tidak berpisah hanya<br />

karena masalah yang mereka hadapi, <strong>dan</strong> bahwa<br />

kebersamaan mereka jauh lebih penting.<br />

Kekohesifan suatu kelompok dibangun melalui<br />

interaksi. Interaksi antar anggota clique The<br />

Allay’s cukup intensif. Interaksi berlangsung secara<br />

fisik, non-verbal <strong>dan</strong> emosional terjadi ketika RN,<br />

AB, AD, RR <strong>dan</strong> GF banyak menghabiskan waktu<br />

senggang mereka bersama-sama, baik di dalam<br />

maupun di luar lingkungan sekolah. Di samping<br />

a<strong>dan</strong>ya interaksi sebagai sifat atau ciri suatu<br />

kelompok, kelompok masih mempunyai ciri-ciri<br />

yang lain, yaitu tujuan, struktur, <strong>dan</strong> groupness<br />

(Walgito, 2003: 84).<br />

Kekohesifan suatu kelompok dipengaruhi oleh<br />

a<strong>dan</strong>ya tujuan yang sama (common goals) antar<br />

anggota kelompok. Common goals ini merupakan<br />

faktor pemersatu yang paling kuat dalam<br />

kelompok. Para anggota clique The Allay’s<br />

memiliki tujuan yang sama, salah satunya<br />

aktualisasi diri, mengembangkan potensi yang ada<br />

dalam diri mereka sejauh mungkin. Clique The<br />

Allay’s sebagai latar sosial memberikan<br />

kesempatan bagi RN, AB, AD, RR <strong>dan</strong> GF untuk<br />

mewujudkan potensi mereka atas bakat, minat,<br />

kemampuan interpersonal atau sosial yang<br />

berdampak pada penyesuaian (adjustment) <strong>dan</strong><br />

kesejahteraan psikologis.<br />

Kekohesifan kelompok juga dipengaruhi oleh<br />

struktur yang berarti dalam kelompok tersebut ada<br />

peran, norma, <strong>dan</strong> hubungan antar anggota. Peran,<br />

norma <strong>dan</strong> hubungan antar anggota clique inilah<br />

yang mempengaruhi perilaku RN, AB, AD, RR <strong>dan</strong><br />

GF dalam melakukan interaksi. Contohnya AD<br />

sebagai leader, kerap menjadi orang yang<br />

dipercaya oleh anggota kelompok lainnya dalam<br />

mengambil keputusan-keputusan dalam clique.<br />

Kekohesifan kelompok dipengaruhi oleh<br />

groupness, dimana kelompok merupakan suatu<br />

kesatuan. Groupness ini selanjutnya menimbulkan<br />

sikap perasaan in-group yang secara tegas dibatasi<br />

dari sikap perasaan out-group. Sikap in-group<br />

berkaitan dengan hal-hal yang mampu dipahami<br />

oleh anggota clique pada interaksi di dalam<br />

kelompok. Salah satu contoh sikap perasaan<br />

terhadap anggota in-group adalah a<strong>dan</strong>ya rasa<br />

solidaritas untuk tetap bersama dalam keadaan suka<br />

maupun duka, yang merupakan sikap yang tidak<br />

mampu untuk dipahami orang luar (out-group).<br />

Sebuah hasil studi memaparkan bahwa remaja,<br />

terutama pada remaja putri yang memiliki close<br />

relationship seperti liaisons maupun menjadi<br />

anggota clique memiliki kompetensi interpersonal<br />

yang lebih baik dibandingkan remaja yang hanya<br />

memiliki dyads atau tidak memiliki ketiganya<br />

(isolates) (Henrich dkk., 2000, 19 – 20).<br />

Kompetensi interpersonal merupakan kemampuan<br />

untuk membentuk <strong>dan</strong> memelihara hubungan yang<br />

memuaskan satu sama lain dengan berbagai macam<br />

orang dalam situasi yang berbeda (Fitts, 1970: 51).<br />

Buhrmester dkk., membagi kompetensi<br />

interpersonal ke dalam lima aspek, antara lain<br />

initiation, assertion, diclosure, emotional support,<br />

<strong>dan</strong> conflict management (Buhrmester dkk., 1988:<br />

993).<br />

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada<br />

anggota clique putri, homogenitas signifikan pada<br />

dua variabel yaitu kompetensi interpersonal <strong>dan</strong><br />

GPA (Henrich dkk., 2000). Dalam penelitian ini,<br />

kompetensi interpersonal homogenitas hanya<br />

tampak pada indikator kemampuan<br />

mengungkapkan hal yang bersifat peribadi,<br />

kemampuan bersikap terbuka pada orang lain,<br />

kemampuan membantu teman yang se<strong>dan</strong>g<br />

kesusahan <strong>dan</strong> kemampuan mengatasi konflik<br />

dengan orang lain, serta terlihat perbedaan individu<br />

yang cukup signifikan pada kemampuan akademik<br />

anggota clique.<br />

Pada aspek-aspek kompetensi interpersonal<br />

lainnya, kemampuan setiap anggota clique The<br />

Allay’s menunjukkan hasil yang relatif berbeda.<br />

Kemampuan berinisiatif merupakan kemampuan<br />

seseorang untuk memulai interaksi dengan orang<br />

lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih luas.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa, kemampuan<br />

berinisiatif membuka hubungan (berinteraksi)<br />

dengan orang lain merupakan kemampuan yang<br />

dipengaruhi oleh bagaimana individu bersangkutan<br />

membuka hubungan dengan individu lain. Dengan<br />

kemampuan berinisiatif, individu akan melakukan<br />

penjelajahan, memulai suatu hubungan <strong>dan</strong><br />

bergerak secara aktif <strong>dan</strong> mandiri.<br />

4. Kesimpulan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 162<br />

Latar belakang terbentuknya clique The<br />

Allay’s pada awalnya adalah karena setiap<br />

anggotanya sudah saling mengenal di kelas tujuh.<br />

Ketika berada di kelas delapan intensitas pertemuan<br />

meningkat baik di dalam <strong>dan</strong> di luar sekolah, hal ini<br />

juga didukung oleh letak tempat tinggal mereka<br />

yang berdekatan satu sama lain. Intensitas<br />

pertemuan yang sering mendukung interaksi<br />

mereka secara verbal sehingga melalui interaksi<br />

verbal ini mereka menemukan kesamaan-kesamaan<br />

umum, seperti menyukai jenis makanan <strong>dan</strong> musik<br />

yang sama. Mereka juga sama-sama suka untuk<br />

melakukan hal-hal yang lucu (ngelawak), samasama<br />

tidak bisa diam (petakilan) <strong>dan</strong> usil.<br />

Para anggota clique memiliki alasan yang<br />

mirip mengapa lebih banyak menghabiskan waktu<br />

di luar rumah bersama-sama, antara lain karena<br />

situasi <strong>dan</strong> kondisi rumah yang kerap kali kosong<br />

karena kedua orang tua bekerja di luar rumah <strong>dan</strong><br />

baru tiba di rumah pada malam hari. Alasan lainnya<br />

adalah untuk menghindari konflik yang juga kerap<br />

terjadi di rumah. Hal yang paling krusial adalah<br />

bahwa mereka memiliki latar belakang keluarga<br />

yang relatif sama. Kelima remaja putri anggota<br />

clique ini tidak dekat dengan orang tua laki-laki<br />

mereka masing-masing. Dua diantaranya tinggal<br />

dengan bapak tiri <strong>dan</strong> jarang berinteraksi satu sama<br />

lain; bapak dari dua anggota lainnya jarang berada<br />

di rumah <strong>dan</strong> mereka juga jarang melakukan<br />

aktivitas bersama-sama; <strong>dan</strong> pada satu anggota<br />

yang lain, penyebab renggangnya hubungan dengan<br />

bapaknya adalah karena masalah perceraian orang<br />

tua.<br />

Kekohesifan clique ini dibangun melalui<br />

interaksi antar anggota yang intensif. Interaksi<br />

berlangsung secara fisik, non-verbal <strong>dan</strong> emosional<br />

terjadi ketika kelima anggotanya banyak<br />

menghabiskan waktu senggang mereka bersamasama,<br />

baik di dalam maupun di luar lingkungan<br />

sekolah. Para anggota clique memiliki tujuan yang<br />

sama, salah satunya aktualisasi diri,<br />

mengembangkan potensi yang ada dalam diri<br />

mereka sejauh mungkin. Clique ini menjadi latar<br />

sosial <strong>dan</strong> memberikan kesempatan bagi kelima<br />

anggotanya untuk mewujudkan potensi mereka atas<br />

bakat, minat, kemampuan interpersonal atau sosial<br />

yang berdampak pada penyesuaian (adjustment)<br />

<strong>dan</strong> kesejahteraan psikologis.<br />

Kekohesifan clique juga dipengaruhi oleh<br />

struktur, dimana dalam clique ini terdapat peran,<br />

norma, <strong>dan</strong> hubungan antar anggota. Peran, norma<br />

<strong>dan</strong> hubungan antar anggota clique ini yang<br />

mempengaruhi perilaku kelima anggota clique<br />

dalam melakukan interaksi. Kekohesifan clique<br />

juga dipengaruhi oleh groupness, dimana setiap<br />

anggotanya ini merasa sebagai suatu kesatuan di<br />

dalam clique. Groupness menimbulkan sikap<br />

perasaan in-group pada setiap anggota clique yang<br />

secara tegas dibatasi dari sikap perasaan out-group.<br />

Sikap in-group berkaitan dengan hal-hal yang<br />

mampu dipahami oleh anggota clique pada<br />

interaksi di dalam kelompok. Salah satu contoh<br />

sikap perasaan terhadap anggota in-group adalah<br />

a<strong>dan</strong>ya rasa solidaritas untuk tetap bersama dalam<br />

keadaan suka maupun duka, yang merupakan sikap<br />

yang tidak mampu untuk dipahami orang di luar<br />

clique (out-group).<br />

Temuan di luar fokus penelitian antara lain<br />

setiap anggota clique memiliki kemampuan<br />

interpersonal yang baik sehingga mampu menjaga<br />

<strong>dan</strong> memelihara hubungan satu sama lain, dengan<br />

baik pula. Salah satu contohnya adalah mereka<br />

mampu mengatasi setiap konflik, baik yang terjadi<br />

diantara anggota clique maupun konflik yang<br />

terjadi dengan orang-orang di luar dari clique.<br />

Kendati clique lebih banyak dipan<strong>dan</strong>g secara<br />

negatif, tapi hasil penelitian menemukan bahwa<br />

clique juga memiliki efek yang positif sama halnya<br />

dengan efek negatif pada setiap anggotanya. Hasil<br />

penelitian menemukan latar belakang terbentuknya<br />

sebuah clique <strong>dan</strong> faktor-faktor yang<br />

mempengaruhi kekohesifan clique. Berdasarkan<br />

hasil temuan tersebut, implikasi penelitian ini<br />

adalah perlunya perhatian khusus dari guru <strong>dan</strong><br />

orang tua terhadap latar belakang terbentuknya<br />

clique di sekolah serta faktor-faktor yang<br />

mendorong kekohesifan antar anggotanya.<br />

Guru perlu memperhatikan bakat <strong>dan</strong> minat<br />

siswanya di sekolah. Jika ditemukan kejanggalan<br />

baik sikap <strong>dan</strong> perilaku pada siswa, guru perlu<br />

mengikutsertakan orang tua siswa <strong>dan</strong> siswa yang<br />

bermasalah tersebut dalam forum diskusi. Forum<br />

diskusi ini dapat mempermudah guru dalam<br />

menangani siswa bermasalah dalam mencari jalan<br />

keluar yang terbaik. Menghukum siswa tanpa<br />

memperhatikan latar belakang terbentuknya sikap<br />

<strong>dan</strong> perilakunya yang bermasalah dapat berdampak<br />

pada munculnya keinginan <strong>dan</strong> sikap<br />

memberontak. Hal ini membuat hubungan antara<br />

guru <strong>dan</strong> siswa semakin memburuk, <strong>dan</strong> masalah<br />

tidak terselesaikan dengan baik.<br />

Implikasi lain dari penelitian adalah perlunya<br />

perhatian khusus orang tua laki-laki terhadap<br />

remaja putri mereka. Kebutuhan akan rasa kasih<br />

sayang yang tidak cukup dari orang tua laki-laki<br />

dapat mengakibatkan remaja putri mencarinya di<br />

tempat lain. Pada orang tua yang keduanya bekerja<br />

di luar rumah, perlu memperhatikan anak-anak<br />

mereka secara ekstra karena kondisi rumah yang<br />

kerap ditinggalkan kosong dapat mempengaruhi<br />

kesehatan psikologis anak.<br />

5. Daftar Pustaka<br />

Bukowski, William M., Andrew F. Newcomb &<br />

Willard W. Hartup. (1996). The Company They<br />

Keep: Friendship in Childhood and<br />

Adoslescence. New York: Cambridge<br />

University Press


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 163<br />

Chaedar, A. Alwasilah. (2006). Pokoknya<br />

Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang <strong>dan</strong><br />

Melakukan <strong>Penelitian</strong> Kualitatif. Bandung:<br />

Pustaka Jaya<br />

Cook, Clayton R. dkk., (2010). Predictors of<br />

Bullying and Victimization in Childhood and<br />

Adolescence: A Meta-analytic Investigation.<br />

Journal of School Psychology Quarterly, vol.<br />

25, no. 2, p. 65-83.<br />

Freedson, Bette J. Understanding an Adolescent<br />

Phenomenon: Teens Click with Their Cliques.<br />

Accessed on March 17, 2012 from<br />

http://www.education.com/reference/<br />

article/understanding-adolescent-teen-cliques/<br />

Gerungan, W. A. (2009). <strong>Psikologi</strong> Sosial.<br />

Bandung: Refika Aditama<br />

Hallinan, Maureen T. & Stevens S. Smith. (1989).<br />

Classroom Characteristics and Student<br />

Friendship Cliques, Journal, vol. 67, no. 4, p.<br />

898-919.<br />

Hartwell-Walker, M. (2008). Click or Clique:<br />

Positive and Negative Teen Social Groups.<br />

Accessed on March 17, 2012 from<br />

http://psychcentral.com/lib/2008/click-orclique-positive-and-negative-teen-socialgroups/<br />

Henrich, Christopher C. dkk., (2000).<br />

Characteristics and Homogenity of Early<br />

Adolescent Friendship Group: A Comparison<br />

of Male and Female Clique and Nonclique<br />

Members. Journal of Applied Developmental<br />

Science, vol. 4, no. 1, p. 15-26.<br />

Hornby, A. S. (1987). Oxford Advanced Learner’s<br />

Dictionary of Current English. England:<br />

Oxford University Press<br />

Kiesner, Jeff dkk. (2002). Group Identification in<br />

Early Adolescense: Its Relation with Peer<br />

Adjustment and Its Moderator Effect on Peer<br />

Influence, Child Development Journal, vol. 73,<br />

no. 1, p. 196-208.<br />

Kuswana, Da<strong>dan</strong>g. (2011). Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Sosial. Bandung: Pustaka Setia<br />

Lee, Steven W. (2005). Encyclopedia of School<br />

Psychology. California: Sage Publications<br />

Lwin, May dkk., (2008). How to Multiply Your’s<br />

Child Intelligence. Yogyakarta: PT. Indeks<br />

Mary, Sister Vishala. (2008). Gui<strong>dan</strong>ce and<br />

Councelling (For Teachers, Parents and<br />

Students). New Delhi: S. Chand<br />

Moleong, Lexy J. (2002). Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya<br />

Papalia, Diane E., Sally W. Olds, Ruth D. Feldman.<br />

(2009). Human Development (Perkembangan<br />

Manusia). Jakarta: Salemba Humanika<br />

Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative<br />

Research & Evaluation Methods. California:<br />

Sage Publications<br />

Poerwandari, E. Kristi. (2009). Pendekatan<br />

Kualitatif untuk <strong>Penelitian</strong> Perilaku Manusia.<br />

Depok: Perfecta<br />

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.<br />

(2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia.<br />

Jakarta: Balai Pustaka<br />

Richards, William D. & Ronald E. Rice. (1981).<br />

The NEGOPY Network Analysis Program.<br />

Social Networks Journal no. 3, p. 215-223.<br />

Salkind, Neil J. (Ed). (2002). Child Development.<br />

New York: Macmillan Reference USA<br />

Salkind, Neil J. (Ed). (2008). Encyclopedia of<br />

Educational Psychology. California: Sage<br />

Publications<br />

Santrock, John W. (2003). Adolescence:<br />

Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga<br />

Schicke<strong>dan</strong>z, Judith A. dkk., (2001).<br />

Understanding Children and Adolescents.<br />

Boston: Allyn & Bacon<br />

Stewart, Charles J. & William B. Cash Jr. (2008).<br />

Interviewing: Principles and Practices.<br />

Singapore: McGraw-Hill<br />

Urberg, Kathryn A. dkk., (1998). Adolescent<br />

Friendship Networks: Continuity and Change<br />

Over the School Year. ProQuest Psychology<br />

Journal, vol. 4, no. 3, p. 313-337.<br />

Walgito, Bimo. (2003). <strong>Psikologi</strong> Sosial (Suatu<br />

Pengantar). Jogjakarta: Andi Offset<br />

Warga, Richard G. (1983). Personal Awareness: A<br />

Psychology of Adjustment. Boston: Houghton<br />

Mifflin Company


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 164<br />

RESILIENSI KELUARGA<br />

PADA KELUARGA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS<br />

Eunike Apostelina<br />

Jurusan <strong>Psikologi</strong>, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jalan Rawamangun Muka Jakarta Timur 13220, DKI Jakarta<br />

Email: apostelina@gmail.com<br />

Abstract<br />

This study aimed to determine the family resilience in families who have children with autism based on<br />

seven dimensions: stressors, strain, relative and friend support, social support, resilience, coping-coherence,<br />

and the distress raised by McCubbin, et al.<br />

. The method used in this research is descriptive quantitative method equipped with qualitative methods.<br />

Participants in this study consisted of 32 families with an autistic child to fill the scale of family resilience and<br />

for qualitative consisted of three families with an autistic child. Quantitative determination of samples was<br />

selected using purposive sampling techniques. Qualitative determination of the sample was selected using the<br />

sampling technique with a maximum variation. Data obtained with the scale of family resilience raised by<br />

McCubbin using the Likert scale models. For the qualitative data obtained through interviews, observation, field<br />

notes and open questionnaires.<br />

The results of quantitative research shows that family resilience in families with an autistic child<br />

classified in the category of medium based on the seven dimensions proposed by McCubbin and McCubbin.<br />

There are 21 (66%) families who are at medium stressor category, 28 (87.5%) families included in the category<br />

of medium strains, 25 (78.1%) fall into the category of families have relatives and friends who support medium,<br />

24 families (75%) included in the category of having social support medium, 15 families (46.9%) fall into the<br />

category of families who have family resilience medium, 23 families (71.9%) having a coping-coherence of the<br />

medium, and 28 families (87.5%) having a medium distress. The results of qualitative research showed that<br />

there were two families who have low family resilience and belonging to a family of medium. These three<br />

families have been able to fight for children's education, although not yet optimal. The three families<br />

particularly difficult to get social support from neighbors / friends around. This suggests that families with an<br />

autistic child are experiencing difficult and tend to feel protective factor in the risk factors through the process<br />

of life, making it difficult to achieve adaptation. These three families have a tendency to get family distress.<br />

Keywords: family resilience, family, Autism.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 165<br />

1. Pendahuluan<br />

Autisme <strong>dan</strong> berbagai gejalanya menimbulkan<br />

serta memberikan dampak stres pada keluarga yang<br />

memiliki anak autis. Keluarga akan mengalami<br />

banyak perubahan. Perubahan yang terjadi pada<br />

keluarga berkemungkinan menyebabkan keluarga<br />

berada pada situasi krisis.<br />

Hal ini menyebabkan orangtua <strong>dan</strong> saudara<br />

kandung membuat perubahan <strong>dan</strong> berbagai<br />

pengorbanan dalam fungsi keluarga secara optimal.<br />

Sebagian besar orangtua menginginkan anak<br />

mereka memiliki pertumbuhan <strong>dan</strong> perkembangan<br />

yang normal, namun pada kenyataannya ada dari<br />

mereka yang dikaruniai anak autis untuk mereka<br />

rawat <strong>dan</strong> mereka didik.<br />

Diagnosis autis terhadap anak merupakan<br />

stressor utama yang dirasakan keluarga. Autisme<br />

tidak dapat dicegah karena penyebab belum<br />

diketahui pasti sampai saat ini. Selain stressor<br />

utama, keluarga juga merasakan beberapa stressor<br />

<strong>dan</strong> strain lain yang menyebabkan terjadi<br />

akumulasi dari peristiwa yang menekan. Interaksi<br />

akumulasi dari peristiwa hidup ini menyebabkan<br />

keluarga berada dalam krisis.<br />

Krisis tersebut dapat berupa penolakan<br />

terhadap anak-anak autis yang terlihat ketika<br />

mereka sulit diterima untuk belajar di sekolahsekolah<br />

umum sebagaimana anak-anak lainnya.<br />

Selain itu krisis juga dapat berupa emosi yang<br />

terkait dengan membesarkan/merawat anak autis<br />

mencakup frustasi, kecemasan, keresahan, terkejut,<br />

A. Resiliensi Keluarga<br />

a.1 Definisi Resiliensi Keluarga<br />

Konsep resiliensi keluarga berakar dari<br />

pemahaman mengenai resiliensi individu. Resiliensi<br />

merupakan proses adaptasi secara baik dalam<br />

menghadapi kemalangan, trauma, tragedi, ancaman,<br />

atau bahkan sumber stres yang signifikan. Konsep<br />

resiliensi tidak hanya mencakup kemampuan untuk<br />

bertahan tetapi juga bangkit kembali dari krisis.<br />

Secara umum penelitian resiliensi berfokus kepada<br />

resiliensi individu, dengan perhatian khusus kepada<br />

anak-anak yang berada dalam bahaya hingga<br />

mengalami kemalangan. Walgnild <strong>dan</strong> young<br />

mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan<br />

untuk mengatasi perubahan atau kemalangan.<br />

Berakar dari ulasan mengenai resiliensi terhadap<br />

ketidakberdayaan, marah, kesedihan, kekesalan,<br />

permasalahan keuangan (financial strain), beban<br />

dalam mengasuh, kekacauan dari aktivitas yang<br />

telah direncanakan, keterbatasan dalam berwisata,<br />

perubahan rencana dalam waktu yang singkat, <strong>dan</strong><br />

fokus keluarga hanya pada tujuan jangka pendek<br />

dibandingkan dengan tujuan jangka panjang.<br />

Agar bisa beradaptasi dengan baik keluarga<br />

harus bisa menggunakan sumber daya yang<br />

dimilikinya. Sumber daya itu dapat berupa<br />

dukungan sosial yang didapat dari kerabat <strong>dan</strong><br />

teman serta komunitas <strong>dan</strong> sumber daya sistem<br />

keluarga yang meliputi kemampuan ketahanan<br />

keluarga. Sumber daya yang dimiliki keluarga akan<br />

membantu keluarga untuk beradaptasi dengan<br />

masalah yang dihadapinya. Keluarga yang memiliki<br />

sumber daya yang lebih banyak akan lebih mudah<br />

beradaptasi dengan peristiwa kehidupan yang<br />

menekan.<br />

Keluarga yang dapat beradaptasi dengan<br />

sukses akan mencapai keseimbangan dalam<br />

keluarga. Keluarga tersebut dapat dikatakan<br />

resilien. Untuk mengetahui resiliensi keluarga pada<br />

keluarga yang memiliki anak autis, perlu dilihat<br />

bagaimana stressor <strong>dan</strong> strain yang dihadapi<br />

keluarga, bagaimana dukungan yang diterima<br />

keluarga, bagaimana karaterisktik ketahanan<br />

keluarga sebagai sumber daya sistem yang dimiliki<br />

keluarga, bagimana keluarga mendefinisikan serta<br />

menilai peristiwa yang dihadapinya, serta peristiwa<br />

distress yang dirasakan keluarga.<br />

individu, muncullah istilah resiliensi keluarga<br />

(family resicilence) yang menyatakan kemampuan<br />

keluarga untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa<br />

kemalangan atau tekanan yang berat.<br />

Resiliensi adalah kemampuan bangkit kembali<br />

dari masalah sehingga menjadi lebih kuat <strong>dan</strong> lebih<br />

pandai dalam menghadapi masalah. Definisi ini<br />

mengisyaratkan bahwa resiliensi melibatkan dua<br />

fenomena, yaitu yang pertama mengalami masalah<br />

yang juga berarti dalam keadaan resiko tinggi <strong>dan</strong><br />

yang kedua mampu untuk mencegah konsekuensi<br />

negatif yang berhubungan dengan resiko tersebut,<br />

juga memacu pertumbuhan. Hawley & De Haan<br />

menyatakan bahwa proses resiliensi sebagai<br />

interaksi antara faktor risiko <strong>dan</strong> faktor protektif.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 166<br />

