09.04.2013 Views

Candra kirana Ajip Rosidi - Unknown - katalogkukar.net

Candra kirana Ajip Rosidi - Unknown - katalogkukar.net

Candra kirana Ajip Rosidi - Unknown - katalogkukar.net

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Candra</strong> Kirana sebuah saduran atas sebuah Cerita<br />

Panji oleh <strong>Ajip</strong> rosidi <strong>Candra</strong> Kirana oleh <strong>Ajip</strong> <strong>Rosidi</strong><br />

Cetakan pertama. Jakarta' 1962. Muki cetakan kedua<br />

1972 diterbitkan oleh PT DUNIA PUSTAKA JAYA Jaian<br />

Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Anggota IK API Cetakan<br />

ketiga: 1983 HAK CIPTA D1LINDUNGI UNDANG-<br />

UNDANG ALL RIGHTS RESERVED Uustrasi oleh: A.<br />

Wakidjan Dicetak dan dijilid olch Fix ma Ekonomi,<br />

Bandung DAFTAR ISI Dewi Anggraeni ................ 7 Sang<br />

Prabu Jayantaka............... 23 Sang Prabu<br />

Jayawarsya............... 35 Sang Kili Suci..................... 5g<br />

Raden Panji Kuda Waneng Pati.......... 73 Tumenggung<br />

Braja Nata................ jq3 Peristiwa dalam hutan ...............<br />

J27 Patih Prasanta......................... 145 Sang Permaisuri<br />

....................... jgO Dalam sinar purnama................... 191<br />

Kelana Jayeng Sari.....................205 Maha Patih Kebo<br />

Rerangin...............213 Dewi Sekar Taji .......................222<br />

Prabu Gajah Angun-angun ...............231 Rahasia<br />

terbuka.......................244 <strong>Candra</strong> Kirana ........................264<br />

DEWIANGGRAENI Bagaikan sebuah mata air yang jemihbening<br />

ke-luar dari tebing di pegunungan, atau laksana sekuntum<br />

bunga yang kembang di tengah kesunyian hutan,<br />

segar serta indah, demikianlah Dewi Anggra-eni bagi<br />

Raden Panji Kuda Waneng Pati putera mahkota kerajaan<br />

Janggala yang jaya. Tepekur pahlawan Kahuripan itu di<br />

depan keindahan dan keheningan alami yang terpancar<br />

dari senyuman yang mekar pada bibir yang indah. Adakah<br />

yang lebih indah dalam hidup ini daripada mereguk<br />

keindahan alami sepanjang hayat dikandung ba-dan?


