05.04.2013 Views

TULISAN savana sumba.indd - ACCESS

TULISAN savana sumba.indd - ACCESS

TULISAN savana sumba.indd - ACCESS

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Metamorfosa Negeri Savana<br />

Rampai Kisah Perubahan Personal, Lembaga dan Komunitas<br />

1


PERPUSTAKAAN NASIONAL: Katalog Dalam Terbitan (KDT)<br />

ISBN: . 978-602-98676-1-9<br />

© September 2011, cetakan pertama<br />

Metamorfosa Negeri Savana, Rampai Kisah Perubahan Personal, Lembaga dan<br />

Komunitas<br />

Editor: Puthut EA, IBK Yoga Atmaja, Penulis: Martha Hebi, Yose na Linda Pertama<br />

Wati, Kons De Gesi, Siprianus Dede Ngara, Erna Umbu Warata, Melkianus Hina<br />

Jangga Kadu, Ika Kahali, Kristina Kaita Wey, Stefanus Landu Paranggi, Umbu Bahi,<br />

Antony K.Awang, Junita Wenda Radjah, Ferdinan Ngabi Mahat, Frederika nNday<br />

Ngana, Debora T. J. Jonas, Naomi Tamar Pangambang, Yacub Radamuri, Naema Landu<br />

Marada, Chandra Anamuly, Daniel L. Ledy, Petrus Malo Bora, Dina Bani, Ester Kaka,<br />

Naomi Malingara, Maria L. Bole, Chorlina T. Goro, Agustina Bili, Haryati Podu Lobu<br />

SE. Pengantar: Paul Boon, Foto: Ferdinan Rondong, Gega, Yoga, Linda Samosir,<br />

Martha Hebi, Desain dan tata Letak: Linda dan Adi Balung<br />

Diterbitkan oleh: Kawanusa-Bali, Jl Buana Kubu Gang Kembang Soka no 2 Padang<br />

Sambian Denpasar Bali<br />

220 halaman, 17.5 x 24 cm<br />

1 Negeri Savana 2 Sumba 3 Kesejahteraan 4 Perubahan I Judul<br />

2


Judul<br />

Daftar Isi<br />

Daftar Singkatan<br />

Pengantar dari <strong>ACCESS</strong><br />

Catatan Editor<br />

I. Tim <strong>ACCESS</strong><br />

Daftar Isi<br />

1. Jangan Sampai Kita Mati di Pangkuan Donor -- Oleh Martha Hebi<br />

2. Meniti Karir Menggapai Impian -- Oleh Yose na Linda<br />

II. Tim Pakta Sumba<br />

1. Merawat Rahim Sumba -- Oleh Kons de Gesi<br />

2. Tak Selamanya Diam Itu Emas -- Oleh Nona Rambu Podu<br />

3. Menabur Asa di Tanah Sendiri -- Oleh Siprianus Dede Ngara<br />

4. Setitik Air Segar di Tengah Padang Savana -- Oleh Erna Umbu Warata<br />

5. Melakukan Hal-hal Luar BiasaTanpa Uang -- Oleh Kons de Gesi<br />

6. Ternyata Saya Bisa -- Oleh Daniel Tuga Walu Waja<br />

7. Siapa Bilang Staf Administrasi Tak Bisa Memfasilitasi? -- Oleh Marieti Wala<br />

III. Tim Bahtera<br />

1. Menjembatani Dua Dunia -- Oleh Naomi Malingara<br />

2. Saya Bisa Karena Mau Berubah -- Oleh Maria L Bole<br />

3. Sekolah Di Kehidupan -- Oleh Chorlina T Goro<br />

4. Akhirnya Suami Saya Berubah -- Oleh Agustina Bili<br />

5. Warga Berdaya, Desa Maju -- Oleh Haryati P Lobu<br />

IV. Tim Stimulant Institute<br />

1. Perempuan Itu Bermetamorfosa Menjadi Negosiator Ulung! -- Oleh Wenda<br />

Radjah<br />

2. Penjual Sayur yang Peduli Warga -- Oleh Ferdinan Mahat<br />

3. Makna Sebuah Lembaga -- Oleh Frederika Nday Ngana<br />

3


4. Sekarang Saya Berani Komplain Ke PLN! -- Oleh Debora Jonas<br />

V. Tim Kolaborasi<br />

1. Perubahan Adalah Proses yang Membahagiakan -- Oleh Melkianus Hina<br />

Janggakadu<br />

2. Bantuan Jangan Sampai Membuat Kreativitas Mati -- Oleh Ika Kahali<br />

3. Membangun Desa Kebanggaanku -- Oleh Kristina Kaita Wey<br />

4. Mendobrak Pintu Tradisi -- Oleh Stefanus Landu Paranggi<br />

5. Mencari Celah Menuju Tanah Perjanjian -- Oleh Umbu Bahi<br />

6. Bekerja Tanpa Berharap Imbalan -- Oleh Anthony K Awang<br />

7. Mengejar Makluk Bernama: Perubahan -- Oleh Umbu Bahi<br />

V. Tim Satu Visi<br />

1. Dari Tukang Ketik Menjadi Pembuat Film -- Oleh Daniel L Ledy<br />

2. Berawal dari Bingung -- Oleh Chandra Anamuli<br />

3. Asa Dari Si Emas Hijau -- Oleh Petrus Malo Bora<br />

4. Berawal Dari Tenun Berlanjut Ke Babi -- Oleh Dina Bani<br />

5. Sesungguhnya Kami Adalah Manajer Handal -- Oleh Ester Kaka<br />

VI. Tim Koalisi Perjuangan<br />

1. Mulai Dari Diri Sendiri -- Oleh Naomi Tamar Pangambang<br />

2. Tentang Kerja Seorang Fasilitator Desa -- Oleh Yakub Radamuri<br />

3. Emas Dapat Dibeli, Kesempatan Emas Sulit Dibeli -- Oleh Naema Landu Marada<br />

Tentang Para Penulis<br />

Editor<br />

4


A<br />

1. <strong>ACCESS</strong>:Australian Community<br />

Development and Civil Society<br />

Strengthening Scheme<br />

2. ADD: Alokasi Dana Desa<br />

3. ABA: Asset Based Approach<br />

4. AI : Appreciative Inquiry<br />

5. AIP-MNH:Australian Indonesia<br />

Partnership for Maternal and Neonatal<br />

Health<br />

6. AKP: Analisis Kesejahteraan Partisipasi<br />

7. Anggur Merah: Anggaran untuk Rakyat<br />

Menuju Kesejahteraan<br />

8. APB-Desa: Anggaran Pendapatan dan<br />

Belanja Desa<br />

9. APDes: Agen Pembaru Desa<br />

10. ASI: Air Susu Ibu<br />

B<br />

11. BLT: Bantuan Langsung Tunai<br />

12. BP: Boundary Partner<br />

13. BPD: Badan Permusyawaratan Desa<br />

14. BPMD: Badan Pemberdayaan<br />

Masyarakat Desa<br />

C<br />

15. CCF: Christian Children’s Fund<br />

16. CLAPP-GSI: Community Learning<br />

Action and Participatory Process-<br />

Gender Social Inclusive<br />

17. CO: Community Organizing<br />

Daftar Singkatan<br />

18. CRC: Community Resource Center<br />

19. CRS: Catholic Relief Services<br />

D<br />

20. DAS: Daerah Aliran Sungai<br />

21. Dispenduk dan Capil: Dinas<br />

Kependudukan dan Catatan Sipil<br />

22. Disperindag: Dinas Perindustrian dan<br />

Perdagangan<br />

F<br />

23. Fasdes: Fasilitator Desa<br />

24. Fasping: Fasilitator Pendamping<br />

25. FGD: Focused Group Discussion<br />

26. FLA: Forum Lintas Aktor<br />

G<br />

27. Gapoktan: Gabungan Kelompok Tani<br />

28. GKS: Gereja Kristen Sumba<br />

29. ICW: Indonesia Corruption Watch<br />

30. IDT: Inpres Desa Tertinggal<br />

31. Jamkesmas: Jaminan Kesehatan<br />

Masyarakat<br />

I<br />

J<br />

K<br />

32. Kapedes: Kader Pembangunan Desa<br />

33. KB: Keluarga Berencana<br />

34. KBR: Kebun Bibit Rakyat<br />

35. KIBBLA: Kesehatan Ibu, Bayi Baru<br />

5


6<br />

Lahir dan Anak<br />

36. KK: Kepala Keluarga<br />

37. KOPPESDA: Koordinasi Pengkajian dan<br />

Pemanfaatan Sumber Daya Alam<br />

38. Korprov: Koordinator Provinsi<br />

39. KPAD: Kesepakatan Pelestarian Alam<br />

Desa<br />

40. KPMD: Kader Pemberdayaan<br />

Masyarakat Desa<br />

41. KSP: Kelompok Simpan Pinjam<br />

42. KSPP: Kelompok Simpan Pinjam<br />

Perempuan<br />

43. KTnA: Konservasi Tanah dan Air<br />

44. KTP: Kartu Tanda Penduduk<br />

L<br />

45. LPD: Lembaga Pembangunan Desa<br />

46. LPM: Lembaga Pemberdayaan<br />

Masyarakat<br />

M<br />

47. MAD: Musyawarah Antar Desa<br />

48. MDP: Musyawarah Desa Perencanaan<br />

49. MEP: Monitoring, Evaluasi dan<br />

Pembelajaran<br />

50. Musrenbangcam: Musyawarah<br />

Perencanaan Pembangunan Kecamatan<br />

51. Musrenbang-Desa: Musyawarah<br />

Perencanaan Pembangunan Desa<br />

52. Musrenbangdus: Musyawarah<br />

Perencanaan Pembangunan Dusun<br />

53. Musrenbangkab: Musyawarah<br />

Perencanaan Pembangunan Kabupaten<br />

N<br />

54. NTT: Nusa Tenggara Timur<br />

O<br />

55. OHS: Occupational Health and Safety<br />

56. OM: Outcome Mapping<br />

57. OMS: Organisasi Masyarakat Sipil<br />

58. ONH-NTT: Operasi Nusa Hijau-Nusa<br />

Tenggara Timur<br />

59. ONM-NTT: Operasi Nusa Makmur-<br />

Nusa Tenggara Timur<br />

60. OPS-GORA: Operasi Gogo Rancah<br />

P<br />

61. PA: Pemahaman Alkitab<br />

62. PAKTA: Pengembangan Aktivitas dan<br />

Kapasitas Terpadu<br />

63. PAO: Provincial Administration Of cer<br />

64. Pattiro: Pusat Telaah Informasi Regional<br />

65. PDAM: Perusahaan Daerah Air Minum<br />

66. Permendagri: Peraturan Menteri Dalam<br />

Negeri<br />

67. PIDRA:Participatory Integrated<br />

Development of Rain eld Agriculture<br />

68. PJS: Pelaksana Jabatan Sementara<br />

69. PKK: Pemberdayaan dan Kesejahteraan<br />

Keluarga<br />

70. PKPB: Pengorganisasian Kelompok<br />

Pemasaran Bersama<br />

71. PL: Pendamping Lapangan<br />

72. PLN: Perusahaan Listrik Negara<br />

73. PNPM-MP: Program Nasional<br />

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri<br />

Perdesaan<br />

74. PNPM: Program Nasional<br />

Pemberdayaan Masyarakat<br />

75. PPL: Pendamping Penyuluh Lapangan<br />

76. Poktan: Kelompok Tani


77. Polindes: Pondok Bersalin Desa<br />

78. Posyandu: Pos Pelayanan Terpadu<br />

79. PP: Petani Pemandu<br />

80. PSDABM: Pengelolaan Sumber Daya<br />

Alam Berbasis Masyarakat<br />

81. PSDW: Pusat Sumber Daya Warga<br />

82. PUAP: Pengembangan Usaha Agrobisnis<br />

Perdesaan<br />

83. Puskesmas: Pusat Kesehatan<br />

Masyarakat<br />

84. Pustu: Puskesmas Pembantu<br />

R<br />

85. RAB: Rencana Anggaran Belanja<br />

86. Repelita: Rencana Pembangunan Lima<br />

Tahun<br />

87. RPJM-Desa: Rencana Pembangunan<br />

Jangka Menengah Desa<br />

88. RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah<br />

89. RT: Rukun Tetangga<br />

90. RTM: Rumah Tangga Miskin<br />

91. RW: Rukun Warga<br />

S<br />

92. SBA: Strength Based Approach<br />

93. SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah<br />

94. SPPD: Surat Perintah Perjalan Dinas<br />

T<br />

95. TKLD: Tata Kepemerintahan Lokal<br />

yang Demokratis<br />

96. TP-PKK: Tim Penggerak Pemberdayaan<br />

dan Kesejahteraan Keluarga<br />

97. TPI: Tempat Penjualan Ikan<br />

98. TPU: Tim Penulis Usulan<br />

U<br />

99. UBSP: Usaha Bersama Simpan Pinjam<br />

W<br />

100. Wanlip: Wahana Pengembangan<br />

Lingkungan dan Perempuan<br />

101. Warnet: Warung Internet<br />

102. WVI: Wahana Visi Indonesia<br />

Y<br />

103. YAPPIKA: Yayasan Penguatan Partisipasi,<br />

Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat<br />

Indonesia – Aliansi Masyarakat Sipil<br />

untuk Demokrasi<br />

104. Yasalti: Yayasan Wali Ati<br />

105. YCM: Yayasan Cendana Mekar<br />

7


<strong>ACCESS</strong><br />

Pengantar &<br />

Catatan Editor<br />

9


10<br />

Program <strong>ACCESS</strong> menciptakan wahana belajar, terutama<br />

bagi kelompok marginal, secara variatif dan kreatif., sehingga<br />

pembangunan yang demokratis, transparan dan akuntabel dapat<br />

berjalan lebih baik,


Penga nta r<br />

Paul Boon<br />

Direktur Program <strong>ACCESS</strong> Tahap I<br />

Perjalanan reformasi lebih dari satu dasa warsa telah memberikan ruang, kesempatan<br />

dan kepercayaan lebih luas bagi warga dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk<br />

berperan lebih besar dalam pembangunan, pemberdayaan dan pemerintahan. Oleh<br />

karena itu, keberdayaan warga dan OMS, baik sebagai pelaku langsung maupun<br />

sebagai pengawas terhadap proses dan hasil pembangunan, pemberdayaan dan<br />

pemerintahan yang berjalan di lingkungannya merupakan kunci utama keberhasilan.<br />

<strong>ACCESS</strong> adalah salah satu program kemitraan antara Pemerintah Australia dengan<br />

Pemerintah Indonesia yang mendukung pada penguatan warga dan OMS, sehingga<br />

pembangunan, pemberdayaan dan pemerintahan yang demokratis, transparan dan<br />

akuntabel dapat berjalan dengan lebih efektif dan e sien serta berdampak pada<br />

pengurangan kemiskinan, khususnya di kawasan timur Indonesia. Berdasarkan<br />

harapan tersebut maka penguatan kapasitas warga dan OMS merupakan keniscayaan<br />

yang tidak dapat diabaikan.<br />

Cara dan wahana belajar warga sangatlah bervariasi, namun yang paling besar<br />

berpengaruh adalah wahana dimana mereka dapat terlibat aktif dalam proses-proses<br />

kegiatan tersebut. Penguasaan pengetahuan warga sebagai hasil dari belajar, di masa<br />

mendatang juga sebagai modal utama perubahan pola hidup dan penghidupan ke<br />

arah yang lebih baik. Kapasitas, sikap dan kreativitas selalu saling menopang satu<br />

sama lain untuk lahirnya ide sumber penghidupan baru serta cara melepaskan diri<br />

dari himpitan kemiskinan yang menderanya. Oleh karena itu, penciptaan wahana<br />

belajar, terutama bagi perempuan, orang miskin dan kelompok marginal lainnya,<br />

menjadi sesuatu yang harus dikembangkan secara variatif dan kreatif.<br />

Selama Tahap I (2002–2008) Program ini dikembangkan pada 8 kabupaten dan<br />

selanjutnya pada Tahap II semenjak tahun 2008, ia diperluas menjadi 15 kabupaten<br />

dan 1 kota di empat provinsi kawasan timur Indonesia. Membangun perubahan<br />

11


manusia bukan sesuatu yang singkat dan serta merta, namun selama kurang lebih<br />

8 tahun perjalanan <strong>ACCESS</strong> telah menghasilkan beberapa inovasi dan perubahan<br />

yang sangat berarti bagi pembangunan di kawasan timur Indonesia. Manusia dapat<br />

berubah dan manusia adalah pusat perubahan, menjadi keyakinan kami bahwa<br />

pembangunan manusia adalah modal utama bagi pembangunan, pemberdayaan<br />

dan pemerintahan yang berkelanjutan. Memang, proses pembangunan manusia<br />

merupakan investasi jangka panjang, tidak secara langsung mengurangi kemiskinan<br />

seketika. Namun demikian, peningkatan modal manusia dan modal sosial tetap<br />

menjadi modal yang paling penting dalam pembangunan yang berkelanjutan.<br />

Kumpulan tulisan di buku ini adalah salah satu wahana belajar yang dapat digunakan<br />

bagi para pembaca yang tertarik pada perubahan yang terjadi pada diri warga,<br />

kelompok, maupun organisasi warga. Tulisan warga ini merupakan catatan perubahan<br />

yang dialami dan dirasakan mereka, menurut cara pandang mereka dan dalam<br />

dinamika perkembangan dan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Tulisan<br />

yang tertuang barangkali memang sederhana sebagaimana kesahajaan masyarakat<br />

biasa pada umumnya. Namun perubahan yang terjadi di dalamnya tentu tidaklah<br />

sesederhana apa yang dituliskan. Oleh karena itu kami sangat menghargai kepada<br />

para penulis yang telah berusaha mere eksikan dan berbagi sebagian perubahan<br />

perjalanan hidupnya dalam sebuah karya tulis yang berarti. Tulisan ini menjadi<br />

mutiara paling berharga yang di<strong>sumba</strong>ngkan bagi pembangunan manusia maupun<br />

pembangunan-pembangunan lain yang lebih luas di tanah air.<br />

Menulis bukanlah sesuatu yang mudah, terutama bagi yang belum terbiasa. Terkadang<br />

pesan yang ingin disampaikan belum muncul dalam tulisan meskipun sudah berusaha<br />

keras dituangkan. Ketika dibaca ulang, seorang penulis seringkali kurang puas dan<br />

tidak jarang merasa tulisannya tidak berguna. Pengalaman tersebut adalah hal yang<br />

sangat biasa terjadi pada setiap orang yang baru memulai menulis, dan sebagai proses<br />

pengembangan kapasitas diri itu sendiri. Keberanian menulis adalah modal penting<br />

bagi tulisan-tulisan berikutnya, oleh karena itu para penulis buku ini janganlah enggan<br />

untuk terus belajar dan menyumbangkan karya-karya tulisnya.<br />

Kumpulan karya tulis ini berisikan berbagai cerita menarik mulai dari perubahan diri<br />

hingga perubahan sik, mulai dari ide kecil menjadi gagasan besar, mulai dari negosiasi<br />

lokal hingga tingkat daerah. Pokoknya, tulisan ini menarik untuk dibaca, dengan<br />

gayanya yang sederhana, bersahaja, namun dapat menginspirasi bagi para pembaca.<br />

Kami sangat berterimakasih kepada rekan Kawanusa yang telah memfasilitasi<br />

workshop pelatihan menulis dan membangun kapasitas baru di lingkungan warga.<br />

Selamat membaca.<br />

12


Catatan Editor<br />

Puthut EA &<br />

IBK Yoga Atmaja<br />

Sungguh pemandangan yang luar biasa menyaksikan masyarakat asik menulis di<br />

kertas dan mengetik di depan komputer laptop dari pagi hingga larut malam selama<br />

4 hari 3 malam. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani, pedagang, ibu<br />

rumah tangga, ditambah beberapa aktivis LSM yang biasanya bekerja mendampingi<br />

masyarakat. Mereka berusaha menuliskan sepenggal kisah perjalanan hidupnya yang<br />

penuh makna untuk dibagikan kepada para pembaca buku ini.<br />

Bukan hal mudah memang, karena biasanya mereka menuliskan di dalam benak<br />

pikirannya masing-masing. Upaya untuk menuliskan menjadi sebuah buku bahkan<br />

tidak terbayang sama sekali. Hingga mulai terkuak sedikit demi sedikit semangat<br />

untuk menulis pengalamannya ketika ada workshop menulis yang diselenggarakan<br />

oleh <strong>ACCESS</strong> di Waingapu, 13-17 April 2011.<br />

Pada awalnya, banyak diantara mereka berharap bahwa workshop ini akan banyak<br />

memberikan bekal materi yang bersifat teoritis untuk menunjang kelancaran menulis.<br />

Namun, sesuai namanya yang berarti ‘bengkel kerja’, maka sesungguhnya di dalam<br />

proses workshop, para peserta harus melakukan praktik menulis secara langsung.<br />

Seringkali terjadi, ketika saya memandu sebuah pelatihan atau workshop menulis,<br />

selalu saya dapati ‘kekagetan’ ketika ternyata mereka harus bekerja keras, berlatih,<br />

mempraktikkan langsung sebuah proses menulis. Bagi saya, teori itu penting. Tetapi<br />

praktik langsung lebih penting lagi. Apa guna seseorang paham setumpuk teori<br />

tentang menulis tetapi tidak bisa menghasilkan sebuah tulisan?<br />

Pemberian teori pun, dalam sebuah workshop yang saya pandu, tidak saya lakukan<br />

begitu saja. Teori itu saya berikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing workshop,<br />

yang saya dapat dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh peserta workshop ketika<br />

13


hendak menuliskan sesuatu. Sehingga teori dalam workshop bergerak dengan<br />

dialektis dan dinamis.<br />

Tantangan lain yang juga sering saya dapati adalah rasa tidak percaya diri para<br />

peserta, apakah mereka bisa menulis? Belum lagi ditambah dengan pertanyaan<br />

lanjutan, jika mereka sudah bisa menulis apakah tulisan tersebut bagus dan layak<br />

untuk dibaca orang lain atau dipublikasikan?<br />

Dua pertanyaan tersebut bukanlah hal yang sederhana. Pertanyaan pertama haruslah<br />

dijawab dengan menumbuhkan rasa percaya diri peserta, dan memproses pelatihan<br />

sehingga mereka bisa menghasilkan sebuah tulisan atau lebih. Hal pertama ini sudah<br />

harus kelar dulu sebelum menjawab pertanyaan kedua. Sebab, bagaimana sebuah<br />

tulisan bisa dinilai bagus atau tidak, layak atau tidak, jika tidak ada tulisan yang<br />

dihasilkan? Barulah kemudian persoalan kedua harus dijawab. Persoalan bagus atau<br />

tidak, layak atau tidak sebuah tulisan dibaca orang lain atau dipublikasikan, tentu juga<br />

bukan persoalan mudah. Semua tergantung dari sudut pandang dan kepentingan.<br />

Sudut pandang dan kepentingan, artinya ‘siapa melihat apa, dengan kepentingan apa’.<br />

Kalau seorang pembaca yang ingin membaca sebuah karya tulis dengan sempurna,<br />

tanpa melihat siapa penulisnya, bagaimana prosesnya, tentu saja berhak untuk<br />

memandang remeh tulisan yang ‘tidak bagus’. Atau, seorang pembaca yang punya<br />

interes terhadap suatu tema kemudian ia membaca tema yang tidak sesuai dengan<br />

interesnya, sebagus apapun tulisan yang dibacanya, tentu dianggap tidak menarik.<br />

Saya sendiri punya prinsip, menulis atau tulisan adalah alat peradaban yang siapapun<br />

juga boleh menggunakannya. Tidak peduli petani, orang kampung, buruh, anak remaja,<br />

dll. Tulisan adalah alat untuk mengekspresikan apa yang ada di pikiran dan perasaan.<br />

Sekaligus sebagai alat untuk mengomunikasikan apa yang ingin dikatakan kepada<br />

orang lain atau khalayak yang lebih luas.<br />

Selain itu, saya percaya bahwa setiap orang, asal bisa membaca dan menulis (dalam<br />

arti paling sederhana) pasti bisa menulis. Soal bagaimana kemudian dari dua modal<br />

sederhana itu bisa benar-benar menjadi sebuah tulisan, tergantung kepada keinginan<br />

orang tersebut, pemandu pelatihan, dan yang lebih penting lagi adalah ada media yang<br />

bisa memajang hasil karya tulis tersebut.<br />

Sebagus apapun sebuah pelatihan atau workshop menulis dilakukan, tetapi jika<br />

tidak ada media yang bisa memajang karya peserta, dan apalagi tidak didampingi<br />

dengan terus-menerus, maka pelatihan tersebut pada akhirnya hanya sia-sia belaka.<br />

Workhsop adalah sebuah noktah kecil yang penting. Namun garis panjang yang<br />

14


membuat seseorang tetap bisa mengasah ketrampilan menulis hanya bisa dilakukan<br />

kalau ada media dan pendampingan yang serius dalam waktu nisbi lama.<br />

Maka, akan sangat naif jika ada orang yang bertanya kepada seseorang misalnya<br />

dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Sudah dilatih menulis kok masih belum<br />

bisa menulis? Atau: Dulu saat pelatihan bisa menulis kok sekarang tidak bisa lagi<br />

menulis?<br />

Masih ada dua hambatan lagi yang juga sering saya dapati di dalam memandu<br />

pelatihan menulis: Pertama, peserta workshop terlalu banyak. Idealnya, workshop<br />

menulis (atau mungkin juga workshop-workshop lain) diikuti paling banyak 20<br />

peserta. Hal itu untuk memudahkan sang pemandu untuk mengawal setiap peserta.<br />

Kedua, terdapatnya jurang pengetahuan atau ketrampilan yang lebar antara satu<br />

peserta dengan peserta yang lain. Anda bisa membayangkan, kalau di sebuah<br />

palatihan menulis ada peserta yang membuat kalimat pun belum bisa, sementara ada<br />

peserta lain yang sudah lancar sekali menulis bahkan sudah pernah menghasilkan<br />

beberapa tulisan.<br />

Tetapi persoalan-persoalan di atas, tentu jamak terjadi, dan memang itulah salah satu<br />

tugas yang harus dituntaskan oleh seorang pemandu pelatihan.<br />

Hal tersebut sering saya alami, termasuk di dalam memandu workshop dengan tema<br />

‘perubahan’ yang diselenggarakan oleh <strong>ACCESS</strong>: Peserta workshop yang berjumlah<br />

30 orang, jurang ketrampilan para peserta workshop yang terlalu jauh.<br />

Namun tidak adil jika kita hanya melihat dari sisi kekurangannya. Setidaknya ada<br />

dua sisi kelebihan peserta workshop yang menurut saya luar biasa. Pertama, para<br />

peserta mempunyai tekad yang besar sekali. Setiap tugas, sulit dan menguras energi,<br />

dilakukan oleh semua peserta dengan penuh semangat. Sampai mereka rela untuk<br />

tidur dini hari lalu pagi pagi sekali sudah bangun melanjutkan tugas. Forum di dalam<br />

kelas pun diikuti dengan antusiasme yang tinggi. Saya tidak pernah melihat satu<br />

peserta pun, dalam keseluruhan proses yang melelahkan ini, mengantuk atau purapura<br />

meninggalkan forum dengan berbagai alasan. Kedua, kerjasama antar-peserta<br />

pun sangat kuat. Dari hal yang sangat sederhana, meminjamkan laptop (dari 30<br />

peserta, hanya ada 9 peserta yang memiliki laptop). Bahkan, banyak di antara peserta<br />

yang punya laptop, mengutamakan peserta yang tidak memiliki laptop untuk menulis<br />

terlebih dahulu.<br />

Berbagi pengalaman antara peserta yang sudah menguasai materi dengan baik dan<br />

yang belum juga terjadi, terutama di dalam diskusi kelompok atau forum-forum<br />

15


informal: saat rehat atau menjelang tidur. Sehingga transformasi ilmu bukan hanya<br />

terjadi antara pemandu pelatihan dengan peserta, namun juga terjadi antar-peserta.<br />

Workshop yang efektif berjalan selama 3 hari (karena hari pertama untuk diskusi<br />

antara pemandu pelatihan dengan pihak panitia). Dan selama 3 hari itu, terjadi<br />

perkembangan yang menarik baik dari sisi kualitas dan kuantitas. Peserta yang<br />

awalnya susah menuangkan gagasan mereka ke dalam tulisan, bisa terselesaikan.<br />

Peserta yang awalnya hanya bisa menuangkan gagasan ke dalam tulisan dalam 1<br />

halaman, di hari ketiga sudah ada yang bisa sampai 3 halaman. Demikian juga yang<br />

awalnya menulis 3 halaman, di hari terakhir bisa menulis 5 sampai 6 halaman.<br />

Dan dari proses itulah, terkumpul tulisan-tulisan yang ada di buku ini. Saya sendiri<br />

kemudian dipercaya untuk menyunting hasil karya para peserta.<br />

Penyuntingan buku ini saya lakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi distorsi.<br />

Setiap orang atau peserta mempunyai gaya tersendiri, sesuai dengan karakter dan<br />

pengalaman sosial masing-masing. Itu sering saya sebut sebagai ‘rasa bahasa’. Saya<br />

tidak ingin ‘rasa bahasa’ itu hilang. Dan itu yang saya pertahankan mati-matian di<br />

dalam proses penyuntingan buku ini. Saya tidak ingin karya yang ditulis seorang<br />

ibu dari kampung yang mempunyai latar pendidikan formal lulusan sekolah dasar,<br />

menjadi sebuah karya yang mempunyai ‘rasa bahasa’ seorang penulis berpengalaman.<br />

Saya tidak ingin tulisan yang ditulis oleh Orang Sumba memiliki ‘rasa bahasa’ yang<br />

ditulis oleh Orang Jawa.<br />

Ada 33 buah tulisan dalam buku ini yang menyangkut tentang perubahan dalam<br />

ranah personal, lembaga dan komunitas. Betapa pun kecil perubahan, tidak terjadi<br />

dengan begitu saja. Perubahan itu ternyata harus diupayakan dengan kemauan kuat,<br />

ketekunan, telaten, kerja keras dan seringkali berliku. Seperti dituliskan oleh Kons<br />

de Gesi tentang mata air Wee Witu. Setiap tahun secara berkala warga Desa Kareka<br />

Nduku selalu kesulitan air, padahal mereka memiliki sumber air yang dibiarkan<br />

menjadi timbunan sampah. Melalui perbaikan mata air tidak hanya air yang tercukupi.<br />

Perubahan semangat, spirit gotong royong warga yang mulai memudar, hidup kembali<br />

dalam benak warga. Dan perubahan sikap itu yang memacu pada perubahan lainnya<br />

di desa.<br />

Beragam cerita pengalaman yang disajikan dalam buku ini, menjadikan buku ini dapat<br />

menjadi inspirasi bagi setiap orang yang hendak melakukan perubahan bersama<br />

masyarakat. Bagi orang yang sedang bekerja bersama masyarakat, buku ini akan<br />

menjadi teman yang selalu mengingatkan tentang cita-cita perubahan bersama warga.<br />

16


Dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada, buku ini telah hadir ke hadapan<br />

sidang pembaca. Sebagai pemandu pelatihan sekaligus editornya, saya berharap buku<br />

ini bisa berguna, baik bagi para penulis itu sendiri, maupun kepada para pembaca<br />

yang budiman.<br />

Terakhir, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Mbak Gega, yang telah<br />

pontang-panting menyediakan berbagai keperluan teknis workshop. Terimakasih<br />

pula saya sampaikan untuk Mbak Martha, Mbak Linda dan Bung Ferdi dari <strong>ACCESS</strong><br />

Sumba. Terutama, saya sampaikan rasa terimakasih saya yang dalam untuk para<br />

peserta workshop.<br />

Workshop Penulisan 3 hari, peserta 30 orang dan<br />

Laptop 9 buah, membutuhkan kerjasama antar-peserta<br />

yang kuat. Dan akhirnya menghasilkan 33 buah tulisan<br />

pengalaman tentang perubahan dalam ranah personal,<br />

lembaga dan komunitas.<br />

17


<strong>ACCESS</strong><br />

Tim <strong>ACCESS</strong><br />

19


20<br />

Komoditi adalah alat dan pintu masuk menggerakkan<br />

perubahan di keluarga, di kampung dan di desa dengan<br />

mengelola potensi di desa (Martha Hebi).


Jangan Sampai Kita Mati<br />

di Pangkuan Donor<br />

Martha Hebi<br />

Ada perbincangan yang membekas dan menusuk hati saya di suatu sore, 5 tahun<br />

yang lalu. Waktu itu Christriana Lestari, rekan kerja saya di <strong>ACCESS</strong> mengajak saya<br />

mendiskusikan “tuduhan” banyak pihak kepada kami orang NTT sebagai “provinsi<br />

sejuta donor yang tetap miskin dan bodoh”. Tidak sampai di situ, nama provinsi<br />

kami pun diplesetkan sebagai Nasib Tidak Tentu, Nanti Tuhan Tolong.Saya dan Bu<br />

Chris mulai mengurai kebenaran dan kekeliruan tuduhan itu. Apakah benar kami ini<br />

betul-betul tergantung kepada donor? Apakah benar kami ini sangat miskin? Apakah<br />

benar kami ini bodoh? Apakah benar kami ini tidak punya apa-apa untuk melanjutkan<br />

hidup kami secara bermartabat?<br />

Tahun 2008, saya mulai menemukan rangkaian jawaban pertanyaan 5 tahun silam,<br />

saat saya berkenalan dengan Strength Based Approach (SBA) atau pendekatan<br />

berbasis kekuatan dan Outcome Mapping. Pendekatan ini dipakai sebagai roh utama<br />

dalam program <strong>ACCESS</strong> Phase II. Pendekatan SBA mengajarkan kepada saya bahwa<br />

kami punya aset yang namanya aset sosial, aset sik, aset sumber daya manusia<br />

dan aset ekonomi. SBA mengajak kita untuk selalu melihat “apa yang ada pada diri<br />

sendiri” yang akan menjadi bekal untuk melakukan perubahan sosial.<br />

Sedangkan pendekatan Outcome Mapping melihat manusia (aktor) sebagai pusat<br />

perubahan. Dimana diyakini bahwa perubahan yang sangat penting dalam sebuah<br />

intervensi program adalah perubahan perilaku aktor/warga, relasi dan interaksi<br />

dengan pihak-pihak lain untuk perubahan sosial yang masif. Saya sangat meyakini jika<br />

manusianya sudah diperkuat dia mampu melakukan perubahan di mana pun dia<br />

berada.<br />

Saya menemukan “keajaiban” pendekatan SBA saat Pertemuan Apresiatif Kabupaten,<br />

Oktober 2008. Saat itu, sejumlah aktor perubahan sosial di masing-masing<br />

kabupaten, Sumba Timur dan Sumba Barat, bertemu untuk berbagi cerita sukses dan<br />

21


membangun komitmen bagi Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis di Sumba<br />

Timur dan Sumba Barat. Saya dan peserta diajak untuk menginventarisir kekayaan<br />

kabupaten. Kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia, regulasi, sik, sosial<br />

dan ekonomi. Dan, alangkah kayanya tanah kami. Kami diajak untuk memimpikan<br />

kabupaten impian kami. Isu-isu strategis apa yang segera dikerjakan dalam 5 tahun<br />

mendatang untuk mewujudkan kabupaten impian kami. Ada 10 isu yang dipandang<br />

penting untuk dikerjakan di Sumba Timur dan 9 isu di Sumba Barat.<br />

Waktu itu, <strong>ACCESS</strong> berkomitmen mendukung agenda-agenda yang berkaitan dengan<br />

perencanaan dan penganggaran partisipatif, pelayanan publik, pengelolaan Sumber<br />

Daya Alam, dan pengembangan ekonomi lokal. Hingga saat ini <strong>ACCESS</strong> membangun<br />

kerja sama dengan 10 Organisasi Masayarakat Sipil di Sumba. Di Sumba Timur:<br />

Cendana Mekar, Lembaga Koordinasi Pengkajian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam<br />

(KOPPESDA), Lembaga Wahana Pengembangan Lingkungan dan Perempuan (Wanlip),<br />

Yayasan Wali Ati (Yasalti). Keempat lembaga ini bekerja di isu perencanaan dan<br />

penganggaran partisipatif. Mereka bekerja di 32 desa. Lalu ada Stimulant Institute<br />

fokus pada isu pelayanan publik di 4 kelurahan sedangkan Yayasan Pahadang Manjoru<br />

mengambil isu penguatan ekonomi kerakyatan 4 desa dan 1 kelurahan.<br />

Di Sumba Barat, Yayasan Bahtera bekerja di isu perencanaan dan penganggaran<br />

partisipatif di 21 desa, Yayasan Pakta Sumba bekerja di 6 desa untuk isu pengelolaan<br />

sumber daya alam berbasis masyarakat dan Yayasan Satu Visi di 6 desa fokus pada<br />

isu penguatan ekonomi kerakyatan. Di Sumba Barat Daya, Yayasan Sosial Dounders<br />

mengelola sebuah program inovatif memberdayakan kelompok marginal (bekas<br />

pencuri) lewat rumah pintar di kampung mereka.<br />

Saya mulai mengenal <strong>ACCESS</strong> sejak 2004 saat terlibat dalam pengukuran Indeks<br />

Masyarakat Sipil di Sumba Timur yang dilakukan atas kerja samanya dengan<br />

YAPPIKA Jakarta. Pada tahun 2005 saya bergabung di <strong>ACCESS</strong> NTT sebagai<br />

Assisstant Program Of cer yang pada masa itu Bu Chris menjadi Program Of cer.<br />

Saya mendapat pengalaman yang sungguh berkesan saat bekerja dengan Bu Chris.<br />

Terutama tentang proses re eksinya yang mendalam tentang kehidupan kami<br />

orang NTT, kami orang Sumba yang selalu dipandang sebelah mata oleh banyak<br />

orang. Di <strong>ACCESS</strong> saya belajar tentang perjuangan nilai dan keberpihakan kepada<br />

perempuan, orang miskin dan kaum marginal lainnya. Ini menjadi tantangan manis<br />

saat mempraktekkan dalam kehidupan keseharian saya. Dan pada bulan Juli 2008<br />

saya dipercayakan menjadi Program Of cer untuk kantor Sumba.<br />

Dalam kemitraan <strong>ACCESS</strong> dengan organisasi masyarakat sipil dukungan yang<br />

diberikan lebih berfokus pada penguatan kapasitas manusia dan lembaga. Sebagai<br />

22


Program Of cer <strong>ACCESS</strong> Sumba, saya mulai melakukan re eksi saat mereview<br />

usulan rencana aksi organisasi masyarakat sipil yang diusulkan kepada <strong>ACCESS</strong>.<br />

Format proposal rencana aksi di bagian Rencana AnggaranBelanja, ada kolom<br />

dukungan dana dari <strong>ACCESS</strong>, LSM Pelaksana, Pemerintah, Masyarakat dan Pihak<br />

lain. Ini adalah pengakuan bahwa warga setempat dan lembaga lokal sesungguhnya<br />

memiliki aset yang bisa dioptimalkan untuk pengembangan program.<br />

Saat program mulai berjalan memasuki tahun keempat ini saya mulai merasakan ada<br />

sesuatu yang berbeda dari pendekatan ini. Warga, mulai menunjukkan perubahan<br />

kapasitas mereka. Dalam isu pelayanan publik misalnya, kelompok warga sudah<br />

mulai mengorganisir diri untuk melakukan pengaduan kepada PDAM dan PLN<br />

terkait pelayanan mereka yang belum memuaskan warga. Untuk isu perencanaan<br />

dan penganggaran partisipatif, fasilitator desa sudah berhasil memfasilitasi<br />

penyusunan RPJM-Desa secara partisipatif dan inklusif, mereka mengorganisir<br />

diri dalam organisasi kader desa mulai dari tingkat desa hingga tingkat kabupaten.<br />

Untuk isu pengelolaan sumber daya alam, warga di kawasan hutan Poronombu<br />

sudah menemukan cara-cara cerdas untuk menghidupi dirinya tanpa menjadikan<br />

hutan sebagai satu-satunya sumber penghasilan. Untuk isu penguatan ekonomi<br />

kerakyatan, warga mulai mengidenti kasi komoditi-komoditi unggulan untuk<br />

mengorganisir pemasaran bersama. Komoditi hanya alat dan pintu masuk kerja-kerja<br />

pengorganisasian masyarakat, memperkuat warga dan organisasi warga di desa.<br />

Fakta-fakta ini memberi harapan baru pada saya bahwa sesungguhnya potensi dan<br />

kekuatan itu ada dimana saja. Bahwa jika perubahan yang dituju adalah manusia, maka<br />

dia akan menggerakkan perubahan di keluarganya, di kampungnya dan di desanya.<br />

Saya ingat Mama Margareta Sene dari Community Resource Centre (CRC) Titu Hari<br />

atau dikenal juga sebagai Pusat Sumber Daya Warga. Waktu Mama Eta ini antusias<br />

berdialog dengan PDAM untuk menyampaikan gagasannya tentang penyediaan<br />

air bersih di Padadita. Juga, saya selalu tersenyum jika saya mengingat lagi sebuah<br />

kejadian ketika beberapa warga di Kelurahan Kambajawa menyampaikan keluhannya<br />

ke Kelurahan dan petugas Kelurahan menganjurkan warga itu menyampaikan<br />

keluhan mereka ke CRC Ninda La Kahaungu. Ada juga Usi Debora Jona yang jago<br />

menghitung pembayaran biaya penggunaan listrik dan ini membuat petugas PLN<br />

terperangah. Dia dengan teliti membandingkan perbedaan pembayaran di loket BRI,<br />

loket-loket baru lainnya dengan saat membayar di loket Pos dan Giro. Mengapa saat<br />

membayar di Kantor Pos lebih mahal?<br />

Ada Mama Ester Lerebulan, Laskar Desa Manukuku yang penuh antusias<br />

melipatgandakan bintang perubahan sosial di desanya dengan menggelar pentas<br />

23


seni “Malam 1000 Bintang”. Di Desa Laboya Bawa, Kader Pembaru Desa, Mama<br />

Chorlina T. Goro yang dengan bangga menyampaikan gagasannya di Makasar saat<br />

Temu Bintang Perencanaan dan Penganggaran Kawasan Timur Indonesia. Saya tidak<br />

akan lupa waktu Kristin Kaita Wey, gadis muda dari Desa Rambangaru menjadi<br />

narasumber di forum Temu Bintang Perencanaan dan Penganggaran itu. Fasilitator<br />

Desa Rambangaru ini dengan penuh percaya diri menyampaikan pembelajaran saat<br />

dirinya memfasilitasi proses penyusunan RPJM-Desa di desanya.<br />

Dari Paranda, sebuah desa di ujung timur Pulau Sumba, Kepala Desanya Dominggus<br />

Bala Nggiku sangat antusias untuk membangun relasi dan kerja sama dengan Koalisi<br />

Perjuangan dan PNPM yang sama-sama bekerja di desanya. Pada Temu Bintang di<br />

Makasar, dia juga terpilih sebagai Bintang Perencanaan dan Penganggaran Kawasan<br />

Timur Indonesia.<br />

Ada juga kisah cerdas, Mama Elisabeth Pesireron, Agen Pembaru Desa dari Kareka<br />

Nduku yang menghalau para penebang liar di Hutan Poronombu dengan cara<br />

mensiasati mereka bermodalkan seragam Hansip yang dipinjamnya dari Hansip desa<br />

sehingga para penebang liar melarikan diri. Beberapa saat kemudian dia menjumpai<br />

para penebang liar dan mulai mendiskusikan mengapa dia melakukan tindakan ini<br />

serta menjelaskan manfaat hutan bagi banyak orang, yang jika tidak dirawat dengan<br />

baik akan menjadi bencana.<br />

Tapi saya masih dibayangi oleh pertanyaan lainnya, apa iya, kalian mampu melakukan<br />

sesuatu tanpa donor asing? Apa iya kalian memiliki energi untuk mengorganisir<br />

kekuatan yang bertebaran di masyarakat? Apakah ada sesuatu yang inspiratif dan<br />

menggetarkan yang bisa kalian lakukan?<br />

Pertanyaan ini selalu mengganggu saya.<br />

Oktober 2010, lewat perbincangan di facebook, saya berjumpa sahabat, teman<br />

lama dan teman sekolah lalu kami berinisiatif dan meyakinkan diri tentang kekuatan<br />

kami yang dapat menyumbang pada perubahan sosial di tanah kami. Kemudian kami<br />

sepakat membangun sebuah komunitas, Hambila namanya. Kami melakukan kegiatankegiatan<br />

sederhana dan bermakna.<br />

Kegiatan perdana kami adalah Peringatan Hari Ulang Tahun Sumba Timur yang ke-<br />

52 pada Desember 2010. Ada beberapa rangkaian dalam acara ini. Pertama, lomba<br />

menulis esai bagi pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum. Kedua, dialog interaktif<br />

di Radio Max FM dimana dua Bupati Sumba Timur pada periode 1978-1983 dan<br />

periode 1994-1999 berbagi pengalaman mereka saat menjadi pemimpin saat itu.<br />

24


Ketiga, menggelar pentas “Puisi Semalam Suntuk” di Taman Kota. Keempat, launching<br />

buku “Bupati Sumba Pinggir”. Buku ini ditulis oleh seorang anggota komunitas, Yongki<br />

H.S. Acara peluncuran buku ini dikemas dengan cara yang unik, berkarakter, berbeda<br />

dan berkualitas.<br />

Kami terkejut saat mendapat apresiasi yang luar biasa dari warga Sumba Timur.<br />

Banyak pihak berkontribusi untuk kegiatan ini. Ada yang menyumbang uang, in focus,<br />

kertas, penganan ringan, busana Sumba, dan masih banyak lagi. Pada pentas “Puisi<br />

Semalam Suntuk”, anak-anak SD, ibu rumah tangga, polisi, seniman sampai bupati<br />

berada di satu panggung.<br />

Juga saat peluncuran buku teman kami, acaranya kami kemas dengan mengandalkan<br />

aset lokal yang ada. Makan malam kami adalah jagung rebus, pisang rebus, ubi rebus,<br />

kacang goreng, kacang rebus. Kue tar ulang tahun Sumba Timur juga adalah makanan<br />

itu yang ditata manis. Oh ya, pakaian kami layaknya Umbu dan Rambu Sumba yang<br />

hendak ke pesta adat.<br />

Kami mulai yakin, jika kekuatan dan energi dikelola dengan sungguh-sungguh akan<br />

ada kejutan-kejutan yang membanggakan.Tapi saya masih ingin meyakinkan diri<br />

bahwa Dimensi Struktur dalam Indeks Masyarakat Sipil yang dikembangkan YAPPIKA<br />

ini akan menunjukkan perubahan terutama untuk subdimensi Sumber Daya. Di<br />

Sumba Timur subdimensi ini dengan indikator kemampuan menggali sumber daya<br />

hanya mendapat nilai 1,38 yang artinya kurang sehat (IMS 2007).<br />

Saat perayaan Hari Perempuan Internasional bulan Maret 2011, kami berhasil<br />

menerima <strong>sumba</strong>ngan 1.205 tangkai bunga dari warga, sekolah, lembaga masyarakat.<br />

Bunga ini kami bagikan untuk pedagang, polisi, anak sekolah, pegawai Pemda,<br />

pasien di rumah sakit, perawat, dokter, polisi. Semua antusias. Penerima bunga tahu<br />

dia mendapat bunga dari siapa, karena setiap tangkai bunga dicantumkan nama<br />

penyumbang.<br />

Hari itu juga, 8 Maret, kami menganugerahkan Hambila Award kepada 4 Perempuan<br />

Inspiratif. Mereka adalah perempuan biasa yang sering terabaikan oleh rekaman<br />

dan incaran media, sejarah dan bahkan dianggap remeh oleh komunitasnya. Namun<br />

mereka telah memberikan warna tersendiri, menyumbang pada nilai demokrasi<br />

di Sumba Timur. Saya terkesima, rupanya Mama Carolina Kapita dari Desa Ramuk<br />

salah seorang penerima award ini. Pada tahun 2004 dia bersama Yayasan Alam<br />

Lestari merintis Kios Barter di Desa Ramuk. Dan saya pernah mengunjungi<br />

kampungnya pada tahun 2006. Di usia senjanya, perempuan tangguh ini menunjukkan<br />

keteladanannya sebagai petani dengan membuat kebun gizi dan hutan keluarga.<br />

25


Di Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya, para relawan sudah<br />

menawarkan diri untuk memperkuat orang muda bersama Hambila. Misalnya<br />

Martha Rambu Bangi, Kons Gesi, Rony Malelak, Pater Mike Keraf, Yubi Pandarangga,<br />

Silviya Rambu Dipudapu. Ada juga yang menyumbangkan ruangan, alat tulis, fasilitas<br />

pendukung lainnya.<br />

Saya dan teman-teman di Hambila masih terus bermimpi untuk menggerakkan<br />

relawan Sumba. Kami merencanakan arisan talenta dengan membuat kelas-kelas<br />

gratis penguatan kapasitas bagi kaum muda di Sumba. Di komunitas ada teman<br />

yang punya keahlian mendesain situsweb, fotogra , jurnalistik, fasilitasi. Kami sudah<br />

menerima dukungan dan kesediaan kawan-kawan di luar komunitas yang menyiapkan<br />

diri menjadi fasilitator, pelatih, <strong>sumba</strong>ngan ruangan dan fasilitas lainnya.<br />

Aha…..Saya jadi ingat satu kalimat saat saya dan Bu Chris mengakhiri perbincangan<br />

kami 5 tahun yang lalu, “Jangan sampai kita mati di pangkuan donor”. Tidak akan!<br />

26<br />

Kami mulai yakin, jika kekuatan dan energi dikelola dengan sungguhsungguh<br />

akan ada kejutan-kejutan yang membanggakan


Meniti Karir Menggapai Impian<br />

Yose na Linda<br />

Mataku terpaku pada sebuah pulau kecil yang tampangnya begitu eksotik tergambar<br />

dalam peta kepulauan Indonesia yang menghiasi halaman pertama buku agendaku.<br />

Saya memperhatikannya dengan seksama sembari jari telunjukku menjejaki pulau itu<br />

ibarat saya sedang berjalan menelusuri seantero pulau. Ada beberapa nama tempat<br />

yang tidak asing lagi bagi saya. Tapi lebih banyak yang belum pernah saya dengar. Pulau<br />

itu membuat saya penasaran. Rasa penasaran itu adalah keinginan dan kerinduanku<br />

untuk kepadanya aku akan datang pada suatu hari nanti. Pulau impian itu adalah<br />