Faktor protektif dapat dianggap kuat, berinteraksi<br />

dengan faktor risiko, mengurangi dampak negatif<br />

dari risiko. Model ini juga mengatakan bahwa<br />

resiliensi tidak hanya bangkit kembali <strong>dan</strong> menjadi<br />

kuat tetapi juga a<strong>dan</strong>ya kekuatan yang membantu<br />

seseorang untuk bertahan dari masalah mereka serta<br />

tumbuh menjadi manusia yang lebih kuat.<br />

Resiliensi bukanlah hal yang dibicarakan<br />

fokus pada individu saja melainkan sebuah proses<br />

interaksional antara karakteristik individual <strong>dan</strong><br />

lingkungan. Resiliensi juga dimiliki oleh keluarga<br />

sebagai sebuah satu kesatuan. Resiliensi keluarga<br />

adalah proses adaptasi <strong>dan</strong> coping dalam keluarga<br />

sebagai sebuah unit fungsional. Resiliensi<br />

melibatkan proses dinamis yang membantu<br />

beradaptasi dalam masalah yang signifikan.<br />

Kekuatan <strong>dan</strong> sumber daya inilah yang<br />

memungkinkan individu serta keluarga untuk<br />

sukses menghadapi krisis <strong>dan</strong> masalah yang<br />

persisten. Selain itu, kekuatan <strong>dan</strong> sumber daya<br />

yang dimiliki dapat memulihkan <strong>dan</strong> bertumbuh<br />

dari pengalaman yang tidak menyenangkan.<br />

Konsep resiliensi keluarga meluas dari yang tadinya<br />

hanya melihat individu (anggota keluarga) sebagai<br />

sumber daya potensial untuk resiliensi individu<br />

menjadi fokus pada risiko <strong>dan</strong> resiliensi pada<br />

keluarga sebagai sebuah unit fungsional.<br />

Boss mengatakan bahwa resiliensi keluarga<br />

melibatkan potensi perubahan <strong>dan</strong> pertumbuhan<br />

baik secara personal maupun relasional yang dapat<br />

membantu keluar dari masalah. Keluarga dapat<br />

menjadi lebih kuat <strong>dan</strong> lebih pandai ketika<br />

berhadapan dengan masalah di masa yang akan<br />

datang. A<strong>dan</strong>ya masalah dapat menjadi kesempatan<br />

bagi keluarga untuk menilai kembali prioritas,<br />

menstimulasi hubungan yang lebih baik <strong>dan</strong> tujuan<br />

hidup keluarga. Anggota keluarga mungkin dapat<br />

menemukan atau mengembangkan hikmah <strong>dan</strong><br />

kemampuan baru.<br />

Pada penelitian ini akan digunakan definsi dari<br />

McCubbin <strong>dan</strong> McCubbin. McCubbin <strong>dan</strong><br />

McCubbin mendefinisikan resiliensi keluarga<br />

sebagai:<br />

“the positive behavioral patterns and<br />

functional competence individual and the family<br />

unit demonstrate under stressful or adverse<br />

circumstances, which determine the family’s ability<br />

to recover by maintaining its integrity as a unit<br />

while insuring, and where necessary restoring, the<br />

well-being of family members, and the family unit<br />

as a whole”<br />

McCubbin <strong>dan</strong> McCubbin mengatakan bahwa<br />

resiliensi keluarga merupakan gabungan antara pola<br />

tingkah laku positif <strong>dan</strong> kompetensi fungsional<br />

yang dipunyai masing-masing individu dalam<br />

keluarga <strong>dan</strong> unit keluarga secara keseluruhan.<br />

Tingkah laku positif <strong>dan</strong> kompetensi individual ini<br />

diperlukan dalam bereaksi terhadap lingkungan<br />

yang menekan <strong>dan</strong> merugikan (seperti peristiwa<br />

hidup yang signifikan). Selain itu juga menentukan<br />

kemampuan keluarga tersebut untuk pulih dengan<br />

cara mempertahankan integritasnya sebagai sebuah<br />

kesatuan namun dengan tetap mempertahankan <strong>dan</strong><br />

memperbaiki kesejahteraan anggota keluarga <strong>dan</strong><br />

unit keluarga secara keseluruhan.<br />

a.2 The Resiliency Model of Family Stress,<br />

Adjustment, and Adaptation<br />

Kerangka teoritis yang digunakan adalah<br />

Model Resiliensi dari Stress, Penyesuaian, <strong>dan</strong><br />

Adaptasi Keluarga (The Resiliency Model of Family<br />

Stress, Adjustment, and Adaptation). Hal ini<br />

dikarenakan model ini sesuai untuk<br />

mengidentifikasi peristiwa hidup yang signifikan<br />

<strong>dan</strong> proses spesifik yang memungkinkan keluarga<br />

untuk bisa pulih <strong>dan</strong> beradaptasi dengan sukses <strong>dan</strong><br />

bisa menjadi resilien.<br />

a.3 Sejarah Perkembangan Model<br />

Resiliensi Keluarga<br />

Dasar utama pengembangan model ini adalah<br />

teori stres keluarga yang mengacu kepada model<br />

ABC-X dari Rueben Hills. Model ini<br />

dilatarbelakangi kehidupan keluarga setelah perang<br />

dunia kedua. Melalui model ini, Hills menjelaskan<br />

bagaimana keluarga bisa beradaptasi dengan krisis<br />

yang disebabkan oleh perang. Setiap huruf dari<br />

model ABC-X merepresentasikan proses spesifik<br />

yang dialami keluarga ketika dihadapkan kepada<br />

sebuah stressor. Menurut Hills, situasi yang<br />

menekan adalah sebuah peristiwa yang bisa<br />

menyebabkan gangguan dari kehidupan normal<br />

keluarga yang mengharuskan keluarga untuk<br />

beradaptasi. Huruf A merepresentasikan peristiwa<br />

yang menekan (stressor) yang mempunyai potensi<br />

untuk menyebabkan penderitaan pada keluarga.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 167<br />

Dalam penelitian ini, situasi menekan yang<br />

dihadapi keluarga adalah diagnosis autis, proses<br />

merawat <strong>dan</strong> mendidik anak autis yang harus di<br />

jalani. Huruf B merepresentasikan sumber daya<br />

atau kemampuan keluarga dalam beradaptasi<br />

dengan situasi yang menekan. Huruf B berupa<br />

dukungan sosial <strong>dan</strong> kekuatan personal yang<br />

dimiliki keluarga. Huruf C merepresentasikan cara<br />

keluarga meman<strong>dan</strong>g peristiwa yang menekan<br />

tersebut, termasuk didalamnya bagaimana keluarga<br />

mendefinisikan peristiwa kehidupan itu. Huruf X<br />

mewakili derajat dari krisis yang dialami keluarga.<br />

Berdasarkan model ini keluarga dengan sumber<br />

daya yang terbatas <strong>dan</strong> memiliki pan<strong>dan</strong>gan negatif<br />

terhadap situasi akan mengalami krisis yang lebih<br />

berat dari pada keluarga lainnya yang dihadapkan<br />

pada peristiwa menekan yang sama.<br />

Kritik diajukan oleh McCubbin <strong>dan</strong> Peterson<br />

terhadap model ABC-X dari Hills. Model ABC-X<br />

dianggap hanya menjelaskan efek situasi menekan<br />

terhadap keluarga tetapi tidak menjelaskan<br />

bagaimana keluarga bisa menyesuaikan <strong>dan</strong><br />

beradaptasi terhadap situasi tersebut. Tindak lanjut<br />

dari kritikan ini, McCubbin <strong>dan</strong> Peterson<br />

mengajukan sebuah model untuk menyempurnakan<br />

model ABC-X, yaitu model penyesuaian <strong>dan</strong><br />

adaptasi double ABC-X. Model double ABC-X<br />

memfokuskan terhadap faktor-faktor seperti<br />

kemampuan coping <strong>dan</strong> dukungan sosial keluarga<br />

yang menfasilitasi keluarga dalam beradaptasi<br />

dengan situasi menekan.<br />

a.4 Dimensi Resiliensi Keluarga<br />

Menggunakan tujuh dimensi yang akan diteliti<br />

untuk menjawab pertanyaan penelitian pada<br />

penelitian ini. Pemilihan tujuh dimensi ini<br />

berdasarkan penyataan yang menyatakan bahwa<br />

tujuh dimensi ini adalah salah satu pilihan dimensi<br />

utama yang digunakan untuk melihat proses<br />

adaptasi keluarga. Tujuh dimensi tersebut adalah<br />

dua dimensi yang mempengaruhi pile up demands<br />

yaitu family stressor <strong>dan</strong> family strain, dua dimensi<br />

yang mengukur social support yaitu dukungan<br />

kerabat <strong>dan</strong> teman serta dukungan komunitas, satu<br />

dimensi mengukur family system resources yaitu<br />

family hardiness, satu dimensi yang mengukur<br />

family appraisal yaitu family coherence, serta satu<br />

dimensi mengukur a<strong>dan</strong>ya kecenderungan<br />

maladaptasi yaitu dimensi family distress.<br />

B. Autisme<br />

b.1 Pengertian Autisme<br />

Istilah “autisme” pertama kali diperkenalkan<br />

pada tahun 1943 oleh Leo Kanner. Dia menulis<br />

makalah yang menjabarkan gejala-gejala “aneh”<br />

yang ia temukan pada sebelas orang anak yang<br />

menjadi pasiennya. Ia melihat banyak sekali<br />

persamaan gejala pada anak-anak tersebut, namun<br />

yang sangat menonjol adalah anak ini sangat asyik<br />

dengan dirinya sendiri, seolah-olah ia hidup dalam<br />

dunianya sendiri. Istilah autisme jika diartikan<br />

secara singkat adalah orang yang hidup dalam<br />

dunianya sendiri.<br />

Secara etimologis kata “autisme” berasal dari<br />

kata “auto” <strong>dan</strong> “isme”. Auto artinya diri sendiri<br />

<strong>dan</strong> isme berarti suatu aliran/paham. Dengan<br />

demikian autisme diartikan sebagai suatu paham<br />

yang hanya tertarik pada dunianya (diri) sendiri.<br />

Perilakunya timbul semata-mata karena dorongan<br />

dari dalam dirinya. Penyan<strong>dan</strong>g autisme seakanakan<br />

tidak peduli dengan stimulus-stimulus yang<br />

datang dari orang lain, ada gangguan komunikasi.<br />

Penyan<strong>dan</strong>g autisme memiliki gangguan pada<br />

interaksi sosial, komunikasi verbal maupun<br />

nonverbal, imajinasi, pola perilaku repetitif <strong>dan</strong><br />

resistensi terhadap perubahan pada rutinitas.<br />

Menurut Sunartini menjelaskan pula bahwa autistik<br />

diartikan sebagai gangguan perkembangan pervasif<br />

yang ditandai oleh a<strong>dan</strong>ya abnormalitas <strong>dan</strong><br />

kelainan yang muncul sebelum anak berusia tiga<br />

tahun. Fungsi yang abnormal tersebut adalah<br />

interaksi sosial, komunikasi, <strong>dan</strong> perilaku yang<br />

terbatas <strong>dan</strong> terulang. Sehingga mereka tidak<br />

mampu mengekspresikan perasaan maupun<br />

keinginan mereka yang mengakibatkan<br />

terganggunya proses sosialisasi dengan orang lain.<br />

Beberapa ahli juga menemukan bahwa anak<br />

autistik mengalami beberapa gangguan antara lain<br />

pada cerebellum yang berfungsi dalam proses<br />

sensorik, mengingat, kemampuan bahasa <strong>dan</strong><br />

perhatian. Gangguan juga terjadi pada sistem<br />

limbik yang merupakan pusat emosi sehingga<br />

penderita kesulitan mengendalikan emosi, mudah<br />

mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada<br />

hal-hal tertentu <strong>dan</strong> mendadak tertawa.<br />

Perhatiannya terhadap lingkungan terhambat karena<br />

a<strong>dan</strong>ya gangguan pada lobus parietallis.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 168<br />

Autisme bukanlah penyakit mental maupun<br />

psikosis (kejiwaan). Sebagian besar penyan<strong>dan</strong>g<br />

autisme juga mengalami cacat mental, tapi masalah<br />

mereka dengan perkembangan komunikasi,<br />

perilaku sosial <strong>dan</strong> imajinasi tidak dapat dijelaskan<br />

hanya dengan istilah keterbelakangan mental.<br />

Autistik dapat terjadi pada setiap anak tidak<br />

meman<strong>dan</strong>g lapisan sosial ekonomi, tingkat<br />

pendidikan orangtua, ras, etnik maupun agama.<br />

b.2 Penyebab Autisme<br />

Sampai saat ini masih belum diketahui dengan<br />

pasti penyebab dari autistik. Berbagai penelitian<br />

telah dilakukan untuk mencari penyebabnya. Akan<br />

tetapi pemeriksaan <strong>dan</strong> pembahasan secara ilmiah<br />

baru dimulai pada tahun 1943 oleh Leo Kanner<br />

yang mengamati bahwa sejak awal terdapat suatu<br />

kesendirian autistik ekstrem yang kapanpun<br />

memungkinkan, tidak memedulikan, mengabaikan,<br />

menutup diri dari segala hal yang berasal dari luar<br />

dirinya. Ada beberapa teori yang sempat<br />

berkembang di masyarakat tapi tidak bertahan lama<br />

karena tidak dapat dibuktikan lagi seiring<br />

perkembangan zaman.<br />

Meurice menegaskan bahwa autistik<br />

merupakan gangguan perkembangan pervasif yang<br />

disebabkan oleh gangguan biologi di otak, bukan<br />

gangguan emosi akibat perilaku orangtua atau<br />

keluarga. Pada tahun 1990, Margareth Bauman dari<br />

Harvard Medical School <strong>dan</strong> Erick menemukan<br />

bahwa a<strong>dan</strong>ya kelainan neuron-anatomy pada<br />

beberapa tempat di otak para penyan<strong>dan</strong>g autisme.<br />

Dengan melakukan pemerikasaan Magnetic<br />

Resonance Imaging (MRI) Erick menemukan<br />

a<strong>dan</strong>ya pengecilan cerebellum (otak kecil),<br />

terutama pada lobus VI-VII. Penemuan ini<br />

ditunjang oleh hasil otopsi oleh Margareth yang<br />

menemukan a<strong>dan</strong>ya kelainan struktur pada pusat<br />

emosi. Gangguan neuro-anatomi ini disertai juga<br />

gangguan bio-kimia otak.<br />

Autistik diduga merupakan gangguan dengan<br />

penyebab multifaktorial, meliputi penyebab genetik<br />

atau biologik <strong>dan</strong> penyebab lingkungan. Beberapa<br />

penelitian menunjukkan betapa banyak gangguan<br />

metabolisme yang diderita anak autistik.<br />

Meskipun belum ada kepastian penyebab<br />

autis, namun penelitian-penelitian <strong>dan</strong> pendapatpendapat<br />

sehubungan dengan faktor penyebab<br />

terjadinya anak autis dapat disimpulkan bahwa<br />

penyebab autistik diduga dari multifaktorial.<br />

Meliputi penyebab genetik atau biologik <strong>dan</strong><br />

penyebab lingkungan. Kelainan organik yang<br />

terbanyak ditemukan pada cerebellum, hipokampus<br />

<strong>dan</strong> amigdala di lobus frontalis, <strong>dan</strong> batang otak.<br />

Berbagai faktor lingkungan akan menyebabkan<br />

munculnya gejala autistik pada anak yang sudah<br />

mempunyai predisposisi genetik.<br />

b.3 Ciri-ciri Autisme<br />

Gangguan autistik dalam DSM-IV (Diagnostic<br />

Statistical Manual) adalah sebagai berikut. Terdapat<br />

paling sedikit enam pokok dari kelompok 1, 2 <strong>dan</strong> 3<br />

yang meliputi paling sedikit dua pokok dari<br />

kelompok 1, paling sedikit satu pokok dari<br />

kelompok 2 <strong>dan</strong> paling sedikit satu pokok dari<br />

kelompok 3.<br />

1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial<br />

yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua di antara<br />

yang berikut ini:<br />

a) Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan<br />

berbagai perilaku nonverbal (bukan lisan) seperti<br />

kontak mata, ekspresi wajah, gesture, <strong>dan</strong> gerak<br />

isyarat untuk melakukan interaksi sosial.<br />

b) Ketidakmampuan mengembangkan<br />

hubungan pertemanan sebaya yang sesuai dengan<br />

tingkat perkembangannya.<br />

c) Ketidakmampuan turut merasakan<br />

kegembiraan orang lain.<br />

d) Kekurangmampuan dalam berhubungan<br />

emosional secara timbal balik dengan orang lain.<br />

2) Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi<br />

yang ditunjukkan oleh paling sedikit satu dari yang<br />

berikut ini:<br />

a) Keterlambatan atau kekurangan menyeluruh<br />

dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk<br />

mengimbanginya dengan penggunaan gesture atau<br />

mimik muka sebagai cara alternatif dalam<br />

berkomunikas).<br />

b) Ciri gangguan yang jelas pada kemampuan<br />

untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan<br />

dengan orang lain meskipun dalam percakapan<br />

sederhana.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 169<br />

c) Penggunaan bahasa-bahasa yang repetitif<br />

(diulang-ulang) atau stereotip (meniru-niru) atau<br />

bersifat idionsinktratik (aneh).<br />

d) Kurang beragamnya spontanitas dalam<br />

permainan pura-pura atau meniru orang lain yang<br />

sesuai dengan tingkat perkembangannya.<br />

3) Pola minat perilaku yang terbatas, repetitif,<br />

<strong>dan</strong> stereotip seperti yang ditunjukkan oleh paling<br />

tidak satu dari yang berikut ini:<br />

a) Meliputi keasyikkan dengan satu atau lebih<br />

pola minat yang terbatas atau stereotip yang bersifat<br />

abnormal baik dalam intensitas maupun fokus.<br />

b) Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh<br />

rutinitas atau ritual spesifik (kebiasaan tertentu)<br />

yang nonfungsional (tidak berhubungan dengan<br />

fungsi).<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>Penelitian</strong> ini dilakukan di Yayasan Cagar<br />

Rumah Autis Bekasi, cabang Bogor, <strong>dan</strong> cabang<br />

Depok serta di Yayasan Bimatera Jakarta Timur.<br />

Metode penelitian yang digunakan adalah metode<br />

campuran sekuensial / bertahap (sequential mixed<br />

methods) merupakan prosedur-prosedur dimana di<br />

dalamnya peneliti berusaha menggabungkan atau<br />

memperluas penemuan-penemuannya yang<br />

diperoleh dari satu metode dengan penemuanpenemuannya<br />

dari metode lain<strong>Penelitian</strong> ini<br />

bertujuan untuk mengetahui resiliensi keluarga<br />

pada keluarga yang memiliki anak autis.<br />

Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga<br />

yang memiliki anak berkebutuhan khusus autis<br />

yang menjalani terapi di Rumah Autis Bekasi,<br />

cabang Bogor <strong>dan</strong> cabang Depok serta Yayasan<br />

Bimatera Jakarta Timur berjumlah 88 keluarga<br />

yang memiliki anak autis. Teknik pemilihan sampel<br />

yang digunakan dalam penelitian ini bersifat<br />

nonprobability sampling. Pada penelitian ini tidak<br />

semua individu dalam populasi memiliki<br />

kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Cara<br />

pengambilan sampel yaitu dengan purposive<br />

sampling. Tehnik ini melakukan pengambilan<br />

sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan<br />

sampel yang diperlukan. Penentuan sampel pada<br />

penelitian ini disesuaikan dengan tujuan yaitu<br />

mendapatkan deskripsi resiliensi keluarga yang<br />

memiliki anak autis. Untuk memperoleh data<br />

c) Perilaku gerakan stereotip <strong>dan</strong> repetitif<br />

(seperti terus menerus membuka-tutup genggaman,<br />

memuntir jari atau tangan atau menggerakkan tubuh<br />

dengan cara yang kompleks).<br />

d) Keasyikan yang terus-menerus terhadap<br />

bagian-bagian dari sebuah benda.<br />

Perkembangan abnormal atau terganggu<br />

sebelum usia 3 tahun seperti yang ditunjukkan<br />

oleh keterlambatan atau fungsi yang<br />

abnormal pada paling sedikit satu dari<br />

bi<strong>dan</strong>g-bi<strong>dan</strong>g berikut ini: (1) interaksi sosial,<br />

bahasa yang digunakan dalam perkembangan<br />

sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam<br />

komunikasi sosial, atau (3) permainan simbolik<br />

atau imajinatif.<br />

kuantitatif menggunakan purposive sampling, yaitu<br />

keluarga yang sesuai dengan karakteristik tujuan.<br />

Untuk data kualitatif dilakukan dengan<br />

pengambilan sampel dengan variasi maksimum.<br />

Poerwandari mengatakan, bahwa pengambilan ini<br />

dilakukan bila subjek penelitian menampilkan<br />

banyak variasi, <strong>dan</strong> penelitian bertujuan menangkap<br />

<strong>dan</strong> menjelaskan tema-tema sentral yang<br />

tertampilkan sebagai akibat keluasan cakupan<br />

(variasi) partisipan penelitian. Keterwakilan semua<br />

variasi penting, <strong>dan</strong> pendekatan sampel variasi<br />

maksimum justru mencoba memanfaatkan a<strong>dan</strong>ya<br />

perbedaan-perbedaan yang ada untuk menampilkan<br />

kekayaan data.<br />

Patton dalam Poerwandari mengatakan bahwa<br />

bila penentuan sampel dilakukan dengan baik,<br />

temuan diharapkan dapat menampilkan: (1)<br />

deskripsi yang berkualitas <strong>dan</strong> mendetail dari tiap<br />

kasus, dengan mendokumentasikan keunikan<br />

masing-masing kasus; (2) pola-pola yang tampil<br />

dari kasus yang berbeda-beda, sebagai konsekuensi<br />

dari heterogenitas sampel. Variasi pada penelitian<br />

ini adalah jumlah keluarga, jenis autisme <strong>dan</strong> usia<br />

anak yang dapat mempengaruhi resiliensi keluarga.<br />

Tehnik pengumpulan data awal dilakukan<br />

secara kuantitatif dengan menyebarkan skala<br />

psikologi. Selanjutnya dilakukan pengambilan data<br />

secara kualitatif. Pendekatan penelitian ini<br />

dilakukan karena permasalahan penelitian dilihat


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 170<br />

sebagai realitas sosial yang memerlukan eksplorasi<br />

mendalam. <strong>Penelitian</strong> kualitatif adalah penelitian<br />

yang menekankan pada kualitas atau hal terpenting<br />

dari suatu fenomena. Suatu penelitian kualitatif<br />

dieksplorasi <strong>dan</strong> diperdalam dari suatu fenomena<br />

sosial yang terdiri atas pelaku, kejadian, tempat,<br />

<strong>dan</strong> waktu. Data kualitatif diperoleh melalui<br />

wawancara mendalam pada keluarga yang memiliki<br />

anak autis. Keluarga yang diwawancara adalah<br />

keluarga yang ikut mengisi kuesioner pada data<br />

kuantitatif. Jumlah keluarga yang akan<br />

diwawancara adalah tiga keluarga.<br />

Instrumen penelitian yang akan digunakan<br />

dalam pengambilan data terbagi atas instrumen<br />

penelitian kuantitatif <strong>dan</strong> instrumen penelitian<br />

kualitatif. Instrumen kuantitatif yang digunakan<br />

adalah kuesioner yang dibuat oleh McCubbin <strong>dan</strong><br />

McCubbin.<br />

Untuk instrumen kualitatif, metode<br />

pengambilan data yang digunakan ialah wawancara,<br />

observasi, catatan lapangan <strong>dan</strong> dokumen berisi<br />

kisah beberapa orangtua yang memiliki anak autis.<br />

Tujuan dari metode wawancara ini menurut<br />

Banister dkk ialah untuk memperoleh pengetahuan<br />

tentang makna-makna subjektif yang dipahami<br />

individu berkenaan dengan topik yang diteliti, <strong>dan</strong><br />

bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu<br />

tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan<br />

melalui pendekatan lain. Observasi dilakukan<br />

karena merupakan metode pengumpulan data<br />

esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan<br />

pendekatan kualitatif.<br />

Teknik analisa data yang dilakukan untuk<br />

mengatasi data pada penelitian ini adalah teknik<br />

eksplanatoris sekuensial. Merupakan strategi yang<br />

lebih condong pada proses kuantitatif. Teknik ini<br />

diterapkan dengan pengumpulan <strong>dan</strong> analisisi data<br />

kuantitatif pada tahap pertama yang diikuti oleh<br />

pengumpulan <strong>dan</strong> analisis data kualitatif pada tahap<br />

kedua. Rancangan eksplanatoris sekuensial<br />

biasanya digunakan untuk menjelaskan <strong>dan</strong><br />

menginterpretasikan hasil-hasil kuantitatif<br />

berdasarkan hasil pengumpulan <strong>dan</strong> analisis data<br />

kualitatif. Menurut Morse, 1991, rancangan ini<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

Berikut adalah hasil <strong>dan</strong> diskusi dari penelitian<br />

mengenai resiliensi keluarga pada keluarga yang<br />

memiliki anak autis. Berdasarkan skor resiliensi<br />

secara khusus berguna ketika muncul hasil-hasil<br />

yang tidak diharapkan dari penelitian kuantitatif.<br />

Sifat keterusterangan (straightforwarad) dari<br />

rancangan ini merupakan salah satu kekuatan<br />

utamanya. Berikut adalah teknik analisis data<br />

kuantitatif <strong>dan</strong> kualitatif:<br />

1. Statistik deskriptif data (mencari mean,<br />

median, modus, range, varian, nilai maksimal, nilai<br />

minimal, <strong>dan</strong> standar deviasi)<br />

2. Pada penelitian kuantitatif ini, digunakan<br />

patokan standar yang ditetapkan oleh McCubbin<br />

dkk. Kategori se<strong>dan</strong>g apabila nilai skor resiliensi<br />

terletak pada rentang 1SD diatas <strong>dan</strong> dibawah<br />

mean. Kategori rendah apabila skor resiliensi lebih<br />

kecil dari 1SD dibawah mean. Kategori tinggi<br />

apabila nilai skor resiliensi lebih besar dari 1SD<br />

diatas mean.Untuk menentukan kategorisasi skor<br />

keseluruhan aspek, ketentuan yang digunakan<br />

adalah sebagai berikut :<br />

Tinggi = X > (Mean + 1SD)<br />

Rendah = X < (Mean - 1SD)<br />

Medium (Se<strong>dan</strong>g) = Rendah ≤ X ≤ Tinggi<br />

3. Pembacaan koding transkrip verbatim<br />

wawancara:<br />

W1.ME.P.26 Juni 2012. Lamp. 6 Hal: 155, 166-168<br />

Keterangan :<br />

W1.ME : Wawancara pertama pada subjek<br />

ME<br />

26 Juni 2012 : tanggal wawancara<br />

Lamp. 6 Hal 155 : transkrip berada di lampiran 6<br />

halaman 155<br />

166-168 : kutipan berada di baris 166 sampai<br />

dengan 168 pada transkrip.<br />

4. Triangulasi Data<br />

Triangulasi yang dilakukan pada penelitian<br />

kualitatif ini adalah triangulasi data. Menurut Paton<br />

dalam penelitian kualitatif oleh Burhan, hal ini<br />

dilakukan untuk membangdingkan <strong>dan</strong> mengecek<br />

bait derajat kepercayaan suatu informasi yang<br />

diperoleh melalui waktu <strong>dan</strong> cara yang berbeda<br />

dalam metode kualitatif.<br />

keluarga yang diperoleh, maka didapatkan data<br />

sebagai berikut :


