Candra kirana Ajip Rosidi - Unknown - katalogkukar.net
Candra kirana Ajip Rosidi - Unknown - katalogkukar.net
Candra kirana Ajip Rosidi - Unknown - katalogkukar.net
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>Candra</strong> Kirana sebuah saduran atas sebuah Cerita<br />
Panji oleh <strong>Ajip</strong> rosidi <strong>Candra</strong> Kirana oleh <strong>Ajip</strong> <strong>Rosidi</strong><br />
Cetakan pertama. Jakarta' 1962. Muki cetakan kedua<br />
1972 diterbitkan oleh PT DUNIA PUSTAKA JAYA Jaian<br />
Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Anggota IK API Cetakan<br />
ketiga: 1983 HAK CIPTA D1LINDUNGI UNDANG-<br />
UNDANG ALL RIGHTS RESERVED Uustrasi oleh: A.<br />
Wakidjan Dicetak dan dijilid olch Fix ma Ekonomi,<br />
Bandung DAFTAR ISI Dewi Anggraeni ................ 7 Sang<br />
Prabu Jayantaka............... 23 Sang Prabu<br />
Jayawarsya............... 35 Sang Kili Suci..................... 5g<br />
Raden Panji Kuda Waneng Pati.......... 73 Tumenggung<br />
Braja Nata................ jq3 Peristiwa dalam hutan ...............<br />
J27 Patih Prasanta......................... 145 Sang Permaisuri<br />
....................... jgO Dalam sinar purnama................... 191<br />
Kelana Jayeng Sari.....................205 Maha Patih Kebo<br />
Rerangin...............213 Dewi Sekar Taji .......................222<br />
Prabu Gajah Angun-angun ...............231 Rahasia<br />
terbuka.......................244 <strong>Candra</strong> Kirana ........................264<br />
DEWIANGGRAENI Bagaikan sebuah mata air yang jemihbening<br />
ke-luar dari tebing di pegunungan, atau laksana sekuntum<br />
bunga yang kembang di tengah kesunyian hutan,<br />
segar serta indah, demikianlah Dewi Anggra-eni bagi<br />
Raden Panji Kuda Waneng Pati putera mahkota kerajaan<br />
Janggala yang jaya. Tepekur pahlawan Kahuripan itu di<br />
depan keindahan dan keheningan alami yang terpancar<br />
dari senyuman yang mekar pada bibir yang indah. Adakah<br />
yang lebih indah dalam hidup ini daripada mereguk<br />
keindahan alami sepanjang hayat dikandung ba-dan?
Adakah yang lebih bahagia daripada duduk berdainpingan<br />
dengan bunga jelita itu menyusuri sisa usia? Bertemu<br />
tangan dengan tangan, melalui pancar-an mata yang<br />
sama-sama mengerti, maka hati pun memadu. Anggraeni!<br />
Naina yang nyaman terde-ngar itu tcrukir dengan indahnya<br />
dalam sanubari calon pemangku takhta Janggala. 7 Tetapi,<br />
aduhai! Kebahagiaan tak seinudah itu dicapai! Kedudukan<br />
putra mahkota yang oleh orang lain diperebutkan, baginya<br />
bagaikan sebung-kah karang yang menjulang mcnghalang.<br />
Ayah-anda. seorang yang bercita-cita tinggi. Baginda memimpikan<br />
kebesaran kerajaan yang sekali pemah<br />
dipersatukan oleh leluhur mereka. Sang Airlangga yang<br />
jaya. kembali bisa tercapai dengan mengada-kan<br />
perkawinan antara putranda Raden Panji Kuda Waneng<br />
Pad dengan putri Kadiri, Dewi Sekar Taji. Persetujuan<br />
telah tercapai oleh kedua belah fihak. selagi kedua bayi<br />
masih dalam kandungan. Keduanya telah dipertautkan oleh<br />
perjanjian dua kerajaan yang sama-sama ingin<br />
meniadakan batas yang dibuat oleh Empu Bharada yang<br />
sakti itu. Sejak masih kecil. Raden Panji sudah tahu bahwa<br />
ia telah dipertunangkan oleh ayahanda dengan puteri<br />
Kadiri, yang masih terhitung kerabatnya juga. Pertunangan<br />
yang didukung oleh cita-cita yang luhur itu, sangat direstui<br />
oleh para tetua kerajaan kedua belah fihak. Resi-resi<br />
Syiwa dan Wisynu memberikan berkahnya, lantaran<br />
mereka pun masih terkenang akan perjuangan Sang<br />
Airlangga tatkala hendak membangun kerajaannya yang<br />
besar. Raden Panji menerima berita tenlang pcrtunangannya<br />
itu sewajamya saja. Ia masih kecil amat untuk
mengerti dan memikirkan hal-hal yang bersangkut-paut<br />
dengan hal tersebut. Bahkan ia merasa senang hatinya,<br />
tatkala ia masih berusiii tujuh atau delapan tahun, diganggu<br />
oleh Para pengasuhnya mengenai pertunangannya denean<br />
Dewi Sekar Taji. Ia bclum mengerti. la hanya me rasa<br />
hatinya sedikit berguncang, dan merasa sedikit malu.<br />
Tetapi tatkala gangguan:gangguan itu telah biasa, ia<br />
menerimanya secara wajar pula. Tahun demi tahun<br />
tumbang, dan usianya ber-tambah jua. Tatkala mencapai<br />
usia delapan tahun, dipanggil baginda seorang resi yang<br />
terkenal bi-jaksana akan mendidiknya dalam hal<br />
kerohanian dan begitu pula seorang patih yang menjadi<br />
keper-cayaan baginda, dititahkan untuk mengajarinya<br />
mengenai segala soal yang berkenaan dengan soal<br />
kenegaraan. Raden Panji mulai tenggelam dalam<br />
pelajaran-nya, dalam kitab-kitabnya dan dalam ilmu yang<br />
pelik-pelik. Meski nama Dewi Sekar Taji masih kadangkadang<br />
terdengar, namun ia merasa ber-tambah asing.<br />
Kadang-kadang ia temienung memikirkan tunangannya<br />
yang belum pemah dia jumpai itu. Ia belum juga mendapat<br />
kesempatan untuk pcrgi ke Kadiri akan menyambangi<br />
bakal istrinya. Baginda sendiri bukannya lupa akan<br />
pertunangan putranda dengan kemEnakan baginda Dewi<br />
Sekar Taji, namun baginda bcrpikir, adalah lebih elok<br />
apabila Panji sungguh-sungguh menghadapi pelajarannya<br />
dahulu. Bukankah ia yang kelak 9 akan melanjutkan<br />
memangku takhta kerajaan? bukan hanya kerajaan<br />
Janggala seperti yang dia perintah sekarang. tetapi<br />
termasuk pula Kadiri! Karena Sekar Taji adalah pewans
takhta kerajaan Kadiri Tersenyum baginda memikirkan hal<br />
itu. Tak sia-sialah hendaknya usaha leluhumya yang jaya<br />
serta bijaksana. Rake Halu Syri Lokesywara<br />
Dharmawangsya Airlangga Anantawikramatung-gadewa!<br />
Raden Panji Kuda Waneng Pati bukan satu-satunya putra<br />
baginda. Jumlah semua putera baginda empat puluh tiga<br />
orang! Dan bukan pula ia yang tertua. Tumenggung Braja<br />
Nata lebih tua empat belas tahun daripada Raden Panji.<br />
Tetapi pada Raden Panjilah harapan baginda tertumpah,<br />
karena ia pewaris takhta yang sah, karena hanya Raden<br />
Panji saja di antara semua putranda, yang berdarah<br />
langsung keturunan Empu Sindok, cakal-bakal ahala<br />
Isyana! Maka tatkala Raden Panji berangkat remaja dan<br />
segala ilmu mengenai kerajaan dan kerohani-an telah<br />
ditumpahkan semuanya oleh guru-guru-nya, siaplah ia akan<br />
melaksanakan cita-cita baginda yang luhur - hanya tinggal<br />
menanti saatnya saja. Namun ilmu adalah seumpama<br />
langit, makin ting-gi dijelang, makin tinggi menembus<br />
awang-awang, makin in gin had menyelaminya! Makin<br />
banyak yang direguk, makin haus dan dahaga makin menjadi-jadi.<br />
Raden Panji merasa dahaga akan ilmu, 10 dan<br />
banyak pertanyaan-pertanyaannya, terutama yang<br />
mengenai soal-soal rohaniah, mengusiknya tatkala<br />
merenung. Ia meminta perkenan ramanya untuk menemui<br />
para resi yang sakti dan para pendeta yang bijaksana,<br />
akan mcncari penawar hausnya, penentramkan<br />
kegelisahan kalbu. Mula-mula sang baginda merasa<br />
keberatan akan mengabulkan maksud anakanda itu.<br />
Tetapi kemudian diperkenankannya juga. Bukankah mak
sud seperti itu adalah maksud yang sangat baik?<br />
Bukankah itu menandakan harapannya selama ini tidak<br />
sia-sia? Karena, menambah ilmu dan memper-luas<br />
pengalaman dan pengetahuan, akan sangat berguna bagi<br />
kerajaan yang kelak akan diperintah oleh Raden Panji.<br />
Bukankah dahulu pun leluhur-nya yang bijaksana, sang<br />
Airlangga tak jemu-jemunya berguru. tak bosan^bosannya<br />
bertapa, pergi dari resi menemui resi yang lain, berangkat<br />
dari satu pendeta menemui pendeta yang lain? Sang<br />
Airlangga yang bijaksana itu telah memberi contoh yang<br />
baik dan kini anakanda, tumpuan harapan masa depannya,<br />
Raden Panji, hendak mengikuti jejak leluhumya itu!<br />
Tidakkah itu suatu tandayang baik? Maka karena pikiranpikiran<br />
seperti itu, akhir-nya baginda memperkenankan<br />
anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati mengembara<br />
ke saban Petapan, mencari resi yang sakti, mendapatkan<br />
pendeta yang bijaksana, akan menambah ilmunya. 11<br />
Sesungguhnya bukan persoaian-persoalan kene-garaan<br />
yang menyebabkan Raden Panji merasa ti-dak tenteram<br />
dan yang menyebabkan dia mesti mengembara dari<br />
petapan^ke petapan. Dari patih Prasanta yang selama<br />
beberapa tahun mengajarinya pengetahuan-pengetahuan<br />
kenegaraan, dia telah mendengar riwayat keturunan<br />
Isyana, tak henti-hentinya berperang dan berperang di man<br />
a manu-sia-manusia terbunuh sia-sia, memperebutkan<br />
nega-ra dan takhta kerajaan. Dia kagum akan moyang-nya<br />
Airlangga yang gigih serta berhasil memper-besar daulat<br />
kerajaannya, mengamankan keadaan dalam negeri yang<br />
kacau setelah diserang oleh raja Wura-wari, kemudian
menaklukkan kerajaan demi kerajaan yang lain ke dalam<br />
wiiayah takluknya. Tetapi, kalau teringat pula olehnya,<br />
bahwa untuk maksud tersebut, tak terhitung entah berapa<br />
ribu manusia yang mati sia-sia, Raden Panji mengerut-kan<br />
dahi. Adakah moyangnya itu berbahagia setelah<br />
mengurbankan demikian banyak balatentara dan tenaga?<br />
Adakah ia berbahagia setelah menen-tramkan kekacauan<br />
dalam negeri dan menaklukkan kerajaan-kerajaan<br />
sekelilingnya? Adakah ia tenteram senang di atas takhta<br />
kerajaan yang meliputi wiiayah yang luasnya tak terkira,<br />
setelah lelah berjuang mati-matian sepanjang hidupnya?<br />
Raden Panji ragu untuk menjawab, "Ya, mo-yangku<br />
Airlangga yang bijaksana itu berbahagia melfliat hasil<br />
usahanya yang tak kunjung henti 12 selama dia hidup Ya,<br />
ia ragu Untuk meyakini jawaban seperti itu. Bukankah sang<br />
Airlangga men jelang akhir hidupnya,<br />
meninggalkan keraton setelah meminta tolong kepada<br />
Empu Bharada yang konon sakti itu membagi dua<br />
kerajaannva menjadi Janggala dan Kadiri? Ya, sang<br />
Airlanm tidak mustahil kecewa pada akhir hidupnya<br />
lantaran melihat keturunannya, anak-anaknya sendiri saingmenyaingi<br />
untuk menduduki takhta. Ya tak mustahil sang<br />
Airlangga merasa usahanya seu'mur hidup itu sia-sia, lalu<br />
ia pun mengikuti jejak putri-nda sang Kili Suci untuk<br />
bertapa di Pucangan Dan ia, ia sendiri - Raden Panji Kuda<br />
Waneng Pati - bagaimana? Akankah ia menemui<br />
kebahagia-an dan kedamaian hati apabila kelak ia<br />
menjadi raja menggantikan ayahanda memerintah<br />
kerajaan Janggala dan lantaran ia telah dipertunangkan
dengan Dewi Sekar Taji, ia pun akan menguasai wiiayah<br />
Kadiri pula? Sungguh luhur cita-cita ayahanda! Baginda<br />
hendak mewujudkan kembali usa-ha sang Airlangga yang<br />
dahulu! Baginda hendak mempersatukan Janggala dan<br />
Kadiri pula! Dan tugas itu terpikul pada pundaknya -<br />
pundak Raden Panji! Tetapi, benarkah kelak, kalau sudah<br />
melaksa-nakan kewajibannya sebaik-baiknya sebagai<br />
keturunan Isyana yang bijaksana, ia bakal menemui<br />
kebahagiaan dan ketentraman batin? Begitukah hidup<br />
manusia? Berjuang membela kebahagiaan 13 yang<br />
digariskan orang lain, untuk keperluan orang lain dan demi<br />
kebahagiaan orang lain pula? Alangkah sederhana!<br />
Namun alangkah asing dan aneh kedengarannya! Tidak,<br />
yang dia can dari resi ke resi, dari peta-pan ke petapan,<br />
bukan hal-hal yang demikian ru-wet. Ia ingin merasakan<br />
batinnya tenteram. Suasa-na dalam keraton tidak<br />
memberinya ketentraman. Ia melihat semua orang di sana,<br />
berdiri pada tem-patnya, mempunyai beban yang mesti<br />
diselesai-kannya. Kesibukan-kesibukan yang terasa<br />
seolah-olah disibuk-sibukkan saja! Kesibukan dalam suatu<br />
perpu taran yang lebih besar, yang entah akan ber-manfaat<br />
ataukah tidak buat diri si petugas sendiri! Orang-orang di<br />
keraton seolah-olah bukan manusia lagi, melainkan kuda<br />
yang kalau tidak menarik kereta sebaik-baiknya akan<br />
mendapat cemeti menyambar punggung Dan ia sendiri,<br />
kelak suatu hari, kalau mendu-duki takhta, tentulah tak<br />
ubahnya dengan kusir yang selalu mengamangkan cemeti,<br />
menakuti kuda supayajangan keluar dari jalannya. Tidak,<br />
kedudukan seorang kusir, meskipun mengusiri kerajaan
yang luasnya tak terhingga, bukanlah impian yang serasi<br />
dengan jiwanya. Dalam petapan yang rimbun serta sejuk,<br />
jauh dipunggung gunung di tengah-tengah hutan, Raden<br />
Panji sering merenungkan itu semua. Alangkah berat<br />
bebannya! Alangkah berat tugasnya! 14 Dan masih juga<br />
setiap pendeta yang ditemuinya menyadarkan dia akan<br />
tugas itu: "Kewajiban nap manusia adalah menjalankan<br />
darmanya masing-masing sebaik-baiknya. Hamba yang<br />
dilahirkan sebagai seorang berahmana men-jalankan<br />
darma sebagai seorang berahmana. Dan gusti yang<br />
dilahirkan sebagai seorang satria mempunyai tugas<br />
sebagai seorang satria pula. yang luhur serta suci. Hanya<br />
mereka yang menjalankan darmanya sebaik-baiknyalah<br />
yang mungkin men-capai kedamaian abadi - moksya."<br />
Kedamaian abadi! Ya, kedamaianlah yang di-ingininya.<br />
Apakah hanya ada satu jalan mencapai kedamaian yaitu<br />
menjalankan tugas yang dipikul-kan orang kepadanya dan<br />
akan dilaksanakannya tentu dengan tidak merasa damai?<br />
Apakah hanya dengan melalui ketakdamaian saja ia bakal<br />
mencapai kedamaian? Tetapi ia bukan seorang satria<br />
kalau menyata-kan ketakpenujuannya secara kasar. la<br />
menyimak-kan setiap nasihat, petua, ajaran setiap resi dan<br />
pendeta mengenai kedamaian. "Kedamaian itu," kata<br />
maha resi Saptani di pegunungan Penanggung yang dia<br />
kunjungi, "hanya bisa dicapai dengan pengetaluian.<br />
Pengetahuan apa? Yakni pengetahuan tentang<br />
kedamaian. Kedamaian di mana? Kedamaian dalam<br />
hidup. bukan? Jadi pengetahuan kedamaian apa? Tentu15<br />
lah pengetahuan kedamaian dalam hidup. Jadi juga
pengetahuan tentang hidup. Dan pengetahuan tentang<br />
hidup tak bisa dipisahkan dari pengetahuan tentang man".<br />
Apa man? . . Terdcngar-dengar tiada segala tutur maha<br />
resi yang dalam gaya tanya-jawab sendirian itu oleh Raden<br />
Panji. Namun ia tunduk temungkul, husyu mencoba<br />
menyimakkan ajaran sang Resi Saptani. Namun tatkala<br />
akhimya sang Resi mempersila-kannya beristirahat karena<br />
maJam telah larut. Raden Panji belum juga bisa<br />
mendamaikan hati-nya, "Bagaimanakah jalannya untuk<br />
mencapai pengetahuan tentang kedamaian dalam hidup?<br />
Bagaimanakah ia bisa mencapai pengetahuan tentang<br />
hidup? Tentang mati?" yang dia dengar dari sang resi,<br />
penuh teka-teki, bagaikan belokan-Jbelokan yang mungkin<br />
menyesatkan. Udara malam sangat hening. Dan sejuk<br />
pegu-nungan memberikan suatu suasana yang sangat<br />
mengesankan. Telah sering ia bermalam di peta-panpetapan<br />
sunyi di tengah hutan jauh di puncak gunung,<br />
namun suasana seperti yang dia rasakan malam itu,<br />
alangkah lain. Rabunya luas, bagaikan hendak menghirup<br />
seluruh udara. Dan dalam pe-rasaan bahwa ia bisa<br />
menghirup seluruh aJam ke dalam rabunya, ia me rasakan<br />
kedamaian yang ajaib. Ia terlena. Tatkala keesokan<br />
harinya ia pagi-pagi benar 16 kcJuar akan menyaksikan<br />
Batara Surya muncul nun jauh di kikilW terkejutlah ia l an tar<br />
an mclihat seorang bidadan berjalan membawa sa-jcn.<br />
Sungguh tak percaya ia akan penglihatannya karena di<br />
hutan yang terpencU seperti itu ia tak mengira akan melihat<br />
wanita scjelita itu. Tak syak lagi. It" bukan manusia,<br />
melainkan bidadan Terpukau ia dengan mata terbelalak
memper-hatikan tingkah bidadari itu kemalu-maluan.<br />
'Siapakah dia gerangan?" tanyanya kepada dirinya sendiri,<br />
waktu akhirnya si jelita itu meng-hilang. Ia lupa kepada<br />
niatnya, lalu mengikuu jejak si cantjk. Itulah perkenalan yang<br />
pertama dengan Dewi Angraeni. Anggraeni yang<br />
kemudian memberinya perasaan damai. Apa sebabnya,<br />
kalau dia berada bersama gadis itu, hatinya merasa<br />
damai? Merasa tenang? Dan kegelisahan yang biasanya<br />
mengamuk, lenyap tak bersisa? Entahlah, entahlah. la<br />
sendiri bahkan tidak menyadari hal itu pada awainya.<br />
Namun setelah setiap hari ia menemui gadis itu,<br />
kedamaian dan ketentraman makin berakar dalam dirinya.<br />
Kalau sehari saja ia tidak bertemu dengan gadis itu,<br />
seolah-olah sesuatu hUang dari jiwanya. Tetapi Anggraeni<br />
pun bukan orang yang suka bermimpi. Ia mengetahui<br />
siapakah gerangan je-jaka tampan itu. Putra mahkota.<br />
Putra mahkota kerajaan Janggala yang jaya. Yang suatu<br />
kali kelak menentukan hidup atau mati semua kawula 17 di<br />
seluruh kerajaan. Lain dari itu. ia pun telah pu|a mendengar<br />
tentang pertunangan Raden panji dengan Dewi Sekar Taji.<br />
la mengetahui siapa gerangan dirinya. Wanita gunung.<br />
bukan keturun-an raja, dan bukan tandingan seorang putra<br />
mahkota. Namun apakah artinya putera mahkota bagi<br />
Raden Panji? Apakah bedanya bagi Raden Panji seorang<br />
putra raja atau kawula jelata? Apakah beda antara<br />
manusia dengan manusia yang sama-sama dihangati oleh<br />
hati yang mengenai cinta, bagi orang yang sudah ragu<br />
akan kedamaian dirinya kelak di atas takhta? Laksana<br />
sebuah mata air yang jernih bening keluar dari tebing di
pegunungan, atau laksana sekuntum bunga yang kembang<br />
di tengah kesunyi-an hutan. segar serta indah, memberinya<br />
kedamaian yang sejuk. demikianlah halnya Dewi<br />
Anggraeni bagi Raden Panji. Mata air itu takkan habishabisnya<br />
mengeluarkan air yang jernih bening. takkan<br />
mengenai kering musim kemarau, takkan mungkin dikotori<br />
segala sampah duniawi. Dan bunga yang kembang itu<br />
takkan layu-layu. karena takkan habis-habisnya mendapat<br />
pupuk kasih sa-yangnya sendiri. "Mengapa wajahmu selalu<br />
mumng. puspa jeli-ta?" tegur Raden Panji kepada Dewi<br />
Anggraeni pada suatu hari. "Takkan hatimu senang, takkah<br />
pe-rasaanmu gembira. mendapat kunjungan seorang 18<br />
kelana sebagai hamba?" Dewi Anggraeni menekurkan<br />
kepala. "Ampun beribu ampun hamba mohonkan" sahutnya<br />
dengan suara tak lancar. "Masakan hamba seorang hinadina<br />
ini berani tidak bersenang hati lantaran mendapat<br />
kunjungan Gusti seorang putra mahkota yang suatu kali<br />
kelak akan menen-tukan mati-hidup hamba sebagai<br />
kawula?" "Jadi, apakah gerangan sebabnya maka<br />
wajahmu yang jelita itu bagaikan matahari tertutup awan?<br />
Lihat, burung-burung enggan bemyanyi iantaran melihat<br />
wajahmu muram. Dengarkan, air terjun di jauhan itu<br />
bagaikan menangis, meratap-ratap ingin mengetahui<br />
sebab-musababnya maka junjungan mereka bermuram<br />
durja. Wahai, puspita dewi, katakanlah, apakah gerangan<br />
yang merun-dung kalbumu, sehingga tak ccrah tak<br />
gembira?" Dewi Anggraeini tidak scgera menyahut. la<br />
tahu, pergaulannya dengan Raden Panji sudah terlalu jauh.<br />
Baginya sendiri bukan tanpa pengur-banan kalau berpisah
dengan dia! Tetapi aduhai! Pahlawan itu telah ditakdirkan<br />
duduk bersanding dengan yang setimpal! "Mengapa tidak<br />
meny^" Adakah sesuatu halmu yang tidak boleh Kanda<br />
kctahui?" Perlahan-lahan Dewi Anggraeni menggclengkan<br />
kepala. "Tidak, tidak. Bukan dcmikian . .. sahutnya^<br />
Sedangkan dalam hatinya ia berbisik, All. 19 saiah<br />
sangka. Disangkanya aku tidak mau bertenis tcrang . . .<br />
Duhai bagainiana hal itu akan kuterang-kan kcpadanya?<br />
Bahwa sesungguhnya hatOcu sendiri . . . ?" "Jadi apakah<br />
gerangan sebabnya?" tanya Raden Panji tak sabar. Dewi<br />
Anggraeni mengeluh. "Ah, Gusti tentu lebih maklum,"<br />
sahutnya ke-mudian. Raden Panji mengerutkan dahi.<br />
Matanya tajam mengawasi Dewi Anggraeni. Meskipun ia<br />
bisa menduga, namun ia bertanya juga; "Tidak, puspa<br />
jelita. Bagiku halmu itu pekat sepekat malam tak<br />
berbintang. Katakanlah terus terang." Dewi Anggraeni<br />
tidak segera memberi jawaban. Hatinya sesak. Dan<br />
dadanya seperti padat, tak bisa mengembang. Sudut<br />
matanya terasa hangat. "Ah. jangan menangis . ..," bujuk<br />
Raden Panji. "Hamba hanya seorang gadis gunung,<br />
seorang yang lahir di tengah rimba. dan agaknya telah ditetapkan<br />
Dewata, agar hidup dalam kesunyian dan ¦<br />
meninggal dalam kesunyian ... " "Tidak! Oleh Dewata yang<br />
maha kuasa Adinda ditetapkan untuk hidup di sampingku,<br />
dan mele-paskan daku kalau kelak aku meninggal 'Tidak<br />
berani hamba berpikir sejauh itu ... " "Tetapi itulah yang<br />
bakaJ terjadi: Akan kuminta engkau kepada orangtuamu,<br />
dan kita akan berbahagia." 20 ••Tidak! Sadarkah Gusti,<br />
siapakah scbenam hal11ba? Seorang gadis jelata! Orang
gunung y?' tak pantas dibawa ke tengah." •Tetapi aku akan<br />
mencmpatkanmu di tengah tengah dunia. Seluruh dunia<br />
akan mcnyembahmu karena Adindalah yang akan duduk di<br />
sampingku Itulah takdir yang telah ditetapkan oleh Mahadewa.<br />
karena itu dititahkannya daku mengembara berkelana<br />
dari satu petapan ke lain petapan. tn-tuk menemui adinda.<br />
Dan sekarang. adinda telah kutemui, maka apakah lagi<br />
gunanya bagiku yang lain? Kalau aku disuruh mcmilih<br />
antara yang lain-lain dengan Adinda, maka bunga segar<br />
indah yang tumbuh di hutan pegunungan Penanggungan ini<br />
yang akan kupilih ..." Dewi Anggraeni menyungkup<br />
wajahnya dengan kedua belah tangan. "Ampun Gusti,<br />
betapa besarnya pun kasih Gusti yang dilimpahkan<br />
kepada hamba, namun ..." "Namun apa? Cintaku tumbuh<br />
bersama-sama dengan cintamu, dan perpaduan keduanya<br />
akan mcmbuahkan kebahagiaan yang kekal. Kebahagiaan<br />
yang akan menjadikan dunia ini surga bagi kita berdua..."<br />
"Namun, sadarlah Gusti hendaknya akan per-bedaan yang<br />
terentang antara kita berdua, ampun Gusti!" "Kalau cinta<br />
telah bersemi, kalau keduanya Iclah tumbuh berkembang,<br />
lenyaplah segala pcr21 bcdaan antara kedua orang yang<br />
memilikinya! Antara engkau dengan daku, tak ada<br />
perbedaan. Yang ada hanyalah rentangan kasih yang<br />
diper-tautkan cinta menuju gapura kebahagiaan."<br />
Anggraeni tidak menyahut. "Atau begitu hinakah cintaku,<br />
sehingga bagimu ia patut ditolak dikesampingkan?"<br />
'Ampun Gusti!" sahut Dewi Anggraeni cepat. 'Bukan begitu<br />
halnya. Tak berani hamba kendati berpikiran seperti itu!<br />
Namun mengatakan hal yang se ben amy a terasa dalam
hati hamba pun -hamba tidak sanggup pula!" "Apakah pula<br />
yang masih menjadi penghalang antara kita, yang masih<br />
menabiri jarak antara kita?" "Pengetahuan bahwa yang<br />
hendak memetik hamba, bukanlah sembarang, melainkan<br />
satria pilihan. Duhai, jika saja Gusti bukan seorang putra<br />
mahkota!" Raden Panji melengak. Ia menghirup nafas dalam-dalam<br />
Kemudian ia melangkah mendekati Dewi<br />
Anggraeni. Tangannya yang kanan terulur, kemudian<br />
membelai rambut hitam yang halus serta panjang itu.<br />
"Bagimu, aku bukanlah seorang putra mahkota, melainkan<br />
seorang hamba yang akan bernaung dalam teduh<br />
kedamaian hatimu . . . bisiknya dengan mesra. ... 22 SANG<br />
PRABU ) AYANTAKA Termenung baginda mendengar<br />
kabar tentang per-nikahan anakanda Raden Panji Kuda<br />
Waneng Pati - putra mahkota tumpuan harapan seluruh<br />
kerajaan. Ketika hal itu pertama kali disampaikan orang,<br />
baginda tidak mau percaya. Benarkah Panji berbuat<br />
seperti itu? Sejak kecil ia menunjukkan perangai seorang<br />
yang alim, yang sungguh-sungguh, yang sclalu sibuk<br />
dengan kehidupan yang tak nampak pada mata orang<br />
biasa. Mungkinkah ia berbuat seperti itu? Namun tatkala<br />
berkali-kali baginda mendengar sembah itu, dan ketika<br />
akhir-nya permaisuri sendiri yang mempersembahkan-nya<br />
kepada baginda, mau tak mau baginda mesti percaya.<br />
"Rayi," sabda baginda kepada sang permaisuri. "Dari<br />
siapakah Rayinda mendengar kabar seperti itu?" "Ampun<br />
Rakanda," sahut permaisuri. "Berita llu hamba dengar dari<br />
Anakanda sendiri." 23 "Raden Panji?"*<br />
"Sesungguhnyalah." Baginda tersentak. "Jadi Raden Panji
sendiri yang mempersembah-kan hal itu kepada<br />
Rayinda?" "Daulat Kanda." "Mengapa ia tidak<br />
menyampaikan hal itu kepada Kanda?" "Beribu ampun<br />
Rakanda, kelapangan dan ke-luasan maaf Rakanda<br />
Rayinda minta," sahut permaisuri menghaturkan sembah.<br />
"Raden Panji tidak berani mempersembaJikan hal itu<br />
langsung kepada Rakanda. Ia takut." "Takut? Mengapa<br />
pula takut?" "Ia kuatir hal itu akan membuat Rakanda<br />
murka." "Kanda murka? Kanda tidak pemah murka<br />
kepada orang yang tidak bersalah. Dan dalam hal mi,<br />
Raden Panji--"Hamba m in tak an ampun berlaksa untuk<br />
anak kita berdua itu, Rakanda." "Tetapi. kenyataan bahwa<br />
Raden Panji sendiri tidak berani mempersembahkan hal<br />
tersebut kepada Rakanda, membuktikan bahwa ia sendiri<br />
sadar bahwa ia melakukan suatu___" "Ampun Rakanda."<br />
"Ia sendiri sadar, bahwa yang dia lakukan suatu do ..<br />
kekeiiruan." 24 -Ampun Rakanda. Raden Panji tidak berani<br />
mempersembahkan hal pernikahannya itu kepada<br />
Rakanda, karena ia merasa kuatir Rakanda murka<br />
iantaran gadis yang dia kawini itu bukan seorang<br />
jceturunan raja ... * "Kalau ia tidak merasa melakukan suatu<br />
kcsi-lapan, apa salahnya ia menyampaikan niatnya itu<br />
terlebih dahulu kepada kami?" "Ampun Rakanda." "Raden<br />
Panji tidak melakukannya. Raden Panji tidak meminta<br />
pertimbangan kita terlebih dahulu. Ia bahkan tidak memberi<br />
kabar kepada kita sebe-lum pernikahan berlangsung.<br />
Bahkan sesudah pemikahan berlangsung pun, ia tidak<br />
berani memberi kabar kepada Kanda - ayahnya!" "Ampun<br />
Rakanda! Ia masih muda ..." "Tetapi ia seorang putra
mahkota, yang mesti tahu membedakan antara yang benar<br />
dan yang tidak benar." Permaisuri tidak menyahut. "Dan<br />
lain dari itu. Rayinda pun tahu. bahwa pemikahan Raden<br />
Panji itu akan menyeret per-soalan kerajaan bersamanya.<br />
Bukan hanya satu kerajaan, tetapi dua kerajaan: Janggala<br />
dajfcjfcfd'n yang dahulu sekali pernah seluruh;<br />
menghaturkan sembah kepada seoi yakni moyang kita<br />
sang baginda baginda berhenti scbentar, kemudii<br />
"Bukankah Rayinda masih ingat akan pertunangan Raden<br />
Panji dengan Dewi Sekar Taji?" "Hamba, Rakanda."<br />
"Pertunangan itu diadakan atas persetujuan kedua belah<br />
pihak. Kakanda telah berdamai dengan rayinda Sri<br />
Jayawarsya dan kami berdua telah sepakat hendak<br />
mewujudkan kembali usaha dan cita-cita moyang kita sang<br />
baginda Airlangga yang Iuhur. Kerajaan Jawa yang man a<br />
luas dan yang pemah dibagi dua oleh fcmpu Bharada yang<br />
sakti itu, hendak kami persatukan kembali dengan jaJan<br />
menikahkan dua orang putra mahkota. Raden Panji Kuda<br />
Waneng Pati yang menjadi putra mahkota Janggala, mesti<br />
nikah dengan Dewi Sekar Taji yang menjadi putri mahkota<br />
Kadiri. Dari kedua putra mahkota itu, diharapkan akan<br />
melahir-kan keturunan yang akan mewarisi kedua buah<br />
kerajaan di bawah satu kekuasaan ... " "Hamba, Rakanda."<br />
"Dan sekarang - sekarang Raden Panji menga-wini<br />
seorang gadis yang tak keruan keturunannya, yang entah<br />
ditemuinya di mana!" "Ampun Rakanda. Meskipun benar<br />
Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan raja, tetapi ia<br />
be-nar-benar seorang gadis jelita, sukar mencari bandingannya<br />
—." Sang baginda memandang permaisuri
tajam-tajam. *Jadi Rayi sudah bertemu dengan dia?" 26<br />
••Hamba, Rakanda." ••Jadi Raden Panji telah membawa<br />
istrinya ke istana? "Di kaputran. Baginda mengeluarkan<br />
nafas dalam satu hem-busanyangcepat. "Dan ia belum<br />
juga meminta perkenan Rakanda •• baginda bergumam.<br />
"Bahkan ia belum mem-beritahukan hal itu kepada kami..."<br />
"Ampun, Rakanda, hamba meminta kelapangan dan<br />
kedalaman lautan ampun yang hendaknya Rakanda<br />
limpahkan atas batu-kepala anakanda Raden Panji Kuda<br />
Waneng Pati..." Baginda termenung. Permaisuri tidak<br />
berani memecah kesucian. Maka waktu pun berjenakjenak<br />
berlalu dalam hening. "Dan apa tadi kata Rayi?"<br />
akhirnya sang baginda memecah kesepian. "Gadis yang<br />
bernama Dewi Anggraeni itu seorang gadis jelita jarang<br />
banding-annya? Ah, kalau pemikahan hanya cukup oleh<br />
kecantikan dan ke tamp an an belaka...' "Ampun Rakanda.<br />
Semula Rayinda pun tidak setuju demi mendengar<br />
pemikahan Raden Panji. Namun tatkala Raden Panji<br />
membawa istnnya kepada Rayi dan tatkala Rayinda<br />
menyaksikan sendiri gadis itu - menantu kita - lenyaplah<br />
ke-kuatiran Rayinda. la sungguh-sungguh seorang gadis<br />
yang dieita-citakan setiap bunda untuk menjadi<br />
menantunya ..." 27 "Karena ia cantik, karena ia jelita?"<br />
potong sang baginda. "Tidak hanya itu. Ia pun seorang<br />
yang berbudi halus, serta tahu akan adat. Sampai Rayinda<br />
ber-pikir. bagaimana mungkin seorang gadis yang berasal<br />
dari gunung yang terpencil mengetahui adat-istiadat<br />
serta sopan santun keraton sesempuma itu? Tidakkah ia<br />
mungkin seorang puteri raja yang melarikan diri?" "Ah,
janganlah Rayinda memikirkan yang bukan-bukan. Putri<br />
raja! Raja manakah yang melarikan diri ke hutan?"<br />
"Ampun, dauiat Rakanda! Sangkaan itu hanya-lah terbit<br />
lantaran Rayinda tercengang melihat tingkah laku Dewi<br />
Anggraeni yang sangat sempur-na jua." Baginda<br />
menunggu beberapa jenak, baru kemudian menyahut,<br />
"Bagairnanapun jelitanya dia, dan bagairnanapun tingkah<br />
lakunya sopan-santun dan betapapun sempumanya dia<br />
sebagai gadis yang dicita-citakan oleh setiap mertua,<br />
namun ke-semuanya itu lenyap artinya sekarang,<br />
berhadapan dengan persoalan kerajaan yang menyangkutpaut<br />
mati-hidup berlaksajiwa kawula dua buah negara.<br />
Yang jadi persoalan bagi Rakanda sekarang, bukan hal<br />
pemikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, tetapi<br />
persoalan yang terseret oleh pemikahan itu. Raden Panji<br />
mesti menikah dengan Dewi Sekar Taji, putri mahkota<br />
kerajaan Kadiri." 28 Kembali suasana hening. -<br />
Bagaimanakah kelak akan Rakanda jawab kalau<br />
sekiranya Rayinda Prabu Jayawarsya meminta kita<br />
menepati janji?" "Ampun Rakanda," sahut sang permaisuri<br />
"Bagi seorang lbu, yang menjadi idaman dan ha-rapannya<br />
adalah kebahagiaan putra yang pemah dia kandung<br />
sembilan bulan lebih di bawah jan-tungnya. Adalah<br />
kebahagiaan putra yang pemah meronta-ronta meminta air<br />
susu dari dadanya. Adalah kebahagiaan putra yang pemah<br />
ditimang-dipangkunya selagi bayi. Maka tatkala hamba<br />
me-nyaksikan betapa rukun dan saling cinta-mencin-tainya<br />
Raden Panji dengan istrinya Dewi Anggraeni,<br />
kebahagiaan pun menyelimuti hati bundayang pemah
mengandung dan melahirkannya. Alangkah bahagianya<br />
putra kita! Dan melihat kebahagiaan itu, lenyap segala<br />
persoalan dan pikiran yang lain." "Itulah. Seorang bunda<br />
adalah seorang wanita. Dan seorang wanita hanya<br />
memandang apa-apa yang kelihatan oleh matanya saja.<br />
Matanya buta oleh benda yang berada di depan matanya,<br />
benda nyata, sehingga lenyaplah hakekat segala benda<br />
yang tidak nampak oleh mata. Kasih sayang seorang<br />
bunda, bukan tidak mustahil membutakan matanya kepada<br />
akibat-akibat yang mungkin tim-bul sebagai taruhan<br />
kebahagiaan putranya. Keba29 hagiaan Raden Panji Kuda<br />
Waneng Pati, bukan tidak dipertaruhi. Pada batu<br />
timbangan yang lain, nasib dan kebahagiaan kawula dua<br />
buah kerajaan besar terletak. Kalau diri Raden Panji yang<br />
kita menangkan, maka akan hancurlah negara dan<br />
kekacauan akan mengamuk di kedua buah negara."<br />
"Ampun Rakanda. Rakanda berbicara tentang kekacauan,<br />
namun kekacauan apakah itu gerangan? Rakanda<br />
berbicara tentang kehancuran, tetapi kedua buah negara<br />
sekarang masih megah berdiri." 'Itulah bukti yang senyatanyatanya,<br />
bahwa seorang wanita hanya sanggup melihat<br />
yang ter-dekat dengan pandangannya. Ia tidak bisa melihat<br />
ke kakilangit yang nun di kejauhan, dan apalagi melihat<br />
apa yang terjadi di balik kakilangit itu! Tidakkah Rayinda<br />
tahu, apakah yang sekiranya terjadi kalau Rayinda Prabu<br />
Jayawarsya mendengar kabar tentang pemikahan Raden<br />
Panji putra mahkota Janggala dengan putri yang bukan<br />
putri mahkota Kadiri? Tidakkah Rayinda maklum, apakah<br />
akibatnya jika Rayinda Prabu Jayawarsa murka? Akan
dikumpulkannya wadia-bala dan akan diserangnya<br />
Janggala! Perang! Peranglah yang akan menjadi taruhan<br />
pemikahan Raden Panji sekarang! Perang yang akan<br />
terjadi antara dua buah kerajaan yang berasal dari satu<br />
keturunan. Pandawa dengan Kurawa pun seperti dituturkan<br />
dalam Mahabharata, adalah berasal dari satu 30<br />
keturunan. leluhur Bharata. Dan kedua kaum itu pun<br />
berperang. Tetapi apakah yang menjadi ta ruliannya?<br />
Kebenaran. Pandawa mcmpertahankan kebenaran,<br />
melawan dan menghapuskan kesera-kahan kaum Kurawa<br />
dari muka dunia. Tetapi kalau pecan perang antara<br />
Janggala dan Kadiri, apakah yang kita pertahankan?<br />
Kebenaran? Terang kita berada pada fihak yang bersalah.<br />
Kita tidak menepati janji. Kehormatan? Kehormatan, masihkah<br />
orang yang tidak menepati janji berhak bicara<br />
tentang kehormatan? Ah, Rayinda — tidakkah Rayinda<br />
melihat malapetaka yang demi-kian besar menjadi taruhan<br />
kebahagiaan seorang Raden Panji? Tidakkah Rayinda<br />
melihat darah akan membanjir, dan mayat-mayat<br />
bergelimpang-an? Mayat-mayat prajurit dan pahlawan<br />
Kadiri dan Janggala. Dan keduanya berjuang secara siasia.<br />
Keduanya berkelahi mem pertahankan apa yang<br />
memang tak patut dipertaliankan!" Baginda menjatuhkan<br />
kepala dan melipatkan kedua belah tangan di dadanya.<br />
Suasana sangat mencekam. Akhirnya sang permaisuri<br />
menyahut, suaranya mula-mula perlahan, tetapi makin lama<br />
makin tegas jua. "Mengapa Kanda melihat terlalu jauh?<br />
Mengapa Kanda membayangkan hal-hal yang buruk saja?<br />
Tidak, pemikahan Raden Panji dengan Dewi 31
Anggraeni, tak usah berpenganih kepada kerajaan.<br />
Pemikahan itu tidak membatalkan pcrjanjian yang telah<br />
Kanda buat dengan Prabu Jayawarsya, bukan? Tidak.<br />
Pemikahan itu mesti Kanda restui* demi kebahagiaan<br />
anak kita sendiri dan demi kebahagiaan kerajaan ..."<br />
"Demi kebahagiaan kerajaan kata Rayinda?" "Ampun<br />
Kanda, demikianlah adanya." Baginda mengerutkan<br />
kening. "Bagaimana hal itu mesti diterangkan supaya<br />
Kanda menjadi maklum?" tanya baginda penuh penasaran.<br />
"Daufat Kanda, apabila sekarang Kanda memi-sahkan<br />
Raden Panji dari Dewi Anggraeni, bukan hanya hatinya<br />
akan hancur luluh, tetapi juga cita-cita Kanda yang luhur itu<br />
akan si ma." "Apa kata Rayinda?" "Cita-cita Rakanda yang<br />
luhur itu akan sima, karena Raden Panji yang mesti<br />
melaksanakan cita-cita luhur itu akan mereras. Ia akan<br />
sangat berduka apabila dipisahkan dari kekasihnya. Kalau<br />
Raden Panji meninggal karena duka cita, bukan hanya<br />
Rayinda yang akan tenggelam dalam lautan kese-dihan,<br />
tetapi Rakanda pun tidak mungkin melaksanakan cita-cita<br />
Kanda yang mulia itu ... Sang baginda menganggukanggukkan<br />
kepala. la tidak segera bersabda, melainkan<br />
hening ter-menung, memandang ke arah luar, seolah-olah<br />
32 jak mencari scsuatu nun jauh di kakilangit hCAkhimya ia<br />
mcnarik nafas dalam. ••Jadi bagaimanakah scbaiknya<br />
menurut Rayin-tiT ia bertanya. Wajah permaisuri<br />
bercahaya. "Ampun Rakanda," sembahnya. "Menunit hemat<br />
hamba, sebaik-baiknya Rakanda menitahkan putra<br />
kita Raden Panji bcrsama istrinya mengha-dap untuk<br />
merestui pemikahan mcrcka ..." Kembali baginda
mcnghela nafas. "Kanda mengerti," sabdanya kemudian<br />
dengan suara dalam "Memisahkan keduanya dalam saatsaat<br />
seperti ini, sangat berbahaya. Terima kasih Rayinda,<br />
terima kasih Rayinda telah memperi-ngatkan Kakanda<br />
akan akibatnya yang parah kalau Kanda bersikcras. Kanda<br />
ingin melihat cita-cita Kanda yang mulia terlaksana. Kanda<br />
mau ber-sabar." Lalu baginda hening beberapa lamanya.<br />
Tangannya yang kanan mengusap-usap dagu. seolali-olah<br />
hendak memeriksa rambut yang tumbuh di sana. "Kanda<br />
percaya. kalau waktu telah berlalu, saat-saat penuh bunga<br />
telah lewat. Raden Panji takkan berat meninggalkan<br />
kekasihnya." "Jadi akan Kanda perkenankankah increka<br />
mcnghadap? Akan Rakanda bcri restukah mcrcka.' ' tanya<br />
permaisuri harap-harap ccmas. Bam setelah mcnghela<br />
dan menghembusk.m nalasnya pula. sambil menganggukanggukkan<br />
kc-palil- baginda mcnyahut. "Baiklah. Baiklah<br />
nasihat 33 Rayinda akan Kakamla limit Mudah-nuidahan<br />
akibatnya tidak sejauh yang Kakanda bayangkan . . .<br />
Artinya. mudah-mudahan Rayinda Prabu Jayawarsya tidak<br />
murka dan bisa dikasih mengerti .. . Miidali-mudalian<br />
takkan terbit bencana!" Pemiaisuri mengliaturkan sembah.<br />
mengucapkan terima kasih. 'Akan Rayinda sampaikan.<br />
supaya Raden Panji dengan Dewi Anggraeni datang<br />
mcnghadap di ba-wah duli. Raden Panji tentu akan sangat<br />
bcrgem-bira sekali..." Sang Baginda hanya menganggukanggukkan<br />
kepaJa. sedangkan matanya masih jua<br />
mcnatap ke kejauhan. nun ke kakilangit yang tak terjangkau.<br />
seolah-olah perhatiannya tertarik akan apa yang<br />
nampak olehnya di sana. i 34 SANG PRABU
|AYAWARSYA Apa yang ditakutkan oleh Sri Baginda<br />
Jayanta-katunggadewa. raja Janggala yang jaya. benarbenar<br />
terjadi. Berita mengenai pemikahan Raden Panji<br />
Kuda Waneng Pati dengan Dewi Anggraeni. seorang<br />
gadis tak berbangsa, yang konon ditemui Raden Panji di<br />
sebuah petapan, sampai juga kepada Sri Baginda<br />
Jayawarsyatunggadewa, raja Kadiri. Tidak, pertama kali<br />
mendengar hal itu, baginda Jayawarsya tidak percaya.<br />
"Mana mungkin." kata baginda. "Mana mungkin Kakanda<br />
Prabu Jayan-taka lupa akan pcrjanjian yang pemah samasama<br />
kita ikat! Raden Panji akan dinikahkan dengan<br />
putriku Sekar Taji. karena kami sama-sama ingin<br />
menyaksikan Janggala dan Kadiri bcrsatu di bawali<br />
pemerintahan keturunan mereka!" Tetapi kabar itu makin<br />
lama makin santcr dan makin santer jua. Akhirnya baginda<br />
menitalikan seorang senapati untuk menyelidiki kebenar35<br />
an kabar itu. Dua orang mata-mata dikirimkan ke Janggala<br />
akan membuktikan kebenaran bcrita yang menyinggung<br />
martabat sang baginda. Mata-mata bekerja dengan teliti<br />
dan cepat maka seminggu kemudian kepastian mengenai<br />
berita tersebut telah mereka peroleh. Mereka mempersembahkan<br />
hasil penyelidikannya kepada sang<br />
senapati Wiranggada yang kemudian melanjutkan-nya<br />
kepada sang baginda. Terhenyak baginda di atas tempat<br />
duduknya. Tak sepatah pun perkataan keluar dari<br />
mulutnya^ berjenak-jenak lamanya. Kemudian baginda menunduk,<br />
memegang keningnya dengan tangan kanan yang<br />
bertelekan di atas lututnya. Baginda asyik berpikir. Sang<br />
senapati Wiranggada tidak berani meng-ganggu. Ia pun
duduk diam. Kepalanya menunduk seolah-olah berat benar<br />
baginya untuk mengangkat wajah. Lama keduanya<br />
berdiam
aginda meru-bah sikap duduknya, menelekankan siku<br />
tangan di atas lutut. Atau bangkit dan berjalan-jalan dengan<br />
kedua belah tangan bertemu di bagian bawah 37 36<br />
punggungnya. sedang matanya diarahkan ke luar, meninjau<br />
langit yang menjadi muram dan rcndah memberat.<br />
Melangkali beberapa tindak. baginda kembali ke atas<br />
singgasana, lalu duduk pula mercnung. Dan suasana<br />
balaimng makin berat menekan. Bahkan nafas pun seolaholah<br />
ditahan, supaya jangan memecahkan kesunyian dan<br />
kemuraman yang membeku. Namun, sesudah semua yang<br />
dititahkan hadir lengkap menghadap, dan setelah<br />
beberapa lamanya mereka tertekan dalam suasana yang<br />
berat itu, maha patih Kebo Rerangin yang sudah lanjut<br />
usianya dan terkenal bijaksana, tempat baginda meminta<br />
nasihat, terdengar menghaturkan sembah. Suaranya Iirih,<br />
namun jelas dan sejuk terasa masuk ke dalam hati barang<br />
siapa yang mendengarnya. "Ampun beribu-ribu ampun,<br />
Gusti, hamba mo-honkan lantaran hamba telah lancang,<br />
berani t?ersuara tanpa perkenan Gusti . . . Namun, hamba<br />
sekalian telah dititahkan menghadap dalam saat yang luar<br />
biasa, niscaya ada persoalan maha pen-tmg yang luar<br />
biasa pula. Hati hamba sekalian selama di jalan dan<br />
terlebih-lebih setelah sampai di hadapan duli, bagaikan<br />
hendak pecan lantaran ingm tahu. Hamba sekalian ingin<br />
sekali menerima titah Gusti, apakah gerangan yang<br />
menyebabkan suasana keraton dan kerajaan Kadiri yang<br />
biasa-nya cerah d.penuhi gelak tertawa, sekarang<br />
muram38 murung laksana dialahkan garuda. Ampun Gusti,<br />
beribu ampun hamba mohonkan, namun suasana seperti
ini hampir tak tertanggungkan. Lebih baik bagi kami<br />