Sumba.<br />

Sudah lama saya mendengar cerita tentang Sumba. Sumba adalah epos tentang<br />

laki-laki gagah perkasa yang saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda<br />

yang sedang dipacu kencang. Ritual Marapu itu, tak terhindarkan dari kucuran darah<br />

dan bahkan pengorbanan nyawa. Di Sumba, tak ada darah yang sia-sia, sebab pada<br />

tiap tetes darah yang mengalir ada mimpi tentang hamparan padi yang menguning di<br />

sawah dan hasil panen yang berkelimpahan. Darah yang terkucur sangat berkhasiat<br />

untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Demikianlah orang Marapu<br />

memaknai kucuran darah akibat rivalitas dan ritualitas Pasola sebagai pengorbanan<br />

pengampunan dosa dan persembahan bagi kemakmuran bersama.<br />

Sumba adalah hamparan padang alang-alang. Di Sumba, tak ada alang-alang yang yang<br />

tak berguna. Ia ada di atap rumah dan di ujung mulut kuda yang mengunyah. Alangalang<br />

yang tak tersentuh mengabadikan sudut-sudut Sumba yang tak terjamah dan<br />

natural adanya. Puitika dan cerita yang indah dan magis tentang Sumba memperkuat<br />

tekad saya untuk segera beranjak ke Pulau Marapu itu.<br />

*****<br />

Dari Pos Kupang, sebuah koran lokal terpopuler di NTT, saya mendapat informasi<br />

tentang sebuah program yang sedang membuka lowongan pekerjaan untuk<br />

posisi Staf Administrasi Program (Program Administration Of cer/PAO) untuk<br />

27


ditempatkan di Sumba. Program itu bernama <strong>ACCESS</strong> (Australian Community<br />

Development and Civil Society Strengthening Scheme) Phase II. Pada iklan lowongan<br />

kerja tersebut juga disampaikan alamat website <strong>ACCESS</strong>. Tanpa berpikir panjang dan<br />

mengulur-ulur waktu, saya bersama teman saya Rosa langsung bergegas ke warnet<br />

untuk mencari informasi tentang <strong>ACCESS</strong>. Dalam perjalanan menuju warnet, saya<br />

berpikir bahwa ini adalah titian jalan yang Tuhan berikan kepada saya menuju pulau<br />

impian, Sumba, sembari mengembangkan karir dan profesionalisme saya di bidang<br />

administrasi dan keuangan.<br />

Setibanya di warnet, saya langsung membuka website <strong>ACCESS</strong>. Detak jantungku<br />

berdetak lebih cepat dari biasanya sejalan dengan hasratku yang begitu menggebugebu<br />

untuk mengetahui tentang <strong>ACCESS</strong> dan menggapai pulau Sumba. Betapa<br />

bahagianya saya kala itu karena saya mendapatkan informasi yang banyak tentang<br />

program <strong>ACCESS</strong> dan juga tentang lowongan pekerjaan PAO yang ingin saya<br />

melamar. Setidaknya, informasi yang saya peroleh bisa menjadi bekal bagi saya untuk<br />

membuat surat lamaran dan mengikuti proses wawancara jika saya dipanggil. Setelah<br />

membaca kriteria berikut uraian pekerjaannya, saya merasa yakin bahwa saya bisa<br />

memenuhi kriteria yang diminta. Pada hari itu juga saya langsung membuat lamaran<br />

dan memperbarui Curriculum Vitae (CV) serta mengirimnya ke <strong>ACCESS</strong>.<br />

Beberapa hari kemudian saya dihubungi <strong>ACCESS</strong> untuk mengikuti proses wawancara<br />

di Waingapu, Sumba Timur. Saya sangat bersukacita atas kabar gembira itu. Mimpi<br />

saya untuk datang ke Sumba berubah menjadi kenyataan. Tak kusangka bisa secepat<br />

itu impian saya terwujud. Ini sungguh sebuah mukjizat dan jalan Tuhan. Saya pun mulai<br />

menyiapkan diri ke Sumba untuk mengikuti kegiatan wawancara.<br />

Sabtu, 2 Agustus 2008, pesawat Merpati membawa saya dari Kota Kupang ke pulau<br />

impian Sumba, yang sehari sebelumnya, pesawat yang sama membawa saya dari<br />

Maumere ke Kupang. Saya harus berangkat dari Maumere ke Sumba melalui Kupang<br />

karena tidak ada penerbangan langsung dari Maumere ke Waingapu untuk tanggal<br />

2. Saya datang ke Sumba bersama bayi saya yang baru berusia 4 bulan. Saya sangat<br />

senang pada hari itu karena baru pertama kali saya menjejakan kaki saya di Sumba.<br />

Setibanya di Bandara Waingapu saya langsung merasakan terpaan angin padang<br />

<strong>savana</strong> yang menerpaku begitu kencang dan terasa kering, juga keramahtamaan<br />

dan senyuman manis orang Sumba yang begitu khas dan menyejukkan hati. Hari<br />

itu sangat cerah dan langit biru terasa begitu dekat dan seakan hendak runtuhjatuh.<br />

Di Sumba, tak ada langit yang jauh, semuanya terasa dekat, segalanya tampak<br />

melekat lalu memiuh di ujung ringkik kuda Sandle yang melenguh. Luar biasa. Setelah<br />

mengambil bagasi, akhirnya saya langsung menuju Hotel Jemmy.<br />

28


Wawancara dilakukan pada tanggal 3 Agustus 2008 di Hotel Jemmy, Waingapu.<br />

Ada 4 orang kandidat yang dipanggil mengikuti proses wawancara. Dan ada 3<br />

orang <strong>ACCESS</strong> yang mewawancarai kami yaitu Pak Krisdeny, Ibu Martha Hebi<br />

dan Ibu Nanik. Ketika saya dipersilahkan masuk ke ruang wawancara, saya merasa<br />

sedikit tegang. Detak jantungku berdetak begitu kencang. Buku yang kupegang di<br />

tangan kananku, kuremas erat-erat guna mengalihkan dan mengurangi rasa tegang<br />

yang sedang menggerogotiku. Namun perasaan itu pudar seketika karena tim<br />

pewawancara menyambut saya dengan menciptakan suasana yang penuh keakraban<br />

dan kenyamanan. Proses pertemuan awal yang dibaluti dengan suasana kekeluargaan<br />

dan keakraban membuat saya lebih tenang, semakin percaya diri dan sangat berkesan.<br />

Pengalaman ini berbeda dari proses wawancara yang pernah saya rasakan pada<br />

organisasi lain sebelumnya. Ada Ibu Nanik yang selalu melempar senyuman manis<br />

kepada saya serta memberikan kekuatan dan tips-tips dalam merawat bayi dan<br />

anak bagi ibu yang berkarir. Ada Ibu Martha Hebi yang sangat peduli dan melayani<br />

kami peserta test dengan sepenuh hati. Begitu pula Pak Krisdeny, yang begitu peduli<br />

terhadap saya dan bayi saya. Ia memberikan saya kesempatan untuk menyusui<br />

bayi saya padahal saya sedang mengikuti proses wawancara. Pokoknya, saya sangat<br />

menyukai prosesnya dan juga tim pewawancara <strong>ACCESS</strong>. Saya bisa melewati proses<br />

wawancara dengan lancar.<br />

Selepas mengkuti proses wawancara, saya kembali ke Maumere pada tanggal 4<br />

Agustus 2008. Saya agak sedih pada hari itu, karena saya tidak lama tinggal di Sumba.<br />

Saya tidak sempat mengeksplorasi keeksotikan dan keindahan alam Sumba yang<br />

selama ini dipuja-puji oleh banyak orang dan media. Saya kesal, tapi tidak ada pilihan<br />

lain selain saya harus pulang ke Maumere karena ada urusan penting yang sedang<br />

menunggu saya di sana. Namun, saya masih mempunyai keyakinan yang besar bahwa<br />

saya akan kembali ke Sumba. Saya menebar asa sambil berdoa agar saya lulus seleksi<br />

dan dapat bekerja pada program <strong>ACCESS</strong> Sumba.<br />

*****<br />

Satu setengah minggu selepas proses wawancara, <strong>ACCESS</strong> memberitahu saya bahwa<br />

saya diterima sebagai staf administrasi program (Program Administration Of cer).<br />

<strong>ACCESS</strong> menanyakan kesediaan saya untuk menerima tawaran itu. Tanpa berpikir<br />

panjang, saya langsung menerima tawaran itu. Saya pun mulai mempersiapkan diri<br />

untuk berangkat ke Sumba dan memulai meniti karir pada organisasi baru di pulau<br />

yang saya dambakan sejak dulu. Sebuah penantian panjang yang akhirnya mengantar<br />

saya pada titik awal untuk memulai sebuah panggilan kehidupan yang sesungguhnya.<br />

29


Kamis, 28 Agustus 2008, pesawat Merpati membawa saya untuk kedua kalinya ke<br />

Sumba. Walaupun saya harus meninggalkan dalam waktu yang cukup lama tanah<br />

kelahiran saya, keluarga saya tercinta, rumah saya dan kawan-kawan saya, namun saya<br />

tetap berangkat ke Sumba dengan suasana hati yang penuh sukacita, optimis dan<br />

bersemangat. Saya ingin berkarya dan mendermakan segala talenta yang saya miliki<br />

untuk Sumba. Kepadamu Sumba, bersama <strong>ACCESS</strong>, saya bertekad berbuat sesuatu<br />

yang luar biasa.<br />

Setibanya di Kota Waingapu, saya langsung bergegas mencari kantor <strong>ACCESS</strong>.<br />

Walaupun Kota Waingapu terbilang kota kecil, tetapi saya menghabiskan waktu satu<br />

jam lamanya untuk mencari kantor <strong>ACCESS</strong>. Saya menelusuri jalan sesuai dengan<br />

alamat yang diberikan dan sepanjang jalan mata saya sibuk mencari nomor rumah<br />

dan papan nama yang bertuliskan <strong>ACCESS</strong>. Ketika saya tiba di depan rumah yang<br />

nomornya sama dengan nomor kantor <strong>ACCESS</strong>, saya termangu, sedikit terkejut<br />

dan tersenyum lantaran kantor yang saya dapati tidak ada papan namanya. Saya<br />

hanya menemukan sebuah stiker yang ditempel di pintu masuk. Stiker itu pun sudah<br />

kumal dimakan usia. Ada tulisan <strong>ACCESS</strong> di Stiker itu tapi tulisannya pun sudah<br />

sumir. Untuk memastikan bahwa kantor itu adalah kantor <strong>ACCESS</strong>, maka saya<br />

memberanikan diri mengetuk pintu depan yang posisinya sudah terbuka. Ibu Martha<br />

Hebi langsung keluar dari ruangannya dan menyambut saya dengan kecupan dan<br />

pelukan hangat. Kami pun langsung terlibat dalam obrolan ringan yang hangat dan<br />

menyenangkan. Sebuah perjumpaan awal yang menyenangkan.<br />

Kantor <strong>ACCESS</strong> terbilang cukup e sien karena ukurannya kecil, ia hanya memiliki<br />

2 ruang kerja, 1 ruang tamu yang juga dipakai sebagai ruang pertemuan dan 1<br />

ruang untuk dapur. Stafnya pun sedikit. Hanya 3 orang yaitu Pak Ferdi Rondong<br />

sebagai Koordinator Provinsi NTT untuk Sumba, Ibu Martha Hebi sebagai Program<br />

Of cer, dan ditambah saya sendiri. Walaupun kantornya kecil dan stafnya sedikit,<br />

tetapi cakupan program dan cerita keberhasilan program <strong>ACCESS</strong> Tahap I untuk<br />

pemberdayaan masyarakat dan penguatan masyarakat sipil, yang saya baca di laporan,<br />

bulletin dan website <strong>ACCESS</strong>, sangat banyak dan luar biasa. Saya termenung dan<br />

berpandangan bahwa <strong>ACCESS</strong> merupakan sebuah model program yang e sien<br />

di operasionalnya, tetapi memberi perhatian yang banyak pada program untuk<br />

pemberdayaan masyarakat. Luar biasa. Kalau di program lain ada mobil untuk<br />

operasional. Tetapi di <strong>ACCESS</strong> Sumba, kami hanya memiliki 2 unit sepeda motor.<br />

Pekerjaan utama saya sebagai PAO adalah mengurus dan mengatur administrasi dan<br />

keuangan kantor. Selain itu, saya juga bertekad untuk membantu dan memperlancar<br />

pekerjaan dua sahabat saya yaitu Pak Ferdi dan Ibu Martha. Karena saya berprinsip<br />

30


ahwa saya tidak hanya menjalankan tugas pokok saya sebagai PAO, tetapi saya juga<br />

dapat berkontribusi untuk tim. Keberhasilan tim adalah keberhasilan saya. Kegagalan<br />

tim adalah juga kegagalan saya.<br />

Hari pertama, saya bekerja membersihkan kamar mandi, kaca jendela dan ruangan<br />

kerja. Saya bekerja sambil tersenyum sendiri karena membayangkan betapa<br />

sombongnya saya dulu karena saya tidak pernah membersihkan kamar mandi<br />

dan toilet di kantor. Kantor sudah menyediakan petugas kebersihan. Saya hanya<br />

mengerjakan pekerjaan administrasi dan keuangan.<br />

Program saya pada minggu pertama adalah menata kantor supaya lebih bersih, indah<br />

dan nyaman untuk bekerja bagi staf. Saya menyediakan 3 jenis tempat sampah yaitu<br />

tempat sampah organik basah, organik kering dan non organik. Kami membuat<br />

kesepakatan untuk menjaga kebersihan kantor, tidak boleh merokok dalam ruangan<br />

kantor serta hemat menggunakan air dan listrik. Hal ini juga sejalan dengan<br />

kebijakan <strong>ACCESS</strong> yang memiliki perhatian dan keberpihakan yang tinggi terhadap<br />

keberlanjutan lingkungan hidup, keamanan, kesehatan dan kenyamanan staf dalam<br />

bekerja. Pembelajaran baru yang saya dapatkan dari <strong>ACCESS</strong> pada hari-hari pertama<br />

saya bekerja yaitu orientasi dan keberpihakan yang jelas terhadap lingkungan yang<br />

bersih, sehat dan lestari.<br />

Baru seminggu saya bekerja, wajah saya sudah banyak jerawatnya. Kulit saya yang<br />

putih pun berubah menjadi semakin hitam karena panasnya udara di Waingapu.<br />

Namun, “kerikil-kerikil” kecil ini tidak mematikan semangat saya untuk berkarya<br />

di Sumba bersama <strong>ACCESS</strong>. Bahkan, saya bangga pada <strong>ACCESS</strong> karena program<br />

<strong>ACCESS</strong> Tahap I telah mendulang banyak keberhasilan di tingkat warga dan<br />

kelompok warga, terutama perempuan, orang miskin dan kaum terpinggirkan<br />

lainnya. Saya tergerak oleh cerita sukses <strong>ACCESS</strong> Tahap I dan bertekad memberikan<br />

kontribusi semaksimal mungkin untuk program <strong>ACCESS</strong> dalam mencetak sukses<br />

yang lebih dasyat pada Tahap II ini.<br />

Setelah dua bulan bekerja, saya berhasil membuat suasana kantor menjadi lebih<br />

aman, nyaman dan sehat untuk bekerja. Hal ini sesuai dengan standar prosedur<br />

<strong>ACCESS</strong> terkait kesehatan dan kenyamanan bekerja (Occupational Health and<br />

Safety/OHS) bagi staf. Memasuki bulan ke-4, kami menyewa kantor baru yang<br />

lebih luas dilengkapi dengan fasilitas kerja yang lebih memadai. Kami juga merekrut<br />

petugas kebersihan dan penjaga keamanan kantor. Perpindahan ke kantor baru<br />

memicu semangat kami untuk semakin bergairah bekerja dan meningkatkan kinerja<br />

dan pelayanan sesuai dengan nilai dan tujuan program <strong>ACCESS</strong>.<br />

31


Sembari mendalami dan menata administrasi dan keuangan kantor, Pak Ferdi<br />

meminta saya untuk memberikan pendampingan teknis bagi OMS mitra dalam<br />

menyusun Rencana Anggaran dan Belanja (RAB) program. Proses ini sangat<br />

mengesankan dan juga melelahkan. Betapa tidak! Pada bulan-bulan pertama program,<br />

hampir setiap hari, sambil melakukan pekerjaan pokok sebagai PAO, saya juga<br />

harus berjam-jam berhadapan dengan OMS mitra dengan berbagai karakter untuk<br />

menyusun RAB. Kami menyusun RAB berdasarkan usulan rencana aksi (proposal)<br />

OMS mitra yang sudah dibuat. Sambil menyusun RAB kami juga harus memahami isi<br />

usulan rencana aksi terutama kegiatan-kegiatan yang berimplikasi pada kebutuhan<br />

anggaran. Kami juga harus menyusun RAB sesuai dengan standar biaya dari <strong>ACCESS</strong><br />

dan dengan mempertimbangkan harga aktual di daerah. Kami juga menghitung<br />

kontribusi dari OMS mitra, pemerintah (kabupaten, kecamatan dan desa) serta<br />

kelompok warga untuk mendukung pelaksanaan program. Kontribusi tersebut bisa<br />

berupa uang dan natura dalam bentuk apa saja seperti tenaga, ruangan pertemuan,<br />

makanan, minuman, dan lain-lain. Upaya mendorong adanya kontribusi atau swadaya<br />

dari pihak lain terutama masyarakat desa merupakan upaya untuk mendorong rasa<br />

kepemilikan dan tanggung jawab lokal terhadap program yang dijalankan di desa/<br />

kelurahan mereka.<br />

Apakah saya sudah sukses berswadaya di tempat kerja saya dan lingkungan tempat<br />

tinggal saya? Sebelumnya saya tidak pernah tahu dan melakukan yang namanya<br />

swadaya. Dari proses pendampingan ini, saya akhirnya paham tentang apa itu swadaya<br />

dalam prakteknya. Salah satu pratek swadaya yang sudah saya lakukan adalah<br />

dengan menyumbang makanan yang sangat sederhana pada saat pertemuan Forum<br />

Lintas Aktor (FLA). Forum ini adalah kumpulan orang-orang yang berasal dari LSM,<br />

Pemerintah Daerah, gereja, pemuda, kelompok warga atau organisasi rakyat yang<br />

memiliki kepedulian yang besar dan aksi nyata untuk mendukung peningkatan dalam<br />

Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis (TKLD). Saya merasa bangga karena<br />

saya bisa berkontribusi sesuatu untuk sebuah pertemuan FLA, walaupun dalam<br />

jumlah yang sedikit.<br />

Perlahan tapi pasti, saya mulai memahami program <strong>ACCESS</strong> termasuk sistem<br />

dan mekanisme, tujuan, nilai dan prinsip dasar, pendekatan-pendekatan, strategi,<br />

kelompok sasaran dan lain sebagainya. Berbeda dengan proyek lain tempat saya<br />

bekerja sebelumnya yang lebih bersifat pragmatis dan berorientasi proyek. Hal-hal<br />

yang paling saya banggakan dari <strong>ACCESS</strong> adalah komitmennya terhadap perjuangan<br />

nilai-nilai seperti partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan sosial dan gender,<br />

pemberdayaan, keberpihakan terhadap lingkungan, kolaborasi, dan perubahan<br />

perilaku.<br />

32


<strong>ACCESS</strong> merupakan program yang memberi fokus utama pada penguatan kapasitas<br />

warga dan organisasi warga serta OMS mitra. <strong>ACCESS</strong> dan Mitra Strategisnya<br />

seperti Inspirit, Mitra Samya, ICW, Kawanusa, Remdec, Gita Pertiwi, Yappika dan<br />

lain-lain memberikan berbagai jenis dukungan penguatan kapasitas bagi OMS mitra<br />

serta warga dan organisasi warga di Sumba. Saya juga ingin meningkatkan kapasitas<br />

saya. Oleh karena itu, ketika saya sudah memberesi pekerjaan utama saya, saya<br />

mencuri waktu kerja saya untuk melihat kegiatan pelatihan yang diberikan oleh Mitra<br />

Strategis. Misalnya, ketika Inspirit memberikan pelatihan tentang Teknik Fasilitasi<br />

Vibran dan Pendekatan Berbasis Kekuatan saya mengikutinya untuk beberapa sesi.<br />

Walaupun saya bukan sebagai peserta. Saya merasa terinspirasi oleh cara Inspirit<br />

memberikan pelatihan dan juga materi yang diberikan yaitu pendekatan berbasis<br />

kekuatan. Saya menjadi paham tentang pendekatan berbasis kekuatan. Saya juga ingin<br />

mengamalkan pendekatan itu dalam kerja-kerja nyata saya sekarang dan ke depannya,<br />

baik di tempat saya bekerja maupun di keluarga.<br />

Saya teringat akan kata-kata yang dilontarkan oleh Korprov <strong>ACCESS</strong> Sumba pada<br />

sebuah lokakarya di Sumba. Korprov mengatakan bahwa dengan menggunakan<br />

pendekatan berbasis pada kekuatan/asset/kekayaan, berfokus pada pendekatan aktor,<br />

dan menebar investasi pada pembagunan kapasitas manusia, <strong>ACCESS</strong> bersama OMS<br />

Mitra lokal membantu komunitas dan pemerintah dari tingkat desa hingga kabupaten<br />

untuk merancang dan memimpin sebuah masa depan yang fantastis. <strong>ACCESS</strong> percaya<br />

bahwa kita semua bisa menjadi bintang (champion) di lingkungan kita. Kita semua<br />

memiliki kekuatan dan karunia. Kita semua memiliki kelebihan, keistimewaan dan<br />

keandalan. Oleh karena itu, kita mulai mengerjakan sesuatu hari ini dengan apa yang<br />

sudah kita punyai untuk menggapai masa depan yang lebih baik dan gemilang. Masa<br />

depan itu harus diciptakan dengan berlandaskan pada kekuatan yang kita miliki,<br />

bukan bergantung pada pihak luar. Karena ketergantungan merupakan sumber<br />

ketidakberdayaan dan ia mengekalkan kemiskinan. Kata-kata ini selalu memberi<br />

kekuatan dan keyakinan bagi saya bahwa pembangunan yang berbasis pada kekuatan<br />

merupakan pendekatan yang cocok untuk pemberdayaan masyarakat dan melawan<br />

kemiskinan dan ketidakberdayaan.<br />

Pada kesempatan yang lainnya, saya diberi kepercayaan oleh Pak Ferdi untuk terlibat<br />

dalam kegiatan monitoring di beberapa desa di Sumba Barat. Saya menjumpai semua<br />

Fasilitator Desa yang terlibat dalam kegiatan perencanaan desa. Mereka dilatih untuk<br />

merancang dan memfasilitasi proses di lapangan, membuat peta sosial, melakukan<br />

kajian mendalam tentang kondisi umum desa, menganalisa kesejahteraan keluarga<br />

33


dengan menggunakan indikator lokal, menyusun perencanaan desa, dan masih banyak<br />

lagi. Saya kagum pada ketekunan mereka untuk belajar, berdiskusi dan cara mereka<br />

memfasilitasi. Melihat kehebatan mereka membuat saya merasa malu pada diri saya<br />

sendiri. Saya menjadi tidak bangga dengan gelar sarjana yang saya sandang karena<br />

saya belum pernah melakukan hal-hal yang luar biasa seperti yang dilakukan oleh<br />

para Fasilitator Desa itu. Mereka adalah orang-orang hebat, lebih hebat dari saya.<br />

Saya bangga pada mereka.<br />

Di <strong>ACCESS</strong> saya juga belajar tentang strategi komunikasi dan pengembangan media<br />

populer untuk pengorganisasian masyarakat dan pemberdayaan. Saya menjadi<br />

yakin bahwa media-media yang kreatif seperti lm, foto, poster, spanduk, lagu, puisi<br />

dan kesenian lainnya memiliki daya pengaruh yang luar biasa untuk meningkatkan<br />

kesadaran kritis warga masyarakat. Saya menjadi terampil untuk menggunakan<br />

kamera termasuk teknik-teknik mengambil gambar. Saya terinpirasi dari setiap kali<br />

saya berdiskusi tentang media visual dan audiovisual dengan Ibu Martha Hebi dan<br />

membaca kerangka acuan pelatihan pengembangan media yang dibuat oleh Pak Ferdi.<br />

Saya juga diberi tugas untuk membuat notulensi pada pertemuan internal kantor<br />

dan sesekali saya diminta oleh Ibu Martha Hebi menjadi notulis pada pertemuan<br />

dengan OMS Mitra. Saya bangga karena saat ini saya sudah cukup terampil membuat<br />

notulensi pertemuan.<br />

Salah satu media yang dipakai untuk menyampaikan informasi tentang program<br />

<strong>ACCESS</strong> kepada pemerintah, OMS mitra, mitra strategis dan masyarakat luas<br />

adalah bulletin <strong>ACCESS</strong>. Ada sebuah cerita menarik yang tidak pernah akan saya<br />

lupakan. Selama saya hidup, saya belum pernah diwawancarai oleh seorang reporter<br />

dan pro l saya dimuat dalam majalah atau bulletin. Tetapi, baru di <strong>ACCESS</strong> saya<br />

diwawancarai dan pro l serta foto saya dimuat dalam bulletin <strong>ACCESS</strong>. Saya sangat<br />

bangga sekali. Buletin <strong>ACCESS</strong> yang memuat pro l dan foto saya, saya kirimkan ke<br />

anak saya di Ende, Flores. Sembari membagi rasa kebahagian itu dengan anak dan<br />

keluarga, alasan lainnya adalah agar Abang (sapaan sayang untuk anak kami) berminat<br />

dan bertambah lancar membaca. Betapa terkejutnya Abang ketika melihat ibunya ada<br />

dalam bulletin itu.<br />

Saya juga selalu menjalin hubungan dengan ERSULA, “si wanita cantik” yang selalu<br />

ingin diperhatikan dan haus akan data dan informasi terkini tentang kemajuan<br />

program <strong>ACCESS</strong>. ERSULA merupakan sistem data base yang menyimpan dan<br />

menyediakan semua data dan informasi tentang program <strong>ACCESS</strong> seperti laporan<br />

perkembangan program, laporan akhir penyelesaian program, kegiatan penguatan<br />

kapasitas, publikasi, berbagai cerita perubahan, dan lain-lain. Saya dilatih 3 kali untuk<br />

34


memahami “sifat” ERSULA sehingga saya dapat memasukan dan memperbarui data<br />

dan informasi secara benar dan rutin. Saya bangga karena saya bersama Tim <strong>ACCESS</strong><br />

Sumba dapat “menjinakan” dan “merias” Ersula dengan data dan informasi yang<br />

selalu terbarukan. Hasilnya pun memuaskan dan kami mengirimnya secara rutin ke<br />

kantor pusat <strong>ACCESS</strong> di Bali.<br />

*****<br />

Tak terasa, sudah 3 tahun lamanya, saya berkarya bersama <strong>ACCESS</strong>, saya<br />

mendedikasikan hidup saya untuk Sumba. Saya belajar dan mendapat banyak hal<br />

dari <strong>ACCESS</strong>, pemerintah daerah, OMS mitra, Fasilitator Desa dan semua orang<br />

yang saya jumpai di Sumba. Saya juga sudah menyumbang segenap kekuatan yang<br />

saya miliki untuk keberhasilan program <strong>ACCESS</strong>, dan keberdayaan warga dan<br />

organisasi warga serta OMS mitra di Sumba. Bersama <strong>ACCESS</strong>, saya masih bertekad<br />

untuk berkarya lebih lama lagi untuk Sumba. Selama 3 tahun itu pula saya sudah<br />

mengeksplorasi sebagian kecil keeksotikan dan keindahan Sumba, Pasola, ringkikan<br />

kuda, pantai-pantai yang indah, kampung adat, tarian, dan masih banyak lagi. Sumba<br />

tak pernah habis dan tak akan pernah berhenti memberikan kejutan-kejutan akan<br />

kepesonaannya. Saya semakin penasaran menunggu kejutan-kejutan berikutnya.<br />

Entah ada apa gerangan, saya tiba-tiba teringat pada seorang pemimpin suku Indian,<br />

Blackfoot Crowfoot, yang nama aslinya Isapo Muxilla. Beberapa saat sebelum<br />

menghembuskan napasnya yang terakhir pada 25 April 1890, Crowfoot sempat<br />

mere eksikan apa makna kehidupan sebenarnya. “Kehidupan itu,” kata Crowfoot,<br />

“seperti cahaya kunang-kunang di tengah malam yang gelap gulita, seperti helaan<br />

napas kerbau di tengah musim dingin yang menusuk, atau seperti bayangan kecil yang<br />

melintas di atas rumput dan lenyap saat matahari susut.” Semoga saya bisa menjadi<br />

kunang-kunang untuk Sumba dan dunia. Mengapa tidak!<br />

35


<strong>ACCESS</strong><br />

Tim Pakta Sumba<br />

37


38Cerita Poronumbu bagi warga Wano Kassa, juga desa-desa tetangga lainnya yang terlahir dari<br />

rahim Sumba begitu panjang, menyejarah dalam ingatan akan kekuasaan tradisi leluhur yang<br />

dijalankan secara teratur untuk menciptakan keharmonisan hidup antara alam dan manusia.<br />

Mengganggu hutan tersebut, berarti mendatangkan tulah (Petrus Bulu Dede).


Merawat Rahim Sumba<br />

Kons de Gesi<br />

Wano Kassa di suatu senja, Februari 2010. Awan tebal menggantung di pucuk-pucuk<br />

pohon mahoni. Putih bagaikan salju. Angin sepoi-sepoi basah meniupkan awanawan<br />

kecil di atas bukit-bukit hijau. Menara-menara rumah diselimuti embun manis<br />

Poronombu, lalu jatuh menitik ke bumi.<br />

Selayang pandang, desa di perbukitan bagian Utara Kecamatan Tana Righu, Sumba<br />

Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu memesona hatiku. Memandang dari kejauhan,<br />

dari atas bukit Manukuku, desa tetangganya, desa bagaikan sebuah bahtera besar<br />

yang menambatkan sauhnya di perbukitan hijau, dekat paru-paru Sumba Barat: Hutan<br />

Poronombu.<br />

Insan-insan Wano Kassa, sigap pada setiap pagi nan cerah. Mereka dibangunkan oleh<br />

nyanyian merdu kakatua Sumba, rangkong Sumba, nuri Sumba, burung dara, burung<br />

tekukur, dan kokokan ayam hutan. Nyanyian burung-burung itu bagaikan simponi<br />

indah yang merekahkan hidup. Semua menyihir kalbuku, bagaikan ‘dara’ muda yang<br />

menyihir hatiku saat berjumpa dengannya di bukit Wano Kassa (tempat berkumpul).<br />

Nama bukit itu kini sudah berubah menjadi Wano Kaza yang berarti Kampung Asam.<br />

Hati kecilku bertanya: “Adakah orang-orang di sana masih berkumpul di bukit itu<br />

meski namanya tak lagi seperti dulu?”<br />

Jauh sebelum generasi sekarang, Poronombu adalah kampung asli orang-orang<br />

Wano Kassa. Mereka ‘turun’ ke Wano Kassa setelah pemerintah kolonial Belanda<br />

menjadikan Poronombu sebagai hutan ‘larangan.’ Begitu kata, sesepuh desa itu,<br />

Petrus Bulu Dede (70 tahun). Orang tua yang satu ini mendedikasikan diri sebagai<br />

panitera (sekretaris) desa selama 25 tahun (1975-2010). Ia menjadi bagian dari cerita<br />

tentang sejarah Poronombu dan Wano Kassa.<br />

Tokoh tua yang turut menanam mahoni di hutan Poronombu sejak 25 tahun lalu itu<br />

39


ercerita banyak tentang peran warga Wano Kassa, juga desa-desa tetangga lainnya<br />

dalam hal menjaga hutan itu. Hampir semua warga di desa-desa itu menganggap<br />

hutan Poronombu sebagai hutan keramat. Begitu keramat sebab Poronombu adalah<br />

tempat kelahiran para leluhur pertama, atau dalam bahasa Tana Righu dikenal dengan<br />

sebutan Poronumbu Welaghuosu, Kery deri Bata Teko.<br />

Sebagai tempat kelahiran para leluhur pertama, Poronombu lalu dikeramatkan.<br />

Ia menjadi tempat penyembahan atau lebih tepat penghormatan. Penghormatan<br />

terhadap leluhur-leluhur Poronombu yang menguasai hamparan hijau nan memesona<br />

itu satu atau dua abad yang lalu.<br />

Poronumbu Welaghuosu, Kery deri Bata Teko mulai berubah menjadi kawasan<br />

hutan (lindung) sejak pemerintah Indo-Belanda mengerahkan warga sekitarnya<br />

untuk membuat Watu Munggu (tumpukan batu) sebagai pembatas luar Poronombu.<br />

Hingga kini, tumpukan-tumpukan batu itu masih dijumpai di seantero pinggiran hutan<br />

Poronombu.<br />

Cerita Poronumbu itu begitu panjang, menyejarah dalam ingatan dan praktik orangorang<br />

desa di sekitarnya. Ingatan akan kekuasaan tradisional leluhur yang dijalankan<br />

secara teratur untuk menciptakan keharmonisan hidup antara alam dan manusia<br />

begitu kuat. Mengganggu hutan tersebut, berarti mendatangkan tulah.<br />

Pepohonan yang ditebang tanpa ritual adat meminta restu leluhur, akan<br />

mendatangkan bencana. Begitu juga dengan kekayaan lain yang dikandung oleh rahim<br />

Poronumbu Welaghuosu, Kery deri Bata Teko. Seorang pun tak boleh bebas atau<br />

sewenang-wenang mengganggu keseimbangan alamnya. Semua teratur dalam bingkai<br />

keramat tradisi Marapu yang kental. Itulah kearifan lokal yang kini terancam oleh<br />

deru zaman yang namanya pembangunan.<br />

Maka, Petrus Bulu Dede, mantan panitera Desa Wano Kassa itu mulai merasa<br />

gelisah, terutama dengan mental generasi terbaru yang tiada risih merusak rahim<br />

Poronombu. Hamparan hijau molek yang membelah Pada Eweta Manda Elu (Sumba<br />

Barat) dan Wee Maringi Loko Malala (Sumba Barat Daya) itu mesti dirawat. Hutan<br />

itu menghampar jauh meneduhi desa-desa sekitarnya. Luasnya membentang, sejauh<br />

mata memandang kehijauan, dengan luas sekitar 1.645 hektar.<br />

Saya berdiri tertegun di atas bukit, ketika senja ‘berlari’ menjemput malam. Saya<br />

membatin, “Duhai, indah nian rupamu diselubungi awan putih yang menggantung di<br />

perbukitan, lalu jatuh bersandar pada atap-atap menara hijau rumahmu.”<br />

40


Tanah nan keramat yang melahirkan anak-anak padang Savana itu mengartikan<br />

Poronombu sebagai Numbu Pakambora, Teko Papakola (tombak bersarung, pedang<br />

bercincin). Diberi arti demikian untuk melambangkan keperkasaan anak-anak yang<br />

dikandung dan dilahirkan dari rahimnya. Keperkasaan itulah yang paling ditakuti<br />

orang-orang Belanda dulu. Bahkan, ahli sejarah sekaliber Valentijn (1726) pernah<br />

menulis: Sumba itu sebuah pulau yang besar dan ‘woest’, yang berarti kosong, liar,<br />

ganas, atau tidak teratur. Keperkasaan yang diturunkan leluhur untuk berdiri tegak di<br />

tanah air sendiri.<br />

Valentijn, orang Belanda itu, mungkin saja salah menilai. Leluhur Sumba memang<br />

kuat berperang untuk harga diri dan kehormatannya. Dedikasi yang paripurna itu<br />

kemudian disalahtafsirkan juga oleh generasi yang keliru memaknai keperkasaan dan<br />

heroisme sebagai kejantanan. Lalu jatuh dalam praktik kekerasan, mental perusak<br />

alam, termasuk tanah air Poronombu.<br />

Padahal tanah air leluhur nan keramat itu setia sepanjang saat. Ia mengalirkan air<br />

rahmat bagi anak cucunya. Setiap musim penghujan tiba, ia mulai tampak lebih cantik<br />

dan seksi. Rahimnya sedang mengandung sejuta anak kesayangan, lalu melahirkan<br />

mereka dari rahimnya. Saat itu, bebijian pohon yang jatuh ke perutnya mulai tumbuh,<br />

air murni dari rahim keramatnya membual dari balik akar-akar pepohonan atau goa,<br />

lalu mengalir menuju lereng-lereng bukit. Pada lereng-lereng bukit itu anak cucunya<br />

menanti sambil mengayun pedang keperkasaan membelah perut bumi, menyebarkan<br />

benih baru di saat musim tanam.<br />

Batin saya tertegun, ketika berdiri di atas bukit, saat senja ‘berlari’ menjemput<br />

malam. Nyanyian alam dari tanah asal leluhur Poronombu kembali merdu terdengar.<br />

Nyanyian burung-burung langka, rengekan anak-anak monyet ditinggal induknya,<br />

lenguh sapi dan kerbau serta ringkik kuda sandle wood.<br />

Dari atas bukit-bukit hijau sang surya merayap pergi menemui peraduannya, lalu<br />

menggelapkan hari. Anak cucu Poronombu bergegas pulang dari ladang dan sawah<br />

mereka. Besok, mereka kembali lagi menyongsong hari indah, berselubungkan awan<br />

putih menggantung di perbukitan, lalu terbang menghinggapi atap-atap menara pada<br />

rumah anak cucu.<br />

Jika ingin hidup sehari, tanamlah jagung dan ubi. Jika mau hidup sebulan, tanamlah<br />

pisang. Namun, jika asamu setebal mimpi masa depan, saat lenganmu masih kekar<br />

perkasa, belahlah perut bumi. Berilah dia benih terbaik, maka dia akan mengandung<br />

masa depanmu dengan sejuta mahoni, jati lokal, gamelina, kedimbil, ulukataka, masela,<br />

dan linno (jenis kayu lokal Sumba). Air berkat Omba Lewu akan mengairinya, leluhur<br />

41


akan menjaganya hingga dewasa. Seumur hidup kita, tak akan ada penyesalan, sebab<br />

kita merawat rahim Sumba dari hutan Poronombu.<br />

Dedikasi yang sejati untuk Sumba, tidak diukur dengan kekuatan kata-kata. Merawat<br />

Poronombu, bagaikan merawat rahim Sumba, agar tetap subur melahirkan dan<br />

menghidupkan. Kekuatan kata-kata mengindahkan kebajikan. Jadi, biarkan keduanya<br />

memadu kasih untuk sebuah Sumba yang hijau permai.<br />

oOo<br />

Catatan: Karya ini saya dedikasikan untuk orang-orang hebat nan luar biasa: Sahabatsahabatku<br />

Agen Pembaru Desa (APDes) di Wano Kassa, Kareka Nduku, Bondo<br />

Tera, Tematana, Doka Kaka, dan Ubu Raya. Juga, untuk warga di desa-desa itu yang<br />

membanggakan hutan Poronombu. Semua anak yang terlahir dari rahim Sumba,<br />

dan orang-orang luar biasa yang peduli hutan serta mendedikasikan dirinya untuk<br />

martabat tanah Sumba.<br />

42<br />

Tanah nan keramat yang melahirkan anak-anak padang<br />

Savana mengartikan Poronombu sebagai Numbu<br />

Pakambora, Teko Papakola (tombak bersarung, pedang<br />

bercincin).


Menabur Asa<br />

di Tanah Sendiri<br />

Siprianus Dede Ngara<br />

Suatu senja di Wano Kassa, 20 Juli 2003. Seekor anjing melolong panjang dari balik<br />

batu kubur di atas bukit Puu Maroto. Seorang anak perempuan kecil berusia 5 tahun<br />

berlari-lari, dengan napas terengah. Sesekali ia meloncat di antara bebatuan. Semakin<br />

mendekati saya. Dialah anak saudari saya. Rupanya, dia tahu, Saya akan pulang hari itu<br />

dari Waingapu, Sumba Timur.<br />

Puu Maroto adalah salah satu kampung adat di desa saya. Letaknya tepat di balik<br />

bukit yang dihiasi deretan batu kubur. Pada sebelah bawah kampung itu, sebuah<br />

jalan setapak menerobos menembus ribuan pohon kopi. Itulah jalan menuju rumah<br />

saya. Sebelum sampai ke jalan setapak itu, saya berjalan menuruni jalan perkerasan.<br />

Kira-kira 200 meter panjangnya. Saya menancapkan kuda-kuda kaki di atas batu-batu<br />

lepas yang diserakkan banjir pada musim hujan. Jalan itu disebut orang-orang di desa<br />

saya sebagai jalan perjuangan.<br />

Ya. Jalan perjuangan. Sebutan itu tampaknya memiliki arti khusus dan kesan istimewa<br />

dalam hati orang-orang di desa saya. “Kami menyebutnya demikian, karena kami<br />

sendirilah yang berinisitif membuka dan mengerjakan jalan ini hingga selesai.”<br />

begitu kata Kepala Desa Wano Kassa, Anderias Bili. Dialah salah satu penggerak dan<br />

pendorong warga untuk mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, tanpa menunggu<br />

bantuan pemerintah. Dia sudah menjadi penggerak sejak jabatannya masih sebagai<br />

Kaur Umum yang mengurusi bidang administrasi dan keuangan desa.<br />

Saya tertegun melihat perubahan di desa saya. Sebab, sejak tahun 2000, saya masih<br />

seorang remaja belasan tahun yang menuntut ilmu di Waingapu. Tepatnya di Sekolah<br />

Menegah Umum (SMU) I Waingapu. Hati kecil saya berkata: Jika orang-orang di<br />

desa saya mampu melakukan hal luar biasa ini, saya akan melakukannya lagi bersama<br />

mereka.<br />

43


Pengalaman membanggakan itu mendorong saya untuk menabur asa di tanah sendiri.<br />

Saya akan memulainya dengan berkarya dari keluarga sendiri. Orang muda seperti<br />

saya, mempunyai kerinduan dan cita-cita setinggi langit. Saya merindukan, jalan<br />

pengerasan itu suatu saat diaspal. Lebih lagi, jalan raya yang menghubungkan desa<br />

saya dengan desa tetangga, Kareka Nduku. Jalan itu, masih “telanjang”. Belum diberi<br />

pengerasan, apalagi aspal.<br />

Selama 10 tahun lebih, orang-orang desa saya membuat usulan pengerasan dan<br />

pengaspalan jalan antardesa itu. Kami, warga di desa Wano Kassa, bukan orangorang<br />

pemberontak. Kami, tampaknya terbiasa dengan berjalan kaki. Tiada lelah kami<br />

berjalan, seraya memikul hasil-hasil komoditi dari kebun-kebun.<br />

Kami terus berjalan menuju “simpang tiga” (simpang antara Wano Kassa, Malata,<br />

dan Kareka Nduku). Pada “simpang tiga” itulah kami menunggu kendaraan umum<br />

atau truk yang melintas menuju Waikabubak. Kebiasaan ini berlangsung lama, dan<br />

terpatri di dalam hati, semangat dan hidup kami. Tiada cara lain, selain menikmatinya,<br />

sambil menabur asa di tanah sendiri: menggerakkan swadaya, mengorganisir diri<br />

untuk kerja-kerja sosial, lalu membanggakan kekuatan-kekuatan kami sendiri untuk<br />

menciptakan perubahan.<br />

Saya membangun motivasi pada diri sendiri, lalu membangun mimpi bersama orangorang<br />

di desa saya. Mimpi mereka adalah mimpi saya juga. Maka, kami akan berjalan<br />

bersama untuk meraihnya. Kami berdiskusi tentang jalan yang tak kunjung diaspal,<br />

tentang desa yang tidak memiliki penerangan listrik. Juga tentang kekayaan, potensi<br />

dan kekuatan-kekuatan desa: Kekayaan alam seperti kemiri, kopi, kelapa, sirih-pinang<br />

dan ubi-ubian.<br />

Karena potensi-potensi itu, warga Wano Kassa tak kekurangan pangan. Meskipun tak<br />

memiliki sawah, kami memanfaatkan lahan-lahan kering untuk bertani, dan menanam<br />

tanaman komoditi serta tanaman keras seperti mahoni, gamelina dan jati lokal di<br />

kaliho (pekarangan) masing-masing. Dari hasil bumi itulah kami hidup, terutama dari<br />

komoditi kemiri dan kopi.<br />

Hasil-hasil komoditi itu harus dipasarkan ke Waikabubak. Namun, kami menemukan<br />

hambatan, karena angkutan umum ke Wano Kassa sangat terbatas, bahkan tidak ada.<br />

Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbang Desa), tahun 2008,<br />

kami menjadikan program pengerasan dan pengaspalan jalan sebagai usulan prioritas<br />

utama.<br />

Namun, pekerjaan berikutnya adalah mengawal usulan dan memastikan usulan itu<br />

44


tidak ‘hilang’ di tengah jalan. Bagi saya, inilah pekerjaan paling sulit. Sebagai anggota<br />

Badan Permusyawaratan Desa (BPD), saya bersama pemerintah desa memiliki<br />

tanggung jawab dan kewajiban moril untuk mengawal dan memperjuangkannya ke<br />

level yang lebih tinggi (Musrenbang Kecamatan dan Musrenbang Kabupaten).<br />

Kami harus membangun komunikasi, lobi dan negosiasi dengan para pihak tersebut.<br />

Terutama, kami membangun jaringan dengan anggota legislatif (DPRD) yang berasal<br />

dari Daerah Pemilihan (Dapil) Tana Righu, seperti Agustinus Dapadeda Poety, Kristina<br />

L. Ndelo, Gregorius H. B. L. Pandango, Dominggus Umbu Raingu, dan Agustinus<br />

Lende. Merekalah yang akan memperjuangkan usulan warga Wano Kaza di tingkat<br />

kabupaten dalam sidang pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah<br />

(APBD). Jaringan ini kami manfaatkan secara optimal, hingga usulan ini diterima<br />

dalam Musrenbang Kabupaten.<br />

***<br />

Keterlibatan saya, dalam mendorong perubahan di desa serta membangun jaringan<br />

dengan para pihak (Pemerintah, DPRD, Aktivis Sosial, dan lain-lain) semakin<br />

memperkuat kepercayaan diri saya. Sejak itu, sebagai gur muda yang memiliki<br />

semangat untuk berubah, saya membuka diri untuk menerima penguatan kapasitas<br />

dari orang lain atau lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan.<br />

Momen yang saya rindukan itu pun tiba. Awal Februari 2010, Yayasan PAKTA<br />

(Pengembangan Aktivitas dan Kapasitas Terpadu) Sumba bersama <strong>ACCESS</strong><br />

(Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme)<br />

melakukan penilaian proposal rencana aksi di Desa Wano Kassa. Saya terlibat dalam<br />

penilaian tersebut dan menemukan banyak gagasan serta perspektif (cara pandang)<br />

baru tentang lingkungan.<br />

Pascapenilaian itu, PAKTA Sumba melakukan sosialisasi program di desa. Mereka juga<br />

mengindenti kasi dan merekrut aktor-aktor desa untuk mendukung pelaksanaaan<br />

rencana aksi Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat (PSDABM) di<br />

sekitar Kawasan Hutan Poronombu.<br />

Bagi saya, program ini sangat menarik, karena mampu membangkitkan kebanggaan<br />

warga desa terhadap kekuatan dan potensi yang dimiliki. Saya mengikuti sosialisasi<br />

program dengan saksama. Berusaha memahami maksud dan tujuan program<br />

tersebut. Kami sudah lama menginginkan program semacam itu.<br />

Ada sesuatu yang berbeda dari program ini. Sebelumnya, kami terbiasa<br />

45


mengidenti kasi masalah-masalah di desa. Kami jarang menceriterakan dan menggali<br />

kekuatan-kekuatan serta kisah-kisah sukses di antara kami. Ternyata, dengan<br />

membangun kebanggaan diri melalui kisah-kisah sukses dan penggalian kekuatan dan<br />

potensi diri dan desa, kami termotivasi untuk memandang hidup secara positif dan<br />

penuh antusias.<br />

Menyimak metode pendekatan itu, hati saya berkata, ”Hidup ini sudah susah, buat<br />

apa dibikin rumit? Setiap orang memiliki kekuatan dan kebanggaan diri.” Perspektif<br />

baru ini begitu menyihir pikiranku. “Benarkah demikian?” tanyaku membatin lagi. Jika<br />

ya, saya akan membuktikannya selama masa program berlangsung.<br />

Sebagai Agen Pembaru Desa (APDes), yang dipilih dalam pertemuan desa, saya<br />

meyakinkan diri bahwa mengambil bagian dalam kerja-kerja sosial adalah kesempatan<br />

emas untuk menggandakan rasa percaya diri, semangat dan motivasi. Hal-hal itulah<br />

yang saya butuhkan untuk menjadi orang muda yang memiliki ‘nilai’ di mata warga<br />

desa. Saya berketetapan hati untuk belajar lebih banyak melalui program PSDABM<br />

ini.<br />

Pelatihan-pelatihan penguatan kapasitas (pengetahuan dan ketrampilan) di antaranya<br />

Manajemen Bisnis Plan, Maret 2010, kerja sama <strong>ACCESS</strong> dan Gita Pertiwi, Solo, saya<br />

mendapatkan pengetahuan yang lebih memadai tentang dunia usaha dan bagaimana<br />

merencanakan dan mengelola sebuah usaha bisnis yang bertumpu pada potensi lokal.<br />

Berbekal pengetahuan itu, saya pun mulai memprakarsai pembentukan Kelompok<br />

Simpan Pinjam Perempuan (KSPP) dengan jumlah anggota 34 orang, Kelompok<br />

Anyaman Maju Bersama, 21 orang, dan Kelompok Tani (Poktan) sebanyak 41 orang.<br />

Kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok dampingan, kerja sama APDes<br />

dan Pemerintah Desa Wano Kassa.<br />

Pemerintah desa menyambut baik kerja sama ini, dan mengalokasikan dana bantuan<br />

untuk kelompok-kelompok tersebut. Alokasi anggaran penguatan kelompok usaha,<br />

khususnya KSPP dan Kelompok Anyaman Maju Bersama telah disetujui pemerintah<br />

desa untuk didanai oleh Alokasi Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran 2011.<br />

Sebelumnya, Kelompok Tani sudah menerima bantuan dana dan bibit jagung unggul<br />

dari Dinas Pertanian Sumba Barat.<br />

Peran saya sebagai APDes telah membawa dampak pada warga desa. Mereka mulai<br />

sadar dan memiliki komitmen untuk melestarikan sumberdaya alam di desanya.<br />

Komitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup menjadi penting bagi warga Wano<br />

Kassa, sebab secara geogra s, desa tersebut berbatasan langsung dengan kawasan<br />

46


hutan Poronombu.<br />

Perubahan lain yang terjadi dan membanggakan saya adalah semakin tingginya<br />

kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya, terutama anak-anak<br />

perempuan. Dulu, motivasi menyekolahkan anak masih sangat rendah. Orangorang<br />

tua di Wano Kassa lebih mengutamakan pesta adat daripada memperhatikan<br />

pendidikan anak. Untuk sebuah pesta adat, orang membutuhkan biaya sedikitnya Rp.<br />