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 171<br />

No<br />

.<br />

8<br />

Distribusi Frekuensi Skor Resiliensi Keluarga<br />

Interval<br />

Skor<br />

Frek (f) Persentase<br />

(%)<br />

1 56 – 66 2 6,2%<br />

2 67 – 77 1 3,1%<br />

3 78 – 88 2 6,2%<br />

4 89 – 99 7 21,9%<br />

5 100 – 110 5 15,7%<br />

6 111 – 121 9 28,2%<br />

7 122 – 132 4 12,5%<br />

frekuensi<br />

133 – 143 2 6,2%<br />

Total 32 100<br />

10<br />

skor resiliensi …<br />

0<br />

Gambar Distribusi Frekuensi Skor Resiliensi Keluarga<br />

Tabel <strong>dan</strong> gambar menunjukkan bahwa frekuensi<br />

terbesar terdapat pada interval 111-121 yaitu 9<br />

keluarga atau sebesar 28,2%. Se<strong>dan</strong>gkan frekuensi<br />

terkecil terdapat pada interval 67-77 yaitu sebanyak<br />

1 keluarga atau 3,1%.<br />

Skor resiliensi keluarga juga dideskripsikan<br />

berdasarkan ukuran pemusatan <strong>dan</strong> penyebaran.<br />

Ukuran pemusatan <strong>dan</strong> penyebaran bertujuan<br />

menggambarkan karakteristik, ciri atau keadaan<br />

data hasil penelitian. Hasilnya dapat dilihat pada<br />

tabel<br />

Skor resiliensi keluarga berdasarkan<br />

ukuran pemusatan <strong>dan</strong> penyebaran<br />

Mean 104,97<br />

Median 108,15<br />

Modus 56 a<br />

Standar Deviasi 20,382<br />

Varians 415,412<br />

Range 87<br />

Nilai Maksimum 143<br />

Nlai Minimum 56<br />

Skor Total 3359<br />

Dari tabel yang sudah dibuat dapat diketahui<br />

bahwa skor mean untuk resiliensi keluarga adalah<br />

adalah 104,97. Nilai maksimum empirik yang<br />

diperoleh adalah 143 <strong>dan</strong> nilai minimumnya adalah<br />

56.<br />

Dari hasil pengukuran resiliensi keluarga,<br />

telah didapat hasil sebagai berikut :<br />

Skor Resiliensi Keluarga Berdasarkan<br />

Mean, Median, Nilai Minimum, <strong>dan</strong> Nilai<br />

Maksimum<br />

N<br />

o<br />

Dimensi Mean Minimum Maksimum<br />

1. Stressor 13,3 0 31,7<br />

2. Strain 8,38 0 28,1<br />

3. dukungan kerabat <strong>dan</strong><br />

teman<br />

25,5 40 71<br />

4. dukungan sosial 45,12 19 33<br />

5. ketahanan keluarga 43,37 21 53<br />

6. kemampuan coping 16,71 11 20<br />

7. distress 4,06 0 33,6<br />

Dari data dapat kita ketahui bahwa dalam<br />

resiliensi keluarga, dimensi dukungan sosial<br />

memiliki mean tertinggi, yaitu sebesar 45,12.<br />

Diikuti selanjutnya oleh dimensi ketahanan<br />

keluarga, yaitu sebesar 43,47. Kemudian dimensi<br />

dukungan kerabat <strong>dan</strong> teman sebesar 25,5. Lalu<br />

dimensi selanjutnya adalah dimensi kemampuan<br />

coping yaitu dengan mean 16,71. Terakhir diikuti<br />

oleh faktor resiko keluarga dalam yaitu stressor,<br />

strain, distress yang masing-masing memiliki mean<br />

sebesar 13,3 lalu 8,38 <strong>dan</strong> 4,06.<br />

Berdasarkan penelitian kuantitatif ada 4 (12%)<br />

keluarga yang berada pada kategori stressor tinggi,<br />

21 (66%) keluarga yang berada pada kategori<br />

stressor medium, <strong>dan</strong> 7 (22%) keluarga berada pada<br />

kategori stressor rendah. Berdasarkan penelitian<br />

kualitatif semua merasakan stressor berhubungan<br />

dengan diagnosis autis pada anak mereka. Jenis<br />

stressor yang dirasakan adalah stressor yang<br />

disebabkan oleh stressor utama <strong>dan</strong> perkembangan<br />

stressor utama sepanjang waktu, pembentukan pola<br />

keluarga yang baru, kematian salah satu pasangan,<br />

strategi coping yang digunakan sebelumnya yang<br />

membawa dampak, ketegangan yang telah terjadi<br />

sebelum stressor utama terjadi, <strong>dan</strong> transisi<br />

normatif yang terjadi pada keluarga besar.<br />

Untuk strain, berdasarkan penelitian<br />

kuantitatif ada 4 (12,5%) keluarga yang termasuk<br />

dalam kategori strain tinggi <strong>dan</strong> ada 28 (87,5%)


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 172<br />

keluarga yang termasuk dalam kategori strain<br />

se<strong>dan</strong>g. Tidak ada keluarga yang memiliki skor<br />

strain rendah. Berdasarkan penelitian kualitatif dari<br />

tiga keluarga yang diwawancara, semuanya<br />

mengalami strain. Diantaranya ialah, bertambah /<br />

sering terjadi konflik antara suami istri, masalah<br />

finansial keluarga yang menyebabkan ketegangan,<br />

hubungan yang renggang antara suami istri karena<br />

tuntutan pekerjaan, serta a<strong>dan</strong>ya konflik yang<br />

meningkat ketika mengatur anak-anak.<br />

Berdasarkan penelitian kuantitatif didapat 4<br />

(12,5%) keluarga termasuk dalam keluarga yang<br />

memiliki dukungan kerabat <strong>dan</strong> teman yang tinggi,<br />

25 (78,1%) keluarga termasuk ke dalam kategori<br />

se<strong>dan</strong>g, <strong>dan</strong> 3 (9,4%) keluarga termasuk kedalam<br />

kategori memiliki dukungan kerabat <strong>dan</strong> teman<br />

yang rendah. Berdasarkan penelitian kualitatif dari<br />

ketiga keluarga yang diwawancara, satu keluarga<br />

mendapat dukungan yang berasal dari keluarga<br />

besar <strong>dan</strong> teman dapat berupa materi, ataupun<br />

mencarikan tempat terapi bagi anak mereka. Dua<br />

keluarga kurang mendapat dukungan dari keluarga<br />

besar <strong>dan</strong> teman, terkait dengan anak mereka yang<br />

autis.<br />

Berdasarkan penelitian kuantitatif terdapat 4<br />

keluarga (12,5%) termasuk kedalam kategori<br />

memiliki dukungan sosial tinggi, 24 keluarga (75%)<br />

termasuk dalam kategori memiliki dukungan sosial<br />

medium, <strong>dan</strong> 4 keluarga (12,5%) termasuk dalam<br />

kategori memiliki dukungan sosial rendah.<br />

Berdasarkan penelitian kualitatif, dari tiga keluarga<br />

yang diwawancara, satu keluarga ikut serta dalam<br />

komunitas orangtua anak berkebutuhan khusus<br />

autisme dalam dunia maya (internet), satu keluarga<br />

tidak ikut <strong>dan</strong> tidak merasakan dukungan<br />

komunitas, satu keluarga ikut komunitas pengajian,<br />

tapi tidak terlibat aktif didalamnya. Ketiga keluarga<br />

mendapat dukungan sosial dari pihak yayasan.<br />

Berdasarkan penelitian kuantitatif, terdapat 8<br />

keluarga (25%) yang termasuk ke dalam kategori<br />

tinggi, 15 keluarga (46,9%) termasuk ke dalam<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil penelitian kuantitatif dapat<br />

disimpulkan bahwa resiliensi keluarga pada<br />

keluarga yang memiliki anak autis berada pada<br />

kategori medium. Hal ini dilihat dari dua faktor<br />

yang mempengaruhi resiliensi keluarga yaitu faktor<br />

resiko keluarga (stressor, strain, distress) <strong>dan</strong><br />

faktor protektif keluarga (Relative and friend<br />

kategori se<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> 9 keluarga (28,1%) termasuk<br />

kedalam keluarga yang memiliki ketahanan<br />

keluarga rendah. Berdasarkan penelitian kualitatif<br />

dari tiga keluarga yang diwawancara, didapat satu<br />

keluarga tidak memiliki ketahanan keluarga yang<br />

baik, karena merasa kesepian <strong>dan</strong> sendiri, tidak<br />

memiliki komponen saling percaya <strong>dan</strong> komponen<br />

berkomitmen yang baik. Dua keluarga sudah<br />

memiliki ketiga komponen yaitu tantangan, saling<br />

percaya <strong>dan</strong> komitmen yang baik.<br />

Berdasarkan penelitian kuantitatif terdapat 5<br />

keluarga (15,6%) yang memiliki coping-coherence<br />

tinggi, 4 keluarga (12,5%) yang memiliki copingcoherence<br />

rendah <strong>dan</strong> 23 keluarga (71,9%) yang<br />

memiliki coping-coherence se<strong>dan</strong>g (medium).<br />

Berdasarkan penelitian kualitatif didapat bahwa<br />

satu keluarga belum dapat mengembangkan<br />

karakteristik coping-coherence yang baik, karena<br />

masih menyesali tiap hal yang terjadi di masa lalu<br />

<strong>dan</strong> belum bisa menerima kondisi anak sepenuhnya.<br />

Dua keluarga sudah memiliki karakteristik copingcoherence<br />

yang cukup baik. Meski kerap mengeluh<br />

dengan kondisi anak, kedua keluarga mampu<br />

menerima peristiwa hidup sebagai fakta kehidupan,<br />

<strong>dan</strong> mampu mendefinisikan masalah keluarga<br />

sebagai hal yang positif serta memiliki kepercayaan<br />

penuh pada Tuhan.<br />

Berdasarkan hasil penelitian kuantitatif<br />

terdapat 28 keluarga (87,5%) yang memiliki<br />

distress se<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> terdapat 4 keluarga (12,5%)<br />

yang memiliki distress tinggi. Tidak ada keluarga<br />

yang memiliki distress rendah. Berdasarkan<br />

penelitian kualitatif, ketiga keluarga memiliki<br />

kecenderungan distress. Terjadi kekerasan dalam<br />

verbal maupun nonverbal, terdapat masalah emosi<br />

yang tidak stabil dalam anggota keluarga <strong>dan</strong><br />

terpisahnya suami istri dalam jangka waktu yang<br />

lama serta terjadinya perceraian mati dalam<br />

kehidupan keluarga.<br />

support, social support, family hardiness, copingcoherence).<br />

Resiliensi keluarga yang tergolong medium<br />

menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki anak<br />

autis memiliki skor yang seimbang pada kategori<br />

medium antara faktor protektif <strong>dan</strong> faktor resiko.<br />

Keluarga merasakan stressor utama <strong>dan</strong> stressor<br />

lain dalam keluarga, memiliki masalah-masalah


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 173<br />

(konflik) sebelumnya yang belum dapat<br />

diselesaikan (strain), <strong>dan</strong> memiliki kecenderungan<br />

distress keluarga. Kecenderungan distress keluarga<br />

ini menyebabkan keluarga akan semakin sulit<br />

beradaptasi <strong>dan</strong> mencapai bonadaption, sehingga<br />

siklus akan kembali mengulang.<br />

Disisi lain, keluarga memiliki faktor protektif<br />

yang berasal dari keluarga itu sendiri (family<br />

hardiness <strong>dan</strong> coping-coherence family), keluarga<br />

besar (relative) serta dukungan sosial yang berasal<br />

dari relasi, teman, <strong>dan</strong> komunitas. Keluarga<br />

merasakan ada sedikit dukungan yang diberikan<br />

dari keluarga besar <strong>dan</strong> dukungan dari teman,<br />

sedikit yang merasakan dukungan komunitas.<br />

Hampir semua keluarga memiliki coping-coherence<br />

dengan memiliki kepercayaan penuh pada Tuhan.<br />

Selain itu, keluarga memiliki family hardiness yang<br />

tergolong medium. Meskipun sudah mampu bekerja<br />

sama antar anggota keluarga, tetapi keluarga belum<br />

sepenuhnya dapat melihat permasalahan sebagai<br />

suatu hal yang positif, keluarga juga memiliki<br />

kecenderungan untuk diam dirumah <strong>dan</strong> tidak<br />

melakukan aktivitas diluar rumah bersama teman.<br />

Berdasarkan kedua faktor tersebut, hal ini<br />

dapat mengindikasikan bahwa resiliensi keluarga<br />

yang memiliki anak autis tergolong dalam kategori<br />

medium karena sudah terjadi penyesuaian <strong>dan</strong><br />

mengalami krisis, <strong>dan</strong> belum dapat mencapai<br />

bonadapation.<br />

Dari penghitungan data kuantitatif terhadap<br />

subjek kualitatif yang dilakukan, dua keluarga<br />

memiliki resiliensi keluarga yang tergolong rendah<br />

<strong>dan</strong> satu keluarga yang tergolong medium. Hasil<br />

penelitian kualitatif menunjukkan bahwa ketiga<br />

keluarga yang memiliki anak autis merasakan<br />

stressor <strong>dan</strong> strain yang tinggi dalam kehidupan<br />

keluarga, sehingga mempengaruhi pola fungsi<br />

keluarga. Ketiga keluarga juga memiliki<br />

kecenderungan distress keluarga yang akan<br />

mengindikasikan keluarga mengalami maladaptasi.<br />

Masalah emosi yang dimiliki salah satu anggota<br />

keluarga yaitu anak autis membuat semakin<br />

sulitnya adaptasi keluarga. Terpisahnya suami <strong>dan</strong><br />

istri dalam jangka waktu yang lama juga membuat<br />

keluarga akan semakin sulit beradaptasi.<br />

Ketiga keluarga memiliki faktor protektif<br />

keluarga yang berbeda-beda. Dari berbagai faktor<br />

protektif keluarga yang dirasakan oleh keluarga<br />

dapat disimpulkan bahwa satu keluarga memiliki<br />

faktor protektif yang tergolong rendah <strong>dan</strong> dua<br />

keluarga memiliki faktor protektif yang tergolong<br />

medium. Hal ini berdasarkan faktor dukungan<br />

sosial yang dirasakan oleh keluarga <strong>dan</strong> faktor dari<br />

dalam keluarga itu sendiri. Dua keluarga mampu<br />

memiliki kerja sama yang cukup baik <strong>dan</strong> dapat<br />

berbagi tugas dalam mengasuh <strong>dan</strong> mendidik anak<br />

mereka yang autis. Satu keluarga tidak memiliki<br />

kerja sama antar anggota keluarga karena<br />

memutuskan menjadi orangtua tunggal bagi anak.<br />

Satu keluarga sudah mampu menerima keberadaan<br />

<strong>dan</strong> kondisi anak yang autis, satu keluarga belum<br />

serempak dalam hal penerimaan kondisi anak (ayah<br />

belum menerima, tapi ibu sudah menerima), <strong>dan</strong><br />

satu keluarga belum dapat sepenuhnya menerima<br />

kondisi anak.<br />

Semua masih terasa sulit, sehingga lebih<br />

banyak mengeluh ketika memperjuangkan<br />

pendidikan <strong>dan</strong> mengasuh anak. Ketiga keluarga<br />

meyakini bahwa akan lebih baik bila anak mereka<br />

diasuh <strong>dan</strong> dididik oleh keluarga inti tanpa bantuan<br />

keluarga besar ataupun pengasuh anak. Kecuali<br />

untuk bantuan finansial, keluarga berharap keluarga<br />

besar mau membantu.<br />

Resiliensi keluarga perlu dilihat sebagai satu<br />

kesatuan yang utuh. Terutama dalam melihat<br />

berbagai peristiwa kehidupan yang terjadi, sehingga<br />

setiap keluarga yang memiliki anak autis dapat<br />

beresiliensi dengan baik. Setiap keluarga saling<br />

mendukung untuk akhirnya mampu beradaptasi <strong>dan</strong><br />

memiliki tujuan yang sama untuk memberi yang<br />

terbaik baik anak yang berkebutuhan khusus<br />

autisme yang adalah anggota keluarga mereka.<br />

Implikasi dari penelitian ini adalah<br />

keluarga, pemerhati autis, pedagog, pendidik,<br />

psikolog, terapis dapat melihat dimensi yang bisa<br />

dikembangkan untuk dapat membantu proses<br />

penyesuaian <strong>dan</strong> adaptasi keluarga yang memiliki<br />

anak autis. Proses adaptasi bukanlah hal yang<br />

mudah untuk dikerjakan <strong>dan</strong> membutuhkan jangka<br />

waktu yang panjang untuk prosesnya.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 174<br />

5. Daftar Pustaka<br />

Admin, Autism, Sebuah Gangguan Perilaku<br />

Pada Anak, h.1<br />

(http://childrenautismclinic.wordpress.com/201<br />

1/10/23/autism-sebuah-gangguan-perilakupada-anak/),<br />

diakses pada 28 November 2011<br />

Andriyani. Studi Kritis Penerapan Teori-teori<br />

Belajar <strong>dan</strong> Pendidikan Agama Kristen (PAK)<br />

Bagi Anak Autisme Usia Dini 2-6 Tahun.<br />

Bandung: STT Baptis. 2008<br />

Anggraeni, Resiliensi Pada Penyan<strong>dan</strong>g Tuna<br />

Daksa Pasca Kecelakaan (Depok: Universitas<br />

Gunadarma, 2008), diambil dari<br />

http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/gra<br />

duate/psychology/2008/Artikel_10503144.pdf,<br />

pada 25 November 2011<br />

Armeini, Anna. Analisis Data <strong>Penelitian</strong><br />

Kuantitatif Dengan SPSS. Jakarta: Fakultas<br />

Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.<br />

2009<br />

Armeini, Anna & Dyah Ratna. Statistika Inferensial<br />

Untuk penelitian <strong>Psikologi</strong> <strong>dan</strong> Pendidikan.<br />

Dilengkapi Analisis Data Dengan SPSS.<br />

Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas<br />

Negeri Jakarta: 2009.<br />

Autisme, h.1, 2011<br />

(http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme,) diakses<br />

pada 25 Juli 2011 pukul 13.32<br />

Barona, Perhatian Pemerintah Terhadap Penderita<br />

Autis Masih Minim, h.1<br />

(http://obrolanbisnis.com/perhatian-pemerintahterhadap-penderita-autis-masih-minim/),<br />

diakses<br />

pada 28 November 2011<br />

Bayat, M. Evidence of resilience in families of<br />

children with autism. Journal of Intellectual<br />

Disability Research VOLUME 51 PART 9 pp<br />

702–714 SEPTEMBER 2007<br />

Bitsika, dkk. How is resilience associated with<br />

anxiety and depression? Analysis of factor score<br />

interactions within a homogeneous sample.<br />

Reprinted from the German Journal of<br />

Psychiatry · http://www.gjpsy.uni-goettingen.de<br />

· ISSN 1433-1055. 2003.<br />

Brace, Heather. Lived Experience: Diverse<br />

Perspectives on Raising a Child with Autism.<br />

Florida: Department of Special Education<br />

College of Education University of South<br />

Florida. 2009<br />

Bungin, Burhan. <strong>Penelitian</strong> Kualitatif. Cetakan ke-<br />

3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2009<br />

Creswell, John C. Research Design Pendekatan<br />

Kualitatif, Kuantitatif, <strong>dan</strong> Mixed. Edisi Ketiga.<br />

Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2010<br />

Creswell J, Clark VLP. Designing and Conducting<br />

Mixed Methods Research. United Kingdom:<br />

Sage Publication. 2007<br />

Davidson, dkk. <strong>Psikologi</strong> Abnormal. Edisi ke 9.<br />

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2004<br />

Desmita. <strong>Psikologi</strong> Perkembangan (Bandung:<br />

Remaja Rosdakarya. 2005<br />

Diagnostic and Stattistical Manual of Mental<br />

Disorders. Fourth Edition. Washington DC:<br />

Published by the American Psychiatric<br />

Association. 2005<br />

Dimyanti, Penanganan Anak Autis Minim, h.1<br />

(http://www.jurnas.com/halaman/9/2011-11-<br />

05/188018), Jurnas Nasional, diakses pada 28<br />

November 2011<br />

Dwi Rahmawati, R. Pengaruh Iklim sekolah<br />

terhadap resiliensi siswa korban kekerasan<br />

(bullying) di sekolah dasar kelurahan<br />

pegangsaan Jakarta pusat. Jakarta: FIP <strong>UNJ</strong><br />

2009<br />

Fakta Autisme, h. 1<br />

(http://www.lspr.edu/csr/autismawareness/?page<br />

_id=26), diakses pada 14 November 2011,<br />

pukul 15.11<br />

Fritz, J, Childhood Cancer and Changes in Family<br />

Relationship and Functioning: What Are They<br />

and Where Does Support Fit in?. (Disertation:<br />

University of Michigan, 2005), 14 November<br />

2011 pukul 15.00<br />

Hanekom, Letche. Resilience in families with a<br />

child living with autism spectrum disorder.<br />

Africa: Nelson Mandela Metropolitan<br />

University. 2008.<br />

Hildayani. Penanganan Anak Berkelainan (Anak<br />

dengan Kebutuhan Khusus). Jakarta:<br />

Universitas Terbuka. 2009.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 175<br />

Heryanto. Identifikasi <strong>dan</strong> Asesmen Anak Autis,<br />

Yogyakarta: Pendidikan Luar Biasa Universitas<br />

Negeri Yogyakarta. 2009.<br />

Jhonson and Hustings. Stress in UK Families<br />

Conducting Intensive Home-Based Behavioral<br />

Intervention for Their Young Child with Autism.<br />

Journal of Autism and Developmental<br />

Disorders, Vol. 31, No. 3, 2001<br />

Judarwanto, Kenali Faktor Resiko Dan Gejala Autis Sejak<br />

Dini, h. 1 (http://kesehatan.kompasiana.com/ibu<strong>dan</strong>-anak/2011/02/01/kenali-faktor-resiko-<strong>dan</strong>gejala-autis-sejak-dini/),<br />

diakses pada 28<br />

November 2011<br />

Keluarga Tanpa Anak, Bisakah? h. 1, 2011<br />

(http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-<strong>dan</strong>anak/2011/04/22/keluarga-tanpa-anak-bisakah/),<br />

diakses pada 24 oktober 2011 pukul 16.02<br />

Khodijah, Wahyu. Resiliensi pada Siswa SMA yang<br />

Tidak Lulus Ujian Nasional. Jakarta: Fakultas<br />

Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta,<br />

2010<br />

Kuncono, Aplikasi Komputer <strong>Psikologi</strong>, Diktat<br />

Kuliah <strong>dan</strong> Panduan Praktikum, Jakarta:<br />

Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas Persada<br />

Indonesia. 2004<br />

Mackanzie, H. Reaching and Teaching the Child<br />

with Autism Spectrum Disorder Using Learning<br />

Preferences and Strengths. London and<br />

Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers. 2008<br />

Makalah Autis. 2009<br />

Makna Kehadiran Anak, h.1 2011,<br />

(http://sabda.org/c3i/04/jul/2006/konseling_mak<br />

na_kehadiran_anak), diakses pada 24 oktober<br />

2011, pukul 15.57<br />

Marijani, L. Bunga Rampai Seputar Autis &<br />

Permasalahannya. Jakarta: Putra Kembara<br />

Foundation. 2003<br />

McCubin, H,I., Thompson, A.I., & McCubbin, M.<br />

Family Measures: Stress, Coping, and<br />

Resiliency. Hawaii: Kamehameha Schools. 2001<br />

Mea<strong>dan</strong>, Halle, & Ebata. Families With Children<br />

Who Have Autism Spectrum Disorders : Stress<br />

and Support. Vol. 77 No. 1. pp. 736. <strong>Jurnal</strong><br />

ProQuest. 2010<br />

Moleong. Metodologi <strong>Penelitian</strong> Kualitatif.<br />

Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2000<br />

Mierau, L. Emerging Resilience In A Family<br />

Affected By Autism. University of<br />

Saskatchewan. 2008<br />

Murti, Bisma. Desain Studi. Surakarta: Universitas<br />

Negeri Sebelas Maret. 2011.<br />

MZW, “Tenaga Ahli Autisme Terbatas.” Kompas,<br />

15 Maret 2012<br />

Netta. Resiliensi Pada Keluarga yang Memiliki<br />

Anak Kanker. Depok: Universitas Indonesia.<br />

2011<br />

Pamoedji. 200 Pertanyaan <strong>dan</strong> Jawaban seputar<br />

Autisme. Ciputat: Penerbit Hasanah. 2010<br />

Pedoman Penyelesaian Studi. Jakarta: Fakultas<br />

Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta:<br />

2008<br />

Penyan<strong>dan</strong>g Meningkat Delapan Kali Lipat, h. 1<br />

(http://m.kompas.com/news/read/2011/05/04/21<br />

480480/Penyan<strong>dan</strong>g.Meningkat.Delapan.Kali),<br />

diakses pada 14 November 2011, pukul 01.00<br />

Perceraian Pada Keluarga Yang Mempunyai Anak<br />

Autistik, p.1<br />

(http://www.kidaba.com/artikel/autis-autismautisme),<br />

diakses pada 14 November 2011<br />

pukul 15.00<br />

Perlindungan Anak, h.1 2011<br />

(http://yosuapenta.multiply.com/journal/item/18<br />

?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem<br />

), diakses pada 24 Oktober 2011<br />

Poerwandari, K. Pendekatan Kualitatif untuk<br />

<strong>Penelitian</strong> Perilaku Manusia. Depok: LPSP3<br />

Universitas Indonesia. 2009<br />

Ratnadewi. Peran Orangtua Pada Terapi Biomedis<br />

Bagi Anak Autis. Depok: Universitas<br />

Gunadarma. 2009<br />

Rotatori,Obiakor, Burkhardt. Autism and<br />

Developmental Disabilities: Current Practices<br />

and Issues. Volume 18. First Edition. UK:<br />

Emerald Group Publishing Limited. 2008


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 176<br />

Rynearson. Resilience and Intervention Beyond the<br />

Crisis. New York: Taylor & Francis Group.<br />

2006<br />

Saifuddin Azwar. Penyusunan Skala <strong>Psikologi</strong>.<br />

Yogyakarta : Pustaka Belajar. 2009<br />

Schopler, dkk. THE RESEARCH BASIS FOR<br />

AUTISM INTERVENTION. New York, Boston,<br />

Dordrecht, London, Moscow: Kluwer Academic<br />

Publishers. 2002<br />

Seminar Tumbuh Kembang Anak. Sentuhan yang<br />

Membangunkan. Depok: Sekolah <strong>dan</strong> Terapi<br />

Kasih Mama. 26 Februari 2011<br />

Stewart & Cash. Interviewing. Principles and<br />

Practices. Twelfth Edition. Singapore: McGraw<br />

Hill. International Edition. 2008<br />

Sutadi, dkk. Penatalaksanaan Holistik Autisme,<br />

Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama.<br />

Jakarta: Pusat Informasi <strong>dan</strong> Penerbitan Bagian<br />

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran<br />

Universitas Indonesia. 2003<br />

Sugiarmin Muhammad. Individu dengan Autisme.<br />

Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.<br />

2010<br />

Sugiyono. Metode <strong>Penelitian</strong> Pendidikan<br />

Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, <strong>dan</strong> R&D.<br />