sekalian, Gusti titahkan berperang me-nempur selawe<br />
negara, menyerang raja berpahla-wan gagah perkasa,<br />
daripada terus-menerus tersiksa dalam suasana seperti<br />
ini. Ampun, Gusti." Sri baginda mengarahkan<br />
pandangannya kepada maha patih Kebo Rerangin,<br />
mendengarkan apa yang dipersembahkannya, sedang<br />
kepalanya me-ngangguk-angguk. Tetapi beberapa saat<br />
setelah maha patih selesai berbicara, tidak juga baginda<br />
bersabda. Baru kemudian, setelah beberapa waktu<br />
lampau dalam keheningan, baginda memecahkan-nya;<br />
"Mamanda maha patih! Para mentri dan para tetua yang<br />
bijaksana." Para penghadap menghaturkan sembah<br />
sambil menggumam, "Daulat Gusti!" "Titah kami yang luar<br />
biasa, yakni menitahkan andika sekalian datang<br />
menghadap bukan pada saat yang biasa, tentu<br />
menimbulkan seribu satu tanda tanya dalam hati andika<br />
sekalian. Apa yang tadi dipersembahkan oleh mamanda<br />
maha patih Kebo Rerangin, adalah sangat tepat. Memang,<br />
memang ada soal yang luar biasa yang telah<br />
menyebabkan kami memberi titah yang luar biasa.<br />
Memang, adalah lantaran ada soal yang sangat berat<br />
menekan pikiran kami, maka andika sekalian yang 39<br />
terkenaJ bijaksana, kami titahkan datang menghadap<br />
pada waktu ini juga. Kami ingin mendengar pendapat<br />
andika sekalian. Kami ingin meminta nasihat . .. " kembali<br />
baginda berhenti bersabda dan pandangannya kembali<br />
menatap ke kejauhan, ke alam tak berwatas, merenung.<br />
"Ampun beribu ampun hamba mohonkan," sembah patih
Kebo Rerangin. "Apakah gerangan soal yang demikian<br />
berat menekan kalbu Gusti, sehingga nampak durja Gusti<br />
begitu muram?" Kembali baginda menghela nafas.<br />
"Seperti mungkin andika sekalian sudah dengar, beberapa<br />
hari yang lampau kami mendengar berita yang sangat<br />
mengejutkan . . . Berita yang mula-mula tidak mau kami<br />
percaya! Kanri sangat percaya akan perkataan dan<br />
ucapan Rakanda Prabu Jayantaka, raja Janggala. Kami<br />
percaya, bahwa sebagai seorang satria yang tahu harga<br />
diri, Rakanda takkan menyalahi janji..." "Ampun Gusti," sela<br />
maha patih Kebo Rerangin "Maafkan kelancangan hamba.<br />
Tetapi, mes-kipun hamba bisa meraba ke mana arah Utah<br />
Gusti, namun hal yang sesungguhnya belum jelas . . .<br />
Mengenai hal apakah Rakanda Gusti Prabu Jayantaka<br />
tunggadewa menyalahi janji?" Sang Prabu memandang<br />
maha patih tajam-tajam. "Lupakah Mamanda Maha Patih<br />
akan janji 40 yang telah kami berdua sama-sama padu?<br />
Rakanda Prabu Jayantaka mempunyai cita-cita tinggi<br />
Baginda hendak mewujudkan cita-cita moyang kami sang<br />
Airlangga yang maha bijaksana. Pem-bagian kerajaan<br />
yang pemah dilakukan oleh maha resi Empu Bharada,<br />
hendak kami hapuskan. Antara Janggala dan Kadiri akan<br />
hilang batas. Kedua kerajaan hendak kami persatukan<br />
kembali. Jalan yang termudah untuk melaksanakan citacita<br />
tersebut adalah dengan menikahkan putera mahkota<br />
Janggala Raden Panji Kuda Waneng Pan' dengan putri<br />
mahkota Kadiri, Dewi Sekar Taji ... " "Daulat, Gusti. Akan<br />
hal itu Mamanda sangat ingat..." "Dan sekarang, tatkala<br />
putra dan putri sudah dewasa, saat terwujudnya cita-cita
yang agung itu dekat sudah . . . Tetapi ..." lalu sang<br />
baginda mcnjatuhkan kepala, tertunduk. "Apakah gerangan<br />
yang terjadi?" "Mamanda Patih pun tahu. Seminggu yang<br />
lalu kami mendengar kabar mengenai pemikahan Raden<br />
Panji dengan seorang gadis gunung, entah siapa, konon<br />
bukan keturunan raja. Kami tidak percaya akan berita<br />
tersebut. Lalu kami menitah-kan supaya mengirimkan<br />
mata-mata akan menye-lidiki kebenaran berita itu. Dan<br />
sekarang ... 1 "Sudah kembalikah para penyelidik itu?"<br />
"Mereka sudah datang. Dan ..." 41 hancur, pantang<br />
menyerah sebelum membangkai!" Suara baginda makin<br />
lama makin naik, makin naik, dan wajah baginda menjadi<br />
memerah laksana terbakar. Baginda sangat murka.<br />
Sedangkan matanya bagaikan menyinarkan api yang<br />
membakar barang yang dilihatnya. Semua yang nadir tak<br />
berani menentang pandangan baginda yang demikian.<br />
Mereka menundukkan wajah. Ada yang turut ma-rah, dan<br />
mengangguk-anggukkan kepala, mcnye-tujui perkataan<br />
baginda, dari mulutnya terdengar gumam, "Di Kadiri pun<br />
masih banyak satria, pahlawan yang tak pan tang<br />
berjuang!" Ada yang saling pan dang dengan sesamanya,<br />
sambil menggilirkan kepala keris yang tersandang. Mereka<br />
sudah seperti ingin agar pasukan Janggala berada di<br />
depannya, supaya mereka bisa me-muaskan amarahnya.<br />
'Tidakkah benar kata kami? Tidakkah benar bahwa para<br />
satria Kadiri belum mati? Tidakkah benar bahwa para<br />
pahlawan Kadiri masih siap sedia untuk berjuang? Untuk<br />
mempertahankan kehormatan dan harga dirinya? Tidakkah<br />
benar? Mana-kah pahlawan Kadiri?" 'Tentang semangat
para pahlawan Kadiri, Gusti tak usah ragu!" sahut seorang<br />
senapati sambil menghaturkan sembah. 'Para pahlawan<br />
Kadiri tahu akan harga dirinya, takkan manda saja membiarkan<br />
dirinya diperhina!" 44 "Tak usah menanti han<br />
berganti, malam ini juga semua wadia-bala Kadiri telah<br />
siap untuk berperang! Gusti tak usah kuatir, Janggala<br />
takkan mungkin menumpas satria Kadiri!" sembah yang<br />
lain pula. "Kita berada pada fihak yang benar, maka para<br />
dewa tentu akan berada pada fihak kita! Sang Syi-wa akan<br />
merestui kita! Kita akan menang! Kita takkan mungkin<br />
kalah!" sambut yang lain. "Gusti hanya tinggal memberi<br />
titah, maka setiap saat bala tentara Kadiri siap sedia.<br />
Siang ataupun malam tak nanti lalai," terdengar pula suara<br />
senapati yang mula-mula bicara. Sejenak lamanya dalam<br />
balairung terdengar hiruk-pikuk. Suasana menjadi panas.<br />
Setiap orang yang berada di sana terbakar semangatnya,<br />
geram dan murka, ingin segera menerjang lawan. Baginda<br />
mengangguk-anggukkan kepala, tanda berbesar hati.<br />
Baginda percaya akan kekuatan bala tentara kerajaannya.<br />
Kadiri mempunyai satria-satria yang kebal kulitnya,<br />
pahlawan-pahlawan yang tangguh tulangnya. Baginda<br />
merasa semangatnya makin terbakar. "Kami I ilia t para<br />
pahlawan Kadiri siap sedia setiap saat..." "Hanya menanti<br />
titah saja, ampun Gusti!" sahut senapati Wirapati ing<br />
Alaga. "Kami siap." "Makin cepat makin baik . . . " kata<br />
baginda agak perlahan. Tetapi baginda menoleh ke arah<br />
45 maha patih Kebo Rerangin. "Mamanda. apakah bicara<br />
Mamanda mengenai hal ini? Kami lihat se-jak tadi<br />
Mamanda berdiam diri saja. Tidakkah Mamanda kurang
yakin akan kegagahan dan ke-saktian para satria serta<br />
para pahlawan Kadiri? Tidakkah Mamanda yakin bahwa<br />
Janggala akan dengan mudah dikalahkan oleh para<br />
senapati kita yang gagah berani? Mengapa Mamanda<br />
diam saja? Sang maha patih Kebo Rerangin<br />
menghaturkan sembah. Suaranya tenang, tidak<br />
dipengaruhi amarah seperti suara yang lain-lain. Ia<br />
berbicara lambat-lambat, namun pasti. "Ampun beribu<br />
hamba mohon. maaf berlaksa hamba minta terlebih dahulu,<br />
kelapangan dan keluasan faham Gusti jua yang hamba<br />
harapkan . . Sang baginda menatapnya tajam-tajam.<br />
"Bicaralah. Mamanda!" Maha patih Kebo Rerangin<br />
mcmperbaiki letak duduknya. "Daulat Gusti" sembahnya<br />
kemudian. "Hamba percaya akan keteguhan tulang para<br />
senapati Kadin. Hamba percaya akan kekcbalan kulit para<br />
pahlawan Kadiri yang pantang mundur. Hamba yakin akan<br />
semangat wadia-bala Kadiri yang gagah berani. Tetapi.<br />
tidakkah terlebih baik sebelum la' kitaT^h'f la'ba,a UntUk<br />
me"yerang Janggala, kita kaji dahulu sebab lantarannya?"<br />
46 -Mamanda Maha Patih! Mengapa Mamanda bertanya<br />
demikian? Bukankah Mamanda tadi mendengarkan<br />
perkataan kami?" "Daulat Gusti, sepatah pun perkataan<br />
yang Gusti sabdakan, tak ada yang terlepas dari pendengaran<br />
hamba. Tetapi..." "Tetapi apa? Apakah<br />
Mamanda belum mengetahui jua sebab lantarannya<br />
mengapa kita mesti menyerang Janggala yang telah<br />
menghina kita?" "Menurut hemat hamba, Janggala tidak<br />
melakukan penghinaan ..." "Mamanda Maha Patih!<br />
Tidakkah harga diri dan kehormatan Mamanda merasa
terhina. kalau putri mahkota kerajaan kita diperhina?"<br />
"Ampun Gusti, hambalah orang yang akan paling merasa<br />
terhina kalau putri mahkota Kadiri yang hamba junjung<br />
tinggi diperhina orang Hambalah orangnya yang akan<br />
paling dahulu meng-hunus keris memusnahkan orang yang<br />
menghinanya!' "Nan, mengapa Mamanda Maha Patih<br />
masih bertanya juga?" Maha patih Kebo Rerangin merasa<br />
terdesak. Tetapi ia menghaturkan sembah, "Tentang<br />
penghinaan itu - kalau benar penghinaan hamba pun akan<br />
sependapat dengan yang lain-lain. Dalam hal demikian.<br />
wajib kita mengangkat senjata kepada Janggala. Tak<br />
benar kalau kita diam saja. 47 manda saja diperhina.<br />
Namun sebelum kita meme-pak wadia-bala. patut kaJau<br />
kita renungkan lebih dahulu hal-hal lain yang bersangkutan<br />
dengan itu . . . * "Apa maksud Mamanda?" "Ampun Gusti.<br />
gusti pun tentu lebih maklum, Kadiri dan Janggala berasal<br />
dari satu keturunan, dari satu kerajaan ..." "Ya, dipisahkan<br />
oleh air kcndi yang dicucurkan oleh Rmpu Bharada!" "Gusti<br />
lebih maklum. Jadi scsungguhnya antara Kadiri dan<br />
Janggala ada perhubungan darah, per-hubungan<br />
ketumnan. Raja Janggala masih berasal dari darah yang<br />
sama dengan* Gusti sendiri. Sri Baginda<br />
Jayantakatunggadewa masih kcpernah Rakanda Gusti."<br />
"Ya.lalu?" "Antara orang yang berasal dari daerah yang<br />
sama. apalagi kaiau menyangkut nasib kerajaan be-serta<br />
seluruh kawulanya. tak patutlah senjata di-minta bicara.<br />
Apabila ada persoalan. elok diper-bincangkan terlebih<br />
dahulu____" "Tetapi ini mengenai kehormatan dan harga<br />
diri kita sebagai satria. sebagai negara dan kerajaan,
Mamanda Maha Ratih!" "Ampun Gusti. Karena itu pula<br />
dalam hal ini kcbijaksanaan Gusti yang menggenggam<br />
mati-hidup kawula negara di seluruh kerajaan diminta lebih<br />
besar____" 48 "Tetapi masihkah kita patut bicara,<br />
berbincang dengan orang yang dengan sengaja sudah<br />
menghina dan merendahkan kita?" "Bagairnanapun, sang<br />
Baginda Prabu Jayantaka adalah saudara Gusti jua. Kalau<br />
ia melakukan Icesilapan, adalah seyogyanya apabila Gusti<br />
yang menegur serta memberinya ingat." Sang baginda<br />
termenung. Termakan juga apa yang dipersembahkan<br />
maha patih Kebo Rerangin olehnya. Kebo Rerangin<br />
sungguh seorang tetua yang luas dan dalam<br />
pandangannya. Terkesiap juga baginda, kalau teringat<br />
bahwa hampir saja baginda meninggalkan keutamaan<br />
seorang bijaksana, lantaran terbawa oleh amarah. Kalau<br />
sampai terjadi peperangan antara kedua kerajaan, entah<br />
bagaimana akibatnya. Namun apabila teringat pula oleh<br />
baginda akan perbuatan Rakanda Prabu Jayantaka<br />
mengingkari janji yang telah mereka bikin, hatinya menjadi<br />
mendidih pula. "Perang bukanlah suatu hal yang kecil.<br />
Apalagi antara dua buah kerajaan yang sesungguhnya<br />
masih bersaudara ..." terdengar maha patih Kebo<br />
Rerangin berbicara pula. "Apakah soal yang menjadi<br />
sebab tidak bisa dirundingkan secara damai lagi,<br />
sehingga senjata diminta berbicara? Kalau segala<br />
pembicaraan telah buntu, kalau segala per-undingan telah<br />
mati, barulah boleh kita angkat senjata. Sedangkan dalam<br />
hal kita sekarang, meski 49 benar perbuatan Rakanda<br />
Prabu mcnikahkan Raden Panji dengan orang lain
mclanggar janji yang telah kita adakan. namun belum pasti<br />
berarti bahwa baginda dengan sengaja hendak memperhina<br />
kita... " Sang baginda mengangkat wajah. "Mana<br />
boleh begitu?*' "Ampun Gusti, menurut hemat hamba, pernikahan<br />
Raden Panji dengan putri yang lain, ri-daklah<br />
berarti bahwa fihak Janggala telah mem-batalkan<br />
perjanjian secara sefihak . . . Pemikahan Raden Panji<br />
dengan orang lain, tak boleh kita taf-sirkan bahwa<br />
pertunangan dengan Dewi Sekar Taji menjadi batal . . .<br />
Mungkin ada sebab-sebab lain yang kita tidak tahu. yang<br />
menyebabkan Rakanda Prabu Jayantaka mengambil jalan<br />
yang seolah-olah menghina kita. Bagairnanapun juga,<br />
menurut hemat hamba. semuanya itu belum cukup besar<br />
untuk diakhiri dengan suatu perang - apalagi perang antara<br />
kerajaan yang berasal dari satu keturunan. Cita-cita Gusti<br />
berdua dengan rakan da Gusti tinggi, agung serta luhur,<br />
hendak me-wujudkan kembali apa yang dahulu pemah<br />
diusa-hakan oleh sang Baginda Airlangga. Cita-cita yang<br />
luhur itu. patutkah kita hancurkan begitu saja, lantaran<br />
menduga sesuatu tanpa melihat latar be-lakangnya yang<br />
lebih luas?" Baginda merenung, tidak mcngeluarkan<br />
sepatah pun perkataan. tetapi senapati Wirapati berdatang<br />
50 sembah, "Ampun Gusti, mengapa kita mesti ber buat<br />
sebagai pengecut? Telah jelas: orang telah menghina kita,<br />
mengapa kita masih manda jURa nengajaknya berunding?<br />
Orang telah dengan sengaja melanggar janjinya sendiri,<br />
mengapa kita masih ragu-ragu untuk mengangkat senjata?<br />
Apakah telah tumbuh takut dalam kerajaan Kadiri? Apakah<br />
tidak ada lagi semangat satria yang berani menentang
mati?" Sang baginda memandang kepada sang senapati<br />
Wirapati. Namun sebclum baginda mengeluarkan<br />
perkataan, terdengar maha patih Kebo Rerangin bcrsuara.<br />
"Ampun hamba mohonkan, Gusti. Apabila tadi hamba<br />
mempersembahkan apa yang telah hamba persembahkan,<br />
bukanlah itu berarti bahwa semangat Kebo Rerangin telah<br />
lenyap. Bukanlah berarti Kebo Rerangin seorang pengecut<br />
yang takut mati, tak berani melihat darah! Kebo Rerangin<br />
telah kenyang berperang. telah kenyang me-masukkan<br />
kerisnya ke dalam dada orang-orang yang sombong dan<br />
bersemangat, namun makin hari usia makin tua dan<br />
setelah usia lanjut. makin banyak pertanyaan-pcrtanyaan<br />
dalam hati. Buat apakah kita memhunuh sesama manusia?<br />
Buat apakah kita mengurbankan begitu banyak waJu bala.<br />
darah dan nyawa.' Untuk mcmuaskan nafsu? Untuk<br />
mcnunjukkan bahwa kita bersemangat' 51 Tidak. bagi<br />
hamba, nun Gusli, semangat bukan sa-tu-satunya yang<br />
hams kita punyai. Dengan semangat saja kita takkan<br />
mencapai apa-apa. Paling-paling penyesalan yang akan<br />
menanti kita kelak. Penyesalan, penyesalan yang tak<br />
berguna. tak berarti, sia-sia . . . Hamba meminta keluasan<br />
hati Gusti, dan hamba pea-ay a akan kebijaksanaan Gusti:<br />
Gusti takkan mengurbankan manusia, entah wadia-bala<br />
Kadiri maupun wadia-bala Janggala. untuk suatu hal yang<br />
belum tentu. Hamba tetap memohonkan kebijaksanaan<br />
Gusti untuk mengadakan perundingan dengan fihak<br />
Janggala.'' Baginda menghela nafas. Senapati Wirapati<br />
hendak menghaturkan sembah pula, tetapi tangan baginda<br />
yang kiri melambai, tanda bahwa baginda menitahkannya
diam. "Baiklah. Kami percaya akan keberanian dan<br />
semangat Senapati Wirapati yang senantiasa setia. Kami<br />
percaya akan semangat dan kejayaan seluruh satria,<br />
perwira, para pahlawan dan wadia-bala Kadiri. Kami<br />
percaya. Kami tak ragu akan hal itu. Kami tahu, pada<br />
saatnya seluruh wadia-bala Kadiri akan tak sayang<br />
membuang nyawa, mengalirkan darah, untuk membela<br />
kehormatan dan harga diri raja serta negaranya!" sabda<br />
baginda dengan suara yang tenang. 'Tetapi apa yang dipersembahkan<br />
olch Mamanda Maha Patih Kebo Rerangin<br />
pun mcmpunyai kebenarannya pula. Tak patut kita tiba-tiba<br />
saja menycrang Janggala. 52 yang adalah masih berasal<br />
dari keturunan yang sama dengan kami, sedangkan<br />
persoalan belum jelas - • • . . , "Kalau Gusti menginmkan<br />
utusan kepada rakanda Gusti di Janggala, Gusti telah<br />
menunjukkan kelapangan hati dan kebijaksanaan Gusti,"<br />
sembah maha patih Kebo Rerangin. "Kalau kelak temyata,<br />
fihak Janggala memang dengan scngaja hendak menghina<br />
puteri mahkota Kadiri beserta keraja-annya, perang adalah<br />
jalan yang satu-satunya boleh kita tempuh!" "Namun,<br />
Mamanda, untuk menginmkan utusan kepada Rakanda<br />
Prabu Jayantaka, kami merasa kurang patut. Pemikahan<br />
Raden Panji sekarang, dilakukan tanpa persetujuan,<br />
bahkan tanpa se-pengetahuan kami, sedangkan Raden<br />
Panji telah dipertunangkan dengan Dewi Sekar Taji. Kalau<br />
kita mengirimkan utusan ke sana, maka mungkin kelihatan<br />
seolah-olah kita begitu rendah ingin menawarkan Sekar<br />
Taji supaya diperisteri oleh Raden Panji! Tidak, untuk<br />
mengirimkan utusan ke Janggala, kami merasa keberatan.
Kita mesti menempuh jalan lain!" Seluruh balairung hening.<br />
Senapati Wirapati menundukkan wajah, sedang matanya<br />
menjeling ke kanan ke kiri. Ia merasa malu, karena merasa<br />
tidak mendapat muka dari sang baginda. Hatinya Panas.<br />
Lirikannya ganas menjilat ke arah maha patih Kebo<br />
Rerangin yang duduk di depan. 53 Maha patih Kebo<br />
Rerangin hening pula. Duduk dengan tertib. sedangkan<br />
keseluruhan dirinya me-nunjukkan bahwa ia sedang<br />
berpikir keras. Semua orang terdiam berpikir. merenung.<br />
Suasana pecan, tatkala dari sudut sebelah ka-nan.<br />
terdengar suara yang renta dan rendah. menghaturkan<br />
sembah. "Ampun Gusti!" katanya. "Mamanda Kuda<br />
Lalean! Adakah Mamanda mendapat pikiran yang baik<br />
untuk menghilangkan yang kami bingungkan? Bicaralah!"<br />
sabda baginda. "Daulat Gusti. menurut hemat hamba. satusatunya<br />
jalan untuk mengatasi suasana yang sulit ini.<br />
adalah dengan jalan meminta tolong kepada fihak ketiga.<br />
Fihak ketigalah yang sebaik-baiknya datang kepada<br />
Rakanda Prabu di Janggala, meminta keterangan yang<br />
lebih jelas." "Sungguh tepat!" potong sang baginda dengan<br />
cepat dan wajahnya menjadi cerah. "Sungguh tepat apa<br />
yang dipersembahkan oleh Mamanda Kuda Lalean! Tetapi<br />
..." baginda berhenti seje-nak. "Siapakah gerangan fihak<br />
ketiga yang patut kita percayai untuk menjadi perantara?<br />
Orang itu mesti yang kita percayai dan yang dihormati pula<br />
oleh fihak Janggala, tak mungkin orang scm-barang! Orang<br />
itu mesti benar-bcnar tak berfihak! Raja manakah yang<br />
menurut hemat andika sekalian, yang patut kita mintai<br />
tolong dalam hal ini? 54 .yang-' Lawang? Ataukah mana? "
Setelah suasana sepi sejenak, terdengar maha patih Kebo<br />
Rerangin angkat bicara. "Mengapa Gusti hendak meminta<br />
tolong kepada raja-raja lain? Mengapa Gusti tidak teringat<br />
kepada sang Kili Suci yang adalah wakil tetua kedua buah<br />
kerajaan - baik Janggala maupun Kadiri! Sang Kili Su-cilah<br />
yang telah menyebabkan kerajaan sang Baginda Airlangga<br />
di pecan dua. Karena sang Kili Suci tidak sudi memangku<br />
takhta! Dia memilih kehidupan pertapa di Pucangan!"<br />
Baginda terhenyak. "Ya maha dewa! Mana boleh kami<br />
lupa! Mengapa boleh kami tak teringat? Eyang Sang Kili<br />
Suci! Telah lanjut usianya, tetapi ia masih segar bugar!<br />
Kehidupannya sebagai pertapa menyebab-kannya awet<br />
jaya! Ya, memang beliau satu-satunya orang yang paling<br />
tepat untuk keperiuan ini! Tak ada yang lain! Sang Kili<br />
Suci!" "Sesungguhnyalah!" sembah maha patih Kebo<br />
Rerangin dan para tetua lainnya bersama-sama. "Sang Kili<br />
Suci patut menjadi fihak ketiga." "Baiklah Mamanda Patih.<br />
sekarang Mamanda titahkan orang untuk menjemput sang<br />
Kili Suci. supaya sudi meninggalkan petapannya yang suci<br />
di Pucangan, menjenguk negeri Kadiri ini. Siapa orang<br />
yang patut menjalankan titah itu. kami P«cayakan kepada<br />
Mamanda untuk memilihnya." "Daulat Gusti." 55 "Kalau<br />
mungkin hari ini juga ia mesti berangkat. Makin cepat<br />
makin baik. la mesti kembali dengan mengiringkan sang<br />
Kili Suci. Jangan ayal di jalan." "Daulat Gusti." sembah<br />
maha patih. "Hamba Gusti. Senapati Secaprawira hamba<br />
pikir patut menjunjung titah yang berat itu." "Baiklah. Ki<br />
Senapati Secaprawira pergi ke Pucangan. Dengan<br />
siapakah ia akan pergi? Sendirian sajakah?" "Ia harus
dikawani oleh dua-tiga orang hamba Gusti yang lain.<br />
Baiklah perihal itu hamba atur kelak." "Ya, semuanya kami<br />
percayakan kepada Mamanda. Tetapi kami ingin hari ini<br />
juga mereka harus berangkat. Pucangan jauh. dan kami<br />
tidak mau menunggu terlalu lama! Kalau orangnya sudah<br />
siap. titahkan mereka menghadap! Sekarang. baik andika<br />
sekalian pulang. Tetapi Ki Senapati Wirapati! Persiapanpersiapan<br />
jangan dilalaikan. Belum tentu sang Kili Suci<br />
berhasil dengan damai menyelesaikan soal ini, maka kita<br />
mesti berperang juga dengan Janggala. Karena itu<br />
persiapan-persiapan perang jangan sampai tercecer! Kita<br />
mesti siap pada waktunya!" "Daulat Gusti, hamba sekalian<br />
akan siap setiap saat! Titah patik junjung di atas batu<br />
kepala pa tik!" sembah senapati Wirapati. Maka<br />
pertemuan di balairung pun bubar. Sang 56 baginda<br />
masuk ke dalam istana. Para tetua dan neiabat negara<br />
pulang ke rumahnya masing-masing, kecuali mereka yang<br />
mendapat titah dan mesti menyelesaikan titahnya. Maha<br />
patih Kebo Rera-11 an memilih orang untuk mengawani<br />
Secaprawira buat menjemput sang Kili Suci, serta<br />
menitah-kan mempersiapkan segala sesuatunya buat keperluan<br />
di jalan. 57 SANG KILI SUCI Sang Kili Suci yang<br />
hidup tenang di Pucangan, adalah putri baginda sang<br />
Airlangga yang jaya serta bijaksana. Dialah yang<br />
sesungguhnya berhak atas takhta, menggantikan<br />
ayahanda. Tetapi ia sejak masih muda telah tertarik<br />
hatinya akan kehidupan di petapan. Kehidupan keraton<br />
dan kesibukan kerajaan tidak membetahkannya. Ia tidak<br />
mau hidup dalam kegemilangan istana. Ya, putrinda itu
mengikuti jejak ayahanda, sang Airlangga. sangat<br />
mencintai kehidupan bertapa, karena ayahanda tatkala<br />
masih muda pemah dilindungi para petapan, yaitu tatkala<br />
ia melarikan diri dari kejaran tentara Wura-wari yang<br />
menyerbu keraton mertua-nya. Bertahun-tahun lamanya<br />
sang Airlangga hidup di tcngah-tengah kaum pertapa. Ia<br />
banyak mendapat bantuan dan sokongan dari kaum<br />
pertapa, baik para resyi Syiwa, maupun para biksyu<br />
agama Budha. bahkan juga para pemuja Wisynu. 58 Tidak<br />
heran pula ia tatkala kemudian melihat aKanda Kili Suci<br />
lebih menyukai hidup dalam IT,tan sebagai pertapa. la<br />
mendirikan petapan yang dah di Pucangan, sebagai tanda<br />
terima kasihnya kepada para pertapa yang telah menolong<br />
dan menyokongnya selagi sengsara. Tetapi kemudian<br />
putrinda Kili Suci agaknya lebih merasa betah di sana.<br />
Yang menyulitkan sang Airlangga adalah sikap putrinda Kili<br />
Suci yang tidak mau memangku takhta. Memang, kecuali<br />
Kili Suci, baginda masih mempunyai dua orang putra pula.<br />
Dan keduanya laki-laki yang mehunjukkan minat yang luar<br />
biasa terhadap takhta, sehingga nampak oleh baginda<br />
bahwa persaingan antara keduanya sangat besar. Mereka<br />
bukan putranda dari permaisuri, sehingga hak keduanya<br />
sama atas takhta kalau Kili Suci menolaknya. Baginda<br />
kuatir, kalau-kalau setelah baginda mangkat akan terjadi<br />
persaingan dan per-kelahian antara kedua putranda untuk<br />
mempere-butkan takhta. Maka berminggu-minggu baginda<br />
membujuk putrinda Kili Suci supaya mau memangku<br />
takhta. Namun sia-sia saja. Kili Suci tetap pada<br />
pendiriannya. Ia tidak menghendaki takhta. Maka bertahun-
tahun lamanya baginda memikir-kan akal, akan<br />
menghindari persaingan dan pere-butan takhta antara<br />
kedua putranda itu kelak, Meski mungkin selama baginda<br />
masih hidup, Persaingan dan perebutan itu takkan terjadi.<br />
namun tak mustahil pabila baginda sudah meninggal,<br />
percbutan yang ditakutkan itu terjadi juga. Akhir-nya<br />
baginda mengambil kebijaksanaan mem-bagi dua<br />
kerajaan yang telah dengan susah payah baginda bina dan<br />
mempercayakan pembagian itu kepada seorang guru<br />
Budha Mahayana yang ahli dalam ilmu tantra, yaitu EfllpU<br />
Bharada. Empu Bharada seorang yang sakti. konon<br />
pemah menye-berangi selat Bali dengan berjalan di atas<br />
permuka-an laut. Gelombang yang tinggi tidak sedikit pun<br />
membasahi kendati ujung jubahnya. Sambil mengenangkan<br />
usahanya sejak muda, sejak ia berangkat dari<br />
Bali memenuhi panggilan mertuanya mahara-ja Teguh.<br />
sang Airlangga menyaksikan hasil jerih-payahnya itu<br />
dirobek-robek di depan matanya. Hancur hatinya. Namun<br />
kalau mengingat pula akan akibat yang mungkin timbul<br />
kalau baginda tidak melakukan usaha pencegahan seperti<br />
itu. sang Airlangga yang sudah kenyang berperang itu,<br />
merasa lega, karena ia telah menghindarkan kedua<br />
putranda dari peperangan antara sesama saudara.<br />
Setelah membagi dua kerajaannya yang besar menjadi<br />
Janggala dan Kadiri, dan menobatkan kedua anak-anda<br />
menjadi raja di kedua kerajaan tersebut, baginda<br />
Airlangga mengikuti jejak putrinda Kili Suci; baginda<br />
memilih kehidupan damai di petapan. Baginda menjadi<br />
bagawan. Baginda dihormati dan discbut orang sebagai
Paduka Gusti Pelindung Buana. Baginda bersemayam di<br />
Ganda60 kuti hingga wafatnya. Sesudah baginda wafat.<br />
Kill Suci makin betah di petapannya. Tetapi hubungan<br />
dengan masya-rakat ramai tidak terputus. Pada waktuwaktu<br />
tertentu ia menyambangi saudara-saudaranya yang<br />
memerintah kerajaan Janggala dan Kadiri. la banyak<br />
memberi nasihat dan petunjuk dan segalanya itu diterima<br />
oleh saudara-saudaranya dengan se-nang hati. Bahkan<br />
mereka tidak segan-segan meminta masihat dan petunjuk<br />
dari putri petapa itu. Waktu terus berlalu. Raja Janggala<br />
dan Kadiri telah dua kali bertukar, karena mangkat, tetapi<br />
sang Kili Suci masih segar bugar juga. la masih juga tetap<br />
sehat. Ia tidak meninggalkan kebiasa-annya untuk tetap<br />
mengunjungi Janggala atau Kadiri, mendatangi keraton.<br />
akan bercengkerama dan memberi nasihat kepada para<br />
pemangku takhta. Oleh rakyat kecil pun ia sangat<br />
dihormati. karena banyak sekali pertolonganpertolongannya.<br />
Mereka memuja sang Kili Suci hampirhampir<br />
sebagai dewi penolong yang sakti dan gaib.<br />
Mereka me-mandang puncangan sebagai tempat keramat<br />
yang suci. Tempat tinggal manusia utama yang luar biasa<br />
baik. Tatkala mendengar dari Senapati Secaprawira,<br />
bahwa sang baginda Jayawarsya dari Kadiri menghaturinya<br />
datang, lantaran ada masalah berat yang m»nta<br />
dipecahkan, tidak menanti lama, maka ^ng Kili Suci pun<br />
berangkat meninggalkan Pucang61 an. Mereka berjalan<br />
dengan cepat, maka beberapa hari kemudian, sampailah<br />
sang Kili Suci di ibukota Kadiri, lalu masuk ke dalam<br />
istana. Kedatangannya segera dipersem bahkan kepada
sang baginda. lak/mi dan hormat, baginda menghaturkan<br />
sembah kepada sang Kili Suci. Sang Kili Suci mengu-sapusap<br />
kepala baginda. kemudian mengangkat-nya bangkit.<br />
"Apakah gerangan sebabnya, maka Cucunda menitahkan<br />
Nenenda datang secepat mungkin?" tanya sang Kili Suci<br />
setelah beberapa saatnya berbicara tentang segala<br />
macam soal, tentang kesehat-an baginda dan mengenai<br />
kerajaan. "Ampun hamba mohonkan, karena telah berani<br />
mengusik Nenenda dari kehusyuan bertapa . ..," sahut<br />
baginda. "Cucunda telah mengusik Nenenda dari petapan.<br />
tentu lantaran ada suatu soal besar yang mesti<br />
dipecahkan. Karena itu sebaiknya, cepat Cucunda<br />
sampaikan kepada Nenenda, apakah gerangan soal yang<br />
mesti dipecahkan itu?" Maka sang baginda Jayawarsya<br />
pun lalu memper-sembahkan halnya. Baginda<br />
mengenangkan sang Kili Suci kepada perjanjian yang<br />
dahulu diadakan antara Kadiri dan Janggala tentang<br />
maksud meni-kahkan putra mahkota Janggala dengan<br />
putri mahkota Kadiri. Sang Kili Suci tahu akan perjanjian<br />
itu, maka ia pun teringat akan halnya. Tatkala mendengar<br />
bahwa Raden Panji sudah menikah 62 dengan orang lain<br />
Kili Suci tcrmenunB, dan dari matanya nampak bahwa ia<br />
terkenangWn * sj|anl, tatkala ayahanda masih berat tatkala<br />
kerajaan belum tcrpecah dua. 1 -Jadi apakah yang<br />
sekarang hendak (W perbuat?" akhimya sang Kili Suci<br />
bertanya set, lah sang baginda sclesai mempcrsembahkan<br />
semu* nya. Matanya yang jernih itu mcnatap baginda<br />
seakan-akan hendak mengajuk ke dalam hati sanubari<br />
baginda. Maka baginda segera berterus terang. "Hamba
merasa terhina dan menganggap kehormatan kerajaan<br />
Kadiri hanya mungkin dibela dengan mengangkat senjata.<br />
Tetapi mengingat bahwa antara Kadiri dengan Janggala<br />
ada pertautan yang lebih cr.it. maka hamba meminta<br />
nasihat Nenenda yang bijaksana. Apakah yang<br />
sepatutnyaCucunda perbuat sekarang?" Kili Suci<br />
mengangguk-anggukkan kepala. "Jangan terburu nafsu.<br />
Siapkan wadia-bala untuk keperluan lain. Tentang<br />
pemikahan Raden Panji, biar akan Nenenda periksa<br />
sendiri ke Janggala. Sekalian Nenenda hendak<br />
menyambangi cucunda Prabu Jayantaka yang sudah lama<br />
tidak Nenenda jenguk. Nenenda hendak menanyakan<br />
duduknya pcrkara yang lebih jelas. Kelak. kalau scmuanya<br />
sudah terang-bendcrang. pasti Nenenda akan kembali lagi<br />
ke mari." Dan sclesai mcmbicarakan soal-soal yang ocr63<br />
sangkutan dengan kerajaan. Sang Kili Suci bertanya.<br />
"Manakah putrinda Dewi Sekar Taji? Tentu ia sekarang<br />
sudah besar! Sudahkah ia mendengar kabar mengenai<br />
pemikahan Raden Panji? Baiklah hal itu jangan<br />
disampaikan dahulu kepadanya! Tentu akan sedih<br />
hatinya." Setelah menemui dan bercakap-cakap dengan<br />
permaisuri, Dewi Sekar Taji dan saudara-saudaranya yang<br />
lain, sang Kili Suci segera meminta diri. Ia hendak<br />
langsung menuju ke Janggala. Betapa-pun baginda<br />
mencegah. ia memaksa juga pergi. Sang Kili Suci berjalan<br />
ke arah timur laut dengan cepat. Ia maklum akan<br />
pentingnya perkara. la tidak ayal. Hampir dua minggu<br />
kemudian sam-pailah ia ke Kahuripan, ibukota Janggala,<br />
lalu menuju ke keraton. Terkejut sang baginda Jayantaka
demi mendengar persembah tentang kedatangan sang Kili<br />
Suci. Maka bangkitlah baginda buru-buru, mem-buru<br />
menyembah sang pertapa agung itu. "Nenenda! Angin<br />
apakah gerangan yang telah membawa Nenenda ke mari!<br />
Telah lama nian Nenenda tidak datang! Dan hamba sendiri<br />
telah lama pula tidak berkunjung kepada Nenenda,<br />
maklum-lah suasana dalam keraton sangat sibuk, banyak<br />
hal-hal yang meminta perhatian hamba sepenuh hati."<br />
Sang Kili Suci tersenyum Dengan tangan kanan ia<br />
merestui baginda, lalu menyilakannya bangkit. 64 ..Ya,<br />
telah lama nian Nenenda tidak datang kc man.<br />
Bagaimanakah kabar orang^rang d" seluruh Janggala.'<br />
Baik-baik saja?" "Berkat restu Nenenda, kami sekalian<br />
berada dalam sehat, tidak kurang suatu apa." "Dan<br />
bagaimanakah keadaan cicitda Raden Panji? Tentu telah<br />
makin pandai menunggang kuda dan mempermainkan<br />
senjata! Dan Nenenda dengar. ia suka pergi mengunjungi<br />
para petapa. Mengapa ia jarang benar pergi ke Pucangan<br />
akan menemui buyutnya?" "Ampun Nenenda!" sahut<br />
baginda. "Raden Panji memang jarang berada di keraton.<br />
Ia tak je-mu-jemunya mengembara dari petapan yang satu<br />
ke petapan yang lain. Tetapi kini, ia tentu akan me<strong>net</strong>ap di<br />
kaputran, karena ia sekarang telah beristri ..." Sang Kili<br />
Suci pura-pura terkejut. "Beristri? Dengan Dewi Sekar<br />
Tajikah ia nikah? Mengapa dalam pemikahan itu Nenenda<br />
tidak diundang? Bukankah Nenenda turut menyaksi-kan<br />
kedua cucunda tatkala mengadakan perjan-jian<br />
mempertunangkan kedua putra mahkota. Sang baginda<br />
menundukkan wajah. "Ampun Nenenda! Raden Panji
ukannya. men, kah dengan putri malikota Kadiri Dewi<br />
Sekar laji. >¦ "" "Apa? Bukan dengan Dewi Sekar Taji?<br />
JUto dengan siapa? Bukankah Raden Panj. sudah d.per<br />
65 tunangkan dengan Dewi Sekar Taji sejak masih kecil?<br />
Bukankah hal itu telah dijanjikan Cucunda dengan baginda<br />
Kadiri?** Baginda Jayantaka termenung. Ia menengok-kan<br />
wajahnya ke arah lain, seolah-olah menghin-dari<br />
pandangan Sang Kili Suci yang menatapnya tajam-tajam.<br />
"Sesungguhnya!" sahumya kemudian dengan suara<br />
rendah. "Sesungguhnyalah apa yang Nenenda sabdakan!<br />
Raden Panji telah dipertunangkan sejak masih kecil<br />
dengan Dewi Sekar Taji - putri mahkota Kadiri ..." *Tetapi<br />
ia kini merykah dengan orang Iain? Siapa nama istrinya<br />
itu?** "Dewi Anggraeni," "Dewi Anggraeni! Nama yang<br />
indah! Tentu wajahnya pun jelita, karena niscaya itulah yang<br />
telah menyebabkan Raden Panji memilihnya. Putri<br />
siapakah ia gerangan?" "Dia bukanlah seorang putri raja,<br />
melainkan seorang keturunan biasa saja, yang dijumpai<br />
Raden Panji di sebuah petapan. Raden Panji menikah<br />
dengan Dewi Anggraeni tanpa setahu hamba ..." "Jadi<br />
menikah dengan diam-diam?" "Dengan diam-diam.<br />
Sehingga, ketika hamba mendengar berita mengenai<br />
pemikahan itu, gun-dahlah hati hamba. Hamba teringat<br />
akan perjanji-an dengan Rayinda Prabu Jayawarsya dari<br />
Kadiri. Kalau Rayinda mendengar hal pemikahan ini, 66<br />
tentu murka. Hamba kuatir lantaran m,.^ Rayinda Prabu<br />
Jayawarsya akan Sj^JjJ Sang Kili Suci merenung. Sebagai<br />
seorang yane bijaksana, segera ia mengerti keadaan yang<br />
diha dapi oleh prabu Jayantaka. "Sebenarnya, Cucunda,
Nenenda sekarang datang adalah dalam hubungan<br />
dengan hal itu M sabdanya kemudian. Sang baginda<br />
mengangkat wajah, memandang kepada sang Kili Suci.<br />
"Jadi sesungguhnya Nenenda sudah tahu? Jadi Nenenda<br />
sebenarnya sudah mendengar kabar pemikahan Raden<br />
Panji?" "Demikianlah halnya." "Memang, tak mungkin<br />
disembunyikan lagi. Orang-orang tahu akan perjanjian yang<br />
kami ikat, dan karena itu pemikahan Raden Panji sekarang<br />
juga tentu akan mereka besar-besarkan. Ah, dari siapakah<br />
Nenenda mendengar berita itu?" Berkata sang Kili Suci,<br />
"Dari Prabu Jayawarsya, raja Kadiri." Sang baginda<br />
terkejut bukan buatan "Dari Rayinda Prabu Jayawarsya?<br />
Jadi Rayinda Prabu pun sudah mengetahuinya? Dan<br />
bagaimanakah sikapnya? Murkakah dia? Ah, kalau pun<br />
murka sudah sepatutnya tetapi sesungguhnya "Nenenda<br />
mendengar berita itu dari Prabu 67 Jayawarsya, karena<br />
Nenenda dipanggil menghadap ke Kadiri. Baginda sangat<br />
murka. Bahkan telah dititahkannya untuk memepak wadia<br />
bala, hendak menyerang Janggala. Tetapi Prabu<br />
Jayawarsya, seorang yang berhati luas: baginda ingin<br />
mengetahui bagaimanakah pendirian Cucunda di sini. Lagi<br />
pula berperang antara sesama saudara tidak-Iah terpuji.<br />
Nenenda dikirim ke mari oleh baginda, untuk<br />
mengingatkan Cucunda akan perjanjian yang telah samasama<br />
Cucunda adakan mengenai pertunangan Raden<br />
Panji putra mahkota Janggala dengan Dewi Sekar Taji<br />
putri mahkota Kadiri." "Sungguh luas hati Rayinda Prabu<br />
Jayawarsya!" sahut baginda. "Tetapi lebih bijaksana pula<br />
Nenenda yang telah sudi bercapai-lelah untuk menemui
cucunda berdua." "Tak usah Cucunda berkata seperti itu,"<br />
potong Kili Suci. 'Yang penting sekarang, bagaimanakah<br />
hal pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji?*<br />
"Ampun Nenenda!" sembah sang baginda. "Janji yang<br />
telah diadakan seorang raja adalah ibarat hujan yang<br />
takkan mungkin dikembalikan ke langit yang<br />
menurunkannya. Apa yang sudah menjadi perjanjian antara<br />
Janggala dan Kadiri, tidak menjadi batal." "Tetapi Raden<br />
Panji sudah menikah!" "Raden Panji menikah, bukan<br />
berarti bahwa pcr-tunangannya dengan Dewi Sekar Taji<br />
putus." 68 "Namun pertunangan mesti diakhiri h<br />
pemikahan, Cucunda!" WWun "Maka pertunangan Raden<br />
Panji d Sekar Tajijuga akan diakhiri dengan<br />
pemikahan"Dan bagaimanakah halnya pemikahan Raden<br />
Panji dengan Dewi Anggraeni, Cucunda?" "Pemikahan<br />
Raden Panji dengan Dewi Anggraeni. tidak berarti bahwa<br />
Anggraeni yang akan menjadi permaisuri. Permaisuri<br />
Raden Panji telah ditetapkan: Dewi Sekar Taji, putri<br />
mahkota Kadiri!" Sang Kili Suci mengangguk-anggukkan<br />
kepala. "Sang Prabu Jayawarsya kuatir, kalau pemikahan<br />
Raden Panji dengan Dewi Anggraeni itu dilakukan dengan<br />
sengaja untuk memutuskan pertunangannya dengan Dewi<br />
Sekar Taji. Kalau benar demikian, itu dianggapnya<br />
sebagai penghinaan. Penghinaan akan martabat dan<br />
kehormatan Kadiri." "Pemikahan itu samasekali tidak<br />
dilangsungkan untuk menghina Kadiri ataupun Rayinda<br />
Prabu Jayawarsya." "Sukurlah. Dengan demikian<br />
persoalan menjadi jelas, dan kepada Prabu Jayawarsya<br />
akan Nenenda sampaikan, bahwa pemikahan Raden Panji
dengan Dewi Anggraeni tidak mempengaruhi perjanjian<br />
yang pemah Cucunda berdua adakan dahulu. Raden Panji<br />
akan menikah dengan Dewi Sekar Taji sebagai<br />
permaisuri. Dan cita-cita agung serta luhur untuk<br />
mempersatukan kerajaan di bawah satu 69 tampuk akan<br />
dilaksanakan." "Demikianlah adanya." 'Tetapi Nenenda<br />
lihat sekarang, baik Dewi Sekar Tanji maupun Raden<br />
Panji, kedua-duanya sudah sama-sama dewasa.<br />
Pemikahan sudah patut dilangsungkan. Apakah fagt yang<br />
ditunggu? Apakah lagi yang dinanti?" "Ampun Nenenda.<br />
Hamba melihat bahwa Raden Panji sekarang berat benar<br />
kepada istrinya Dewi Anggraeni. Hamba kuatir, kalau<br />
sekarang juga mereka berdua dipisahkan, akan terbit<br />
akibat yang samasekali tidak kita harapkan. Hamba memohon<br />
kesudian Nenenda, supaya menyampaikan kepada<br />
Rayinda Prabu Jayawarsya, bahwa pemikahan Raden<br />
Panji dengan Dewi Sekar Taji sebaik-nya dilangsungkan<br />
pada hari Legi yang kedua bulan yang pertama tahun yang<br />
akan datang." 'Tahun yang akan datang?" 'Ya saat itu<br />
adalah saat yang sebaik-baiknya buat pemikahan. Dihitung<br />
sejak sekarang, waktu-nya masih kurang lebih empat bulan<br />
lagi." "Empat bulan lagi. Hari Legi yang kedua pada bulan<br />
yang pertama tahun yang akan datang." "Itulah saat<br />
pemikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji yang<br />
hamba anggap sebaik-baiknya. Tetapi pabila Rayinda<br />
Prabu Jayawarsya menganggap saat itu kurang tepat dan<br />
memilih saat yang lam, hamba akan menurut saja."<br />
"Baiklah. Semuanya akan Nenenda sampaikan 70 kepada<br />
Prabu Jayawarsya di Kadiri." Kemudian sang Kili Suci
menemui permaisuri dan cicit-cicitnya akan bercengkrama<br />
dengan mereka. Raden Panji dipanggil, diberitahu tentang<br />
kedatangan buyutnya itu. Maka ia pun datang menghadap<br />
bersama istrinya, Dewi Anggraeni. Tatkala sang Kili Suci<br />
melihat Dewi Angraeni, terkesiaplah ia. Alangkah<br />
cantiknya gadis itu! Tak kalah oleh Dewi Sekar Taji! Dan<br />
lihat, wajahnya yang segar itu bagaikan beiahan pinang<br />
laiknya dengan Dewi Sekar Taji! Alangkah sama<br />
keduanya! Lebih-lebih tatkala melihat tingkah lakunya yang<br />
sopan santun dan sangat penuh hormat* senang benar<br />
sang Kili Suci. Ia mengangguk-anggukkan kepala,<br />
sedangkan dalam hati ia berkata, "Patutlah Raden Panji<br />
memilihnya sebagai istri. Tak salah penglihatannya! Dewi<br />
Anggraeni seorang putri yang jarang bandingannya!*<br />
Tetapi sepatah pun ia tidak berkata tentang Dewi Sekar<br />
Taji di depan Raden Panji. la banyak berbicara dengan<br />
Raden Panji, terutama mengenai agama dan hidup.<br />
Sebagai seorang yang sudah lanjut usianya dan sudah<br />
kenyang bertapa, ia banyak memberi petunjuk dan nasihat.<br />
Dan Raden Panji menyimakkan dengan penuh hidmat<br />
akan segala perkataan sang Kili Suci. Setelah tiga malam<br />
sang Kili Suci beristirahat di dalam keraton Janggala,<br />
maka ia pun meminta diri Dengan hati berat seluruh<br />
keraton melepaskannya 71 pergi. Mereka tahu. orang<br />
sebagai sang Kili Suci takkan merasa bctah tinggal dalam<br />
kesibukan ista-na. Tetapi sang baginda Jayantaka berpikir<br />
lebih jauh: Makin cepat sang Kili Suci menyampaikan<br />
pesannya kepada Rayinda Prabu Jayawarsya, makin<br />
senang hatinya. Ia akan merasa dunia kembali luas dan
hatinya lega. Sang baginda Jayawarsya pun setelah<br />
mendapat penjelasan secara panjang lebar dari sang Kili<br />
Suci. senang hatinya. Amarahnya lenyap, meski ia merasa<br />
tersinggung juga oleh pemikahan Raden Panji itu. namun<br />
lantaran hal itu tidak mempe-ngaruhi perjanjian yang telah<br />
mereka buat ber-sama-sama, hendak dilupakannya saja.<br />
Baginda menyetujui waktu yang telah dipilih oleh Rakanda<br />
Prabu Jayantaka sebagai saat yang sebaik-baiknya untuk<br />
pemikahan putrinda. Setelah semuanya nampak be res,<br />
maka sang Kili Suci meminta diri akan kembali ke<br />