Adakah yang lebih bahagia daripada duduk berdainpingan<br />

dengan bunga jelita itu menyusuri sisa usia? Bertemu<br />

tangan dengan tangan, melalui pancar-an mata yang<br />

sama-sama mengerti, maka hati pun memadu. Anggraeni!<br />

Naina yang nyaman terde-ngar itu tcrukir dengan indahnya<br />

dalam sanubari calon pemangku takhta Janggala. 7 Tetapi,<br />

aduhai! Kebahagiaan tak seinudah itu dicapai! Kedudukan<br />

putra mahkota yang oleh orang lain diperebutkan, baginya<br />

bagaikan sebung-kah karang yang menjulang mcnghalang.<br />

Ayah-anda. seorang yang bercita-cita tinggi. Baginda memimpikan<br />

kebesaran kerajaan yang sekali pemah<br />

dipersatukan oleh leluhur mereka. Sang Airlangga yang<br />

jaya. kembali bisa tercapai dengan mengada-kan<br />

perkawinan antara putranda Raden Panji Kuda Waneng<br />

Pad dengan putri Kadiri, Dewi Sekar Taji. Persetujuan<br />

telah tercapai oleh kedua belah fihak. selagi kedua bayi<br />

masih dalam kandungan. Keduanya telah dipertautkan oleh<br />

perjanjian dua kerajaan yang sama-sama ingin<br />

meniadakan batas yang dibuat oleh Empu Bharada yang<br />

sakti itu. Sejak masih kecil. Raden Panji sudah tahu bahwa<br />

ia telah dipertunangkan oleh ayahanda dengan puteri<br />

Kadiri, yang masih terhitung kerabatnya juga. Pertunangan<br />

yang didukung oleh cita-cita yang luhur itu, sangat direstui<br />

oleh para tetua kerajaan kedua belah fihak. Resi-resi<br />

Syiwa dan Wisynu memberikan berkahnya, lantaran<br />

mereka pun masih terkenang akan perjuangan Sang<br />

Airlangga tatkala hendak membangun kerajaannya yang<br />

besar. Raden Panji menerima berita tenlang pcrtunangannya<br />

itu sewajamya saja. Ia masih kecil amat untuk


mengerti dan memikirkan hal-hal yang bersangkut-paut<br />

dengan hal tersebut. Bahkan ia merasa senang hatinya,<br />

tatkala ia masih berusiii tujuh atau delapan tahun, diganggu<br />

oleh Para pengasuhnya mengenai pertunangannya denean<br />

Dewi Sekar Taji. Ia bclum mengerti. la hanya me rasa<br />

hatinya sedikit berguncang, dan merasa sedikit malu.<br />

Tetapi tatkala gangguan:gangguan itu telah biasa, ia<br />

menerimanya secara wajar pula. Tahun demi tahun<br />

tumbang, dan usianya ber-tambah jua. Tatkala mencapai<br />

usia delapan tahun, dipanggil baginda seorang resi yang<br />

terkenal bi-jaksana akan mendidiknya dalam hal<br />

kerohanian dan begitu pula seorang patih yang menjadi<br />

keper-cayaan baginda, dititahkan untuk mengajarinya<br />

mengenai segala soal yang berkenaan dengan soal<br />

kenegaraan. Raden Panji mulai tenggelam dalam<br />

pelajaran-nya, dalam kitab-kitabnya dan dalam ilmu yang<br />

pelik-pelik. Meski nama Dewi Sekar Taji masih kadangkadang<br />

terdengar, namun ia merasa ber-tambah asing.<br />

Kadang-kadang ia temienung memikirkan tunangannya<br />

yang belum pemah dia jumpai itu. Ia belum juga mendapat<br />

kesempatan untuk pcrgi ke Kadiri akan menyambangi<br />

bakal istrinya. Baginda sendiri bukannya lupa akan<br />

pertunangan putranda dengan kemEnakan baginda Dewi<br />

Sekar Taji, namun baginda bcrpikir, adalah lebih elok<br />

apabila Panji sungguh-sungguh menghadapi pelajarannya<br />

dahulu. Bukankah ia yang kelak 9 akan melanjutkan<br />

memangku takhta kerajaan? bukan hanya kerajaan<br />

Janggala seperti yang dia perintah sekarang. tetapi<br />

termasuk pula Kadiri! Karena Sekar Taji adalah pewans


takhta kerajaan Kadiri Tersenyum baginda memikirkan hal<br />

itu. Tak sia-sialah hendaknya usaha leluhumya yang jaya<br />

serta bijaksana. Rake Halu Syri Lokesywara<br />

Dharmawangsya Airlangga Anantawikramatung-gadewa!<br />

Raden Panji Kuda Waneng Pati bukan satu-satunya putra<br />

baginda. Jumlah semua putera baginda empat puluh tiga<br />

orang! Dan bukan pula ia yang tertua. Tumenggung Braja<br />

Nata lebih tua empat belas tahun daripada Raden Panji.<br />

Tetapi pada Raden Panjilah harapan baginda tertumpah,<br />

karena ia pewaris takhta yang sah, karena hanya Raden<br />

Panji saja di antara semua putranda, yang berdarah<br />

langsung keturunan Empu Sindok, cakal-bakal ahala<br />

Isyana! Maka tatkala Raden Panji berangkat remaja dan<br />

segala ilmu mengenai kerajaan dan kerohani-an telah<br />

ditumpahkan semuanya oleh guru-guru-nya, siaplah ia akan<br />

melaksanakan cita-cita baginda yang luhur - hanya tinggal<br />

menanti saatnya saja. Namun ilmu adalah seumpama<br />

langit, makin ting-gi dijelang, makin tinggi menembus<br />

awang-awang, makin in gin had menyelaminya! Makin<br />

banyak yang direguk, makin haus dan dahaga makin menjadi-jadi.<br />

Raden Panji merasa dahaga akan ilmu, 10 dan<br />

banyak pertanyaan-pertanyaannya, terutama yang<br />

mengenai soal-soal rohaniah, mengusiknya tatkala<br />

merenung. Ia meminta perkenan ramanya untuk menemui<br />

para resi yang sakti dan para pendeta yang bijaksana,<br />

akan mcncari penawar hausnya, penentramkan<br />

kegelisahan kalbu. Mula-mula sang baginda merasa<br />

keberatan akan mengabulkan maksud anakanda itu.<br />

Tetapi kemudian diperkenankannya juga. Bukankah mak


sud seperti itu adalah maksud yang sangat baik?<br />

Bukankah itu menandakan harapannya selama ini tidak<br />

sia-sia? Karena, menambah ilmu dan memper-luas<br />

pengalaman dan pengetahuan, akan sangat berguna bagi<br />

kerajaan yang kelak akan diperintah oleh Raden Panji.<br />

Bukankah dahulu pun leluhur-nya yang bijaksana, sang<br />

Airlangga tak jemu-jemunya berguru. tak bosan^bosannya<br />

bertapa, pergi dari resi menemui resi yang lain, berangkat<br />

dari satu pendeta menemui pendeta yang lain? Sang<br />

Airlangga yang bijaksana itu telah memberi contoh yang<br />

baik dan kini anakanda, tumpuan harapan masa depannya,<br />

Raden Panji, hendak mengikuti jejak leluhumya itu!<br />

Tidakkah itu suatu tandayang baik? Maka karena pikiranpikiran<br />

seperti itu, akhir-nya baginda memperkenankan<br />

anakanda Raden Panji Kuda Waneng Pati mengembara<br />

ke saban Petapan, mencari resi yang sakti, mendapatkan<br />

pendeta yang bijaksana, akan menambah ilmunya. 11<br />

Sesungguhnya bukan persoaian-persoalan kene-garaan<br />

yang menyebabkan Raden Panji merasa ti-dak tenteram<br />

dan yang menyebabkan dia mesti mengembara dari<br />

petapan^ke petapan. Dari patih Prasanta yang selama<br />

beberapa tahun mengajarinya pengetahuan-pengetahuan<br />

kenegaraan, dia telah mendengar riwayat keturunan<br />

Isyana, tak henti-hentinya berperang dan berperang di man<br />

a manu-sia-manusia terbunuh sia-sia, memperebutkan<br />

nega-ra dan takhta kerajaan. Dia kagum akan moyang-nya<br />

Airlangga yang gigih serta berhasil memper-besar daulat<br />

kerajaannya, mengamankan keadaan dalam negeri yang<br />

kacau setelah diserang oleh raja Wura-wari, kemudian


menaklukkan kerajaan demi kerajaan yang lain ke dalam<br />

wiiayah takluknya. Tetapi, kalau teringat pula olehnya,<br />

bahwa untuk maksud tersebut, tak terhitung entah berapa<br />

ribu manusia yang mati sia-sia, Raden Panji mengerut-kan<br />

dahi. Adakah moyangnya itu berbahagia setelah<br />

mengurbankan demikian banyak balatentara dan tenaga?<br />

Adakah ia berbahagia setelah menen-tramkan kekacauan<br />

dalam negeri dan menaklukkan kerajaan-kerajaan<br />

sekelilingnya? Adakah ia tenteram senang di atas takhta<br />

kerajaan yang meliputi wiiayah yang luasnya tak terkira,<br />

setelah lelah berjuang mati-matian sepanjang hidupnya?<br />

Raden Panji ragu untuk menjawab, "Ya, mo-yangku<br />

Airlangga yang bijaksana itu berbahagia melfliat hasil<br />

usahanya yang tak kunjung henti 12 selama dia hidup Ya,<br />

ia ragu Untuk meyakini jawaban seperti itu. Bukankah sang<br />

Airlangga men jelang akhir hidupnya,<br />

meninggalkan keraton setelah meminta tolong kepada<br />

Empu Bharada yang konon sakti itu membagi dua<br />

kerajaannva menjadi Janggala dan Kadiri? Ya, sang<br />

Airlanm tidak mustahil kecewa pada akhir hidupnya<br />

lantaran melihat keturunannya, anak-anaknya sendiri saingmenyaingi<br />

untuk menduduki takhta. Ya tak mustahil sang<br />

Airlangga merasa usahanya seu'mur hidup itu sia-sia, lalu<br />

ia pun mengikuti jejak putri-nda sang Kili Suci untuk<br />

bertapa di Pucangan Dan ia, ia sendiri - Raden Panji Kuda<br />

Waneng Pati - bagaimana? Akankah ia menemui<br />

kebahagia-an dan kedamaian hati apabila kelak ia<br />

menjadi raja menggantikan ayahanda memerintah<br />

kerajaan Janggala dan lantaran ia telah dipertunangkan


dengan Dewi Sekar Taji, ia pun akan menguasai wiiayah<br />

Kadiri pula? Sungguh luhur cita-cita ayahanda! Baginda<br />

hendak mewujudkan kembali usa-ha sang Airlangga yang<br />

dahulu! Baginda hendak mempersatukan Janggala dan<br />

Kadiri pula! Dan tugas itu terpikul pada pundaknya -<br />

pundak Raden Panji! Tetapi, benarkah kelak, kalau sudah<br />

melaksa-nakan kewajibannya sebaik-baiknya sebagai<br />

keturunan Isyana yang bijaksana, ia bakal menemui<br />

kebahagiaan dan ketentraman batin? Begitukah hidup<br />

manusia? Berjuang membela kebahagiaan 13 yang<br />

digariskan orang lain, untuk keperluan orang lain dan demi<br />

kebahagiaan orang lain pula? Alangkah sederhana!<br />

Namun alangkah asing dan aneh kedengarannya! Tidak,<br />

yang dia can dari resi ke resi, dari peta-pan ke petapan,<br />

bukan hal-hal yang demikian ru-wet. Ia ingin merasakan<br />

batinnya tenteram. Suasa-na dalam keraton tidak<br />

memberinya ketentraman. Ia melihat semua orang di sana,<br />

berdiri pada tem-patnya, mempunyai beban yang mesti<br />

diselesai-kannya. Kesibukan-kesibukan yang terasa<br />

seolah-olah disibuk-sibukkan saja! Kesibukan dalam suatu<br />

perpu taran yang lebih besar, yang entah akan ber-manfaat<br />

ataukah tidak buat diri si petugas sendiri! Orang-orang di<br />

keraton seolah-olah bukan manusia lagi, melainkan kuda<br />

yang kalau tidak menarik kereta sebaik-baiknya akan<br />

mendapat cemeti menyambar punggung Dan ia sendiri,<br />

kelak suatu hari, kalau mendu-duki takhta, tentulah tak<br />

ubahnya dengan kusir yang selalu mengamangkan cemeti,<br />

menakuti kuda supayajangan keluar dari jalannya. Tidak,<br />

kedudukan seorang kusir, meskipun mengusiri kerajaan


yang luasnya tak terhingga, bukanlah impian yang serasi<br />

dengan jiwanya. Dalam petapan yang rimbun serta sejuk,<br />

jauh dipunggung gunung di tengah-tengah hutan, Raden<br />

Panji sering merenungkan itu semua. Alangkah berat<br />

bebannya! Alangkah berat tugasnya! 14 Dan masih juga<br />

setiap pendeta yang ditemuinya menyadarkan dia akan<br />

tugas itu: "Kewajiban nap manusia adalah menjalankan<br />

darmanya masing-masing sebaik-baiknya. Hamba yang<br />

dilahirkan sebagai seorang berahmana men-jalankan<br />

darma sebagai seorang berahmana. Dan gusti yang<br />

dilahirkan sebagai seorang satria mempunyai tugas<br />

sebagai seorang satria pula. yang luhur serta suci. Hanya<br />

mereka yang menjalankan darmanya sebaik-baiknyalah<br />

yang mungkin men-capai kedamaian abadi - moksya."<br />

Kedamaian abadi! Ya, kedamaianlah yang di-ingininya.<br />

Apakah hanya ada satu jalan mencapai kedamaian yaitu<br />

menjalankan tugas yang dipikul-kan orang kepadanya dan<br />

akan dilaksanakannya tentu dengan tidak merasa damai?<br />

Apakah hanya dengan melalui ketakdamaian saja ia bakal<br />

mencapai kedamaian? Tetapi ia bukan seorang satria<br />

kalau menyata-kan ketakpenujuannya secara kasar. la<br />

menyimak-kan setiap nasihat, petua, ajaran setiap resi dan<br />

pendeta mengenai kedamaian. "Kedamaian itu," kata<br />

maha resi Saptani di pegunungan Penanggung yang dia<br />

kunjungi, "hanya bisa dicapai dengan pengetaluian.<br />

Pengetahuan apa? Yakni pengetahuan tentang<br />

kedamaian. Kedamaian di mana? Kedamaian dalam<br />

hidup. bukan? Jadi pengetahuan kedamaian apa? Tentu15<br />

lah pengetahuan kedamaian dalam hidup. Jadi juga


pengetahuan tentang hidup. Dan pengetahuan tentang<br />

hidup tak bisa dipisahkan dari pengetahuan tentang man".<br />

Apa man? . . Terdcngar-dengar tiada segala tutur maha<br />

resi yang dalam gaya tanya-jawab sendirian itu oleh Raden<br />

Panji. Namun ia tunduk temungkul, husyu mencoba<br />

menyimakkan ajaran sang Resi Saptani. Namun tatkala<br />

akhimya sang Resi mempersila-kannya beristirahat karena<br />

maJam telah larut. Raden Panji belum juga bisa<br />

mendamaikan hati-nya, "Bagaimanakah jalannya untuk<br />

mencapai pengetahuan tentang kedamaian dalam hidup?<br />

Bagaimanakah ia bisa mencapai pengetahuan tentang<br />

hidup? Tentang mati?" yang dia dengar dari sang resi,<br />

penuh teka-teki, bagaikan belokan-Jbelokan yang mungkin<br />

menyesatkan. Udara malam sangat hening. Dan sejuk<br />

pegu-nungan memberikan suatu suasana yang sangat<br />

mengesankan. Telah sering ia bermalam di peta-panpetapan<br />

sunyi di tengah hutan jauh di puncak gunung,<br />

namun suasana seperti yang dia rasakan malam itu,<br />

alangkah lain. Rabunya luas, bagaikan hendak menghirup<br />

seluruh udara. Dan dalam pe-rasaan bahwa ia bisa<br />

menghirup seluruh aJam ke dalam rabunya, ia me rasakan<br />

kedamaian yang ajaib. Ia terlena. Tatkala keesokan<br />

harinya ia pagi-pagi benar 16 kcJuar akan menyaksikan<br />

Batara Surya muncul nun jauh di kikilW terkejutlah ia l an tar<br />

an mclihat seorang bidadan berjalan membawa sa-jcn.<br />

Sungguh tak percaya ia akan penglihatannya karena di<br />

hutan yang terpencU seperti itu ia tak mengira akan melihat<br />

wanita scjelita itu. Tak syak lagi. It" bukan manusia,<br />

melainkan bidadan Terpukau ia dengan mata terbelalak


memper-hatikan tingkah bidadari itu kemalu-maluan.<br />

'Siapakah dia gerangan?" tanyanya kepada dirinya sendiri,<br />

waktu akhirnya si jelita itu meng-hilang. Ia lupa kepada<br />

niatnya, lalu mengikuu jejak si cantjk. Itulah perkenalan yang<br />

pertama dengan Dewi Angraeni. Anggraeni yang<br />

kemudian memberinya perasaan damai. Apa sebabnya,<br />

kalau dia berada bersama gadis itu, hatinya merasa<br />

damai? Merasa tenang? Dan kegelisahan yang biasanya<br />

mengamuk, lenyap tak bersisa? Entahlah, entahlah. la<br />

sendiri bahkan tidak menyadari hal itu pada awainya.<br />

Namun setelah setiap hari ia menemui gadis itu,<br />

kedamaian dan ketentraman makin berakar dalam dirinya.<br />

Kalau sehari saja ia tidak bertemu dengan gadis itu,<br />

seolah-olah sesuatu hUang dari jiwanya. Tetapi Anggraeni<br />

pun bukan orang yang suka bermimpi. Ia mengetahui<br />

siapakah gerangan je-jaka tampan itu. Putra mahkota.<br />

Putra mahkota kerajaan Janggala yang jaya. Yang suatu<br />

kali kelak menentukan hidup atau mati semua kawula 17 di<br />

seluruh kerajaan. Lain dari itu. ia pun telah pu|a mendengar<br />

tentang pertunangan Raden panji dengan Dewi Sekar Taji.<br />

la mengetahui siapa gerangan dirinya. Wanita gunung.<br />

bukan keturun-an raja, dan bukan tandingan seorang putra<br />

mahkota. Namun apakah artinya putera mahkota bagi<br />

Raden Panji? Apakah bedanya bagi Raden Panji seorang<br />

putra raja atau kawula jelata? Apakah beda antara<br />

manusia dengan manusia yang sama-sama dihangati oleh<br />

hati yang mengenai cinta, bagi orang yang sudah ragu<br />

akan kedamaian dirinya kelak di atas takhta? Laksana<br />

sebuah mata air yang jernih bening keluar dari tebing di


pegunungan, atau laksana sekuntum bunga yang kembang<br />

di tengah kesunyi-an hutan. segar serta indah, memberinya<br />

kedamaian yang sejuk. demikianlah halnya Dewi<br />

Anggraeni bagi Raden Panji. Mata air itu takkan habishabisnya<br />

mengeluarkan air yang jernih bening. takkan<br />

mengenai kering musim kemarau, takkan mungkin dikotori<br />

segala sampah duniawi. Dan bunga yang kembang itu<br />

takkan layu-layu. karena takkan habis-habisnya mendapat<br />

pupuk kasih sa-yangnya sendiri. "Mengapa wajahmu selalu<br />

mumng. puspa jeli-ta?" tegur Raden Panji kepada Dewi<br />

Anggraeni pada suatu hari. "Takkan hatimu senang, takkah<br />

pe-rasaanmu gembira. mendapat kunjungan seorang 18<br />

kelana sebagai hamba?" Dewi Anggraeni menekurkan<br />

kepala. "Ampun beribu ampun hamba mohonkan" sahutnya<br />

dengan suara tak lancar. "Masakan hamba seorang hinadina<br />

ini berani tidak bersenang hati lantaran mendapat<br />

kunjungan Gusti seorang putra mahkota yang suatu kali<br />

kelak akan menen-tukan mati-hidup hamba sebagai<br />

kawula?" "Jadi, apakah gerangan sebabnya maka<br />

wajahmu yang jelita itu bagaikan matahari tertutup awan?<br />

Lihat, burung-burung enggan bemyanyi iantaran melihat<br />

wajahmu muram. Dengarkan, air terjun di jauhan itu<br />

bagaikan menangis, meratap-ratap ingin mengetahui<br />

sebab-musababnya maka junjungan mereka bermuram<br />

durja. Wahai, puspita dewi, katakanlah, apakah gerangan<br />

yang merun-dung kalbumu, sehingga tak ccrah tak<br />

gembira?" Dewi Anggraeini tidak scgera menyahut. la<br />

tahu, pergaulannya dengan Raden Panji sudah terlalu jauh.<br />

Baginya sendiri bukan tanpa pengur-banan kalau berpisah


dengan dia! Tetapi aduhai! Pahlawan itu telah ditakdirkan<br />

duduk bersanding dengan yang setimpal! "Mengapa tidak<br />

meny^" Adakah sesuatu halmu yang tidak boleh Kanda<br />

kctahui?" Perlahan-lahan Dewi Anggraeni menggclengkan<br />

kepala. "Tidak, tidak. Bukan dcmikian . .. sahutnya^<br />

Sedangkan dalam hatinya ia berbisik, All. 19 saiah<br />

sangka. Disangkanya aku tidak mau bertenis tcrang . . .<br />

Duhai bagainiana hal itu akan kuterang-kan kcpadanya?<br />

Bahwa sesungguhnya hatOcu sendiri . . . ?" "Jadi apakah<br />

gerangan sebabnya?" tanya Raden Panji tak sabar. Dewi<br />

Anggraeni mengeluh. "Ah, Gusti tentu lebih maklum,"<br />

sahutnya ke-mudian. Raden Panji mengerutkan dahi.<br />

Matanya tajam mengawasi Dewi Anggraeni. Meskipun ia<br />

bisa menduga, namun ia bertanya juga; "Tidak, puspa<br />

jelita. Bagiku halmu itu pekat sepekat malam tak<br />

berbintang. Katakanlah terus terang." Dewi Anggraeni<br />

tidak segera memberi jawaban. Hatinya sesak. Dan<br />

dadanya seperti padat, tak bisa mengembang. Sudut<br />

matanya terasa hangat. "Ah. jangan menangis . ..," bujuk<br />

Raden Panji. "Hamba hanya seorang gadis gunung,<br />

seorang yang lahir di tengah rimba. dan agaknya telah ditetapkan<br />

Dewata, agar hidup dalam kesunyian dan ¦<br />

meninggal dalam kesunyian ... " "Tidak! Oleh Dewata yang<br />

maha kuasa Adinda ditetapkan untuk hidup di sampingku,<br />

dan mele-paskan daku kalau kelak aku meninggal 'Tidak<br />

berani hamba berpikir sejauh itu ... " "Tetapi itulah yang<br />

bakaJ terjadi: Akan kuminta engkau kepada orangtuamu,<br />

dan kita akan berbahagia." 20 ••Tidak! Sadarkah Gusti,<br />

siapakah scbenam hal11ba? Seorang gadis jelata! Orang


gunung y?' tak pantas dibawa ke tengah." •Tetapi aku akan<br />

mencmpatkanmu di tengah tengah dunia. Seluruh dunia<br />

akan mcnyembahmu karena Adindalah yang akan duduk di<br />

sampingku Itulah takdir yang telah ditetapkan oleh Mahadewa.<br />

karena itu dititahkannya daku mengembara berkelana<br />

dari satu petapan ke lain petapan. tn-tuk menemui adinda.<br />

Dan sekarang. adinda telah kutemui, maka apakah lagi<br />

gunanya bagiku yang lain? Kalau aku disuruh mcmilih<br />

antara yang lain-lain dengan Adinda, maka bunga segar<br />

indah yang tumbuh di hutan pegunungan Penanggungan ini<br />

yang akan kupilih ..." Dewi Anggraeni menyungkup<br />

wajahnya dengan kedua belah tangan. "Ampun Gusti,<br />

betapa besarnya pun kasih Gusti yang dilimpahkan<br />

kepada hamba, namun ..." "Namun apa? Cintaku tumbuh<br />

bersama-sama dengan cintamu, dan perpaduan keduanya<br />

akan mcmbuahkan kebahagiaan yang kekal. Kebahagiaan<br />

yang akan menjadikan dunia ini surga bagi kita berdua..."<br />

"Namun, sadarlah Gusti hendaknya akan per-bedaan yang<br />

terentang antara kita berdua, ampun Gusti!" "Kalau cinta<br />

telah bersemi, kalau keduanya Iclah tumbuh berkembang,<br />

lenyaplah segala pcr21 bcdaan antara kedua orang yang<br />

memilikinya! Antara engkau dengan daku, tak ada<br />

perbedaan. Yang ada hanyalah rentangan kasih yang<br />

diper-tautkan cinta menuju gapura kebahagiaan."<br />

Anggraeni tidak menyahut. "Atau begitu hinakah cintaku,<br />

sehingga bagimu ia patut ditolak dikesampingkan?"<br />

'Ampun Gusti!" sahut Dewi Anggraeni cepat. 'Bukan begitu<br />

halnya. Tak berani hamba kendati berpikiran seperti itu!<br />

Namun mengatakan hal yang se ben amy a terasa dalam


hati hamba pun -hamba tidak sanggup pula!" "Apakah pula<br />

yang masih menjadi penghalang antara kita, yang masih<br />

menabiri jarak antara kita?" "Pengetahuan bahwa yang<br />

hendak memetik hamba, bukanlah sembarang, melainkan<br />

satria pilihan. Duhai, jika saja Gusti bukan seorang putra<br />

mahkota!" Raden Panji melengak. Ia menghirup nafas dalam-dalam<br />

Kemudian ia melangkah mendekati Dewi<br />

Anggraeni. Tangannya yang kanan terulur, kemudian<br />

membelai rambut hitam yang halus serta panjang itu.<br />

"Bagimu, aku bukanlah seorang putra mahkota, melainkan<br />

seorang hamba yang akan bernaung dalam teduh<br />

kedamaian hatimu . . . bisiknya dengan mesra. ... 22 SANG<br />

PRABU ) AYANTAKA Termenung baginda mendengar<br />

kabar tentang per-nikahan anakanda Raden Panji Kuda<br />

Waneng Pati - putra mahkota tumpuan harapan seluruh<br />

kerajaan. Ketika hal itu pertama kali disampaikan orang,<br />

baginda tidak mau percaya. Benarkah Panji berbuat<br />

seperti itu? Sejak kecil ia menunjukkan perangai seorang<br />

yang alim, yang sungguh-sungguh, yang sclalu sibuk<br />

dengan kehidupan yang tak nampak pada mata orang<br />

biasa. Mungkinkah ia berbuat seperti itu? Namun tatkala<br />

berkali-kali baginda mendengar sembah itu, dan ketika<br />

akhir-nya permaisuri sendiri yang mempersembahkan-nya<br />

kepada baginda, mau tak mau baginda mesti percaya.<br />

"Rayi," sabda baginda kepada sang permaisuri. "Dari<br />

siapakah Rayinda mendengar kabar seperti itu?" "Ampun<br />

Rakanda," sahut permaisuri. "Berita llu hamba dengar dari<br />

Anakanda sendiri." 23 "Raden Panji?"*<br />

"Sesungguhnyalah." Baginda tersentak. "Jadi Raden Panji


sendiri yang mempersembah-kan hal itu kepada<br />

Rayinda?" "Daulat Kanda." "Mengapa ia tidak<br />

menyampaikan hal itu kepada Kanda?" "Beribu ampun<br />

Rakanda, kelapangan dan ke-luasan maaf Rakanda<br />

Rayinda minta," sahut permaisuri menghaturkan sembah.<br />

"Raden Panji tidak berani mempersembaJikan hal itu<br />

langsung kepada Rakanda. Ia takut." "Takut? Mengapa<br />

pula takut?" "Ia kuatir hal itu akan membuat Rakanda<br />

murka." "Kanda murka? Kanda tidak pemah murka<br />

kepada orang yang tidak bersalah. Dan dalam hal mi,<br />

Raden Panji--"Hamba m in tak an ampun berlaksa untuk<br />

anak kita berdua itu, Rakanda." "Tetapi. kenyataan bahwa<br />

Raden Panji sendiri tidak berani mempersembahkan hal<br />

tersebut kepada Rakanda, membuktikan bahwa ia sendiri<br />

sadar bahwa ia melakukan suatu___" "Ampun Rakanda."<br />

"Ia sendiri sadar, bahwa yang dia lakukan suatu do ..<br />

kekeiiruan." 24 -Ampun Rakanda. Raden Panji tidak berani<br />

mempersembahkan hal pernikahannya itu kepada<br />

Rakanda, karena ia merasa kuatir Rakanda murka<br />

iantaran gadis yang dia kawini itu bukan seorang<br />

jceturunan raja ... * "Kalau ia tidak merasa melakukan suatu<br />

kcsi-lapan, apa salahnya ia menyampaikan niatnya itu<br />

terlebih dahulu kepada kami?" "Ampun Rakanda." "Raden<br />

Panji tidak melakukannya. Raden Panji tidak meminta<br />

pertimbangan kita terlebih dahulu. Ia bahkan tidak memberi<br />

kabar kepada kita sebe-lum pernikahan berlangsung.<br />

Bahkan sesudah pemikahan berlangsung pun, ia tidak<br />

berani memberi kabar kepada Kanda - ayahnya!" "Ampun<br />

Rakanda! Ia masih muda ..." "Tetapi ia seorang putra


mahkota, yang mesti tahu membedakan antara yang benar<br />

dan yang tidak benar." Permaisuri tidak menyahut. "Dan<br />

lain dari itu. Rayinda pun tahu. bahwa pemikahan Raden<br />

Panji itu akan menyeret per-soalan kerajaan bersamanya.<br />

Bukan hanya satu kerajaan, tetapi dua kerajaan: Janggala<br />

dajfcjfcfd'n yang dahulu sekali pernah seluruh;<br />

menghaturkan sembah kepada seoi yakni moyang kita<br />

sang baginda baginda berhenti scbentar, kemudii<br />

"Bukankah Rayinda masih ingat akan pertunangan Raden<br />

Panji dengan Dewi Sekar Taji?" "Hamba, Rakanda."<br />

"Pertunangan itu diadakan atas persetujuan kedua belah<br />

pihak. Kakanda telah berdamai dengan rayinda Sri<br />

Jayawarsya dan kami berdua telah sepakat hendak<br />

mewujudkan kembali usaha dan cita-cita moyang kita sang<br />

baginda Airlangga yang Iuhur. Kerajaan Jawa yang man a<br />

luas dan yang pemah dibagi dua oleh fcmpu Bharada yang<br />

sakti itu, hendak kami persatukan kembali dengan jaJan<br />

menikahkan dua orang putra mahkota. Raden Panji Kuda<br />

Waneng Pati yang menjadi putra mahkota Janggala, mesti<br />

nikah dengan Dewi Sekar Taji yang menjadi putri mahkota<br />

Kadiri. Dari kedua putra mahkota itu, diharapkan akan<br />

melahir-kan keturunan yang akan mewarisi kedua buah<br />

kerajaan di bawah satu kekuasaan ... " "Hamba, Rakanda."<br />

"Dan sekarang - sekarang Raden Panji menga-wini<br />

seorang gadis yang tak keruan keturunannya, yang entah<br />

ditemuinya di mana!" "Ampun Rakanda. Meskipun benar<br />

Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan raja, tetapi ia<br />

be-nar-benar seorang gadis jelita, sukar mencari bandingannya<br />

—." Sang baginda memandang permaisuri


tajam-tajam. *Jadi Rayi sudah bertemu dengan dia?" 26<br />

••Hamba, Rakanda." ••Jadi Raden Panji telah membawa<br />

istrinya ke istana? "Di kaputran. Baginda mengeluarkan<br />

nafas dalam satu hem-busanyangcepat. "Dan ia belum<br />

juga meminta perkenan Rakanda •• baginda bergumam.<br />

"Bahkan ia belum mem-beritahukan hal itu kepada kami..."<br />

"Ampun, Rakanda, hamba meminta kelapangan dan<br />

kedalaman lautan ampun yang hendaknya Rakanda<br />

limpahkan atas batu-kepala anakanda Raden Panji Kuda<br />

Waneng Pati..." Baginda termenung. Permaisuri tidak<br />

berani memecah kesucian. Maka waktu pun berjenakjenak<br />

berlalu dalam hening. "Dan apa tadi kata Rayi?"<br />

akhirnya sang baginda memecah kesepian. "Gadis yang<br />

bernama Dewi Anggraeni itu seorang gadis jelita jarang<br />

banding-annya? Ah, kalau pemikahan hanya cukup oleh<br />

kecantikan dan ke tamp an an belaka...' "Ampun Rakanda.<br />

Semula Rayinda pun tidak setuju demi mendengar<br />

pemikahan Raden Panji. Namun tatkala Raden Panji<br />

membawa istnnya kepada Rayi dan tatkala Rayinda<br />

menyaksikan sendiri gadis itu - menantu kita - lenyaplah<br />

ke-kuatiran Rayinda. la sungguh-sungguh seorang gadis<br />

yang dieita-citakan setiap bunda untuk menjadi<br />

menantunya ..." 27 "Karena ia cantik, karena ia jelita?"<br />

potong sang baginda. "Tidak hanya itu. Ia pun seorang<br />

yang berbudi halus, serta tahu akan adat. Sampai Rayinda<br />

ber-pikir. bagaimana mungkin seorang gadis yang berasal<br />

dari gunung yang terpencil mengetahui adat-istiadat<br />

serta sopan santun keraton sesempuma itu? Tidakkah ia<br />

mungkin seorang puteri raja yang melarikan diri?" "Ah,


janganlah Rayinda memikirkan yang bukan-bukan. Putri<br />

raja! Raja manakah yang melarikan diri ke hutan?"<br />

"Ampun, dauiat Rakanda! Sangkaan itu hanya-lah terbit<br />

lantaran Rayinda tercengang melihat tingkah laku Dewi<br />

Anggraeni yang sangat sempur-na jua." Baginda<br />

menunggu beberapa jenak, baru kemudian menyahut,<br />

"Bagairnanapun jelitanya dia, dan bagairnanapun tingkah<br />

lakunya sopan-santun dan betapapun sempumanya dia<br />

sebagai gadis yang dicita-citakan oleh setiap mertua,<br />

namun ke-semuanya itu lenyap artinya sekarang,<br />

berhadapan dengan persoalan kerajaan yang menyangkutpaut<br />

mati-hidup berlaksajiwa kawula dua buah negara.<br />

Yang jadi persoalan bagi Rakanda sekarang, bukan hal<br />

pemikahan Raden Panji dengan Dewi Anggraeni, tetapi<br />

persoalan yang terseret oleh pemikahan itu. Raden Panji<br />

mesti menikah dengan Dewi Sekar Taji, putri mahkota<br />

kerajaan Kadiri." 28 Kembali suasana hening. -<br />

Bagaimanakah kelak akan Rakanda jawab kalau<br />

sekiranya Rayinda Prabu Jayawarsya meminta kita<br />

menepati janji?" "Ampun Rakanda," sahut sang permaisuri<br />

"Bagi seorang lbu, yang menjadi idaman dan ha-rapannya<br />

adalah kebahagiaan putra yang pemah dia kandung<br />

sembilan bulan lebih di bawah jan-tungnya. Adalah<br />

kebahagiaan putra yang pemah meronta-ronta meminta air<br />

susu dari dadanya. Adalah kebahagiaan putra yang pemah<br />

ditimang-dipangkunya selagi bayi. Maka tatkala hamba<br />

me-nyaksikan betapa rukun dan saling cinta-mencin-tainya<br />

Raden Panji dengan istrinya Dewi Anggraeni,<br />

kebahagiaan pun menyelimuti hati bundayang pemah


mengandung dan melahirkannya. Alangkah bahagianya<br />

putra kita! Dan melihat kebahagiaan itu, lenyap segala<br />

persoalan dan pikiran yang lain." "Itulah. Seorang bunda<br />

adalah seorang wanita. Dan seorang wanita hanya<br />

memandang apa-apa yang kelihatan oleh matanya saja.<br />

Matanya buta oleh benda yang berada di depan matanya,<br />

benda nyata, sehingga lenyaplah hakekat segala benda<br />

yang tidak nampak oleh mata. Kasih sayang seorang<br />

bunda, bukan tidak mustahil membutakan matanya kepada<br />

akibat-akibat yang mungkin tim-bul sebagai taruhan<br />

kebahagiaan putranya. Keba29 hagiaan Raden Panji Kuda<br />

Waneng Pati, bukan tidak dipertaruhi. Pada batu<br />

timbangan yang lain, nasib dan kebahagiaan kawula dua<br />

buah kerajaan besar terletak. Kalau diri Raden Panji yang<br />

kita menangkan, maka akan hancurlah negara dan<br />

kekacauan akan mengamuk di kedua buah negara."<br />

"Ampun Rakanda. Rakanda berbicara tentang kekacauan,<br />

namun kekacauan apakah itu gerangan? Rakanda<br />

berbicara tentang kehancuran, tetapi kedua buah negara<br />

sekarang masih megah berdiri." 'Itulah bukti yang senyatanyatanya,<br />

bahwa seorang wanita hanya sanggup melihat<br />

yang ter-dekat dengan pandangannya. Ia tidak bisa melihat<br />

ke kakilangit yang nun di kejauhan, dan apalagi melihat<br />

apa yang terjadi di balik kakilangit itu! Tidakkah Rayinda<br />

tahu, apakah yang sekiranya terjadi kalau Rayinda Prabu<br />

Jayawarsya mendengar kabar tentang pemikahan Raden<br />

Panji putra mahkota Janggala dengan putri yang bukan<br />

putri mahkota Kadiri? Tidakkah Rayinda maklum, apakah<br />

akibatnya jika Rayinda Prabu Jayawarsa murka? Akan


dikumpulkannya wadia-bala dan akan diserangnya<br />

Janggala! Perang! Peranglah yang akan menjadi taruhan<br />

pemikahan Raden Panji sekarang! Perang yang akan<br />

terjadi antara dua buah kerajaan yang berasal dari satu<br />

keturunan. Pandawa dengan Kurawa pun seperti dituturkan<br />

dalam Mahabharata, adalah berasal dari satu 30<br />

keturunan. leluhur Bharata. Dan kedua kaum itu pun<br />

berperang. Tetapi apakah yang menjadi ta ruliannya?<br />

Kebenaran. Pandawa mcmpertahankan kebenaran,<br />

melawan dan menghapuskan kesera-kahan kaum Kurawa<br />

dari muka dunia. Tetapi kalau pecan perang antara<br />

Janggala dan Kadiri, apakah yang kita pertahankan?<br />

Kebenaran? Terang kita berada pada fihak yang bersalah.<br />

Kita tidak menepati janji. Kehormatan? Kehormatan, masihkah<br />

orang yang tidak menepati janji berhak bicara<br />

tentang kehormatan? Ah, Rayinda — tidakkah Rayinda<br />

melihat malapetaka yang demi-kian besar menjadi taruhan<br />

kebahagiaan seorang Raden Panji? Tidakkah Rayinda<br />

melihat darah akan membanjir, dan mayat-mayat<br />

bergelimpang-an? Mayat-mayat prajurit dan pahlawan<br />

Kadiri dan Janggala. Dan keduanya berjuang secara siasia.<br />

Keduanya berkelahi mem pertahankan apa yang<br />

memang tak patut dipertaliankan!" Baginda menjatuhkan<br />

kepala dan melipatkan kedua belah tangan di dadanya.<br />

Suasana sangat mencekam. Akhirnya sang permaisuri<br />

menyahut, suaranya mula-mula perlahan, tetapi makin lama<br />

makin tegas jua. "Mengapa Kanda melihat terlalu jauh?<br />

Mengapa Kanda membayangkan hal-hal yang buruk saja?<br />

Tidak, pemikahan Raden Panji dengan Dewi 31


Anggraeni, tak usah berpenganih kepada kerajaan.<br />

Pemikahan itu tidak membatalkan pcrjanjian yang telah<br />

Kanda buat dengan Prabu Jayawarsya, bukan? Tidak.<br />

Pemikahan itu mesti Kanda restui* demi kebahagiaan<br />

anak kita sendiri dan demi kebahagiaan kerajaan ..."<br />

"Demi kebahagiaan kerajaan kata Rayinda?" "Ampun<br />

Kanda, demikianlah adanya." Baginda mengerutkan<br />

kening. "Bagaimana hal itu mesti diterangkan supaya<br />

Kanda menjadi maklum?" tanya baginda penuh penasaran.<br />

"Daufat Kanda, apabila sekarang Kanda memi-sahkan<br />

Raden Panji dari Dewi Anggraeni, bukan hanya hatinya<br />

akan hancur luluh, tetapi juga cita-cita Kanda yang luhur itu<br />

akan si ma." "Apa kata Rayinda?" "Cita-cita Rakanda yang<br />

luhur itu akan sima, karena Raden Panji yang mesti<br />

melaksanakan cita-cita luhur itu akan mereras. Ia akan<br />

sangat berduka apabila dipisahkan dari kekasihnya. Kalau<br />

Raden Panji meninggal karena duka cita, bukan hanya<br />

Rayinda yang akan tenggelam dalam lautan kese-dihan,<br />

tetapi Rakanda pun tidak mungkin melaksanakan cita-cita<br />

Kanda yang mulia itu ... Sang baginda menganggukanggukkan<br />

kepala. la tidak segera bersabda, melainkan<br />

hening ter-menung, memandang ke arah luar, seolah-olah<br />

32 jak mencari scsuatu nun jauh di kakilangit hCAkhimya ia<br />

mcnarik nafas dalam. ••Jadi bagaimanakah scbaiknya<br />

menurut Rayin-tiT ia bertanya. Wajah permaisuri<br />

bercahaya. "Ampun Rakanda," sembahnya. "Menunit hemat<br />

hamba, sebaik-baiknya Rakanda menitahkan putra<br />

kita Raden Panji bcrsama istrinya mengha-dap untuk<br />

merestui pemikahan mcrcka ..." Kembali baginda


mcnghela nafas. "Kanda mengerti," sabdanya kemudian<br />

dengan suara dalam "Memisahkan keduanya dalam saatsaat<br />

seperti ini, sangat berbahaya. Terima kasih Rayinda,<br />

terima kasih Rayinda telah memperi-ngatkan Kakanda<br />

akan akibatnya yang parah kalau Kanda bersikcras. Kanda<br />

ingin melihat cita-cita Kanda yang mulia terlaksana. Kanda<br />

mau ber-sabar." Lalu baginda hening beberapa lamanya.<br />

Tangannya yang kanan mengusap-usap dagu. seolali-olah<br />

hendak memeriksa rambut yang tumbuh di sana. "Kanda<br />

percaya. kalau waktu telah berlalu, saat-saat penuh bunga<br />

telah lewat. Raden Panji takkan berat meninggalkan<br />

kekasihnya." "Jadi akan Kanda perkenankankah increka<br />

mcnghadap? Akan Rakanda bcri restukah mcrcka.' ' tanya<br />

permaisuri harap-harap ccmas. Bam setelah mcnghela<br />

dan menghembusk.m nalasnya pula. sambil menganggukanggukkan<br />

kc-palil- baginda mcnyahut. "Baiklah. Baiklah<br />

nasihat 33 Rayinda akan Kakamla limit Mudah-nuidahan<br />

akibatnya tidak sejauh yang Kakanda bayangkan . . .<br />

Artinya. mudah-mudahan Rayinda Prabu Jayawarsya tidak<br />

murka dan bisa dikasih mengerti .. . Miidali-mudalian<br />

takkan terbit bencana!" Pemiaisuri mengliaturkan sembah.<br />

mengucapkan terima kasih. 'Akan Rayinda sampaikan.<br />

supaya Raden Panji dengan Dewi Anggraeni datang<br />

mcnghadap di ba-wah duli. Raden Panji tentu akan sangat<br />

bcrgem-bira sekali..." Sang Baginda hanya menganggukanggukkan<br />

kepaJa. sedangkan matanya masih jua<br />

mcnatap ke kejauhan. nun ke kakilangit yang tak terjangkau.<br />

seolah-olah perhatiannya tertarik akan apa yang<br />

nampak olehnya di sana. i 34 SANG PRABU


|AYAWARSYA Apa yang ditakutkan oleh Sri Baginda<br />

Jayanta-katunggadewa. raja Janggala yang jaya. benarbenar<br />

terjadi. Berita mengenai pemikahan Raden Panji<br />

Kuda Waneng Pati dengan Dewi Anggraeni. seorang<br />

gadis tak berbangsa, yang konon ditemui Raden Panji di<br />

sebuah petapan, sampai juga kepada Sri Baginda<br />

Jayawarsyatunggadewa, raja Kadiri. Tidak, pertama kali<br />

mendengar hal itu, baginda Jayawarsya tidak percaya.<br />

"Mana mungkin." kata baginda. "Mana mungkin Kakanda<br />

Prabu Jayan-taka lupa akan pcrjanjian yang pemah samasama<br />

kita ikat! Raden Panji akan dinikahkan dengan<br />

putriku Sekar Taji. karena kami sama-sama ingin<br />

menyaksikan Janggala dan Kadiri bcrsatu di bawali<br />

pemerintahan keturunan mereka!" Tetapi kabar itu makin<br />

lama makin santcr dan makin santer jua. Akhirnya baginda<br />

menitalikan seorang senapati untuk menyelidiki kebenar35<br />

an kabar itu. Dua orang mata-mata dikirimkan ke Janggala<br />

akan membuktikan kebenaran bcrita yang menyinggung<br />

martabat sang baginda. Mata-mata bekerja dengan teliti<br />

dan cepat maka seminggu kemudian kepastian mengenai<br />

berita tersebut telah mereka peroleh. Mereka mempersembahkan<br />

hasil penyelidikannya kepada sang<br />

senapati Wiranggada yang kemudian melanjutkan-nya<br />

kepada sang baginda. Terhenyak baginda di atas tempat<br />

duduknya. Tak sepatah pun perkataan keluar dari<br />

mulutnya^ berjenak-jenak lamanya. Kemudian baginda menunduk,<br />

memegang keningnya dengan tangan kanan yang<br />

bertelekan di atas lututnya. Baginda asyik berpikir. Sang<br />

senapati Wiranggada tidak berani meng-ganggu. Ia pun


duduk diam. Kepalanya menunduk seolah-olah berat benar<br />

baginya untuk mengangkat wajah. Lama keduanya<br />

berdiam


aginda meru-bah sikap duduknya, menelekankan siku<br />

tangan di atas lutut. Atau bangkit dan berjalan-jalan dengan<br />

kedua belah tangan bertemu di bagian bawah 37 36<br />

punggungnya. sedang matanya diarahkan ke luar, meninjau<br />

langit yang menjadi muram dan rcndah memberat.<br />

Melangkali beberapa tindak. baginda kembali ke atas<br />

singgasana, lalu duduk pula mercnung. Dan suasana<br />

balaimng makin berat menekan. Bahkan nafas pun seolaholah<br />

ditahan, supaya jangan memecahkan kesunyian dan<br />

kemuraman yang membeku. Namun, sesudah semua yang<br />

dititahkan hadir lengkap menghadap, dan setelah<br />

beberapa lamanya mereka tertekan dalam suasana yang<br />

berat itu, maha patih Kebo Rerangin yang sudah lanjut<br />

usianya dan terkenal bijaksana, tempat baginda meminta<br />

nasihat, terdengar menghaturkan sembah. Suaranya Iirih,<br />

namun jelas dan sejuk terasa masuk ke dalam hati barang<br />

siapa yang mendengarnya. "Ampun beribu-ribu ampun,<br />

Gusti, hamba mo-honkan lantaran hamba telah lancang,<br />

berani t?ersuara tanpa perkenan Gusti . . . Namun, hamba<br />

sekalian telah dititahkan menghadap dalam saat yang luar<br />

biasa, niscaya ada persoalan maha pen-tmg yang luar<br />

biasa pula. Hati hamba sekalian selama di jalan dan<br />

terlebih-lebih setelah sampai di hadapan duli, bagaikan<br />

hendak pecan lantaran ingm tahu. Hamba sekalian ingin<br />

sekali menerima titah Gusti, apakah gerangan yang<br />

menyebabkan suasana keraton dan kerajaan Kadiri yang<br />

biasa-nya cerah d.penuhi gelak tertawa, sekarang<br />

muram38 murung laksana dialahkan garuda. Ampun Gusti,<br />

beribu ampun hamba mohonkan, namun suasana seperti


ini hampir tak tertanggungkan. Lebih baik bagi kami<br />

sekalian, Gusti titahkan berperang me-nempur selawe<br />

negara, menyerang raja berpahla-wan gagah perkasa,<br />

daripada terus-menerus tersiksa dalam suasana seperti<br />

ini. Ampun, Gusti." Sri baginda mengarahkan<br />

pandangannya kepada maha patih Kebo Rerangin,<br />

mendengarkan apa yang dipersembahkannya, sedang<br />

kepalanya me-ngangguk-angguk. Tetapi beberapa saat<br />

setelah maha patih selesai berbicara, tidak juga baginda<br />

bersabda. Baru kemudian, setelah beberapa waktu<br />

lampau dalam keheningan, baginda memecahkan-nya;<br />

"Mamanda maha patih! Para mentri dan para tetua yang<br />

bijaksana." Para penghadap menghaturkan sembah<br />

sambil menggumam, "Daulat Gusti!" "Titah kami yang luar<br />

biasa, yakni menitahkan andika sekalian datang<br />

menghadap bukan pada saat yang biasa, tentu<br />

menimbulkan seribu satu tanda tanya dalam hati andika<br />

sekalian. Apa yang tadi dipersembahkan oleh mamanda<br />

maha patih Kebo Rerangin, adalah sangat tepat. Memang,<br />

memang ada soal yang luar biasa yang telah<br />

menyebabkan kami memberi titah yang luar biasa.<br />

Memang, adalah lantaran ada soal yang sangat berat<br />

menekan pikiran kami, maka andika sekalian yang 39<br />

terkenaJ bijaksana, kami titahkan datang menghadap<br />

pada waktu ini juga. Kami ingin mendengar pendapat<br />

andika sekalian. Kami ingin meminta nasihat . .. " kembali<br />

baginda berhenti bersabda dan pandangannya kembali<br />

menatap ke kejauhan, ke alam tak berwatas, merenung.<br />

"Ampun beribu ampun hamba mohonkan," sembah patih


Kebo Rerangin. "Apakah gerangan soal yang demikian<br />

berat menekan kalbu Gusti, sehingga nampak durja Gusti<br />

begitu muram?" Kembali baginda menghela nafas.<br />

"Seperti mungkin andika sekalian sudah dengar, beberapa<br />

hari yang lampau kami mendengar berita yang sangat<br />

mengejutkan . . . Berita yang mula-mula tidak mau kami<br />

percaya! Kanri sangat percaya akan perkataan dan<br />

ucapan Rakanda Prabu Jayantaka, raja Janggala. Kami<br />

percaya, bahwa sebagai seorang satria yang tahu harga<br />

diri, Rakanda takkan menyalahi janji..." "Ampun Gusti," sela<br />

maha patih Kebo Rerangin "Maafkan kelancangan hamba.<br />

Tetapi, mes-kipun hamba bisa meraba ke mana arah Utah<br />

Gusti, namun hal yang sesungguhnya belum jelas . . .<br />

Mengenai hal apakah Rakanda Gusti Prabu Jayantaka<br />

tunggadewa menyalahi janji?" Sang Prabu memandang<br />

maha patih tajam-tajam. "Lupakah Mamanda Maha Patih<br />

akan janji 40 yang telah kami berdua sama-sama padu?<br />

Rakanda Prabu Jayantaka mempunyai cita-cita tinggi<br />

Baginda hendak mewujudkan cita-cita moyang kami sang<br />

Airlangga yang maha bijaksana. Pem-bagian kerajaan<br />

yang pemah dilakukan oleh maha resi Empu Bharada,<br />

hendak kami hapuskan. Antara Janggala dan Kadiri akan<br />

hilang batas. Kedua kerajaan hendak kami persatukan<br />

kembali. Jalan yang termudah untuk melaksanakan citacita<br />

tersebut adalah dengan menikahkan putera mahkota<br />

Janggala Raden Panji Kuda Waneng Pan' dengan putri<br />

mahkota Kadiri, Dewi Sekar Taji ... " "Daulat, Gusti. Akan<br />

hal itu Mamanda sangat ingat..." "Dan sekarang, tatkala<br />

putra dan putri sudah dewasa, saat terwujudnya cita-cita


yang agung itu dekat sudah . . . Tetapi ..." lalu sang<br />

baginda mcnjatuhkan kepala, tertunduk. "Apakah gerangan<br />

yang terjadi?" "Mamanda Patih pun tahu. Seminggu yang<br />

lalu kami mendengar kabar mengenai pemikahan Raden<br />

Panji dengan seorang gadis gunung, entah siapa, konon<br />

bukan keturunan raja. Kami tidak percaya akan berita<br />

tersebut. Lalu kami menitah-kan supaya mengirimkan<br />

mata-mata akan menye-lidiki kebenaran berita itu. Dan<br />

sekarang ... 1 "Sudah kembalikah para penyelidik itu?"<br />

"Mereka sudah datang. Dan ..." 41 hancur, pantang<br />

menyerah sebelum membangkai!" Suara baginda makin<br />

lama makin naik, makin naik, dan wajah baginda menjadi<br />

memerah laksana terbakar. Baginda sangat murka.<br />

Sedangkan matanya bagaikan menyinarkan api yang<br />

membakar barang yang dilihatnya. Semua yang nadir tak<br />

berani menentang pandangan baginda yang demikian.<br />

Mereka menundukkan wajah. Ada yang turut ma-rah, dan<br />

mengangguk-anggukkan kepala, mcnye-tujui perkataan<br />

baginda, dari mulutnya terdengar gumam, "Di Kadiri pun<br />

masih banyak satria, pahlawan yang tak pan tang<br />

berjuang!" Ada yang saling pan dang dengan sesamanya,<br />

sambil menggilirkan kepala keris yang tersandang. Mereka<br />

sudah seperti ingin agar pasukan Janggala berada di<br />

depannya, supaya mereka bisa me-muaskan amarahnya.<br />

'Tidakkah benar kata kami? Tidakkah benar bahwa para<br />

satria Kadiri belum mati? Tidakkah benar bahwa para<br />

pahlawan Kadiri masih siap sedia untuk berjuang? Untuk<br />

mempertahankan kehormatan dan harga dirinya? Tidakkah<br />

benar? Mana-kah pahlawan Kadiri?" 'Tentang semangat


para pahlawan Kadiri, Gusti tak usah ragu!" sahut seorang<br />

senapati sambil menghaturkan sembah. 'Para pahlawan<br />

Kadiri tahu akan harga dirinya, takkan manda saja membiarkan<br />

dirinya diperhina!" 44 "Tak usah menanti han<br />

berganti, malam ini juga semua wadia-bala Kadiri telah<br />

siap untuk berperang! Gusti tak usah kuatir, Janggala<br />

takkan mungkin menumpas satria Kadiri!" sembah yang<br />

lain pula. "Kita berada pada fihak yang benar, maka para<br />

dewa tentu akan berada pada fihak kita! Sang Syi-wa akan<br />

merestui kita! Kita akan menang! Kita takkan mungkin<br />

kalah!" sambut yang lain. "Gusti hanya tinggal memberi<br />

titah, maka setiap saat bala tentara Kadiri siap sedia.<br />

Siang ataupun malam tak nanti lalai," terdengar pula suara<br />

senapati yang mula-mula bicara. Sejenak lamanya dalam<br />

balairung terdengar hiruk-pikuk. Suasana menjadi panas.<br />

Setiap orang yang berada di sana terbakar semangatnya,<br />

geram dan murka, ingin segera menerjang lawan. Baginda<br />

mengangguk-anggukkan kepala, tanda berbesar hati.<br />

Baginda percaya akan kekuatan bala tentara kerajaannya.<br />

Kadiri mempunyai satria-satria yang kebal kulitnya,<br />

pahlawan-pahlawan yang tangguh tulangnya. Baginda<br />

merasa semangatnya makin terbakar. "Kami I ilia t para<br />

pahlawan Kadiri siap sedia setiap saat..." "Hanya menanti<br />

titah saja, ampun Gusti!" sahut senapati Wirapati ing<br />

Alaga. "Kami siap." "Makin cepat makin baik . . . " kata<br />

baginda agak perlahan. Tetapi baginda menoleh ke arah<br />

45 maha patih Kebo Rerangin. "Mamanda. apakah bicara<br />

Mamanda mengenai hal ini? Kami lihat se-jak tadi<br />

Mamanda berdiam diri saja. Tidakkah Mamanda kurang


yakin akan kegagahan dan ke-saktian para satria serta<br />

para pahlawan Kadiri? Tidakkah Mamanda yakin bahwa<br />

Janggala akan dengan mudah dikalahkan oleh para<br />

senapati kita yang gagah berani? Mengapa Mamanda<br />

diam saja? Sang maha patih Kebo Rerangin<br />

menghaturkan sembah. Suaranya tenang, tidak<br />

dipengaruhi amarah seperti suara yang lain-lain. Ia<br />

berbicara lambat-lambat, namun pasti. "Ampun beribu<br />

hamba mohon. maaf berlaksa hamba minta terlebih dahulu,<br />

kelapangan dan keluasan faham Gusti jua yang hamba<br />

harapkan . . Sang baginda menatapnya tajam-tajam.<br />

"Bicaralah. Mamanda!" Maha patih Kebo Rerangin<br />

mcmperbaiki letak duduknya. "Daulat Gusti" sembahnya<br />

kemudian. "Hamba percaya akan keteguhan tulang para<br />

senapati Kadin. Hamba percaya akan kekcbalan kulit para<br />

pahlawan Kadiri yang pantang mundur. Hamba yakin akan<br />

semangat wadia-bala Kadiri yang gagah berani. Tetapi.<br />

tidakkah terlebih baik sebelum la' kitaT^h'f la'ba,a UntUk<br />

me"yerang Janggala, kita kaji dahulu sebab lantarannya?"<br />

46 -Mamanda Maha Patih! Mengapa Mamanda bertanya<br />

demikian? Bukankah Mamanda tadi mendengarkan<br />

perkataan kami?" "Daulat Gusti, sepatah pun perkataan<br />

yang Gusti sabdakan, tak ada yang terlepas dari pendengaran<br />

hamba. Tetapi..." "Tetapi apa? Apakah<br />

Mamanda belum mengetahui jua sebab lantarannya<br />

mengapa kita mesti menyerang Janggala yang telah<br />

menghina kita?" "Menurut hemat hamba, Janggala tidak<br />

melakukan penghinaan ..." "Mamanda Maha Patih!<br />

Tidakkah harga diri dan kehormatan Mamanda merasa


terhina. kalau putri mahkota kerajaan kita diperhina?"<br />

"Ampun Gusti, hambalah orang yang akan paling merasa<br />

terhina kalau putri mahkota Kadiri yang hamba junjung<br />

tinggi diperhina orang Hambalah orangnya yang akan<br />

paling dahulu meng-hunus keris memusnahkan orang yang<br />

menghinanya!' "Nan, mengapa Mamanda Maha Patih<br />

masih bertanya juga?" Maha patih Kebo Rerangin merasa<br />

terdesak. Tetapi ia menghaturkan sembah, "Tentang<br />

penghinaan itu - kalau benar penghinaan hamba pun akan<br />

sependapat dengan yang lain-lain. Dalam hal demikian.<br />

wajib kita mengangkat senjata kepada Janggala. Tak<br />

benar kalau kita diam saja. 47 manda saja diperhina.<br />

Namun sebelum kita meme-pak wadia-bala. patut kaJau<br />

kita renungkan lebih dahulu hal-hal lain yang bersangkutan<br />

dengan itu . . . * "Apa maksud Mamanda?" "Ampun Gusti.<br />

gusti pun tentu lebih maklum, Kadiri dan Janggala berasal<br />

dari satu keturunan, dari satu kerajaan ..." "Ya, dipisahkan<br />

oleh air kcndi yang dicucurkan oleh Rmpu Bharada!" "Gusti<br />

lebih maklum. Jadi scsungguhnya antara Kadiri dan<br />

Janggala ada perhubungan darah, per-hubungan<br />

ketumnan. Raja Janggala masih berasal dari darah yang<br />

sama dengan* Gusti sendiri. Sri Baginda<br />

Jayantakatunggadewa masih kcpernah Rakanda Gusti."<br />

"Ya.lalu?" "Antara orang yang berasal dari daerah yang<br />

sama. apalagi kaiau menyangkut nasib kerajaan be-serta<br />

seluruh kawulanya. tak patutlah senjata di-minta bicara.<br />

Apabila ada persoalan. elok diper-bincangkan terlebih<br />

dahulu____" "Tetapi ini mengenai kehormatan dan harga<br />

diri kita sebagai satria. sebagai negara dan kerajaan,


Mamanda Maha Ratih!" "Ampun Gusti. Karena itu pula<br />

dalam hal ini kcbijaksanaan Gusti yang menggenggam<br />

mati-hidup kawula negara di seluruh kerajaan diminta lebih<br />

besar____" 48 "Tetapi masihkah kita patut bicara,<br />

berbincang dengan orang yang dengan sengaja sudah<br />

menghina dan merendahkan kita?" "Bagairnanapun, sang<br />

Baginda Prabu Jayantaka adalah saudara Gusti jua. Kalau<br />

ia melakukan Icesilapan, adalah seyogyanya apabila Gusti<br />

yang menegur serta memberinya ingat." Sang baginda<br />

termenung. Termakan juga apa yang dipersembahkan<br />

maha patih Kebo Rerangin olehnya. Kebo Rerangin<br />

sungguh seorang tetua yang luas dan dalam<br />

pandangannya. Terkesiap juga baginda, kalau teringat<br />

bahwa hampir saja baginda meninggalkan keutamaan<br />

seorang bijaksana, lantaran terbawa oleh amarah. Kalau<br />

sampai terjadi peperangan antara kedua kerajaan, entah<br />

bagaimana akibatnya. Namun apabila teringat pula oleh<br />

baginda akan perbuatan Rakanda Prabu Jayantaka<br />

mengingkari janji yang telah mereka bikin, hatinya menjadi<br />

mendidih pula. "Perang bukanlah suatu hal yang kecil.<br />

Apalagi antara dua buah kerajaan yang sesungguhnya<br />

masih bersaudara ..." terdengar maha patih Kebo<br />

Rerangin berbicara pula. "Apakah soal yang menjadi<br />

sebab tidak bisa dirundingkan secara damai lagi,<br />

sehingga senjata diminta berbicara? Kalau segala<br />

pembicaraan telah buntu, kalau segala per-undingan telah<br />

mati, barulah boleh kita angkat senjata. Sedangkan dalam<br />

hal kita sekarang, meski 49 benar perbuatan Rakanda<br />

Prabu mcnikahkan Raden Panji dengan orang lain


mclanggar janji yang telah kita adakan. namun belum pasti<br />

berarti bahwa baginda dengan sengaja hendak memperhina<br />

kita... " Sang baginda mengangkat wajah. "Mana<br />

boleh begitu?*' "Ampun Gusti, menurut hemat hamba, pernikahan<br />

Raden Panji dengan putri yang lain, ri-daklah<br />

berarti bahwa fihak Janggala telah mem-batalkan<br />

perjanjian secara sefihak . . . Pemikahan Raden Panji<br />

dengan orang lain, tak boleh kita taf-sirkan bahwa<br />

pertunangan dengan Dewi Sekar Taji menjadi batal . . .<br />

Mungkin ada sebab-sebab lain yang kita tidak tahu. yang<br />

menyebabkan Rakanda Prabu Jayantaka mengambil jalan<br />

yang seolah-olah menghina kita. Bagairnanapun juga,<br />

menurut hemat hamba. semuanya itu belum cukup besar<br />

untuk diakhiri dengan suatu perang - apalagi perang antara<br />

kerajaan yang berasal dari satu keturunan. Cita-cita Gusti<br />

berdua dengan rakan da Gusti tinggi, agung serta luhur,<br />

hendak me-wujudkan kembali apa yang dahulu pemah<br />

diusa-hakan oleh sang Baginda Airlangga. Cita-cita yang<br />

luhur itu. patutkah kita hancurkan begitu saja, lantaran<br />

menduga sesuatu tanpa melihat latar be-lakangnya yang<br />

lebih luas?" Baginda merenung, tidak mcngeluarkan<br />

sepatah pun perkataan. tetapi senapati Wirapati berdatang<br />

50 sembah, "Ampun Gusti, mengapa kita mesti ber buat<br />

sebagai pengecut? Telah jelas: orang telah menghina kita,<br />

mengapa kita masih manda jURa nengajaknya berunding?<br />

Orang telah dengan sengaja melanggar janjinya sendiri,<br />

mengapa kita masih ragu-ragu untuk mengangkat senjata?<br />

Apakah telah tumbuh takut dalam kerajaan Kadiri? Apakah<br />

tidak ada lagi semangat satria yang berani menentang


mati?" Sang baginda memandang kepada sang senapati<br />

Wirapati. Namun sebclum baginda mengeluarkan<br />

perkataan, terdengar maha patih Kebo Rerangin bcrsuara.<br />

"Ampun hamba mohonkan, Gusti. Apabila tadi hamba<br />

mempersembahkan apa yang telah hamba persembahkan,<br />

bukanlah itu berarti bahwa semangat Kebo Rerangin telah<br />

lenyap. Bukanlah berarti Kebo Rerangin seorang pengecut<br />

yang takut mati, tak berani melihat darah! Kebo Rerangin<br />

telah kenyang berperang. telah kenyang me-masukkan<br />

kerisnya ke dalam dada orang-orang yang sombong dan<br />

bersemangat, namun makin hari usia makin tua dan<br />

setelah usia lanjut. makin banyak pertanyaan-pcrtanyaan<br />

dalam hati. Buat apakah kita memhunuh sesama manusia?<br />

Buat apakah kita mengurbankan begitu banyak waJu bala.<br />

darah dan nyawa.' Untuk mcmuaskan nafsu? Untuk<br />

mcnunjukkan bahwa kita bersemangat' 51 Tidak. bagi<br />

hamba, nun Gusli, semangat bukan sa-tu-satunya yang<br />

hams kita punyai. Dengan semangat saja kita takkan<br />

mencapai apa-apa. Paling-paling penyesalan yang akan<br />

menanti kita kelak. Penyesalan, penyesalan yang tak<br />

berguna. tak berarti, sia-sia . . . Hamba meminta keluasan<br />

hati Gusti, dan hamba pea-ay a akan kebijaksanaan Gusti:<br />

Gusti takkan mengurbankan manusia, entah wadia-bala<br />

Kadiri maupun wadia-bala Janggala. untuk suatu hal yang<br />

belum tentu. Hamba tetap memohonkan kebijaksanaan<br />

Gusti untuk mengadakan perundingan dengan fihak<br />

Janggala.'' Baginda menghela nafas. Senapati Wirapati<br />

hendak menghaturkan sembah pula, tetapi tangan baginda<br />

yang kiri melambai, tanda bahwa baginda menitahkannya


diam. "Baiklah. Kami percaya akan keberanian dan<br />

semangat Senapati Wirapati yang senantiasa setia. Kami<br />

percaya akan semangat dan kejayaan seluruh satria,<br />

perwira, para pahlawan dan wadia-bala Kadiri. Kami<br />

percaya. Kami tak ragu akan hal itu. Kami tahu, pada<br />

saatnya seluruh wadia-bala Kadiri akan tak sayang<br />

membuang nyawa, mengalirkan darah, untuk membela<br />

kehormatan dan harga diri raja serta negaranya!" sabda<br />

baginda dengan suara yang tenang. 'Tetapi apa yang dipersembahkan<br />

olch Mamanda Maha Patih Kebo Rerangin<br />

pun mcmpunyai kebenarannya pula. Tak patut kita tiba-tiba<br />

saja menycrang Janggala. 52 yang adalah masih berasal<br />

dari keturunan yang sama dengan kami, sedangkan<br />

persoalan belum jelas - • • . . , "Kalau Gusti menginmkan<br />

utusan kepada rakanda Gusti di Janggala, Gusti telah<br />

menunjukkan kelapangan hati dan kebijaksanaan Gusti,"<br />

sembah maha patih Kebo Rerangin. "Kalau kelak temyata,<br />

fihak Janggala memang dengan scngaja hendak menghina<br />

puteri mahkota Kadiri beserta keraja-annya, perang adalah<br />

jalan yang satu-satunya boleh kita tempuh!" "Namun,<br />

Mamanda, untuk menginmkan utusan kepada Rakanda<br />

Prabu Jayantaka, kami merasa kurang patut. Pemikahan<br />

Raden Panji sekarang, dilakukan tanpa persetujuan,<br />

bahkan tanpa se-pengetahuan kami, sedangkan Raden<br />

Panji telah dipertunangkan dengan Dewi Sekar Taji. Kalau<br />

kita mengirimkan utusan ke sana, maka mungkin kelihatan<br />

seolah-olah kita begitu rendah ingin menawarkan Sekar<br />

Taji supaya diperisteri oleh Raden Panji! Tidak, untuk<br />

mengirimkan utusan ke Janggala, kami merasa keberatan.


Kita mesti menempuh jalan lain!" Seluruh balairung hening.<br />

Senapati Wirapati menundukkan wajah, sedang matanya<br />

menjeling ke kanan ke kiri. Ia merasa malu, karena merasa<br />

tidak mendapat muka dari sang baginda. Hatinya Panas.<br />

Lirikannya ganas menjilat ke arah maha patih Kebo<br />

Rerangin yang duduk di depan. 53 Maha patih Kebo<br />

Rerangin hening pula. Duduk dengan tertib. sedangkan<br />

keseluruhan dirinya me-nunjukkan bahwa ia sedang<br />

berpikir keras. Semua orang terdiam berpikir. merenung.<br />

Suasana pecan, tatkala dari sudut sebelah ka-nan.<br />

terdengar suara yang renta dan rendah. menghaturkan<br />

sembah. "Ampun Gusti!" katanya. "Mamanda Kuda<br />

Lalean! Adakah Mamanda mendapat pikiran yang baik<br />

untuk menghilangkan yang kami bingungkan? Bicaralah!"<br />

sabda baginda. "Daulat Gusti. menurut hemat hamba. satusatunya<br />

jalan untuk mengatasi suasana yang sulit ini.<br />

adalah dengan jalan meminta tolong kepada fihak ketiga.<br />

Fihak ketigalah yang sebaik-baiknya datang kepada<br />

Rakanda Prabu di Janggala, meminta keterangan yang<br />

lebih jelas." "Sungguh tepat!" potong sang baginda dengan<br />

cepat dan wajahnya menjadi cerah. "Sungguh tepat apa<br />

yang dipersembahkan oleh Mamanda Kuda Lalean! Tetapi<br />

..." baginda berhenti seje-nak. "Siapakah gerangan fihak<br />

ketiga yang patut kita percayai untuk menjadi perantara?<br />

Orang itu mesti yang kita percayai dan yang dihormati pula<br />

oleh fihak Janggala, tak mungkin orang scm-barang! Orang<br />

itu mesti benar-bcnar tak berfihak! Raja manakah yang<br />

menurut hemat andika sekalian, yang patut kita mintai<br />

tolong dalam hal ini? 54 .yang-' Lawang? Ataukah mana? "


Setelah suasana sepi sejenak, terdengar maha patih Kebo<br />

Rerangin angkat bicara. "Mengapa Gusti hendak meminta<br />

tolong kepada raja-raja lain? Mengapa Gusti tidak teringat<br />

kepada sang Kili Suci yang adalah wakil tetua kedua buah<br />

kerajaan - baik Janggala maupun Kadiri! Sang Kili Su-cilah<br />

yang telah menyebabkan kerajaan sang Baginda Airlangga<br />

di pecan dua. Karena sang Kili Suci tidak sudi memangku<br />

takhta! Dia memilih kehidupan pertapa di Pucangan!"<br />

Baginda terhenyak. "Ya maha dewa! Mana boleh kami<br />

lupa! Mengapa boleh kami tak teringat? Eyang Sang Kili<br />

Suci! Telah lanjut usianya, tetapi ia masih segar bugar!<br />

Kehidupannya sebagai pertapa menyebab-kannya awet<br />

jaya! Ya, memang beliau satu-satunya orang yang paling<br />

tepat untuk keperiuan ini! Tak ada yang lain! Sang Kili<br />

Suci!" "Sesungguhnyalah!" sembah maha patih Kebo<br />

Rerangin dan para tetua lainnya bersama-sama. "Sang Kili<br />

Suci patut menjadi fihak ketiga." "Baiklah Mamanda Patih.<br />

sekarang Mamanda titahkan orang untuk menjemput sang<br />

Kili Suci. supaya sudi meninggalkan petapannya yang suci<br />

di Pucangan, menjenguk negeri Kadiri ini. Siapa orang<br />

yang patut menjalankan titah itu. kami P«cayakan kepada<br />

Mamanda untuk memilihnya." "Daulat Gusti." 55 "Kalau<br />

mungkin hari ini juga ia mesti berangkat. Makin cepat<br />

makin baik. la mesti kembali dengan mengiringkan sang<br />

Kili Suci. Jangan ayal di jalan." "Daulat Gusti." sembah<br />

maha patih. "Hamba Gusti. Senapati Secaprawira hamba<br />

pikir patut menjunjung titah yang berat itu." "Baiklah. Ki<br />

Senapati Secaprawira pergi ke Pucangan. Dengan<br />

siapakah ia akan pergi? Sendirian sajakah?" "Ia harus


dikawani oleh dua-tiga orang hamba Gusti yang lain.<br />

Baiklah perihal itu hamba atur kelak." "Ya, semuanya kami<br />

percayakan kepada Mamanda. Tetapi kami ingin hari ini<br />

juga mereka harus berangkat. Pucangan jauh. dan kami<br />

tidak mau menunggu terlalu lama! Kalau orangnya sudah<br />

siap. titahkan mereka menghadap! Sekarang. baik andika<br />

sekalian pulang. Tetapi Ki Senapati Wirapati! Persiapanpersiapan<br />

jangan dilalaikan. Belum tentu sang Kili Suci<br />

berhasil dengan damai menyelesaikan soal ini, maka kita<br />

mesti berperang juga dengan Janggala. Karena itu<br />

persiapan-persiapan perang jangan sampai tercecer! Kita<br />

mesti siap pada waktunya!" "Daulat Gusti, hamba sekalian<br />

akan siap setiap saat! Titah patik junjung di atas batu<br />

kepala pa tik!" sembah senapati Wirapati. Maka<br />

pertemuan di balairung pun bubar. Sang 56 baginda<br />

masuk ke dalam istana. Para tetua dan neiabat negara<br />

pulang ke rumahnya masing-masing, kecuali mereka yang<br />

mendapat titah dan mesti menyelesaikan titahnya. Maha<br />

patih Kebo Rera-11 an memilih orang untuk mengawani<br />

Secaprawira buat menjemput sang Kili Suci, serta<br />

menitah-kan mempersiapkan segala sesuatunya buat keperluan<br />

di jalan. 57 SANG KILI SUCI Sang Kili Suci yang<br />

hidup tenang di Pucangan, adalah putri baginda sang<br />

Airlangga yang jaya serta bijaksana. Dialah yang<br />

sesungguhnya berhak atas takhta, menggantikan<br />

ayahanda. Tetapi ia sejak masih muda telah tertarik<br />

hatinya akan kehidupan di petapan. Kehidupan keraton<br />

dan kesibukan kerajaan tidak membetahkannya. Ia tidak<br />

mau hidup dalam kegemilangan istana. Ya, putrinda itu


mengikuti jejak ayahanda, sang Airlangga. sangat<br />

mencintai kehidupan bertapa, karena ayahanda tatkala<br />

masih muda pemah dilindungi para petapan, yaitu tatkala<br />

ia melarikan diri dari kejaran tentara Wura-wari yang<br />

menyerbu keraton mertua-nya. Bertahun-tahun lamanya<br />

sang Airlangga hidup di tcngah-tengah kaum pertapa. Ia<br />

banyak mendapat bantuan dan sokongan dari kaum<br />

pertapa, baik para resyi Syiwa, maupun para biksyu<br />

agama Budha. bahkan juga para pemuja Wisynu. 58 Tidak<br />

heran pula ia tatkala kemudian melihat aKanda Kili Suci<br />

lebih menyukai hidup dalam IT,tan sebagai pertapa. la<br />

mendirikan petapan yang dah di Pucangan, sebagai tanda<br />

terima kasihnya kepada para pertapa yang telah menolong<br />

dan menyokongnya selagi sengsara. Tetapi kemudian<br />

putrinda Kili Suci agaknya lebih merasa betah di sana.<br />

Yang menyulitkan sang Airlangga adalah sikap putrinda Kili<br />

Suci yang tidak mau memangku takhta. Memang, kecuali<br />

Kili Suci, baginda masih mempunyai dua orang putra pula.<br />

Dan keduanya laki-laki yang mehunjukkan minat yang luar<br />

biasa terhadap takhta, sehingga nampak oleh baginda<br />

bahwa persaingan antara keduanya sangat besar. Mereka<br />

bukan putranda dari permaisuri, sehingga hak keduanya<br />

sama atas takhta kalau Kili Suci menolaknya. Baginda<br />

kuatir, kalau-kalau setelah baginda mangkat akan terjadi<br />

persaingan dan per-kelahian antara kedua putranda untuk<br />

mempere-butkan takhta. Maka berminggu-minggu baginda<br />

membujuk putrinda Kili Suci supaya mau memangku<br />

takhta. Namun sia-sia saja. Kili Suci tetap pada<br />

pendiriannya. Ia tidak menghendaki takhta. Maka bertahun-


tahun lamanya baginda memikir-kan akal, akan<br />

menghindari persaingan dan pere-butan takhta antara<br />

kedua putranda itu kelak, Meski mungkin selama baginda<br />

masih hidup, Persaingan dan perebutan itu takkan terjadi.<br />

namun tak mustahil pabila baginda sudah meninggal,<br />

percbutan yang ditakutkan itu terjadi juga. Akhir-nya<br />

baginda mengambil kebijaksanaan mem-bagi dua<br />

kerajaan yang telah dengan susah payah baginda bina dan<br />

mempercayakan pembagian itu kepada seorang guru<br />

Budha Mahayana yang ahli dalam ilmu tantra, yaitu EfllpU<br />

Bharada. Empu Bharada seorang yang sakti. konon<br />

pemah menye-berangi selat Bali dengan berjalan di atas<br />

permuka-an laut. Gelombang yang tinggi tidak sedikit pun<br />

membasahi kendati ujung jubahnya. Sambil mengenangkan<br />

usahanya sejak muda, sejak ia berangkat dari<br />

Bali memenuhi panggilan mertuanya mahara-ja Teguh.<br />

sang Airlangga menyaksikan hasil jerih-payahnya itu<br />

dirobek-robek di depan matanya. Hancur hatinya. Namun<br />

kalau mengingat pula akan akibat yang mungkin timbul<br />

kalau baginda tidak melakukan usaha pencegahan seperti<br />

itu. sang Airlangga yang sudah kenyang berperang itu,<br />

merasa lega, karena ia telah menghindarkan kedua<br />

putranda dari peperangan antara sesama saudara.<br />

Setelah membagi dua kerajaannya yang besar menjadi<br />

Janggala dan Kadiri, dan menobatkan kedua anak-anda<br />

menjadi raja di kedua kerajaan tersebut, baginda<br />

Airlangga mengikuti jejak putrinda Kili Suci; baginda<br />

memilih kehidupan damai di petapan. Baginda menjadi<br />

bagawan. Baginda dihormati dan discbut orang sebagai


Paduka Gusti Pelindung Buana. Baginda bersemayam di<br />

Ganda60 kuti hingga wafatnya. Sesudah baginda wafat.<br />

Kill Suci makin betah di petapannya. Tetapi hubungan<br />

dengan masya-rakat ramai tidak terputus. Pada waktuwaktu<br />

tertentu ia menyambangi saudara-saudaranya yang<br />

memerintah kerajaan Janggala dan Kadiri. la banyak<br />

memberi nasihat dan petunjuk dan segalanya itu diterima<br />

oleh saudara-saudaranya dengan se-nang hati. Bahkan<br />

mereka tidak segan-segan meminta masihat dan petunjuk<br />

dari putri petapa itu. Waktu terus berlalu. Raja Janggala<br />

dan Kadiri telah dua kali bertukar, karena mangkat, tetapi<br />

sang Kili Suci masih segar bugar juga. la masih juga tetap<br />

sehat. Ia tidak meninggalkan kebiasa-annya untuk tetap<br />

mengunjungi Janggala atau Kadiri, mendatangi keraton.<br />

akan bercengkerama dan memberi nasihat kepada para<br />

pemangku takhta. Oleh rakyat kecil pun ia sangat<br />

dihormati. karena banyak sekali pertolonganpertolongannya.<br />

Mereka memuja sang Kili Suci hampirhampir<br />

sebagai dewi penolong yang sakti dan gaib.<br />

Mereka me-mandang puncangan sebagai tempat keramat<br />

yang suci. Tempat tinggal manusia utama yang luar biasa<br />

baik. Tatkala mendengar dari Senapati Secaprawira,<br />

bahwa sang baginda Jayawarsya dari Kadiri menghaturinya<br />

datang, lantaran ada masalah berat yang m»nta<br />

dipecahkan, tidak menanti lama, maka ^ng Kili Suci pun<br />

berangkat meninggalkan Pucang61 an. Mereka berjalan<br />

dengan cepat, maka beberapa hari kemudian, sampailah<br />

sang Kili Suci di ibukota Kadiri, lalu masuk ke dalam<br />

istana. Kedatangannya segera dipersem bahkan kepada


sang baginda. lak/mi dan hormat, baginda menghaturkan<br />

sembah kepada sang Kili Suci. Sang Kili Suci mengu-sapusap<br />

kepala baginda. kemudian mengangkat-nya bangkit.<br />

"Apakah gerangan sebabnya, maka Cucunda menitahkan<br />

Nenenda datang secepat mungkin?" tanya sang Kili Suci<br />

setelah beberapa saatnya berbicara tentang segala<br />

macam soal, tentang kesehat-an baginda dan mengenai<br />

kerajaan. "Ampun hamba mohonkan, karena telah berani<br />

mengusik Nenenda dari kehusyuan bertapa . ..," sahut<br />

baginda. "Cucunda telah mengusik Nenenda dari petapan.<br />

tentu lantaran ada suatu soal besar yang mesti<br />

dipecahkan. Karena itu sebaiknya, cepat Cucunda<br />

sampaikan kepada Nenenda, apakah gerangan soal yang<br />

mesti dipecahkan itu?" Maka sang baginda Jayawarsya<br />

pun lalu memper-sembahkan halnya. Baginda<br />

mengenangkan sang Kili Suci kepada perjanjian yang<br />

dahulu diadakan antara Kadiri dan Janggala tentang<br />

maksud meni-kahkan putra mahkota Janggala dengan<br />

putri mahkota Kadiri. Sang Kili Suci tahu akan perjanjian<br />

itu, maka ia pun teringat akan halnya. Tatkala mendengar<br />

bahwa Raden Panji sudah menikah 62 dengan orang lain<br />

Kili Suci tcrmenunB, dan dari matanya nampak bahwa ia<br />

terkenangWn * sj|anl, tatkala ayahanda masih berat tatkala<br />

kerajaan belum tcrpecah dua. 1 -Jadi apakah yang<br />

sekarang hendak (W perbuat?" akhimya sang Kili Suci<br />

bertanya set, lah sang baginda sclesai mempcrsembahkan<br />

semu* nya. Matanya yang jernih itu mcnatap baginda<br />

seakan-akan hendak mengajuk ke dalam hati sanubari<br />

baginda. Maka baginda segera berterus terang. "Hamba


merasa terhina dan menganggap kehormatan kerajaan<br />

Kadiri hanya mungkin dibela dengan mengangkat senjata.<br />

Tetapi mengingat bahwa antara Kadiri dengan Janggala<br />

ada pertautan yang lebih cr.it. maka hamba meminta<br />

nasihat Nenenda yang bijaksana. Apakah yang<br />

sepatutnyaCucunda perbuat sekarang?" Kili Suci<br />

mengangguk-anggukkan kepala. "Jangan terburu nafsu.<br />

Siapkan wadia-bala untuk keperluan lain. Tentang<br />

pemikahan Raden Panji, biar akan Nenenda periksa<br />

sendiri ke Janggala. Sekalian Nenenda hendak<br />

menyambangi cucunda Prabu Jayantaka yang sudah lama<br />

tidak Nenenda jenguk. Nenenda hendak menanyakan<br />

duduknya pcrkara yang lebih jelas. Kelak. kalau scmuanya<br />

sudah terang-bendcrang. pasti Nenenda akan kembali lagi<br />

ke mari." Dan sclesai mcmbicarakan soal-soal yang ocr63<br />

sangkutan dengan kerajaan. Sang Kili Suci bertanya.<br />

"Manakah putrinda Dewi Sekar Taji? Tentu ia sekarang<br />

sudah besar! Sudahkah ia mendengar kabar mengenai<br />

pemikahan Raden Panji? Baiklah hal itu jangan<br />

disampaikan dahulu kepadanya! Tentu akan sedih<br />

hatinya." Setelah menemui dan bercakap-cakap dengan<br />

permaisuri, Dewi Sekar Taji dan saudara-saudaranya yang<br />

lain, sang Kili Suci segera meminta diri. Ia hendak<br />

langsung menuju ke Janggala. Betapa-pun baginda<br />

mencegah. ia memaksa juga pergi. Sang Kili Suci berjalan<br />

ke arah timur laut dengan cepat. Ia maklum akan<br />

pentingnya perkara. la tidak ayal. Hampir dua minggu<br />

kemudian sam-pailah ia ke Kahuripan, ibukota Janggala,<br />

lalu menuju ke keraton. Terkejut sang baginda Jayantaka


demi mendengar persembah tentang kedatangan sang Kili<br />

Suci. Maka bangkitlah baginda buru-buru, mem-buru<br />

menyembah sang pertapa agung itu. "Nenenda! Angin<br />

apakah gerangan yang telah membawa Nenenda ke mari!<br />

Telah lama nian Nenenda tidak datang! Dan hamba sendiri<br />

telah lama pula tidak berkunjung kepada Nenenda,<br />

maklum-lah suasana dalam keraton sangat sibuk, banyak<br />

hal-hal yang meminta perhatian hamba sepenuh hati."<br />

Sang Kili Suci tersenyum Dengan tangan kanan ia<br />

merestui baginda, lalu menyilakannya bangkit. 64 ..Ya,<br />

telah lama nian Nenenda tidak datang kc man.<br />

Bagaimanakah kabar orang^rang d" seluruh Janggala.'<br />

Baik-baik saja?" "Berkat restu Nenenda, kami sekalian<br />

berada dalam sehat, tidak kurang suatu apa." "Dan<br />

bagaimanakah keadaan cicitda Raden Panji? Tentu telah<br />

makin pandai menunggang kuda dan mempermainkan<br />

senjata! Dan Nenenda dengar. ia suka pergi mengunjungi<br />

para petapa. Mengapa ia jarang benar pergi ke Pucangan<br />

akan menemui buyutnya?" "Ampun Nenenda!" sahut<br />

baginda. "Raden Panji memang jarang berada di keraton.<br />

Ia tak je-mu-jemunya mengembara dari petapan yang satu<br />

ke petapan yang lain. Tetapi kini, ia tentu akan me<strong>net</strong>ap di<br />