Bandung: Alfabeta. 2010<br />

Usman, Husaini. Pengantar Statistika. Edisi Kedua.<br />

Jakarta: PT Bumi Aksara: 2006<br />

Van der Walt. Resilience in Families with an<br />

Autistic Child. (South Africa: University of<br />

Stellenbosch. 2006<br />

VanBreda, Adrian. Resilience Theory: A Literature<br />

Review, with special chapters on deployment<br />

resilience in military families & resilience<br />

theory in social work. Pretoria, South Africa.<br />

2001<br />

Vliem, S. Adolescent Coping and Family<br />

Functioning in the Family of a Child with<br />

Autism. Michigan: The University of Michigan.<br />

2009<br />

Walsh, Froma. A Family Resilience Framework:<br />

Innovative Practice Applications. Family<br />

Relations; Apr2002, Vol. 51 Issue 2. 2002<br />

Zager, Dianne. Autism Spectrum Disorders.<br />

Identification, Education, and Treatment. Third<br />

Edition. Mahwah, New Jersey, London:<br />

Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. 2005


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 177<br />

HUBUNGAN ANTARA KETERAMPILAN SOSIAL DENGAN<br />

PERILAKU AGRESIF REMAJA SISWA KELAS XI SMK BUNDA<br />

KANDUNG JAKARTA SELATAN<br />

Zeni Per<strong>dan</strong>a Rizeki<br />

Jurusan <strong>Psikologi</strong> Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan<br />

Universitas Negeri Jakarta<br />

Jl. Halimun Kota Madya Jakarta Selatan<br />

DKI Jakarta, Indonesia<br />

zeni.per<strong>dan</strong>a@gmail.com<br />

Abstrack<br />

The purpose of this research was to know the correlation between social skills and student<br />

aggressive behavior at 10 th grade of Bunda Kandung’s Vocational High School in South Jakarta.<br />

This research was conducted in Bunda Kandung’s Vocational High School, Pasar Minggu, South<br />

Jakarta. This research approach quantitative methods and using expost facto design. Samples of<br />

this research is 79 student with sample collection techniques are proportionate random sampling.<br />

The collecting data in this research used two instruments, namely the scale of social skills and the<br />

scale of aggressive behavior. Statistical analysis using the product moment correlation. Based on<br />

the results of data analysis found that there was a negative and significant correlation between<br />

social skills and aggressive behavior. Correlation coefficient values obtained are rxy = (-0.458) and<br />

the significance p = 0.000


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 178<br />

Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Stanley<br />

Hall, bahwa remaja adalah masa yang penuh<br />

dengan badai <strong>dan</strong> tekanan (storm-and-stress)<br />

(Santrock, 2003:10). Remaja sebagai masa<br />

goncangan yang ditandai dengan konflik <strong>dan</strong><br />

perubahan suasana hati. Hal ini menciptakan<br />

perilaku remaja yang mudah berubah-ubah dalam<br />

menjalani kehidupannya. Sebagai contoh suatu<br />

ketika remaja menuruti perintah orang tuanya tapi<br />

pada saat lain ia membangkang.<br />

Sering kali tidak sepahamnya remaja dengan<br />

orang tua maupun temannya mengakibatkan remaja<br />

menjadi lebih mudah frustrasi, tertekan, emosi <strong>dan</strong><br />

menjadi meluap-luap. Frustrasi adalah situasi apa<br />

pun dimana individu tidak dapat mencapai<br />

tujuannya (Santrock, 2003:561). Mereka yang<br />

frustrasi adalah orang yang paling mudah<br />

melakukan tindakan agresi. Dalam penelitiannya,<br />

Stephen Worchel menunjukkan bahwa frustrasi<br />

akan menyebabkan kecenderungan agresi paling<br />

kuat jika hasil yang diperoleh jauh kurang menarik<br />

dibanding hasil yang diinginkan <strong>dan</strong> orang itu<br />

mengharapkan kesenangan mencapai tujuan yang<br />

dinginkan (Berkowitz, 1995:48-49). Hasil itu<br />

menunjukkan bahwa suatu kegagalan dalam<br />

memperoleh suatu kepuasan/kesenangan yang<br />

diharapkan bisa menyebabkan suatu dorongan ke<br />

arah agresif.<br />

Agresi merupakan reaksi primitif dalam bentuk<br />

kemarahan hebat <strong>dan</strong> ledakan emosi tanpa kendali,<br />

serangan, kekerasan, tingkah laku kegila-gilaan <strong>dan</strong><br />

sadistik, karena seseorang mengalami kegagalan<br />

(Kartono, 2003:115). Perilaku agresif yang timbul<br />

dari setiap individu mungkin akan berbeda dari satu<br />

individu dengan individu lainnya. Hal ini bisa<br />

terjadi tergantung tujuan dari pelaku agresif<br />

tersebut. Apabila tujuannya memang dilakukan<br />

untuk menyakiti, bisa jadi perilaku yang timbul bisa<br />

dalam bentuk kekerasan fisik. Lain hal apabila<br />

tujuan sebenarnya hanya untuk kesenangan,<br />

perilaku yang ditimbulkan bisa berupa cemoohan<br />

ataupun ejekan terhadap orang lain.<br />

Individu akan marah terhadap orang-orang yang<br />

dianggap sebagai penyebab kegagalan dari<br />

keinginan mereka sehingga terjadinya rasa sakit.<br />

Mereka kesal dengan apa yang terjadi <strong>dan</strong> jadilah<br />

mereka memukul, menjarah, melempar batu,<br />

mencoret-coret berbagai tempat bahkan sampai<br />

menggunakan narkoba. Dengan begitu seorang<br />

remaja telah melakukan tindakan kriminal <strong>dan</strong> bisa<br />

dianggap sebagai sebuah kenakalan remaja. Dalam<br />

suatu penelitian di Semarang ditemukan 35% tindak<br />

kekerasan yang dilakukan siswa adalah mencoretcoret<br />

tempat atau fasilitas umum <strong>dan</strong> 87% tindak<br />

kekerasan dalam bentuk penganiayaan (Sugiharto,<br />

2003:298).<br />

Remaja melakukan tindak perusakan karena<br />

mereka mencari perhatian, akibat bergaul dengan<br />

kelompok yang salah, atau ingin menjadi terkenal.<br />

Suatu penelitian menunjukkan bahwa rasa<br />

solidaritas atau setia kawan <strong>dan</strong> balas dendam<br />

merupakan latar belakang siswa melakukan<br />

kekerasan (Sugiharto, 2003:297). Penyebab<br />

lainnya mungkin adalah rasa bosan <strong>dan</strong> jenuh<br />

akibat kurangnya aktivitas bagi anak usia remaja<br />

<strong>dan</strong> kurangnya perhatian dari pihak orang tua.<br />

Orang tua dengan berbagai cara telah memisahkan<br />

<strong>dan</strong> mengalihkan perhatian mereka dari dunia<br />

remaja, <strong>dan</strong> mereka lupa bahwa mereka sendiri juga<br />

pernah mengalami masa remaja. A<strong>dan</strong>ya pemisahan<br />

<strong>dan</strong> pengalihan ini membuat anak tidak bisa<br />

memilih minat <strong>dan</strong> mengetahui kemampuan yang<br />

ada dalam dirinya. Sebagai akibatnya ketika remaja<br />

bisa sedikit terbebas dari orang tua, mereka<br />

mencoba mengekspresikan perilaku sesuka emosi<br />

diri remaja.<br />

Konflik remaja tidak hanya terjadi dalam ruang<br />

lingkup keluarga saja, tapi juga bisa terjadi terhadap<br />

lingkungannya <strong>dan</strong> tidak terkecuali di sekolah.<br />

Konflik ini bisa terjadi dalam bentuk perkelahian<br />

antar pelajar yang bersifat individu ataupun<br />

perkelahian kelompok yang biasa terlihat dalam<br />

bentuk tawuran pelajar. Tawuran menjadi suatu hal<br />

yang biasa terjadi di Indonesia, tak terkecuali di<br />

kota besar seperti DKI Jakarta. Data Polda Metro<br />

Jaya menunjukkan bahwa jumlah angka tawuran<br />

pada tahun 2010 <strong>dan</strong> 2011 sebagai berikut :<br />

Tabel 1.1<br />

Data Peristiwa Tawuran di DKI Jakarta<br />

<strong>dan</strong> Sekitarnya (Suhendi, 2011:1)<br />

Daerah Jakarta 2010 2011<br />

(Jan - Agst)<br />

Jakarta Timur - 1<br />

Jakarta Barat 2 3<br />

Jakarta Utara - 2<br />

Jakarta Selatan 3 6<br />

Jakarta Pusat 19 25<br />

Depok 1 1<br />

Tangerang 3 -<br />

Bekasi - 1<br />

Pengaruh sosial <strong>dan</strong> kultural memainkan peran<br />

yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian<br />

tingkah laku kriminal remaja (Kartono, 2003:8).<br />

Dalam hal ini, lingkungan memberikan pengaruh<br />

besar dalam kehidupan remaja. Seiring dengan<br />

berjalannya waktu, tentu banyak perubahan yang<br />

terjadi pada lingkungan remaja, seperti perubahan<br />

sikap orang tua atau anggota keluarga lain seperti<br />

guru, teman sebaya, maupun masyarakat terhadap<br />

remaja. Kondisi ini merupakan bentuk reaksi<br />

terhadap pertumbuhan remaja. Remaja dituntut<br />

untuk mampu menampilkan tingkah laku yang<br />

dianggap pantas atau sesuai bagi orang-orang<br />

seusianya. A<strong>dan</strong>ya perubahan baik di dalam


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 179<br />

maupun di luar dirinya itu membuat kebutuhan<br />

remaja semakin meningkat terutama kebutuhan<br />

sosial <strong>dan</strong> kebutuhan psikologisnya.<br />

Remaja dituntut harus bisa berinteraksi dengan<br />

baik dalam menghadapi kondisi lingkungannya,<br />

yaitu beradaptasi. Namun tidak semua remaja bisa<br />

melakukannya dengan baik. Hal ini mengakibatkan<br />

remaja merasa kesepian <strong>dan</strong> mengisolasikan diri<br />

mereka dalam kesendirian. Beberapa remaja merasa<br />

kesepian karena mereka memiliki kebutuhan yang<br />

kuat akan keintiman, namun belum memiliki<br />

keterampilan sosial yang baik atau kematangan<br />

hubungan untuk memenuhi kebutuhan tersebut<br />

(Santrock, 2003:353). Salah satu dampak dari<br />

kurang baiknya adaptasi remaja yang cukup penting<br />

mempengaruhi munculnya kenakalan remaja adalah<br />

rendahnya keterampilan sosial remaja. Untuk itu,<br />

remaja perlu mengembangkan keterampilan<br />

sosialnya agar tetap bisa beradaptasi dengan<br />

lingkungannya serta memenuhi tuntutan tugas<br />

perkembangannya. Keterampilan sosial adalah<br />

kemampuan seseorang untuk berkenalan,<br />

menyesuaikan diri, serta mengatasi masalah <strong>dan</strong><br />

berinteraksi dengan lingkungannya (Rosdianah,<br />

2009:10).<br />

Rendahnya keterampilan sosial bisa membuat<br />

remaja kurang mampu menjalin interaksi secara<br />

efektif dengan lingkungannya <strong>dan</strong> memilih<br />

tindakan agresif sebagai bentuk pertahanan diri<br />

mereka. Mekanisme pertahanan diri merupakan<br />

kunci untuk memahami penyesuaian diri remaja<br />

(Santrock, 2005:45). Remaja cenderung<br />

mengganggap bahwa tindakan agresif merupakan<br />

perilaku yang paling tepat untuk mengatasi masalah<br />

sosial <strong>dan</strong> mendapatkan apa yang mereka inginkan.<br />

Masa remaja sesorang terjadi ketika ia berada<br />

pada saat masih berada ditingkat sekolah<br />

menengah. Remaja akhir cenderung sudah berada<br />

pada masa sekolah menengah atas atau kejuruan.<br />

Pada hakikatnya sekolah menengah sudah mulai<br />

mengarahkan siswa agar memiliki ketrampilan<br />

terhadap lingkungannya. Sebagai contoh program<br />

pemerintah dalam memajukan SMK sebagai salah<br />

satu alternatif pembelajaran yang memberikan<br />

keterampilan siswa dalam beberapa keahlian. Hal<br />

ini terka<strong>dan</strong>g berbanding terbalik dengan apa yang<br />

terjadi di lingkungan, dimana SMK malah lebih<br />

cenderung dianggap negatif sebagai sekolah yang<br />

sering melakukan tindak agresif seperti tawuran<br />

dibandingkan dalam pengembangan keterampilan<br />

siswanya.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Metode <strong>dan</strong> Desain <strong>Penelitian</strong><br />

Metode yang digunakan dalam penelitian ini<br />

adalah metode penelitian kuantitatif dengan desain<br />

penelitian Ex Post Facto. Untuk mendapatkan data<br />

yang dinginkan, maka penelitian ini menggunakan<br />

alat ukur berbentuk skala psikologi. Dalam<br />

penelitian ini terdapat satu variabel bebas yaitu<br />

keterampilan sosial (variabel x) <strong>dan</strong> variabel terikat<br />

yaitu perilaku agresif (variabel y) dengan pola<br />

hubungan. Pola hubungan dalam variabel tersebut<br />

merupakan masalah dalam penelitian ini.<br />

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi<br />

penelitian adalah seluruh siswa kelas XI SMK<br />

Bunda Kandung. Seluruh siswa kelas XI SMK<br />

Bunda Kandung tersebut terdiri dari dua jurusan<br />

yang berbeda, yaitu jurusan teknik mesin <strong>dan</strong> teknik<br />

elektronika yang masing-masing terdiri dari 6 kelas.<br />

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan<br />

teknik Probability Sampling dengan menggunakan<br />

desain Proportionate Stratified Random Sampling.<br />

Besar sampel yang diambil dalam penelitian ini<br />

adalah 20% dari jumlah populasi penelitian.<br />

Penentuan sampel dilakukan dengan cara<br />

penomoran anggota di setiap kelas dengan<br />

menggunakan absensi kelas. Selanjutnya, dilakukan<br />

pengocokan nomor urut siswa hingga didapat enam<br />

sampai tujuh siswa untuk dijadikan sampel<br />

penelitian. Jadi jumlah sampel keseluruhan ada 78<br />

orang siswa yang diwakili oleh 6-7 orang siswa dari<br />

tiap kelas masing-masing.<br />

Tabel 2.1<br />

Teknik Pengambilan Sampel<br />

<strong>dan</strong> Jumlah Sampel Peneltian<br />

Kelas Data Siswa Jumlah<br />

Populasi 20% x<br />

Populasi<br />

Sampel<br />

XI TM 1 35 20% x 35 7<br />

XI TM 2 33 20% x 33 7<br />

XI TM 3 32 20% x 32 6<br />

XI TM 4 30 20% x 30 6<br />

XI TM 5 35 20% x 35 7<br />

XI TM 6 28 20% x 28 6<br />

XI TK 1 35 20% x 35 7<br />

XI TK 2 35 20% x 35 7<br />

XI TK 3 32 20% x 32 6<br />

XI TK 4 34 20% x 34 7<br />

XI TK 5 33 20% x 33 7<br />

XI TK 6 30 20% x 30 6<br />

Jumlah Seluruh Sampel 79<br />

Teknik pengumpulan data mengenai<br />

keterampilan sosial <strong>dan</strong> perilaku agresif<br />

menggunakan alat ukur berbentuk skala psikologi.<br />

Data mengenai keterampilan sosial <strong>dan</strong> perilaku<br />

agresif diperoleh menggunakan skala psikologi<br />

yang menghasilkan data rasio berupa frekuensi<br />

perilaku agresif yang dilakukan oleh subyek dalam<br />

kehidupan sehari-hari selama satu semester<br />

terakhir. Hal ini dibatasi agar responden tidak<br />

kesulitan mengingat intensitas perilakunya dalam


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 180<br />

mengisi frekuensi dari keterampilan sosial <strong>dan</strong><br />

perilaku agresifnya.<br />

Teknik Pengumpulan Data<br />

Instrumen skala perilaku agresif dibuat<br />

berdasarkan dari dua dimensi perilaku agresif, yaitu<br />

perilaku agresif fisik <strong>dan</strong> verbal (Berkowitz,<br />

1995:20) yang terdiri dari subdimensi sebagai<br />

berikut:<br />

1) perilaku agresif fisik secara langsung,<br />

2) perilaku agresif fisik secara tidak langsung,<br />

3) perilaku agresif verbal secara langsung,<br />

4) perilaku agresif verbal secara tidak langsung.<br />

Tabel 2.2<br />

Kisi-kisi Instrumen Perilaku Agresif<br />

Variabel Dimensi Jumlah<br />

Item<br />

Perilaku<br />

Agresif<br />

Fisik 14<br />

Verbal 14<br />

Total Item 28<br />

Instrumen skala keterampilan sosial disusun<br />

berdasarkan dimensi keterampilan sosial<br />

(Caldarella & Merrel, 1997:270) yang terdiri dari:<br />

1) Peer Relations Skills / Keterampilan<br />

berinteraksi dengan teman<br />

2) Self Management Skills / Keterampilan<br />

memanajemen diri<br />

3) Academic Skills / Keterampilan akademik<br />

4) Compliance Skills / Keterampilan dalam<br />

berperilaku patuh<br />

5) Assertion Skills / Keterampilan bersikap tegas<br />

Tabel 2.3<br />

Kisi-kisi Instrumen Keterampilan Sosial<br />

Variabel Dimensi Jumlah<br />

Item<br />

Keterampila Peer Relations 17<br />

n Sosial<br />

Skills<br />

Peer Relations<br />

Skills<br />

4<br />

Management 8<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

Skills<br />

Academic Skills 11<br />

Compliance Skills 10<br />

Compliance Skills 3<br />

Assertion Skills 14<br />

Total Item 67<br />

Deskripsi Data<br />

Deskripsi data hasil penelitian dimaksudkan<br />

untuk menyajikan gambaran umum mengenai<br />

penyebaran atau distribusi data. Berikut ini<br />

merupakan deskripsi data yang diperoleh dari SMK<br />

Bunda Kandung Jakarta Selatan :<br />

Tabel 3.1<br />

Jumlah Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin<br />

Jenis<br />

Kelamin<br />

Frekuensi Persentase<br />

Laki-laki 73 92,4%<br />

Perempuan 6 7,6%<br />

TOTAL 79 100%<br />

Tabel 3.2<br />

Jumlah Siswa Berdasarkan Usia<br />

Usia Frekuensi Persentase<br />

15 tahun 6 7,6%<br />

16 tahun 22 27,8%<br />

17 tahun 30 38%<br />

18 tahun 15 19%<br />

19 tahun 6 7,6%<br />

TOTAL 79 100%<br />

Tabel 3.3<br />

Jumlah Siswa Berdasarkan Kelas<br />

Kelas Frekuensi Persentase<br />

Teknik Mesin 39 49,4%<br />

Teknik<br />

Elektronika<br />

40 50,6%<br />

TOTAL 79 100%<br />

Data Keterampilan Sosial Siswa<br />

Dari hasil penelitian <strong>dan</strong> pengolahan data<br />

diperoleh skor terendah 207, skor tertinggi 291, <strong>dan</strong><br />

skor rata-rata 257,43.<br />

Tabel 3.4<br />

Distribusi Data Keterampilan Sosial<br />

N 79<br />

Mean 257,43<br />

Skor Minimum 207<br />

Skor<br />

291<br />

Maksimum<br />

Standar Deviasi 24,08<br />

Perhitungan pengkategorisasian skor<br />

keterampilan sosial dihitung menggunakan mean<br />

teoritik. Berdasarkan data tersebut dapat<br />

disimpulkan bahwa responden memiliki rata-rata<br />

skor total lebih dari 257,43 dikategorisasikan tinggi.<br />

Responden yang memiliki rata-rata skor total<br />

kurang dari 257,43 dikategorisasikan rendah.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 181<br />

Berikut distribusi pengkategorisasian skor<br />

keterampilan sosial:<br />

Tabel 3.5<br />

Distribusi Pengkategorisasian Skor<br />

Variabel Keterampilan Sosial<br />

Skor Kategori Frek Presentase<br />

x ><br />

257,43<br />

Tinggi 40 50,63%<br />

x <<br />

257,43<br />

Rendah 39 49,37%<br />

TOTAL 79 100%<br />

Data Perilaku Agresif Siswa<br />

Dari hasil penelitian <strong>dan</strong> pengolahan data<br />

diperoleh skor terendah 39, skor tertinggi 126, <strong>dan</strong><br />

skor rata-rata 85,57.<br />

Tabel 3.6<br />

Distribusi Data Perilaku Agresif<br />

N 79<br />

Mean 85,57<br />

Skor<br />

39<br />

Minimum<br />

Skor<br />

126<br />

Maksimum<br />

Standar<br />

Deviasi<br />

21,91<br />

Tabel 3.7<br />

Distribusi Pengkategorisasian Skor<br />

Variabel Perilaku Agresif<br />

Skor Kategori Frek Presentase<br />

x > Tinggi 41 51,9%<br />

85,57<br />

x <<br />

85,57<br />

Rendah 38 48,1%<br />

TOTAL 79 100%<br />

Pengujian Hipotesis<br />

Dalam penelitian ini, hipotesis yang dirumuskan<br />

adalah hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan<br />

ada hubungan yang negatif antara keterampilan<br />

sosial dengan perilaku agresif remaja. Uji hipotesis<br />

dilakukan menggunakan program SPSS 16 dengan<br />

taraf signifikan sebesar 0,05. Dua variabel<br />

dikatakan memiliki hubungan yang signifikan<br />

apabila nilai signifikan < 0,05 <strong>dan</strong> memiliki<br />

korelasi keduanya apabila nilai koefisien diantara -1<br />

<strong>dan</strong> 0 (-1 < rxy < 0).<br />

Tabel 3.8<br />

Korelasi<br />

Antara<br />

Hasil Uji Korelasi<br />

Keterampilan Sosial <strong>dan</strong> Perilaku Agresif<br />

Keterampilan<br />

sosial <strong>dan</strong><br />

perilaku<br />

agresif<br />

Koefisien<br />

Korelasi (rxy)<br />

Sig.<br />

(1<br />

tailed)<br />

-0,458 0,000<br />

Dari data di atas dapat dilihat bahwa nilai<br />

koefisien korelasi yang didapat adalah rxy = - 0,458<br />

<strong>dan</strong> nilai signifikansi yang didapat adalah p =<br />

0,000. Karena nilai p < 0,05 maka hipotesis nol (h0)<br />

ditolak atau dengan seksama hipotesis alternatif<br />

(Ha) diterima, sehingga dengan ini dapat<br />

disimpulkan bahwa ada hubungan yang negatif<br />

antara keterampilan sosial dengan perilaku agresif<br />

remaja siswa kelas XI SMK Bunda Kandung<br />

Jakarta Selatan.<br />

Hasil yang diperoleh dari pengajuan hipotesis<br />

dengan menggunakan uji korelasional menunjukkan<br />

bahwa a<strong>dan</strong>ya hubungan antara keterampilan sosial<br />

dengan perilaku agresif remaja kelas XI SMK<br />

Bunda Kandung Jakarta Selatan. Hubungan yang<br />

ditunjukkan pun bersifat negatif atau berlawanan<br />

arah, artinya ada hubungan yang negatif antara<br />

keterampilan sosial dengan perilaku agresif remaja<br />

kelas XI SMK Bunda Kandung Jakarta Selatan. Hal<br />

ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi<br />

keterampilan sosial seseorang maka akan diikuti<br />

dengan semakin rendahnya perilaku agresif<br />

seseorang. Begitu pula sebaliknya jika semakin<br />

rendah keterampilan seseorang, maka semakin<br />

tinggi perilaku agresifnya.<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil analisis data yang telah<br />

dibahas sebelumnya, maka dapat diambil<br />

kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang negatif<br />

<strong>dan</strong> signifikan antara keterampilan sosial dengan<br />

perilaku agresif remaja kelas XI SMK Bunda<br />

Kandung Jakarta Selatan.<br />

Kesimpulan tersebut menunjukkan bahwa ada<br />

hubungan yang berbanding terbalik antara<br />

keterampilan sosial dengan perilaku agresif. Hal ini<br />

memungkinkan bahwa apabila siswa memiliki<br />

keterampilan sosial yang tinggi, kemungkinan<br />

perilaku agresifnya rendah. Begitu pula sebaliknya<br />

apabila seorang siswa memiliki keterampilan sosial<br />

yang rendah, kemungkinan ia memiliki perilaku<br />

agresif yang tinggi.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 182<br />