petapan-nya yang tenang, nun di Pucangan. Sia-sia saja<br />
usaha sang baginda untuk menahannya lebih lama. Sang<br />
petapa telah merindukan kedamaian petapan-nya. 72<br />
RADEN PANJI KUDA WANENG PATI Waktu terus berlalu.<br />
Hari telah bergulung menjadi minggu, dan minggu melipat<br />
jadi bulan. Saat yang ditentukan oleh sang baginda Prabu<br />
Jayan-takatunggadewa untuk pemikahan Raden Panji<br />
dengan Dewi Sekar Taji makin mendekat jua. Fnam<br />
minggu menjelang waktu yang ditetapkan. datang utusan<br />
dari Kadiri memperingatkan baginda akan hal itu dan<br />
meminta baginda untuk mengadakan persiapanpersiapan.<br />
Pemikahan akan berlangsung di Kadiri, karena<br />
itu harus ditetapkan kapan Raden Panji mesti dijemput.<br />
Lantaran kedatangan utusan Kadiri itu. sang baginda<br />
Jayantaka segera menitahkan menghadap kepada para<br />
pejabat dan tetua negara. Para utusan ditempatkan di<br />
sebuah pesanggrahan yang baik. sementara menunggu<br />
hasil penindingan. Raden Panji Kuda Waneng Pati<br />
dipanggil dari Peristirahatannya yang mungil dan yang
terlctak agak jauh dari Kahuripan. ibukota Janggala. Dia<br />
hi73 chip tentram di sana bersama dengan istri yang dia<br />
cintai sepenuh hati. Tetapi titah nampak penting, Raden<br />
Panji segera berangkat akan menghadap, sendirian saja.<br />
Dan memang demikian yang dike-hendaki baginda.<br />
Kecuali Raden Panji, para putra baginda yang Iain juga<br />
nampak datang. Tumenggung Braja Nata duduk di barisan<br />
paling depan. Setelah semuanya lengkap menghadap,<br />
maka baginda masuk ke balairung. Dan setelah selesai<br />
menerima sembah, baginda segera membuka<br />
persidangan. "Andika sekalian sekarang diminta datang,<br />
bukan pada waktu yang biasa! Tentu pada diri andika pun<br />
timbul pertanyaan dan sangkaan yang merusuhkan hati<br />
Baiklah, dengan singkat kami terangkan, bahwa andika<br />
sekarang kami titahkan menghadap adalah berhubungan<br />
dengan datang-nya utusan Rayinda sang Prabu<br />
Jayawarsya dari Kadiri. Seperti andika masih ingat, kami<br />
dengan Rayinda Prabu Kadiri telah mengikat suatu<br />
perjanjian, yang didasarkan kepada suatu cita-cita yang<br />
agung, yakni hendak mewujudkan kembali jerih payah<br />
usaha moyang kami sang Airlangga. Kadiri dan Janggala<br />
hendaknya bersatu di bawah suatu tampuk pemerintahan.<br />
Asal kedua kerajaan ini dahulu satu, maka sepatutnya<br />
kalau kelak pun di bawah pemerintahan putra-putra yang<br />
akan datang dari perkawinan yang kami janjikan itu 74<br />
akan bersatu pula. Perjanjian itu dahulu dilaku-kan dengan<br />
mempertunangkan putra mahkota Janggala Raden Panji<br />
Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri Dewi<br />
Sekar Taji. Ketika di-pertunangkan keduanya masih sama-
sama kecil sama-sama kanak-kanak. Tetapi sejak itu<br />
waktu telah berlalu, dan kini keduanya telah dewasa.<br />
Bahkan Raden Panji . . . baginda menoleh ke arah<br />
putranda. Raden Panji duduk bersila menundukkan wajah,<br />
seakan-akan tidak mengetahui arti pandangan ayahanda.<br />
"Raden Panji Kuda Waneng Pati!" seru baginda kemudian<br />
kepada Raden Panji. "Hamba, Gusti!" sahut Raden Panji.<br />
"Kemarin telah datang utusan dari maman-damu di Kadiri<br />
akan menanyakan pemikahan Ananda dengan Dewi Sekar<br />
Taji. Dahulu kami telah menjanjikan kepada mamandamu<br />
itu, bahwa pemikahan akan berlangsung pada hari Legi<br />
kedua bulan pertama tahun yang akan datang. Sekarang<br />
tinggal enam minggu lagi. Waktunya telah dekat. Utusan<br />
dari mamandamu menanyakan ka-pan engkau bisa<br />
dijemput, karena pemikahan hendak dilangsungkan di<br />
Kadiri!" Raden Panji Kuda Waneng Pati menghaturkan<br />
sembah, "Ampun Gusti, tetapi hamba telah bens-tri . . . "<br />
"Kami tahu, engkau telah beristri dengan Dewi 75<br />
Anggraeni, tetapi ia bukanlah jodohmu yang se-timpai!"<br />
sabda baginda. "Ampun Gusti, tetapi Gusti telah merestui<br />
pemikahan kami," sembah Raden Panji Kuda Waneng<br />
Pari. "Pemikahan dengan Dewi Anggraeni kaulakukan<br />
secara diam-diam, tak setahu kami. Hal itu telah<br />
menunjukkan bahwa dalam dirimu pun tumbuh kesadaran,<br />
bahwa perbuatan seperti itu adalah suatu kekeliruan, suatu<br />
kesalahan. Namun kami restui juga pemikahan engkau<br />
berdua, karena ketika itu kami melihat, bahwa nafsumu tak<br />
mungkin dipadamkan. Kini waktu telah berlalu, nafsu tentu<br />
sudah mengendur, dan sepatutnya engkau teringat akan
kewajibanmu terhadap tunangannmu Dewi Sekar Taji."<br />
"Yang menyebabkan hamba menikah dengan Dewi<br />
Anggraeni, sekali-kali bukan nafsu, Gusti. Adalah cinta<br />
yang suci serta luhur yang menyebabkan hamba berani<br />
menempuh hal yang Gusti anggap kekeliruan ..." Sang<br />
baginda mendengus. "Cinta yang suci! Cinta yang luhur!"<br />
terdengar baginda tertawa meleceh. "Raden Panji Kuda<br />
Waneng Pati!" "Ampun Gusti!" sahut Raden Panji. "Kau<br />
berbicara dengan ayahmu, tak usah kau mengajan ayahmu<br />
tentang cinta suci atau tak suci. Yang pentrng sekarang kita<br />
bicarakan ialah per76 nikahanmu dengan Dewi Sekar Taji.<br />
Kau telah di pertunangkan dengan dia sejak masih kanak<br />
kanak, kini tiba saatnya pertunangan diakhiri dengan<br />
pemikahan!" "Ampun Gusti! Tetapi pertunangan itu diadakan<br />
tanpa persetujuan dan pengetahuan hamba . "Kau pun<br />
menikah dengan Dewi Anggraeni tanpa sepengetahuan<br />
dan persetujuan kami!" "Tetapi hambalah yang menikah.<br />
Hamba yang mengalami pahit manis serta suka-dukanya.<br />
Hamba sendiri. Ampun Gusti." "Raden Panji Kuda Waneng<br />
Pati!" "Daulat Gusti!" "Dengan singkat, maukah kau<br />
menikah dengan Dewi Sekar Taji?" "Ampun Gusti! Hamba<br />
sudah beristri!" "Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan<br />
raja, la boleh terus menjadi istrimu. tetapi Dewi Sekar Taji<br />
yang kelak akan menjadi permaisuri!" "Ampun Gusti! Dewi<br />
Anggraeni mesti mendu-duki tempat kedua? Sebagai<br />
selir? Sebagai istri kedua? Dewi Anggraeni adalah cinta<br />
hamba, hidup hamba. Hamba tidak sanggup<br />
menempatkannya di samping orang lain. Jangankan pula<br />
menempatkannya scsudah orang lain, la ...1 "Jadi
kendatipun hanya menggeser kedudukannya saja, engkau<br />
menolak." "Ampun Gusti!" 77 Baginda murka, nampak<br />
jelas dari wajahnya yang menjadi muram dan membesi<br />
terbakar, sedangkan giginya nampak digigitkan erat-erat.<br />
Tangannya memukul-mukul paha kanan. "Raden Panji!"<br />
"Daulat Gusti." "Selama ini. engkau tidak pemah menunjukkan<br />
kelakuan yang kurang sopan. Engkau seorang anak<br />
yang baik, yang senantiasa mengikuti segala perkataan<br />
orangtuamu. Tetapi, ya, memang sejak masih kecil, sudah<br />
kusaksikan sifatmu yang manja. Kau seorang yang sangat<br />
manja. Kau ingin supaya segala kehendakmu teriaksana.<br />
Engkau terlalu menurutkan hatimu sendiri. Engkau sibuk<br />
dengan dirimu sendiri yang sempit, karena yang<br />
senantiasa engkau pikir dan perhatikan hanyalah dunia kecilmu,<br />
yang penuh dengan kehendak-kehendak<br />
perseorangan yang serakah. Engkau sedikit pun tidak<br />
menaruh perhatian kepada masalah yang lebih besar.<br />
Engkau tidak mau memperhatikan masalah orang lain!<br />
Engkau tidak suka. Engkau enggan! Karena kalau pun<br />
engkau memperhatikan orang lain, hanyalah dari segi-segi<br />
kepenting-an dirimu sendiri yang sempit." Kemudian<br />
baginda melanjutkan pula, "Sekarang segala yang dahulu<br />
kami kuatirkan terjadi. Engkau bersitahan dengan dirimu,<br />
engkau tidak mau me-lepaskan istrimu, karena kauanggap<br />
itu akan me-ngurangi kebahagiaanmu. Namun, sececah<br />
pun ti78 dak pemah kauperhatikan kebahagiaan orang lain<br />
kebahagiaan manusia yang menjadi kawula dalam dua<br />
buah kerajaan!" a Qalam Raden Panji tidak menyahut.<br />
"Raden Panji! Tidakkah kausadari, bahwa per-nikahanmu
dengan Dewi Sekar Taji akan membawa dua buah<br />
kerajaan ke dalam gerbang kebahagiaan?" "Ampun Gusti,<br />
bagi hamba kerajaan adalah sesuatu yang tidak jelas.<br />
Apakah artinya kerajaan, karena hamba sendiri pun bagian<br />
yang tak terpi-sahkan dari kerajaan Janggala!" "Kerajaan<br />
adalah segala sesuatu yang hidup di dalamnya. Kerajaan<br />
bukanlah batas-batas, bukanlah sungai-sungai, bukanlah<br />
gunung-gunung, tetapi manusia-manusia yang menjadi<br />
kawulanya. Ma-nusia-manusia itu yang mesti kaulihat.<br />
Manusia-manusia yang sama seperti engkau, seperti<br />
istrimu, yang sama-sama merindukan kebahagiaan dalam<br />
hidupnya." 'Tetapi apakah benar kebahagiaan mereka itu<br />
tergantung dari ketidakbahagiaan hamba, ampun Gusti?"<br />
"Ketidakbahagiaanmu? Nyatalah, nyata bahwa engkau<br />
selalu melihat sesuatu dari dirimu yang sempit, yang picik,<br />
yang serakah. Engkau menye-butnya ketidakbahagiaan,<br />
padahal sesungguhnya pengurbanan. Dan sebagai<br />
seorang putra mahkota yang kelak memangku takhta<br />
kerajaan, engkau mesti menganggap bahwa pengurbanan<br />
yang kau79 berikan untuk kebahagiaan kawula negara dan<br />
untuk kemanusiaan umumnya, adalah satu-satunya<br />
kebahagiaan. Makin besar pengurbanan yang kauberikan,<br />
makin besar kebahagiaan yang kau-dapat. Karena,<br />
kebahagiaan seorang raja adalah kalau ia telah bisa<br />
meleburkan diri beserta kepen-tingan-kepentingannya<br />
yang sempit untuk kebahagiaan kawula serta manusia<br />
yang mulia.'1 "Ampun Gusti, tetapi benarkah kawula kedua<br />
buah negara akan lebih merasa berbahagia di bawah<br />
pemerintahan satu mahkota daripada terpecah dalam dua
mahkota?" "Raden Panji! Tak usah engkau mencari-cari<br />
persembunyian dalam silat lidah yang pintar.Yang kami<br />
minta bukanlah kepintaranmu berkata, melainkan<br />
kesediaanmu mengurbankan kepen-tingan dirimu sendiri<br />
yang sempit demi kebahagiaan kerajaan, untuk mencapai<br />
cita-cita yang luhur. Cita-cita yang hendak mewujudkan<br />
kembali usaha moyangmu sang Airlangga!" "Namun,<br />
bahkan sang Airlangga sendiri tidak berdaya, pada akhir<br />
hayatnya baginda terpaksa membagi dua kerajaan ..."<br />
"Itulah yang hendak kita persatukan kembali!" "Empu<br />
Bharada telah membuatkan batas dan ia seorang yang<br />
sakti." "Kita akan melenyapkan kesaktian Empu Bharada.<br />
Kita hendak menghapuskan batas yang dia bikin." 80 -<br />
Ampun Gusti, mengapa justru hamba yanR dUadikan<br />
kurban dalam usaha hendak menV-puskan kesaktian<br />
Empu Bharada- Mengapa hambi yang mesti membenkan<br />
pengurbanan sebesaruV" "Tidak ada yang besar. kalau<br />
kau telah sampai dalam arti Besar yang sesungguhnya.<br />
Tak ada yang berat untuk dilakukan, kalau kau mengerti<br />
ujud Berat yang sesungguhnya. Besar dan berat hanyalah<br />
ukuran yang dibuat oleh manusia berdasarkan<br />
perasaannya yang sempit itu. Kalau kau melihat-nya dari<br />
keluasan pandangan, dari kepentingan umat manusia yang<br />
banyak, maka semuanya menjadi kecil dan tak berarti.<br />
Engkau, Raden Panji, seorang yang sudah kenyang<br />
berguru dan bertapa. tentu akan mengerti tujuan hidupmu<br />
yang benar.. ¦ ¦ "Ampun Gusti, dalam hidup hamba yang<br />
sing-kat, sering kegelapan menutup selumh pandangan.<br />
Meraba-raba hamba terantuk-antuk mencari jalan. Tak ada
cahaya yang memberi petunjuk. Alam buana bagaikan tak<br />
bennatahari. Hingga .. hingga sampai pertemuan hamba<br />
dengan Dewi Anggraeni. Dialah yang memberi hamba<br />
sinar. Dialah yang menjadi pelita, yang menjadi bintang,<br />
yang menjadi bulan, yang menjadi matahari dalam hidup<br />
hamba. Karena itu, bagaimana mungkin hamba menyisihkannya?<br />
Bagaimana mungkin hamba menggeser-nya?"<br />
"Tetapi Raden Panji engkau seorang putera 81 mahkota.<br />
yang berhak atas takhta kerajaan Janggala. tujuan hidupmu<br />
tidaklah hanya sampai ke pangkuan Dewi Anggraeni<br />
belaka!" "Ampun Gusti!" "Sanggupkah engkau<br />
menghilangkan dirimu sendiri demi kepentingan<br />
kebahagiaan kawula dua buah kerajaan* Sangguplah<br />
engkau mclenyapkan dirimu dan cintaimi pada Dewi<br />
Anggraeni untuk kebahagiaan manusia lain yang banyak<br />
dan untuk kcmanusiaan? Sanggupkah engkau meleburkan<br />
dirimu sendiri demi kepentingan cita-cita yang agung serta<br />
luhur dan suci? Sanggupkah engkau?" "Ampun Gusti.<br />
unmk menyisihkan Dewi Anggraeni hamba . . . hamba<br />
tidak sanggup." sahut Raden Panji Kuda Waneng Pati.<br />
Sang baginda makin geram, Dari matanya bagaikan<br />
berpancaran lelatu-lelatu api. Suasana dalam balairung<br />
sangat tegang. Tak seorang pun yang berani mengangkat<br />
muka. Mereka semua menunduk. Mereka mendengarkan<br />
dengan diam-diam percakapan antara raja dengan putra<br />
mahkota. Tetapi tatkala menyaksikan bahwa suasana<br />
sudah sampai ke puncak. patih Prasanta yang tua. yang<br />
sejak masih muda menghambakan diri kepada baginda<br />
Jayantakatunggadewa dan menjadi salah seorang patih
kepercayaan. dan menjadi salah seorang guru putra<br />
mahkota, segera menghaturkan sembah. 82 "Ampun Gusti,<br />
perkenankan hamba mi-n.K ^rican sembah sepatah dua."<br />
mcn8h* Sang baginda menolehkan wajahnya ke arah<br />
sumber suara. "Kakang Prasanta!" tegumya. "Bicaralah'"<br />
"Ampun gusti, perkenankan hamba berbicara kepada<br />
Raden Panji. "Baiklah, Kakang! Berbicaralah kepadanya"<br />
Patih Prasanta mengarahkan mukanya kepada Raden<br />
Panji, kemudian ia bicara dengan suara yang tenang.<br />
"Raden, istri Raden Dewi Anggraeni adalah seorang yang<br />
luas pandangannya. Ia tentu mengerti akan pentingnya<br />
pertunangan Raden dengan Dewi Sekar Taji dilanjutkan<br />
dengan pemikahan. Ia tentu akan dengan rela memberikan<br />
kedudukan-nya di samping Raden kepada Dewi Sekar Taji<br />
yang memang lebih berhak ..." Raden Panji menolehkan<br />
wajahnya. "Mamanda Patih Prasanta, Dewi Anggraeni<br />
seorang yang luas pandangannya, memang! Memang tak<br />
mustahil ia akan dengan rela memberikan tempatnya<br />
kepada Dewi Sekar Taji. Tetapi hamba tidak mungkin<br />
menipu diri hamba sendiri. Hamba tidak bisa membohongi<br />
diri hamba sendiri: hamba tidak mau menyisihkan cinta<br />
hamba, tidak mau menggesernya untuk orang lain!"<br />
"Raden, tetapi kalau Raden menikah dengan Dewi Sekar<br />
Taji itu bukan berarti bahwa Raden 83 menyisihkan atau<br />
mcnggcscr cinta Raden. Raden hanya mcmenuhi<br />
kewajiban Raden sebagai seorang satria yang sadar akan<br />
tanggungjawabnya. Raden seorang putra mahkota. Putra<br />
mahkota kerajaan Janggala yang jaya." "Hamba tidak<br />
peduli. Mamanda Patih! Hamba tidak ingin menjadi
seorang satria, seorang putra mahkota! Mengapa hamba<br />
tidak boleh hidup sebagai seorang manusia biasa. yang<br />
boleh mengecap kebahagiaan hidupnya secara sesuka<br />
hatinya, menurut pilihan hatinya sendiri?" "Karena<br />
kebahagiaan seorang putra mahkota atau seorang raja,<br />
bukanlah dalam mengjkuti kehendak hatinya. tetapi dalam<br />
pengabdiannya kepada kerajaan dan kawulanya." "Hamba<br />
tidak menemui kebahagiaan dalam hidup seperti itu.<br />
Mamanda Patih. Hamba tidak ingin hidup seperti itu.<br />
Hamba tidak peduli apakah hamba seorang putra mahkota<br />
atau bukan, seorang pangeran ataupun bukan. Ambillah<br />
kedu-dukan putra mahkota itu, tetapi jangan usik Dewi<br />
Anggraeni dari samping hamba!" "Raden Panji Kuda<br />
Waneng Pati!" teriak baginda tatkala mendengar<br />
perkataan putranda yang terakhir. bahRaden Pan* ^rkejut,<br />
segera menghaturkan sem-"Daulat Gusti!" "Engkau<br />
berbicara seperti orang yang tidak wa84 ^ . . . baginda<br />
tertegun, merasa terlanh,, w ^i»-tnya ten>otong. lalu men c,"<br />
ada patih Prasanta. 'Kakang Prasanta'" 1 d "Daulat Gusti!"<br />
"Sudahlah! Tak ada gunanya Kakang berbicara pula.<br />
Raden Panji memang sudah tak mau ber pisah dengan<br />
Dewi Anggraeni. Selama ada Dewi Anggraeni. agaknya<br />
Raden Panji takkan sudi memikirkan hal yang lain kecuali<br />
cintanya itu saja. Karena itu . . . ," baginda tcrmenung<br />
sejenak, baru kemudian melanjutkan dengan suara yang<br />
berubah. "biarlah! Tak usahlah hal itu kita bica-rakan lagi.<br />
Raden Panji, bukankah engkau merasa berat menikah<br />
dengan Dewi Sekar Taji lantaran di sampingmu ada Dewi<br />
Anggraeni yang kaucintai sepenuh hati?" "Daulat Gusti,
demikianlah adanya." Baginda merenung ke kejauhan.<br />
Meskipun berbicara dengan Raden Panji, baginda tak<br />
melihat ke arah putranda. Suasana dalam balairung<br />
tegang. Orang-orang merasa heran lantaran mendengar<br />
suara baginda yang berubah, rendah dan seolah-olah tidak<br />
menyala-nyala lantaran amarah seperti tadi, namun<br />
terdengar-dengar gemetar, gugup dan gelisah. Setelah<br />
sejenak hening, baginda bersabda pula. dengan suaranya<br />
yang gemetar serta gugup itu, "Raden Panji! Kami hargai<br />
kebesaran cintamu kepada istrimu Dewi Anggraeni. Cinta<br />
yang kause85 but cinta suci. Cinta yang telah<br />
menyebabkan engkau rela kendati melepaskan<br />
kedudukanmu sebagai putra mahkota!" "Daulat Gusti,"<br />
sembah Raden Panji dengan suara setengah berbisik.<br />
"Dewi Sekar Taji tak mungkin kaunikahi karena di<br />
sampingmu ada Dewi Anggraeni, bukan?" "Daulat Gusti."<br />
Baginda mcnghela nafas pula. Matanya redup memandang<br />
ke kejauhan. Dan wajahnya bagaikan berk eras hati<br />
hendak mengambil keputusan yang sangat berat namun<br />
terpaksa. "Tetapi. Raden Panji. engkau pun tahu. pertunanganmu<br />
dengan Dewi Sekar Taji telah dires-mikan.<br />
Perjanjian telah diadakan antara dua kerajaan." Raden<br />
Panji tidak menyahut, hanya menghaturkan sembah. tanda<br />
ia mengetahui apa yang di-sabdakan baginda. Suara<br />
baginda tiba-tiba berubah. memaksakan diri supaya tegas<br />
dan hendak mengambil keputusan, kemudian bersabda<br />
dengan suara yang angker lagi. "Raden Panji, engkau<br />
masih ingat. beberapa waktu yang lalu sang Kili Suci<br />
datang mengun-jungi kita, bukan?" "Daulat Gusti." "Tetapi
engkau barangkali tidak tahu, bahwa kedatangan sang Kili<br />
Suci itu adalah bersangkutan 86 dengan pemikahanmu<br />
dengan Dewi Sekar Tail -"Ampun Gusti, hamba tidak tahu "<br />
karena sekarang kau telah pasli dak menikah dengan<br />
Dew, Sekar Taji selama Dewi Anggraeni ada di<br />
sampingmu. maka kami titahkan sang samengkau<br />
sekarang juga menghadap kepada Kill Suci. Sampaikan<br />
halmu kepadanya dan paikan takzim serta sembah kami."<br />
Raden Panji bingung.- Ia sia-sia mengikuti arah<br />
pembicaraan ramanda. Ia tidak mengerti arah percakapan<br />
ramanda. Tetapi dengan disebutnya sang Kili Suci, hatinya<br />
terbuka. Sang pertapa yang arif itu tentu maklum akan<br />
cintanya yang besar kepada Dewi Anggraeni. Sang<br />
pertapa itu tentu akan menolongnya. "Daulat Gusti,"<br />
sembahnya dengan suara sarat harap. "Nah, berangkatlah<br />
engkau sekarang jua ke Pucangan. Sampaikan semuanya.<br />
Dan mintalah engkau nasihat sang Kili Suci, entah<br />
bagaimana nasihatnya untuk memecahkan halmu itu."<br />
"Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi dengan<br />
demikian, apakah persoalan pemikahan telah dianggap<br />
selesai?" Baginda melengos. "Kami menitahkanmu ke<br />
Pucangan, untuk meminta nasihat sang Kili Suci mengenai<br />
hal ini. Mudah-mudahan ia menunjukkanmu jalan yang<br />
sebaik-baiknya ditempuh. Mudah-mudahan iamak87 lum<br />
akan keadaan dan kehendakmu dan memberi-mu petunjuk<br />
ke jalan yang benar. Berangkatlah segera." "Hamba akan<br />
berangkat sekarang juga, tetapi perkenankan sebelum<br />
langsung menuju ke Pucangan, hamba pulang dahulu akan<br />
mengabarkan keberangkatan hamba kepada istri hamba
Dewi Anggraeni." "Mengingat bahwa persoalan ini penting,<br />
dan kepada utusan dari Kadiri yang sekarang sedang<br />
menanti keputusan, kita mesti memberi jawaban secepat<br />
mungkin, kutitahkan engkau langsung menuju ke<br />
Pucangan. Makin cepat makin baik. Mengenai istrimu, tak<br />
usah kau merasa kuatir. Keberangkatanmu akan<br />
dikabarkan juga kepadanya oleh salah seorang<br />
saudaramu." "Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi<br />
perkenankan hamba meminta kawan buat di jalan." "Tentu,<br />
tentu engkau mesti berkawan. Baiklah Kakang Prasanta,<br />
Kakang kawani Raden Panji Kuda Waneng Pati ke<br />
Pucangan. Kalau masih perlu, bawa beberapa orang<br />
ponggawa. Pilihlah sesuka-mu." "Titah hamba junjung,"<br />
sahut Patih Prasanta sambil menghaturkan sembah.<br />
"Ponggawa akan hamba pilih beberapa orang, mengingat<br />
sekarang musim hujan, jalan ke Pucangan tentu licin. Para<br />
ponggawa akan membawa kuda cadangan." 88<br />
"Sesukamu, Kakang. Persiapan dan dctspH" buat bekal di<br />
jalan, kami percayakan kepi?!? kang- Berangkatlah<br />
sekarang juga." "Daulat Gusti." "Raden Panji." "Ampun<br />
Gusti." "Ingat, engkau mesti langsung menuju ke Pucangan,<br />
jangan membelok atau singgah ke tempat lain dahulu."<br />
"Ampun Gusti, hal itu akan hamba ingatkan." "Sekarang<br />
berangkatlah segera." "Hamba minta diri, mengharapkan<br />
restu Gusti selama dalam perjalanan." "Perjalalananmu<br />
untuk kepentingan kerajaan, menyangga titah raja, kami<br />
restui." Setelah menghaturkan sembah, Raden Panji bersama<br />
Patih Prasanta segera mengundurkan diri dari<br />
balairung. Sejenak di bagian belakang bala-irung
terdengar hiruk-pikuk. Beberapa nama ponggawa disebut,<br />
akan dibawa ke Pucangan, menga-wani putra mahkota<br />
yang hendak mengunjungi sang Kili Suci. Persiapanpersiapan<br />
segera diada-kan, kemudian terdengar suara<br />
ringkik kuda yang makin lama makin menjauh. Sementara<br />
terjadi kesibukan itu, sang baginda duduk di atas<br />
singgasana, dengan kepala tertunduk, kening berkerut.<br />
Dari wajahnya nampak seolah-olah telah mengambil suatu<br />
keputusan yang berat, lelah dan payah. Nafasnya turunnaik,<br />
keh8" hatan dari gerakan-gerakan teratur<br />
punggungnya. Suasana dalam balairung hening. Tak<br />
seorang pun berani mengganggu baginda yang kelihatan<br />
sedang asyik berpikir. Akhirnya baginda mengangkat<br />
kepala. Wajahnya nampak keruh seolah hatinya dibebani<br />
sebuah gunung. Sebelum bersabda. terlebih dahulu<br />
baginda mengusap wajahnya dengan kedua belah telapak<br />
tangan. "Tumenggung Braja Nata!" sabdanya kemudian.<br />
"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan hati<br />
kebat-kebit, terpengaruh oleh suasana yang menekan,<br />
suaranya perlahan. "Tumenggung Braja Nata!" baginda<br />
mengulangi sabdanya dengan suara naik tiba-tiba. "Daulat<br />
Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan suara lebih<br />
keras. "Patik menanti titah Gusti." Sejenak baginda melihat<br />
ke arah Tumenggung Braja Nata, tetapi kemudian segera<br />
mengalihkan pandangannya pula ke kejauhan. "Engkau<br />
sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi di sini, bukan?<br />
Engkau memperhatikan-nya?" "Daulat Gusti!" "Engkau<br />
mengerti apa sebabnya maka Raden Panji kuritahkan ke<br />
Pucangan?" "Ampun Gusti, untuk menemui sang Kili Suci!"
90 Baginda tertawa hambar. -Tidak! Bukan itu maksudku<br />
yan„ . nya. Titahku agar dia menghada'p k^adaTan, Kili<br />
Suci hanya agar mempermudah maksud y2<br />
sesungguhnya^ Tahukah kau apa maksudku yane<br />
sesungguhnya?' ydng "Ampun Gusti, hamba kurang tahu."<br />
"Titah kami kepada Raden Panji hanya mempermudah<br />
jalan untuk maksud yang sesungguhnya . . . baginda<br />
berhenti sejenak. "Dan maksud yang sesungguhnya itu<br />
akan kami bebankan di atas bahumu." "Ampun Gusti, bagi<br />
hamba belum jelas juga titah itu. Selama hayat dikandung<br />
badan, hamba akan berusaha melaksanakan segala titah<br />
gusti, meski mesti menempuh lautan api ataupun gunung<br />
braja." Baginda menghela nafas. "Demikianlah hendaknya<br />
semangat seorang satria. Satria Janggala yang tahu akan<br />
kewajibannya," baginda bersabda pula. "Tetapi tugasmu<br />
bukanlah menempuh lautan api ataupun menerjang gunung<br />
braja, melainkan ..." baginda berhenti pula sejenak. "Tidak,<br />
bukan itu titah yang akan kami bebankan kepadamu,<br />
melainkan . . . sang baginda menghunus keris yang<br />
tersandang. Baginda mengamati matanya yang tajam dan<br />
ukiran-ukiran nya yang indah. "Tumenggung Braja Nata.<br />
kau-lihatkah keris ini tclanjang, tak bersanmg?" 91<br />
Tumenggung Braja Nata tidak mengerti makna pertanyaan<br />
ayahanda, tetapi ia menyahut juga, "Daulat Gusti." "Keris<br />
ini keris pusaka, yang selalu dipakai oleh setiap raja<br />
Janggala. Dari Nenenda ia hirun kepada Ayahanda dan<br />
sekarang ia ada pada kami. Umumya sudah tua. Tetapi ia<br />
masih indah dan masih baik. Jarang empu yang pandai<br />
membuat keris sebagus ini," lalu baginda menjentikkan
telunjuknya kepada ujung keris, bunyinya nya-ring "cringcring-cring<br />
1 menggema di seluruh ba-lairung yang seperti<br />
mati. Orang-orang dengan heran mengawasi kelakuan raja<br />
mereka dengan diam. Mata mereka terbuka lebar, kuatir<br />
sesuatu terjadi tanpa mereka saksikan. "Dengar, suaranya<br />
sangat nyaring. Sungguh keris yang jarang tanding-nya!<br />
Hmmmh. ia kini telanjang, tak bersarung, perlu mendapat<br />
sarung baru!" Kemudian baginda menatap Tumenggung<br />
Braja Nata. "Tumenggung Braja Nata! Kepadamulah tugas<br />
untuk memberi sarung bam keris ini terpikul!" Tumenggung<br />
Braja Nata tidak mengerti akan ujud perkataan baginda.<br />
Tadi baginda akan meni-tahkannya melaksanakan titah<br />
yang berat, tetapi temyata titah itu cuma mencari sarung<br />
baru buat keris pusaka! Meskipun keris itu keris pusaka,<br />
namun perkara itu agaknya tidak begitu penting kalau<br />
mengingat soal yang sejak tadi dibicarakan. Ia tidak<br />
mengerti. Ia samasekali tidak mengerti. 92 Tetapi menolak<br />
titah ia pun tidak berani -Daulat Gusti, titah hamba junjung<br />
di atas hah. kepala patik," sembahnya. Bmatasbatu •'Kami<br />
ingin agar segera dilaksanakan* Sekarano juga!" sabda<br />
baginda tegas. "Daulat Gusti," sahut Tumenggung Braja<br />
Nata •Tetapi empu manakah yang berkenan dengan hati<br />
Gusti untuk memberi sarung bam buat keris pusaka<br />
kerajaan Janggala itu?" Baginda menatap Tumenggung<br />
Braja Nata. "Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda keras-keras.<br />
"Daulat Gusti!" "Bukankah engkau tadi<br />
mendengarkan apa yang kami sabdakan dalam balairung<br />
ini? Bukankah engkau tadi mendengarkan percakapan<br />
kami dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati mengenai
pemikahannya dengan Dewi Sekar Taji?" "Daulat Gusti!"<br />
"Engkau mengerti?" "Hamba, ham . . . hamba mengerti,<br />
Gusti!" "Nan, kalau engkau mengerti, maka pergilah<br />
engkau sekarang mencari sarung bam buat keris pusaka<br />
kerajaan Janggala ini! Demi kelangsungan cita-cita luhur<br />
sang Airlangga! Berangkatlah sekarang juga!" "Ampun<br />
Gusti, tetapi bagaimanakah bentuk sarung baru yang Gusti<br />
kehendaki, seperti yang lama sajakah atau . .. ?" 93<br />
'Tumenggung Braja Nata!" potong sang baginda. "Daulat<br />
Gusti!" "Benar-benarkah engkau mengerti akan maksud<br />
kami? Benar-benarkah engkau menyimakkan segala<br />
sabda kami kepada Raden Panji? Benar-benarkah engkau<br />
mengerti akan segala apa yang kaudengar tadi di sini?"<br />
"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tak<br />
mengerti. "Kau sadar akan arti persatuan Janggala dan<br />
Kadiri untuk mewujudkan cita-cita agung mo-yangmu sang<br />
Airlangga?" "Daulat Gusti." "Satu-satunya jalan mencapai<br />
cita-cita yang agung itu adalah dengan menikahkan Raden<br />
Panji Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri<br />
Dewi Sekar Taji. Kau mengerti?" "Hamba. Gusti." 'Tetapi<br />
untuk sampai pada pemikahan itu ada rintangan. Raden<br />
Panji Kuda Waneng Pati tidak mungkin menikah dengan<br />
Dewi Sekar Taji kalau di sampingnya ada istri yang sangat<br />
dicintai-nya, Dewi Anggraeni. Rintangan mesti dihilangkan,<br />
supaya jalan menuju cita-cita yang luhur serta agung tidak<br />
terganggu. Pada pundakmulah kami bebankan tugas untuk<br />
menghilangkan rintangan itu. Terimalah keris pusaka yang<br />
tidak bersarung mi! Dengan keris pusaka ini kau mesti<br />
mcnghi94 |angkan rintangan satu-satunya yang menghalan*
kita mencapai tujuan yang mulia, cita-cita yane tinggi-<br />
Sarung kens ini tak mungkin kaucari pada empu siapa pun<br />
juga, betapa pun pandainya ia bertukang. Ia mesti kau beri<br />
sarung dalam diri orang yang menjadi rintangan bagi<br />
tercapainya cita-cita yang agung!" Sehabis berkata-kata<br />
itu. baginda terduduk di atas kursinya. Giginya tergigit<br />
keras. seolah-olah menguat-nguatkan hati. Kelihatan<br />
baginda sangat lesu dan letih. Keringat bermanik-manik di<br />
dahi-nya. Tumenggung Braja Nata juga terhenyak. la<br />
mengerti kini ujud titah baginda. Dewi Anggraeni! Dewi<br />
Anggraeni! Dewi Anggraenilah sarung bam keris pusaka<br />
yang dimaksudkan ayahanda! Dewi Anggraeni menjadi<br />
penghalang tercapainya cita-cita baginda untuk<br />
mempersatukan Janggala dengan Kadiri! Dan penghalang<br />
itulah yang mesti dimusnahkan! Jalan mesti direntas dari<br />
segala penghalang! Jalan mencapai cita-cita mesti luas<br />
dan lurus! Dan ia, ia, ia, Tumenggung Braja Nata<br />
mendapat tugas untuk merentas jalan itu! Untuk<br />
menghilangkan segala penghalang! Untuk mele-nyapkan<br />
segala rintangan! Untuk untuk - untuk menjadikan Dewi<br />
Anggraeni sanmg bam bagi keris pusaka Janggala! Ia! Ia<br />
mesti melakukan tugas itu! la bukan harus menerjang<br />
lautan api atau mengalahkan sebuah kerajaan! Ia bukan<br />
dititah95 kan menenang gunung braja atau mcnumpas<br />
pcm-berontakan! la bukan dititahkan mcngeringkan segara<br />
atau merebut sebuah negara buat memper-luas daerah!<br />
Tidak! Ia hanya dititahkan untuk menghapuskan Dewi<br />
Anggraeni! Dewi Anggraeni! Ia tahu. Dewi Anggraeni istri<br />
saudaranya. Raden Panji Kuda Waneng Pati. seorang
yang cantik. halus, lemah lembut. sopan. ibarat sebuah<br />
bunga! Mengapa ayahanda tidak menitahkannya mengalahkan<br />
seekor maean yanggalak. melainkan mema-tahkan<br />
setangkai bunga yang sedang kembang? Dewi Anggraeni<br />
bagaikan selitik embun yang bersih. yang dengan<br />
mcnyentuh pel an-pel an daun tempatnya memercik akan<br />
jatuh ke muka bumi. Mengapa ayahanda menitahkannya<br />
untuk nienja-tuhkan embun yang cerlang ditimpa matahari<br />
pagi itu dan tidak menitahkannya saja memben-dung kali<br />
Brantasyang besar? Ah. Dewi Anggraeni. Dewi<br />
Anggraeni... Tumenggung Braja Nata merasa tubuhnya<br />
meng-gigil. Hatinya menjadi lemah dan jantungnya seakan-akan<br />
berhenti berdenyut. la merasakan seluruh sendisendinya<br />
lesu tak bertenaga. Bahkan selumh tubuhnya<br />
terasa tak berdaya. tak berke-kuatan. hanya seonggok<br />
beban yang memberati jiwa. "Tumenggung Braja Nata!"<br />
titah baginda pula. Dengan tangan yang menggigil,<br />
Tumenggung Braja Nata menghaturkan sembah. suaranya<br />
pun 96 gemetar. "Daulat Gusti!" ••Mengertikah kau<br />
sekarang? Tahukah kau v karang akan tugas yang kami<br />
bebankan di Z bahumu: "Da . . .daulat Gusti! Hamba ...<br />
ham ... hamba mengerti." Baginda memberi titah pula.<br />
"Sekarang kau telah mengerti akan tugasmu. Maka<br />
lakukanlah sekarang apa yang telah kaumengerti itu."<br />
"Tetapi . . . tetapi. Gusti. ham . .. hamba ..." "Tumenggung<br />
Braja Nata! F.ngkau seorang satria! Seorang satria<br />
Janggala yang perwira! Fng-kau akan menjadi contoh bagi<br />
sekalian satria Janggala! Keperwiraanmu akan menjadi<br />
teladan. Untuk mencapai cita-cita yang agung, yang hasil-
nya akan membawa kawula kerajaan. manusia. ke<br />
gerbang kebahagiaan, engkau mesti berani<br />
menghancurkan dirimu, perasaan-perasaanmu sendiri<br />
yang sempit, melenyapkannya buat kepentingan<br />
kebahagiaan umat manusia yang banyak! Engkau mesti<br />
berani menghilangkan dirimu yang kecil. yang tak berarti<br />
beserta lingkunganmu yang juga sempit! Engkau seorang<br />
satria, engkau sejak kecil telah membaca kitab<br />
Mahabharata yang suci. Engkau telah menyimakkan<br />
Bhagawad Gita, petua-petua Batara Kresna terhadap<br />
Arjuna yang ragu Demikianlah keadaanmu sekarang!<br />
Engkau adalah Arjuna yang mesti melenyapkan perasaanperasaan<br />
97 persaudaraan yang sempit demi<br />
kebahagiaan per-saudaraan yang lebih luas. Engkau<br />
adalah Arjuna yang mesti tidak gentar melawan Kaurawa<br />
yang masih berasal dari satu turn nan Bharata untuk<br />
membela kebenaran dan cita-cita kemanusiaan yang<br />
mulia! Engkau ingat akan nasihat Batara Kresna? Maka<br />
simakkanlah segala petua Sang Wisynu itu dan<br />
tempatkanlah dirimu pada kedu-dukan SangJanaka!"<br />
Sang Janaka! Ia, Tumenggung Braja Nata adalah sang<br />
Janaka di Kurusetra! Sang Janaka yang mesti<br />
meienyapkan keragu-raguan hatinya dan berbulat tekad<br />
untuk berkelahj dan membunuh saudara-saudara, orangtua<br />
dan bahkan gurunya! Namun alangkah canggung! Sang<br />
Janaka menghadapi musuh-musuhnya, kebanyakan lakilaki<br />
di medan peperangan Kuru! Musuh-musuhnya yang<br />
juga mempertahankan diri, melawan, menyerang! Tetapi<br />
Dewi Anggraeni? Ia hanya seorang wanita! Akan sampai
hatikah ia berbuat kejam terhadap seorang wanita?<br />
Seorang wanita yang takkan mungkin melawannya?<br />
Wanita yang adalah istri tercinta saudaranya sendiri?<br />
Akankah sampai hatinya? Tumenggung Braja Nata<br />
tertunduk. Ia tidak berani menengadahkan pandangannya,<br />
kuatir ber-bentrok dengan sinar mata ayahanda. Padahal<br />
sesungguhnya, tak usah hal itu dia takuti, karena ayahanda<br />
sendiri selalu menghindarkan pandangannya ke arah Iain.<br />
98 Beberapa jenak suasana balairung hening dan tegang.<br />
"Tumenggung Braja Nata! Ketahuilah, bahwa kami sendiri<br />
hancur hati mengambil keputusan ini! Tetapi demi cita-cita<br />
persatuan Janggala dan Kadiri yang agung, kami tempuh<br />
juga jalan satu-satunya ini. Kami mencoba meienyapkan<br />
diri dan pe-rasaan-perasaan sendiri yang sempit untuk<br />
mela-pangkan jalan menuju cita-cita luhur. Maka engkau<br />
juga, Braja Nata, anak yang lahir dari darah kami sendiri,<br />
engkau juga harus sanggup meienyapkan dirimu dan<br />
perasaan-perasaanmu sendiri yang sempit demi<br />
kepentingan cita-cita yang agung. Engkau yang kami pilih<br />
untuk menjalankan titah yang luar biasa ini, supaya Raden<br />
Panji, saudaramu itu, sadar bahwa segalanya kami tempuh<br />
demi kepentingan kebahagiaan manusia yang banyak.<br />
yang menjadi kawula dua buah kerajaan!" "Ampun Gusti,<br />
tetapi alangkah beratnya tugas hamba!" keluh<br />
Tumenggung Braja Nata. "Mengapa hamba tidak<br />
dititahkan saja menaklukkan para pemberontak atau k ram<br />
an yang ganas mengganggu ketentraman rakyat?<br />
Mengapa justru untuk . . . untuk . . . untuk mencari sarung<br />
baru bagi keris pusaka? Duhai Gusti! Hamba tak ... tak ... "
Baginda mengalihkan pandangannya ke arah Tumenggung<br />
Braja Nata. "Jangan engkau berbicara sebagai<br />
perempuan! Engkau adalah satria Janggala yang<br />
mengenai 99 kehormatan dirinya! Engkau adalah satria<br />
Janggala yang rela mengurbankan dirinya sendiri untuk<br />
kepentingan kerajaan dan kebahagiaan umat yang hidup di<br />
dalamnya! Engkau adalah Sang Janaka di medan Kuru!<br />
Engkau mesti tabah!" "Namun Gusti . . . ." sembah<br />
Tumenggung Braja Nata. "Yang hamba mesti hadapi<br />
bukanlah Arya Dursasana yang Iicik pelit, bukanlah Duryodana<br />
yang angkara murka! Yang mesti hamba hadapi...<br />
ampun Gusti!" Sang baginda menghcfa nafas pula.<br />
'Memang. tugasmu tidak ringan. Braja Nata. Itu kami<br />
sadari. Dan sesungguhnya bagi kami pun. tidaklah ringan<br />
memberi titah itu kepadamu. Namun demi kebahagiaan<br />
manusia yang menjadi kawula dua buah kerajaan. segala<br />
pertimbangan-pertimbangan kedirian mesti<br />
dikesampingkan. Kau mesti tabah! TerimaJah keris yang<br />
tak bersarung ini!" Baginda mengulurkan keris kepada<br />
Tumenggung Braja Nata. Tumenggung Braja Nata<br />
bagaikan lesu, tak bertenaga untuk menerima keris itu.<br />
Tetapi ia tak berani menolak titah baginda. "Terimalah<br />
Braja Nata! Engkau satria Janggala yang mesti memberi<br />
teladan kepada para satria lain!" "Am . . . am . . . ampun<br />
Gusti!" "Braja Nata! Berani kau menyanggah perintah<br />
rajamu? Kami, Prabu Jayantakatunggadewa, yang<br />
menguasai hidup serta mati seluruh mahluk yane ada di<br />
wiiayah kerajaan Janggala, menurunkan Utah kepada<br />
engkau, Tumenggung Braja Nata untuk melaksanakan
titahnya buat melapangkan jalan serta meienyapkan<br />
rintangan menuju tercapainya cita-cita kemanusiaan yang<br />
agung! Terimalah keris ini!" Tak berani lagi Tumenggung<br />
Braja Nata berbuat ayal. Suara sang baginda terdengar<br />
angker dan berpengaruh. Dengan jari-jari menggigil ia<br />
menerima keris yang diulurkan baginda. Benda dari logam<br />
yang tidak seberapa besar dan nampak ringan itu,<br />
bagaikan sebuah gunung besi yang berat sekali, menekan<br />
tangan, bahu dan seluruh dirinya. Dia hampir tidak<br />
sanggup memegangnya! Hampir terjatuh ke lantai, untung<br />
dengkulnya tetap, sehingga tak usah ia terjenmuk. Kcringat<br />
laksana mutiara berkilauan pada keningnya, dan tatkala<br />
ada angin yang semilir masuk dari celah-eelah, terasa<br />
keringat dingin memenuhi seluruh tubuhnya! Nafasnya<br />
sesak. jantungnya bagaikan tak sanggup berdenyut.<br />
"Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda kemudian.<br />
"Kami percayakan tugas unnik merentas jalan,<br />
melapangkan rintangan yang menghalangi tercapainya<br />
cita-cita kita yang suci! Kami percayakan kepadamu.<br />
seorang satria yang sadar akan ke-hormatan dan<br />
tanggungjawab dirinya! Engkau yang akan memberi<br />
teladan yang baik buat sa101 100 tria-satria lainnya di<br />
Janggala! Kami percaya, engkau akan melaksanakan<br />
tugasnu dengan baik!1' "Da... dau... daulat Gusli!" "Baiklah.<br />
Berangkat kau sekarang juga! Jangan kauperayalkan titah<br />
raja Janggala!" kemudian baginda menoleh ke arah<br />
Senapati Arya Suralaga, "Arya Suralaga!" Yang dipanggil<br />
terkejut bukan buatan. "Daulat Gusti!" "Andika kami<br />
titahkan untuk pergi mengawani Tumenggung Braja Nata
melaksanakan tugasnya. Andika mesti mengawasi supaya<br />
titah kami dilak-sanakan sebaik-baiknya. Andika jangan<br />
membiar-kan dia bertindak ayal atau menyalahi tugasnya!"<br />
"Da . . . daulat Gusti!" "Pergilah andika sekarang juga,<br />
bersama Tumenggung Braja Nata untuk memberi sarung<br />
bam kepada keris pusaka kerajaan Janggala! Cepat!"<br />
"Daulat Gusti!" Setelah itu, suasana balairung kembali<br />
sibuk. Mereka yang mendapat titah, sesudah meminta diri<br />
serta mendapat restu baginda segera melangkah ke luar<br />
dengan lesu. Sang baginda sendiri nampak lesu.<br />
Kcpalanya tertunduk. Akhimya baginda memberi isyarat<br />
bahwa persidangan bubar. Maka orang-orang pun<br />
mengundurkan diri dengan diam-diam. Peristiwa yang<br />
mereka saksikan tadi, sangat mencengkam hatinya<br />
masing-masing. Dan itu saja telah menyebabkan mereka<br />
cnggan berbicara. 102 TUMENGGUNG BRAJA NATA<br />
Tempat peristirahatan yang ditinggali Raden Panji beserta<br />
istrinya terletak agak jauh dari ibukota, berupa suatu istana<br />
kecil yang sangat indah dan menyenangkan, sangat cocok<br />
buat sepasang mer-pati yang sedang mengecap manisnya<br />
madu peng-hidupan. Hawanya sejuk serta segar, pern and<br />
an g-an pun menyedapkan. Sebuah tarn an yang asri,<br />
penuh dengan bunga-bungaan yang aneka macam,<br />
berkembangan dengan indahnya, menyebarkan harum<br />
yang semerbak, Iembut disilir angin sepoi. Sungguh suatu<br />
tempat yang akan menyebabkan setiap orang iri hati!<br />
Setiap orang di segenap pen-juru kerajaan memuji-muji<br />
peruntungan Dewi Anggraeni yang menurut mereka sangat<br />
bagus! Seorang gadis keturunan orang keoanyakan, di-
ambil menjadi istri putra mahkota yang bakal mewarisi<br />
takhta kerajaan! Meski mereka semua tahu akan<br />
pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji, namun<br />
mereka menganggap bahwa pu103 lung telah jatuh pada<br />
diri dan nasib Dewi Anggraeni. Setiap saat Dewi<br />
Anggraeni melayani Raden Panji dengan wajah yang segar<br />
dan ria bahagia, dan setiap orang yang melihatnya tentu<br />
akan me-ngira bahwa gadis gunung itu menemukan<br />
kebahagiaan sempurna dalam is tan a kecil yang me-wah<br />
serta indah itu, didampingi suami yang sangat<br />
mencintainya. Bahkan Raden Panji Kuda Waneng Pari<br />
sendiri menyangka bahwa istrinya selama itu merasa<br />
bahagia benar-benar bahagia. Meskipun di antara kedua<br />
kekasih itu selalu saling mencintai, saling penuhi kehendak<br />
masing-masing. nikun dan penuh kasih sayang, namun<br />
badai yang mengamuk dalam kalbu Dewi Anggraeni boleh<br />
dikata tidak pemah reda. Dalam hatinya i yang daJam, nun<br />
jauh dalam relung-relung gelap, perasaan takut senantiasa<br />