kaputran, karena ia sekarang telah beristri ..." Sang Kili<br />

Suci pura-pura terkejut. "Beristri? Dengan Dewi Sekar<br />

Tajikah ia nikah? Mengapa dalam pemikahan itu Nenenda<br />

tidak diundang? Bukankah Nenenda turut menyaksi-kan<br />

kedua cucunda tatkala mengadakan perjan-jian<br />

mempertunangkan kedua putra mahkota. Sang baginda<br />

menundukkan wajah. "Ampun Nenenda! Raden Panji


ukannya. men, kah dengan putri malikota Kadiri Dewi<br />

Sekar laji. >¦ "" "Apa? Bukan dengan Dewi Sekar Taji?<br />

JUto dengan siapa? Bukankah Raden Panj. sudah d.per<br />

65 tunangkan dengan Dewi Sekar Taji sejak masih kecil?<br />

Bukankah hal itu telah dijanjikan Cucunda dengan baginda<br />

Kadiri?** Baginda Jayantaka termenung. Ia menengok-kan<br />

wajahnya ke arah lain, seolah-olah menghin-dari<br />

pandangan Sang Kili Suci yang menatapnya tajam-tajam.<br />

"Sesungguhnya!" sahumya kemudian dengan suara<br />

rendah. "Sesungguhnyalah apa yang Nenenda sabdakan!<br />

Raden Panji telah dipertunangkan sejak masih kecil<br />

dengan Dewi Sekar Taji - putri mahkota Kadiri ..." *Tetapi<br />

ia kini merykah dengan orang Iain? Siapa nama istrinya<br />

itu?** "Dewi Anggraeni," "Dewi Anggraeni! Nama yang<br />

indah! Tentu wajahnya pun jelita, karena niscaya itulah yang<br />

telah menyebabkan Raden Panji memilihnya. Putri<br />

siapakah ia gerangan?" "Dia bukanlah seorang putri raja,<br />

melainkan seorang keturunan biasa saja, yang dijumpai<br />

Raden Panji di sebuah petapan. Raden Panji menikah<br />

dengan Dewi Anggraeni tanpa setahu hamba ..." "Jadi<br />

menikah dengan diam-diam?" "Dengan diam-diam.<br />

Sehingga, ketika hamba mendengar berita mengenai<br />

pemikahan itu, gun-dahlah hati hamba. Hamba teringat<br />

akan perjanji-an dengan Rayinda Prabu Jayawarsya dari<br />

Kadiri. Kalau Rayinda mendengar hal pemikahan ini, 66<br />

tentu murka. Hamba kuatir lantaran m,.^ Rayinda Prabu<br />

Jayawarsya akan Sj^JjJ Sang Kili Suci merenung. Sebagai<br />

seorang yane bijaksana, segera ia mengerti keadaan yang<br />

diha dapi oleh prabu Jayantaka. "Sebenarnya, Cucunda,


Nenenda sekarang datang adalah dalam hubungan<br />

dengan hal itu M sabdanya kemudian. Sang baginda<br />

mengangkat wajah, memandang kepada sang Kili Suci.<br />

"Jadi sesungguhnya Nenenda sudah tahu? Jadi Nenenda<br />

sebenarnya sudah mendengar kabar pemikahan Raden<br />

Panji?" "Demikianlah halnya." "Memang, tak mungkin<br />

disembunyikan lagi. Orang-orang tahu akan perjanjian yang<br />

kami ikat, dan karena itu pemikahan Raden Panji sekarang<br />

juga tentu akan mereka besar-besarkan. Ah, dari siapakah<br />

Nenenda mendengar berita itu?" Berkata sang Kili Suci,<br />

"Dari Prabu Jayawarsya, raja Kadiri." Sang baginda<br />

terkejut bukan buatan "Dari Rayinda Prabu Jayawarsya?<br />

Jadi Rayinda Prabu pun sudah mengetahuinya? Dan<br />

bagaimanakah sikapnya? Murkakah dia? Ah, kalau pun<br />

murka sudah sepatutnya tetapi sesungguhnya "Nenenda<br />

mendengar berita itu dari Prabu 67 Jayawarsya, karena<br />

Nenenda dipanggil menghadap ke Kadiri. Baginda sangat<br />

murka. Bahkan telah dititahkannya untuk memepak wadia<br />

bala, hendak menyerang Janggala. Tetapi Prabu<br />

Jayawarsya, seorang yang berhati luas: baginda ingin<br />

mengetahui bagaimanakah pendirian Cucunda di sini. Lagi<br />

pula berperang antara sesama saudara tidak-Iah terpuji.<br />

Nenenda dikirim ke mari oleh baginda, untuk<br />

mengingatkan Cucunda akan perjanjian yang telah samasama<br />

Cucunda adakan mengenai pertunangan Raden<br />

Panji putra mahkota Janggala dengan Dewi Sekar Taji<br />

putri mahkota Kadiri." "Sungguh luas hati Rayinda Prabu<br />

Jayawarsya!" sahut baginda. "Tetapi lebih bijaksana pula<br />

Nenenda yang telah sudi bercapai-lelah untuk menemui


cucunda berdua." "Tak usah Cucunda berkata seperti itu,"<br />

potong Kili Suci. 'Yang penting sekarang, bagaimanakah<br />

hal pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji?*<br />

"Ampun Nenenda!" sembah sang baginda. "Janji yang<br />

telah diadakan seorang raja adalah ibarat hujan yang<br />

takkan mungkin dikembalikan ke langit yang<br />

menurunkannya. Apa yang sudah menjadi perjanjian antara<br />

Janggala dan Kadiri, tidak menjadi batal." "Tetapi Raden<br />

Panji sudah menikah!" "Raden Panji menikah, bukan<br />

berarti bahwa pcr-tunangannya dengan Dewi Sekar Taji<br />

putus." 68 "Namun pertunangan mesti diakhiri h<br />

pemikahan, Cucunda!" WWun "Maka pertunangan Raden<br />

Panji d Sekar Tajijuga akan diakhiri dengan<br />

pemikahan"Dan bagaimanakah halnya pemikahan Raden<br />

Panji dengan Dewi Anggraeni, Cucunda?" "Pemikahan<br />

Raden Panji dengan Dewi Anggraeni. tidak berarti bahwa<br />

Anggraeni yang akan menjadi permaisuri. Permaisuri<br />

Raden Panji telah ditetapkan: Dewi Sekar Taji, putri<br />

mahkota Kadiri!" Sang Kili Suci mengangguk-anggukkan<br />

kepala. "Sang Prabu Jayawarsya kuatir, kalau pemikahan<br />

Raden Panji dengan Dewi Anggraeni itu dilakukan dengan<br />

sengaja untuk memutuskan pertunangannya dengan Dewi<br />

Sekar Taji. Kalau benar demikian, itu dianggapnya<br />

sebagai penghinaan. Penghinaan akan martabat dan<br />

kehormatan Kadiri." "Pemikahan itu samasekali tidak<br />

dilangsungkan untuk menghina Kadiri ataupun Rayinda<br />

Prabu Jayawarsya." "Sukurlah. Dengan demikian<br />

persoalan menjadi jelas, dan kepada Prabu Jayawarsya<br />

akan Nenenda sampaikan, bahwa pemikahan Raden Panji


dengan Dewi Anggraeni tidak mempengaruhi perjanjian<br />

yang pemah Cucunda berdua adakan dahulu. Raden Panji<br />

akan menikah dengan Dewi Sekar Taji sebagai<br />

permaisuri. Dan cita-cita agung serta luhur untuk<br />

mempersatukan kerajaan di bawah satu 69 tampuk akan<br />

dilaksanakan." "Demikianlah adanya." 'Tetapi Nenenda<br />

lihat sekarang, baik Dewi Sekar Tanji maupun Raden<br />

Panji, kedua-duanya sudah sama-sama dewasa.<br />

Pemikahan sudah patut dilangsungkan. Apakah fagt yang<br />

ditunggu? Apakah lagi yang dinanti?" "Ampun Nenenda.<br />

Hamba melihat bahwa Raden Panji sekarang berat benar<br />

kepada istrinya Dewi Anggraeni. Hamba kuatir, kalau<br />

sekarang juga mereka berdua dipisahkan, akan terbit<br />

akibat yang samasekali tidak kita harapkan. Hamba memohon<br />

kesudian Nenenda, supaya menyampaikan kepada<br />

Rayinda Prabu Jayawarsya, bahwa pemikahan Raden<br />

Panji dengan Dewi Sekar Taji sebaik-nya dilangsungkan<br />

pada hari Legi yang kedua bulan yang pertama tahun yang<br />

akan datang." 'Tahun yang akan datang?" 'Ya saat itu<br />

adalah saat yang sebaik-baiknya buat pemikahan. Dihitung<br />

sejak sekarang, waktu-nya masih kurang lebih empat bulan<br />

lagi." "Empat bulan lagi. Hari Legi yang kedua pada bulan<br />

yang pertama tahun yang akan datang." "Itulah saat<br />

pemikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji yang<br />

hamba anggap sebaik-baiknya. Tetapi pabila Rayinda<br />

Prabu Jayawarsya menganggap saat itu kurang tepat dan<br />

memilih saat yang lam, hamba akan menurut saja."<br />

"Baiklah. Semuanya akan Nenenda sampaikan 70 kepada<br />

Prabu Jayawarsya di Kadiri." Kemudian sang Kili Suci


menemui permaisuri dan cicit-cicitnya akan bercengkrama<br />

dengan mereka. Raden Panji dipanggil, diberitahu tentang<br />

kedatangan buyutnya itu. Maka ia pun datang menghadap<br />

bersama istrinya, Dewi Anggraeni. Tatkala sang Kili Suci<br />

melihat Dewi Angraeni, terkesiaplah ia. Alangkah<br />

cantiknya gadis itu! Tak kalah oleh Dewi Sekar Taji! Dan<br />

lihat, wajahnya yang segar itu bagaikan beiahan pinang<br />

laiknya dengan Dewi Sekar Taji! Alangkah sama<br />

keduanya! Lebih-lebih tatkala melihat tingkah lakunya yang<br />

sopan santun dan sangat penuh hormat* senang benar<br />

sang Kili Suci. Ia mengangguk-anggukkan kepala,<br />

sedangkan dalam hati ia berkata, "Patutlah Raden Panji<br />

memilihnya sebagai istri. Tak salah penglihatannya! Dewi<br />

Anggraeni seorang putri yang jarang bandingannya!*<br />

Tetapi sepatah pun ia tidak berkata tentang Dewi Sekar<br />

Taji di depan Raden Panji. la banyak berbicara dengan<br />

Raden Panji, terutama mengenai agama dan hidup.<br />

Sebagai seorang yang sudah lanjut usianya dan sudah<br />

kenyang bertapa, ia banyak memberi petunjuk dan nasihat.<br />

Dan Raden Panji menyimakkan dengan penuh hidmat<br />

akan segala perkataan sang Kili Suci. Setelah tiga malam<br />

sang Kili Suci beristirahat di dalam keraton Janggala,<br />

maka ia pun meminta diri Dengan hati berat seluruh<br />

keraton melepaskannya 71 pergi. Mereka tahu. orang<br />

sebagai sang Kili Suci takkan merasa bctah tinggal dalam<br />

kesibukan ista-na. Tetapi sang baginda Jayantaka berpikir<br />

lebih jauh: Makin cepat sang Kili Suci menyampaikan<br />

pesannya kepada Rayinda Prabu Jayawarsya, makin<br />

senang hatinya. Ia akan merasa dunia kembali luas dan


hatinya lega. Sang baginda Jayawarsya pun setelah<br />

mendapat penjelasan secara panjang lebar dari sang Kili<br />

Suci. senang hatinya. Amarahnya lenyap, meski ia merasa<br />

tersinggung juga oleh pemikahan Raden Panji itu. namun<br />

lantaran hal itu tidak mempe-ngaruhi perjanjian yang telah<br />

mereka buat ber-sama-sama, hendak dilupakannya saja.<br />

Baginda menyetujui waktu yang telah dipilih oleh Rakanda<br />

Prabu Jayantaka sebagai saat yang sebaik-baiknya untuk<br />

pemikahan putrinda. Setelah semuanya nampak be res,<br />

maka sang Kili Suci meminta diri akan kembali ke<br />

petapan-nya yang tenang, nun di Pucangan. Sia-sia saja<br />

usaha sang baginda untuk menahannya lebih lama. Sang<br />

petapa telah merindukan kedamaian petapan-nya. 72<br />

RADEN PANJI KUDA WANENG PATI Waktu terus berlalu.<br />

Hari telah bergulung menjadi minggu, dan minggu melipat<br />

jadi bulan. Saat yang ditentukan oleh sang baginda Prabu<br />

Jayan-takatunggadewa untuk pemikahan Raden Panji<br />

dengan Dewi Sekar Taji makin mendekat jua. Fnam<br />

minggu menjelang waktu yang ditetapkan. datang utusan<br />

dari Kadiri memperingatkan baginda akan hal itu dan<br />

meminta baginda untuk mengadakan persiapanpersiapan.<br />

Pemikahan akan berlangsung di Kadiri, karena<br />

itu harus ditetapkan kapan Raden Panji mesti dijemput.<br />

Lantaran kedatangan utusan Kadiri itu. sang baginda<br />

Jayantaka segera menitahkan menghadap kepada para<br />

pejabat dan tetua negara. Para utusan ditempatkan di<br />

sebuah pesanggrahan yang baik. sementara menunggu<br />

hasil penindingan. Raden Panji Kuda Waneng Pati<br />

dipanggil dari Peristirahatannya yang mungil dan yang


terlctak agak jauh dari Kahuripan. ibukota Janggala. Dia<br />

hi73 chip tentram di sana bersama dengan istri yang dia<br />

cintai sepenuh hati. Tetapi titah nampak penting, Raden<br />

Panji segera berangkat akan menghadap, sendirian saja.<br />

Dan memang demikian yang dike-hendaki baginda.<br />

Kecuali Raden Panji, para putra baginda yang Iain juga<br />

nampak datang. Tumenggung Braja Nata duduk di barisan<br />

paling depan. Setelah semuanya lengkap menghadap,<br />

maka baginda masuk ke balairung. Dan setelah selesai<br />

menerima sembah, baginda segera membuka<br />

persidangan. "Andika sekalian sekarang diminta datang,<br />

bukan pada waktu yang biasa! Tentu pada diri andika pun<br />

timbul pertanyaan dan sangkaan yang merusuhkan hati<br />

Baiklah, dengan singkat kami terangkan, bahwa andika<br />

sekarang kami titahkan menghadap adalah berhubungan<br />

dengan datang-nya utusan Rayinda sang Prabu<br />

Jayawarsya dari Kadiri. Seperti andika masih ingat, kami<br />

dengan Rayinda Prabu Kadiri telah mengikat suatu<br />

perjanjian, yang didasarkan kepada suatu cita-cita yang<br />

agung, yakni hendak mewujudkan kembali jerih payah<br />

usaha moyang kami sang Airlangga. Kadiri dan Janggala<br />

hendaknya bersatu di bawah suatu tampuk pemerintahan.<br />

Asal kedua kerajaan ini dahulu satu, maka sepatutnya<br />

kalau kelak pun di bawah pemerintahan putra-putra yang<br />

akan datang dari perkawinan yang kami janjikan itu 74<br />

akan bersatu pula. Perjanjian itu dahulu dilaku-kan dengan<br />

mempertunangkan putra mahkota Janggala Raden Panji<br />

Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri Dewi<br />

Sekar Taji. Ketika di-pertunangkan keduanya masih sama-


sama kecil sama-sama kanak-kanak. Tetapi sejak itu<br />

waktu telah berlalu, dan kini keduanya telah dewasa.<br />

Bahkan Raden Panji . . . baginda menoleh ke arah<br />

putranda. Raden Panji duduk bersila menundukkan wajah,<br />

seakan-akan tidak mengetahui arti pandangan ayahanda.<br />

"Raden Panji Kuda Waneng Pati!" seru baginda kemudian<br />

kepada Raden Panji. "Hamba, Gusti!" sahut Raden Panji.<br />

"Kemarin telah datang utusan dari maman-damu di Kadiri<br />

akan menanyakan pemikahan Ananda dengan Dewi Sekar<br />

Taji. Dahulu kami telah menjanjikan kepada mamandamu<br />

itu, bahwa pemikahan akan berlangsung pada hari Legi<br />

kedua bulan pertama tahun yang akan datang. Sekarang<br />

tinggal enam minggu lagi. Waktunya telah dekat. Utusan<br />

dari mamandamu menanyakan ka-pan engkau bisa<br />

dijemput, karena pemikahan hendak dilangsungkan di<br />

Kadiri!" Raden Panji Kuda Waneng Pati menghaturkan<br />

sembah, "Ampun Gusti, tetapi hamba telah bens-tri . . . "<br />

"Kami tahu, engkau telah beristri dengan Dewi 75<br />

Anggraeni, tetapi ia bukanlah jodohmu yang se-timpai!"<br />

sabda baginda. "Ampun Gusti, tetapi Gusti telah merestui<br />

pemikahan kami," sembah Raden Panji Kuda Waneng<br />

Pari. "Pemikahan dengan Dewi Anggraeni kaulakukan<br />

secara diam-diam, tak setahu kami. Hal itu telah<br />

menunjukkan bahwa dalam dirimu pun tumbuh kesadaran,<br />

bahwa perbuatan seperti itu adalah suatu kekeliruan, suatu<br />

kesalahan. Namun kami restui juga pemikahan engkau<br />

berdua, karena ketika itu kami melihat, bahwa nafsumu tak<br />

mungkin dipadamkan. Kini waktu telah berlalu, nafsu tentu<br />

sudah mengendur, dan sepatutnya engkau teringat akan


kewajibanmu terhadap tunangannmu Dewi Sekar Taji."<br />

"Yang menyebabkan hamba menikah dengan Dewi<br />

Anggraeni, sekali-kali bukan nafsu, Gusti. Adalah cinta<br />

yang suci serta luhur yang menyebabkan hamba berani<br />

menempuh hal yang Gusti anggap kekeliruan ..." Sang<br />

baginda mendengus. "Cinta yang suci! Cinta yang luhur!"<br />

terdengar baginda tertawa meleceh. "Raden Panji Kuda<br />

Waneng Pati!" "Ampun Gusti!" sahut Raden Panji. "Kau<br />

berbicara dengan ayahmu, tak usah kau mengajan ayahmu<br />

tentang cinta suci atau tak suci. Yang pentrng sekarang kita<br />

bicarakan ialah per76 nikahanmu dengan Dewi Sekar Taji.<br />

Kau telah di pertunangkan dengan dia sejak masih kanak<br />

kanak, kini tiba saatnya pertunangan diakhiri dengan<br />

pemikahan!" "Ampun Gusti! Tetapi pertunangan itu diadakan<br />

tanpa persetujuan dan pengetahuan hamba . "Kau pun<br />

menikah dengan Dewi Anggraeni tanpa sepengetahuan<br />

dan persetujuan kami!" "Tetapi hambalah yang menikah.<br />

Hamba yang mengalami pahit manis serta suka-dukanya.<br />

Hamba sendiri. Ampun Gusti." "Raden Panji Kuda Waneng<br />

Pati!" "Daulat Gusti!" "Dengan singkat, maukah kau<br />

menikah dengan Dewi Sekar Taji?" "Ampun Gusti! Hamba<br />

sudah beristri!" "Dewi Anggraeni bukan seorang keturunan<br />

raja, la boleh terus menjadi istrimu. tetapi Dewi Sekar Taji<br />

yang kelak akan menjadi permaisuri!" "Ampun Gusti! Dewi<br />

Anggraeni mesti mendu-duki tempat kedua? Sebagai<br />

selir? Sebagai istri kedua? Dewi Anggraeni adalah cinta<br />

hamba, hidup hamba. Hamba tidak sanggup<br />

menempatkannya di samping orang lain. Jangankan pula<br />

menempatkannya scsudah orang lain, la ...1 "Jadi


kendatipun hanya menggeser kedudukannya saja, engkau<br />

menolak." "Ampun Gusti!" 77 Baginda murka, nampak<br />

jelas dari wajahnya yang menjadi muram dan membesi<br />

terbakar, sedangkan giginya nampak digigitkan erat-erat.<br />

Tangannya memukul-mukul paha kanan. "Raden Panji!"<br />

"Daulat Gusti." "Selama ini. engkau tidak pemah menunjukkan<br />

kelakuan yang kurang sopan. Engkau seorang anak<br />

yang baik, yang senantiasa mengikuti segala perkataan<br />

orangtuamu. Tetapi, ya, memang sejak masih kecil, sudah<br />

kusaksikan sifatmu yang manja. Kau seorang yang sangat<br />

manja. Kau ingin supaya segala kehendakmu teriaksana.<br />

Engkau terlalu menurutkan hatimu sendiri. Engkau sibuk<br />

dengan dirimu sendiri yang sempit, karena yang<br />

senantiasa engkau pikir dan perhatikan hanyalah dunia kecilmu,<br />

yang penuh dengan kehendak-kehendak<br />

perseorangan yang serakah. Engkau sedikit pun tidak<br />

menaruh perhatian kepada masalah yang lebih besar.<br />

Engkau tidak mau memperhatikan masalah orang lain!<br />

Engkau tidak suka. Engkau enggan! Karena kalau pun<br />

engkau memperhatikan orang lain, hanyalah dari segi-segi<br />

kepenting-an dirimu sendiri yang sempit." Kemudian<br />

baginda melanjutkan pula, "Sekarang segala yang dahulu<br />

kami kuatirkan terjadi. Engkau bersitahan dengan dirimu,<br />

engkau tidak mau me-lepaskan istrimu, karena kauanggap<br />

itu akan me-ngurangi kebahagiaanmu. Namun, sececah<br />

pun ti78 dak pemah kauperhatikan kebahagiaan orang lain<br />

kebahagiaan manusia yang menjadi kawula dalam dua<br />

buah kerajaan!" a Qalam Raden Panji tidak menyahut.<br />

"Raden Panji! Tidakkah kausadari, bahwa per-nikahanmu


dengan Dewi Sekar Taji akan membawa dua buah<br />

kerajaan ke dalam gerbang kebahagiaan?" "Ampun Gusti,<br />

bagi hamba kerajaan adalah sesuatu yang tidak jelas.<br />

Apakah artinya kerajaan, karena hamba sendiri pun bagian<br />

yang tak terpi-sahkan dari kerajaan Janggala!" "Kerajaan<br />

adalah segala sesuatu yang hidup di dalamnya. Kerajaan<br />

bukanlah batas-batas, bukanlah sungai-sungai, bukanlah<br />

gunung-gunung, tetapi manusia-manusia yang menjadi<br />

kawulanya. Ma-nusia-manusia itu yang mesti kaulihat.<br />

Manusia-manusia yang sama seperti engkau, seperti<br />

istrimu, yang sama-sama merindukan kebahagiaan dalam<br />

hidupnya." 'Tetapi apakah benar kebahagiaan mereka itu<br />

tergantung dari ketidakbahagiaan hamba, ampun Gusti?"<br />

"Ketidakbahagiaanmu? Nyatalah, nyata bahwa engkau<br />

selalu melihat sesuatu dari dirimu yang sempit, yang picik,<br />

yang serakah. Engkau menye-butnya ketidakbahagiaan,<br />

padahal sesungguhnya pengurbanan. Dan sebagai<br />

seorang putra mahkota yang kelak memangku takhta<br />

kerajaan, engkau mesti menganggap bahwa pengurbanan<br />

yang kau79 berikan untuk kebahagiaan kawula negara dan<br />

untuk kemanusiaan umumnya, adalah satu-satunya<br />

kebahagiaan. Makin besar pengurbanan yang kauberikan,<br />

makin besar kebahagiaan yang kau-dapat. Karena,<br />

kebahagiaan seorang raja adalah kalau ia telah bisa<br />

meleburkan diri beserta kepen-tingan-kepentingannya<br />

yang sempit untuk kebahagiaan kawula serta manusia<br />

yang mulia.'1 "Ampun Gusti, tetapi benarkah kawula kedua<br />

buah negara akan lebih merasa berbahagia di bawah<br />

pemerintahan satu mahkota daripada terpecah dalam dua


mahkota?" "Raden Panji! Tak usah engkau mencari-cari<br />

persembunyian dalam silat lidah yang pintar.Yang kami<br />

minta bukanlah kepintaranmu berkata, melainkan<br />

kesediaanmu mengurbankan kepen-tingan dirimu sendiri<br />

yang sempit demi kebahagiaan kerajaan, untuk mencapai<br />

cita-cita yang luhur. Cita-cita yang hendak mewujudkan<br />

kembali usaha moyangmu sang Airlangga!" "Namun,<br />

bahkan sang Airlangga sendiri tidak berdaya, pada akhir<br />

hayatnya baginda terpaksa membagi dua kerajaan ..."<br />

"Itulah yang hendak kita persatukan kembali!" "Empu<br />

Bharada telah membuatkan batas dan ia seorang yang<br />

sakti." "Kita akan melenyapkan kesaktian Empu Bharada.<br />

Kita hendak menghapuskan batas yang dia bikin." 80 -<br />

Ampun Gusti, mengapa justru hamba yanR dUadikan<br />

kurban dalam usaha hendak menV-puskan kesaktian<br />

Empu Bharada- Mengapa hambi yang mesti membenkan<br />

pengurbanan sebesaruV" "Tidak ada yang besar. kalau<br />

kau telah sampai dalam arti Besar yang sesungguhnya.<br />

Tak ada yang berat untuk dilakukan, kalau kau mengerti<br />

ujud Berat yang sesungguhnya. Besar dan berat hanyalah<br />

ukuran yang dibuat oleh manusia berdasarkan<br />

perasaannya yang sempit itu. Kalau kau melihat-nya dari<br />

keluasan pandangan, dari kepentingan umat manusia yang<br />

banyak, maka semuanya menjadi kecil dan tak berarti.<br />

Engkau, Raden Panji, seorang yang sudah kenyang<br />

berguru dan bertapa. tentu akan mengerti tujuan hidupmu<br />

yang benar.. ¦ ¦ "Ampun Gusti, dalam hidup hamba yang<br />

sing-kat, sering kegelapan menutup selumh pandangan.<br />

Meraba-raba hamba terantuk-antuk mencari jalan. Tak ada


cahaya yang memberi petunjuk. Alam buana bagaikan tak<br />

bennatahari. Hingga .. hingga sampai pertemuan hamba<br />

dengan Dewi Anggraeni. Dialah yang memberi hamba<br />

sinar. Dialah yang menjadi pelita, yang menjadi bintang,<br />

yang menjadi bulan, yang menjadi matahari dalam hidup<br />

hamba. Karena itu, bagaimana mungkin hamba menyisihkannya?<br />

Bagaimana mungkin hamba menggeser-nya?"<br />

"Tetapi Raden Panji engkau seorang putera 81 mahkota.<br />

yang berhak atas takhta kerajaan Janggala. tujuan hidupmu<br />

tidaklah hanya sampai ke pangkuan Dewi Anggraeni<br />

belaka!" "Ampun Gusti!" "Sanggupkah engkau<br />

menghilangkan dirimu sendiri demi kepentingan<br />

kebahagiaan kawula dua buah kerajaan* Sangguplah<br />

engkau mclenyapkan dirimu dan cintaimi pada Dewi<br />

Anggraeni untuk kebahagiaan manusia lain yang banyak<br />

dan untuk kcmanusiaan? Sanggupkah engkau meleburkan<br />

dirimu sendiri demi kepentingan cita-cita yang agung serta<br />

luhur dan suci? Sanggupkah engkau?" "Ampun Gusti.<br />

unmk menyisihkan Dewi Anggraeni hamba . . . hamba<br />

tidak sanggup." sahut Raden Panji Kuda Waneng Pati.<br />

Sang baginda makin geram, Dari matanya bagaikan<br />

berpancaran lelatu-lelatu api. Suasana dalam balairung<br />

sangat tegang. Tak seorang pun yang berani mengangkat<br />

muka. Mereka semua menunduk. Mereka mendengarkan<br />

dengan diam-diam percakapan antara raja dengan putra<br />

mahkota. Tetapi tatkala menyaksikan bahwa suasana<br />

sudah sampai ke puncak. patih Prasanta yang tua. yang<br />

sejak masih muda menghambakan diri kepada baginda<br />

Jayantakatunggadewa dan menjadi salah seorang patih


kepercayaan. dan menjadi salah seorang guru putra<br />

mahkota, segera menghaturkan sembah. 82 "Ampun Gusti,<br />

perkenankan hamba mi-n.K ^rican sembah sepatah dua."<br />

mcn8h* Sang baginda menolehkan wajahnya ke arah<br />

sumber suara. "Kakang Prasanta!" tegumya. "Bicaralah'"<br />

"Ampun gusti, perkenankan hamba berbicara kepada<br />

Raden Panji. "Baiklah, Kakang! Berbicaralah kepadanya"<br />

Patih Prasanta mengarahkan mukanya kepada Raden<br />

Panji, kemudian ia bicara dengan suara yang tenang.<br />

"Raden, istri Raden Dewi Anggraeni adalah seorang yang<br />

luas pandangannya. Ia tentu mengerti akan pentingnya<br />

pertunangan Raden dengan Dewi Sekar Taji dilanjutkan<br />

dengan pemikahan. Ia tentu akan dengan rela memberikan<br />

kedudukan-nya di samping Raden kepada Dewi Sekar Taji<br />

yang memang lebih berhak ..." Raden Panji menolehkan<br />

wajahnya. "Mamanda Patih Prasanta, Dewi Anggraeni<br />

seorang yang luas pandangannya, memang! Memang tak<br />

mustahil ia akan dengan rela memberikan tempatnya<br />

kepada Dewi Sekar Taji. Tetapi hamba tidak mungkin<br />

menipu diri hamba sendiri. Hamba tidak bisa membohongi<br />

diri hamba sendiri: hamba tidak mau menyisihkan cinta<br />

hamba, tidak mau menggesernya untuk orang lain!"<br />

"Raden, tetapi kalau Raden menikah dengan Dewi Sekar<br />

Taji itu bukan berarti bahwa Raden 83 menyisihkan atau<br />

mcnggcscr cinta Raden. Raden hanya mcmenuhi<br />

kewajiban Raden sebagai seorang satria yang sadar akan<br />

tanggungjawabnya. Raden seorang putra mahkota. Putra<br />

mahkota kerajaan Janggala yang jaya." "Hamba tidak<br />

peduli. Mamanda Patih! Hamba tidak ingin menjadi


seorang satria, seorang putra mahkota! Mengapa hamba<br />

tidak boleh hidup sebagai seorang manusia biasa. yang<br />

boleh mengecap kebahagiaan hidupnya secara sesuka<br />

hatinya, menurut pilihan hatinya sendiri?" "Karena<br />

kebahagiaan seorang putra mahkota atau seorang raja,<br />

bukanlah dalam mengjkuti kehendak hatinya. tetapi dalam<br />

pengabdiannya kepada kerajaan dan kawulanya." "Hamba<br />

tidak menemui kebahagiaan dalam hidup seperti itu.<br />

Mamanda Patih. Hamba tidak ingin hidup seperti itu.<br />

Hamba tidak peduli apakah hamba seorang putra mahkota<br />

atau bukan, seorang pangeran ataupun bukan. Ambillah<br />

kedu-dukan putra mahkota itu, tetapi jangan usik Dewi<br />

Anggraeni dari samping hamba!" "Raden Panji Kuda<br />

Waneng Pati!" teriak baginda tatkala mendengar<br />

perkataan putranda yang terakhir. bahRaden Pan* ^rkejut,<br />

segera menghaturkan sem-"Daulat Gusti!" "Engkau<br />

berbicara seperti orang yang tidak wa84 ^ . . . baginda<br />

tertegun, merasa terlanh,, w ^i»-tnya ten>otong. lalu men c,"<br />

ada patih Prasanta. 'Kakang Prasanta'" 1 d "Daulat Gusti!"<br />

"Sudahlah! Tak ada gunanya Kakang berbicara pula.<br />

Raden Panji memang sudah tak mau ber pisah dengan<br />

Dewi Anggraeni. Selama ada Dewi Anggraeni. agaknya<br />

Raden Panji takkan sudi memikirkan hal yang lain kecuali<br />

cintanya itu saja. Karena itu . . . ," baginda tcrmenung<br />

sejenak, baru kemudian melanjutkan dengan suara yang<br />

berubah. "biarlah! Tak usahlah hal itu kita bica-rakan lagi.<br />

Raden Panji, bukankah engkau merasa berat menikah<br />

dengan Dewi Sekar Taji lantaran di sampingmu ada Dewi<br />

Anggraeni yang kaucintai sepenuh hati?" "Daulat Gusti,


demikianlah adanya." Baginda merenung ke kejauhan.<br />

Meskipun berbicara dengan Raden Panji, baginda tak<br />

melihat ke arah putranda. Suasana dalam balairung<br />

tegang. Orang-orang merasa heran lantaran mendengar<br />

suara baginda yang berubah, rendah dan seolah-olah tidak<br />

menyala-nyala lantaran amarah seperti tadi, namun<br />

terdengar-dengar gemetar, gugup dan gelisah. Setelah<br />

sejenak hening, baginda bersabda pula. dengan suaranya<br />

yang gemetar serta gugup itu, "Raden Panji! Kami hargai<br />

kebesaran cintamu kepada istrimu Dewi Anggraeni. Cinta<br />

yang kause85 but cinta suci. Cinta yang telah<br />

menyebabkan engkau rela kendati melepaskan<br />

kedudukanmu sebagai putra mahkota!" "Daulat Gusti,"<br />

sembah Raden Panji dengan suara setengah berbisik.<br />

"Dewi Sekar Taji tak mungkin kaunikahi karena di<br />

sampingmu ada Dewi Anggraeni, bukan?" "Daulat Gusti."<br />

Baginda mcnghela nafas pula. Matanya redup memandang<br />

ke kejauhan. Dan wajahnya bagaikan berk eras hati<br />

hendak mengambil keputusan yang sangat berat namun<br />

terpaksa. "Tetapi. Raden Panji. engkau pun tahu. pertunanganmu<br />

dengan Dewi Sekar Taji telah dires-mikan.<br />

Perjanjian telah diadakan antara dua kerajaan." Raden<br />

Panji tidak menyahut, hanya menghaturkan sembah. tanda<br />

ia mengetahui apa yang di-sabdakan baginda. Suara<br />

baginda tiba-tiba berubah. memaksakan diri supaya tegas<br />

dan hendak mengambil keputusan, kemudian bersabda<br />

dengan suara yang angker lagi. "Raden Panji, engkau<br />

masih ingat. beberapa waktu yang lalu sang Kili Suci<br />

datang mengun-jungi kita, bukan?" "Daulat Gusti." "Tetapi


engkau barangkali tidak tahu, bahwa kedatangan sang Kili<br />

Suci itu adalah bersangkutan 86 dengan pemikahanmu<br />

dengan Dewi Sekar Tail -"Ampun Gusti, hamba tidak tahu "<br />

karena sekarang kau telah pasli dak menikah dengan<br />

Dew, Sekar Taji selama Dewi Anggraeni ada di<br />

sampingmu. maka kami titahkan sang samengkau<br />

sekarang juga menghadap kepada Kill Suci. Sampaikan<br />

halmu kepadanya dan paikan takzim serta sembah kami."<br />

Raden Panji bingung.- Ia sia-sia mengikuti arah<br />

pembicaraan ramanda. Ia tidak mengerti arah percakapan<br />

ramanda. Tetapi dengan disebutnya sang Kili Suci, hatinya<br />

terbuka. Sang pertapa yang arif itu tentu maklum akan<br />

cintanya yang besar kepada Dewi Anggraeni. Sang<br />

pertapa itu tentu akan menolongnya. "Daulat Gusti,"<br />

sembahnya dengan suara sarat harap. "Nah, berangkatlah<br />

engkau sekarang jua ke Pucangan. Sampaikan semuanya.<br />

Dan mintalah engkau nasihat sang Kili Suci, entah<br />

bagaimana nasihatnya untuk memecahkan halmu itu."<br />

"Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi dengan<br />

demikian, apakah persoalan pemikahan telah dianggap<br />

selesai?" Baginda melengos. "Kami menitahkanmu ke<br />

Pucangan, untuk meminta nasihat sang Kili Suci mengenai<br />

hal ini. Mudah-mudahan ia menunjukkanmu jalan yang<br />

sebaik-baiknya ditempuh. Mudah-mudahan iamak87 lum<br />

akan keadaan dan kehendakmu dan memberi-mu petunjuk<br />

ke jalan yang benar. Berangkatlah segera." "Hamba akan<br />

berangkat sekarang juga, tetapi perkenankan sebelum<br />

langsung menuju ke Pucangan, hamba pulang dahulu akan<br />

mengabarkan keberangkatan hamba kepada istri hamba


Dewi Anggraeni." "Mengingat bahwa persoalan ini penting,<br />

dan kepada utusan dari Kadiri yang sekarang sedang<br />

menanti keputusan, kita mesti memberi jawaban secepat<br />

mungkin, kutitahkan engkau langsung menuju ke<br />

Pucangan. Makin cepat makin baik. Mengenai istrimu, tak<br />

usah kau merasa kuatir. Keberangkatanmu akan<br />

dikabarkan juga kepadanya oleh salah seorang<br />

saudaramu." "Ampun Gusti, titah hamba junjung. Tetapi<br />

perkenankan hamba meminta kawan buat di jalan." "Tentu,<br />

tentu engkau mesti berkawan. Baiklah Kakang Prasanta,<br />

Kakang kawani Raden Panji Kuda Waneng Pati ke<br />

Pucangan. Kalau masih perlu, bawa beberapa orang<br />

ponggawa. Pilihlah sesuka-mu." "Titah hamba junjung,"<br />

sahut Patih Prasanta sambil menghaturkan sembah.<br />

"Ponggawa akan hamba pilih beberapa orang, mengingat<br />

sekarang musim hujan, jalan ke Pucangan tentu licin. Para<br />

ponggawa akan membawa kuda cadangan." 88<br />

"Sesukamu, Kakang. Persiapan dan dctspH" buat bekal di<br />

jalan, kami percayakan kepi?!? kang- Berangkatlah<br />

sekarang juga." "Daulat Gusti." "Raden Panji." "Ampun<br />

Gusti." "Ingat, engkau mesti langsung menuju ke Pucangan,<br />

jangan membelok atau singgah ke tempat lain dahulu."<br />

"Ampun Gusti, hal itu akan hamba ingatkan." "Sekarang<br />

berangkatlah segera." "Hamba minta diri, mengharapkan<br />

restu Gusti selama dalam perjalanan." "Perjalalananmu<br />

untuk kepentingan kerajaan, menyangga titah raja, kami<br />

restui." Setelah menghaturkan sembah, Raden Panji bersama<br />

Patih Prasanta segera mengundurkan diri dari<br />

balairung. Sejenak di bagian belakang bala-irung


terdengar hiruk-pikuk. Beberapa nama ponggawa disebut,<br />

akan dibawa ke Pucangan, menga-wani putra mahkota<br />

yang hendak mengunjungi sang Kili Suci. Persiapanpersiapan<br />

segera diada-kan, kemudian terdengar suara<br />

ringkik kuda yang makin lama makin menjauh. Sementara<br />

terjadi kesibukan itu, sang baginda duduk di atas<br />

singgasana, dengan kepala tertunduk, kening berkerut.<br />

Dari wajahnya nampak seolah-olah telah mengambil suatu<br />

keputusan yang berat, lelah dan payah. Nafasnya turunnaik,<br />

keh8" hatan dari gerakan-gerakan teratur<br />

punggungnya. Suasana dalam balairung hening. Tak<br />

seorang pun berani mengganggu baginda yang kelihatan<br />

sedang asyik berpikir. Akhirnya baginda mengangkat<br />

kepala. Wajahnya nampak keruh seolah hatinya dibebani<br />

sebuah gunung. Sebelum bersabda. terlebih dahulu<br />

baginda mengusap wajahnya dengan kedua belah telapak<br />

tangan. "Tumenggung Braja Nata!" sabdanya kemudian.<br />

"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan hati<br />

kebat-kebit, terpengaruh oleh suasana yang menekan,<br />

suaranya perlahan. "Tumenggung Braja Nata!" baginda<br />

mengulangi sabdanya dengan suara naik tiba-tiba. "Daulat<br />

Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan suara lebih<br />

keras. "Patik menanti titah Gusti." Sejenak baginda melihat<br />

ke arah Tumenggung Braja Nata, tetapi kemudian segera<br />

mengalihkan pandangannya pula ke kejauhan. "Engkau<br />

sejak tadi memperhatikan apa yang terjadi di sini, bukan?<br />

Engkau memperhatikan-nya?" "Daulat Gusti!" "Engkau<br />

mengerti apa sebabnya maka Raden Panji kuritahkan ke<br />

Pucangan?" "Ampun Gusti, untuk menemui sang Kili Suci!"


90 Baginda tertawa hambar. -Tidak! Bukan itu maksudku<br />

yan„ . nya. Titahku agar dia menghada'p k^adaTan, Kili<br />

Suci hanya agar mempermudah maksud y2<br />

sesungguhnya^ Tahukah kau apa maksudku yane<br />

sesungguhnya?' ydng "Ampun Gusti, hamba kurang tahu."<br />

"Titah kami kepada Raden Panji hanya mempermudah<br />

jalan untuk maksud yang sesungguhnya . . . baginda<br />

berhenti sejenak. "Dan maksud yang sesungguhnya itu<br />

akan kami bebankan di atas bahumu." "Ampun Gusti, bagi<br />

hamba belum jelas juga titah itu. Selama hayat dikandung<br />

badan, hamba akan berusaha melaksanakan segala titah<br />

gusti, meski mesti menempuh lautan api ataupun gunung<br />

braja." Baginda menghela nafas. "Demikianlah hendaknya<br />

semangat seorang satria. Satria Janggala yang tahu akan<br />

kewajibannya," baginda bersabda pula. "Tetapi tugasmu<br />

bukanlah menempuh lautan api ataupun menerjang gunung<br />

braja, melainkan ..." baginda berhenti pula sejenak. "Tidak,<br />

bukan itu titah yang akan kami bebankan kepadamu,<br />

melainkan . . . sang baginda menghunus keris yang<br />

tersandang. Baginda mengamati matanya yang tajam dan<br />

ukiran-ukiran nya yang indah. "Tumenggung Braja Nata.<br />

kau-lihatkah keris ini tclanjang, tak bersanmg?" 91<br />

Tumenggung Braja Nata tidak mengerti makna pertanyaan<br />

ayahanda, tetapi ia menyahut juga, "Daulat Gusti." "Keris<br />

ini keris pusaka, yang selalu dipakai oleh setiap raja<br />

Janggala. Dari Nenenda ia hirun kepada Ayahanda dan<br />

sekarang ia ada pada kami. Umumya sudah tua. Tetapi ia<br />

masih indah dan masih baik. Jarang empu yang pandai<br />

membuat keris sebagus ini," lalu baginda menjentikkan


telunjuknya kepada ujung keris, bunyinya nya-ring "cringcring-cring<br />

1 menggema di seluruh ba-lairung yang seperti<br />

mati. Orang-orang dengan heran mengawasi kelakuan raja<br />

mereka dengan diam. Mata mereka terbuka lebar, kuatir<br />

sesuatu terjadi tanpa mereka saksikan. "Dengar, suaranya<br />

sangat nyaring. Sungguh keris yang jarang tanding-nya!<br />

Hmmmh. ia kini telanjang, tak bersarung, perlu mendapat<br />

sarung baru!" Kemudian baginda menatap Tumenggung<br />

Braja Nata. "Tumenggung Braja Nata! Kepadamulah tugas<br />

untuk memberi sarung bam keris ini terpikul!" Tumenggung<br />

Braja Nata tidak mengerti akan ujud perkataan baginda.<br />

Tadi baginda akan meni-tahkannya melaksanakan titah<br />

yang berat, tetapi temyata titah itu cuma mencari sarung<br />

baru buat keris pusaka! Meskipun keris itu keris pusaka,<br />

namun perkara itu agaknya tidak begitu penting kalau<br />

mengingat soal yang sejak tadi dibicarakan. Ia tidak<br />

mengerti. Ia samasekali tidak mengerti. 92 Tetapi menolak<br />

titah ia pun tidak berani -Daulat Gusti, titah hamba junjung<br />

di atas hah. kepala patik," sembahnya. Bmatasbatu •'Kami<br />

ingin agar segera dilaksanakan* Sekarano juga!" sabda<br />

baginda tegas. "Daulat Gusti," sahut Tumenggung Braja<br />

Nata •Tetapi empu manakah yang berkenan dengan hati<br />

Gusti untuk memberi sarung bam buat keris pusaka<br />

kerajaan Janggala itu?" Baginda menatap Tumenggung<br />

Braja Nata. "Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda keras-keras.<br />

"Daulat Gusti!" "Bukankah engkau tadi<br />

mendengarkan apa yang kami sabdakan dalam balairung<br />

ini? Bukankah engkau tadi mendengarkan percakapan<br />

kami dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati mengenai


pemikahannya dengan Dewi Sekar Taji?" "Daulat Gusti!"<br />

"Engkau mengerti?" "Hamba, ham . . . hamba mengerti,<br />

Gusti!" "Nan, kalau engkau mengerti, maka pergilah<br />

engkau sekarang mencari sarung bam buat keris pusaka<br />

kerajaan Janggala ini! Demi kelangsungan cita-cita luhur<br />

sang Airlangga! Berangkatlah sekarang juga!" "Ampun<br />

Gusti, tetapi bagaimanakah bentuk sarung baru yang Gusti<br />

kehendaki, seperti yang lama sajakah atau . .. ?" 93<br />

'Tumenggung Braja Nata!" potong sang baginda. "Daulat<br />

Gusti!" "Benar-benarkah engkau mengerti akan maksud<br />

kami? Benar-benarkah engkau menyimakkan segala<br />

sabda kami kepada Raden Panji? Benar-benarkah engkau<br />

mengerti akan segala apa yang kaudengar tadi di sini?"<br />

"Daulat Gusti!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tak<br />

mengerti. "Kau sadar akan arti persatuan Janggala dan<br />

Kadiri untuk mewujudkan cita-cita agung mo-yangmu sang<br />

Airlangga?" "Daulat Gusti." "Satu-satunya jalan mencapai<br />

cita-cita yang agung itu adalah dengan menikahkan Raden<br />

Panji Kuda Waneng Pati dengan putri mahkota Kadiri<br />

Dewi Sekar Taji. Kau mengerti?" "Hamba. Gusti." 'Tetapi<br />

untuk sampai pada pemikahan itu ada rintangan. Raden<br />

Panji Kuda Waneng Pati tidak mungkin menikah dengan<br />

Dewi Sekar Taji kalau di sampingnya ada istri yang sangat<br />

dicintai-nya, Dewi Anggraeni. Rintangan mesti dihilangkan,<br />

supaya jalan menuju cita-cita yang luhur serta agung tidak<br />

terganggu. Pada pundakmulah kami bebankan tugas untuk<br />

menghilangkan rintangan itu. Terimalah keris pusaka yang<br />

tidak bersarung mi! Dengan keris pusaka ini kau mesti<br />

mcnghi94 |angkan rintangan satu-satunya yang menghalan*


kita mencapai tujuan yang mulia, cita-cita yane tinggi-<br />

Sarung kens ini tak mungkin kaucari pada empu siapa pun<br />

juga, betapa pun pandainya ia bertukang. Ia mesti kau beri<br />

sarung dalam diri orang yang menjadi rintangan bagi<br />

tercapainya cita-cita yang agung!" Sehabis berkata-kata<br />

itu. baginda terduduk di atas kursinya. Giginya tergigit<br />

keras. seolah-olah menguat-nguatkan hati. Kelihatan<br />

baginda sangat lesu dan letih. Keringat bermanik-manik di<br />

dahi-nya. Tumenggung Braja Nata juga terhenyak. la<br />

mengerti kini ujud titah baginda. Dewi Anggraeni! Dewi<br />

Anggraeni! Dewi Anggraenilah sarung bam keris pusaka<br />

yang dimaksudkan ayahanda! Dewi Anggraeni menjadi<br />

penghalang tercapainya cita-cita baginda untuk<br />

mempersatukan Janggala dengan Kadiri! Dan penghalang<br />

itulah yang mesti dimusnahkan! Jalan mesti direntas dari<br />

segala penghalang! Jalan mencapai cita-cita mesti luas<br />

dan lurus! Dan ia, ia, ia, Tumenggung Braja Nata<br />

mendapat tugas untuk merentas jalan itu! Untuk<br />

menghilangkan segala penghalang! Untuk mele-nyapkan<br />

segala rintangan! Untuk untuk - untuk menjadikan Dewi<br />

Anggraeni sanmg bam bagi keris pusaka Janggala! Ia! Ia<br />

mesti melakukan tugas itu! la bukan harus menerjang<br />

lautan api atau mengalahkan sebuah kerajaan! Ia bukan<br />

dititah95 kan menenang gunung braja atau mcnumpas<br />

pcm-berontakan! la bukan dititahkan mcngeringkan segara<br />

atau merebut sebuah negara buat memper-luas daerah!<br />

Tidak! Ia hanya dititahkan untuk menghapuskan Dewi<br />

Anggraeni! Dewi Anggraeni! Ia tahu. Dewi Anggraeni istri<br />

saudaranya. Raden Panji Kuda Waneng Pati. seorang


yang cantik. halus, lemah lembut. sopan. ibarat sebuah<br />

bunga! Mengapa ayahanda tidak menitahkannya mengalahkan<br />

seekor maean yanggalak. melainkan mema-tahkan<br />

setangkai bunga yang sedang kembang? Dewi Anggraeni<br />

bagaikan selitik embun yang bersih. yang dengan<br />

mcnyentuh pel an-pel an daun tempatnya memercik akan<br />

jatuh ke muka bumi. Mengapa ayahanda menitahkannya<br />

untuk nienja-tuhkan embun yang cerlang ditimpa matahari<br />

pagi itu dan tidak menitahkannya saja memben-dung kali<br />

Brantasyang besar? Ah. Dewi Anggraeni. Dewi<br />

Anggraeni... Tumenggung Braja Nata merasa tubuhnya<br />

meng-gigil. Hatinya menjadi lemah dan jantungnya seakan-akan<br />

berhenti berdenyut. la merasakan seluruh sendisendinya<br />

lesu tak bertenaga. Bahkan selumh tubuhnya<br />

terasa tak berdaya. tak berke-kuatan. hanya seonggok<br />

beban yang memberati jiwa. "Tumenggung Braja Nata!"<br />

titah baginda pula. Dengan tangan yang menggigil,<br />

Tumenggung Braja Nata menghaturkan sembah. suaranya<br />

pun 96 gemetar. "Daulat Gusti!" ••Mengertikah kau<br />

sekarang? Tahukah kau v karang akan tugas yang kami<br />

bebankan di Z bahumu: "Da . . .daulat Gusti! Hamba ...<br />

ham ... hamba mengerti." Baginda memberi titah pula.<br />

"Sekarang kau telah mengerti akan tugasmu. Maka<br />

lakukanlah sekarang apa yang telah kaumengerti itu."<br />

"Tetapi . . . tetapi. Gusti. ham . .. hamba ..." "Tumenggung<br />

Braja Nata! F.ngkau seorang satria! Seorang satria<br />

Janggala yang perwira! Fng-kau akan menjadi contoh bagi<br />

sekalian satria Janggala! Keperwiraanmu akan menjadi<br />

teladan. Untuk mencapai cita-cita yang agung, yang hasil-


nya akan membawa kawula kerajaan. manusia. ke<br />

gerbang kebahagiaan, engkau mesti berani<br />

menghancurkan dirimu, perasaan-perasaanmu sendiri<br />

yang sempit, melenyapkannya buat kepentingan<br />

kebahagiaan umat manusia yang banyak! Engkau mesti<br />

berani menghilangkan dirimu yang kecil. yang tak berarti<br />

beserta lingkunganmu yang juga sempit! Engkau seorang<br />

satria, engkau sejak kecil telah membaca kitab<br />

Mahabharata yang suci. Engkau telah menyimakkan<br />

Bhagawad Gita, petua-petua Batara Kresna terhadap<br />

Arjuna yang ragu Demikianlah keadaanmu sekarang!<br />

Engkau adalah Arjuna yang mesti melenyapkan perasaanperasaan<br />

97 persaudaraan yang sempit demi<br />

kebahagiaan per-saudaraan yang lebih luas. Engkau<br />

adalah Arjuna yang mesti tidak gentar melawan Kaurawa<br />

yang masih berasal dari satu turn nan Bharata untuk<br />

membela kebenaran dan cita-cita kemanusiaan yang<br />

mulia! Engkau ingat akan nasihat Batara Kresna? Maka<br />

simakkanlah segala petua Sang Wisynu itu dan<br />

tempatkanlah dirimu pada kedu-dukan SangJanaka!"<br />

Sang Janaka! Ia, Tumenggung Braja Nata adalah sang<br />

Janaka di Kurusetra! Sang Janaka yang mesti<br />

meienyapkan keragu-raguan hatinya dan berbulat tekad<br />

untuk berkelahj dan membunuh saudara-saudara, orangtua<br />

dan bahkan gurunya! Namun alangkah canggung! Sang<br />

Janaka menghadapi musuh-musuhnya, kebanyakan lakilaki<br />

di medan peperangan Kuru! Musuh-musuhnya yang<br />

juga mempertahankan diri, melawan, menyerang! Tetapi<br />

Dewi Anggraeni? Ia hanya seorang wanita! Akan sampai


hatikah ia berbuat kejam terhadap seorang wanita?<br />

Seorang wanita yang takkan mungkin melawannya?<br />

Wanita yang adalah istri tercinta saudaranya sendiri?<br />

Akankah sampai hatinya? Tumenggung Braja Nata<br />

tertunduk. Ia tidak berani menengadahkan pandangannya,<br />

kuatir ber-bentrok dengan sinar mata ayahanda. Padahal<br />

sesungguhnya, tak usah hal itu dia takuti, karena ayahanda<br />

sendiri selalu menghindarkan pandangannya ke arah Iain.<br />

98 Beberapa jenak suasana balairung hening dan tegang.<br />

"Tumenggung Braja Nata! Ketahuilah, bahwa kami sendiri<br />

hancur hati mengambil keputusan ini! Tetapi demi cita-cita<br />

persatuan Janggala dan Kadiri yang agung, kami tempuh<br />

juga jalan satu-satunya ini. Kami mencoba meienyapkan<br />

diri dan pe-rasaan-perasaan sendiri yang sempit untuk<br />

mela-pangkan jalan menuju cita-cita luhur. Maka engkau<br />

juga, Braja Nata, anak yang lahir dari darah kami sendiri,<br />

engkau juga harus sanggup meienyapkan dirimu dan<br />

perasaan-perasaanmu sendiri yang sempit demi<br />

kepentingan cita-cita yang agung. Engkau yang kami pilih<br />

untuk menjalankan titah yang luar biasa ini, supaya Raden<br />

Panji, saudaramu itu, sadar bahwa segalanya kami tempuh<br />

demi kepentingan kebahagiaan manusia yang banyak.<br />

yang menjadi kawula dua buah kerajaan!" "Ampun Gusti,<br />

tetapi alangkah beratnya tugas hamba!" keluh<br />

Tumenggung Braja Nata. "Mengapa hamba tidak<br />

dititahkan saja menaklukkan para pemberontak atau k ram<br />

an yang ganas mengganggu ketentraman rakyat?<br />

Mengapa justru untuk . . . untuk . . . untuk mencari sarung<br />

baru bagi keris pusaka? Duhai Gusti! Hamba tak ... tak ... "


Baginda mengalihkan pandangannya ke arah Tumenggung<br />

Braja Nata. "Jangan engkau berbicara sebagai<br />

perempuan! Engkau adalah satria Janggala yang<br />

mengenai 99 kehormatan dirinya! Engkau adalah satria<br />

Janggala yang rela mengurbankan dirinya sendiri untuk<br />

kepentingan kerajaan dan kebahagiaan umat yang hidup di<br />

dalamnya! Engkau adalah Sang Janaka di medan Kuru!<br />

Engkau mesti tabah!" "Namun Gusti . . . ." sembah<br />

Tumenggung Braja Nata. "Yang hamba mesti hadapi<br />

bukanlah Arya Dursasana yang Iicik pelit, bukanlah Duryodana<br />

yang angkara murka! Yang mesti hamba hadapi...<br />

ampun Gusti!" Sang baginda menghcfa nafas pula.<br />

'Memang. tugasmu tidak ringan. Braja Nata. Itu kami<br />

sadari. Dan sesungguhnya bagi kami pun. tidaklah ringan<br />

memberi titah itu kepadamu. Namun demi kebahagiaan<br />

manusia yang menjadi kawula dua buah kerajaan. segala<br />

pertimbangan-pertimbangan kedirian mesti<br />

dikesampingkan. Kau mesti tabah! TerimaJah keris yang<br />

tak bersarung ini!" Baginda mengulurkan keris kepada<br />

Tumenggung Braja Nata. Tumenggung Braja Nata<br />

bagaikan lesu, tak bertenaga untuk menerima keris itu.<br />

Tetapi ia tak berani menolak titah baginda. "Terimalah<br />

Braja Nata! Engkau satria Janggala yang mesti memberi<br />

teladan kepada para satria lain!" "Am . . . am . . . ampun<br />

Gusti!" "Braja Nata! Berani kau menyanggah perintah<br />

rajamu? Kami, Prabu Jayantakatunggadewa, yang<br />

menguasai hidup serta mati seluruh mahluk yane ada di<br />

wiiayah kerajaan Janggala, menurunkan Utah kepada<br />

engkau, Tumenggung Braja Nata untuk melaksanakan


titahnya buat melapangkan jalan serta meienyapkan<br />

rintangan menuju tercapainya cita-cita kemanusiaan yang<br />

agung! Terimalah keris ini!" Tak berani lagi Tumenggung<br />

Braja Nata berbuat ayal. Suara sang baginda terdengar<br />

angker dan berpengaruh. Dengan jari-jari menggigil ia<br />

menerima keris yang diulurkan baginda. Benda dari logam<br />

yang tidak seberapa besar dan nampak ringan itu,<br />

bagaikan sebuah gunung besi yang berat sekali, menekan<br />

tangan, bahu dan seluruh dirinya. Dia hampir tidak<br />

sanggup memegangnya! Hampir terjatuh ke lantai, untung<br />

dengkulnya tetap, sehingga tak usah ia terjenmuk. Kcringat<br />

laksana mutiara berkilauan pada keningnya, dan tatkala<br />

ada angin yang semilir masuk dari celah-eelah, terasa<br />

keringat dingin memenuhi seluruh tubuhnya! Nafasnya<br />

sesak. jantungnya bagaikan tak sanggup berdenyut.<br />

"Tumenggung Braja Nata!" sabda baginda kemudian.<br />

"Kami percayakan tugas unnik merentas jalan,<br />

melapangkan rintangan yang menghalangi tercapainya<br />

cita-cita kita yang suci! Kami percayakan kepadamu.<br />

seorang satria yang sadar akan ke-hormatan dan<br />

tanggungjawab dirinya! Engkau yang akan memberi<br />

teladan yang baik buat sa101 100 tria-satria lainnya di<br />

Janggala! Kami percaya, engkau akan melaksanakan<br />

tugasnu dengan baik!1' "Da... dau... daulat Gusli!" "Baiklah.<br />

Berangkat kau sekarang juga! Jangan kauperayalkan titah<br />

raja Janggala!" kemudian baginda menoleh ke arah<br />

Senapati Arya Suralaga, "Arya Suralaga!" Yang dipanggil<br />

terkejut bukan buatan. "Daulat Gusti!" "Andika kami<br />

titahkan untuk pergi mengawani Tumenggung Braja Nata


melaksanakan tugasnya. Andika mesti mengawasi supaya<br />

titah kami dilak-sanakan sebaik-baiknya. Andika jangan<br />

membiar-kan dia bertindak ayal atau menyalahi tugasnya!"<br />

"Da . . . daulat Gusti!" "Pergilah andika sekarang juga,<br />

bersama Tumenggung Braja Nata untuk memberi sarung<br />

bam kepada keris pusaka kerajaan Janggala! Cepat!"<br />

"Daulat Gusti!" Setelah itu, suasana balairung kembali<br />

sibuk. Mereka yang mendapat titah, sesudah meminta diri<br />

serta mendapat restu baginda segera melangkah ke luar<br />

dengan lesu. Sang baginda sendiri nampak lesu.<br />

Kcpalanya tertunduk. Akhimya baginda memberi isyarat<br />

bahwa persidangan bubar. Maka orang-orang pun<br />

mengundurkan diri dengan diam-diam. Peristiwa yang<br />

mereka saksikan tadi, sangat mencengkam hatinya<br />

masing-masing. Dan itu saja telah menyebabkan mereka<br />

cnggan berbicara. 102 TUMENGGUNG BRAJA NATA<br />

Tempat peristirahatan yang ditinggali Raden Panji beserta<br />

istrinya terletak agak jauh dari ibukota, berupa suatu istana<br />

kecil yang sangat indah dan menyenangkan, sangat cocok<br />

buat sepasang mer-pati yang sedang mengecap manisnya<br />

madu peng-hidupan. Hawanya sejuk serta segar, pern and<br />

an g-an pun menyedapkan. Sebuah tarn an yang asri,<br />

penuh dengan bunga-bungaan yang aneka macam,<br />

berkembangan dengan indahnya, menyebarkan harum<br />

yang semerbak, Iembut disilir angin sepoi. Sungguh suatu<br />

tempat yang akan menyebabkan setiap orang iri hati!<br />

Setiap orang di segenap pen-juru kerajaan memuji-muji<br />

peruntungan Dewi Anggraeni yang menurut mereka sangat<br />

bagus! Seorang gadis keturunan orang keoanyakan, di-


ambil menjadi istri putra mahkota yang bakal mewarisi<br />

takhta kerajaan! Meski mereka semua tahu akan<br />

pertunangan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji, namun<br />

mereka menganggap bahwa pu103 lung telah jatuh pada<br />

diri dan nasib Dewi Anggraeni. Setiap saat Dewi<br />

Anggraeni melayani Raden Panji dengan wajah yang segar<br />

dan ria bahagia, dan setiap orang yang melihatnya tentu<br />

akan me-ngira bahwa gadis gunung itu menemukan<br />

kebahagiaan sempurna dalam is tan a kecil yang me-wah<br />

serta indah itu, didampingi suami yang sangat<br />

mencintainya. Bahkan Raden Panji Kuda Waneng Pari<br />

sendiri menyangka bahwa istrinya selama itu merasa<br />

bahagia benar-benar bahagia. Meskipun di antara kedua<br />

kekasih itu selalu saling mencintai, saling penuhi kehendak<br />

masing-masing. nikun dan penuh kasih sayang, namun<br />

badai yang mengamuk dalam kalbu Dewi Anggraeni boleh<br />

dikata tidak pemah reda. Dalam hatinya i yang daJam, nun<br />

jauh dalam relung-relung gelap, perasaan takut senantiasa<br />

mengintai. Ia merasa takut, cemas, kuatir. Ia sangat<br />

mencintai Raden Panji, dan merasa berbahagia bahwa<br />

Raden Panji telah menunjukkan cintanya pula yang besar<br />

dan agung dengan jalan menikahinya. Tetapi karena ia<br />

tahu bahwa Raden Panji seorang putra mahkota yang<br />

sudah dipertunangkan dengan putri mahkota pula, ia<br />

cemas kalau-kalau suatu kali Raden Panji akan<br />

meninggalkannya. Kadang-kadang kalau kebetulan ia<br />

sendirian. matanya merenung ke kejauhan, menatap ke<br />

ke104 tiadaan, mengenangkan hal-hal yang tak<br />

menenteramkan hatinya. "Kalau saja ia bukan seorang


putra mahkota . . . ," katanya dalam hati, "akan lebih<br />

sempurna rasanya bahagia kami! Ah, mengapa ia bukan<br />

seorang manusia biasa, keturunan orang kebanyakan<br />

saja?" Tetapi kepada suaminya tak berani ia mempertunjukkan<br />

sikap yang mungkin merusak suasana<br />

kebahagiaan. Ia sangat mencintai Raden Panji. Bukan<br />

karena ia seorang putra mahkota, tetapi hanya lantaran ia<br />

mencintainya. la ingin kekasihnya itu senantiasa merasa<br />

berbahagia. Ia tidak ingin melihat kekasihnya murung, atau<br />

merasa terganggu kebahagiaannya lantaran dirinya. Dan<br />

alangkah besamya cinta Raden Panji! Alangkah agungnya!<br />

Kalau teringat olehnya bahwa Raden Panji sudah<br />

dipertunangkan sejak masih kecil dengan Dewi Sekar Taji,<br />

kegamangan mengamuk dalam kalbunya. Ia merasa<br />

berdosa, ia merasa bersalah lantaran telah sudi diperistri<br />

Raden Panji. Tidak, ia tidak menolak lamaran Raden Panji,<br />

bukan hanya lantaran ia mencintai Raden Panji, tetapi<br />

lebih-lebih lantaran tahu betapa besar dan agungnya cinta<br />

Raden Panji kepadanya. Dia kuatir kalau Raden Panji<br />

akan berduka atau murung. Ia tak mampu membayangkan<br />

Raden Panji murung! Dia tak ingin menyebabkan orang<br />

yang dikasihi105 nya itu berduka! Lagipula Raden Panji<br />

Kuda Waneng Pati putra mahkota Janggala. mungkin akan<br />

murka lantaran merasa terhina jika lamarannya ditolak! Ah.<br />

bahkan Raden Panji juga agaknya sadar, bahwa<br />

perbuatannya itu berten tangan dengan ke-hendak<br />

ayahanda, sang baginda raja Janggala, temyata dengan<br />

pemikahan yang dilakukan diam-diam. Baru setelah<br />

mendapat berita dari ibunda, bahwa ia boleh menghadap


ayahanda akan mem-persembahkan halnya. mereka<br />

diterima dan mendapat restu baginda. Baginda merestui<br />

mereka dan nampak menyukai menantunya, tetapi dari<br />

sinar mata baginda, Dewi Anggraeni merasakan<br />

ketaktentraman. Pandangan baginda seolah-olah<br />

menyalahkan dia, dia yang mungkin dianggap telah<br />

memikat Raden Panji! Pandangan baginda itulah yang<br />

menyebabkan ia kadang-kadang tak bisa memejamkan<br />

matanya. Pandangan yang dingin, tapi bagaikan menusukkan<br />

logam tajam ke dalam jiwa, tak terperikan. Tidak, Dewi<br />

Anggraeni tidak dendam kepada pandangan baginda yang<br />

demikian dingin itu. Malah ia merasa bersalah, nun jauh<br />

dalam relung hatinya, merasa bahwa tuduhan yang<br />

dilempar-kan baginda meialui pandangan matanya itu<br />

benar. Ya, ia telah bersalah, bersalah .... Tetapi cinta begitu<br />

besar' Benarkah ia berhak duduk di samping putra 106<br />

mahkota Janggala yang suatu kali kelak akan men-duduki<br />

takhta? Benarkah ia berhak mengambil Raden Panji<br />

sebagai suami? Ia ingin kekasihnya bahagia, dan<br />

melakukan kewajibannya sebaik mungkin. Ia ingin<br />

kekasihnya itu jangan sampai berduka. Jangan sampai<br />

murung, tetapi senantiasa bersinar-sinar bagaikan mentari<br />

kemarau. Ia ingin Raden Panji memenuhi harapan dan citacita<br />

ayahanda yang besar. Ya, ia tahu akan cita-cita mulia<br />

Prabu Jayantaka hendak mempersatukan Janggala<br />

dengan Kadiri. Dan ia sering terumbang-ambing antara<br />

keinginan-keinginannya sendiri yang merindukan<br />

kebahagiaan yang damai dengan keinginannya supaya<br />

kekasihnya itu memenuhi harapan ayahanda. Dan kemarin


dulu suaminya menghadap ke bawah duli. lantaran<br />

mendapat titah yang tiba-uba dan sangat penting. Apakah<br />

gerangan yang akan dititahkan baginda? Perasaannya<br />

yang halus menduga bahwa titah ayahanda berhubungan<br />

dengan persoalan Dewi Sekar Taji. Dan tatkala Raden<br />

Panji hendak pergi, seakan-akan berat benar hatinya.<br />

Mengapa ia memandang begitu? Mengapa pandangan<br />

kekasihnya itu bagaikan meng-isaratkan suatu<br />

malapetaka? Mengapa berlainan daripada biasa,<br />

kepergian Raden Panji sekali ini meninggalkan perasaan<br />

sunyi bukan buatan? Sunyi yang lebih daripada kesepian<br />

lantaran orang yang dikasihi-dicintai tak ada di<br />

sampingnya? 107 MTak lama, Adinda, Kakanda takkan<br />

lama pergi. Bcsok atau selambat-lambatnya lusa, tentu<br />

Kanda kembali ke sampingmu . . . ." itulah perkataan<br />

Raden Panji sebelum berangkat. Sampai malam kemarin<br />

ia sia-sia menanti, Raden Panji tak kunjung datang.<br />

Perasaannya diamuk sepi yang luar biasa, lengang<br />

menyendiri, seakan seluruh dunia kehilangan sen. Dan<br />

kalbunya di-gundahi pertanyaan-pertanyaan yang tak<br />

menen-tramkan, "Apakah gerangan yang menyebabkan<br />

Raden Panji tidak pulang? Apakah titah baginda yang<br />

melantarankan Raden Panji dipanggil cepat-cepat dan<br />

sendirian saja? Adakah persoalan yang begitu penting?<br />

Persoalan apa? Persoalan negara? Persoalan kerajaan?<br />

Tetapi mengapa Raden Panji belum juga pulang?" Ia tidak<br />

bisa tenang. Duduk salah, berdiri pun bukan. Terbaring tak<br />

senang, berjalan pun serasa mengawang. Taman yang<br />

penuh bunga-bungaan aneka macam, tidak menghibumya,


ahkan seolah-olah bunga-bunga yang melambai dilanda<br />

angin semilir itu, menegumya dan bertanya; "Di mana-kah<br />

Raden Panji gerangan? Mengapa Tuan berjalan<br />

sendirian?" Burung-burung yang berkicau, terdengar<br />

murung, seperti turut berduka lantaran Raden Panji belum<br />

juga pulang. Setiap ada suara langkah mendekat, ia<br />

terjaga. Raden Panjilah itu!" katanya dalam hatinya sendin<br />

Tetapi tiap kali iakecewa 108 Setiap ada suara kuda lari,<br />

ia bangkit dan me-mandang ke luar, tetapi yang dinanti<br />

tidak kunjung muncul. Dan setiap saat, terbayang pula<br />

pandangan kekasihnya pada saat terakhir, sebelum<br />

berangkat. Alangkah aneh pandangan itu! Pandangan<br />

yang luar biasa, laksana mengisaratkan suatu perpisah-an<br />

berdinding mati! Suatu perpisahan akhir! Tim-bul<br />

pikirannya yang bukan-bukan, tetapi dengan kemauan<br />

sehat, diusimya dan disabar-sabarkannya dirinya. "Hanya<br />

bayang-bayangan hayali belaka!" ia menghibur dirinya<br />

sendiri. Emban Wagini, inang pengasuhnya yang sudah tua<br />

dan yang telah mengasuhnya sejak masih bayi, yang<br />

senantiasa berada di sampingnya itu, melihat gustinya<br />

gelisah dan senantiasa bersedih maka ia pun berduka.<br />

Sebagai seorang yang sudah lanjut usia, ia segera<br />

mengerti sebab-musababnya. Maka tak berani ia<br />

menyinggung-nyinggung Raden Panji di hadapan gustinya,<br />

senantiasa ia mengajak gustinya yang sangat dicintainya<br />

lebih daripada kepada jiwanya sendiri itu, bercakap-cakap<br />

tentang hal yang menyenangkan. "Gusti, lihatlah, matahari<br />

sangat indah dan alam nampak segar serta gembira!<br />

Tidakkali Gusti ingin bercengkrama ke tengah taman, me-


nyaksikan burung-burung menyanyi sambil meme-tik bunga<br />

mawar yang kembang indah? Cempaka 109 pun<br />

musimnya berbunga, Gusti, bunga-bunga itu meliuk-Iiuk<br />

meminta Gusti petik .. . " Dewi Anggraeni hanya mengeluh<br />

dan meng-hindari pandangan inang pengasuhnya itu. 'Tak<br />

baik Gusti bermuram durja sedang hari secerah ini!<br />

Kibaskan segala kemurungan yang suram itu! Batara akan<br />

murka, kalau segala anu-grahnya tidak kita terima dengan<br />

suka . . . " Sekali lagi Dewi Anggraeni mengeluh.<br />

"Bagaimana kami bisa bersuka cita, sedang di dalam hati<br />

selalu rusuh, lantaran Kakang Panji belum juga pulang?"<br />

akhirnya ia menyahut. "Gusti Panji berjanji akan pulang hari<br />

ini, tentu beliau akan menepati janjinya. Janji satria<br />

Janggala tak nanti tak ditepati . . . ," kata Emban Wa-gini<br />

menghibur. 'Kakang Panji berjanji kemarin akan pulang,<br />

kalau ada haiangan baru hari ini. Dan hari telah datang, ia<br />

belum pulang, ada haiangan apakah gerangan yang<br />

menahannya?" tanya Dewi Anggraeni. "Bibi, bukan sekali<br />

ini Kakang Panji meninggalkan kami, tetapi mengapa<br />

sekarang perasaan kami sangat berbeda? Mengapa<br />

merasa lengang tak menentu?" "Ah, itu perasaan yang tak<br />

karuan, jangan Gusti perturutkan juga! Gusti Panji akan<br />

segera datang. Ubih elok kalau Gusti bergembira, supaya<br />

jangan kerun nanti menyambut kedatangan Gusti Panji.<br />

Akan murka ia kepada bibi, kalau melihat Gusti 110<br />

bermuram durja Dewi Anggraeni menghela nafas dengan<br />

berat Matanya menghindari pandangan inang<br />

pengasuhnya yang setia itu. ••Lesu lelah rasanya tubuhku,"<br />

katanya kemu-dian perlahan. "Gusti mesti bersantap ... "