25 juta. Kenyataan itu sebuah ironi, saat anak-anak membutuhkan biaya pendidikan,<br />

orang tua tidak sanggup memberikannya.<br />

Anak-anak muda (laki-laki dan perempuan) usia sekolah terpaksa meninggalkan<br />

desanya dan menjadi pekerja di daerah lain. Itulah bukti paling nyata dari ironi<br />

kehidupan masyarakat Wano Kassa. Budaya yang membenarkan perilaku boros<br />

melalui pesta-pesta adat (pembelisan, penguburan orang mati, dan acara syukuran<br />

keluarga) merupakan hambatan paling besar bagi saya untuk mendorong perubahan<br />

di desa. Orang-orang desa berdalih, pesta adat adalah bagian yang tak terpisahkan<br />

dari Budaya Sumba. Pesta adalah ajang pamer kekuasaan, penegasan status sosial, dan<br />

identitas diri sebagai orang Sumba.<br />

Sebagai anak Tanah Sumba, saya setuju bahwa upacara-upacara adat itu penting<br />

untuk menegaskan identitas saya sebagai orang Sumba. Namun, dalam banyak hal,<br />

saya memiliki komitmen untuk mengurangi pengeluaran pada setiap acara pesta<br />

adat. Saatnya bagi saya untuk memandang masa depan dengan sudut pandang yang<br />

berbeda. Sebab, tiada seorang pun yang mampu mengubah tradisi yang sudah<br />

berlangsung lama, kecuali oleh orang-orang yang menghidupi tradisi itu.<br />

47


48<br />

Tak Selamanya<br />

Diam Itu Emas<br />

Nona Rambu Podu<br />

Pada tanggal 1 Januari 2010, saya ditunjuk oleh Kepala Desa Anakalang dan<br />

masyarakat untuk menjadi Kepala Urusan (Kaur) Umum sekaligus menjadi<br />

Bendahara. Akan tetapi, pelantikan baru dilaksanakan pada 25 Maret 2011 lalu. Sejak<br />

ditunjuk dan dilantik, saya merasakan menerima tugas dan kepercayaan baru. Berat<br />

rasanya. Namun, bagi saya, kepercayaan ini bukanlah beban, melainkan kesempatan<br />

untuk berkarya bagi desa saya.<br />

Meskipun saya memiliki kontrak kerja di Yayasan PAKTA Sumba, saya menerima<br />

kepercayaan ini sebagai amanah banyak orang, terutama kaum perempuan di desa<br />

saya. Soalnya, sekian lama, perempuan sulit sekali memiliki kesempatan terlibat dalam<br />

pertemuan di desa, apalagi menjadi kader dan pemimpin.<br />

Saya memantapkan keputusan untuk menerima kepercayaan ini setelah mendapat<br />

dorongan dari Ibu Desa (istri kepala desa). Menurutnya, saya layak dan memenuhi<br />

kriteria sebagai seorang aparat pemerintahan desa. “Rabbu (panggilan halus untuk<br />

perempuan Sumba Suku Anakalang), sebaiknya Au terima saja, dan jangan ditolak,<br />

karena ini kesempatan yang paling indah buat kamu. Rabbu harus tahu, kenapa harus<br />

kamu yang ditunjuk, sementara masih banyak perempuan lain di desa ini. Au sudah<br />

punya pengalaman bekerja di LSM, tentu punya hal-hal baik dan menarik untuk<br />

bisa diterapkan desa kita,” kata Ibu Desa Pandaka Yewa, yang juga seorang pendeta<br />

emeritus.<br />

Dengan berbekal motivasi itu, saya menerima kepercayaan menjadi Kaur Umum,<br />

sekaligus menangani masalah keuangan desa. Modal saya, sedikit pengetahuan<br />

mengoperasikan komputer, memfasilitasi pertemuan, dan kapasitas-kapasitas lain<br />

yang saya peroleh selama saya menjadi aktivis sosial hingga saat ini.<br />

Motivasi paling mendasar bagi saya menerima tugas ini adalah kepedulian saya yang


mendalam terhadap warga desa, terutama perempuan dan orang miskin yang sering<br />

menjadi korban ketidakadilan sosial dan gender. Saya ingin terlibat dan menjadi<br />

bagian penting untuk memprakarsai dan mendorong perubahan perilaku dan pola<br />

pikir pada level pengambil kebijakan di pemerintahan desa.<br />

Kesediaan saya menjadi aparat pemerintahan desa adalah kesediaan seorang<br />

perempuan yang ingin menjadi garam di tengah struktur dan sistem pengelolaan<br />

pembangunan dan pemerintahan desa yang karut-marut akibat terkontaminasinya<br />

banyak kepentingan pribadi. Saya bertekad menciptakan perubahan dalam<br />

pemerintahan desa melalui tugas, peran dan fungsi saya sebagai Kaur Umum dan<br />

Bendahara Desa. Saya ingin memulainya dengan membangun dan membudayakan<br />

nilai dan prinsip transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Saya<br />

percaya, nilai dan prinsip yang diperjuangkan tersebut, akan menjadi nilai-nilai yang<br />

dipegang dan dihidupi banyak orang, khususnya di lingkup birokrasi desa dan menjadi<br />

budaya pemerintahan desa.<br />

Sebagai satu-satunya perempuan yang menjadi aparat Pemdes Anakalang, saya<br />

merasa tetap percaya diri menjalankan tugas. Tidak sulit bagi saya melakukannya,<br />

karena sebelumnya saya terlibat dalam proses pengambilan keputusan, terlibat dalam<br />

pembahasan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa). Banyak hal yang saya<br />

usulkan untuk kepentingan perempuan seperti pelatihan peningkatan kapasitas bagi<br />

kaum perempuan di desa diterima.<br />

Pengalaman itu menambah keyakinan saya, bahwa ketika sesorang memiliki kapasitas<br />

yang memadai, maka ia mampu melakukan advokasi, lobi dan negosiasi untuk<br />

menjamin dan memastikan usulan program pemberdayaan warga desa diterima dan<br />

dimasukkan dalam APB-Desa.<br />

Jika seorang perempuan memberi diri dan segenap hatinya untuk melayani banyak<br />

orang, ia akan memberikannya secara paripurna, karena ia tidak akan pernah merasa<br />

nyaman, saat semua orang yang berhak menerima pelayanan justru diabaikan. Ia akan<br />

terus bergerak dan berbicara lalu melakukannya. Sebab itu, tak selamanya: diam itu<br />

emas.<br />

49


50<br />

Melakukan Hal-hal<br />

Luar Biasa Tanpa Uang<br />

Kons de Gesi<br />

Warga Desa Kareka Nduku, Kecamatan Tana Righu, Sumba Barat, Nusa Tenggara<br />

Timur, nyaris lupa dengan Wee Witu. Sumber air di goa itu, nyaris dilupakan karena<br />

sudah lama tertimbun sampah. Orang-orang di Desa Kareka Nduku menganggapnya<br />

sebagai hal yang biasa saja. Bukan sesuatu yang mengganggu.<br />

Namun, bagi Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kareka Nduku yang<br />

bernama Obed Ngongo Bili, kondisi Wee Witu begitu mengganggunya. Sebagai<br />

pensiunan guru, ia adalah tokoh yang menginspirasi banyak orang dengan gagasan<br />

dan praktik hidup. Sosok ini amat kreatif dan inovatif serta mampu menggerakkan<br />

dan mendorong perubahan. Tentang Wee Witu itu, keinginannya Obed cuma satu:<br />

mengembalikan kondisi Wee Witu seperti sedia kala.<br />

Cita-citanya terjawab sejak ia aktif mengikuti proses penggalian aset desa hingga<br />

perumusan kesepakatan pelestarian alam di desanya, bersama Yayasan PAKTA<br />

(Pengembangan Aktivitas dan Kapasitas Terpadu) Sumba. Penggalian aset dan potensi<br />

desa tersebut, berhasil memetakan Wee Witu sebagai salah satu aset Desa Kareka<br />

Nduku yang perlu dilestarikan. Obed lantas mulai mendiskusikan fakta-fakta yang<br />

ditemukannya tentang Wee Witu kepada orang-orang lain di desanya.<br />

Hal tersebut dilakukan karena selalu muncul pertanyaan di kepalanya: Mengapa<br />

warga di desanya, tepatnya di dusun dimana ia berdomisili, warga cukup sulit<br />

mengakses air bersih? Obed kemudian teringat, sewaktu ia masih kecil, bersama<br />

teman-teman sepermainan, Obed pergi ke Wee Witu, mengambil air minum,<br />

dan mandi. Wee Witu waktu itu masih bersih. Dulu, meminum air langsung dari<br />

sumbernya begitu terasa sejuk dan menyegarkan. Tidak ada rasa risih atau takut<br />

terserang penyakit karena mengonsumsi air mentah.<br />

“Sebelum penggalian kembali, tak seorang pun pergi ke Wee Witu. Air, yang dulu


membual dari perut bumi dan memberi kami kehidupan, tak lagi terlihat. Wee Witu<br />

membuatku selalu berpikir. Semakin memikirkannya, Saya semakin terganggu,“ tutur<br />

bapak empat orang anak ini dalam pertemuan warga desa yang membahas draf<br />

Kesepakatan Pelestariaan Alam Desa (KPAD), 7 November 2010, di Kantor Desa<br />

Kareka Nduku.<br />

Pleno pembahansan draf KPAD yang menyepakati penggalian kembali Wee<br />

Witu semakin menguatkan harapan sosok pekerja keras ini. Ia pun secara intens<br />

mengidenti kasi kemungkinan yang bisa mereka lakukan. Dirinya tak kuasa berkelit<br />

atau memalingkan wajah dari Wee Witu. Sumber air yang hanya berjarak 50 meter<br />

dari pemukiman warga Dusun I Kareka Nduku itu. Sumber air itu bagaikan magnet<br />

yang selalu menarik perhatian dan pikirannya.<br />

Semakin memikirkan Wee Witu, semakin Obed terganggu. Pergulatan batin dan<br />

kesadaran kritis itu membuat ia mencoba menginisiasi berbagai pertemuan dan<br />

diskusi dengan warga dan bersepakat untuk menggali dan membersihkan kembali<br />

Wee Witu yang sudah tertimbun sampah.<br />

Mereka mulai merancang dan merencanakan kegiatan mencakup bagaimana dan<br />

dari mana memulainya, cara yang digunakan, siapa saja yang terlibat, biaya, serta<br />

bahan/alat yang digunakan. Mereka juga membagi peran untuk memastikan semakin<br />

banyak orang terlibat dalam penggalian Wee Witu. Warga pun bersimpati dan<br />

mengumpulkan apa yang mereka miliki, seperti ubi, pisang, beras, ikan kering, kopi,<br />

teh, gula pasir, serta sirih-pinang.<br />

Sosok inovatif ini menemukan hal-hal luar biasa pada diri warga di dusun dan<br />

desanya. Banyak orang menunjukkan simpati dan secara sukarela menswadayakan<br />

alat-alat pribadi seperti pacul, sekop, linggis, bahan makanan, tenaga, dan waktunya<br />

untuk kepentingan memperbaiki kondisi Wee Witu.<br />

Sementara itu, ibu-ibu rumah tangga, juga gadis-gadis kampung bahu-membahu<br />

menyiapkan makanan dan minuman untuk “para penggali mata air” yang sekian lama<br />

mata air itu dipenuhi oleh onggokan sampah. Mereka menanak nasi, merebus buah,<br />

pisang ubi, meracik bumbu, menggoreng sayur, lalu meracik bumbu dan membuat<br />

sambal. Fakta itu membuat lelaki peramah ini bangga. Semangat menyumbang untuk<br />

kepentingan umum, spirit gotong-royong yang mulai memudar, dihidupkan kembali.<br />

Ia berkata, “Seperti inilah yang seharusnya terjadi di dusun dan desaku.” Nilai-nilai<br />

sosial itu adalah warisan leluhur Sumba, yang dipraktikkan dan dihidupi selama<br />

berabad-abad.<br />

51


Banyak hal dipelajarinya dari proses ini. Ternyata, pendekatan berbasis kekuatan yang<br />

mengapresiasi dan mengakui potensi setiap orang, membuat segalanya lebih mudah.<br />

Ia dan orang-orang desanya, mungkin hanya butuh pengakuan dan penghargaan.<br />

Uang, meskipun penting, namun bukanlah faktor utama untuk mendorong warga<br />

dusun dan desa terlibat dalam kerja-kerja sosial.<br />

Obed teringat masa kecil, saat ia menyaksikan orang-orang kampung bergotongroyong<br />

membersihkan kebun atau membangun rumah tanpa meminta bayaran.<br />

Orang-orang desa zaman dulu amat menikmati dan membanggakan nilai-nilai hidup<br />

ini. Mereka tidak pernah berhenti mempraktikkannya ketika uang mulai dikenal<br />

sebagai alat pembayaran yang mampu mengubah pandangan, orientasi dan pola hidup.<br />

Pendekatan Strenght Bassed Approach (SBA) atau biasa disebut Pendekatan<br />

Berbasis Kekuatan sebagai teori, baginya merupakan hasil sebuah studi pengalaman<br />

menggerakkan warga untuk terlibat dalam pembangunan. Wargalah yang memiliki<br />

kedaulatan terhadap sumber daya yang mereka miliki. Ia meyakini bahwa dirinya<br />

hanyalah alat untuk memastikan kedaulatan warga itu dipergunakan secara baik dan<br />

tepat.<br />

Interaksi dan pola pendekatan yang dilakukan inisiator penggalian dan pembersihan<br />

kembali Wee Witu ini berhasil menemukan orientasi baru dari praktik pendekatan<br />

SBA ini. Ternyata, tanpa uang, ia dan warga desa mampu mengerjakan sesuatu yang<br />

luar biasa. Bukan pilihan yang tepat memandang masalah dengan pendekatan masalah.<br />

Pilihan terbaik adalah dengan pendekatan berbasis kekuatan.<br />

Obed Ngongo Bili menyadari bahwa masalah Wee Witu tidak mungkin diselesaikan<br />

tanpa membangun kebanggaan warga sebagai pemilik sejati sumber air tersebut.<br />

Pendekatan itu mampu mengubah orientasi warga. Mereka mulai melihat dan<br />

mengidenti kasi kekuatan dan potensi yang mereka miliki. Kekuatan dan potensi<br />

itulah yang akan mereka manfaatkan untuk penggalian kembali Wee Witu.<br />

“Kami tidak pernah menyesal memberikan apa yang kami miliki, asalkan Wee Witu<br />

kembali seperti sedia kala. Kami bangga melakukannya, karena kami membutuhkan<br />

air bersih,” ujar Yuliana Ngongo, salah seorang APDes perempuan dari Desa Kareka<br />

Nduku, pada saat evaluasi kemajuan mitra <strong>ACCESS</strong> Tahap II di Kantor Yayasan<br />

PAKTA Sumba 7 April 2011.<br />

Bersandar pada orientasi baru itu, dia dan warga desa mengubah masalah menjadi<br />

kekuatan. Ia dan warga dusun mampu mengatasi masalah dengan sudut pandang<br />

dan pendekatan berbasis kekuatan. Fakta ini menyadarkan Sang Inisiator penggalian<br />

52


kembali Wee Witu, juga warga dusun dan desa, bahwa setiap orang memiliki potensi<br />

dan kekuatan untuk membuat loncatan dan menciptakan perubahan.<br />

Warga desa menemukan orientasi baru dan kesadaran kritis yang sama, yakni akses<br />

air bersih yang sejatinya menjadi bagian dari pelayanan publik. Warga desa berhak<br />

mendapat pelayanan publik yang memadai dari pemerintah sesuai amanat Undang-<br />

Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.<br />

Namun, mengharapkan bantuan pemerintah, sama saja dengan menunda pemenuhan<br />

kebutuhan dasar warga berupa akses terhadap air bersih. Sebab, meskipun bantuan<br />

pemerintah itu ada, masih harus melewati tahapan perencanaan yang rumit. Itu<br />

berarti, mereka mesti menunggu satu atau dua tahun lagi untuk menggali kembali<br />

sumber air Wee Witu.<br />

Pertimbangan-pertimbangan praktis dan strategis itu memotivasi warga dusun I<br />

di Desa Kareka Nduku, untuk mendiskusikan isu itu secara lebih intens. Hasilnya,<br />

mereka sepakat untuk melakukan aksi bersama reeksplorasi Wee Witu. Warga dusun<br />

pun bergerak. Laki-laki dan perempuan.<br />

Penggalian sumber air Wee Witu segera mereka lakukan secara manual dengan<br />

mengoptimalkan sumber daya yang ada di desa. Mereka mengerjakan itu selama<br />

tiga hari pada pertengahan Januari 2011. Warga pun yakin, pascapenggalian dan<br />

pembersihan itu, Wee Witu pasti semakin jernih, dan layak dikonsumsi oleh warga.<br />

***<br />

Pascapenggalian itu, Obed Ngongo Bili mengamati perubahan kondisi Wee Witu.<br />

Ia tidak lagi asing, atau menjadi tempat yang menakutkan. Ia telah diubah menjadi<br />

tempat yang memberi inspirasi untuk melakukan inovasi pengelolaan sumber daya<br />

alam berbasis kekuatan dan potensi lokal serta berkelanjutan.<br />

Inovasi itu segera ia lakukan. Wee Witu, yang kini menjadi harapan 152 warga (75<br />

laki-laki dan 77 perempuan), juga harus dimanfaatkan untuk pengembagan budidaya<br />

tanaman hortikultura (ubi-ubian, kacang-kacangan, buncis, jahe, lombok, tomat, dan<br />

sayur-sayuran). Gagasan kreatif dan inovatif itu didiskusikan bersama para ibu di<br />

dusunnya. Sebagai orang yang lahir, tumbuh dan tinggal di desa, ia mengajak ibu-ibu<br />

untuk memahami dengan baik topogra dan karakter tanah di desanya. Baginya,<br />

topogra , karakter dan struktur tanah sangat menentukan berhasil tidaknya usaha<br />

budidaya tanaman hortikultura.<br />

53


Ibu-ibu mulai mengorganisir diri (berkumpul, berdiskusi, dan membuat rencana aksi).<br />

Mereka berhasil menginisiasi pembentukan kelompok dengan jumlah anggota 25<br />

orang. Mereka sepakat membentuk kelompok budidaya jahe, tomat, lombok, terung,<br />

kacang panjang, dan buncis. Budidaya tanaman hortikultura inilah yang menjadi cikal<br />

bakal pembentukan Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (KSPP). Namun, sebagai<br />

kelompok baru, mereka belum memiliki dana untuk mendukung pencapaian tujuan.<br />

Mengamati pergulatan anggota kelompok, Obed Ngongo Bili segera menemukan<br />

gagasan untuk memanfaatkan kapasitas lain yang dimilikinya, yakni kemampuan<br />

melakukan lobi dan negosiasi. Sebagai pensiunan guru, ia memiliki banyak relasi,<br />

terutama dengan para pengambil keputusan di tingkat kecamatan dan kabupaten.<br />

Dirinya yakin, relasi yang baik dengan para pihak, khususnya pengambil keputusan<br />

menjadi modal untuk melakukan lobi, komunikasi dan negosiasi.<br />

Mula-mula, ia meyakinkan dan memotivasi anggota kelompok agar mulai melakukan<br />

aksi konkret. “Kalau mau maju, buatlah sesuatu tanpa uang. Kita punya lahan, punya<br />

tenaga, punya kekayaan dan kekuatan sosial, yakni bekerja gotong-royong. Kita harus<br />

melakukan sesuatu yang baik, maka kita akan mendapatkan dukungan. Kalaupun kita<br />

gagal, kegagalan itu tak boleh menghentikan semangat kita. Kegagalan sebenarnya<br />

adalah kesuksesan kita menemukan metode baru untuk mencapai tujuan bersama,”<br />

imbaunya kepada anggota kelompok.<br />

Motivasi itu mampu membangkitkan semangat anggota kelompok. Mereka mulai<br />

mengorganisir diri, merencanakan jadwal kegiatan, membagi peran, dan memetakan<br />

lokasi potensial pengembangan jahe/halia, dan sayur-sayuran). Sebagai bentuk<br />

dukungannya, Obed Ngongo Bili mendedikasikan tanah miliknya seluas 25 hektare<br />

di sekitar Wee Witu kepada kelompok budidaya jahe/halia dan tanaman hortikultura<br />

lainnya.<br />

Namun, untuk menanami lahan seluas itu, kelompok belum memiliki modal<br />

awal. Karena itu, ia melakukan komunikasi dan lobi dengan Dinas Pertanian dan<br />

Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sumba Barat. Secara intens ia melakukan<br />

itu, dan mengawal serta memastikaan hasilnya. Kedua instansi tersebut akhirnya<br />

mendistribusikan bantuan bibit halia sebanyak 1250 kilogram atau 50 kilogram/<br />

kepala keluarga.<br />

Kini, kedua kelompok kreatif dan inovatif tersebut terus melakukan pengembangan<br />

usaha. Banyak orang melihat keberhasilan itu, dan ingin belajar, bahkan melakukan<br />

hal-hal yang berbeda untuk mendorong perubahan. Obed Ngongo Bili, cumalah<br />

contoh salah seorang aktor dari sekian banyak agen pembaru desa yang kreatif dan<br />

54


inovatif. Dirinya mampu menembus cara pandang: Menyerah pada keadaan. Ia mampu<br />

mengubah masalah menjadi kekuatan dan mejadikan pengalaman berinteraksi dengan<br />

orang lain sebagai sebuah ‘tenunan’ yang dikerjakan sedikit demi sedikit sehingga<br />

menghasilkan selembar kerja yang nyata.<br />

Kalau mau maju, buatlah sesuatu tanpa<br />

uang. Kita punya lahan, punya tenaga,<br />

punya kekayaan dan kekuatan sosial,<br />

yakni bekerja gotong-royong.<br />

55


56<br />

Setitik Air Segar<br />

di Tengah Padang Savana<br />

Erna Umbu Warata<br />

Hati saya berbunga-bunga, karena rasa kagumku pada Sumba. Ketika itu, pertengahan<br />

Desember 1998. Pertama kalinya saya tiba di Desa Tanarara, Sumba Barat, Nusa<br />

Tenggara Timur (NTT). Saya kagum dengan keindahan alam, dan topogra Tanarara<br />

yang subur. Pohon kemiri, kelapa, kopi, alpukat, kedondong, jeruk, coklat yang<br />

lebat buahnya. Sawah membentang dihiasi hijau kemuning padi. Ladang-ladang<br />

berselimutkan jagung, ubi dan pisang.<br />

Orang-orang Tanarara hanya mengenal padi sebagai bahan makanan utama. Bahan<br />

makanan lokal seperti ubi-ubian, yang dalam bahasa daerah Waibangga (Loli) dikenal<br />

dengan nama luwa yawu (ubi kayu), uli kiro (keladi bentul), uli (keladi), roppu (ubi<br />

jalar), uli bulla (talas) juga dibudidayakan oleh warga. Sepintas mengamati Tanarara,<br />

saya bergumam, “Ini benar-benar surganya makanan lokal.”<br />

Sayang, bahan-bahan makanan lokal itu belum sepenuhnya ‘dijamah’ oleh tangantangan<br />

trampil. Jenis umbi-umbian itu dapat diolah menjadi menu lokal yang lebih<br />

menarik dan bergizi. Saya membayangkan, jika semua ini bisa dilakukan, masyarakat<br />

desa mungkin tak pernah mengeluh kekurangan makan.<br />

Masyarakat desa, umumnya hanya mengonsumsi beras sebagai makanan utama.<br />

Ubi hanyalah makanan tambahan. Itupun jarang dimanfaatkan. Mereka hanya<br />

mengonsumsinya kala lumbung-lumbung padi sawah mulai menipis. Jika tidak, maka<br />

ubi-ubian menjadi makanan paling empuk bagi ternak-ternak mereka, seperti babi,<br />

kambing, kuda, dan sapi.<br />

Padahal, selain merupakan makanan tambahan, makanan lokal jenis ubi-ubian juga<br />

dapat diolah menjadi menu yang menarik dan bergizi sehingga tidak sekadar menjadi<br />

konsumsi tambahan, tetapi juga bisa dijual untuk menambah pendapatan keluarga.<br />

Saya prihatin dan bertanya, mengapa warga desa belum melihatnya sebagai peluang


untuk menggagas kemandirian pangan lokal?<br />

Meskipun warga Desa Tanarara memiliki lahan pertanian (lahan basah dan lahan<br />

kering) yang cukup luas, namun belum dimanfaatkan dengan baik. Banyak lahan,<br />

khususnya lahan kering dibiarkan terlantar. Orang-orang lebih fokus bertani di lahan<br />

basah (sawah). Ada juga yang memilih menggadaikan sawahnya untuk beberapa ekor<br />

kerbau atau kuda yang hendak dibawa dalam ritual adat, misalnya pembelisan dan<br />

penguburan orang mati. Atas nama adat dan budaya atau identitas dan martabat,<br />

perilaku itu dibiarkan terjadi. Tidak wajar memalingkan wajah darinya. Itu namanya<br />

penyangkalan budaya.<br />

Saya bertanya-tanya, adakah yang salah dengan perilaku itu? Mengapa lahan-lahan<br />

dibiarkan terlantar? Jika saja lahan-lahan itu diolah, alangkah kayanya kita. Kita,<br />

mungkin tak akan pernah mengeluh kekurangan pangan. Memikirkan fakta ini, Saya<br />

jadi khawatir.<br />

Namun, rasa khawatirku sirna seketika. Gadis-gadis desa yang lugu, ibu-ibu rumah<br />

Sukses kecil secara bertahap bagai setitik air<br />

segar di padang <strong>savana</strong> Sumba sebagai pemuas<br />

dahaga, harus terus dilanjutkan untuk menciptakan<br />

perubahan-perubahan baru.<br />

57


tangga yang ramah pada suaminya, memberi inspirasi baru bagiku. Hatiku berkata,<br />

“Inilah saatku untuk menganyam lembaran kehidupan di desa bersama mereka.”<br />

Saya ingin berjalan bersama-sama, saling memberi pengaruh dan energi positif untuk<br />

berubah. Satu hal yang kuimpikan hanyalah ini: Agar perempuan desa menjadi orangorang<br />

yang berbeda dari sebelumnya. Mereka menjadi orang-orang yang dibanggakan<br />

keluarga dan masyarakat, karena berhasil membuat dapur mereka sebagai rumah<br />

belajar untuk membahagiakan keluarga.<br />

Saya mengalami apa yang kemudian saya sebut sebagai ‘revolusi pikiran’ dan<br />

memandang secara berbeda pengalaman yang saya jumpai. Cara pandang saya<br />

tentang kehidupan di desa berubah. Desa tak identik dengan kekolotan atau<br />

tradisional. Orang-orang desa adalah orang-orang bebas yang berjalan menuju<br />

tujuannya dengan cara mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang hebat yang bisa<br />

diajak bekerja sama.<br />

Revolusi pikiran yang saya alami mendapat momentumnya dalam gerakan reformasi<br />

1998. Kekuatan besar yang dibangun bersama mampu meruntuhkan rezim totaliter<br />

(kekuasaan penuh berada pada satu tangan) Soeharto. Momentum itulah yang<br />

memantik keberanianku untuk terlibat dan mendorong orang lain, khususnya<br />

perempuan dan orang miskin dalam berbagai kegiatan di desa.<br />

Sejak tahun 1999, saya menjadi aktivis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan<br />

(PDI-P), sebagai pengurus tingkat Kecamatan Loli. Saya yakin, bahwa organisasi<br />

politik merupakan salah satu media/wadah untuk menciptakan perubahan. Saya<br />

mendorong perempuan dan orang miskin agar berani berpolitik. Sebab, bagi saya,<br />

berpolitik berarti membela dan memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan<br />

banyak orang. Kesejahteraan dan keadilan hanya mungkin terwujud, jika desa mulai<br />

berdaya. Kota-kota akan hidup jika desa-desa juga hidup dan berdaya.<br />

Perubahan-perubahan membanggakan terus terjadi. Saya mulai mendapatkan<br />

penguatan kapasitas dan bermitra dengan lembaga sosial masyarakat (LSM). Ketika<br />

itu (2003), masuklah program PIDRA fase I di Tanarara. Program ini berkonsentrasi<br />

pada pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui kelompok simpan pinjam,<br />

Konservasi Tanah dan Air (KTnA): Membuat terasering dengaan metode bingkai A<br />

(metode yang menggunakan tiang segitiga yang digantungkan batu untuk mengetahui<br />

titik kontur, yakni mendapatkan posisi yang pas tentang rata atau tidaknya tanah);<br />

Menanam tanaman teras dan umur panjang. Melalui Kelompok Simpan Pinjam (KSP)<br />

itu, saya menyediakan fasilitas/alat-alat pertanian seperti pacul, sabit, handsprayer<br />

(tangki semprot) yang diberikan secara kredit kepada para petani.<br />

58


Namun, saya mengalami kegagalan untuk mendorong perubahan perilaku dan cara<br />

pandang para petani di Desa Tanarara. Mereka hanya mau jika alat-alat pertanian<br />

itu diberikan secara cuma-cuma. Mereka sudah terbiasa dengan bantuan-bantuan<br />

yang bersifat sementara, bahkan begitu tergantung padanya. Kreativitas mereka<br />

nyaris mati, karena ketergantungan mereka terhadap bantuan atau <strong>sumba</strong>ngan dari<br />

pemerintah atau lembaga-lembaga lain masih sangat tinggi.<br />

Kegagalan ini membuat saya terhenyak. Saya merenungkan kegagalan ini. Saya<br />

bertanya, mengapa saya gagal? Proses perenungan itu membawa saya menemukan<br />

orientasi baru, gagasan-gagasan baru yang lebih kreatif dan inovatif. Saya mengubah<br />

cara pendekatan, yakni memulainya dari kaum saya sendiri, perempuan-perempuan<br />

desa. Perasaan senasib, mungkin bisa menjadi jembatan untuk menggagas tujuan<br />

bersama.<br />

Saya memfasilitasi mereka bibit-bibit sayur, agar mereka bisa menanam dan<br />

mengembangkannya di lahan sendiri. Mereka menyambutnya dengaan antusias<br />

dan mulai melakukannya, sebab usaha ini tidak membutuhkasn waktu lama. Hanya<br />

dalam waktu singkat budidaya sayur-sayuran bisa dipanen. Hasilnya dimanfaatkan<br />

untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga atau dijual untuk menambah pendapatan<br />

keluarga.<br />

***<br />

Orientasi baru dalam proses berinteraksi dengan orang-orang di desa, laki-laki<br />

dan perempuan membawa saya pada pemahaman baru: Tidak ada kegagalan yang<br />

tidak memicu perubahan. Kegagalan adalah kesuksesan saya menemukan cara dan<br />

kreasi baru untuk berinovasi. Saya pun mulai membangun jaringan dengan pihak lain,<br />

khususnya dengan Dinas Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan Sumba Barat.<br />

Meskipun proses membangun jaringan membutuhkan waktu dan biaya, Saya bahagia<br />

melakukannya. Lobi dan negosiasi itu akhirnya berhasil. Buktinya, Desa Tanarara<br />

mendapat bantuan benih sayur, padi, jagung obat-obatan (pestisida) dan pupuk<br />

nonorganik (Urea, TSP,dan KCL).<br />

Selain itu, masuknya program PIDRA fase I (2003), kerja sama dengan Yayasan<br />

Wahana semakin menguatkan kapasitas (pengetahuan dan ketrampilan) saya.<br />

Intervensi program PIDRA yang menitikberatkan penguatan kapasitas di tingkat<br />

warga desa, banyak menyumbang terjadinya perubahan pada diri saya dan warga<br />

desa.<br />

59


Saya memprakarsai pembentukan kelompok, baik kelompok laki-laki, kelompok<br />

perempuan maupun kelompok campuran. Program ini fokus pada konservasi tanah<br />

dan air, seperti membuat terasering dengan metode bingkai A, serta perlindungan<br />

dan pelestarian mata air.<br />

Untuk mengimplementasikan program secara menyeluruh, kami membentuk 10<br />

kelompok pendampingan yang terdiri dari delapan (8) kelompok campuran (laki-lakiperempuan),<br />

satu (1) kelompok perempuan dan satu (1) kelompok laki-laki). Masingmasing<br />

kelompok beranggotakan 20-25 orang.<br />

Kapasitas saya memotivasi dan mengorganisir warga, membawa saya menerima<br />

peran baru sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tanarara. Saya<br />

menerima peran baru itu sejak 2004 hingga 2009 dan kembali dipercaya sebagai<br />

wakil ketua, periode 2010-2016. Sebelumnya, saya juga menjabat sebagai Ketua<br />

Lembaga Pembangunan Desa (LPD). Komitmen saya untuk mengabdi desa, mulai<br />

dihargai banyak orang, terutama oleh aparat pemerintahan desa.<br />

Sebagai ketua LPD, Saya sering terlibat dalam pendampingan dan penyuluhan<br />

kelompok, pelatihan pengelolaan administrasi kelompok simpan pinjam, dan<br />

memfasilitasi kelompok arisan ternak babi, itik, dan ayam. Saya juga rutin melakukan<br />

penguatan kapasitas terhadap ibu-ibu di desa melalui wadah PKK (Pemberdayaan<br />

Kesejahteraan Keluarga) desa. Saya memberikan pelatihan mengolah makanan lokal<br />

kepada mereka, agar mampu mengolah dan menciptakan menu makanan lokal<br />

nonberas yang bergizi.<br />

Kampanye untuk mengonsumsi makanan lokal mendapat mementumnya, ketika<br />

saya ditunjuk menjadi anggota tim penilai lomba desa dan kelurahan se-Kecamatan<br />

Loli, pada tahun 2008. Materi lomba meliputi Administrasi pemerintahan desa: Pro l<br />

desa, Struktur Kepemerintahan, dan inventaris potensi atau aset desa. Desa yang<br />

menang dalam lomba itu akan mewakili kecamatan dalam lomba yang sama di tingkat<br />

kabupaten.<br />

Lomba itu amat mengesankan. Saya bangga, ketika pada 2008, Desa Dedekadu<br />

memenangi lomba tingkat Kecamatan Loli dan mewakili kecamatan dalam lomba<br />

tingkat kabupaten. Bahkan prestasi itu terus diukir pada tahun yang sama, dengan<br />

memenangkan lomba di tingkat kabupaten dan Provinsi. Rasa bangga saya nyaris tak<br />

terkatakan, sebab saya adalah bagian dari perjalanan sukses itu. Saya mengumpulkan,<br />

memberikan pemahaman, dan mempraktikkan cara mengolah makanan lokal<br />

nonberas secara lebih variatif, menarik dan bergizi.<br />

60


Setahun berikutnya, Desa Baliledo, Kecamatan Loli meraih prestasi yang sama. Desa<br />

itu meraih juara pertama tingkat Kabupaten Sumba Barat dan Provinsi NTT. Untuk<br />

hasil kerja luar biasa dan prestasi itu, ibu Gubernur NTT, menyatakan apresiasinya<br />

dengan mengunjungi dan memberikan bantuan modal kepada Tim Pengerak PKK<br />

Desa Baliledo. Sumbangan itu, ia dedikasikan untuk ibu-ibu desa yang pantang<br />

menyerah mempromosikan dan menggalakan kembali kebiasaan mengonsumsi<br />

makanan lokal nonberas.<br />

Sukses mempromosikan makanan lokal nonberas dalam ajang lomba, memberi<br />

dampak pada pola konsumsi warga, bahkan pada perubahan kebijakan pemerintah<br />

Kecamatan Loli. Camat Loli, Ibu R.P. Awang, dalam setiap kesempatan mengimbau<br />

warga agar menjadikan makanan lokal nonberas sebagai menu wajib setiap Kamis<br />

dan Jumat. Camat yang apresiatif itu, bahkan memberi porsi istimewa terhadap isu<br />

ini dengan menyediakan dana bantuan kepada kelompok-kelompok PKK di wilayah<br />

Kecamatan Loli.<br />

Perubahan-perubahan itu juga dirasakan oleh laki-laki di desa. Mereka mulai<br />

mendukung dan membantu mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh<br />

perempuan. Mereka menanam sayur, menyiram, memanen dan memasarkannya.<br />

Mereka juga mulai rajin mengembangkan tanaman ubi-ubian dan pisang untuk<br />

mendukung dan mempromosikan makanan lokal.<br />

Berubah itu sulit, tapi menyenangkan. Ada banyak tantangan dan kegagalan yang<br />

mengiringinya. Jalan itu masih harus dilanjutkan untuk menciptakan perubahanperubahan<br />

baru. Kisah ini, bagaikan setitik air segar yang memuaskan dahaga<br />

penulis yang lelah berjalan melintasi luasnya padang <strong>savana</strong> Sumba. Suatu ketika, ada<br />

kerinduan untuk mengaso (beristirahat), namun mata batinku tak kuasa membiarkan<br />

perubahan itu berhenti. Sebab, hanya orang yang hidup dan memiliki antusiasme,<br />

yang mampu mendedikasikan diri untuk perubahan.<br />

61


62<br />

Ternyata<br />

Saya Bisa<br />

Daniel Tuga Walu Waja<br />

Program <strong>ACCESS</strong> Phase II merupakan babak baru bagi saya. Babak baru, karena<br />

selain terlibat sebagai anggota tim pelaksana, saya memotivasi diri agar tidak boleh<br />

menyerah dan berhenti belajar. Bagi saya, babak baru itu tidak hanya disediakan,<br />

tetapi harus diciptakan. Maka, secara diam-diam saya menetapkan kemajuankemajuan<br />

konkret yang harus saya capai selama program berjalan.<br />

Memulai sesuatu selalu tidak mudah. Saya merasakan hal itu demikian menghantui<br />

pikiran saya. “Bagaimana kalau teman-teman fasilitator pendamping berhasil<br />

memfasilitasi kegiatan di desa, memahami konsep dan substansi program, sementara<br />

saya tidak? Adakah saya memiliki sesuatu yang patut dibanggakan atau minimal<br />

membuat saya bisa tersenyum karena perubahan yang sedang terjadi pada diri saya<br />

sendiri? Demikianlah pergulatan batin saya saban hari, saban malam.<br />

Saya terus berusaha memotivasi diri, “Jika kelak yayasan ini tidak lagi menggunakan<br />

jasa saya sebagai fasilitator, setidaknya saya memiliki kemampuan/kapasitas tertentu<br />

sehingga bisa mengabdi untuk desa saya.”<br />

Motivasi itu terus mengganggu saya, membuat saya tidak tenang dan selalu ingin<br />

belajar, belajar dan belajar! Belajar dari mana saja, belajar tentang apa saja, dan<br />

belajar dari siapa saja. Semua hal saya anggap sebagai ‘guru’. Saya sangat menghargai<br />

setiap aktivitas apapun yang saya lakukan, karena dari sana, saya akan mendapatkan<br />

pengalaman. Bahkan saya tidak takut untuk gagal. Bagi saya, kegagalan hanya akan<br />

memberikan saya pengetahuan dan pengalaman. Tidak ada keberhasilan tanpa<br />

melewati tahap kegagalan.<br />

Juli 2010, menjadi titik awal bagi saya mengenal perangkat media kreatif untuk<br />

kepentingan pembelajaran program, pengorganisasian dan advokasi. Saya mendapat<br />

kesempatan untuk mengikuti pelatihan media yang difasilitasi oleh mitra strategis


<strong>ACCESS</strong> yaitu Kawanusa.<br />

Saya benar-benar mendapat kesempatan langka. Kesempatan ini istimewa karena<br />

saya mulai masuk dalam sebuah program penguatan kapasitas mitra <strong>ACCESS</strong> yang<br />

tidak saya duga sebelumnya. Bersama Yohana, Saya terus belajar, terus menguatkan<br />

hati di tengah cibiran dan suara <strong>sumba</strong>ng rekan-rekan sepelatihan.<br />

Proses panjang dan cukup melelahkan itu, akhirnya sampai ke muaranya. Yohana dan<br />

saya memulai proses pengambilan gambar, merekam suara dan gambar, mengedit<br />

foto, lm dan suara. Kerja berat itu kami selesaikan dalam waktu lima hari. Benarbenar<br />

gila! Semua itu bisa terjadi karena fasilitator dari Kawanusa begitu ketat<br />

dan disiplin dalam memfasilitasi dan memberikan kesempatan yang luas buat para<br />

peserta untuk mempraktikkan teori. Tanpa praktik yang nyata, teori hanyalah<br />

segumpal busa yang gampang meletus begitu saja.<br />

Kemudian dari hasil kerja keras tersebut, jadilah sebuah lm cerita sukses berdurasi<br />

delapan menit yang diproduksi untuk kepentingan sharing pembelajaran media,<br />

advokasi dan pengorganisasian masyarakat. Film ceritera sukses itu kami angkat dari<br />

kisah seorang pensiunan guru yang sukses sebagai petani kemiri. Kemiri itu baginya<br />

adalah emas hijau. Darinya, sang pemeran utama (Bapak Hendrik Tenabolo) berhasil<br />

menopang ekonomi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana.<br />

Saya seolah sedang bermimpi. Mimpi yang begitu saja membawa saya ke sebuah<br />

dunia baru tanpa kelengkapan kapasitas yang memadai. Tetapi mimpi itu benarbenar<br />

nyata. Dengan modal pengalaman dilatih oleh fasilitator dari Kawanusa, saya<br />

makin meyakini bahwa saya bisa bergerak lebih maju lagi. Ternyata, kalau saya diberi<br />

kesempaan, diberi ruang, didampingi oleh pendamping pelatihan yang mumpuni, saya<br />

bisa menyerap apa yang diajarkan walaupun tentu saja tidak semuanya. Kini, saya<br />

telah menjadi Daniel yang berbeda dari sebelumnya.<br />

63


64<br />

Siapa Bilang Staf Administrasi<br />

Tak Bisa Memfasilitasi?<br />

Marieti Wala<br />

Saya memang tipe manusia yang kurang suka hal-hal rumit. Posisi saya sebagai staf<br />

administrasi dan keuangan Yayasan PAKTA Sumba membuat saya terbiasa dengan<br />

“permainan” angka. Maunya to the point saja. Peran itu sudah saya lakoni selama<br />

empat tahun, sejak 2006. Hari-hari di kantor saya habiskan dengan meneliti dan<br />

menganalisis angka-angka di layar komputer dan mengontrol kebutuhan kantor,<br />

khususnya perangkat pendukung pelaksanaan program.<br />

“Menggauli” angka-angka memang ada enaknya, namun tidak jarang kejenuhan itu<br />

muncul. Saya bermimpi: Jika dulu saya hanya bisa menghitung angka dan menganalisis<br />

pengeluaran keuangan, sekarang saya mesti belajar memahami alur proses program.<br />

Mimpi saya malah lebih fantastis lagi. Saya harus bisa menjadi seorang fasilitator yang<br />

memahami alur proses kegiatan dan memfasilitasi kegiatan dengan percaya diri.<br />

Kerinduan serta mimpi saya kini mulai terwujud, secara perlahan namun pasti. Ada<br />

proses belajar yang sedang mengalir dalam semangat hidup saya. Belajar untuk<br />

mengerti kata-kata bijak: “Ketidaktahuan dan meragukan sesuatu adalah awal<br />

pengetahuan.”<br />

Saya mulai terlibat dalam sharing pembelajaran dengan teman-teman fasilitator. Saya<br />

ingin memperoleh sesuatu yang lebih dari sekadar menghitung angka dan nilai-nilai<br />

rupiah.<br />

Saya memotivasi diri untuk terus belajar memahami metode, dan teknik-teknik<br />

memfasilitasi proses secara baik, menarik dan menumbuhkan antusiasme peserta<br />

untuk mengikuti kegiatan. Belajar di kantor melalui sharing pembelajaran yang telah<br />

menjadi komitmen lembaga rasanya sudah cukup membantu dan menumbuhkan<br />

kepercayaan diri saya. Saya terinspirasi visi dan misi program dan bertekad<br />

mengikuti kegiatan fasilitasi di tingkat desa. Saya merasa dapat belajar banyak dari


warga tentang komitmen untuk berswadaya dan berubah, serta dari teman-teman<br />

fasilitator pendamping tentang cara-cara memfasilitasi proses secara sederhana,<br />

menarik dan membangkitkan antusiasme warga.<br />

Saya senang, ketika mengikuti kegiatan sosialisasi di tingkat desa, karena diberi peran<br />

untuk mempresentasikan materi. Awalnya saya bingung, harus mulai dari mana.<br />

Setelah mengamati cara memfasilitasi proses yang dilakukan teman-teman, saya pun<br />

termotivasi untuk melakukannya dengan baik. Saya mengatakan kepada diri saya<br />

sendiri, “Jangan takut dan gugup, jangan takut melakukan kesalahan, sebab engkau<br />

sedang membagi kasih untuk warga miskin dan perempuan.”<br />

Motivasi diri ini menumbuhkan kepercayaan diri saya, sehingga mampu mengambil<br />

peran yang ditugaskan koordinator program untuk memfasilitasi proses. Saya<br />

merasakan ada perubahan yang sedang terjadi dalam diri saya: Jika dulu saya<br />

lebih fokus dengan urusan angka dan administrasi kantor, sekarang kapasitas saya<br />

bertambah satu lagi, ya….. saya mulai bisa memfasilitasi proses pertemuan secara<br />

partisipatif.<br />

Belajar dari pengalaman ini, saya menyimpulkan bahwa sesungguhnya setiap orang<br />

memiliki kemampuan untuk menjadi lebih baik. Jika kesempatan itu diberikan, raihlah,<br />

dan jika tidak diberikan, rebutlah!<br />

Saya bahkan berpikir bahwa setiap orang perlu membekali diri dengan banyak<br />

ketrampilan. Apalagi bagi orang yang bekerja di tengah-tengah masyarakat. Kadang<br />

pengetahuan yang sedikit pun bisa berguna. Sebab di kehidupan sehari-hari,<br />

pengetahuan dan ketrampilan yang sedikit namun dipraktikkan dalam kerja nyata,<br />

jauh lebih berguna daripada pengetahuan yang banyak, setumpuk teori, namun hanya<br />

dimiliki sendiri dan tidak pernah digunakan untuk kebaikan bersama.<br />

65


<strong>ACCESS</strong><br />

Tim Bahtera<br />

67


68 Perubahan itu dimulai dari diri sendiri, kemudian mendorong keluarga dan warga lainnya berubah<br />

meningkatkan kualitas hidupnya (Melkianus M Nanga).