mengintai. Ia merasa takut, cemas, kuatir. Ia sangat<br />
mencintai Raden Panji, dan merasa berbahagia bahwa<br />
Raden Panji telah menunjukkan cintanya pula yang besar<br />
dan agung dengan jalan menikahinya. Tetapi karena ia<br />
tahu bahwa Raden Panji seorang putra mahkota yang<br />
sudah dipertunangkan dengan putri mahkota pula, ia<br />
cemas kalau-kalau suatu kali Raden Panji akan<br />
meninggalkannya. Kadang-kadang kalau kebetulan ia<br />
sendirian. matanya merenung ke kejauhan, menatap ke<br />
ke104 tiadaan, mengenangkan hal-hal yang tak<br />
menenteramkan hatinya. "Kalau saja ia bukan seorang
putra mahkota . . . ," katanya dalam hati, "akan lebih<br />
sempurna rasanya bahagia kami! Ah, mengapa ia bukan<br />
seorang manusia biasa, keturunan orang kebanyakan<br />
saja?" Tetapi kepada suaminya tak berani ia mempertunjukkan<br />
sikap yang mungkin merusak suasana<br />
kebahagiaan. Ia sangat mencintai Raden Panji. Bukan<br />
karena ia seorang putra mahkota, tetapi hanya lantaran ia<br />
mencintainya. la ingin kekasihnya itu senantiasa merasa<br />
berbahagia. Ia tidak ingin melihat kekasihnya murung, atau<br />
merasa terganggu kebahagiaannya lantaran dirinya. Dan<br />
alangkah besamya cinta Raden Panji! Alangkah agungnya!<br />
Kalau teringat olehnya bahwa Raden Panji sudah<br />
dipertunangkan sejak masih kecil dengan Dewi Sekar Taji,<br />
kegamangan mengamuk dalam kalbunya. Ia merasa<br />
berdosa, ia merasa bersalah lantaran telah sudi diperistri<br />
Raden Panji. Tidak, ia tidak menolak lamaran Raden Panji,<br />
bukan hanya lantaran ia mencintai Raden Panji, tetapi<br />
lebih-lebih lantaran tahu betapa besar dan agungnya cinta<br />
Raden Panji kepadanya. Dia kuatir kalau Raden Panji<br />
akan berduka atau murung. Ia tak mampu membayangkan<br />
Raden Panji murung! Dia tak ingin menyebabkan orang<br />
yang dikasihi105 nya itu berduka! Lagipula Raden Panji<br />
Kuda Waneng Pati putra mahkota Janggala. mungkin akan<br />
murka lantaran merasa terhina jika lamarannya ditolak! Ah.<br />
bahkan Raden Panji juga agaknya sadar, bahwa<br />
perbuatannya itu berten tangan dengan ke-hendak<br />
ayahanda, sang baginda raja Janggala, temyata dengan<br />
pemikahan yang dilakukan diam-diam. Baru setelah<br />
mendapat berita dari ibunda, bahwa ia boleh menghadap
ayahanda akan mem-persembahkan halnya. mereka<br />
diterima dan mendapat restu baginda. Baginda merestui<br />
mereka dan nampak menyukai menantunya, tetapi dari<br />
sinar mata baginda, Dewi Anggraeni merasakan<br />
ketaktentraman. Pandangan baginda seolah-olah<br />
menyalahkan dia, dia yang mungkin dianggap telah<br />
memikat Raden Panji! Pandangan baginda itulah yang<br />
menyebabkan ia kadang-kadang tak bisa memejamkan<br />
matanya. Pandangan yang dingin, tapi bagaikan menusukkan<br />
logam tajam ke dalam jiwa, tak terperikan. Tidak, Dewi<br />
Anggraeni tidak dendam kepada pandangan baginda yang<br />
demikian dingin itu. Malah ia merasa bersalah, nun jauh<br />
dalam relung hatinya, merasa bahwa tuduhan yang<br />
dilempar-kan baginda meialui pandangan matanya itu<br />
benar. Ya, ia telah bersalah, bersalah .... Tetapi cinta begitu<br />
besar' Benarkah ia berhak duduk di samping putra 106<br />
mahkota Janggala yang suatu kali kelak akan men-duduki<br />
takhta? Benarkah ia berhak mengambil Raden Panji<br />
sebagai suami? Ia ingin kekasihnya bahagia, dan<br />
melakukan kewajibannya sebaik mungkin. Ia ingin<br />
kekasihnya itu jangan sampai berduka. Jangan sampai<br />
murung, tetapi senantiasa bersinar-sinar bagaikan mentari<br />
kemarau. Ia ingin Raden Panji memenuhi harapan dan citacita<br />
ayahanda yang besar. Ya, ia tahu akan cita-cita mulia<br />
Prabu Jayantaka hendak mempersatukan Janggala<br />
dengan Kadiri. Dan ia sering terumbang-ambing antara<br />
keinginan-keinginannya sendiri yang merindukan<br />
kebahagiaan yang damai dengan keinginannya supaya<br />
kekasihnya itu memenuhi harapan ayahanda. Dan kemarin
dulu suaminya menghadap ke bawah duli. lantaran<br />
mendapat titah yang tiba-uba dan sangat penting. Apakah<br />
gerangan yang akan dititahkan baginda? Perasaannya<br />
yang halus menduga bahwa titah ayahanda berhubungan<br />
dengan persoalan Dewi Sekar Taji. Dan tatkala Raden<br />
Panji hendak pergi, seakan-akan berat benar hatinya.<br />
Mengapa ia memandang begitu? Mengapa pandangan<br />
kekasihnya itu bagaikan meng-isaratkan suatu<br />
malapetaka? Mengapa berlainan daripada biasa,<br />
kepergian Raden Panji sekali ini meninggalkan perasaan<br />
sunyi bukan buatan? Sunyi yang lebih daripada kesepian<br />
lantaran orang yang dikasihi-dicintai tak ada di<br />
sampingnya? 107 MTak lama, Adinda, Kakanda takkan<br />
lama pergi. Bcsok atau selambat-lambatnya lusa, tentu<br />
Kanda kembali ke sampingmu . . . ." itulah perkataan<br />
Raden Panji sebelum berangkat. Sampai malam kemarin<br />
ia sia-sia menanti, Raden Panji tak kunjung datang.<br />
Perasaannya diamuk sepi yang luar biasa, lengang<br />
menyendiri, seakan seluruh dunia kehilangan sen. Dan<br />
kalbunya di-gundahi pertanyaan-pertanyaan yang tak<br />
menen-tramkan, "Apakah gerangan yang menyebabkan<br />
Raden Panji tidak pulang? Apakah titah baginda yang<br />
melantarankan Raden Panji dipanggil cepat-cepat dan<br />
sendirian saja? Adakah persoalan yang begitu penting?<br />
Persoalan apa? Persoalan negara? Persoalan kerajaan?<br />
Tetapi mengapa Raden Panji belum juga pulang?" Ia tidak<br />
bisa tenang. Duduk salah, berdiri pun bukan. Terbaring tak<br />
senang, berjalan pun serasa mengawang. Taman yang<br />
penuh bunga-bungaan aneka macam, tidak menghibumya,
ahkan seolah-olah bunga-bunga yang melambai dilanda<br />
angin semilir itu, menegumya dan bertanya; "Di mana-kah<br />
Raden Panji gerangan? Mengapa Tuan berjalan<br />
sendirian?" Burung-burung yang berkicau, terdengar<br />
murung, seperti turut berduka lantaran Raden Panji belum<br />
juga pulang. Setiap ada suara langkah mendekat, ia<br />
terjaga. Raden Panjilah itu!" katanya dalam hatinya sendin<br />
Tetapi tiap kali iakecewa 108 Setiap ada suara kuda lari,<br />
ia bangkit dan me-mandang ke luar, tetapi yang dinanti<br />
tidak kunjung muncul. Dan setiap saat, terbayang pula<br />
pandangan kekasihnya pada saat terakhir, sebelum<br />
berangkat. Alangkah aneh pandangan itu! Pandangan<br />
yang luar biasa, laksana mengisaratkan suatu perpisah-an<br />
berdinding mati! Suatu perpisahan akhir! Tim-bul<br />
pikirannya yang bukan-bukan, tetapi dengan kemauan<br />
sehat, diusimya dan disabar-sabarkannya dirinya. "Hanya<br />
bayang-bayangan hayali belaka!" ia menghibur dirinya<br />
sendiri. Emban Wagini, inang pengasuhnya yang sudah tua<br />
dan yang telah mengasuhnya sejak masih bayi, yang<br />
senantiasa berada di sampingnya itu, melihat gustinya<br />
gelisah dan senantiasa bersedih maka ia pun berduka.<br />
Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ia segera<br />
mengerti sebab-musababnya. Maka tak berani ia<br />
menyinggung-nyinggung Raden Panji di hadapan gustinya,<br />
senantiasa ia mengajak gustinya yang sangat dicintainya<br />
lebih daripada kepada jiwanya sendiri itu, bercakap-cakap<br />
tentang hal yang menyenangkan. "Gusti, lihatlah, matahari<br />
sangat indah dan alam nampak segar serta gembira!<br />
Tidakkali Gusti ingin bercengkrama ke tengah taman, me-
nyaksikan burung-burung menyanyi sambil meme-tik bunga<br />
mawar yang kembang indah? Cempaka 109 pun<br />
musimnya berbunga, Gusti, bunga-bunga itu meliuk-Iiuk<br />
meminta Gusti petik .. . " Dewi Anggraeni hanya mengeluh<br />
dan meng-hindari pandangan inang pengasuhnya itu. 'Tak<br />
baik Gusti bermuram durja sedang hari secerah ini!<br />
Kibaskan segala kemurungan yang suram itu! Batara akan<br />
murka, kalau segala anu-grahnya tidak kita terima dengan<br />
suka . . . " Sekali lagi Dewi Anggraeni mengeluh.<br />
"Bagaimana kami bisa bersuka cita, sedang di dalam hati<br />
selalu rusuh, lantaran Kakang Panji belum juga pulang?"<br />
akhirnya ia menyahut. "Gusti Panji berjanji akan pulang hari<br />
ini, tentu beliau akan menepati janjinya. Janji satria<br />
Janggala tak nanti tak ditepati . . . ," kata Emban Wa-gini<br />
menghibur. 'Kakang Panji berjanji kemarin akan pulang,<br />
kalau ada haiangan baru hari ini. Dan hari telah datang, ia<br />
belum pulang, ada haiangan apakah gerangan yang<br />
menahannya?" tanya Dewi Anggraeni. "Bibi, bukan sekali<br />
ini Kakang Panji meninggalkan kami, tetapi mengapa<br />
sekarang perasaan kami sangat berbeda? Mengapa<br />
merasa lengang tak menentu?" "Ah, itu perasaan yang tak<br />
karuan, jangan Gusti perturutkan juga! Gusti Panji akan<br />
segera datang. Ubih elok kalau Gusti bergembira, supaya<br />
jangan kerun nanti menyambut kedatangan Gusti Panji.<br />
Akan murka ia kepada bibi, kalau melihat Gusti 110<br />
bermuram durja Dewi Anggraeni menghela nafas dengan<br />
berat Matanya menghindari pandangan inang<br />
pengasuhnya yang setia itu. ••Lesu lelah rasanya tubuhku,"<br />
katanya kemu-dian perlahan. "Gusti mesti bersantap ... "
"Patah seleraku! Semua makanan seperti terse-kat di<br />
kerongkongan. Lagipula makan tidak dengan Kakang<br />
Panji ..." tak lanjut kalimatnya. "Bibi kapankah Kakang<br />
Panji pulang? Benarkah ia hari initiba?" "Gusti,<br />
junjunganku, Gusti Panji tentu akan pulang hari ini seperti<br />
dijanjikannya. Sekarang ia barangkali masih di jalan.<br />
Sebentar lagi, tentu. . tiba-tiba terdengar suara kaki<br />
kudanya dijauhan, Emban Wagini menengokkan<br />
kepalanya. "Lihat, lihatlah! Panjang usia Gusti Panji!<br />
Sedang kita bicarakan, dia datang! Tidakkah terdengar<br />
oleh Gusti suara ketiplak kuda datang mende-kat?"<br />
Menyirat darah pada wajan Dewi Anggraeni yang pucat<br />
lesi itu. Cahya kegembiraan membakar hatinya. Maka<br />
bangkitlah ia akan menyongsong kedatangan<br />
jungjungannya. "Kakang Panji! Benarkah ia datang?"<br />
terloncat tanyanya sarat kegembiraan. "Benarkah dia<br />
datang?" Ill 'Tidakkah Gusti dengar suara kuda<br />
mendekat?" sahut inang pengasuhnya. "Hai, dengan<br />
siapakah maka Gusti Panji berdua?" Dewi Anggraeni<br />
mempertajam matanya. "Tidak, tidak ..." kepaJanya<br />
menggeleng lemah. "yang datang itu bukan Kakang Panji<br />
bukan!" "Bukan Gusti Panji?" tanya Emban Wagini tak<br />
percaya. "Habis, siapa?" Wajah Dewi Anggraeni kembali<br />
pucat, bahkan lebih pucat daripada semula. Jantungnya<br />
bagaikan berhenti tiba-tiba. Dan darahnya seperti berhenti<br />
mengaiir. Hampir ia tak kuasa menopang tubuh. "Kakanda<br />
Braja Nata!" bisiknya mendesis hampir tak kedengaran.<br />
"Mengapa dia ke mari? Ke manakah Kakang Panji?<br />
Bukan, bukan, yang me-ngiringkannya pun bukan Kakang
Panji! Mana Kakang Panji? Mana?" Wagini memburu<br />
tubuh gustinya yang hampir rubuh. "Tenang, tenanglah,<br />
Gusti, tenanglah . . . , bujuknya. "Kanjeng Braja Nata tentu<br />
akan membawa berita tentang gusti Panji..." Dewi<br />
Anggraeni didudukkan baik-baik, tetapi tubuhnya yang lesu<br />
itu bagaikan tak lagi kuat duduk tegak. Tumenggung Braja<br />
Nata sementara itu telah menambatkan kuda, lalu naik<br />
akan menemui Dewi Anggraeni. Suasana puri itu sangat<br />
lengang, bukan 112 hanya lantaran tak terdengar suara<br />
orang tetai bagman dicengkam kemurungan yang mu^ Dia<br />
mendapat! Dewi Anggraeni duduk dikawani oleh inang<br />
pengasuhnya yang telah dia kenal baik -Kakanda!" tegur<br />
Dewi Anggraeni. "Silahkan masuk, Kanda! Silahkan!<br />
Dengan siapakah Kanda datang? Lama benar Kanda<br />
tidak menyambangi kami! Kanda, manakah Kakang Panji?<br />
Mengapa ia tidak datang serta?" Mendengar Dewi<br />
Anggraeni menanyakan Raden Panji, kalbu Tumenggung<br />
liraja Nata guncang. Bagaikan sebuah badai besar<br />
memukulnya, mere-mukkannya. Alangkah mengenaskan<br />
suara Dewi Anggraeni menanyakan suaminya itu, alangkah<br />
menusuk kalbu! Dan ia . .. ! Ia berdehem beberapa kali<br />
melonggarkan teng-gorokannya yang tersekat. Kemudian<br />
terbata-bata menyahut, "Bagaimanakah kabamya,<br />
Rayinda? Baik-baik sajakah? Alangkah segamya udara di<br />
sini! Sayang Kakanda terlampau sibuk, sehingga tidak<br />
bisa sering-sering mengunjungi Rayinda di sini! Tetapi . . .<br />
tetapi. Rayinda baik-baik saja bukan? . . . bukan?" Dewi<br />
Anggraeni mcnatapkan pandangannya. "Ya. dengan restu<br />
Kakanda. kami baik-baik saja . . . di sini. Tetapi Kakanda,
manakah Kakang Panji? Tidakkah Kakanda bertemu<br />
dengan dia di istana? Dia berangkat kemarin dulu dan<br />
sekarang belum juga pulang!" 113 Tumenggung Braja Nata<br />
menghindari tatapan itu. Dia menoleh ke samping. lalu<br />
melihat Emban Wagini, kemudian dia tertawa tak keruan,<br />
mene-gumya, "Apa kabar, Bibi? Alangkah panasnya hari,<br />
ya Bibi! Tidakkah Bibi sudi mengambil ba-rang seteguk air<br />
buat membasahi tenggorokan yang kering?" Dewi<br />
Anggraeni menoleh kepada inang pengasuhnya. "Kakanda<br />
Tumenggung dahaga, Bibi, ambilkan air buah yang segar.<br />
Buah-buahan yang ranum-ranum itu pun bawa pula ke<br />
mari!" katanya kepada inang pengasuhnya, Emban Wagini<br />
yang segera mengundurkan diri akan melaksanakan titah<br />
junjungannya, kemudian menoleh pula kepada<br />
Tumenggung Braja Nata. "Kakanda, mengapa Kanda<br />
selalu menghindari pertanyaan hamba mengenai Kakang<br />
Panji? Mengapa Kanda mencari-can alasan untuk<br />
mengelakkan pertanyaan hamba? Tadi Kakang berkata<br />
hari sangat segar, dan tiba-tiba barusan kepada Bibi<br />
Wagini Kakanda menga-takan udara sangat panas!<br />
Katakan, duhai Kakanda katakan kepada hamba. ke<br />
manakah Kamaka t,d3k PUl3ng bCrSama Kakanda<br />
Tumenggung Braja Nata tergagap-eaeaD dan 114 "Eh ...<br />
eh ... hai ke manakah Arya Sumi., gerangan? Mengapa<br />
ia tidak naik juga?" ia «£ ura tak mendengar pertanyaan<br />
Dewi AngiLni dan pura-pura mencari kawannya. Lalu<br />
bandit dan keluar pula. Arya Suralaga! Mari naik ke mari!<br />
Mengapa di luar saja?" Dewi Anggraeni merasa kesal,<br />
tetapi ia masih menunjukkan kesabarannya, menjengukkan
ke-palanya ke luar. "Dengan Mamanda Arya Suralagakah<br />
Kakanda datang? Mengapa ia tidak naik juga? Ke marilah<br />
Mamanda Senapati!" ajaknya. Tetapi Senapati Arya<br />
Suralaga menyahut dengan suara yang dalam, "Biarlah,<br />
biarlah hamba di sini saja. Hari sangat panas, tentu gerah<br />
di dalam ru-mah!" "Marilah Senapati!" ajak Tumenggung<br />
Braja Nata. Sedangkan dalam hatinya ia berkata, 'Marilah<br />
ke mari, kawani aku, bagaimana akan ku-sampaikan<br />
semua titah itu? Bukankah engkau di-suruh mengawasi?<br />
Alangkah berat lidah ini! Alangkah berat!" Sementara itu<br />
Emban Wagini sudah datang membawa hidangan.<br />
"Lihatlah, Bibi Wagini membawa minuman dan buahbuahan<br />
yang segar! Marilah masuk, Mamanda Senapati!"<br />
ajak Dewi Anggraeni. Tumenggung Braja Nata pun<br />
bagaikan berat untuk masuk. Dan air jeruk yang segar itu<br />
seperti 115 tidak menarik seleranya. "Kakanda. silakan<br />
minurn. Bukankah Kakanda tadi dahaga? Tentu dahaga.<br />
karena hari panas dan naik kuda sejauh itu! Dan Mamanda<br />
Senapati! Mari ke sini! Mari minum!" Senapati Arya<br />
Suralaga yang tak pantang takut itu. naik ke dalam.<br />
sedangkan hatinya merasa tak tentram kebat-kebit<br />
berdegupan dengan kencang Tumenggung Braja Nata<br />
menghabiskan air itu dengan sekali teguk, sehingga<br />
kelihatan seolah-olah orang yang benar-benar dahaga.<br />
"Alangkah segar minuman ini!" katanya kemudian meski ia<br />
sendiri tidak tahu benar bagaimana sesungguhnya rasa<br />
minuman yang baru lalu di tenggorokannya itu "Ayuhlah<br />
Senapati! Ayuhlah!" Senapau Arya Suralaga mengikuti<br />
jejak Tumenggung Braja Nata. "Kakanda!" tegur Dewi
Anggraeni tak sabar. 'Mengapa Kanda selalu<br />
mengelakkan pertanyaan hamba mengenai Kakang Panji?<br />
Mengapa? Apaka-kah yang terjadi dengan Kakang Panji?<br />
Mengapa Kanda menunduk? Mengapa Kanda tidak sudi<br />
menyahut? Mendapat malapetakakah Kakang Panji-<br />
Apakah kecelakaan yang menimpanya? Mengapa<br />
Kakanda melengos^ Mengapa Kanda diam saja?<br />
Mengapa tak mau menyahut?" Senapati Arya Suralaga<br />
segera menan.h mi-numannya. lalu menundukkan kepala,<br />
scakan-akan ncndak mencan helah untuk mengundurkan<br />
din "Eh... eh ..memang.. . m^ " dln; Tumenggung Braja Nata<br />
menyahut dengan 'suara gagap. -Mengapa Kanda bicara<br />
terputus-putus'* Parah kah Kakang Panji? Berbahayakah<br />
jiwanya?" Ata' ' "Tidak, tidak!" Tumenggung Braja Nata<br />
meng-gelengkan kepala keras-keras. "Raden Panji tak<br />
kurang suatu apa!" "Tetapi mengapa Kanda seakan segan<br />
bicara?" desak Dewi Anggraeni. "Samasekali tidak,<br />
tidak!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tetap gugup.<br />
"Hanya ..." "Hanya apa? Bagaimanakah sebenarnya<br />
Kakang Panji? Katakanlah Kanda, katakanlah! Katakanlah<br />
terus terang! Adinda berjanji, takkan terkejut meskipun<br />
mendengar Kakang Panji mendapat . . . ampun Batara,<br />
mudah-mudahan tak terjadi apa yang kutakutkan!"<br />
kemudian Dewi Anggraeni menyungkup wajah dengan<br />
tangan. menangis tergukguk. Melihat Dewi Anggraeni<br />
menangis, makin tak tentu hati Tumenggung Braja Nata.<br />
Tangannya meraba-raba tak keruan, karena tak tahu apa<br />
yang mesti dia perbuat. "Jangan menangis, jangan Adinda<br />
menangis. Raden Panji selamat, tak kurang suatu apa.
Sudah-lah, sudahlah, jangan Adinda men ..." tak lanjut 11<br />
116 pcrkataannya, karena tiba-tiba tangannya menycn-tuh<br />
keris pusaka yang diberikan baginda kepada-nya. Maka ia<br />
pun teringat pula akan tugasnya. Tangannya niendadak<br />
terkulai. Icmas. !a niemc-jamkan mata. 'Duhai Batara.<br />
mengapa mesti ku-jalankan titah seberat ini? Bcrilah<br />
hamba kekuatan, ketabahan untuk melapangkan jalan bagi<br />
cita-cita tinggiV katanyi dalam hati. 'Beri hamba kekuatan<br />
untuk mengesampingkan segala perasaan kedirian yang<br />
sempit, yang menghalangi cita-cita agung tercapai!" Dewi<br />
Anggraeni tergugah. "Benarkah Kanda? Benarkah Kakang<br />
Panji tak kurang suatu apa? Benar-benarkah Kanda?"<br />
tanyanya dengan mata disinari secercah harapan. "Tetapi<br />
mengapa ia tidak pulang sekarang?" "Raden Panji<br />
mendapat titah dari Baginda," kata Tumenggung Braja<br />
Nata. "Ia tidak kurang suatu apa, tetapi ia mendapat titah<br />
yang tak boleh ditangguhkan. sehingga ..." "Sehingga apa.<br />
Kanda?" desak Dewi Anggraeni tak sabar. "Sehingga ia<br />
tidak sempat ke mari dahulu mengabarkan hal itu kepada<br />
Adinda. Ia sangat kuatir akan kesehatan Adinda, yang<br />
selalu dia kenangkan. Dia meminta kepada Kanda supaya<br />
Kanda ke mari ..." "Apakah titah yang mesti diselesaikan<br />
oleh 118 Kakang Panji? Mengapa ia sampai tak sempat m<br />
jenguk istnnya dahulu? Penting benarkah 1 ne an titah itu?<br />
potong Dewi Angraeni, biarkan Tumenggung Braja Nata<br />
menyclc V kalimatnya. Tidaklah ia mendapat titah untuk<br />
untuk memcrangi pemberontak ataukah karaman?" -<br />
Bukan, Raden Panji tidak dititahkan meme-rangi<br />
pemberontak ataupun karaman. Tetapi titah tak boleh
ditunda, sehingga tak sempat dia singgah dahulu akan<br />
mengabarkan hal itu kepada Rayinda. Namun, ia masih<br />
sempat meminta Kakanda untuk menyampaikan pesannya<br />
kepada Rayinda ..." "Pesannya? Apakah gerangan pesan<br />
Kakang Panji? Mengapa tidak tadi-tadi Kanda berbicara?<br />
Mengapa tadi Kanda seperti gugup benar bicara?" "Tadi<br />
Kanda baru datang. masih lelah, maklum-lah si Pramuga<br />
Kanda pacu sekuat-kuatnya. Kanda kuatir kalau-kalau<br />
Rayinda terlampau lama mcng-harap dan bergelisah ..."<br />
"Scsungguhnyalah, Rayinda sudah benjettsah benar.<br />
Menurut janji Kakang Panji, Kakang Panji sudah pulang<br />
kemarin, atau paling lambat had ini. Dan sekarang . . .<br />
ternyata Kakang Panji belum bisa pulang, hanya pesannya<br />
saja. Dan apakah pesan yang mesti Kanda sampaikan<br />
kepada hamba, ampun Kanda Tumenggung?" "Raden<br />
Panji berpesan....." Tumenggung 119 Braja Nata terhcnti<br />
dan kata-kata berhenti di tenggorokannya. "Raden Panji<br />
berpcsan . . bcr-pcsan, supaya ..." "Supaya apa. Kanda?"<br />
"Supaya Kanda datang ke mari akan menjem-put<br />
Rayinda!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan nafas<br />
memburu. "Menjemput hamba? Ke mana?" "Ya.<br />
menjemput Rayinda. Ke Muara Kama!." "Ke Muara<br />
Kamal? Ada apakah gerangan?" "Raden Panji mendapat<br />
titah baginda. la meng-harap agar Rayinda turut pula ke<br />
sana. Karena mungkin ia di sana akan lama baru pulang.<br />
Lagi-pula pemandangan di tepi laut, tentu akan sangat<br />
menyenangkan hati Rayinda. Sudahkah Rayinda melihat<br />
laut? Merasakan ombak menyimbah kaki? Merasakan<br />
angin yang besar. yang meniup gelom-bang memecah di
pantai?" "Apakah gerangan titah Baginda maka<br />
mengirimkan Kakang Panji ke Muara Kamal?" tanya Dewi<br />
Anggraeni tak mempedulikan pertanyaan Tumenggung<br />
Braja Nata tentang laut. Dan ditanya demikian,<br />
Tumenggung Braja Nata kehilangan helah. "A aa . . anu.<br />
Rayinda, di Muara Kamal ... datang utusan dari .. .<br />
Tiongkok. hendak menghadap kepada Baginda." akhirnya<br />
ia menyahut se-jadinya. "Tak ada orang yang patut<br />
menerima tamu agung itu mereka utusan kaisar Tiongkok<br />
n^nguasa, negara atas angin itu kecUaH Raden<br />
rauji^Tetap> mengapa begitu mcndadak dan terburu -buru'<br />
•Kedatangan mereka serentak, sehingga kita tidak sempat<br />
membuat persiapan-persiapan yane patut ..." kenngat<br />
bermanik-manik di dahi Tumenggung Braja Nata,<br />
meskipun ia tidak merasa gerah. "Hamba perempuan<br />
Kanda. patutkah hamba turut menampilkan muka di<br />
hadapan tamu agung seperti mereka?" "Mengapa tidak?<br />
Konon, di antara tamu-tamu itu ada pula wanita, entah<br />
katanya kemenakan sang Kaisar, hendak mengetahui<br />
tanah Jawa. Kanda pikir tak ada yang lebih tepat untuk menyambut<br />
mereka itu kecuali Rayinda sendiri. Baginda pun<br />
telah menyetujuinya." "Baginda menyetujui, sedangkan<br />
hamba di-tinggalkan oleh Kakang Panji dalam gelisah!<br />
Alangkah ajaib!" "Rayinda dititahkan dijemput. Hamb ... eht<br />
Rakandalah yang dititahkan Baginda menjemput. Kita tidak<br />
ke istana dahulu, melainkan terns langsung menuju ke<br />
Muara Kamal! Makin cepat makin baik, karena kita<br />
mengejar Raden Panji." Dan dalam hatinya sendiri,<br />
Tumenggung Braja Nata mengulang-ulang kalimat baginda
yang baru diucapkannya itu: Makin cepat makin baik.<br />
Makin 121 cepat makin baik. Makin cepat makin baik.<br />
Makin cepat... "Jadi hamba mesti berangkat sekarang<br />
juga?" tanya Dewi Anggraeni. "Ya, demikianlah. Sesegera<br />
mungkin." Dewi Anggraeni menoleh kepada Emban<br />
Wagini dan berkata gembira, "Bibi, kita berangkat<br />
sekarang, kita akan menyusul Kakang Panji ke Muara<br />
Kamal. Kita akan melihat laut! Cepat berkemas-kemas!"<br />
Tumenggung Braja Nata gelisah. 1 Akankah Rayinda bawa<br />
Bibi Wagini?" Dewi Anggraeni memandangnya he ran.<br />
"Ya," sahutnya mengangguk. "Bibi Wagini selalu melayani<br />
hamba siang maupun malam, lagipula ia sudah bagaikan<br />
bunda hamba saja . Mengapa?" Tumenggung Braja Nata<br />
menjaruhkan pandangan. "Tidak. Tetapi menurut Kanda,<br />
lebih baik . . . lebih baik . .. lebih baik kalau ia tak usah<br />
ikut," katanya dengan tak berani mengangkat<br />
pandangannya. ''Mengapa? Mengapa ia tak boleh turut?"<br />
"Bukan tak boleh, hanya saja lebih baik . . . lebih baik<br />
rasanya kalau tak usah dia dibawa." "Kanda, benarkah<br />
Kakang Panji menitahkan hamba turut dengan Kakanda?"<br />
tanya Dewi Anggraeni. 122 Tumenggung Braja Nata<br />
terkejut •>Tti ¦ • • sungguh. benarlah Raden Panji menitah<br />
kan Kanda ke man akan menjemput Rayingtetapi<br />
mengapa ia tak membolehkan Raymda membawa Bib.<br />
Wagini. padahal ia sendin uhu bahwa Bibi Wagini selalu<br />
bersama-sama hamba-1" -Bukan begitu. Rayinda," sahut<br />
Tumenggung Braja Nata. "Raden Panji tidak mengatakan<br />
hal itu kepada Kanda, sehingga Kanda salah faham ..."<br />
Dewi Anggraeni tenang kembali. Ia menoleh kepada inang
pengasuhnya yang setia itu. "Bibi, mengapa Bibi belum<br />
juga bangkit untuk berkemas-kemas, menunggu apa lagi?<br />
Ayuhlah. jangan biarkan Kakang Panji menanti terlampau<br />
lama!" katanya memberi titah. Emban Wagini yang sudah<br />
kenyang makan ga-ram itu, melihat sesuatu yang tidak<br />
beres dalam tingkah laku Tumenggung Braja Nata. Hal itu<br />
dia perhatikan sejak mulai datang. dan makin lama makin<br />
nyata saja. Mengapa ia selalu kelihatan gugup? Mengapa<br />
bicaranya sering gagap terbata-bata tak lancar? Apakah<br />
sebabnya gerangan? Pera-saannya yang halus dan tajam.<br />
mencium hal-hal yang mencurigakan. Ia ingin menahan<br />
gustinya, jangan menurutkan ajakan yang tidak keruan.<br />
Demi mendengar teguran junjungannya, maka ia<br />
menjaruhkan diri, menghaturkan sembah dengan suara-nya<br />
yang iba, "Gusti, tetapi Gusti lagi gering. perja-lanan amat<br />
jauh, tidakkah lebih baik Gusti tmggal 123 saja di sini?<br />
Tenni Baginda pun takkan murka kalau Baginda maklum<br />
sebab-musababnya. Dan Gusti Panji . . . ,M tak lanjut<br />
kalimatnya, karena cepat dipotong oleh Dewi Anggraeni<br />
yang tak sabar, 'Bibi! Mengapa Bibi bicara seperti itu?<br />
Bibi menganjurkan kami mendurhaka dan Kakang Panji<br />
tentu akan sedih hatinya kalau kami tak datang menyusul."<br />
"Tetapi Gusti." sahut Wagini dengan sabar, "Gusti sedang<br />
gering, hamba kuatir kalau-kalau perjalanan ini akan<br />
memarahkan penyakit . . . " 'Tidak! Penyakit kami akan<br />
hilang kalau sudah berada di samping Kakang Panji!<br />
Tidak! Kami tidak boleh lemah hati, kami mesti berangkat!<br />
Siap-siaplah segera. berkemas-kemas secukupnya!"<br />
Tumenggung Braja Nata yang gelisah lantaran mendengar
sembah Emban Wagini yang seakan-akan hendak<br />
mencegah kepergian gustinya, turut menyumbangkan<br />
pendapatnya, "Angin laut sangat baik bagi kesehatan.<br />
Segala penyakit akan hilang, akan lenyap. Dan apakah<br />
Rayinda gering?" "Ah. tidak." sahut Dewi Anggraeni cepat.<br />
"Hanya merasa lesu ..." "Kalau begitu, dengan sedikit<br />
bepergian, akan hilang." "Cepatlah Bibi! Maafkan kami,<br />
Kanda! Makan-lah buah-buahan itu Mamanda Senapati!<br />
Ranum baru kemarin dipetik dari pohonnya, menyedia-kan<br />
Kakang Panji. Tetapi rupanya Mamanda 124 ^ang<br />
beruntung, habiskan saja' HamK u £?em-*«n« dahulu<br />
beni."^^ bC..Tak usahlah, Rayinda, tak usahah r*"V<br />
mcmbawa terlalu banyak M**^Z£ na ¦ ¦ • -Bagaimana pula,<br />
Kakanda? Bukankah hamba nanti mesti menjemput putri<br />
Tiongkok yang baru datang? Tentu harus mengenakan<br />
pakaian yane patut ..." sahut Dewi Anggraeni dengan<br />
heran -Namun, utusan kaisar Tiongkok itu tentu membawa<br />
pakaian yang indah-indah dari sutra!" -Ah, tetapi itu kan<br />
belum tentu! Baiklah kalau membawa, daripada kita malu<br />
kelak!" "Baiklah, bagaimana menurut Rayinda saja," sahut<br />
Tumenggung Braja Nata. "Tetapi cukup Rayinda berdua<br />
dengan Bibi Wagini saja yang ikut! Kita mengejar waktu,<br />
kita naik kuda saja. Bukankah Rayinda sanggup naik<br />
kuda?" "Hamba sering dilatih oleh Kakang Panji, sehingga<br />
tabah menunggang si Hitam," sahut Dewi Anggraeni.<br />
"Sukuriah kalau begitu. Kita perlu bum-bum, kalau tidak<br />
naik kuda, tentu takkan terkejar saat-nya. Cukup kita<br />
berempat, karena kalau ditambah pula, mungkin<br />
memperlambat perjalanan." "Hamba hanya merasa perlu
mengajak Bibi Wagini, karena ia adalah pengganti bunda<br />
hamba." "Baiklah." Dewi Anggraeni masuk hendak<br />
berkemas, se125 dangkan Tumenggung Braja Nata<br />
memejamkan matanya, kemudian menjatuhkan kepala pula<br />
Kepalanya terkulai, bagaikan sebungkah benda tak<br />
bemyawa. Sedangkan dalam kalbunya sebuah<br />
peperangan dahsyat sedang berlangsung. "Engkaulah<br />
Sang Janaka di Kurusetra, kau mesti tabah, mesti berani<br />
meleburkan dirimu yang sempit untuk kepentingan cita-cita<br />
kemanusiaan yang luhur dan agung!" terngiang kembali<br />
sabda ayahanda kepadanya. "Lapangkan jalan menuju<br />
cita-cita itu. Adalah tugasmu untuk menghilangkan<br />
penghalang! . . . Berilah keris pusaka ini sarung baru!<br />
Sarung baru! Sarung baru!" Senapati Arya Suralaga yang<br />
senantiasa menun-jukkan keberanian dan ketangkasannya<br />
di medan perang itu, kini tertunduk, tak berani mengangkat<br />
kepala akan melirik ke arah Tumenggung Braja Nata,<br />
padahai ia ditugaskan untuk mengawasinya! 126<br />
PERISTIWA DALAM HUTAN Mereka memacu kudanya<br />
dengan cepat. Tumenggung Braja Nata berjalan di depan,<br />
kemudian me-ngikut si Hitam yang ditunggangi Dewi<br />
Anggraeni bersama inangpengasuhnya, dan di belakang<br />
sekali Senapati Arya Suralaga. Mereka berpacu sambil<br />
berdiam diri. Tumenggung Braja Nata memecut kudanya<br />
bagaikan terbang. Dewi Anggraeni antara sebentar<br />
berseru, "Jangan terlampau cepat, Kanda!" maka baru<br />
Tumenggung Braja Nata memper-lambat lari kudanya.<br />
Oleh pemandangan sepanjang jalan. meskipun menambah<br />
dia kian terkenane akan junjungannya. Dewi Anggraeni
kembali kegembiraannya. Apa pula tatkala menyaksikan<br />
bahwa kudanya tidak banyak tingkah. Kadang-kadang ia<br />
bertanya kepada Tumenggung Braja Nata yang kadangkadang<br />
berjalan tak be-rapa jauh antaranya. tentang hal-hal<br />
yang mereka 127 liwati. Tumenggung Braja Nata, kecuali<br />
kalau di-tanya. hampir tak mengeluarkan sepatah kata pun<br />
Setelah melewati tegalan yang luas dan tanah-tanah<br />
pertanian yang subur, mereka pun masuk ke dalam hutan<br />
lebat. Udara segar dan sejuk Tetapi di sini mereka tidak<br />
bisa memacu kuda secepat-cepatnya. Pohon-pohon yang<br />
besar kadang-kadang merintangi jalan yang mereka<br />
tempuh. Beberapa lamanya berkuda di dalam hutan, tibatiba<br />
Tumenggung Braja Nata mengekang kendali kudanya,<br />
ia berhenti. Nafasnya turun naik, seirama dengan kudanya<br />
yang mendengus-dengus. Dewi Anggraeni demi melihat<br />
kandanya berhenti. ia pun menahan si Hitam. Wajahnya<br />
merah karena darah telah naik ke urat-urat paras,<br />
sedangkan keringat pun berbintik-bintik, menambah<br />
kecantikannya berkilauan. "Sudahkah kita sampai ke<br />
Muara Kamal, Kakanda?" tanyanya dengan nafas<br />
terengah-engah. "Capai benar rasanya!" "Masih jauh,<br />
masih jauh lagi," sahut Tumenggung Braja Nata dengan<br />
nafas memburu. "Mengapa Kanda berhenti? Bukankah kita<br />
mesti cepat-cepat?" Tumenggung Braja Nata menjatuhkan<br />
kcpala-nya. Ia meloncat dari kudanya. Lalu dicarinya<br />
sebatang pohon akan menambatkan kudanya itu. "Kanda<br />
hendak mengasoh?" tegur Dewi Anggraeni. Tidakkah kita<br />
akan datang terlambat?" 128 ••Turun dahulu, Rayinda » w<br />
^ng Braja Nata dengan suara lunak^ Suknyadisini!" n*' ^ah
Wagini mencium sesuatu yang mencurigakan niaka ia<br />
mengisaratkan gustinya agar janRan m/ nurutkan kehendak<br />
Tumenggung Braja Nata" •Mungkinkah Tumenggung Braja<br />
Nata hendak merusak pagar ayu Adinda?' tanya Emban<br />
Wagini kepada dirinya sendiri. 'Mengapa sikapnya sangat<br />
luar biasa dan mencurigakan?' Dewi Anggraeni juga<br />
merasakan suasana yang sangat luar biasa. "Marilah kita<br />
lanjutkan saja perjalanan, Kanda, biar kelak mengasoh<br />
kalau sudah ketemu dengan Kakang Panji!" katanya<br />
mengelak. Senapati Arya Suralaga sudah berhenti pula,<br />
lalu menuntun kudanya, seperti tidak kunjung menemu<br />
batang pohon yang baik buat menambatkan kuda. Ia<br />
menyelinap-nyelinap dan makin men-jauh-jauh saja.<br />
Tumenggung Braja Nata melihat kelakuan Senapati Arya<br />
Suralaga itu, ia berseru keras, "Senapati! Mengapa<br />
mencari tempat jauh benar? Bukankah di sini banyak<br />
batang buat menambatkan kudamu?" 'Ti . . . tidak . . .<br />
biarlah di sana saja . . - *ahutnya gagap. . . "Kanda, ada<br />
apakah gerangan maka han ini 129 Kanda kelihatan gugup<br />
dan gclisah? Ada apakah gerangan yang terjadi?" tanya<br />
Dewi Anggraeni dengan suara bcrubah dan mata tajam<br />
menatap. "Katakan terus terang! Meski Kanda mencoba<br />
menyembunyikannya, segaJa tingkah laku Kanda sejak<br />
Udi mengatakannya kepada Rayinda, bahwa ada yang<br />
Kakanda coba sembunyikan!" Tumcnggung Braja Nata<br />
cepat-ccpat menyahut, "Tidak, Kanda tidak . . . sungguh<br />
Kanda tak ber-dusU. Radcn Panji . . . dititahkan Ramanda<br />
ke Puc . . . eh, ke Muara KamaJ, untuk . . . untuk<br />
mcngalahkan lanun . . . " "Apt?" Dewi Anggraeni terkejut,
lalu meloncat dari kudanya. "Katakanlah yang benar,<br />
Kanda, ke manakah Kakang Panji dititahkan oleh baginda?<br />
Ke Muara KamaJ? Atau ke . . . Pucangan? Tadi<br />
agaknya hendak terloncat perkataan itu dari mulut<br />
Kakanda! Dan di Muara Kamal? Apakah yang<br />
menyebabkan Kakang Panji mesti berangkat ke sana?<br />
Benarkah ada utusan dari kaisar Tiong-kok? Mengapa<br />
barusan Kanda bilang untuk menga-lahkan lanun? Ah,<br />
Kanda, katakanlah, ada apakah sebenarnya di istana?<br />
Apakah yang terjadi dengan Kakang Panji! Katakan terus<br />
terang!" Tumenggung Braja Nata termenung. 'Engkau-lah<br />
sang Janaka di medan Runi!' terdengar kalimat baginda<br />
pula olehnya. 'Tabahkan hatimu!' Sementara itu Dewi<br />
Anggraeni telah menolong mang pengasuhnya yang tua itu<br />
turun dari kuda. 130 LaJu dia berdiri dengan mata tetap<br />
taiam m dang kakanda. keningnya berkenJ, ^wl^a yang<br />
tadi cerah nampak keruh kembali "Mengapa Kakanda<br />
seperti segan? Tadi pun hamba telah berkata, katakanlah<br />
terus teranR hamba akan menyimakkannya dengan baik "<br />
Akhirnya Tumenggung Braja Nata menguasai dirinya<br />
kembali. "Ya, lebih baik Kakanda berterus terang saja<br />
sekarang . . .," katanya kemudian. "Sesungguhnya . .<br />
sesungguhnya, Raden Panji tidak dititahkan Ayahanda ke<br />
Muara Kamal..." "Habis? Ke manakah dia?" Dewi<br />
Anggraeni penasaran. "Ke Pucangan." "Ke Pucangan?"<br />
tanya Dewi Anggraeni. "Ada apa? "Ia, Raden Panji<br />
dititahkan baginda ke Pucangan, untuk menyambangi sang<br />
Kili Suci . . . " "Hendak menyambangi sang Kili Suci . . . " ¦<br />
imam Dewi Anggraeni. "Apakah soal yang mesti
disampaikan, maka Kakang Panji sampai tak ke-buru<br />
singgah untuk menemui hamba barang se-jenak? Kanda<br />
Tumenggung. ada soal apakah di istana, maka<br />
kelihatannya suasana sangat sibuk? Begitu sibuk,<br />
sehingga Kakang Panji tak sempat menengok istrinya<br />
yang menanti gelisah?" Tumenggung Braja Nata<br />
menjatuhkan pandang-an pula. 131 "Dan hamba?<br />
Mengapa Kanda bawa ke dalam hutan ini? Mengapa kita<br />
menuju ke Muara Kamal?" "Ke Muara Kamal?" gumam<br />
Tumenggung Braja Nata bagaikan tak sadar. 'Tidak. tak<br />
usah kita ke sana. di sini saja lebih baik. Karena . . .<br />
karena ... makin cepat makin baik!" "Kanda. mengapa.<br />
Kanda berkata tak keruan juntrungannya? Pusing Adinda<br />
menebak-nebak perkataan Kakanda sejak tadi! Apakah<br />
yang lebih baik dilakukan di sini? Apakah? Mengapa<br />
Kanda seperti gugup?" "Rayi, Kakanda mendapat titah<br />
Ayahanda. membawa Adinda ke sini..." Dewi Anggraeni<br />
terkejut. "Atas titah Baginda? Jadi bukan atas perminta-an<br />
Kakang Panji? Mengapa Baginda menitahkan Kanda<br />
membawa hamba ke dalam hutan?" 'Bagaimana akan<br />
kuterangkan? Bagaimana aku akan menjelaskannya?' pikir<br />
Tumenggung Braja Nata. 'la begitu jelita dan halus.<br />
bagaikan bunga yang sedang kembang . . . !' "Rayinda . . .<br />
anu. Rayinda . . . Kakanda dititahkan membawa Adinda ke<br />
dalam hutan untuk melapangkan jalan buat cita-cita<br />
kemanusiaan yang luhur. .. Cita-cita agung ..." Dewi<br />
Anggraeni makin tidak mengerti. "Melapangkan jalan buat<br />
cita-cita tinggi? Mengapa mesu membawa hamba ke<br />
dalam hutan".' 132 Mengapa hal itu tidak Kakanda katakan
tadi saja di ruman? Mengapa mesu" dalam hutan>"<br />
Tumenggung Braja Nata gugup lagi. "Tetapi . . . tetapi . . .<br />
sebaik-baiknya memang dalam hutan hal itu Kanda<br />
lakukan . . . Di sini, di sini . . . makin cepat makin baik,<br />
makin baik!" "Apa yang akan Kanda lakukan? Mengapa<br />
Kanda bicara selalu dalam teka-teki? Katakan semua-nya,<br />
supaya hamba mengerti!" "Baik akan . . . akan Kanda<br />
coba terangkan duduk halnya ..." Tumenggung Braja Nata<br />
menye-ka keringat dari mukanya, "Rayinda, tahukah<br />
adinda bahwa sesungguhnya . . . Raden Panji sudah<br />
dipertunangkan sejak masih kecil dengan putri mahkota<br />
Kadiri?" ia mengangkat muka, mengarahkan<br />
pandangannya kepada Dewi Anggraeni. "Tahukah<br />
Rayinda?" Dewi Anggraeni merasa nafasnya sesak. Jadi<br />
hal itu! Hal itu yang juga selama ini menjadi pi-kirannya!<br />
Itulah biang keladinya! Dan ia merasakan detak jantungnya<br />
yang menghebat memukul-mukul dinding dada. 'Kakang<br />
Panji, agaknya soal yang selama ini Adinda takuti juga<br />
yang menyebabkan sejak ke-marin merasa lesu ... *<br />
katanya dalam hati. •Tahukah Rayinda?" desak<br />
Tumenggung Braja Nata. Dewi Anggraeni mengangguk,<br />
tetapi lidahnya bagaikan scbungkah besi, tak sanggup<br />
kendati 133 mengucapkan sepatah "ya" sekalipun.<br />
"Pertunangan itu dilangsungkan tatkala Raden Panji masih<br />
kanak-kanak. atas persetujuan baginda Prabu JanggaJa<br />
dengan mam and a Prabu Kadiri Kedua baginda bercitacita<br />
tinggi, hendak mcm-persatukan kedua buah kerajaan<br />
Janggala dan Kadiri buat mewujudkan kembali usaha dan<br />
cita-cita moyang kita semua sang Airlangga ..." kata
Tumenggung Braja Nata mencrangkan. Dewi Anggraeni<br />
menekurkan kepala. "Hal itu hamba ketahui . . . katanya<br />
perla-han. "Dan sekarang," Tumenggung Braja Nata me*<br />
lanjutkan seolah-olah tak menghiraukan perkata-an Dewi<br />
Anggraeni, "tiba saatnya untuk mengakhi-ri pertunangan itu<br />
dengan pemikahan . .. Telah datang utusan dari Kadiri<br />
menanyakan saat per-nikahan Karena itu kemarin Raden<br />
Panji dititahkan menghadap buru-buru, sebab baginda<br />
hendak menanyakan hal itu kepadanya ..." "Jadi ada<br />
utusan dari Kadiri datang?" tanya Dewi Anggraeni tanpa<br />
mengangkat mukanya. "Dan bagaimanakah sikap Kakang<br />
Panji? Maukah ia hendak menikah dengan . . . putri<br />
mahkota Kadiri?" Tumenggung Braja Nata menghela<br />
nafas. "Itulah." katanya. "Raden Panji menolak . . . 1<br />
"Kakang Panji menolak?" Dewi Anggraeni mengangkat<br />
mukanya. 134 '•Ya. Raden Panji menolak. la sangat<br />
nmdntal Rayinda, ia tidak mau menceraikan Rayinda<br />
bahkan ia pun tidak mau mcmpcrduakan Rayinda.<br />
sehingga ..." •Alangkah besarnya, alangkah agungnya cinta<br />
Kakang Panji!" kata Dewi Anggraeni dalam hati. 'Sungguh<br />
suci!* "Tetapi bagaimanakah akhimya, Kakanda?" ia<br />
bertanya. "Bagaimanakah'disabdakan Baginda kepada<br />
utusan dari Kadiri?" "Utusan dari Kadiri masih menunggu,<br />
karena persoalan belum selesai..." "Belum selesai?"<br />
"Belum selesai. Karena Raden Panji menolak, Baginda<br />
murka . . . '» sahut Tumenggung Braja Nata. "Baginda<br />
murka? Jadi?" Dewi Anggraeni penasaran. "Baginda<br />
murka dan ... dan ... " "Dan bagaimana?" "Dan baginda<br />
menitahkan Raden Panji . . ¦ "Apa titah baginda kepada
Kakang Panji?' "Raden Panji dititahkan baginda ke<br />
Pucangan "Ke Pucangan?" Dewi Anggraeni heran. "Buat<br />
apa?" "Menyambangi sang Kili Suci... * "Hanya untuk itu?<br />
Hanya untuk menyambangi. 135 Sedangkan daJam istana<br />
persoalan mengenai dirinya belum selesai? Kakanda.<br />
katakan terus terang, buat apakah kakang Panji dititahkan<br />
baginda ke Pucangan? Akankah ia mendapat hukuman<br />
dari sang Kili Suci? Tidakkah baginda menyerahkan<br />
menghukumnya kepada sang Kili Suci?" •Tidak,"<br />
Tumenggung Braja Nata menggeleng-kan kepala. "Raden<br />
Panji hanya dititahkan me-nyambangi sang Kili Suci, agar<br />
mudah melapangkan jalan buat melaksanakan cita-cita<br />
agung sang baginda ..." "Supaya mudah melapangkan<br />
jalan! Apakah sesungguhnya yang Kakanda maksud?"<br />
tanya Dewi Anggraeni. Tumenggung Braja Nata tidak<br />
segera menyahut. "Menurut Baginda," katanya kemudian<br />
dengan suara menggigil. 1 Cita-citanya yang agung itu<br />
takkan terlaksana kalau masih ada penghalang yang<br />
merintanginya . . . Maka . . . maka .. . dititahkan-nya<br />
Kakanda mencari sarung baru buat keris pusaka kerajaan<br />
Janggala . . . . " "Kakanda dititahkan mencari sarung baru<br />
bagi keris pusaka kerajaan Janggala? Tetapi mengapa - . .<br />
" tak lanjut perkataan Dewi Anggraeni, karena tiba-uba ia<br />
mengerti. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar, dan tubuhnya<br />
terasa tak bertenaga. Penghalang! Bukankah aku yang<br />
menjadi perin136 iang tercapainya cita-cita baginda1**<br />
pikirnya Ya akulah yang menjadi rintangan. karena aku<br />
yang menyebabkan Kakang Panji tidak sudi melaksanakan<br />
cita-cita baginda untuk menikah dengan Dewi Sekar Taji!