"Patah seleraku! Semua makanan seperti terse-kat di<br />

kerongkongan. Lagipula makan tidak dengan Kakang<br />

Panji ..." tak lanjut kalimatnya. "Bibi kapankah Kakang<br />

Panji pulang? Benarkah ia hari initiba?" "Gusti,<br />

junjunganku, Gusti Panji tentu akan pulang hari ini seperti<br />

dijanjikannya. Sekarang ia barangkali masih di jalan.<br />

Sebentar lagi, tentu. . tiba-tiba terdengar suara kaki<br />

kudanya dijauhan, Emban Wagini menengokkan<br />

kepalanya. "Lihat, lihatlah! Panjang usia Gusti Panji!<br />

Sedang kita bicarakan, dia datang! Tidakkah terdengar<br />

oleh Gusti suara ketiplak kuda datang mende-kat?"<br />

Menyirat darah pada wajan Dewi Anggraeni yang pucat<br />

lesi itu. Cahya kegembiraan membakar hatinya. Maka<br />

bangkitlah ia akan menyongsong kedatangan<br />

jungjungannya. "Kakang Panji! Benarkah ia datang?"<br />

terloncat tanyanya sarat kegembiraan. "Benarkah dia<br />

datang?" Ill 'Tidakkah Gusti dengar suara kuda<br />

mendekat?" sahut inang pengasuhnya. "Hai, dengan<br />

siapakah maka Gusti Panji berdua?" Dewi Anggraeni<br />

mempertajam matanya. "Tidak, tidak ..." kepaJanya<br />

menggeleng lemah. "yang datang itu bukan Kakang Panji<br />

bukan!" "Bukan Gusti Panji?" tanya Emban Wagini tak<br />

percaya. "Habis, siapa?" Wajah Dewi Anggraeni kembali<br />

pucat, bahkan lebih pucat daripada semula. Jantungnya<br />

bagaikan berhenti tiba-tiba. Dan darahnya seperti berhenti<br />

mengaiir. Hampir ia tak kuasa menopang tubuh. "Kakanda<br />

Braja Nata!" bisiknya mendesis hampir tak kedengaran.<br />

"Mengapa dia ke mari? Ke manakah Kakang Panji?<br />

Bukan, bukan, yang me-ngiringkannya pun bukan Kakang


Panji! Mana Kakang Panji? Mana?" Wagini memburu<br />

tubuh gustinya yang hampir rubuh. "Tenang, tenanglah,<br />

Gusti, tenanglah . . . , bujuknya. "Kanjeng Braja Nata tentu<br />

akan membawa berita tentang gusti Panji..." Dewi<br />

Anggraeni didudukkan baik-baik, tetapi tubuhnya yang lesu<br />

itu bagaikan tak lagi kuat duduk tegak. Tumenggung Braja<br />

Nata sementara itu telah menambatkan kuda, lalu naik<br />

akan menemui Dewi Anggraeni. Suasana puri itu sangat<br />

lengang, bukan 112 hanya lantaran tak terdengar suara<br />

orang tetai bagman dicengkam kemurungan yang mu^ Dia<br />

mendapat! Dewi Anggraeni duduk dikawani oleh inang<br />

pengasuhnya yang telah dia kenal baik -Kakanda!" tegur<br />

Dewi Anggraeni. "Silahkan masuk, Kanda! Silahkan!<br />

Dengan siapakah Kanda datang? Lama benar Kanda<br />

tidak menyambangi kami! Kanda, manakah Kakang Panji?<br />

Mengapa ia tidak datang serta?" Mendengar Dewi<br />

Anggraeni menanyakan Raden Panji, kalbu Tumenggung<br />

liraja Nata guncang. Bagaikan sebuah badai besar<br />

memukulnya, mere-mukkannya. Alangkah mengenaskan<br />

suara Dewi Anggraeni menanyakan suaminya itu, alangkah<br />

menusuk kalbu! Dan ia . .. ! Ia berdehem beberapa kali<br />

melonggarkan teng-gorokannya yang tersekat. Kemudian<br />

terbata-bata menyahut, "Bagaimanakah kabamya,<br />

Rayinda? Baik-baik sajakah? Alangkah segamya udara di<br />

sini! Sayang Kakanda terlampau sibuk, sehingga tidak<br />

bisa sering-sering mengunjungi Rayinda di sini! Tetapi . . .<br />

tetapi. Rayinda baik-baik saja bukan? . . . bukan?" Dewi<br />

Anggraeni mcnatapkan pandangannya. "Ya. dengan restu<br />

Kakanda. kami baik-baik saja . . . di sini. Tetapi Kakanda,


manakah Kakang Panji? Tidakkah Kakanda bertemu<br />

dengan dia di istana? Dia berangkat kemarin dulu dan<br />

sekarang belum juga pulang!" 113 Tumenggung Braja Nata<br />

menghindari tatapan itu. Dia menoleh ke samping. lalu<br />

melihat Emban Wagini, kemudian dia tertawa tak keruan,<br />

mene-gumya, "Apa kabar, Bibi? Alangkah panasnya hari,<br />

ya Bibi! Tidakkah Bibi sudi mengambil ba-rang seteguk air<br />

buat membasahi tenggorokan yang kering?" Dewi<br />

Anggraeni menoleh kepada inang pengasuhnya. "Kakanda<br />

Tumenggung dahaga, Bibi, ambilkan air buah yang segar.<br />

Buah-buahan yang ranum-ranum itu pun bawa pula ke<br />

mari!" katanya kepada inang pengasuhnya, Emban Wagini<br />

yang segera mengundurkan diri akan melaksanakan titah<br />

junjungannya, kemudian menoleh pula kepada<br />

Tumenggung Braja Nata. "Kakanda, mengapa Kanda<br />

selalu menghindari pertanyaan hamba mengenai Kakang<br />

Panji? Mengapa Kanda mencari-can alasan untuk<br />

mengelakkan pertanyaan hamba? Tadi Kakang berkata<br />

hari sangat segar, dan tiba-tiba barusan kepada Bibi<br />

Wagini Kakanda menga-takan udara sangat panas!<br />

Katakan, duhai Kakanda katakan kepada hamba. ke<br />

manakah Kamaka t,d3k PUl3ng bCrSama Kakanda<br />

Tumenggung Braja Nata tergagap-eaeaD dan 114 "Eh ...<br />

eh ... hai ke manakah Arya Sumi., gerangan? Mengapa<br />

ia tidak naik juga?" ia «£ ura tak mendengar pertanyaan<br />

Dewi AngiLni dan pura-pura mencari kawannya. Lalu<br />

bandit dan keluar pula. Arya Suralaga! Mari naik ke mari!<br />

Mengapa di luar saja?" Dewi Anggraeni merasa kesal,<br />

tetapi ia masih menunjukkan kesabarannya, menjengukkan


ke-palanya ke luar. "Dengan Mamanda Arya Suralagakah<br />

Kakanda datang? Mengapa ia tidak naik juga? Ke marilah<br />

Mamanda Senapati!" ajaknya. Tetapi Senapati Arya<br />

Suralaga menyahut dengan suara yang dalam, "Biarlah,<br />

biarlah hamba di sini saja. Hari sangat panas, tentu gerah<br />

di dalam ru-mah!" "Marilah Senapati!" ajak Tumenggung<br />

Braja Nata. Sedangkan dalam hatinya ia berkata, 'Marilah<br />

ke mari, kawani aku, bagaimana akan ku-sampaikan<br />

semua titah itu? Bukankah engkau di-suruh mengawasi?<br />

Alangkah berat lidah ini! Alangkah berat!" Sementara itu<br />

Emban Wagini sudah datang membawa hidangan.<br />

"Lihatlah, Bibi Wagini membawa minuman dan buahbuahan<br />

yang segar! Marilah masuk, Mamanda Senapati!"<br />

ajak Dewi Anggraeni. Tumenggung Braja Nata pun<br />

bagaikan berat untuk masuk. Dan air jeruk yang segar itu<br />

seperti 115 tidak menarik seleranya. "Kakanda. silakan<br />

minurn. Bukankah Kakanda tadi dahaga? Tentu dahaga.<br />

karena hari panas dan naik kuda sejauh itu! Dan Mamanda<br />

Senapati! Mari ke sini! Mari minum!" Senapati Arya<br />

Suralaga yang tak pantang takut itu. naik ke dalam.<br />

sedangkan hatinya merasa tak tentram kebat-kebit<br />

berdegupan dengan kencang Tumenggung Braja Nata<br />

menghabiskan air itu dengan sekali teguk, sehingga<br />

kelihatan seolah-olah orang yang benar-benar dahaga.<br />

"Alangkah segar minuman ini!" katanya kemudian meski ia<br />

sendiri tidak tahu benar bagaimana sesungguhnya rasa<br />

minuman yang baru lalu di tenggorokannya itu "Ayuhlah<br />

Senapati! Ayuhlah!" Senapau Arya Suralaga mengikuti<br />

jejak Tumenggung Braja Nata. "Kakanda!" tegur Dewi


Anggraeni tak sabar. 'Mengapa Kanda selalu<br />

mengelakkan pertanyaan hamba mengenai Kakang Panji?<br />

Mengapa? Apaka-kah yang terjadi dengan Kakang Panji?<br />

Mengapa Kanda menunduk? Mengapa Kanda tidak sudi<br />

menyahut? Mendapat malapetakakah Kakang Panji-<br />

Apakah kecelakaan yang menimpanya? Mengapa<br />

Kakanda melengos^ Mengapa Kanda diam saja?<br />

Mengapa tak mau menyahut?" Senapati Arya Suralaga<br />

segera menan.h mi-numannya. lalu menundukkan kepala,<br />

scakan-akan ncndak mencan helah untuk mengundurkan<br />

din "Eh... eh ..memang.. . m^ " dln; Tumenggung Braja Nata<br />

menyahut dengan 'suara gagap. -Mengapa Kanda bicara<br />

terputus-putus'* Parah kah Kakang Panji? Berbahayakah<br />

jiwanya?" Ata' ' "Tidak, tidak!" Tumenggung Braja Nata<br />

meng-gelengkan kepala keras-keras. "Raden Panji tak<br />

kurang suatu apa!" "Tetapi mengapa Kanda seakan segan<br />

bicara?" desak Dewi Anggraeni. "Samasekali tidak,<br />

tidak!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan tetap gugup.<br />

"Hanya ..." "Hanya apa? Bagaimanakah sebenarnya<br />

Kakang Panji? Katakanlah Kanda, katakanlah! Katakanlah<br />

terus terang! Adinda berjanji, takkan terkejut meskipun<br />

mendengar Kakang Panji mendapat . . . ampun Batara,<br />

mudah-mudahan tak terjadi apa yang kutakutkan!"<br />

kemudian Dewi Anggraeni menyungkup wajah dengan<br />

tangan. menangis tergukguk. Melihat Dewi Anggraeni<br />

menangis, makin tak tentu hati Tumenggung Braja Nata.<br />

Tangannya meraba-raba tak keruan, karena tak tahu apa<br />

yang mesti dia perbuat. "Jangan menangis, jangan Adinda<br />

menangis. Raden Panji selamat, tak kurang suatu apa.


Sudah-lah, sudahlah, jangan Adinda men ..." tak lanjut 11<br />

116 pcrkataannya, karena tiba-tiba tangannya menycn-tuh<br />

keris pusaka yang diberikan baginda kepada-nya. Maka ia<br />

pun teringat pula akan tugasnya. Tangannya niendadak<br />

terkulai. Icmas. !a niemc-jamkan mata. 'Duhai Batara.<br />

mengapa mesti ku-jalankan titah seberat ini? Bcrilah<br />

hamba kekuatan, ketabahan untuk melapangkan jalan bagi<br />

cita-cita tinggiV katanyi dalam hati. 'Beri hamba kekuatan<br />

untuk mengesampingkan segala perasaan kedirian yang<br />

sempit, yang menghalangi cita-cita agung tercapai!" Dewi<br />

Anggraeni tergugah. "Benarkah Kanda? Benarkah Kakang<br />

Panji tak kurang suatu apa? Benar-benarkah Kanda?"<br />

tanyanya dengan mata disinari secercah harapan. "Tetapi<br />

mengapa ia tidak pulang sekarang?" "Raden Panji<br />

mendapat titah dari Baginda," kata Tumenggung Braja<br />

Nata. "Ia tidak kurang suatu apa, tetapi ia mendapat titah<br />

yang tak boleh ditangguhkan. sehingga ..." "Sehingga apa.<br />

Kanda?" desak Dewi Anggraeni tak sabar. "Sehingga ia<br />

tidak sempat ke mari dahulu mengabarkan hal itu kepada<br />

Adinda. Ia sangat kuatir akan kesehatan Adinda, yang<br />

selalu dia kenangkan. Dia meminta kepada Kanda supaya<br />

Kanda ke mari ..." "Apakah titah yang mesti diselesaikan<br />

oleh 118 Kakang Panji? Mengapa ia sampai tak sempat m<br />

jenguk istnnya dahulu? Penting benarkah 1 ne an titah itu?<br />

potong Dewi Angraeni, biarkan Tumenggung Braja Nata<br />

menyclc V kalimatnya. Tidaklah ia mendapat titah untuk<br />

untuk memcrangi pemberontak ataukah karaman?" -<br />

Bukan, Raden Panji tidak dititahkan meme-rangi<br />

pemberontak ataupun karaman. Tetapi titah tak boleh


ditunda, sehingga tak sempat dia singgah dahulu akan<br />

mengabarkan hal itu kepada Rayinda. Namun, ia masih<br />

sempat meminta Kakanda untuk menyampaikan pesannya<br />

kepada Rayinda ..." "Pesannya? Apakah gerangan pesan<br />

Kakang Panji? Mengapa tidak tadi-tadi Kanda berbicara?<br />

Mengapa tadi Kanda seperti gugup benar bicara?" "Tadi<br />

Kanda baru datang. masih lelah, maklum-lah si Pramuga<br />

Kanda pacu sekuat-kuatnya. Kanda kuatir kalau-kalau<br />

Rayinda terlampau lama mcng-harap dan bergelisah ..."<br />

"Scsungguhnyalah, Rayinda sudah benjettsah benar.<br />

Menurut janji Kakang Panji, Kakang Panji sudah pulang<br />

kemarin, atau paling lambat had ini. Dan sekarang . . .<br />

ternyata Kakang Panji belum bisa pulang, hanya pesannya<br />

saja. Dan apakah pesan yang mesti Kanda sampaikan<br />

kepada hamba, ampun Kanda Tumenggung?" "Raden<br />

Panji berpesan....." Tumenggung 119 Braja Nata terhcnti<br />

dan kata-kata berhenti di tenggorokannya. "Raden Panji<br />

berpcsan . . bcr-pcsan, supaya ..." "Supaya apa. Kanda?"<br />

"Supaya Kanda datang ke mari akan menjem-put<br />

Rayinda!" sahut Tumenggung Braja Nata dengan nafas<br />

memburu. "Menjemput hamba? Ke mana?" "Ya.<br />

menjemput Rayinda. Ke Muara Kama!." "Ke Muara<br />

Kamal? Ada apakah gerangan?" "Raden Panji mendapat<br />

titah baginda. la meng-harap agar Rayinda turut pula ke<br />

sana. Karena mungkin ia di sana akan lama baru pulang.<br />

Lagi-pula pemandangan di tepi laut, tentu akan sangat<br />

menyenangkan hati Rayinda. Sudahkah Rayinda melihat<br />

laut? Merasakan ombak menyimbah kaki? Merasakan<br />

angin yang besar. yang meniup gelom-bang memecah di


pantai?" "Apakah gerangan titah Baginda maka<br />

mengirimkan Kakang Panji ke Muara Kamal?" tanya Dewi<br />

Anggraeni tak mempedulikan pertanyaan Tumenggung<br />

Braja Nata tentang laut. Dan ditanya demikian,<br />

Tumenggung Braja Nata kehilangan helah. "A aa . . anu.<br />

Rayinda, di Muara Kamal ... datang utusan dari .. .<br />

Tiongkok. hendak menghadap kepada Baginda." akhirnya<br />

ia menyahut se-jadinya. "Tak ada orang yang patut<br />

menerima tamu agung itu mereka utusan kaisar Tiongkok<br />

n^nguasa, negara atas angin itu kecUaH Raden<br />

rauji^Tetap> mengapa begitu mcndadak dan terburu -buru'<br />

•Kedatangan mereka serentak, sehingga kita tidak sempat<br />

membuat persiapan-persiapan yane patut ..." kenngat<br />

bermanik-manik di dahi Tumenggung Braja Nata,<br />

meskipun ia tidak merasa gerah. "Hamba perempuan<br />

Kanda. patutkah hamba turut menampilkan muka di<br />

hadapan tamu agung seperti mereka?" "Mengapa tidak?<br />

Konon, di antara tamu-tamu itu ada pula wanita, entah<br />

katanya kemenakan sang Kaisar, hendak mengetahui<br />

tanah Jawa. Kanda pikir tak ada yang lebih tepat untuk menyambut<br />

mereka itu kecuali Rayinda sendiri. Baginda pun<br />

telah menyetujuinya." "Baginda menyetujui, sedangkan<br />

hamba di-tinggalkan oleh Kakang Panji dalam gelisah!<br />

Alangkah ajaib!" "Rayinda dititahkan dijemput. Hamb ... eht<br />

Rakandalah yang dititahkan Baginda menjemput. Kita tidak<br />

ke istana dahulu, melainkan terns langsung menuju ke<br />

Muara Kamal! Makin cepat makin baik, karena kita<br />

mengejar Raden Panji." Dan dalam hatinya sendiri,<br />

Tumenggung Braja Nata mengulang-ulang kalimat baginda


yang baru diucapkannya itu: Makin cepat makin baik.<br />

Makin 121 cepat makin baik. Makin cepat makin baik.<br />

Makin cepat... "Jadi hamba mesti berangkat sekarang<br />

juga?" tanya Dewi Anggraeni. "Ya, demikianlah. Sesegera<br />

mungkin." Dewi Anggraeni menoleh kepada Emban<br />

Wagini dan berkata gembira, "Bibi, kita berangkat<br />

sekarang, kita akan menyusul Kakang Panji ke Muara<br />

Kamal. Kita akan melihat laut! Cepat berkemas-kemas!"<br />

Tumenggung Braja Nata gelisah. 1 Akankah Rayinda bawa<br />

Bibi Wagini?" Dewi Anggraeni memandangnya he ran.<br />

"Ya," sahutnya mengangguk. "Bibi Wagini selalu melayani<br />

hamba siang maupun malam, lagipula ia sudah bagaikan<br />

bunda hamba saja . Mengapa?" Tumenggung Braja Nata<br />

menjaruhkan pandangan. "Tidak. Tetapi menurut Kanda,<br />

lebih baik . . . lebih baik . .. lebih baik kalau ia tak usah<br />

ikut," katanya dengan tak berani mengangkat<br />

pandangannya. ''Mengapa? Mengapa ia tak boleh turut?"<br />

"Bukan tak boleh, hanya saja lebih baik . . . lebih baik<br />

rasanya kalau tak usah dia dibawa." "Kanda, benarkah<br />

Kakang Panji menitahkan hamba turut dengan Kakanda?"<br />

tanya Dewi Anggraeni. 122 Tumenggung Braja Nata<br />

terkejut •>Tti ¦ • • sungguh. benarlah Raden Panji menitah<br />

kan Kanda ke man akan menjemput Rayingtetapi<br />

mengapa ia tak membolehkan Raymda membawa Bib.<br />

Wagini. padahal ia sendin uhu bahwa Bibi Wagini selalu<br />

bersama-sama hamba-1" -Bukan begitu. Rayinda," sahut<br />

Tumenggung Braja Nata. "Raden Panji tidak mengatakan<br />

hal itu kepada Kanda, sehingga Kanda salah faham ..."<br />

Dewi Anggraeni tenang kembali. Ia menoleh kepada inang


pengasuhnya yang setia itu. "Bibi, mengapa Bibi belum<br />

juga bangkit untuk berkemas-kemas, menunggu apa lagi?<br />

Ayuhlah. jangan biarkan Kakang Panji menanti terlampau<br />

lama!" katanya memberi titah. Emban Wagini yang sudah<br />

kenyang makan ga-ram itu, melihat sesuatu yang tidak<br />

beres dalam tingkah laku Tumenggung Braja Nata. Hal itu<br />

dia perhatikan sejak mulai datang. dan makin lama makin<br />

nyata saja. Mengapa ia selalu kelihatan gugup? Mengapa<br />

bicaranya sering gagap terbata-bata tak lancar? Apakah<br />

sebabnya gerangan? Pera-saannya yang halus dan tajam.<br />

mencium hal-hal yang mencurigakan. Ia ingin menahan<br />

gustinya, jangan menurutkan ajakan yang tidak keruan.<br />

Demi mendengar teguran junjungannya, maka ia<br />

menjaruhkan diri, menghaturkan sembah dengan suara-nya<br />

yang iba, "Gusti, tetapi Gusti lagi gering. perja-lanan amat<br />

jauh, tidakkah lebih baik Gusti tmggal 123 saja di sini?<br />

Tenni Baginda pun takkan murka kalau Baginda maklum<br />

sebab-musababnya. Dan Gusti Panji . . . ,M tak lanjut<br />

kalimatnya, karena cepat dipotong oleh Dewi Anggraeni<br />

yang tak sabar, 'Bibi! Mengapa Bibi bicara seperti itu?<br />

Bibi menganjurkan kami mendurhaka dan Kakang Panji<br />

tentu akan sedih hatinya kalau kami tak datang menyusul."<br />

"Tetapi Gusti." sahut Wagini dengan sabar, "Gusti sedang<br />

gering, hamba kuatir kalau-kalau perjalanan ini akan<br />

memarahkan penyakit . . . " 'Tidak! Penyakit kami akan<br />

hilang kalau sudah berada di samping Kakang Panji!<br />

Tidak! Kami tidak boleh lemah hati, kami mesti berangkat!<br />

Siap-siaplah segera. berkemas-kemas secukupnya!"<br />

Tumenggung Braja Nata yang gelisah lantaran mendengar


sembah Emban Wagini yang seakan-akan hendak<br />

mencegah kepergian gustinya, turut menyumbangkan<br />

pendapatnya, "Angin laut sangat baik bagi kesehatan.<br />

Segala penyakit akan hilang, akan lenyap. Dan apakah<br />

Rayinda gering?" "Ah. tidak." sahut Dewi Anggraeni cepat.<br />

"Hanya merasa lesu ..." "Kalau begitu, dengan sedikit<br />

bepergian, akan hilang." "Cepatlah Bibi! Maafkan kami,<br />

Kanda! Makan-lah buah-buahan itu Mamanda Senapati!<br />

Ranum baru kemarin dipetik dari pohonnya, menyedia-kan<br />

Kakang Panji. Tetapi rupanya Mamanda 124 ^ang<br />

beruntung, habiskan saja' HamK u £?em-*«n« dahulu<br />

beni."^^ bC..Tak usahlah, Rayinda, tak usahah r*"V<br />

mcmbawa terlalu banyak M**^Z£ na ¦ ¦ • -Bagaimana pula,<br />

Kakanda? Bukankah hamba nanti mesti menjemput putri<br />

Tiongkok yang baru datang? Tentu harus mengenakan<br />

pakaian yane patut ..." sahut Dewi Anggraeni dengan<br />

heran -Namun, utusan kaisar Tiongkok itu tentu membawa<br />

pakaian yang indah-indah dari sutra!" -Ah, tetapi itu kan<br />

belum tentu! Baiklah kalau membawa, daripada kita malu<br />

kelak!" "Baiklah, bagaimana menurut Rayinda saja," sahut<br />

Tumenggung Braja Nata. "Tetapi cukup Rayinda berdua<br />

dengan Bibi Wagini saja yang ikut! Kita mengejar waktu,<br />

kita naik kuda saja. Bukankah Rayinda sanggup naik<br />

kuda?" "Hamba sering dilatih oleh Kakang Panji, sehingga<br />

tabah menunggang si Hitam," sahut Dewi Anggraeni.<br />

"Sukuriah kalau begitu. Kita perlu bum-bum, kalau tidak<br />

naik kuda, tentu takkan terkejar saat-nya. Cukup kita<br />

berempat, karena kalau ditambah pula, mungkin<br />

memperlambat perjalanan." "Hamba hanya merasa perlu


mengajak Bibi Wagini, karena ia adalah pengganti bunda<br />

hamba." "Baiklah." Dewi Anggraeni masuk hendak<br />

berkemas, se125 dangkan Tumenggung Braja Nata<br />

memejamkan matanya, kemudian menjatuhkan kepala pula<br />

Kepalanya terkulai, bagaikan sebungkah benda tak<br />

bemyawa. Sedangkan dalam kalbunya sebuah<br />

peperangan dahsyat sedang berlangsung. "Engkaulah<br />

Sang Janaka di Kurusetra, kau mesti tabah, mesti berani<br />

meleburkan dirimu yang sempit untuk kepentingan cita-cita<br />

kemanusiaan yang luhur dan agung!" terngiang kembali<br />

sabda ayahanda kepadanya. "Lapangkan jalan menuju<br />

cita-cita itu. Adalah tugasmu untuk menghilangkan<br />

penghalang! . . . Berilah keris pusaka ini sarung baru!<br />

Sarung baru! Sarung baru!" Senapati Arya Suralaga yang<br />

senantiasa menun-jukkan keberanian dan ketangkasannya<br />

di medan perang itu, kini tertunduk, tak berani mengangkat<br />

kepala akan melirik ke arah Tumenggung Braja Nata,<br />

padahai ia ditugaskan untuk mengawasinya! 126<br />

PERISTIWA DALAM HUTAN Mereka memacu kudanya<br />

dengan cepat. Tumenggung Braja Nata berjalan di depan,<br />

kemudian me-ngikut si Hitam yang ditunggangi Dewi<br />

Anggraeni bersama inangpengasuhnya, dan di belakang<br />

sekali Senapati Arya Suralaga. Mereka berpacu sambil<br />

berdiam diri. Tumenggung Braja Nata memecut kudanya<br />

bagaikan terbang. Dewi Anggraeni antara sebentar<br />

berseru, "Jangan terlampau cepat, Kanda!" maka baru<br />

Tumenggung Braja Nata memper-lambat lari kudanya.<br />

Oleh pemandangan sepanjang jalan. meskipun menambah<br />

dia kian terkenane akan junjungannya. Dewi Anggraeni


kembali kegembiraannya. Apa pula tatkala menyaksikan<br />

bahwa kudanya tidak banyak tingkah. Kadang-kadang ia<br />

bertanya kepada Tumenggung Braja Nata yang kadangkadang<br />

berjalan tak be-rapa jauh antaranya. tentang hal-hal<br />

yang mereka 127 liwati. Tumenggung Braja Nata, kecuali<br />

kalau di-tanya. hampir tak mengeluarkan sepatah kata pun<br />

Setelah melewati tegalan yang luas dan tanah-tanah<br />

pertanian yang subur, mereka pun masuk ke dalam hutan<br />

lebat. Udara segar dan sejuk Tetapi di sini mereka tidak<br />

bisa memacu kuda secepat-cepatnya. Pohon-pohon yang<br />

besar kadang-kadang merintangi jalan yang mereka<br />

tempuh. Beberapa lamanya berkuda di dalam hutan, tibatiba<br />

Tumenggung Braja Nata mengekang kendali kudanya,<br />

ia berhenti. Nafasnya turun naik, seirama dengan kudanya<br />

yang mendengus-dengus. Dewi Anggraeni demi melihat<br />

kandanya berhenti. ia pun menahan si Hitam. Wajahnya<br />

merah karena darah telah naik ke urat-urat paras,<br />

sedangkan keringat pun berbintik-bintik, menambah<br />

kecantikannya berkilauan. "Sudahkah kita sampai ke<br />

Muara Kamal, Kakanda?" tanyanya dengan nafas<br />

terengah-engah. "Capai benar rasanya!" "Masih jauh,<br />

masih jauh lagi," sahut Tumenggung Braja Nata dengan<br />

nafas memburu. "Mengapa Kanda berhenti? Bukankah kita<br />

mesti cepat-cepat?" Tumenggung Braja Nata menjatuhkan<br />

kcpala-nya. Ia meloncat dari kudanya. Lalu dicarinya<br />

sebatang pohon akan menambatkan kudanya itu. "Kanda<br />

hendak mengasoh?" tegur Dewi Anggraeni. Tidakkah kita<br />

akan datang terlambat?" 128 ••Turun dahulu, Rayinda » w<br />

^ng Braja Nata dengan suara lunak^ Suknyadisini!" n*' ^ah


Wagini mencium sesuatu yang mencurigakan niaka ia<br />

mengisaratkan gustinya agar janRan m/ nurutkan kehendak<br />

Tumenggung Braja Nata" •Mungkinkah Tumenggung Braja<br />

Nata hendak merusak pagar ayu Adinda?' tanya Emban<br />

Wagini kepada dirinya sendiri. 'Mengapa sikapnya sangat<br />

luar biasa dan mencurigakan?' Dewi Anggraeni juga<br />

merasakan suasana yang sangat luar biasa. "Marilah kita<br />

lanjutkan saja perjalanan, Kanda, biar kelak mengasoh<br />

kalau sudah ketemu dengan Kakang Panji!" katanya<br />

mengelak. Senapati Arya Suralaga sudah berhenti pula,<br />

lalu menuntun kudanya, seperti tidak kunjung menemu<br />

batang pohon yang baik buat menambatkan kuda. Ia<br />

menyelinap-nyelinap dan makin men-jauh-jauh saja.<br />

Tumenggung Braja Nata melihat kelakuan Senapati Arya<br />

Suralaga itu, ia berseru keras, "Senapati! Mengapa<br />

mencari tempat jauh benar? Bukankah di sini banyak<br />

batang buat menambatkan kudamu?" 'Ti . . . tidak . . .<br />

biarlah di sana saja . . - *ahutnya gagap. . . "Kanda, ada<br />

apakah gerangan maka han ini 129 Kanda kelihatan gugup<br />

dan gclisah? Ada apakah gerangan yang terjadi?" tanya<br />

Dewi Anggraeni dengan suara bcrubah dan mata tajam<br />

menatap. "Katakan terus terang! Meski Kanda mencoba<br />

menyembunyikannya, segaJa tingkah laku Kanda sejak<br />

Udi mengatakannya kepada Rayinda, bahwa ada yang<br />

Kakanda coba sembunyikan!" Tumcnggung Braja Nata<br />

cepat-ccpat menyahut, "Tidak, Kanda tidak . . . sungguh<br />

Kanda tak ber-dusU. Radcn Panji . . . dititahkan Ramanda<br />

ke Puc . . . eh, ke Muara KamaJ, untuk . . . untuk<br />

mcngalahkan lanun . . . " "Apt?" Dewi Anggraeni terkejut,


lalu meloncat dari kudanya. "Katakanlah yang benar,<br />

Kanda, ke manakah Kakang Panji dititahkan oleh baginda?<br />

Ke Muara KamaJ? Atau ke . . . Pucangan? Tadi<br />

agaknya hendak terloncat perkataan itu dari mulut<br />

Kakanda! Dan di Muara Kamal? Apakah yang<br />

menyebabkan Kakang Panji mesti berangkat ke sana?<br />

Benarkah ada utusan dari kaisar Tiong-kok? Mengapa<br />

barusan Kanda bilang untuk menga-lahkan lanun? Ah,<br />

Kanda, katakanlah, ada apakah sebenarnya di istana?<br />

Apakah yang terjadi dengan Kakang Panji! Katakan terus<br />

terang!" Tumenggung Braja Nata termenung. 'Engkau-lah<br />

sang Janaka di medan Runi!' terdengar kalimat baginda<br />

pula olehnya. 'Tabahkan hatimu!' Sementara itu Dewi<br />

Anggraeni telah menolong mang pengasuhnya yang tua itu<br />

turun dari kuda. 130 LaJu dia berdiri dengan mata tetap<br />

taiam m dang kakanda. keningnya berkenJ, ^wl^a yang<br />

tadi cerah nampak keruh kembali "Mengapa Kakanda<br />

seperti segan? Tadi pun hamba telah berkata, katakanlah<br />

terus teranR hamba akan menyimakkannya dengan baik "<br />

Akhirnya Tumenggung Braja Nata menguasai dirinya<br />

kembali. "Ya, lebih baik Kakanda berterus terang saja<br />

sekarang . . .," katanya kemudian. "Sesungguhnya . .<br />

sesungguhnya, Raden Panji tidak dititahkan Ayahanda ke<br />

Muara Kamal..." "Habis? Ke manakah dia?" Dewi<br />

Anggraeni penasaran. "Ke Pucangan." "Ke Pucangan?"<br />

tanya Dewi Anggraeni. "Ada apa? "Ia, Raden Panji<br />

dititahkan baginda ke Pucangan, untuk menyambangi sang<br />

Kili Suci . . . " "Hendak menyambangi sang Kili Suci . . . " ¦<br />

imam Dewi Anggraeni. "Apakah soal yang mesti


disampaikan, maka Kakang Panji sampai tak ke-buru<br />

singgah untuk menemui hamba barang se-jenak? Kanda<br />

Tumenggung. ada soal apakah di istana, maka<br />

kelihatannya suasana sangat sibuk? Begitu sibuk,<br />

sehingga Kakang Panji tak sempat menengok istrinya<br />

yang menanti gelisah?" Tumenggung Braja Nata<br />

menjatuhkan pandang-an pula. 131 "Dan hamba?<br />

Mengapa Kanda bawa ke dalam hutan ini? Mengapa kita<br />

menuju ke Muara Kamal?" "Ke Muara Kamal?" gumam<br />

Tumenggung Braja Nata bagaikan tak sadar. 'Tidak. tak<br />

usah kita ke sana. di sini saja lebih baik. Karena . . .<br />

karena ... makin cepat makin baik!" "Kanda. mengapa.<br />

Kanda berkata tak keruan juntrungannya? Pusing Adinda<br />

menebak-nebak perkataan Kakanda sejak tadi! Apakah<br />

yang lebih baik dilakukan di sini? Apakah? Mengapa<br />

Kanda seperti gugup?" "Rayi, Kakanda mendapat titah<br />

Ayahanda. membawa Adinda ke sini..." Dewi Anggraeni<br />

terkejut. "Atas titah Baginda? Jadi bukan atas perminta-an<br />

Kakang Panji? Mengapa Baginda menitahkan Kanda<br />

membawa hamba ke dalam hutan?" 'Bagaimana akan<br />

kuterangkan? Bagaimana aku akan menjelaskannya?' pikir<br />

Tumenggung Braja Nata. 'la begitu jelita dan halus.<br />

bagaikan bunga yang sedang kembang . . . !' "Rayinda . . .<br />

anu. Rayinda . . . Kakanda dititahkan membawa Adinda ke<br />

dalam hutan untuk melapangkan jalan buat cita-cita<br />

kemanusiaan yang luhur. .. Cita-cita agung ..." Dewi<br />

Anggraeni makin tidak mengerti. "Melapangkan jalan buat<br />

cita-cita tinggi? Mengapa mesu membawa hamba ke<br />

dalam hutan".' 132 Mengapa hal itu tidak Kakanda katakan


tadi saja di ruman? Mengapa mesu" dalam hutan>"<br />

Tumenggung Braja Nata gugup lagi. "Tetapi . . . tetapi . . .<br />

sebaik-baiknya memang dalam hutan hal itu Kanda<br />

lakukan . . . Di sini, di sini . . . makin cepat makin baik,<br />

makin baik!" "Apa yang akan Kanda lakukan? Mengapa<br />

Kanda bicara selalu dalam teka-teki? Katakan semua-nya,<br />

supaya hamba mengerti!" "Baik akan . . . akan Kanda<br />

coba terangkan duduk halnya ..." Tumenggung Braja Nata<br />

menye-ka keringat dari mukanya, "Rayinda, tahukah<br />

adinda bahwa sesungguhnya . . . Raden Panji sudah<br />

dipertunangkan sejak masih kecil dengan putri mahkota<br />

Kadiri?" ia mengangkat muka, mengarahkan<br />

pandangannya kepada Dewi Anggraeni. "Tahukah<br />

Rayinda?" Dewi Anggraeni merasa nafasnya sesak. Jadi<br />

hal itu! Hal itu yang juga selama ini menjadi pi-kirannya!<br />

Itulah biang keladinya! Dan ia merasakan detak jantungnya<br />

yang menghebat memukul-mukul dinding dada. 'Kakang<br />

Panji, agaknya soal yang selama ini Adinda takuti juga<br />

yang menyebabkan sejak ke-marin merasa lesu ... *<br />

katanya dalam hati. •Tahukah Rayinda?" desak<br />

Tumenggung Braja Nata. Dewi Anggraeni mengangguk,<br />

tetapi lidahnya bagaikan scbungkah besi, tak sanggup<br />

kendati 133 mengucapkan sepatah "ya" sekalipun.<br />

"Pertunangan itu dilangsungkan tatkala Raden Panji masih<br />

kanak-kanak. atas persetujuan baginda Prabu JanggaJa<br />

dengan mam and a Prabu Kadiri Kedua baginda bercitacita<br />

tinggi, hendak mcm-persatukan kedua buah kerajaan<br />

Janggala dan Kadiri buat mewujudkan kembali usaha dan<br />

cita-cita moyang kita semua sang Airlangga ..." kata


Tumenggung Braja Nata mencrangkan. Dewi Anggraeni<br />

menekurkan kepala. "Hal itu hamba ketahui . . . katanya<br />

perla-han. "Dan sekarang," Tumenggung Braja Nata me*<br />

lanjutkan seolah-olah tak menghiraukan perkata-an Dewi<br />

Anggraeni, "tiba saatnya untuk mengakhi-ri pertunangan itu<br />

dengan pemikahan . .. Telah datang utusan dari Kadiri<br />

menanyakan saat per-nikahan Karena itu kemarin Raden<br />

Panji dititahkan menghadap buru-buru, sebab baginda<br />

hendak menanyakan hal itu kepadanya ..." "Jadi ada<br />

utusan dari Kadiri datang?" tanya Dewi Anggraeni tanpa<br />

mengangkat mukanya. "Dan bagaimanakah sikap Kakang<br />

Panji? Maukah ia hendak menikah dengan . . . putri<br />

mahkota Kadiri?" Tumenggung Braja Nata menghela<br />

nafas. "Itulah." katanya. "Raden Panji menolak . . . 1<br />

"Kakang Panji menolak?" Dewi Anggraeni mengangkat<br />

mukanya. 134 '•Ya. Raden Panji menolak. la sangat<br />

nmdntal Rayinda, ia tidak mau menceraikan Rayinda<br />

bahkan ia pun tidak mau mcmpcrduakan Rayinda.<br />

sehingga ..." •Alangkah besarnya, alangkah agungnya cinta<br />

Kakang Panji!" kata Dewi Anggraeni dalam hati. 'Sungguh<br />

suci!* "Tetapi bagaimanakah akhimya, Kakanda?" ia<br />

bertanya. "Bagaimanakah'disabdakan Baginda kepada<br />

utusan dari Kadiri?" "Utusan dari Kadiri masih menunggu,<br />

karena persoalan belum selesai..." "Belum selesai?"<br />

"Belum selesai. Karena Raden Panji menolak, Baginda<br />

murka . . . '» sahut Tumenggung Braja Nata. "Baginda<br />

murka? Jadi?" Dewi Anggraeni penasaran. "Baginda<br />

murka dan ... dan ... " "Dan bagaimana?" "Dan baginda<br />

menitahkan Raden Panji . . ¦ "Apa titah baginda kepada


Kakang Panji?' "Raden Panji dititahkan baginda ke<br />

Pucangan "Ke Pucangan?" Dewi Anggraeni heran. "Buat<br />

apa?" "Menyambangi sang Kili Suci... * "Hanya untuk itu?<br />

Hanya untuk menyambangi. 135 Sedangkan daJam istana<br />

persoalan mengenai dirinya belum selesai? Kakanda.<br />

katakan terus terang, buat apakah kakang Panji dititahkan<br />

baginda ke Pucangan? Akankah ia mendapat hukuman<br />

dari sang Kili Suci? Tidakkah baginda menyerahkan<br />

menghukumnya kepada sang Kili Suci?" •Tidak,"<br />

Tumenggung Braja Nata menggeleng-kan kepala. "Raden<br />

Panji hanya dititahkan me-nyambangi sang Kili Suci, agar<br />

mudah melapangkan jalan buat melaksanakan cita-cita<br />

agung sang baginda ..." "Supaya mudah melapangkan<br />

jalan! Apakah sesungguhnya yang Kakanda maksud?"<br />

tanya Dewi Anggraeni. Tumenggung Braja Nata tidak<br />

segera menyahut. "Menurut Baginda," katanya kemudian<br />

dengan suara menggigil. 1 Cita-citanya yang agung itu<br />

takkan terlaksana kalau masih ada penghalang yang<br />

merintanginya . . . Maka . . . maka .. . dititahkan-nya<br />

Kakanda mencari sarung baru buat keris pusaka kerajaan<br />

Janggala . . . . " "Kakanda dititahkan mencari sarung baru<br />

bagi keris pusaka kerajaan Janggala? Tetapi mengapa - . .<br />

" tak lanjut perkataan Dewi Anggraeni, karena tiba-uba ia<br />

mengerti. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar, dan tubuhnya<br />

terasa tak bertenaga. Penghalang! Bukankah aku yang<br />

menjadi perin136 iang tercapainya cita-cita baginda1**<br />

pikirnya Ya akulah yang menjadi rintangan. karena aku<br />

yang menyebabkan Kakang Panji tidak sudi melaksanakan<br />

cita-cita baginda untuk menikah dengan Dewi Sekar Taji!