Menjembatani<br />

Dua Dunia<br />

Naomi Malingara<br />

Di dunia ini segala-galanya butuh uang. Namun uang bukanlah segala-galanya untuk<br />

menggapai apa yang kita inginkan. Bahkan, jika salah digunakan, uang bisa menjadi<br />

sumber malapetaka.<br />

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Desa Hobawawi, Kecamatan Wanukaka,<br />

Kabupaten Sumba Barat, Bapak Melkianus M. Nanga sangat tidak asing lagi dengan<br />

warga masyarakat dan keadaan wilayahnya. Saya mengenal Beliau saat pertama kali<br />

melakukan sosialisasi program Yayasan Bahtera di Desa Hobawawi kepada seluruh<br />

warga masyarakat dan pemerintahan desa tentang program Perencanaan dan<br />

Penganggaran yang Partisipatif.<br />

Pada sosialisasi awal ini, kami memberi pemahaman kepada warga dan pemerintahan<br />

desa tentang keseluruhan program Perencanaan dan Penganggaran yang Partisipatif.<br />

Program ini tidak hanya bagaimana menghasilkan sebuah dokumen, tapi bagaimana<br />

semua warga desa, perempuan, orang miskin, kaum muda dan kaum marginal<br />

lainnya terlibat secara penuh dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawalan,<br />

dan evaluasi terhadap pembangunan desa. Mereka harus berani dan percaya diri<br />

menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka terlibat dalam prosesproses<br />

pembuatan keputusan. Segala aspirasi warga harus terakomodir dalam<br />

perencanaan dan penganggaran pembangunan desa sehingga timbul rasa memiliki<br />

dalam diri warga terhadap pembangunan desanya.<br />

Melalui program ini, kami memfasilitasi warga desa untuk menyusun perencanaan<br />

desa yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa) untuk jangka<br />

waktu lima tahun dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa) untuk jangka<br />

waktu satu tahun, sebagai penjabaran dari RPJM-Desa. Kami juga akan memfasilitasi<br />

desa menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB-Desa) dan peraturanperaturan<br />

tingkat desa secara partisipatif.<br />

69


Dalam sosialisasi awal tersebut kami juga memilih Kapedes (Kader Pembangunan<br />

Desa). Kapedes adalah orang desa yang akan bekerja bersama dengan kami<br />

untuk melaksanakan program ini. Oleh karena itu, Kapedes haruslah orang yang<br />

bertempat tinggal dalam desa, berasal dari desa tersebut, mengetahui kondisi<br />

desanya, dan dipilih secara demokratis oleh warga desa. Kapedes mau bekerja secara<br />

sukarela dengan mendedikasikan waktu, tenaga dan bahkan materi untuk terlibat<br />

dalam program ini. Saya harus bekerja sama dengan Kapedes karena saya sebagai<br />

Fasduk belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang kondisi, potensi dan<br />

permasalahan yang ada di desa.<br />

Salah satu dari Kapedes di Desa Hobawawi yang terpilih adalah Bapak Melkianus<br />

M. Nanga. Ia sudah berusia 37 tahun. Ia adalah salah satu pelaku bisnis ternama di<br />

Desa Hobawawi. Kesibukan setiap hari adalah mengatur dan mengurus bisnisnya.<br />

Ia memiliki usaha kios yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok sehari-hari<br />

masyarakat seperti beras, garam, kopi, gula, sabun dan lain-lain. Selain itu, ia keluar<br />

masuk kampung untuk membeli dan menjual jambu mente, kopra, ternak seperti<br />

kerbau dan kuda.<br />

Menyadari akan kesibukannya tersebut, awalnya saya merasa ragu dan sulit<br />

membayangkan bagaimana saya dapat bekerja sama dengan Bapak Melki yang nota<br />

bene sangat sibuk mengurus bisnisnya. Saya berkeyakinan bahwa orang bisnis selalu<br />

berorientasi pada keuntungan. Mungkinkah Bapak Melki dapat bekerja sebagai<br />

Kapedes dengan sepenuh hati dan secara sukarela tanpa mengharapkan uang jerih<br />

payah? Selain itu, saya juga takut jika ia terlibat sebagai Kapedes untuk memfasilitasi<br />

berbagai macam kegiatan di desa, maka waktunya untuk mengurus bisnisnya akan<br />

berkurang yang kemudian akan mengakibatkan bisnisnya terganggu.<br />

Puji Tuhan, ternyata keraguan dan bayangan sulit yang saya pikirkan tersebut<br />

tidak sepenuhnya terjadi. Walaupun ada beberapa diantaranya yang benar. Awalawalnya<br />

ketika ia sudah menjadi Kapedes, saya mengalami kesulitan untuk bertemu<br />

dengannya. Dia sangat sulit ditemui di rumahnya karena ia sibuk dengan urusan<br />

bisnis dan sering keluar masuk kampung, dusun dan desa. Namun itu bukanlah suatu<br />

tantangan yang berarti. Ada tantangan yang lebih hebat lagi.<br />

Saya tidak pernah membayangkan kalau program yang akan dilakukan oleh Yayasan<br />

Bahtera yang didukung <strong>ACCESS</strong> fokus pada penguatan kapasitas. Dalam pikiran saya,<br />

LSM itu kerjanya memberi bantuan uang ataupun barang kepada warga masyarakat.<br />

Dan ternyata apa yang saya pikirkan itu juga sama dengan yang dipikiran oleh<br />

masyarakat dan Kapedes. Memang, mereka sudah terbiasa dengan menerima uang<br />

dari cukup banyak proyek yang masuk di desanya. Bagi mereka, program dari LSM<br />

70


adalah memberi uang. Megubah cara berpikir seperti inilah yang menjadi tantangan<br />

terbesar bagi saya dan Kapedes.<br />

Warga kurang percaya pada Kapedes kalau Kapedes akan bekerja secara sukarela.<br />

Mereka mau menjadi Kapedes karena ingin mendapat uang. Karena tudingan<br />

tersebut, Kapedes merasa tersinggung dan mau mengundurkan diri. Saya menjadi<br />

serba salah dalam menghadapi tantangan ini. Namun, saya mencoba memberi<br />

pengertian terus menerus tentang nilai-nilai yang diperjuangkan melalui program ini,<br />

khususnya terkait perubahan perilaku, pembangunan berbasis kekuatan, masyarakat<br />

dan Kapedes mulai sadar, paham dan mengerti. Dalam setiap kali diskusi dan dialog,<br />

kami juga selalu mendiskusikan terkait perubahan perilaku dan nilai-nilai TKLD<br />

seperti partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan sosial dan gender, juga<br />

termasuk gotong royong dan keswadayaan.<br />

Berbicara tentang nilai-nilai tersebut, yang paling menonjol dan berkembang pesat<br />

di desa ini adalah nilai swadaya dan gotong royong. Perkembangan ini tak lepas dari<br />

kerja keras dan niat baik dari Bapak Melkianus. Ia yang selalu menyadarkan warga<br />

bahwa selama ini desa hanya dibuai dengan bantuan dari pemerintah, sehingga lupa<br />

bahwa dalam setiap individu, kelompok-kelompok, dan desa memiliki kekuatankarunia,<br />

keistimewaan, kekuatan atau aset-aset.<br />

Mendorong masyarakat untuk menghidupkan kembali kekuatan-kekuatan yang ada<br />

pada diri mereka dan nilai-nilai lokal yang dulu pernah membuat nenek moyang<br />

kita hidup berjaya, juga bukanlah pekerjaan yang mudah. Begitu banyaknya keluhan<br />

masyarakat yang sudah biasa terbuai dengan bantuan dan uang. Bapak Melki sendiri<br />

sebagai orang yang hidup di desa merasa kewalahan menghadapi masyarakat yang<br />

selalu mengharapkan bantuan dan uang dari pihak luar. Namun dengan ketabahan<br />

dan kesabaran, akhirnya perlahan tapi pasti, sebagian warga mulai sadar.<br />

Kesadaran kritis yang sudah mulai ada ini makin hari makin berkembang. Warga<br />

mulai rajin ikut pertemuan tanpa mengeluhkan atau meminta “uang duduk”. Sedikit<br />

demi sedikit, rasa memiliki warga terhadap pembangunan di desa mulai tumbuh.<br />

Mereka bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk berdiskusi dan terlibat dalam<br />

kegiatan-kegiatan yang difasilitasi oleh Yayasan Bahtera bersama Kapedes. Dan,<br />

bahkan mereka bisa menyediakan konsumsi sebagai bagian dari swadaya untuk<br />

mendukung kegiatan diskusi di desa.<br />

Kerja keras dari Beliau perlahan-lahan mulai membuahkan hasil. Sekarang masyarakat<br />

sudah bisa menggalang kembali kerja gotong-royong yang sudah lama hilang. Saranasarana<br />

umum dibersihkan setiap hari Jumat secara gotong-royong. Wajah desa<br />

71


yang semula kusut, kusam dan suka mengeluh sekarang mulai ceria kembali dengan<br />

gotong-royong. Bahkan untuk membuat pagar kantor atau sekolah semua bahan<br />

seperti bambu, patok dan paku diswadayakan oleh masyarakat.<br />

Semua hasil yang mulai nampak ini bukanlah suatu berkat yang turun dari langit<br />

seketika, namun inilah hasil kerja keras dari Kapedes yang selama ini diragukan oleh<br />

masyarakat. Kapedes yang selalu dicurigai oleh masyarakat. Kapedes yang dalam<br />

pikiran masyarakat mendapat uang banyak dengan jabatannya. Hasil kerja keras ini<br />

juga mereka tuai dengan memenangkan lomba desa tingkat kecamatan. Suatu hal<br />

yang luar biasa dan membanggakan.<br />

Bapak Melki dan Kapedes lainnya sebagi aktor perubahan desa tidak hanya<br />

mendorong warga Desa Hobawawi berubah perilakunya. Perubahan itu dimulai dari<br />

dalam diri mereka, kemudian mendorong warga lainnya berubah. Perubahan yang<br />

paling dasyat terjadi ketika menanamkan dalam dirinya bahwa uang bukanlah segalagalanya<br />

di dunia ini. Jika hanya mengharapkan bantuan dan uang dari pihak luar maka<br />

akan menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat. Masyarkat hanya menjadi peminta.<br />

Padahal mereka memiliki kekuatan-kekuatan, kekayaan-kekayaan. Mereka masih bisa<br />

melakukan hal-hal yang kecil hingga besar dengan bekerja sama, gotong royong dan<br />

memanfaatkan semua kekuatan-kekuatan yang mereka miliki secara optimal.<br />

Banyak hal yang bisa kita pelajari dari Beliau. Bisnis beliau semakin maju, jaringan<br />

yang terbangun dengan berbagai pihak dalam desa juga semakin baik. Bahkan<br />

sekarang beliau sangat tidak setuju untuk membawa masalah dalam desa sampai ke<br />

tingkat penegak hukum. Segala masalah yang terjadi dalam desa difasilitasinya agar<br />

bisa mendapat jalan damai dan tidak berkelanjutan sampai ke kabupaten. Beliau sadar<br />

betul akan semakin beratnya hukum dan juga administrasi yang harus diselesaikan.<br />

Belum lagi jika ada permainan di tingkat atas yang mencoba mengecoh orang-orang<br />

desa. Karena pengalaman-pengalaman itulah beliau tidak mau membawa masalah<br />

keluar dari desa.<br />

Salah satu kasus yang coba difasilitasi olehnya adalah proses perselingkuhan suami<br />

istri yang kemudian dilaporkan kepada penegak hukum. Proses pelaporannya tidak<br />

diketahui oleh Pak Melkianus. Dia tahu tentang kasus tersebut karena salah satu<br />

tetangganya yang memberitahu ke dia. Ketika dia tahu ada kejadian seperti itu,<br />

dia segera mendekati keluarga yang bermasalah. Mendiskusikan dengan keluarga<br />

tersebut untuk mencari jalan keluar untuk menarik kembali perkara tersebut<br />

menjadi urusan desa. Keluarga sepakat setelah mendapat pemahaman yang sama.<br />

Namun ketika mereka meminta pencabutan perkara ke kabupaten, kabupaten<br />

72


meminta mereka untuk membayar uang administrasi pencabutan perkara sebesar<br />

Rp. 5.000.000,-. Jika saja saat itu tidak ada Pak Melkianus, pasti keluarga tersebut<br />

harus membayar uang tersebut tanpa tahu apa-apa. Tapi karena Pak Melkianus<br />

sudah punya informasi terkait hukum dan peraturan dan berpengalaman dalam<br />

mengurus kasus dengan instansi penegak hukum, maka mereka tidak jadi membayar<br />

administrasi. Karena setelah Beliau mempertanyakan kepada penegak hukum terkait<br />

permintaan uang Rp. 5.000.000,-, mereka tidak bisa menjelaskannya.<br />

Akhirnya kasus tersebut dikembalikan lagi ke desa untuk menyelesaikannya. Hasilnya<br />

keluarga tersebut berdamai dengan hanya bermodalkan kain sarung dan makan<br />

minum, tanpa uang administrasi. Kasus inilah yang disosialisasikan olehnya sehingga<br />

masyarakat juga semakin sadar bahwa ada hal-hal yang bisa mereka selesaikan<br />

sendiri di desa.<br />

Salah satu tindakan lain yang dilakukan oleh bapak 2 orang putri ini agar warga<br />

mengusahakan sendiri segala kebutuhannya sesuai kekuatan dalam desa adalah<br />

dengan berdiskusi dengan pemerintah desa dan menolak pemberian anakan tanaman<br />

umur panjang. Dia tidak hanya asal menolak saja pemberian bantuan ini, tapi ingin<br />

masyarakat yang mengusahakan sendiri dan menikmati hasilnya. Dia melakukan lobi<br />

kepada Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan) agar desanya dapat mengelola KBR<br />

(Kebun Bibit Rakyat). Dalam kegiatan KBR ini, pemerintah hanya menyediakan dana<br />

sedangkan lahan tempat persemaian bibit, tenaga, alat, bahan dan lain-lain diusahakan<br />

sendiri oleh warga. Lobi yang dilakukannya berhasil. Dinas Kehutanan mengamini<br />

permintaannya. Dia bisa berhasil karena dia juga memiliki jaringan yang cukup<br />

baik dengan SKPD-SKPD. Dan sampai saat ini Beliau sedang mempersiapkan lahan<br />

bersama masyarakat untuk tempat pembibitan.<br />

“Saya sangat senang dan bangga karena bisa merubah masyarakat, membuka peluang<br />

usaha bagi mereka dan menumbuhkan dalam diri mereka rasa memiliki terhadap<br />

desa. Uang akhirnya menjadi milik masyarakat karena bukan pemerintah lagi yang<br />

mengadakan berbagai kebutuhan mereka. Pemerintah hanya memfasilitasi dengan<br />

dana, masyarakat sendiri yang berusaha mendapatkan kebutuhannya,” demikian<br />

curahan hati darinya ketika berdiskusi dengan saya.<br />

Bapak Melkianus memang seorang aktor perubahan. Dari Pak Melkianus, saya juga<br />

belajar bahwa semua di dunia ini butuh uang, tapi uang bukanlah segala-galanya. Ada<br />

sisi lain yang harus kita perhatikan agar kehidupan ini menjadi seimbang. Dan itu<br />

lebih penting daripada uang.<br />

73


74<br />

Saya Bisa<br />

Karena Mau Berubah<br />

Maria L Bole<br />

Saya adalah seorang ibu rumah tangga. Umur saya, 36 tahun. Orang desa menyapa<br />

saya dengan panggilan akrab Mama Elvis. Saya menikah dengan Antonius T. K. Lolu<br />

tahun 1991. Kami sepakat membangun keluarga dan menetap di kampung Allang,<br />

Desa Watu Karere, Kecamatan Lamboya.<br />

Selama ini profesi saya adalah dukun terlatih yang membantu persalinan. Profesi ini<br />

saya jalani selama belasan tahun, sejak saya menikah. Saya juga punya impian untuk<br />

ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan desa, tetapi itu sekadar mimpi saja,<br />

karena kami umumnya kaum perempuan di Desa Watu Karere tidak mendapat<br />

kesempatan seperti kaum laki-laki.<br />

Saya tidak pernah mengikuti pertemuan-pertemuan apa saja di desa. Bahkan<br />

tidak pernah diundang untuk terlibat dalam proses musyawarah perencanaan<br />

pembangunan desa karena dianggap belum memiliki pengalaman. Padahal dari sisi<br />

pendidikan, saya tamat SMP (Sekolah Menengah Pertama). Sementara mayoritas<br />

penduduk desa kami hanya berpendidikan SD (Sekolah Dasar). Saya termasuk<br />

perempuan beruntung karena pendidikan formal saya lebih tinggi dari kebanyakan<br />

masyarakat di desa saya.<br />

Pada tahun 2001, program bantuan luar negeri dari CRS (Catholic Relief Service)<br />

masuk di Desa Watu Karere, Kecamatan Lamboya. Program itu berkaitan dengan<br />

masalah kesehatan. Sesuatu hal yang saya bisa lakukan terkait kegiatan ini adalah<br />

membantu ibu melahirkan. Selama ini saya adalah mitra bidan desa untuk membantu<br />

persalinan.<br />

Oleh pemerintah desa, saya diutus untuk mengikuti pelatihan dukun terlatih<br />

di Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) Kabu Karudi. Tujuannya untuk<br />

meningkatkan kemampuan dan ketrampilan untuk membantu Bidan Desa dalam


memberi pelayanan kepada ibu hamil dan ibu melahirkan. Keluarga saya sangat<br />

mendukung untuk pengembangan kemampuan dan ketrampilan saya melalui<br />

pelatihan. Suami dan lima anak saya tidak merasa keberatan kalau sewaktu-waktu<br />

saya meninggalkan rumah untuk ikut pelatihan.<br />

Pada tahun 2008, masyarakat Desa Watu Karere mendorong dan memilih saya<br />

untuk menggantikan KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) yang lama<br />

yaitu Bapak Paulus Poho Poting. KPMD dibentuk oleh PNPM-MP (Program Nasional<br />

Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri Perdesaaan). Saya bangga bisa menjadi KPMD<br />

karena saya semakin menemukan ruang dan kesempatan untuk bisa melayani<br />

masyarakat desa. Menurut saya inilah kesempatan awal saya tampil di ruang publik.<br />

Dengan tugas tersebut, saya melakukan pendataan RTM (Rumah Tangga Miskin)<br />

dan pendataan pro l desa. Untuk menunjang tugas sebagai KPMD, saya dan temanteman<br />

mengikuti pelatihan teknik pengisian pro l di Wisma Manda Elu, tujuannya<br />

agar pengisian format sesuai dengan petunjuk teknis yang ada. Pelatihan dilakukan<br />

sekali dalam setahun, dalam dua tahun dilakukan pelatihan sebanyak dua kali. Namun<br />

menurut saya itu belum cukup. Terbatasnya waktu pelatihan tersebut membuat<br />

pengetahuan dan pemahaman saya masih kurang.<br />

Pada tahun yang sama, Yayasan Bahtera melakukan sosialisasi program terkait<br />

Perencanaan dan Penganggaran yang Partisipatif yang danai oleh <strong>ACCESS</strong> Tahap<br />

II, sebuah program kemitraan antara Pemerintah Australia dengan Pemerintah<br />

Indonesia. Program ini berkaitan dengan penyusunan RPJM-Desa. Desa kami adalah<br />

salah satu desa yang didampingi oleh Yayasan Bahtera dalam program tersebut. Desa<br />

kami belum memiliki RPJM-Desa.<br />

Demi kelancaran pelaksanaan program ini dibutuhkan 3 orang Kader Pembangunan<br />

Desa (Kapedes) yang terdiri dari 2 perempuan dan 1 laki-laki yang akan menjadi<br />

mitra kerja utama Bahtera dalam menjalankan program di tingkat desa. Proses<br />

pemilihan pun berjalan secara demokratis dan saya terpilih menjadi Kader<br />

Pembangunan Desa (Kapedes). Tugas Kapedes adalah membantu pemerintah desa<br />

dan Yayasan Bahtera untuk memfasilitasi masyarakat menyusun perencanaan dan<br />

penganggaran desa. Pendekatan yang diperkenalkan oleh Yayasan Bahtera dalam<br />

program ini adalah pembangunan berbasis kekuatan, mendorong perubahan perilaku,<br />

dan mendorong keterlibatan masyarakat agar ikut bersama-sama menjalankan<br />

program membangun desa. Kapedes adalah ujung tombak program dan berada<br />

pada garis terdepan untuk mengorganisir masyarakat, memotivasi dan menggerakan<br />

masyarakat untuk terlibat dalam program.<br />

75


Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk menjadi seorang Kader Pembangunan Desa.<br />

Oleh karena itu, kita harus dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan yang<br />

cukup sehingga seorang kader dapat berkarya secara baik. Atas dasar ini maka<br />

program dengan Bahtera ini menyediakan dan mengadakan berbagai pelatihan<br />

seperti teknik fasilitasi yang bermutu, menarik dan teknik menggerakkan masyarakat<br />

(pengorganisasian). Selain itu, ada juga pelatihan penjajakan kondisi umum desa yaitu<br />

pengambilan data pendukung untuk penyusunan RPJM-Desa (Rencana Pembangunan<br />

Jangka menengah Desa), pelatihan penyusunan RPJM-Desa dan pelatihan penyusunan<br />

anggaran desa.<br />

Dari sinilah saya banyak belajar dan tahu berbagai hal yang berkaitan dengan<br />

cara-cara memfasilitasi pertemuan, menggerakkan masyarakat agar bisa terlibat<br />

penuh dalam pertemuan dan kegiatan lainnya di desa. Di samping itu, Kapedes juga<br />

membangun kerjasama dengan pemerintah desa untuk menjalankan program dan<br />

membagi peran dengan teman-teman Kapedes lainnya agar semua kegiatan bisa<br />

berjalan dengan baik.<br />

Manfaat pelatihan inilah membuahkan hasil, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak<br />

tahu menjadi tahu. Misalnya, saya sudah bisa berbicara di depan orang banyak, bahkan<br />

bisa memimpin rapat dalam pertemuan resmi pelaksanaan program yang dijalankan<br />

di desa. Ketika saya renungkan, ternyata saya sudah mengalami perubahan secara<br />

76 7


pribadi, demikian juga teman-teman Kapedes lainnya.<br />

Pengalaman yang saya miliki sebelum dan sesudah bersamaYayasan Bahtera sudah<br />

bisa mengubah kebiasaan di desa saya. Kami kaum perempuan sudah bisa tampil di<br />

muka umum, dalam pertemuan apa saja sudah bisa menghadirkan masyarakat miskin,<br />

perempuan, anak terlantar, penyandang cacat, dam kaum marginal lainnya untuk<br />

terlibat dalam proses penyusunan RPJM-Desa, agar mereka bisa menyampaikan<br />

kebutuhan mereka dalam rencana desa selama lima tahun ke depan.<br />

Dengan berjalannya peran dan fungsi saya sebagai Kapedes, maka pemerintah desa<br />

memperhatikan dan memberikan insentif untuk menunjang kerja saya sebagai kader.<br />

Tunjangan insentif dialokasikan lewat dana ADD (Alokasi Dana Desa) mulai tahun<br />

2011, sebesar Rp. 50.000,- per bulan untuk setiap Kapedes. Insentif ini membuat<br />

kami semakin bersemangat untuk berbuat sesuatu yang lebih baik bagi semua warga<br />

masyarakat di desa kami.<br />

Hingga sekarang saya dapat membandingkan perubahan dari awal sebelum program<br />

Yayasan Bahtera dengan sesudahnya. Saya merasa betul-betul mengalami perubahan.<br />

Sampai saat ini saya ingin meningkatkan lagi pengetahuan yang sudah saya miliki agar<br />

ke depan saya dapat bekerja lebih baik lagi demi memberikan pelayanan yang baik<br />

kepada desa saya. Saya bisa karena saya memiliki kemauan untuk berubah.<br />

77


78<br />

Sekolah Di Kehidupan<br />

Chorlina T Goro<br />

Kala itu jam dinding di rumah saya menunjukkan pukul 06:00 Wita, tepatnya pada<br />

hari Sabtu, 22 Januari 2011. Telepon genggam saya berdering, saya pun bergegas pergi<br />

untuk mengangkatnya. Ternyata Ibu Martha Rambu Bangi, Direktris Yayasan Bahtera<br />

yang menelpon. Beliau meminta saya untuk mengikuti “Temu Bintang Perencanaan<br />

dan Penganggaran yang Partisipatif” di Hotel Klarion-Makasar. Saya dipercaya<br />

mewakili teman Kapedes dari 21 desa di 3 kecamatan (Lamboya, Lamboya Barat dan<br />

Wanukaka) di Kabupaten Sumba Barat. Tanpa berpikir lama, saya segera mengiyakan<br />

untuk ikut.<br />

Segera setelah saya berbicara dengan Ibu Martha, saya berdiam sejenak. Merenung<br />

dan membathin. Kok orang seperti saya yang berasal dari desa hendak pergi ke kota<br />

besar dengan harus menggunakan pesawat untuk sampai di kota itu. Ibarat saya<br />

sedang bermimpi naik pesawat. Yang ada dalam benak saya saat itu yaitu bagaimana<br />

saya bisa naik pesawat. Selama hidup, saya belum pernah naik pesawat. Ini pertama<br />

kali saya naik pesawat. Saya agak takut karena saya mendengar cerita tentang<br />

pesawat yang jatuh dimana semua orang dalam pesawat meninggal. Namun perasaan<br />

takut yang menghantui pikiran saya segera saya abaikan. Saya tidak peduli dengan<br />

rasa takut. Asalkan saya punya pengalaman dan cerita naik pesawat.<br />

Saya menyampaikan berita gembira tersebut kepada suami bahwa saya diutus<br />

keluar daerah untuk mengikuti “Temu Bintang Perencanaan dan Penganggaran yang<br />

Partisipatif” di Makasar. Suami saya pun turut gembira mendengar berita itu dan<br />

mendukung saya untuk pergi. Hal itu membuat hati saya semakin bersemangat. Tidak<br />

lagi dihantui perasaan takut. Tetapi di dalam hati kecil saya bertanya, mampukah<br />

saya mengikuti proses pertemuan tersebut padahal pendidikan saya terbatas? Saya<br />

hanyalah tamatan Sekolah Dasar. Namun saya tetap bertekad untuk pergi.<br />

Tepat pada tanggal 28 Januari 2011, bersama rombongan <strong>ACCESS</strong> Sumba, saya tiba


di Kota Makassar. Kota yang sebelumnya saya hanya dengar dari cerita orang, tak<br />

disangka pada hari itu saya melihat langsung dan menjejaki kaki saya di kota itu.<br />

Saya senang sekali. Mungkin ini pertama kali dan terakhir kali saya berada di kota<br />

besar Makasar. Setelah kami tiba di Bandara Makasar kami langsung menuju Hotel<br />

Klarion. Temu Bintang ini dilaksanakan di hotel tersebut selama 3 hari. Agenda dan<br />

materi yang dibahas lumayan padat, namun saya tetap bersemangat untuk mengikuti<br />

kegiatan sampai akhir.<br />

Salah satu sesi pertemuan adalah penyusunan strategi pemberdayaan masyarakat<br />

yang dibuat oleh KPM (Kader Pemberdayaan Masyarakat). Pada sesi ini, semua<br />

perwakilan KPM dari 16 Kabupaten/Kota wilayah kerja <strong>ACCESS</strong> membentuk<br />

kelompok diskusi tersendiri. Kami diminta untuk menyampaikan apa cita-cita<br />

kami sebagai KPM dan bagaimana mencapai KPM yang ideal. Dari pembahasan itu<br />

kemudian kami menyusun strategi untuk memperkuat KPM dalam menjalankan<br />

tugas ketika kembali ke desa masing-masing. Saya turut menyampaikan beberapa<br />

gagasan tentang KPM yang ideal dan bagaimana cara untuk mewujudkannya.<br />

Kegiatan ini memberikan pencerahan baru bagi saya. Saya mempunyai banyak teman.<br />

Saya bisa belajar dari berbagai macam pengalaman yang dilakukan oleh KPM di<br />

daerah lainnya. Ada pembelajaran-pembelajaran menarik yang didapatkan ketika saya<br />

mengikuti kegiatan ini dan menjadi bekal bagi saya untuk menjalankan peran dan<br />

fungsi saya sebagai KPM secara lebih baik ketika saya kembali ke desa saya di Sumba.<br />

Bagaimana saya bisa mengalami semua perubahan ini? Ada kisah yang cukup panjang<br />

untuk sampai ke sana. Proses demi proses saya lalui. Saya sebagai ibu rumah tangga<br />

tidak pernah melepaskan tugas dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga.<br />

Demikian juga kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di desa. Saya tetap menjalankan<br />

tugas sebagai ibu rumah tangga dan Kappedes.<br />

Sejak tahun 2005, saya terpilih sebagai KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat<br />

Desa) lewat aspirasi masyarakat Desa Laboya Bawa. Tugas saya sebagai KPMD<br />

adalah memfasilitasi proses penggalian gagasan di setiap dusun dengan menggunakan<br />

3 alat kajian agar bisa menghasilkan usulan-usulan prioritas yang akan diusulkan<br />

ke program PNPM-MP (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri<br />

Perdesaan).<br />

Adapun yang dimaksud dengan 3 alat kajian tersebut di atas yaitu Peta Sosial Desa,<br />

Kalender Musim dan Diagram Kelembagaan. Peta Sosial Desa bertujuan untuk<br />

memetakan kondisi umum desa serta seluruh potensi-potensi yang ada dalam<br />

wilayah desa. Sehingga bisa terbaca batas wilayah dusun dan batas wilayah desa.<br />

79


Kalender Musim bertujuan untuk mengetahui musim-musim, kapan masyarakat<br />

panen, kapan masyarakat kekurangan bahan makanan, dan kapan masyarakat<br />

menghasilkan produk-produk pertanian tertentu. Diagram Kelembagaan bertujuan<br />

agar seluruh masyarakat bisa mengetahui lembaga-lembaga yang ada di desa baik<br />

dari dalam desa maupun dari luar desa serta sejauh mana manfaat dari lembaga<br />

tersebut dan pelayanannya terhadap masyarakat.<br />

Penggunaan alat kajian tersebut di atas dilakukan sejak membuat usulan-usulan<br />

dusun. Usulan dusun kemudian dibahas lagi pada saat MDP (Musyawarah Desa<br />

Perencanaan) di tingkat desa. Kemudian diadakan perangkingan agar menghasilkan<br />

usulan prioritas yang akan diusulkan ke program PNPM-MP. Pengajuan usulan<br />

tersebut tidak hanya diusulkan tetapi masih melewati berbagai proses seperti<br />

penulisan proposal serta lampiran-lampiran yang dibutuhkan program.<br />

Proposal tersebut kemudian diveri kasi oleh tim dari kecamatan. Jika dinilai layak<br />

maka diadakan MAD (Musyawarah Antar Desa), perangkingan di tingkat kecamatan<br />

sampai pada MAD pendanaan. Pada akhirnya kembali kepada masyarakat untuk<br />

melakukan program tersebut.<br />

Proses pembuatan usulan dalam proyek PNPM MP sebagaimana dijelaskan di atas<br />

dilakukakan setiap tahun. Sebagai KPMD, saya belum bisa melaksanakan tugas dan<br />

peran saya secara sempurna. Saya masih memiliki berbagai kelemahan. Sehingga<br />

masih perlu dibantu oleh fasilitator kecamatan. Partisipasi masyarakat pun masih<br />

sangat kurang.<br />

Pada bulan Nopember 2009, Yayasan Bahtera menjalankan program penyusunan<br />

RPJM-Desa di 21 desa, termasuk desa saya yaitu Desa Laboya Bawa. Yayasan Bahtera<br />

memulai program ini di desa dengan melaksanakan sosialisasi program. Pada kegiatan<br />

sosialisasi ini juga dilakukan pemilihan Kader Pembangunan Desa (Kapedes) yang<br />

akan bekerjasama dengan Yayasan Bahtera untuk memfasilitasi masyarakat menyusun<br />

RPJM-Desa. Saat itu saya terpilih menjadi Kapedes. Tugas saya adalah sebagai<br />

pengantar informasi, memfasiltasi dan memotivasi warga terkait perencanaan dan<br />

penganggaran yang partisipatif.<br />

Menjalankan tugas dan peran sebagai Kapedes bukanlah hal yang gampang.<br />

Kapedes harus memiliki kapasitas yang cukup memadai, kepercayaan diri, kerelaan<br />

untuk berkerja secara sukarela, dan mau belajar. Oleh karena itu Yayasan Bahtera<br />

mengadakan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan program penguatan kapasitas<br />

Kapedes. Pelatihan-pelatihan tersebut antara lain: fasilitasi yang bermutu dan<br />

menarik, pengorganisasian masyarakat, perencanaan desa, penganggaran desa, dan<br />

80


lain-lain. Pelatihan-pelatihan ini bertujuan agar semua Kapedes mampu memfasilitasi<br />

masyarakat menyusun perencanaan dan penganggaran desa secara partisipatif.<br />

Salah satu bagian dari proses awal penyusunan RPJM-Desa adalah pengkajian kondisi<br />

umum desa untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat. Saya menggunakan<br />

kriteria lokal sesuai dengan kodisi wilayah dalam melakukan klasi kasi tingkat<br />

kesejahteraan masyarakat. Kriteria lokal ini ditetapkan secara bersama-sama dengan<br />

semua unsur masyarakat dengan penentuan indikator dan ciri pembedanya.<br />

Pada saat pleno hasil sensus, di antara masyarakat ada yang menolak, tidak mengakui<br />

seperti apa yang kami hasilkan. Jawaban saya sangat sederhana yaitu membuka<br />

kembali data awal bahwa semua itu hasil wawancara petugas sensus dengan keluarga<br />

yang bersangkutan.<br />

Pengalaman yang terjadi, yang mempunyai peran lebih tinggi adalah kaum pria. Tapi<br />

setelah saya identi kasi dalam proses kajian mendalam ternyata tugas seorang ibu<br />

hampir sama dengan tugas bapak. Saya bisa mengatakan perempuan juga tidak boleh<br />

ketinggalan untuk berperan aktif dalam keseluruhan proses pembangunan.<br />

Proses pembangunan harus didasarkan dengan Nilai-nilai TKLD (Tata<br />

Kepemerintahan Lokal yang Demokratis) yaitu: Partisipasi, Transparnasi, Akuntabilitas,<br />

Keadilan Gender, Inklusi Sosial, Demokrasi dan mendorong pembangunan berbasis<br />

kekuatan lokal.<br />

Pemahaman tentang nilai-nilai TKLD semakin terwujud ketika saya mendorong<br />

pemerintah desa dalam merancang APB-Desa (Anggaran Pendapatan dan Belanja<br />

Desa) dengan keterlibatan semua unsur masyarakat. Di saat itu juga saya sebagai<br />

Kapedes mendapat perhatian dari desa berupa insentif dari ADD (Alokasi Dana<br />

Desa) sebesar Rp. 50.000,-/bulan untuk transportasi.<br />

Dalam beberapa tahapan dan proses yang saya lalui, saya melihat suatu perbedaan<br />

terkait teknik penyusunan perencanaan oleh PNPM-MP dan Yayasan Bahtera.<br />

Kalau PNPM-MP menyusun perencanaan berdasarkan masalah yang terjadi untuk<br />

menghasilkan usulan. Tetapi Yayasan Bahtera tidak berdasarkan masalah, melainkan<br />

berdasarkan potensi-potensi yang ada di desa serta kekuatan yang ada pada<br />

diri warga masyarakat. Alat kajiannya sama, tujuan yang ingin di capai juga sama<br />

yaitu menghasilkan Dokumen RPJM-Desa. Walaupun berbeda pendekatan, saya<br />

tetap belajar dua-dunya karena hal seperti itu membuat saya semakin kaya akan<br />

pengetahuan, pengalaman dan keterampilan.<br />

81


Saya mengakui ada banyak hal yang berubah di diri saya. Terutama lewat peningkatan<br />

kapasitas yang berkali-kali dilakukan oleh Yayasan Bahtera sehingga saya mampu<br />

memfasilitasi seluruh proses penyusunan RPJM-Desa hingga tuntas, walaupun lagi-lagi<br />

dengan pendidikan formal yang sangat terbatas.<br />

Semua ini saya lakukan bukan karena paksaan dari orang lain melainkan muncul dari<br />

sebuah keinginan untuk memiliki desa yang maju. Saya ingin belajar terus menerus<br />

bagaimana proses menggapai sebuah keberhasilan tanpa melihat nilai uangnya. Inilah<br />

nilai dan prinsip yang tetap saya pegang dalam melaksanakan tugas saya sebagai<br />

Kapedes sampai saat sekarang dan ke depannya.<br />

Pengalaman adalah guru terbaik. Ketika kita belajar banyak hal, semakin banyak<br />

yang kita tahu. Ketika mencoba hal baru, membuat kita bisa. Demikian secuil cerita<br />

pengalaman dan perubahan dalam diri saya dan desa saya yang bisa saya bagikan<br />

kepada siapa saja yang membaca tulisan saya ini. Harapan saya, dari tulisan ini ada<br />

banyak masukan untuk saya, agar saya semakin maju dan bisa, dan yang lebih penting<br />

lagi supaya saya lebih bisa bermanfaat bagi banyak orang, khususnya bagi desa saya<br />

tercinta, Laboya Bawa. Salam damai sejahtera untuk kita semua.<br />

82


Akhirnya Suami Saya Berubah<br />

Agustina Bili<br />

Mulanya saya hanyalah orang biasa-biasa saja, tidak ada yang lebih dari hanya<br />

sekedar menjalankan peran sebagai seorang istri yang patuh pada perintah suami.<br />

Mengurus rumah tangga, anak, suami dan orangtua adalah kegiatan sehari-hari saya.<br />

Kami memiliki 4 orang anak, 1 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Saat ini saya<br />

telah berumur 36 tahun. Saya dan keluarga bertempat tinggal di Desa Hupumada,<br />

Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat.<br />

Suami saya menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga terlalu berlebihan.<br />

Betapa tidak. Hanya dia yang berhak mengambil keputusan tentang apapun di dalam<br />

rumah tangga kami. Ditambah dengan sikapnya yang gampang marah-marah. Hal yang<br />

paling memberatkan saya adalah sifatnya yang selalu mengekang saya untuk tidak<br />

boleh melakukan kegiatan lain di luar rumah. Saya hanya diperbolehkan mengerjakan<br />

kegiatan dalam rumah terus. Apapun bentuk kegiatan di luar rumah yang ada<br />

hanyalah larangan. Saya merasa hanya sebatas istri yang dibelis karena kemampuan<br />

suami saya. Saya belum merasa seperti seorang yang disebut sebagai ‘pendamping’,<br />

yang dalam beberapa hal boleh ikut bersuara atau mengutarakan pendapat, terlibat<br />

dalam pembuatan keputusan, dan yang paling penting adalah diberikannya izin bagi<br />

saya untuk mengikuti kegiatan di luar rumah.<br />

Pada bulan Oktober 2009, melalui dorongan ibu-ibu tetangga, saya diajak untuk<br />

menghadiri sebuah pertemuan di desa. Awalnya saya takut. Tapi ibu-ibu yang<br />

merupakan teman-teman saya menyemangati dan mendorong saya supaya saya<br />

tidak takut untuk ikut pertemuan itu. Akhirnya saya memberanikan diri untuk ikut<br />

pertemuan itu. Pada saat itu, pertemuan difasilitasi Yayasan Bahtera. Jujur saja, begitu<br />

saya dengar ada kata ‘yayasan’ saya berpikir pastilah saya akan dapat uang. Saya<br />

semakin semangat untuk mengikuti pertemuan itu. Tetapi ternyata saya salah. Tidak<br />

ada pembagian uang pada pertemuan itu.<br />

83


Namun ada yang menarik pada pertemuan itu dan menjadi titik penting di dalam<br />

proses kehidupan saya. Pada pertemuan itu, Bahtera menjelaskan kepada masyarakat<br />

tentang program perencanaan dan penganggaran desa yang partisipatif. Selain itu,<br />

juga dilakukan pemilihan Kader Pembangunan Desa (Kapedes)). Kapedes adalah<br />

mitra kerja utama Bahtera dalam proses pelaksanaan program di desa.<br />

Pemilihan Kapedes dilakukan secara demokratis oleh masyarakat.Ternyata saat<br />

itu bukannya mendapatkan uang malah masyarakat memilih saya sebagai Kapedes.<br />

Karena masyarakat memilih saya, saya menerima tanggungjawab tersebut, tetapi<br />

tentu saja dengan rasa terpaksa. Maksud dan tujuan dari Kapedes itu sendiri,<br />

sebetulnya saya tidak mengerti. Tapi hati kecil saya berkata untuk mencoba menjalani<br />

dulu tugas ini.<br />

Karena terpilih menjadi Kapedes itulah kemudian saya diundang untuk mengikuti<br />

pelatihan di Hotel Delsos, Waikabubak. Pelatihan ini tentang apa peran dan fungsi<br />

seorang Kapedes. Pelatihan ini difasilitasi oleh Yayasan Bahtera. Kemudian dilanjutkan<br />

dengan pelatihan lainnya seperti pelatihan melakukan penjajakan kondisi umum desa.<br />

Dalam pelatihan ini, kami dilatih untuk pengambilan data terkait kondisi umum desa<br />

yang nantinya data tersebut akan dipakai dalam penyusunan perencanaan desa.<br />

Setelah itu, saya dilatih lagi tentang teknik penyusunan perecanaan desa atau<br />

RPJM-Desa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) yang akan menjadi<br />

acuan pembangunan desa. Dan pelatihan melakukan lobi dan negosiasi sehingga<br />

kami memiliki kapasitas untuk mempengaruhi para pihak untuk mensukseskan<br />

perencanaan desa yang telah dibuat oleh masyarakat. Pelatihan-pelatihan inilah yang<br />

menjadi bekal bagi saya untuk belajar ketika saya kembali ke rumah tangga dan desa<br />

saya. Entah kenapa, setelah melalui sekian pelatihan, saya bermimpi bahwa pada suatu<br />

saat pasti akan ada yang berubah di dalam keluarga saya dan di desa saya.<br />

Seiring dengan berjalannya waktu, sebagai Kapedes saya mengalami banyak halangan<br />

dan rintangan. Ketika mimpi nyaris terwujud selalu ada saja yang menghambatnya.<br />

Saya pun akhirnya merasa lelah untuk terus berjalan dalam menggapai mimpi. Sebab<br />

apa yang saya impikan tidak kunjung terwujud juga. Namun di saat saya merasa putus<br />

asa dengan diri saya sendiri, saya mendapatkan dorongan dari seorang fasilitator<br />

pendukung bernama Hermanus Umbu Haba. Akhirnya muncul lagi dorongan yang<br />

semakin kuat untuk lebih bisa melakukan banyak hal, terutama dalam melaksanakan<br />

tugas-tugas saya sebagai seorang Kapedes.<br />

Saya tidak pernah menyerah untuk mencoba hingga mengantar saya kepada sebuah<br />

keberhasilan dalam hidup saya yaitu ketika saya memimpin dan memfasilitasi sebuah<br />

84


Sebuah kelompok terbentuk. Simpanan pokok sebesar Rp<br />

50.000/ orang dan simpanan wajib Rp 10.000/ orang setiap<br />

bulan. Kelompok ini sudah menggulirkan dana kepada anggota<br />

kelompok yang aktif.<br />

pertemuan di desa. Dari sanalah kepercayaan diri saya mulai timbul. Saya sangat<br />

bahagia ketika itu.<br />

Bukan hanya itu. Hal istimewa yang semakin menyenangkan hati saya adalah<br />

suami saya sudah mulai berubah. Ia mulai mendukungan saya untuk menjalankan<br />

peran dan tugas saya sebagai Kapedes. Ia sepertinya mulai berubah pikiran karena<br />

melihat betapa besarnya kepercayaan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Desa dan<br />

masyarakat kepada saya sehingga suami saya tergerak hatinya untuk memberi waktu<br />

dan kebebasan bagi saya. Mungkin di hatinya ia merasa bahwa ternyata saya, istrinya,<br />

juga bisa menjadi seorang ‘pejuang’dan pembawa perubahan di desa. Mungkin ia juga<br />

bangga dengan saya.<br />

Dari situ semangat juang saya semakin tumbuh dan bahkan saya coba mengambil<br />

keputusan menggalang satu kelompok ibu-ibu jemaat dan memfasilitasi tentang<br />

koperasi simpan pinjam. Saya melakukan lobi dan negosiasi dengan berbagai pihak<br />

85


termasuk pihak desa.Ternyata saya berhasil melakukan itu. Sebuah kelompok<br />

terbentuk. Simpanan awalnya dari swadaya anggota kelompok yaitu simpanan<br />

pokok sebesar Rp 50.000/orang dan simpanan wajib Rp 10.000/orang setiap bulan.<br />

Kelompok ini sudah menggulirkan dana kepada 4 anggota kelompok yang aktif.<br />

Anggota kelompok membuat aturan kelompok yang disepakati bersama untuk<br />

menjadi ikatan dalam menjalankan kegiatan di dalam kelompok tersebut. Nama<br />

kelompok kami adalah “Tulung Panamung” yang artinya “Kepedulian” yang dalam<br />

waktu dekat ini akan dikukuhkan oleh Pemerintah Desa.<br />

Saya akhirnya menyadari dan belajar bahwa hal yang paling penting dari semua hal<br />

yang telah saya jalani adalah keinginan dan kemauan saya sendiri untuk berubah. Jika<br />

kemauan saya kuat, maka saya akan bisa mengapai impian saya. Terlebih keinginan<br />

itu bukan untuk diri pribadi saya semata, melainkan untuk orang lain juga, untuk<br />

kemajuan desa saya. Tanpa memulai perubahan dari dalam diri saya sendiri, mustahil<br />

rasanya saya bisa membentuk kelompok, lalu bersama teman-teman yang lain<br />

melakukan perubahan di tengah masyarakat. Saya juga bertekad untuk menjadi<br />

seorang KPM (Kader Pemberdayaan Masyarakat) yang berhasil, yang tidak menyianyiakan<br />

ilmu yang saya peroleh dari pelatihan-pelatihan yang telah saya ikuti dan<br />

dukungan dari para fasilitator yang dengan sabar mengajak kami untuk terus belajar.<br />

Pada kesempatan ini, saya ingin sekali mengucapkan terimakasih kepada para<br />

fasilitator dari Yayasan Bahtera, terutama fasilitator pendukung yang bertugas di<br />

Desa Hupumada. Karena bersama merekalah, akhirnya saya dan Hupumada bisa<br />

selangkah lebih baik lagi.<br />

Saya pun terus mempunyai niat dan tekad untuk berkarya bagi desa saya, Hupumada.<br />

Saya juga berharap dukungan Yayasan Bahtera kepada saya dan desa saya tidak akan<br />

surut. Dengan dukungan dari Yayasan Bahtera dan fasilitator desa, ditambah dengan<br />

niat baik dan tekad kuat saya, maka saya yakin, Desa Hupumada akan semakin baik<br />

lagi dan semakin maju.<br />

86


Warga Berdaya Desa Maju<br />

Haryati P Lobu<br />

Saya bergabung dengan Yayasan Bahtera pada tahun 2009. Lembaga ini berkecimpung<br />

pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat desa melalui penyediaan dukungan<br />

penguatan kapasitas warga.<br />

Saya bergabung dengan Bahtera setelah saya dinyatakan lulus tes dan diterima<br />

sebagai fasilitator pendukung. Jujur, awalnya, saya belum tahu tugas apa yang harus<br />

dilakukan di desa karena saya baru pertama kali bekerja di LSM. Di dalam hati kecil<br />

saya bertanya, “Apa yang saya harus lakukan untuk menjalankan tugas ini?” Dalam<br />

perjalanannya, Bahtera menjelaskan kepada saya tentang tugas dan tanggung jawab<br />

saya sebagai fasilitator pendukung. Selain itu, saya dilatih dan selalu ada penguatan<br />

kapasitas yang dilakukan di tingkat lembaga maupun mengikuti berbagai pelatihan<br />

yang diberikan oleh <strong>ACCESS</strong> dan mitra strategis <strong>ACCESS</strong>.<br />

Saya dipercayakan oleh Bahtera untuk menangani program di dua desa yaitu Desa<br />

Weihura dan Desa Pahola. Saya menjalankan tugas untuk memfasilitasi sebuah<br />

program bernama perencanaan dan penganggaran yang partisipatif. Program ini<br />

membantu desa untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa<br />

(RPJM-Desa) yang akan menjadi acuan bagi semua pihak dalam menjalankan<br />

pembangunan desa selama lima tahun.<br />

Pelaksanaan program ini diawali dengan kegiatan sosialisasi program. Kegiatan<br />

sosialisasi ini dilakukan di bawah pohon kelapa yang beratapkan terpal karena Desa<br />

Weihura belum memiliki kantor desa. Desa Weihura masih dipimpin oleh PLH<br />

Kepala Desa bernama Alexander Mouli Malana.<br />

Pada pertemuan awal ini saya mendapat informasi bahwa selama 12 tahun tidak<br />

ada kegiatan yang dijalankan secara terbuka di desa ini. Menurut Bapak Alexander,<br />

pelaksanaan kegiatan biasanya dilakukan di rumah kepala desa yang lama. Sehingga<br />

87


kegiatan apapun yang dilakukan yang berkaitan dengan pembangunan desa tidak<br />

diketahui oleh masyarakat maupun pemerintah desa lainnya.<br />

Untuk memperlancar pelaksanaan program ini, maka pada sosialisasi program<br />

dilakukan pemilihan Kader Pembangunan Desa (Kapedes). Kapedes yang dipilih<br />

berjumlah 3 orang. Kapedes merupakan mitra kerja utama Bahtera dalam<br />

menjalankan program ini di desa. Pemilihan Kapedes dilaksanakan secara demokratis.<br />

Tugas Kapedes adalah mengorganisir dan memfasilitasi masyarakat menyusun<br />

perencanaan dan penganggaran desa. Kapedes bekerja secara sukarela tanpa diberi<br />

imbalan. Kapedes bersedia mengorbankan pikiran, tenaga, waktu dan materi untuk<br />

melaksanakan program.<br />

Pada beberapa bulan pertama, pelaksanaan program berjalan dengan cukup baik.<br />

Hubungan kerjasama dengan pemerintah desa dan Kapedes setempat pun berjalan<br />

cukup baik. Warga mulai antusias untuk terlibat dalam pertemuan-pertemuan yang<br />

dilakukan oleh Bahtera.<br />

Pada tahun 2010, ketika terjadi pergantian Kepala Desa Weihura, hubungan<br />

kerjasama yang sudah terjalin baik mulai rapuh. Kepala Desa baru belum mengetahui<br />

tentang program karena dia belum pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang<br />

difasilitasi Bahtera.<br />

Walaupun demikian, sebagai fasilitator, saya tetap membangun kerjasama dengan<br />

Kapedes yang sudah dipilih oleh masyarakat untuk melakukan komunikasi dengan<br />

Kepala Desa yang baru untuk menjelaskan tentang program. Puji Tuhan, ternyata<br />

Beliau begitu responsif dan berkomitmen untuk bersama-sama menjalankan program<br />

ini. Kerjasama pun mulai terbangun dan tertata kembali.<br />

Semua hal yang saya impikan tidak semua terwujud karena munculnya berbagai<br />

halangan dan rintangan yang datang silih berganti menerpa. Begitu banyak persoalan<br />

yang harus diselesaikan, jika persoalan diselesaikan secara bersama, maka tiada yang<br />

sulit untuk melakukan proses pembangun desa.<br />

Pembangunan adalah sebuah proses yang akan terus berjalan dari tahun ke tahun,<br />

dan bahkan menjadi bahan pemikiran setiap orang, organisasi, maupun dari pihak<br />

manapun agar proses pembangunan bisa bergerak maju untuk melahirkan sebuah<br />

perubahan di berbagai elemen baik pembangunan secara sik maupun pembangun<br />

secara spritual dan mental.<br />

Semakin disadari bahwa proses pembangunan yang diharapkan semakin nampak<br />

88


ketika pendampingan penyusunan RPJM-Desa (Rencana Pembangunan Jangka<br />

Menengah Desa), yang mulanya warga acuh tak acuh, dan bahkan mereka merasa<br />

tidak penting untuk memiliki sebuah dokumen RPJM-Desa. Saya pribadi sebagai<br />

fasilitator pendukung merasa kewalahan dalam proses pendampingan waktu itu.<br />

Namun saya masih memiliki sebuah harapan yang besar dan keyakinan yang teguh<br />

bahwa Desa Weihura bisa maju dan keluar dari keterpurukan.<br />

Warga Desa Weihura memiliki antusiasme yang besar untuk terlibat secara<br />

aktif dalam proses penyusunan RPJM-Desa. Karena mereka merasa bahwa<br />

ada pembelajaran-pembelajaran menarik yang mereka rasakan dalam proses<br />

pendampingan penyusunan RPJM-Desa. Perempuan, orang miskin, penyandang cacat<br />

dan kaum marginal lainnya pun mulai terlibat dan merasa memiliki program ini. Ada<br />

suara harapan yang ingin maju, berubah, dan kerinduan untuk membangun “Tanah<br />

Pariapiaku Loku Weikala” yang artinya “tanah subur yang memberi kehidupan”.<br />

Warga semakin menyadari betapa pentingnya sebuah perubahan, bukan hanya<br />

Pemerintah Desa dan Kapedes, yang adalah mitra kerja utama dalam program<br />

ini, yang berubah. Tetapi warga juga harus menunjukkan perubahan perilaku yang<br />

semakin baik. Mereka sudah ada rasa memiliki program yang sedang berjalan. Ketika<br />

ada penguatan kapasitas di tingkat mitra kerja utama (Kapedes), mereka semakin<br />

mampu dan berubah, dan bahkan mereka ingin menularkan kemampuan yang<br />

mereka miliki kepada lingkungan di sekitar mereka.<br />

Desa Weihura mulai menampakkan perubahan. Yang paling nampak adalah pada<br />

saat pembangunan Kantor Desa Weihura. Kegiatan pembangunan kantor ini dimulai<br />

dengan membangun pemahaman dan kesepakatan bersama antara pemerintah<br />

desa dengan warga untuk membangun Kantor Desa, yang bermodalkan swadaya<br />

masyarakat dan ADD (Alokasi Dana Desa).<br />

Ada nilai-nilai penting yang menjadi panduan yakni Tata Kepemerintahan Lokal yang<br />

Demokratis (TKLD) yang mencakup: partisipasi, transparansi, akuntabilitas, inklusi<br />

sosial, keadilan gender, demokrasi dan pendekatan berbasis kekuatan/asset (Asset<br />

Based Approach). Partisipasi adalah keterlibatan semua warga masyarakat dalam<br />

proses pembangunan desa. Transparansi berbicara keterbukaan dalam pengelolaan<br />

program dan keuangan desa. Akuntabilitas adanya pertanggungjawaban dalam<br />

pengelolaan program dan keuangan untuk pembangunan desa. Inklusi sosial adalah<br />

upaya untuk tidak membeda-bedakan antara satu dengan lainya, misalnya antara<br />

yang miskin dengan kaya, antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan<br />

desa. Keadilan gender bertujuan untuk mendorong adanya pembagian peran dan<br />

fungsi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, antara suami dan istri dalam<br />

89


umah tangga. Demokrasi adalah musyarawarah dan mufakat, keadilan yang merata<br />

dalam proses pembangunan desa. Sedangkan pembangunan berbasis kekuatan adalah<br />

upaya-upaya untuk mendayagunakan secara optimal berbagai asset atau potensi yang<br />

ada di dalam desa dalam proses pembangunan desa.<br />

Nilai-nilai inilah yang menjadi roh atau semangat dalam program ini. Saya sebagai<br />

fasilitator mendorong agar tejadi perubahan di desa yang saya dampingi. Jujur saja<br />

saya terbebani agar proses pembangun di Desa Weihura bisa menjiwai nilai-nilai ini.<br />

Saya pribadi menyadari bahwa tanpa perubahan yang dimulai dari diri tidak akan<br />

berhasil. Saya juga banyak belajar dalam proses pendampingan yang dijalankan di<br />

desa.<br />

Pada bulan Juli 2010, Kapedes berinisiatif untuk membuat diskusi antar-pemerintah<br />

desa dan kader-kader lain, lembaga-lembaga lain di desa untuk merancang Desa<br />