Ya, akulah penghalang! Dan penghalang mesti<br />
dihilangkan! Rintangan mesti ditebas! Mengerti aku<br />
sekarang! Mengerti! Dan Kakanda dititahkan untuk<br />
mencari sarung bam keris pusaka Aku . . - akulah sarung<br />
bam itu! Aku!* Tak disadarinya air mata deras keluar,<br />
meleleh membasahi pipi. "Kakanda! Hamba mengerti<br />
sekarang!" katanya dengan sedu sedan yang<br />
menyesakkan dada. "Hamba mengerti mengapa sejak tadi<br />
Kakanda kelihatan gugup dan bingung! Hamba tahu, apa<br />
yang menjadi penghalang buat terlaksananya cita-cita yang<br />
agung sang baginda! Hamba. hambalah orangnya!<br />
Hambalah yang menjadi penghalang antara Kakang Panji<br />
dengan Dewi Sekar Taji! Dan penghalang mesti dibuang,<br />
ditebas! Bukankah Kakanda dititahkan baginda untuk<br />
membuang penghalang? Mengapa Kanda belum juga<br />
lakukan titah baginda yang mulia itu? Mengapa?"<br />
Tumenggung Braja Nata terkejut bukan buatan. Keringat<br />
keluar di seluruh tubuhnya. la menghindari pandangan<br />
Dewi Anggraeni, lalu matanya mencari-cari Senapati Arya<br />
Suralaga. Tetapi tak kelihatan olehnya. 137 "Mengapa<br />
tidak Kakanda acungkan keris pusaka yang mesti<br />
mendapat sarung baru itu? Mengapa tidak Kanda<br />
masukkan ke dalam serangkanya yang baru. ke dalam<br />
dada hamba? * desak Dewi Anggraeni. 'Ti . . tidak, tidak,<br />
Rayinda! Kanda . . . Kanda tak . . . sampai hati sahut<br />
Tumenggung Braja Nata. "Kakanda Tumenggung Braja<br />
Nata!" kata Dewi Anggraeni. "Mana keberanian Kanda?<br />
Bukankah Kakanda satria utama kerajaan Janggala yang<br />
jaya? Mengapa Kanda tidak hendak melaksanakan titah
dengan baik? Mengapa Kanda waswas dan ragu?<br />
Tikamlah hamba. Kanda, hamba rela! Hamba rela mati<br />
untuk kepentingan kerajaan, Kanda! Kalau hamba yang<br />
menjadi penghalang, biarlah hamba lenyapkan diri hamba!<br />
Kakanda, marilah! Bukankah kata Kanda juga makin cepat<br />
makin baik?" Tumenggung Braja Nata mundur, seolah-olah<br />
kuatir Dewi Anggraeni menerkamnya. Emban Wagini yang<br />
mendengarkan percakapan gustinya sejak tadi dan melihat<br />
suasana sudah hampir memuncak, menjatuhkan diri pada<br />
kaki gustinya, lalu menangis. "Jangan. Gusti, jangan Gusti<br />
berbuat nekat . . . Gusti, jangan Gusti menghabiskan jiwa<br />
secara per-cuma ratapnya. Dewi Anggraeni mencoba<br />
melepaskan kaki dari 138 pelukan inang pengasuhnya<br />
yang setia itu -Lepaskan! Lepaskan! Kalau kami mati tidak<br />
lah kami mati secara percuma! Setiap kawuW n gara<br />
mesti rela mengurbankan dirinya buat kepentingan negara!<br />
Lepaskan!" "Tetapi Gusti . . . Gusti masih muda dan Gusti<br />
Panji tentu akan kehilangan . Apa 'yane mesti hamba<br />
jawab kalau Gusti Panji menanyai hamba?" ratap Emban<br />
Wagini. Dewi Anggraeni murka. "Mengapa engkau, Bibi?<br />
Mengapa bertingkah? Lepaskan!" Dan melihat gustinya<br />
murka, makin erat Wagini memeluknya. "Lepaskan<br />
kataku!" teriak Dewi Anggraeni sambil menyepakkan<br />
kakinya sekuat tenaga, sehingga tubuh yang renta itu<br />
terpelanting, lalu jatuh terguling. Terdengar tangisnya<br />
menggerung-gerung. "Kanda Tumenggung! Jangan Kanda<br />
ragu! Bukankah darma satria itu mesti diletakkan di atas<br />
segala perasaan tak tega dan bimbang? Mengapa Kanda<br />
hendak memalukan kerajaan Janggala? Satria Janggala
janganlah ragu dan waswas! Lakukan titah baginda!<br />
Lapangkan jalan menuju tercapainya cita-cita agung<br />
kemanusiaan! Masukkan keris pusaka itu ke dalam<br />
serangkanya yang baru!" Tumenggung Braja Nata tidak<br />
menyahut. Tangannya yang kanan memegang keris<br />
pusaka ke139 rajaan Janggala yang telanjang itu dengan<br />
lesu dan tak bertenaga. Tabahkan hatimu! Engkau adalah<br />
Arjuna yang mesti membunuh saudara, orangtua dan<br />
gurunya di medan Kuru! Tabahkan hatimu!' suara baginda<br />
terngiang-ngiang dalam telinganya. Ia melirik kepada Dewi<br />
Anggraeni dengan ujung mata. Maka kelihatan olehnya<br />
wajah jelita itu bermandikan air mata, tetapi menunjukkan<br />
ketenangan yang luar biasa. "Kanda mengapa Kanda<br />
seperti bukan satria saja? Mengapa hatimu hati betina?<br />
Hamba kira, Tumenggung Braja Nata seorang pahlawan<br />
sinatria kerajaan Janggala! Tak tahu ternyata masih<br />
menaruh belas kasihan di atas kewajibannya!" kata Dewi<br />
Anggraeni dengan suara setengah mengejek. Ia maju<br />
mendekati Tumenggung Braja Nata. Matanya tak lepaslepas<br />
memandang Tumenggung Braja Nata yang kuyu itu.<br />
Lalu, tiba-tiba sekali, ia meloncat, tangannya yang kanan<br />
merebut keris dari tangan Tumenggung Braja Nata.<br />
Tumenggung Braja Nata terkejut, tetapi keris pusaka telah<br />
berpindah tangan. Sejenak ia terbengong, terbelalak<br />
melihat kepada Dewi Anggraeni. "Kanda, biarlah, kalau<br />
Kanda tak sampai hati menghilangkan penghalang yang<br />
merintangi cita-cita tinggi Baginda Prabu Janggala. biar<br />
kuhapuskan diriku sendiri, karena adaku di dunia hanya<br />
menambah beban kepada orang lain! Sampaikan kepada
Kakang Panji, bahwa hamba melakukan 140 semua ini<br />
dengan . . . iklas tulus!" kata Dewi Anggraeni seraya<br />
menusukkan mata keris pusaka yang tajam itu ke dalam<br />
dadanya. Darah yang merah menyirat segar, membasahi<br />
ikat pinggang dan kainnya. Perlahan-lahan tubuhnya rebah.<br />
Sedangkan darah makin banyak juga yang keluar, meruahruah<br />
di atas daun-daunan yang membusuk. "Kakang Panji!'<br />
. . . Berbahagialah ... sela . mat - . . tinggal, semuanya!"<br />
katanya terputus-putus. "Gusti! Gustiku!" teriak Wagini<br />
memburu sambil melompat, menubruk tubuh junjungannya.<br />
Lalu ia menangis di sana. "Mengapa Gusti? Mengapa<br />
Gusti meninggalkan hamba?" "Rayinda!" teriak<br />
Tumenggung Braja Nata sambil memeluk tubuh yang<br />
terkulai tak bernyawa itu. "Gusti! . . Hidupku! Untuk<br />
siapakah gunanya hidupku di dunia, kalau Gusti tak ada<br />
lagi?" ratap Wagini. "Tak kukira Gusti akan mengakhiri<br />
hidup seperti ini . Duhai, tak ada artinya hidupku kini, tak<br />
ada artinya! Tak ada!" tiba-tiba ia bangkit dan mencabut<br />
keris pusaka yang tertancap itu dari dada gustinya. Darah<br />
yang masih merah segar membasahi maU keris itu.<br />
"Jangan, jangan Gusti tinggalkan hamba di dunia sendiri ..<br />
.jangan hamba ditinggalkan!" lalu tangannya yang<br />
memegang keris itu terangkat, dan sekejap kemudian,<br />
keris itu telah terbenam pula ke dalam tubuhnya. "Nan141<br />
tikan, nantikanlah hamba. Gusti . . . Hamba ikut " desisnya<br />
makin lama kian lemah jua. Darah membanjir pula. Wagini<br />
mencari tempat di samping Gustinya, lalu rubuh, numprah<br />
tak bernyawa. '•Bibir teriak Tumenggung Braja Nata<br />
terkesima. "Duhai, dua!..." Ia memperhatikan dua mayat
yang bersisi-si-sun itu dengan mata setengah sadar. Bibir<br />
matanya bagaikan takkan mengejap, sedangkan bibir<br />
mulutnya bergerak-gerak, bagaikan menggumam. - . . .<br />
Mereka bunuh diri . . . Dua orang! Dua orang manusia! . . .<br />
Manusia, manusia berdarah merah! Hangat! Manusia yang<br />
hidup, nyata! Kini terbaring . . . terhantar tak bernyawa!<br />
Mereka bunuh diri! Duhai, mengapa dua jiwa mesti hilang<br />
percuma . . . Benarkah mereka hilang untuk kepentingan<br />
kemanusiaan? Mengapa untuk kepentingan kemanusiaan<br />
mesti lenyap terbunuh dua orang manusia yang nyata,<br />
hidup, berdaging, berdarah, bertulang, bernyawa?"<br />
Beberapa jenak lamanya ia termenung, tenggelam dalam<br />
pikirannya yang kacau, merenungkan segala peristiwa<br />
yang dialaminya sejak masih dari istana. "Cita-cita luhur<br />
senantiasa menuntut pengurbanan . Kebesaran jiwa<br />
seorang satria kelihatan dari kesanggupannya<br />
menghilangkan dan menghancurkan dirinya sendiri, dalam<br />
kepentingan kemanusiaan yang lebih besar 142 Tatkala<br />
akhirnya Tumenggung Braja Nata t„ jaga dan renungannya,<br />
ia menengok ke k ri ke kanan, mcncan-can kawannya.<br />
Hutan yanR mcn Cekam, memberikan suasana yang menS<br />
kan jiwa- la merasa lengang. Jiwanya merontl ronta<br />
meminta kawan untuk diajak menemous kelengangan itu,<br />
bicara. -Aryi Suralaga!" teriaknya tiba-tiba memecah<br />
kesunyian yang mencekam itu. "Arya Suralaga! Di mana<br />
engkau?" "Hamba!" sahutan terdengar di kejauhan,<br />
teralingi semak tinggi. "Ke mari!" "Hamba mengurus kuda.<br />
Gusti!" "Tinggalkan, biarkan kuda itu. Ke mari saja!" teriak<br />
Tumenggung Braja Nata dengan berang yang meluap
mendadak. Dengan langkah segan-segan dan hati berat,<br />
Senapati Arya Suralaga mendekati Tumenggung Braja<br />
Nata. Meski ia telah menduga peristiwa yang terjadi,<br />
namun ia terkejut juga demi melihat dua mayat tergeletak<br />
berlumuran darah yang mulai mengental. "Gusti!" hanya<br />
itulah perkataan yang keluar dari mulutnya. Tumenggung<br />
Braja Nata melirik kepadanya, kemudian menjatuhkan<br />
pandangannya pula. Beberapa jenak mereka berdiamdiaman.<br />
Tak seorang 143 pun mau bicara, kecuali dengan<br />
kelebat mata. Akhirnya Tumenggung Braja Nata bangkit,<br />
tubuhnya mengangkang hendak mengambil keris yang<br />
tertancap pada dada Wagini. Dengan hati-hati dicabutnya<br />
keris itu. "Mereka meninggal secara jantan . . . ."gumamnya<br />
lemah. "Dewi Anggraeni! Sungguh seorang satria! Karena<br />
menganggap dirinya menjadi penghalang buat cita-cita<br />
kemanusiaan yang agung, tak segan-segan dia<br />
menghapuskan dirinya sendiri ft » * * "Jadi mereka<br />
membunuh diri?" tanya Senapati Arya Suralaga.<br />
Tumenggung Braja Nata mengangguk. "Ya!" sahutnya<br />
lemah, "Ketahananku tak ada artinya dibandingkan dengan<br />
ketabahan dan kesediaannya meleburkan diri guna<br />
kepentingan yang lebih agung . " "Batara akan melindungi<br />
mereka . . . ," gumam lemah Senapati Arya Suralaga.<br />
Maka beberapa jenak pula mereka hening. Kelengangan<br />
hutan yang sayup-sayup diiringi suara binatang yang sayu,<br />
bagaikan turut berhid-mat kepada arwah yang baru<br />
meninggalkan raga. Titah telah terlaksana, tidakkah kita<br />
lebih baik pulang sekarang untuk mempersembahkannya<br />
kepada baginda?" akhirnya Senapati Arya lam^ rmCCah
kC5Unyian- Ia tak tahan lebih lama berdiam^aman dalam<br />
suasana mencekam. Tumenggung Braja Nata bangkit -<br />
Baginda tidak menitahkan kita untuk m. bawa jenazah<br />
keduanya ke istana, hendak v£ apakan jadinya mereka?"<br />
Mtt "Lebih baik kita biarkan saja di sini Su jangan<br />
diganggu binatang, lebih baik kiu'timbum dahulu ..." sahut<br />
Senapati Arya Suralaga "Baiklah," sahut Tumenggung<br />
Braja Nata mengangguk. Maka keduanya pun<br />
membetulkan letak kedua mayat itu, kemudian<br />
menimbuninya dengan sampah daun-daunan yang banyak<br />
bertebaran di sana. Tak lama kemudian, segalanya telah<br />
selesai. Bekas darah tak lagi nampak. Keduanya<br />
menganggap cukup aman, lalu berdiri akan memberikan<br />
hidmat terakhir kepada kedua jiwa satria itu. "Perhatikan<br />
batang cempaka itu . . .," kata Tumenggung Braja Nata<br />
sebelum pulang. "Bunga-bunganya sedang bermekaran,<br />
dan di bawah naungannya, kita tanam bunga yang menjadi<br />
ratu segala bunga ..." Senapati Arya Suragala tidak<br />
menyahut. Kepalanya jatuh tertunduk. Kemudian keduanya<br />
mengambil kudanya masing-masing, dan berlalu dari sana.<br />
145 144 PATIH PRASANTA Raden Panji Kuda Waneng<br />
Pati dengan diiringi oleh Patih Prasanta yang tua beserta<br />
beberapa orang ponggawa, bagaikan kalap memacu<br />
kudanya dari arah Pucangan. Raden Panji merasa sangat<br />
gelisah. Kegelisahan menyebabkan ia kehilangan<br />
ketenangan, rusuh mengamuk di dalam kalbu, berbagai<br />
perasaan berkecamuk tak menentu. Waktu ia menuju ke<br />
Pucangan, pikirannya masih dipengaruhi oleh titah<br />
baginda. Ia merasa bergembira karena baginda tidak
memaksanya menikah dengan Dewi Sekar Taji. Namun<br />
demikian, ia sendiri tidak mengerti benar mengapa tibatiba<br />
saja baginda menitahkannya menghadap kepada<br />
sang Kili Suci. Begitu penting titah itu, sampai ia tidak<br />
diperkenankan singgah dahulu akan menemui istrinya.<br />
Adalah harapan bahwa sang perta-pa akan berdiri di<br />
fihaknya, yang menyebabkan ia senantiasa menekan<br />
perasaan rusuh yang tak 146 keruan paran, sehingga<br />
dengan cepat i. k pai ke Pucangan. Tetapi alangkah hL<br />
tatkala menyaksikan sang Kili Sud m1*1 U' ny, dengan<br />
wajah yang muram d J^*^ -Sejak dahulu hatiku tawar untuk<br />
Va perkara kerajaan . . . ,» ^ ^ J"» Suci setelah mendengar<br />
persembahan Ra,unV Kuda Waneng Pati mengenai<br />
pertunangannya ngan Dewi Sekar Taji. "Hidup menyepi di<br />
petanan adalah lebih menentramkan . . . Lebih cocok<br />
bagiku. Untuk mengenal dan mengurus kehendak dan<br />
kemauan diri sendiri pun sudah sangat berat apalagi untuk<br />
mengurus orang satu kerajaan! Untuk itu tentu diperlukan<br />
pengertian dan pengurbanan yang sangat besar. Kerelaan<br />
pengurbanan yang bukan buatan. Sedangkan aku ...<br />
Daripada memberi jawaban terhadap sembah Raden<br />
Panji, sang pertapa yang sudah lanjut usianya itu, malah<br />
seolah-olah berbicara tentang dirinya, sedangkan<br />
wajahnya sangat bersedih. Dengan matanya yang muram<br />
itu ia mengawasi wajah serta kepala Raden Panji, mesra<br />
dan penuh sayang, namun kalau kebetulan Raden Panji<br />
memandang kepadanya, ia cepat-cepat menghindari<br />
pandangan putra mahkota Janggala itu. "Sebagai putra<br />
mahkota yang kelak akan memangku takhta, engkau mesti
tabah dan tetap hati. Apa yang dipetuakan oleh ayahmu<br />
adalah 147 benar semua . . . Hanya saja ..." tak lanjut pU|a<br />
perkataannya. "Sekarang paling tepat, engkau buru-buru<br />
pulang ke tempat istrimu . . . Semua lelah terjadi, tak<br />
mungkin dihindari, karena itu - karena itu engkau mesti<br />
benar-benar teguh hati. ingatlah, bahwa hidup di dunia ini<br />
hanya maya, tak langgeng, semuanya tak abadi . . . Dan<br />
engkau. Raden, seorang pahlawan yang bijaksana, tentu<br />
akan sanggup mengalami berbagai cobaan yang datang!"<br />
setelah berhenti sejenak, dengan menghela nafas yang<br />
wegah, sang Kili Suci menyambung pula. "Bukan tak ingin<br />
mengajak Raden tinggal di sini barang beberapa hari,<br />
tetapi yang paling tepat sekarang. Raden cepat-cepat<br />
pulang ke tempat istrimu ..." Raden Panji menghaturkan<br />
sembah. "Tetapi bagaimanakah gerangan dengan<br />
pertunangan hamba dengan Dewi Sekar Taji? Mungkin<br />
Ayahanda akan meminta tolong untuk menjelaskan hal diri<br />
hamba kepada Baginda Prabu Kadin, supaya tidak terbit<br />
persengketaan . . Kalau sekarang hamba pulang, apakah<br />
yang mesti hamba persembahkan kepada Ayahanda?"<br />
Suara sang Kili Suci sangat perlahan. adalahfSJ***. *aden<br />
pikirkan Ya"* bemr 148 an dunia mi! Pertemuannya<br />
dengan sang Kili Suci itu numbuhkan kegelisahan dalam<br />
hatinya la m.T ^gat heran akan tingkah laku dan perkit' X<br />
Kili Suci. Alangkah muram Sn^? apakah gerangan yang<br />
menyebabkannya^ Me ngapa tak nampak tanda-tanda<br />
kegembiraan hatinya bertemu dengan dia? Mengapa<br />
malah menyuruhnya pulang cepat-cepat? Ada apakah<br />
gerangan yang terjadi? Mengapa suaranya sangat murung
dan wajahnya berduka? Tidak, tak pernah sebelumnya<br />
sang Kili Suci nampak berduka. Setiap bersua, kelihatan<br />
wajahnya berseri-seri. Seorang pertapa yang sudah<br />
mengatasi duka dunia! Tidak lagi gelombang perasaan<br />
berpengaruh terhadapnya, maka wajahnya nampak segar.<br />
Tetapi tadi . . . ! Dalam pada itu perasaan gelisah yang<br />
berkecamuk dalam hatinya makin membadai. Ia memacu<br />
kuda secepat-cepatnya, masih juga ia merasa larinya<br />
terlalu lambat. Ia hampir tidak menoleh-noleh akan melihat<br />
kawan-kawannya seperjalanan, sehingga Patih Prasanta<br />
yang sudah lanjut usianya itu, mati-matian menyusulnya.<br />
Bahkan tiga orang ponggawa jauh tertinggal di belakang,<br />
betapapun mereka memecuti kudanya. "Alangkah<br />
aneh!'katanya berulang-ulang dalam hatinya sendiri.<br />
'Alangkah aneh yang kualami hari-hari ini! Ayahanda<br />
menitahkan aku ke Pucangan, sedangkan utusan dari<br />
Kadiri masih me149 nanti.' Dan di Pucangan. sungguh luar<br />
biasa! Mengapa sang Kili Suci nampak demikian muram<br />
dan berkata-kata bagaikan tak tentu ujung pangkalnya?<br />
Wahai, ia orang bijaksana, yang sakti kenyang bertapa,<br />
tentu waspada, tahu sudah apa maksud baginda . . . Tetapi<br />
kepadaku ia wanti-wanti berpesan supaya cepat-cepat<br />
pulang . . . Wahai, ada peristiwa apakah yang menunggu?'<br />
Begitulah hutan dan jurang dilalui dengan cepat. Jalan terjal<br />
dan licin, tetapi Raden Panji sungguh-sungguh seorang<br />
yang pandai berkuda. Di tempat yang datar, kudanya<br />
melesat laksana anak panah dari busurnya, hanya sekilas<br />
nampak oleh pandangan. 'Dan Rayinda Anggraeni . . .<br />
tentu ia sudah gelisah menanti!1 pikir Raden Panji pula.
'Seharusnya aku datang kemarin dulu. Ah, tentu ia sudah<br />
mengira yang bukan-bukan!' Teringat kepada istrinya yang<br />
sangat dia cintai. Raden Panji cerah wajahnya, lantaran<br />
terbayang sambutan istrinya itu kelak. Alangkah akan<br />
gembira Anggraeni menyambutnya! 'Sudah tahukah [a<br />
bahwa aku dititahkan ke Pucangan? Tentu salah seorang<br />
kandaku telah memberitahukannya . V tentU ^mbiarkannya<br />
menanti dalam gelisah dan melang pikirnya pula. 150<br />
Makin dekat ke tempat Peristirahatanmu simpang siur tak<br />
kenian makin menjadi. Ha2 makin gelisah saja. Dan wajah<br />
wj. berkelebat pucat terbayang-bayang dalam mata<br />
batinnya. Alangkah pucat! Seolah-olah darah tak mampu<br />
naik kepada urat-urat wajahnya, la mencoba memejamkan<br />
mata akan menghilangkan bayangan yang menyeramkan<br />
itu, tetapi selalu dan selalu saja muncul kembali.<br />
Sedangkan mata kekasihnya itu tajam tetapi tenang<br />
seakan-akan terus-menerus memandangnya, menatapnya,<br />
tak kunjung mengejap, dingin dan mengibakan .... 'Apakah<br />
gerangan yang terjadi dengan Anggraeni?' pikirnya tak<br />
habis-habisnya. "Raden! Raden Panji!" tiba-tiba terdengar<br />
teriakan di belakangnya. Itulah suara Patih Prasanta. la<br />
menghentikan kudanya. "Ada apa Mamanda Patih?" ia<br />
kembali bertanya sambil berpaling. "Hari telah sore,<br />
tidakkah lebih elok kita mencari penginapan buat<br />
bermalam saja?" tanya Patih Prasanta berteriak karena<br />
jarak antara mereka masih jauh. Raden Panji memecut<br />
kudanya pula. "Tidak! Kita terus saja!" "Tetapi, Raden ... M<br />
tak lanjut perkataar.Patih Prasanta karena sementara itu<br />
Raden Panji 151 telah jauh meninggalkannya. Ia bingung,
karena para ponggawa yang mengiringinya makin banyak<br />
saja yang tertinggal, entah meninggalkan diri. tentu lantaran<br />
kuda mereka bukan kuda pilihan tak sanggup mengejar<br />
kuda Raden Panji yang memang terkenal sangat bagus.<br />
Akankah ia menanti para ponggawa yang tercecer itu untuk<br />
kemudian mengejar bersama? Ataukah ia akan terus? la<br />
pun telah lelah, sedang mulut kudanya sudah berbusahbusah.<br />
Bagaimanapun aku mesti mengikutinya, karena<br />
untuk mengawaninyalah aku dititahkan turut...' akhirnya ia<br />
mengambil keputusan. Maka ia menyentakkan kendali<br />
pula. tanda supaya kudanya lari lagi. Kuda itu tahu akan<br />
isyarat tuannya, segera berlari. Keesokan harinya dengan<br />
wajah yang kuyu dan mata kurang tidur karena semalaman<br />
tak henti-hentinya berkuda. Raden Panji sampai di tempat<br />
peristirahatannya. Tubuhnya kaku dan lesu. tetapi kalbunya<br />
pepat, gelisah tak menentu. Waktu ia sudah menambatkan<br />
kuda dan masuk ke rumah, ia mendapati rumah lengang.<br />
Para emban dan orang-orang yang bertemu dengan dia.<br />
menghaturkan sembah diam-diam, tetapi lalu<br />
menundukkan wajah. Mereka heran melihat keadaan<br />
gustinya yang luar biasa itu dan menduga yang bukanbukan.<br />
Raden Panji mencari-cari istrinya, tetapi tak ke152<br />
^atan olehnya. -Rayinda!" ia berteriak rusuh -o- , Hanya<br />
gaung yang menyahut. ^¦nda!'1 "Rayi! Keluarlah, suamimu<br />
datang'." jetapi tak ada juga sahutan. Ia masuk ke dalam<br />
peraduan, tetapi Dewi Ano raeni tak nampak. Ia heran.<br />
Sangkaan yang bukaS" bukan memenuhi kepalanya. Lalu<br />
ia menoleh kepada seorang emban. -Emban, ke manakah<br />
gustimu? Mengapa tak kelihatan? Pergi ke tamankah dia?
Cepat panggil!" katanya. "Ampun Gusti!" sembah emban<br />
yang ditanya. 'Mengapa Gusti bertanya kepada hamba?<br />
Adalah hamba yang hendak menanyakan hal itu kepada<br />
Gusti..." Raden Panji melengak. "Apa maksudmu?"<br />
"Ampun Gusti," sembah emban. "Gusti putri kemaren dulu<br />
berangkat dengan Bibi Wagini "Pergi? Ke mana?" tanya<br />
Raden Panji heran. "Ampun Gusti, hamba kurang tahu.<br />
Yang hamba dengar, katanya hendak menyusul Gusti<br />
"Menyusul kami?" "Hamba, Gusti." "Menyusul kami ke<br />
mana? Ke istana?" "Hamba kurang tahu, Gusti. Tetapi<br />
Gusti Putn berangkat bersama rakanda Gusti Kangjeng<br />
Tumenggung ____" 153 "Apa? Bersama rakanda Braja<br />
Nata?" "Hamba, Gusti." Raden Panji terhenyak. Ia<br />
terduduk, sedang, kan tubuhnya terasa lesu. Tumenggung<br />
Braja Nata! Apakah maksudnya gerangan maka<br />
menjemput istrinya. Dewi Anggraeni? Hendak menyusul?<br />
Ke mana? Ke Pucangan? Bukankah Tumenggung Braja<br />
Nata tahu bahwa Raden Panji mendapat titah ayahanda ke<br />
Pucangan, menyambangi Sang Kili Suci? Mengapa malah<br />
ia menjemput istrinya? Sedangkan baginda tidak<br />
memperkenankan ia sendiri singgah menemui istrinya itu!<br />
Mengapa justru Tumenggung Braja Nata malah<br />
menjemputnya? Untuk pergi ke mana? Dan kapan . . . ?<br />
Kemarin dulu! Kemarin dulu! Bukankah waktu itu pula ia<br />
mendapat titah ayahanda? Bukankah kemarin dulu ia<br />
berangkat ke Pucangan? Agaknya "Apakah maksud<br />
Kakanda Tumenggung?* pikir Raden Panji. 'Mustahil ia<br />
hendak main gila kepada Dewi Anggraeni, tetapi . . .<br />
mengapa tidak? Dewi Anggraeni sangat jelita Terpengaruh
oleh pikirannya yang bercemburu, darah Raden Panji naik.<br />
Wajahnya bagaikan terbakar dan amarah meluap-luap.<br />
"Ke mana mereka hendak pergi?" ia bertanya pula kepada<br />
emban. lr.^PKUn PUSti' hamba kU* t3hu> *b*b ketjka itu<br />
hamba sedang di belakang . .. ," sahut 154 -fliban..^pakah<br />
yang ketika itu ada di deo^ c mari1" Sumh Yfi manEmban<br />
itu mengundurkan diri akan kawannya yang kemarin dulu<br />
melavani ^ ^ men*a. Waktu ia kemba,i, T^IZ orang emban<br />
yang lain. '¦Darmir tegur Raden Panji. "Tahukah kau ke<br />
mana gustimu kemarin dulu hendak dibawa">" "Ampun<br />
Gusti, kemarin dulu itu hamba di da-|am saja. Hamba tidak<br />
tahu tegas, karena yang melayani tamu hanya bibi Wagini<br />
saja," sahut emban itu. "Tetapi tatkala Gusti Putri<br />
berkemas-kemas, hamba ada dengar juga tempat yang<br />
hendak dituju, katanya hendak menyusul Gusti ..." "Ya, ke<br />
mana katanya mereka mau pergi0" Raden Panji tak sabar.<br />
"Kalau hamba tak salah ... ke Muara . . . Muara Kam . . .<br />
Muara Kamal," sahut emban itu dengan ragu-ragu.<br />
"Katanya hendak menyusul Gusti yang telah berangkat<br />
duluan ke sana..." "Ke mana? Muara Kamal?" "Hamba,<br />
Gusti. Muara Kamal." Raden Panji bangkit. Kepada Patih<br />
Prasanta yang masih berdiri di ambang pintu, ia berkata,<br />
"Mamanda Patih! Kita Pergi ke Muara Kamal!" "Tetapi<br />
Raden ..." "Mamanda, kita berangkat sekarang!" 96 155<br />
Patih Prasanta menghela nafas. Matanya memandang tak<br />
mengerti kepada putra mahkota Janggala. Kepalanya<br />
menggeleng. Raden Panji sudah melompat dari rumah, lalu<br />
mendekati kudanya pula. Waktu dilihatnya kuda itu<br />
kelelahan, ia menukarnya dengan yang baru dari kandang.
"Ke mana kita hendak pergi. Raden?" tanya Patih<br />
Prasanta. Raden Panji menepuk-nepuk punggung kuda.<br />
"Ke Muara Kamal! Ambillah kuda baru dari kandang!" "Ke<br />
Muara Kamal? Ada apa?" Tetapi Raden Panji tidak mau<br />
menyahut. Ia meloncat ke atas punggung kuda, lalu<br />
memacunya. Ia bagaikan tidak menghiraukan lagi patih<br />
Prasanta. Patih yang tua itu segera pula mencari kuda<br />
baru, lalu memacunya, mengejar Raden Panji. "Sungguh<br />
aneh!" bisiknya. Tetapi ia tidak berani melepaskan putra<br />
mahkota pergi sendirian, maka ia pun kepacu ke arah<br />
Muara Kamal. Kuda baru yang masih bertenaga penuh itu,<br />
melesat terbang membawa Raden Panji dalam<br />
kegelisahan dan berbagai pikiran yang kusut. Tumenggung<br />
Braja Nata! Sungguh tak kusangka! Mengapa ia berbuat<br />
nista?' pikirnya. Selagi aku menjalankan titah Baginda, ia<br />
mencuri istriku! Kurang ajar" 156 patin Prasanta yang tua<br />
itu kini tidak ma ketinggalan. Kudanya yang jUga kuda piC<br />
yang diambilnya dan kandang kuda Raden lari dengan<br />
kecepatan luar biasa, la tidak jauh i belakang Raden Panji.<br />
Demikianlah beberapa lamanya keduanya berke jarkejaran<br />
bagaikan orang yang sedang berlumba Setelah<br />
melewati padang yang luas dan tanah-tanah pertanian<br />
yang subur, mereka masuk ke dalam hutan lebat. Pohonpohonnya<br />
tinggi-tinggi, tapi meski demikian, Raden Panji<br />
tetap memacu kudanya. Hanya kalau terhadang oleh<br />
belukar yang lebat, ia memperlambat lari kudanya. Tibatiba<br />
kudanya berbenger dan menghentikan langkahnya,<br />
dan tak jauh di sebelah depan terdengar pula benger kuda.<br />
Tak tertahan lagi kuda yang ditunggangi itu lari ke arah
suara kuda datang. Sia-sia saja Raden Panji menahannya.<br />
Maka segera ia mempertajam matanya. "Si Hitam!"<br />
teriaknya tatkala kelihatan olehnya seekor kuda tertambat<br />
pada sebatang pohon trembesi. "Mengapa ada di sini?"<br />
Lalu ia pun mendekati kuda itu. kemudian turun. Patih<br />
Prasanta pun mengikuti Raden Panji. "Ada apa, Raden?"<br />
ia bertanya. "Si Hitam kuda tunggangan Dewi Anggraeni<br />
ada di sini!" sahut Raden Panji sambil mendeKau 157 si<br />
Hitam, yang setelah mengenali majikannya |aiu berbenger<br />
pula. "Mengapa ada di sini?" si Hitam hanya meringkik<br />
saja. "Lihat, tapak kuda di sini bukan hanya bekas si Hitam<br />
saja!" kata Patih Prasanta yang segera memperhatikan<br />
keadaan sekelilingnya. "Agaknya paling tidak ada dua<br />
ekor kuda lainnya lagi!" Raden Panji turut memperhatikan<br />
tapak kuda. "Ya, ada dua tapak kuda pula yang bukan<br />
bekas si Hitam!" sahutnya. "Salah satu mestilah tapak<br />
kuda Tumenggung Braja Nata! Ke mana mereka<br />
sekarang?" Patih Prasanta mengikuti tapak kuda itu<br />
dengan seksama. "Mereka menuju kembali ke arah yang<br />
kita tinggalkan . . . ," katanya kemudian. "Mereka datang<br />
bertiga, tetapi yang satu ditinggalkan!" "Itulah si Hitam!"<br />
potong Raden Panji cepat. "Dan itu kuda tunggangan<br />
istriku Dewi Anggraeni!" Wajahnya menjadi pucat dan<br />
merah bergantian. Ia murka kepada Tumenggung Braja<br />
Nata, tetapi ia pun kuatir akan nasib istrinya . . . . "Jadi<br />
bagaimana? Kita kejar atau . . . ?" "Kita cari dahulu<br />
penunggang si Hitam!" Raden Panji memutuskan. Ulu ia<br />
memperhatikan keadaan sekitarnya dengan teliti. "Lihat!<br />
Apakah tumpukan daun-daun kering itu? Mengapa seperti
dibikin orang?" h pun Iari ke arah fcan dedaunan kenng di<br />
bawah pohon cempaka. 158 kapenun penasaran Raden<br />
Panji membongkar ampukan daunan yang membukit itu.<br />
Tent nya bagaikan kerasukan sebentar saja tumpuk^ daun<br />
yang tinggi itu telah dia bongkar. Dan tatkala akhirnya ia<br />
menyentuh tubuh yang kaku, makin cepat ia membongkar,<br />
sedangkan tangannya menggigil. Jantungnya berhenti<br />
berdenyut. "Anggraeni!" teriaknya kemudian tatkala ia<br />
melihat mayat siapa gerangan yang terbujur itu. Lupa akan<br />
apa pun jua, ia menjatuhkan dirinya, lalu menangis di atas<br />
tubuh istrinya yang dingin dan kaku, namun utuh,<br />
sedangkan pada bibirnya tersungging senyuman rela.<br />
Raden Panji terjatuh. Ia yang lelah karena kurang tidur dan<br />
memacu kuda tak henti-hentinya itu, tak tahan mengalami<br />
kekagetan dahsyat, sehingga pingsan. Patih Prasanta<br />
yang berdiri di belakangnya, lalu menubruk. Raden Panji<br />
yang tak sadarkan diri itu, ditidurkan baik-baik, sambil dia<br />
pijiti supaya lekas siuman. Kemudian ia meninggalkan<br />
tubuh Raden Panji, mendekati mayat Dewi Anggraeni.<br />
Sisa-sisa sampah yang masih menutupi wajah dan<br />
badannya, dibuangnya, lalu mayat itu diangkatnya,<br />
dibaringkan baik-baik di dekat Raden Panji. Maka<br />
kelihatan olehnya mayat yang lain, 159 yang tak bukan<br />
adalah mayat Emban Wagini. Mayat itu pun diangkatnya<br />
baik-baik dan diba-ringkannya. "Sungguh dahsyat!"<br />
pikirnya dalam hatinya sendiri. "Agaknya untuk inilah<br />
baginda menitahkan Raden Panji ke Pucangan! Sungguh<br />
berhati batu! Dia hendak menyingkirkan penghalang yang<br />
menuju perkawinan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji!
Wahai, lihat! Senyuman Dewi Anggraeni, bagaikan iklas ia<br />
meninggalkan dunia ini untuk kepentingan persatuan dua<br />
kerajaan! Tumenggung Braja Nata! Sungguh tangguh<br />
kalbunya, keras hatinya, sampai tega ia membunuh istri<br />
adiknya sendiri!" Ia memijiti urat-urat Raden Panji pula<br />
supaya lekas siuman, tetapi sia-sia saja. 'Sungguh besar<br />
pengurbananmu, Raden!* ratapnya dalam hati. Sungguh<br />
keras kehendak Raman-da! Dan engkau, Raden - wahai,<br />
inilah agaknya arti petua sang Kili Suci! Raden mesti<br />
tabah! Raden mesti sadrah! Raden, inilah agaknya yang<br />
dimaksudkan sang Kili Suci! Ia sungguh waspada, meski<br />
tak sepatah pun berkata, namun tak ada rahasia baginya.<br />
Pantas wajahnya muram! Sungguh berat, sungguh berat<br />
Raden, cobaan yang mesti kautanggungi' Patih Prasanta<br />
menghela nafas, «dang tangannya masih juga memijit<br />
Raden ranu. Tak bisa kupersalahkan baginda yang 160<br />
keras hati membela kepentingan kerajaan, demi<br />
tercapainya cita-citanya yang suci serta luhur itu' Untuk<br />
setiap cita-cita tinggi memang harus diberikan<br />
pengurbanan yang besar! Tetapi. .. Radcn Panji pun<br />
seorang manusia yang mempunyai hati Ia pun mempunyai<br />
kehendak-kehendak untuk mengecap kebahagiaan<br />
kalbunya . . . Tidak, ia pun tak bisa dipersalahkan karena<br />
tidak mau menerima titah baginda . . . / tak terasa lagi air<br />
matanya keluar dan menitik, hangat terasa. 'Sayang,<br />
sungguh sayang sekali . . . sayang sekali ... Ah, mengapa<br />
baginda tidak bertindak bijaksana? Mengapa baginda<br />
menempuh jalan keras? Aduhai, Raden, sadar, sadarlah . .<br />
. Kuatkan hatimu! Tabahkan! Tanggungkan cobaan yang
sangat berat ini! Sadarlah, Raden, sadarlah ...' Dari arah<br />
selatan, terdengar suara ketepuk kaki kuda. Tak lama<br />
kemudian kelihatan mendatang para ponggawa di atas<br />
kuda mereka: letih dan lesu, namun nampak berkuatir atas<br />
nasib putra mahkota. Demi melihat Patih Prasanta sedang<br />
berjongkok menghadapi tiga orang yang terhantar kaku,<br />
terkejut mereka bukan buatan, lalu bersi-cepatan turun dari<br />
punggung binatang tunggangannya. "Mengapakah Gusti<br />
Panji, Gusti Patih?" tanya salah seorang di antara mereka.<br />
Patih Prasanta hanya menengokkan mukanya. 161 Dua<br />
orang ponggawa tergopoh-gopoh mencari air dingin.<br />
Untung tak jauh dari sana ada sumber air yang jernih<br />
bening, sehingga tak lama kemudian ia sudah datang<br />
membawa air yang diminta. Patih Prasanta menerima air<br />
itu, lalu menyiram kepala Raden Panji. Karena air dingin<br />
itu, Raden Panji siuman pula. Perlahan-lahan ia membuka<br />
mata. "Anggraeni . . . Anggraeni . . . gumamnya, la<br />
memandang ke sekelilingnya, lalu bangkit, sedangkan<br />
Patih Prasanta dan para ponggawa lain seakan-akan tak<br />
dia lihat. Dia menubruk tubuh istrinya. "Anggraeni . . .<br />
mengapa kau tidur di sini? Mengapa bukan di rumah?<br />
Duhai, Anggraeni, istriku sayang, alangkah nyenyak<br />
tidurmu! Dan ini, mengapa dadamu berdarah? Duhai,<br />
nyamuk jahanam itu telah menyentuh kulitmu! Tenang,<br />
tenanglah, tidurmu jangan terusik, biar kujaga baik-baik!"<br />
Lalu dia meloncat ke arah kuda, dicarinya, sesuatu, tetapi<br />
tatkala tak ketemu, ia kembali kepada istrinya. ¦ "Di<br />
manakah kipas kautinggalkan, Adinda? Biar. biarlah tak<br />
kukipasi juga, angin di sini sejuk menyilir . . . Tidur saja kau,
tidurlah . . . Biar kusenandungkan lagu-lagu yang indah . . .<br />
," maka ia pun menembang dengan suaranya yang parau,<br />
hampir mulutnya rapat pada telinga istrinya itu, sehingga<br />
orang-orang yang melihat tamasya itu segera<br />
memalingkan wajahnya. 162 "Raden . . . , Raden . . . «<br />
gUmam Patih pra santa. Para ponggawa yang lainnya<br />
menjatuhkan kepalanya masing-masing. Mereka berduka<br />
demi me lihat tingkah gusti mereka. Mereka pun berduka<br />
lantaran melihat mayat Dewi Anggraeni. Yang<br />
mengherankan mereka adalah meskipun darah yang<br />
keluar dari lukanya sudah hitam kering, tetapi tubuhnya<br />
masih tetap segar bugar, bagaikan masih bernyawa. Dan<br />
senyuman yang bergelut pada bibirnya . . . , takkan<br />
mungkin disangka orang sudah menjadi mayat. Waktu<br />
mengangkat wajah, mereka hanya bersipandangan<br />
dengan sesamanya, untuk kemudian menjatuhkan kepala<br />
pula. Patih Prasanta pun tidak mengganggu Raden Panji<br />
yang sedang bersenandung itu. Ia hanya diam juga<br />
menundukkan kepala. Akhirnya Raden Panji selesai<br />
bersenandung, lalu bangkit pula dan memangku istrinya itu.<br />
"Ah, mengapa di sini, Sayang, mengapa di sini Dinda<br />
terbaring? Lumut itu mengotori kulitmu indah, dan ranting<br />
itu akan menusuk lenganmu langsat ..." bisiknya mesra.<br />
"Mari kupindahkan, kupindahkan engkau atas ranjang<br />
gading ketiduran kita. . . " JLalu ia menoleh kepada patih<br />
Prasanta. "Mamanda Patih! Mengapa diam saja? Ambillah<br />
Bibi Wagini itu, Mamanda pangku ia, supaya kita 163<br />
pindahkan mereka, jangan tertidur di sini . . . Pelan-pelan,<br />
jangan sampai ia terjaga dari tidurnya!" katanya memberi
perintah. Patih Prasanta ayal-ayalan, ia ragu-ragu, "Tetapi<br />
Raden ... Raden ..." "Mengapa Mamanda tidak segera<br />
menjalankan titah? Ataukah Mamanda tidak memandang<br />
mata lagi kepada kami? Mamanda tahu, kami putra<br />
mahkota Janggala, yang akan naik takhta, dan putra<br />
mahkota mesti tabah hati, mesti berani berkurban ..." lalu<br />
tiba-tiba saja ia tersedu-sedu bagaikan kanak-kanak.<br />
Maka basahlah wajah istrinya oleh air mata. "Duhai,<br />
mengapa kubasahi wajah jelita ini dengan air mata hina?<br />
Tidur, tidurlah Rayi, jangan engkau terjaga oleh karena air<br />
mata ini! Kekasih abadi! Percayalah, biar gunung Semeru<br />
mereka hadangkan antara kita, namun engkau tak nanti<br />
terpisahkan dari hidupku . . . Percayalah, kekasih,<br />
percayalah! Percayalah akan cintaku yang besar! Tak nanti<br />
kukhianati! Biar, biar, biar seluruh kerajaan memusuhi<br />
Kakanda, namun hatiku tetap cintamu . . . Anggraeni! Lihat!<br />
Bunga cempaka! Alangkah indah! Maukah kau kuuntai<br />
sekarangan bunga, akan menjadi penghias keje-litaanmu?<br />
Alangkah cantiknya Adinda jika berhiaskan bunga . . .<br />
Tetapi, bunga cempaka! Wahai, mengapa bunga seputih<br />
ini berbau darah? Tak terciumkah olehmu. Adinda, amis<br />
darah merangsang hidung? Amis! Amis! Mamanda Patih!<br />
Me164 ngapa amis darah? Darah siapa duhai Mamanda<br />
Patih? la menoleh kepada Patih Prasanta. Sang patih<br />
menundukkan wajah. Air matanya makin lebat membasahi<br />
pipinya yang tua keriputan itu, lantaran tak tega melihat<br />
keadaan junjungannya » "Raden . . . Raden . . . ," hanya<br />
itulah yang keluar dari mulutnya. "Mamanda Patih!<br />
Siapakah yang luka? Siapakah yang darahnya .. lihat!
Alangkah merahnya darah itu! Lihat mengapa batang<br />
cempaka itu mengeluarkan darah semerah itu? Mengapa<br />
batang cempaka bukan bergetah, melainkan berdarah?" ia<br />
mundur sambil memangku istrinya. "Paman, mundur,<br />
mundur, darah itu makin banyak makin banyak jua! Lihat<br />
membanjir! Tidakkah ia akan menghanyutkan kita?<br />
Mamanda Patih! Tolong!" Raden Panji memejamkan<br />
matanya. Dan berteriak-teriak meminta tolong tak keruan.<br />
Patih Prasanta dan para ponggawa hanya melihatnya saja.<br />
Mereka tidak melihat darah, tentu hanya penglihatan<br />
Raden Panji saja. Tatkala ia membuka matanya pula,<br />
Raden Panji memeluk istrinya erat-erat, sedang ratapnya<br />
berkepanjangan. "Anggraeni, istriku, kekasihku . . .<br />
Mengapa, matamu begitu berduka? Mengapa begitu<br />
sedih? Ali, engkau tidur di pangkuanku, mengapa matamu<br />
tak pejam? Mengapa memandangku begitu sayu? 165<br />
Mamanda, Mamanda Patih! Siapakah orang itu yang<br />
wajahnya seperti kekasihku, menatap tak henti-henti<br />
kepadaku? Siapakah dia? Bukan, dia bukan istriku,<br />
karena istriku sedang nyenyak tertidur di pelukanku . . .<br />
Mamanda, tolong! Tolong singkirkan dia, karena darah tak<br />
henti-hentinya mengalir dari dadanya! Duhai, tolong, darah<br />
yang merah! Merah!" Raden Panji berlari-lari ketakutan<br />
dan mulutnya tak henti-hentinya berteriak-teriak. Patih<br />
Prasanta memburunya. Dipegangnya bahu Raden Panji.<br />
"Raden tenanglah Raden, tenanglah . . . Tak ada orang<br />
yang memandang Raden dan darahnya tak henti-henti<br />
mengalir . . Tak ada!" "Tetapi lihat! Ia berdiri di samping<br />
Mamanda! Ia memandang! Mamanda. suruh ia pergi!
Jangan memandangku dengan pandangan dingin begitu!"<br />
"Raden . . . ," suara Patih Prasanta serak lantaran hiba.<br />
"Yang berdiri di samping Raden, hanya Mamanda<br />
seorang, tak ada yang lain! Dan Dewi Anggraeni.... "<br />
"Sssttt . . .," Raden Panji menekankan telunjuk ke mulutnya.<br />
"Jangan keras-keras Mamanda bicara, nanti ia terjaga!<br />
Lihat, ia tidur, nyenyak sekali. Perlahan-lahan Mamanda,<br />
supaya ia jangan terjaga..." Patih Prasanta hanya<br />
memandang dengan kasihan. 166 •Tidur, tidurlah sayang .<br />
. . ;> kaU Rad kepada mayat istrinya. "Tidurlah biar<br />
nyenvTk-Jangan hiraukan suara-suara yang<br />
mengganggumu-Dengar, dengarlah, biar Kanda<br />
senandungkan pula lagu yang indah . . . ," dan ia pun<br />
menyanyi pula dengan suara yang rendah dan parau,<br />
sedangkan matanya hampir pejam, pipinya di atas pipi<br />
Dewi Anggraeni. Ia membisikkan senandungnya itu ke<br />
telinga kekasihnya. Patih Prasanta serta para ponggawa<br />
kembali menjatuhkan kepala. Mereka menghindarkan<br />
pandangan dari tamasya yang mengenaskan itu . . . Raden<br />
Panji berjalan beberapa tindak, lalu duduk dan<br />
membaringkan kekasihnya di atas naungan pohon yang<br />
rindang. Ditaruhnya kepala mayat istrinya di atas pangkal<br />
lengannya yang kanan, lalu tangannya yang kiri memeluk<br />
sayang tubuh istrinya, sedangkan mulutnya tidak juga<br />
berhenti bersenandung.... Tidak lama kemudian suaranya<br />
lenyap, agaknya ia tertidur. Patih Prasanta terjaga dari<br />
lamunannya, lalu bangkit dan memberi isyarat kepada para<br />
ponggawa agaj^ mengikutinya, la berjalan agak jauh dari<br />
tempat Raden Panji, lalu memberi perintah dengan
erbisik. "Biarkan ia tertidur, jangan berbuat ribut. Ia lelah .<br />
. . ," ia lupa bahwa ia sendiri bersama para ponggawa itu<br />
lelah semua. Lalu dititahkannya 167 supaya dua orang<br />
ponggawa pulang ke istana, akan mempersembahkan hal<br />
Raden Panji kepada baginda,,Ampun Gusti Patih,"<br />
sembah ponggawa yang mendapat titah itu.<br />
"Bagaimanakah hamha mesti mempersembahkan hal itu<br />
kepada uaginda?" Patih Prasanta berpikir keras. "Kau<br />
persembahkanlah apa yang kausaksikan sendiri dengan<br />
matamu ..." katanya kemudian. "Mestikah hamba<br />
persembahkan, bahwa Raden Panji . . . Raden Panji . . .<br />
berubah . . . eheh . . . berubah ingatan?" Patih Prasanta<br />
menghindarkan pandangan ponggawa itu.<br />
"Penembakanlah hal yang sesungguhnya .... sahutnya<br />
kemudian. Sang ponggawa menekur. 'Tidakkah baginda<br />
akan murka?" ia bertanya menggumam "Bagaimanapun,<br />
kau mesti mempersembahkan hal yang sesungguhnya ..."<br />
sahut Patih Prasanta pula. "Persembahkan, bahwa aku<br />
tidak menghadap sendiri, karena kualir kalau-kalau Raden<br />
Panji berbuat nekat____** Ponggawa itu segera<br />
menghaturkan sembah, lalu bersama seorang kawannya<br />
mengendap-endap menuntun kudanya kembali ke arah<br />
Kahu-ripan. Patih Prasanta duduk dengan kepala<br />
tertunduk. 168 Kantuk dan lelah dinnya tak dia rasa,<br />
pikirannya tertuju kepada keselamatan gusti mudanya saja<br />
Sejenak ia memandang ke arah Raden Panji tertidur<br />
berpelukan dengan mayat istrinya itu, lalu air matanya pun<br />
mengalir tak tertahankan lagi. Ia merasa hiba dan sedih<br />
hati yang luar biasa. 'Alangkah hebat akibat kekerasan hati
aginda! Menantu yang tak berdosa dibunuh dan putranda<br />
sendiri! .. . Wahai, putra mahkota Janggala yang berhak<br />
atas takhta, berubah ingatan! Bagaimana pula baginda<br />
akan melaksanakan cita-citanya menikahkan Raden Panji<br />
dengan Dewi Sekar Taji? Duhai, akan remuk hati sang<br />
permaisuri apabila disaksikannya putranda berhal seperti<br />
ini!' pikirnya. Patih Prasanta memandang pula ke arah<br />
Raden Panji yang tenang tertidur di samping mayat istrinya<br />
itu. 'Alangkah besar cintanya! Alangkah besar! Dan<br />
alangkah besar pengurbanan yang mesti dia berikan!<br />
Sungguh hebat!' pikirnya pula. Sementara itu angin yang<br />
sejuk, bangkit semilir membawa kantuk. Seluruh hutan<br />
bagaikan mati. Kuda-kuda mengisi perutnya dengan lahap<br />
sambil beristirahat. Para ponggawa di kejauhan bagaikan<br />
terpukau oleh kantuk. Terdengar bisik-bisik dan keluhankeluhan<br />
berduka, tetapi peristiwa yang mereka alami dan<br />
saksikan menyebabkan mereka terpaku lidahnya. Kelu.<br />
169 Sang patih bersandar pada sebatang pohon, dan<br />
tatkala angin yang semilir menyejuk tubuhnya, ia pun jatuh<br />
tertidur. Tatkala ia terjaga pula. Raden Panji sudah berdiri<br />
di sampingnya, sambil mengguyah-guyahkan tubuhnya.<br />
"Mamanda! Mamanda! Mari kita berangkat!" Patih<br />
Prasanta membuka matanya. "Berangkat ke mana.<br />
Raden?" "Kita pergi ke pantai! Ke Muara Kamal!" Patih<br />
Prasanta terheran-heran. "Ke Muara Kamal?" "Ya, kita<br />
pergi ke Muara Kamal. Dewi Anggraeni ingin mandi di laut.<br />
Ia ingin melihat pemandangan laut. Ia ingin berenangrenang,<br />
berperahu, berlayar-layar, menghirup udara laut..."<br />
Patih Prasanta memegang kedua bahu junjungannya, dan
sambil matanya memandang tajam kepada wajah Raden<br />
Panji, ia berkata, suaranya perlahan dan bagaikan tersekat<br />
di kerongkongan, "Raden, tetapi. Raden, sadarlah! Dewi<br />
Anggraeni sudah meninggal. Ia tidak punya kehendak lagi.<br />
Ia sudah tidak berkeinginan lagi. Ia mesti . . . " Raden Panji<br />
menyentak melepaskan tubuhnya dari pegangan Patih<br />
Prasanta. ''Apa kata Mamanda? Dewi Anggraeni<br />
meninggal- Jangan Mamanda bicara yang bukan-bukan!<br />
Tidakkah Mamanda lihat ia tersenyum, menertawakan<br />
perkataan Mamanda? Sudahlah Mamanda, 170 mari kita<br />
berangkat! Tidakkah terdengar oleh Mamanda suara<br />
ombak menderu mengajak kita mandi di dalamnya?" Patih<br />
Prasanta memandang dengan mata penuh hiba. "Tetapi<br />
Raden, Raden----yang Raden peluk itu bukan istri Raden,<br />
melainkan . . . ," katanya kemudian. "Apa? Mamanda<br />
masih bicara juga? Mamanda kira siapa yang kupeluk ini?<br />
Istriku! Istriku Dewi Anggraeni yang tercinta!" teriak Raden<br />
Panji. "Lihat, ia merasa gerah, ia ingin mandi. Mari kita<br />
berangkat ke Muara Kamal! Bukankah ia berangkat dari<br />
rumah pun menuju ke Muara Kamal?" Patih Prasanta<br />
menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia memegang<br />
bahu Raden Panji pula. "Dengarkan Raden ..." katanya.<br />
"Yang Raden peluk itu memang istri Raden, Dewi<br />
Anggraeni yang Raden cintai dan mencintai Raden<br />
sepenuh hati. Tetapi sekarang, sekarang ... ia sudah<br />
meninggal . . . Tidakkah Raden perhatikan wajahnya? Ia<br />
tidak lagi bernafas ..." "Mamanda! Sudah, jangan bicara<br />
juga! Kekasihku langgeng, kekal, ia 'kan kekal mencintaiku<br />
dan tak nanti meninggalkan daku sendirian di dunia ini.