Ya, akulah penghalang! Dan penghalang mesti<br />

dihilangkan! Rintangan mesti ditebas! Mengerti aku<br />

sekarang! Mengerti! Dan Kakanda dititahkan untuk<br />

mencari sarung bam keris pusaka Aku . . - akulah sarung<br />

bam itu! Aku!* Tak disadarinya air mata deras keluar,<br />

meleleh membasahi pipi. "Kakanda! Hamba mengerti<br />

sekarang!" katanya dengan sedu sedan yang<br />

menyesakkan dada. "Hamba mengerti mengapa sejak tadi<br />

Kakanda kelihatan gugup dan bingung! Hamba tahu, apa<br />

yang menjadi penghalang buat terlaksananya cita-cita yang<br />

agung sang baginda! Hamba. hambalah orangnya!<br />

Hambalah yang menjadi penghalang antara Kakang Panji<br />

dengan Dewi Sekar Taji! Dan penghalang mesti dibuang,<br />

ditebas! Bukankah Kakanda dititahkan baginda untuk<br />

membuang penghalang? Mengapa Kanda belum juga<br />

lakukan titah baginda yang mulia itu? Mengapa?"<br />

Tumenggung Braja Nata terkejut bukan buatan. Keringat<br />

keluar di seluruh tubuhnya. la menghindari pandangan<br />

Dewi Anggraeni, lalu matanya mencari-cari Senapati Arya<br />

Suralaga. Tetapi tak kelihatan olehnya. 137 "Mengapa<br />

tidak Kakanda acungkan keris pusaka yang mesti<br />

mendapat sarung baru itu? Mengapa tidak Kanda<br />

masukkan ke dalam serangkanya yang baru. ke dalam<br />

dada hamba? * desak Dewi Anggraeni. 'Ti . . tidak, tidak,<br />

Rayinda! Kanda . . . Kanda tak . . . sampai hati sahut<br />

Tumenggung Braja Nata. "Kakanda Tumenggung Braja<br />

Nata!" kata Dewi Anggraeni. "Mana keberanian Kanda?<br />

Bukankah Kakanda satria utama kerajaan Janggala yang<br />

jaya? Mengapa Kanda tidak hendak melaksanakan titah


dengan baik? Mengapa Kanda waswas dan ragu?<br />

Tikamlah hamba. Kanda, hamba rela! Hamba rela mati<br />

untuk kepentingan kerajaan, Kanda! Kalau hamba yang<br />

menjadi penghalang, biarlah hamba lenyapkan diri hamba!<br />

Kakanda, marilah! Bukankah kata Kanda juga makin cepat<br />

makin baik?" Tumenggung Braja Nata mundur, seolah-olah<br />

kuatir Dewi Anggraeni menerkamnya. Emban Wagini yang<br />

mendengarkan percakapan gustinya sejak tadi dan melihat<br />

suasana sudah hampir memuncak, menjatuhkan diri pada<br />

kaki gustinya, lalu menangis. "Jangan. Gusti, jangan Gusti<br />

berbuat nekat . . . Gusti, jangan Gusti menghabiskan jiwa<br />

secara per-cuma ratapnya. Dewi Anggraeni mencoba<br />

melepaskan kaki dari 138 pelukan inang pengasuhnya<br />

yang setia itu -Lepaskan! Lepaskan! Kalau kami mati tidak<br />

lah kami mati secara percuma! Setiap kawuW n gara<br />

mesti rela mengurbankan dirinya buat kepentingan negara!<br />

Lepaskan!" "Tetapi Gusti . . . Gusti masih muda dan Gusti<br />

Panji tentu akan kehilangan . Apa 'yane mesti hamba<br />

jawab kalau Gusti Panji menanyai hamba?" ratap Emban<br />

Wagini. Dewi Anggraeni murka. "Mengapa engkau, Bibi?<br />

Mengapa bertingkah? Lepaskan!" Dan melihat gustinya<br />

murka, makin erat Wagini memeluknya. "Lepaskan<br />

kataku!" teriak Dewi Anggraeni sambil menyepakkan<br />

kakinya sekuat tenaga, sehingga tubuh yang renta itu<br />

terpelanting, lalu jatuh terguling. Terdengar tangisnya<br />

menggerung-gerung. "Kanda Tumenggung! Jangan Kanda<br />

ragu! Bukankah darma satria itu mesti diletakkan di atas<br />

segala perasaan tak tega dan bimbang? Mengapa Kanda<br />

hendak memalukan kerajaan Janggala? Satria Janggala


janganlah ragu dan waswas! Lakukan titah baginda!<br />

Lapangkan jalan menuju tercapainya cita-cita agung<br />

kemanusiaan! Masukkan keris pusaka itu ke dalam<br />

serangkanya yang baru!" Tumenggung Braja Nata tidak<br />

menyahut. Tangannya yang kanan memegang keris<br />

pusaka ke139 rajaan Janggala yang telanjang itu dengan<br />

lesu dan tak bertenaga. Tabahkan hatimu! Engkau adalah<br />

Arjuna yang mesti membunuh saudara, orangtua dan<br />

gurunya di medan Kuru! Tabahkan hatimu!' suara baginda<br />

terngiang-ngiang dalam telinganya. Ia melirik kepada Dewi<br />

Anggraeni dengan ujung mata. Maka kelihatan olehnya<br />

wajah jelita itu bermandikan air mata, tetapi menunjukkan<br />

ketenangan yang luar biasa. "Kanda mengapa Kanda<br />

seperti bukan satria saja? Mengapa hatimu hati betina?<br />

Hamba kira, Tumenggung Braja Nata seorang pahlawan<br />

sinatria kerajaan Janggala! Tak tahu ternyata masih<br />

menaruh belas kasihan di atas kewajibannya!" kata Dewi<br />

Anggraeni dengan suara setengah mengejek. Ia maju<br />

mendekati Tumenggung Braja Nata. Matanya tak lepaslepas<br />

memandang Tumenggung Braja Nata yang kuyu itu.<br />

Lalu, tiba-tiba sekali, ia meloncat, tangannya yang kanan<br />

merebut keris dari tangan Tumenggung Braja Nata.<br />

Tumenggung Braja Nata terkejut, tetapi keris pusaka telah<br />

berpindah tangan. Sejenak ia terbengong, terbelalak<br />

melihat kepada Dewi Anggraeni. "Kanda, biarlah, kalau<br />

Kanda tak sampai hati menghilangkan penghalang yang<br />

merintangi cita-cita tinggi Baginda Prabu Janggala. biar<br />

kuhapuskan diriku sendiri, karena adaku di dunia hanya<br />

menambah beban kepada orang lain! Sampaikan kepada


Kakang Panji, bahwa hamba melakukan 140 semua ini<br />

dengan . . . iklas tulus!" kata Dewi Anggraeni seraya<br />

menusukkan mata keris pusaka yang tajam itu ke dalam<br />

dadanya. Darah yang merah menyirat segar, membasahi<br />

ikat pinggang dan kainnya. Perlahan-lahan tubuhnya rebah.<br />

Sedangkan darah makin banyak juga yang keluar, meruahruah<br />

di atas daun-daunan yang membusuk. "Kakang Panji!'<br />

. . . Berbahagialah ... sela . mat - . . tinggal, semuanya!"<br />

katanya terputus-putus. "Gusti! Gustiku!" teriak Wagini<br />

memburu sambil melompat, menubruk tubuh junjungannya.<br />

Lalu ia menangis di sana. "Mengapa Gusti? Mengapa<br />

Gusti meninggalkan hamba?" "Rayinda!" teriak<br />

Tumenggung Braja Nata sambil memeluk tubuh yang<br />

terkulai tak bernyawa itu. "Gusti! . . Hidupku! Untuk<br />

siapakah gunanya hidupku di dunia, kalau Gusti tak ada<br />

lagi?" ratap Wagini. "Tak kukira Gusti akan mengakhiri<br />

hidup seperti ini . Duhai, tak ada artinya hidupku kini, tak<br />

ada artinya! Tak ada!" tiba-tiba ia bangkit dan mencabut<br />

keris pusaka yang tertancap itu dari dada gustinya. Darah<br />

yang masih merah segar membasahi maU keris itu.<br />

"Jangan, jangan Gusti tinggalkan hamba di dunia sendiri ..<br />

.jangan hamba ditinggalkan!" lalu tangannya yang<br />

memegang keris itu terangkat, dan sekejap kemudian,<br />

keris itu telah terbenam pula ke dalam tubuhnya. "Nan141<br />

tikan, nantikanlah hamba. Gusti . . . Hamba ikut " desisnya<br />

makin lama kian lemah jua. Darah membanjir pula. Wagini<br />

mencari tempat di samping Gustinya, lalu rubuh, numprah<br />

tak bernyawa. '•Bibir teriak Tumenggung Braja Nata<br />

terkesima. "Duhai, dua!..." Ia memperhatikan dua mayat


yang bersisi-si-sun itu dengan mata setengah sadar. Bibir<br />

matanya bagaikan takkan mengejap, sedangkan bibir<br />

mulutnya bergerak-gerak, bagaikan menggumam. - . . .<br />

Mereka bunuh diri . . . Dua orang! Dua orang manusia! . . .<br />

Manusia, manusia berdarah merah! Hangat! Manusia yang<br />

hidup, nyata! Kini terbaring . . . terhantar tak bernyawa!<br />

Mereka bunuh diri! Duhai, mengapa dua jiwa mesti hilang<br />

percuma . . . Benarkah mereka hilang untuk kepentingan<br />

kemanusiaan? Mengapa untuk kepentingan kemanusiaan<br />

mesti lenyap terbunuh dua orang manusia yang nyata,<br />

hidup, berdaging, berdarah, bertulang, bernyawa?"<br />

Beberapa jenak lamanya ia termenung, tenggelam dalam<br />

pikirannya yang kacau, merenungkan segala peristiwa<br />

yang dialaminya sejak masih dari istana. "Cita-cita luhur<br />

senantiasa menuntut pengurbanan . Kebesaran jiwa<br />

seorang satria kelihatan dari kesanggupannya<br />

menghilangkan dan menghancurkan dirinya sendiri, dalam<br />

kepentingan kemanusiaan yang lebih besar 142 Tatkala<br />

akhirnya Tumenggung Braja Nata t„ jaga dan renungannya,<br />

ia menengok ke k ri ke kanan, mcncan-can kawannya.<br />

Hutan yanR mcn Cekam, memberikan suasana yang menS<br />

kan jiwa- la merasa lengang. Jiwanya merontl ronta<br />

meminta kawan untuk diajak menemous kelengangan itu,<br />

bicara. -Aryi Suralaga!" teriaknya tiba-tiba memecah<br />

kesunyian yang mencekam itu. "Arya Suralaga! Di mana<br />

engkau?" "Hamba!" sahutan terdengar di kejauhan,<br />

teralingi semak tinggi. "Ke mari!" "Hamba mengurus kuda.<br />

Gusti!" "Tinggalkan, biarkan kuda itu. Ke mari saja!" teriak<br />

Tumenggung Braja Nata dengan berang yang meluap


mendadak. Dengan langkah segan-segan dan hati berat,<br />

Senapati Arya Suralaga mendekati Tumenggung Braja<br />

Nata. Meski ia telah menduga peristiwa yang terjadi,<br />

namun ia terkejut juga demi melihat dua mayat tergeletak<br />

berlumuran darah yang mulai mengental. "Gusti!" hanya<br />

itulah perkataan yang keluar dari mulutnya. Tumenggung<br />

Braja Nata melirik kepadanya, kemudian menjatuhkan<br />

pandangannya pula. Beberapa jenak mereka berdiamdiaman.<br />

Tak seorang 143 pun mau bicara, kecuali dengan<br />

kelebat mata. Akhirnya Tumenggung Braja Nata bangkit,<br />

tubuhnya mengangkang hendak mengambil keris yang<br />

tertancap pada dada Wagini. Dengan hati-hati dicabutnya<br />

keris itu. "Mereka meninggal secara jantan . . . ."gumamnya<br />

lemah. "Dewi Anggraeni! Sungguh seorang satria! Karena<br />

menganggap dirinya menjadi penghalang buat cita-cita<br />

kemanusiaan yang agung, tak segan-segan dia<br />

menghapuskan dirinya sendiri ft » * * "Jadi mereka<br />

membunuh diri?" tanya Senapati Arya Suralaga.<br />

Tumenggung Braja Nata mengangguk. "Ya!" sahutnya<br />

lemah, "Ketahananku tak ada artinya dibandingkan dengan<br />

ketabahan dan kesediaannya meleburkan diri guna<br />

kepentingan yang lebih agung . " "Batara akan melindungi<br />

mereka . . . ," gumam lemah Senapati Arya Suralaga.<br />

Maka beberapa jenak pula mereka hening. Kelengangan<br />

hutan yang sayup-sayup diiringi suara binatang yang sayu,<br />

bagaikan turut berhid-mat kepada arwah yang baru<br />

meninggalkan raga. Titah telah terlaksana, tidakkah kita<br />

lebih baik pulang sekarang untuk mempersembahkannya<br />

kepada baginda?" akhirnya Senapati Arya lam^ rmCCah


kC5Unyian- Ia tak tahan lebih lama berdiam^aman dalam<br />

suasana mencekam. Tumenggung Braja Nata bangkit -<br />

Baginda tidak menitahkan kita untuk m. bawa jenazah<br />

keduanya ke istana, hendak v£ apakan jadinya mereka?"<br />

Mtt "Lebih baik kita biarkan saja di sini Su jangan<br />

diganggu binatang, lebih baik kiu'timbum dahulu ..." sahut<br />

Senapati Arya Suralaga "Baiklah," sahut Tumenggung<br />

Braja Nata mengangguk. Maka keduanya pun<br />

membetulkan letak kedua mayat itu, kemudian<br />

menimbuninya dengan sampah daun-daunan yang banyak<br />

bertebaran di sana. Tak lama kemudian, segalanya telah<br />

selesai. Bekas darah tak lagi nampak. Keduanya<br />

menganggap cukup aman, lalu berdiri akan memberikan<br />

hidmat terakhir kepada kedua jiwa satria itu. "Perhatikan<br />

batang cempaka itu . . .," kata Tumenggung Braja Nata<br />

sebelum pulang. "Bunga-bunganya sedang bermekaran,<br />

dan di bawah naungannya, kita tanam bunga yang menjadi<br />

ratu segala bunga ..." Senapati Arya Suragala tidak<br />

menyahut. Kepalanya jatuh tertunduk. Kemudian keduanya<br />

mengambil kudanya masing-masing, dan berlalu dari sana.<br />

145 144 PATIH PRASANTA Raden Panji Kuda Waneng<br />

Pati dengan diiringi oleh Patih Prasanta yang tua beserta<br />

beberapa orang ponggawa, bagaikan kalap memacu<br />

kudanya dari arah Pucangan. Raden Panji merasa sangat<br />

gelisah. Kegelisahan menyebabkan ia kehilangan<br />

ketenangan, rusuh mengamuk di dalam kalbu, berbagai<br />

perasaan berkecamuk tak menentu. Waktu ia menuju ke<br />

Pucangan, pikirannya masih dipengaruhi oleh titah<br />

baginda. Ia merasa bergembira karena baginda tidak


memaksanya menikah dengan Dewi Sekar Taji. Namun<br />

demikian, ia sendiri tidak mengerti benar mengapa tibatiba<br />

saja baginda menitahkannya menghadap kepada<br />

sang Kili Suci. Begitu penting titah itu, sampai ia tidak<br />

diperkenankan singgah dahulu akan menemui istrinya.<br />

Adalah harapan bahwa sang perta-pa akan berdiri di<br />

fihaknya, yang menyebabkan ia senantiasa menekan<br />

perasaan rusuh yang tak 146 keruan paran, sehingga<br />

dengan cepat i. k pai ke Pucangan. Tetapi alangkah hL<br />

tatkala menyaksikan sang Kili Sud m1*1 U' ny, dengan<br />

wajah yang muram d J^*^ -Sejak dahulu hatiku tawar untuk<br />

Va perkara kerajaan . . . ,» ^ ^ J"» Suci setelah mendengar<br />

persembahan Ra,unV Kuda Waneng Pati mengenai<br />

pertunangannya ngan Dewi Sekar Taji. "Hidup menyepi di<br />

petanan adalah lebih menentramkan . . . Lebih cocok<br />

bagiku. Untuk mengenal dan mengurus kehendak dan<br />

kemauan diri sendiri pun sudah sangat berat apalagi untuk<br />

mengurus orang satu kerajaan! Untuk itu tentu diperlukan<br />

pengertian dan pengurbanan yang sangat besar. Kerelaan<br />

pengurbanan yang bukan buatan. Sedangkan aku ...<br />

Daripada memberi jawaban terhadap sembah Raden<br />

Panji, sang pertapa yang sudah lanjut usianya itu, malah<br />

seolah-olah berbicara tentang dirinya, sedangkan<br />

wajahnya sangat bersedih. Dengan matanya yang muram<br />

itu ia mengawasi wajah serta kepala Raden Panji, mesra<br />

dan penuh sayang, namun kalau kebetulan Raden Panji<br />

memandang kepadanya, ia cepat-cepat menghindari<br />

pandangan putra mahkota Janggala itu. "Sebagai putra<br />

mahkota yang kelak akan memangku takhta, engkau mesti


tabah dan tetap hati. Apa yang dipetuakan oleh ayahmu<br />

adalah 147 benar semua . . . Hanya saja ..." tak lanjut pU|a<br />

perkataannya. "Sekarang paling tepat, engkau buru-buru<br />

pulang ke tempat istrimu . . . Semua lelah terjadi, tak<br />

mungkin dihindari, karena itu - karena itu engkau mesti<br />

benar-benar teguh hati. ingatlah, bahwa hidup di dunia ini<br />

hanya maya, tak langgeng, semuanya tak abadi . . . Dan<br />

engkau. Raden, seorang pahlawan yang bijaksana, tentu<br />

akan sanggup mengalami berbagai cobaan yang datang!"<br />

setelah berhenti sejenak, dengan menghela nafas yang<br />

wegah, sang Kili Suci menyambung pula. "Bukan tak ingin<br />

mengajak Raden tinggal di sini barang beberapa hari,<br />

tetapi yang paling tepat sekarang. Raden cepat-cepat<br />

pulang ke tempat istrimu ..." Raden Panji menghaturkan<br />

sembah. "Tetapi bagaimanakah gerangan dengan<br />

pertunangan hamba dengan Dewi Sekar Taji? Mungkin<br />

Ayahanda akan meminta tolong untuk menjelaskan hal diri<br />

hamba kepada Baginda Prabu Kadin, supaya tidak terbit<br />

persengketaan . . Kalau sekarang hamba pulang, apakah<br />

yang mesti hamba persembahkan kepada Ayahanda?"<br />

Suara sang Kili Suci sangat perlahan. adalahfSJ***. *aden<br />

pikirkan Ya"* bemr 148 an dunia mi! Pertemuannya<br />

dengan sang Kili Suci itu numbuhkan kegelisahan dalam<br />

hatinya la m.T ^gat heran akan tingkah laku dan perkit' X<br />

Kili Suci. Alangkah muram Sn^? apakah gerangan yang<br />

menyebabkannya^ Me ngapa tak nampak tanda-tanda<br />

kegembiraan hatinya bertemu dengan dia? Mengapa<br />

malah menyuruhnya pulang cepat-cepat? Ada apakah<br />

gerangan yang terjadi? Mengapa suaranya sangat murung


dan wajahnya berduka? Tidak, tak pernah sebelumnya<br />

sang Kili Suci nampak berduka. Setiap bersua, kelihatan<br />

wajahnya berseri-seri. Seorang pertapa yang sudah<br />

mengatasi duka dunia! Tidak lagi gelombang perasaan<br />

berpengaruh terhadapnya, maka wajahnya nampak segar.<br />

Tetapi tadi . . . ! Dalam pada itu perasaan gelisah yang<br />

berkecamuk dalam hatinya makin membadai. Ia memacu<br />

kuda secepat-cepatnya, masih juga ia merasa larinya<br />

terlalu lambat. Ia hampir tidak menoleh-noleh akan melihat<br />

kawan-kawannya seperjalanan, sehingga Patih Prasanta<br />

yang sudah lanjut usianya itu, mati-matian menyusulnya.<br />

Bahkan tiga orang ponggawa jauh tertinggal di belakang,<br />

betapapun mereka memecuti kudanya. "Alangkah<br />

aneh!'katanya berulang-ulang dalam hatinya sendiri.<br />

'Alangkah aneh yang kualami hari-hari ini! Ayahanda<br />

menitahkan aku ke Pucangan, sedangkan utusan dari<br />

Kadiri masih me149 nanti.' Dan di Pucangan. sungguh luar<br />

biasa! Mengapa sang Kili Suci nampak demikian muram<br />

dan berkata-kata bagaikan tak tentu ujung pangkalnya?<br />

Wahai, ia orang bijaksana, yang sakti kenyang bertapa,<br />

tentu waspada, tahu sudah apa maksud baginda . . . Tetapi<br />

kepadaku ia wanti-wanti berpesan supaya cepat-cepat<br />

pulang . . . Wahai, ada peristiwa apakah yang menunggu?'<br />

Begitulah hutan dan jurang dilalui dengan cepat. Jalan terjal<br />

dan licin, tetapi Raden Panji sungguh-sungguh seorang<br />

yang pandai berkuda. Di tempat yang datar, kudanya<br />

melesat laksana anak panah dari busurnya, hanya sekilas<br />

nampak oleh pandangan. 'Dan Rayinda Anggraeni . . .<br />

tentu ia sudah gelisah menanti!1 pikir Raden Panji pula.


'Seharusnya aku datang kemarin dulu. Ah, tentu ia sudah<br />

mengira yang bukan-bukan!' Teringat kepada istrinya yang<br />

sangat dia cintai. Raden Panji cerah wajahnya, lantaran<br />

terbayang sambutan istrinya itu kelak. Alangkah akan<br />

gembira Anggraeni menyambutnya! 'Sudah tahukah [a<br />

bahwa aku dititahkan ke Pucangan? Tentu salah seorang<br />

kandaku telah memberitahukannya . V tentU ^mbiarkannya<br />

menanti dalam gelisah dan melang pikirnya pula. 150<br />

Makin dekat ke tempat Peristirahatanmu simpang siur tak<br />

kenian makin menjadi. Ha2 makin gelisah saja. Dan wajah<br />

wj. berkelebat pucat terbayang-bayang dalam mata<br />

batinnya. Alangkah pucat! Seolah-olah darah tak mampu<br />

naik kepada urat-urat wajahnya, la mencoba memejamkan<br />

mata akan menghilangkan bayangan yang menyeramkan<br />

itu, tetapi selalu dan selalu saja muncul kembali.<br />

Sedangkan mata kekasihnya itu tajam tetapi tenang<br />

seakan-akan terus-menerus memandangnya, menatapnya,<br />

tak kunjung mengejap, dingin dan mengibakan .... 'Apakah<br />

gerangan yang terjadi dengan Anggraeni?' pikirnya tak<br />

habis-habisnya. "Raden! Raden Panji!" tiba-tiba terdengar<br />

teriakan di belakangnya. Itulah suara Patih Prasanta. la<br />

menghentikan kudanya. "Ada apa Mamanda Patih?" ia<br />

kembali bertanya sambil berpaling. "Hari telah sore,<br />

tidakkah lebih elok kita mencari penginapan buat<br />

bermalam saja?" tanya Patih Prasanta berteriak karena<br />

jarak antara mereka masih jauh. Raden Panji memecut<br />

kudanya pula. "Tidak! Kita terus saja!" "Tetapi, Raden ... M<br />

tak lanjut perkataar.Patih Prasanta karena sementara itu<br />

Raden Panji 151 telah jauh meninggalkannya. Ia bingung,


karena para ponggawa yang mengiringinya makin banyak<br />

saja yang tertinggal, entah meninggalkan diri. tentu lantaran<br />

kuda mereka bukan kuda pilihan tak sanggup mengejar<br />

kuda Raden Panji yang memang terkenal sangat bagus.<br />

Akankah ia menanti para ponggawa yang tercecer itu untuk<br />

kemudian mengejar bersama? Ataukah ia akan terus? la<br />

pun telah lelah, sedang mulut kudanya sudah berbusahbusah.<br />

Bagaimanapun aku mesti mengikutinya, karena<br />

untuk mengawaninyalah aku dititahkan turut...' akhirnya ia<br />

mengambil keputusan. Maka ia menyentakkan kendali<br />

pula. tanda supaya kudanya lari lagi. Kuda itu tahu akan<br />

isyarat tuannya, segera berlari. Keesokan harinya dengan<br />

wajah yang kuyu dan mata kurang tidur karena semalaman<br />

tak henti-hentinya berkuda. Raden Panji sampai di tempat<br />

peristirahatannya. Tubuhnya kaku dan lesu. tetapi kalbunya<br />

pepat, gelisah tak menentu. Waktu ia sudah menambatkan<br />

kuda dan masuk ke rumah, ia mendapati rumah lengang.<br />

Para emban dan orang-orang yang bertemu dengan dia.<br />

menghaturkan sembah diam-diam, tetapi lalu<br />

menundukkan wajah. Mereka heran melihat keadaan<br />

gustinya yang luar biasa itu dan menduga yang bukanbukan.<br />

Raden Panji mencari-cari istrinya, tetapi tak ke152<br />

^atan olehnya. -Rayinda!" ia berteriak rusuh -o- , Hanya<br />

gaung yang menyahut. ^¦nda!'1 "Rayi! Keluarlah, suamimu<br />

datang'." jetapi tak ada juga sahutan. Ia masuk ke dalam<br />

peraduan, tetapi Dewi Ano raeni tak nampak. Ia heran.<br />

Sangkaan yang bukaS" bukan memenuhi kepalanya. Lalu<br />

ia menoleh kepada seorang emban. -Emban, ke manakah<br />

gustimu? Mengapa tak kelihatan? Pergi ke tamankah dia?


Cepat panggil!" katanya. "Ampun Gusti!" sembah emban<br />

yang ditanya. 'Mengapa Gusti bertanya kepada hamba?<br />

Adalah hamba yang hendak menanyakan hal itu kepada<br />

Gusti..." Raden Panji melengak. "Apa maksudmu?"<br />

"Ampun Gusti," sembah emban. "Gusti putri kemaren dulu<br />

berangkat dengan Bibi Wagini "Pergi? Ke mana?" tanya<br />

Raden Panji heran. "Ampun Gusti, hamba kurang tahu.<br />

Yang hamba dengar, katanya hendak menyusul Gusti<br />

"Menyusul kami?" "Hamba, Gusti." "Menyusul kami ke<br />

mana? Ke istana?" "Hamba kurang tahu, Gusti. Tetapi<br />

Gusti Putn berangkat bersama rakanda Gusti Kangjeng<br />

Tumenggung ____" 153 "Apa? Bersama rakanda Braja<br />

Nata?" "Hamba, Gusti." Raden Panji terhenyak. Ia<br />

terduduk, sedang, kan tubuhnya terasa lesu. Tumenggung<br />

Braja Nata! Apakah maksudnya gerangan maka<br />

menjemput istrinya. Dewi Anggraeni? Hendak menyusul?<br />

Ke mana? Ke Pucangan? Bukankah Tumenggung Braja<br />

Nata tahu bahwa Raden Panji mendapat titah ayahanda ke<br />

Pucangan, menyambangi Sang Kili Suci? Mengapa malah<br />

ia menjemput istrinya? Sedangkan baginda tidak<br />

memperkenankan ia sendiri singgah menemui istrinya itu!<br />

Mengapa justru Tumenggung Braja Nata malah<br />

menjemputnya? Untuk pergi ke mana? Dan kapan . . . ?<br />

Kemarin dulu! Kemarin dulu! Bukankah waktu itu pula ia<br />

mendapat titah ayahanda? Bukankah kemarin dulu ia<br />

berangkat ke Pucangan? Agaknya "Apakah maksud<br />

Kakanda Tumenggung?* pikir Raden Panji. 'Mustahil ia<br />

hendak main gila kepada Dewi Anggraeni, tetapi . . .<br />

mengapa tidak? Dewi Anggraeni sangat jelita Terpengaruh


oleh pikirannya yang bercemburu, darah Raden Panji naik.<br />

Wajahnya bagaikan terbakar dan amarah meluap-luap.<br />

"Ke mana mereka hendak pergi?" ia bertanya pula kepada<br />

emban. lr.^PKUn PUSti' hamba kU* t3hu> *b*b ketjka itu<br />

hamba sedang di belakang . .. ," sahut 154 -fliban..^pakah<br />

yang ketika itu ada di deo^ c mari1" Sumh Yfi manEmban<br />

itu mengundurkan diri akan kawannya yang kemarin dulu<br />

melavani ^ ^ men*a. Waktu ia kemba,i, T^IZ orang emban<br />

yang lain. '¦Darmir tegur Raden Panji. "Tahukah kau ke<br />

mana gustimu kemarin dulu hendak dibawa">" "Ampun<br />

Gusti, kemarin dulu itu hamba di da-|am saja. Hamba tidak<br />

tahu tegas, karena yang melayani tamu hanya bibi Wagini<br />

saja," sahut emban itu. "Tetapi tatkala Gusti Putri<br />

berkemas-kemas, hamba ada dengar juga tempat yang<br />

hendak dituju, katanya hendak menyusul Gusti ..." "Ya, ke<br />

mana katanya mereka mau pergi0" Raden Panji tak sabar.<br />

"Kalau hamba tak salah ... ke Muara . . . Muara Kam . . .<br />

Muara Kamal," sahut emban itu dengan ragu-ragu.<br />

"Katanya hendak menyusul Gusti yang telah berangkat<br />

duluan ke sana..." "Ke mana? Muara Kamal?" "Hamba,<br />

Gusti. Muara Kamal." Raden Panji bangkit. Kepada Patih<br />

Prasanta yang masih berdiri di ambang pintu, ia berkata,<br />

"Mamanda Patih! Kita Pergi ke Muara Kamal!" "Tetapi<br />

Raden ..." "Mamanda, kita berangkat sekarang!" 96 155<br />

Patih Prasanta menghela nafas. Matanya memandang tak<br />

mengerti kepada putra mahkota Janggala. Kepalanya<br />

menggeleng. Raden Panji sudah melompat dari rumah, lalu<br />

mendekati kudanya pula. Waktu dilihatnya kuda itu<br />

kelelahan, ia menukarnya dengan yang baru dari kandang.


"Ke mana kita hendak pergi. Raden?" tanya Patih<br />

Prasanta. Raden Panji menepuk-nepuk punggung kuda.<br />

"Ke Muara Kamal! Ambillah kuda baru dari kandang!" "Ke<br />

Muara Kamal? Ada apa?" Tetapi Raden Panji tidak mau<br />

menyahut. Ia meloncat ke atas punggung kuda, lalu<br />

memacunya. Ia bagaikan tidak menghiraukan lagi patih<br />

Prasanta. Patih yang tua itu segera pula mencari kuda<br />

baru, lalu memacunya, mengejar Raden Panji. "Sungguh<br />

aneh!" bisiknya. Tetapi ia tidak berani melepaskan putra<br />

mahkota pergi sendirian, maka ia pun kepacu ke arah<br />

Muara Kamal. Kuda baru yang masih bertenaga penuh itu,<br />

melesat terbang membawa Raden Panji dalam<br />

kegelisahan dan berbagai pikiran yang kusut. Tumenggung<br />

Braja Nata! Sungguh tak kusangka! Mengapa ia berbuat<br />

nista?' pikirnya. Selagi aku menjalankan titah Baginda, ia<br />

mencuri istriku! Kurang ajar" 156 patin Prasanta yang tua<br />

itu kini tidak ma ketinggalan. Kudanya yang jUga kuda piC<br />

yang diambilnya dan kandang kuda Raden lari dengan<br />

kecepatan luar biasa, la tidak jauh i belakang Raden Panji.<br />

Demikianlah beberapa lamanya keduanya berke jarkejaran<br />

bagaikan orang yang sedang berlumba Setelah<br />

melewati padang yang luas dan tanah-tanah pertanian<br />

yang subur, mereka masuk ke dalam hutan lebat. Pohonpohonnya<br />

tinggi-tinggi, tapi meski demikian, Raden Panji<br />

tetap memacu kudanya. Hanya kalau terhadang oleh<br />

belukar yang lebat, ia memperlambat lari kudanya. Tibatiba<br />

kudanya berbenger dan menghentikan langkahnya,<br />

dan tak jauh di sebelah depan terdengar pula benger kuda.<br />

Tak tertahan lagi kuda yang ditunggangi itu lari ke arah


suara kuda datang. Sia-sia saja Raden Panji menahannya.<br />

Maka segera ia mempertajam matanya. "Si Hitam!"<br />

teriaknya tatkala kelihatan olehnya seekor kuda tertambat<br />

pada sebatang pohon trembesi. "Mengapa ada di sini?"<br />

Lalu ia pun mendekati kuda itu. kemudian turun. Patih<br />

Prasanta pun mengikuti Raden Panji. "Ada apa, Raden?"<br />

ia bertanya. "Si Hitam kuda tunggangan Dewi Anggraeni<br />

ada di sini!" sahut Raden Panji sambil mendeKau 157 si<br />

Hitam, yang setelah mengenali majikannya |aiu berbenger<br />

pula. "Mengapa ada di sini?" si Hitam hanya meringkik<br />

saja. "Lihat, tapak kuda di sini bukan hanya bekas si Hitam<br />

saja!" kata Patih Prasanta yang segera memperhatikan<br />

keadaan sekelilingnya. "Agaknya paling tidak ada dua<br />

ekor kuda lainnya lagi!" Raden Panji turut memperhatikan<br />

tapak kuda. "Ya, ada dua tapak kuda pula yang bukan<br />

bekas si Hitam!" sahutnya. "Salah satu mestilah tapak<br />

kuda Tumenggung Braja Nata! Ke mana mereka<br />

sekarang?" Patih Prasanta mengikuti tapak kuda itu<br />

dengan seksama. "Mereka menuju kembali ke arah yang<br />

kita tinggalkan . . . ," katanya kemudian. "Mereka datang<br />

bertiga, tetapi yang satu ditinggalkan!" "Itulah si Hitam!"<br />

potong Raden Panji cepat. "Dan itu kuda tunggangan<br />

istriku Dewi Anggraeni!" Wajahnya menjadi pucat dan<br />

merah bergantian. Ia murka kepada Tumenggung Braja<br />

Nata, tetapi ia pun kuatir akan nasib istrinya . . . . "Jadi<br />

bagaimana? Kita kejar atau . . . ?" "Kita cari dahulu<br />

penunggang si Hitam!" Raden Panji memutuskan. Ulu ia<br />

memperhatikan keadaan sekitarnya dengan teliti. "Lihat!<br />

Apakah tumpukan daun-daun kering itu? Mengapa seperti


dibikin orang?" h pun Iari ke arah fcan dedaunan kenng di<br />

bawah pohon cempaka. 158 kapenun penasaran Raden<br />

Panji membongkar ampukan daunan yang membukit itu.<br />

Tent nya bagaikan kerasukan sebentar saja tumpuk^ daun<br />

yang tinggi itu telah dia bongkar. Dan tatkala akhirnya ia<br />

menyentuh tubuh yang kaku, makin cepat ia membongkar,<br />

sedangkan tangannya menggigil. Jantungnya berhenti<br />

berdenyut. "Anggraeni!" teriaknya kemudian tatkala ia<br />

melihat mayat siapa gerangan yang terbujur itu. Lupa akan<br />

apa pun jua, ia menjatuhkan dirinya, lalu menangis di atas<br />

tubuh istrinya yang dingin dan kaku, namun utuh,<br />

sedangkan pada bibirnya tersungging senyuman rela.<br />

Raden Panji terjatuh. Ia yang lelah karena kurang tidur dan<br />

memacu kuda tak henti-hentinya itu, tak tahan mengalami<br />

kekagetan dahsyat, sehingga pingsan. Patih Prasanta<br />

yang berdiri di belakangnya, lalu menubruk. Raden Panji<br />

yang tak sadarkan diri itu, ditidurkan baik-baik, sambil dia<br />

pijiti supaya lekas siuman. Kemudian ia meninggalkan<br />

tubuh Raden Panji, mendekati mayat Dewi Anggraeni.<br />

Sisa-sisa sampah yang masih menutupi wajah dan<br />

badannya, dibuangnya, lalu mayat itu diangkatnya,<br />

dibaringkan baik-baik di dekat Raden Panji. Maka<br />

kelihatan olehnya mayat yang lain, 159 yang tak bukan<br />

adalah mayat Emban Wagini. Mayat itu pun diangkatnya<br />

baik-baik dan diba-ringkannya. "Sungguh dahsyat!"<br />

pikirnya dalam hatinya sendiri. "Agaknya untuk inilah<br />

baginda menitahkan Raden Panji ke Pucangan! Sungguh<br />

berhati batu! Dia hendak menyingkirkan penghalang yang<br />

menuju perkawinan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji!


Wahai, lihat! Senyuman Dewi Anggraeni, bagaikan iklas ia<br />

meninggalkan dunia ini untuk kepentingan persatuan dua<br />

kerajaan! Tumenggung Braja Nata! Sungguh tangguh<br />

kalbunya, keras hatinya, sampai tega ia membunuh istri<br />

adiknya sendiri!" Ia memijiti urat-urat Raden Panji pula<br />

supaya lekas siuman, tetapi sia-sia saja. 'Sungguh besar<br />

pengurbananmu, Raden!* ratapnya dalam hati. Sungguh<br />

keras kehendak Raman-da! Dan engkau, Raden - wahai,<br />

inilah agaknya arti petua sang Kili Suci! Raden mesti<br />

tabah! Raden mesti sadrah! Raden, inilah agaknya yang<br />

dimaksudkan sang Kili Suci! Ia sungguh waspada, meski<br />

tak sepatah pun berkata, namun tak ada rahasia baginya.<br />

Pantas wajahnya muram! Sungguh berat, sungguh berat<br />

Raden, cobaan yang mesti kautanggungi' Patih Prasanta<br />

menghela nafas, «dang tangannya masih juga memijit<br />

Raden ranu. Tak bisa kupersalahkan baginda yang 160<br />

keras hati membela kepentingan kerajaan, demi<br />

tercapainya cita-citanya yang suci serta luhur itu' Untuk<br />

setiap cita-cita tinggi memang harus diberikan<br />

pengurbanan yang besar! Tetapi. .. Radcn Panji pun<br />

seorang manusia yang mempunyai hati Ia pun mempunyai<br />

kehendak-kehendak untuk mengecap kebahagiaan<br />

kalbunya . . . Tidak, ia pun tak bisa dipersalahkan karena<br />

tidak mau menerima titah baginda . . . / tak terasa lagi air<br />

matanya keluar dan menitik, hangat terasa. 'Sayang,<br />

sungguh sayang sekali . . . sayang sekali ... Ah, mengapa<br />

baginda tidak bertindak bijaksana? Mengapa baginda<br />

menempuh jalan keras? Aduhai, Raden, sadar, sadarlah . .<br />

. Kuatkan hatimu! Tabahkan! Tanggungkan cobaan yang


sangat berat ini! Sadarlah, Raden, sadarlah ...' Dari arah<br />

selatan, terdengar suara ketepuk kaki kuda. Tak lama<br />

kemudian kelihatan mendatang para ponggawa di atas<br />

kuda mereka: letih dan lesu, namun nampak berkuatir atas<br />

nasib putra mahkota. Demi melihat Patih Prasanta sedang<br />

berjongkok menghadapi tiga orang yang terhantar kaku,<br />

terkejut mereka bukan buatan, lalu bersi-cepatan turun dari<br />

punggung binatang tunggangannya. "Mengapakah Gusti<br />

Panji, Gusti Patih?" tanya salah seorang di antara mereka.<br />

Patih Prasanta hanya menengokkan mukanya. 161 Dua<br />

orang ponggawa tergopoh-gopoh mencari air dingin.<br />

Untung tak jauh dari sana ada sumber air yang jernih<br />

bening, sehingga tak lama kemudian ia sudah datang<br />

membawa air yang diminta. Patih Prasanta menerima air<br />

itu, lalu menyiram kepala Raden Panji. Karena air dingin<br />

itu, Raden Panji siuman pula. Perlahan-lahan ia membuka<br />

mata. "Anggraeni . . . Anggraeni . . . gumamnya, la<br />

memandang ke sekelilingnya, lalu bangkit, sedangkan<br />

Patih Prasanta dan para ponggawa lain seakan-akan tak<br />

dia lihat. Dia menubruk tubuh istrinya. "Anggraeni . . .<br />

mengapa kau tidur di sini? Mengapa bukan di rumah?<br />

Duhai, Anggraeni, istriku sayang, alangkah nyenyak<br />

tidurmu! Dan ini, mengapa dadamu berdarah? Duhai,<br />

nyamuk jahanam itu telah menyentuh kulitmu! Tenang,<br />

tenanglah, tidurmu jangan terusik, biar kujaga baik-baik!"<br />

Lalu dia meloncat ke arah kuda, dicarinya, sesuatu, tetapi<br />

tatkala tak ketemu, ia kembali kepada istrinya. ¦ "Di<br />

manakah kipas kautinggalkan, Adinda? Biar. biarlah tak<br />

kukipasi juga, angin di sini sejuk menyilir . . . Tidur saja kau,


tidurlah . . . Biar kusenandungkan lagu-lagu yang indah . . .<br />

," maka ia pun menembang dengan suaranya yang parau,<br />

hampir mulutnya rapat pada telinga istrinya itu, sehingga<br />

orang-orang yang melihat tamasya itu segera<br />

memalingkan wajahnya. 162 "Raden . . . , Raden . . . «<br />

gUmam Patih pra santa. Para ponggawa yang lainnya<br />

menjatuhkan kepalanya masing-masing. Mereka berduka<br />

demi me lihat tingkah gusti mereka. Mereka pun berduka<br />

lantaran melihat mayat Dewi Anggraeni. Yang<br />

mengherankan mereka adalah meskipun darah yang<br />

keluar dari lukanya sudah hitam kering, tetapi tubuhnya<br />

masih tetap segar bugar, bagaikan masih bernyawa. Dan<br />

senyuman yang bergelut pada bibirnya . . . , takkan<br />

mungkin disangka orang sudah menjadi mayat. Waktu<br />

mengangkat wajah, mereka hanya bersipandangan<br />

dengan sesamanya, untuk kemudian menjatuhkan kepala<br />

pula. Patih Prasanta pun tidak mengganggu Raden Panji<br />

yang sedang bersenandung itu. Ia hanya diam juga<br />

menundukkan kepala. Akhirnya Raden Panji selesai<br />

bersenandung, lalu bangkit pula dan memangku istrinya itu.<br />

"Ah, mengapa di sini, Sayang, mengapa di sini Dinda<br />

terbaring? Lumut itu mengotori kulitmu indah, dan ranting<br />

itu akan menusuk lenganmu langsat ..." bisiknya mesra.<br />

"Mari kupindahkan, kupindahkan engkau atas ranjang<br />

gading ketiduran kita. . . " JLalu ia menoleh kepada patih<br />

Prasanta. "Mamanda Patih! Mengapa diam saja? Ambillah<br />

Bibi Wagini itu, Mamanda pangku ia, supaya kita 163<br />

pindahkan mereka, jangan tertidur di sini . . . Pelan-pelan,<br />

jangan sampai ia terjaga dari tidurnya!" katanya memberi


perintah. Patih Prasanta ayal-ayalan, ia ragu-ragu, "Tetapi<br />

Raden ... Raden ..." "Mengapa Mamanda tidak segera<br />

menjalankan titah? Ataukah Mamanda tidak memandang<br />

mata lagi kepada kami? Mamanda tahu, kami putra<br />

mahkota Janggala, yang akan naik takhta, dan putra<br />

mahkota mesti tabah hati, mesti berani berkurban ..." lalu<br />

tiba-tiba saja ia tersedu-sedu bagaikan kanak-kanak.<br />

Maka basahlah wajah istrinya oleh air mata. "Duhai,<br />

mengapa kubasahi wajah jelita ini dengan air mata hina?<br />

Tidur, tidurlah Rayi, jangan engkau terjaga oleh karena air<br />

mata ini! Kekasih abadi! Percayalah, biar gunung Semeru<br />

mereka hadangkan antara kita, namun engkau tak nanti<br />

terpisahkan dari hidupku . . . Percayalah, kekasih,<br />

percayalah! Percayalah akan cintaku yang besar! Tak nanti<br />

kukhianati! Biar, biar, biar seluruh kerajaan memusuhi<br />

Kakanda, namun hatiku tetap cintamu . . . Anggraeni! Lihat!<br />

Bunga cempaka! Alangkah indah! Maukah kau kuuntai<br />

sekarangan bunga, akan menjadi penghias keje-litaanmu?<br />

Alangkah cantiknya Adinda jika berhiaskan bunga . . .<br />

Tetapi, bunga cempaka! Wahai, mengapa bunga seputih<br />

ini berbau darah? Tak terciumkah olehmu. Adinda, amis<br />

darah merangsang hidung? Amis! Amis! Mamanda Patih!<br />

Me164 ngapa amis darah? Darah siapa duhai Mamanda<br />

Patih? la menoleh kepada Patih Prasanta. Sang patih<br />

menundukkan wajah. Air matanya makin lebat membasahi<br />

pipinya yang tua keriputan itu, lantaran tak tega melihat<br />

keadaan junjungannya » "Raden . . . Raden . . . ," hanya<br />

itulah yang keluar dari mulutnya. "Mamanda Patih!<br />

Siapakah yang luka? Siapakah yang darahnya .. lihat!


Alangkah merahnya darah itu! Lihat mengapa batang<br />

cempaka itu mengeluarkan darah semerah itu? Mengapa<br />

batang cempaka bukan bergetah, melainkan berdarah?" ia<br />

mundur sambil memangku istrinya. "Paman, mundur,<br />

mundur, darah itu makin banyak makin banyak jua! Lihat<br />

membanjir! Tidakkah ia akan menghanyutkan kita?<br />

Mamanda Patih! Tolong!" Raden Panji memejamkan<br />

matanya. Dan berteriak-teriak meminta tolong tak keruan.<br />

Patih Prasanta dan para ponggawa hanya melihatnya saja.<br />

Mereka tidak melihat darah, tentu hanya penglihatan<br />

Raden Panji saja. Tatkala ia membuka matanya pula,<br />

Raden Panji memeluk istrinya erat-erat, sedang ratapnya<br />

berkepanjangan. "Anggraeni, istriku, kekasihku . . .<br />

Mengapa, matamu begitu berduka? Mengapa begitu<br />

sedih? Ali, engkau tidur di pangkuanku, mengapa matamu<br />

tak pejam? Mengapa memandangku begitu sayu? 165<br />

Mamanda, Mamanda Patih! Siapakah orang itu yang<br />

wajahnya seperti kekasihku, menatap tak henti-henti<br />

kepadaku? Siapakah dia? Bukan, dia bukan istriku,<br />

karena istriku sedang nyenyak tertidur di pelukanku . . .<br />

Mamanda, tolong! Tolong singkirkan dia, karena darah tak<br />

henti-hentinya mengalir dari dadanya! Duhai, tolong, darah<br />

yang merah! Merah!" Raden Panji berlari-lari ketakutan<br />

dan mulutnya tak henti-hentinya berteriak-teriak. Patih<br />

Prasanta memburunya. Dipegangnya bahu Raden Panji.<br />

"Raden tenanglah Raden, tenanglah . . . Tak ada orang<br />

yang memandang Raden dan darahnya tak henti-henti<br />

mengalir . . Tak ada!" "Tetapi lihat! Ia berdiri di samping<br />

Mamanda! Ia memandang! Mamanda. suruh ia pergi!


Jangan memandangku dengan pandangan dingin begitu!"<br />

"Raden . . . ," suara Patih Prasanta serak lantaran hiba.<br />

"Yang berdiri di samping Raden, hanya Mamanda<br />

seorang, tak ada yang lain! Dan Dewi Anggraeni.... "<br />

"Sssttt . . .," Raden Panji menekankan telunjuk ke mulutnya.<br />

"Jangan keras-keras Mamanda bicara, nanti ia terjaga!<br />

Lihat, ia tidur, nyenyak sekali. Perlahan-lahan Mamanda,<br />

supaya ia jangan terjaga..." Patih Prasanta hanya<br />

memandang dengan kasihan. 166 •Tidur, tidurlah sayang .<br />

. . ;> kaU Rad kepada mayat istrinya. "Tidurlah biar<br />

nyenvTk-Jangan hiraukan suara-suara yang<br />

mengganggumu-Dengar, dengarlah, biar Kanda<br />

senandungkan pula lagu yang indah . . . ," dan ia pun<br />

menyanyi pula dengan suara yang rendah dan parau,<br />

sedangkan matanya hampir pejam, pipinya di atas pipi<br />

Dewi Anggraeni. Ia membisikkan senandungnya itu ke<br />

telinga kekasihnya. Patih Prasanta serta para ponggawa<br />

kembali menjatuhkan kepala. Mereka menghindarkan<br />

pandangan dari tamasya yang mengenaskan itu . . . Raden<br />

Panji berjalan beberapa tindak, lalu duduk dan<br />

membaringkan kekasihnya di atas naungan pohon yang<br />

rindang. Ditaruhnya kepala mayat istrinya di atas pangkal<br />

lengannya yang kanan, lalu tangannya yang kiri memeluk<br />

sayang tubuh istrinya, sedangkan mulutnya tidak juga<br />

berhenti bersenandung.... Tidak lama kemudian suaranya<br />

lenyap, agaknya ia tertidur. Patih Prasanta terjaga dari<br />

lamunannya, lalu bangkit dan memberi isyarat kepada para<br />

ponggawa agaj^ mengikutinya, la berjalan agak jauh dari<br />

tempat Raden Panji, lalu memberi perintah dengan


erbisik. "Biarkan ia tertidur, jangan berbuat ribut. Ia lelah .<br />

. . ," ia lupa bahwa ia sendiri bersama para ponggawa itu<br />

lelah semua. Lalu dititahkannya 167 supaya dua orang<br />

ponggawa pulang ke istana, akan mempersembahkan hal<br />

Raden Panji kepada baginda,,Ampun Gusti Patih,"<br />

sembah ponggawa yang mendapat titah itu.<br />

"Bagaimanakah hamha mesti mempersembahkan hal itu<br />

kepada uaginda?" Patih Prasanta berpikir keras. "Kau<br />

persembahkanlah apa yang kausaksikan sendiri dengan<br />

matamu ..." katanya kemudian. "Mestikah hamba<br />

persembahkan, bahwa Raden Panji . . . Raden Panji . . .<br />

berubah . . . eheh . . . berubah ingatan?" Patih Prasanta<br />

menghindarkan pandangan ponggawa itu.<br />

"Penembakanlah hal yang sesungguhnya .... sahutnya<br />

kemudian. Sang ponggawa menekur. 'Tidakkah baginda<br />

akan murka?" ia bertanya menggumam "Bagaimanapun,<br />

kau mesti mempersembahkan hal yang sesungguhnya ..."<br />

sahut Patih Prasanta pula. "Persembahkan, bahwa aku<br />

tidak menghadap sendiri, karena kualir kalau-kalau Raden<br />

Panji berbuat nekat____** Ponggawa itu segera<br />

menghaturkan sembah, lalu bersama seorang kawannya<br />

mengendap-endap menuntun kudanya kembali ke arah<br />

Kahu-ripan. Patih Prasanta duduk dengan kepala<br />

tertunduk. 168 Kantuk dan lelah dinnya tak dia rasa,<br />

pikirannya tertuju kepada keselamatan gusti mudanya saja<br />

Sejenak ia memandang ke arah Raden Panji tertidur<br />

berpelukan dengan mayat istrinya itu, lalu air matanya pun<br />

mengalir tak tertahankan lagi. Ia merasa hiba dan sedih<br />

hati yang luar biasa. 'Alangkah hebat akibat kekerasan hati


aginda! Menantu yang tak berdosa dibunuh dan putranda<br />

sendiri! .. . Wahai, putra mahkota Janggala yang berhak<br />

atas takhta, berubah ingatan! Bagaimana pula baginda<br />

akan melaksanakan cita-citanya menikahkan Raden Panji<br />

dengan Dewi Sekar Taji? Duhai, akan remuk hati sang<br />

permaisuri apabila disaksikannya putranda berhal seperti<br />

ini!' pikirnya. Patih Prasanta memandang pula ke arah<br />

Raden Panji yang tenang tertidur di samping mayat istrinya<br />

itu. 'Alangkah besar cintanya! Alangkah besar! Dan<br />

alangkah besar pengurbanan yang mesti dia berikan!<br />

Sungguh hebat!' pikirnya pula. Sementara itu angin yang<br />

sejuk, bangkit semilir membawa kantuk. Seluruh hutan<br />

bagaikan mati. Kuda-kuda mengisi perutnya dengan lahap<br />

sambil beristirahat. Para ponggawa di kejauhan bagaikan<br />

terpukau oleh kantuk. Terdengar bisik-bisik dan keluhankeluhan<br />

berduka, tetapi peristiwa yang mereka alami dan<br />

saksikan menyebabkan mereka terpaku lidahnya. Kelu.<br />

169 Sang patih bersandar pada sebatang pohon, dan<br />

tatkala angin yang semilir menyejuk tubuhnya, ia pun jatuh<br />

tertidur. Tatkala ia terjaga pula. Raden Panji sudah berdiri<br />

di sampingnya, sambil mengguyah-guyahkan tubuhnya.<br />

"Mamanda! Mamanda! Mari kita berangkat!" Patih<br />

Prasanta membuka matanya. "Berangkat ke mana.<br />

Raden?" "Kita pergi ke pantai! Ke Muara Kamal!" Patih<br />

Prasanta terheran-heran. "Ke Muara Kamal?" "Ya, kita<br />

pergi ke Muara Kamal. Dewi Anggraeni ingin mandi di laut.<br />

Ia ingin melihat pemandangan laut. Ia ingin berenangrenang,<br />

berperahu, berlayar-layar, menghirup udara laut..."<br />

Patih Prasanta memegang kedua bahu junjungannya, dan


sambil matanya memandang tajam kepada wajah Raden<br />

Panji, ia berkata, suaranya perlahan dan bagaikan tersekat<br />

di kerongkongan, "Raden, tetapi. Raden, sadarlah! Dewi<br />

Anggraeni sudah meninggal. Ia tidak punya kehendak lagi.<br />

Ia sudah tidak berkeinginan lagi. Ia mesti . . . " Raden Panji<br />

menyentak melepaskan tubuhnya dari pegangan Patih<br />

Prasanta. ''Apa kata Mamanda? Dewi Anggraeni<br />

meninggal- Jangan Mamanda bicara yang bukan-bukan!<br />

Tidakkah Mamanda lihat ia tersenyum, menertawakan<br />

perkataan Mamanda? Sudahlah Mamanda, 170 mari kita<br />

berangkat! Tidakkah terdengar oleh Mamanda suara<br />

ombak menderu mengajak kita mandi di dalamnya?" Patih<br />

Prasanta memandang dengan mata penuh hiba. "Tetapi<br />

Raden, Raden----yang Raden peluk itu bukan istri Raden,<br />

melainkan . . . ," katanya kemudian. "Apa? Mamanda<br />

masih bicara juga? Mamanda kira siapa yang kupeluk ini?<br />

Istriku! Istriku Dewi Anggraeni yang tercinta!" teriak Raden<br />

Panji. "Lihat, ia merasa gerah, ia ingin mandi. Mari kita<br />

berangkat ke Muara Kamal! Bukankah ia berangkat dari<br />

rumah pun menuju ke Muara Kamal?" Patih Prasanta<br />

menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian ia memegang<br />

bahu Raden Panji pula. "Dengarkan Raden ..." katanya.<br />

"Yang Raden peluk itu memang istri Raden, Dewi<br />

Anggraeni yang Raden cintai dan mencintai Raden<br />

sepenuh hati. Tetapi sekarang, sekarang ... ia sudah<br />

meninggal . . . Tidakkah Raden perhatikan wajahnya? Ia<br />

tidak lagi bernafas ..." "Mamanda! Sudah, jangan bicara<br />

juga! Kekasihku langgeng, kekal, ia 'kan kekal mencintaiku<br />

dan tak nanti meninggalkan daku sendirian di dunia ini.