Weihura yang maju dan mandiri terutama dalam proses pembangunan yang dilandasi<br />

oleh nilai-nilai TKLD. Proses diskusi bersama tersebut berjalan dengan baik sehingga<br />

ada komitmen dari pemerintah desa untuk mengadakan pertemuan rutin setiap 3<br />

bulan sekali. Dalam pertemuan ini juga disepakati agar desa menyediakan insentif<br />

bagi Kapedes yang diambil dari dana ADD.<br />

Waktu terus berjalan. Proses penyusunan perencanaan desa dilaksanakan untuk<br />

menghasilkan sebuah dokumen yang akan menjadi acuan pembangunan desa sampai<br />

masyarakat merajut mimpi desa 5 tahun yang dituangkan dalam dokumen RPJM-<br />

Desa. Supaya program-program dalam RPJM-Desa dapat terlaksana, maka penting<br />

sekali untuk membangun pemahaman warga tentang RPJM-Desa, dan memastikan<br />

agar warga dan pemerintah desa memiliki komitmen yang sama untuk menyukseskan<br />

program yang telah dibuatnya dalam RPJM-Desa.<br />

Proses pendampingan masih terus berjalan agar warga, kader pemberdayaan<br />

masyarakat, pemerintah desa selalu diberi peningkatan kapasitas agar mereka<br />

mampu mengelola potensi yang ada dan dimanfaatkan untuk proses pembangunan<br />

desa. Begitu pentingnya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) karena<br />

yang diharapkan mereka mampu mengelola aset dan potensi yang ada di desa agar<br />

dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan desa yang akan dijalankan. Dengan<br />

adanya peningkatan kualitas SDM yang dilakukan secara terus menerus, maka akan<br />

menghasilkan sebuah desa yang maju, proses pembangunan desa akan berkelanjutan,<br />

dan warga akan menjadi lebih sejahtera dan mandiri.<br />

Semakin sadarnya warga akan pentingnya proses pembangunan yang berlandaskan<br />

nilai-nilai TKLD, maka desa akan semakin berkembang dengan baik. Sebab warga<br />

90


Nilai-nilai partisipasi, transparansi, akuntabilitas, inklusi sosial, keadilan<br />

gender, demokrasi dan pendekatan berbasis kekuatan/asset (asset<br />

based approach) inilah yang menjadi roh atau semangat dalam proses<br />

pembangunan desa<br />

yang merencanakan, warga yang melaksanakan, dan warga yang mengevaluasi hasil<br />

dan proses-proses pembangunan yang akan dijalankan di desa tersebut. Itulah makna<br />

sesungguhnya dari pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan. Wargalah yang<br />

berkuasa dan memimpin pembangunan desa.<br />

Saya tidak selamanya berada di samping warga. Saya tidak selamanya membuat<br />

mereka manja dan bergantung kepada pihak lain. Namun warga akan tetap mampu,<br />

jika kita percayakan segalanya kepada mereka. Mari kita kembalikan kepemimpinan<br />

kepada warga.<br />

91


<strong>ACCESS</strong><br />

Tim Stimlant<br />

Institute<br />

93


94Bermetamorfosa menjadi lebih baik, harus mengalahkan semua ketidapercayaan diri,<br />

mengobarkan semua waktu dan tenaga bahkan mendobrak pintu informasi dari segala arah<br />

untuk memperkuat diri (Wenda Radjah)


Perempuan Itu Bermetamorfosa<br />

Menjadi Negosiator Ulung<br />

Wenda Radjah<br />

“Pokoknya kami hanya mau pastikan bahwa proses dialog yang waktunya sudah kita<br />

sepakati hari ini harus terlaksana pada tanggal 25 Februari 2011 jam 09.00 Wita<br />

bertempat di kantor PDAM, kami mau saat itu PJS Direktur PDAM harus hadir dan<br />

kami tidak mau lagi ditawar- tawar!” kata Yanti Jacob, Divisi Advokasi Pusat Sumber<br />

Daya Warga (PSDW) “Mira Kaddi Hari”, Kelurahan Kambaniru.<br />

Masih hangat dalam ingatan saya situasi ketika kata-kata ini terucap dari mulut<br />

perempuan berkulit hitam manis yang bernama Yanti Jacob. Kata-kata yang diucapkan<br />

dengan tegas itu mengandung sedikit “ancaman” bagi PDAM karena warga merasa<br />

jenuh dengan tidak adanya kepastian soal waktu untuk berdialog dengan warga.<br />

Hujan lebat di luar tak sedikit pun menyurutkan niat mereka mendapat jawaban dari<br />

PDAM. Saat itu 19 Februari 2011 pukul 10.00 WITA, saya mendapat kesempatan<br />

mendampingi warga untuk melakukan dialog dengan PDAM (Perusahaan Daerah Air<br />

Minum) Matawai Amahu Kabupaten Sumba Timur dan itu adalah saat pertama warga<br />

yang tergabung dalam PSDW mendatangi kantor PDAM.<br />

Awalnya, saya memang tidak pernah membayangkan akan terlibat dalam kegiatan<br />

advokasi isu bersama warga seperti ini. Ketika menyelesaikan kuliah di Sekolah Tinggi<br />

Ilmu Ekonomi Kriswina Sumba pada tahun 2006, saya langsung diajak bergabung<br />

sebagai staf pengajar di tempat tersebut dan saya sangat menikmatinya. Tetapi<br />

pada tahun 2009 rutinitas mengajar kemudian membuat saya sedikit “jenuh”. Saya<br />

terjebak untuk mengajarkan sejumlah teori pada mahasiswa yang saya sendiri juga<br />

tidak tahu bagaimana praktiknya. Ada keinginan dalam diri saya untuk “membumikan”<br />

teori tersebut, artinya saya ingin mengerjakan sesuatu yang bermanfaat nyata bagi<br />

kehidupan banyak orang, tidak hanya sekedar bicara, berteori dan beretorika.<br />

Suatu saat tepatnya pada bulan Februari 2009 secara tidak sengaja saya berkunjung<br />

ke rumah salah seorang teman dosen yang bersuami Bapak Stepanus Makambombu<br />

95


(Direktur Stimulant Institute: Lembaga Studi Perubahan Sosial dan Pengembangan<br />

Masyarakat). Saat itu Pak Step-sapaan akrab bagi Bapak Stepanus Makambombu-<br />

sedang mencari staf untuk bekerja pada lembaga Stimulant untuk program yang<br />

berjudul “Publik Bicara”. Program tersebut merupakan kerjasama dengan <strong>ACCESS</strong><br />

Phase II. <strong>ACCESS</strong> merupakan lembaga yang berada di bawah kemitraan antara<br />

Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia. Entah mengapa saat itu, saya<br />

sangat tertarik untuk bergabung dan akhirnya saya menjadi staf Stimulant untuk<br />

bidang penelitian dan advokasi sampai saat ini.<br />

Program “Publik Bicara” sebenarnya adalah sebuah program yang dilaksanakan<br />

dengan tujuan agar warga memiliki kesadaran kritis dan melakukan aksi kolektif<br />

untuk memperjuangkan pemenuhan hak- hak warga dalam pelayanan publik, mampu<br />

mengorganisir diri untuk mengawasi pelayanan publik, mampu membangun interaksi<br />

dengan berbagai pihak untuk mendorong terciptanya layanan publik yang berkualitas<br />

dan berkeadilan.<br />

Sejak tahun 2006 sampai 2008 Stimulant telah melakukan penelitian untuk layanan<br />

publik seperti layanan KTP, air bersih, Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan rumah<br />

sakit. Hasil dari berbagai penelitian tersebut secara umum menunjukkan bahwa<br />

kondisi layanan publik di Kabupaten Sumba Timur memprihatinkan. Pada satu<br />

pihak, para penyedia jasa tidak menanggapi keluhan dari warga secara transparan<br />

dan akuntabel, dan pada pihak lain warga hampir tidak bisa melakukan komplain<br />

atas ketidakadilan yang didapat karena mereka tidak tahu ke mana mereka<br />

menyampaikan keluhan dan bagaimana caranya menyampaikan keluhan. Misalnya, jika<br />

listrik padam tiba-tiba yang bisa membuat alat-alat elektronika rusak, maka tidak ada<br />

ganti rugi dari PLN. Lalu adanya kasus pencatatan meteran yang tidak akurat bagi<br />

pelanggan PDAM yang membuat pembayaran melonjak. Termasuk juga kasus biaya<br />

pembuatan KTP yang bervariasi tergantung waktu pengambilannya. Dari beberapa<br />

contoh di atas dapat kita simpulkan betapa pelayanan publik di Sumba Timur sedang<br />

membutuhkan perbaikan serius.<br />

Ibarat matahari yang selalu hadir memberikan cahayanya setiap hari bagi umat<br />

manusia, pelayanan publik pun ada dan hadir setiap hari dalam kehidupan publik.<br />

Namun, apakah kita menyadari dan memahami apa sebenarnya yang dimaksud<br />

dengan pelayanan publik?<br />

Pelayanan publik adalah pelayanan yang wajib diselenggarakan negara untuk<br />

pemenuhan kebutuhan/hak dasar warga negara (publik). Dengan demikian<br />

pelayanan publik adalah hak warga dan negara berkewajiban menyediakannya dan<br />

sudah tentu yang diharapkan warga adalah penyelenggaraan pelayanan publik yang<br />

96


transparan, akuntabel dan berkeadilan gender. Harapan ini bukanlah pepesan kosong<br />

tetapi sudah “diurapi” atau dilegitimasi dengan lahirnya UU (Undang- undang)<br />

No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik dan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang<br />

Keterbukaan Informasi Publik. Selain, memberikan legitimasi bagi pemenuhan hak –<br />

hak kewarganegaraan, UU ini juga memberi ruang, kesempatan dan kepercayaan bagi<br />

warga untuk berperan aktif dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas<br />

dan adil.<br />

UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menjelaskan bahwa peran serta<br />

masyarakat dalam pelayanan publik dimulai sejak penyusunan standar pelayanan<br />

sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan, yang diwujudkan dalam bentuk<br />

kerjasama, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, peran aktif dalam penyusunan<br />

kebijakan publik sampai pada membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik. Di<br />

Kabupaten Sumba Timur sendiri sejak tahun 2010 sudah ada upaya untuk itu melalui<br />

pembentukan sebuah wadah yang bernama Community Resource Center (CRC)<br />

atau Pusat Sumber Daya Warga (PSDW) yaitu wadah yang menampung keluhan<br />

warga dalam pelayanan publik untuk dicarikan solusinya sekaligus tempat pusat<br />

informasi dan pembelajaran banyak hal yang menyangkut pelayanan publik. Wadah ini<br />

berbasiskan pada organisasi Rukun Tetangga (RT) yang sudah ada pada tingkat warga.<br />

Mereka yang terlibat di dalamnya merupakan pengurus RT maupun warga biasa.<br />

PSDW atau CRC hadir di 4 kelurahan dengan nama Ninda La Kahaungu di<br />

Kelurahan Kambajawa, Mbuhang Papandullang di Kelurahan Matawai, Titu Hari di<br />

Kelurahan Prailiu, dan Mira Kaddi Hari di Kelurahan Kambaniru, yang semuanya<br />

sudah memiliki susunan badan pengurus sebagai berikut : Ketua, Sekretaris,<br />

Bendahara, Divisi Pencatatan dan Pengaduan, Divisi Advokasi. Para pengurus<br />

PSDW merupakan orang-orang yang telah mengikuti penguatan kapasitas tentang<br />

“Manajemen PSDW“ dan “Riset Aksi untuk Pelayanan Publik” kerjasama Stimulant<br />

Institute dengan ICW (Indonesia Corruption Watch) dan Pattiro (Pusat Telaah<br />

Informasi Regional) yang didukung <strong>ACCESS</strong>.<br />

Peran dan fungsi utama dari pengurus adalah mengkoordinir kegiatan di PSDW;<br />

mengatur manajemen administrasi dan keuangan PSDW; menerima dan mencatat<br />

keluhan warga berkaitan dengan pelayanan publik; melakukan advokasi untuk<br />

isu- isu pelayanan publik; melakukan sharing pembelajaran di PSDW; memperkuat<br />

kemandirian dan keberlanjutan PSDW. Pengurus PSDW ini juga melakukan<br />

koordinasi dengan pihak kelurahan di dalam melakukan tugas- tugasnya karena<br />

sejak awal pihak kelurahan sudah menyatakan kesediaan bermitra demi mendapat<br />

informasi terkini tentang kondisi masyarakat khususnya tentang pelayanan publik.<br />

97


Dalam rangka mendorong pelayanan publik yang berkualitas dan mendukung<br />

peran PSDW, dibangun juga kerjasama dengan kelompok pemuda yaitu dari Senat<br />

Mahasiswa STIE Kriswina Sumba, Pemuda Gereja Kristen Sumba Kambaniru,<br />

Orang Muda Katolik Kambajawa, Remaja Masjid At-Taqwa Kamalaputi. Mereka<br />

berperan dalam melakukan kegiatan riset aksi yaitu penelitian yang dilakukan untuk<br />

menemukan sejumlah penyebab dari masalah-masalah pelayanan publik, sebagai<br />

upaya memotret kondisi layanan publik di 4 kelurahan (Kambajawa, Matawai, Prailiu,<br />

Kambaniru). Hasil riset dipakai sebagai acuan bagi PSDW untuk memilih isu dan<br />

ruang lingkup pelayanan publik mana yang menjadi prioritas advokasi warga, pemuda<br />

dan pengurus PSDW yang akan mendorong penyedia jasa dan pembuat kebijakan<br />

melakukan perbaikan- perbaikan demi terpenuhinya hak- hak dasar warga, bahkan<br />

juga menjadi bahan bagi sharing pembelajaran antar warga di masing-masing PSDW.<br />

Pengalaman mendampingi warga adalah sesuatu yang tidak terlupakan bagi saya,<br />

karena disana saya melihat ada sejumlah orang yang sedang berjuang untuk<br />

mendapatkan hak-haknya dalam pelayanan publik. Dari sekian banyak orang, saya<br />

begitu mengagumi dan terkesan dengan sosok seorang perempuan muda berusia<br />

31 tahun, yang kerap disapa Nona Yanti. Nona Yanti yang tinggal di RT 30 Kelurahan<br />

Kambaniru ini biasa membantu orang tuanya mengurus kebun dan menjaga kios.<br />

Pendiam dan pemalu, itu kesan saya ketika pertama kali bertemu dengan Nona<br />

Yanti, seorang anggota Pemuda GKS Kambaniru. Dia adalah salah satu pemudi yang<br />

mendapat kesempatan untuk terlibat secara khusus dalam program “Publik Bicara”<br />

yang dilaksanakan oleh Stimulant sebagai pelaku kegiatan riset aksi dan pengurus<br />

PSDW Kambaniru. Namun dalam 3 kali kesempatan penguatan kapasitas, kesan saya<br />

langsung berubah total karena ternyata beliau adalah orang muda yang energik dan<br />

sangat mencintai perubahan. Ini dibuktikan dengan keaktifannya menuangkan ide<br />

selama proses diskusi berlangsung sampai mengangkat fakta-fakta dalam masyarakat<br />

yang terjadi dalam pelayanan publik yang telah menjadi catatan pribadinya.<br />

Hal yang paling membanggakan setelah bergabung dalam kegiatan dengan Stimulant<br />

yang menjunjung nilai- nilai TKLD seperti partisipasi, transparansi, akuntabilitas,<br />

keadilan sosial dan gender, adalah usaha menginternalisasikan nilai tersebut dalam<br />

kehidupan bermasyarakat. Ia membuat “mini kontrak” yaitu sebuah kontrak yang<br />

dibuatnya dengan para tukang yang membangun rumahnya. Tujuannya supaya<br />

kedua pihak mendapatkan hak masing-masing yang diimbangi dengan pelaksanaan<br />

kewajibannya. “Saya hanya ingin memberikan pembelajaran bagi masyarakat bahwa<br />

ketika mereka berhubungan dengan pihak lain. Mereka harus paham tentang posisi<br />

tawar mereka sehingga tidak dirugikan di kemudian hari, dan terhindar dari kasus<br />

98


yang melecehkan hak-hak orang lain. Warga harus mendapatkan apa yang menjadi<br />

haknya.” ucapnya dengan mantap.<br />

Di PSDW yang ada di kelurahannya, Nona Yanti dipercaya sebagai divisi advokasi.<br />

Saya melihat dia sebagai sosok yang penuh dengan semangat untuk melakukan<br />

perubahan. Sebagai contoh, ia menyimpan dengan rapih semua surat masuk dan<br />

keluar yang berurusan dengan penyedia jasa manapun sebagai bukti jika suatu saat<br />

dia ingin melakukan komplain atau bertanya secara detail tentang pelayanan yang<br />

diterimanya di rumah sakit (mulai dari biaya, waktu yang dihabiskan sampai pada<br />

mekanisme layanan); mencatat nama petugas yang berhubungan dengannya ketika<br />

mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau membayar rekening listrik dan air.<br />

Baginya hal-hal tersebut sangat penting karena dia tidak mau melakukan komplain<br />

yang tidak jelas tanpa sejumlah fakta yang mendukung. Dan, disadari atau tidak,<br />

sesunguhnya dia tengah mengupayakan internalisasi dari sebuah nilai akuntabilitas.<br />

Bagi sebagian orang mungkin tindakan ini berlebihan karena yang terpenting adalah<br />

menikmati layanan dari suatu penyedia jasa dan selesai sampai disitu. Tetapi saya<br />

justru melihat nilai lebih dari apa dilakukannya yakni belajar untuk disiplin dari halhal<br />

sepele karena biasanya orang justru melakukan kesalahan dari apa yang dianggap<br />

sepele itu. Membayangkan jika semua orang bersikap masa bodoh, menikmati layanan<br />

publik tanpa bertanya sedikit pun tentang layanan tersebut. Apakah dengan demikian<br />

kita bisa memastikan bahwa kita telah menerima yang terbaik? Bagaimana seandainya<br />

jika aturan sah mengatakan biaya pengurusan KTP sebesar Rp. 15.000 dan karena<br />

kita tidak mengetahui maka ketika diminta membayar Rp. 50.000 agar KTP dapat<br />

diambil hari itu juga maka kita membayar begitu saja? Bukankah kita justru sedang<br />

menciptakan ruang untuk terjadinya sebuah kegiatan legal bernama “Korupsi<br />

Berencana” ditubuh Dispenduk dan Capil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil)?<br />

Catatan hebat lain dari Nona Yanti yang tidak habis-habisnya membuat saya berdecak<br />

kagum adalah cerita ketika dia dipercaya oleh pengurus dari 4 Pusat Sumber Daya<br />

Warga untuk menjadi negosiator dalam dialog tanggal 25 Februari 2011 jam 09.00<br />

Wita dengan PDAM. Usianya memang masih muda dibandingkan dengan pengurus<br />

lain yang rata-rata telah berusia 35 tahun ke atas, tetapi kepercayaan diri dan<br />

kemampuan yang dimilikinya telah membuat pengurus lain memberi kesempatan<br />

itu padanya agar nantinya dia dapat menjelaskan pada PDAM tentang hal-hal yang<br />

dikeluhkan warga dan berdasarkan hasil penelitian oleh 4 kelompok pemuda.<br />

Sebelum bersepakat untuk mengadvokasi isu air bersih ini, pengurus PSDW dari<br />

4 Kelurahan dengan difasilitasi oleh Stimulant mengadakan diskusi pada tanggal<br />

29 Januari 2011 bertempat di PSDW Mbuhang Papandullang Kelurahan Matawai,<br />

99


untuk mendiskusikan hasil riset kelompok pemuda agar semua paham mengapa isu<br />

air ini mendapat prioritas untuk diadvokasikan lebih dahulu dari isu yang lain. Hasil<br />

riset menunjukkan bahwa 60% dari responden (yang notabene adalah penerima<br />

Jamkesmas), mengeluhkan soal air bersih. Secara persentase memang lebih kecil<br />

dibandingkan keluhan yang masuk tentang layanan lain : KTP 96,9%, Pendidikan<br />

85,2%, Kesehatan 75,5%, dan PLN 59,6%. Berdasar urgensi kebutuhan diputuskanlah<br />

isu air bersih untuk segera diadvokasi. Ini diperkuat ungkapan dari Bapak Wila<br />

(Koordinator PSDW Mbuhang Papandullang), “Tidak ada listrik, tidak sekolah, tidak<br />

ada KTP atau sakit tidak kerumah sakit juga tidak masalah, tapi kalau tidak ada air<br />

kita bisa mati. Saya dengar itu iklan di televisi bilang, kita punya badan 70%nya air, kita<br />

punya otak, jantung semua perlu air, bagaimana kalau kita tidak dapat air?”<br />

Komunikasi pertama dibangun pada tanggal 31 Januari 2011, dimana warga di<br />

4 PSDW mengirimkan surat kepada PDAM yang berisi permintaan informasi<br />

sehubungan dengan hasil Riset Aksi yang dilakukan oleh kelompok Pemuda yang<br />

menyatakan ada sejumlah masalah dalam pelayan PDAM. Hal-hal tersebut tidak<br />

pernah ditanyakan sebelumnya oleh pelanggan, tetapi sebenarnya cukup merugikan<br />

masyarakat. Misalnya pencatatan meteran yang tidak akurat atau tidak adanya kartu<br />

kendali; perhitungan biaya pemakaian air yang tidak transparan; tidak ada alternatif<br />

pelayanan truk tangki jika terjadi kemacetan air; tidak ada informasi pada masyarakat<br />

tentang air macet. Di wilayah-wilayah tertentu (seperti Matawai dan Padadita)<br />

masyarakat mengalami kemacetan air selama berbulan-bulan, dana meteran yang<br />

dibayar Rp. 5,000 setiap bulan tidak ada manfaatnya, bahkan yang paling penting<br />

untuk dipertanyakan adalah apakah PDAM telah memiliki standar pelayanan yang<br />

menjadi tuntutan UU No. 25 tentang Pelayanan Publik? Dalam surat ini juga warga<br />

meminta PDAM untuk segera memberi jawaban atas surat mereka dalam jangka<br />

waktu 10 hari sejak surat mereka diterima, mengacu pada ketentuan dalam Pasal 22<br />

butir 7 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebagai upaya<br />

mendorong PDAM membangun sistem pengaduan yang responsif (cepat tanggap).<br />

Surat ini kemudian mendapat tanggapan dari pihak PDAM pada tanggal 10 Februari<br />

2011 sesuai pertanyaan yang diajukan dalam surat warga, dengan melampirkan<br />

surat Keputusan Bupati no 42.A/ PDAM.539/151.A/II/2008 yang memuat tentang<br />

ketentuan pokok pelanggan, hak dan kewajiban pelanggan, larangan dan sanksi. Ketika<br />

surat ini diterima, para pengurus PSDW berkoordinasi lagi untuk bertemu pada<br />

15 Februari 2011 jam 16.00 wita di PSDW Titu Hari Kelurahan Prailiu. Diskusi ini<br />

kemudian menghasilkan sejumlah kesimpulan: ada ketidakpuasan terhadap jawaban<br />

surat PDAM karena lebih banyak meminta warga memahami kondisi mereka,<br />

surat itu juga hanya memaparkan soal sanksi bagi warga jika tidak menjalankan<br />

100


kewajibannya sehingga menurut warga ini tidak adil, bagaimana jika PDAM yang tidak<br />

melakukan kewajibannya apakah warga bisa memberi sanksi bagi PDAM? Dalam<br />

surat tersebut juga tidak mencantumkan tentang perhitungan tarif yang sangat<br />

ingin diketahui oleh warga, hanya dikatakan bahwa ketentuan tentang tarif mengacu<br />

pada Keputusan Bupati Sumba Timur No. 42.B/PDAM.539/151.B/II/2008 sementara<br />

aturan tersebut tidak diberikan. Sehingga diputuskanlah untuk mengirim surat kedua<br />

per tanggal 16 Februari 2011 kepada PDAM yang berisi permohonan dialog untuk<br />

mendapat penjelasan yang lebih jelas bagi informasi- informasi yang diminta, dengan<br />

langsung mencantumkan waktu dialog yaitu Sabtu, 19 Februari 2011 jam 09.00 Wita<br />

bertempat di kantor PDAM.<br />

Pasca-diskusi tersebut, pengurus PSDW kembali ke Kelurahan masing-masing dan<br />

mulai mengumpulkan sejumlah pengaduan warga tentang air bersih yang kemudian<br />

digunakan sebagai penguat dalam diskusi nantinya dan melaksanakan lagi koordinasi<br />

pada tanggal 18 Februari 2011 jam16.00 Wita bertempat di PSDW Mira Kaddi Hari<br />

Kelurahan Kambaniru. Pada kesempatan ini warga berhasil menyusun strategi dialog<br />

dengan PDAM yaitu: Pertama PDAM menjelaskan poin yang ditanyakan di dalam<br />

surat terdahulu, lalu yang kedua, tiap-tiap Pusat Sumber Daya Warga mengajukan 2<br />

pertanyaan sesuai masalah yang dihadapi warganya. Untuk memfasilitasi pertemuan<br />

tersebut ditunjuk seorang pemudi bernama Yanti Jacob (sebagai juru bicara tim lobi)<br />

dari Pemuda GKS Kambaniru. Tim Stimulant diminta merekam semua proses yang<br />

terjadi dan Tim Pos Kupang dan Max FM sebagai pemantau.<br />

Akhirnya, pada tanggal 19 Februari 2011 jam 09.00 pengurus 4 Pusat Sumber Daya<br />

Warga dengan didampingi Stimulant mendatangi kantor PDAM dan menghadap ke<br />

bagian administrasi. Sebagai juru negosiator, Nona Yanti masuk dengan membawa<br />

buku ekspedisi surat (sebagai bukti bahwa PSDW telah mengirim surat ke PDAM)<br />

dan bertanya apakah surat telah diterima dan bagaimana jawaban PDAM, karena<br />

sampai dengan hari kemarin PDAM tidak mengirimkan surat pembatalan sehingga<br />

warga berasumsi kegiatan dialog tetap dilaksanakan. Jawaban yang diterima saat<br />

itu adalah warga diminta menunggu beberapa saat karena PJS (Pelaksana Jabatan<br />

Sementara) Direktur PDAM tidak berada di tempat (sedang mengikuti kegiatan<br />

Raker Pamong Praja di Gedung Nasional).<br />

Setelah menunggu satu jam lamanya, NonaYanti masuk lagi dan menemui staf<br />

administrasi PDAM untuk meminta kepastian waktu pertemuan. Pada saat itu<br />

datanglah 3 orang anggota DPRD dari Komisi A (Bagian Hukum): Pak Steven Galla,<br />

Pak Pua Umar, dan Komisi B (Bagian Kemakmuran): Pak Yunus Hunga Meha. Warga<br />

tidak menyangka mereka akan hadir saat itu karena sehari sebelumnya ketika<br />

101


dikon rmasi mereka menyatakan tidak dapat hadir karena ada tugas keluar kota<br />

untuk meninjau beberapa proyek. Akhirnya 4 orang perwakilan warga, Nona Yanti<br />

bersama 1 orang staf Stimulant diijinkan masuk untuk mengadakan diskusi dengan<br />

anggota DPRD dan Kepala administrasi PDAM.<br />

Sebagai negosiator, Nona Yanti tampil dengan begitu percaya diri dan mengeluarkan<br />

sebuah pernyatan yang cukup menekan pihak PDAM, “Pokoknya kami hanya mau<br />

pastikan bahwa proses dialog yang waktunya sudah kita sepakati hari ini harus<br />

terlaksana di tanggal 25 Februari 2011 jam 09.00 Wita bertempat di kantor PDAM,<br />

kami mau PJS Direktur harus hadir dan kami tidak mau lagi ditawar- tawar!”<br />

Sebuah sejarah baru dalam pelayanan PDAM di Sumba Timur terukir pada tanggal<br />

25 Februari 2011, dimana hadirlah 13 orang perwakilan warga dari 4 PSDW, 4<br />

orang staf Stimulant dan 2 orang dari harian Pos Kupang untuk berdialog dengan<br />

PJS Direktur PDAM beserta 4 orang staffnya (Bagian administrasi, Perencanaan,<br />

Tehnik dan Pengaduan). Sebagai negosiator, Nona Yanti membuka dialog itu dengan<br />

penjelasan mengapa warga hadir di tempat itu yaitu sebagai upaya untuk mengawasi<br />

penyelenggaraan pelayanan PDAM. ”Kami datang bukan untuk menghakimi PDAM<br />

tetapi kami hanya mau memastikan bahwa PDAM dan warga (pelanggan) memiliki<br />

posisi yang sama, supaya kita sama- sama mendapatkan apa yang menjadi hak kita<br />

dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban kita,” tandas Nona Yanti dengan pasti.<br />

Sepanjang proses dialog, perdebatan-perdebatan antara warga dan PDAM muncul<br />

bertubi-tubi membuat situasi kian memanas, emosional dan tegang, dan dalam<br />

kondisi demikian Nona Yanti selalu berhasil mengontrol keadaan genting tersebut<br />

dan mengarahkan peserta untuk berdialog secara santun dan fokus pada substansi<br />

pembicaraan. Bahkan bila ada warga yang terlihat mulai emosional, dia memberikan<br />

tanda agar warga tetap tenang karena sebelumnya semua telah bersepakat bahwa<br />

dialog yang dibangun adalah dialog yang santun dan beretika, tetap berkepala dingin<br />

sehingga dapat berpikir jernih.<br />

Dialog yang memakan waktu kurang lebih 3 jam itu kemudian menghasilkan<br />

informasi dan kesepakatan seperti: pemanfaatan kembali kartu kontrol untuk<br />

pencatatan meteran yang akurat, warga mendapatkan nama para pencatat<br />

meter, wilayah kerja dan waktu pencatatan sehingga bisa ikut memantau, ada<br />

jadwal pembagian air yang jelas bagi warga di wilayah Padadita kelurahan Prailiu,<br />

warga diberikan surat Keputusan Bupati tentang tarif air minum dan bagaimana<br />

menghitung biaya pemakaian air tersebut, peninjauan kembali jaringan air antara<br />

Kalu dan Padadita (Kelurahan Prailiu) yang selama ini bermasalah karena adanya<br />

penyambungan pipa secara liar oleh petugas PDAM non-teknis (yang notabene<br />

102


tidak boleh) ke Kalu (wilayah rendah) yang menyebabkan Padadita (wilayah tinggi)<br />

tidak mendapat air. Dana meteran digunakan untuk mengganti meteran pelanggan<br />

yang rusak dan pemeliharaan pipa persil (pipa yang dari pipa induk menuju rumah<br />

pelanggan).<br />

Pascadialog, ketika semua pengurus PSDW mengadakan evaluasi, saya penasaran<br />

untuk bertanya pada Nona Yanti soal mengapa dia memaksa PDAM untuk<br />

menghadirkan PJS Direktur untuk berdialog dengan warga dari PSDW. Alasannya<br />

sederhana, ”Kalau hanya staf yang hadir maka jawabanya nanti hanya: iya kami<br />

sampaikan pada pimpinan. Kalau modelnya seperti itu, kapan kita mendapat solusi<br />

untuk masalah ini. Jadi yang hadir ya memang harus orang yang berhak mengambil<br />

keputusan, karena soal air ini penting sekali. Jangan karena keterlambatan mereka<br />

warga yang jadi korban.” Sungguh sebuah alasan yang sangat tepat.<br />

Dan, pada sebuah kesempatan lain ketika persiapan untuk advokasi isu listrik (2 April<br />

2011) lagi-lagi dia mengeluarkan pernyataan yang mencengangkan saya, “Saya harap<br />

kita tidak berlama- lama dalam menindaklanjuti setiap informasi yang masuk ke Pusat<br />

Sumber Daya Warga (dalam bentuk surat) dari PLN karena kalau terlalu lama maka<br />

pressure (daya tekan) kita pada mereka akan berkurang,” ungkapan yang cantik<br />

sekali, secantik niat tulusnya untuk memperjuangkan hak-hak warga, untuk merubah<br />

wajah pelayan publik Sumba Timur menjadi lebih baik.<br />

Betapa tidak, kini sosok pemalu itu telah bermetamorfosa (berubah menjadi<br />

sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya lewat sebuah proses panjang yang kadang<br />

menyakitkan) menjadi negosiator ulung, mengalahkan semua ketidakpercayaan<br />

dirinya, mengorbankan semua waktu dan tenaganya bahkan mendobrak pintu<br />

informasi dari segala arah untuk memperkuat dirinya.<br />

Sampai tulisan ini dibuat pun saya masih terkagum- kagum pada sosok orang muda<br />

ini, saya masih penasaran apalagi yang akan dibuatnya? Kepada Stimulant, saya<br />

memohon untuk diijinkan terus mendampingi warga memberikan pencerahan pada<br />

khasanah berpikir mereka tentang segala sesuatu terkait pelayanan publik. Kini<br />

terjawab sudah upaya saya untuk “membumikan” teori pemberdayaan masyarakat<br />

sesungguhnya. Perempuan itu sekarang telah berdaya dan tak dapat diperdaya lagi.<br />

Kalau tidak percaya, coba saja cari caranya, saya jamin tak pernah ada cara!<br />

***<br />

Tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh perempuan Sumba.<br />

103


104<br />

Penjual Sayur yang Peduli<br />

Pela ya n a n Pu blik<br />

Ferdinan Mahat<br />

Saya sehari-hari, bekerja sebagai penjual sayur keliling, yang menapaki lorong-lorong<br />

perkampungan. Itulah pekerjaan yang saya tekuni selama ini untuk mencukupi<br />

kebutuhan keluarga.<br />

Masa kecil saya biasa-biasa saja sama seperti anak- anak lainnya, bermain, bersekolah,<br />

membantu orang tua dan tidak peduli pada apapun yang terjadi di lingkungan.<br />

Setelah beranjak dewasa, ada satu hal yang mengganggu pikiran saya. Sering kali<br />

saya bertanya dalam hati, apa yang harus saya lakukan untuk membantu sesama.<br />

Karena itu saya kerap berdoa, memohon pada Yang Kuasa agar memberikan hikmat<br />

kepada saya agar mau peduli sesama. Dan saya pun diberikan kesempatan untuk<br />

mewujudkan kepedulian itu.<br />

Suatu ketika, tepatnya pada tanggal 07 april 1998, diadakan perlombaan voli antarumat<br />

beragama pada sore hari, bertempat di GKS Waingapu. Saat itu pertandingan<br />

pemuda Kristen melawan pemuda Muslim. Masing-masing umat hadir untuk<br />

menonton pertandingan itu dan memberi semangat kepada tim mereka. Suara riuh<br />

para penonton menambah semaraknya pertandingan.<br />

Tak disangka dalam pertandingan tersebut, tim pemuda Muslim kalah melawan tim<br />

pemuda Kristen. Dan terjadilah saling ejek mengejek antar-penonton dari kedua<br />

belah pihak. Kejadian itu semakin memanas sehingga terjadi aksi saling lempar batu<br />

antar-penonton. Sehingga mengakibatkan seorang pemuda Kristen mengalami luka.<br />

Lalu terjadi pertengkaran yang hebat antara pemuda Muslim dan pemuda Kristen.<br />

Kejadian ini tak berhenti di sini, kedua pihak tersebut terus memanas.<br />

Kejadian ini terus berlanjut sampai malam hingga mengalami kekacauan yang besar


membuat seluruh warga kota Waingapu takut dan risau pada malam itu. Terjadi aksi<br />

pelemparan rumah ibadah dan rumah-rumah warga. Situasi ini membuat masingmasing<br />

umat berusaha untuk menjaga rumah ibadah mereka. Namun walaupun<br />

demikian tetap saja terjadi, beberapa rumah warga dan rumah ibadah hancur<br />

dilempari massa.<br />

Kekacauan pada malam itu sungguh mengerikan. Tetapi beruntunglah, Sang Pencipta,<br />

dengan caraNya tidak mau melihat anak-anak-Nya saling membunuh, sehingga<br />

turunlah hujan lebat disertai petir bertubi- tubi yang membuat gerombolan massa<br />

yang hendak saling menyerang itu bubar. Keesokan harinya, ketika saya bangun dari<br />

tidur, saya langsung bermenung, berpikir dan mempertanyakan kehebatan wilayah<br />

saya yang selama ini selalu menjunjung tinggi hidup rukun dan damai. Saya menjadi<br />

heran, mengapa hanya karena persoalan kalah dan menang dalam permainan bola<br />

voli bisa memicu dan menyebabkan kon ik antar-agama.<br />

Hal ini mendorong saya untuk langsung mengambil alih mengamankan wilayah RT 05<br />

RW 02 dengan mengundang 3 tokoh agama yang ada di wilayah saya yakni Pak J. Ngg.<br />

Kaborang dan Pak Jhon Lake dari Protestan, Pak Hussen Thalib dari Islam, dan Pak<br />

Karolus Kauki dari Katholik. Kami semua berdialog secara mendalam untuk mencari<br />

jalan keluar dengan mengundang masyarakat dan memberi pengarahan kepada<br />

mereka agar tidak terpancing dengan berbagai aksi provokatif yang menyebabkan<br />

perpecahan antar-umat beragama.<br />

Saat itu saya dipercaya untuk mengundang warga dari 3 RW, yaitu RW 01, RW 02,<br />

RW 03 yang terdiri dari berbagai komponen masyarakat yaitu laki-perempuan,<br />

kaum tua, kaum muda, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemerintah<br />

setempat. Sekitar pukul 09.15, saya mulai berjalan untuk mengundang warga.<br />

Meskipun saya harus menempuh perjalanan 2 kilometer dengan berjalan kaki.<br />

Tak menjadi kendala bagi saya untuk terus berjalan, memberitahukan kepada<br />

warga, bahwa akan ada pertemuan kesepakatan antar-umat beragama yang akan<br />

dilaksanakan pada hari itu. Tempat pertemuan yang akan digelar adalah di aula SD<br />

Umamapu.<br />

Pertemuan ini kemudian menghasilkan kesepakatan antar 3 tokoh agama tersebut<br />

yang dinyatakan dalam sebuah ikrar: “Bila ada yang datang mengacaukan wilayah<br />

kami, kami tidak melihat dari segi agama, tapi dari perbuatan dan kejahatan yang<br />

dilakukannya.”<br />

Dan sampai saat ini kerukunan antara kami tetap terawat dan begitu akrab, dan<br />

mulai saat itu saya mengembangkan sayap-sayap untuk memperjuangkan apa yang<br />

105


menjadi keinginan masyarakat.<br />

Pada tahun 2000 saya melibatkan diri dalam suatu Yayasan Wahana Visi Indonesia<br />

(WVI) sebagai mitra kerja dan dipercaya sebagai ketua kelompok kios “Ndua<br />

Ate” (Baik Hati) bagi masyarakat. Tujuannya untuk membantu meningkatkan<br />

ekonomi masyarakat lewat bantuan barang dan modal usaha. Dari sinilah saya<br />

menimba banyak pengalaman, saya berani memperjuangkan dan mengangkat setiap<br />

permasalahan-permasalahan yang ada di tingkat masyarakat, kelurahan, kecamatan<br />

maupun kabupaten. Saya harus membantu masyarakat dalam meminta bantuan<br />

dari pemerintah maupun bantuan dari LSM. Meskipun saya terlibat dalam kegiatan<br />

WVI, tetapi saya tetap berjualan. Sambil berjualan sayur keliling saya juga banyak<br />

mendapatkan informasi dari warga tiap-tiap RT, apa yang mereka alami dan apa yang<br />

mereka butuhkan.<br />

Dilihat dengan keberhasilan inilah, sehingga pada tahun 2007 saya dipilih dan<br />

dipercaya oleh warga masyarakat menjadi ketua RT 05, di Kelurahan Kambajawa.<br />

Sampai saat ini, saya sudah dua periode menjabat sebagai Ketua RT. Saya senang<br />

karena banyak sekali masyarakat yang mendukung saya. Mereka mendukung saya<br />

karena selama ini banyak hal yang saya perjuangkan untuk masyarakat, seperti saya<br />

memperjuangkan aspirasi warga di RT saya untuk mendapat Jamkesmas dan Raskin.<br />

Saya juga mendorong warga RT untuk membentuk arisan ibu-ibu, dan adanya arisan<br />

Penguyuban Mamboro (arisan duka). Tujuan arisan ini agar bisa membantu anggotaanggota<br />

kelompok untuk mendapat dukungan dana apabila mereka membutuhkan<br />

uang untuk keperluan sekolah, kesehatan dan kedukaan. Kelompok ini mempunyai<br />

anggota sebanyak 49 orang. Setiap bulan kelompok ini melakukan kegiatan arisan<br />

dimana setiap anggota wajib mengumpulkan iuran sebanyak Rp. 25.000,-. Dan arisan<br />

duka sebesar Rp.100.000,- per orang bila ada yang mengalami kedukaan.<br />

Komitmen saya selama melayani masyarakat adalah “tahu diri, lihat diri, hadap diri”.<br />

Tahu diri, artinya suatu hal yang tercermin dalam pribadi saya. Saya harus tahu<br />

kekuatan, kelebihan dan kekurangan saya. Lihat diri, artinya saya harus bisa melihat<br />

atau menilai diri saya dulu sebelum melihat atau menilai orang lain. Saya dan orang<br />

lain adalah sama dan sepadan. Oleh karena itu saya tidak boleh memperlakukan<br />

orang lain semau saya. Hadap diri, artinya saya harus melayani sesama dengan rasa<br />

kepedulian yang tinggi dan sepenuh hati.<br />

Tahun 2010, tepatnya pada tanggal 29-30 April, saya mengikuti pelatihan tentang<br />

pelayanan publik dari Stimulant di Aula Rumah Sakit Lindimara. Banyak hal yang<br />

saya dapatkan dari pelatihan tersebut, dimana saat itu kami membicarakan tentang<br />

Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dari UU itu saya<br />

106


mendapat pengetahuan bahwa sebagai warga Negara saya berhak untuk mengawasi<br />

penyelenggaraan pelayanan publik. Saya juga harus berani menyampaikan keluhankeluhan<br />

warga terkait pelayanan publik yang belum memuaskan warga masyarakat.<br />

Pelatihan itu memperkuat semangat dan tekad saya untuk bergabung dengan<br />

Stimulant dalam program membantu masyarakat untuk menyuarakan hak-hak<br />

mereka terkait pelayanan publik di Kabupaten Sumba Timur, terutama di lingkungan<br />

saya. Sekembali dari pelatihan itu, saya terpilih sebagai Koordinator Pusat Sumber<br />

Daya Warga (PSDW) “Ninda La Kahaungu” di Kelurahan Kambajawa. PSDW ini<br />

Komitmen saya melayani masyarakat adalah<br />

“tahu diri, lihat diri, hadap diri”. Tahu diri, artinya<br />

suatu hal yang tercermin dari pribadi. Lihat diri,<br />

artinya saya harus bisa melihat orang lain adalah<br />

sama. Hadap diri, artinya melayani sesama<br />

dengan rasa kepedulian yang tinggi.<br />

107


mencakup 5 RT yaitu RT 01,RT 02, RT 03, RT 04, dan RT 05.<br />

Saya bangga menjadi Koordinator Pusat Sumber Daya Warga Ninda La Kahaungu.<br />

Dengan ini, saya diberi tanggung jawab yang lebih besar lagi untuk memperjuangkan<br />

pemenuhan hak-hak warga atas pelayanan publik di Kelurahan Kambajawa. Salah<br />

satu cara praktis yang saya lakukan untuk mengumpulkan keluhan warga terkait<br />

pelayanan publik adalah dengan memberikan nomor Handphone (HP) saya kepada<br />

semua warga pada 5 RT. Jika mereka memiliki keluhan terkait pelayanan publik<br />

yang diterima, maka mereka dapat mengirim SMS ke saya. Keluhan-keluhan yang<br />

disampaikan melalui SMS saya tindaklanjuti untuk dibahas di Pusat Sumber Daya<br />

Warga atau disampaikan ke penyedia layanan.<br />

Sebagai apresiasi atas kepedulian saya terhadap penyelenggaraan pelayanan publik,<br />

Stimulant Institute memilih saya menjadi aktor utama dalam pembuatan sebuah lm<br />

dokumenter yang berjudul “Dilarang Cuek”. Film ini merekam dan bercerita tentang<br />

kepekaan dan antusiasme saya sebagai seorang penjual sayur keliling. Biasanya selama<br />

108<br />

Saya mengajak seluruh warga Sumba Timur, baik<br />

penyedia layanan maupun penerima layanan, sepenuh hati<br />

meningkatkan kulitas pelayanan publik di Sumba Timur. Kalau<br />

bukan kita siapa lagi dan kalau bukan sekarang kapan lagi.


erjualan sayuran keliling dari RT ke, di sepanjang jalan, saya memperhatikan berbagai<br />

penyelenggaraan layananan publik, mulai dari urusan memperbaiki pipa PDAM yang<br />

bocor, membersihkan sampah-sampah yang berserakan di sembarang tempat, hingga<br />

melapor ke petugas layanan jika saya menemukan fasilitas-fasilitas pelayanan publik<br />

yang rusak.<br />

Selain menjadi aktor dalam lm dokumenter Dilarang Cuek, saya dipercayakan oleh<br />

Pusat Sumber Daya Warga, Stimulant dan <strong>ACCESS</strong> untuk mewakili Sumba Timur<br />

mengikuti kegiatan Temu Karya Bintang Pelayanan Publik Kawasan Timur Indonesia<br />

yang dilaksanakan pada tanggal 25-27 Oktober 2010 di Kendari, Sulawesi Tenggara.<br />

Saya bangga sekali bisa dipilih untuk mengikuti kegiatan tersebut. Di kegiatan itu,<br />

saya bertemu dengan banyak Bintang sebagai perwakilan dari daerah lainnya yaitu<br />

dari NTB, NTT, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Saya juga belajar banyak<br />

contoh yang baik dari daerah lain dalam mendorong warga dan kelompok warga<br />

untuk peduli terhadap pelayanan publik. Dari Sulawesi Selatan saya belajar tentang<br />

pembuatan piagam warga dengan puskesmas. Saya mendapat kesempatan berkenalan<br />

dan berbincang dengan Kepala Pusat Pelayanan Terpadu dari Kabupaten Jene Ponto.<br />

Beliau menceritakan pelayanan satu atap di daerahnya. Namun, saya juga bangga<br />

dengan apa yang kami kerjakan di Sumba. Saya bangga sekali karena stand kami<br />

dari NTT terpilih sebagai stand terbaik pada Temu Karya tersebut. Sekembali dari<br />

Kendari, saya membagikan pengalaman yang saya dapatkan dari kegiatan tersebut<br />

kepada teman-teman saya di Pusat Sumber Daya Warga dan Kelurahan.<br />

Saya sangat berharap agar pelayanan publik di Sumba Timur semakin baik ke<br />

depannya. Oleh karena itu saya mengajak seluruh warga Sumba Timur, baik penyedia<br />

layanan maupun penerima layanan, bertekad sepenuh hati untuk meningkatkan<br />

kulitas pelayanan publik di Sumba Timur. Kalau bukan kita siapa lagi dan kalau bukan<br />

sekarang kapan lagi.<br />

109


110<br />

Makna<br />

Sebuah Lembaga<br />

Frederika Nday Ngana<br />

Saya perempuan yang sudah berkeluarga dan memiliki empat orang anak. Sebagai<br />

ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak dan suami, saya mengerjakan pekerjaan<br />

setiap hari di rumah seperti memasak, mencuci, menyetrika, menyapu dan lain<br />

sebagainya. Pekerjaan suami saya adalah tukang kayu, batu, dan besi. Dan keempat<br />

anak saya, semuanya bersekolah. Ada yang SMA, SMP dan SD. Selain sebagai ibu<br />

rumah tangga, saya juga sebagai majelis jemaat di GKS (Gereja Kristen Sumba)<br />

Umamapu. Setiap hari Selasa, Rabu dan Kamis, saya memimpin Pemahaman Alkitab<br />

(PA) rumah tangga dan bergabung juga dengan Persekutuan Wanita Kristen GKS<br />

Umamapu.<br />

Selain itu, di kalangan masyarakat, saya berperan sebagai tokoh wanita di RT 05,<br />

RW 02, Kelurahan Kambajawa, tempat tinggal saya. Saya sering diikutsertakan dalam<br />

kegiatan apa saja yang berhubungan dengan kegiatan di lingkungan RT dan kelurahan.<br />

Misalnya penyusunan program tahunan di kelurahan, pembentukan kelompok PKK<br />

(Program Kesejahteraan Keluarga) dan pembersihan lingkungan.<br />

Sebelum saya terlibat dalam program Stimulant, pengalaman saya sangat minim.<br />

Saya jarang mengikuti pelatihan-pelatihan yang bertujuan meningkatkan kapasitas<br />

saya. Sehingga pengetahuan saya pada saat itu benar-benar terbatas karena lebih<br />

banyak mengurus yang berkaitan dengan urusan rumah tangga. Dan kalaupun<br />

sering, kegiatan di publik hanyalah mengikuti pertemuan RT, RW, kelurahan dan PKK<br />

meskipun pengetahuan saya belum memadai.<br />

Pada bulan April 2010, saya mengikuti pelatihan pengeloaan Pusat Sumber Daya<br />

Warga di Aula Rumah Sakit Lindimara. Saat itu Stimulant bekerjasama dengan<br />

kelurahan Kambajawa, dan dari kelurahan bekerjasama dengan RT 01, 02, 03, 04,<br />

05. Pelatihan itu diberikan oleh ICW. Dari situ saya mendapat banyak pengalaman<br />

yang sangat menarik dan memuaskan tentang bagaimana bisa membantu masyarakat


untuk menyampaikan keluhan mereka tentang pelayanan publik di Kabupaten Sumba<br />

Timur.<br />

Perlahan tapi pasti, saya paham bahwa yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah<br />

semua layanan yang disediakan oleh negara seperti pendidikan, kesehatan, listrik, air<br />

bersih, dan lain-lain, yang sumbernya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/<br />

Daerah (APBN/D) yang dihimpun dari pajak- pajak yang dibayar masyarakat.<br />

Setelah saya mengikuti pelatihan, bersama teman pengurus RT (Rukun Tetangga) lain<br />

yang juga mengikuti pelatihan, kami membentuk badan pengurus Pusat Sumber Daya<br />

Warga Kambajawa, yang terdiri dari Ferdinan Mahat (Koordinator), Agustina Wulang<br />

(Bendahara), Debora Mbiliyora dan Jola Pedi (Sekretaris), Baria Ambarak dan Jhon<br />

Bili (Divisi Pencatatan dan Pengaduan), Freserika Nday Ngana dan Ellen S Fanggidae<br />