Tidak! Ia 'kan tetap setia di sampingku!" Kemudian 'ia<br />
menoleh kepada kekasihnya. "Tidakkah benar begitu,<br />
kekasihku?" 171 Patih Prasanta hanya menghela nafas. Ia<br />
mengalihkan pandangan dan junjungannya. "Mamanda!"<br />
terdengar Raden Panji bicara pula. "Pangkulah Bibi<br />
Wagini! Kasihan ia wanita, sudah lanjut pula usianya! Biar<br />
Dewi Anggraeni akan kupangku. Mamanda pangku Bibi<br />
Wagini! Ia seorang emban setia, pengasuh kekasihku<br />
sejak masih kecil, tak mau ditinggalkan ke mana pun<br />
gustinya pergi . . . Sekarang, mari kita ajak dia ke laut. Biar<br />
senang keduanya menyaksikan tamasya laut yang indah .<br />
..," kemudian ia menoleh kepada mayat istrinya,<br />
"Bukankah Adinda belum melihat laut yang berbusa putih?<br />
Laut yang sejauh-jauh mata memandang terhampar luas?<br />
Pucuk ombak gemerlap, perahu mayang, ikan-ikan,<br />
binatang-binatang, matahari, dan bulan! Ya, kita lihat<br />
matahari dan bulan bersama-sama di atas laut! Mari, mari<br />
sekarang juga Kanda antar ke sana, biar suka hatimu, biar<br />
puas Adinda menghirup udara laut yang menyegarkan!<br />
Mari kita berangkat, mari!" lalu ia pun bangkit, dipangkunya<br />
istrinya, kemudian berjalan menuju kudanya. Hati-hati<br />
sekali dinaikkannya tubuh istrinya itu di atas kuda, lalu<br />
dilepaskannya tali tambalannya, baru ia naik. Dipegangnya<br />
kendali dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya<br />
memeluk tubuh istrinya erat-erat. "Mari Mamanda! Mari.<br />
cepat!" teriaknya sambil mcnoleh kepada Patih Prasanta.<br />
"Mengapa Mamanda selalu ayal-ayalan? Patih Prasanta<br />
segera melakukan Utah junjun*-annya. Dipangkunya mayat<br />
Emban Wagini lalu dinaikkannya ke atas kuda. Tetapi
sebelum ia sendiri naik, diberinya isyarat supaya para<br />
ponggawa pun turut mengikutinya. "Biar bagaimana pun,<br />
mesti kita ikuti ..." katanya kepada para ponggawa itu.<br />
"Jangan biarkan ia berbuat apa pun sendirian ... Ke<br />
manapun kita mesti turut. Hatinya sangat berduka dan<br />
cintanya kepada istrinya sangat besar, maka tak mau ia<br />
percaya bahwa istrinya sudah meninggal. Maka baginya,<br />
Dewi Anggraeni itu masih berjiwa jua agaknya ..." Para<br />
ponggawa mendengarkan perkataan patih Prasanta<br />
dengan diam-diam dan menundukkan kepala. Mereka<br />
menundukkan kepala, lantaran terharu dan iba yang amat<br />
sangat. Segera mereka mengambil kudanya masingmasing<br />
dengan diam-diam. Sementara itu Raden Panji<br />
sudah beberapa belas tumbak meninggalkan mereka.<br />
Sayup-sayup terdengar senandungnya yang parau. Makin<br />
lama suaranya makin keras dan makin keras jua.<br />
Walaupun parau, suaranya bagaikan bukan orang berduka,<br />
melainkan riang seriang-riangnya riang. Demikianlah iringiringan<br />
yang aneh itu berjalan. Di depan Raden Panji<br />
memeluk mayat 173 172 istrinya tak henti-hentinya<br />
menembang. Dan di belakangnya mengikuti Patih<br />
Prasanta yang jUga memeluk mayat, tetapi ia tidak<br />
menembang, melainkan berwajah muram dan berduka. Di<br />
belakang mereka mengikuti para ponggawa yang juga<br />
tidak nampak gembira, bahkan bersedih hati. Keluar dari<br />
hutan, maka nampaklah tegalan yang luas, dengan ilalang<br />
yang bergelombang. Di kejauhan terdengar dentur ombak<br />
laut yang menerjang pantai. "Dengar, kaudengarkan<br />
kekasihku, suara gelombang itu menghimbau
memanggilmu? Mari, mari kita ke sana! Laut ingin<br />
dikunjungi oleh putri jelita seperti engkau, supaya sudi<br />
mencecahkan kakimu indah berbasah-basah di tepi pantai<br />
..." bisik Raden Panji kepada istrinya. "Dan lihat! Alangkah<br />
indahnya! Di sini tidak seperti dalam hutan! Pemandangan<br />
luas dan bebas! Tak ada pohon-pohon suram yang<br />
menghalangi pandangan! Alangkah luas! Mari dongakkan<br />
kepalamu, pandanglah semuanya sepuasmu!" Suara<br />
ombak makin nyata terdengar, dan tak lama kemudian<br />
sampailah mereka di pesisir. Pucuk ombak yang menuju<br />
pantai gemerlap dalam sinar matahari yang terik. Keringat<br />
kuda bercucuran, ^rmanuc-manik sepanjang surinya,<br />
bagaikan perlua^^be^Kek?KkU' Iih3t! Uhallah ,aut luas<br />
terbentang di hadapanmu itu! Alangkah indahnya<br />
pemandangan samudra di bawah bulan van, purnama!<br />
Sungguh cemerlang! Dan bulan itu -ia mendongak ke arah<br />
langit, lalu menunjuk ke arah matahari yang bersinar terik<br />
itu, "alangkah bulatnya!" Demi sampai di tepi pantai, lalu ia<br />
turun dari kuda sambil memangku kekasihnya, yang<br />
dipeluknya. Kakinya yang indah itu dibiarkannya dibasahi<br />
sibakan-sibakan air yang didorong ombak dari tengah.<br />
"Sungguh menyegarkan air laut ini!" serunya gembira.<br />
"Tidakkah engkau senang air yang segar itu membasahi<br />
kakimu, sayang?" Tak lama kemudian Patih Prasanta pun<br />
sampai juga ke sana. "Mari, mari ke mari Mamanda! Kita<br />
berjuntai di sini, membasah-basahi kaki dengan air laut<br />
yang menyegarkan ini!" Beberapa lamanya mereka<br />
berbuat demikian, hingga tiba-tiba Raden Panji melompat<br />
dari duduknya. "Mamanda. lihat! Lihat di Muara itu banyak
perahu! Mari, kita pinjam beberapa buah, supaya boleh<br />
kita bersenang-senang berlayar ke tengah samudra. Dewi<br />
Anggraeni tentu senang hatinya apabila berperahu di<br />
lautan! Hahaha. .. bukankah engkau belum pernah<br />
berlayar-layar ke lautan? Ya, mari, mari, sekarang! Biar<br />
puas hatimu! Senang kita berlayar-layar dengan perahu<br />
sedangkan 175 174 bulan memancar seindah ini! "Tetapi<br />
Raden ..." sahut Patih Prasanta. "Apa pula 'tetapi*,<br />
Mamanda?" cepat Raden Panji memotong. "Tak pakai<br />
tetapi lagi, mari kita berangkat sekarang! Mamanda<br />
panggil tukang perahu itu, boleh kita sewa!" "Tetapi Raden,<br />
tidakkah lebih baik kita pulang?" "Apa pulang? Tidak,<br />
Mamanda, di istana baginda tidak ada lagi, yang sekarang<br />
ada seorang yang bermuka macan, berlepotan darah!<br />
Tidakkah Mamanda tahu, siapa yang telah mengalahkan<br />
Ayahanda? Itulah raksasa! Yang taringnya menakutkan!<br />
Tidak, tak mau kami kembali ke sana! Lebih baik kita<br />
berlayar akan mencari pulau yang indah di mana manusiamanusia<br />
kasih-mengasih sesamanya, seperti kami cintamencintai<br />
dengan Dewi Anggraeni! Mari! Mari, Mamanda!<br />
Kita cari pulau tempat tinggal manusia, jangan tempat<br />
raksasa kita datangi!" Patih Prasanta terhenyak. Ia tidak<br />
bisa berbuat lain daripada melakukan kehendak Raden<br />
Panji. 'Bagaimana pun sekarang ia sedang berduka, tak<br />
baik kehendaknya kuhalang-halangi/ katanya dalam hati.<br />
'Baiklah, kuturutkan saja segala kehendaknya, mudahmudahan<br />
takkan berlarut-laMaka dititahkannya para<br />
ponggawa menemui juragan perahu akan meminjam<br />
perahu-perahu * £ m mereka. Demi tahu siapakah
gerangan yang hendak mempergunakan perahu mereka,<br />
para juragan De rahu itu tidak keberatan, hanya saja<br />
seorang di antara mereka menyatakan kekuatirannya,<br />
"Tetapi hari rupanya akan menjadi buruk! Menurut<br />
penglihatan hamba di kakilangit nun di sana kelihatan<br />
warna hitam gumpalan awan, mungkin badai akan turun<br />
sore nanti." Sembah itu disampaikan kepada Raden Panji,<br />
tetapi putra mahkota yang tidak waras itu malah tertawa<br />
mengejek, "Apa, badai? Jangan main-main! Masa pada<br />
hari seindah ini, dengan purnama seterang ini, badai akan<br />
tunin? Engkau rupanya tak mau meminjamkan perahu<br />
kepada kami, maka kautakut-takuu" kami dengan badai!<br />
Tidak, kami tak mungkin kaubohongi! Kami akan berlayar<br />
bersenang-senang! Tidakkah engkau lihat, wajah<br />
kekasihku ini menjadi murung lantaran mendengar<br />
cegahanmu? Engkau telah menerbitkan kekuatiran dalam<br />
kalbunya!"* Juragan perahu itu pada mulanya merasa tak<br />
senang karena dikata-katai oleh Raden Panji seperti itu. Ia<br />
memberi peringatan untuk keselamatan orang, siapa tahu<br />
malah dimaki-maki. Tetapi tatkala ia sudah dibisiki oleh<br />
para ponggawa bahwa putra mahkota sedang sakit<br />
ingatan, ia hanya menunduk. 'Terserahlah!" katanya. -<br />
Hamba tidak sayang perahu hamba diterjang badai. Tetapi<br />
putra mah177 176 kota Janggala- .. " Akhirnya Raden<br />
Panji naik juga ke alas perahu. Sebuah perahu yang besar<br />
dipilihnya. Sambil memangku kekasihnya ia naik.<br />
kemudian disuruhnya Patih Prasanta mengikutinya sambil<br />
memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni itu.<br />
Dan para ponggawa dititahkan naik ke perahu yang Itin.
Kedua perahu itu diperintahkan diikat erat-erat<br />
Demikianlah perahu-perahu itu bertolak dari pantai.<br />
Sedangkan para awak perlu melakukan tugasnya dengan<br />
hati kebat-kebit. Raden Panji tak henti-hentinya<br />
menembang dengan suaranya yang parau itu---Kedua<br />
perahu itu berlayar dengan angin buritan, makin lama<br />
makin jauh dari pantai. Raden Panji menurutkan<br />
kehendaknya sendiri. Ia menitahkan awak-awak perahu itu<br />
terus maju ke tengah samudra. Makin lama makin ke<br />
tengah dan daratan sudah sayup-sayup. Apa yang<br />
dikatakan oleh juragan perahu tentang badai itu, benarbenar<br />
terjadi. Tiba-tiba angin dan hujan datang dengan<br />
kerasnya. Matahari yang bersinar terik tiba-tiba menjadi<br />
gelap gulita, dan air serta halilintar menggantikannya. Di<br />
Muara Kamal orang-orang menyaksikan semuanya dengan<br />
gelisah dan putus asa. Perahu yang dinaiki oleh putra<br />
mahkota itu mereka ikuti 178 dengan teliti sejauh-jauh<br />
mata menumu kaIa badai bertiup, lenyaplah „SS^ ^<br />
pemandangan. Dan tidak lama kemudi/k yang dahsyat pun<br />
sampai pula ke Muara" k: . Orang-orang saling pandang.<br />
Mereka », rakan kekuatiran hatinya dengan vZ^* suram<br />
•'Sungguh celaka!" kata juragan perahu yang tadi<br />
mencegah Raden Panji. "Mengapa tak k u larang mereka<br />
pergi? Mengapa aku manda saja*" "Baginda tentu akan<br />
murka kalau diketahuinya hal hilangnya putra mahkota<br />
diterjang topan!" kata seseorang membumbui. "Kita akan<br />
kena murka!" Orang-orang itu saling pandang dengan<br />
cemasnya. "Tetapi meski bagaimana pun, kita mesti<br />
memberitahukan hal ini kepada baginda!" tiba-tiba kata
seorang yang sudah lanjut usianya. 'Tak peduli bagaimana<br />
murka baginda, namun hal ini mesti diberitahukan juga!"<br />
Kemudian orang-orang itu berunding siapa yang akan<br />
berangkat ke ibukota buat memberitahukan kabar duka itu<br />
kepada baginda. 179 SANG PERMAISURI Berita tentang<br />
Raden Panji berubah ingatan yang dibawa oleh ponggawa<br />
pengiringnya, sangat men-dukakan hati sang permaisuri.<br />
Saking terkejut, ia pingsan dan beberapa lamanya tak<br />
kabarkan diri. Baginda pun terhenyak. Pukulan itu sangat<br />
mengejutkan hatinya. Lain yang dicita, lain yang terjadi!<br />
Tatkala sang permaisuri siuman pula, maka ia menangis<br />
berkepanjangan, lantaran dukacita. Betapa kan tidak!<br />
Raden Panji Kuda Waneng Pati satu-satunya putranda! Biji<br />
mata tumpuan harap! Yang akan menggantikan ayahanda<br />
memangku takhta! Dan sekarang .. . berubah ingatan!<br />
"Bagaimanapun, Gusti juga yang bersalah! Melakukan<br />
sesuatu tanpa pertimbangan yang matang!" katanya antara<br />
sedu sedan yang menyesakkan dada dan pipi yang basah<br />
dengan air mata. Dipersalahkan seperti itu, baginda tidak<br />
mau menerima. Ia memandang kepada permaisuri de<br />
ngan mata yang guram "Dasar si Panji itu seorang yang<br />
lemah hati' Yang dia pikirkan hanya kepentingan dirinya<br />
semata!" sabdanya. "Sekali-kali dalam pikirannya tak<br />
pernah terlintas kepentingan orang lain, kepentingan<br />
manusia kawula kerajaan!" "Kepentingan kawula<br />
kerajaan!" bantah sang permaisuri. "Untuk kepentingan<br />
kawula kerajaan, Gusti rela membunuh menantu dan<br />
membikin putra sendiri tidak . . . tidak . . . wa. . . waras!"<br />
"Yang kutitahkan dilenyapkan adalah penghalang akan
terlaksananya cita-cita yang agung! Dan kalau si Panji<br />
sekarang berubah ingatan, adalah lantaran kelemahan<br />
hatinya jua!" sahut baginda. "Dan sekarang, setelah<br />
semuanya berlaku seperti ini, bagaimana gerangan citacita<br />
Gusti yang agung itu?" ejek sang permaisuri. "Bisakah<br />
Gusti mencapai cita-cita tinggi itu, dengan jalan kekerasan<br />
dan paksaan? Bisakah Gusti mencapai kebahagiaan<br />
manusia dua kerajaan dengan mengurbankan<br />
kebahagiaan putranda sendiri?" "Kalau si Panji seorang<br />
yang berhati kuat, yang sadar akan arti hidupnya sebagai<br />
seorang putra mahkota yang mesti rela mengurbankan diri<br />
dan kebahagiaan sendiri buat kepentingan kebahagiaan<br />
kawula negara, tak nanti terjadi hal seperti ini! Hal yang<br />
seperti ini terjadi, semata-mata 181 / 180 lantaran si Panji<br />
seorang yang lemah hati, seorang yang terlalu dimanjakan!<br />
Dan Rayindalah yang telah terlalu memanjakannya,<br />
sehingga ia lupa akan darmanya sebagai seorang satria!<br />
Bahkan seorang satria utama!" Dituduh demikian, sang<br />
permaisuri menjadi murka. "Hamba pula dipersalahkan!<br />
Ya, hanya orang lain yang bersalah dan Gusti seorang<br />
maha-manusia yang senantiasa memikirkan kebahagiaan<br />
manusia-manusia lain, tak mungkin melakukan kesalahan!<br />
Setiap kehendak Gusti mesti terlaksana! Dan kalau terjadi<br />
yang di luar kehendak Gusti, tentu ada orang lain yang<br />
bersalah! Padahal Gusti melakukan segalanya tanpa<br />
mempertimbangkan hal-hal yang bersangkutan dengan<br />
pelaksanaannya! Gusti menitahkan Raden Panji<br />
melakukan hal yang di luar kemampuannya. Gusti tidak<br />
pemah memikirkan sifat tabiat Raden Panji. Ya, Gusti tidak
pernah mempunyai waktu yang cukup buat memperhatikan<br />
putranda sendiri, lantaran Gusti senantiasa sibuk<br />
memikirkan kepentingan manusia-manusia lain!"<br />
"Rayinda!" sang baginda berteriak. "Apa yang Rayinda<br />
katakan?" Permaisuri tidak menyahut, menangis sejaclijadinya.<br />
Tak terlerai lagi. Setelah baginda merasa dadanya<br />
sendiri reda membadai, baru bersabda dengan suara yang<br />
di18 sabar-sabarkan, Raymda mesti mengerti Der^aI an<br />
Raden Panji persoalan yang menyangkut mT bat kerajaan!<br />
Pernikahan Raden Panji den Dewi Sekar Taji mesti<br />
dilaksanakan, karena kedS nya sudah dipertunangkan dan<br />
pertunangan itu dilakukan atas nama dua kerajaan yang<br />
bercita-cita luhur!" Sang permaisuri mengangkat wajah.<br />
"Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji! Tetapi<br />
mestikah itu dilakukan setelah melangkahi mayat Dewi<br />
Anggraeni lebih dahulu?" "Anggraeni adalah penghalang<br />
yang menyebabkan Raden Panji tidak mau menikah<br />
dengan Dewi Sekar Taji!" "Dan sekarang, setelah Dewi<br />
Anggraeni meninggal, bagaimana? Akankah Raden Panji<br />
sudi menikah dengan Dewi Sekar Taji?" Baginda<br />
melengak. la tidak bisa menyahut, hanya diam-diam<br />
kepalanya menekur. "Mengapa Gusti tidak mendengar<br />
perkataan hamba? Bukankah hamba wanti-wanti<br />
berpesan, supaya jangan dilakukan paksaan? Bukankah<br />
dengan dilakukan paksaan, hasilnya sia-sia saja?<br />
Jangankan cita-cita Gusti tercapai, bahkan Raden Panji<br />
sendiri ..." tak lanjut perkataan permaisuri, lantaran<br />
dadanya menjadi sesak pula oleh biang tangis. Beberapa<br />
lamanya ia sesenggukan, terdengar pula ratapnya tak
erkeputusan, "Duhai Raden . . . mengapa nasibmu<br />
malang? Mengapa 183 mesti engkau yang mengalami<br />
pengalaman dahsyat seperti itu? Anggraeni hilang, dan<br />
yang menitah-kannya lenyap adalah ayahanda! Alahai,<br />
Tumenggung Braja Nata, saudaramu sendiri yang<br />
melakukannya! Sungguh hebat... f" Kecuali suara sang<br />
permaisuri yang meratap berkepanjangan, hanya nafas<br />
baginda yang terdengar. Baginda diam merenung,<br />
sedangkan matanya memejam. Beberapa lamanya<br />
berdiam-diam seperti itu, akhirnya baginda menghela<br />
nafas panjang, kemudian memegang kedua bahu sang<br />
permaisuri. "Sudahlah Rayinda, sudahlah," sabdanya.<br />
"Jangan Rayinda perturutkan juga kedukaan hati Rayinda."<br />
Permaisuri meratap-ratap juga. Baginda keluar akan<br />
menitahkan beberapa orang ponggawa untuk membawa<br />
Raden Panji pulang ke istana. Belum lama orang<br />
berangkat, datang warta dari Muara Kamal: putra mahkota<br />
Janggala tenggelam di lautan diterjang badai! Baginda<br />
terperenyak. Tubuhnya seolah lesu dan tulang-tulangnya tak<br />
berdaya. Berita yang datang saling menyusul itu sangat<br />
meremukkan kalbu baginda. Tetapi masih sempat baginda<br />
memben ingat para hamba supaya jangan sampai benta<br />
itu terdengar oleh sang permaisuri. Sekarang, lenyaplah<br />
harapan baginda! Raden Kanji hilang dalam lautan, tak<br />
mungkin baginda 184 mcmcnuhi janjinya kepada raja<br />
Kadiri. Tak mungkin cita-cita yang agung itu bisa<br />
terlaksana' Ari bila Raden Panji masih hidup, meskipun<br />
tidak w." ras, masih ada harapan suatu waktu ia akan<br />
sembuh dan persatuan Janggala dengan Kadiri terlaksana
Tetapi sekarang . . . ! Raden Panji entah di mana di dasar<br />
samudra, mungkin sudah menjadi santapan ikan hiu pula!<br />
"Tetapi agaknya itulah akhir yang sebaik-baiknya bagi<br />
Raden Panji ..." pikir baginda kemudian. "Daripada hidup<br />
terus dengan ingatan yang tidak waras----" Kemudian<br />
baginda termenung pula. Baginda merenung, menyelam ke<br />
dasar lubuk jiwanya, memikirkan peristiwa demi peristiwa<br />
yang belakangan ini dialaminya. Sebagai seorang raja,<br />
baginda seorang yang berambekan tinggi dan bercita-cita<br />
luhur. Tetapi kejadian-kejadian yang berlalu di luar<br />
kekuasaannya sendiri, menggagalkan cita-citanya yang<br />
luhur itu. sehingga hatinya menjadi tawar. "Malu aku<br />
kepada moyangku sang Airlangga!" pikirnya. "Cita-citanya<br />
hendak kulaksanakan. tetapi gagal!" lalu setelah menghela<br />
nafas, "Padahal pembagian dua kerajaan itu dahulu,<br />
meskipun batasnya dibikin oleh Empu Bharada, namun<br />
atas titah sang Airlangga juga. Tidakkah sekarang aku<br />
kena kutuknya?" baginda tertegun. "Dahulu sang Airlangga<br />
malah dengan sengaja 185 membagi dua kerajaannya . . .<br />
agaknya lantaran baginda melihat kenyataan-kenyataan<br />
yang jauh dari kemungkinan berlangsungnya kemegahan<br />
kerajaan secara abadi . . . Baginda membagi dua<br />
kerajaan, karena dua saudara yang menjadi nenek kami<br />
memperlihatkan gejala-gejala yang memungkinkan<br />
timbulnya perang..." Teringat akan leluhurnya, terkenang<br />
pula baginda akan Sang Kili Suci yang menolak takhta dan<br />
memilih kehidupan bertapa sebagai pilihan hidup.<br />
Terkenang pula ia akan pertemuannya dengan wanita<br />
pertapa itu beberapa waktu berselang. "Yang paling benar
adalah Nenenda sang Kili Suci. Ia memilih kehidupan yang<br />
aman, damai, tenang . . . Takhta kerajaan yang dimimpimimpikan<br />
orang lain, yang diperebutkan orang lain dengan<br />
melupakan keselamatan jiwanya sendiri, malah dia tolak.<br />
Sungguh mulia!" baginda teringat akan wajah yang segar<br />
dan damai, yang selalu memandang sesuatu dengan hati<br />
terbuka. "Mengapa aku bertahan dalam hidup kerajaan<br />
yang megah namun tak menentramkan ini?" pikir baginda<br />
lebih lanjut. "Mengapa tidak kuikuti saja jejak Nenenda?<br />
Mengapa aku tidak pergi saja ke gunung akan bertapa,<br />
meninggalkan kehidupan keraton yang sangat berat ini?"<br />
R»dlX7ttpmtSnd! *- k""da 186 -Raden Panji kusuruh ke<br />
Pucangan akan m nemui sang Kili Suci. Apakah yang<br />
d«pe*«*£ mereka? jemukah Raden Panji dengan sa^g Kili<br />
Suci? Tahukah sudah petapa suci itu akan apa yang telah<br />
terjadi? Duhai, ia seorang yang waspada, tentu<br />
diketahuinya segala sesuatu yang terjadi dan akan terjadi!<br />
Duhai, apakah akan katanya kelak, kalau diketahuinya<br />
bahwa Dewi Anggraeni telah meninggal dan Raden Panji<br />
dalam gilanya tenggelam ke dasar samudra? Padahal<br />
beliau sangat sayang kepada Raden Panji! Kepada Dewi<br />
Anggraeni pun beliau menunjukkan kasihnya! Coba kalau<br />
tidak ada persoalan pertunangan antara dua putra<br />
mahkota ..." Berpikir sampai di situ wajah baginda menjadi<br />
guram pula. Baginda terkenang kepada menantunya. Dewi<br />
Anggraeni. Dan Tumenggung Braja Nata telah menuturkan<br />
secara terus terang apa yang dilakukannya. "Tak kukira<br />
engkau seagung itu, Anggraeni!" kata baginda dalam hati<br />
setelah menghela nafas. "Engkau rela mengurbankan
hidupmu sendiri, demi kepentingan kerajaan . . . Engkau<br />
memilih mati, karena tahu bahwa hidupmu menjadi<br />
penghalang bagi tercapainya cita-cita luhur . . ¦ Apa nak<br />
dikata, semuanya telah terjadi, dan cita-cita tinggal cita-cita<br />
belaka..." Baginda sangat bersukur dan kagum akan<br />
ketulusan cinta Dewi Anggraeni dan terharu tatkala<br />
mendengar sembah Tumenggung Braja Nata. 187<br />
Baginda menyayangkan menantu yang iklas itu dan kini<br />
mempersalahkan dirinya yang telah berkeras kepala.<br />
"Betul," kata baginda kemudian kepada dirinya sendiri.<br />
"Yang paling benar adalah hidup seperti Nenenda di<br />
Pucangan. Biar kutinggalkan segala kemegahan dan<br />
kegemilangan istana ini! Biar semuanya kutinggalkan,<br />
karena tak satu pun memberiku ketentraman!" Setelah<br />
keadaan memperkenankan, baginda kemudian<br />
mengutarakan maksudnya itu kepada sang permaisuri.<br />
Dan sang permaisuri yang juga telah tawar hati dan<br />
berduka, menyetujui saran baginda. Maka diputuskan,<br />
bahwa baginda akan mengundurkan diri dari takhta dan<br />
bersama-sama dengan sang permaisuri akan<br />
mengasingkan diri ke gunung dan hutan, buat bertapa____<br />
Telah ditetapkan, bahwa yang akan menggantikan baginda<br />
memegang tampuk kerajaan Janggala adalah<br />
Tumenggung Braja Nata. Meski banyak lagi putra baginda<br />
yang lain, namun dialah yang paling tepat menggantikan<br />
baginda. Setelah Raden Panji tak bisa diharapkan lagi,<br />
maka Tumenggung Braja Nata menerima pe<strong>net</strong>apan<br />
baginda. Namun terkenang akan peristiwa-peristiwa yang<br />
telah dialaminya, ia sangat berduka dan jauh dalam hatinya
masih mengharap-harap bahwa Raden Panji belum lagi<br />
meninggal. 'Belum pasti perahu itu tenggelam dan<br />
kalaupun 188 perahunya karam, belum pasti Raden Panii<br />
m, ninggal di dasar samudra. Siapa tahu dia terdTm". par<br />
ke dataran? pikirnya. Dia merasa tak Puas dan berdosa<br />
kepada Raden Panji, setelah p^sti-wa dalam hutan itu. Ia<br />
ingin supaya suatu kali dalam hidupnya ia bertemu pula<br />
dengan Raden Panji akan menghaturkan ampun, la ingin<br />
menjelaskan duduknya perkara kepada Raden Panji, la<br />
ingin Raden Panji mengetahui, bahwa ia tidak sampai<br />
membunuh Dewi Anggraeni____ Beberapa puluh orang<br />
ponggawa dititahkan untuk mencari-cari Raden Panji.<br />
Bahkan suatu angkatan perahu dikerahkan untuk mencari<br />
sisa-sisa perahu yang dilanda badai itu. Tetapi sia-sia<br />
saja. Ia menerima pengangkatan baginda untuk memangku<br />
takhta, namun kepada dirinya sendiri ia berjanji, kalau<br />
suatu masa kelak Raden Panji ternyata masih hidup, ia<br />
akan dengan rela menyerahkan takhta kepada putra<br />
mahkota yang sesungguhnya berhak. Demikianlah baginda<br />
Prabu Jayantaka meninggalkan keraton Kahuripan menuju<br />
tempat petapan, tetapi tidak dalam keadaan yang segar,<br />
melainkan tergantung kabut kemurungan yang menutupi<br />
kegembiraan kalbu seluruh kerajaan. Tumenggung Braja<br />
Nata menangis tatkala timbang tenma. tetapi bukan<br />
lantaran kegembiraan, melainkan lantaran kedukaannya<br />
juga terkenang akan Kaden 189 Panji dan lebih-lebih<br />
kepada istrinya. Dewi Anggraeni. Sang Prabu Jayantaka<br />
pun tak kuat menahan air mata, apalagi sang permaisuri<br />
yang tak henti-hentinya tersedu-sedu. Seluruh balairung
sangat lengang, kecuali suara sedu sedan. Bahkan di<br />
antara para pejabat negara yang hadir banyak yang tak<br />
kuat menahan air mata, mengalir membasahi pipi....<br />
DALAM SINAR PURNAMA Dalam terjangan badai yang<br />
dahsyat. Raden Panji erat-erat memeluk tubuh istrinya yang<br />
dingin. Para awak perahu tidak mampu berbuat apa-apa.<br />
Layar-layar segera mereka turunkan, namun ombak yang<br />
setinggi-tinggi gunung mengempas-em-paskan kedua<br />
perahu itu bagaikan sabut saja. Para ponggawa pucat, ada<br />
yang muntah-muntah dan ada pula yang tak henti-hentinya<br />
menyebut nama Batara, memohon pertolongannya. Patih<br />
Prasanta tak henti-hentinya memberi petunjuk. Sedangkan<br />
Raden Panji tak henti-hentinya membujuk-bujuk mayat<br />
istrinya. "Lihat, raksasa hitam datang! Tapi jangan takut,<br />
jangan cemas, biar dilandanya kita, namun tak nanti kita<br />
kalah! Biar mereka berbuat sesuka hati, tetapi engkau<br />
cintaku, jangan kuaur! Engkau akan selamat, engkau akan<br />
Kanda selamatkan. Takkan Kanda biarkan tangannya yang<br />
menjijikkan serta mengerikan itu menjamah tubuhmu.<br />
Erat191 eratlah peluk Kanda, supaya jangan lepas engkau<br />
dari tangan Kanda!" Tak dirasanya air hujan yang turun<br />
lebat membasahi tubuhnya. Sedangkan badannya<br />
menggigil lantaran kedinginan. Perahu tak terkuasai lagi.<br />
Jurumudi tak mampu berbuat suatu apa dan menyerahkan<br />
nasibnya kepada para Dewa. Untung kedua buah perahu<br />
itu erat terikat, sehingga keduanya tidak terpisah-pisah.<br />
Dalam gelap gulita itu mereka tidak tahu arah ke mana<br />
perahu dibawa ombak. Bahkan mereka tidak tahu bahwa<br />
hari telah menjadi malam dan pagi lagi---Waktu badai
eda, hari sangat cerah, matahari sangat cerlang, mereka<br />
menengok ke kiri ke kanan, maka nampaklah pantai di<br />
arah selatan. Segera mereka mengayuh perahunya ke<br />
sana. Raden Panji turun dari perahu, sedangkan mayat<br />
istrinya tak lepas dari pelukan. Ia tak henti-henti<br />
menembang atau berbisik-bisik kepada istrinya itu. "Mari<br />
kita turun, lihat alangkah indah pemandangan di sini! Hutan<br />
subur dan pinggir lautan pula! Tidakkah senang hatimu,<br />
bertamasya selagi hari seindah ini? Menikmati<br />
pemandangan sebagus ini?" Patih Prasanta juga turun<br />
sambil memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni<br />
yang setia itu. Ia bersukur bahwa mereka bisa selamat<br />
mendarat, meski belum lagi tahu di pantai mana mereka<br />
sesungguhnya sekarang. Tetapi ia sudah h. Pikir-Pikir<br />
mengenai hari depan me«kf Tak numgk.n mereka terus<br />
terusan pergi ke mana-mana sambil memangku-mangku<br />
mayat itu Dan me mangku-mangku mayat pengaruh tidak<br />
pU|a baik kepada Raden Panji, la jadi senantiasa tak bisa<br />
melepaskan pikiran dari kekasihnya la jadi terus merasa<br />
berdekatan dengan kekasihnya dan berbuat seolah-olah<br />
istrinya itu masih bernyawa. Hanya iba kasihan jua yang<br />
tergugah pada barang siapa menyaksikannya. Tidak. Ia<br />
memikirkan akal supaya Raden Panji waras kembali, la<br />
jangan sampai berlarut-larut, la mesti dipisahkan dari<br />
mayat istrinya, supaya pikirannya terbuka kepada hal-hal<br />
lain. Karena menurut pengamatannya, sesungguhnya<br />
Raden Panji tidak parah apabila saja ia sempat dijauhkan<br />
dari mayat istrinya itu. "Mamanda!" teriak Raden Panji.<br />
"Alangkah indahnya alam di sini! Mengapa baru sekali ini
Mamanda membawa kami ke sini? Mengapa tidak dahuludahulu<br />
Mamanda mempersembahkan bahwa ada<br />
pemandangan seindah ini kepada kami?' "Ampun Raden,"<br />
sahut Patih Prasanta, "Sengaja hamba tidak<br />
memberitahukan hal ini kepada Gusti dahulu-dahulu,<br />
karena..." Raden Panji memandangnya dengan mata<br />
heran. "Karena apa, Mamanda?" "Karena tanah ini adalah<br />
tanah yang paling te192 193 pai buat peristirahatan istri<br />
Raden. Dewi Anggra•'Untuk peristirahatannya. Mamanda?<br />
Mengapa hanya untuknya saja? Mengapa tidak tepat juga<br />
buat kami?" "Masing-masing orang mempunyai tempat<br />
tertentu yang tepat buat peristirahatannya masing-masing.<br />
Yang tepat buat istri kita belum tentu tepat pula buat kita . . .<br />
Lagipula. Raden masih hidup, masih harus melakukan<br />
perbuatan-perbuatan mulia pula. sedangkan istri Raden<br />
sudah meninggal "Apa? Apa Mamanda bilang? Dewi<br />
Anggraeni sudah meninggal? Tidak! Mamanda jangan<br />
bicara yang bukan-bukan! Dewi Anggraeni sedang tidur,<br />
nyenyak sekali, tidak Mamanda lihatkah wajahnya yang<br />
tentram tenang itu?" "Memang, memang. Raden benar ..."<br />
Patih Prasanta memperbaiki sikapnya. "Dewi Anggraeni<br />
tidak meninggal, melainkan tertidur dengan amat<br />
nyenyaknya . . . Tetapi tidakkah Raden maklum, bahwa<br />
orang yang tidur itu mesti beristirahat dengan tenang? Ia<br />
takkan menemukan ketenangan jika terus-terusan Raden<br />
pangku-pangku dibawa ke mana pun Raden pergi. Sang<br />
Dewi tentu ingin beristirahat tenang ..." Raden Panji Kuda<br />
Waneng Pati memandang kepada Patih Prasanta.<br />
Perkataan patih yang sudah lanjut usianya itu seperti
termakan olehnya. 194 "Di manakah ia akan beristirahat,<br />
Mamanda"»" "Di uni! Tempat ini sangat tepat untuk<br />
peristirahatan sang Dewi!" "Tetapi di mana ia akan kita<br />
baringkan? Sedangkan di sini hanya ada hutan belukar<br />
belaka!" "Supaya sang Dewi tenang dan tidak diganggu<br />
binatang-binatang buas, baik kita gali sebuah tempat<br />
berbaring di dalam tanah ... " "Di dalam tanah!" "Ya, di<br />
dalam tanah. Supaya sang Dewi jangan diganggu<br />
binatang-binatang buas. Di sini dekat hutan, kalau sang<br />
Dewi tidak diku ... eh, dibaringkan di dalam tanah, mungkin<br />
datang macan atau srigala mengganggunya..." "Tetapi ia<br />
akan merasa sesak!" "Tidak Gusti, orang yang tidur abadi<br />
takkan merasa sesak." "Namun bagaimana ia akan<br />
melihat bintang atau bulan? Ia sangat senang<br />
bercengkerama apabila bulan purnama..." "Apabila sang<br />
Dewi ingin bercengkerama, tentu akan bangkit dari<br />
tidurnya. Tak ada yang mungkin mampu menghalanginya . .<br />
. Raden tak usah kuatir. Sang Dewi akan mampu bangun<br />
sendi¦ »» n . . . 195 Raden Panji termenung. "Benarkah<br />
engkau lelah, Anggraeni? Benarkah engkau ingin<br />
beristirahat pula?" kemudian ia bertanya kepada mayat<br />
istrinya. "Engkau akan dibaringkan di sini, di dalam tanah,<br />
supaya tak ada binatang buas mengganggumu. Maukah<br />
engkau?" 'Tentu saja sang Dewi suka . . . ," Patih Prasanta<br />
menalangi menyahut. "Tanah di sini sangat subur dan<br />
pemandangan sangat indah ..." "Dan kalau istriku telah<br />
dibaringkan di dalam tanah, nanti kita dirikan istana yang<br />
indah di sini, buat tempat kita menjaganya ..." "Tidak.<br />
Raden, kalau sang Dewi sudah dibaringkan baik-baik
dalam tanah. Raden jangan di sini terus, melainkan Raden<br />
mesti melakukan hal-hal yang sangat menyukakan hati<br />
sang Dewi Untuk menjaganya di sini, cukuplah kita<br />
baringkan pula Bibi Wagini. Bukankah ia seorang inang<br />
pengasuh yang setia? Tentu ia akan menjaga sang Dewi<br />
dengan setia!" "Melakukan hal yang menyukakan sang<br />
Dewi? Tetapi Dewi Anggraeni suka kalau kami berada di<br />
sampingnya. Mamanda!" "Benar , sang Dewi suka Raden<br />
berada di sampingnya. Tetapi itu kalau ia tidak sedang<br />
tidur abadi ..." sahut Patih Prasanta sambil tersenyum.<br />
Kalau ia sedang tidur, ia ingin tenang, tentu ia<br />
menginginkan Raden pergi jauh-jauh melakukan 196<br />
perbuatan-perbuatan yang menjadi darma Raden... "Jadi<br />
apa yang mesti kami lakukan*»" "Raden mesti berbuat<br />
kebaikan. Raden mesti menolong orang-orang yang<br />
sengsara! Banyak orang yang sengsara karena perbuatan<br />
raja-raja durhaka! Raden mesti menolong mereka, mesti<br />
menjadi pelindung mereka. Raden mesti membasmi dan<br />
menaklukkan raja-raja durhaka itu dan Raden mesti<br />
memberikan kebahagiaan kepada para kawula kerajaan<br />
...." "Yang paling dahulu adalah raja Janggala ..." gumam<br />
Raden Panji. Patih Prasanta menggelengkan kepala.<br />
'Tidak! Itu raja kita! Dan agaknya kita pun sekarang<br />
mendarat bukan dalam wilayah Janggala. Mamanda<br />
mengenal seluruh daerah kerajaan kita, tetapi daerah ini<br />
baru sekali ini Mamanda lihat. Kita agaknya terdampar<br />
jauh dari kerajaan kita Sesungguhnyalah, Patih Prasanta<br />
seorang yang luas pengetahuan dan pengalamannya. Tak<br />
sia-sia menjadi pejabat kerajaan Janggala puluhan tahun
lamanya. Ia maklum, bahwa mereka terdampar di daerah<br />
asing dan kalau melihat arah matahari, rupanya di sebelah<br />
timur Janggala, jauh di sebelah timur. Adalah menurut<br />
rencananya, ia akan mengajak gustinya itu berbuat<br />
kepahlawanan, dan membawanya sedikit demi sedikit ke<br />
197 arah barat selatan, menuju kerajaan Kadiri. Kemudian<br />
Patih Prasanta menyuruh para ponggawa menggali liang<br />
lahat buat membaringkan mayat Dewi Anggraeni bersama<br />
inang pengasuhnya yang berbakti itu. "Biar dikubur saja<br />
dahulu, kelak kalau Raden Panji sudah sembuh, digali lagi<br />
untuk dibakar ..." pikir Patih Prasanta. "Kalau sekarang<br />
dibakar, tentu Raden Panji takkan memperkenankannya<br />
Sementara mengubur kedua orang itu, hari senja dan<br />
malam pun tiba. Di langit sebelah timur, muncul bulan yang<br />
bulat penuh. Sinarnya sangat indah dan menenangkan.<br />
Raden Panji bersimpuh di hadapan kuburan istrinya,<br />
sedangkan mulutnya mengeluarkan cumbuan-cumbuan<br />
mesra. "Tidurlah engkau di sini, kekasihku, tidurlah tenang!<br />
Jangan engkau terganggu oleh apa pun! Simakkan olehmu<br />
dalam tidur, suara ombak yang menerjang pantai dan<br />
suara angin yang melanda hutan . . . Bukankah itu suara<br />
cinta kita yang besar? Yang tidak kelihatan namun kekal<br />
sifatnya? Bukankah itu suaraku membisikkan rindu hatiku<br />
kepadamu? Ombak itu takkan jemu-jemunya mencium<br />
pantai, seperti juga cintaku kekal ke-padamu ...." Patih<br />
Prasanta dan ponggawa berdiri tak jauh dan tempat Raden<br />
Panji. Mereka mempersaksikan 198 perbuatan gusti<br />
mereka dengan hati yang hancur Tetapi senang juga Patih<br />
Prasanta, karena Raden Panji sudi memperkenankan
Dewi Anggraeni dikubur. Dan senang juga ia, muslihatnya<br />
termakan semua oleh gustinya yang kasmaran itu Kini ia<br />
diam-diam menyaksikan perpisahan terakhir yang<br />
mengenaskan antara sepasang suami istri yang saling<br />
mencintai dengan sungguh-sungguh itu. "Wahai,<br />
Anggraeni! Engkau terjaga? Engkau puas tidur? Engkau<br />
bangkit?" tiba-tiba terdengar Raden Panji berkata-kata<br />
dengan suara yang berubah, sedangkan ia bangkit dari<br />
duduknya. "Ya, mari kita bersama-sama pulang ke istana<br />
kita!" tangannya bergerak-gerak ke depan, seolah-olah<br />
hendak memeluk seseorang, sedangkan oleh Patih<br />
Prasanta dan para ponggawa tak nampak siapa pun di<br />
depan gustinya itu. Mereka mengira penyakit gustinya<br />
kumat pula, dan beberapa orang di antara mereka tak<br />
sanggup menyaksikannya, menundukkan kepala atau<br />
melengos, memandang ke arah lain. "Mengapa engkau<br />
hanya tersenyum saja. Anggraeni? Mengapa sepatah pun<br />
engkau tak mau menyahut? Alangkah indah senyummu!<br />
Seindah bulan yang terbit di ufuk itu! Seindah bunga yang<br />
mekar! Anggraeni, mari, dekatlah ke mari, biar kupeluk<br />
tubuhmu dan kita berbahagia pula! Mari, mari!" tangan<br />
Raden Panji terulur bagaikan hendak memeluk seseorang.<br />
199 Namun oleh Patih Prasanta dan kawan-kawannya<br />
hanya udara jua yang nampak hendak dipeluknya.<br />
"Anggraeni, mengapa engkau hanya memandang saja?<br />
Dan pandanganmu, alangkah menyejukkan, bagaikan sinar<br />
purnama ini! Anggraeni, mengapa engkau mundur,<br />
mengapa engkau menjauh? Anggraeni, tidakkah engkau<br />
sudi Kanda peluk? Tidakkah sudi engkau . . . Anggraeni,
ke mana engkau hendak pergi?" Raden Panji berdiri,<br />
kakinya melangkah. "Anggraeni, tunggu! Tunggu! Jangan<br />
engkau menjauh-jauh seperti itu? Ataukah engkau minta<br />
kanda kejar? Ya, berkejar-kejaran seperti dahulu di dalam<br />
taman?" Raden Panji bergerak, bagaikan mengejar<br />
seseorang. "Anggraeni mengapa engkau lari juga?<br />
Mengapa engkau menjauh juga?" Dan makin cepat pula ia<br />
bergerak. "Anggraeni, mengapa engkau diam saja, tidak<br />
tertawa? Mana gelakmu yang biasanya berderai? Mana<br />
suaramu yang merdu menentramkan hati? Mengapa<br />
engkau hanya tersenyum saja?" Raden Panji kini berlari,<br />
makin jauh juga meninggalkan kawan-kawannya. Patih<br />
Prasanta kuatir, kalau-kalau gustinya itu tergelincir ke<br />
dalam jurang atau laut, maka ia oangkit mengejarnya.<br />
"Raden! Raden!" teriaknya. t!? Panji berlari makin<br />
cePat sedangkan m^b*ta»W dan mulutnya me-manggilmanggil.<br />
200 Anggraeni! Anggraeni, tunggu! Mengapa<br />
eng-kau tega menunggalkan Kanda? Mengapa engkau tak<br />
sudi menanti meski sejenak? Anggraeni'" "Raden! Raden!"<br />
teriak patih PraTanT^g mengejarnya. 6 Kedua orang itu<br />
berkejar-kejaran dalam sinar bulan purnama, sedangkan<br />
ombak tak henti-hentinya berdeburan menerjang pantai.<br />
Raden Panji berlari bagaikan orang yang tak sadar, maka<br />
tak lama kemudian Patih Prasanta sudah berhasil<br />
mengejarnya. Dengan kedua belah tangannya yang sudah<br />
mulai keriputan namun masih tangkas itu, ia memeluk<br />
tubuh gustinya. "Raden! Raden! Sadarlah!" Raden Panji<br />
meronta-ronta, sedangkan tangannya menggapai-gapai<br />
dan mulutnya tak henti-henti berteriak. "Anggraeni! Engkau
terbang? Wahai, engkau sungguh seorang bidadari!<br />
Sungguh, tetapi mengapa engkau meninggalkan Kanda?<br />
Wahai, mengapa engkau terbang setinggi itu? Mengapa<br />
makin tinggi saja?" Raden Panji tertegun. "Mamanda,<br />
Mamanda Patih Prasanta, tidakkah Mamanda lihat Dewi<br />
Anggraeni terbang? Lihat ia bagaikan bersayap! Lihat,<br />
ditinggalkannya kami di sini! Anggraeni, sampai hati<br />
engkau meninggalkan Kanda? Lihat, ia makin tinggi juga!<br />
Dia terbang ke arah bulan! Anggraeni! Anggraeni!<br />
Mamanda Patih, ia makin kecil dan makin kecil dan makin<br />
201 dekat juga ke bulan! Tidakkah Mamanda lihat?" Patih<br />
Prasanta mengarahkan pandangannya ke arah bulan<br />
sedang purnama yang bulat itu. ia tidak melihat Dewi<br />
Anggraeni, tetapi tiba-tiba cahaya bulan menggelap,<br />
bagaikan ada yang menghalanginya. Ia membuka matanya<br />
lebar-lebar, samar-samar seorang tokoh wanita terpeta<br />
dalam kegelapan itu, kemudian sinar bulan pun sedikit<br />
demi sedikit kembali pula menerangi dunia. Ia terpukau<br />
menyaksikan keajaiban itu. 'Kiranya benar-benar Dewi<br />
Anggraeni itu terbang ke arah bulan . . . ' pikirnya. 'Hanya,<br />
ia nampak cuma kepada suaminya saja ... * "Anggraeni ... ,<br />
Anggraeni s . . /• desis Raden Panji. "Dinda tega benar<br />
meninggalkan Kanda di sini dalam kelengangan!" Patih<br />
Prasanta membelai-belainya. 'Tidak, Raden, Raden tidak<br />
ditinggalkan dalam kelengangan. Dan pula sang Dewi<br />
takkan pergi untuk selama-lamanya .. . . " "Apa maksud<br />
Mamanda? Anggraeni akan kembali pula?" "Ya, sang<br />
Dewi akan kembali pula kelak." -u tak%e";remandang<br />
Patih ?dengan li 7**^1* nRaden' San* Dewi akan
kemba-Raden ' » k ^ wdah menunaikan o*ma "Sang<br />
DewiseWUlP?hKPmanta den«an tena^ sekarang terbang<br />
ke arah bulan, menjadi candra <strong>kirana</strong> - cahaya bulan tanda<br />
dia dikasih, para dewa ... Dan para dewa tentu akan<br />
mengembalikannya pula kelak kepada Raden " Raden<br />
Panji menyimakkan sungguh-sungguh "Tetapi kini<br />
Anggraeni pergi ... Apa kata Mamanda? Menjadi candra<br />
<strong>kirana</strong> - cahaya bulan? Ya, sesungguhnya ia cahaya bulan,<br />
kalau aku matahari! Ia menjadi cahaya bulan, yang<br />
menerangi kegelapan malam gelita! la menerangi dunia<br />
dengan cahayanya yang lembut, tenang, menentram-kan<br />
..." "Karena itu. Raden mesti tenang, mesti sabar.. . ."<br />
"Alangkah indahnya cahaya bulan candra <strong>kirana</strong>!<br />
Mamanda, sejak sekarang, istriku telah menjadi <strong>Candra</strong><br />
Kirana . . . Dia yang memberi kedamaian dan ketenangan,<br />
keindahan dan perasaan-perasaan mulia ..." kata Raden<br />
Panji, "la menjadi <strong>Candra</strong> Kirana ... Patih Prasanta<br />
mengangguk-anggukkan kepala. "Ya, menjadi <strong>Candra</strong><br />
Kirana cahaya bulan purnama yang sejuk menentramkan.<br />
memberi kebahagiaan . . . . " sahutnya. "Ya, ia<br />
membangkitkan perasaan-perasaan mulia untuk kebaikan<br />
dan kebajikan . . . Karena itu Raden juga mesti melakukan<br />
kebaikan-kebaikan, menolong rakyat sengsara, melakukan<br />
perbuatan-perbuatan kepahlawanan. Karena hidup tanpa<br />
melakukan perbuatan-perbuatan baik. adalah bagaikan<br />
malam yang 203 gelap gulita, tak bercahaya, jauh dari<br />
cahaya bulan, jauh dari <strong>Candra</strong> Kirana ..." Raden Panji<br />
menganggukkan kepala. "Nasihat Mamanda akan kami<br />
turutkan, karena kami tak mau ditinggalkan oleh <strong>Candra</strong>
Kirana . sahut Raden Panji. 'Kami ingin hidup disinari<br />
kegemilangan cahaya bulan, dalam kegemilangan <strong>Candra</strong><br />
Kirana . . . Tak mau kehilangan dia! Besok akan mulai<br />
kulakukan perbuatan-perbuatan baik dan kepahlawanan,<br />
darma seorang satria yang mesti melupakan kepentingan<br />
dirinya sendiri, buat kebahagiaan umat manusia Kaden<br />
Panji bangkit, sekali memandang kepada bulan yang<br />
sudah meninggi seolah-olah hendak melihat apakah<br />
kekasihnya ada di sana. Kemudian ia membalikkan<br />
tubuhnya sambil berkata, "Tenanglah kau di sana. <strong>Candra</strong><br />
Kirana! Kalau kelak hidupku telah berarti, engkau pun tentu<br />
akan datang kepada Kanda, bukan?" Patih Prasanta<br />
tersenyum melihat kelakuan gustinya itu. la merasa bangga<br />
dan lega, karena menyaksikan sinar harapan memancar<br />
bagi hari depan gustinya. Tidak, gustinya takkan berlarutlarut<br />
tenggelam dalam kesedihan. Ia akan melakukan<br />
perbuatan-perbuatan mulia. Dan ia sendiri, ak\n M*3?13'<br />
akan sc,alu mendampinginya, 204 KELANA JAYENG<br />
SARI Beberapa bulan kemudian, muncullah seorang satria<br />
yang mengaku dirinya berasal dari tanah Seorang dan<br />
bernama Kelana Jayeng Sari, melakukan berbagai<br />
perbuatan-perbuatan mulia dan bersifat kepahlawanan.<br />
Mula-mula ia bersama para pengikutnya mengalahkan<br />
berbagai kraman dan perampok yang mengganggu<br />
keamanan dan ketentraman rakyat yang bersembunyi<br />
dalam hutan-hutan. Kraman-kraman itu dikalahkan dan<br />
hasilnya dibagikan kepada rakyat sengsara, sehingga<br />
makin lama pengikutnya makin banyak dan makin banyak<br />
juga. Para kraman yang sudah dikalahkannya, tidak
dibunuhnya, melainkan disuruhnya memilih antara menjadi<br />
pengikutnya atau kembali hidup sebagai rakyat biasa,<br />
bertani, menjadi nelayan ... Tokoh Kelana Jayeng Sari<br />
menjadi sebut-sebut-an dan buah tutur setiap orang.<br />
Rakyat yang sengsara menyebutnya dengan suatu harapan<br />
akan 205 munculnya ketentraman dan kedamaian yang<br />
abadi Dan para pemeras dan penjahat mendengar<br />
namanya saja gemetar lutuMututnya. Perbuatan mulia<br />
Kelana Jayeng Sari menjadi sebut-sebutan semua orang<br />
dan menyebabkan orang-orang suka kepadanya. Menurut<br />
cerita yang menjalar dari mulut ke mulut. Kelana Jayeng<br />
Sari itu seorang satria yang tampan, muda, manis budi dan<br />
sangat halus perasaannya. Tetapi ia pun seorang yang<br />
sakti dan dig-jaya, ahli mempermainkan berbagai macam<br />
senjata dan senantiasa mampu mengalahkan musuhmusuhnya<br />
secara mengagumkan. la muncul secara ajaib.<br />
Kadang-kadang ia terdengar melakukan perbuatan mulia<br />
di hutan pegunungan sebelah selatan, tetapi tak lama<br />
kemudian terdengar berita bahwa ia baru saja melakukan<br />
perbuatan kepahlawanan pula di pantai utara. Ia seorang<br />
tokoh yang sakti, dan dianggap oleh para penduduk,<br />
mungkin muncul di mana saja sesuka hatinya, bahkan<br />
mungkin muncul di beberapa tempat dalam waktu yang<br />
bersamaan. Yang diperkatakan orang-orang pula, ialah<br />
bahwa ia selalu didampingi seorang yang sudah lanjut<br />
usianya, yang konon disebut orang Ki Kebo Pan-dogo.<br />
Ternyata Ki Kebo Pandogo itu seorang yang sakti pula,<br />
menjadi penasihat Kelana Jayeng Sari. petelah ia<br />
mendapat banyak pengikut, maka ditaklukkannya pula
erbagai raja, terutama raja206 raja yang zalim. Mula-mula<br />
raja BelamW kemudian raja Basuki, Uni'ft"»' dan akhirnya<br />
Pasuruan. Ia l^n^^SZ ke barat, tetapi pada umumnya tak<br />
bisa disangka sangka. Ia selalu muncul pada saat orangorL<br />
tidak mengharapkan kedatangannya, dan karena itu<br />
pula mungkin maka ia senantiasa mengalahkan musuhmusuhnya<br />
dengan mudah. Tetapi yang mengherankan<br />
orang-orang, ialah karena meskipun ia berhasil secara<br />
mudah menaklukkan raja-raja itu, namun ia sendiri tidak<br />
mau duduk memangku takhta. Tatkala raja Lumajang<br />
dikalahkan, atas bisikan patihnya, sang baginda<br />
mempersembahkan seorang putra dan seorang putrinda<br />
akan menjadi hamba Kelana Jayeng Sari yang perwira itu.<br />
Sesungguhnya itu adalah muslihat sang patih, yang ingin<br />
mengikat sang kelana, supaya mau tinggal di Lumajang<br />
dan dengan demikian akan menyebabkan Lumajang<br />
dimalui oleh kerajaan-kerajaan lain. Tetapi peristiwa yang<br />
aneh terjadi. Waktu sang putra dan sang putri yang tampan<br />
rupawan itu datang ke hadapan Kelana Jayeng Sari, sang<br />
Kelana memburu sang putri, sedangkan mulutnya berteriak<br />
kegirangan, "<strong>Candra</strong> Kirana! Engkau k ah yang datang<br />
itu!" Sang putri Lumajang itu terkejut dan hatinya<br />
berdegupan lantaran takut. Ia menundukkan ke207 pala<br />
Dirasanya dua buah tangan yang perkasa memegang<br />
bahunya kiri kanan, kemudian mengangkat wajahnya.<br />
"Nama hamba . . . Lukita Sari . . . ," sahutnya dengan suara<br />
gemetar dan terputus-putus. Sang Kelana Jayeng Sari<br />
melepaskan kedua belah tangannya, lalu memejam. "Ya,<br />
engkau bukan istriku . . . <strong>Candra</strong> Kirana seorang yang
amat sangat jelita. Tak ada yang menandinginya . . . Tak<br />
ada orang yang secantik dia, bercahaya bagaikan bulan<br />
purnama . . . gumamnya kemudian. "Dan engkau, siapakah<br />
engkau?" Maka patih yang mewakili raja Lumajang itu<br />
menghaturkan sembah, menerangkan bahwa kedua putraputri<br />
itu adalah tanda takluk baginda kepada Sang Kelana<br />
Jayeng Sari, di samping berbagai persembahan lainlainnya<br />
pula. "Baginda mempersembahkan kedua<br />
putranda, akan menjadi hamba gusti akhirnya sang patih<br />
menutup pembicaraan. Sang Kelana Jayeng Sari<br />
menggeleng lemah. 'Tidak ..." sahutnya. "Kembalilah<br />
engkau semua kepada rajamu. Haturkan kepada baginda<br />
bahwa aku tidak mengharapkan persembahan apa pun<br />
sebagai tanda takluk. Pengakuan rajamu saja sudah<br />
cukup. Tak usah ia mengurbankan putra-putrinya. Kami pun<br />
tidak menghendaki hamba-hamba . . . Para ponggawa<br />
sudah cukup bagi kami 208 . Sekarang, pulanglah engkau<br />
semua'" Patih itu kembali dengan sangat merasa heran<br />
dan malu. Ia malu lantaran muslihatnya tak merT-na, umpan<br />
tidak dimakan. Dan heran lanu^n perbuatan serta sikap<br />
yang luar biasa dari Kelana jayeng San yang gagah<br />
perkasa serta sakti itu Peristiwa itu cepat pula menjalar<br />
dari mulut ke mulut. Dan selalu mengherankan barang<br />
siapa yang mendengarnya. Jadi buat apakah Kelana<br />
Jayeng Sari dari tanah Sebrang itu mengalahkan kerajaan<br />
demi kerajaan, sedangkan ia sendiri tidak sudi menduduki<br />
singgasana? Sedangkan dia sendiri lebih suka berkelana<br />
dari hutan ke hutan, dari gunung ke gunung? Sedangkan<br />
dia sendiri merasa puas tidur di alam terbuka dalam
kemah? Karena itu pula nama Kelana Jayeng Sari menjadi<br />
makin termashur. Dihormati, diherani, dikagumi berbareng<br />
ditakuti. Beberapa orang raja, tanpa dia perangi,<br />
menyatakan dirinya takluk, yang diterima Kelana Jayeng<br />
Sari dengan sikap yang biasa. Ia tidak nampak gembira,<br />
pernyataan takluk raja-raja itu diterima dengan sikap yang<br />
tawar dan tak ambil perduli. Baginya seolah-olah tak ada<br />
bedanya apakah raja itu takluk atau tidak. Hanya dengan<br />
mendahului menyatakan takluk, raja-raja itu menunjukkan<br />
sikap bijaksana, karena dengan demikian ia<br />
menghindarkan kerajaannya dari malapetaka peperangan<br />
yang terkutuk itu. Bahkan meskipun beberapa orang raja<br />
mena209 warkan takhta serta istananya yang indah<br />
mewah. Kelana Jayeng Sari senantiasa menolak. Ia lebih<br />
suka tinggal di hutan, di tengah-tengah alam yang segar<br />
daripada tinggal di tengah-tengah manusia. Apabila tidak<br />
melatih pasukannya berperang, atau apabila tidak<br />
melakukan peperangan, biasanya Kelana Jayeng Sari<br />
termenung-menung saja kerjanya. Dalam keadaan seperti<br />
itu, tak dikehendakinya ada orang yang berani<br />
mengganggu. Tak diperkenankan orang berada di<br />
dekatnya. Hanya penasihat yang tua itu saja yang<br />
dibolehkan datang mengawani. Kadang-kadang Kelana<br />
Jayeng Sari berbicara dengan suara yang murung dan<br />
guram. Sedangkan penasihatnya itu. Sang Kebo Pandogo,<br />
menghiburnya dengan berbagai hal yang menarik hati.<br />
Terutama mengenai raja-raja yang belum mereka<br />
taklukkan. "Tahukah Gusti, kerajaan apakah yang berada<br />
di sebelah barat hutan yang sekarang kita tinggali ini?"