Tidak! Ia 'kan tetap setia di sampingku!" Kemudian 'ia<br />

menoleh kepada kekasihnya. "Tidakkah benar begitu,<br />

kekasihku?" 171 Patih Prasanta hanya menghela nafas. Ia<br />

mengalihkan pandangan dan junjungannya. "Mamanda!"<br />

terdengar Raden Panji bicara pula. "Pangkulah Bibi<br />

Wagini! Kasihan ia wanita, sudah lanjut pula usianya! Biar<br />

Dewi Anggraeni akan kupangku. Mamanda pangku Bibi<br />

Wagini! Ia seorang emban setia, pengasuh kekasihku<br />

sejak masih kecil, tak mau ditinggalkan ke mana pun<br />

gustinya pergi . . . Sekarang, mari kita ajak dia ke laut. Biar<br />

senang keduanya menyaksikan tamasya laut yang indah .<br />

..," kemudian ia menoleh kepada mayat istrinya,<br />

"Bukankah Adinda belum melihat laut yang berbusa putih?<br />

Laut yang sejauh-jauh mata memandang terhampar luas?<br />

Pucuk ombak gemerlap, perahu mayang, ikan-ikan,<br />

binatang-binatang, matahari, dan bulan! Ya, kita lihat<br />

matahari dan bulan bersama-sama di atas laut! Mari, mari<br />

sekarang juga Kanda antar ke sana, biar suka hatimu, biar<br />

puas Adinda menghirup udara laut yang menyegarkan!<br />

Mari kita berangkat, mari!" lalu ia pun bangkit, dipangkunya<br />

istrinya, kemudian berjalan menuju kudanya. Hati-hati<br />

sekali dinaikkannya tubuh istrinya itu di atas kuda, lalu<br />

dilepaskannya tali tambalannya, baru ia naik. Dipegangnya<br />

kendali dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya<br />

memeluk tubuh istrinya erat-erat. "Mari Mamanda! Mari.<br />

cepat!" teriaknya sambil mcnoleh kepada Patih Prasanta.<br />

"Mengapa Mamanda selalu ayal-ayalan? Patih Prasanta<br />

segera melakukan Utah junjun*-annya. Dipangkunya mayat<br />

Emban Wagini lalu dinaikkannya ke atas kuda. Tetapi


sebelum ia sendiri naik, diberinya isyarat supaya para<br />

ponggawa pun turut mengikutinya. "Biar bagaimana pun,<br />

mesti kita ikuti ..." katanya kepada para ponggawa itu.<br />

"Jangan biarkan ia berbuat apa pun sendirian ... Ke<br />

manapun kita mesti turut. Hatinya sangat berduka dan<br />

cintanya kepada istrinya sangat besar, maka tak mau ia<br />

percaya bahwa istrinya sudah meninggal. Maka baginya,<br />

Dewi Anggraeni itu masih berjiwa jua agaknya ..." Para<br />

ponggawa mendengarkan perkataan patih Prasanta<br />

dengan diam-diam dan menundukkan kepala. Mereka<br />

menundukkan kepala, lantaran terharu dan iba yang amat<br />

sangat. Segera mereka mengambil kudanya masingmasing<br />

dengan diam-diam. Sementara itu Raden Panji<br />

sudah beberapa belas tumbak meninggalkan mereka.<br />

Sayup-sayup terdengar senandungnya yang parau. Makin<br />

lama suaranya makin keras dan makin keras jua.<br />

Walaupun parau, suaranya bagaikan bukan orang berduka,<br />

melainkan riang seriang-riangnya riang. Demikianlah iringiringan<br />

yang aneh itu berjalan. Di depan Raden Panji<br />

memeluk mayat 173 172 istrinya tak henti-hentinya<br />

menembang. Dan di belakangnya mengikuti Patih<br />

Prasanta yang jUga memeluk mayat, tetapi ia tidak<br />

menembang, melainkan berwajah muram dan berduka. Di<br />

belakang mereka mengikuti para ponggawa yang juga<br />

tidak nampak gembira, bahkan bersedih hati. Keluar dari<br />

hutan, maka nampaklah tegalan yang luas, dengan ilalang<br />

yang bergelombang. Di kejauhan terdengar dentur ombak<br />

laut yang menerjang pantai. "Dengar, kaudengarkan<br />

kekasihku, suara gelombang itu menghimbau


memanggilmu? Mari, mari kita ke sana! Laut ingin<br />

dikunjungi oleh putri jelita seperti engkau, supaya sudi<br />

mencecahkan kakimu indah berbasah-basah di tepi pantai<br />

..." bisik Raden Panji kepada istrinya. "Dan lihat! Alangkah<br />

indahnya! Di sini tidak seperti dalam hutan! Pemandangan<br />

luas dan bebas! Tak ada pohon-pohon suram yang<br />

menghalangi pandangan! Alangkah luas! Mari dongakkan<br />

kepalamu, pandanglah semuanya sepuasmu!" Suara<br />

ombak makin nyata terdengar, dan tak lama kemudian<br />

sampailah mereka di pesisir. Pucuk ombak yang menuju<br />

pantai gemerlap dalam sinar matahari yang terik. Keringat<br />

kuda bercucuran, ^rmanuc-manik sepanjang surinya,<br />

bagaikan perlua^^be^Kek?KkU' Iih3t! Uhallah ,aut luas<br />

terbentang di hadapanmu itu! Alangkah indahnya<br />

pemandangan samudra di bawah bulan van, purnama!<br />

Sungguh cemerlang! Dan bulan itu -ia mendongak ke arah<br />

langit, lalu menunjuk ke arah matahari yang bersinar terik<br />

itu, "alangkah bulatnya!" Demi sampai di tepi pantai, lalu ia<br />

turun dari kuda sambil memangku kekasihnya, yang<br />

dipeluknya. Kakinya yang indah itu dibiarkannya dibasahi<br />

sibakan-sibakan air yang didorong ombak dari tengah.<br />

"Sungguh menyegarkan air laut ini!" serunya gembira.<br />

"Tidakkah engkau senang air yang segar itu membasahi<br />

kakimu, sayang?" Tak lama kemudian Patih Prasanta pun<br />

sampai juga ke sana. "Mari, mari ke mari Mamanda! Kita<br />

berjuntai di sini, membasah-basahi kaki dengan air laut<br />

yang menyegarkan ini!" Beberapa lamanya mereka<br />

berbuat demikian, hingga tiba-tiba Raden Panji melompat<br />

dari duduknya. "Mamanda. lihat! Lihat di Muara itu banyak


perahu! Mari, kita pinjam beberapa buah, supaya boleh<br />

kita bersenang-senang berlayar ke tengah samudra. Dewi<br />

Anggraeni tentu senang hatinya apabila berperahu di<br />

lautan! Hahaha. .. bukankah engkau belum pernah<br />

berlayar-layar ke lautan? Ya, mari, mari, sekarang! Biar<br />

puas hatimu! Senang kita berlayar-layar dengan perahu<br />

sedangkan 175 174 bulan memancar seindah ini! "Tetapi<br />

Raden ..." sahut Patih Prasanta. "Apa pula 'tetapi*,<br />

Mamanda?" cepat Raden Panji memotong. "Tak pakai<br />

tetapi lagi, mari kita berangkat sekarang! Mamanda<br />

panggil tukang perahu itu, boleh kita sewa!" "Tetapi Raden,<br />

tidakkah lebih baik kita pulang?" "Apa pulang? Tidak,<br />

Mamanda, di istana baginda tidak ada lagi, yang sekarang<br />

ada seorang yang bermuka macan, berlepotan darah!<br />

Tidakkah Mamanda tahu, siapa yang telah mengalahkan<br />

Ayahanda? Itulah raksasa! Yang taringnya menakutkan!<br />

Tidak, tak mau kami kembali ke sana! Lebih baik kita<br />

berlayar akan mencari pulau yang indah di mana manusiamanusia<br />

kasih-mengasih sesamanya, seperti kami cintamencintai<br />

dengan Dewi Anggraeni! Mari! Mari, Mamanda!<br />

Kita cari pulau tempat tinggal manusia, jangan tempat<br />

raksasa kita datangi!" Patih Prasanta terhenyak. Ia tidak<br />

bisa berbuat lain daripada melakukan kehendak Raden<br />

Panji. 'Bagaimana pun sekarang ia sedang berduka, tak<br />

baik kehendaknya kuhalang-halangi/ katanya dalam hati.<br />

'Baiklah, kuturutkan saja segala kehendaknya, mudahmudahan<br />

takkan berlarut-laMaka dititahkannya para<br />

ponggawa menemui juragan perahu akan meminjam<br />

perahu-perahu * £ m mereka. Demi tahu siapakah


gerangan yang hendak mempergunakan perahu mereka,<br />

para juragan De rahu itu tidak keberatan, hanya saja<br />

seorang di antara mereka menyatakan kekuatirannya,<br />

"Tetapi hari rupanya akan menjadi buruk! Menurut<br />

penglihatan hamba di kakilangit nun di sana kelihatan<br />

warna hitam gumpalan awan, mungkin badai akan turun<br />

sore nanti." Sembah itu disampaikan kepada Raden Panji,<br />

tetapi putra mahkota yang tidak waras itu malah tertawa<br />

mengejek, "Apa, badai? Jangan main-main! Masa pada<br />

hari seindah ini, dengan purnama seterang ini, badai akan<br />

tunin? Engkau rupanya tak mau meminjamkan perahu<br />

kepada kami, maka kautakut-takuu" kami dengan badai!<br />

Tidak, kami tak mungkin kaubohongi! Kami akan berlayar<br />

bersenang-senang! Tidakkah engkau lihat, wajah<br />

kekasihku ini menjadi murung lantaran mendengar<br />

cegahanmu? Engkau telah menerbitkan kekuatiran dalam<br />

kalbunya!"* Juragan perahu itu pada mulanya merasa tak<br />

senang karena dikata-katai oleh Raden Panji seperti itu. Ia<br />

memberi peringatan untuk keselamatan orang, siapa tahu<br />

malah dimaki-maki. Tetapi tatkala ia sudah dibisiki oleh<br />

para ponggawa bahwa putra mahkota sedang sakit<br />

ingatan, ia hanya menunduk. 'Terserahlah!" katanya. -<br />

Hamba tidak sayang perahu hamba diterjang badai. Tetapi<br />

putra mah177 176 kota Janggala- .. " Akhirnya Raden<br />

Panji naik juga ke alas perahu. Sebuah perahu yang besar<br />

dipilihnya. Sambil memangku kekasihnya ia naik.<br />

kemudian disuruhnya Patih Prasanta mengikutinya sambil<br />

memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni itu.<br />

Dan para ponggawa dititahkan naik ke perahu yang Itin.