Daftar Pustaka<br />

Amriyah, Chairul. 2008. <strong>Jurnal</strong>: Perilaku Agresif<br />

Di Masyarakat. Bandar Lampung : IAIN Raden<br />

Intan Bandar Lampung.<br />

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur <strong>Penelitian</strong><br />

Suatu Pendekatan Praktik, edisi revisi VI. Jakarta:<br />

PT Rineka Cipta.<br />

Berkowitz, Leonard. 1995. Agresi 1, Sebab <strong>dan</strong><br />

Akibatnya (penerjemah: Hartatni Woro Susiatmi).<br />

Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.<br />

Caldarella, Paul & Merrel, Kenneth. 1997. Common<br />

Dimentions of Social Skills of Children and<br />

Adolescence: Taxonomy of Positif Behaviors. Utah:<br />

Scholl Psicology Review Volume 26, No. 2.<br />

Chaplin, James P. 2006. Kamus Lengkap <strong>Psikologi</strong>.<br />

Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.<br />

Fadilla, Alvin & Soedarjo. 1998. Buletin <strong>Psikologi</strong>:<br />

Beberapa Perspektif Perilaku Agresif. Yogyakarta:<br />

Buletin <strong>Psikologi</strong> Tahun VI No. 2.<br />

Gerungan, W.A. 2004. <strong>Psikologi</strong> Sosial. Bandung :<br />

PT Refika Aditama.<br />

Herlinawati, Nimade. 2010. <strong>Jurnal</strong>: Perilaku<br />

Agresif Pada Remaja Putri Yang Mengalami Abuse<br />

Oleh Ibu. Jakarta : Universitas Gunadarma.<br />

Hurlock, Elizabeth B. 1994. <strong>Psikologi</strong><br />

Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang<br />

Rentang Kehidupan), Edisi 5. Jakarta : Erlangga.<br />

Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial 2 –<br />

Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Press.<br />

Koestyorini. 2007. Mengembangkan Keterampilan<br />

Sosial Bagi Remaja. Malang: <strong>Jurnal</strong> Likithapradnya<br />

volume 10.<br />

Koeswara, E..1988. Agresi Manusia. Bandung:<br />

Eresto.<br />

Krahe, Barbara. 2005. Perilaku Agresif. Yogyakarta<br />

: Pustaka Pelajar.<br />

Kuncoro. 2004. Aplikasi Komputer <strong>Psikologi</strong>.<br />

Jakarta: Fakultas <strong>Psikologi</strong> Universitas Persada<br />

Indonesia-YAI.<br />

Muchtar, Desvy Y. & Hadjan, Noor R. 2006.<br />

Efektivitas Art Therapy Untuk Meningkatkan<br />

Keterampilan Sosial Pada Anak Yang Mengalami<br />

Gangguan Perilaku. Yogyakarta: Journal<br />

<strong>Psikologi</strong>a volume 2, no. 1.<br />

Priyanto, Dwi. 2008. Mandiri Belajar SPSSuntuk<br />

Analisis Data <strong>dan</strong> Uji Statistik. Yogyakarta:<br />

Mediako<br />

Priliantini, Anastasia. 2008. Hubungan Antara<br />

Gaya Manajemen Konflik dengan Kecenderungan<br />

Perilaku Agresif Narapi<strong>dan</strong>a Usia Remaja di Lapas<br />

Anak Pria Tangerang. Jakarta: <strong>Jurnal</strong> Psiko-<br />

Edukasi volume 6, No. 1.<br />

Rakhmat, Jalaludin. 2005. <strong>Psikologi</strong> Komunikasi.<br />

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.<br />

Rangkuti, Anna Armeini. 2012. Statistik Inferensial<br />

Untuk <strong>Penelitian</strong> <strong>Psikologi</strong> <strong>dan</strong> Pendidikan.<br />

Jakarta: Prodi <strong>Psikologi</strong> FIP <strong>UNJ</strong>.<br />

Rosdianah. 2009. Tesis: Hubungan Antara Pola<br />

Asuh Ortu Dan Konsep Diri Dengan Keterampilan<br />

Sosial. Jakarta: Pasca Sarjana <strong>UNJ</strong>.<br />

Santrock, J. W. 2003. Adolescence (Perkembangan<br />

Remaja), Edisi 6. Jakarta: Erlangga.<br />

Sarwono, Sarlito W. 1992. Teori-Teori <strong>Psikologi</strong><br />

Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.<br />

Sugiono. 2011. Metodologi <strong>Penelitian</strong> Pendidikan,<br />

pendekatan kuantitatif, kualitatif, <strong>dan</strong> R&D.<br />

Bandung: Penerbit Alfabeta.<br />

Taganing, Ni Made. 2008. <strong>Jurnal</strong>: Hubungan Pola<br />

Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif Pada<br />

Remaja. Jakarta : Universitas Gunadarma.<br />

Yanti, Desvri. 2005. <strong>Jurnal</strong>: Keterampilan Sosial<br />

Pada Anak Menengah Akhir Yang Mengalami<br />

Gangguan Perilaku.Yogyakarta: Universitas Gajah<br />

Mada.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 183<br />

GAMBARAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA SISWA<br />

SMKN 1 JAKARTA<br />

Dwi Wulandari<br />

<strong>Psikologi</strong> Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Jl. Sunter Bentengan V Rt. 005/05, No. 7, Jakarta Utara<br />

E-mail : Landa.chiby@yahoo.com<br />

Abstract<br />

The aim of this article is to know the description of emotional intelligence to vocational high school’s students in<br />

Jakarta. This research took at SMKN 1 Jakarta from February 2012 until June 2012. Populations of the research<br />

are 800 students which are the student’s entire of SMKN 1 Jakarta. Sample in this research are 50 students from<br />

first and second grades.<br />

Researcher uses a description method by quantitative approach. Technique to take the sample is by using<br />

incidental sampling technique. To collect the emotional intelligence’s data, researcher uses an emotional<br />

intelligence’s scale by likert and then, analyze it with statistic description.The result shows that SMKN 1<br />

Jakarta’s students have a high emotional intelligence. The data shows that 50 respondences (100%) have a high<br />

level category of emotional intelligence.<br />

1. Pendahuluan<br />

Keywords : Emotional Intelligence, Vocational High School’s Students<br />

SMKN 1 Jakarta merupakan salah satu<br />

sekolah tertua yang masih mempertahankan<br />

bangunan kuno khas peninggalan Belanda. Sekolah<br />

ini cenderung dicap negatif karena siswanya<br />

seringkali terlibat tawuran dengan sekolah lain.<br />

Buruknya "reputasi" SMKN 1 Jakarta terdengar<br />

hingga ke telinga pejabat Kementerian Pendidikan.<br />

Niat untuk memperbaiki citra sekolah pun mulai<br />

tampak pada tanggal 18 Agustus 2009, saat<br />

pemerintah menjadikan SMKN 1 Jakarta sebagai<br />

sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf<br />

Internasional).<br />

Berawal dari sekolah yang terkenal dengan<br />

budaya tawuran, SMKN 1 Jakarta menjelma<br />

menjadi sekolah kejuruan unggulan di bi<strong>dan</strong>g<br />

teknologi. Pada tahun 2010 dengan dukungan dari<br />

pemerintah, SMKN 1 Jakarta mengembangkan diri<br />

mulai dari perawatan hingga perbaikan bangunan<br />

<strong>dan</strong> fasilitas. Semua usaha SMKN 1 Jakarta dalam<br />

berbenah tidak sia-sia. Tak perlu waktu lama bagi<br />

sekolah ini untuk menuai hasilnya. Pada tahun<br />

2010, SMKN 1 Jakarta meraih beberapa juara untuk<br />

perlombaan Olimpiade Sains Terapan tingkat<br />

Nasional (OSTN). Berikut prestasi yang mampu<br />

diraih oleh SMKN 1 Jakarta :<br />

Tabel 1. Prestasi yang diraih SMKN 1 Jakarta<br />

No. Mata Pelajaran Juara<br />

1. Kimia Terapan I <strong>dan</strong> II<br />

2. Matematika III<br />

3. Fisika Terapan III<br />

4. Matematika Teknologi I


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 184<br />

Prestasi ini disertai dengan kepercayaan<br />

yang diberikan Direktorat Pembinaan Sekolah<br />

Menengah Kejuruan Kementerian Pendidikan<br />

Nasional, SMKN 1 Jakarta dilibatkan dalam<br />

program Esemka. Sebanyak dua guru <strong>dan</strong> lima<br />

siswa terlibat dalam perancangan, pembuatan, <strong>dan</strong><br />

perakitan mesin Esemka. Mereka dipercaya merakit<br />

15 dari 1.000 mesin yang dikerjakan dalam<br />

program Esemka. Sejak itu identitas SMKN 1<br />

Jakarta yang terkenal suka tawuran semakin luntur.<br />

Sekolah dapat dikatakan unggul apabila<br />

sekolah tersebut memiliki kemauan <strong>dan</strong><br />

kemampuan dalam menyesuaikan semua praktek<br />

sekolah dengan perbedaan individual dalam<br />

perkembangan fisik, kognitif <strong>dan</strong> sosial murid-<br />

muridnya (Santrock, 2002: 16). Aspek lain dari<br />

SMK yang efektif adalah menekankan pentingnya<br />

menciptakan lingkungan yang positif bagi<br />

perkembangan sosial <strong>dan</strong> emosional remaja<br />

(Santrock, 2002: 18).<br />

Tujuan ini ditetapkan tidak hanya karena<br />

lingkungan semacam ini memberi kontribusi bagi<br />

keunggulan akademis, tetapi juga karena<br />

perkembangan sosial <strong>dan</strong> emosional dinilai sebagai<br />

sesuatu yang secara intrinsik penting dalam sekolah<br />

bagi remaja. Kebijakan-kebijakan sekolah semacam<br />

ini mencerminkan perhatian <strong>dan</strong> kepedulian pribadi<br />

terhadap orang-orang yang memiliki kebutuhan-<br />

kebutuhan perkembangan yang mendesak<br />

khususnya remaja (Santrock, 2002: 18).<br />

Masa remaja merupakan masa perjalanan<br />

dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ditandai<br />

oleh periode transisional panjang. Masa remaja<br />

dimulai pada usia 11 atau 12 sampai dengan 20<br />

tahun, <strong>dan</strong> masa tersebut membawa perubahan<br />

besar saling bertautan dalam semua ranah<br />

perkembangan (Papalia, Old & Feldman, 2008:<br />

534). Masa remaja dikenal dengan masa storm and<br />

stress dimana terjadi ketegangan emosi yang<br />

meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik <strong>dan</strong><br />

kelenjar hormon. Kondisi ini disebabkan karena<br />

remaja di bawah tekanan sosial <strong>dan</strong> menghadapi<br />

kondisi baru (Wahyuni, 2005: 178).<br />

Masa remaja yang identik dengan<br />

lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat<br />

mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri<br />

secara efektif. Pada umumnya masa remaja lebih<br />

banyak menghabiskan waktunya di sekolah.<br />

Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder.<br />

Sekolah menawarkan peluang untuk belajar<br />

informasi, menguasai keterampilan baru, <strong>dan</strong><br />

menajamkan keterampilan yang sudah ada. Sekolah<br />

tidak hanya memberi kontribusi bagi keunggulan<br />

akademis, tetapi juga karena perkembangan sosial<br />

<strong>dan</strong> emosional dinilai sebagai sesuatu yang secara<br />

intrinsik penting dalam sekolah bagi remaja. Tidak<br />

mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap<br />

perkembangan remaja cukup besar (Sarlito, 2002:<br />

124).<br />

Dalam memenuhi tugas perkembangan masa<br />

remaja, khususnya siswa SMK, kecerdasan<br />

emosional sangat berperan penting. Goleman<br />

menyatakan, keberhasilan dalam hidup tidak hanya<br />

ditentukan oleh IQ, tetapi kecerdasan emosional lah<br />

yang memegang peranan (Goleman, 2003: 38).<br />

Kecerdasan emosional dilontarkan pertama kali<br />

pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari<br />

Harvard University untuk menerangkan kualitas-<br />

kualitas emosional yang tampaknya penting bagi<br />

keberhasilan (Shapiro, 2003: 5). Salovey <strong>dan</strong> Mayer<br />

(dalam Shapiro, 2003: 8) mengatakan “kecerdasan<br />

emosional adalah himpunan bagian dari kecerdasan<br />

sosial yang melibatkan kemampuan memantau<br />

perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada<br />

orang lain, memilah-milah semuanya <strong>dan</strong><br />

menggunakan informasi ini untuk membimbing<br />

pikiran <strong>dan</strong> tindakan.”<br />

Kecerdasan emosional adalah kemampuan<br />

individu untuk dapat memotivasi diri sendiri,<br />

bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 185<br />

dorongan hati <strong>dan</strong> tidak melebih-lebihkan<br />

kesenangan, mengatur suasana hati <strong>dan</strong> menjaga<br />

agar bebas stres, tidak melumpuhkan kemampuan<br />

berfikir, berempati <strong>dan</strong> berdoa (Goleman, 2003:<br />

45).<br />

Menurut Reuven Bar-On (dalam Stain <strong>dan</strong><br />

Book, 2002: 157-158)), kecerdasan emosional<br />

adalah serangkaian kemampuan, kompetensi <strong>dan</strong><br />

kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi<br />

kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi<br />

tuntutan <strong>dan</strong> tekanan lingkungan.<br />

Dilanjutkan oleh Conny R. Semiawan (1997:<br />

153) yang mengemukakan bahwa kecerdasan<br />

emosional sebagai “kemampuan membaca pikiran<br />

diri sendiri <strong>dan</strong> pikiran orang lain sehingga mampu<br />

menempatkan diri dalam situasi orang lain <strong>dan</strong><br />

mampu mengendalikan diri.”<br />

Menurut Salovey <strong>dan</strong> Mayer (dalam<br />

Goleman, 2003: 57-59), ada lima aspek dalam<br />

kecerdasan emosional yaitu:<br />

1. Mengenali emosi diri<br />

Kemampuan individu untuk mengenali<br />

perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu<br />

terjadi, serta mengetahui penyebab<br />

terjadinya. Kemampuan ini merupakan dasar<br />

dari kecerdasan emosional. Para ahli<br />

psikologi menyebutkan kesadaran diri yakni<br />

kesadaran individu akan emosinya sendiri.<br />

Orang yang mampu memantau emosinya<br />

secara cermat adalah orang yang dapat<br />

mengendalikan hidupnya, mereka tidak<br />

hanya sadar akan perasaan dirinya, namun<br />

mereka juga sadar akan pikiran <strong>dan</strong> tindakan<br />

yang mereka lakukan. Kesadaran diri<br />

mencakup kemampuan mengenali emosi diri<br />

sendiri, menerima diri sendiri, mengenali<br />

hubungan antara perasaan <strong>dan</strong> tindakan.<br />

2. Mengelola emosi<br />

Kemampuan individu dalam menangani<br />

perasaan agar dapat terungkap dengan tepat,<br />

sehingga tercapai keseimbangan dalam<br />

dirinya. Untuk memiliki keterampilan ini<br />

sebelumnya individu harus menguasai<br />

kesadaran diri terhadap emosi yang<br />

dirasakannya. Kemampuan mengelola emosi<br />

mencakup kemampuan untuk menghibur diri<br />

sendiri, mengendalikan rasa marah,<br />

melepaskan kecemasan, kemurungan atau<br />

ketersinggungan <strong>dan</strong> akibat-akibat yang<br />

ditimbulkannya serta kemampuan untuk<br />

bangkit dari perasaan-perasaan yang<br />

menekan. Orang yang memiliki kemampuan<br />

ini mampu bangkit dari keterpurukan yang<br />

se<strong>dan</strong>g dialaminya. Mengelola emosi<br />

mencakup kemampuan untuk menerima<br />

kegagalan, mengelola perasaan, <strong>dan</strong><br />

menyelesaikan masalah.<br />

3. Memotivasi diri sendiri<br />

Motivasi diri adalah kemampuan individu<br />

untuk mengendalikan dorongan hati,<br />

menunda kepuasan, mengatur suasana hati,<br />

memotivasi diri untuk bertahan <strong>dan</strong> terus<br />

berusaha menemukan banyak cara untuk<br />

mencapai tujuan (Goleman, 2003: 134).<br />

Ciri-ciri individu yang memiliki kemampuan<br />

ini adalah memiliki kepercayaan diri yang<br />

tinggi, optimis dalam menghadapi keadaan<br />

yang sulit, cukup terampil, inisiatif <strong>dan</strong><br />

bertindak sangat efektif dalam menemukan<br />

cara alternatif agar sasaran tercapai.<br />

(Goleman, 2003: 114) Orang yang memiliki<br />

keterampilan ini cenderung lebih produktif<br />

<strong>dan</strong> efektif dalam hal apapun yang mereka<br />

kerjakan. Motivasi diri mencakup<br />

kemampuan untuk meningkatkan prestasi,


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 186<br />

menumbuhkan optimisme, <strong>dan</strong> mempunyai<br />

tanggung jawab.<br />

4. Empati<br />

Kemampuan individu untuk mengenali<br />

emosi orang lain disebut juga empati.<br />

Individu yang memiliki kemampuan empati<br />

lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial<br />

tersembunyi yang mengisyaratkan apa saja<br />

yang dibutuhkan atau dikehendaki orang<br />

lain. Kunci untuk memahami perasaan orang<br />

lain adalah mampu membaca pesan<br />

nonverbal, nada bicara, gerak-gerik, ekspresi<br />

wajah <strong>dan</strong> sebagainya. Menurut penelitian<br />

Robert Rosenthal (dalam Goleman, 2003:<br />

136), menunjukkan bahwa orang-orang yang<br />

mampu membaca perasaan <strong>dan</strong> isyarat non<br />

verbal lebih mampu menyesuaikan diri<br />

secara emosional, lebih populer, lebih<br />

mudah bergaul, <strong>dan</strong> lebih peka. Empati<br />

mencakup kemampuan mengenali emosi<br />

orang lain, memiliki rasa peduli terhadap<br />

orang lain, <strong>dan</strong> menghargai pendapat orang<br />

lain.<br />

5. Membina hubungan<br />

Membina hubungan adalah kemampuan<br />

individu untuk mengelola emosi orang lain<br />

dengan baik ketika berhubungan <strong>dan</strong> dengan<br />

cermat membaca situasi, serta mampu<br />

berinteraksi dengan lancar. Kemampuan<br />

dalam membina hubungan merupakan suatu<br />

keterampilan yang menunjang popularitas,<br />

kepemimpinan <strong>dan</strong> keberhasilan antar<br />

pribadi. Orang-orang yang hebat dalam<br />

keterampilan membina hubungan ini akan<br />

sukses dalam bi<strong>dan</strong>g apapun. Orang-orang<br />

ini populer dalam lingkungannya <strong>dan</strong><br />

menjadi teman yang menyenangkan karena<br />

kemampuannya dalam berkomunikasi.<br />

Sejauhmana perkembangan kepribadian<br />

individu dapat dilihat dari banyaknya<br />

hubungan interpersonal yang dilakukan.<br />

Membina hubungan mencakup kemampuan<br />

mempunyai relasi dengan orang lain, mampu<br />

bekerjasama, <strong>dan</strong> menyelesaikan konflik<br />

dengan orang lain.<br />

Kecerdasan atau kompetensi seseorang<br />

dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor<br />

internal yaitu faktor pembawaan yang bersifat<br />

genetik <strong>dan</strong> faktor eksternal yaitu faktor yang<br />

mempengaruhi perkembangan kecerdasan<br />

seseorang secara akumulatif sejak kecil seperti<br />

pendidikan <strong>dan</strong> pengalaman yang dimiliki<br />

seseorang.<br />

Faktor genetik mempengaruhi seseorang<br />

menggunakan pemikiran intelektual <strong>dan</strong> emosinya.<br />

Pengendalian emosi dengan kecerdasan emosional<br />

(emotional intelligence) dapat mempengaruhi<br />

keseimbangan antara penggunaan pusat emosi<br />

(amygdala) <strong>dan</strong> penggunaan pemikiran intelektual<br />

(prefrontal neocortex). Dengan mengendalikan<br />

emosi, seseorang dapat mengatur kapan dia harus<br />

lebih banyak menggunakan pemikiran intelektual<br />

yang bersifat kognitif <strong>dan</strong> kapan dia dapat<br />

menggunakan emosi (Hutapea & Thoha, 2008: xvi).<br />

Menurut Goleman (2003: 268), sekolah<br />

pertama untuk mempelajari emosi adalah<br />

kehidupan keluarga. Semua interaksi sekecil<br />

apapun antara orang tua <strong>dan</strong> anak mempunyai nilai<br />

emosional, <strong>dan</strong> dalam pengulangan pesan selama<br />

bertahun-tahun pada anak akan membentuk<br />

pan<strong>dan</strong>gan hidup serta kemampuan emosionalnya.<br />

Anak adalah murid yang pintar, mereka sangat peka<br />

terhadap transmisi emosi yang paling halus sekali<br />

pun dalam kehidupan keluarga. Pembelajaran emosi<br />

yang diterima anak bukan hanya melalui hal-hal<br />

yang diucapkan atau dilakukan orang tua secara


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 187<br />

langsung, melainkan juga contoh-contoh yang<br />

diberikan orang tua sewaktu menangani<br />

perasaannya sendiri. Faktor lain yang<br />

mempengaruhi proses perkembangan emosional<br />

adalah sekolah <strong>dan</strong> masyarakat. Dalam lingkungan<br />

tersebut seseorang belajar bagaimana merasakan<br />

perasaan diri sendiri <strong>dan</strong> bagaimana orang lain<br />

menanggapi perasaan tersebut, bagaimana berpikir<br />

tentang perasaan-perasaan itu <strong>dan</strong> pilihan-pilihan<br />

apa yang dimiliki untuk bereaksi, serta bagaimana<br />

membaca <strong>dan</strong> mengungkapkan harapan <strong>dan</strong> rasa<br />

takut.<br />

Mengingat bahwa masa remaja merupakan<br />

masa yang paling banyak dipengaruhi oleh<br />

lingkungan keluarga <strong>dan</strong> teman-teman sebaya,<br />

maka untuk menghindari hal-hal negatif yang dapat<br />

merugikan dirinya sendiri <strong>dan</strong> orang lain, remaja<br />

hendaknya memahami <strong>dan</strong> memiliki apa yang<br />

disebut kecerdasan emosional.<br />

Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-<br />

hal seperti bagaimana remaja mampu untuk<br />

memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu<br />

mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri,<br />

berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan,<br />

dapat mengendalikan perasaan <strong>dan</strong> mampu<br />

mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu<br />

<strong>dan</strong> kondisi yang ada sehingga interaksi dengan<br />

orang lain dapat terjalin dengan lancar <strong>dan</strong> efektif.<br />

Menurut Daradjat (dalam Kasdin, 1999: 11),<br />

kemampuan mengendalikan emosi merupakan<br />

kebutuhan yang harus dimiliki oleh remaja. Dengan<br />

kemampuan inilah remaja akan mempunyai sikap<br />

yang lebih stabil.<br />

Banyak bukti memperlihatkan bahwa<br />

individu yang cakap secara emosional mampu<br />

mengetahui <strong>dan</strong> menangani perasaan mereka<br />

sendiri dengan baik, serta mampu membaca <strong>dan</strong><br />

menghadapi perasaan orang lain secara efektif.<br />

Individu dengan keterampilan emosional yang<br />

berkembang baik berarti kemungkinan besar ia<br />

akan berhasil dalam pelajaran, menguasai kebiasaan<br />

pikiran yang mendorong produktivitas mereka.<br />

Sebaliknya siswa yang tidak dapat menghimpun<br />

kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan<br />

mengalami pertarungan batin yang merampas<br />

kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada<br />

pelajaran ataupun untuk memiliki pikiran yang<br />

jernih, sehingga bagaimana siswa diharapkan<br />

berprestasi kalau mereka masih kesulitan mengatur<br />

emosi mereka (Goleman, 2003: 48).<br />

Berdasarkan paparan teori ditas, penelitian<br />

ini bertujuan untuk mengetahui gambaran<br />

kecerdasan emosional pada siswa SMKN 1 Jakarta.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