ertanya Kebo Pandogo dengan suara setengah<br />
bersenda. "Tak tahu! Dan kerajaan apa pun yang berada<br />
di sana. tak kuperdulikan, karena mereka sama' saja.<br />
Mereka akan dengan mudah kita kalahkan!" sahut Kelana<br />
Jayeng Sari tak peduli. 'Tetapi, apabila Gusti pergi ke<br />
kerajaan itu, cita-cita Gusti bakal tercapai..." Kelana<br />
Jayeng Sari mengangkat wajah. Agak210 nya hatinya<br />
mulai tertarik. ••Apa maksud Mamanda Kebo Pandogo^ .<br />
nyanya dengan mata bersinar-sinar. "Kalau "kukt lankan<br />
pula raja yang berada di sebelah barat itu ^an bersuakah<br />
kami dengan istri kami yang ter cinta? Kebo Pandogo<br />
tersenyum. "Makin banyak Gusti berbuat kepahlawanan,<br />
makin cepat ia kembali, bukan?" "Kalau begitu, baiklah<br />
besok kita berangkat untuk menaklukkannya. Kerajaan<br />
apakah yang berada di sebelah barat itu?" "Tidak usah<br />
tergesa-gesa begitu," sahut Kebo Pandogo sambil<br />
bergelut senyum juga. "Kita tidak usah menyerangnya..."<br />
"Habis?" "Kita tinggali saja hutan yang menjadi daerah<br />
kerajaannya, kita buat onar di sana ... Kalau pancingan kita<br />
berhasil, siapa tahu orang yang selama ini Gusti harapkan<br />
akan datang?" Kelana Jayeng Sari seperti tak mengerti<br />
apa yang dimaksud oleh penasihatnya yang bijaksana itu.<br />
"Kerajaan apakah yang berada di sebelah barat itu,<br />
Mamanda?" ia mengulangi pertanyaannya yang belum<br />
dijawab. Kebo Pandogo tersenyum dan sambil tersenyum<br />
itu ia menyahut. "Kadiri ... " katanya. 211 Kelana Jayeng<br />
Sari seperti terkejut, tetapi kemudian ia termenung.<br />
Beberapa jenak lamanya ia tidak berkata-kata. "Apa yang<br />
menurut Mamanda baik, baiklah kita lakukan .. .," akhirnya
ia berkata. Kebo Pandogo merasa puas. Ia merasa<br />
bangga dan gembira. Adalah maksudnya yang<br />
sesungguhnya, hendak mempertemukan gustinya itu<br />
dengan pahlawan yang tersohoi dan menjadi kebanggaan<br />
kerajaan Kadiri: putri perwira Dewi Sekar Taji. Dewi Sekar<br />
Taji sangat gagah dan sakti, sudah sering menaklukkan<br />
kraman dan begal-begal yang mengganggu keamanan<br />
kerajaannya. Apabila perbuatan-perbuatan Kelana Jayeng<br />
Sari kelak dianggap mengancam keamanan kerajaan<br />
Kadiri. Kebo Pandogo mengharap. Dewi Sekar Tajilah<br />
yang akan tuna tangan menaklukannya. Ia tidak melihat<br />
jalan lain yang tepat untuk mempertemukan keduanya<br />
tangkan ia sendiri percaya, bahwa kalau kedua-baha^a<br />
*mUany* *m bakhil dengan henlw?^ bahwa pcristiwa ,ain<br />
telah menghendaki kejadian lain pula .. 212 MAHA PATIH<br />
KEBO RERANGIN Di sebelah barat Kadiri, berdiri<br />
kerajaan Metaun yang diperintah oleh Prabu Gajah Angunangun.<br />
Prabu Gajah Angun-angun belum lama menaiki<br />
takhta, menggantikan ayahanda yang meninggal belum<br />
lama berselang. Raja yang masih muda usianya itu<br />
berambekan besar, la tidak puas dengan kerajaan<br />
ayahanda dan kepada ayahanda yang telah puas dengan<br />
apa yang ada, ia pun merasa tidak puas. Ia mencitacitakan<br />
suata kerajaan yang lebih luas dan kekuasaan<br />
yang lebih besar. Ia bercita-cita hendak memperluas<br />
wilayah kekuasaannya. Ia seorang muda yang pandai<br />
bergaul dan licin. Maka telah dihasutnya berbagai raja kecil<br />
dan para bupati yang selama itu hidup berdampingan<br />
dengan damai atau menjadi setengah kawula kerajaan
Kadiri, sehingga banyak di antara mereka yang mau<br />
mendengar perkataannya itu. Kalau ada bupati atau raja<br />
yang menolak pikirannya. 213 tak ragu-rag» lagi ia<br />
melakukan tangan besi dengan membokong raja yang<br />
lemah itu. Maka ia menjadi seorang raja yang ditakuti oleh<br />
raja-raja kecil. Karena takut, kebanyakan di antara mereka<br />
mengakui kedaulatannya di atas mereka dan menyatakan<br />
kerajaan mereka di bawah perintah Prabu Gajah Angunangun<br />
dari Metaun itu. Tatkala itu Prabu Gajah Angunangun<br />
menganggap dirinya sudah cukup kuat untuk<br />
melakukan penyerangan kepada kerajaan-kerajaan yang<br />
besar-besar., Kerajaan besar yang bertapal batas dengan<br />
kerajaannya di sebelah timur, adalah Kadiri. Maka<br />
diancamnya Prabu Jayawarsya. raja Kadiri, hendak<br />
diperanginya, kecuali kalau Prabu Jayawarsya bersedia<br />
menyatakan takluk kepadanya. Mendengar ancaman itu.<br />
Prabu Jayawarsya murka. Tetapi ia tidak bisa mengumbar<br />
amarahnya, karena baginda sendiri bingung, siapa<br />
gerangan yang mungkin memerangi raja Gajah Angunangun<br />
yang muda itu. Meskipun balatentara Kadiri tidak<br />
lemah dan para pahlawannya bersemangat, namun apabila<br />
baginda mengukur kekuatannya, diam-diam baginda<br />
mengakui keunggulan balatentara Metaun itu. Mereka<br />
tentara yang sudah dipersiapkan untuk suatu perang besar,<br />
sedangkan ba atentara kerajaan Kadiri. lantaran berbagai<br />
soal Mam negen waktu-waktu belakangan menyita<br />
srPerba;Tda-tidak bci*^-* 214 Dewi Sekar Taji yang<br />
mendengar ancam Metaun itu, menjadi murka dan ZSl?*<br />
sembah kepada baginda, '-Mengait seperti bingung? Biar
hamba b^rangkatT^l batas akan menyambut serangan<br />
orang angkuh dari Metaun itu!" Baginda memandang<br />
kepada putri baginda itu. Dewi Sekar Taji memang bukan<br />
putri sembarangan. Ia seorang putri yang gagah berani. Ia<br />
putri yang akan menggantikan ayahanda memegang<br />
tampuk kerajaan, karena itu kecuali mempelajari berbagai<br />
ilmu pemerintahan, ia pun mempelajari pula ilmu<br />
peperangan. Berbagai macam alat senjata tak ada yang<br />
asing baginya. Dan alat-alat peperangan itu<br />
dipergunakannya dengan kemahiran yang mengagumkan.<br />
Kegagahan dan keahliannya dalam mempergunakan<br />
tombak dan keris, terbukti dalam perbuatan-perbuatannya<br />
yang perwira, mengalahkan para kraman dan pemberontak<br />
yang mengganggu keamanan kerajaan. Ya, baginda tidak<br />
ragu-ragu akan keperwiraan putri tunggalnya itu. Tetapi<br />
yang baginda hadapi bukan para pemberontak atau<br />
kraman biasa, melainkan seorang musuh tangguh. Tidak,<br />
baginda tidak yakin akan kegagahan putrinda untuk<br />
mengalahkan musuh yang bukan sembarangan itu.<br />
Baginda merasa kuatir akan keselamatan putnnda. "Tidak.<br />
Sekar Taji. raja Metaun itu buk.an^lawanmu yang<br />
seimbang! Ia konon sakti dan ia pun 215 sangat kejam!"<br />
sabda baginda sambil memandang kepada putrinda.<br />
Mendengar perkataan baginda itu, Dewi Sekar Taji<br />
merasa terhina. Ia marah, tetapi ia tidak bisa berbuat apaapa.<br />
Ia mengundurkan diri, lalu menghibur dirinya di<br />
tengah-tengah taman yang warnawarni Sementara itu<br />
baginda dengan para pejabat negara yang penting-penting<br />
merundingkan masalah yang dihadapi oleh kerajaan Kadiri
yang diancam bahaya peperangan dengan raja Metaun itu.<br />
Baginda meminta pemandangan para pejabat negara, dan<br />
merembukkan jalan-jalan memecahkannya. Umumnya para<br />
pejabat negara itu berpendirian sama, bahwa dengan<br />
kekuatan kerajaan Kadiri saja, musuh dari barat itu tak<br />
mungkin dilawan. Beberapa kerajaan di sebelah barat,<br />
bahkan juga yang tadinya menjadi takluk Kadiri, kini<br />
berpihak kepada raja Gajah Angun-angun. Tak ada jalan<br />
lain, Kadiri mesti meminta bala bantuan kepada salah satu<br />
kerajaan sahabat. Patih W,ranggada menganjurkan agar<br />
baginda meminta bala bantuan kepada raja Janggala.<br />
Bukankah Janggala dan Kadiri bersaudara? Janggala<br />
k^TV *him**
"Ampun Gusti, memang keadaan kita sangat sulit. Hamba<br />
percaya akan keperwiraan para pahlawan Kadiri yang<br />
gagah berani, tetapi dengan perkiraan yang waras,<br />
balatentara Metaun yang sekarang berada di tapal batas<br />
itu bukan lawan kita yang setimpal. Tak ada jalan lain, kita<br />
mesti meminta tolong kepada fihak lain. Tetapi siapa?<br />
Janggala yang pasti akan menolong kita tak mungkin kita<br />
minta tolong berhubung kerena letaknya 217 216 yang<br />
sangat jauh. Mau tak mau kita mesti meminta tolong<br />
kepada f'inak yang dekat . . . Dan tetangga kita yang<br />
terdekat, di sebelah barat adalah . . . Raja Metaun.' Yang<br />
sekarang sedang mengancam kita! Raja Malang, agaknya<br />
dalam hal ini tak boleh kita harapkan pula. karena ia<br />
memang tidak mempunyai bala tentara yang kuat. lagipula<br />
perhubungannya tetap sulit. Sebelum bala bantuan datang,<br />
setiap saat mungkin datang tentara Metaun----" Orang<br />
batuk-batuk kecil, lantaran merasa jemu oleh perkataan<br />
Mahapatih Kebo Rerangin seperti mengulang-ulang apa<br />
yang telah dikunyah tadi. Mengapa dalam keadaan<br />
mendesak seperti itu Mahapatih Kebo Rerangin berkatakata<br />
demikian menjemukan? "Jadi bagaimana?" baginda<br />
bertanya dengan tak sabar. Tetapi agaknya bukan tidak<br />
dengan maksud tertentu. Kebo Rerangin bicara seperti itu.<br />
la menghaturkan sembah pula kepada rajanya, kemudian<br />
ia melanjutkan pembicaraannya pula. "Karena itu, kita<br />
hanya mungkin meminta baJa bantuan kepada satusatunya<br />
fihak "Siapa?" "Ampun Gusti, hendaknya Gusti<br />
jangan terkejut, satu-satunya fihak yang mungkin kita mintai<br />
tolong adalah .. . Kelana Jayeng Sari!" Semua orang
terkejut. Kelana Jayeng Sari! Itulah kraman yang dalam<br />
waktu belakangan ini 218 mengacau di hutan-hutan<br />
perbatasan Kadiri ^ ,ah Umur dan makin lama makin ke<br />
arah barat! Mana mu^Su^it SaL"raman Vang 38aknya<br />
*ngaja hendak £ "^Tetapi Mamanda Patih baginda<br />
bertanya. -Bukankah Kelana Jayeng Sari itu mengacau di<br />
perbatasan sebelah timur?" Mahapatih Kebo Rerangin<br />
menghaturkan sembah. "Daulat, Gusti. Hal itu memang<br />
benar." "Masa kita meminta tolong kepada orang yang<br />
hendak mengacau kita?" Mahapatih Kebo Rerangin<br />
berbicara dengan tetap sabar. "Memang hal ini sulit.<br />
Hamba sendiri mengikuti perihal Kelana Jayeng Sari yang<br />
konon mengaku dirinya berasal dari tanah Sebrang itu<br />
sejak lama . . . Ia banyak melakukan keanehan-keanehan,<br />
tetapi tak syak lagi, ia seorang yang gagah dan perwira. Ia<br />
mengalahkan berbagai kerajaan di sebelah timur. Dan<br />
boleh dikatakan semua negara di sebelah timur kerajaan<br />
kita ini, sampai di pantai timur, takluk belaka kepadanya.<br />
Namun alangkah mengherankan, karena dia tidak mau<br />
duduk memangku takhta. Yang disukainya adalah<br />
berperang ... Ia mengacau di beberapa daerah, tetapi<br />
untuk kepentingan penduduk daerah itu. Mereka 219 tidak<br />
melakukan kekejaman atau perbuatan keterlaluan, bahkan<br />
konon selalu menjadi pelindung rakyat-rakyat<br />
sengsara.......'a mulai dari pantai timur, dan makin lama<br />
makin ke barat jua. Kini ia berada di dalam wilayah kita, di<br />
suatu hutan yang hamba dengar tak jauh letaknya dari sini.<br />
Ia bersama balatentaranya melakukan berbagai gangguangangguan<br />
kecil-kecilan, tetapi terang tidak
membahayakan. Ia seperti dengan sengaja hendak<br />
menguji kesabaran kita ..." "Ia malah harus kita basmi!"<br />
sembah Senapati Wi rapati. "Memang kalau keadaan<br />
tidak segenting sekarang, orang seperti itu mesti kita<br />
basmi. Tetapi keadaan kita sekarang sangat sulit dan<br />
genting...... Kita mesti bertindak bijaksana!" sahut<br />
Mahapatih Kebo Rerangin. "Apakah tindakan bijaksana<br />
meminta tolong kepada kraman yang mengacau di negeri<br />
sendiri?" "Kalau Kelana Jayeng Sari mau menerima<br />
permintaan tolong kita, maka kita telah melakukan tindakan<br />
yang bijaksana sekali." "Bagaimana pula itu?" "Baik<br />
Kelana Jayeng Sari maupun raja Metaun tidak hendak<br />
berbuat kebajikan kepada kita, boleh dikatakan duaduanya<br />
musuh kita....." •jitu pasti!" sahut Senapati Wirapati.<br />
"Kalau keduanya bertempur untuk kepentingan kita, maka<br />
kita telah membunuh dua ekor ular 220 dengan sekali<br />
pukul! Kalau Melaun w dcngan Kelana Jayeng Sari, siapa<br />
vat^T*! untung? Pasti fihak ketiga. Dan fih J kLA tak lain tak<br />
bukan: kita sendiri. Z££XZ nya Metaun tak bisa dikalahkan<br />
oleh Kdana jayeng San namun terang, kekuatan keduanya<br />
akan menjadi lemah. Lebih mudah bagi kita memukul salah<br />
seorang dari mereka itu setelah keduanya bertempur<br />
daripada sekarang kita menghadapi dua musuh<br />
sekaligus!" Baginda mengerti akan maksud Mahapatih<br />
Kebo Rerangin yang licin itu. Baginda menganggukanggukkan<br />
kepala tanda setuju. Sekali lagi baginda kagum<br />
akan mahapatih yang arif serta sudah lanjut usianya itu.<br />
Maka diputuskanlah, bahwa Kadiri akan meminta tolong<br />
kepada Kelana Jayeng Sari untuk menaklukkan raja Gajah
Angun-angun dari Metaun. Mereka mesti bekerja dengan<br />
cepat maka seketika itu juga baginda menitahkan Patih<br />
Wiranggada pergi membawa sepucuk surat untuk Kelana<br />
Jayeng Sari yang menyatakan maksud baginda. Patih<br />
Wiranggada tidak boleh ayal, seketika itu juga bersiapsiap,<br />
lalu berangkat hendak mencari Kelana Jayeng Sari<br />
ke hutan-hutan di sebelah timur. Kelana Jayeng Sari<br />
mempunyai ponggawa yang jumlahnya ratusan orang,<br />
sehingga takkan susah dicari. 221 DEWI SEKAR TAJI<br />
Dewi Sekar Taji merasa tidak puas, lantaran ayahanda<br />
bagaikan memandang tidak tinggi kepada kegagahannya.<br />
la percaya, ia sendiri akan mampu mengalahkan Prabu<br />
Gajah Angun-angun yang angkuh itu. la tidak takut. Dan ia<br />
ingin menunjukkan keperwiraannya dalam membela<br />
kerajaan Kadiri. Maka tatkala kemudian ia mendengar<br />
bahwa ayahanda telah memutuskan untuk meminta tolong<br />
buat melawan raja Metaun itu kepada Kelana Jayeng Sari<br />
yang waktu itu banyak mengacau di hutan-hutan bagian<br />
timur kerajaan Kadiri, amarahnya meluap kepada kepala<br />
kraman yang konon berasal dari tanah Seberang itu. Apa<br />
sih kelebihannya orang Seberang itu daripadaku?<br />
tanyanya dalam hati. Mengapa ayahanda sampai meminta<br />
tolong kepadanya? Sungguh tak mengerti aku!' Wajahnya<br />
guram, dan memberengut. Beberapa lamanya termenungmenung<br />
mengumbar kesalahan 22 hatinya. Akhirnya ia<br />
memberangsang •Baiklah, 'kan kucoba kepandaian orang<br />
Sebran* menusukkan kcns! katanya pula dalam hati. Ingin<br />
kucoba kegagahan dan kesaktiannya!' Setelah berpikir<br />
demikian, maka tetaplah hatinya. Ia mempersiapkan
segala sesuatunya, tetapi dengan diam-diam saja. Ia tak<br />
ingin maksudnya itu diketahui orang lain. Ubih-lebih ia tidak<br />
ingin baginda akan mengetahuinya. Maka ia<br />
mempersiapkan tombak serta kerisnya. Kemudian dia<br />
berdandan, tetapi tidak seperti seorang putri, melainkan<br />
sebagai seorang lelaki. Dalam pakaian demikian, ia<br />
tampak tampan dan gagah, akan mengagumkan barang<br />
siapa yang melihatnya. Tetapi ia masih kuatir jugakalaukalau<br />
kelak ia akan dikenali orang, maka dibekal-nya<br />
sebuah topeng akan penutup parasnya. Waktu hari mulai<br />
gelap, ia sudah siap. maka diambilnya kuda. Kepada<br />
orang kepercayaannya ia berpesan, supaya kepergiannya<br />
itu jangan sampai diketahui orang lain. Malam itu bulan<br />
purnama, dan seperti biasanya jika bulan bulat penuh,<br />
Kelana Jayeng Sari keluar dari kemahnya, lalu berjalan<br />
sendirian akan meng-gadangi sang rembulan yang<br />
sinarnya lembut itu. Sering ia tampak merenung,<br />
memandang ke arah bulan, seakan-akan mengharap akan<br />
terjadi keajaiban dari sana. Para ponggawa sudah<br />
mengenal kebiasaan gustj mereka dan tidak berani<br />
mengganggu gusti mereka itu dari lamunannya. Ki Kebo<br />
Pandogo yang biasanya turut serta mengawani Kelana<br />
Jayeng Sari, tatkala itu tidak nampak. Kebo Pandogo tidak<br />
menyertai gustinya, karena ia tatkala itu sedang sibuk<br />
menghadapi tetamu, utusan dari Kadiri. Kelana Jayeng<br />
Sari telah menemui utusan itu dan telah pula membaca<br />
surat yang disampaikan oleh Patih Wiranggada<br />
kepadanya. Ia maklum kepada maksud raja Kadiri. Tetapi<br />
Kebo Pandogo mengajukan syarat: apabila raja Metaun
erhasil dikalahkan, raja Kadiri mesti menyerahkan<br />
putrinya, sang Dewi Sekar Taji kepada Kelana Jayeng<br />
Sari. Mendengar nama Dewi Sekar Taji disebut, hati<br />
Kelana Jayeng Sari tawar. Apapula malam telah turun, dan<br />
malam bagaikan siang terang-benderang disinari cahaya<br />
bulan yang bulat penuh bulan purnama. Maka hal-hal<br />
selanjutnya diserahkannya kepada penasihatnya itu akan<br />
dirundingkan lebih jauh dengan sang Patih Wiranggada<br />
yang menjadi kepercayaan Prabu Jayawarsya dari Kadiri.<br />
Ia sendiri keluar dari kemah, sendirian menyusuri malam<br />
yang indah disinari cahaya keemasan yang lembut<br />
menyejukkan..... Berjalan beberapa lama. sampailah ia di<br />
bagian hutan y.ng agak terbuka, sehingga dari sana ia oisa<br />
berpuas-puas menikmati sinar bulan purnama. 3 berd,n<br />
mbl] mempereiJangkan tangan di depan 224 dadanya,<br />
sedangkan matanya menatar, m-wajah bulan yang indah<br />
itu. P merenungi Entah berapa lama ia berdiri "Hehh!<br />
Begitu sajakah Kelana Jayeng Sari yang termashur gagah<br />
berani dan tak terkalahkan itu'' Merenung memandang<br />
bulan bagaikan orang kasmaran yang mimpi?" Kelana<br />
Jayeng Sari menoleh ke arah suara itu, maka nampak<br />
olehnya sesosok tubuh berdiri tegak bagaikan menantang<br />
menghadap ke arahnya. Ia tak bisa memandang dengan<br />
jelas, siapakah gerangan orang itu, karena dalam bayangbayang<br />
hutan ia samar sekali. Sedangkan suaranya, ia<br />
terkejut mendengar suara itu.....seolah-olah suara yang<br />
selama ini dinanti-nantikannya! "Siapakah Tuan?" ia balik<br />
bertanya. Sosok tubuh itu tertawa pula mengejek, bergerak<br />
ke arah tempat yang tidak disamari bayang-bayang yang
hitam. Maka kelihatan oleh Kelana Jayeng Sari sekarang,<br />
bahwa menilik pakaiannya, orang yang berdiri di depannya<br />
itu seorang lelaki. Tetapi tatkala ia meneliti dengan telik,<br />
nampaklah bahwa wajah orang itu ditutupi sebuah topeng.<br />
"Akulah orang yang sengaja datang untuk menaklukkanmu,<br />
supaya engkau jangan sombong. Kngkau<br />
mesti tahu, di dunia ini tidak hanya engkau 225 lelaki'<br />
Tidak hanya engkau yang gagah berani!" Kelana Jayeng<br />
Sari memandang dengan tenang ke arah orang itu.<br />
"Mengapa engkau bertopeng? tanyanya kemudian dengan<br />
suara tetap. "Jangan banyak bertanya, hunus kerismu! Mari<br />
kucoba kepandaianmu mempermainkan keris!" Kelana<br />
Jayeng Sari tertawa. "Lebih baik. pertunjukkan<br />
permainanmu dahulu!" sahutnya. Orang, itu agaknya<br />
merasa terhina dan menjadi murka. Maka dihunusnya<br />
keris, kemudian melompat ke arah Kelana Jayeng Sari,<br />
menikam Tetapi dengan matanya yang terlatih. Kelana<br />
Jayeng Sari melihat, bahwa orang itu menusuknya tidak<br />
dengan sungguh-sungguh, kelihatan bahwa ia ragu-ragu.<br />
Kelana Jayeng Sari jadi heran dan bertanya-tanya dalam<br />
hati. 'Siapakah gerangan orang itu?* Ia mengegoskan<br />
tubuhnya dari tikaman, lalu mencoba memukul pergelangan<br />
tangan orang yang memegang keris itu, agar kerisnya<br />
terjatuh. Namun orang itu sungguh-sungguh tangkas, sebat<br />
sekali ia mengilir, sehingga tangannya tak menjadi kurban<br />
pukulan Kelana JayenE Sari yang anginnya berkesiur.<br />
Karena tikamannya meleset, ia mengulangi lagi. Tetapi<br />
kembali Kelana Jayeng ^an jnehhat, bahwa orang itu<br />
menjadi ragu-ragu tatkala kerisnya sudah menuju bagian
tubuh yang berbahaya, dan dibelokkan ke arah bagian<br />
yang 22u tidak begitu berbahaya. Kelana Jayeng Sari m*»<br />
coba menangkap tangan orang itu tetani nrLJ l' pun tidak<br />
manda saja membiarkan dKj d £\Z oleh musuhnya. Atas<br />
kesigapan dan ketangS orang itu, Kelana Javenc Sari m-<br />
,... i ayeng Sari merasa kaeum •Siapakah orang itu yang<br />
begitu tangkas?' tanyanya dalam hati. Maka ia pun makin<br />
mempertajam matanya akan meneliti orang itu. Ia ingin<br />
membuka topeng orang itu dan tak terlintas dalam<br />
pikirannya untuk mencelakakannya. Sementara itu orang<br />
yang bertopeng telah menyerangnya pula bertubi-tubi,<br />
gencar dan sangat sebat sekali. Kelana Jayeng Sari<br />
dengan tak kurang tangkas, berkelit dari setiap tikaman.<br />
Sehingga orang yang bertopeng menyerang secara sia-sia<br />
saja. Tetapi Kelana Jayeng Sari pun tidak bisa berbuat<br />
leluasa. Ia ingin menangkap dan memaksa orang<br />
bertopeng itu melepaskan kerisnya, tetapi sebegitu jauh<br />
usahanya tidak berhasil. Demikianlah beberapa lama<br />
keduanya berkelahi dengan seru, memperlihatkan<br />
ketangkasan dan kesehatannya masing-masing. Dalam<br />
berkelahi itu Kelana Jayeng Sari tak henti-hentinya merasa<br />
kagum atas ketangkasan dan kesehatan orang bertopeng<br />
yang tak dikenal itu. Keringat telah membasahi tubuh<br />
mereka, tetapi keduanya masih tangguh bagaikan gunung.<br />
Mereka berkelahi di tempat terbuka, tetapi jauh dari<br />
perkemahan, sehingga tak diketahui orang lain. 227 Nafas<br />
mereka sudah mulai memburu, tetapi tak ada tanda-tanda<br />
bahwa perkelahian itu akan segera berakhir. ¦ Kelana<br />
Jayeng Sari tiba-tiba meloncat, keluar dari kalangan,
sambil berteriak, "Tunggu dulu orang asing! Tunggu dulu!<br />
Berkelahi dengan mempergunakan topeng tidak leluasa!<br />
Bukalah topengmu, supaya bebas kita berkelahi!" "Kau<br />
ngaco-belo apa?" hardik orang itu. "Apa bedanya<br />
berkelahi dengan topeng atau tidak?" Kelana Jayeng San<br />
tak sempat berkata-kata pula, karena serangan telah<br />
menyusul. Ia segera berkelit. Sekali lagi, usahanya untuk<br />
menangkap tangan musuhnya tak terlaksana. 'Sungguh<br />
bukan orang sembarangan* katanya dalam hati. 'Jarang<br />
orang yang mempunyai kepandaian seperti ini. Tetapi<br />
masih aku tidak mengenalnya! Siapakah dia gerangan?*<br />
Tetapi ia tidak juga mengetahuinya, apapula karena<br />
gencarnya serangan yang mengarahnya secara bertubitubi.<br />
'Ia kelihatannya masih muda.....¦ pikirnya kemudian.<br />
'Tetapi kulitnya halus benar!* Sekali, waktu tikamannya tak<br />
mengena, orang bertopeng itu tak sempat menghindarkan<br />
tangannya dan sabetan tangan Kelana Jayeng Sari yang<br />
mengarah pergelangan. "Upas!" teriak Kelana Jayeng<br />
Sari. '*a-tiba orang bertopeng itu merasa tangannya 228<br />
terpukul dan semutan, sehingga keris yang dipegangnya itu<br />
pun terlepas......... 8 pe "Jawab: siapakah engkau?" Kelana<br />
Jayene Sari bertanya. 6 Orang yang bertopeng itu tidak<br />
menyahut Ia dengan sigap memungut kerisnya yang jatuh'<br />
Kelana Jayeng Sari kagum akan kesigapannya itu Keris<br />
yang terlempar itu segera kembali dipegang oleh tangan<br />
kiri orang bertopeng. Tetapi setelah ia menjemput keris,<br />
orang bertopeng itu tidak kembali menyerangnya,<br />
melainkan lari ke hutan yangg gelap. "Kelana Jayeng Sari!<br />
Tak kecewa kau disebut orang gagah! Namamu bukan
nama kosong belaka!" "Terima kasih atas pujian. Tuan.<br />
Tetapi siapakah Tuan sebenarnya?" Kelana Jayeng Sari<br />
balik betanya. Tetapi orang bertopeng itu tak kedengaran<br />
menyahut. Ia hanya tertawa di jauhan, dan tertawanya yang<br />
keras berderai itu makin lama makin menjauh sampai<br />
akhirnya ia hilang dalam kelengangan hutan. Kelana<br />
Jayeng Sari merasa sangat penasaran. Suara orang itu<br />
dan deraian tertawanya sungguh sama dengan suara<br />
orang yang selama ini dimimpi-mimpikannya: suara<br />
istrinya yang telah lenyap terbang ke bulan. Ia memandang<br />
ke arah bulan yang ketika itu telah mulai condong ke arah<br />
barat. ">?9 Tak terasa lagi. ia rupanya telah bergadang<br />
hampir semalaman. Tatkala ia menganggap bahwa orang<br />
bertopeng itu takkan muncul kembali, maka ia pun kembali<br />
ke kemahnya. Di sana didapatinya penasihatnya Kebo<br />
Pandogo belum tidur, tetapi Kelana Jayeng Sari tidak<br />
bernapsu hendak berbicara, maka dibaringkannya<br />
tubuhnya di atas ranjang ketidurannya. Demikianlah<br />
peristiwa perkelahiannya malam itu dengan musuh tak<br />
dikenal, tak pernah dia ceritakan kepada orang lain.<br />
Meskipun ia sendiri tak habis-habisnya heran, memikirkan<br />
siapakah gerangan musuh yang telah berkelahi dengan<br />
memakai topeng itu............ PRABU GAJAH ANGUN-<br />
ANGUN Bingung juga sang Prabu Jayawarsya tatkala<br />
mendengar sembah Patih Wiranggada tentang permintaan<br />
yang diajukan pihak Kelana Jayeng Sari sebagai syarat.<br />
Dewi Sekar Taji, putri mahkota Kadiri, diminta sebagai<br />
tanda terima kasih apabila Kelana Jayeng Sari berhasil<br />
memukul mundur balatentara Metaun! Kelana Jayeng Sari,
meski termashur gagah serta perwira, namun orang yang<br />
tak ketahuan asal-muasalnya. Dalam pada itu. Dewi Sekar<br />
Taji pun masih terikat oleh pertunangan dengan Raden<br />
Panji Kuda Waneng Pati dari Janggala. Memang baginda<br />
mengetahui juga, bahwa Raden Panji telah lenyap tak<br />
ketahuan hidup-matinya, namun kepastian ia sudah tak<br />
ada lagi di dunia ini, juga tak ada. Masih mungkin kelak<br />
sewaktu-waktu akan muncul Raden Panji Kuda Waneng<br />
Pati dan ia mungkin akan menuntut tunangannya. Lama<br />
juga baginda termenung-menung, memikirkan syarat yang<br />
diajukan oleh pihak Kelana Jayeng 231 Sari itu. Tetapi<br />
keadaan tidak memungkinkan baginda berpikir terus.<br />
Keadaan sangat mendesak. Berita tentang makin majunya<br />
tentara Metaun menuju Kadiri datang saJing susulmenyusul.<br />
Agaknya pihak Metaun sudah juga mencium<br />
berita baginda meminta tolong kepada Kelana Jayeng<br />
Sari. Sambil berjalan ke arah timur, tentara Metaun itu<br />
melakukan perampokan dan pembakaran di sepanjang<br />
jalan. Para penduduk mengungsi dengan ketakutan dan<br />
ratap an-ratap an yang mengharukan kalbu. Baginda cepat<br />
mengambil keputusan. Baginda menerima syarat yang<br />
diajukan pihak Kelana Jayeng Sari, tetapi meminta supaya<br />
Kelana Jayeng Sari segera datang di ibu kota bersama<br />
pasukannya. Patih Wiranggada segera pulang kembali<br />
akan mengabarkan hal itu. Dan keesokan harinya Kelana<br />
Jayeng Sari sudah akan masuk ke ibukota. Seluruh ibukota<br />
sejak pagi sudah dititahkan berhias, akan menyambut<br />
pahlawan mereka dari Sebrang itu. Tatkala hari sudah<br />
lewat tengah hari, bala bantuan yang diharap-harapkan pun
datang. Kelana Jayeng Sari dengan gagah duduk di atas<br />
kudanya, memandang tak peduli kepada segala keriahan<br />
yang diselenggarakan untuk menyambutnya itu. Kelana<br />
Jayeng Sari diterima baginda dengan gembira, kemudian<br />
ditempatkan di puri Tambaknya yang dihiasi seindahindahnya.<br />
Dia menempa ta^ S"** ba* dan Penasihatnya<br />
yang ^a itu, Kebo Pandogo'mendapat bilik yang tak<br />
berjauhan. Para ponggawa dan pasukan uKelana Jayeng<br />
Sari telah bertemu dengan ba-ginda dan bercakap-cakap<br />
juga beberapa lamanya kemudian ia meminta diri akan<br />
kembali ke purinya. Malam itu Kebo Pandogo berniat<br />
hendak mempersembahkan pakaian yang indah-indah<br />
buat Dewi Sekar Taji. la sudah mempersiapkan<br />
persembahan itu sejak beberapa lama. berupa pakaian<br />
sutra yang halus-halus dan intan permata yang<br />
gemerlapan, emas urai, mutiara dan sebagainya. Kelana<br />
Jayeng Sari tidak ambil peduli akan maksud penasihatnya<br />
itu. Tetapi ia sendiri tidak hendak pergi ke istana. "Tak<br />
usahlah Gusti turut serta," kata Kebo Pandogo. "Biarlah<br />
semuanya hamba urus. Lagi-pula Gusti mesti beristirahat<br />
karena bukankah besok kita akan bertempur dengan<br />
tentara Metaun?" Tetapi Kelana Jayeng Sari tidak mau<br />
tidur, la berjalan-jalan di taman yang sangat indah,<br />
menikmati udara malam yang sejuk. Kebo Pandogo<br />
diterima baginda dengan hormat, dan tatkala mendengar<br />
maksud kedatangannya, baginda menitahkan supaya Dewi<br />
Sekar Taji datang menghadap. . T •= Tatkala Kebo<br />
Pandogo melihat Dewi Sekar Taji, ia terkesiap. 233<br />
'Sungguh serupa benar!' katanya dalam hati Tak sia-sia
usahaku selama ini! Kalau Kelana Jayeng Sari melihat<br />
Dewi Sekar Taji ini, tentu ja lupa akan istrinya. Dan niscaya<br />
ia percaya kepada perkataanku, bahwa istrinya benarbenar<br />
kembali turun ke dunia!" Waktu ia kembali ke puri,<br />
didapatinya gustinya belum lagi beradu. Maka ia pun<br />
mempersembahkan pengalamannya bertemu dengan<br />
Dewi Sekar Taji. "Kalau Gusti bertemu dengan putri dari<br />
Kadiri itu, Gusti tentu akan kagum, karena ia sungguhsungguh<br />
seorang yang sangat jelita!" akhirnya ia bilang.<br />
Kelana Jayeng Sari menghela nafas. "Tetapi mungkinkah<br />
ia secantik istriku <strong>Candra</strong> Kirana?" tanyanya dengan tak<br />
bernafsu. "Tak ada orang yang secantik dia! Takkan ada!"<br />
Kebo Pandogo tersenyum-senyum. 'Kelak akan Gusti lihat .<br />
" katanya. "Dewi Sekar Taji memang sama cantiknya<br />
dengan Dewi Anggraeni..." Mendengar nama itu disebut<br />
orang, Kelana Jayeng San menjadi berduka dan ia tak<br />
hendak bercakap-cakap pula. Kenang-kenangan akan<br />
istri-hi!J >Z ,U3!nya bcncdih' »»«ngkan malam itu £ ath n<br />
ndUan hatinya den*a" memandang searah pUrnama yang<br />
bercahaya lembut. Keesokan harinya pagi-pagi benar ia<br />
sudah ber siap, karena han itu ia akan bertemnur ,1 „ja<br />
Metaun. Para Ponggawanya"udTpu siap, suaranya hirukpikuk,<br />
genderang peperaT an telah dipalu, berdebamdebam<br />
bunyinya Waktu Kelana Jayeng Sari sudah naik ke<br />
atas kudanya, hendak berangkat, tiba-tiba datang berlarilari<br />
seorang putri yang berkata kepadanya, "Kelana Jayeng<br />
Sari! Perkenankanlah aku turut berperang di sisi Tuan!"<br />
Kelana Jayeng Sari menolehkan mukanya dan<br />
memandang dengan mata terbelalak kepada putri yang
mendatanginya itu. "Istriku yang tercinta, sungguhsungguhkah<br />
engkau kembali?" sambutnya. "Tuan khilaf,<br />
Kelana Jayeng Sari!" sahut putri itu yang bukan lain<br />
daripada Dewi Sekar Taji putri mahkota Kadiri, "Hamba<br />
belum lagi menjadi istri Tuan!" Tetapi Kelana Jayeng Sari<br />
tak syak lagi: parasnya, tubuhnya, suaranya, gerakgeriknya,<br />
ah, semuanya sama benar dengan istrinya.<br />
"<strong>Candra</strong> Kirana! Masihkah Adinda akan mempermainkan<br />
Kakanda?" tanyanya dengan suara lembut. ... -Hl "<strong>Candra</strong><br />
Kirana? Siapakah <strong>Candra</strong> Kelana Jayeng Sari?" sahut<br />
putri Sekar Taji. Na; ma hamba bukan <strong>Candra</strong> Kirana,<br />
melainkan ue 23$ Sekar Taji, putri Kadiri!" Kelana Jayeng<br />
Sari tertegun. Dewi Sekar Taji! Inilah putri yang telah<br />
dipertunangkan dengan dia sejak masih kanak-kanak!<br />
Baru sekali ini ia melihatnya! Dan putri itu bagaikan pinang<br />
dibelah dua dengan istrinya yang terbang ke arah bulan!<br />
Alangkah sama! Segalanya! Ia memandang tajam-tajam<br />
ke arah putri itu, meneliti dengan mata terpukau. Beberapa<br />
jenak ia tak kuasa melahirkan kata-kata. Lidahnya menjadi<br />
kelu. "Hamba hendak turut serta dengan Tuan memerangi<br />
raja Gajah Angun-angun yang angkuh itu!" kata putri Sekar<br />
Taji pula. Kelana Jayeng Sari cepat menguasai dirinya<br />
pula. 'Tetapi putri jelita, sayangilah kecantikanmu itu!<br />
Jangan turut ke medan perang!" sahutnya. "Hamba<br />
memang seorang wanita, tetapi hamba bukan seorang<br />
pengecut!" kata Dewi Sekar Taji pula. "Orang-orang<br />
menyebut hamba putri yang gagah berani dan hamba<br />
memang mahir mempermainkan pelbagai alat senjata,<br />
Tuan pun tahu!" "Kita baru sekali ini bertemu, mana
mungkin hamba tahu tentang diri Tuan Putri!" Putri Sekar<br />
Taji tertawa. "Mata Tuan sungguh buta! Tuan benar-benar<br />
seorang pemimpi yang kerjanya melamun menggadang»<br />
cahaya bulan!" katanya seperti mengejek. 236 Mendengar<br />
perkataan itu Kelana jtv.„0 i terkejut. Begitu pula ia diejek<br />
orang l?«0^ yang penuh rahasia itu tempo hari. iJjSS orang<br />
yang bertopeng itu Dewi Sekar Taji L? Ia memandang<br />
tajam-tajam kepada putri yang ada di depannya itu. Tak<br />
syak lagi! Suara itu pula yang dia dengar malam itu. Dan<br />
oleh hidungnya yang tajam, tercium pula wangi yang malam<br />
itu juga dia cium. "Tak hamba sangka di Kadiri ada putri<br />
perwira!" katanya kemudian sambil tertawa. "Sungguh<br />
mataku buta, pendengaranku cupet!" Dewi Sekar Taji<br />
tertawa pula. "Jadi Tuan perkenankan hamba turut serta ke<br />
medan pertempuran?" Kelana Jayeng Sari tertawa.<br />
"Hamba mempunyai seekor gajah putih ..." kata Dewi<br />
Sekar Taji pula. "Ia seekor binatang peperangan yang<br />
terlatih. Biarlah ia kutunggangi untuk menyaksikan<br />
pertarungan Tuan dengan Raja Metaun!" Prabu<br />
Jayawarsya tidak berhasil melarang putrinda turut ke<br />
medan laga. Maka ia hanya berpesan kepada Kelana<br />
Jayeng Sari supaya hati-hati menjaganya, agar jangan<br />
sampai mendapat celaka. . "Sang Dewi seorang gagah<br />
perwira. Kelana Jayeng Sari berkelakar. Tetapi<br />
iamenyang237 gupijuga pesan baginda. Maka Kelana<br />
Jayeng Sari bersama wadia-balanya pun berangkat ke<br />
arah barat. Sang Dewi Sekar Taji duduk di atas gajah<br />
putihnya yang anggun dan tangkas itu. Gajah Angun-angun<br />
beserta bala tentaranya bergerak ke arah timur, berbuat
semena-mena melampiaskan amarahnya. Para pendudujc<br />
yang tidak berdosa dianiaya serta disiksa. Rumah-rumah<br />
dibakar, harta kekayaan diranjah dan dirampas, wanitawanita<br />
diperkosa. Tatkala kedua tentara itu bertemu, maka<br />
perang campuh pecah. Suara senjata yang berlaga<br />
berdencing-dencing, diselang oleh teriakan-teriakan<br />
kesakitan yang mengerikan hati. Darah mengalir<br />
membasahi tanah dan suara kuda yang mabuk darah atau<br />
luka menyebabkan langit dan bumi gemetar. Bala tentara<br />
Metaun sudah lelah, karena menganiaya dan menyiksa<br />
penduduk, lagipula tak terkuasai lagi oleh orang atasannya,<br />
sehingga bertempur cerai-berai, merugikan pihaknya.<br />
Sebaliknya wadia-bala Kelana Jayeng Sari yang telah<br />
terlatih itu, masih segar bugar dan dikendalikan oleh ahli<br />
siasat yang mahir. Menjelang tengah hari, bala tentara<br />
Metaun sudah cerai-berai. Betapapun sang Prabu Gajah<br />
Angun-angun berteriak murka menitahkan bala tentaranya<br />
supaya jangan lari, namun sia-sia saja. Lagipula beberapa<br />
raja yang semula berpihak kepadanya tatkala melihat<br />
gelagat tidak 238 baik. segera berbalik senjata atau<br />
menitahkan n pengikutnya menghindarkan diri MeSa^P *<br />
S*, hati karena dengan «1^« terlepas dan raja yang kejam<br />
itu. Di aus gajahnya yang didandani secara mewah Prabu<br />
Gajah Angun-angun tak henti-hentinya berteriak,<br />
menganjurkan supaya maju menerjang anak buah Kelana<br />
Jayeng Sari. Panah yang menghujaninya dengan tangkas<br />
selalu dapat ditangkis-nya. Kelana Jayeng Sari dengan<br />
perkasa, berdampingan dengan Dewi Sekar Taji maju ke<br />
arah barat. Kelana Jayeng Sari di atas kuda, sang putri di
atas gajah. Sedangkan tangan keduanya tak berhenti-henti<br />
memain. Kelana Jayeng Sari mempergunakan tombak.<br />
Setiap gerakan tangannya, menyebabkan tentara musuh<br />
rubuh. Mereka tak mampu menghindari tusukan tombak<br />
yang matanya bagaikan bisa melihat itu. Yang selamat,<br />
timbul takutnya, lalu terbirit-birit melarikan diri. Gajah yang<br />
ditunggangi oleh Dewi Sekar Taji sudah biasa di medan<br />
perang, menyebabkan musuh yang kurang waspada<br />
kehilangan nyawanya, hancur dibanting oleh belalai atau<br />
luluh lantak diinjak oleh kakinya yang besar-besar itu.<br />
Panah Dewi Sekar Taji pun sangat berbahaya, senantiasa<br />
meminta kurban nyawa. Segera Prabu Gajah Angun-angun<br />
melihat musuhnya. Murkanya pun membakar wajahnya 239<br />
"Kelana Jayeng Sari!" ia berteriak menantang "Kau kira<br />
medan perang ini tempat apa? Kalau kau benar berani,<br />
tinggalkanlah perempuan itu, mari kita bertarung mencoba<br />
kekebalan kulit masing-masing." Kelana Jayeng Sari<br />
tertawa mengejek. "Prabu Gajah Angun-angun, jangan<br />
banyak bicara, harimu yang terakhir sudah tiba! Lihatlah<br />
sinar matahari sepuas-puasmu. karena besok ia takkan<br />
kaulihat pula!" Prabu Gajah Angun-angun bertambah<br />
murka. Maka diarahkannya gajahnya ke dekat Kelana<br />
Jayeng Sari, sehingga keduanya berhadapan. "Kelana<br />
Jayeng Sari! Kalau engkau benar perkasa, kautangkis<br />
tombakku si Pantang Kalah ini" teriaknya sambil<br />
menusukkan tombaknya. Tetapi Kelana Jayeng Sari<br />
dengan mudah saja menangkisnya, sehingga murka Prabu<br />
Gajah Angun-angun makin menjadi. Bertubi-tubi ia<br />
menusuk dan mengarah tubuh musuhnya, tetapi dengan
tamengnya Kelana Jayeng Sari selalu menangkis. "Mana<br />
permainan tombakmu yang kesohor itu?" ejek Kelana<br />
Jayeng Sari sambil tertawa. Hanya itu sajakah?1' Prabu<br />
Gajah Angun-angun meloncat dari gajah-ny a. "Kelana<br />
Jayeng Sari, tunrn ke mari! Mari kita berkelah. dengan<br />
keris di atas tanah'" Hanya sekejap Kelana Jayeng Sari<br />
sudah berada 240 di hadapannya... -Apa maumu akan<br />
selalu kulayani'" sah Belum lagi perkataannya habis<br />
diucapkan"mS kens telah menyambar akan menusuk<br />
lambung? Tetapi ia sungguh gesit, tusukan itu bi» dihindari<br />
nya dengan mudah. Sebaliknya Prabu Gajah Angun-angun<br />
hampir-hampir ngusruk lantaran kehilangan keseimbangan<br />
tubuh. Ia menusuk dengan sepenuh tenaga, tak tahunya<br />
musuh mengegoskan diri. "Hunus kerismu!" teriaknya<br />
dengan murka. "Tak usah terburu-buru benar ..." sahut<br />
Kelana Jayeng Sari. "Bukankah engkau masih ingin<br />
melihat sinar matahari?" Ejekan-ejekan Kelana Jayeng<br />
Sari yang menghina itu menyebabkan Prabu Gajah Angunangun<br />
makin murka. Ia sudah tak bisa menguasai<br />
amarahnya lagi. Ia menusuk dengan kalap kepada<br />
musuhnya, tetapi dengan demikian musuhnya pun jadi lebih<br />
gampang menyelamatkan diri. Demikianlah kedua<br />
pahlawan itu berkelahi beberapa lamanya, ditonton dengan<br />
asyik oleh Dewi Sekar Taji yang tersenyum-senyum saja. la<br />
yakin akan kepandaian Kelana Jayeng Sari yang<br />
diketahuinya sangat mahir dan ahli mempermainkan<br />
keris____ Dalam pada itu pertempuran sudah mendekati<br />