Kedua perahu itu diperintahkan diikat erat-erat<br />

Demikianlah perahu-perahu itu bertolak dari pantai.<br />

Sedangkan para awak perlu melakukan tugasnya dengan<br />

hati kebat-kebit. Raden Panji tak henti-hentinya<br />

menembang dengan suaranya yang parau itu---Kedua<br />

perahu itu berlayar dengan angin buritan, makin lama<br />

makin jauh dari pantai. Raden Panji menurutkan<br />

kehendaknya sendiri. Ia menitahkan awak-awak perahu itu<br />

terus maju ke tengah samudra. Makin lama makin ke<br />

tengah dan daratan sudah sayup-sayup. Apa yang<br />

dikatakan oleh juragan perahu tentang badai itu, benarbenar<br />

terjadi. Tiba-tiba angin dan hujan datang dengan<br />

kerasnya. Matahari yang bersinar terik tiba-tiba menjadi<br />

gelap gulita, dan air serta halilintar menggantikannya. Di<br />

Muara Kamal orang-orang menyaksikan semuanya dengan<br />

gelisah dan putus asa. Perahu yang dinaiki oleh putra<br />

mahkota itu mereka ikuti 178 dengan teliti sejauh-jauh<br />

mata menumu kaIa badai bertiup, lenyaplah „SS^ ^<br />

pemandangan. Dan tidak lama kemudi/k yang dahsyat pun<br />

sampai pula ke Muara" k: . Orang-orang saling pandang.<br />

Mereka », rakan kekuatiran hatinya dengan vZ^* suram<br />

•'Sungguh celaka!" kata juragan perahu yang tadi<br />

mencegah Raden Panji. "Mengapa tak k u larang mereka<br />

pergi? Mengapa aku manda saja*" "Baginda tentu akan<br />

murka kalau diketahuinya hal hilangnya putra mahkota<br />

diterjang topan!" kata seseorang membumbui. "Kita akan<br />

kena murka!" Orang-orang itu saling pandang dengan<br />

cemasnya. "Tetapi meski bagaimana pun, kita mesti<br />

memberitahukan hal ini kepada baginda!" tiba-tiba kata


seorang yang sudah lanjut usianya. 'Tak peduli bagaimana<br />

murka baginda, namun hal ini mesti diberitahukan juga!"<br />

Kemudian orang-orang itu berunding siapa yang akan<br />

berangkat ke ibukota buat memberitahukan kabar duka itu<br />

kepada baginda. 179 SANG PERMAISURI Berita tentang<br />

Raden Panji berubah ingatan yang dibawa oleh ponggawa<br />

pengiringnya, sangat men-dukakan hati sang permaisuri.<br />

Saking terkejut, ia pingsan dan beberapa lamanya tak<br />

kabarkan diri. Baginda pun terhenyak. Pukulan itu sangat<br />

mengejutkan hatinya. Lain yang dicita, lain yang terjadi!<br />

Tatkala sang permaisuri siuman pula, maka ia menangis<br />

berkepanjangan, lantaran dukacita. Betapa kan tidak!<br />

Raden Panji Kuda Waneng Pati satu-satunya putranda! Biji<br />

mata tumpuan harap! Yang akan menggantikan ayahanda<br />

memangku takhta! Dan sekarang .. . berubah ingatan!<br />

"Bagaimanapun, Gusti juga yang bersalah! Melakukan<br />

sesuatu tanpa pertimbangan yang matang!" katanya antara<br />

sedu sedan yang menyesakkan dada dan pipi yang basah<br />

dengan air mata. Dipersalahkan seperti itu, baginda tidak<br />

mau menerima. Ia memandang kepada permaisuri de<br />

ngan mata yang guram "Dasar si Panji itu seorang yang<br />

lemah hati' Yang dia pikirkan hanya kepentingan dirinya<br />

semata!" sabdanya. "Sekali-kali dalam pikirannya tak<br />

pernah terlintas kepentingan orang lain, kepentingan<br />

manusia kawula kerajaan!" "Kepentingan kawula<br />

kerajaan!" bantah sang permaisuri. "Untuk kepentingan<br />

kawula kerajaan, Gusti rela membunuh menantu dan<br />

membikin putra sendiri tidak . . . tidak . . . wa. . . waras!"<br />

"Yang kutitahkan dilenyapkan adalah penghalang akan


terlaksananya cita-cita yang agung! Dan kalau si Panji<br />

sekarang berubah ingatan, adalah lantaran kelemahan<br />

hatinya jua!" sahut baginda. "Dan sekarang, setelah<br />

semuanya berlaku seperti ini, bagaimana gerangan citacita<br />

Gusti yang agung itu?" ejek sang permaisuri. "Bisakah<br />

Gusti mencapai cita-cita tinggi itu, dengan jalan kekerasan<br />

dan paksaan? Bisakah Gusti mencapai kebahagiaan<br />

manusia dua kerajaan dengan mengurbankan<br />

kebahagiaan putranda sendiri?" "Kalau si Panji seorang<br />

yang berhati kuat, yang sadar akan arti hidupnya sebagai<br />

seorang putra mahkota yang mesti rela mengurbankan diri<br />

dan kebahagiaan sendiri buat kepentingan kebahagiaan<br />

kawula negara, tak nanti terjadi hal seperti ini! Hal yang<br />

seperti ini terjadi, semata-mata 181 / 180 lantaran si Panji<br />

seorang yang lemah hati, seorang yang terlalu dimanjakan!<br />

Dan Rayindalah yang telah terlalu memanjakannya,<br />

sehingga ia lupa akan darmanya sebagai seorang satria!<br />

Bahkan seorang satria utama!" Dituduh demikian, sang<br />

permaisuri menjadi murka. "Hamba pula dipersalahkan!<br />

Ya, hanya orang lain yang bersalah dan Gusti seorang<br />

maha-manusia yang senantiasa memikirkan kebahagiaan<br />

manusia-manusia lain, tak mungkin melakukan kesalahan!<br />

Setiap kehendak Gusti mesti terlaksana! Dan kalau terjadi<br />

yang di luar kehendak Gusti, tentu ada orang lain yang<br />

bersalah! Padahal Gusti melakukan segalanya tanpa<br />

mempertimbangkan hal-hal yang bersangkutan dengan<br />

pelaksanaannya! Gusti menitahkan Raden Panji<br />

melakukan hal yang di luar kemampuannya. Gusti tidak<br />

pemah memikirkan sifat tabiat Raden Panji. Ya, Gusti tidak


pernah mempunyai waktu yang cukup buat memperhatikan<br />

putranda sendiri, lantaran Gusti senantiasa sibuk<br />

memikirkan kepentingan manusia-manusia lain!"<br />

"Rayinda!" sang baginda berteriak. "Apa yang Rayinda<br />

katakan?" Permaisuri tidak menyahut, menangis sejaclijadinya.<br />

Tak terlerai lagi. Setelah baginda merasa dadanya<br />

sendiri reda membadai, baru bersabda dengan suara yang<br />

di18 sabar-sabarkan, Raymda mesti mengerti Der^aI an<br />

Raden Panji persoalan yang menyangkut mT bat kerajaan!<br />

Pernikahan Raden Panji den Dewi Sekar Taji mesti<br />

dilaksanakan, karena kedS nya sudah dipertunangkan dan<br />

pertunangan itu dilakukan atas nama dua kerajaan yang<br />

bercita-cita luhur!" Sang permaisuri mengangkat wajah.<br />

"Pernikahan Raden Panji dengan Dewi Sekar Taji! Tetapi<br />

mestikah itu dilakukan setelah melangkahi mayat Dewi<br />

Anggraeni lebih dahulu?" "Anggraeni adalah penghalang<br />

yang menyebabkan Raden Panji tidak mau menikah<br />

dengan Dewi Sekar Taji!" "Dan sekarang, setelah Dewi<br />

Anggraeni meninggal, bagaimana? Akankah Raden Panji<br />

sudi menikah dengan Dewi Sekar Taji?" Baginda<br />

melengak. la tidak bisa menyahut, hanya diam-diam<br />

kepalanya menekur. "Mengapa Gusti tidak mendengar<br />

perkataan hamba? Bukankah hamba wanti-wanti<br />

berpesan, supaya jangan dilakukan paksaan? Bukankah<br />

dengan dilakukan paksaan, hasilnya sia-sia saja?<br />

Jangankan cita-cita Gusti tercapai, bahkan Raden Panji<br />

sendiri ..." tak lanjut perkataan permaisuri, lantaran<br />

dadanya menjadi sesak pula oleh biang tangis. Beberapa<br />

lamanya ia sesenggukan, terdengar pula ratapnya tak


erkeputusan, "Duhai Raden . . . mengapa nasibmu<br />

malang? Mengapa 183 mesti engkau yang mengalami<br />

pengalaman dahsyat seperti itu? Anggraeni hilang, dan<br />

yang menitah-kannya lenyap adalah ayahanda! Alahai,<br />

Tumenggung Braja Nata, saudaramu sendiri yang<br />

melakukannya! Sungguh hebat... f" Kecuali suara sang<br />

permaisuri yang meratap berkepanjangan, hanya nafas<br />

baginda yang terdengar. Baginda diam merenung,<br />

sedangkan matanya memejam. Beberapa lamanya<br />

berdiam-diam seperti itu, akhirnya baginda menghela<br />

nafas panjang, kemudian memegang kedua bahu sang<br />

permaisuri. "Sudahlah Rayinda, sudahlah," sabdanya.<br />

"Jangan Rayinda perturutkan juga kedukaan hati Rayinda."<br />

Permaisuri meratap-ratap juga. Baginda keluar akan<br />

menitahkan beberapa orang ponggawa untuk membawa<br />

Raden Panji pulang ke istana. Belum lama orang<br />

berangkat, datang warta dari Muara Kamal: putra mahkota<br />

Janggala tenggelam di lautan diterjang badai! Baginda<br />

terperenyak. Tubuhnya seolah lesu dan tulang-tulangnya tak<br />

berdaya. Berita yang datang saling menyusul itu sangat<br />

meremukkan kalbu baginda. Tetapi masih sempat baginda<br />

memben ingat para hamba supaya jangan sampai benta<br />

itu terdengar oleh sang permaisuri. Sekarang, lenyaplah<br />

harapan baginda! Raden Kanji hilang dalam lautan, tak<br />

mungkin baginda 184 mcmcnuhi janjinya kepada raja<br />

Kadiri. Tak mungkin cita-cita yang agung itu bisa<br />

terlaksana' Ari bila Raden Panji masih hidup, meskipun<br />

tidak w." ras, masih ada harapan suatu waktu ia akan<br />

sembuh dan persatuan Janggala dengan Kadiri terlaksana


Tetapi sekarang . . . ! Raden Panji entah di mana di dasar<br />

samudra, mungkin sudah menjadi santapan ikan hiu pula!<br />

"Tetapi agaknya itulah akhir yang sebaik-baiknya bagi<br />

Raden Panji ..." pikir baginda kemudian. "Daripada hidup<br />

terus dengan ingatan yang tidak waras----" Kemudian<br />

baginda termenung pula. Baginda merenung, menyelam ke<br />

dasar lubuk jiwanya, memikirkan peristiwa demi peristiwa<br />

yang belakangan ini dialaminya. Sebagai seorang raja,<br />

baginda seorang yang berambekan tinggi dan bercita-cita<br />

luhur. Tetapi kejadian-kejadian yang berlalu di luar<br />

kekuasaannya sendiri, menggagalkan cita-citanya yang<br />

luhur itu. sehingga hatinya menjadi tawar. "Malu aku<br />

kepada moyangku sang Airlangga!" pikirnya. "Cita-citanya<br />

hendak kulaksanakan. tetapi gagal!" lalu setelah menghela<br />

nafas, "Padahal pembagian dua kerajaan itu dahulu,<br />

meskipun batasnya dibikin oleh Empu Bharada, namun<br />

atas titah sang Airlangga juga. Tidakkah sekarang aku<br />

kena kutuknya?" baginda tertegun. "Dahulu sang Airlangga<br />

malah dengan sengaja 185 membagi dua kerajaannya . . .<br />

agaknya lantaran baginda melihat kenyataan-kenyataan<br />

yang jauh dari kemungkinan berlangsungnya kemegahan<br />

kerajaan secara abadi . . . Baginda membagi dua<br />

kerajaan, karena dua saudara yang menjadi nenek kami<br />

memperlihatkan gejala-gejala yang memungkinkan<br />

timbulnya perang..." Teringat akan leluhurnya, terkenang<br />

pula baginda akan Sang Kili Suci yang menolak takhta dan<br />

memilih kehidupan bertapa sebagai pilihan hidup.<br />

Terkenang pula ia akan pertemuannya dengan wanita<br />

pertapa itu beberapa waktu berselang. "Yang paling benar


adalah Nenenda sang Kili Suci. Ia memilih kehidupan yang<br />

aman, damai, tenang . . . Takhta kerajaan yang dimimpimimpikan<br />

orang lain, yang diperebutkan orang lain dengan<br />

melupakan keselamatan jiwanya sendiri, malah dia tolak.<br />

Sungguh mulia!" baginda teringat akan wajah yang segar<br />

dan damai, yang selalu memandang sesuatu dengan hati<br />

terbuka. "Mengapa aku bertahan dalam hidup kerajaan<br />

yang megah namun tak menentramkan ini?" pikir baginda<br />

lebih lanjut. "Mengapa tidak kuikuti saja jejak Nenenda?<br />

Mengapa aku tidak pergi saja ke gunung akan bertapa,<br />

meninggalkan kehidupan keraton yang sangat berat ini?"<br />

R»dlX7ttpmtSnd! *- k""da 186 -Raden Panji kusuruh ke<br />

Pucangan akan m nemui sang Kili Suci. Apakah yang<br />

d«pe*«*£ mereka? jemukah Raden Panji dengan sa^g Kili<br />

Suci? Tahukah sudah petapa suci itu akan apa yang telah<br />

terjadi? Duhai, ia seorang yang waspada, tentu<br />

diketahuinya segala sesuatu yang terjadi dan akan terjadi!<br />

Duhai, apakah akan katanya kelak, kalau diketahuinya<br />

bahwa Dewi Anggraeni telah meninggal dan Raden Panji<br />

dalam gilanya tenggelam ke dasar samudra? Padahal<br />

beliau sangat sayang kepada Raden Panji! Kepada Dewi<br />

Anggraeni pun beliau menunjukkan kasihnya! Coba kalau<br />

tidak ada persoalan pertunangan antara dua putra<br />

mahkota ..." Berpikir sampai di situ wajah baginda menjadi<br />

guram pula. Baginda terkenang kepada menantunya. Dewi<br />

Anggraeni. Dan Tumenggung Braja Nata telah menuturkan<br />

secara terus terang apa yang dilakukannya. "Tak kukira<br />

engkau seagung itu, Anggraeni!" kata baginda dalam hati<br />

setelah menghela nafas. "Engkau rela mengurbankan


hidupmu sendiri, demi kepentingan kerajaan . . . Engkau<br />

memilih mati, karena tahu bahwa hidupmu menjadi<br />

penghalang bagi tercapainya cita-cita luhur . . ¦ Apa nak<br />

dikata, semuanya telah terjadi, dan cita-cita tinggal cita-cita<br />

belaka..." Baginda sangat bersukur dan kagum akan<br />

ketulusan cinta Dewi Anggraeni dan terharu tatkala<br />

mendengar sembah Tumenggung Braja Nata. 187<br />

Baginda menyayangkan menantu yang iklas itu dan kini<br />

mempersalahkan dirinya yang telah berkeras kepala.<br />

"Betul," kata baginda kemudian kepada dirinya sendiri.<br />

"Yang paling benar adalah hidup seperti Nenenda di<br />

Pucangan. Biar kutinggalkan segala kemegahan dan<br />

kegemilangan istana ini! Biar semuanya kutinggalkan,<br />

karena tak satu pun memberiku ketentraman!" Setelah<br />

keadaan memperkenankan, baginda kemudian<br />

mengutarakan maksudnya itu kepada sang permaisuri.<br />

Dan sang permaisuri yang juga telah tawar hati dan<br />

berduka, menyetujui saran baginda. Maka diputuskan,<br />

bahwa baginda akan mengundurkan diri dari takhta dan<br />

bersama-sama dengan sang permaisuri akan<br />

mengasingkan diri ke gunung dan hutan, buat bertapa____<br />

Telah ditetapkan, bahwa yang akan menggantikan baginda<br />

memegang tampuk kerajaan Janggala adalah<br />

Tumenggung Braja Nata. Meski banyak lagi putra baginda<br />

yang lain, namun dialah yang paling tepat menggantikan<br />

baginda. Setelah Raden Panji tak bisa diharapkan lagi,<br />

maka Tumenggung Braja Nata menerima pe<strong>net</strong>apan<br />

baginda. Namun terkenang akan peristiwa-peristiwa yang<br />

telah dialaminya, ia sangat berduka dan jauh dalam hatinya


masih mengharap-harap bahwa Raden Panji belum lagi<br />

meninggal. 'Belum pasti perahu itu tenggelam dan<br />

kalaupun 188 perahunya karam, belum pasti Raden Panii<br />

m, ninggal di dasar samudra. Siapa tahu dia terdTm". par<br />

ke dataran? pikirnya. Dia merasa tak Puas dan berdosa<br />

kepada Raden Panji, setelah p^sti-wa dalam hutan itu. Ia<br />

ingin supaya suatu kali dalam hidupnya ia bertemu pula<br />

dengan Raden Panji akan menghaturkan ampun, la ingin<br />

menjelaskan duduknya perkara kepada Raden Panji, la<br />

ingin Raden Panji mengetahui, bahwa ia tidak sampai<br />

membunuh Dewi Anggraeni____ Beberapa puluh orang<br />

ponggawa dititahkan untuk mencari-cari Raden Panji.<br />

Bahkan suatu angkatan perahu dikerahkan untuk mencari<br />

sisa-sisa perahu yang dilanda badai itu. Tetapi sia-sia<br />

saja. Ia menerima pengangkatan baginda untuk memangku<br />

takhta, namun kepada dirinya sendiri ia berjanji, kalau<br />

suatu masa kelak Raden Panji ternyata masih hidup, ia<br />

akan dengan rela menyerahkan takhta kepada putra<br />

mahkota yang sesungguhnya berhak. Demikianlah baginda<br />

Prabu Jayantaka meninggalkan keraton Kahuripan menuju<br />

tempat petapan, tetapi tidak dalam keadaan yang segar,<br />

melainkan tergantung kabut kemurungan yang menutupi<br />

kegembiraan kalbu seluruh kerajaan. Tumenggung Braja<br />

Nata menangis tatkala timbang tenma. tetapi bukan<br />

lantaran kegembiraan, melainkan lantaran kedukaannya<br />

juga terkenang akan Kaden 189 Panji dan lebih-lebih<br />

kepada istrinya. Dewi Anggraeni. Sang Prabu Jayantaka<br />

pun tak kuat menahan air mata, apalagi sang permaisuri<br />

yang tak henti-hentinya tersedu-sedu. Seluruh balairung


sangat lengang, kecuali suara sedu sedan. Bahkan di<br />

antara para pejabat negara yang hadir banyak yang tak<br />

kuat menahan air mata, mengalir membasahi pipi....<br />

DALAM SINAR PURNAMA Dalam terjangan badai yang<br />

dahsyat. Raden Panji erat-erat memeluk tubuh istrinya yang<br />

dingin. Para awak perahu tidak mampu berbuat apa-apa.<br />

Layar-layar segera mereka turunkan, namun ombak yang<br />

setinggi-tinggi gunung mengempas-em-paskan kedua<br />

perahu itu bagaikan sabut saja. Para ponggawa pucat, ada<br />

yang muntah-muntah dan ada pula yang tak henti-hentinya<br />

menyebut nama Batara, memohon pertolongannya. Patih<br />

Prasanta tak henti-hentinya memberi petunjuk. Sedangkan<br />

Raden Panji tak henti-hentinya membujuk-bujuk mayat<br />

istrinya. "Lihat, raksasa hitam datang! Tapi jangan takut,<br />

jangan cemas, biar dilandanya kita, namun tak nanti kita<br />

kalah! Biar mereka berbuat sesuka hati, tetapi engkau<br />

cintaku, jangan kuaur! Engkau akan selamat, engkau akan<br />

Kanda selamatkan. Takkan Kanda biarkan tangannya yang<br />

menjijikkan serta mengerikan itu menjamah tubuhmu.<br />

Erat191 eratlah peluk Kanda, supaya jangan lepas engkau<br />

dari tangan Kanda!" Tak dirasanya air hujan yang turun<br />

lebat membasahi tubuhnya. Sedangkan badannya<br />

menggigil lantaran kedinginan. Perahu tak terkuasai lagi.<br />

Jurumudi tak mampu berbuat suatu apa dan menyerahkan<br />

nasibnya kepada para Dewa. Untung kedua buah perahu<br />

itu erat terikat, sehingga keduanya tidak terpisah-pisah.<br />

Dalam gelap gulita itu mereka tidak tahu arah ke mana<br />

perahu dibawa ombak. Bahkan mereka tidak tahu bahwa<br />

hari telah menjadi malam dan pagi lagi---Waktu badai


eda, hari sangat cerah, matahari sangat cerlang, mereka<br />

menengok ke kiri ke kanan, maka nampaklah pantai di<br />

arah selatan. Segera mereka mengayuh perahunya ke<br />

sana. Raden Panji turun dari perahu, sedangkan mayat<br />

istrinya tak lepas dari pelukan. Ia tak henti-henti<br />

menembang atau berbisik-bisik kepada istrinya itu. "Mari<br />

kita turun, lihat alangkah indah pemandangan di sini! Hutan<br />

subur dan pinggir lautan pula! Tidakkah senang hatimu,<br />

bertamasya selagi hari seindah ini? Menikmati<br />

pemandangan sebagus ini?" Patih Prasanta juga turun<br />

sambil memangku mayat inang pengasuh Dewi Anggraeni<br />

yang setia itu. Ia bersukur bahwa mereka bisa selamat<br />

mendarat, meski belum lagi tahu di pantai mana mereka<br />

sesungguhnya sekarang. Tetapi ia sudah h. Pikir-Pikir<br />

mengenai hari depan me«kf Tak numgk.n mereka terus<br />

terusan pergi ke mana-mana sambil memangku-mangku<br />

mayat itu Dan me mangku-mangku mayat pengaruh tidak<br />

pU|a baik kepada Raden Panji, la jadi senantiasa tak bisa<br />

melepaskan pikiran dari kekasihnya la jadi terus merasa<br />

berdekatan dengan kekasihnya dan berbuat seolah-olah<br />

istrinya itu masih bernyawa. Hanya iba kasihan jua yang<br />

tergugah pada barang siapa menyaksikannya. Tidak. Ia<br />

memikirkan akal supaya Raden Panji waras kembali, la<br />

jangan sampai berlarut-larut, la mesti dipisahkan dari<br />

mayat istrinya, supaya pikirannya terbuka kepada hal-hal<br />

lain. Karena menurut pengamatannya, sesungguhnya<br />

Raden Panji tidak parah apabila saja ia sempat dijauhkan<br />

dari mayat istrinya itu. "Mamanda!" teriak Raden Panji.<br />

"Alangkah indahnya alam di sini! Mengapa baru sekali ini


Mamanda membawa kami ke sini? Mengapa tidak dahuludahulu<br />

Mamanda mempersembahkan bahwa ada<br />

pemandangan seindah ini kepada kami?' "Ampun Raden,"<br />

sahut Patih Prasanta, "Sengaja hamba tidak<br />

memberitahukan hal ini kepada Gusti dahulu-dahulu,<br />

karena..." Raden Panji memandangnya dengan mata<br />

heran. "Karena apa, Mamanda?" "Karena tanah ini adalah<br />

tanah yang paling te192 193 pai buat peristirahatan istri<br />

Raden. Dewi Anggra•'Untuk peristirahatannya. Mamanda?<br />

Mengapa hanya untuknya saja? Mengapa tidak tepat juga<br />

buat kami?" "Masing-masing orang mempunyai tempat<br />

tertentu yang tepat buat peristirahatannya masing-masing.<br />

Yang tepat buat istri kita belum tentu tepat pula buat kita . . .<br />

Lagipula. Raden masih hidup, masih harus melakukan<br />

perbuatan-perbuatan mulia pula. sedangkan istri Raden<br />

sudah meninggal "Apa? Apa Mamanda bilang? Dewi<br />

Anggraeni sudah meninggal? Tidak! Mamanda jangan<br />

bicara yang bukan-bukan! Dewi Anggraeni sedang tidur,<br />

nyenyak sekali, tidak Mamanda lihatkah wajahnya yang<br />

tentram tenang itu?" "Memang, memang. Raden benar ..."<br />

Patih Prasanta memperbaiki sikapnya. "Dewi Anggraeni<br />

tidak meninggal, melainkan tertidur dengan amat<br />

nyenyaknya . . . Tetapi tidakkah Raden maklum, bahwa<br />

orang yang tidur itu mesti beristirahat dengan tenang? Ia<br />

takkan menemukan ketenangan jika terus-terusan Raden<br />

pangku-pangku dibawa ke mana pun Raden pergi. Sang<br />

Dewi tentu ingin beristirahat tenang ..." Raden Panji Kuda<br />

Waneng Pati memandang kepada Patih Prasanta.<br />

Perkataan patih yang sudah lanjut usianya itu seperti


termakan olehnya. 194 "Di manakah ia akan beristirahat,<br />

Mamanda"»" "Di uni! Tempat ini sangat tepat untuk<br />

peristirahatan sang Dewi!" "Tetapi di mana ia akan kita<br />

baringkan? Sedangkan di sini hanya ada hutan belukar<br />

belaka!" "Supaya sang Dewi tenang dan tidak diganggu<br />

binatang-binatang buas, baik kita gali sebuah tempat<br />

berbaring di dalam tanah ... " "Di dalam tanah!" "Ya, di<br />

dalam tanah. Supaya sang Dewi jangan diganggu<br />

binatang-binatang buas. Di sini dekat hutan, kalau sang<br />

Dewi tidak diku ... eh, dibaringkan di dalam tanah, mungkin<br />

datang macan atau srigala mengganggunya..." "Tetapi ia<br />

akan merasa sesak!" "Tidak Gusti, orang yang tidur abadi<br />

takkan merasa sesak." "Namun bagaimana ia akan<br />

melihat bintang atau bulan? Ia sangat senang<br />

bercengkerama apabila bulan purnama..." "Apabila sang<br />

Dewi ingin bercengkerama, tentu akan bangkit dari<br />

tidurnya. Tak ada yang mungkin mampu menghalanginya . .<br />

. Raden tak usah kuatir. Sang Dewi akan mampu bangun<br />

sendi¦ »» n . . . 195 Raden Panji termenung. "Benarkah<br />

engkau lelah, Anggraeni? Benarkah engkau ingin<br />

beristirahat pula?" kemudian ia bertanya kepada mayat<br />

istrinya. "Engkau akan dibaringkan di sini, di dalam tanah,<br />

supaya tak ada binatang buas mengganggumu. Maukah<br />

engkau?" 'Tentu saja sang Dewi suka . . . ," Patih Prasanta<br />

menalangi menyahut. "Tanah di sini sangat subur dan<br />

pemandangan sangat indah ..." "Dan kalau istriku telah<br />

dibaringkan di dalam tanah, nanti kita dirikan istana yang<br />

indah di sini, buat tempat kita menjaganya ..." "Tidak.<br />

Raden, kalau sang Dewi sudah dibaringkan baik-baik


dalam tanah. Raden jangan di sini terus, melainkan Raden<br />

mesti melakukan hal-hal yang sangat menyukakan hati<br />

sang Dewi Untuk menjaganya di sini, cukuplah kita<br />

baringkan pula Bibi Wagini. Bukankah ia seorang inang<br />

pengasuh yang setia? Tentu ia akan menjaga sang Dewi<br />

dengan setia!" "Melakukan hal yang menyukakan sang<br />

Dewi? Tetapi Dewi Anggraeni suka kalau kami berada di<br />

sampingnya. Mamanda!" "Benar , sang Dewi suka Raden<br />

berada di sampingnya. Tetapi itu kalau ia tidak sedang<br />

tidur abadi ..." sahut Patih Prasanta sambil tersenyum.<br />

Kalau ia sedang tidur, ia ingin tenang, tentu ia<br />

menginginkan Raden pergi jauh-jauh melakukan 196<br />

perbuatan-perbuatan yang menjadi darma Raden... "Jadi<br />

apa yang mesti kami lakukan*»" "Raden mesti berbuat<br />

kebaikan. Raden mesti menolong orang-orang yang<br />

sengsara! Banyak orang yang sengsara karena perbuatan<br />

raja-raja durhaka! Raden mesti menolong mereka, mesti<br />

menjadi pelindung mereka. Raden mesti membasmi dan<br />

menaklukkan raja-raja durhaka itu dan Raden mesti<br />

memberikan kebahagiaan kepada para kawula kerajaan<br />

...." "Yang paling dahulu adalah raja Janggala ..." gumam<br />

Raden Panji. Patih Prasanta menggelengkan kepala.<br />

'Tidak! Itu raja kita! Dan agaknya kita pun sekarang<br />

mendarat bukan dalam wilayah Janggala. Mamanda<br />

mengenal seluruh daerah kerajaan kita, tetapi daerah ini<br />

baru sekali ini Mamanda lihat. Kita agaknya terdampar<br />

jauh dari kerajaan kita Sesungguhnyalah, Patih Prasanta<br />

seorang yang luas pengetahuan dan pengalamannya. Tak<br />

sia-sia menjadi pejabat kerajaan Janggala puluhan tahun


lamanya. Ia maklum, bahwa mereka terdampar di daerah<br />

asing dan kalau melihat arah matahari, rupanya di sebelah<br />

timur Janggala, jauh di sebelah timur. Adalah menurut<br />

rencananya, ia akan mengajak gustinya itu berbuat<br />

kepahlawanan, dan membawanya sedikit demi sedikit ke<br />

197 arah barat selatan, menuju kerajaan Kadiri. Kemudian<br />

Patih Prasanta menyuruh para ponggawa menggali liang<br />

lahat buat membaringkan mayat Dewi Anggraeni bersama<br />

inang pengasuhnya yang berbakti itu. "Biar dikubur saja<br />

dahulu, kelak kalau Raden Panji sudah sembuh, digali lagi<br />

untuk dibakar ..." pikir Patih Prasanta. "Kalau sekarang<br />

dibakar, tentu Raden Panji takkan memperkenankannya<br />

Sementara mengubur kedua orang itu, hari senja dan<br />

malam pun tiba. Di langit sebelah timur, muncul bulan yang<br />

bulat penuh. Sinarnya sangat indah dan menenangkan.<br />

Raden Panji bersimpuh di hadapan kuburan istrinya,<br />

sedangkan mulutnya mengeluarkan cumbuan-cumbuan<br />

mesra. "Tidurlah engkau di sini, kekasihku, tidurlah tenang!<br />

Jangan engkau terganggu oleh apa pun! Simakkan olehmu<br />

dalam tidur, suara ombak yang menerjang pantai dan<br />

suara angin yang melanda hutan . . . Bukankah itu suara<br />

cinta kita yang besar? Yang tidak kelihatan namun kekal<br />

sifatnya? Bukankah itu suaraku membisikkan rindu hatiku<br />

kepadamu? Ombak itu takkan jemu-jemunya mencium<br />

pantai, seperti juga cintaku kekal ke-padamu ...." Patih<br />

Prasanta dan ponggawa berdiri tak jauh dan tempat Raden<br />

Panji. Mereka mempersaksikan 198 perbuatan gusti<br />

mereka dengan hati yang hancur Tetapi senang juga Patih<br />

Prasanta, karena Raden Panji sudi memperkenankan


Dewi Anggraeni dikubur. Dan senang juga ia, muslihatnya<br />

termakan semua oleh gustinya yang kasmaran itu Kini ia<br />

diam-diam menyaksikan perpisahan terakhir yang<br />

mengenaskan antara sepasang suami istri yang saling<br />

mencintai dengan sungguh-sungguh itu. "Wahai,<br />

Anggraeni! Engkau terjaga? Engkau puas tidur? Engkau<br />

bangkit?" tiba-tiba terdengar Raden Panji berkata-kata<br />

dengan suara yang berubah, sedangkan ia bangkit dari<br />

duduknya. "Ya, mari kita bersama-sama pulang ke istana<br />

kita!" tangannya bergerak-gerak ke depan, seolah-olah<br />

hendak memeluk seseorang, sedangkan oleh Patih<br />

Prasanta dan para ponggawa tak nampak siapa pun di<br />

depan gustinya itu. Mereka mengira penyakit gustinya<br />

kumat pula, dan beberapa orang di antara mereka tak<br />

sanggup menyaksikannya, menundukkan kepala atau<br />

melengos, memandang ke arah lain. "Mengapa engkau<br />

hanya tersenyum saja. Anggraeni? Mengapa sepatah pun<br />

engkau tak mau menyahut? Alangkah indah senyummu!<br />

Seindah bulan yang terbit di ufuk itu! Seindah bunga yang<br />

mekar! Anggraeni, mari, dekatlah ke mari, biar kupeluk<br />

tubuhmu dan kita berbahagia pula! Mari, mari!" tangan<br />

Raden Panji terulur bagaikan hendak memeluk seseorang.<br />

199 Namun oleh Patih Prasanta dan kawan-kawannya<br />

hanya udara jua yang nampak hendak dipeluknya.<br />

"Anggraeni, mengapa engkau hanya memandang saja?<br />

Dan pandanganmu, alangkah menyejukkan, bagaikan sinar<br />

purnama ini! Anggraeni, mengapa engkau mundur,<br />

mengapa engkau menjauh? Anggraeni, tidakkah engkau<br />

sudi Kanda peluk? Tidakkah sudi engkau . . . Anggraeni,


ke mana engkau hendak pergi?" Raden Panji berdiri,<br />

kakinya melangkah. "Anggraeni, tunggu! Tunggu! Jangan<br />

engkau menjauh-jauh seperti itu? Ataukah engkau minta<br />

kanda kejar? Ya, berkejar-kejaran seperti dahulu di dalam<br />

taman?" Raden Panji bergerak, bagaikan mengejar<br />

seseorang. "Anggraeni mengapa engkau lari juga?<br />

Mengapa engkau menjauh juga?" Dan makin cepat pula ia<br />

bergerak. "Anggraeni, mengapa engkau diam saja, tidak<br />

tertawa? Mana gelakmu yang biasanya berderai? Mana<br />

suaramu yang merdu menentramkan hati? Mengapa<br />

engkau hanya tersenyum saja?" Raden Panji kini berlari,<br />

makin jauh juga meninggalkan kawan-kawannya. Patih<br />

Prasanta kuatir, kalau-kalau gustinya itu tergelincir ke<br />

dalam jurang atau laut, maka ia oangkit mengejarnya.<br />

"Raden! Raden!" teriaknya. t!? Panji berlari makin<br />

cePat sedangkan m^b*ta»W dan mulutnya me-manggilmanggil.<br />

200 Anggraeni! Anggraeni, tunggu! Mengapa<br />

eng-kau tega menunggalkan Kanda? Mengapa engkau tak<br />

sudi menanti meski sejenak? Anggraeni'" "Raden! Raden!"<br />

teriak patih PraTanT^g mengejarnya. 6 Kedua orang itu<br />

berkejar-kejaran dalam sinar bulan purnama, sedangkan<br />

ombak tak henti-hentinya berdeburan menerjang pantai.<br />

Raden Panji berlari bagaikan orang yang tak sadar, maka<br />

tak lama kemudian Patih Prasanta sudah berhasil<br />

mengejarnya. Dengan kedua belah tangannya yang sudah<br />

mulai keriputan namun masih tangkas itu, ia memeluk<br />

tubuh gustinya. "Raden! Raden! Sadarlah!" Raden Panji<br />

meronta-ronta, sedangkan tangannya menggapai-gapai<br />

dan mulutnya tak henti-henti berteriak. "Anggraeni! Engkau


terbang? Wahai, engkau sungguh seorang bidadari!<br />

Sungguh, tetapi mengapa engkau meninggalkan Kanda?<br />

Wahai, mengapa engkau terbang setinggi itu? Mengapa<br />

makin tinggi saja?" Raden Panji tertegun. "Mamanda,<br />

Mamanda Patih Prasanta, tidakkah Mamanda lihat Dewi<br />

Anggraeni terbang? Lihat ia bagaikan bersayap! Lihat,<br />

ditinggalkannya kami di sini! Anggraeni, sampai hati<br />

engkau meninggalkan Kanda? Lihat, ia makin tinggi juga!<br />

Dia terbang ke arah bulan! Anggraeni! Anggraeni!<br />

Mamanda Patih, ia makin kecil dan makin kecil dan makin<br />

201 dekat juga ke bulan! Tidakkah Mamanda lihat?" Patih<br />

Prasanta mengarahkan pandangannya ke arah bulan<br />

sedang purnama yang bulat itu. ia tidak melihat Dewi<br />

Anggraeni, tetapi tiba-tiba cahaya bulan menggelap,<br />

bagaikan ada yang menghalanginya. Ia membuka matanya<br />

lebar-lebar, samar-samar seorang tokoh wanita terpeta<br />

dalam kegelapan itu, kemudian sinar bulan pun sedikit<br />

demi sedikit kembali pula menerangi dunia. Ia terpukau<br />

menyaksikan keajaiban itu. 'Kiranya benar-benar Dewi<br />

Anggraeni itu terbang ke arah bulan . . . ' pikirnya. 'Hanya,<br />

ia nampak cuma kepada suaminya saja ... * "Anggraeni ... ,<br />

Anggraeni s . . /• desis Raden Panji. "Dinda tega benar<br />

meninggalkan Kanda di sini dalam kelengangan!" Patih<br />

Prasanta membelai-belainya. 'Tidak, Raden, Raden tidak<br />

ditinggalkan dalam kelengangan. Dan pula sang Dewi<br />

takkan pergi untuk selama-lamanya .. . . " "Apa maksud<br />

Mamanda? Anggraeni akan kembali pula?" "Ya, sang<br />

Dewi akan kembali pula kelak." -u tak%e";remandang<br />

Patih ?dengan li 7**^1* nRaden' San* Dewi akan


kemba-Raden ' » k ^ wdah menunaikan o*ma "Sang<br />

DewiseWUlP?hKPmanta den«an tena^ sekarang terbang<br />

ke arah bulan, menjadi candra <strong>kirana</strong> - cahaya bulan tanda<br />

dia dikasih, para dewa ... Dan para dewa tentu akan<br />

mengembalikannya pula kelak kepada Raden " Raden<br />

Panji menyimakkan sungguh-sungguh "Tetapi kini<br />

Anggraeni pergi ... Apa kata Mamanda? Menjadi candra<br />

<strong>kirana</strong> - cahaya bulan? Ya, sesungguhnya ia cahaya bulan,<br />

kalau aku matahari! Ia menjadi cahaya bulan, yang<br />

menerangi kegelapan malam gelita! la menerangi dunia<br />

dengan cahayanya yang lembut, tenang, menentram-kan<br />

..." "Karena itu. Raden mesti tenang, mesti sabar.. . ."<br />

"Alangkah indahnya cahaya bulan candra <strong>kirana</strong>!<br />

Mamanda, sejak sekarang, istriku telah menjadi <strong>Candra</strong><br />

Kirana . . . Dia yang memberi kedamaian dan ketenangan,<br />

keindahan dan perasaan-perasaan mulia ..." kata Raden<br />

Panji, "la menjadi <strong>Candra</strong> Kirana ... Patih Prasanta<br />

mengangguk-anggukkan kepala. "Ya, menjadi <strong>Candra</strong><br />

Kirana cahaya bulan purnama yang sejuk menentramkan.<br />

memberi kebahagiaan . . . . " sahutnya. "Ya, ia<br />

membangkitkan perasaan-perasaan mulia untuk kebaikan<br />

dan kebajikan . . . Karena itu Raden juga mesti melakukan<br />

kebaikan-kebaikan, menolong rakyat sengsara, melakukan<br />

perbuatan-perbuatan kepahlawanan. Karena hidup tanpa<br />

melakukan perbuatan-perbuatan baik. adalah bagaikan<br />

malam yang 203 gelap gulita, tak bercahaya, jauh dari<br />

cahaya bulan, jauh dari <strong>Candra</strong> Kirana ..." Raden Panji<br />

menganggukkan kepala. "Nasihat Mamanda akan kami<br />

turutkan, karena kami tak mau ditinggalkan oleh <strong>Candra</strong>


Kirana . sahut Raden Panji. 'Kami ingin hidup disinari<br />

kegemilangan cahaya bulan, dalam kegemilangan <strong>Candra</strong><br />

Kirana . . . Tak mau kehilangan dia! Besok akan mulai<br />

kulakukan perbuatan-perbuatan baik dan kepahlawanan,<br />

darma seorang satria yang mesti melupakan kepentingan<br />

dirinya sendiri, buat kebahagiaan umat manusia Kaden<br />

Panji bangkit, sekali memandang kepada bulan yang<br />

sudah meninggi seolah-olah hendak melihat apakah<br />

kekasihnya ada di sana. Kemudian ia membalikkan<br />

tubuhnya sambil berkata, "Tenanglah kau di sana. <strong>Candra</strong><br />

Kirana! Kalau kelak hidupku telah berarti, engkau pun tentu<br />

akan datang kepada Kanda, bukan?" Patih Prasanta<br />

tersenyum melihat kelakuan gustinya itu. la merasa bangga<br />

dan lega, karena menyaksikan sinar harapan memancar<br />

bagi hari depan gustinya. Tidak, gustinya takkan berlarutlarut<br />

tenggelam dalam kesedihan. Ia akan melakukan<br />

perbuatan-perbuatan mulia. Dan ia sendiri, ak\n M*3?13'<br />

akan sc,alu mendampinginya, 204 KELANA JAYENG<br />

SARI Beberapa bulan kemudian, muncullah seorang satria<br />

yang mengaku dirinya berasal dari tanah Seorang dan<br />

bernama Kelana Jayeng Sari, melakukan berbagai<br />

perbuatan-perbuatan mulia dan bersifat kepahlawanan.<br />

Mula-mula ia bersama para pengikutnya mengalahkan<br />

berbagai kraman dan perampok yang mengganggu<br />

keamanan dan ketentraman rakyat yang bersembunyi<br />

dalam hutan-hutan. Kraman-kraman itu dikalahkan dan<br />

hasilnya dibagikan kepada rakyat sengsara, sehingga<br />

makin lama pengikutnya makin banyak dan makin banyak<br />

juga. Para kraman yang sudah dikalahkannya, tidak


dibunuhnya, melainkan disuruhnya memilih antara menjadi<br />

pengikutnya atau kembali hidup sebagai rakyat biasa,<br />

bertani, menjadi nelayan ... Tokoh Kelana Jayeng Sari<br />

menjadi sebut-sebut-an dan buah tutur setiap orang.<br />

Rakyat yang sengsara menyebutnya dengan suatu harapan<br />

akan 205 munculnya ketentraman dan kedamaian yang<br />

abadi Dan para pemeras dan penjahat mendengar<br />

namanya saja gemetar lutuMututnya. Perbuatan mulia<br />

Kelana Jayeng Sari menjadi sebut-sebutan semua orang<br />

dan menyebabkan orang-orang suka kepadanya. Menurut<br />

cerita yang menjalar dari mulut ke mulut. Kelana Jayeng<br />

Sari itu seorang satria yang tampan, muda, manis budi dan<br />

sangat halus perasaannya. Tetapi ia pun seorang yang<br />

sakti dan dig-jaya, ahli mempermainkan berbagai macam<br />

senjata dan senantiasa mampu mengalahkan musuhmusuhnya<br />

secara mengagumkan. la muncul secara ajaib.<br />

Kadang-kadang ia terdengar melakukan perbuatan mulia<br />

di hutan pegunungan sebelah selatan, tetapi tak lama<br />

kemudian terdengar berita bahwa ia baru saja melakukan<br />

perbuatan kepahlawanan pula di pantai utara. Ia seorang<br />

tokoh yang sakti, dan dianggap oleh para penduduk,<br />

mungkin muncul di mana saja sesuka hatinya, bahkan<br />

mungkin muncul di beberapa tempat dalam waktu yang<br />

bersamaan. Yang diperkatakan orang-orang pula, ialah<br />

bahwa ia selalu didampingi seorang yang sudah lanjut<br />

usianya, yang konon disebut orang Ki Kebo Pan-dogo.<br />

Ternyata Ki Kebo Pandogo itu seorang yang sakti pula,<br />

menjadi penasihat Kelana Jayeng Sari. petelah ia<br />

mendapat banyak pengikut, maka ditaklukkannya pula


erbagai raja, terutama raja206 raja yang zalim. Mula-mula<br />

raja BelamW kemudian raja Basuki, Uni'ft"»' dan akhirnya<br />

Pasuruan. Ia l^n^^SZ ke barat, tetapi pada umumnya tak<br />

bisa disangka sangka. Ia selalu muncul pada saat orangorL<br />

tidak mengharapkan kedatangannya, dan karena itu<br />

pula mungkin maka ia senantiasa mengalahkan musuhmusuhnya<br />

dengan mudah. Tetapi yang mengherankan<br />

orang-orang, ialah karena meskipun ia berhasil secara<br />

mudah menaklukkan raja-raja itu, namun ia sendiri tidak<br />

mau duduk memangku takhta. Tatkala raja Lumajang<br />

dikalahkan, atas bisikan patihnya, sang baginda<br />

mempersembahkan seorang putra dan seorang putrinda<br />

akan menjadi hamba Kelana Jayeng Sari yang perwira itu.<br />

Sesungguhnya itu adalah muslihat sang patih, yang ingin<br />

mengikat sang kelana, supaya mau tinggal di Lumajang<br />

dan dengan demikian akan menyebabkan Lumajang<br />

dimalui oleh kerajaan-kerajaan lain. Tetapi peristiwa yang<br />

aneh terjadi. Waktu sang putra dan sang putri yang tampan<br />

rupawan itu datang ke hadapan Kelana Jayeng Sari, sang<br />

Kelana memburu sang putri, sedangkan mulutnya berteriak<br />

kegirangan, "<strong>Candra</strong> Kirana! Engkau k ah yang datang<br />

itu!" Sang putri Lumajang itu terkejut dan hatinya<br />

berdegupan lantaran takut. Ia menundukkan ke207 pala<br />

Dirasanya dua buah tangan yang perkasa memegang<br />

bahunya kiri kanan, kemudian mengangkat wajahnya.<br />

"Nama hamba . . . Lukita Sari . . . ," sahutnya dengan suara<br />

gemetar dan terputus-putus. Sang Kelana Jayeng Sari<br />

melepaskan kedua belah tangannya, lalu memejam. "Ya,<br />

engkau bukan istriku . . . <strong>Candra</strong> Kirana seorang yang


amat sangat jelita. Tak ada yang menandinginya . . . Tak<br />

ada orang yang secantik dia, bercahaya bagaikan bulan<br />

purnama . . . gumamnya kemudian. "Dan engkau, siapakah<br />

engkau?" Maka patih yang mewakili raja Lumajang itu<br />

menghaturkan sembah, menerangkan bahwa kedua putraputri<br />

itu adalah tanda takluk baginda kepada Sang Kelana<br />

Jayeng Sari, di samping berbagai persembahan lainlainnya<br />

pula. "Baginda mempersembahkan kedua<br />

putranda, akan menjadi hamba gusti akhirnya sang patih<br />

menutup pembicaraan. Sang Kelana Jayeng Sari<br />

menggeleng lemah. 'Tidak ..." sahutnya. "Kembalilah<br />

engkau semua kepada rajamu. Haturkan kepada baginda<br />

bahwa aku tidak mengharapkan persembahan apa pun<br />

sebagai tanda takluk. Pengakuan rajamu saja sudah<br />

cukup. Tak usah ia mengurbankan putra-putrinya. Kami pun<br />

tidak menghendaki hamba-hamba . . . Para ponggawa<br />

sudah cukup bagi kami 208 . Sekarang, pulanglah engkau<br />

semua'" Patih itu kembali dengan sangat merasa heran<br />

dan malu. Ia malu lantaran muslihatnya tak merT-na, umpan<br />

tidak dimakan. Dan heran lanu^n perbuatan serta sikap<br />

yang luar biasa dari Kelana jayeng San yang gagah<br />

perkasa serta sakti itu Peristiwa itu cepat pula menjalar<br />

dari mulut ke mulut. Dan selalu mengherankan barang<br />

siapa yang mendengarnya. Jadi buat apakah Kelana<br />

Jayeng Sari dari tanah Sebrang itu mengalahkan kerajaan<br />

demi kerajaan, sedangkan ia sendiri tidak sudi menduduki<br />

singgasana? Sedangkan dia sendiri lebih suka berkelana<br />

dari hutan ke hutan, dari gunung ke gunung? Sedangkan<br />

dia sendiri merasa puas tidur di alam terbuka dalam


kemah? Karena itu pula nama Kelana Jayeng Sari menjadi<br />

makin termashur. Dihormati, diherani, dikagumi berbareng<br />

ditakuti. Beberapa orang raja, tanpa dia perangi,<br />

menyatakan dirinya takluk, yang diterima Kelana Jayeng<br />

Sari dengan sikap yang biasa. Ia tidak nampak gembira,<br />

pernyataan takluk raja-raja itu diterima dengan sikap yang<br />

tawar dan tak ambil perduli. Baginya seolah-olah tak ada<br />

bedanya apakah raja itu takluk atau tidak. Hanya dengan<br />

mendahului menyatakan takluk, raja-raja itu menunjukkan<br />

sikap bijaksana, karena dengan demikian ia<br />

menghindarkan kerajaannya dari malapetaka peperangan<br />

yang terkutuk itu. Bahkan meskipun beberapa orang raja<br />

mena209 warkan takhta serta istananya yang indah<br />

mewah. Kelana Jayeng Sari senantiasa menolak. Ia lebih<br />

suka tinggal di hutan, di tengah-tengah alam yang segar<br />

daripada tinggal di tengah-tengah manusia. Apabila tidak<br />

melatih pasukannya berperang, atau apabila tidak<br />

melakukan peperangan, biasanya Kelana Jayeng Sari<br />

termenung-menung saja kerjanya. Dalam keadaan seperti<br />

itu, tak dikehendakinya ada orang yang berani<br />

mengganggu. Tak diperkenankan orang berada di<br />

dekatnya. Hanya penasihat yang tua itu saja yang<br />

dibolehkan datang mengawani. Kadang-kadang Kelana<br />

Jayeng Sari berbicara dengan suara yang murung dan<br />

guram. Sedangkan penasihatnya itu. Sang Kebo Pandogo,<br />

menghiburnya dengan berbagai hal yang menarik hati.<br />

Terutama mengenai raja-raja yang belum mereka<br />

taklukkan. "Tahukah Gusti, kerajaan apakah yang berada<br />

di sebelah barat hutan yang sekarang kita tinggali ini?"