<strong>Penelitian</strong> ini menggunakan metode<br />

kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. <strong>Penelitian</strong><br />

ini dilakukan di SMKN 1 Jakarta. Subjek dalam<br />

penelitian ini adalah siswa kelas X <strong>dan</strong> XI SMKN 1<br />

Jakarta. Teknik pengambilan sampel yang<br />

digunakan dalam penelitian ini adalah insidental<br />

sampling. Sampel yang dijadikan sumber data<br />

sebanyak 50 orang. Berikut ini data sampel yang<br />

dijadikan sumber data dalam penelitian ini :<br />

Tabel 2. Data Sampel <strong>Penelitian</strong><br />

Jenjang Frekuensi Persentase<br />

Kelas<br />

(%)<br />

X 30 60<br />

XI 20 40<br />

Total 50 100<br />

Teknik pengumpulan data dalam penelitian<br />

ini menggunakan skala. Skala pengukuran yang<br />

digunakan oleh peneliti adalah model likert. Dalam<br />

penelitian ini, alat yang digunakan untuk mengukur


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 188<br />

kecerdasan emosional adalah Emotional<br />

Intelligence Inventory (EII) yang dimodifikasi oleh<br />

peneliti, berdasarkan konsep yang diajukan<br />

Goleman. Analisis data statistik yang digunakan<br />

dalam penelitian ini adalah perhitungan kategorisasi<br />

skor keseluruhan aspek yang digolongkan<br />

berdasarkan dua kategori, yaitu tinggi <strong>dan</strong> rendah.<br />

Penentuan katergorisasi skor ini dilihat dengan cara<br />

membandingkan nilai yang diperoleh dengan mean<br />

teoritiknya. Apabila nilai x > (mean teoritik) maka<br />

tergolong dalam kategori tinggi, begitu juga<br />

sebaliknya apabila nilai x < (mean teoritik) maka<br />

tergolong dalam kategori rendah. Perhitungan<br />

kategorisasi skor dilakukan dengan cara manual<br />

maupun dengan menggunakan program perhitungan<br />

SPSS versi 12.<br />

3. Hasil <strong>dan</strong> Diskusi<br />

<strong>Penelitian</strong> dimulai dari bulan Februari<br />

sampai dengan Juni 2012. Total sampel yang<br />

disebar sebanyak 50. Data yang diperoleh berupa<br />

skor kecerdasan emosional siswa, dideskripsikan<br />

menurut pemusatan <strong>dan</strong> penyebarannya. Hasilnya<br />

dapat dilihat pada tabel berikut :<br />

Tabel 3. Pemusatan <strong>dan</strong> Penyebaran Skor<br />

Kecerdasan Emosional<br />

N Valid 50<br />

Missing 0<br />

Mean 168,0200<br />

Median 167,0000<br />

Mode 167,00<br />

Std. Deviation 11,18580<br />

Variance 125,122<br />

Range 50,00<br />

Minimum 148,00<br />

Maximum 198,00<br />

Sum 8401,00<br />

Percentiles 30 160,0000<br />

Dari keseluruhan skor kecerdasan emosional<br />

siswa SMKN 1 Jakarta, diperoleh rata-rata (mean )<br />

skor yaitu 168,02, se<strong>dan</strong>gkan skor terbanyak adalah<br />

167. Standar deviasi yang diperoleh dari<br />

perhitungan adalah 11, 186.<br />

Berikut deskripsi frekuensi skor kecerdasan<br />

emosional siswa dari hasil perhitungan dengan<br />

menggunakan program SPSS versi 12 :<br />

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Skor<br />

Kecerdasan Emosional Siswa SMKN 1 Jakarta<br />

No. Interval<br />

Frequency<br />

Skor<br />

10<br />

8<br />

6<br />

4<br />

2<br />

0<br />

Kelas<br />

Atas<br />

Kelas<br />

Bawah<br />

Histogram<br />

140.00 150.00 160.00 170.00 180.00 190.00 200.00<br />

KE<br />

Gambar 1. Grafik Skor Kecerdasan emosional<br />

Siswa SMKN 1 Jakarta<br />

Frekuensi Persentase<br />

1. 148-154 153,5 147,5 4 8<br />

Mean = 168.02<br />

Std. Dev. = 11.1858<br />

N = 50<br />

(%)<br />

2. 155-161 160,5 154,5 13 26<br />

3. 162-168 167,5 161,5 12 24<br />

4. 169-175 174,5 168,5 7 14<br />

5. 176-182 181,5 175,5 9 18<br />

6. 183-189 188,5 182,5 4 8<br />

7. 190-196 195,5 189,5 - -<br />

8. 197-203 202,5 196,5 1 2<br />

Total 50 100


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 189<br />

Berdasakan tabel <strong>dan</strong> gambar di atas, maka<br />

dapat diketahui bahwa skor kecerdasan emosional<br />

tertinggi adalah 198 <strong>dan</strong> terendah 148, se<strong>dan</strong>gkan<br />

skor kecerdasan emosional terbanyak adalah 26%<br />

siswa yang memiliki skor kecerdasan emosional<br />

155-161 (13 orang).<br />

Data tersebut kemudian dikelompokkan<br />

berdasarkan kategorisasi skor kecerdasan<br />

emosional. Sebelum dikategorisasikan, terlebih<br />

dahulu dilakukan uji normalitas guna untuk<br />

menguji bahwa data sampel berasal dari populasi<br />

yang terdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas<br />

dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk,<br />

karena jumlah sampel penelitian kurang dari 100.<br />

Berikut hasil uji normalitas data :<br />

Tabel 5. Hasil Uji Normalitas<br />

Shapiro-Wilk<br />

Statistic df Sig.<br />

KE 0,972 50 0,266<br />

Tabel diatas menunjukkan bahwa nilai<br />

signifikansi > 0,05, maka data berdistribusi normal.<br />

Berdasarkan uji normalitas data, data skor<br />

kecerdasan emosional terdistribusi normal, maka<br />

kriteria skor kecerdasan emosional berdasarkan<br />

kategorisasi ordinal dengan asumsi data<br />

terdistribusi normal.<br />

Tabel 6. Kategorisasi Skor Kecerdasan<br />

Emosional Siswa SMKN 1 Jakarta<br />

Skor Kategorisasi Frekuensi Persentase<br />

(%)<br />

X > 132,5 Tinggi 50 100<br />

X< 132,5 Rendah - -<br />

Jumlah 50 100<br />

Hasil perhitungan kategorisasi skor<br />

kecerdasan emosional berdasarkan kategorisasi<br />

dengan asumsi data berdistribusi normal<br />

menunjukkan bahwa 50 responden memiliki skor<br />

kecerdasan emosional dengan kategori tinggi.<br />

Pembahasan<br />

Berdasarkan pengolahan data yang telah<br />

dilakukan dengan teknik statistik deskriptif, hasil<br />

pengkategorisasian skor kecerdasan emosional<br />

secara keseluruhan menunjukkan bahwa di SMKN<br />

1 Jakarta cenderung didominasi oleh siswa yang<br />

memiliki skor kecerdasan emosional dengan<br />

kategori tinggi.<br />

Siswa yang tinggi kecerdasan emosionalnya,<br />

secara sosial mantap, mudah bergaul <strong>dan</strong> jenaka,<br />

tidak mudah takut atau gelisah. Mereka<br />

berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan<br />

orang-orang atau permasalahan, untuk memikul<br />

tanggung jawab <strong>dan</strong> mempunyai pan<strong>dan</strong>gan moral,<br />

mereka simpatik <strong>dan</strong> hangat dalam hubungan-<br />

hubungan mereka. Kehidupan emosional mereka<br />

kaya tap wajar, mereka merasa nyaman dengan<br />

dirinya sendiri, dengan orang lain, <strong>dan</strong> dunia<br />

pergaulan lingkungannya.<br />

Siswa dengan keterampilan emosional yang<br />

berkembang baik berarti kemungkinan besar ia<br />

akan berhasil dalam pelajaran, menguasai kebiasaan<br />

pikiran yang mendorong produktivitas mereka.<br />

Tingginya kecerdasan emosional siswa tidak<br />

terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi<br />

perkembangan kecerdasan emosional siswa.<br />

Kecerdasan emosional dapat dipengaruhi oleh<br />

beberapa faktor yaitu faktor internal (faktor<br />

pembawaan yang bersifat genetik) <strong>dan</strong> faktor<br />

eksternal (faktor yang mempengaruhi<br />

perkembangan kecerdasan seseorang secara<br />

akumulatif sejak kecil seperti pendidikan <strong>dan</strong><br />

pengalaman yang dimiliki seseorang).


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 190<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan<br />

dalam menganalisis gambaran kecerdasan<br />

emosional siswa SMKN 1 Jakarta, maka dapat<br />

disimpulkan sebagai berikut :<br />

Gambaran kecerdasan emosional pada siswa<br />

SMKN 1 Jakarta tahun 2012 cenderung tinggi. Hal<br />

ini menunjukkan bahwa siswa SMKN 1 Jakarta<br />

mampu mengenali, mengontrol emosi <strong>dan</strong><br />

memusatkan pikiran pada pelajaran serta dapat<br />

mengekspresikan sesuai dengan aturan yang<br />

berlaku di lingkungannya.<br />

5. Daftar Pustaka<br />

Goleman, Daniel. (2003). Emotional Intelligence,<br />

terjemahan oleh T. Hermaya, Jakarta:<br />

Gramedia.<br />

Hutapea MBA, Parulian & Dr. Nurianna Thoha<br />

MBA. (2008). Kompetensi Plus. Jakarta:<br />

Gramedia Pustaka Utama.<br />

J. Stein, Steven <strong>dan</strong> Book, Howard E. (2002).<br />

Ledakan EQ. Bandung: Kaifa<br />

Papalia, Diane E., Sally Wendkos Olds, <strong>dan</strong> Ruth<br />

Duskin Feldman. (2008). Human<br />

Development (<strong>Psikologi</strong> Perkembangan),<br />

terjemahan A. K. Anwar. Jakarta: Kencana.<br />

Santrock, John W. (2002). Life-Span Development<br />

Perkembangan Masa Hidup, Jilid II.<br />

Jakarta: Erlangga.<br />

Sarwono, Sarlito W. (2002). <strong>Psikologi</strong> Remaja,<br />

Edisi Revisi.<br />

Semiawan, Conny R. (1997). Perspektif Pendidikan<br />

Anak Berbakat. Jakarta: PT. Gramedia<br />

Widiasarana Indonesia.<br />

Shapiro, Lawrence E. (2003). Mengajarkan<br />

Emotional Intelligence pada Anak,<br />

terjemahan Alex Tri Kantjono. Jakarta:<br />

Gramedia.<br />

Sitohang, Kasdin. (1999). Upaya Mengurangi<br />

Tawuran Pelajar. Respons, Vol. 4, No. 3.<br />

Wahyuni, Esa Nur. (2005). Model Pelatihan<br />

Pengendalian Emosi. <strong>Jurnal</strong> Ilmiah Psiko-<br />

Edukasi, Vol. 3, No. 2.<br />

http://smkn1jakarata.net/index.php?page=berita,<br />

diakses pada tanggal 12 Juli 2012, pukul<br />

14.00.<br />

http://www.boedoet19a.com/2012/01/ada-mesin-<br />

boedoet-di-mobil-esemka.html, diakses pada<br />

tanggal 12 Juli 2012, pukul 14.00.<br />

http://www.boedoet19a.com/2012/01/anak-<br />

boedoet-dari-atwuran-hingga-kiat.html,<br />

diakses pada tanggal 12 Juli 2012, pukul<br />

14.00.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 191<br />

GAMBARAN ADVERSITY QUOTIENT PADA SISWA DI SMU NEGERI<br />

27 JAKARTA PUSAT<br />

Sri Maryani<br />

Jurusan <strong>Psikologi</strong> Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri jakarta<br />

Jalan Rawamangun Muka Jakarta Timur 13220, DKI Jakarta<br />

E-mail: srie.maryani91@yahoo.com<br />

Abstract<br />

The aim of this research is to determine description adversity quotient of student at SMUN 27 Jakarta Pusat. This<br />

research took place at SMUN 27 Jakarta Pusat started from May to July 2011. This research use descriptive<br />

quantitive method. The population of this research are 2nd grade student of SMUN 27 Jakarta. 100 student are<br />

choosen as research sample with accidental sampling. Research instrument used is questionnaire with likert model<br />

scaling. Data analysiss technique used is frequent and percentage using SPSS for windows (version 16). Adversity<br />

response profile develop by Paul G. Stoltz Used as data collection method. The result showed that 12 respondent<br />

(12%) of total 100 are in high category (Climbers), 87 respondent (87%) in middle category (Campers) and 1<br />

respondent (1%) in low category (Quitters).<br />

Key words : Adversity Quotient,Student<br />

1. Pendahuluan<br />

Pendidikan adalah suatu usaha atau<br />

kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur<br />

<strong>dan</strong> berencana dengan maksud mengubah atau<br />

mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah<br />

sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam<br />

rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut.<br />

Proses belajar yang terjadi pada individu memang<br />

merupakan sesuatu yang penting, karena melalui<br />

belajar individu mengenal lingkungannya <strong>dan</strong><br />

menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya.<br />

Menurut Morgan dalam bukunya ”Introduction to<br />

Psychology” dikemukakan bahwa: ”Belajar adalah<br />

setiap perubahan yang relatif menetap dalam<br />

tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari<br />

latihan atau pengalaman (WordPres: 2011). Belajar<br />

akan menghasilkan perubahan - perubahan dalam<br />

diri seseorang. Penilaian terhadap hasil belajar<br />

seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah<br />

mencapai sasaran belajar inilah yang disebut<br />

sebagai prestasi belajar. Prestasi belajar menurut<br />

Ghandi Wirawan adalah: “Hasil yang dicapai<br />

seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana<br />

dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui<br />

prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui<br />

kemajuan - kemajuan yang telah dicapainya dalam<br />

belajar (Majalah Pendidikan: 2011).<br />

Suatu hal yang wajar, sekolah pada<br />

umumnya selalu berupaya bagaimana sekolah<br />

tersebut memiliki Sumber Daya Manusia yang<br />

mampu menampilkan prestasi yang baik. Padahal<br />

prestasi seseorang dipengaruhi oleh berbagai hal,<br />

antara lain kemampuan kognitif, kemampuan<br />

teknis, kecerdasan emosional <strong>dan</strong> kecerdasan<br />

spiritual.<br />

Namun dalam upaya meraih prestasi<br />

belajar yang memuaskan dibutuhkan proses belajar.<br />

Proses belajar yang terjadi pada siswa memang<br />

merupakan sesuatu yang penting, karena melalui<br />

belajar siswa mengenal lingkungannya <strong>dan</strong><br />

menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya.<br />

Setiap siswa dalam proses belajarnya pasti<br />

mengalami berbagai hambatan atau permasalahan,<br />

begitupun dengan siswa-siswa di SMU Negeri 27<br />

Jakarta. Mereka harus mengahadapi tantangantantangan<br />

<strong>dan</strong> permasalahan, baik permasalahan<br />

bi<strong>dan</strong>g akademik maupun dalam hidupnya, akan<br />

tetapi banyak diantara


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 192<br />

mereka yang berprestasi <strong>dan</strong> tetap bersekolah. Hal<br />

ini berarti ada suatu hal yang membuat siswa itu<br />

bertahan diantara kesulitan <strong>dan</strong> tantangan hidup<br />

yang dihadapi.<br />

Adversity Quotient (AQ) adalah respon<br />

seseorang berupa kemampuan <strong>dan</strong> ketahanan dalam<br />

menghadapi kesulitan, kegagalan, hambatan, atau<br />

tantangan hidup, sekaligus mengubah kesulitan<br />

maupun kegagalan tersebut menjadi peluang atau<br />

batu loncatan.<br />

Adversity Quotient (AQ) mengukur<br />

kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan<br />

( Paul G. Stoltz: 2005: 9). Adversity Quotient<br />

merupakan bentuk kecerdasan yang melatar<br />

belakangi kesuksesan seseorang, dimana orang<br />

Berdasarkan penjelasan di atas, maka<br />

penulis ingin mengadakan penelitian untuk<br />

mengetahui gambaran Adversity Quotent pada<br />

Siswa di SMU Negeri 27 Jakarta Pusat.<br />

Pengertian Adversity Quotient<br />

Adversity memiliki makna usaha untuk<br />

tegar atau berjuang untuk keluar dari segala<br />

kekurangbaikkan (Kamus Besar Indonesia: 2007).<br />

Roosseno mendefinisikan AQ sebagai kemampuan<br />

atau kecerdasan ketangguhan berupa seberapa baik<br />

individu bertahan atas cobaan yang dialami <strong>dan</strong><br />

seberapa baik kemampuan individu untuk<br />

mengatasinya (Wiratman Wangsadinata: 2008:<br />

263). Dapat disimpulkan Adversity merupakan<br />

kecerdasan individu untuk berjuang <strong>dan</strong> bertahan<br />

hidup dalam menghadapi cobaan hidup yang<br />

dialaminya serta bagaimana cara mengatasinya.<br />

Adversity Quotient (AQ) dikembangkan<br />

pertama kali oleh Paul G. Stoltz. Seorang konsultan<br />

yang sangat terkenal dalam topik – topik<br />

kepemimpinan di dunia kerja <strong>dan</strong> dunia pendidikan<br />

berbasis skill, Ia menganggap bahwa IQ <strong>dan</strong> EQ<br />

yang se<strong>dan</strong>g marak dibicarakan itu tidaklah cukup<br />

dalam meramalkan kesuksesan seseorang. Stoltz<br />

mengelompokkan individu menjadi tiga: quitter,<br />

camper, <strong>dan</strong> climber.<br />

Kecerdasan adversitas (AQ (Adversity<br />

Quotient)) adalah kecerdasan yang dimiliki<br />

seseorang dalam mengatasi kesulitan <strong>dan</strong> sanggup<br />

bertahan hidup. Dengan AQ seseorang bagai diukur<br />

kemampuannya dalam mengatasi setiap persoalan<br />

hidup untuk tidak berputus asa (Sulaiman Al<br />

Kumayi: 2006: 118). Dalam kamus bahasa Inggris,<br />

kata “ Adversity” di artikan dengan kesengsaraan<br />

<strong>dan</strong> kemalangan, se<strong>dan</strong>gkan “Intelegence” diartikan<br />

dengan kecerdasan (Kamus Inggris Indonesia: 14).<br />

Dalam buku Properthic Intelegence, di sebutkan<br />

Adversity Quotient, merupakan sesuatu potensi di<br />

mana dengan potensi ini seseorang dapat mengubah<br />

hambatan menjadi peluang lalu Ia menyatakan<br />

bahwa suksesnya suatu pekerjaan <strong>dan</strong> hidup<br />

seseorang di tentukan oleh Adversity Quotient (AQ)<br />

(Barkan Adz Dzakiey: 2005: 605). Analisa Stoltz<br />

yang memiliki AQ, mereka tidak mudah menyerah<br />

<strong>dan</strong> mempunyai semangat tinggi untuk mencapai<br />

tujuan<br />

Berdasarkan wawancara dengan Bapak<br />

Eling Budiharso selaku wakil kepala sekolah<br />

bi<strong>dan</strong>g kesiswaan di SMU Negeri 27 Jakarta Pusat<br />

didapat fenomena bahwa para siswa di sekolah ini<br />

memiliki potensi untuk mencapai nilai atau prestasi<br />

akademik yang lebih baik lagi, tetapi menurut<br />

beliau daya juang (AQ) mereka begitu rendah<br />

sehingga tidak didapatkan hasil yang maksimal.<br />

Dalam buku Adversity Quotient terdapat beberapa<br />

penelitian yang menyangkut perbedaan siswa dalam<br />

menghadapi masalahnya.<br />

AQ (Adversity Quotient) menggambarkan pola<br />

seseorang mengolah tanggapan atas semua bentuk<br />

<strong>dan</strong> intensitas kesulitan, serta tragedi besar hingga<br />

gangguan sepele (Paul G. Stoltz: 2005: 8). Konsep<br />

baru ini menawarkan manfaat yang dapat diperoleh,<br />

yaitu:<br />

1. AQ menyatakan seberapa tegar seseorang<br />

menghadapi kemalangan <strong>dan</strong> menerima sebuah<br />

tantangan<br />

2. AQ memperkirakan siapa yang mampu<br />

mengatasi kemalangan tersebut <strong>dan</strong> siapa yang<br />

akan terlibas.<br />

3. AQ dapat memperkirakan siapa yang dapat<br />

melampaui harapan kinerja <strong>dan</strong> potensinya <strong>dan</strong><br />

siapa yang tidak.<br />

4. AQ memperkirakan siapa yamg berputus asa<br />

<strong>dan</strong> siapa yang bertahan.<br />

5. AQ mewujudkan dua komponen essensial yang<br />

amat praktis yaitu teori Ilmiah <strong>dan</strong> aplikasi<br />

nyata, karena AQ terwujud dalam tiga bentuk<br />

yaitu:<br />

a. Keberhasilan konseptual baru untuk<br />

memahami <strong>dan</strong> meningkatkan<br />

semua aspek keberhasilan.<br />

b. Merupakan ukuran bagaimana<br />

seseorang merespon kemalangan.<br />

c. Merupakan alat untuk memperbaiki<br />

respon seseorang terhadap<br />

kemalangan.<br />

Dengan demikian AQ mampu<br />

memprediksi seseorang atau individu pada tampilan<br />

motivasi, pemberdayaan, kreativitas, produktivitas,<br />

pembelajaran, energi, harapan, kegembiraan,<br />

vitalitas <strong>dan</strong> kesenangan, kesehatan mental,<br />

kesehatan jasmani, daya tahan, fleksibilitas,<br />

perbaikan sikap, daya hidup <strong>dan</strong> respon terhadap<br />

perubahan terutama dalam hal ini adalah siswa<br />

yang mempunyai kelebihan khusus, baik<br />

intelegensi, kreatifitas, ataupun skill <strong>dan</strong> potensi<br />

lebih.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 193<br />

Tipe - tipe Adversity Quotient<br />

Stoltz, dengan konsep AQ begitu<br />

meyakinkan <strong>dan</strong> membagi manusia dalam tiga<br />

kelompok (Paul G. Stoltz: 2005: 8). sebagai<br />

berikut:<br />

1. Quitters, (mereka yang berhenti). yaitu<br />

orang yang berhenti ditengah pendakian, gampang<br />

putus asa, <strong>dan</strong> mudah menyerah, mudah puas<br />

dengan pemuas kebutuhan dasar fisiologis saja,<br />

cenderung pasif, tidak bergairah untuk mencaai<br />

puncak keberhasilan.<br />

2. Campers, (pekemah). Tidak mencapai<br />

puncak, sudah puas dengan apa yang dicapai, orang<br />

seperti ini yang sedikit lebih baik dari quitters,<br />

yaitu masih mengusahakan terpenuhinya kebutuhan<br />

rasa aman <strong>dan</strong> keamanan <strong>dan</strong> kebersamaan, serta<br />

masih bisa melihat <strong>dan</strong> merasakan tantangan pada<br />

skala hirarki Maslow.<br />

3. Climbers, (pendaki) yaitu orang yang<br />

selalu berupaya mencapai puncak pendakian yaitu<br />

kebutuhan aktualisasi diri pada skala kebutuhan<br />

Maslow, siap menghadapi berbagai rintangan.<br />

Campers mungkin tidak menggunakan<br />

seluruh kemampuannya.<br />

Dimensi - dimensi Adversity Quotient<br />

Stoltz menyebutkan empat dimensi yang<br />

menyusun Adversity Quotient seseorang, empat<br />

dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut :<br />

1. Kendali diri (Control) atau kendali,<br />

kemampuan individu dalam mempengaruhi<br />

secara positif suatu situasi, serta mampu<br />

mengendalikan respon terhadap situasi, dengan<br />

pemahaman awal bahwa sesuatu apapun dalam<br />

situasi apapun individu dapat melakukannya<br />

dimensi ini memiliki dua fase yaitu pertama,<br />

sejauh mana seseorang mampu mempengaruhi<br />

secara positif suatu situasi? Kedua, yaitu sejauh<br />

mana seseorang mampu mengendalikan respon<br />

terhadap suatu situasi.<br />

2. Asal - usul <strong>dan</strong> pengakuan (Origin <strong>dan</strong><br />

Ownership), yaitu suatu kemampuan individu<br />

dalam menempatkan perasaan dirinya dengan<br />

berani menaggung akibat dari situasi yang ada,<br />

sehingga menciptakan pembelajaran dalam<br />

melakukan perbaikan atas masalah yang<br />

terjadi.<br />

3. Jangkauan (Reach), kemampuan individu<br />

dalam menjangkau <strong>dan</strong> membatasi masalah<br />

agar tidak menjangkau bi<strong>dan</strong>g - bi<strong>dan</strong>g yang<br />

lain dimensi ini melihat sejauh mana individu<br />

membiarkan kemalangan menjangkau bi<strong>dan</strong>g<br />

lain pekerjaan <strong>dan</strong> hidup individu.<br />

4. Daya tahan (Endurance), yaitu kemampuan<br />

individu dalam mempersepsi kesulitan, <strong>dan</strong><br />

kekuatan dalam menghadapi kesulitan tersebut<br />

dengan menciptakan ide dalam pengatasan<br />

masalah sehingga ketegaran hati <strong>dan</strong><br />

keberanian dalam penyeleasaian masalah dapat<br />

terwujud dimensi ini berupaya melihat berapa<br />

lama seseorang mempersepsi kemalangan ini<br />

akan berlangsung.<br />

Peran Adversity Quotient dalam Kehidupan<br />

Stoltz mengindikasikan bahwa Adversity<br />

Quotient mempunyai kontribusi yang sangat besar<br />

karena faktor - faktor kesuksesan yang tertulis <strong>dan</strong><br />

memilki dasar ilmiah ini dipengaruhi, kalau bukan<br />

ditentukan, oleh kemampuan pengendalian serta<br />

cara kita merespon kesulitan, faktor - faktor<br />

tersebut mencakup semua yang diperlukan untuk<br />

meraih tantangan (Paul G. Stoltz: 2005: 93). Faktor<br />

tersebut antara lain:<br />

1. Daya saing, menurut penelitian Jasson<br />

Stterfield <strong>dan</strong> Martin Seligman, terhadap<br />

retorika Sad<strong>dan</strong> Hussen <strong>dan</strong> Josh Bush,<br />

menemukan bahwa orang - orang yang<br />

merespon kesulitan secara lebih optimis,<br />

bisa diramalkan akan bisa bersikap lebih<br />

agresif <strong>dan</strong> mengambil lebih banyak<br />

resiko, se<strong>dan</strong>gkan reaksi yang lebih<br />

pesimis terhadap kesulitan menimbulkan<br />

lebih banyak sikap pasif <strong>dan</strong> berhati - hati.<br />

2. Produktifitas, Selligman membuktikan<br />

bahwa orang yang tidak merespon<br />

kesulitan dengan baik menjual lebih<br />

sedikit, kurang berproduksi, <strong>dan</strong><br />

kinerjanya lebih buruk daripada mereka<br />

yang merespon kesulitan dengan baik<br />

3. Kreativitas, Inovasi pada pokonya<br />

merupakan tindakan berdasarkan suatu<br />

harapan. Inovasi membutuhkan keyakinan<br />

bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada<br />

dapat menjadi ada.<br />

4. Motivasi, dalam sebuah perusahaan<br />

farmasi seorang direktur mengurutkan<br />

timnya sesuai dengan motivasi mereka<br />

yang terlihat. Kemudian mengukur AQ,<br />

anggota timnya. tanpa kecuali, baik<br />

berdasarkan pekerjaan harian maupun<br />

untuk jangka panjang, mereka yang AQnya<br />

tinggi dianggap sebagai orang –orang<br />

yang paling memilki motivasi.<br />

5. Mengambil Resiko, Orang - orang yang<br />

merespon kesulitan secara lebih<br />

konstruktif bersedia mengambil lebih<br />

banyak resiko.<br />

6. Perbaikan, perbaikan sangat diperlukan<br />

dalam upaya mempertahankan hidup<br />

7. Ketekunan, ketekunan adalah inti dari AQ,<br />

yaitu sebuah kemampuan untuk terus -<br />

menerus berusaha, bahkan ketika<br />

dihadapkan pada kemunduran -<br />

kemunduran atau kegagalan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 194<br />