akhirnya. 241 Kelana Jayeng Sari sudah menghunus<br />
kerisnya yang konon sangat sakti dan bertuah benar itu. Ja
tidak membuta seperti musuhnya menusuk-nusukkan keris,<br />
tetapi menanti saat yang tepat. Matanya yang tajam<br />
mengawasi musuhnya dengan teliti. Ia pun mesti<br />
menghindarkan diri dari setiap tusukan Prabu Gajah<br />
Angun-angun. Tidak berapa lama. ia melihat satu<br />
lowongan. Tatkala keris Prabu Gajah Angun-angun<br />
mengarah dadanya sebelah kiri, ia sengaja bertindak ayal,<br />
sehingga menggembirakan musuhnya itu. Ia yakin sekali ini<br />
Kelana Jayeng Sari tak nanti mampu menghindarkan<br />
dirinya dari tusukan kerisnya. "Rubuhlah!" teriak Prabu<br />
Gajah Angun-angun. Dan benar-benarlah: tubuh yang besar<br />
kekar itu rubuh, karena tangan kanan Kelana Jayeng Sari<br />
yang memegang keris itu telah mendahului masuk ke<br />
bawah ketiaknya, sedangkan mata kerisnya masuk ke<br />
dalam dada. Darah mengucur, keris terlepas dari tangan<br />
Prabu Gajah Angun-angun. Kelana Jayeng Sari berdiri<br />
sambil bernafas lega. Ia membersihkan kerisnya dari<br />
darah yang merah membasahinya. "Sungguh<br />
mengagumkan!" terdengar pujian dan atas gajah. Itulah<br />
suara Dewi Sekar Taji yang «jak tadi menyaksikan<br />
pertarungan mati-matian kedua orang itu. Karena raja<br />
mereka rubuh, maka bubar tak 242 keruanlah tentara<br />
Metaun. Yang tak sempat melarikan diri, tertangkap, lalu<br />
dibelenggu oleh bala tentara Kelana Jayeng Sari. Mereka<br />
memohon ampun, mau menyelamatkan selembar<br />
nyawanya. Kelana Jayeng Sari menitahkan agar mayat<br />
Prabu Gajah Angun-angun dan para tawanan dibawa ke<br />
Kadiri akan menjadi bukti kemenangannya. 243 RAHASIA<br />
TERBUKA Seluruh Kadiri mengelu-elukan Kelana Jayeng
Sari yang telah menjadi pahlawan mereka memukul<br />
mundur tentara Metaun dan membunuh Prabu Gajah<br />
Angun-angun yang kejam. Prabu Jayawarsya menyabut<br />
kedatangan Kelana Jayeng Sari bersama pasukannya itu<br />
sampai di luar kota Kadiri. Waktu sang pahlawan turun dari<br />
gajah akan menghaturkan sembah kepada baginda,<br />
terdengar sorak gempita yang membelah udara. "Hidup<br />
Kelana Jayeng Sari! Hidup pahlawan Kadiri!" Kemudian<br />
mereka bersama-sama masuk ke dalam istana. Prabu<br />
Jayawarsya nampak terharu. Ia memandang berganti-ganti<br />
kepada Kelana Jayeng Sari dan putrinda Dewi Sekar Taji,<br />
lalu menundukkan kepalanya, seperti memikirkan sesuatu<br />
hal yang mengganggu kalbunya. Para prajurit Kelana<br />
Jayeng Sari dijamu dan dihibur dengan berbagai<br />
pertunjukan. Maka hilang244 lenyap capai lelah mereka,<br />
karena terhibur oleh berbagai hal yang menyukakan hati.<br />
Sementara itu di istana, baginda beserta beberapa orang<br />
pejabat penting juga sedang menjamu Kelana Jayeng Sari<br />
bersama Kebo Pandogo. Baginda memuji kepahlawanan<br />
sang Kelana dan bersukur karena ancaman bahaya<br />
terhadap Kadiri sudah bisa dihindari. Tatkala pembicaraan<br />
sampai pada soal pernikahan Kelana Jayeng Sari dengan<br />
Dewi Sekar Taji seperti yang telah dijanjikan, baginda<br />
menghela nafas panjang. "Jodoh memang ditentukan oleh<br />
para dewa . . . " sabdanya kemudian. "Manusia tak bisa<br />
berbuat sesuatu apa, apabila Dewata raya tidak<br />
memperkenankannya ..." Orang-orang termenung demi<br />
mendengar sabda baginda yang diucapkan dengan suara<br />
yang murung sedih itu, diam termenung, tak ada yang
erani memotong kalimat. Suasana yang penuh gelak<br />
tertawa berubah menjadi sungguh-sungguh. "Umpamanya<br />
Dewi Sekar Taji ..." baginda melanjutkan perkataannya<br />
pula. "Sejak masih kanak-kanak ia telah dipertunangkan<br />
dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati, putra mahkota<br />
Janggala. Apa mau pihak Janggala tidak menepati janji -<br />
atau lebih tepat: Dewata menghendaki yang lain. Raden<br />
Panji konon nikah di luar perke 245 nan ayahanda dengan<br />
seorang bukan keturunan raja dan menolak untuk menikah<br />
dengan anakku Sekar Taji ..." wajah baginda muram,<br />
suaranya pun makin menjadi guram. "Dan kemudian<br />
Raden Panji konon tenggelam di lautan selagi berlayarlayar<br />
dengan istrinya yang sudah meninggal . . . Tetapi ada<br />
pula yang mengatakan, bahwa Raden Panji masih hidup,<br />
hanya sebegitu jauh sampai sekarang belum kelihatan<br />
muncul. Sang Prabu Jayantaka sudah mengundurkan diri,<br />
kini telah digantikan oleh Prabu Braja Nata, putra baginda.<br />
Hebat adalah bagi kami, karena Prabu Braja Nata<br />
bersikeras mengatakan bahwa saudaranya. Raden Panji<br />
Kuda Waneng Pati masih hidup, karena itu<br />
pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji tidak dibatalkan!<br />
Tetapi bertahun-tahun telah lampau, kabar mengenai<br />
Raden Panji tak juga sampai. Lagipula bukti bahwa Raden<br />
Panji masih hidup tak ada yang layak dipercaya . . . Prabu<br />
Braja Nata tak percaya saudaranya itu telah meninggal,<br />
karena mereka tidak berhasil menemukan mayatnya. Ya,<br />
bagaimana pula mencari mayat di dalam lautan yang<br />
dalam dan luas tak terkira?" baginda berhenti sejenak,<br />
suasana hening. "Karena itu, menurut pendapat kami,
adalah anakku Kelana Jayeng Sari yang telah ditentukan<br />
oleh Dewata untuk menjadi jodoh Dewi Sekar Taji -<br />
anakku. Sesuai dengan perjanjian kita, kami merasa tidak<br />
keberatan menikahkan anakku Dewi Sekar Taji 246<br />
dengan anakku Kelana Jayeng Sari. Persiapan untuk itu<br />
akan segera disediakan ..." Hampir Kelana Jayeng Sari<br />
tak kuasa menahan dirinya, akan sujud di depan baginda<br />
dan menjelaskan bahwa Raden Panji Kuda Waneng Pati<br />
yang dikabarkan tenggelam di lautan itu, adalah dia sendiri<br />
adanya. Hampir ia tak kuat menahan keinginan untuk<br />
mengatakan bahwa Raden Panji Kuda Waneng Pati dan<br />
Kelana Jayeng Sari itu orangnya satu. Untung saja<br />
penasihatnya yang bijaksana, Ki Kebo Pandogo, menekan<br />
tangannya, sehingga sadar ia akan dirinya yang sedang<br />
menyamar. Maka pembicaraan pun dilanjutkan tentang<br />
pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Beberapa<br />
orang senapati mengutarakan kekuatirannya kalau-kalau<br />
pihak Janggala menjadi marah dan menyerang Kadiri.<br />
Tetapi mengapa pula mesti takut? Bukankah Kelana<br />
Jayeng Sari yang gagah perwira dan sakti itu akan<br />
sanggup memukul mundur serbuan Janggala? Maka<br />
mengenai hal itu orang tidak berani menyinggungnyinggungnya<br />
pula. Pernikahan ditetapkan akan<br />
dilangsungkan enam minggu lagi. Selama itu persiapanpersiapan<br />
akan diadakan. Sebuah pesta kerajaan akan<br />
diselenggarakan besar-besaran. Bukankah Dewi Sekar<br />
Taji putri mahkota yang kelak akan memangku takhta<br />
Kadiri? Seluruh kerajaan sibuk bersiap-siap untuk 247<br />
menyambut hari yang akan dirayakan empat puluh hari
empat puluh malam itu. Tetapi waktu yang enam minggu itu<br />
menyebabkan berita tentang pernikahan Dewi Sekar Taji<br />
dengan Kelana Jayeng Sari dari tanah Seberang itu<br />
sampai di Janggala dan Prabu Braja Nata murka besar<br />
tatkala mendengarnya. "Dewi Sekar Taji sudah<br />
dipertunangkan dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati!"<br />
katanya dengan geram. "Raden Panji memang hilang,<br />
tetapi ia belum meninggal dan pertunangan antara<br />
keduanya pun belum diputuskan! Nyata pihak Kadiri<br />
hendak menghina kita, Janggala! Hinaan ini tak boleh kita<br />
biarkan saja!" Maka baginda berunding dengan para<br />
pejabat kerajaan yang penting-penting membicarakan<br />
persiapan-persiapan untuk menyerang Kadiri, supaya<br />
pernikahan tunangan putra mahkota Janggala dengan<br />
orang yang berasal dari tanah Sebrang itu jangan sampai<br />
terlaksana. Baginda bertindak cepat, beberapa hari<br />
kemudian berangkatlah tentara Janggala dalam jumlah<br />
yang besar menuju Kadiri. Prabu Braja Nata sendiri<br />
memimpin penyerangan itu. Tetapi Prabu Braja Nata<br />
bertindak hati-hati. Ia tidak langsung menyerang Kadiri.<br />
Tatkala sampai di perbatasan, ia pun mendirikan<br />
perkemah-an. Lalu ditulisnya sepucuk surat yang akan<br />
di248 antarkan oleh Senapati Arya Suralaga kepada sang<br />
baginda Prabu Jayawarsya. Dalam surat itu Prabu Braja<br />
Nata mengingatkan mamanda akan pertunangan putri<br />
mahkota Kadiri dengan putra mahkota Janggala Raden<br />
Panji Kuda Waneng Pati. Pertunangan itu belum pernah<br />
diputuskan, dan meskipun dikabarkan tenggelam ke dasar<br />
lautan, belum tentu Raden Panji sudah meninggal. Hingga
sekarang mayatnya belum diketemukan orang. Karena itu,<br />
Prabu Braja Nata menyatakan keberatannya kalau Dewi<br />
Sekar Taji dinikahkan dengan orang lain, sedangkan<br />
pertunangannya dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati<br />
belum diputuskan secara resmi. Ia mengatakan bahwa jika<br />
hal itu dilangsungkan, maka itu berarti penghinaan buat<br />
Janggala dan ia takkan membiarkan diri serta nama baik<br />
kerajaannya terhina. Di perbatasan ia telah siap dengan<br />
bala tentaranya yang besar untuk menyerbu Kadiri, kalau<br />
penghinaan dilangsungkan juga. Pada akhir suratnya,<br />
Prabu Braja Nata menuntut agar pernikahan itu dibatalkan<br />
dan agar Kelana Jayeng Sari datang menyerah kepadanya<br />
untuk menerima hukuman penggal. Orang yang konon<br />
berasal dari tanah Sebrang itu dianggap telah dengan<br />
sengaja menghina kerajaan Janggala. Tetapi sebelum<br />
Senapati Arya Suralaga sampai di hadapan Prabu<br />
Jayawarsya akan mempersem249 hahkan surat Prabu<br />
Braja Nata. berita tentang kedatangan tentara Janggala di<br />
perbatasan Kadiri. telah meniup-niup di seluruh negen.<br />
Setiap orang membicarakannya. Setiap orang berkuatir.<br />
Dan kekuatiran itu mempengaruhi persiapan pesta<br />
kerajaan untuk pernikahan putri mahkota mereka. Dan<br />
tatkala Prabu Jayawarsya menerima utusan Prabu Braja<br />
Nata, hatinya goncang. Sebelum ia membuka surat yang<br />
dipersembahkan orang kepadanya, untuk sebagian besar<br />
baginda telah maklum akan isinya. Perang! Perang<br />
dengan Kadiri! Tidak, bencana itu tak mungkin dihindari<br />
lagi! Tuntutan Prabu Braja Nata sangat mustahil: Kelana<br />
Jayeng Sari mana mungkin bersedia untuk menyerahkan
kepalanya kepada pihak Janggala! Sebaliknya ia pun<br />
takkan mungkin meminta Kelana Jayeng Sari untuk<br />
membatalkan pernikahannya dengan Dewi Sekar Taji! Itu<br />
akan menyebabkan pahlawan dari tanah Sebrang itu<br />
merasa terhina dan murka pula! Memang, ia boleh tidak<br />
usah menaruh kuatir, karena Kelana Jayeng Sari dengan<br />
bala tentaranya tentu akan menghadapi serangan dari<br />
Janggala. Namun jika hal itu terjadi, maka perhubungannya<br />
dengan Janggala akan buruk untuk selama-lamanya.<br />
Sedangkan Janggala dengan Kadiri berasal dari satu<br />
keturunan, dari satu kerajaan jua . . . Maka terkenang pula<br />
baginda akan cita-citanya semasa muda, bersama-sama<br />
dengan saudara 250 sebuyutnya Prabu Jayantaka, untuk<br />
Dersama-sama mewujudkan kembali apa yang dahulu<br />
dengan susah payah telah dipersatukan oleh moyang<br />
mereka Sang Airlangga: persatuan Kadiri dengan<br />
Janggala! Sungguh suatu cita-cita yang indah! Sungguh tak<br />
baginda kira, cita-cita yang mulia itu akan berakhir seperti<br />
ini. Jangankan persatuan, bahkan perpecahan selamalamanya<br />
mengancam perhubungan kedua kerajaan itu!<br />
Baginda menghela nafas. Kepada Senapati Arya Suralaga<br />
baginda meminta tempo untuk merundingkannya dahulu<br />
dengan para tetua negara dan sementara menunggu<br />
keputusan itu, utusan Prabu Braja Nata dipersilakan<br />
beristirahat di sebuah pesanggrahan yang sangat resik.<br />
Tetapi para tetua serta pejabat negara pun tidak mampu<br />
menghasilkan saran yang merupakan jalan keluar.<br />
Mahapatih Kebo Rerangin yang terkenal bijaksana itu,<br />
merenung, berpikir keras dan kata-katanya tidak
memberikan cahaya harapan. "Akhir-akhirnya segalagalanya<br />
terserah kepada Gusti Kelana Jayeng Sari jua . . .<br />
" demikian katanya. "Hanya ia dalam hal ini yang mungkin<br />
memberi keputusan. Kalau ia menghendaki perang, maka<br />
perang pun takkan mungkin dihindari . . . Kecuali kalau ia<br />
bersedia memenuhi tuntutan Prabu Braja Nata itu ... "<br />
"Tetapi sudikah ia menyerah?" tanya baginda. "Itulah yang<br />
tak bisa kita jawab. Karena itu 251 hanya ia sendiri yang<br />
mungkin memberi keputusan ....1 "Tak ada jalan lain kalau<br />
begitu: kita mesti merundingkan hal ini dengan dia!<br />
Baiklah, Senapati Wirapati, silakan Kelana Jayeng Sari<br />
datang ke mari!" sabda baginda. Sementara itu Dewi<br />
Sekar Taji, yang juga mendengar berita tentang masuknya<br />
tentara Janggala ke perbatasan, bermuram durja. Ia<br />
nampak mere-nung-renung dan melamun, sehingga<br />
menimbulkan heran Kelana Jayeng Sari yang sedang<br />
mengunjunginya. "Apakah yang Adinda pikirkan?"<br />
tanyanya. Dewi Sekar Taji memandang kepada bakal<br />
suaminya itu dengan mata redup. "Hamba kuatir, karena<br />
hamba dengar wadia-bala Janggala telah sampai di<br />
perbatasan akan menyerang Kadiri," sahutnya dengan<br />
suara guram. 'Tentu gara-gara pihak Janggala mendengar<br />
tentang akan dilangsungkannya pernikahan kita ..." Kelana<br />
Jayeng Sari tersenyum dan wajahnya cerah, seperti ia<br />
tidak mengetahui apa-apa dan sambil tersenyum jua ia<br />
bertanya, "Jadi menyesalkah Adinda akan pernikahan<br />
kita?" Dewi Sekar Taji memandang dengan tajam.<br />
"Jangan Kakanda berbicara seperti itu! Hamba tidak<br />
menyesal karena telah mendapat jodoh Kakanda, malah ...
angga!" "Tetapi agaknya Adinda mengharap-harap jua<br />
252 Raden Panji, tunangan Adinda sejak masih kanakkanak<br />
itu . . . " kata Kelana Jayeng Sari sambil tersenyum<br />
jua. "Tidak!" sahut Dewi Sekar Taji cepat. "Tidak<br />
demikian! Hamba dengan Raden Panji belum pernah<br />
bersua. Atau kalau pun pernah bersua, tentu tatkala kami<br />
masih kanak-kanak. Kami tak ingat lagi. Lagipula Raden<br />
Panji hamba dengar sudah menikah dengan orang lain dan<br />
ia sangat mencintai istrinya itu, sehingga..." "Jadi apa yang<br />
Adinda rusuhkan?" potong Kelana Jayeng Sari seakanakan<br />
ia tak mau mendengar kekasihnya itu menghabiskan<br />
kalimat. Dewi Sekar Taji menghela nafas sambil<br />
mengarahkan pandangannya ke kejauhan. Ia nampak<br />
berfikir keras. "Yang hamba jadikan pikiran," akhirnya ia<br />
menyahut, "adalah bencana yang bakal dialami oleh rakyat<br />
Kadiri..." "Bencana apa?" "Kalau bala tentara Janggala<br />
masuk, tentu peranglah yang akan terjadi dan tentu rakyat<br />
Kadiri akan hancur menderita karenanya ..." sahutnya<br />
dengan suara murung. "Ragu-ragukah Adinda akan<br />
kegagahan serta keperwiraan para ponggawa Kelana<br />
Jayeng Sari'1" Dewi Sekar Taji menggleng-gelengkan<br />
kepala. "Tidak! Sedikit pun Dinda tidak ragu. Hamba telah<br />
menyaksikan mereka bertempur tatkala 253 menghadapi<br />
tentara Metaun dan hamba percaya, mereka di bawah<br />
pimpinan gustinya yang perwira akan mencapai<br />
kemenangan di setiap peperangan . . " mengucapkan yang<br />
terakhir ia tersenyum sambil mengerling manja kepada<br />
tunangannya. Kelana Jayeng Sari tersenyum. "Jadi apa<br />
yang Adinda kuatirkan?" kemudian ia bertanya. "Apabila
terjadi perang dengan Janggala, tentu akan banyak orang<br />
yang mati atau sekurang-kurangnya mendapat celaka,<br />
menderita berbagai kesengsaraan. Wanita-wanita akan<br />
banyak yang kehilangan suami, anak-anak banyak yang<br />
akan kehilangan ayah dan ibu-ibu banyak yang akan<br />
kehilangan anak lelaki mereka yang menjadi tiang<br />
kehidupannya ... Waktu berperang dengan Metaun tempo<br />
hari, hamba menyaksikan hal-hal yang mengerikan dan<br />
menyedihkan itu. Dan diam-diam hamba berpikir:<br />
Alangkah hebatnya bencana yang dialami dan diderita oleh<br />
manusia lantaran perang! Apakah manfaatnya perang itu?<br />
Apakah artinya perang antara sesama manusia, sesama<br />
saudara? Ya. Kadiri dan Janggala masih berasal dan satu<br />
keturunan . . . Kalau terjadi perang, tak peduli siapa yang<br />
menang ataupun siapa >ang kalah, kedua pihak akan<br />
menderita, akan mengalami bencana. Bencana atas<br />
sesama manu-aa. Dew, Sekar Taji berhenti sebentar dan<br />
karena 254 kekasihnya diam saja menyimakkan<br />
perkataannya, kemudian ia melanjutkan pula, "Dan kalau<br />
hamba bertanya kepada diri hamba sendiri. Apakah<br />
pangkal sebabnya sehingga kedua kerajaan yang berasal<br />
dari satu keturunan itu berperang? Apakah yang mereka<br />
bela? Apakah yang mereka pertahankan? Kanda pun tahu:<br />
hambalah pangkal sebabnya. Hamba! Hambalah yang<br />
akan menyebabkan manusia saling bunuh sesamanya!<br />
Dan kalau pun kelak kita menang, apakah yang akan kita<br />
dapat? Kebahagiaan kita. Barangkali kita akan<br />
berbahagia dalam hidup kita. Tetapi apakah artinya<br />
kebahagiaan kita apabila kita perbandingkan dengan
penderitaan serta kesengsaraan yang dialami oleh<br />
beratus-ratus dan beribu-ribu orang yang mendapat<br />
bencana perang itu? Seimbangkah kebahagiaan kita<br />
dengan kurban yang dimintanya? Ya, apakah artinya<br />
kebahagiaan kita kalau untuk itu kita menyebabkan beriburibu<br />
orang lain mendapat bencana dan menderita<br />
kesengsaraan?" Kelana Jayeng Sari mendengarkan<br />
perkataan bakal istrinya itu dengan kagum, la merasa<br />
malu, karena ia sendiri dahulu hanya memikirkan<br />
kebahagiaannya sendiri saja. 'Coba kalau dahulu aku tidak<br />
terlalu menurutkan hatiku sendiri ...' sesalnya dalam hati.<br />
'Kini tentu bulan dan matahari ada dalam genggamanku!<br />
Dan siapakah lagi yang akan lebih berbahagia daripada<br />
orang yang menyandingkan keduanya?' 255 Teringat akan<br />
masa lampaunya, ia menjadi murung dan menyesal. Tetapi<br />
melihat Dewi Sekar Taji yang memandang dengan mata<br />
redupnya ke arah tak berwatas. ia segera berkata, "Kalau<br />
begitu, perang mesti kita hindari .. . Dewi Sekar Taji<br />
menolehkan wajahnya. Kini ia memandang wajah Kelana<br />
Jayeng Sari tajam-tajam, dari matanya terpancar<br />
keheranan. "Apakah maksud Kanda?" "Perang itu akan<br />
kita hindari ..." "Tetapi semudah itukah soalnya?<br />
Sesederhana itukah?" Kelana Jayeng Sari tersenyum.<br />
"Kalau Kanda mengirimkan utusan kepada Prabu Braja<br />
Nata, tentu persoalan akan beres dan apa yang Rayinda<br />
takuti akan terhindar..." Dewi Sekar Taji memandang<br />
dengan heran dan tidak mengerti. Ia hendak bertanya pula.<br />
tetapi tatkala itu datang Senapati Wirapati yang<br />
memangku titah baginda. Kelana Jayeng Sari disilakan
menghadap baginda secepat mungkin "Apakah soalnya<br />
gerangan?" tanya Dewi Sekar Taji. Senapati Wirapati<br />
seperti keberatan menyahut. Maka Kelana Jayeng Sari<br />
menalanginya, menjawab, "Tentu soal Janggala, bukan?"<br />
Senapati Wirapati terkejut. 'Bagaimana ia mungkin<br />
mengetahuinya? Benar-benar orang ini sakti!' pikirnya<br />
dalam hati. Ia hanya mengangguk dan mengiakan saja.<br />
Kelana Jayeng Sari meminta diri dari kekasihnya, lalu<br />
bergegas menuju balairung, diiringkan oleh Senapati<br />
Wirapati. Waktu ia sampai di sana, Ki Kebo Pandogo juga<br />
sudah ada di sana. Maka baginda pun lalu membicarakan<br />
masalah yang membingungkan hatinya itu. Surai yang<br />
diterimanya dari Prabu Braja Nata diberikannya kepada<br />
Kelana Jayeng Sari. Ki Kebo Pandogo tersenyum-senyum<br />
saja, tetapi ia tidak berkata sesuatu apa. Setelah Kelana<br />
Jayeng Sari menelaah surat itu, terdengar baginda<br />
bersabda, "Anakku pun .tahu, bahwa dalam hal ini,<br />
semuanya tergantung kepada Anakku Kelana sendiri . . .<br />
Kami tak bisa berbuat apa-apa . . . Apakah yang hendak<br />
Anakku lakukan?" Kelana Jayeng Sari memandang<br />
kepada baginda, kemudian menghaturkan sembah, "Tak<br />
usah Gusti merisaukan hal itu. Ancaman tentara Janggala<br />
tak usah Gusti kuatirkan ..." "Ya, kami percaya, Anakku<br />
akan dengan mudah mengalahkannya dan memukulnya<br />
mundur sela baginda. 'Tidak!" sela Kelana Jayeng Sari.<br />
"Hamba tidak akan mempergunakan kekuatan senjata .. . "<br />
Semua orang terkejut, kecuali Ki Kebo Pandogo. "Apa<br />
maksud Anakku?" tanya baginda pena257 saran. Kelana<br />
Jayeng Sari tersenyum. "Hamba akan menyerahkan diri
hamba kepada Prabu Braja Nata ..." "Apa?" semua orang<br />
terlonjak dari duduknya. "Anakku akan menyerahkan diri<br />
untuk dipenggal?*' tanya baginda dengan hati kuatir, meski<br />
baginda berpikir, bahwa itulah yang sebaik-baiknya untuk<br />
mencegah permusuhan antara kedua kerajaan yang<br />
berasal dari satu keturunan. "Daulat Gusti," sahut Kelana<br />
Jayeng Sari. "Hamba akan menyerahkan kepala hamba<br />
kepada Prabu Braja Nata .... " "Tetapi . . . bagaimana<br />
dengan prajurit-prajurit Anakku? Tidakkah mereka mampu<br />
menangkis bahkan memukul mundur tentara Janggala?<br />
Apakah Anakku merasa kuatir?" "Samasekali hamba tidak<br />
merasa kuatir," sahut Kelana Jayeng Sari. "Tetapi<br />
bukankah jalan itu yang sebaik-baiknya ditempuh?"<br />
Baginda terperanyak. Perkataan itu mengena benar pada<br />
hati baginda. Darah menyirat memerahi wajah baginda.<br />
Apakah ia tahu apa yang kami kuatirkan?' pikir baginda<br />
dalam hati. 'Sungguh sakti ia!' 66 Melihat baginda<br />
terdesak, mahapatih Kebo Kerangin yang bijaksana itu<br />
segera menghaturkan c .?!gaimana Pun Gusti, Gusti<br />
Kelana Jayeng banlah yang mungkin memberi putusan.<br />
258 Apa juga yang dikehendakinya, kita tak mungkin<br />
berbuat apa-apa ..." Dan dengan demikian ia merasa telah<br />
menolong gustinya dari kesulitan. Maka keputusan diambil.<br />
Kelana Jayeng Sari tidak akan mengadakan perlawanan<br />
terhadap Prabu Braja Nata. Ia malah hendak menyerahkan<br />
diri. Kepada Senapati Arya Suralaga yang menunggu di<br />
pesanggrahannya, segera baginda menyampaikan<br />
keputusan itu. Maka rombongan utusan itu, keesokan<br />
harinya segera pulang membawa keputusan yang
melegakkan hati. Namun tatkala Prabu Braja Nata<br />
menerima berita itu, ia hampir-hampir tidak percaya.<br />
Semudah itukah soal bisa diselesaikan? Mengapa Kelana<br />
Jayeng Sari yang terkenal gagah perwira itu segampang<br />
itu menyerah? la curiga kalau-kalau di balik kesediaan<br />
untuk menyerah itu tersembunyi maksud keji untuk<br />
membokong. Tetapi tatkala ia bertanya dengan lebih teliti<br />
kepada Senapati Arya Suralaga, barangkali mereka diamdiam<br />
mengadakan persiapan perang, utusan yang<br />
bermata tajam itu menyangkalnya. "Persiapan yang hamba<br />
lihat semuanya dipusatkan untuk perayaan pernikahan<br />
belaka," sahutnya. "Hamba tak melihat persiapanpersiapan<br />
bala tentara!" Mau tak mau baginda percaya<br />
akan keterangan itu. karena Senapati Arya Suralaga<br />
seorang yang teliti dan waspada. Hidungnya tajam<br />
mencium 259 bahaya dan tentang hal itu baginda yakin.<br />
"Sungguh aneh»" katanya. Siapakah gerangan Kelana<br />
Jayeng Sari itu sesungguhnya? Mengapa ia berbuat yang<br />
mengherankan sekali? Tetapi tak seorang pun yang bisa<br />
menerangkan hal itu. Maka sehari lamanya baginda dan<br />
para penasihatnya dirundung kebingungan. Mereka lega<br />
karena takkan terjadi perang, tetapi akhir peristiwa<br />
agaknya samasekaii di luar sangkaan semua orang.<br />
Mereka tak habis-habisnya merasa heran. Siang hari<br />
datang seorang pengawal memberitakan kedatangan<br />
tokoh yang mengherankan berbareng membingungkan<br />
mereka itu. Kelana Jayeng Sari nendak menghadap<br />
kepada Prabu Braja Nata, akan menyerah. "Dengan<br />
siapakah ia datang? Banyakkah pengiringnya?" tanya
aginda dengan perasaan kuatir juga. "Hanya berdua<br />
dengan seorang yang sudah "lanjut usianya," sahut<br />
pengawal itu. "Titahkan mereka ke mari!" sabda baginda<br />
akhirnya setelah merenung sejenak. Sementara itu para<br />
tetua dan penasihat baginda memang sudah mengharapharap<br />
kedatangan tamu itu. Dan mereka senantiasa<br />
mengharap dengan perasaan heran juga kedatangan<br />
satria yang penuh rahasia itu. Mereka siap menerima.<br />
Sementara menanti masuknya satria yang mere-ka<br />
anggap telah menghina harga diri mereka itu, 260 tak tahu<br />
kenapa mereka merasa debaran jantungnya mendadak<br />
mengeras. Prabu Braja Nata sendiri gelisah dan beberapa<br />
orang yang lain merasa tidak tenang duduk. Bagaimana<br />
pun akhir segala sesuatunya berlainan benar dengan yang<br />
pernah mereka bayangkan. Akhirnya yang dinanti-nantikan<br />
pun datang juga---"Adinda!" teriak Prabu Braja Nata<br />
dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. "Raden<br />
Panji!" teriak yang lain-lainnya dengan takjub. Prabu Braja<br />
Nata melompat lalu memeluk adinda dengan berurai<br />
airmata. "Adinda . . . Adinda . .. Jadi Adindakah Kelana<br />
Jayeng Sari itu?" tanyanya dengan suara sarat sukacita.<br />
"Wahai Adinda, terlebih dahulu berilah Kakanda ampun!"<br />
Kelana Jayeng Sari yang telah menjadi Raden Panji Kuda<br />
Waneng Pati kembali itu, mencoba menahan keharuan<br />
hatinya. Tetapi ia tak mampu. Maka dalam pelukan<br />
kakanda ia pun tergukguk mengalirkan airmata sukacita.<br />
"Tak ada yang mesti hamba maafkan," akhirnya ia berhasil<br />
mengucapkan kata-kata, "karena tak ada kesalahan<br />
Kanda atas Dinda! Malah sebaliknya, Adindalah yang
meminta kelapangan hati Kanda karena telah membikin<br />
Kanda semua merasa tegang ..." 261 Sementara itu<br />
Senapati telah memeluk-merang-kul Ki Kebo Pandogo<br />
dengan mesra dan terharu. "Kanda Prasanta! Kakandalah<br />
kiranya!" Waktu Prabu Braja Nata melepaskan pelukannya<br />
dari adinda, ia menoleh kepada Patih Prasanta yang tua<br />
itu. Baginda pun berseru, "Mamanda Prasanta!" "Daulat<br />
Gusti!" sahut Patih Prasanta. Lalu mereka pun berbicara<br />
dengan sukacita, mencurahkan perasaan hatinya masingmasing.<br />
Prabu Braja Nata meminta agar Adinda Raden<br />
Panji Kuda Waneng Pati sudi mengisahkan<br />
pengalamannya selama menjadi Kelana Jayeng Sari.<br />
Adinda tersenyum, lalu memandang kepada Patih<br />
Prasanta. "Semuanya adalah atas nasihat Mamanda<br />
Prasanta ..." ia menyahut. "Ia sungguh seorang yang<br />
bijaksana ..." "Gusti memuji terlalu berlebihan," tukas Patih<br />
Prasanta. "Yang hamba lakukan hanya kewajiban seorang<br />
hamba terhadap junjungannya belaka • . ¦ Akhirnya Patih<br />
Prasanta mau juga mengisahkan pengalamannya selama<br />
berkelana sehabis terpukul badai di tengah lautan, diakhiri<br />
dengan kisah menaklukkan raja Metaun yang disertai<br />
syarat agar baginda Prabu Jayawarsya sudi menyerahkan<br />
Dewi Sekar Taji pabila Prabu Gajah Angun-angun bisa<br />
dikalahkan. 262 "Namun pernikahan itu tidak mungkin<br />
berlangsung, lantaran pihak Janggala murka dan hendak<br />
memenggal kepala sang Kelana Jayeng Sari, yang<br />
dianggap telah merebut tunangan Adinda Raden Panji<br />
Kuda Waneng Pati . . . " demikian Patih Prasanta<br />
mengakhiri kisahnya sambil tersenyum. Orang-orang
tertawa. "Tetapi Kelana Jayeng Sari ternyata adalah<br />
Adinda Raden Panji, karena itu sesungguhnya tak ada<br />
peristiwa perebutan tunangan," sabda Prabu Braja Nata<br />
kemudian. "Karena itu pernikahan Kelana Jayeng Sari<br />
dengan Dewi Sekar Taji mesti dilangsungkan! Kita yang<br />
sudah kepalang sampai di perbatasan, sekalian saja<br />
masuk ke Kadiri akan turut merayakan pernikahan kedua<br />
putra mahkota!" Pikiran itu mendapat persetujuan orang<br />
banyak. Maka keesokan harinya tentara Janggala itu<br />
bergerak ke arah Kadiri. Tetapi bukan untuk menyerang<br />
atau berperang, melainkan untuk merayakan pesta<br />
pernikahan yang akan mewujudkan cita-cita Prabu<br />
Jayantaka dan Prabu Jayawarsya dahulu .... 263 CANDRA<br />
KIRANA Prabu Jayawarsya sangat bersuka cita tatkala<br />
mengetahui bahwa Kelana Jayeng Sari itu tak lain Raden<br />
Panji Kuda Waneng Pati adanya. Mereka menyambut<br />
kedatangan Kelana Jayeng Sari bersama-sama rak anda<br />
Prabu Braja Nata dengan kehormatan dan kegembiraan.<br />
Pernikahan Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan Dewi<br />
Sekar Taji dilangsungkan dengan amat sangat meriah.<br />
Seluruh kerajaan berpesta. Semua orang bersuka ria.<br />
Berbagai pertunjukan dan hiburan diselenggarakan tanda<br />
kegembiraan hatinya menyaksikan pernikahan putra<br />
mahkota Janggala dengan putri mahkota Kadiri. Bala<br />
tentara Janggala yang berangkat dari negerinya ditangisi<br />
oleh para kerabatnya lantaran hendak berperang,<br />
tenggelam dalam pesta dan suka ria. Setelah empat puluh<br />
hari empat puluh malam lamanya bersuka ria dan<br />
bersenang-senang, Prabu Braja Nata meminta diri kepada
Baginda Prabu 264 jayawarsya akan pulang ke negerinya.<br />
Kepada Raden Panji Kuda Waneng Pati ia meminta agar<br />
putra mahkota itu segera pulang ke Janggala akan<br />
menerima takhta kerajaan. Prabu Braja Nata merasa<br />
dirinya hanya seorang wakil belaka dan ia ingin<br />
menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Tetapi di<br />
luar dugaannya, Raden Panji menggelengkan kepala.<br />
Hatinya telah tawar, ia udak memikirkan takhta kerajaan<br />
dan ia meminta agar rakanda terus menduduki takhta.<br />
"Bagi Adinda sekarang," katanya lebih lanjut, "kehidupan<br />
terpencil di sebuah pegunungan lebih menarik hati . . .<br />
Kesibukan istana dan kerajaan, membikin pikiran Adinda<br />
pepat . . . " "Tetapi kalau demikian Adinda menyia-nyia-kan<br />
cita-cita ayah kita dahulu ..." kata Prabu Braja Nata. Raden<br />
Panji menghela nafas. Terkenang pada ayahanda, ia<br />
berduka. "Bagaimanapun juga," katanya kemudian,<br />
"sekarang belum bersedia hamba kembali ke Janggala<br />
akan memangku takhta. Sekarang, Kakanda saja pulang<br />
dahulu. Kalau kelak hamba ternyata diperlukan, tentu akan<br />
datang..." Setelah masak diperembukkan, maka diambil<br />
keputusan. Prabu Braja Nata beserta tentaranya akan<br />
segera pulang ke Janggala, sedangkan Raden Panji<br />
beserta istrinya Dewi Sekar Taji akan pergi ke sebuah<br />
gunung akan mengecap madu kebahagia265 an sel di<br />
sana. Prabu Jayawarsya telah membangun "buah istana<br />
mungil untuknya, letaknya di pung_ gung gunung Wilis yang<br />
sejuk hawanya. Demikianlah penganten dan mempelai itu<br />
mengecap keberuntungan serta kebahagiaan hidupnya, di<br />
suatu tempat terpencil dari keriahan kerajaan. Hanya
eberapa orang pengasuh dan ponggawa yang turut serta<br />
dengan mereka. Dewi Sekar Taji sangat berbahagia, di<br />
tengah alam yang indah serta bunga-bungaan yang aneka<br />
wami, ia bagaikan mahkota segala bunga . . . . Tetapi<br />
Raden Panji tidak mengecap kebahagiaan itu sepenuh<br />
jiwa, lantaran ia terkenang akan istrinya yang dahulu, Dewi<br />
Anggraeni . . . Apa pula keadaan alam pegunungan itu,<br />
mengenangkan ia akan pertemuannya dengan Dewi<br />
Anggraeni di pegunungan Penanggungan. Kadangkadang,<br />
lantaran Dewi Sekar Taji bagaikan pinang dibelah<br />
dua dengan Dewi Anggraeni. ia merasa ragu, siapakah<br />
sebenarnya gerangan putri yang ada di sampingnya itu,<br />
Anggraeni ataukah Sekar Taji? Tak jarang ia terluncur<br />
kata, memanggil 'Anggra . . kepada istrinya, untung<br />
kemudian segera ia sadar. Dewi Sekar Taji maklum akan<br />
keadaan kakanda, kadang-kadang ia pun merasa<br />
berduka, pabila kakanda memanggilnya dengan nama istri<br />
kakanda yang dahulu, la merasa disia-siakan . . . Tetapi<br />
untuk menghapus kakanda dari kenangannya kepada<br />
istrinya yang pertama itu, ia merasa tidak 266 „ampu-<br />
Pabua 13 terhenyak lantaran dipan^il dengan nama yang<br />
bukan namanya itu, kakanda segera memperbaiki dirinya<br />
sambil memeluknya membisikkan kata-kata lembut. -<br />
Maafkan Kakanda, Sekar . . . Maafkan Kakanda!" Tetapi<br />
sesungguhnya, tak ada yang mesti dimaafkan. Maka ia<br />
hanya tersenyum arif, meski merasa hatinya pedih. Raden<br />
Panji sendiri bukan tidak maklum akan apa yang dirasa<br />
oleh istrinya. Ia merasa bersalah. Tetapi ia pun merasa<br />
lebih bersalah pula jika mencoba hendak menghapuskan
kenangan kepada istrinya yang dahulu itu. 'Benarkah<br />
Anggraeni akan kembali?' tanyanya dalam hatinya sendiri.<br />
Ta pergi terbang ke langit, ke arah bulan dan mungkin<br />
suatu waktu ia kembali kepadaku Teringat bahwa akan<br />
hancur kalbu Dewi Anggraeni pabila menyaksikan ia sudah<br />
beristrikan orang lain, hati Raden Panji pepat Ia merenung<br />
memikirkan dirinya. Malam itu purnama bulat penuh keluar<br />
dengan cahayanya yang laksana emas. Raden Panji<br />
terkenang pula akan istrinya, merenung memandang<br />
kepada ratu malam yang lembut itu. Terkenang Pula Raden<br />
Panji akan malam tatkala istrinya secara gaib terbang ke<br />
arah bulan. Waktu itu bulan P"n purnama, bulat tak<br />
bercacat. 267 Dan beberapa lamanya Raden Panji<br />
memandang bulan purnama itu dengan mata tak<br />
mengejap, ngejap, sedangkan Dewi Sekar Taji<br />
menyaksikan kelakuan suaminya itu dengan hati yang<br />
teriris. Tiba-tiba Raden Panji melihat sesuatu bergerak dari<br />
arah bulan kepadanya. Mula-mula titik yang tak bisa<br />
dikenali, tetapi makin dekat makin jelas. "Itulah Dewi<br />
Anggraeni!" bisik Raden Panji dengan mata terbelalak. "Ia<br />
datang!" Kemudian ia melihat Dewi Anggraeni yang<br />
sangat jelita dalam cahaya bulan itu, lebih jelita daripada<br />
waktu yang lampau, berdiri di sebelah istrinya, di sebelah<br />
Dewi Sekar Taji. Keduanya sama benar! Hanya, pabila<br />
Dewi Anggraeni memandangnya dengan senyum yang<br />
menyejukkan kalbu, adalah Dewi Sekar Taji<br />
memandangnya dengan mata redup. "Anggraeni!" ia<br />
berteriak sambil bangkit, lalu berjalan hendak memeluk<br />
istrinya yang dahulu itu. Tetapi Dewi Anggraeni tidak
menyahut. Ia hanya tersenyum saja, tersenyum. Dan<br />
jaraknya makin dekat juga ia kepada Dewi Sekar Taji,<br />
makin dekat dan makin dekat . . . Waktu Raden Panji<br />
melompat hendak menubruknya, Dewi Anggraeni sudah<br />
berpadu dengan Dewi Sekar Taji. Maka istrinya itulah yang<br />
ditubruk serta dipeluknya. "Kakanda!" terdengar Dewi<br />
Sekar Taji bicara dengan suara yang hiba. "Kakanda!<br />
Mengapa?" 2UH Raden Panji tersadar. Ia mpmo«^ is^ya.<br />
A.»** cant*! K^Z^ Bagaikan kecantikan dua putri jelita telah<br />
ZTJ' dan memijar. Ia sejenak tak bisa meSu^ nya-<br />
Kakanda! Ada apakah gerangan?" Dewi Sekar Taji<br />
bertanya, padahal ia sudah maklum akan hal kakanda.<br />
Tentu kenangannya kepada istrinya dahulu jua yang<br />
menjadi sebab. "Adinda! Adinda!" bisik Raden Panji.<br />
'Tidakkah Adinda tadi melihat ada orang datang?" Dewi<br />
Sekar Taji terkejut. "Orang?" tanyanya dengan heran,<br />
"Tidak ada. Yang ada cuma kita berdua ..." Raden Panji<br />
melengak. Ia memandang kepada istrinya dengan mata<br />
menyelidik. Tetapi agaknya istrinya itu berkata dengan<br />
sungguh-sungguh. Jadi, apakah yang kelihatan olehnya<br />
tadi? Ia berpikir. Tak salah aku! Tadi di samping Dewi<br />
Sekar Taji ia berdiri! Tersenyum dengan manis . . . '<br />
katanya dalam hati. Dialah yang tadi kupeluk Tiba-tiba ia<br />
yakin. Tak syak lagi! Tentu kedua istriku itu kini telah<br />
berpadu. Dewi Anggraeni telah kembali kepadaku, tetapi<br />
ia menyatukan dirinya dengan Dewi Sekar Taji "Kakanda<br />
..." suara Dewi Sekar Taji menyadarkan ia dari pikirannya.<br />
Ia memandang kepada 269 istrinya itu. "Kakanda, agaknya<br />
Kakanda senantiasa diharu-biru pikiran ..." perkataan itu
diucapkan Dewi Sekar Taji tidak lancar. "Sesungguhnya<br />
sudah lama hamba memperhatikan kelakuan Kanda . . .<br />
Agaknya ingatan kepada Dewi Anggraeni selalu<br />
mengganggu Kanda . . . Kanda, kata orang ia sudah<br />
meninggal, karena itu hamba tidak merasa telah merebut<br />
Kanda dari sampingnya. Namun begitu, tidakkah Kanda<br />
memandang hamba sebagai gantinya?" Ia sudah lama<br />
hendak berkata seperti itu, tetapi baru ketika itu mampu<br />
dia ucapkan. Dan kalimat yang sejak lama telah dia susun<br />
dan rangkai-rang-kaikan dalam kepala, ternyata masih<br />
tersekat-sekat dalam kerongkongannya.... Raden Panji<br />
melengak. Ia memandang ke dalam mau istrinya yang<br />
jernih bening itu. Ia memandang mata Dewi Anggraeni.<br />
"Sejak sekarang engkau tak usah cemas ..." sahutnya.<br />
"Engkaulah istriku, kekasihnya abadi, penjelmaan cinta<br />
yang kudus suci.. . Pada dirimu Kanda lihat apa yang<br />
Kanda sangka telah hilang ... Engkau Dewi Sekar Taji,<br />
istriku, tetapi engkau pun Dewi Anggraeni, istriku yang<br />
dahulu ... Sekarang kedua istriku berpadu dalam<br />
dirimu____" Dewi Sekar Taji berurai airmata saking<br />
gembira. Ia menyekapkan wajah dalam dada suaminya. Ia<br />
menangis bahagia. 270 "Kanda . . . Kanda!" tfcrdengar<br />
suaranya antara sedu-sedu kecil. "Ya, Adinda saja seorang<br />
yang sejak sekarang Kanda cintai sepenuh hati . . . Hanya<br />
engkau saja. <strong>Candra</strong> Kirana ..." kata Raden Panji sambil<br />
membelai-belai istrinya dengan mesra. Dewi Sekar Taji<br />
tersentak. "Apa? <strong>Candra</strong> Kirana? Siapakah <strong>Candra</strong><br />
Kirana?" ia bertanya seperti tersengat. Raden Panji<br />
tersenyum. Kedua tangannya memegang bahu istrinya, dan
sambil memandang kepada wajahnya dan menyelam ke<br />
dalam matanya, ia berkata dengan suara lembut, "Ya,<br />
engkaulah <strong>Candra</strong> Kirana! Engkau yang menjadi<br />
perpaduan antara dua mutiara . . . Sukakah Adinda akan<br />
nama itu? Tidakkah nama itu indah?" "<strong>Candra</strong> Kirana . . .<br />
<strong>Candra</strong> Kirana ..." Dewi Sekar Taji menggumam.<br />
"Alangkah indah! Nama itu Kanda anugerahkan kepada<br />
Adinda?" "Ya, kepadamu, kepada cintaku. <strong>Candra</strong> Kirana<br />
.. . " Keduanya berpelukan dan sambil memandang<br />
kepada bulan purnama yang menebarkan cahaya yang<br />
lembut keemasan itu. mereka pun melihat masa emas<br />
kebahagiaan mereka .... Ciborelang, 1961 271