ertanya Kebo Pandogo dengan suara setengah<br />

bersenda. "Tak tahu! Dan kerajaan apa pun yang berada<br />

di sana. tak kuperdulikan, karena mereka sama' saja.<br />

Mereka akan dengan mudah kita kalahkan!" sahut Kelana<br />

Jayeng Sari tak peduli. 'Tetapi, apabila Gusti pergi ke<br />

kerajaan itu, cita-cita Gusti bakal tercapai..." Kelana<br />

Jayeng Sari mengangkat wajah. Agak210 nya hatinya<br />

mulai tertarik. ••Apa maksud Mamanda Kebo Pandogo^ .<br />

nyanya dengan mata bersinar-sinar. "Kalau "kukt lankan<br />

pula raja yang berada di sebelah barat itu ^an bersuakah<br />

kami dengan istri kami yang ter cinta? Kebo Pandogo<br />

tersenyum. "Makin banyak Gusti berbuat kepahlawanan,<br />

makin cepat ia kembali, bukan?" "Kalau begitu, baiklah<br />

besok kita berangkat untuk menaklukkannya. Kerajaan<br />

apakah yang berada di sebelah barat itu?" "Tidak usah<br />

tergesa-gesa begitu," sahut Kebo Pandogo sambil<br />

bergelut senyum juga. "Kita tidak usah menyerangnya..."<br />

"Habis?" "Kita tinggali saja hutan yang menjadi daerah<br />

kerajaannya, kita buat onar di sana ... Kalau pancingan kita<br />

berhasil, siapa tahu orang yang selama ini Gusti harapkan<br />

akan datang?" Kelana Jayeng Sari seperti tak mengerti<br />

apa yang dimaksud oleh penasihatnya yang bijaksana itu.<br />

"Kerajaan apakah yang berada di sebelah barat itu,<br />

Mamanda?" ia mengulangi pertanyaannya yang belum<br />

dijawab. Kebo Pandogo tersenyum dan sambil tersenyum<br />

itu ia menyahut. "Kadiri ... " katanya. 211 Kelana Jayeng<br />

Sari seperti terkejut, tetapi kemudian ia termenung.<br />

Beberapa jenak lamanya ia tidak berkata-kata. "Apa yang<br />

menurut Mamanda baik, baiklah kita lakukan .. .," akhirnya


ia berkata. Kebo Pandogo merasa puas. Ia merasa<br />

bangga dan gembira. Adalah maksudnya yang<br />

sesungguhnya, hendak mempertemukan gustinya itu<br />

dengan pahlawan yang tersohoi dan menjadi kebanggaan<br />

kerajaan Kadiri: putri perwira Dewi Sekar Taji. Dewi Sekar<br />

Taji sangat gagah dan sakti, sudah sering menaklukkan<br />

kraman dan begal-begal yang mengganggu keamanan<br />

kerajaannya. Apabila perbuatan-perbuatan Kelana Jayeng<br />

Sari kelak dianggap mengancam keamanan kerajaan<br />

Kadiri. Kebo Pandogo mengharap. Dewi Sekar Tajilah<br />

yang akan tuna tangan menaklukannya. Ia tidak melihat<br />

jalan lain yang tepat untuk mempertemukan keduanya<br />

tangkan ia sendiri percaya, bahwa kalau kedua-baha^a<br />

*mUany* *m bakhil dengan henlw?^ bahwa pcristiwa ,ain<br />

telah menghendaki kejadian lain pula .. 212 MAHA PATIH<br />

KEBO RERANGIN Di sebelah barat Kadiri, berdiri<br />

kerajaan Metaun yang diperintah oleh Prabu Gajah Angunangun.<br />

Prabu Gajah Angun-angun belum lama menaiki<br />

takhta, menggantikan ayahanda yang meninggal belum<br />

lama berselang. Raja yang masih muda usianya itu<br />

berambekan besar, la tidak puas dengan kerajaan<br />

ayahanda dan kepada ayahanda yang telah puas dengan<br />

apa yang ada, ia pun merasa tidak puas. Ia mencitacitakan<br />

suata kerajaan yang lebih luas dan kekuasaan<br />

yang lebih besar. Ia bercita-cita hendak memperluas<br />

wilayah kekuasaannya. Ia seorang muda yang pandai<br />

bergaul dan licin. Maka telah dihasutnya berbagai raja kecil<br />

dan para bupati yang selama itu hidup berdampingan<br />

dengan damai atau menjadi setengah kawula kerajaan


Kadiri, sehingga banyak di antara mereka yang mau<br />

mendengar perkataannya itu. Kalau ada bupati atau raja<br />

yang menolak pikirannya. 213 tak ragu-rag» lagi ia<br />

melakukan tangan besi dengan membokong raja yang<br />

lemah itu. Maka ia menjadi seorang raja yang ditakuti oleh<br />

raja-raja kecil. Karena takut, kebanyakan di antara mereka<br />

mengakui kedaulatannya di atas mereka dan menyatakan<br />

kerajaan mereka di bawah perintah Prabu Gajah Angunangun<br />

dari Metaun itu. Tatkala itu Prabu Gajah Angunangun<br />

menganggap dirinya sudah cukup kuat untuk<br />

melakukan penyerangan kepada kerajaan-kerajaan yang<br />

besar-besar., Kerajaan besar yang bertapal batas dengan<br />

kerajaannya di sebelah timur, adalah Kadiri. Maka<br />

diancamnya Prabu Jayawarsya. raja Kadiri, hendak<br />

diperanginya, kecuali kalau Prabu Jayawarsya bersedia<br />

menyatakan takluk kepadanya. Mendengar ancaman itu.<br />

Prabu Jayawarsya murka. Tetapi ia tidak bisa mengumbar<br />

amarahnya, karena baginda sendiri bingung, siapa<br />

gerangan yang mungkin memerangi raja Gajah Angunangun<br />

yang muda itu. Meskipun balatentara Kadiri tidak<br />

lemah dan para pahlawannya bersemangat, namun apabila<br />

baginda mengukur kekuatannya, diam-diam baginda<br />

mengakui keunggulan balatentara Metaun itu. Mereka<br />

tentara yang sudah dipersiapkan untuk suatu perang besar,<br />

sedangkan ba atentara kerajaan Kadiri. lantaran berbagai<br />

soal Mam negen waktu-waktu belakangan menyita<br />

srPerba;Tda-tidak bci*^-* 214 Dewi Sekar Taji yang<br />

mendengar ancam Metaun itu, menjadi murka dan ZSl?*<br />

sembah kepada baginda, '-Mengait seperti bingung? Biar


hamba b^rangkatT^l batas akan menyambut serangan<br />

orang angkuh dari Metaun itu!" Baginda memandang<br />

kepada putri baginda itu. Dewi Sekar Taji memang bukan<br />

putri sembarangan. Ia seorang putri yang gagah berani. Ia<br />

putri yang akan menggantikan ayahanda memegang<br />

tampuk kerajaan, karena itu kecuali mempelajari berbagai<br />

ilmu pemerintahan, ia pun mempelajari pula ilmu<br />

peperangan. Berbagai macam alat senjata tak ada yang<br />

asing baginya. Dan alat-alat peperangan itu<br />

dipergunakannya dengan kemahiran yang mengagumkan.<br />

Kegagahan dan keahliannya dalam mempergunakan<br />

tombak dan keris, terbukti dalam perbuatan-perbuatannya<br />

yang perwira, mengalahkan para kraman dan pemberontak<br />

yang mengganggu keamanan kerajaan. Ya, baginda tidak<br />

ragu-ragu akan keperwiraan putri tunggalnya itu. Tetapi<br />

yang baginda hadapi bukan para pemberontak atau<br />

kraman biasa, melainkan seorang musuh tangguh. Tidak,<br />

baginda tidak yakin akan kegagahan putrinda untuk<br />

mengalahkan musuh yang bukan sembarangan itu.<br />

Baginda merasa kuatir akan keselamatan putnnda. "Tidak.<br />

Sekar Taji. raja Metaun itu buk.an^lawanmu yang<br />

seimbang! Ia konon sakti dan ia pun 215 sangat kejam!"<br />

sabda baginda sambil memandang kepada putrinda.<br />

Mendengar perkataan baginda itu, Dewi Sekar Taji<br />

merasa terhina. Ia marah, tetapi ia tidak bisa berbuat apaapa.<br />

Ia mengundurkan diri, lalu menghibur dirinya di<br />

tengah-tengah taman yang warnawarni Sementara itu<br />

baginda dengan para pejabat negara yang penting-penting<br />

merundingkan masalah yang dihadapi oleh kerajaan Kadiri


yang diancam bahaya peperangan dengan raja Metaun itu.<br />

Baginda meminta pemandangan para pejabat negara, dan<br />

merembukkan jalan-jalan memecahkannya. Umumnya para<br />

pejabat negara itu berpendirian sama, bahwa dengan<br />

kekuatan kerajaan Kadiri saja, musuh dari barat itu tak<br />

mungkin dilawan. Beberapa kerajaan di sebelah barat,<br />

bahkan juga yang tadinya menjadi takluk Kadiri, kini<br />

berpihak kepada raja Gajah Angun-angun. Tak ada jalan<br />

lain, Kadiri mesti meminta bala bantuan kepada salah satu<br />

kerajaan sahabat. Patih W,ranggada menganjurkan agar<br />

baginda meminta bala bantuan kepada raja Janggala.<br />

Bukankah Janggala dan Kadiri bersaudara? Janggala<br />

k^TV *him**


"Ampun Gusti, memang keadaan kita sangat sulit. Hamba<br />

percaya akan keperwiraan para pahlawan Kadiri yang<br />

gagah berani, tetapi dengan perkiraan yang waras,<br />

balatentara Metaun yang sekarang berada di tapal batas<br />

itu bukan lawan kita yang setimpal. Tak ada jalan lain, kita<br />

mesti meminta tolong kepada fihak lain. Tetapi siapa?<br />

Janggala yang pasti akan menolong kita tak mungkin kita<br />

minta tolong berhubung kerena letaknya 217 216 yang<br />

sangat jauh. Mau tak mau kita mesti meminta tolong<br />

kepada f'inak yang dekat . . . Dan tetangga kita yang<br />

terdekat, di sebelah barat adalah . . . Raja Metaun.' Yang<br />

sekarang sedang mengancam kita! Raja Malang, agaknya<br />

dalam hal ini tak boleh kita harapkan pula. karena ia<br />

memang tidak mempunyai bala tentara yang kuat. lagipula<br />

perhubungannya tetap sulit. Sebelum bala bantuan datang,<br />

setiap saat mungkin datang tentara Metaun----" Orang<br />

batuk-batuk kecil, lantaran merasa jemu oleh perkataan<br />

Mahapatih Kebo Rerangin seperti mengulang-ulang apa<br />

yang telah dikunyah tadi. Mengapa dalam keadaan<br />

mendesak seperti itu Mahapatih Kebo Rerangin berkatakata<br />

demikian menjemukan? "Jadi bagaimana?" baginda<br />

bertanya dengan tak sabar. Tetapi agaknya bukan tidak<br />

dengan maksud tertentu. Kebo Rerangin bicara seperti itu.<br />

la menghaturkan sembah pula kepada rajanya, kemudian<br />

ia melanjutkan pembicaraannya pula. "Karena itu, kita<br />

hanya mungkin meminta baJa bantuan kepada satusatunya<br />

fihak "Siapa?" "Ampun Gusti, hendaknya Gusti<br />

jangan terkejut, satu-satunya fihak yang mungkin kita mintai<br />

tolong adalah .. . Kelana Jayeng Sari!" Semua orang


terkejut. Kelana Jayeng Sari! Itulah kraman yang dalam<br />

waktu belakangan ini 218 mengacau di hutan-hutan<br />

perbatasan Kadiri ^ ,ah Umur dan makin lama makin ke<br />

arah barat! Mana mu^Su^it SaL"raman Vang 38aknya<br />

*ngaja hendak £ "^Tetapi Mamanda Patih baginda<br />

bertanya. -Bukankah Kelana Jayeng Sari itu mengacau di<br />

perbatasan sebelah timur?" Mahapatih Kebo Rerangin<br />

menghaturkan sembah. "Daulat, Gusti. Hal itu memang<br />

benar." "Masa kita meminta tolong kepada orang yang<br />

hendak mengacau kita?" Mahapatih Kebo Rerangin<br />

berbicara dengan tetap sabar. "Memang hal ini sulit.<br />

Hamba sendiri mengikuti perihal Kelana Jayeng Sari yang<br />

konon mengaku dirinya berasal dari tanah Sebrang itu<br />

sejak lama . . . Ia banyak melakukan keanehan-keanehan,<br />

tetapi tak syak lagi, ia seorang yang gagah dan perwira. Ia<br />

mengalahkan berbagai kerajaan di sebelah timur. Dan<br />

boleh dikatakan semua negara di sebelah timur kerajaan<br />

kita ini, sampai di pantai timur, takluk belaka kepadanya.<br />

Namun alangkah mengherankan, karena dia tidak mau<br />

duduk memangku takhta. Yang disukainya adalah<br />

berperang ... Ia mengacau di beberapa daerah, tetapi<br />

untuk kepentingan penduduk daerah itu. Mereka 219 tidak<br />

melakukan kekejaman atau perbuatan keterlaluan, bahkan<br />

konon selalu menjadi pelindung rakyat-rakyat<br />

sengsara.......'a mulai dari pantai timur, dan makin lama<br />

makin ke barat jua. Kini ia berada di dalam wilayah kita, di<br />

suatu hutan yang hamba dengar tak jauh letaknya dari sini.<br />

Ia bersama balatentaranya melakukan berbagai gangguangangguan<br />

kecil-kecilan, tetapi terang tidak


membahayakan. Ia seperti dengan sengaja hendak<br />

menguji kesabaran kita ..." "Ia malah harus kita basmi!"<br />

sembah Senapati Wi rapati. "Memang kalau keadaan<br />

tidak segenting sekarang, orang seperti itu mesti kita<br />

basmi. Tetapi keadaan kita sekarang sangat sulit dan<br />

genting...... Kita mesti bertindak bijaksana!" sahut<br />

Mahapatih Kebo Rerangin. "Apakah tindakan bijaksana<br />

meminta tolong kepada kraman yang mengacau di negeri<br />

sendiri?" "Kalau Kelana Jayeng Sari mau menerima<br />

permintaan tolong kita, maka kita telah melakukan tindakan<br />

yang bijaksana sekali." "Bagaimana pula itu?" "Baik<br />

Kelana Jayeng Sari maupun raja Metaun tidak hendak<br />

berbuat kebajikan kepada kita, boleh dikatakan duaduanya<br />

musuh kita....." •jitu pasti!" sahut Senapati Wirapati.<br />

"Kalau keduanya bertempur untuk kepentingan kita, maka<br />

kita telah membunuh dua ekor ular 220 dengan sekali<br />

pukul! Kalau Melaun w dcngan Kelana Jayeng Sari, siapa<br />

vat^T*! untung? Pasti fihak ketiga. Dan fih J kLA tak lain tak<br />

bukan: kita sendiri. Z££XZ nya Metaun tak bisa dikalahkan<br />

oleh Kdana jayeng San namun terang, kekuatan keduanya<br />

akan menjadi lemah. Lebih mudah bagi kita memukul salah<br />

seorang dari mereka itu setelah keduanya bertempur<br />

daripada sekarang kita menghadapi dua musuh<br />

sekaligus!" Baginda mengerti akan maksud Mahapatih<br />

Kebo Rerangin yang licin itu. Baginda menganggukanggukkan<br />

kepala tanda setuju. Sekali lagi baginda kagum<br />

akan mahapatih yang arif serta sudah lanjut usianya itu.<br />

Maka diputuskanlah, bahwa Kadiri akan meminta tolong<br />

kepada Kelana Jayeng Sari untuk menaklukkan raja Gajah


Angun-angun dari Metaun. Mereka mesti bekerja dengan<br />

cepat maka seketika itu juga baginda menitahkan Patih<br />

Wiranggada pergi membawa sepucuk surat untuk Kelana<br />

Jayeng Sari yang menyatakan maksud baginda. Patih<br />

Wiranggada tidak boleh ayal, seketika itu juga bersiapsiap,<br />

lalu berangkat hendak mencari Kelana Jayeng Sari<br />

ke hutan-hutan di sebelah timur. Kelana Jayeng Sari<br />

mempunyai ponggawa yang jumlahnya ratusan orang,<br />

sehingga takkan susah dicari. 221 DEWI SEKAR TAJI<br />

Dewi Sekar Taji merasa tidak puas, lantaran ayahanda<br />

bagaikan memandang tidak tinggi kepada kegagahannya.<br />

la percaya, ia sendiri akan mampu mengalahkan Prabu<br />

Gajah Angun-angun yang angkuh itu. la tidak takut. Dan ia<br />

ingin menunjukkan keperwiraannya dalam membela<br />

kerajaan Kadiri. Maka tatkala kemudian ia mendengar<br />

bahwa ayahanda telah memutuskan untuk meminta tolong<br />

buat melawan raja Metaun itu kepada Kelana Jayeng Sari<br />

yang waktu itu banyak mengacau di hutan-hutan bagian<br />

timur kerajaan Kadiri, amarahnya meluap kepada kepala<br />

kraman yang konon berasal dari tanah Seberang itu. Apa<br />

sih kelebihannya orang Seberang itu daripadaku?<br />

tanyanya dalam hati. Mengapa ayahanda sampai meminta<br />

tolong kepadanya? Sungguh tak mengerti aku!' Wajahnya<br />

guram, dan memberengut. Beberapa lamanya termenungmenung<br />

mengumbar kesalahan 22 hatinya. Akhirnya ia<br />

memberangsang •Baiklah, 'kan kucoba kepandaian orang<br />

Sebran* menusukkan kcns! katanya pula dalam hati. Ingin<br />

kucoba kegagahan dan kesaktiannya!' Setelah berpikir<br />

demikian, maka tetaplah hatinya. Ia mempersiapkan


segala sesuatunya, tetapi dengan diam-diam saja. Ia tak<br />

ingin maksudnya itu diketahui orang lain. Ubih-lebih ia tidak<br />

ingin baginda akan mengetahuinya. Maka ia<br />

mempersiapkan tombak serta kerisnya. Kemudian dia<br />

berdandan, tetapi tidak seperti seorang putri, melainkan<br />

sebagai seorang lelaki. Dalam pakaian demikian, ia<br />

tampak tampan dan gagah, akan mengagumkan barang<br />

siapa yang melihatnya. Tetapi ia masih kuatir jugakalaukalau<br />

kelak ia akan dikenali orang, maka dibekal-nya<br />

sebuah topeng akan penutup parasnya. Waktu hari mulai<br />

gelap, ia sudah siap. maka diambilnya kuda. Kepada<br />

orang kepercayaannya ia berpesan, supaya kepergiannya<br />

itu jangan sampai diketahui orang lain. Malam itu bulan<br />

purnama, dan seperti biasanya jika bulan bulat penuh,<br />

Kelana Jayeng Sari keluar dari kemahnya, lalu berjalan<br />

sendirian akan meng-gadangi sang rembulan yang<br />

sinarnya lembut itu. Sering ia tampak merenung,<br />

memandang ke arah bulan, seakan-akan mengharap akan<br />

terjadi keajaiban dari sana. Para ponggawa sudah<br />

mengenal kebiasaan gustj mereka dan tidak berani<br />

mengganggu gusti mereka itu dari lamunannya. Ki Kebo<br />

Pandogo yang biasanya turut serta mengawani Kelana<br />

Jayeng Sari, tatkala itu tidak nampak. Kebo Pandogo tidak<br />

menyertai gustinya, karena ia tatkala itu sedang sibuk<br />

menghadapi tetamu, utusan dari Kadiri. Kelana Jayeng<br />

Sari telah menemui utusan itu dan telah pula membaca<br />

surat yang disampaikan oleh Patih Wiranggada<br />

kepadanya. Ia maklum kepada maksud raja Kadiri. Tetapi<br />

Kebo Pandogo mengajukan syarat: apabila raja Metaun


erhasil dikalahkan, raja Kadiri mesti menyerahkan<br />

putrinya, sang Dewi Sekar Taji kepada Kelana Jayeng<br />

Sari. Mendengar nama Dewi Sekar Taji disebut, hati<br />

Kelana Jayeng Sari tawar. Apapula malam telah turun, dan<br />

malam bagaikan siang terang-benderang disinari cahaya<br />

bulan yang bulat penuh bulan purnama. Maka hal-hal<br />

selanjutnya diserahkannya kepada penasihatnya itu akan<br />

dirundingkan lebih jauh dengan sang Patih Wiranggada<br />

yang menjadi kepercayaan Prabu Jayawarsya dari Kadiri.<br />

Ia sendiri keluar dari kemah, sendirian menyusuri malam<br />

yang indah disinari cahaya keemasan yang lembut<br />

menyejukkan..... Berjalan beberapa lama. sampailah ia di<br />

bagian hutan y.ng agak terbuka, sehingga dari sana ia oisa<br />

berpuas-puas menikmati sinar bulan purnama. 3 berd,n<br />

mbl] mempereiJangkan tangan di depan 224 dadanya,<br />

sedangkan matanya menatar, m-wajah bulan yang indah<br />

itu. P merenungi Entah berapa lama ia berdiri "Hehh!<br />

Begitu sajakah Kelana Jayeng Sari yang termashur gagah<br />

berani dan tak terkalahkan itu'' Merenung memandang<br />

bulan bagaikan orang kasmaran yang mimpi?" Kelana<br />

Jayeng Sari menoleh ke arah suara itu, maka nampak<br />

olehnya sesosok tubuh berdiri tegak bagaikan menantang<br />

menghadap ke arahnya. Ia tak bisa memandang dengan<br />

jelas, siapakah gerangan orang itu, karena dalam bayangbayang<br />

hutan ia samar sekali. Sedangkan suaranya, ia<br />

terkejut mendengar suara itu.....seolah-olah suara yang<br />

selama ini dinanti-nantikannya! "Siapakah Tuan?" ia balik<br />

bertanya. Sosok tubuh itu tertawa pula mengejek, bergerak<br />

ke arah tempat yang tidak disamari bayang-bayang yang


hitam. Maka kelihatan oleh Kelana Jayeng Sari sekarang,<br />

bahwa menilik pakaiannya, orang yang berdiri di depannya<br />

itu seorang lelaki. Tetapi tatkala ia meneliti dengan telik,<br />

nampaklah bahwa wajah orang itu ditutupi sebuah topeng.<br />

"Akulah orang yang sengaja datang untuk menaklukkanmu,<br />

supaya engkau jangan sombong. Kngkau<br />

mesti tahu, di dunia ini tidak hanya engkau 225 lelaki'<br />

Tidak hanya engkau yang gagah berani!" Kelana Jayeng<br />

Sari memandang dengan tenang ke arah orang itu.<br />

"Mengapa engkau bertopeng? tanyanya kemudian dengan<br />

suara tetap. "Jangan banyak bertanya, hunus kerismu! Mari<br />

kucoba kepandaianmu mempermainkan keris!" Kelana<br />

Jayeng Sari tertawa. "Lebih baik. pertunjukkan<br />

permainanmu dahulu!" sahutnya. Orang, itu agaknya<br />

merasa terhina dan menjadi murka. Maka dihunusnya<br />

keris, kemudian melompat ke arah Kelana Jayeng Sari,<br />

menikam Tetapi dengan matanya yang terlatih. Kelana<br />

Jayeng Sari melihat, bahwa orang itu menusuknya tidak<br />

dengan sungguh-sungguh, kelihatan bahwa ia ragu-ragu.<br />

Kelana Jayeng Sari jadi heran dan bertanya-tanya dalam<br />

hati. 'Siapakah gerangan orang itu?* Ia mengegoskan<br />

tubuhnya dari tikaman, lalu mencoba memukul pergelangan<br />

tangan orang yang memegang keris itu, agar kerisnya<br />

terjatuh. Namun orang itu sungguh-sungguh tangkas, sebat<br />

sekali ia mengilir, sehingga tangannya tak menjadi kurban<br />

pukulan Kelana JayenE Sari yang anginnya berkesiur.<br />

Karena tikamannya meleset, ia mengulangi lagi. Tetapi<br />

kembali Kelana Jayeng ^an jnehhat, bahwa orang itu<br />

menjadi ragu-ragu tatkala kerisnya sudah menuju bagian


tubuh yang berbahaya, dan dibelokkan ke arah bagian<br />

yang 22u tidak begitu berbahaya. Kelana Jayeng Sari m*»<br />

coba menangkap tangan orang itu tetani nrLJ l' pun tidak<br />

manda saja membiarkan dKj d £\Z oleh musuhnya. Atas<br />

kesigapan dan ketangS orang itu, Kelana Javenc Sari m-<br />

,... i ayeng Sari merasa kaeum •Siapakah orang itu yang<br />

begitu tangkas?' tanyanya dalam hati. Maka ia pun makin<br />

mempertajam matanya akan meneliti orang itu. Ia ingin<br />

membuka topeng orang itu dan tak terlintas dalam<br />

pikirannya untuk mencelakakannya. Sementara itu orang<br />

yang bertopeng telah menyerangnya pula bertubi-tubi,<br />

gencar dan sangat sebat sekali. Kelana Jayeng Sari<br />

dengan tak kurang tangkas, berkelit dari setiap tikaman.<br />

Sehingga orang yang bertopeng menyerang secara sia-sia<br />

saja. Tetapi Kelana Jayeng Sari pun tidak bisa berbuat<br />

leluasa. Ia ingin menangkap dan memaksa orang<br />

bertopeng itu melepaskan kerisnya, tetapi sebegitu jauh<br />

usahanya tidak berhasil. Demikianlah beberapa lama<br />

keduanya berkelahi dengan seru, memperlihatkan<br />

ketangkasan dan kesehatannya masing-masing. Dalam<br />

berkelahi itu Kelana Jayeng Sari tak henti-hentinya merasa<br />

kagum atas ketangkasan dan kesehatan orang bertopeng<br />

yang tak dikenal itu. Keringat telah membasahi tubuh<br />

mereka, tetapi keduanya masih tangguh bagaikan gunung.<br />

Mereka berkelahi di tempat terbuka, tetapi jauh dari<br />

perkemahan, sehingga tak diketahui orang lain. 227 Nafas<br />

mereka sudah mulai memburu, tetapi tak ada tanda-tanda<br />

bahwa perkelahian itu akan segera berakhir. ¦ Kelana<br />

Jayeng Sari tiba-tiba meloncat, keluar dari kalangan,


sambil berteriak, "Tunggu dulu orang asing! Tunggu dulu!<br />

Berkelahi dengan mempergunakan topeng tidak leluasa!<br />

Bukalah topengmu, supaya bebas kita berkelahi!" "Kau<br />

ngaco-belo apa?" hardik orang itu. "Apa bedanya<br />

berkelahi dengan topeng atau tidak?" Kelana Jayeng San<br />

tak sempat berkata-kata pula, karena serangan telah<br />

menyusul. Ia segera berkelit. Sekali lagi, usahanya untuk<br />

menangkap tangan musuhnya tak terlaksana. 'Sungguh<br />

bukan orang sembarangan* katanya dalam hati. 'Jarang<br />

orang yang mempunyai kepandaian seperti ini. Tetapi<br />

masih aku tidak mengenalnya! Siapakah dia gerangan?*<br />

Tetapi ia tidak juga mengetahuinya, apapula karena<br />

gencarnya serangan yang mengarahnya secara bertubitubi.<br />

'Ia kelihatannya masih muda.....¦ pikirnya kemudian.<br />

'Tetapi kulitnya halus benar!* Sekali, waktu tikamannya tak<br />

mengena, orang bertopeng itu tak sempat menghindarkan<br />

tangannya dan sabetan tangan Kelana Jayeng Sari yang<br />

mengarah pergelangan. "Upas!" teriak Kelana Jayeng<br />

Sari. '*a-tiba orang bertopeng itu merasa tangannya 228<br />

terpukul dan semutan, sehingga keris yang dipegangnya itu<br />

pun terlepas......... 8 pe "Jawab: siapakah engkau?" Kelana<br />

Jayene Sari bertanya. 6 Orang yang bertopeng itu tidak<br />

menyahut Ia dengan sigap memungut kerisnya yang jatuh'<br />

Kelana Jayeng Sari kagum akan kesigapannya itu Keris<br />

yang terlempar itu segera kembali dipegang oleh tangan<br />

kiri orang bertopeng. Tetapi setelah ia menjemput keris,<br />

orang bertopeng itu tidak kembali menyerangnya,<br />

melainkan lari ke hutan yangg gelap. "Kelana Jayeng Sari!<br />

Tak kecewa kau disebut orang gagah! Namamu bukan


nama kosong belaka!" "Terima kasih atas pujian. Tuan.<br />

Tetapi siapakah Tuan sebenarnya?" Kelana Jayeng Sari<br />

balik betanya. Tetapi orang bertopeng itu tak kedengaran<br />

menyahut. Ia hanya tertawa di jauhan, dan tertawanya yang<br />

keras berderai itu makin lama makin menjauh sampai<br />

akhirnya ia hilang dalam kelengangan hutan. Kelana<br />

Jayeng Sari merasa sangat penasaran. Suara orang itu<br />

dan deraian tertawanya sungguh sama dengan suara<br />

orang yang selama ini dimimpi-mimpikannya: suara<br />

istrinya yang telah lenyap terbang ke bulan. Ia memandang<br />

ke arah bulan yang ketika itu telah mulai condong ke arah<br />

barat. ">?9 Tak terasa lagi. ia rupanya telah bergadang<br />

hampir semalaman. Tatkala ia menganggap bahwa orang<br />

bertopeng itu takkan muncul kembali, maka ia pun kembali<br />

ke kemahnya. Di sana didapatinya penasihatnya Kebo<br />

Pandogo belum tidur, tetapi Kelana Jayeng Sari tidak<br />

bernapsu hendak berbicara, maka dibaringkannya<br />

tubuhnya di atas ranjang ketidurannya. Demikianlah<br />

peristiwa perkelahiannya malam itu dengan musuh tak<br />

dikenal, tak pernah dia ceritakan kepada orang lain.<br />

Meskipun ia sendiri tak habis-habisnya heran, memikirkan<br />

siapakah gerangan musuh yang telah berkelahi dengan<br />

memakai topeng itu............ PRABU GAJAH ANGUN-<br />

ANGUN Bingung juga sang Prabu Jayawarsya tatkala<br />

mendengar sembah Patih Wiranggada tentang permintaan<br />

yang diajukan pihak Kelana Jayeng Sari sebagai syarat.<br />

Dewi Sekar Taji, putri mahkota Kadiri, diminta sebagai<br />

tanda terima kasih apabila Kelana Jayeng Sari berhasil<br />

memukul mundur balatentara Metaun! Kelana Jayeng Sari,


meski termashur gagah serta perwira, namun orang yang<br />

tak ketahuan asal-muasalnya. Dalam pada itu. Dewi Sekar<br />

Taji pun masih terikat oleh pertunangan dengan Raden<br />

Panji Kuda Waneng Pati dari Janggala. Memang baginda<br />

mengetahui juga, bahwa Raden Panji telah lenyap tak<br />

ketahuan hidup-matinya, namun kepastian ia sudah tak<br />

ada lagi di dunia ini, juga tak ada. Masih mungkin kelak<br />

sewaktu-waktu akan muncul Raden Panji Kuda Waneng<br />

Pati dan ia mungkin akan menuntut tunangannya. Lama<br />

juga baginda termenung-menung, memikirkan syarat yang<br />

diajukan oleh pihak Kelana Jayeng 231 Sari itu. Tetapi<br />

keadaan tidak memungkinkan baginda berpikir terus.<br />

Keadaan sangat mendesak. Berita tentang makin majunya<br />

tentara Metaun menuju Kadiri datang saJing susulmenyusul.<br />

Agaknya pihak Metaun sudah juga mencium<br />

berita baginda meminta tolong kepada Kelana Jayeng<br />

Sari. Sambil berjalan ke arah timur, tentara Metaun itu<br />

melakukan perampokan dan pembakaran di sepanjang<br />

jalan. Para penduduk mengungsi dengan ketakutan dan<br />

ratap an-ratap an yang mengharukan kalbu. Baginda cepat<br />

mengambil keputusan. Baginda menerima syarat yang<br />

diajukan pihak Kelana Jayeng Sari, tetapi meminta supaya<br />

Kelana Jayeng Sari segera datang di ibu kota bersama<br />

pasukannya. Patih Wiranggada segera pulang kembali<br />

akan mengabarkan hal itu. Dan keesokan harinya Kelana<br />

Jayeng Sari sudah akan masuk ke ibukota. Seluruh ibukota<br />

sejak pagi sudah dititahkan berhias, akan menyambut<br />

pahlawan mereka dari Sebrang itu. Tatkala hari sudah<br />

lewat tengah hari, bala bantuan yang diharap-harapkan pun


datang. Kelana Jayeng Sari dengan gagah duduk di atas<br />

kudanya, memandang tak peduli kepada segala keriahan<br />

yang diselenggarakan untuk menyambutnya itu. Kelana<br />

Jayeng Sari diterima baginda dengan gembira, kemudian<br />

ditempatkan di puri Tambaknya yang dihiasi seindahindahnya.<br />

Dia menempa ta^ S"** ba* dan Penasihatnya<br />

yang ^a itu, Kebo Pandogo'mendapat bilik yang tak<br />

berjauhan. Para ponggawa dan pasukan uKelana Jayeng<br />

Sari telah bertemu dengan ba-ginda dan bercakap-cakap<br />

juga beberapa lamanya kemudian ia meminta diri akan<br />

kembali ke purinya. Malam itu Kebo Pandogo berniat<br />

hendak mempersembahkan pakaian yang indah-indah<br />

buat Dewi Sekar Taji. la sudah mempersiapkan<br />

persembahan itu sejak beberapa lama. berupa pakaian<br />

sutra yang halus-halus dan intan permata yang<br />

gemerlapan, emas urai, mutiara dan sebagainya. Kelana<br />

Jayeng Sari tidak ambil peduli akan maksud penasihatnya<br />

itu. Tetapi ia sendiri tidak hendak pergi ke istana. "Tak<br />

usahlah Gusti turut serta," kata Kebo Pandogo. "Biarlah<br />

semuanya hamba urus. Lagi-pula Gusti mesti beristirahat<br />

karena bukankah besok kita akan bertempur dengan<br />

tentara Metaun?" Tetapi Kelana Jayeng Sari tidak mau<br />

tidur, la berjalan-jalan di taman yang sangat indah,<br />

menikmati udara malam yang sejuk. Kebo Pandogo<br />

diterima baginda dengan hormat, dan tatkala mendengar<br />

maksud kedatangannya, baginda menitahkan supaya Dewi<br />

Sekar Taji datang menghadap. . T •= Tatkala Kebo<br />

Pandogo melihat Dewi Sekar Taji, ia terkesiap. 233<br />

'Sungguh serupa benar!' katanya dalam hati Tak sia-sia


usahaku selama ini! Kalau Kelana Jayeng Sari melihat<br />

Dewi Sekar Taji ini, tentu ja lupa akan istrinya. Dan niscaya<br />

ia percaya kepada perkataanku, bahwa istrinya benarbenar<br />

kembali turun ke dunia!" Waktu ia kembali ke puri,<br />

didapatinya gustinya belum lagi beradu. Maka ia pun<br />

mempersembahkan pengalamannya bertemu dengan<br />

Dewi Sekar Taji. "Kalau Gusti bertemu dengan putri dari<br />

Kadiri itu, Gusti tentu akan kagum, karena ia sungguhsungguh<br />

seorang yang sangat jelita!" akhirnya ia bilang.<br />

Kelana Jayeng Sari menghela nafas. "Tetapi mungkinkah<br />

ia secantik istriku <strong>Candra</strong> Kirana?" tanyanya dengan tak<br />

bernafsu. "Tak ada orang yang secantik dia! Takkan ada!"<br />

Kebo Pandogo tersenyum-senyum. 'Kelak akan Gusti lihat .<br />

" katanya. "Dewi Sekar Taji memang sama cantiknya<br />

dengan Dewi Anggraeni..." Mendengar nama itu disebut<br />

orang, Kelana Jayeng San menjadi berduka dan ia tak<br />

hendak bercakap-cakap pula. Kenang-kenangan akan<br />

istri-hi!J >Z ,U3!nya bcncdih' »»«ngkan malam itu £ ath n<br />

ndUan hatinya den*a" memandang searah pUrnama yang<br />

bercahaya lembut. Keesokan harinya pagi-pagi benar ia<br />

sudah ber siap, karena han itu ia akan bertemnur ,1 „ja<br />

Metaun. Para Ponggawanya"udTpu siap, suaranya hirukpikuk,<br />

genderang peperaT an telah dipalu, berdebamdebam<br />

bunyinya Waktu Kelana Jayeng Sari sudah naik ke<br />

atas kudanya, hendak berangkat, tiba-tiba datang berlarilari<br />

seorang putri yang berkata kepadanya, "Kelana Jayeng<br />

Sari! Perkenankanlah aku turut berperang di sisi Tuan!"<br />

Kelana Jayeng Sari menolehkan mukanya dan<br />

memandang dengan mata terbelalak kepada putri yang


mendatanginya itu. "Istriku yang tercinta, sungguhsungguhkah<br />

engkau kembali?" sambutnya. "Tuan khilaf,<br />

Kelana Jayeng Sari!" sahut putri itu yang bukan lain<br />

daripada Dewi Sekar Taji putri mahkota Kadiri, "Hamba<br />

belum lagi menjadi istri Tuan!" Tetapi Kelana Jayeng Sari<br />

tak syak lagi: parasnya, tubuhnya, suaranya, gerakgeriknya,<br />

ah, semuanya sama benar dengan istrinya.<br />

"<strong>Candra</strong> Kirana! Masihkah Adinda akan mempermainkan<br />

Kakanda?" tanyanya dengan suara lembut. ... -Hl "<strong>Candra</strong><br />

Kirana? Siapakah <strong>Candra</strong> Kelana Jayeng Sari?" sahut<br />

putri Sekar Taji. Na; ma hamba bukan <strong>Candra</strong> Kirana,<br />

melainkan ue 23$ Sekar Taji, putri Kadiri!" Kelana Jayeng<br />

Sari tertegun. Dewi Sekar Taji! Inilah putri yang telah<br />

dipertunangkan dengan dia sejak masih kanak-kanak!<br />

Baru sekali ini ia melihatnya! Dan putri itu bagaikan pinang<br />

dibelah dua dengan istrinya yang terbang ke arah bulan!<br />

Alangkah sama! Segalanya! Ia memandang tajam-tajam<br />

ke arah putri itu, meneliti dengan mata terpukau. Beberapa<br />

jenak ia tak kuasa melahirkan kata-kata. Lidahnya menjadi<br />

kelu. "Hamba hendak turut serta dengan Tuan memerangi<br />

raja Gajah Angun-angun yang angkuh itu!" kata putri Sekar<br />

Taji pula. Kelana Jayeng Sari cepat menguasai dirinya<br />

pula. 'Tetapi putri jelita, sayangilah kecantikanmu itu!<br />

Jangan turut ke medan perang!" sahutnya. "Hamba<br />

memang seorang wanita, tetapi hamba bukan seorang<br />

pengecut!" kata Dewi Sekar Taji pula. "Orang-orang<br />

menyebut hamba putri yang gagah berani dan hamba<br />

memang mahir mempermainkan pelbagai alat senjata,<br />

Tuan pun tahu!" "Kita baru sekali ini bertemu, mana


mungkin hamba tahu tentang diri Tuan Putri!" Putri Sekar<br />

Taji tertawa. "Mata Tuan sungguh buta! Tuan benar-benar<br />

seorang pemimpi yang kerjanya melamun menggadang»<br />

cahaya bulan!" katanya seperti mengejek. 236 Mendengar<br />

perkataan itu Kelana jtv.„0 i terkejut. Begitu pula ia diejek<br />

orang l?«0^ yang penuh rahasia itu tempo hari. iJjSS orang<br />

yang bertopeng itu Dewi Sekar Taji L? Ia memandang<br />

tajam-tajam kepada putri yang ada di depannya itu. Tak<br />

syak lagi! Suara itu pula yang dia dengar malam itu. Dan<br />

oleh hidungnya yang tajam, tercium pula wangi yang malam<br />

itu juga dia cium. "Tak hamba sangka di Kadiri ada putri<br />

perwira!" katanya kemudian sambil tertawa. "Sungguh<br />

mataku buta, pendengaranku cupet!" Dewi Sekar Taji<br />

tertawa pula. "Jadi Tuan perkenankan hamba turut serta ke<br />

medan pertempuran?" Kelana Jayeng Sari tertawa.<br />

"Hamba mempunyai seekor gajah putih ..." kata Dewi<br />

Sekar Taji pula. "Ia seekor binatang peperangan yang<br />

terlatih. Biarlah ia kutunggangi untuk menyaksikan<br />

pertarungan Tuan dengan Raja Metaun!" Prabu<br />

Jayawarsya tidak berhasil melarang putrinda turut ke<br />

medan laga. Maka ia hanya berpesan kepada Kelana<br />

Jayeng Sari supaya hati-hati menjaganya, agar jangan<br />

sampai mendapat celaka. . "Sang Dewi seorang gagah<br />

perwira. Kelana Jayeng Sari berkelakar. Tetapi<br />

iamenyang237 gupijuga pesan baginda. Maka Kelana<br />

Jayeng Sari bersama wadia-balanya pun berangkat ke<br />

arah barat. Sang Dewi Sekar Taji duduk di atas gajah<br />

putihnya yang anggun dan tangkas itu. Gajah Angun-angun<br />

beserta bala tentaranya bergerak ke arah timur, berbuat


semena-mena melampiaskan amarahnya. Para pendudujc<br />

yang tidak berdosa dianiaya serta disiksa. Rumah-rumah<br />

dibakar, harta kekayaan diranjah dan dirampas, wanitawanita<br />

diperkosa. Tatkala kedua tentara itu bertemu, maka<br />

perang campuh pecah. Suara senjata yang berlaga<br />

berdencing-dencing, diselang oleh teriakan-teriakan<br />

kesakitan yang mengerikan hati. Darah mengalir<br />

membasahi tanah dan suara kuda yang mabuk darah atau<br />

luka menyebabkan langit dan bumi gemetar. Bala tentara<br />

Metaun sudah lelah, karena menganiaya dan menyiksa<br />

penduduk, lagipula tak terkuasai lagi oleh orang atasannya,<br />

sehingga bertempur cerai-berai, merugikan pihaknya.<br />

Sebaliknya wadia-bala Kelana Jayeng Sari yang telah<br />

terlatih itu, masih segar bugar dan dikendalikan oleh ahli<br />

siasat yang mahir. Menjelang tengah hari, bala tentara<br />

Metaun sudah cerai-berai. Betapapun sang Prabu Gajah<br />

Angun-angun berteriak murka menitahkan bala tentaranya<br />

supaya jangan lari, namun sia-sia saja. Lagipula beberapa<br />

raja yang semula berpihak kepadanya tatkala melihat<br />

gelagat tidak 238 baik. segera berbalik senjata atau<br />

menitahkan n pengikutnya menghindarkan diri MeSa^P *<br />

S*, hati karena dengan «1^« terlepas dan raja yang kejam<br />

itu. Di aus gajahnya yang didandani secara mewah Prabu<br />

Gajah Angun-angun tak henti-hentinya berteriak,<br />

menganjurkan supaya maju menerjang anak buah Kelana<br />

Jayeng Sari. Panah yang menghujaninya dengan tangkas<br />

selalu dapat ditangkis-nya. Kelana Jayeng Sari dengan<br />

perkasa, berdampingan dengan Dewi Sekar Taji maju ke<br />

arah barat. Kelana Jayeng Sari di atas kuda, sang putri di


atas gajah. Sedangkan tangan keduanya tak berhenti-henti<br />

memain. Kelana Jayeng Sari mempergunakan tombak.<br />

Setiap gerakan tangannya, menyebabkan tentara musuh<br />

rubuh. Mereka tak mampu menghindari tusukan tombak<br />

yang matanya bagaikan bisa melihat itu. Yang selamat,<br />

timbul takutnya, lalu terbirit-birit melarikan diri. Gajah yang<br />

ditunggangi oleh Dewi Sekar Taji sudah biasa di medan<br />

perang, menyebabkan musuh yang kurang waspada<br />

kehilangan nyawanya, hancur dibanting oleh belalai atau<br />

luluh lantak diinjak oleh kakinya yang besar-besar itu.<br />

Panah Dewi Sekar Taji pun sangat berbahaya, senantiasa<br />

meminta kurban nyawa. Segera Prabu Gajah Angun-angun<br />

melihat musuhnya. Murkanya pun membakar wajahnya 239<br />

"Kelana Jayeng Sari!" ia berteriak menantang "Kau kira<br />

medan perang ini tempat apa? Kalau kau benar berani,<br />

tinggalkanlah perempuan itu, mari kita bertarung mencoba<br />

kekebalan kulit masing-masing." Kelana Jayeng Sari<br />

tertawa mengejek. "Prabu Gajah Angun-angun, jangan<br />

banyak bicara, harimu yang terakhir sudah tiba! Lihatlah<br />

sinar matahari sepuas-puasmu. karena besok ia takkan<br />

kaulihat pula!" Prabu Gajah Angun-angun bertambah<br />

murka. Maka diarahkannya gajahnya ke dekat Kelana<br />

Jayeng Sari, sehingga keduanya berhadapan. "Kelana<br />

Jayeng Sari! Kalau engkau benar perkasa, kautangkis<br />

tombakku si Pantang Kalah ini" teriaknya sambil<br />

menusukkan tombaknya. Tetapi Kelana Jayeng Sari<br />

dengan mudah saja menangkisnya, sehingga murka Prabu<br />

Gajah Angun-angun makin menjadi. Bertubi-tubi ia<br />

menusuk dan mengarah tubuh musuhnya, tetapi dengan


tamengnya Kelana Jayeng Sari selalu menangkis. "Mana<br />

permainan tombakmu yang kesohor itu?" ejek Kelana<br />

Jayeng Sari sambil tertawa. Hanya itu sajakah?1' Prabu<br />

Gajah Angun-angun meloncat dari gajah-ny a. "Kelana<br />

Jayeng Sari, tunrn ke mari! Mari kita berkelah. dengan<br />

keris di atas tanah'" Hanya sekejap Kelana Jayeng Sari<br />

sudah berada 240 di hadapannya... -Apa maumu akan<br />

selalu kulayani'" sah Belum lagi perkataannya habis<br />

diucapkan"mS kens telah menyambar akan menusuk<br />

lambung? Tetapi ia sungguh gesit, tusukan itu bi» dihindari<br />

nya dengan mudah. Sebaliknya Prabu Gajah Angun-angun<br />

hampir-hampir ngusruk lantaran kehilangan keseimbangan<br />

tubuh. Ia menusuk dengan sepenuh tenaga, tak tahunya<br />

musuh mengegoskan diri. "Hunus kerismu!" teriaknya<br />

dengan murka. "Tak usah terburu-buru benar ..." sahut<br />

Kelana Jayeng Sari. "Bukankah engkau masih ingin<br />

melihat sinar matahari?" Ejekan-ejekan Kelana Jayeng<br />

Sari yang menghina itu menyebabkan Prabu Gajah Angunangun<br />

makin murka. Ia sudah tak bisa menguasai<br />

amarahnya lagi. Ia menusuk dengan kalap kepada<br />

musuhnya, tetapi dengan demikian musuhnya pun jadi lebih<br />

gampang menyelamatkan diri. Demikianlah kedua<br />

pahlawan itu berkelahi beberapa lamanya, ditonton dengan<br />

asyik oleh Dewi Sekar Taji yang tersenyum-senyum saja. la<br />

yakin akan kepandaian Kelana Jayeng Sari yang<br />

diketahuinya sangat mahir dan ahli mempermainkan<br />

keris____ Dalam pada itu pertempuran sudah mendekati<br />

akhirnya. 241 Kelana Jayeng Sari sudah menghunus<br />

kerisnya yang konon sangat sakti dan bertuah benar itu. Ja


tidak membuta seperti musuhnya menusuk-nusukkan keris,<br />

tetapi menanti saat yang tepat. Matanya yang tajam<br />

mengawasi musuhnya dengan teliti. Ia pun mesti<br />

menghindarkan diri dari setiap tusukan Prabu Gajah<br />

Angun-angun. Tidak berapa lama. ia melihat satu<br />

lowongan. Tatkala keris Prabu Gajah Angun-angun<br />

mengarah dadanya sebelah kiri, ia sengaja bertindak ayal,<br />

sehingga menggembirakan musuhnya itu. Ia yakin sekali ini<br />

Kelana Jayeng Sari tak nanti mampu menghindarkan<br />

dirinya dari tusukan kerisnya. "Rubuhlah!" teriak Prabu<br />

Gajah Angun-angun. Dan benar-benarlah: tubuh yang besar<br />

kekar itu rubuh, karena tangan kanan Kelana Jayeng Sari<br />

yang memegang keris itu telah mendahului masuk ke<br />

bawah ketiaknya, sedangkan mata kerisnya masuk ke<br />

dalam dada. Darah mengucur, keris terlepas dari tangan<br />

Prabu Gajah Angun-angun. Kelana Jayeng Sari berdiri<br />

sambil bernafas lega. Ia membersihkan kerisnya dari<br />

darah yang merah membasahinya. "Sungguh<br />

mengagumkan!" terdengar pujian dan atas gajah. Itulah<br />

suara Dewi Sekar Taji yang «jak tadi menyaksikan<br />

pertarungan mati-matian kedua orang itu. Karena raja<br />

mereka rubuh, maka bubar tak 242 keruanlah tentara<br />

Metaun. Yang tak sempat melarikan diri, tertangkap, lalu<br />

dibelenggu oleh bala tentara Kelana Jayeng Sari. Mereka<br />

memohon ampun, mau menyelamatkan selembar<br />

nyawanya. Kelana Jayeng Sari menitahkan agar mayat<br />

Prabu Gajah Angun-angun dan para tawanan dibawa ke<br />

Kadiri akan menjadi bukti kemenangannya. 243 RAHASIA<br />

TERBUKA Seluruh Kadiri mengelu-elukan Kelana Jayeng


Sari yang telah menjadi pahlawan mereka memukul<br />

mundur tentara Metaun dan membunuh Prabu Gajah<br />

Angun-angun yang kejam. Prabu Jayawarsya menyabut<br />

kedatangan Kelana Jayeng Sari bersama pasukannya itu<br />

sampai di luar kota Kadiri. Waktu sang pahlawan turun dari<br />

gajah akan menghaturkan sembah kepada baginda,<br />

terdengar sorak gempita yang membelah udara. "Hidup<br />

Kelana Jayeng Sari! Hidup pahlawan Kadiri!" Kemudian<br />

mereka bersama-sama masuk ke dalam istana. Prabu<br />

Jayawarsya nampak terharu. Ia memandang berganti-ganti<br />

kepada Kelana Jayeng Sari dan putrinda Dewi Sekar Taji,<br />

lalu menundukkan kepalanya, seperti memikirkan sesuatu<br />

hal yang mengganggu kalbunya. Para prajurit Kelana<br />

Jayeng Sari dijamu dan dihibur dengan berbagai<br />

pertunjukan. Maka hilang244 lenyap capai lelah mereka,<br />

karena terhibur oleh berbagai hal yang menyukakan hati.<br />

Sementara itu di istana, baginda beserta beberapa orang<br />

pejabat penting juga sedang menjamu Kelana Jayeng Sari<br />

bersama Kebo Pandogo. Baginda memuji kepahlawanan<br />

sang Kelana dan bersukur karena ancaman bahaya<br />

terhadap Kadiri sudah bisa dihindari. Tatkala pembicaraan<br />

sampai pada soal pernikahan Kelana Jayeng Sari dengan<br />

Dewi Sekar Taji seperti yang telah dijanjikan, baginda<br />

menghela nafas panjang. "Jodoh memang ditentukan oleh<br />

para dewa . . . " sabdanya kemudian. "Manusia tak bisa<br />

berbuat sesuatu apa, apabila Dewata raya tidak<br />

memperkenankannya ..." Orang-orang termenung demi<br />

mendengar sabda baginda yang diucapkan dengan suara<br />

yang murung sedih itu, diam termenung, tak ada yang


erani memotong kalimat. Suasana yang penuh gelak<br />

tertawa berubah menjadi sungguh-sungguh. "Umpamanya<br />

Dewi Sekar Taji ..." baginda melanjutkan perkataannya<br />

pula. "Sejak masih kanak-kanak ia telah dipertunangkan<br />

dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati, putra mahkota<br />

Janggala. Apa mau pihak Janggala tidak menepati janji -<br />

atau lebih tepat: Dewata menghendaki yang lain. Raden<br />

Panji konon nikah di luar perke 245 nan ayahanda dengan<br />

seorang bukan keturunan raja dan menolak untuk menikah<br />

dengan anakku Sekar Taji ..." wajah baginda muram,<br />

suaranya pun makin menjadi guram. "Dan kemudian<br />

Raden Panji konon tenggelam di lautan selagi berlayarlayar<br />

dengan istrinya yang sudah meninggal . . . Tetapi ada<br />

pula yang mengatakan, bahwa Raden Panji masih hidup,<br />

hanya sebegitu jauh sampai sekarang belum kelihatan<br />

muncul. Sang Prabu Jayantaka sudah mengundurkan diri,<br />

kini telah digantikan oleh Prabu Braja Nata, putra baginda.<br />

Hebat adalah bagi kami, karena Prabu Braja Nata<br />

bersikeras mengatakan bahwa saudaranya. Raden Panji<br />

Kuda Waneng Pati masih hidup, karena itu<br />

pertunangannya dengan Dewi Sekar Taji tidak dibatalkan!<br />

Tetapi bertahun-tahun telah lampau, kabar mengenai<br />

Raden Panji tak juga sampai. Lagipula bukti bahwa Raden<br />

Panji masih hidup tak ada yang layak dipercaya . . . Prabu<br />

Braja Nata tak percaya saudaranya itu telah meninggal,<br />

karena mereka tidak berhasil menemukan mayatnya. Ya,<br />

bagaimana pula mencari mayat di dalam lautan yang<br />

dalam dan luas tak terkira?" baginda berhenti sejenak,<br />

suasana hening. "Karena itu, menurut pendapat kami,


adalah anakku Kelana Jayeng Sari yang telah ditentukan<br />

oleh Dewata untuk menjadi jodoh Dewi Sekar Taji -<br />

anakku. Sesuai dengan perjanjian kita, kami merasa tidak<br />

keberatan menikahkan anakku Dewi Sekar Taji 246<br />

dengan anakku Kelana Jayeng Sari. Persiapan untuk itu<br />

akan segera disediakan ..." Hampir Kelana Jayeng Sari<br />

tak kuasa menahan dirinya, akan sujud di depan baginda<br />

dan menjelaskan bahwa Raden Panji Kuda Waneng Pati<br />

yang dikabarkan tenggelam di lautan itu, adalah dia sendiri<br />

adanya. Hampir ia tak kuat menahan keinginan untuk<br />

mengatakan bahwa Raden Panji Kuda Waneng Pati dan<br />

Kelana Jayeng Sari itu orangnya satu. Untung saja<br />

penasihatnya yang bijaksana, Ki Kebo Pandogo, menekan<br />

tangannya, sehingga sadar ia akan dirinya yang sedang<br />

menyamar. Maka pembicaraan pun dilanjutkan tentang<br />

pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Beberapa<br />

orang senapati mengutarakan kekuatirannya kalau-kalau<br />

pihak Janggala menjadi marah dan menyerang Kadiri.<br />

Tetapi mengapa pula mesti takut? Bukankah Kelana<br />

Jayeng Sari yang gagah perwira dan sakti itu akan<br />

sanggup memukul mundur serbuan Janggala? Maka<br />

mengenai hal itu orang tidak berani menyinggungnyinggungnya<br />

pula. Pernikahan ditetapkan akan<br />

dilangsungkan enam minggu lagi. Selama itu persiapanpersiapan<br />

akan diadakan. Sebuah pesta kerajaan akan<br />

diselenggarakan besar-besaran. Bukankah Dewi Sekar<br />

Taji putri mahkota yang kelak akan memangku takhta<br />

Kadiri? Seluruh kerajaan sibuk bersiap-siap untuk 247<br />

menyambut hari yang akan dirayakan empat puluh hari


empat puluh malam itu. Tetapi waktu yang enam minggu itu<br />

menyebabkan berita tentang pernikahan Dewi Sekar Taji<br />

dengan Kelana Jayeng Sari dari tanah Seberang itu<br />

sampai di Janggala dan Prabu Braja Nata murka besar<br />

tatkala mendengarnya. "Dewi Sekar Taji sudah<br />

dipertunangkan dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati!"<br />

katanya dengan geram. "Raden Panji memang hilang,<br />

tetapi ia belum meninggal dan pertunangan antara<br />

keduanya pun belum diputuskan! Nyata pihak Kadiri<br />

hendak menghina kita, Janggala! Hinaan ini tak boleh kita<br />

biarkan saja!" Maka baginda berunding dengan para<br />

pejabat kerajaan yang penting-penting membicarakan<br />

persiapan-persiapan untuk menyerang Kadiri, supaya<br />

pernikahan tunangan putra mahkota Janggala dengan<br />

orang yang berasal dari tanah Sebrang itu jangan sampai<br />

terlaksana. Baginda bertindak cepat, beberapa hari<br />

kemudian berangkatlah tentara Janggala dalam jumlah<br />

yang besar menuju Kadiri. Prabu Braja Nata sendiri<br />

memimpin penyerangan itu. Tetapi Prabu Braja Nata<br />

bertindak hati-hati. Ia tidak langsung menyerang Kadiri.<br />

Tatkala sampai di perbatasan, ia pun mendirikan<br />

perkemah-an. Lalu ditulisnya sepucuk surat yang akan<br />

di248 antarkan oleh Senapati Arya Suralaga kepada sang<br />

baginda Prabu Jayawarsya. Dalam surat itu Prabu Braja<br />

Nata mengingatkan mamanda akan pertunangan putri<br />

mahkota Kadiri dengan putra mahkota Janggala Raden<br />

Panji Kuda Waneng Pati. Pertunangan itu belum pernah<br />

diputuskan, dan meskipun dikabarkan tenggelam ke dasar<br />

lautan, belum tentu Raden Panji sudah meninggal. Hingga


sekarang mayatnya belum diketemukan orang. Karena itu,<br />

Prabu Braja Nata menyatakan keberatannya kalau Dewi<br />

Sekar Taji dinikahkan dengan orang lain, sedangkan<br />

pertunangannya dengan Raden Panji Kuda Waneng Pati<br />

belum diputuskan secara resmi. Ia mengatakan bahwa jika<br />

hal itu dilangsungkan, maka itu berarti penghinaan buat<br />

Janggala dan ia takkan membiarkan diri serta nama baik<br />

kerajaannya terhina. Di perbatasan ia telah siap dengan<br />

bala tentaranya yang besar untuk menyerbu Kadiri, kalau<br />

penghinaan dilangsungkan juga. Pada akhir suratnya,<br />

Prabu Braja Nata menuntut agar pernikahan itu dibatalkan<br />

dan agar Kelana Jayeng Sari datang menyerah kepadanya<br />

untuk menerima hukuman penggal. Orang yang konon<br />

berasal dari tanah Sebrang itu dianggap telah dengan<br />

sengaja menghina kerajaan Janggala. Tetapi sebelum<br />

Senapati Arya Suralaga sampai di hadapan Prabu<br />

Jayawarsya akan mempersem249 hahkan surat Prabu<br />

Braja Nata. berita tentang kedatangan tentara Janggala di<br />

perbatasan Kadiri. telah meniup-niup di seluruh negen.<br />

Setiap orang membicarakannya. Setiap orang berkuatir.<br />

Dan kekuatiran itu mempengaruhi persiapan pesta<br />

kerajaan untuk pernikahan putri mahkota mereka. Dan<br />

tatkala Prabu Jayawarsya menerima utusan Prabu Braja<br />

Nata, hatinya goncang. Sebelum ia membuka surat yang<br />

dipersembahkan orang kepadanya, untuk sebagian besar<br />

baginda telah maklum akan isinya. Perang! Perang<br />

dengan Kadiri! Tidak, bencana itu tak mungkin dihindari<br />

lagi! Tuntutan Prabu Braja Nata sangat mustahil: Kelana<br />

Jayeng Sari mana mungkin bersedia untuk menyerahkan


kepalanya kepada pihak Janggala! Sebaliknya ia pun<br />

takkan mungkin meminta Kelana Jayeng Sari untuk<br />

membatalkan pernikahannya dengan Dewi Sekar Taji! Itu<br />

akan menyebabkan pahlawan dari tanah Sebrang itu<br />

merasa terhina dan murka pula! Memang, ia boleh tidak<br />

usah menaruh kuatir, karena Kelana Jayeng Sari dengan<br />

bala tentaranya tentu akan menghadapi serangan dari<br />

Janggala. Namun jika hal itu terjadi, maka perhubungannya<br />

dengan Janggala akan buruk untuk selama-lamanya.<br />

Sedangkan Janggala dengan Kadiri berasal dari satu<br />

keturunan, dari satu kerajaan jua . . . Maka terkenang pula<br />

baginda akan cita-citanya semasa muda, bersama-sama<br />

dengan saudara 250 sebuyutnya Prabu Jayantaka, untuk<br />

Dersama-sama mewujudkan kembali apa yang dahulu<br />

dengan susah payah telah dipersatukan oleh moyang<br />

mereka Sang Airlangga: persatuan Kadiri dengan<br />

Janggala! Sungguh suatu cita-cita yang indah! Sungguh tak<br />

baginda kira, cita-cita yang mulia itu akan berakhir seperti<br />

ini. Jangankan persatuan, bahkan perpecahan selamalamanya<br />

mengancam perhubungan kedua kerajaan itu!<br />

Baginda menghela nafas. Kepada Senapati Arya Suralaga<br />

baginda meminta tempo untuk merundingkannya dahulu<br />

dengan para tetua negara dan sementara menunggu<br />

keputusan itu, utusan Prabu Braja Nata dipersilakan<br />

beristirahat di sebuah pesanggrahan yang sangat resik.<br />

Tetapi para tetua serta pejabat negara pun tidak mampu<br />

menghasilkan saran yang merupakan jalan keluar.<br />

Mahapatih Kebo Rerangin yang terkenal bijaksana itu,<br />

merenung, berpikir keras dan kata-katanya tidak


memberikan cahaya harapan. "Akhir-akhirnya segalagalanya<br />

terserah kepada Gusti Kelana Jayeng Sari jua . . .<br />

" demikian katanya. "Hanya ia dalam hal ini yang mungkin<br />

memberi keputusan. Kalau ia menghendaki perang, maka<br />

perang pun takkan mungkin dihindari . . . Kecuali kalau ia<br />

bersedia memenuhi tuntutan Prabu Braja Nata itu ... "<br />

"Tetapi sudikah ia menyerah?" tanya baginda. "Itulah yang<br />

tak bisa kita jawab. Karena itu 251 hanya ia sendiri yang<br />

mungkin memberi keputusan ....1 "Tak ada jalan lain kalau<br />

begitu: kita mesti merundingkan hal ini dengan dia!<br />

Baiklah, Senapati Wirapati, silakan Kelana Jayeng Sari<br />

datang ke mari!" sabda baginda. Sementara itu Dewi<br />

Sekar Taji, yang juga mendengar berita tentang masuknya<br />

tentara Janggala ke perbatasan, bermuram durja. Ia<br />

nampak mere-nung-renung dan melamun, sehingga<br />

menimbulkan heran Kelana Jayeng Sari yang sedang<br />

mengunjunginya. "Apakah yang Adinda pikirkan?"<br />

tanyanya. Dewi Sekar Taji memandang kepada bakal<br />

suaminya itu dengan mata redup. "Hamba kuatir, karena<br />

hamba dengar wadia-bala Janggala telah sampai di<br />

perbatasan akan menyerang Kadiri," sahutnya dengan<br />

suara guram. 'Tentu gara-gara pihak Janggala mendengar<br />

tentang akan dilangsungkannya pernikahan kita ..." Kelana<br />

Jayeng Sari tersenyum dan wajahnya cerah, seperti ia<br />

tidak mengetahui apa-apa dan sambil tersenyum jua ia<br />

bertanya, "Jadi menyesalkah Adinda akan pernikahan<br />

kita?" Dewi Sekar Taji memandang dengan tajam.<br />

"Jangan Kakanda berbicara seperti itu! Hamba tidak<br />

menyesal karena telah mendapat jodoh Kakanda, malah ...


angga!" "Tetapi agaknya Adinda mengharap-harap jua<br />

252 Raden Panji, tunangan Adinda sejak masih kanakkanak<br />

itu . . . " kata Kelana Jayeng Sari sambil tersenyum<br />

jua. "Tidak!" sahut Dewi Sekar Taji cepat. "Tidak<br />

demikian! Hamba dengan Raden Panji belum pernah<br />

bersua. Atau kalau pun pernah bersua, tentu tatkala kami<br />

masih kanak-kanak. Kami tak ingat lagi. Lagipula Raden<br />

Panji hamba dengar sudah menikah dengan orang lain dan<br />

ia sangat mencintai istrinya itu, sehingga..." "Jadi apa yang<br />

Adinda rusuhkan?" potong Kelana Jayeng Sari seakanakan<br />

ia tak mau mendengar kekasihnya itu menghabiskan<br />

kalimat. Dewi Sekar Taji menghela nafas sambil<br />

mengarahkan pandangannya ke kejauhan. Ia nampak<br />

berfikir keras. "Yang hamba jadikan pikiran," akhirnya ia<br />

menyahut, "adalah bencana yang bakal dialami oleh rakyat<br />

Kadiri..." "Bencana apa?" "Kalau bala tentara Janggala<br />

masuk, tentu peranglah yang akan terjadi dan tentu rakyat<br />

Kadiri akan hancur menderita karenanya ..." sahutnya<br />

dengan suara murung. "Ragu-ragukah Adinda akan<br />

kegagahan serta keperwiraan para ponggawa Kelana<br />

Jayeng Sari'1" Dewi Sekar Taji menggleng-gelengkan<br />

kepala. "Tidak! Sedikit pun Dinda tidak ragu. Hamba telah<br />

menyaksikan mereka bertempur tatkala 253 menghadapi<br />

tentara Metaun dan hamba percaya, mereka di bawah<br />

pimpinan gustinya yang perwira akan mencapai<br />

kemenangan di setiap peperangan . . " mengucapkan yang<br />

terakhir ia tersenyum sambil mengerling manja kepada<br />

tunangannya. Kelana Jayeng Sari tersenyum. "Jadi apa<br />

yang Adinda kuatirkan?" kemudian ia bertanya. "Apabila


terjadi perang dengan Janggala, tentu akan banyak orang<br />

yang mati atau sekurang-kurangnya mendapat celaka,<br />

menderita berbagai kesengsaraan. Wanita-wanita akan<br />

banyak yang kehilangan suami, anak-anak banyak yang<br />

akan kehilangan ayah dan ibu-ibu banyak yang akan<br />

kehilangan anak lelaki mereka yang menjadi tiang<br />

kehidupannya ... Waktu berperang dengan Metaun tempo<br />

hari, hamba menyaksikan hal-hal yang mengerikan dan<br />

menyedihkan itu. Dan diam-diam hamba berpikir:<br />

Alangkah hebatnya bencana yang dialami dan diderita oleh<br />

manusia lantaran perang! Apakah manfaatnya perang itu?<br />

Apakah artinya perang antara sesama manusia, sesama<br />

saudara? Ya. Kadiri dan Janggala masih berasal dan satu<br />

keturunan . . . Kalau terjadi perang, tak peduli siapa yang<br />

menang ataupun siapa >ang kalah, kedua pihak akan<br />

menderita, akan mengalami bencana. Bencana atas<br />

sesama manu-aa. Dew, Sekar Taji berhenti sebentar dan<br />

karena 254 kekasihnya diam saja menyimakkan<br />

perkataannya, kemudian ia melanjutkan pula, "Dan kalau<br />

hamba bertanya kepada diri hamba sendiri. Apakah<br />

pangkal sebabnya sehingga kedua kerajaan yang berasal<br />

dari satu keturunan itu berperang? Apakah yang mereka<br />

bela? Apakah yang mereka pertahankan? Kanda pun tahu:<br />

hambalah pangkal sebabnya. Hamba! Hambalah yang<br />

akan menyebabkan manusia saling bunuh sesamanya!<br />

Dan kalau pun kelak kita menang, apakah yang akan kita<br />

dapat? Kebahagiaan kita. Barangkali kita akan<br />

berbahagia dalam hidup kita. Tetapi apakah artinya<br />

kebahagiaan kita apabila kita perbandingkan dengan


penderitaan serta kesengsaraan yang dialami oleh<br />

beratus-ratus dan beribu-ribu orang yang mendapat<br />

bencana perang itu? Seimbangkah kebahagiaan kita<br />

dengan kurban yang dimintanya? Ya, apakah artinya<br />

kebahagiaan kita kalau untuk itu kita menyebabkan beriburibu<br />

orang lain mendapat bencana dan menderita<br />

kesengsaraan?" Kelana Jayeng Sari mendengarkan<br />

perkataan bakal istrinya itu dengan kagum, la merasa<br />

malu, karena ia sendiri dahulu hanya memikirkan<br />

kebahagiaannya sendiri saja. 'Coba kalau dahulu aku tidak<br />

terlalu menurutkan hatiku sendiri ...' sesalnya dalam hati.<br />

'Kini tentu bulan dan matahari ada dalam genggamanku!<br />

Dan siapakah lagi yang akan lebih berbahagia daripada<br />

orang yang menyandingkan keduanya?' 255 Teringat akan<br />

masa lampaunya, ia menjadi murung dan menyesal. Tetapi<br />

melihat Dewi Sekar Taji yang memandang dengan mata<br />

redupnya ke arah tak berwatas. ia segera berkata, "Kalau<br />

begitu, perang mesti kita hindari .. . Dewi Sekar Taji<br />

menolehkan wajahnya. Kini ia memandang wajah Kelana<br />

Jayeng Sari tajam-tajam, dari matanya terpancar<br />

keheranan. "Apakah maksud Kanda?" "Perang itu akan<br />

kita hindari ..." "Tetapi semudah itukah soalnya?<br />

Sesederhana itukah?" Kelana Jayeng Sari tersenyum.<br />

"Kalau Kanda mengirimkan utusan kepada Prabu Braja<br />

Nata, tentu persoalan akan beres dan apa yang Rayinda<br />

takuti akan terhindar..." Dewi Sekar Taji memandang<br />

dengan heran dan tidak mengerti. Ia hendak bertanya pula.<br />

tetapi tatkala itu datang Senapati Wirapati yang<br />

memangku titah baginda. Kelana Jayeng Sari disilakan


menghadap baginda secepat mungkin "Apakah soalnya<br />

gerangan?" tanya Dewi Sekar Taji. Senapati Wirapati<br />

seperti keberatan menyahut. Maka Kelana Jayeng Sari<br />

menalanginya, menjawab, "Tentu soal Janggala, bukan?"<br />

Senapati Wirapati terkejut. 'Bagaimana ia mungkin<br />

mengetahuinya? Benar-benar orang ini sakti!' pikirnya<br />

dalam hati. Ia hanya mengangguk dan mengiakan saja.<br />

Kelana Jayeng Sari meminta diri dari kekasihnya, lalu<br />

bergegas menuju balairung, diiringkan oleh Senapati<br />

Wirapati. Waktu ia sampai di sana, Ki Kebo Pandogo juga<br />

sudah ada di sana. Maka baginda pun lalu membicarakan<br />

masalah yang membingungkan hatinya itu. Surai yang<br />

diterimanya dari Prabu Braja Nata diberikannya kepada<br />

Kelana Jayeng Sari. Ki Kebo Pandogo tersenyum-senyum<br />

saja, tetapi ia tidak berkata sesuatu apa. Setelah Kelana<br />

Jayeng Sari menelaah surat itu, terdengar baginda<br />

bersabda, "Anakku pun .tahu, bahwa dalam hal ini,<br />

semuanya tergantung kepada Anakku Kelana sendiri . . .<br />

Kami tak bisa berbuat apa-apa . . . Apakah yang hendak<br />

Anakku lakukan?" Kelana Jayeng Sari memandang<br />

kepada baginda, kemudian menghaturkan sembah, "Tak<br />

usah Gusti merisaukan hal itu. Ancaman tentara Janggala<br />

tak usah Gusti kuatirkan ..." "Ya, kami percaya, Anakku<br />

akan dengan mudah mengalahkannya dan memukulnya<br />

mundur sela baginda. 'Tidak!" sela Kelana Jayeng Sari.<br />

"Hamba tidak akan mempergunakan kekuatan senjata .. . "<br />

Semua orang terkejut, kecuali Ki Kebo Pandogo. "Apa<br />

maksud Anakku?" tanya baginda pena257 saran. Kelana<br />

Jayeng Sari tersenyum. "Hamba akan menyerahkan diri


hamba kepada Prabu Braja Nata ..." "Apa?" semua orang<br />

terlonjak dari duduknya. "Anakku akan menyerahkan diri<br />

untuk dipenggal?*' tanya baginda dengan hati kuatir, meski<br />

baginda berpikir, bahwa itulah yang sebaik-baiknya untuk<br />

mencegah permusuhan antara kedua kerajaan yang<br />

berasal dari satu keturunan. "Daulat Gusti," sahut Kelana<br />

Jayeng Sari. "Hamba akan menyerahkan kepala hamba<br />

kepada Prabu Braja Nata .... " "Tetapi . . . bagaimana<br />

dengan prajurit-prajurit Anakku? Tidakkah mereka mampu<br />

menangkis bahkan memukul mundur tentara Janggala?<br />

Apakah Anakku merasa kuatir?" "Samasekali hamba tidak<br />

merasa kuatir," sahut Kelana Jayeng Sari. "Tetapi<br />

bukankah jalan itu yang sebaik-baiknya ditempuh?"<br />

Baginda terperanyak. Perkataan itu mengena benar pada<br />

hati baginda. Darah menyirat memerahi wajah baginda.<br />

Apakah ia tahu apa yang kami kuatirkan?' pikir baginda<br />

dalam hati. 'Sungguh sakti ia!' 66 Melihat baginda<br />

terdesak, mahapatih Kebo Kerangin yang bijaksana itu<br />

segera menghaturkan c .?!gaimana Pun Gusti, Gusti<br />

Kelana Jayeng banlah yang mungkin memberi putusan.<br />

258 Apa juga yang dikehendakinya, kita tak mungkin<br />

berbuat apa-apa ..." Dan dengan demikian ia merasa telah<br />

menolong gustinya dari kesulitan. Maka keputusan diambil.<br />

Kelana Jayeng Sari tidak akan mengadakan perlawanan<br />

terhadap Prabu Braja Nata. Ia malah hendak menyerahkan<br />

diri. Kepada Senapati Arya Suralaga yang menunggu di<br />

pesanggrahannya, segera baginda menyampaikan<br />

keputusan itu. Maka rombongan utusan itu, keesokan<br />

harinya segera pulang membawa keputusan yang


melegakkan hati. Namun tatkala Prabu Braja Nata<br />

menerima berita itu, ia hampir-hampir tidak percaya.<br />

Semudah itukah soal bisa diselesaikan? Mengapa Kelana<br />

Jayeng Sari yang terkenal gagah perwira itu segampang<br />

itu menyerah? la curiga kalau-kalau di balik kesediaan<br />

untuk menyerah itu tersembunyi maksud keji untuk<br />

membokong. Tetapi tatkala ia bertanya dengan lebih teliti<br />

kepada Senapati Arya Suralaga, barangkali mereka diamdiam<br />

mengadakan persiapan perang, utusan yang<br />

bermata tajam itu menyangkalnya. "Persiapan yang hamba<br />

lihat semuanya dipusatkan untuk perayaan pernikahan<br />

belaka," sahutnya. "Hamba tak melihat persiapanpersiapan<br />

bala tentara!" Mau tak mau baginda percaya<br />

akan keterangan itu. karena Senapati Arya Suralaga<br />

seorang yang teliti dan waspada. Hidungnya tajam<br />

mencium 259 bahaya dan tentang hal itu baginda yakin.<br />

"Sungguh aneh»" katanya. Siapakah gerangan Kelana<br />

Jayeng Sari itu sesungguhnya? Mengapa ia berbuat yang<br />

mengherankan sekali? Tetapi tak seorang pun yang bisa<br />

menerangkan hal itu. Maka sehari lamanya baginda dan<br />

para penasihatnya dirundung kebingungan. Mereka lega<br />

karena takkan terjadi perang, tetapi akhir peristiwa<br />

agaknya samasekaii di luar sangkaan semua orang.<br />

Mereka tak habis-habisnya merasa heran. Siang hari<br />

datang seorang pengawal memberitakan kedatangan<br />

tokoh yang mengherankan berbareng membingungkan<br />

mereka itu. Kelana Jayeng Sari nendak menghadap<br />

kepada Prabu Braja Nata, akan menyerah. "Dengan<br />

siapakah ia datang? Banyakkah pengiringnya?" tanya


aginda dengan perasaan kuatir juga. "Hanya berdua<br />

dengan seorang yang sudah "lanjut usianya," sahut<br />

pengawal itu. "Titahkan mereka ke mari!" sabda baginda<br />

akhirnya setelah merenung sejenak. Sementara itu para<br />

tetua dan penasihat baginda memang sudah mengharapharap<br />

kedatangan tamu itu. Dan mereka senantiasa<br />

mengharap dengan perasaan heran juga kedatangan<br />

satria yang penuh rahasia itu. Mereka siap menerima.<br />

Sementara menanti masuknya satria yang mere-ka<br />

anggap telah menghina harga diri mereka itu, 260 tak tahu<br />

kenapa mereka merasa debaran jantungnya mendadak<br />

mengeras. Prabu Braja Nata sendiri gelisah dan beberapa<br />

orang yang lain merasa tidak tenang duduk. Bagaimana<br />

pun akhir segala sesuatunya berlainan benar dengan yang<br />

pernah mereka bayangkan. Akhirnya yang dinanti-nantikan<br />

pun datang juga---"Adinda!" teriak Prabu Braja Nata<br />

dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. "Raden<br />

Panji!" teriak yang lain-lainnya dengan takjub. Prabu Braja<br />

Nata melompat lalu memeluk adinda dengan berurai<br />

airmata. "Adinda . . . Adinda . .. Jadi Adindakah Kelana<br />

Jayeng Sari itu?" tanyanya dengan suara sarat sukacita.<br />

"Wahai Adinda, terlebih dahulu berilah Kakanda ampun!"<br />

Kelana Jayeng Sari yang telah menjadi Raden Panji Kuda<br />

Waneng Pati kembali itu, mencoba menahan keharuan<br />

hatinya. Tetapi ia tak mampu. Maka dalam pelukan<br />

kakanda ia pun tergukguk mengalirkan airmata sukacita.<br />

"Tak ada yang mesti hamba maafkan," akhirnya ia berhasil<br />

mengucapkan kata-kata, "karena tak ada kesalahan<br />

Kanda atas Dinda! Malah sebaliknya, Adindalah yang


meminta kelapangan hati Kanda karena telah membikin<br />

Kanda semua merasa tegang ..." 261 Sementara itu<br />

Senapati telah memeluk-merang-kul Ki Kebo Pandogo<br />

dengan mesra dan terharu. "Kanda Prasanta! Kakandalah<br />

kiranya!" Waktu Prabu Braja Nata melepaskan pelukannya<br />

dari adinda, ia menoleh kepada Patih Prasanta yang tua<br />

itu. Baginda pun berseru, "Mamanda Prasanta!" "Daulat<br />

Gusti!" sahut Patih Prasanta. Lalu mereka pun berbicara<br />

dengan sukacita, mencurahkan perasaan hatinya masingmasing.<br />

Prabu Braja Nata meminta agar Adinda Raden<br />

Panji Kuda Waneng Pati sudi mengisahkan<br />

pengalamannya selama menjadi Kelana Jayeng Sari.<br />

Adinda tersenyum, lalu memandang kepada Patih<br />

Prasanta. "Semuanya adalah atas nasihat Mamanda<br />

Prasanta ..." ia menyahut. "Ia sungguh seorang yang<br />

bijaksana ..." "Gusti memuji terlalu berlebihan," tukas Patih<br />

Prasanta. "Yang hamba lakukan hanya kewajiban seorang<br />

hamba terhadap junjungannya belaka • . ¦ Akhirnya Patih<br />

Prasanta mau juga mengisahkan pengalamannya selama<br />

berkelana sehabis terpukul badai di tengah lautan, diakhiri<br />

dengan kisah menaklukkan raja Metaun yang disertai<br />

syarat agar baginda Prabu Jayawarsya sudi menyerahkan<br />

Dewi Sekar Taji pabila Prabu Gajah Angun-angun bisa<br />

dikalahkan. 262 "Namun pernikahan itu tidak mungkin<br />

berlangsung, lantaran pihak Janggala murka dan hendak<br />

memenggal kepala sang Kelana Jayeng Sari, yang<br />

dianggap telah merebut tunangan Adinda Raden Panji<br />

Kuda Waneng Pati . . . " demikian Patih Prasanta<br />

mengakhiri kisahnya sambil tersenyum. Orang-orang


tertawa. "Tetapi Kelana Jayeng Sari ternyata adalah<br />

Adinda Raden Panji, karena itu sesungguhnya tak ada<br />

peristiwa perebutan tunangan," sabda Prabu Braja Nata<br />

kemudian. "Karena itu pernikahan Kelana Jayeng Sari<br />

dengan Dewi Sekar Taji mesti dilangsungkan! Kita yang<br />

sudah kepalang sampai di perbatasan, sekalian saja<br />

masuk ke Kadiri akan turut merayakan pernikahan kedua<br />

putra mahkota!" Pikiran itu mendapat persetujuan orang<br />

banyak. Maka keesokan harinya tentara Janggala itu<br />

bergerak ke arah Kadiri. Tetapi bukan untuk menyerang<br />

atau berperang, melainkan untuk merayakan pesta<br />

pernikahan yang akan mewujudkan cita-cita Prabu<br />

Jayantaka dan Prabu Jayawarsya dahulu .... 263 CANDRA<br />

KIRANA Prabu Jayawarsya sangat bersuka cita tatkala<br />

mengetahui bahwa Kelana Jayeng Sari itu tak lain Raden<br />

Panji Kuda Waneng Pati adanya. Mereka menyambut<br />

kedatangan Kelana Jayeng Sari bersama-sama rak anda<br />

Prabu Braja Nata dengan kehormatan dan kegembiraan.<br />

Pernikahan Raden Panji Kuda Waneng Pati dengan Dewi<br />

Sekar Taji dilangsungkan dengan amat sangat meriah.<br />

Seluruh kerajaan berpesta. Semua orang bersuka ria.<br />

Berbagai pertunjukan dan hiburan diselenggarakan tanda<br />

kegembiraan hatinya menyaksikan pernikahan putra<br />

mahkota Janggala dengan putri mahkota Kadiri. Bala<br />

tentara Janggala yang berangkat dari negerinya ditangisi<br />

oleh para kerabatnya lantaran hendak berperang,<br />

tenggelam dalam pesta dan suka ria. Setelah empat puluh<br />

hari empat puluh malam lamanya bersuka ria dan<br />

bersenang-senang, Prabu Braja Nata meminta diri kepada


Baginda Prabu 264 jayawarsya akan pulang ke negerinya.<br />

Kepada Raden Panji Kuda Waneng Pati ia meminta agar<br />

putra mahkota itu segera pulang ke Janggala akan<br />

menerima takhta kerajaan. Prabu Braja Nata merasa<br />

dirinya hanya seorang wakil belaka dan ia ingin<br />

menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Tetapi di<br />

luar dugaannya, Raden Panji menggelengkan kepala.<br />

Hatinya telah tawar, ia udak memikirkan takhta kerajaan<br />

dan ia meminta agar rakanda terus menduduki takhta.<br />

"Bagi Adinda sekarang," katanya lebih lanjut, "kehidupan<br />

terpencil di sebuah pegunungan lebih menarik hati . . .<br />

Kesibukan istana dan kerajaan, membikin pikiran Adinda<br />

pepat . . . " "Tetapi kalau demikian Adinda menyia-nyia-kan<br />

cita-cita ayah kita dahulu ..." kata Prabu Braja Nata. Raden<br />

Panji menghela nafas. Terkenang pada ayahanda, ia<br />

berduka. "Bagaimanapun juga," katanya kemudian,<br />

"sekarang belum bersedia hamba kembali ke Janggala<br />

akan memangku takhta. Sekarang, Kakanda saja pulang<br />

dahulu. Kalau kelak hamba ternyata diperlukan, tentu akan<br />

datang..." Setelah masak diperembukkan, maka diambil<br />

keputusan. Prabu Braja Nata beserta tentaranya akan<br />

segera pulang ke Janggala, sedangkan Raden Panji<br />

beserta istrinya Dewi Sekar Taji akan pergi ke sebuah<br />

gunung akan mengecap madu kebahagia265 an sel di<br />

sana. Prabu Jayawarsya telah membangun "buah istana<br />

mungil untuknya, letaknya di pung_ gung gunung Wilis yang<br />

sejuk hawanya. Demikianlah penganten dan mempelai itu<br />

mengecap keberuntungan serta kebahagiaan hidupnya, di<br />

suatu tempat terpencil dari keriahan kerajaan. Hanya


eberapa orang pengasuh dan ponggawa yang turut serta<br />

dengan mereka. Dewi Sekar Taji sangat berbahagia, di<br />

tengah alam yang indah serta bunga-bungaan yang aneka<br />

wami, ia bagaikan mahkota segala bunga . . . . Tetapi<br />

Raden Panji tidak mengecap kebahagiaan itu sepenuh<br />

jiwa, lantaran ia terkenang akan istrinya yang dahulu, Dewi<br />

Anggraeni . . . Apa pula keadaan alam pegunungan itu,<br />

mengenangkan ia akan pertemuannya dengan Dewi<br />

Anggraeni di pegunungan Penanggungan. Kadangkadang,<br />

lantaran Dewi Sekar Taji bagaikan pinang dibelah<br />

dua dengan Dewi Anggraeni. ia merasa ragu, siapakah<br />

sebenarnya gerangan putri yang ada di sampingnya itu,<br />

Anggraeni ataukah Sekar Taji? Tak jarang ia terluncur<br />

kata, memanggil 'Anggra . . kepada istrinya, untung<br />

kemudian segera ia sadar. Dewi Sekar Taji maklum akan<br />

keadaan kakanda, kadang-kadang ia pun merasa<br />

berduka, pabila kakanda memanggilnya dengan nama istri<br />

kakanda yang dahulu, la merasa disia-siakan . . . Tetapi<br />

untuk menghapus kakanda dari kenangannya kepada<br />

istrinya yang pertama itu, ia merasa tidak 266 „ampu-<br />

Pabua 13 terhenyak lantaran dipan^il dengan nama yang<br />

bukan namanya itu, kakanda segera memperbaiki dirinya<br />

sambil memeluknya membisikkan kata-kata lembut. -<br />

Maafkan Kakanda, Sekar . . . Maafkan Kakanda!" Tetapi<br />

sesungguhnya, tak ada yang mesti dimaafkan. Maka ia<br />

hanya tersenyum arif, meski merasa hatinya pedih. Raden<br />

Panji sendiri bukan tidak maklum akan apa yang dirasa<br />

oleh istrinya. Ia merasa bersalah. Tetapi ia pun merasa<br />

lebih bersalah pula jika mencoba hendak menghapuskan


kenangan kepada istrinya yang dahulu itu. 'Benarkah<br />

Anggraeni akan kembali?' tanyanya dalam hatinya sendiri.<br />

Ta pergi terbang ke langit, ke arah bulan dan mungkin<br />

suatu waktu ia kembali kepadaku Teringat bahwa akan<br />

hancur kalbu Dewi Anggraeni pabila menyaksikan ia sudah<br />

beristrikan orang lain, hati Raden Panji pepat Ia merenung<br />

memikirkan dirinya. Malam itu purnama bulat penuh keluar<br />

dengan cahayanya yang laksana emas. Raden Panji<br />

terkenang pula akan istrinya, merenung memandang<br />

kepada ratu malam yang lembut itu. Terkenang Pula Raden<br />

Panji akan malam tatkala istrinya secara gaib terbang ke<br />

arah bulan. Waktu itu bulan P"n purnama, bulat tak<br />

bercacat. 267 Dan beberapa lamanya Raden Panji<br />

memandang bulan purnama itu dengan mata tak<br />

mengejap, ngejap, sedangkan Dewi Sekar Taji<br />

menyaksikan kelakuan suaminya itu dengan hati yang<br />

teriris. Tiba-tiba Raden Panji melihat sesuatu bergerak dari<br />

arah bulan kepadanya. Mula-mula titik yang tak bisa<br />

dikenali, tetapi makin dekat makin jelas. "Itulah Dewi<br />

Anggraeni!" bisik Raden Panji dengan mata terbelalak. "Ia<br />

datang!" Kemudian ia melihat Dewi Anggraeni yang<br />

sangat jelita dalam cahaya bulan itu, lebih jelita daripada<br />

waktu yang lampau, berdiri di sebelah istrinya, di sebelah<br />

Dewi Sekar Taji. Keduanya sama benar! Hanya, pabila<br />

Dewi Anggraeni memandangnya dengan senyum yang<br />

menyejukkan kalbu, adalah Dewi Sekar Taji<br />

memandangnya dengan mata redup. "Anggraeni!" ia<br />

berteriak sambil bangkit, lalu berjalan hendak memeluk<br />

istrinya yang dahulu itu. Tetapi Dewi Anggraeni tidak


menyahut. Ia hanya tersenyum saja, tersenyum. Dan<br />

jaraknya makin dekat juga ia kepada Dewi Sekar Taji,<br />

makin dekat dan makin dekat . . . Waktu Raden Panji<br />

melompat hendak menubruknya, Dewi Anggraeni sudah<br />

berpadu dengan Dewi Sekar Taji. Maka istrinya itulah yang<br />

ditubruk serta dipeluknya. "Kakanda!" terdengar Dewi<br />

Sekar Taji bicara dengan suara yang hiba. "Kakanda!<br />

Mengapa?" 2UH Raden Panji tersadar. Ia mpmo«^ is^ya.<br />

A.»** cant*! K^Z^ Bagaikan kecantikan dua putri jelita telah<br />

ZTJ' dan memijar. Ia sejenak tak bisa meSu^ nya-<br />

Kakanda! Ada apakah gerangan?" Dewi Sekar Taji<br />

bertanya, padahal ia sudah maklum akan hal kakanda.<br />

Tentu kenangannya kepada istrinya dahulu jua yang<br />

menjadi sebab. "Adinda! Adinda!" bisik Raden Panji.<br />

'Tidakkah Adinda tadi melihat ada orang datang?" Dewi<br />

Sekar Taji terkejut. "Orang?" tanyanya dengan heran,<br />

"Tidak ada. Yang ada cuma kita berdua ..." Raden Panji<br />

melengak. Ia memandang kepada istrinya dengan mata<br />

menyelidik. Tetapi agaknya istrinya itu berkata dengan<br />

sungguh-sungguh. Jadi, apakah yang kelihatan olehnya<br />

tadi? Ia berpikir. Tak salah aku! Tadi di samping Dewi<br />

Sekar Taji ia berdiri! Tersenyum dengan manis . . . '<br />

katanya dalam hati. Dialah yang tadi kupeluk Tiba-tiba ia<br />

yakin. Tak syak lagi! Tentu kedua istriku itu kini telah<br />

berpadu. Dewi Anggraeni telah kembali kepadaku, tetapi<br />

ia menyatukan dirinya dengan Dewi Sekar Taji "Kakanda<br />

..." suara Dewi Sekar Taji menyadarkan ia dari pikirannya.<br />

Ia memandang kepada 269 istrinya itu. "Kakanda, agaknya<br />

Kakanda senantiasa diharu-biru pikiran ..." perkataan itu


diucapkan Dewi Sekar Taji tidak lancar. "Sesungguhnya<br />

sudah lama hamba memperhatikan kelakuan Kanda . . .<br />

Agaknya ingatan kepada Dewi Anggraeni selalu<br />

mengganggu Kanda . . . Kanda, kata orang ia sudah<br />

meninggal, karena itu hamba tidak merasa telah merebut<br />

Kanda dari sampingnya. Namun begitu, tidakkah Kanda<br />

memandang hamba sebagai gantinya?" Ia sudah lama<br />

hendak berkata seperti itu, tetapi baru ketika itu mampu<br />

dia ucapkan. Dan kalimat yang sejak lama telah dia susun<br />

dan rangkai-rang-kaikan dalam kepala, ternyata masih<br />

tersekat-sekat dalam kerongkongannya.... Raden Panji<br />

melengak. Ia memandang ke dalam mau istrinya yang<br />

jernih bening itu. Ia memandang mata Dewi Anggraeni.<br />

"Sejak sekarang engkau tak usah cemas ..." sahutnya.<br />

"Engkaulah istriku, kekasihnya abadi, penjelmaan cinta<br />

yang kudus suci.. . Pada dirimu Kanda lihat apa yang<br />

Kanda sangka telah hilang ... Engkau Dewi Sekar Taji,<br />

istriku, tetapi engkau pun Dewi Anggraeni, istriku yang<br />

dahulu ... Sekarang kedua istriku berpadu dalam<br />

dirimu____" Dewi Sekar Taji berurai airmata saking<br />

gembira. Ia menyekapkan wajah dalam dada suaminya. Ia<br />

menangis bahagia. 270 "Kanda . . . Kanda!" tfcrdengar<br />

suaranya antara sedu-sedu kecil. "Ya, Adinda saja seorang<br />

yang sejak sekarang Kanda cintai sepenuh hati . . . Hanya<br />

engkau saja. <strong>Candra</strong> Kirana ..." kata Raden Panji sambil<br />

membelai-belai istrinya dengan mesra. Dewi Sekar Taji<br />

tersentak. "Apa? <strong>Candra</strong> Kirana? Siapakah <strong>Candra</strong><br />

Kirana?" ia bertanya seperti tersengat. Raden Panji<br />

tersenyum. Kedua tangannya memegang bahu istrinya, dan


sambil memandang kepada wajahnya dan menyelam ke<br />

dalam matanya, ia berkata dengan suara lembut, "Ya,<br />

engkaulah <strong>Candra</strong> Kirana! Engkau yang menjadi<br />

perpaduan antara dua mutiara . . . Sukakah Adinda akan<br />

nama itu? Tidakkah nama itu indah?" "<strong>Candra</strong> Kirana . . .<br />

<strong>Candra</strong> Kirana ..." Dewi Sekar Taji menggumam.<br />

"Alangkah indah! Nama itu Kanda anugerahkan kepada<br />

Adinda?" "Ya, kepadamu, kepada cintaku. <strong>Candra</strong> Kirana<br />

.. . " Keduanya berpelukan dan sambil memandang<br />

kepada bulan purnama yang menebarkan cahaya yang<br />

lembut keemasan itu. mereka pun melihat masa emas<br />

kebahagiaan mereka .... Ciborelang, 1961 271

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!