(Divisi Advokasi). Pusat Sumber Daya Warga Kambajawa (PSDW) ini kami beri<br />

nama “Ninda La Kahaungu”.<br />

Alasan yang mendorong saya bersama teman-teman membentuk PSDW sebagai<br />

pusat pengaduan warga agar warga paham tentang pelayanan publik seperti<br />

pelayanan PLN, PDAM dan Dispenduk. Juga, dengan adanya PSDW, warga tahu<br />

kemana dan bagaimana caranya warga dapat menyampaikan keluhannya terkait<br />

pelayan publik yang diterima. PSDW juga dapat menjadi wadah bagi warga untuk<br />

berbagi pengalaman dan informasi tentang pelayanan publik.<br />

Stimulant mendampingi kami untuk terus berkomunikasi tentang bagaimana caranya<br />

supaya segera dilaksanakan pengukuhan badan pengurus Pusat Sumber Daya Warga<br />

agar kegiatan- kegiatannya segera berjalan. Stimulant kemudian mengundang pihak<br />

kelurahan untuk datang dan mengukuhkan kami pada tanggal 12 Mei 2010, jam 5<br />

sore, di rumah koordinator PSDW Ninda La Kahaungu. Dan setelah pengukuhan<br />

banyak hal yang kami bahas yaitu masalah pelayanan air bersih, penerangan,<br />

pendidikan dan kesehatan.<br />

Setelah terbentuknya badan pengurus PSDW, saya dan teman-teman berkomitmen<br />

bagaimana menghimpun pemuda-pemudi yang ada di wilayah kami. Adapun tujuan<br />

kami menghimpun mereka agar mereka tidak bergabung dengan kegiatan yang<br />

merugikan atau menghancurkan kehidupan dan masa depan mereka seperti mabukmabukan,<br />

narkoba, seks bebas, pencurian, dan lain-lain.<br />

Saya dan teman- teman mencari waktu yang sangat tepat untuk menghimpun<br />

pemuda dan pemudi, dan segera kami mengundang pihak Stimulant untuk bersama-<br />

sama dengan kami mengerahkan pemuda pemudi. Luar biasa, saat itu pemuda-<br />

111


pemudi langsung merespon pertemuan tersebut dan segera membentuk kelompok<br />

tersendiri yang diberi nama “Pemuda Kasih Persaudaraan” pada bulan Juli 2010.<br />

Langsung pada saat itu juga mereka melaksanakan satu pertandingan olahraga<br />

persahabatan lingkup RT 01- 06 untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan<br />

Republik Indonesia sebagai upaya merawat dan menumbuhkan kerukunan antarpemuda.<br />

Saya pribadi sungguh merasakan bagaimana perkembangan yang luar biasa dengan<br />

adanya Pusat Sumber Daya Warga di Kelurahan Kambajawa. Mengapa saya berkata<br />

demikian? Karena selama ini kami tidak pernah menyuarakan apa yang menjadi<br />

hak-hak kami sebagai warga dalam pelayanan publik yaitu mendapatkan layanan air<br />

bersih, listrik, kesehatan, pendidikan, pelayanan KTP, akte kelahiran, kartu keluarga,<br />

dan lain-lain. Saya pribadi mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten<br />

Sumba Timur karena bisa bekerjasama dengan Stimulant dalam hal pemberian ijin<br />

pelaksanaan program di wilayah kami sehingga kami sebagai warga dapat ikut serta<br />

dalam pertemuan-pertemuan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.<br />

Dengan adanya PSDW, kami dapat menyampaikan segala maksud dan niat kami yang<br />

terpendam selama ini. Kami juga memiliki keberanian untuk bersuara. Pada tanggal<br />

12 November 2010 kami berkesempatan berdialog dengan Dewan Perwakilan<br />

Rakyat Daerah (DPRD) Sumba Timur melalui Perayaan Hari Kesehatan Nasional.<br />

Pada pertemuan itu, saya meyampaikan tentang keluhan tentang pelayanan kesehatan.<br />

Khusus di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Umbu Rara Meha, sering kali saya<br />

menemukan aktivitas petugas kebersihan dilaksanakan pada saat pengunjung rumah<br />

sakit mulai ramai. Kondisi ini sangat menganggu pelayanan rumah sakit dan juga<br />

pemanfaatan layanan kesehatan.<br />

Selain itu, saya juga menyoroti tentang pelayanan air minum bagi pasien RSUD Rara<br />

Meha yang tidak memadai. Seringkali pasien hanya memanfaatkan keluarganya di<br />

Waingapu untuk menyediakan air minum. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena<br />

minimnya pelayanan terhadap pasien.<br />

Dalam pertemuan tersebut pula, saya juga menyoroti tentang kondisi saranaprasarana<br />

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Waingapu. Menurut saya,<br />

kondisi Puskesmas tersebut sangat memprihatinkan karena sangat sempit sehingga<br />

pasien merasa tidak nyaman menunggu, mengingat setiap hari banyak warga yang<br />

memanfaatkan tempat tersebut.<br />

Kemudian pada tanggal 4 Maret 2011 saya mengikuti Lokakarya Indeks Masyarakat<br />

Sipil di Hotel Jemy yang melibatkan anggota DPRD, Staf Pemda, LSM, tokoh agama,<br />

112


tokoh masyarakat. Lokakarya itu bertujuan untuk memaparkan kondisi terbaru<br />

terkait pelayanan publik di Sumba Timur sehingga dapat mendorong pihak yang hadir<br />

untuk melakukan sesuatu bagi perbaikan layanan tersebut.<br />

Saat itu saya hadir sebagai perwakilan dari PSDW yang selama ini telah melakukan<br />

upaya pengumpulan keluhan warga tentang layanan publik di lingkungannya<br />

untuk dicarikan solusinya. Pada saat itu dibicarakan topik tentang pendidikan.<br />

Topik tersebut mengatakan setiap orang miskin berhak menerima pendidikan<br />

yang murah dan berfasilitas layak. Yang menarik pada saat itu, salah satu anggota<br />

DPRD Kabupaten Sumba Timur yaitu Ibu Sarlota Kantudiang mengatakan bahwa<br />

pendidikan gratis tidak berati semuanya gratis karena orangtua juga harus berperan<br />

membiayai anak. Namun Ibu Sarlota mengatakan bahwa sebenarnya pemerintah<br />

sudah menyediakan pendidikan gratis bagi warga, contohnya pemerintah sudah<br />

menanggung buku, pakian seragam, sepeda dan lain-lain kepada anak warga miskin.<br />

Saya menyadari bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang saya rasakan<br />

sebagai keluarga miskin sehingga saya langsung katakan saat itu sejujurnya bahwa<br />

pendidikan gratis yang dimaksudkan oleh pemerintah, saya tidak merasakan gratis<br />

akan tetapi justru sangat mahal. Mengapa saya katakan sangat mahal? Karena anakanak<br />

saya, selalu dan selalu minta uang untuk memfotokopi setiap mata pelajaran,<br />

dan jika mereka tidak memfotokopi materi tersebut maka mereka tidak diijinkan<br />

mengikuti pelajaran. Biaya tersebut tentu tidak sedikit. Apalagi masih ada pungutan<br />

uang komite serta ketentuan untuk siswa peserta ujian harus membeli atau<br />

membayar soal-soal ujian mereka. Dengan fakta-fakta ini, maka saya sama sekali tidak<br />

merasakan apa yang disebut sebagai sekolah gratis. Sebagai orang miskin, harapan<br />

kami seolah tertiup angin.<br />

Hal lain yang lebih luar biasa membanggakan buat saya adalah saya pernah melakukan<br />

dialog di Radio MAX FM bersanding dengan Direktur PDAM. Saya diundang sebagai<br />

narasumber dari PSDW. Awalnya saya merasa takut untuk berbicara di radio apalagi<br />

didengar banyak orang. Tetapi selama dialog tersebut saya berbicara dengan sangat<br />

percaya diri.<br />

Saya juga sudah bisa mengorganisir warga agar mereka bisa menyampaikan keluhan<br />

mereka tanpa rasa takut karena mereka memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan<br />

yang layak dari pemerintah, apalagi masyarakat juga membayar pajak.<br />

Harapan saya ke depan, kami bisa membangun kerja sama yang baik melalui<br />

komunikasi atau dialog yang konstruktif antara warga dengan para penyelenggara<br />

pelayanan publik sehingga pelayanan lebih memuaskan. Hal ini dilakukan dengan<br />

113


mendekatkan organisasi PSDW dengan warga melalui sosialisasi fungsi dan peran<br />

organisasi tersebut kepada warga, serta memaksimalkan fungsi organisasi tersebut<br />

agar mampu memediasi keluhan warga kepada penyelenggara pelayan publik.<br />

Hal lain yang menjadi impian saya adalah saya, warga dan PSDW tidak pernah<br />

berhenti untuk terus bersuara demi memperjuangkan kepentingan dan pemenuhan<br />

hak-hak dasar masyarakat miskin, perempuan, dan kaum marginal lainnya. Apalagi<br />

sebagai perempuan, saya ingin suara saya didengar dalam menyuarakan kepentingan<br />

publik. Apalagi pelayanan publik itu lebih banyak bersentuhan dengan kehidupan<br />

perempuan. Kiranya dengan apa yang sudah saya rasakan selama bergabung di Pusat<br />

Sumber Daya Warga, dapat menjadi motivasi untuk masa-masa yang akan datang<br />

sehingga saya akan terus mencari keadilan dalam hal pelayanan publik. Ketika PSDW<br />

tetap menjadi rumah aspirasi warga untuk pelayanan publik maka pada titik itulah<br />

lembaga itu bermakna.<br />

Pusat Sumber Daya Warga, tempat kami menyuarakan<br />

hak-hak kami sebagai warga dalam pelayanan publik<br />

yaitu mendapatkan layanan air bersih, listrik, kesehatan,<br />

pendidikan, pelayanan KTP, akte kelahiran, kartu keluarga,<br />

dan lain-lain.<br />

114


Sekarang Saya Berani<br />

Komplain Ke PLN<br />

Debora Jonas<br />

Saya seorang ibu rumah tangga yang memiliki lima orang anak, tiga putri dan dua<br />

putra. Setiap hari pekerjaan saya mengurus suami dan anak-anak. Tugas seorang<br />

ibu memang sangat berat, layaknya ibu rumah tangga pada umumnya yang harus<br />

mengerjakan tugas rumah tangga seperti mencuci, memasak, menyapu, mengurus<br />

suami dan mendidik anak.<br />

Sebelum saya menjadi kader Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), awalnya saya<br />

membawa anak pertama untuk ditimbang. Setiap bulan saya rajin membawanya ke<br />

Posyandu. Pada tahun 1999 saya dipilih menjadi kader Posyandu ”Batu Karang” oleh<br />

Ibu Margaretha Seneyang dimana pada saat itu Ibu Margaretha menjabat sebagai<br />

Ketua Posyandu.Walaupun tugas kader sangat berat, tanpa upah/gaji, namun saya<br />

tetap bekerja dengan senang hati dan penuh tanggung jawab.<br />

Tugas kader adalah memberitahukan kepada ibu yang mempunyai balita untuk<br />

membawa anaknya ke Posyandu untuk diimunisasi. Informasi ini harus disampaikan<br />

kepada ibu-ibu tersebut sehari sebelum hari Posyandu dilaksanakan. Kami juga selalu<br />

mendorong ibu hamil agar rajin memeriksa kondisi kandungannya. Di Posyandu saya<br />

berperan di bagian penimbangan. Dengan demikian saya mengetahui naik turunnya<br />

berat badan bayi-bayi yang saya timbang.<br />

Pada tahun 2007, masyarakat RT 08 RW 03 Kelurahan Prailiu, memilih lima orang<br />

calon ketua RT. Saat pemilihan, kandidat yang mendapat perolehan suara terbanyak<br />

adalah Bapak Dominggus Mangi. Saat itu saya mendapat urutan ke-3 dan dipercaya<br />

sebagai staf. Walaupun sebagai staf ketua RT, pekerjaan saya banyak, seperti mengikuti<br />

setiap ada pertemuan di RT dan di Kelurahan, mendata KK (Kepala Keluarga) miskin<br />

dan lain-lainnya.<br />

Pada bulan September 2010, saya diminta oleh seorang teman saya yang<br />

115


sudah menjadi kader kelurahan dalam Program PNPM-MP (Program Nasional<br />

Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri Perdesaan) untuk terlibat dalam kegiatan<br />

menggantikan teman kader yang mengundurkan diri sebagai KPMD (Kader<br />

Pemberdayaan Masyarakat Desa).<br />

Tugas KPMD adalah memfasilitasi program kepada masyarakat mengenai simpan<br />

pinjam bagi kelompok perempuan sehingga masyarakat dalam KK miskin dapat<br />

mengalami perubahan taraf hidup dan peningkatan kapasitas. Saya berperan dalam<br />

setiap kegiatan dan program yang turun ke kelurahan. Saya masih aktif sampai<br />

sekarang.<br />

Saya juga melakukan tugas pendataan di masyarakat yang dilakukan oleh Dispenduk<br />

(Dinas Kependudukan) dalam pengambilan informasi akte kelahiran dan akte<br />

pernikahan. Sedangkan dari BPM (Badan Pemberdayaan Masyarakat) adalah<br />

pendataan Rumah Tangga Miskin (RTM). Selain itu saya dipercaya menjadi sebagai tim<br />

penyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kelurahan (RPJM-Kelurahan).<br />

Saya pernah mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan Pengelolaan Pusat<br />

Sumber Daya Warga di Aula Rumah Sakit Lindimara yang diorganisir oleh Stimulant<br />

Institute dengan Direktur Bapak Stefanus Makambombu, pada tanggal 27-28 April<br />

2010. Pelatihan ini diberikan oleh ICW atas dukungan <strong>ACCESS</strong>. Tujuan pelatihan<br />

adalah dibentuknya Pusat Sumber Daya Warga (PSDW) sebagai unit pengaduan<br />

warga dalam pelayanan publik di Kelurahan Prailiu. Dengan adanya Undang-Undang<br />

No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-undang No.25/2009<br />

tentang Pelayanan Publik dimana undang-undang tersebut dijadikan tolak ukur untuk<br />

melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat di bidang Pelayanan Publik, juga<br />

dalam rangka menjembatani serta menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat.<br />

Pelayanan PSDW yang ada di Kelurahan Prailiu berlokasi di 5 RT yaitu RT 07,08,<br />

09, 10 dan 11. Lokasi-lokasi tersebut berdasarkan rekomendasi dari Kepala Desa<br />

Prailiu karena dinilai di lokasi-lokasi tersebut banyak mengalami masalah dalam hal<br />

pelayanan publik. Adapun susunan pengurus PSDW sebagai berikut: Ketua: Yulius<br />

Yami Logo; Sekretaris: Margaretha Sene; Bendahara: Bendelina Haba Dudu; Divisi<br />

Pencatatan dan Pengaduan: Debora Jonas; Advokasi: Yusuf Bernabas dan Dominggus<br />

Mangi.<br />

Di PSDW banyak hal yang kami peroleh, diantaranya kami tahu tentang adanya UU<br />

No. 25 tentang Pelayanan Publik dan UU No. 14 tentang Keterbukaan Informasi<br />

Publik. Undang-Undang itu membuat kami sadar bahwa kami sebagai warga<br />

penerima pelayanan publik berhak untuk mempertanyakan tentang layanan yang<br />

116


kami nikmati seperti: pelayanan KTP, pelayanan rumah sakit, pelayanan pendidikan,<br />

pelayanan PDAM, pelayanan PLN dan pelayanan-pelayanan lainnya. Dengan adanya<br />

PSDW, masyarakat bisa tahu kemana mereka dapat menyuarakan apa yang menjadi<br />

hak-hak mereka. Secara pribadi saya sangat merasakan manfaat dari adanya PSDW<br />

karena saya yang dulunya tidak berani komplain tapi sekarang saya berani komplain<br />

(protes) ke PLN.<br />

Keberanian saya bermula pada tanggal 10 Maret 2011. Saat itu adik saya ke kantor<br />

pos untuk membayar tarif listrik atas nama Paulina Riwu Kale. Sesampai di sana<br />

ia terkejut karena pembayaran rekeningnya melonjak tidak masuk akal, bahkan<br />

dirasakan luar biasa hingga mencapai angka Rp. 316.000,- sedangkan pemakaian<br />

listrik tidak jauh berbeda seperti bulan-bulan sebelumnya. Misalnya saja, pembayaran<br />

bulan Februari hanya Rp 34.000,-. Dengan terkejut bercampur heran, iamenghubungi<br />

saya lewat telepon selulernya menceritakan kondisi yang terjadi.<br />

Dengan agak tak percaya saya meluncur ke kantor PLN Ranting Waingapu. Saya<br />

bertemu dengan salah seorang pegawai PLN bernama Pak Alfons, petugas penerima<br />

pengaduan langganan. Saya langsung bertanya kepadanya soal pembayaran yang<br />

melonjak. Pak Alfons bertanya kepada saya soal berapa angka meteran listik di rumah<br />

pada saat ini, lalu saya menyuruh adik saya ke rumah untuk mencatat angka meteran.<br />

Pak Alfons lalu menerangkan perincian tarif sesuai dengan rekening seperti: Tarif<br />

R1(Rumah Tangga) 1 Kwh: Rp. 603,- dan Tarif B1 (Bisnis) 1 Kwh: Rp. 630,-. “Kalau<br />

ingin mendapatkan berapa besar biaya yang harus dibayar, ada contohnya: angka<br />

meteran bulan ini dimana si pencatat meteran terakhir mencatat, dikurangi dengan<br />

angka meteran bulan kemarin, maka didapatlah hasil berapa Kwh pemakaian selama<br />

satu bulan,” jelas Pak Alfons.<br />

Kemudian saya mencoba menghitung dan ternyata biayanya sesuai dengan yang<br />

tertera dalam rekening tersebut. Akhirnya Pak Alfons memberikan keringanan<br />

kepada adik saya dengan membayar dua kali cicilan dari Rp. 316.000,-. Setelah itu<br />

saya memberi penjelasan kepada adik saya bahwa pemakaian arus listrik sudah<br />

sesuai dengan pembayaran yang tertera dalam rekening. Pada saat itu juga adik saya<br />

langsung membayar lunas sesuai yang tertera dalam meteran.<br />

Bagi saya ini adalah suatu pengalaman yang menarik, tidak saja untuk saya pribadi<br />

tetapi harus berbagi pengalaman dengan teman-teman di PSDW. Sebab peristiwa<br />

ini merupakan pengalaman baru bagi saya dan memacu semangat saya untuk<br />

memperjuangkan hak-hak warga di lingkungan tempat saya tinggal. Bagi saya,<br />

pengalaman adalah ilmu dan guru terbaik.<br />

117


Pengalaman di atas ternyata belum berakhir. Pengalaman selanjutnya terjadi pada<br />

tanggal 14 Maret 2011. Saat itu saya pergi ke kantor pos untuk membayar listrik atas<br />

nama Geradus Saru Pada, yang tak lain adalah suami saya. Pada saat itu saya kaget<br />

karena pembayarannya melonjak menjadi Rp.144.050,- padahal bulan Februari saya<br />

hanya membayar sebesar Rp.20.280,-. Namun saat itu saya tetap membayar karena<br />

saya berpikir, mungkin pemakaian listrik agak banyak. Dengan rasa tidak percaya<br />

dan berkaca pada pengalaman sebelumnya, saya kembali ke rumah mencatat angka<br />

meteran. Padahal sebelum ke kantor pos saya sudah mencatat angka di meteran<br />

yang ternyata menunjukan angka: 230. Saya sempat bingung juga karena menurut Pak<br />

Alfons angka meteran adalah sah. Tetapi yang saya alami, angka yang ada direkening<br />

dan angka yang ada dimeteran sangat jauh berbeda.<br />

Rupanya saya harus kembali berurusan dengan kantor PLN terutama dengan Pak<br />

Alfons. Saya bertanya, “Maaf Bapak, siapa petugas pencatat metera di Kelurahan<br />

Prailiu wilayah Padadita?”<br />

Ia tidak menjawab malah sebaliknya bertanya ada apa dengan hasil pencatatan<br />

meteran? Kemudian saya tanyakan kepadanya kenapa angka yang ada di meteran saya<br />

saat ini sangat jauh sekali berbeda dengan di rekening listrik, sedangkan beberapa<br />

hari sebelumnya, ia mengatakan bahwa angka meteran tidak bisa diubah.<br />

Setelah Pak Alfons mencoba menghitung, memang terjadi kelebihan pencatatan yaitu<br />

dari 379-230:149. Ia lalu membuat surat “Permintaan perbaikan dan pengaduan<br />

langganan”dimana untuk bulan selanjutnya diberikan biaya beban+2 Kwh sampai<br />

angka meteran dicatat normal.<br />

Yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana angka di rekening saya nanti untuk<br />

bulan April? Dan bagaimana dengan masyarakat yang mempunyai masalah sama<br />

seperti yang saya alami? Saya berpikir, kalau saya yang sudah berani komplain saja<br />

sering dibolak-balik dengan bahasa pembelaan atau dengan jurus keringanan biaya<br />

beban, apalagi masyarakat yang tidak berani berbicara dan tidak mengerti proses<br />

pencatatan meteran gaya PLN. Dapat dibayangkan betapa kasihan masyarakat jika hal<br />

ini dibiarkan berlarut-larut alias tidak dibongkar.<br />

Dan yang paling membingungkan adalah aturan PLN seperti pemberian sanksi bagi<br />

masyarakat yang melakukan penyambungan liar (pencurian arus), bagaimana dengan<br />

pelanggaran yang dilakukan oleh pihak PLN sendiri seperti contoh kasus di atas?<br />

Ada kekhawatiran saya, jangan sampai masih banyak masyarakat yang mengalami<br />

nasib seperti yang saya alami. Jika benar, sanksi apakah yang layak diberikan sebagai<br />

konsekwensi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pihak PLN ?<br />

118


Bagi saya proses mempertanyakan kejelasan besaran biaya rekening listrik adalah<br />

sebuah upaya untuk menerapkan nilai transparansi dan akuntabilitas bagi penyedia<br />

jasa. Bayangkan jika saya diam, maka ada sekian Kwh aliran listrik yang dicuri oleh<br />

PLN dan kalau tidak terdeteksi justru membebani masyarakat, dan ini adalah korupsi<br />

gaya baru. Kenapa saya katakan demikian, karena kalau saya tidak komplain dan diam<br />

saja, mau kemanakah dan untuk apakah uang tersebut? Oleh sebab itu saya sebagai<br />

seorang ibu rumah tangga, menghimbau kepada seluruh pelanggan PLN di mana saja,<br />

agar lebih teliti dan cermat memperhatikan rekening listriknya. Jangan takut untuk<br />

bertanya tentang pelayanan yang kita terima. Undang-Undang melindungi kita.<br />

119


120


<strong>ACCESS</strong><br />

Tim Kolaborasi<br />

121


122<br />

Belajar dari pengalaman dan berani mencoba hal-hal baru membantu kita<br />

menemukan yang lebih baik (Melkianus Hina Janggakadu)


Perubahan Adalah Proses yang<br />

Membahagiakan<br />

Melkianus Hina Janggakadu<br />

Banyak orang mengatakan bahwa pengalaman merupakan “guru” yang dapat<br />

membawa perubahan dan kebahagiaan. Hal itu dapat dikatakan benar apabila kita<br />

pernah mengalaminya sendiri bukan hanya sekadar mendengarnya.<br />

Sebuah desa kecil yang berada di Kecamatan Nggaha Ori Angu atau yang biasa<br />

disebut oleh orang banyak Kecamatan Nggoa. Nama tersebut bukan berarti<br />

banyak goa di wilayah tersebut melainkan ada sejumlah potensi atau aset yang ada<br />

didalamnya, misalnya kekayaan alam serta jumlah sebaran penduduk yang cukup<br />

banyak dan berjauhan.<br />

Hal itu mendorong terjadinya pemekaran desa. Desa Tana Tuku menjadi desa sendiri.<br />

Pemekaran desa dari desa induknya yaitu Desa Makamenggit terjadi pada tahun<br />

2003.<br />

Sebuah desa tentunya membutuhkan perencanaan pembangunan desa yang baik<br />

dan terarah. Banyak hal yang harus dibuat dan dilakukan oleh sebuah desa yang<br />

baru mekar dari induknya. Desa Tana Tuku ibarat seperti seorang anak kecil masih<br />

membutuhkan bimbingan dari seorang ibunya hingga ia menjadi seorang anak yang<br />

dewasa dan mandiri.<br />

Menata desa bukanlah merupakan hal yang gampang. Butuh proses dan waktu yang<br />

cukup panjang. Apalagi jika desa tersebut belum memiliki Rencana Pembangunan<br />

Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa). Kenyataan yang dialami oleh Desa Tana<br />

Tuku belum membuat perencanaan pembangunan desa yang partisipatif. Sebuah<br />

perencanaan pembangunan yang dapat mengakomodir semua perencanaan<br />

masyarakat serta peruntukkan programnya tepat sasaran.<br />

Pembangunan desa bukan merupakan milik segelintir orang saja tetapi menjadi milik<br />

123


semua elemen masyarakat yang ada dalam desa. Hendaknya dalam membuat sebuah<br />

perencanaan pembangunan, desa harus melibatkan semua warga desanya. Orang<br />

miskin, perempuan, pemuda bahkan kaum marginal lainnya atau kaum cacat juga<br />

harus dilibatkan. Masyarakat harus dapat terlibat secara penuh dalam melaksanakan<br />

pembangunan. Dari proses awal membuat perencanaan hingga pada pelaksanaan dan<br />

monitoring evaluasi kegiatan program.<br />

Pelaku utama pembangunan adalah masyarakat. Masyarakat bukan sebagai penonton.<br />

Juga bukan dijadikan sebagai pendengar setia. Selama ini masyarakat hanya tahu<br />

sebagian kecil, mendapat bagian atau porsi yang sedikit dan tidak merata.<br />

Waktu terus berjalan, usia pun semakin tua. Namun perubahan masih belum juga<br />

terjadi. Itu membuat saya menjadi pesimis. Sebagai seorang Kaur Umum yang<br />

mempunyai tugas pokok untuk membuat administrasi Desa Tana Tuku. Siang malam<br />

saya hanya membayangkan keadaan desa tempat kelahiran saya menjadi lebih baik<br />

dan maju.<br />

Terkadang saya berpikir bahwa saya ini seperti sebuah pepatah yang sering disebut<br />

orang “bagaikan pungguk yang merindukan bulan”. Lucu bercampur sedih perasaan<br />

saya.<br />

Namun rasa pesimistis dan sedih menjadi hilang seketika. Di akhir tahun 2009, desa<br />

saya didatangi teman-teman dari Tim Kolaborasi. Tujuan kedatangan mereka untuk<br />

membantu desa saya membuat Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Desa<br />

untuk lima tahun.<br />

Kedatangan teman-teman Tim Kolaborasi disambut baik oleh pemerintah desa<br />

dan masyarakat Desa Tana Tuku. Komitmen desa untuk mendukung kegiatan<br />

penyusunan RPJM-Desa dilakukan dengan pemilihan fasiltator desa (Fasdes)<br />

sebanyak empat orang sebagai perwakilan dari unsur pemerintah desa, Lembaga<br />

Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Tim Penggerak Program Kesejahteraan Keluarga<br />

(TP- PKK) dan masyarakat miskin.<br />

Sebelum memilih fasilitator desa, rekan saya dari pemerintah desa bersama temanteman<br />

Tim Kolaborasi mendatangi rumah saya untuk meminta kesediaan saya untuk<br />

menjadi salah satu calon. Tawaran tersebut tentunya saya tolak karena saya sadari<br />

bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang saya miliki masih sangat terbatas. Alasan<br />

lain, saya sulit untuk membagi waktu kerja antara memfasilitasi proses penyusunan<br />

RPJM-Desa dan melakukan tugas pokok saya.<br />

124


Mereka terus mengajak dan memberikan masukan kepada saya bahwa kalau banyak<br />

belajar, pasti bisa dan lebih percaya diri. Ajakan mereka tetap saya tolak karena rasa<br />

kurang percaya dirilah yang membebani pikiran saya. Akhirnya mereka memutuskan<br />

memberikan waktu kepada saya untuk memikirkan atau merenungkannya kembali.<br />

Tiba-tiba seorang teman mengajak saya jalan-jalan. Di perjalanan, dia menceritakan<br />

pengalamannya ketika masih muda. Dia menceritakan tentang keterlibatannnya dalam<br />

organisasi, sewaktu ia dipercaya menjadi ketua pemuda. Awalnya dia katakan kalau<br />

dia juga sama dengan saya menolak tawaran itu. Namun ketika direnungkan kembali,<br />

ia menyadari bahwa kepercayaan tidak akan datang untuk kedua kalinya, akhirnya dia<br />

memutuskan untuk menerima tawaran itu.<br />

Ditambah lagi dengan dorongan ibu saya yang mengatakan, “Kamu masih muda, Nak.<br />

Tidak ada salahnya kalau kamu menerima tawaran itu dan melakukannya. Tidak<br />

ada orang yang langsung bisa sebelum dia mencobanya terlebih dahulu dan jangan<br />

pernah takut melakukan kesalahan.”<br />

Dorongan ibu dan teman saya, membuat saya berpikir dan terus berpikir hingga pada<br />

akhirnya saya menerima tawaran tersebut.<br />

Proses pemilihan fasilitator desa dilakukan dengan cara dan dalam suasana<br />

demokratis. Saya diminta oleh kawan-kawan pemerintah desa menjadi salah<br />

satu calon. Rasa bahagia dan senang terjadi saat itu karena pemerintah desa dan<br />

masyarakat Desa Tana Tuku memilih saya untuk menjadi fasilitator desa sebagai<br />

perwakilan dari unsur pemerintah desa. Dalam benak kecil saya berkata, ternyata<br />

apa yang saya impikan selama ini bukan hal yang semu tetapi itu terjadi. Sungguh luar<br />

biasa.<br />

Setelah saya terpilih menjadi fasilitator desa, beberapa minggu kemudian saya diberi<br />

pelatihan yang berkaitan dengan tugas-tugas kami sebagai fasilitator desa. Pelatihan<br />

itu adalah Community Learning Action Participatory Proccess-Gender Sosial<br />

Inclucive (CLAPP-GSI) dengan menekankan pada pendekatan berbasis partisipasi<br />

masyarakat dan pengarusutamaan gender. Hasil pelatihan itu, kami terapkan dalam<br />

proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa.<br />

Yang membanggakan bagi saya saat ini, saya sudah berani berbicara di depan umum<br />

dan dalam setiap pertemuan di tingkat desa. Rasa takut dan kurang percaya diri<br />

menjadi hilang dengan sendirinya. Saya sudah mampu menemukan jati diri saya.<br />

Bahwa sebenarnya saya memiliki potensi yang sangat luar biasa dan dapat berguna<br />

bagi diri saya dan orang banyak.<br />

125


Jabatan yang saya emban dan jalani tidak menjamin saya untuk memiliki pengetahuan<br />

dan ketrampilan. Hanya sebuah komitmen dan kesadaranlah yang dapat melahirkan<br />

kepintaran, kebahagiaan dan perubahan. Memperoleh sebuah jabatan tetapi tidak<br />

didukung dengan kapasitas yang memadai adalah hal yang sangat tidak layak dan<br />

memalukan.<br />

Hal lain yang membuat saya bangga bahwa selama ini saya ingin mendorong<br />

partisipasi masyarakat dalam pembangunan, tetapi tidak tercapai karena keterbatasan<br />

pengetahuan dan keterampilan yang saya miliki. Saya tidak tahu dari mana<br />

memulai ibarat seberat mengurai benang kusut. Namun, sekarang saya sudah bisa<br />

melakukannya. Saya sudah tahu caranya.<br />

Keterlibatan saya dalam berbagai pelatihan, membantu saya memperoleh ilmu,<br />

pengalaman dan keterampilan yang banyak. Dorongan untuk menggapai mimpi<br />

membuat saya pantang menyerah untuk terus memperjuangkan nasib desaku.<br />

Memfasilitasi proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa<br />

tidak semudah seperti yang kita bayangkan. Masalah atau kendala pasti ada.<br />

Menghadirkan warga dalam pertemuan, memahami alat bantu seperti kalender<br />

126<br />

Pelaku utama pembangunan adalah masyarakat.<br />

Masyarakat bukan sebagai penonton. Juga bukan<br />

dijadikan sebagai pendengar setia.


musim, klasi kasi kesejahteraan yang digunakan, dan lain lain. Dengan keyakinan<br />

dalam diri bahwa tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan. Saya tetap<br />

berupaya dengan cara melakukan pendekatan kepada semua pihak untuk terlibat<br />

dalam perencanaan. Pendekatan kepada rekan pemerintah lainnya agar menghimbau<br />

masyarakat untuk tahu dan terlibat dalam setiap tahapan proses perencanaan pun<br />

saya lakukan. Jabatan yang saya emban juga turut berpengaruh dalam menghadirkan<br />

masyarakat dalam setiap pertemuan.<br />

Perjuangan saya membuahkan hasil, dan itu membuat saya bangga sekali. Saat ini<br />

masyarakat sudah lebih banyak berperan aktif dalam pertemuan dibandingkan<br />

sebelumnya. Ketika mendengar ada pertemuan di desa mereka berbondongbondong<br />

untuk hadir dan ikut bertanya serta mengeluarkankan pendapat.<br />

Memastikan sesuatu yang belum kita tahu dan alami belum tentu benar, tapi jangan<br />

pernah takut salah. Setiap orang telah dianugrahi hati dan pikiran. Gunakanlah hati,<br />

pikiran serta waktu untuk hal-hal yang positif. Belajar dari pengalaman dan berani<br />

mencoba hal-hal baru membantu kita menemukan yang lebih baik. Impian tentang<br />

sebuah kebagiaan dan perubahan tergantung pada pribadi kita. Nikmatilah setiap<br />

tahap proses yang terjadi. Walaupun begitu banyak hambatan yang menghadang, pasti<br />

selalu ada jalan keluarnya.<br />

Desa kita akan lebih baik jika kita sebagai warga desa yang ada di dalamnya<br />

bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pemberdayaan dan<br />

pembangunan desa. Teruslah berjuang dan berkarya untuk mencapai perubahan.<br />

127


128<br />

Bantuan Jangan Sampai Membuat<br />

Kreativitas Mati<br />

Ika Kahali<br />

“Berikanlah kami ikan maka kami akan hidup hari ini, tetapi berikanlah kami kail<br />

maka kami akan hidup selamanya.“<br />

Pepatah kuno ini mungkin sudah tidak asing di telinga kita. Tetapi berapa banyak dari<br />

kita yang telah memaknai arti pepatah ini? Secara pribadi saya melihat bahwa di balik<br />

kata-kata ini ada sebuah nilai yang hendak diajarkan kepada kita semua yaitu soal<br />

“kemandirian”<br />

Apa artinya mandiri? Dalam konteks kehidupan masyarakat desa maka artinya lebih<br />

kepada bagaimana masyarakat mampu secara swadaya memperkuat dirinya dengan<br />

potensi-potensi yang ada. Nilai kemandirian ini menjadi penting bagi keberlanjutan<br />

eksistensi komunitas tersebut, karena jika selalu bergantung pada bantuan pihak lain<br />

maka ketika bantuan itu tidak diberikan lagi, komunitas itu akan mengalami kesulitan.<br />

Apalagi jika bantuan yang diberikan berupa bantuan sik yang akan habis dimakan<br />

usia.<br />

Berangkat dari kondisi ini, kami mencoba melakukan sesuatu yang berbeda. Kami<br />

memberi bantuan yang takkan habis dimakan waktu. Bantuan apa itu?<br />

Warga Desa Napu dan Wunga, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi<br />

Nusa Tenggara Timur (NTT), nyaris mati kreativitas (daya cipta). Bagi mereka,<br />

pemberdayaan masyarakat berarti menerima bantuan uang, materi dan <strong>sumba</strong>ngan<br />

lainnya, baik itu dari pemerintah maupun lembaga donor. Sehingga pemberdayaan<br />

nyaris dilupakan. Warga menganggap hal ini biasa saja. Bukan sesuatu yang<br />

mengganggu dan membelenggu.<br />

Akan tetapi masyarakat harus mampu melihat apa yang menjadi potensi masyarakat<br />

desa antara lain hasil pertanian seperti jagung, kacang tanah, ubi-ubian. Lalu hasil laut


seperti ikan, rumput laut. Juga termasuk bahan Galian C seperti batu, pasir, tanah,<br />

dan lain sebagainya.<br />

Jika ada kreativitas, seharusnya masyarakat bisa mengolah hasil pertanian menjadi<br />

makanan jadi yang bisa menghasilkan nilai tambah dan otomatis bisa pula menambah<br />

ekonomi keluarga. Misalnya, dengan cara mengolah kacang tanah menjadi kacang<br />

utama, kacang bawang, dan kacang telur. Dan ini biasanya dilakukan oleh ibuibu<br />

rumah tangga serta anak perempuan. Dari hasil laut akan membantu untuk<br />

menambah ekonomi keluarga dengan cara mengeringkan ikan, mengasapkan ikan,<br />

sehingga ikan bertahan lama. Misalnya, rumput laut dapat diolah menjadi manisan,<br />

dodol, agar-agar dan obat-obatan.<br />

Untuk dapat mengembangkan usaha ini, masyarakat membutuhkan modal usaha<br />

seperti bantuan dana PUAP (Pengembangan Usaha Agrobisnis Produktif ) di bidang<br />

pertanian, bantuan dana SPP (Simpan Pinjam Perempuan), UBSP (Usaha Bersama<br />

Simpan Pinjam). Bantuan yang akan diberikan ke masyarakat hanya diberi jika<br />

masyarakat membentuk kelompok, yang satu kelompoknya terdiri dari 20 orang.<br />

Kemudian mereka membuka rekening dengan setoran awal yang berasal dari<br />

simpanan pokok dan simpanan wajib dari masing-masing anggota dan besarnya<br />

telah disepakati bersama, yang diketahui pemerintah desa dan PPL (Pendamping<br />

Penyuluhan Lapangan).<br />

Saya mulai mencari informasi tentang pengembangan usaha yang ada di desa.<br />

Dengan mengajukan proposal penambahan modal usaha untuk meningkatkan<br />

jumlah produksi yang ada sehingga hasil yang diolah dapat dipasarkan baik ke Pasar<br />

Kadahang, Pasar Kapundung, maupun ke Pasar Waingapu. Disamping itu, dengan<br />

adanya usaha di desa maka akan mengurangi pengangguran karena dibukanya<br />

lapangan kerja bagi masyarakat desa.<br />

Selain menjual ke pasar, saya mulai mencari jaringan pemasaran dengan dinasdinas<br />

terkait antara lain Disperindag (Dinas Perindustrian dan Perdagangan), Dinas<br />

Koperasi untuk membantu memasarkan pengolahan hasil pertanian dan hasil laut ke<br />

luar daerah sehingga produk bisa dikenal dan dipasarkan ke daerah lain.<br />

Sebelum pelaksanaan kegiatan, saya mulai mendengar cerita dan melihat di desa<br />

bahwa masyarakat sudah dibiasakan dengan program yang masuk ke desa seperti<br />

bantuan Raskin (Beras untuk Orang Miskin), bantuan dana PUAP (Pengembangan<br />

Usaha Agrobisnis Produktif) di bidang pertanian, BLT (Bantuan Langsung Tunai),<br />

bantuan dana SPP (Simpan Pinjam Perempuan) dan UBSP (Usaha Bersama Simpan<br />

Pinjam). Bantuan-bantuan tersebut bertujuan untuk membantu masyarakat<br />

129


miskin untuk meringankan beban ekonomi. Sedangkan bantuan modal untuk<br />

mengembangkan usaha ekonomi produktif (tenun ikat, kios, hewan, dan lain lain).<br />

Tetapi yang sangat disesalkan dengan bantuan-bantuan tersebut justru membuat<br />

masyarakat mati kreati tas. Dengan kata lain, masyarakat selalu bergantung kepada<br />

bantuan tanpa memikirkan keberlanjutan dari bantuan.<br />

Untuk kegiatan lanjutan, saya mulai merancang dan merencanakan kegiatan bulanan.<br />

Terutama membantu masyarakat melakukan pelatihan-pelatihan yang berkaitan<br />

dengan administrasi dan pembukuan hasil produk pengolahan pertanian dan<br />

perikanan yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran. Sehingga menambah<br />

pengetahuan pengelola. Dan diharapkan adanya pendampingan kelompok yang<br />

membantu dalam pengolahan yang kreatif yang nantinya akan memajukan masyarakat<br />

desa untuk lebih giat lagi menanam hasil pertanian dan perikanan.<br />

Proses ini mulai menunjukkan kalau masyarakat mulai menyadari akan usaha ini<br />

sehingga mereka mulai berkreasi untuk mengolah produk dalam bentuk kemasan<br />

yang lebih bagus agar menarik minat dari pembeli dan menjaga kualitas produk yang<br />

ada.<br />

Selain pengolahan hasil pertanian dan hasil laut, di desa masih terdapat satu potensi<br />

yang belum dikelola secara optimal yaitu bahan Galian C yang ada di wilayah Desa<br />

Napu dan Wunga yang saat ini masih berserakan di lahan masyarakat. Saya mulai<br />

berpikir untuk membantu pemerintah desa dan masyarakat agar membuat Peraturan<br />

Desa (Perdes) yang menjelaskan bahwa masyarakat atau siapa pun, tidak boleh<br />

sembarangan mengambil bahan Galian C tetapi harus patuh pada aturan yang sudah<br />

ditetapkan oleh pemerintah desa. Hal ini juga akan membantu pemerintah desa<br />

menambah Pendapatan Asli Desa (PA-Desa) dan juga akan menambah pendapatan<br />

masyarakat dalam hal meningkatkan pendapat ekonomi keluarga.<br />

Saya gembira dengan kegiatan yang sudah ada di desa dan untuk mempublikasi hasil<br />

pengolahan pertanian maka masyarakat membutuhkan perencanaan pembangunan<br />

desa, yang akan memuat apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, sesuai dengan<br />

potensi yang ada di desa. Saya mulai membuat kesepakatan dengan pemerintah<br />

desa untuk melakukan pertemuan dengan masyarakat tentang proses penyusunan<br />

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa).<br />

Pada saat pertemuan, saya menjelaskan bahwa desa harus menyusun RPJM-Desa<br />

untuk jangka waktu 5 tahun secara partisipatif dan didukung prinsip-prinsip<br />

perencanaan antara lain partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan gender<br />

dan sosial. RPJM-Desa dijabarkan dalam setiap tahun atau yang disebut Rencana<br />

130


Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa). Dengan adanya dokumen RPJM-Desa,<br />

diharapkan mampu menjamin proses pembangunan secara partisipatif, transparan,<br />

akuntabel, berkeadilan sosial dan gender, serta berkelanjutan dan terintegrasi antara<br />

satu program dengan program lain yang ada di desa. Pada titik ini, keterlibatan<br />

semua warga desa untuk membuat perencanaan dan penganggaran pembangunan<br />

menjadi penting dan merupakan keharusan. Dalam pertemuan ini masyarakat<br />

mulai berpartisipasi penuh baik dalam pertemuan di kantor desa maupun diskusi<br />

kelompok dengan cara menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan<br />

masyarakat.<br />

Saya gembira melihat semua ini. Terutama melihat semangat dan kehadiran<br />

masyarakat untuk mengikuti pertemuan, menyumbangkan pendapat dan saran.<br />

Bahkan, mereka sudah berani mengatakan yang benar dan yang salah. Dengan proses<br />

ini membuat warga dusun dan desa memiliki kreativitas untuk membuat loncatan<br />

dan menciptakan perubahan yang luar biasa dan menakjubkan.<br />

Dokumen RPJM-Desa,<br />

diharapkan mampu<br />

menjamin proses<br />

pembangunan secara<br />

partisipatif, transparan,<br />

akuntabel, berkeadilan<br />

sosial dan gender,<br />

serta berkelanjutan<br />

dan terintegrasi antara<br />

satu program dengan<br />

program lain yang ada<br />

di desa.<br />

131


132<br />

Membangun<br />

Desa Kebanggaanku<br />

Kristina Kaita Wey<br />

Saya merasa kaget dan sekaligus deg-degan ketika pertama kalinya saya ditunjuk<br />

oleh Dinas Kesehatan untuk melakukan penyuluhan kesehatan tentang bagaimana<br />

mencegah penyakit malaria. Sekujur tubuh saya berkeringat dingin karena saya tidak<br />

tahu apa yang akan saya sampaikan dalam penyuluhan tersebut.<br />

Sesuatu yang penting kemudian terjadi pada tahun 2009. Saat itu saya mengikuti<br />

pertemuan di desa, yang dilakukan di kantor Desa Rambangaru. Waktu itu ada<br />

pertemuan tentang sosialisasi program Rencana Pembangunan Jangka Menengah<br />

Desa (RPJM-Desa), dengan pola pendekatan CLAPP-GSI, yang difasilitasi oleh Yayasan<br />

Cendana Mekar (YCM) dan bekerjasama dengan <strong>ACCESS</strong>.<br />

Dalam pertemuan tersebut disepakati akan ada Fasilitator Desa (Fasdes) yang<br />

memfasilitasi penyusunan RPJM-Desa. Maka dilakukanlah pemilihan Fasdes secara<br />

demokratis oleh warga. Hasilnya terpilih 4 orang Fasdes (2 laki-laki, 2 perempuan).<br />

Di luar dugaan,saya terpilih menjadi salah satu dari 4 orang tersebut untuk menjadi<br />

Fasdes. Saya menerima kepercayaan tersebut dengan senang hati.<br />

Setelah saya terpilih, saya dilatih dan dibimbing oleh YCM bersama mitra <strong>ACCESS</strong>.<br />

Kegiatan diawali dengan pelatihan teknik fasilitasi dengan metode AI (Appreciative<br />

Inquiry) dan berbasis kekuatan, PM (Pengorganisasian Masyarakat), Pelatihan KIBBLA<br />

(Kesehatan Ibu Bayi Baru Lahir dan Anak). Saya pun dilatih bagaimana menjadi<br />

seorang Fasilitator Desa yang baik. Fasilitator yang memiliki rasa percaya diri dalam<br />

menyampaikan pendapat, berani berbicara, bertanggung jawab dan harus memiliki<br />

kemauan belajar yang tinggi.<br />

Berawal dari sinilah saya mulai berani berbicara di depan forum atau dalam setiap<br />

petemuan desa. Saya mulai percaya diri. Tenyata ada baiknya juga kalau saya mau<br />

menyampaikan ide-ide maupun komentar. Ternyata setelah melalui semua itu, saya


merasa dan menemukan ada potensi besar yang terkandung di dalam diri saya yang<br />

harus dikembangkan dan dimanfaatkan untuk hal yang baik.<br />

Setelah beberapa bulan kemudian, saya dan kawan-kawan Fasdes dari 7 desa<br />

di Kecamatan Haharu melakukan kegiatan yang dilaksanakan di kantor Desa<br />

Rambangaru, desa tempat saya tinggal. Kami dilatih kembali oleh fasilitator YCM dan<br />

mitra <strong>ACCESS</strong> selama 10 hari tentang penyusunan RPJM-Desa yaitu perencanaan<br />

dan penganggaran partisipatif. Kami dilatih tentang pola pendekatan berbasis<br />

kekuatan dalam menyusun perencanaan desa. Proses pelatihan ini sangat menarik<br />

karena materinya sederhana dan banyak diselingi dengan game (permainan), diskusi<br />

kelompok, mempresentasikan hasil diskusi, dan bahkan mereview materi yang telah<br />

diajarkan.<br />

Melalui pelatihan ini, saya sangat diperkaya ilmu pengetahuan pemberdayaan dan<br />

kehidupan kemasyarakatan. Dan bagaimana mengembangkan potensi desa, melalui<br />

pola pengembangan alat-alat kajian dengan berbagai aset yang ada di desa, yakni<br />

aset sumber daya alam, aset sumber daya manusia, aset sumber daya ekonomi, aset<br />

sumber daya sosial yang mendukung penghidupan masyarakat.<br />

Setelah melakukan pelatihan yang lama dan melelahkan itu, Fasdes bekerja dengan<br />

pemerintah desa untuk melakukan perencanaan di desa. Pemerintah desa dan Fasdes<br />

melakukan kesepakatan untuk melaksanakan kegiatan proses penyusunan RPJM-<br />

Desa secara bersama-sama dengan YCM bersama mitra <strong>ACCESS</strong>.<br />

Awal dari kegiatan perencanaan ini, pemerintah desa mulai mempersiapkan<br />

masyarakat untuk mengikuti proses penyusunan RPJM-Desa. Pertama, kami mulai<br />

melakukan sosialisasi program. Sekaligus melakukan penjajakan sosial dan kajian AKP<br />

(Analisis Kesejahteraan Partisipasi) yang lebih mengutamakan bagaimana warga desa<br />

bisa mengindenti kasi tingkat kesejahteraan mereka.<br />

Selama ini yang tak disangka bahwa masyarakat desa ternyata mampu menentukan<br />

tingkat kesejahteraan mereka oleh mereka sendiri. Dengan mengembangkan<br />

alat kajian ini mereka mampu menentukan sumber-sumber penghidupan atau<br />

mata pencaharian masyarakat seperti kepemilikan lahan, luas lahan yang digarap,<br />

kepemilikan ternak, jenis rumah, kepemilikan kendaraan, kemampuan berobat,<br />

kemampuan membeli pakaian dan berapa kali makan di dalam sehari.<br />

Dengan analisis ini, warga desa mampu memahami dan mengerti sejauh mana<br />

tercapainya kebutuhan dasar (primer) masyarakat. Kategori ini disetujui oleh<br />

masyarakat dan pemerintah desa menetapkan bahwa kategori ini akan dipakai<br />

133


sebagai data yang akurat dalam memberikan setiap pelayanan kepada masyarakat.<br />

Hasil analisis kesejahteraan inilah yang kemudian ditindaklanjuti untuk melakukan<br />

sensus rumah tangga dimana kami mendata semua penduduk yang berdomisili di<br />

desa.<br />

Setelah selesai mendata setiap rumah tangga, kami dapat menentukan skor setiap<br />

kategori dan kemudian diplenokan hasil sensus rumah tangga kepada masyarakat.<br />

Masyarakat merasa senang karena dapat menentukan kategori tingkat kesejahteraan<br />

desanya dengan bahasa setempat seperti: orang kaya (wulu), sedang (peku), dan<br />

miskin (mamila).<br />

Dalam perjalanan proses kegiatan ini, saya menghadapi kesulitan karena saya harus<br />

melakukan kegiatan seorang diri. Disebabkan karena teman-teman Fasdes tidak<br />

mau lagi melakukan tugasnya. Walaupun demikian, saya tetap menjalani proses ini.<br />

Semangat saya tidak pernah pudar untuk tetap melakukan proses ini.<br />

Setelah itu, saya melakukan pengembangan alat kajian mengenai Kesehatan Ibu Bayi<br />

Baru Lahir dan Anak. Saat itu, saya menemui ibu-ibu yang sedang mengikuti kegiatan<br />

di Posyandu. Kegiatan Posyandu pada hari itu yakni menimbang bayi, balita dan ibu<br />

hamil. Saya menggunakan kesempatan itu untuk mewawancarai ibu-ibu yang datang<br />

ke Posyandu. Saya menanyakan kepada mereka mengenai pelayanan apa saja yang<br />

didapatkan baik dari paramedis, dukun dan di rumahnya baik selama kehamilan, ibu<br />

melahirkan, ibu menyusui bayi dan balita. Melalui wawancara tersebut, saya mendapat<br />

informasi bahwa ibu bayi baru lahir dan anak lebih banyak mendapatkan pelayaan<br />

dari paramedis. Dalam proses melakukan kajian ini, saya harus mengunjungi 4<br />