8. Belajar, menurut penelitian yang di<br />

lakukan oleh Carol Dweck membuktikan<br />

bahwa anak - anak dengan respon<br />

pesimistis terhadap kesulitan tidak akan<br />

banyak belajar <strong>dan</strong> berpestasi jka di<br />

bandingkan dengan anak - anak yang<br />

memilki pola - pola yang lebih optimistis.<br />

9. Merangkul Perubahan, individu yang<br />

memeluk perubahan cenderung merespon<br />

kesulitan secara lebih konstruktif dengan<br />

memanfaatkanya untuk memperkuat niat<br />

mereka.<br />

10. Keuletan, Stres, Tekanan, Kemunduruan,<br />

Suzanne Oulette, peneliti terkemuka untuk<br />

sifat tahan banting, memperlihatkan bahwa<br />

orang - orang yang merspon kesulitan<br />

dengan sifat tahan banting pengendalian,<br />

tantangan <strong>dan</strong> komitmen, akan tetap ulet<br />

dalam menghadapai kesulitan - kesulitan.<br />

2. Metode <strong>Penelitian</strong><br />

Metode penelitian yang digunakan dalam<br />

penelitian ini adalah penelitian deskriptif<br />

kuantitatif, yaitu menggambarkan masalah yang<br />

akan diteliti, <strong>dan</strong> data yang diperoleh berbentuk<br />

angka yang akan dianalisis memakai analisis<br />

statistik (Nida’u Diana: 2008: 63). Tujuan dari<br />

penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran<br />

akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan<br />

mekanisme sebuah proses atau hubungan,<br />

memberikan gambaran lengkap baik dalam bentuk<br />

verbal atau numerikal, menyajikan informasi dasar<br />

akan suatu hubungan, menciptakan seperangkat<br />

kategori <strong>dan</strong> mengklasifikasikan subjek penelitian,<br />

menjelaskan seperangkat tahapan atau proses, serta<br />

untuk menyimpan informasi bersifat kontradiktif<br />

mengenai subjek penelitian (Wikipedia: 2011).<br />

Dalam hal ini yang diteliti adalah gambaran<br />

Adversity Quotient siswa SMU Negeri 27 Jakarta<br />

Pusat.<br />

3. Hasil & Diskusi<br />

Berikut ini adalah hasil & diskusi dari<br />

penelitian mengenai gambaran Adversity Quotient<br />

pada siswa di SMU Negeri 27 Jakarta Pusat yang<br />

dilakukan pada bulan juli 2011 :<br />

Tabel Komposisi Subjek Berdasarkan Jenis<br />

Kelamin<br />

Jenis<br />

Kelamin<br />

Frekuensi Persentase<br />

Laki-laki 42 42%<br />

Perempuan 58 58%<br />

Total 100 100%<br />

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui<br />

bahwa jumlah responden laki - laki 42 orang<br />

dengan persentase sebesar 42% <strong>dan</strong> jumlah<br />

responden perempuan 58 orang dengan persentase<br />

sebesar 58%<br />

Berikut ini adalah gambaran jumlah subjek<br />

berdasarkan usia. Untuk lebih jelasnya lihat tabel<br />

Tabel Komposisi Subjek Berdasarkan Usia<br />

Usia Frekuensi Persentase<br />

15 tahun 17 17%<br />

16 tahun 52 52%<br />

17 tahun 29 29%<br />

18 tahun 2 2%<br />

Total 100 100%<br />

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui<br />

bahwa jumlah responden berusia 15 tahun sebanyak<br />

17 orang, usia 16 tahun sebanyak 59, usia 17 tahun<br />

sebanyak 29, <strong>dan</strong> usia 18 tahun sebanyak 2 orang.<br />

Responden terbanyak berusia 16 tahun <strong>dan</strong> yang<br />

paling sedikit berusia 18 tahun.<br />

Uji Normalitas<br />

Uji kenormalan bertujuan untuk menguji<br />

bahwa data sampel berasal dari populasi yang<br />

terdistribusi secara normal. Penghitungan uji<br />

normalitas dalam penelitian ini menggunakan<br />

Saphiro-Wilk karena jumlah responden pengujian<br />

kurang dari atau sama dengan 100 (Kuncono:<br />

2004). Data terdistribusi normal apabila signifikasi<br />

Saphiro-Wilk > taraf signifikasi (α = 0,05). Berikut<br />

ini adalah hasil penghitungan menggunakan SPSS<br />

versi 16.<br />

Variabe<br />

l<br />

Adversit<br />

y<br />

Quotient<br />

Tabel Hasil Penghitungan Uji Normalitas<br />

Shapiro-Wilk<br />

Shapiro Wilk<br />

(p)<br />

Sig Interpretasi<br />

,961 0,005 Normal<br />

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa<br />

data variabel Adversity Quotient berdistribusi<br />

normal.<br />

Gambaran Data Variabel Adversity Quotient<br />

Distribusi data merupakan gambaran<br />

penyebaran atau distribusi dari sekelompok data<br />

yang diobservasi (Kuncono: 2004). Data tersebut<br />

berdistribusi normal. Dari hasil perhitungan dengan<br />

memakai SPSS versi 16, maka didapat data sebagai<br />

berikut :


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 195<br />

Tabel Gambaran Data Variabel Adversity<br />

Quotient<br />

Pemusatan <strong>dan</strong> Penyebaran data<br />

N 100<br />

Mean 82,11<br />

Median 82,50<br />

Mode 82,50<br />

Std.Deviation 6,739<br />

Minimum 58<br />

Maximum 103<br />

Range 45<br />

Dari tabel di atas dapat dilihat<br />

bahwa rata-rata data variabel Adversity<br />

Quotient sebesar 82,11, nilai median 75,<br />

50, nilai modus 82, skor minimum yang<br />

diperoleh subjek sebesar 58 <strong>dan</strong> skor<br />

maksimum sebesar 103.<br />

Distribusi Pengkategorian Skor<br />

Kategori skor dilakukan untuk<br />

menempatkan responden ke dalam kategori -<br />

kategori atau kelompok - kelompok yang<br />

berjenjang apabila skor kelompok responden<br />

terdistribusi normal. Pemisahan skor dibagi ke<br />

dalam kelompok tinggi, se<strong>dan</strong>g <strong>dan</strong> rendah<br />

(Kuncono : 2004: 35).<br />

Individu yang berada pada kategori tinggi<br />

diasumsikan sebagai climber, yang berada pada<br />

kategori se<strong>dan</strong>g adalah campers <strong>dan</strong> yang berada<br />

pada kategori rendah adalah quitters.<br />

Tabel Kategorisasi Skor Variabel Adversity<br />

Quotient<br />

Dari distribusi data tersebut, maka skor<br />

subjek dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenjang,<br />

yaitu ada 12 orang (12%) subjek yang berada pada<br />

kategori tinggi atau climbers, 87 orang (87%)<br />

subjek pada kategori se<strong>dan</strong>g atau campers, <strong>dan</strong> 1<br />

orang (1%) subjek berada pada kategori rendah atau<br />

quitters.<br />

Distribusi Pengkategorian Skor Berdasarkan<br />

Dimensi<br />

Kategori skor berdasarkan dimensi pada<br />

instrumen bertujuan untuk mengetahui dimensi<br />

mana yang menonjol pada responden dalam<br />

menghadapi kesulitan. Kategorisasi skor per<br />

dimensi didapatkan berdasarkan rumus yang sama<br />

dengan kategorisasi skor AQ.<br />

Tabel Kategorisasi Skor Control<br />

No Skor Keterangan Jumlah Persentase<br />

1 X > 24 Tinggi 40 40%<br />

2 24 ≥ X ≥16 Se<strong>dan</strong>g 58 58 %<br />

3 X < 16 Rendah 2 2 %<br />

Jumlah 100 100 %<br />

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa<br />

responden yang skor control-nya berada dalam<br />

kategori tinggi sebanyak 40 orang (40%), kategori<br />

se<strong>dan</strong>g 58 orang (58%), <strong>dan</strong> yang berada dalam<br />

kategori rendah sebanyak 2 orang (2%)<br />

Tabel Kategorisasi skor O2 (Origin <strong>dan</strong><br />

Ownership)<br />

No Skor Keterangan Jumlah Persentase<br />

1 X >15,17 Tinggi 55 55 %<br />

2 15,17 ≥ X ≥ 9,83 Se<strong>dan</strong>g 45 45 %<br />

3 X< 9,83 Rendah 0 0 %<br />

Jumlah 100 100 %<br />

Dapat diketahui bahwa responden yang skor Origin<br />

and Ownership-nya berada dalam kategori tinggi<br />

sebanyak 55 orang (55%), kategori se<strong>dan</strong>g 45 orang<br />

(45%), <strong>dan</strong> yang berada dalam kategori rendah<br />

tidak ada.<br />

No Skor Keterangan Jumlah Persentase<br />

1 X > 21 Tinggi 65 65 %<br />

2 21 ≥ X ≥ 14 Se<strong>dan</strong>g 35 35 %<br />

3 X < 14 Rendah 0 0 %<br />

Jumlah 100 100 %<br />

No<br />

1<br />

Skor<br />

X > 90<br />

Keterangan<br />

Tinggi<br />

Jumlah<br />

12<br />

Persentase<br />

12 % Tabel Kategorisasi Skor Reach<br />

2 90 ≥ X ≥ 60 Se<strong>dan</strong>g 87 87%<br />

3 X < 60 Rendah<br />

Jumlah<br />

1<br />

100<br />

1 %<br />

100 % Dari dapat diketahui bahwa responden<br />

yang skor reach-nya berada dalam kategori tinggi<br />

tidak ada, kategori se<strong>dan</strong>g 65 orang (65%), <strong>dan</strong><br />

yang berada dalam kategori rendah sebanyak 35<br />

orang (35%).<br />

No Skor Keterangan Jumlah Persentase<br />

1 X > 36 Tinggi 0 0 %<br />

2 36 ≥ X ≥ 24 Se<strong>dan</strong>g 40 40%<br />

3 X < 24 Rendah 60 60%<br />

Jumlah<br />

Tabel Kategorisasi Skor Endurance<br />

100 100 %


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 196<br />

Berdasarkan hasil pengumpulan <strong>dan</strong><br />

penghitungan data statistika yang telah dilakukan,<br />

dari 100 responden, terdapat 12 orang (12%) subjek<br />

yang berada pada kategori tinggi atau climbers, 87<br />

orang (87%) orang subjek pada kategori se<strong>dan</strong>g<br />

atau campers, <strong>dan</strong> 1 orang (1%) subjek berada pada<br />

kategori rendah atau quitters. Hal tersebut berarti,<br />

hampir semua siswa yang menjadi responden dalam<br />

penelitian ini adalah campers.<br />

Campers adalah orang – orang yang<br />

berkemah. Mereka mengakhiri pendakiannya <strong>dan</strong><br />

mencari tempat yang datar yang rata <strong>dan</strong> nyaman<br />

sebagai tempat bersembunyi dari situasi yag tidak<br />

bersahabat. Mereka memilih untuk menghabiskan<br />

sisa – sisa waktu demgan duduk disitu (Paul<br />

G.Stoltz: 2007: 19).<br />

Siswa SMU Negeri 27 Jakarta Pusat<br />

sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar<br />

untuk mendapatkan prestasi yang lebih baik lagi.<br />

Jika melihat hasil dari penelitian yang didapati<br />

bahwa sebagian besar siswa memiliki skor AQ<br />

dalam kategori se<strong>dan</strong>g atau bertipe campers.<br />

Mengingat banyaknya permasalahan yang di hadapi<br />

oleh siswa <strong>dan</strong> beberapa faktor lain yang dapat<br />

mempengaruhi hasrat para siswa untuk berjuang<br />

demi pencapaian yang lebih baik lagi.<br />

Pada dasarnya skor AQ bukanlah keadaan<br />

yang menetap melainkan masih dapat ditingkatkan<br />

<strong>dan</strong> diperbaiki. Siswa sebaiknya diajarkan untuk<br />

peka dengan masalah disekelilingnya, masalah<br />

dirinya, masalah teman - temannya karena dengan<br />

kemampuan itu, maka mereka akan dapat<br />

merasakan sebuah proses pendewasaan dirinya.<br />

Guru <strong>dan</strong> orangtua perlu menjadi pendengar yang<br />

baik karena dengan mendengar keluhan, harapan,<br />

<strong>dan</strong> kekhawatiran mereka dapat terjalin komunikasi<br />

yang baik. Dikelas guru dituntut untuk menjadikan<br />

proses belajar untuk menjadi media anak belajar<br />

mendengar, metode diskusi, curah pendapat, belajar<br />

untuk mengidentifikasikan masalah <strong>dan</strong> mencari<br />

berbagai alternatif solusinya.<br />

4. Kesimpulan<br />

Berdasarkan hasil pengumpulan data,<br />

perhitungan data <strong>dan</strong> pengolahan data statistik,<br />

maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar<br />

siswa SMU Negeri 27 Jakarta Pusat memiliki skor<br />

AQ berada dalam kategori se<strong>dan</strong>g atau bertipe<br />

campers, yaitu pekemah, orang yang mendaki tetapi<br />

tidak mencapai puncak karena sudah merasa puas<br />

dengan apa yang dicapai. Tipe ini cenderung<br />

mencari aman dengan tinggal ditempat yang<br />

menurut mereka nyaman <strong>dan</strong> sedikit dapat<br />

menerima perubahan yang terjadi dalam hidupnya.<br />

5. Daftar Pustaka<br />

Arikunto, Suharsimi. (2008). Proses <strong>Penelitian</strong><br />

Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rhineka<br />

Cipta.<br />

Data TU SMU Negeri 27 Jakarta Pusat. Daftar<br />

Siswa kelas XI Tahun Ajaran 2010-2011.<br />

Ham<strong>dan</strong>i, & Adz Dzakiey Barkan. (2005).<br />

Prophertic Intelegence (Menumbuhkan Potensi<br />

Hakiki Melalui Pengembangan <strong>dan</strong> Kesehatan<br />

Ruhani).<br />

Irwanto. (1997). <strong>Psikologi</strong> Umum. Jakarta : PT.<br />

Gramedia Pustaka Utama.<br />

Kuncono. (2004). Aplikasi Komputer <strong>Psikologi</strong> :<br />

Diktat Kuliah <strong>dan</strong> Panduan Praktikum. Jakarta :<br />

Fakultas <strong>Psikologi</strong>, Universitas Persada Indonesia.<br />

Mahshasti. ( 2011). Gambaran Adversity Qoutient<br />

pada siswa di SMK Budi Asih , Jakarta. Universitas<br />

Negeri Jakarta : Jurusan <strong>Psikologi</strong> Pendididkan.<br />

Masyhuri & Zainudin. (2008). Metedologi<br />

<strong>Penelitian</strong> Pendekatan Praktis <strong>dan</strong> Aplikatif,<br />

Bandung : Refika Aditama.<br />

Rangkuti, AA,& Suryaratri, RD. (2009). Statistika<br />

Inferensial untuk <strong>Penelitian</strong> <strong>Psikologi</strong> Pendidikan.<br />

Jakarta : Fakultas Ilmu<br />

Roosseno & Wangsadinata Wiratman &<br />

Suprayitno. (2008). Jembatan <strong>dan</strong> Menjembatani.<br />

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.<br />

Shadily,H & Echols, JM. (1998). Kamus Inggris<br />

Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.<br />

Stoltz, Paul G.( 2007). Adversity Quotient<br />

Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.<br />

Jakarta.Grasindo.<br />

Sugiyono. (2005). Statistika Untuk penelitian.<br />

Bandung. PT. ALFABETA.<br />

Suryadibrata Sumadi. (2005). Pengembangan Alat<br />

Ukur <strong>Psikologi</strong>s. .Yogyakarta : CV. Andi Offset.<br />

Sutarjo. (2004). Pengantar Psiklogi Klinis.<br />

Tim Penyusun Kamus Pusat (2007). Kamus Besar<br />

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.<br />

Morgan ( 10 Mei 2011 )<br />

http://www.zaldym.wordpres.com/2010/04/19/peng<br />

aruh-belajar-siswa-sebuah-studikepustakaan/diakses.<br />

Ghandi Wirawan ( 10 Mei 2011 )<br />

http://www.majalahpendidikan.com/2011/05/presta<br />

si-belajar-siswa.html/


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 197<br />

PENGARUH KEPERCAYAAN DIRI TERHADAP PERILAKU<br />

KONSUMTIF PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI<br />

1 BABELAN<br />

ASTI ASRI<br />

<strong>Psikologi</strong> Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta<br />

Taman Wisma Asri AA4 N0.57 RT 002/021, Bekasi Utara<br />

ghiazz23@yahoo.com<br />

Abstract<br />

This research is to know influence of self-confidence to consumptive behavior of 11 th<br />

Students Senior High School 1 Babelan. The method used in this research is quantitative<br />

research methods using ex post facto design. The sampling technique in this study is a<br />

probability sampling with kind of purposive sampling. The amount of the samples is 82<br />

respondents. The technique of the analysis data used to test the hypothesis is by simple<br />

regression test using SPSS version 16.00. Based on the counting result, mark F is 7.443 with<br />

mark of significance of 0.008. The regression similarity of Y = 83.413+ 0.246 X and the<br />

influence (adjusted R Square) of the variable self-confidence to consumptive behavior is<br />

0.074 (7.4%), which means that the self-confidence affects the consumptive behavior to the<br />

number of 7.4% and the rest 92.6%, is affected by another factors. Therefore, Ho is rejected<br />

and Ha is accepted so that it can be concluded that there is a significant influence of selfconfidence<br />

to the consumptive behavior of 11 th Students Senior High School 1 Babelan.<br />

Keyword: Self-Confidence, Consumptive Behavior<br />

1. Pendahuluan<br />

Setiap manusia mempunyai kebutuhan<br />

yang berbeda-beda <strong>dan</strong> untuk melakukan<br />

pemenuhan kebutuhan tersebut, setiap manusia<br />

melakukan konsumsi terhadap barang <strong>dan</strong> jasa.<br />

Hal ini karena setiap hari masyarakat<br />

dihadapkan dengan begitu banyak iklan <strong>dan</strong><br />

sugesti promo-promo produk. Semua hal itu<br />

berujung pada satu hal yaitu membujuk para<br />

konsumen untuk membeli suatu produk, <strong>dan</strong><br />

inilah yang menjadi tugas para pelaku pasar<br />

dalam mengambil langkah ataupun strategi<br />

dalam menguasai pasar. Belanja adalah kata<br />

yang sering digunakan sehari-hari dalam<br />

konteks perekonomian, baik di dunia usaha<br />

maupun di dalam rumah tangga. Namun kata<br />

yang sama telah berkembang artinya sebagai<br />

suatu cerminan gaya hidup <strong>dan</strong> rekreasi pada<br />

masyarakat kelas ekonomi tertentu.<br />

Menjamurnya bisnis waralaba (franchise),<br />

shopping mall, supermarket, <strong>dan</strong> toko serba<br />

ada saat ini telah menjadi komoditas<br />

masyarakat terutama kaum remaja.<br />

Kehadirannya, yang dianggap ekslusif seakan<br />

menjadi simbol peradaban manusia <strong>dan</strong><br />

mampu menyulap wajah dunia menuju suatu<br />

kondisi yang konsumeristik <strong>dan</strong> sekaligus<br />

melahirkan trend atau gaya hidup baru,<br />

misalnya dalam hal penampilan maupun<br />

pemenuhan kebutuhan hidup yang lain.<br />

Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI)<br />

Darmin Nasution masyarakat Indonesia dinilai<br />

sangat konsumtif. Terbukti bahwa saat ini,<br />

Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai<br />

Negara paling konsumtif di dunia. Sementara<br />

di peringkat pertama adalah Singapura.<br />

Perilaku konsumtif seperti ini terjadi pada


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 198<br />

hampir semua lapisan masyarakat. Tidak hanya<br />

pada orang dewasa, perilaku konsumtif pun<br />

banyak melanda para remaja.<br />

Hal ini membuktikan bahwa masyarakat<br />

Indonesia lebih senang menggunakan uang<br />

untuk memenuhi kebutuhan yang tidak penting<br />

dengan berperilaku konsumtif atau hidup<br />

dalam dunia konsumerisme yang menjadi<br />

syarat mutlak untuk kelangsungan status <strong>dan</strong><br />

gaya hidup. Hidup dalam dunia konsumerisme<br />

tidak pan<strong>dan</strong>g umur, jenis kelamin ataupun<br />

status sosial. Remaja salah satu contoh yang<br />

paling banyak terkena dampak gaya hidup<br />

konsumtif.<br />

Perilaku konsumtif merupakan suatu<br />

fenomena yang banyak melanda kehidupan<br />

masyarakat terutama yang tinggal di perkotaan.<br />

Fenomena ini menarik untuk diteliti mengingat<br />

bahwa perilaku konsumtif banyak melanda<br />

kehidupan remaja di kota-kota besar yang<br />

sebenarnya belum memiliki kemampuan<br />

finansial untuk memenuhi kebutuhannya.<br />

Secara tidak sadar hal tersebut mendorong<br />

remaja untuk membeli terus-menerus sehingga<br />

menyebabkan remaja terjerat dalam perilaku<br />

konsumtif.<br />

Menurut Anggarsari, perilaku konsumtif<br />

adalah tindakan membeli barang-barang yang<br />

kurang atau tidak diperhitungkan sehingga<br />

sifatnya menjadi berlebihan. Perilaku<br />

konsumtif terjadi ketika seseorang tidak<br />

mendasari pembelian dengan kebutuhan<br />

namun juga semata-mata demi kesenangan,<br />

sehingga menyebabkan seseorang menjadi<br />

boros.<br />

Hasil penelitian yang dilakukan oleh<br />

Reynold menyatakan, remaja usia 16 – 18<br />

tahun membelanjakan uangnya lebih banyak<br />

untuk keperluan menunjang penampilan diri.<br />

Remaja ingin dianggap keberadaannya <strong>dan</strong><br />

diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan<br />

berusaha menjadi anggota di lingkungan<br />

tersebut. Hal tersebut karena remaja ingin<br />

memperoleh pengakuan sosial, yaitu dengan<br />

cara menggunakan berbagai barang yang<br />

dianggap trend <strong>dan</strong> modern.<br />

Maka dari itu bagi produsen, kelompok<br />

usia remaja adalah salah satu pasar yang<br />

potensial. Alasannya antara lain karena pola<br />

konsumsi seseorang terbentuk pada usia<br />

remaja. Di samping itu, remaja biasanya<br />

mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan<br />

teman, tidak realistis, <strong>dan</strong> cenderung boros<br />

dalam menggunakan uangnya, remaja belum<br />

bisa mengontrol dirinya sendiri, belum<br />

memahami tentang dirinya sendiri. Sifat-sifat<br />

remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian<br />

produsen untuk memasuki pasar remaja.<br />

Perilaku remaja merupakan fenomena yang<br />

menarik untuk diamati, bukan saja oleh para<br />

ahli psikologi perkembangan, tetapi juga oleh<br />

para ahli pemasaran.<br />

Sumartono mengatakan bahwa perilaku<br />

konsumtif begitu dominan di kalangan remaja.<br />

Hal tersebut dikarenakan secara psikologis,<br />

remaja masih berada dalam proses<br />

pembentukan jati diri <strong>dan</strong> sangat sensitif<br />

terhadap pengaruh dari luar.<br />

Terbentuknya perilaku konsumtif pada<br />

remaja menurut Sumartono, munculnya<br />

perilaku konsumtif disebabkan oleh faktor<br />

internal <strong>dan</strong> faktor eksternal. Adapun faktor<br />

internal yang berpengaruh pada perilaku<br />

konsumtif individu adalah motivasi, harga diri,<br />

kepribadian <strong>dan</strong> konsep diri se<strong>dan</strong>gkan faktor<br />