Posyandu yang ada di Desa Rambangaru.<br />

Setelah melakukan pengembangan alat kajian, saya selalu bekerja sama dengan<br />

pemerintah desa dalam menggali potensi yang ada di desa. Dalam proses ini, saya<br />

mengembangkan alat-alat kajian lainnya yang hanya dilakukan di kantor desa yaitu<br />

diagram kelembagaan, kalender musim, kesehatan masyarakat, kalender kegiatan<br />

kerja harian, bagan kecenderungan perubahan dan pemetaan sosilal. Dalam<br />

melakukan pengembangan berbagai alat kajian, saya dibantu oleh pemerintah desa<br />

dan Pendamping Lapangan (PL) dari YCM. Kami bekerjasama dalam proses ini.<br />

Memang proses ini sulit. Saya harus bekerja keras dan bertanggung jawab. Saya harus<br />

tepat waktu dalam bekerja dan membagi waktu dengan perkerjaan saya di rumah<br />

dan pekerjaan penyusunan perencanaan dan pengganggaran desa. Banyak sekali<br />

kendala dalam proses ini.<br />

134


Ada sebuah kisah yang menyedihkan saat saya harus memfasilitasi pertemuan di<br />

desa. Di mana saya tidak makan seharian. Selain itu, saya harus berjalan kaki dari<br />

rumah ke rumah untuk melakukan sensus rumah tangga. Pengalaman yang lebih<br />

menyedihkan lagi yaitu banyak di antara warga yang marah-marah karena selalu<br />

banyak pertemuan yang harus dilakukan. Meskipun dalam proses ini saya tidak<br />

mendapatkan apa-apa atau tidak dibiayai oleh pemerintah desa. Tetapi saya tetap<br />

berjuang untuk mau menghasilkan suatu perencanan desa yang baik dan berkualitas.<br />

Dalam proses ini, saya banyak belajar tentang masyarakat yang memiliki banyak<br />

perbedaan. Saya dapat memahami kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Dalam<br />

proses ini, saya bertumbuh menjadi orang yang lebih percaya diri, berani, disiplin, dan<br />

bertanggung jawab.<br />

Di sinilah saya harus bisa membangun pemahaman dan mau mengerti bahwa<br />

sesungguhnya perencanaan ini adalah untuk masyarakat. Ternyata bukanlah hal<br />

gampang untuk menghasilkan sebuah dokumen perencanaan dan penganggaran desa<br />

yang partisipatif. Sebuah perencanaan yang mengharuskan kehadiran masyarakat baik<br />

laki-laki, perempuan, kaum muda, dan kaum yang terpinggirkan. Dengan pengalaman<br />

inilah saya jadikan sebagai kekuatan dalam membangun motivasi untuk tetap bekerja<br />

demi kemajuan desa saya.<br />

Sejak dipercaya menjadi Fasilitator Desa, saya selalu berusaha mau bertanggung<br />

jawab dan mau menggunakan kepercayaan yang diberikan. Saya selalu dipercaya<br />

untuk mengikuti setiap pertemuan di desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi dan<br />

bahkan nasional.<br />

Saya memiliki sebuah pengalaman menarik dan menyenangkan yaitu ketika saya<br />

dipercaya untuk mengikuti kegiatan “Temu Bintang Perencanaan dan Penganggaran<br />

Partisipatif” di Makasar. Saat itu, saya tak menyangka kalau saya dipercaya untuk<br />

mewakili Fasdes dari Kabupaten Sumba Timur untuk mengikuti kegiatan tersebut.<br />

Pada saat itu saya ditelpon oleh Pak Yulius Opang. Dia menanyakan apakah saya<br />

punya waktu selama satu minggu? Saya mengatakan bahwa saya punya waktu.<br />

Beberapa hari kemudian, saya dikagetkan dengan sebuah surat yang diantar oleh<br />

Pak Lusi. Setelah saya buka dan membaca isi surat tersebut, hati saya sangat senang<br />

dan gembira karena saya dipilih untuk mengikuti kegiatan di Makasar. Ternyata ada<br />

anugerah yang Tuhan berikan kepada saya sehingga saya dipercaya untuk mengikuti<br />

acara Temu Bintang tersebut.<br />

Dan yang lebih menarik lagi dimana saya dipercaya untuk menjadi salah satu<br />

135


narasumber pada kegiatan itu. Saya diminta untuk membawa materi tentang<br />

“Bagaimana memobilisasi masyarakat dalam proses penyusunan Rencana<br />

Pembangunan Jangka Menengah Desa”. Awalnya, saya tidak percaya diri karena<br />

pertemuan ini dihadiri oleh banyak peserta yang berasal dari 4 propinsi yaitu<br />

NTT, NTB, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Peserta yang hadir berasal dari<br />

beberapa kabupaten/kota yang telah memiliki dokumen RPJM-Desa yang didukung<br />

oleh <strong>ACCESS</strong> dan Mitra Samya.<br />

Memang bukanlah suatu hal yang mudah dalam menyampaikan materi yang saya<br />

siapkan. Saya harus mempersiapkan mental yang baik agar saya tidak gemetar dalam<br />

proses menyampaikan materi. Tapi karena berkat kuasa Tuhan yang begitu besar, saya<br />

mampu menyampaikan materi dengan baik di hadapan yang peserta. Saya bangga<br />

karena pengalaman yang saya alami dalam memfasilitasi warga dan pemerintah desa<br />

untuk membuat perencanaan dan penganggaran desa dapat saya bagikan kepada<br />

semua peserta dari 4 propinsi. Pengalaman ini tidak pernah akan saya lupakan. Dan<br />

bahkan ia menjadi pemicu dan memperkuat komitmen dan harapan saya untuk<br />

tetap berkarya membangun desaku tercinta, desa pujaan hatiku, desa dimana aku<br />

dibesarkan yaitu Desa Rambangaru. Rambangaru, aku ada untukmu.<br />

136


Mendobrak Pintu Tradisi<br />

Stefanus Landu Paranggi<br />

Desa adalah gudang komoditi. Di desa ada sumber makanan, sayur-sayuran dan<br />

buah-buahan, sumber tenaga kerja, bahkan desa memiliki potensi sumberdaya alam,<br />

sumber bahan bangunan, dan sebagainya. Akan tetapi, kenapa desa justru masih<br />

diabaikan bahkan tidak mendapat porsi yang adil dalam pembangunan?<br />

Perencanaan pembangunan desa yang dilakukan setiap tahun, mulai dari Musyawarah<br />

Perencanaan Pembangunan Dusun (Musrenbangdus) sampai Musyawarah<br />

Perencanaan Pembangunan Kabupaten (Musrenbangkab) adalah suatu proses<br />

perencanaan yang didesain khusus dengan harapan agar seluruh masyarakat terlibat<br />

dan turut berpartisipasi dalam proses perencanaan. Kenyataannya berkata lain,<br />

ibarat indah kabar dari pada rupa. Pelaksanaannya seperti makanan cepat saji, sekali<br />

cemplung langsung dilahap. Bahkan jauh dari harapan sejauh langit dan bumi.<br />

Kalaupun masyarakat dilibatkan dalam proses, itu pun tidak lebih dari sekedar<br />

melengkapi daftar hadir atau menjadi pendengar setia yang hanya bisa bertepuk<br />

tangan diakhir kata sambutan para pejabat atau pemimpin, karena toh pada akhirnya<br />

usulan-usulan mereka belum jelas entah kemana.“Kami minta cangkul tapi yang<br />

kami dapat adalah pohon,” kata seorang ibu yang tidak mau menyebutkan namanya.<br />

Sekelumit pengakuan polos sang ibu di atas, hanyalah sebagian kecil dari kondisi riil<br />

masyarakat yang telah lama dibuai janji kesejahteraan.<br />

Tim Kolaborasi bekerja di 3 kecamatan di Kabupaten Sumba Timur yaitu Kecamatan<br />

Nggaha Ori Angu, Kecamatan Haharu dan Kecamatan Kambata Ma Pambuhang.<br />

Tim ini menggunakan pendekatan Community Led Action Participatory Proccess-Gender<br />

and Social Inclusive (CLAPP-GSI) dalam memfasilitasi penyusunan perencanaan dan<br />

penganggaran pembangunan desa secara partisipatif. Visi dari program ini yaitu<br />

mewujudkan warga dari berbagai strata sosial (terutama perempuan, orang miskin,<br />

dan kaum marginal lainnya) bisa berdaya dan sanggup menjadi aktor utama untuk<br />

137


memimpin dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi<br />

program pembangunan. Program ini didukung oleh <strong>ACCESS</strong> Phase II.<br />

Melalui program ini, Tim Kolaborasi ingin mendorong peningkatan dalam Tata<br />

Kepemerintahan Lokal yang Demokratis (TKLD) melalui internalisasi, praktik,<br />

dan promosi nilai dan prinsip TKLD seperti partisipasi, transparansi, akuntabilitas,<br />

keadilan gender dan sosial, dan lain-lain. Salah satu hasilnya adalah penyusunan<br />

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa) pada 21 desa yang<br />

tersebar pada 3 kecamatan yang disusun secara partisipatif, transparan, dan<br />

akuntabel. Rencana itu bertujuan agar perencanaan dan penganggaran pembangunan<br />

desa dipimpin langsung oleh masyarakat untuk pemenuhan hak-hak dasar mereka<br />

seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lainnya.<br />

Suatu saat, saya terkejut ketika mengikuti Musyawarah Rencana Pembangunan<br />

Kecamatan (Musrenbangcam) di salah satu kecamatan wilayah kerja Tim Kolaborasi.<br />

Tim Kolaborasi ini merupakan gabungan lembaga tempat saya bekerja yaitu Yayasan<br />

Cendana Mekar dan Lembaga Koordinasi Pengkajian dan Pemanfaatan Sumber<br />

Daya Alam (KOPPESDA). Musrenbangcam dihadiri oleh Satuan Kerja Perangkat<br />

Daerah (SKPD) dan perwakilan dari masing-masing desa. Di sana ada spanduk<br />

“MUSRENBANGCAM DAN RAKER PAMONG PRAJA KECAMATAN (tidak perlu<br />

saya sebutkan nama kecamatannya) DARI TANGGAL 20-23 MARET 2011. Jika<br />

menyimak spanduk tersebut, kita tahu bahwa kegiatannya dilaksanakan selama 4 hari.<br />

Tapi pada praktiknya, hanya dilaksanakan 2 hari.<br />

Waktu memulai Musrenbangcam pun terlambat. Dari jadwal undangan yang sampai<br />

ke tangan saya ditulis bahwa acara dimulai dari pukul: 09: 00. Namun acara justru<br />

molor sampai pukul 10:30 karena masih menunggu kehadiran SKPD. Ditambah<br />

lagi dengan acaranya yang bersifat protokoler dan banyaknya kata sambutan dari<br />

masing-masing SKPD, anggota DPRD, dan Pak Camat. Kalau dirata-rata setiap SKPD<br />

menghabiskan waktu paling tidak 10 menit, maka 20 orang SKPD plus anggota<br />

DPRD, waktu yang tersita untuk pidato sudah mencapai 3 jam 30 menit. Sehingga<br />

alokasi waktu bagi masyarakat untuk bermusyawarah dan bermufakat membuat<br />

perencanaan sangat minim. Lebih mengherankan lagi, daftar kehadiran peserta<br />

kegiatan sudah ditandatangani rangkap 3 pada hari pertama untuk kegiatan selama<br />

4 hari. Sementara itu, SKPD sudah pulang setelah makan siang dengan alasan ada<br />

kegiatan lain di tempat yang berbeda, dan pada akhirnya kegiatan dilaksanakan hanya<br />

2 hari.<br />

Kondisi ini membuat saya berpikir mungkinkah proses dan hasil Musrenbangcam<br />

seperti ini dapat mengakomodir kebutuhan semua elemen masyarakat, orang miskin,<br />

138


perempuan, pemuda dan kaum marginal? Seribu pertanyaan bergejolak di dalam<br />

benak saya. Potret buram perencanaan yang tidak jelas, jika istilah perencanaan dari<br />

bawah (masyarakat) sering didengungkan ibarat nyanyian klasik tapi prosesnya lagilagi<br />

lebih indah kabar daripada rupa. Semua hebat di tingkat pelaporan tapi keropos<br />

di lapangan. Positif di laporan pertanggungjawaban namun minus di bukti sik. Kalau<br />

sudah demikian maka tumbalnya adalah masyarakat miskin dan kaum marginal yang<br />

hanya pasrah tak berdaya menunggu perubahan yang tak kunjung tiba.<br />

Ibarat mendobrak pintu tradisi yang terkunci rapat dalam tubuh birokrasi yang<br />

sudah terpola dengan perencanaan ala mie instan seperti yang sudah dijelaskan di<br />

atas, awalnya banyak pihak yang merasa terganggu dengan kata TKLD. Bahkan secara<br />

terang-terangan sering dikatakan kalau LSM seakan-akan dituduh terlalu ikut campur<br />

soal urusan pemerintahan.<br />

Melalui berbagai pendekatan persuasif dan informal dengan pihak kecamatan,<br />

khususnya Pak Camat Kecamatan Nggaha Ori Angu, Bapak Umbu Maramba Memang<br />

Mengubah pola pikir, atau kebiasaan masyarakat awam lebih<br />

mudah dibanding mengubah pola dan kebiasaan birokrasi.<br />

Butuh kesabaran dan pendekatan khusus.<br />

139


S.Pt, yang kini Beliau sudah memangku jabatan Sekretaris Dinas Perhubungan<br />

Kabupaten Sumba Timur, kami menjelaskan tentang program dan pendekatan<br />

CLAPP-GSI kepada Beliau. Beliau memahami, menerima, dan mendukung program<br />

kami. Bahkan, Beliau secara tegas menghimbau seluruh kepala desa agar memberi<br />

ruang dan kesempatan seluas-luas nya kepada semua elemen masyarakat dari<br />

berbagai strata untuk berpartisipasi aktif dalam setiap proses perencanaan tanpa<br />

intervensi pihak tertentu. Ia juga menegaskan agar seluruh alur dan proses<br />

perencanaan benar-benar harus sesuai dengan ketentuan Permendagri No. 66 Tahun<br />

2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Komitmen dan dukungan Beliau<br />

ibarat angin segar bagi sebuah perubahan awal yang kita harapkan.<br />

Tidaklah berlebihan kalau Kecamatan Nggaha Ori Angu dijadikan referensi untuk<br />

sebuah perubahan karena dari kecamatan inilah yang pertama berkomitmen dan<br />

menerima konsep pendekatan CLAPP-GSI yang lebih menukik pada perencanaan<br />

dan penganggaran yang dipimpin masyarakat.Wujud dari pengakuan itu ditandai<br />

dengan prosesi berpakaian adat Sumba lengkap tanpa terkecuali pada saat<br />

Musrenbangcam di wilayah ini pada tanggal 3 Maret 2011. Peristiwa tersebut<br />

menoreh sejarah perubahan baru di kecamatan tersebut, laksana kemarau setahun<br />

diguyur hujan sehari. Proses perencanaan yang mekanistik dan formalistik yang<br />

selama ini dijalankan ibarat pintu tradisi yang berdiri kokoh, mulai didobrak retak<br />

dan tak lama lagi akan runtuh berkeping.<br />

Proses Musrenbangcam yang berlangsung selama 2 hari dipimpin langsung oleh<br />

masyarakat dan betul-betul partisipatif. Usulan-usulan prioritas desa tidak lagi<br />

dicoret tanpa alasan. Kecamatan tidak lagi mengintervensi setiap usulan. SKPD-SKPD<br />

tidak lagi hadir sekadar membuka acara, berpidato dan pulang setelah makan siang.<br />

Masyarakat mulai antusias dan mampu bermusyawarah berdialog dan bernegosiasi<br />

dengan SKPD-SKPD. Pada akhirnya, 40% usulan prioritas dari desa-desa terjawab.<br />

Anggota DPRD yang hadir pada Musrenbang memberikan apresiasi terhadap proses<br />

Musrenbang kali ini. ”Ini baru namanya pemberdayaan dan masyarakat sudah mulai<br />

benar-benar berdaya,” kata Ibu Sarlota Katundiang, anggota DPRD Kabupaten Sumba<br />

Timur di dalam kata sambutannya.<br />

Perubahannya bukan itu saja. Tim Delegasi Kecamatan yang akan mengawal usulan<br />

dari kecamatan ke Musrenbangkab tidak lagi didominasi oleh pihak kecamatan<br />

yang selalu mengatasnamakan masyarakat desa. Tapi kali ini masyarakat desa yang<br />

menjadi Tim Delegasi. Mereka memilih Tim Delegasi secara demokratis dengan<br />

memperhitungan keseimbangan laki-laki dan perempuan dalam tim. Mereka merasa<br />

memiliki terhadap usulan-usulan mereka dan secara sungguh-sungguh dan sepenuh<br />

140


hati memperjuangkan nasib wilayah mereka. Saya dan teman Tim Kolaborasi sempat<br />

meneteskan air mata dipenghujung kegiatan. Ya, air mata kebahagiaan atas sebuah<br />

perubahan dasyat. Tetesan-tetesan air mata dari sebuah kepuasan yang tak bisa dinilai<br />

oleh harta, apalagi uang. Dan sebuah ucapan rasa syukur karena Tuhan Yang Maha<br />

Kuasa masih memberi kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi umat-Nya menuju<br />

perubahan dan kebahagiaan.<br />

Bicara perubahan, mengubah pola pikir atau kebiasaan masyarakat awam mungkin<br />

masih gampang-gampang susah. Tapi mengubah pola dan kebiasaan birokrasi butuh<br />

kesabaran dan pendekatan khusus. Itulah yang dihadapi oleh Tim Kolaborasi dalam<br />

mengimplementasikan dan membumikan TKLD.<br />

Betapa susahnya mensinkronkan kepentingan dan kebijakan. Dua unsur yang berbeda<br />

dapat menjadi satu seperti air sungai dan minyak dalam satu wadah. Demikianlah<br />

potret buram suatu masa di negara ini mulai dari pusat hingga daerah seperti konsep<br />

Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) mulai zaman Orde Baru, zaman<br />

Reformasi, hingga saat ini.<br />

Kenyataannya angka kemiskinan semakin tinggi sedangkan ekonomi semakin<br />

terpuruk, padahal entah sudah berapa miliar bahkan triliun dana dari pusat untuk<br />

daerah. Entah sudah berapa banyak konsep pembangunan yang dilakukan sebagai<br />

gebrakan terpadu berkedok pengurangan angka kemiskinan.<br />

Konsep Operasi Nusa Hijau-Nusa Tenggara Timur (ONH-NTT), Operasi Nusa<br />

Makmur-Nusa Tenggara Timur (ONM-NTT), Operasi Gogo Rancah (OPS-GORA),<br />

Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan yang terbaru adalah konsep Anggaran untuk Rakyat<br />

Menuju Sejahtera (Anggur Merah) konsepnya Gubernur NTT, Bapak Frans Lebuh<br />

Raya. Juga, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan entah operasi<br />

apalagi sesudah dan sebelum itu. Semua itu tidak mampu membuktikan perubahan<br />

perbaikan ekonomi masyarakat maupun sumberdaya manusia. Kalau demikian<br />

dimana letak rantai kemiskinan?<br />

Ketidakberdayaan warga masyarakat mengawal setiap proses perencanaan,<br />

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan yang ada didesa adalah pintu<br />

penyelewengan terbesar para penyelenggara, bagi pelaku dan penentu kebijakan<br />

pembangunan dengan mengatasnamakan rakyat tanpa persetujuan rakyat.<br />

Kurangnya partisipasi dan keterlibatan warga masyarakat dalam setiap proses<br />

perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan adalah peluang<br />

pembohongan kepada publik tentang kemiskinan dan pemiskinan. Dengan kata lain,<br />

141


sasaran penerima manfaat bisa tidak tepat sasaran.Perencanaan dibuat berdasarkan<br />

keinginan tokoh dan elit tertentu dan mengabaikan kebutuhan masyarakat miskin,<br />

perempuan dan kaum marginal desa. Fenomena ini akan membuat para elit semakin<br />

elit dan berkuasa, sementara kaum miskin semakin miskin dan melarat tak berdaya.<br />

Pembangunan yang tidak melalui perencanaan hanyalah memberi peluang emas bagi<br />

oknum tertentu meraup keuntungan beraroma politik atas dasar tanam jasa dan<br />

balas jasa. Akhirnya, tak bermanfaat karena belum menyentuh kebutuhan masyarakat.<br />

Kalau kita mau jujur, Kabupaten Sumba Timur saja memiliki banyak gedung dan<br />

fasilitas pemerintah seperti Puskesmas Pembantu (Pustu), Pondok Bersalin Desa<br />

(Polindes), mess kehutanan, mess guru, terminal,Tempat Penjualan Ikan (TPI),<br />

layanan telekomunikasi pedesaan dan lain-lain yang tidak berpenghuni atau tidak<br />

dimanfaatkan dengan alasan klasik yaitu kekurangan staf. Sebuah pernyataan aneh<br />

dan lucu bagi masyarakat awam.<br />

Pertanyaannya, fasilitas itu dibangun untuk apa kalau tidak ada orang mengelolanya?<br />

Begitu pintarnya pemimpin kita lempar batu sembunyi tangan, berkelit membela<br />

diri, enam sembilan, sembilan enam, dibolak-balik sama saja. Dan yang jadi kambing<br />

hitam lagi-lagi masyarakat awam dengan memanfaatkan kelemahan dan kekurangan<br />

sumberdaya mereka.<br />

Minimnya kesadaran para pihak dalam perubahan perilaku, perubahan pola pikir<br />

dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan beraroma korupsi,<br />

kolusi dan nepotisme menggunakan jurus penggelembungan harga, manipulasi merek,<br />

tender ktif, Surat Perintah Perjalan Dinas (SPPD) yang ktif, dan lain-lain sangat<br />

berpengaruh terhadap potret angka kemiskinan masyarakat yang semakin meningkat.<br />

Mereka, para pamong praja justru ada yang menggunakan kesempatan dalam<br />

kesempitan untuk mengais keuntungan dari kemiskinan dan kemelaratan masyarakat.<br />

Kenyataan, kadang-kadang lebih dari kekwatiran kita. Yang terpenting jangan pernah<br />

takut untuk bicara kebenaran. Jangan pernah kalah sebelum bertanding dan dimana<br />

ada hilir pasti ada hulu. Dengan kata lain, jika ada komunikasi yang baik antar-pihak<br />

pasti ada jalan keluar. Tak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Kalimat-kalimat<br />

tersebut memacu semangat Tim Kolaborasi untuk membuka pintu perubahan,<br />

baik perubahan pola pikir, maupun perubahan kebiasaan yang sudah terpola dalam<br />

sistem perencanaan. Meski harus diakui, terkadang ada ego sektoral antara penentu<br />

kebijakan, pelaku pembangunan dan penerima manfaat itu sendiri.<br />

Selama ini, entah masyarakat sadar atau tidak, banyak potensi dan aset yang<br />

142


mereka miliki tapi kadang belum dimanfaatkan secara baik bahkan diabaikan begitu<br />

saja. Kalaupun dimanfaatkan, justru kekayaan desa diboyong untuk membangun<br />

perkotaan. Akhirnya masyarakat hanya mengurut dada, berkerut dahi, menyaksikan<br />

kekayaan alam mereka diangkut dari kampung halaman sendiri. Masyarakat hanya<br />

menerima apa yang diberikan karena bagi masyarakat semua itu adalah bantuan<br />

pihak pemerintah yang mau tidak mau, suka atau tidak suka harus diterima. Pola<br />

perencanaan seperti itulah yang menjadi perjuangan Tim Kolaborasi.<br />

Dengan selesainya penyusunan dokumen RPJM-Desa di 3 Kecamatan yang<br />

disebutkan di atas, sedikitnya “pintu tradisi sudah mulai terbuka”. Tidak ada lagi<br />

proyek siluman bermuatan politik dan kepentingan pribadi. “Semua program yang<br />

turun di desa harus mengacu pada dokumen RPJM-Desa,” demikian ungkap Kepala<br />

Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Sumba Timur, Bapak Yakobus Yiwa, SH,<br />

dalam kata sambutannya saat menutup workshop Temu Para Pelaku RPJM-Desa di<br />

Waingapu pada tanggal 13 April 2011.<br />

Teman teman seperjuangan, jangan pernah lelah untuk berjuang. Jangan takut<br />

mendobrak pintu perubahan, mengubah pola pikir dan tradisi klasik yang tidak<br />

menjamin bagi pemenuhan hak-hak dasar orang miskin, perempuan dan kaum<br />

marginal. Semua itu adalah tugas dan tanggung jawab kita semua.<br />

Mari kita belajar dari binatang lemah seperti rayap yang sehari menggerogoti<br />

secuil kayu, setahun bisa sebatang balok. Pelan tapi pasti. Yang penting kita selalu<br />

satu dalam perjuangan yang sama. Pengalaman di Kecamatan Nggaha Ori Angu,<br />

Kecamatan Haharu dan Kecamatan Kambata Ma Pambuhang, sedikit banyak menjadi<br />

contoh perubahan bagi penyelenggara, pelaku dan penerima manfaat pembangunan<br />

(masyarakat). Tidak ada yang patut disalahkan jika masyarakat dan pemerintah samasama<br />

berperan dalam setiap proses pembangunan demi terwujudnya TKLD di bumi<br />

kita tercinta ini.<br />

143


144<br />

Mencari Celah<br />

Menuju Tanah Perjanjian<br />

Umbu Bahi<br />

Judul tulisan ini dipakai penulis untuk menggambarkan perjalanan saya bersama<br />

warga dalam rangka mewujudkan Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis.<br />

Cerita ini disusun dari sudut pandang orang yang mengalami langsung dampak<br />

program dari Tim Kolaborasi yang didukung oleh <strong>ACCESS</strong>.<br />

Metafora Tanah Perjanjian diambil dari sebuah kisah heroik dalam Kitab Taurat yang<br />

mengisahkan seorang tokoh bernama Abraham. Dikisahkan, Abraham dipanggil<br />

Allah dari Urkasdim, meninggalkan tempat ayahnya bernama Tera, untuk pergi ke<br />

tanah Kanaan. Beberapa ratus tahun kemudian, keturunan Abraham mengalami<br />

perbudakan di tanah rantauan Mesir dibawah pemerintahan rezim Firaun. Keturunan<br />

Abraham menamakan tanah Kanaan sebagai Tanah Perjanjian. Atas dasar perjanjian<br />

inilah, keturunan Abraham yang kemudian menamakan dirinya Bangsa Israel keluar<br />

dari Mesir untuk kembali ke Tanah Perjanjian milik nenek moyang mereka Abraham.<br />

Mereka pun mengalahkan banyak musuh yang gagah perkasa dalam perjalanan dari<br />

perbudakan Mesir kembali ke Tanah Perjanjian. Secara alkitabiah, Tanah Perjanjian<br />

bagi Bangsa Israel adalah sebuah tempat yang menggambarkan kesejahteraan dan<br />

kedamaian yang tak pernah berkesudahan.<br />

Penulis menggambarkan perjalanannya dalam mendampingi warga masyarakat<br />

melalui Tim Kolaborasi bersama mitranya <strong>ACCESS</strong> Phase II, ibarat mencari celah<br />

menuju Tanah Perjanjian, tempat yang menjanjikan kesejahteraan dan kedamaian yang<br />

abadi.<br />

Saya mulai menjadi aktivis LSM sejak 8 tahun lalu ketika saya baru menyelesaikan<br />

pendidikan pada jenjang S1. Ketika itu saya baru berusia 25 tahun. Dalam pengalaman<br />

saya bekerja sebagai aktivis LSM, saya pernah menangani program dengan isu<br />

lingkungan, sebuah program kerjasama antara Yayasan Kehati dengan Yayasan<br />

Alam Lestari Sumba. Kemudian, saya juga pernah menangani program peningkatan


ekonomi rakyat bersama Yayasan Tananua Sumba. Pengalaman berkarya pada kedua<br />

lembaga tersebut meniggalkan kesan yang luar biasa bagi saya karena saya mendapat<br />

kesempatan untuk mengikuti berbagai pelatihan untuk pengembangan kapasitas<br />

saya, seperti pelatihan tentang ekonomi, metodogi perencanaan dan magang ke luar<br />

daerah.<br />

Saya mengenal <strong>ACCESS</strong> sejak <strong>ACCESS</strong> Phase I. Ketika itu <strong>ACCESS</strong> Phase I<br />

bekerjasama dengan Yayasan Alam Lestari (YAL) Sumba untuk pengelolaan program<br />

penguatan ekonomi rakyat. Pada saat itu, saya menjabat sebagai Koordinator<br />

Program di YAL. Saat itu pula, ada banyak hal yang saya dapatkan melalui pelatihan<br />

peningkatan kapasitas, terutama pendekatan CLAPP-GPI (Community Lead Assessment<br />

and Planning Process – Gender and Poverty Inclusive), yang pada <strong>ACCESS</strong> Phase II<br />

berubah namanya menjadi CLAPP-GSI (Community Learning and Actions Participatory<br />

Proccess-Gender and Social Inclusive). Inti dari pendekatan ini yaitu menyediakan<br />

ruang dan menciptakan peluang untuk pemberdayaan orang miskin dan perempuan<br />

dimana mereka yang memimpin proses-proses pembangunan. Mereka yang memiliki<br />

pembangunan dan juga berkuasa atas pembangunan.<br />

Diakhir tahun 2009, saya pun bergabung dengan Yayasan Cendana Mekar (YCM).<br />

Saya terlibat dalam Program Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Partisipatif<br />

kolaborasi antara YCM dan KOPPESDA. Karena melibatkan 2 lembaga, maka kami<br />

menyebut tim kami sebagai Tim Kolaborasi. Program ini didukung oleh <strong>ACCESS</strong><br />

Phase II. Saya akan menguraikan secara rinci tentang program ini karena inilah tujuan<br />

utama saya menulis kisah ini.<br />

Ketertarikan saya untuk bergabung dalam program ini karena program kerjasama<br />

antara YCM (Tim Kolaborasi) dengan <strong>ACCESS</strong> Phase II menawarkan berbagai<br />

bentuk dukungan program peningkatan kapasitas bagi mitranya serta juga bagi<br />

warga dan organisasi warga. Saya merasa, ini merupakan peluang dan kesempatan<br />

emas buat saya untuk belajar lebih banyak lagi guna memperkaya pengetahuan dan<br />

meningkatkan kapasitas saya. Hal ini penting bagi pengembangan diri dan juga untuk<br />

pemberdayaan warga. Jujur saja bahwa sejak awalnya saya bergabung dengan LSM<br />

dan kini menjadi aktivis LSM, saya punya ketertarikan yang besar dan terpanggil<br />

untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi warga desa agar mereka lebih berdaya<br />

dan mandiri.<br />

Tim Kolaborasi memiliki program yang jelas dan fokus pada upaya-upaya<br />

memberdayakan orang miskin, perempuan, kaum muda dan kaum marginal lainnya<br />

dengan mengedepankan nilai dan prinsip belajar dari pengalaman dan menghargai<br />

perbedaan, keberlanjutan, keterbukaan dan pertanggungjawaban, partisipasi,<br />

145


keswadayaan, kesetaraan, kemandirian, kolaborasi, berbasis aset (asset based),<br />

perubahan perilaku, dan lain-lain.<br />

Dalam menyusun program, kami menggunakan pendekatan Outcome Mapping (OM).<br />

Pada mulanya saya berkenalan dengan pendekatan ini, saya sedikit bingung. Karena<br />

pendekatan ini baru bagi saya. Juga, pengalaman saya sebelumnya dalam menyusun<br />

program, saya sudah terbiasa dengan pendekatan logical frame work atau Logframe.<br />

Karena pendekatan OM ini menarik untuk dipelajari dan didalami, maka untuk<br />

meningkatkan pemahaman saya tentang OM, saya berusaha mempelajari dengan teliti<br />

tentang konsep program Tim Kolaborasi. Saya pun membaca berbagai artikel tentang<br />

pendekatan OM.<br />

Sebagai sebuah pendekatan pembangunan, OM memusatkan perhatian pada<br />

perubahan perilaku, relasi, dan aksi dari aktor-aktor utamanya sebagai pelaku<br />

program. Dengan demikian, aktor atau mitra (manusia) dan perubahan yang terjadi<br />

pada dirinya merupakan fokus dari pendekatan ini.<br />

Dalam program perencanaan dan penganggaran partisipatif, Tim Kolaborasi sebagai<br />

Tim Pelaksana bekerjasama dengan orang-orang di desa (Fasilitator Desa/Fasdes)<br />

dan kecamatan (Fasilitator Kecamatan/Fascam) sebagai Mitra Langsung atau dalam<br />

pendekatan OM disebut BP (Boudary Partners). BP adalah aktor-aktor – yang melalui<br />

peran dan fungsi khususnya – memiliki kapasitas dan potensi mendukung pencapaian<br />

tujuan program atau mendorong perubahan bagi warga di wilayahnya.<br />

BP dipilih secara demokratis oleh warga desa melalui pemilihan secara langsung.<br />

Mereka disebut sebagai Fasilitator Desa/Fasdes. Fasdes merupakan unsur<br />

keterwakilan dari masyarakat, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM),<br />

pemerintah desa. Komposisi Fasdes seimbang laki-laki dan perempuan. Upaya<br />

kami untuk mendorong keseimbangan laki-laki dan perempuan merupakan bagian<br />

dari penerapan atau “membumikan” nilai keadilan sosial dan gender (GSI) dalam<br />

program, dalam pemerintahan desa dan kepengurusan kelompok. Kami juga memiliki<br />

BP di tingkat kecamatan yang disebut Fascam (Fasilitator Kecamatan). Fascam ini<br />

adalah pegawai kecamatan. Mereka adalah PNS, dan pemilihannya ditunjuk secara<br />

langsung oleh camat melalui Surat Keputusan.<br />

Agar program ini dapat mencapai tujuannya secara berkualitas dan bermanfaat bagi<br />

warga dan organisasi warga, maka <strong>ACCESS</strong> Phase II melalui mitra strategisnya yaitu<br />

Mitra Samya menyelenggarakan Pelatihan bagi Pelatih tentang pendekatan CLAPP-<br />

GSI di Mataram, Saya menjadi salah satu peserta yang diutus dari Sumba Timur<br />

untuk mengikuti pelatihan ini. Sekembalinya dari pelatihan, saya bersama kawan<br />

146


Program kami memusatkan perhatian pada<br />

perubahan perilaku, relasi, dan aksi dari<br />

setiap aktor-aktor utama pembangunan.<br />

saya yang mengikuti pelatihan dan Mitra Samya memberikan pelatihan kepada Tim<br />

Pelaksana Program dari Tim Kolaborasi dan Koalisi. Koalisi juga merupakan mitra<br />

<strong>ACCESS</strong> yang bekerja untuk program perencanaan dan penganggaran pembangunan<br />

desa. Walaupun jenis programnya sama, akan tetapi kami bekerja pada lokasi yang<br />

berbeda. Setelah melatih Tim Pelaksana program dari Tim Kolaborasi dan Koalisi,<br />

kemudian saya bersama Tim Pelaksana dari Tim Kolobarasi melatih BP (Fasdes).<br />

Selain pendekatan CLAPP-GSI, saya juga dilatih tentang teknik fasilitasi vibran dan<br />

pendekatan berbasis kekuatan oleh Inspirit, pengorganisasian masyarakat oleh<br />

Remdec, dan masih banyak lagi.<br />

Pelatihan bagi BP dimulai dengan melakukan persiapan lapangan, persiapan tim<br />

sampai pada desain proses. Ini merupakan pengalaman baru karena walaupun selama<br />

ini saya sering melakukan fasilitasi, tetapi saya belum pernah melakukan tahapantahapan<br />

yang begitu lengkap seperti yang kami lakukan dalam proses ini.<br />

Dalam proses pelaksanaan pelatihan, hal lain yang menarik adalah menggunakan<br />

teknik fasilitasi berbasis potensi/asset atau yang dikenal dengan teknik fasilitasi<br />

vibran. Hal tersebut akan membantu BP dan warga masyarakat untuk menghargai<br />

kekuatan-kekuatan, karunia-karunia, talenta-talenta, keberhasilan-keberhasilan yang<br />

dimiliki dan membangun masa depan mereka atas dasar kekuatan-kekuatan yang<br />

dimiliki dalam diri setiap warga, komunitas, desa, dan kecamatan. Pendekatan ini<br />

147


sangat fantastis dan luar biasa karena mampu membangun antusiasme dan energi<br />

positif BP dan warga masyarakat. Sebelumnya, saya menggunakan teknik fasilitasi<br />

berbasis masalah yaitu menjadikan masalah sebagai dasar menemukan solusi di desa.<br />

Awalnya saya agak gagap juga karena selama ini pola pikir saya sudah terbiasa<br />

dengan analisa masalah. Namun, karena pendekatan ini menarik bagi saya maka<br />

saya harus membiasakan diri untuk mendalami dan menggunakan pendekatan ini.<br />

Setiap melakukan pelatihan bagi BP, saya menggunakan teknik fasilitasi vibran dan<br />

berbasis potensi/asset. Secara proses dan substansi, teknik fasilitasi vibran jauh<br />

berbeda dibandingkan dengan teknik fasilitasi dengan menggunakan pola lama yaitu<br />

analisis masalah. Dengan pendekatan ini, saya merasa lebih percaya diri dan semakin<br />

menghargai akan potensi, karunia, talenta, keistimewaan, dan kemampuan yang ada<br />

dalam diri saya dan orang di sekeliling saya.<br />

Ketika melakukan fasilitasi sebuah pelatihan atau pertemuan di desa, saya lebih<br />

banyak mendengarkan peserta dan belajar dari mereka. Pengalaman dan kemampuan<br />

beragam yang dimiliki peserta dapat memperkaya antar-peserta. Saya sangat<br />

merasakan aura atau energi positif dalam ruangan itu. Ternyata bukan saya sendirian<br />

yang merasakannya. Peserta dan kawan-kawan sesama tim juga merasakan hal yang<br />

sama. Sungguh ini merupakan pengalaman yang luar biasa.<br />

Banyak peserta yang senang dengan teknik fasilitasi vibran dan proses-proses<br />

belajarnya. “Baru kali ini kami mendapatkan pengajaran seperti ini,” kata Mardi,<br />

Fasilitator Desa Desa Praibakul. Pernyataan lain juga disampaikan oleh Pak Lusianus,<br />

“Metodologi ini seharusnya diikuti oleh pelaku-pelaku pengambil kebijakan di<br />

pemerintahan.”<br />

Setelah kami memberikan pelatihan teknik fasilitasi vibran dan pendekatan CLAPP-<br />

GSI kepada BP dan memastikan mereka sudah memiliki kapasitas yang memadai,<br />

maka kami mulai menyusun perencanaan desa partisipatif untuk jangka waktu 5<br />

tahun. Proses ini dimulai dengan melakukan kajian umum kondisi desa. Kemudian<br />

dilanjutkan dengan analisa kesejahteraan partsisipatif dengan menggunakan beberapa<br />

teknik dan alat kajian, menggagas masa depan desa, perumusan visi, misi, analisa isu<br />

strategis, analisa tujuan strategis, analisa indikator strategis, dan analisa tindakan<br />

strategis. Selanjutnya penentuan indikator 5 tahunan, penjabaran indikator 5 tahunan<br />

ke dalam target tahunan, penyusunan RPJM-Desa dan RKP-Desa, serta penyusunan<br />

arah kebijakan pembangunan desa. Selama proses-proses ini, kami selalu mendorong<br />

kehadiran orang miskin, perempuan, dan kaum marginal. Sehingga sedari awal<br />

mereka sudah merasa memiliki terhadap proses-proses pembangunan.<br />

148


BP sangat berperan dalam melakukan koordinasi dengan pemerintah desa dan<br />

mendorong partisipasi aktif semua warga. Mereka mampu mendorong pemerintah<br />

desa dan warga untuk mendukung penuh dan terlibat aktif dalam perencanaan.<br />

Pemerintah desa menyediakan data-data awal untuk penjajakan dan ikut mengawal<br />

seluruh proses perencanaan. Pemerintah desa juga menggerakkan seluruh perangkat<br />

desa mulai dari RT sampai dusun dan kelembagaan desa, orang miskin, perempuan<br />

dan kaum marginal untuk terlibat dalam semua tahapan dan proses perencanaan<br />

secara penuh.<br />

BP berperan aktif dalam memfasilitasi penyusunan RPJM-Desa mulai dari kajian<br />

sampai kepada adanya hasil dokumen RPJM-Desa. Proses tersebut dilakukan dengan<br />

melibatkan segenap masyarakat, orang miskin, perempuan dan kaum marginal lainnya.<br />

Selain itu, pihak kecamatan dan SKPD-SKPD terkait seperti Dinas Kesehatan, BPM,<br />

Bagian Pemdes, Bappeda, Dinas Pertanian, BP3K dan lain-lain serta PNPM-MP, PNPM<br />

Generasi berperan aktif memberikan data dan informasi tentang keadaan desa<br />

sebagai bahan untuk menyusun perencanaan.<br />

“Selama ini pertemuan-pertemuan untuk memutuskan perencanaan hanya<br />

dilakukan segelintir orang dan disusun berdasarkan keinginan mereka. Tetapi, saat ini<br />

perencanaan dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dalam<br />

desa dan disusun berdasarkan kebutuhan menurut hasil kajian,” ungkap Carolina,<br />

Fasdes dari Desa Praibakul.<br />

Hal lain yang dilakukan oleh BP adalah keikutsertaan meraka dalam mempromosikan<br />

metodologi CLAPP-GSI kepada program lainnya yang masuk ke desa seperti pelaku<br />

PNPM-MP di desa. Di sisi lain, Fasiliator Kecamatan pun ikut mempromosikan<br />

metodologi CLAPP-GSI dan pendekatan berbasis kekuatan (ABA/AI) kepada pihak<br />

lain seperti pegawai kecamatan lainya. Fascam melakukan sharing pengalaman dengan<br />

pelaku PNPM-MP Kecamatan tentang metodologi CLAPP-GSI dan pendekatan ABA/<br />

AI. Mereka pun mempengaruhi kecamatan dan pemerintah desa dalam menyususun<br />

sebuah desain proses kegiatan yang menarik, dialogis, partisipatif dan inklusif guna<br />

memastikan keterlibatan orang miskin, perempuan dan kaum marginal lainya.<br />

Dalam musyawarah rencana pembangunan desa dan musyawarah rencana<br />

pembangunan kecamatan, BP berperan aktif dalam mendorong pemerintah desa dan<br />

warga untuk menyusun perencanaan yang partisipatif. Mereka pun menyusun desain<br />

proses kegiatan yang menarik dan berperan melakukan fasilitasi guna memberikan<br />

ruang bagi masyarakat untuk bermusyawarah dan berdialog dengan SKPD dan<br />

DPRD yang hadir. Masyarakat pun memiliki ruang untuk melakukan negosiasi dengan<br />

perwakilan DPRD dan SKPD yang hadir guna mempertahankan usulan mereka.<br />

149


Mereka juga mendorong pemerintah desa dan kecamatan untuk pembentukan Tim<br />

Delegasi yang melibatkan wakil masyarakat untuk mengawal hasil Musrenbang-Desa<br />

ke kecamatan hingga kabupaten. BP juga berperan aktif mendorong pemerintah desa<br />

dan kecamatan untuk memilih tim delegasi yang berasal dari perwakilan masyarakat<br />

miskin, perempuan, pemuda, dan tokoh masyarakat.<br />

Banyak interaksi yang terbangun, saling belajar antarwarga, warga dengan pemerintah<br />

(desa, kecamatan, kabupaten) dan DPRD, warga dengan Tim Kolaborasi, Tim<br />

Kolaborasi dengan pemerintah dan DPRD selama proses penyusunan RPJM-Desa<br />

dari awal sampai selesai. Demikian juga halnya dengan perempuan. Mereka memiliki<br />

ruang dan kesempatan untuk berbicara, yang sebelumnya mereka jarang diberi<br />

kesempatan. Banyak usulan-usulan yang menyentuh kebutuhan perempuan, bayi dan<br />

anak yang diusulkan oleh perempuan seperti yang berkaitan dengan kesehatan ibu,<br />

bayi baru lahir, anak, gender, pendidikan dan pelatihan, forum perempuan, PKK dan<br />

lain-lain.<br />

Selain memfasilitasi di program Tim Kolaborasi, saya juga diundang oleh lembagalembaga<br />

lain. Misalnya, Saya memberi pelatihan pengolahan limbah untuk mahasiswa<br />

STIE Kriswina yang diselenggarakan oleh Lembaga Stube Hemat. Lalu menjadi<br />

fasilitator dalam pelatihan penguatan kapasitas bagi perangkat desa di 31 desa yang<br />

diselenggarakan oleh BPM (Badan Pemberdayaan Masyarakat). Dalam kegiatankegiatan<br />

tersebut, saya mempraktikkan teknik fasilitasi vibran dan pendekatan<br />

berbasis kekuatan/aset.<br />

Saya juga aktif mendiskusikan hasil-hasil RPJM-Desa dengan anggota DPRD melalui<br />

diskusi non-formal. Hal ini bertujuan untuk mencari celah guna mengawal dan<br />

memperjuangkan hasil-hasil RPJM-Desa diakuai dan diakomodir dalam perencanaan<br />

dan penganggaran pembangunan daerah. Program-program yang masuk ke ranah<br />

desa wajib menggunakan program-program yang sudah ada dalam RPJM-Desa. Kami<br />

mendorong prakarsa dan gerakan satu desa satu perencanaan untuk semua program.<br />

Kisah di atas merupakan sepenggal cerita sukses dalam usaha mencari celah menuju<br />

Tanah Perjanjian. Visi dan misi telah dirumus sebagai cerminan Tanah Perjanjian yang<br />

harus dicapai yakni suatu kondisi yang menjanjikan kesejahteraan, kemandirian,<br />

kedamaian, keadilan dan demokrasi kepada umat manusia.<br />

150


Bekerja Tanpa Berharap Imbalan<br />

Anthony K Awang<br />

“Kenapa untuk membangun desa sendiri, kita harus dibayar? Bukankah ini<br />

menolong kita keluar dari keterbelakangan?” Kata-kata yang terlontar dari Naomi<br />

Lika Anahamu, Ketua Tim Penulis Usulan (TPU) Desa Waimbidi pada saat acara<br />

Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes), tanggal 4 Februari 2011<br />

di Aula Kantor Desa Waimbidi, Kecamatan Kambata Ma Pambuhang. Musrenbang-<br />

Desa merupakan rangkaian penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah<br />

Desa (RPJM-Desa) yang membahas tentang program desa selama 5 tahun ke depan.<br />

Kata-kata Naomi terdengar ‘aneh’ karena pada umumnya para peserta Musrenbang-<br />

Desa justru sudah terbiasa membicarakan jumlah insentif yang diberikan kepada<br />

setiap kader desa di dalam membantu menjalankan program yang masuk ke desa<br />

masing-masing. Sementara, Alokasi Dana Desa (ADD) untuk desa Wambidi sangat<br />

minim.<br />

Bagi perempuan ini, jika semua yang terlibat harus diberi insentif, lalu berapa dana<br />

yang dipergunakan untuk membiayai program, sementara banyak sekali program<br />

yang harus dilakukan dalam Desa Waimbidi. “Yang penting bagi saya, ada program<br />

masuk ke Desa Waimbidi. Saya siap bekerja keras walaupun tidak dibayar,” tegasnya.<br />

Diskusi semakin dinamis ketika Naomi yang mewakili kaum perempuan, aktif<br />

bertanya dan menyampaikan pendapatnya dalam penyusunan rencana pembangunan<br />

dalam desa. Terutama tentang usulan program untuk pemberdayaan yang berkaitan<br />

dengan kesehatan ibu dan anak. Menurutnya, alokasi dana jangan semuanya tersedot<br />

hanya untuk program sik saja sehingga program pemberdayaan ibu dan anak<br />

dikesampingkan. Pendapat Naomi cukup beralasan. Karena Kabupaten Sumba Timur<br />

pada umumnya termasuk daerah yang rentan dan rawan dengan masalah gizi buruk<br />

dan kurang gizi. Makanya Naomi berjuang agar kegiatan yang berkaitan dengan<br />

kesehatan ibu dan anak mendapat porsi pendanaan yang cukup memadai.<br />

151


Sebagai ketua TPU, tentu saja ia paham tentang program apa saja yang akan<br />

diusulkan karena proses penggalian gagasan yang dilakukan dari dusun-dusun sudah<br />

dikajinya dari berbagai aspek. Dengan begitu, argumentasinya sangat kuat ketika ada<br />

musyawarah di tingkat desa.<br />

Jabatannya sebagai Ketua TPU menjadi kebanggaan tersendiri sekaligus kepercayaan<br />

dan tanggung jawab bagi Naomi. Keterbatasan pendidikan tidak membuatnya minder<br />

atau merasa tidak mampu, tetapi justru memacu semangatnya untuk melakukan<br />

sesuatu yang berguna bagi desanya. “Saya bangga dipercaya menjadi Ketua TPU Desa<br />

Waimbidi karena saya otomatis akan tahu usulan apa yang mau dilakukan untuk<br />

membangun desa.”<br />

Kembali ke suasana Murenbangdes. Semua peserta musyawarah terkesima dengan<br />

pernyataan perempuan yang hanya tamat SD ini, apalagi mayoritas peserta adalah<br />

laki-laki yang selama ini paling dominan dalam setiap pertemuan. Dan semua peserta<br />

yang hadir semakin terkejut ketika perempuan lajang itu kembali berkata, “Desa<br />

Waimbidi tertinggal dalam pembangunan, kehadiran LSM yang masuk ke desa<br />

membawa harapan perubahan bagi desa.“<br />

Keterkejutan para peserta karena munculnya Naomi bukanlah tanpa alasan. Sebab<br />

kondisi masyarakat di Waimbidi saat itu tidak sepenuhnya membuka kesempatan<br />

bagi kaum perempuan untuk tampil di ruang publik. Hal ini diperkuat dengan<br />

budaya setempat yang mendudukkan laki-laki sebagai pemegang hak mutlak untuk<br />

berbicara dan bahkan mengambil keputusan dalam berbagai hal. Perempuan hanya<br />

sebagai pelengkap saja atau sebatas cap stempel. Perannya hanya sebatas mengurus<br />

rumah tangga, anak, dan keluarga. Perempuan jarang tampil di ruang-ruang publik.<br />

Kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik pun sangat jarang diperoleh<br />

oleh kaum perempuan. Oleh karena itu tidak heran kalau angka buta huruf<br />

perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.<br />

Naomi mengakui bahwa ‘keberanian’ dirinya untuk tampil dan berbicara di<br />

depan publik didapatkan ketika ada Tim Kolaborasi dan program PNPM masuk<br />

desa. Terutama saat ia terlibat di TPU. Tim Kolaborasi adalah gabungan dua LSM<br />

yaitu Yayasan Cendana Mekar (YCM) dan Lembaga Koordinasi Pengkajian dan<br />

Pemanfaatan Sumber Daya Alam (KOPPESDA), yang mensyaratkan keterlibatan<br />

perempuan, kaum miskin dan kaum marginal lainnya, dalam setiap pertemuan.<br />

Sehingga semua masyarakat memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam<br />

perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan desa.<br />

Kehadiran Tim Kolaborasi di Desa Waimbidi melalui Program Perencanaan dan<br />

152


“Kenapa untuk membangun desa sendiri, kita<br />

harus dibayar?<br />

Penganggaran Desa Partisipatif yang didukung oleh <strong>ACCESS</strong> Tahap II, diakui oleh<br />