eksternal yang berpengaruh pada perilaku<br />

konsumtif individu adalah kebudayaan, kelas<br />

sosial, kelompok-kelompok sosial <strong>dan</strong><br />

referensi serta keluarga. Salah satu faktor<br />

internal pada perilaku konsumtif yaitu<br />

kepribadian yang meliputi aspek kepercayaan<br />

diri yang merupakan salah satu faktor internal<br />

terjadinya seseorang untuk melakukan perilaku<br />

konsumtif.<br />

Menurut Tina Afiatin <strong>dan</strong> Sri Mulyani.M<br />

kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian<br />

manusia yang berfungsi penting untuk<br />

mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.<br />

Tina Afiatin <strong>dan</strong> Sri Mulyani.M,<br />

mengambarkan bahwa orang yang mempunyai<br />

kepercayaan diri ciri-cirinya: individu merasa<br />

yakin terhadap tindakan yang dilakukan,<br />

individu merasa diterima oleh kelompoknya,<br />

<strong>dan</strong> individu percaya sekali terhadap dirinya<br />

serta memiliki ketenangan sikap. Individu<br />

yang memiliki rasa percaya diri dalam<br />

lingkungan sosial selalu bersifat terbuka, terusterang,<br />

berani mengambil tantangan <strong>dan</strong> berani<br />

menjelaskan ide-ide ataupun pilihanpilihannya.<br />

Faktor-faktor penyebab kurangnya<br />

percaya diri, yaitu kurangnya mengenal diri,<br />

kecemasan <strong>dan</strong> kurangnya wawasan.<br />

Kurangnya mengenal diri, setelah mengenal<br />

diri dengan baik maka langkah selanjutnya<br />

adalah menerima diri apa a<strong>dan</strong>ya. Menerima<br />

diri apa a<strong>dan</strong>ya bukan berarti pasrah atau<br />

pesimis dengan keadaan diri, tetapi sebaliknya<br />

menerima dengan positif apa yang menjadi<br />

kelebihan <strong>dan</strong> kekurangan diri. Kecemasan,<br />

kita tidak bisa membangun rasa percaya diri


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 199<br />

sebelum berhasil mengatasi kecemasan. kunci<br />

sukses adalah dapat membangun rasa percaya<br />

diri dengan cara menghilangkan rasa cemas.<br />

Rasa cemas berbahaya <strong>dan</strong> bisa mempengaruhi<br />

semua orang di sekitarnya. untuk mengalahkan<br />

rasa cemas perlu membangun antuasisme.<br />

Kurangnya wawasan, membekali diri dengan<br />

berbagi ilmu pengetahuan semakin banyak<br />

dapat ilmu maka semakin luaslah wawasan<br />

yang di dapat serta semakin percaya diri<br />

sebaliknya bila kurang membenahi diri <strong>dan</strong><br />

tidak mempunyai wawasan luas bisa<br />

mengakibatkan kurang percaya diri di dalam<br />

bersosialisasi.<br />

Dengan meningkatnya perilaku konsumtif<br />

pada peserta didik merupakan suatu hal yang<br />

perlu dikhawatirkan, <strong>dan</strong> harus diberikan<br />

sebuah solusi karena besar pengaruhnya baik<br />

terhadap kehidupan diri remaja maupun<br />

terhadap masyarakat. Berdasarkan penjabaran<br />

di atas penulis berasumsi bahwa kepercayaan<br />

diri mempengaruhi perilaku konsumtif. Salah<br />

satu faktor yang mempengaruhi perilaku<br />

konsumtif pada remaja adalah faktor internal<br />

yaitu kepercayaan diri yang merupakan aspek<br />

dari kepribadian. Jika kepercayaan diri tinggi<br />

maka seseorang akan memiliki perilaku<br />

konsumtif yang tinggi pula. Melihat a<strong>dan</strong>ya<br />

keterkaitan, maka peneliti ingin meneliti lebih<br />

jauh pengaruh antara kepercayaan diri terhadap<br />

perilaku konsumtif pada siswa kelas XI SMA<br />

Negeri 1 Babelan.<br />

Kerangka Teoritik<br />

Perilaku Konsumtif<br />

Kata konsumtif (sebagai kata sifat; lihat<br />

akhiran –if) sering diartikan sama dengan kata<br />

”konsumerisme”. Padahal, kata konsumerisme<br />

mengacu pada segala sesuatu yang<br />

berhubungan dengan konsumen, se<strong>dan</strong>gkan<br />

konsumtif menjelaskan perilaku untuk<br />

mengkonsumsi barang-barang yang<br />

sebenarnya kurang diperlukan secara<br />

berlebihan dengan tujuan mencapai kepuasan<br />

maksimal. Menurut Dahlan perilaku konsumtif<br />

ditandai oleh a<strong>dan</strong>ya kehidupan mewah <strong>dan</strong><br />

berlebihan, penggunaan segala hal yang<br />

dianggap paling mahal yang memberikan<br />

kepuasan <strong>dan</strong> kenyamanan fisik sebesarbesarnya<br />

serta a<strong>dan</strong>ya pola hidup manusia<br />

yang dikendalikan <strong>dan</strong> didorong oleh semua<br />

keinginan untuk memenuhi hasrat sematamata.<br />

Hal ini diperkuat oleh Anggarsari yang<br />

mengatakan bahwa perilaku konsumtif ditandai<br />

dengan tindakan membeli barang-barang yang<br />

kurang atau tidak diperhitungkan sehingga<br />

sifatnya menjadi berlebihan.<br />

Aspek-aspek Perilaku Konsumtif<br />

Berdasarkan definisi diatas, maka<br />

dalam perilaku konsumtif Tambunan<br />

berpendapat dua aspek mendasar, yaitu :<br />

1) A<strong>dan</strong>ya suatu keinginan<br />

mengkonsumsi secara berlebihan.<br />

Hal ini akan menimbulkan<br />

pemborosan <strong>dan</strong> bahkan inefisiensi biaya,<br />

apalagi remaja yang belum mempunyai<br />

penghasilan sendiri.<br />

a) Pemborosan<br />

Perilaku konsumtif yang<br />

memanfaatkan nilai uang lebih besar dari<br />

nilai produknya untuk barang <strong>dan</strong> jasa<br />

yang bukan menjadi kebutuhan pokok.<br />

Perilaku ini hanya berdasarkan pada<br />

keinginan untuk mengkonsumsi barangbarang<br />

yang sebenarnya kurang<br />

diperlukan secara berlebihan untuk<br />

mencapai kepuasan yang maksimal.<br />

b) Inifisiensi Biaya<br />

Pola konsumsi seseorang<br />

terbentuk pada usia remaja yang biasanya<br />

mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikutikutan<br />

teman, tidak realistis, <strong>dan</strong><br />

cenderung boros dalam menggunakan<br />

uangnya sehingga menimbulkan<br />

inefisiensi biaya.<br />

2) Perilaku tersebut dilakukan bertujuan<br />

untuk mencapai kepuasan semata.<br />

Kebutuhan yang dipenuhi bukan<br />

merupakan kebutuhan yang utama<br />

melainkan kebutuhan yang dipenuhi hanya<br />

sekedar mengikuti arus mode, ingin<br />

mencoba produk baru, ingin memperoleh<br />

pengakuan sosial tanpa memperdulikan<br />

apakah memang dibutuhkan atau tidak.<br />

Padahal hal ini justru akan menimbulkan<br />

kecemasan. Rasa cemas disini timbul<br />

karena merasa harus tetap mengikuti<br />

perkembangan <strong>dan</strong> tidak ingin dibilang<br />

ketinggalan.<br />

a) Mengikuti Mode<br />

Di kalangan remaja yang<br />

memiliki orang tua dengan kelas ekonomi<br />

yang cukup berada, terutama di kota-kota<br />

besar, mall sudah menjadi rumah kedua.<br />

Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka<br />

juga dapat mengikuti mode yang se<strong>dan</strong>g<br />

beredar. Padahal mode itu sendiri selalu<br />

berubah sehingga para remaja tidak pernah<br />

puas dengan apa yang dimilikinya.<br />

b) Memperoleh Pengakuan Sosial<br />

Perilaku konsumtif pada remaja<br />

sebenarnya dapat dimengerti bila melihat


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 200<br />

usia remaja sebagai usia peralihan dalam<br />

mencari identitas diri. Remaja ingin diakui<br />

eksistensinya oleh lingkungan dengan<br />

berusaha menjadi bagian dari lingkungan<br />

itu. Kebutuhan untuk diterima <strong>dan</strong><br />

menjadi sama dengan orang lain yang<br />

sebaya yang menyebabkan remaja<br />

berusaha untuk mengikuti berbagai atribut<br />

yang se<strong>dan</strong>g in.<br />

Kepercayaan Diri<br />

Kepercayaan diri merupakan satu diantara<br />

aspek-aspek kepribadian yang penting<br />

dalam kehidupan manusia yang dapat<br />

membantu seseorang untuk dapat<br />

mengaktualisasikan segala potensi yang<br />

ada pada dirinya. Lauster mengatakan<br />

bahwa kebutuhan yang paling penting<br />

adalah kebutuhan akan rasa percaya diri<br />

<strong>dan</strong> rasa superioritas. Menurut Anthony<br />

bahwa kepercayaan diri merupakan sikap<br />

pada diri seseorang yang dapat menerima<br />

keyakinan, dapat mengembangkan<br />

kesadaran, berpikir positif, memiliki<br />

kemandirian, <strong>dan</strong> mempunyai kemampuan<br />

untuk memiliki serta mencapai segala<br />

sesuatu yang diinginkan.<br />

Lauster mendefinisikan kepercayaan diri<br />

merupakan suatu sikap atau perasaan<br />

yakin atas kemampuan diri sendiri<br />

sehingga orang yang bersangkutan tidak<br />

terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya,<br />

dapat merasa bebas untuk melakukan halhal<br />

yang disukainya <strong>dan</strong> bertanggung<br />

jawab atas perbuatannya, hangat <strong>dan</strong><br />

sopan dalam berinteraksi dengan orang<br />

lain, dapat menerima <strong>dan</strong> menghargai<br />

orang lain, memiliki dorongan untuk<br />

berprestasi serta dapat mengenal kelebihan<br />

<strong>dan</strong> kekurangannya.<br />

Karakteristik Kepercayaan<br />

Diri<br />

Menurut Lauster orang yang<br />

memiliki kepercayaan diri individu<br />

diantaranya:<br />

1. Percaya kepada kemampuan<br />

sendiri<br />

Yaitu suatu keyakinan atas diri<br />

sendiri terhadap segala fenomena<br />

yang terjadi yang berhubungan<br />

dengan kemampuan individu untuk<br />

mengevaluasi serta mengatasi<br />

fenomena yang terjadi tersebut.<br />

2. Bertindak mandiri dalam<br />

mengambil keputusan<br />

Yaitu dapat bertindak dalam<br />

mengambil keputusan terhadap apa<br />

yang dilakukan secara mandiri tanpa<br />

a<strong>dan</strong>ya keterlibatan orang lain,<br />

mempunyai kemampuan untuk<br />

meyakini tindakan yang diambilnya<br />

tersebut.<br />

3. Memiliki diri yang positif<br />

Yaitu a<strong>dan</strong>ya penilaian yang baik<br />

dari dalam diri sendiri, baik dari<br />

pan<strong>dan</strong>gan maupun tindakan yang<br />

dilakukan yang menimbulkan rasa<br />

positif terhadap diri sendiri.<br />

4. Berani mengungkapkan pendapat<br />

Yaitu a<strong>dan</strong>ya suatu sikap untuk<br />

mampu mengutarakan sesuatu dalam<br />

diri yang ingin diungkapkan kepada<br />

rang lain tanpa a<strong>dan</strong>ya paksaan atau<br />

hal yang dapat menhambat<br />

pengungkapan perasaan tersebut.<br />

Faktor yang Mempengaruhi<br />

Kepercayaan Diri<br />

Kepercayaan diri dapat<br />

dipengaruhi oleh beberapa faktor<br />

yaitu:<br />

1. Perubahan fisik<br />

Perubahan fisik yang dialami<br />

oleh seorang individu sering kali<br />

menimbulkan ketidakpuasan yang<br />

dapat mempengaruhi kepercayaan<br />

dirinya.<br />

2. Lingkungan teman sebaya<br />

Individu yang dapat diterima<br />

lingkungan teman sebayanya akan<br />

merasa lebih percaya diri. Hal ini<br />

disebabkan karena penerimaan<br />

lingkungan teman sebaya dapat<br />

menambah keyakinan pada individu<br />

tersebut bahwa dirinya dalam keadaan<br />

baik <strong>dan</strong> mempunyai kemampuan<br />

untuk mengekspresikan hal tersbut<br />

dalam bentuk perilaku.<br />

3. Hubungan keluarga<br />

Hubungan keluarga yang<br />

harmonis dapat meningkatkan<br />

kepercayaan diri. Hal ini disebabkan<br />

karena seseorang yang se<strong>dan</strong>g<br />

mengalami krisis identitas diri sangat<br />

membutuhkan dukungan dari<br />

keluarga. Dukungan <strong>dan</strong> perhatian<br />

yang diberikan oleh keluarga<br />

hendaknya disesuaikan dengan<br />

kebutuhan sehingga dapat menambah<br />

keyakinan untuk menemukan<br />

identitas pada dirinya.<br />

4. Reaksi lingkungan<br />

Reaksi positif dari lingkungan<br />

sosial terhadap usaha seseorang di<br />

dalam memenuhi tuntutan-tuntutan<br />

sosial dapat meningkatkan<br />

kepercayaan dirinya, se<strong>dan</strong>gkan


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 201<br />

sebaliknya jika reaksi negatif dari<br />

lingkungan sosial maka dapat<br />

mengurangi kepercayaan dirinya.<br />

2. Penulisan Tabel<br />

Tabel 1. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis<br />

Kelamin<br />

No Jenis<br />

Kelamin<br />

Jumlah Persentase<br />

1 Laki-laki 39 47.6%<br />

2 Perempuan 43 52.4%<br />

Jumlah 82 100%<br />

Tabel 2. Jumlah Responden Berdasarkan Kelas<br />

XI<br />

No Kelas Jumlah Persentase<br />

1 Kelas XI<br />

IPA 1<br />

8 9.8%<br />

2 Kelas XI<br />

IPA 2<br />

8 9.8%<br />

3 Kelas XI<br />

IPA 3<br />

8 9.8%<br />

4 Kelas XI<br />

IPA 4<br />

8 9.8%<br />

5 Kelas XI<br />

IPA 5<br />

8 9.8%<br />

6 Kelas XI IPS<br />

1<br />

8 9.8%<br />

7 Kelas XI IPS<br />

2<br />

8 9.8%<br />

8 Kelas XI IPS<br />

3<br />

8 9.8%<br />

9 Kelas XI IPS<br />

4<br />

9 11.0%<br />

10 Kelas XI IPS<br />

5<br />

9 11.0%<br />

Jumlah 82 100.0%<br />

3. Pengutipan<br />

Daftar Pustaka<br />

Andrias, Poppy Nike. 2010. Hubungan antara Self<br />

Monitoring dengan Perilaku Konsumtif<br />

pada Remaja, <strong>Jurnal</strong> Self Monitoring,<br />

tahun 2010.<br />

Anggarsari. 1999. Hubungan Tingkat Religius<br />

dengan Perilaku Konsumtif, <strong>Jurnal</strong><br />

<strong>Psikologi</strong>ka. No 4, tahun 1999.<br />

Armeini Rangkuti, Anna <strong>dan</strong> Ratna Dyah<br />

Suryaratri. 2009. Statistika Inverensial<br />

untuk <strong>Penelitian</strong> <strong>Psikologi</strong> <strong>dan</strong><br />

Pendidikan.(<strong>UNJ</strong>: Fakultas Ilmu<br />

Pendidikan).<br />

Azwar, Saifuddin. 2009. Reliabilitas <strong>dan</strong> Validitas.<br />

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br />

Eugenia C.WU, Keisha M.Cutright, and Gavan<br />

J.Fitzsimons. 2011. How Asking “Who Am<br />

I”? Affects What Consumers Buy : The<br />

Influence of Self Discovery on<br />

Consumption, <strong>Jurnal</strong> Self Knowledge, Self<br />

Construal, Reactance, Identity Threat,<br />

tahun 2011.<br />

Ghufron, Nur M <strong>dan</strong> Rini Risnawati S. 2011.<br />

Teori-teori <strong>Psikologi</strong>. Yogyakarta: Ar-ruz<br />

Media.<br />

Gilbert, Paul. 2010. The Confident Factors. Jakarta<br />

: Prestasi Pustaka.<br />

Hurlock , Elizabeth B. 1980. <strong>Psikologi</strong><br />

Perkembangan, Suatu Pendekatan<br />

Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta:<br />

Erlangga.<br />

Ika. 2002. Self Confidence pada Remaja. Jakarta :<br />

Erlangga.<br />

Kuncono. 2004. Aplikasi Komputer<br />

<strong>Psikologi</strong>.Jakarta: Fakultas <strong>Psikologi</strong><br />

Universitas Persada Indonesia.<br />

Lina & Rasyid. 1997. Perilaku konsumtif<br />

berdasarkan locus of control pada remaja<br />

putra, <strong>Jurnal</strong> <strong>Psikologi</strong>ka. Edisi 4, No 2,<br />

tahun : 1997.<br />

Lauster, Peter. 1992. Tes Kepribadian. Terjemahan<br />

oleh Savitri. Jakarta : Gaya Media<br />

Pratama.<br />

Olds, Papalia D. E , S, W., & Feldman, R. D. 2004.<br />

Human Developmental (9 th ed.). Boston:<br />

McGraw-Hill Companies, Inc.<br />

Shareppba. Faktor-faktor Penyebab Kurangnya<br />

Percaya Diri.<br />

http://zhukozanrazasqi.blogdetik.com/201<br />

0/12/06/faktor-faktor-penyebab-kurang<br />

percaya-diri/<br />

Sofian, Masri. Singarimbun. 2008. Metode<br />

<strong>Penelitian</strong> Survey. Jakarta: Pustaka LP3<br />

Es Indonesia.


<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Vol. 1, No.1, Oktober 2012 202<br />

Sugiyono. 2011. Metode <strong>Penelitian</strong> Pendidikan,<br />

Pendekatan Kuantitatif Kualitatif <strong>dan</strong> R &<br />

D. Bandung: Alfabeta.<br />

Sumartono. 2002. Terperangkap dalam Iklan.<br />

Bandung : Alfabeta.<br />

Tambunan, Raymond. Remaja <strong>dan</strong> Perilaku<br />

Konsumtif. http//:www.epsikologi.com/remaja/191101.htm<br />

Utami, Sri Weni. Korelasi Kepercayaan Diri <strong>dan</strong><br />

Kematangan Emosi dengan Kompetensi<br />

Sosial Remaja di Pondok Pesantren Kota<br />

Lamongan, <strong>Jurnal</strong> Psikovidya, Volome 11<br />

No 2, tahun : 2007.


JUDUL PENELITIAN (huruf besar semua, 14 pt, bold, centered)<br />

(Satu spasi kosong, ukuran font 14)<br />

Penulis pertama, penulis kedua,dst (12 pt)<br />

(satu spasi kosong , 12 pt)<br />

1. Jurusan, Fakultas, Universitas (10 pt)<br />

2. Alamat, Kota (10 pt)<br />

(satu spasi kosong , 12 pt)<br />

E-mail: penulis@address.com (10 pt, italics)<br />

(dua spasi satu- kosong, 12 pt)<br />

Abstract (12 pt, bold)<br />

(satu spasi kosong , 12 pt)<br />

Abstract should be written in English. The abstract is written with Times New Roman font size 10, and single<br />

spacing. The abstract should summarize the content of the paper, including the aim of the research, research<br />

method, and the results, and the conclusions of the paper. It should not contain any references or displayed<br />

equations. The abstract should be no more than 200 words.<br />

(satu spasi kosong , 12 pt)<br />

Keywords: up to 5 keywords in English (10 pt, italics)<br />

(tiga spasi satu- kosong, 12 pt, tebal)<br />

1. Pendahuluan (12 pt, bold)<br />

(satu spasi kosong, 10 pt)<br />

Pendahuluan diketik dengan Times New Roman font<br />

ukuran 10, justified di sisi kanan <strong>dan</strong> kiri halaman,<br />

<strong>dan</strong> diketik pada kertas A4 (210 mm x 297 mm)<br />

margin atas 3 cm, bawah, kiri, <strong>dan</strong> kanan adalah 2.5<br />

cm. laporan jurnal ini sebaiknya tidak lebih dari 10<br />

halaman, termasuk gambar, table, <strong>dan</strong> apendiks.<br />

Ditulis dalam bahasa Indonesia dengan tata bahasa<br />

ejaan yang telah disempurnakan. Judul penelitian<br />

skripsi ini harus singkat <strong>dan</strong> informative, <strong>dan</strong> tidak<br />

lebih dari 20 kata. Kata kunci ditulis setelah<br />

penulisan abstrak. Huruf pertama pada setiap<br />

paragfraf baru harus ditulis dengan huruf capital.<br />

Struktur dari laporan jurnal terdiri dari Pendahuluan,<br />

Metode <strong>Penelitian</strong>, Hasil & Diskusi, Kesimpulan,<br />

& Daftar Pustaka.<br />

2. Penulisan Tabel (12 pt, bold)<br />

(satu spasi kosong, 10 pt)<br />

Tabel ditulis dengan Times New Roman Dengan<br />

ukuran huruf 10 <strong>dan</strong> spasi satu dibawah judul table.<br />

Judul table ditulis dengan ukuran 10 Times New<br />

Roman <strong>dan</strong> diletakan di atas table. Tabel diletakan<br />

segera setelah penyebutan di dalam paragraph di<br />

bawahnya.<br />

(satu spasi kosong, ukuran font 10)<br />

Tabel 1. Jumlah responden penelitian<br />

(satu spasi kosong, ukuran font 10)<br />

(dua spasi kosong, ukuran font 10)<br />

3. Tampilan Grafik (12 pt, bold)<br />

(satu spasi kosong, 10 pt)<br />

Tampilan Grafik diletakan secara simetris di dalam<br />

halaman, <strong>dan</strong> tidak boleh diberikan garis antara isi<br />

grafik <strong>dan</strong> tulisan didalamnya. Seperti pada tabel,<br />

grafik ditempatkan segera setelah penyebutan nya di<br />

dalam paragraf.<br />

(satu spasi kosong, 10 pt)<br />

Gambar 1. Contoh penulisan caption grafik<br />

(dua spasi kosong, 10 pt)<br />

Setiap tampilan gambar yang sudah pernah di<br />

publikasikan harus disertakan izin dari pemilik asli.<br />

Tampilan grafik harus dicetak dalam format hitam<br />

putih. Apabila ada tulisan di dalam tampilan grafis,<br />

jenis huruf harus tersedia di Microsoft word <strong>dan</strong><br />

berukuran 9pt.<br />

4. Pengutipan (12 pt, Tebal)<br />

(satu spasi kosong, 10 pt)<br />

Pengutipan di dalam artikel sebisa mungkin<br />

menggunakan pengutipan langsung dari sumber asal,<br />

1


penulisan dalam bentuk innote <strong>dan</strong> penggunaan<br />

footnote sebaiknya dihindari. Kutipan langsung yang<br />

kurang dari 4 baris harus disatukan dengan teks,<br />

sementara kutipan lebih dari 4 baris harus dibuat<br />

paragraf tersendiri, dengan spasi tunggal, ukuran<br />

huruf 10pt <strong>dan</strong> dibubuhi sumber kutipan. Setiap<br />

kutipan harus berisi nama belakang/nama keluarga<br />

dari penulis yang diikuti oleh tahun penulisan. Bila<br />

pengutipan dilakukan langsung pada halaman tertentu<br />

harus disertai dengan nomor halaman, berikut adalah<br />

contohnya (Creswell, 2002: 160). Sementara itu bila<br />

ide utama yang diambil dari beberapa halaman, maka<br />

penulisannya adalah sebagai berikut (Creswell, 2002:<br />

160 – 165), <strong>dan</strong> jika ide utama yang dikutip dari<br />

keseluruhan buku maka cukup ditulis (Creswell,<br />

2002)<br />

Daftar Pustaka<br />

(satu spasi kosong, 10 pt)<br />

Penulisan referensi daftar pustaka harus mengacu<br />

pada format APA (American Psychological<br />

Association) <strong>dan</strong> sumber utama/refrensi penelitian<br />

sebaiknya adalah <strong>Jurnal</strong>, Buku, <strong>dan</strong> Artikel. Berikut<br />

adalah contoh penulisan daftar pustaka:<br />

Buku:<br />

Creswell, J.W. (2008). Educational research:<br />

Planning, conductiong, and evaluating quantitative<br />

and qualitative research (3rd ed.). Upper Saddle<br />

River, NJ: Pearson Education, Inc.<br />

Bab dalam Buku:<br />

Markus, H.R., Kitayama, S., & Heiman, R.J. (1996).<br />

Culture and basic psychological principles. Dalam<br />

E.T. Higgins & A.W. Kruglanski (Eds.), Social<br />

psychology: Handbook of basic principles. New<br />

York: The Guilford Press.<br />

Artikel Online:<br />

Van Wagner, K. (2006). Guide to APA format. About<br />

Psychology. Accessed on November 16, 2006 from<br />

http://psychology.about.com/od/apastyle/guide.<br />

<strong>Jurnal</strong>:<br />

Wassman, J., & Dasen, P.R. (1998). Balinese spatial<br />

orientation. Journal of Royal Anthropological<br />

Institute, 4, 689-731.<br />

<strong>Jurnal</strong> Online:<br />

Jenet, B.L. (2006). A meta-analysis on online social<br />

behavior. Journal of Internet Psychology, 4.<br />

Accessed on November 16, 2006 from<br />

http://www.Journalof internetpsychology.com/archiv<br />

es/volume4/3924.html.<br />

Forum Online, Diskusi, atau Milist:<br />

Leptkin, J.L. (2006, November 16). Study tips for<br />

psychology students [Msg. 11]. Message were rely on<br />

http://groups.psychelp.com/forums/messages/48<br />

382.html.<br />

Presentasi dalam Temu Ilmiah/Prosiding:<br />

Santamaria, J.O. (September 1991). How the 21st<br />

century will impact on human resource development<br />

(HRD) professionals and practitioners in<br />

organizations.Paper was presented on International<br />

Conference on Education, Bandung, Indonesia.<br />

Skripsi, Tesis, & Disertasi:<br />

Gumelar, G. (2004). Sumbangan harga diri <strong>dan</strong> locus<br />

of control dengan coping stres pada pengangguran<br />

laki-laki <strong>dan</strong> perempuan lulusan Sekolah Menengah<br />

Kejuruan Tesis, Program Pascasarjana Fakultas<br />

<strong>Psikologi</strong>, Universitas Indonesia, Jakarta.<br />

Laporan <strong>Penelitian</strong> Lembaga:<br />

Villegas, M., & Tinsley, J. (2003). Does education<br />

play a role in body image dissatisfaction? Laporan<br />

<strong>Penelitian</strong>, Buena Vista University. Pusat <strong>Penelitian</strong><br />

Kesehatan Universitas Indonesia. (2006). Survei<br />

nasional penyalahgunaan <strong>dan</strong> peredaran gelap<br />

narkoba pada kelompok rumah tangga di Indonesia,<br />

2005. Depok: Pusat <strong>Penelitian</strong> UI <strong>dan</strong> Ba<strong>dan</strong><br />

Narkotika Nasional.<br />

Kamus & Ensklopedia:<br />

Sadie, S. (Ed.). (1980). The new Grove dictionary of<br />

music and musicians (6th ed., Vols. 1-20). London:<br />

Macmillan.<br />

2


JPPP<br />

<strong>Jurnal</strong> <strong>Penelitian</strong> <strong>dan</strong> <strong>Pengukuran</strong> <strong>Psikologi</strong><br />

Program Studi <strong>Psikologi</strong><br />

Universitas Negeri Jakarta

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!