Naomi memberi pencerahan baru bagi masyarakat Waimbidi, khususnya kaum<br />

perempuan dan orang miskin.<br />

Pelatihan CLAPP-GSI (Community Learning Action and Participatory Proccess-<br />

Gender Social Inclusive), ABA/AI (Asset Based Approach/Appreciative Inquiry),<br />

CO (Community Organizing) dan pelatihan-pelatihan lainnya bertujuan untuk<br />

penguatan kapasitas warga (Fasilitator Desa), Naomi merasakan manfaat yang luar<br />

biasa dari pelatihan-pelatihan yang diberikan. Ia mampu memfasilitasi pertemuan dan<br />

berbicara lantang pada pertemuan-pertemuan desa. Naomi semakin sadar bahwa<br />

pembangunan desa juga adalah tanggung jawabnya. Dan, ia juga semakin memahami<br />

bahwa orang sepertinya memiliki kekuatan untuk membangun desanya.<br />

Apa yang dialami oleh Naomi adalah bukti bahwa tema yang tertulis pada<br />

Kalender Tahun 2011 <strong>ACCESS</strong> Tahap II yang berbunyi Warga Berdaya, Pemerintah<br />

Lokal Responsif Gerbang Menuju Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis<br />

dipegang teguh oleh mitra lokalnya sebagai landasan spirit dalam memberdayakan<br />

masyarakat desa. Dalam mendorong proses ini supaya bisa terwujud, para kader<br />

153


yang merupakan Mitra Langsung di desa memegang semangat yang sama dalam<br />

memperjuangkan nilai berdasarkan tema yang diusung dalam program <strong>ACCESS</strong><br />

Tahap II yaitu partisipasi, transparansi, akuntabilitas, keadilan sosial dan gender, dan<br />

lain sebagainya.<br />

Mengubah suatu tatanan yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat tidaklah<br />

mudah bahkan seperti melawan arus besar dan tidak populer. Tetapi justru dalam<br />

kesukaran itu ada saja hal yang bisa memantapkan keyakinan bahwa tatanan itu pasti<br />

bisa diubah.<br />

Salah satu yang menarik berdasarkan kisah di atas adalah kesukarelaan dari warga<br />

desa. Hal ini sangat penting karena tugas kita adalah bersama masyarakat menggali<br />

segenap potensi yang ada yang selanjutnya dijadikan kekuatan untuk keluar dari<br />

himpitan masalah. Nilai sukarela ini dimaknai sebagai wujud dari berdayanya<br />

masyarakat desa. Mereka sadar bahwa desa bisa dibangun dengan memanfaatkan<br />

segenap potensi yang ada dalam desa.<br />

Cerita pengalaman dari Naomi Lika Ana Hamu itu juga merupakan gambaran dari<br />

perempuan desa yang tulus mengabdikan dirinya untuk perubahan. Kesediaan Naomi<br />

untuk bekerja bagi kemajuan desanya patut diapresiasi sebagai bentuk kesadaran<br />

yang terbangun karena perubahan pola pikir masyarakat. Tidaklah berlebihan kalau<br />

Naomi boleh dijuluki sebagai Bintang Reformasi Desa, Perempuan Inspiratif.<br />

Kisah ini sangat bertolak belakang ketika sebagian masyarakat masih berpikir segala<br />

sesuatu harus diukur dengan materi (uang). Tapi ternyata masih ada orang-orang<br />

yang memiliki semangat kesukarelaan yang luar biasa. Mudah-mudahan ada banyak<br />

Naomi lain di banyak desa yang lain. Sekaligus muncul banyak Naomi lain di masa<br />

yang akan datang.<br />

154


Mengejar Makluk Bernama: Perubahan<br />

Umbu Bahi<br />

Simon Hambandima, Fasdes (Fasilitator Desa) Desa Maidang merupakan lelaki yang<br />

tergolong muda, energik dan gesit. Sejak diangkat menjadi Kaur Umum tahun 2007,<br />

pria asli Maidang ini memiliki impian untuk melakukan perubahan bagi desanya.<br />

Perubahan yang ia maksud adalah mewujudkan masyarakat yang ikut serta atau<br />

berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan Desa Maidang.<br />

Untuk mencapai perubahan yang ia dambakan bukanlah semudah membalik telapak<br />

tangan. Kondisi sumber daya manusia yang masih minim menjadi tantangan berat<br />

baginya untuk menoreh harapan menggapai impian.<br />

Simon mengisahkan, suatu ketika ada pertemuan di desa menyangkut<br />

Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) pada tahun 2008. Untuk<br />

kelancaran pertemuan, pemerintah desa mengeluarkan undangan kepada warga<br />

untuk menghadiri pertemuan. Namun apa daya, warga yang hadir hanya sedikit.<br />

“Menurut saya, warga belum menyadari pentingnya partisipasi dalam perencanaan,”<br />

kata pria berusia 33 tahun itu.<br />

Hal lain yang ia anggap janggal adalah banyak program yang masuk ke desa namun<br />

hanya mengejar target dan tanpa melalui perencanaan yang jelas. Ada pula kegiatan<br />

yang diusulkan, tetapi realisasinya terlambat. “Sebagai contoh pengadaan benih<br />

yang selalu terlambat sampai ke tangan petani. Hal seperti ini kan sama sekali tidak<br />

menolong masyarakat dan cenderung hanya mengejar target,” kata Simon dengan<br />

nada kesal.<br />

“Ada juga program-program yang tidak mendidik masyarakat seperti Bantuan<br />

Langsung Masyarakat (BLM). Kita lihat sekarang, makin mudah mendapatkan bantuan<br />

tapi kok masyarakat tambah malas. Disuruh kerja untuk kepentingan mereka, malah<br />

minta dibayar. Masyarakat seperti ini mau jadi apa?” ungkap Simon.<br />

155


Melihat kondisi ini, Simon yang juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Kelompok<br />

Tani (Gapoktan) Desa Maidang, merasa terpanggil untuk mengadakan perubahan<br />

bagi desanya. Pertanyaan mendasar yang menjadi perenungannya adalah “Mengapa<br />

masyarakat malas untuk ikut pertemuan, padahal pertemuan ini untuk membahas<br />

kepentingan mereka? Kenapa partisipasi masyarakat sangat tinggi kalau berbicara<br />

menyangkut bantuan secara langsung seperti bantuan uang dan beras raskin?<br />

Sedangkan kalau menyumbang tenaga untuk kepentingan umum sulit untuk<br />

berpartsipasi.”<br />

Berdasarkan pertanyaan mendasar di atas, ia pun mencoba menebak-nebak sesuai<br />

pengamatannya yang sehari-hari hidup di Desa Maidang. Akhirnya, sampailah ia<br />

kepada sebuah kesimpulan sementaranya, “Masyarakat sangat bergantung terhadap<br />

bantuan pihak luar.”<br />

Pria yang sudah beristri ini lalu melanjutkan, “Ini sangat berbahaya jika dibiarkan<br />

secara terus-menerus. Harus ada perubahan. Masyarakat Desa Maidang harus<br />

membangun dirinya tanpa menunggu bantuan pihak lain. Jika tidak, desa ini akan<br />

terpuruk.” Bagaimana perubahan itu bisa terjadi, siapa yang mau memulai perubahan?<br />

Itulah pertanyaan lain yang menganggunya. Untuk memulai perubahan dari dirinya,<br />

Simon merasa tidak mungkin. Pengetahun dan kapasitas yang dimilikinya sangat<br />

terbatas, lagi pula ia merasa masih muda dan belum berpengalaman.<br />

Mengamati kondisi masyarakat dan pemerintah desa, Simon menilai semua serba<br />

terbatas dan juga memiliki problem yang sama dengan dirinya, terutama dari sisi<br />

pengetahuan dan kapasitas. ”Hadir pertemuan untuk membicarakan program atau<br />

rencana desa saja sangat sulit, belum lagi keterbatasan dalam pemerintah desa,<br />

bagaimana mungkin kita bisa menciptakan perubahan?”<br />

Ia sempat berpikir keadaan ini pasti akan berlanjut terus, apalagi sebagian perangkat<br />

desa belum paham peraturan-peraturan yang ada. Simon juga mengeluh, “Kita ini<br />

hanya ikut-ikut saja, kalau pemerintah yang lebih atas sudah bilang ini program<br />

bantuan yang harus dijalankan, ya terpaksa kita harus jalankan saja.”<br />

Secercah harapan bagi perubahan rupanya muncul pada tahun 2009. <strong>ACCESS</strong><br />

melalui mitranya yakni Tim Kolaborasi melakukan sosialisasi program tentang<br />

Perencanaan dan Penganggaran Desa secara Partisipatif. Simon sebagai salah<br />

satu perangkat desa mengikuti acara sosialisasi program dengan cermat. “Semula<br />

saya berpikir, kegiatan ini pasti proyek bantuan dari LSM. Tetapi melalui sosialisasi<br />

program, Tim Kolaborasi akan membantu memfasilitasi guna mewujudkan Tata<br />

Kepemerintahan Lokal yang Demokratis yang melibatkan masyarakat, dan seluruh<br />

156


pihak, temasuk orang miskin, perempuan, pemuda dan kaum marginal. Dikatakan lagi,<br />

kegiatan ini memiliki dana yang terbatas sehingga pemerintah desa dan masyarakat<br />

harus berkontribusi untuk menyukseskan kegiatan ini. Saya sempat berpikir, buat<br />

kegiatan kok dananya minim, lalu minta kontribusi pemerintah desa dan masyarakat<br />

lagi. Saya merasa lucu,” kenang Simon.<br />

Tetapi bukan Simon namanya kalau langsung patah arang. Ia pun tetap mengikuti<br />

sosilisasi program sampai selesai. Melalui sosialisasi program, Simon dipercaya untuk<br />

menjadi Fasilitator Desa (Fasdes) mewakili unsur pemerintahan desa.<br />

Satu hal yang menarik, pada saat itu, Fasilitator dari Tim Kolaborasi, Pak Umbu Bahi<br />

menyampaikan, adanya fasilitasi penyusunan perencanaan untuk Desa Maidang. “Saya<br />

rasa perencanaan penting untuk desa, apalagi selama ini belum ada program yang<br />

jelas di Desa Maidang,” ujar pemuda yang kerap membuat pernyataan kritis.<br />

Sebagai Fasilitator Desa, Simon pun memiliki kesempatan mengikuti berbagai<br />

pelatihan-pelatihan seperti pelatihan CLAPP-GSI, pelatihan penganggaran desa, dan<br />

diskusi rutin bersama Tim Kolaborasi. Ia pun rajin menemui Pendamping Lapangan<br />

(PL) Tim Kolaborasi yang bertugas di Desa Midang, baik melalui telepon maupun<br />

bertemu langsung untuk mendiskusikan hal-hal yang belum ia pahami tentang<br />

program.<br />

“Setelah mengikuti pelatihan dan diskusi-diskusi, saya berkesimpulan bahwa<br />

program <strong>ACCESS</strong> ini sangat mulia karena fokus programnya adalah agar orang<br />

miskin, perempuan dan kaum marginal lebih berdaya. Selama ini suara orang miskin,<br />

perempuan dan kaum marginal tidak didengar, apalagi kondisi di Desa Maidang,<br />

yang ikut pertemuan hanya laki-laki. Laki-laki yang hadir itu pun adalah tokohtokoh<br />

masyarakat atau elit-elit desa. Walaupun orang miskin, perempuan dan kaum<br />

yang dipinggirkan hadir dalam pertemuan, akan tetapi suara mereka tidak didengar.<br />

Bahkan, mereka tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Perempuan biasanya hanya<br />

mengurus makanan dan minuman di dapur untuk konsumsi pertemuan,” kata Simon.<br />

“Melalui program <strong>ACCESS</strong> cara berpikir saya mulai terbuka. Saya menyadari selama<br />

ini saya berpikir bagaimana melakukan perubahan di Desa Maidang menjadi lebih<br />

baik, tetapi cara berpikir saya masih salah. Kalau ada program dari luar yang datang,<br />

pasti saya langsung berpikir berapa dananya dan berapa yang saya terima. Tetapi<br />

melalui program Tim Kolaborasi yang didukung <strong>ACCESS</strong>, saya menyadari kalau<br />

masyarakat mau berubah, tidak perlu bergantung pada dana, karena kita pun bisa<br />

melakukannya secara swadaya. Kita jangan menunggu pihak luar yang datang untuk<br />

membangun desa karena sebenarnya masyarakat pasti bisa membangun dengan<br />

157


potensi yang mereka miliki di desanya. Masyarakat harus mandiri dalam mengelola<br />

potensi yang mereka miliki walaupun tidak sekolah tinggi,” tambah pemuda yang<br />

drop out dari SMA tersebut dengan berapi-api.<br />

“Sebelumnya saya kurang percaya diri kalau berdiri di depan umum. Tetapi sekarang,<br />

saya mulai percaya diri dan bisa tampil di depan umum. Saya sekarang sudah tidak<br />

canggung lagi berdiri di depan umum, bahkan sudah mampu memfasilitasi berbagai<br />

kegiatan di desa seperti kegiatan kajian awal RPJM-Desa, penyusunan RPJM-Desa,<br />

dan kegiatan musrenbangdes. Saya sangat senang akan hal ini,” ungkapnya mantap.<br />

Ia juga menuturkan, selama ini banyak program yang muncul tanpa direncanakan<br />

dan masyarakat desa tinggal mengikuti saja. “Kita tidak pernah mengusulkan dalam<br />

rencana kegiatan, tetapi tiba-tiba kegiatan tersebut diadakan di desa. Melaui pelatihan<br />

dan pendampingan Tim Kolaborasi (Pak Umbu Bahi), saya menyadari bahwa desa<br />

harus menyusun perencanaannya sendiri menurut kebutuhan dan potensi desanya.<br />

Kalau demikian berarti desa berhak menolak kegiatan dari dinas yang tidak sesuai<br />

dengan potensi dan kebutuhannya, dong!”<br />

Pemahaman tentang tahapan perencanaan partisipatif, bagaimana masyarakat<br />

mengontrol terhadap pembangunan di desa sampai kabupaten, bagaimana<br />

masyarakatdapat mengawal perencanaan dan mempertahankan usulan mereka pada<br />

Musrenbang, merupakan bagian dari kemajuan yang dicapai oleh Simon.<br />

Ia pun mempengaruhi pelaku PNPM-MP, pemerintahan desa, warga desa untuk<br />

ikut mendukung dan terlibat aktif dalam penyusunan RPJM-Desa yang difasilitasi<br />

oleh Tim Kolaborasi. Ia mendorong terbentuknya forum masyarakat adat sebagai<br />

wadah komunikasi dalam mengelolan sumber daya yang ada di Desa Maidang. Ia<br />

juga mendorong terbentuknya kelompok arisan pendidikan untuk menyekolahkan<br />

anak di perguruan tinggi. Ia mendorong pemerintah desa untuk mengeluarkan Surat<br />

Keputusan tentang Wajib Berkelompok, mendorong peningkatan insentif bagi kader<br />

Posyandu melalui Alokasi Dana Desa. Tidak hanya itu. Ia juga mendorong adanya<br />

diskusi dan sharing pembelajaran rutin kelompok, mendorong adanya mekanisme<br />

monitoring dan evaluasi program yang melibatkan orang miskin, perempuan dan<br />

kaum marginal lainnya, dan mendorong pembenahan kelompok Karang Taruna.<br />

Ide-ide tersebut di atas terakomodir dalam dokumen RPJM-Desa Maidang Periode<br />

2012-2016. “Apa yang saya sampaikan sesuai dengan kondisi riil desa dan sesuai<br />

informasi yang diperoleh melalui hasil kajian,” tegas Simon.<br />

Ia pun aktif mendorong pemerintah desa dan warga setempat untuk bersama-<br />

158


sama mengawal dan memperjuangkan hasil perencanaan (RPJM-Desa) dan ikut<br />

bertanggung jawab terhadap pelaksanaannya. “Kebanggaan utama saya adalah<br />

melalui penyusunan RPJM-Desa terbentuk visi desa yakni mewujudkan masyarakat<br />

Desa Maidang yang partisipatif, sehat, aman, adil dan sejahtera,” ungkapnya bangga.<br />

Melalui visi desa ini, perubahan yang diimpikan selama ini yakni masyarakat yang<br />

berpartipasi aktif dalam membangun desanya akan segera terwujud.<br />

Saat ini, ia rajin mensosialisasikan kegiatan-kegiatan RPJM-Desa kepada warga dengan<br />

harapan memberikan pemahaman kepada warga untuk ikut mengawal pembangunan<br />

di desa. Setiap ada pertemuan di desa, ia pun sangat aktif mengorganisir warga,<br />

menginisiasi desain proses acara pertemuan bersama pemerintah desa dan warga.<br />

Hal ini untuk memastikan agar warga bebas menyampaikan pendapat. Simon juga<br />

aktif mempromosi hasil RPJM-Desa kepada pihak luar terutama kepada SKPD-SKPD<br />

dan LSM. “Kalau saya ke Waingapu saya selalu membawa dokumen RPJM-Desa dan<br />

menyempatkan diri untuk datang ke dinas-dinas, juga LSM-LSM guna menawarkan<br />

program Desa Maidang,” kisahnya polos.<br />

“Jangan pernah berhenti untuk belajar, berbuat baik untuk diri, orang di sekitar<br />

kita dan untuk desa kita,” pesan Simon yang saat ini sedang gencar melakukan<br />

penanaman tanaman umur panjang di lahan miliknya.<br />

Harapan Simon, Program <strong>ACCESS</strong> melalui Tim Kolaborasi terus mengadakan<br />

pelatihan dan pendampingan guna peningkatan kapasitas terutama untuk pemerintah<br />

desa, warga miskin, perempuan dan kaum marginal lainnya agar lebih berdaya.<br />

“Pikiran harus berubah, selanjutnya harus ada tindakan,” ungkapnya tegas.<br />

Kisah di atas merupakan salah satu potret sosok seorang warga desa yang memiliki<br />

mimpi untuk mendorong perubahan di desanya. Pelatihan-pelatihan peningkatan<br />

kapasitas dan penerapannya secara langsung tentang pendekatan berbasis potensi,<br />

ternyata mampu merasuk ke sanubari, pikiran dan tindakan warga masyarakat.<br />

Ketika ruang dan kesempatan disediakan, dibuka, dan diberi kepercayaan secara<br />

tulus, mereka pun pasti mencoba. Orang miskin, perempuan dan kaum marginal<br />

akan berani berekspresi dan berbicara di depan umum. Regulasi dan kebijakan yang<br />

memastikan keterlibatan orang miskin, perempuan dan kaum marginal perlu tetap<br />

menjadi perhatian penting.<br />

Seandainya ada 5 orang seperti Simon di setiap desa, maka perubahan besar pasti<br />

akan berhembus kencang.<br />

159


160


<strong>ACCESS</strong><br />

Tim Satu Visi<br />

161


Kede Kuada-bangkit bersama- untuk membuat desa<br />

kami berubah, maju dan sejahtera (Petrus Malo Bora).<br />

162


Dari Tukang Ketik<br />

Menjadi Pembuat Film<br />

Daniel L Ledy<br />

Dengan tas ransel hitam yang berisi laptop, laki-laki paruh baya itu bergegas<br />

menghampiri sepeda motor kesayangannya. Kakinya yang pendek menjadi lebih<br />

kelihatan tergesa-gesa. Mungkin ia takut terlambat ke kantor. “Saya benar-benar<br />

enjoy dengan pekerjaan ini,” kata Benhard Djaga Uma yang akrab dipanggil Beni di<br />

sela-sela kesibukannya mengedit sebuah lm.<br />

Beni (35 tahun) berasal dari Desa Soru, salah satu desa di Kecamatan Umbu Ratu<br />

Nggay, Kabupaten Sumba Tengah. Saat ini dia berdomisili di Anakalang. Anakalang<br />

merupakan pusat kota Kabupaten Sumba Tengah. Jarak antara tempat tinggalnya<br />

dengan kantor Yayasan Satu Visi tempat dia bekerja sekitar 30 kilometer.<br />

Setelah menyelesaikan pendidikan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) pada tahun<br />

1994 di Kupang, dia sempat melanjutkan kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Swasta<br />

di Kupang. Namun karena ada masalah keluarga, Beni pun pulang kampung untuk<br />

membantu ibunya. Ayahnya telah meninggal sejak Beni berumur 5 tahun. Seperti<br />

pemuda seusianya di kampung, dia menghabiskan waktu untuk menjaga kerbau dan<br />

kuda milik orang tuanya, mengambil kayu bakar, bekerja di kebun, dan masih banyak<br />

pekerjaan lainnya.<br />

Pada tahun 2005, Yayasan Satu Visi, salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)<br />

lokal di Kabupaten Sumba Barat membutuhkan tenaga lapangan dan tenaga<br />

administrasi dan keuangan untuk program PIDRA (Participatory Integrated<br />

Development of Rain eld Agriculture), program yang bergerak di bidang konservasi<br />

lahan kering dan DAS mikro pada 18 Desa di Kabupaten Sumba Barat. Pada tahun<br />

itu Kabupaten Sumba Barat belum dimekarkan menjadi 3 kabupaten seperti<br />

sekarang ini. Ibu Deby yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Yayasan Satu Visi<br />

mendengar dari salah satu stafnya tentang keterampilan Beni dalam mengoperasi<br />

komputer, lalu melalui saudaranya, Ibu Deby menawarkan Beni untuk bergabung<br />

163


dengan Yayasan Satu Visi. Tawaran itu direspon positif oleh Beni.<br />

Beni pun dipanggil ke kantor Yayasan Satu Visi untuk mengikuti proses wawancara<br />

dan tes tertulis. Setelah melalui proses tersebut, Beni dianggap memenuhi kriteria<br />

yang dibutuhkan lembaga. Dia pun diterima sebagai karyawan dan dipercaya untuk<br />

menangani administrasi.<br />

Tahun pertama, Beni menangani administrasi dengan giat dan tekun. Karena Beni<br />

sosok yang pendiam sering kali dia hanya tinggal dalam ruangan kerja untuk<br />

mengerjakan tugasnya. Ditambah lagi masih banyak tugas tambahan yang harus<br />

ditanganinya antara lain membantu membuat laporan keuangan karena staf bagian<br />

keuangan yang saat itu bertugas belum memiliki keterampilan yang cukup memadai<br />

untuk mengoperasi komputer program Excel.<br />

Memasuki tahun kedua dan seterusnya tidaklah mudah bagi Beni karena makin<br />

banyak tugas-tugas yang diberikan kepadanya, antara lain mengedit laporan<br />

program dan laporan keuangan. Ini merupakan kali pertama dia bekerja dan terlibat<br />

menangani program yang besar dengan mengelola uang yang sangat besar pula.<br />

Dia harus cepat beradaptasi dengan suasana teman-teman kantornya, terlebih<br />

menyesuaikan dinamika pimpinan dan staf yang lain. Laporan program biasanya<br />

berbentuk narasi, gra k, peta, menghitung estimasi anggaran tahunan, membuat<br />

bahan presentasi dalam bentuk power point dan proshow. Ia berani menerima<br />

tanggung jawab ini, walaupun ia belum memiliki ketrampilan komputer yang cukup<br />

memadai.<br />

Pada tahun ke-3, Beni dipercaya untuk menangani bidang administrasi dan<br />

keuangan sekaligus dan dibantu oleh staf keuangan terdahulu. Ini makin berat dan<br />

membutuhkan keahlian mengoperasikan komputer yang lebih baik pula. Namun<br />

dengan tenang dan sabar dia tidak pernah mengeluh. Melihat beban kerja ini,<br />

Pimpinan Yayasan Satu Visi berinisiatif untuk memperdalam keahlian Beni dalam<br />

bidang desain. Kemudian Beni dikirim ke Bogor untuk mempelajari program Corel<br />

Draw dan Arcview yang dilatih oleh CRESCENT, sebuah lembaga konsultan nasional<br />

di Bogor.<br />

Kesempatan untuk belajar memperdalam media di Bogor tidak disia-siakan Beni.<br />

Dengan semangat dan komitmen yang tinggi, Beni belajar secara tekun tahapan<br />

demi tahapan dari program Corel Draw (cara memebuat poster), Archview (cara<br />

membuat peta), pembuatan gra k dan power point.<br />

Berbekal pelatihan di Bogor, Beni mencoba membuat poster, peta, membuat gra k<br />

164


dan power point. Sekembali dari Bogor, hampir setiap hari baik di kantor maupun<br />

di rumahnya, Beni selalu mempraktikan ilmu yang dia pelajari secara terus-menerus.<br />

Dia tidak pernah bosan. Dia sadar bahwa prestasi dan perubahan dalam diri tidak<br />

datang begitu saja. Ia harus diciptakan. Dia harus bekerja keras untuk menggapai yang<br />

diimpikannya.<br />

Mengurus administrasi dan keuangan seperti mengumpulkan kwitansi, merekap<br />

penggunaan anggaran program, menertibkan inventaris kantor, membantu mengedit<br />

laporan, membuat daftar gaji staf, dan lain-lain menjadi kegiatan rutinitasnya di<br />

kantor. Dia benar-benar terkurung dalam urusan administrasi dan keuangan. Namun,<br />

tak disangka justru karena pekerjaan rumit itulah yang mengajari dan membentuk<br />

Beni menjadi seorang pribadi yang berkarakter, tekun, teliti, tertib dan disiplin.<br />

Karena ketekunan serta kemampuan yang dimilikinya, Beni selalu mendapat<br />

kesempatan tambahan yakni mendampingi Direktur dalam kegiatan-kegiatan di<br />

provinsi. Kata Ibu Deby. ”Saya merasa semuanya dapat berjalan lancar dan maksimal<br />

jika ada Beni. Orang ini tekun, tidak mengeluh dan dapat diandalkan dan dipercaya.”<br />

Program PIDRA berakhir pada penghujung tahun 2008. Kemudian pada November<br />

2009, Satu Visi mendapat dukungan dari <strong>ACCESS</strong> (Australian Community<br />

Develovment and Civil Society Strenghtening Scheme) Phase II untuk program<br />

penguatan ekonomi lokal. Program ini menekankan dan mempromosikan tentang<br />

pendekatan berbasis asset/kekuatan dalam memperkuat kemandirian ekonomi<br />

desa. Warga dan organisasi warga harus berdaya dalam mempengaruhi mekanisme<br />

pasar, menentukan harga pasar, dan membangun jaringan pemasaran alternatif.<br />

Sejak program ini dimulai, Beni mengalami perubahan peran di tingkat lembaga<br />

karena dipercaya menjadi Fasilitaor Desa (Petugas Lapangan) di Desa Patiala Bawa,<br />

Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat.<br />

Setelah ditugaskan di desa tersebut perasaan hatinya sangat senang. Dia telah<br />

memiliki peran yang berbeda dan melakukan hal yang berbeda pula. Namun, peran<br />

ini pun sangat berat. Yang pertama sekali dipikirkannya adalah bagaimana berbicara di<br />

depan banyak orang karena dia belum pernah memimpin atau memfasilitasi sebuah<br />

pertemuan. Apalagi Beni adalah sosok yang lebih banyak bekerja daripada berbicara.<br />

Memasuki tahap awal program kerjasama dengan <strong>ACCESS</strong>, Yayasan Satu Visi memulai<br />

dengan melakukan kegiatan sosialisasi di 6 desa lokasi sasaran program yaitu Desa<br />

Manukuku, Bondutera, Mamodu, Pahola, Patiala Dete dan Desa Patiala Bawa.<br />

Sebelum melakukan kegiatan sosialisasi, seluruh staf melakukan persiapan bersama di<br />

165


Kantor YayasanSatu Visi. Kegiatan ini menghasilkan adanya pembagian peran fasilitasi,<br />

pembuatan alur proses pertemuan, kurikulum, langkah-langkah fasilitasi, membuat<br />

pertanyaan kunci dan penentuan jadwal pelaksanaan sosialisasi di 6 desa tersebut.<br />

Dalam rapat persiapan ini diputuskan bahwa setiap Petugas Lapangan bertanggung<br />

jawab untuk menjadi fasilitator utama di desa yang menjadi wilayah kerjanya. Kami<br />

memiliki 4 orang Petugas Lapangan (2 laki-laki dan 2 perempuan).<br />

Begitu ada keputusan di kantor setiap Petugas Lapangan bertanggung jawab sebagai<br />

pemimpin utama pertemuan, hati Beni mulai resah dan gelisah. Ia gelisah bagaimana<br />

cara mempimpin pertemuan, bagaimana memulainya, ia harus bicara apa? Karakter<br />

Beni termasuk orang pendiam. Menurut teman kerjanya, dia sulit sekali untuk bicara,<br />

ditegur dulu baru ia mulai tersenyum. Itu pun cuma senyum. “Saya sangat gugup.<br />

Rasanya seluruh persendian kaki saya mau terlepas. Peristiwa itu tidak akan pernah<br />

saya lupakan,” tutur Beni ketika ia menyampaikan perasaannya ketika pertama kali ia<br />

memimpin pertemuan di desa.<br />

Beni belum memiliki kemampuan,pengalaman dan keterampilan yang memadai<br />

untuk memfasilitasi, membuat modul fasilitasi, membuat pertanyaan kunci,<br />

membuat suasana pertemuan agar lebih partisipatif dan menarik, teknik melakukan<br />

pengorganisasian. Namun keistimewaan yang dimiliki oleh Beni adalah keyakinan<br />

pada dirinya bahwa dia pasti bisa. Dia tidak mau menyerah pada keterbatasan dirinya.<br />

Dia terus belajar dan memperkuat kemampuanya, melakukan praktik fasilitasi di<br />

rumah, belajar bahasa tubuh dan menyusun kurikulum belajar sendiri. Selain itu<br />

dia rajin melakukan sharing dengan Ibu Debi selaku pimpinan Yayasan Satu Visi,<br />

dan juga dengan saya yang merupakan Koordinator Program. Selain itu, Beni juga<br />

sering memperhatikan cara memfasilitasi setiap fasilitator mitra strategis <strong>ACCESS</strong><br />

yang datang ke Yayasan Satu Visi. Penguatan kemampuan dan ketrampilan, seperti<br />

teknik fasilitasi yang menarik, teknik pengorganisasian masyarakat dan advokasi,<br />

perencanaan bisnis, lokakarya, seminar dan masih banyak lagi. Dari proses belajar ini<br />

dia sudah semakin mampu dalam melakukan fasilitasi, tidak gugup lagi dan hampir<br />

setiap kali ada pertemuan ia selalu diminta untuk memfasilitasi.<br />

Sekalipun melakukan tugas-tugas di lapangan bukan berarti pekerjaan administrasi<br />

dan keuangan dia tinggalkan. Dia tetap dipercaya Yayasan Satu Visi untuk membantu<br />

Rambu Yana dalam menyelesaikan laporan keuangan dan program. Pekerjaan ini tidak<br />

membuatnya terbebani. Dia tetap menjalaninya secara sadar dan bertanggung jawab.<br />

***<br />

166


“Kamu orang LSM, bongkarlah hatimu, jangan keraskan hatimu, jangan pikiranmu saja<br />

yang dibongkar,” kata Bang Yoga dengan gaya dan bahasa tubuhnya yang khas. Saat<br />

itu, ia sedang memfasilitasi kami. Beni yang ikut pelatihan tersebut selalu terngiang<br />

kalimat itu. Ia yang pendiam dan sulit berkomunikasi “dipaksa bergerak”.<br />

Kawanusa adalah lembaga mitra strategis <strong>ACCESS</strong> yang berperan memberi dukungan<br />

pengembangan kapasitas bagi OMS mitra <strong>ACCESS</strong> di daerah. Kawanusa terkenal<br />

sebagai lembaga konsultan media populer untuk pengorganisasian masyarakat dan<br />

advokasi. Di Sumba, Kawanusa memberi pelatihan dan asistensi teknis bagi OMS<br />

mitra <strong>ACCESS</strong> untuk pembuatan strategi komunikasi dan pembuatan media untuk<br />

mempromosikan program pembangunan kepada publik terutama pemerintah,<br />

Organisasi Masyarakat Sipil, lembaga donor, dan pihak-pihak lainnya.<br />

Pada tahun 2010 BangYoga pertama kali datang ke Yayasan Satu Visi untuk melakukan<br />

pelatihan staf tentang cara membuat Power Point dan Proshow yang lebih menarik.<br />

Beni pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. “Ini peluang!” katanya. Pelatihan<br />

ini membuatnya lebih semakin antusias dan terampil dalam membuat Power Point<br />

dan Proshow.<br />

Bang Yoga tidak sendirian datang ke Satu Visi. Ia membawa 2 orang temannya yaitu<br />

Pak Jay Wijayanto dan Ibu Linda Samosir. Pak Jay memiliki kemampuan sebagai<br />

guru nyanyi dan pembuat lm layar lebar. Bahkan, Ia menjadi aktor dalam lm Sang<br />

Pemimpi yang disutradarai oleh Riri Reza. Sedangkan Ibu Linda memiliki kemampuan<br />

dalam pembuatan Photoshop untuk poster. Bang Yoga sendiri memiliki kemampuan<br />

dalam merekam lagu dan pengambilan gambar untuk lm. Kehadiran Bang Yoga<br />

dan 2 orang temannya membuat Beni semakin bersemangat dan penuh antusias.<br />

Kesempatan ini merupakan kesempatan yang langkah.<br />

Asistensi teknis dilaksanakan di Kantor Satu Visi. Hal ini membuat suasana semakin<br />

akrab, dekat, dan penuh persaudaraan. Tahapan demi tahapan dilewati. Mulai dari<br />

belajar memegang kamera, memotret, membuat script lm sampai pada pengambilan<br />

gambar dan mengedit. Pada hari pertama, kami belajar tentang praktik memegang<br />

kamera handycam dan praktik cara mengambil gambar/foto dan shooting.<br />

Dilanjutkan dengan tehnik pembuatan lm. Dimulai dengan merumuskan tema,<br />

menyusun script lm dan menentukan tempat pengambilan gambar. Saat itu Yayasan<br />

Satu Visi menyepakati tema tentang Tenun Sumba dan melakukan pengambilan<br />

gambar di Desa Patiala Bawa. Beni ditunjuk untuk melakukan pengambilan gambar<br />

yang dipandu langsung Pak Jay dan Bu Linda Samosir.<br />

Pada hari kedua, staf Yayasan Satu Visi terbagi dalam beberapa tim dan masing masing<br />

167


tim didampingi oleh Tim dari Kawanusa.Saya dan Om Teni belajar tentang photoshop<br />

didampingi oleh Bu Linda. Beni mengedit lm bersama Bang Yoga. Om Fibo, Bu Ina,<br />

Bu Yubi membuat lagu sampai pada latihan vokal. Mereka didampingi oleh Pak Jay.<br />

Pada hari ketiga, kami mempresentasi hasil kerja dan melakukan perbaikan. Pada hari<br />

ke-4 kami melakukan rekaman lagu Sumba. Kami akhirnya menghasilkan 5 buah lagu,<br />

1 lm dan 6 buah poster.<br />

Pascapelatihan yang dilakukan oleh Kawanusa, Beni terus melakukan praktik<br />

pembuatan lm, proshow, lagu, poster, video clip, dan produk-produk media audio<br />

visual lainnya. Dia terus mempelajari dan memperdalam media dengan melakukan<br />

praktik secara terus-menerus. Bermodalkan ketekunan, disiplin dan semangat<br />

belajar yang tinggi serta tidak menyerah, membuatnya mengalami perubahan yang<br />

membanggakan dan spektakuler, baik perubahan dalam pribadi maupun dalam<br />

lembaga.<br />

Karena prestasi dan keberhasilannya tersebut, lembaga memberi kepercayaan<br />

kepada Beni untuk mengelola media. Ini merupakan sebuah apresiasi dari lembaga<br />

terhadap prestasi Beni. Peran baru ini membuatnya berpikir lebih kreatif dan inovatif.<br />

Beberapa karya kolaborasi sudah banyak dihasilkan seperti poster, lm, vidio clip<br />

168<br />

Jangan kamu merasa sebagai seorang pekerja<br />

di dalam lembaga ini, tetapi ini adalah rumah<br />

kita dan di sinilah kita bangun masa depan kita.


dan Proshow. Hasil karyanya selalu dipakai pada saat pertemuan di desa, di kantorkantor<br />

pemerintah, dan di program-program lain. Selain keberhasilan tersebut, dia<br />

juga melakukan pembuatan lm, proshow dan brosur di kantor Pemberdayaan<br />

Perempuan Kabupaten Sumba Tengah.<br />

Perubahan yang terjadi pada Beni berpengaruh positif bagi staf Yayasan Satu Visi yang<br />

lainnya. Semakin banyak staf yang tertarik untuk belajar media. Dia mengajak dan<br />

melatih seluruh staf untuk membuat media. Mereka pun berhasil mencipta lagu (satu<br />

buah album), membuat poster, membuat power point dan brosur.<br />

Menjadi sukses dan mengalami perubahan yang membanggakan tak pernah diraih<br />

dengan berpangku tangan. Setiap orang yang ingin sampai ke sana harus bekerja<br />

keras, mau belajar, dan pantang menyerah. Sejak saat itu, ia benar-benar berubah.<br />

Ia menetapkan untuk fokus mempelajari media populer secara mendalam untuk<br />

kebutuhan pembelajaran, pengorganisasian dan advokasi. Mungkin saja, pada suatu<br />

ketika, Beni menjadi seorang sutradara terkenal. Tidak satu pun yang tahu. Tapi<br />

kemungkinan itu pasti ada.<br />

“Jangan kamu merasa sebagai seorang pekerja di dalam lembaga ini, tetapi ini<br />

adalah rumah kita dan di sinilah kita bangun masa depan kita. Bekerjalah dengan<br />

tanggungjawab dan berperilaku sebagai seorang pemimpin untuk diri sendiri. Anda<br />

jangan bekerja sebagai seorang budak, disuruh dulu baru bekerja. Dan jika mau<br />

sukses, fokuslah!” kata-kata Ibu Deby ini membuat Beni lebih bersemangat dan<br />

kreatif.<br />

Untuk tujuan itu, ia rela berlama-lama di depan laptop, mempelajari dan<br />

mengoperasikan program-program media populer, dan mempraktikkan hasil<br />

pelatihan media yang difasilitasi oleh Kawanusa. Ini benar-benar pekerjaan baru<br />

yang menantang dan menarik minat. Ia akan mempelajarinya lebih mendalam dan<br />

harus menghasilkan banyak karya yang berdaya pikat dan berkekuatan mengubah<br />

masyarakat dan dunia. Saya yakin Beni bisa melakukannya. Beni sangat bisa.<br />

169


170<br />

Berawal dari Bingung<br />

Chandra Anamuli<br />

Saya sebenarnya bingung dengan beragam jenis pekerjaan yang pernah saya geluti.<br />

Dari asisten perawat, ibu rumah tangga, tutor kesenian hingga menjadi fasilitator<br />

pendamping di desa. Sebetulnya di bidang apakah Allah membimbing saya?<br />

Saya menjadi staf Yayasan Satu Visi hanya berbekalkan tekad dan percaya diri dengan<br />

sedikit kemampuan mengoperasikan komputer. Saya bergabung dengan Yayasan Satu<br />

Visi mulai dari bulan April tahun 2007. Saat itu Yayasan Satu Visi sedang menangani<br />

program PIDRA (Participatory Integrated Development of Rain eld Agriculture).<br />

Program ini bergerak di bidang konservasi lahan kering dan DAS mikro pada 18<br />

Desa dan tersebar di 3 kabupaten mulai dari kabupaten Sumba Tengah, Sumba Barat,<br />

dan Sumba Barat Daya.<br />

Sebelum bergabung dengan Yayasan Satu Visi, pada tahun 2000 saya bekerja di Rumah<br />

Sakit Karitas Waitabula sebagai asisten perawat selama 2 tahun. Kemudian saya<br />

memutuskan untuk berhenti bekerja dan memilih mengurus rumah tangga karena<br />

saya baru saja menikah dan mengandung anak pertama.<br />

Setelah anak saya mulai pisah ASI (Air Susu Ibu), saya mulai cari pekerjaan lagi, karena<br />

saya sudah mulai bosan di rumah. Selain itu, keluarga kami membutuhkan tambahan<br />

pendapatan untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Beberapa lamaran kerja saya ajukan<br />

ke beberapa lembaga. Dari sekian lembaga tersebut, akhirnya pada tahun 2004, saya<br />

diterima bekerja di CCF (Christian Children’s Fund) yang kantornya berada di<br />

Sumba Barat Daya.<br />

Salah satu program CCF adalah perlindungan hak-hak anak. Saya bekerja sebagai<br />

tutor kesenian yang mendampingi anak-anak usia 11 sampai dengan 18 tahun di<br />

Desa Waimangura, salah satu desa wilayah kerja CCF. Sebagai tutor, saya mengajari<br />

mereka menyanyi, menari dan melukis. Pengajaran dilakukan pada sore hari di rumah


warga atau kantor desa. Dalam seminggu kami melakukan 3 sampai 4 kali kegiatan<br />

belajar mengajar. Disela-sela kegiatan itu, saya tidak lupa mensosialisasikan mereka<br />

tentang Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.<br />

Pada bulan Maret 2007 saya menghadiri pesta pernikahan tetangga saya. Di acara<br />

tersebut, saya bertemu dengan salah seorang teman lama saya ketika SMA dulu. Dia<br />

menceritakan kalau dia bekerja di Yayasan Satu Visi sebagai fasilitator desa. Dia juga<br />

menceritakan program PIDRA dan apa-apa saja yang mereka kerjakan di desa. Dia<br />

menjadi fasilitator desa di Kabupaten Sumba Barat Daya, tempat saya tinggal. Saya<br />

tertarik dengan ceritanya.<br />

Seusai ngobrol banyak dengan teman lama di acara pernikahan tersebut, kami<br />

berpisah. Ada perasaan yang terus menganggu saya setelah mendengar cerita<br />

dari teman saya tentang kegiatan pendampingannya di desa. Saya ingin belajar dan<br />

merasakan bagaimana teknik memfasilitasi yang mereka lakukan dan keterampilan<br />

apa yang harus saya miliki agar mampu memfasilitasi kelompok-kelompok yang ada<br />

di desa.<br />

Keinginan itu terus berkecamuk dan mengganggu saya. Pada akhirnya saya<br />

memberanikan diri untuk memasukkan lamaran ke Yayasan Satu Visi, meskipun<br />

saya sudah mendengar bahwa di lembaga tersebut tidak lagi membutuhkan<br />

tenaga pendamping. Bahkan saya mendengar dari teman saya bahwa masih banyak<br />

tumpukan lamaran kerja yang siap ditolak. Pernyataan itu tidak membuat saya putus<br />

asa. Saya tetap mencoba untuk meyakinkan pimpinan Yayasan Satu Visi bahwa saya<br />

mampu dan memiliki keterampilan mengoperasikan komputer dan pekerjaan itu<br />

sangat berarti buat saya untuk proses belajar.<br />

Saya senang sekali begitu mendapat informasi bahwa saya diterima bekerja di Yayasan<br />

Satu Visi. Saya bangga, walaupun status saya waktu itu hanya sebagai tenaga magang.<br />

Tapi kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Bahkan, saya berjanji dalam hati untuk<br />

bekerja sepenuh hati dan seoptimal mungkin seperti staf-staf yang sudah bekerja<br />

penuh waktu. Direktur Satu Visi meminta saya untuk membantu bagian administrasi<br />

karena saya memiliki keterampilan dalam hal mengoperasikan komputer. Saya tidak<br />

menolak permintaan tersebut. Saya menikmati pekerjaan baru tersebut. Namun,<br />

setelah beberapa bulan bekerja, sedikit demi sedikit, saya mulai menyediakan waktu<br />

untuk membantu teman-teman yang bekerja di lapangan. Karena saya berpikir<br />

bahwa desa adalah tempat yang tepat bagi saya untuk belajar banyak hal tentang<br />

pemberdayaan masyarakat. Lama-kelamaan, Direktur Yayasan Satu Visi mengetahui<br />

apa yang saya lakukan. Puji Tuhan ternyata Ibu Direktur tidak melarang saya ke<br />

lapangan atau desa. Bahkan, Ibu Direktur secara diam-diam mengamati saya. Dan ia<br />

171


mengatakan bahwa saya memiliki kemampuan yang baik untuk bekerja di lapangan/<br />

desa.<br />

Keinginan saya untuk bekerja di lapangan hari lepas hari kian bergelora. Waktu<br />

yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Ketika itu bertepatan dengan<br />

kejadian dimana ada salah seorang staf lapangan Satu Visi yang mau mengambil<br />

cuti melahirkan. Tanpa menunggu dan berbasa basih, saya memberanikan diri<br />

untuk menawarkan diri kepada Ibu Direktur untuk membantu mendampingi desa<br />

dampingan staf tersebut. Ibu Direktur pun mengamini permintaan saya.<br />

Hari demi hari saya menghabiskan waktu saya di desa untuk mendampingi<br />

masyarakat. Saya belajar banyak hal dari masyarakat di desa dan ada banyak<br />

pembelajaran penting yang saya dapatkan. Ada sebuah kejadian yang masih terpatri<br />

lekat dalam memori saya ketika ada seorang kepala desa yang protes karena saya<br />

membuat pertemuan di desa dengan masyarakat, tetapi belum meminta ijin dari<br />

Beliau. Sejak kejadian itu saya selalu membangun komunikasi dan berkoordinasi<br />

dengan kepala desa. Saya semakin termotivasi untuk terus bekerja dan belajar supaya<br />

tidak terjadi lagi peristiwa seperti itu. Saya mulai banyak bertanya kepada temanteman<br />

yang sudah lebih lama bekerja di desa. Selain itu, setiap ada coaching dari<br />

pimpinan maupun dari staf ahli program, saya selalu mengikutinya dengan semangat.<br />

Kalau dilihat dari sejarah saya bekerja, saya pun sedang bertanya, mau kemana saya<br />

selanjutnya, dan sebetulnya jenis pekerjaan seperti apakah yang membuat saya<br />

bekerja dengan nyaman? Sepertinya mendampingi masyarakat itulah yang menjadi<br />

impian saya. Saya sangat yakin pekerjaan pendampingan di masyarat menjadi impian<br />

saya. Saya terpanggil untuk melakukan pekerjaan itu. Mungkin itulah panggilan hidup<br />

saya.<br />

Akhirnya pertanyaan itu terjawab suatu ketika yakni pada awal November 2009. Saat<br />

itu, Yayasan Satu Visi dipercaya untuk menangani sebuah program kerjasama dengan<br />

<strong>ACCESS</strong>. Program ini bertujuan untuk mendorong penguatan kelembagaan ekonomi<br />

desa berbasis kelompok dan lebih menekankan pendekatan berbasis kekuatan. Saya<br />

ditawari oleh Yayasan Satu Visi untuk mengikuti tes penerimaan staf dan akhirnya<br />

saya lulus tes dan diterima.<br />

Saya jadi teringat saat-saat yang paling menegangkan ketika saya mengikuti tes<br />

penerimaan staf yang dilakukan selama 2 hari. Hari pertama saya mengikuti tes<br />

tertulis dan hari kedua wawancara. Pada saat tes hari kedua, saya diwawancarai<br />

langsung oleh Tim Rekrutmen, dan saat itulah yang paling menguras energi. Kursi<br />

tempat saya duduk seolah-olah ada bara apinya. Ada perasaan khawatir, tegang dan<br />

172


takut kalau saya tidak lulus tes karena peserta tes begitu banyak, sementara yang<br />

dibutuhkan hanya 6 orang saja. Namun, puji Tuhan, ternyata saya lulus.<br />

Saya dipercayakan oleh Yayasan Satu Visi sebagai pendamping masyarakat untuk<br />

menangani 2 desa program di Kecamatan Tanarighu yaitu Desa Bondotera dan Desa<br />

Manukuku. Dua desa ini terletak di bagian utara Kabupaten Sumba Barat. Saya sangat<br />

senang dan menikmati pekerjaan sebagai pendamping masyarakat tersebut.<br />

Saya juga semakin yakin bahwa saya bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik<br />

karena <strong>ACCESS</strong> menyediakan program penguatan kapasitas kepada tim pelaksana<br />

program Satu Visi. Berbagai program penguatan kapasitas yang saya dapatkan dari<br />

<strong>ACCESS</strong> maupun Mitra Strategis <strong>ACCESS</strong>, mulai dari pelatihan teknik memfasilitasi<br />

yang vibran dengan menggunakan pendekatan AI (Apreciative Inquiry) dan ABA<br />

(Asset Bassed Approach) oleh Inspirit, pelatihan pengorganisasian masyarakat<br />

oleh Remdec, pelatihan kewirausahaan dan perencanaan bisnis oleh Gita Pertiwi,<br />

pelatihan pengembangan media dan strategi komunikasi oleh Kawanusa, hingga<br />

pelatihan tentang Outcome Mapping serta monitoring, evaluasi, dan pembelajaran<br />

oleh <strong>ACCESS</strong>. Ditambah lagi dengan penguatan di internal lembaga dan sharing<br />

pembelajaran dengan teman-teman pendamping lapangan membuat saya semakin<br />

merasa kaya akan pengetahuan dan keterampilan, yakin dan percaya diri.<br />

Saya merasa sudah mampu memfasilitasi proses pendampingan masyarakat dengan<br />

menggunakan modul yang saya buat sendiri. Tidak cukup dengan itu, saya juga<br />

memperkuat Boundary Partners (BP) dalam memfasilitasi masyarakat dengan<br />

menggunakan pendekatan asset atau kekuatan, mulai dari tahap persiapan seperti<br />

membuat alur dan proses, alat bantu, langkah-langkah memfasilitasi pertemuan<br />

hingga pada proses memfasilitasi, membuat evaluasi pada akhir kegiatan.<br />

Saya juga mendampingi BP untuk menginisiasi kegiatan-kegiatan yang lebih besar<br />

yang belum pernah ada atau dilakukan di desa. Contohnya kegiatan “Malam Seribu<br />

Bintang” yang digelar di Desa Manukuku. Kegiatan ini merupakan sebuah festival<br />

desa dalam rangka memeriahkan HUT kemerdekaan RI ke-65. Dalam rangka<br />

menyukseskan Malam Seribu Bintang ini saya membantu memperkuat BP agar<br />

mereka mampu melobi dan berkoordinasi dengan pemerintah desa serta tokohtokoh<br />

di desa agar mendukung kegiatan ini mulai dari membuat anggaran, menyewa<br />

alat musik, mempersiapkan konsumsi dan penginapan, serta menyiapkan tempat<br />

pelaksanaan kegiatan. Pada kegiatan ini, kami mengadakan diskusi rakyat tentang<br />

pendidikan, juga dimeriahkan dengan menyanyi, menari, dan lain-lain. Semua warga<br />

Desa Manukuku dari anak-anak hingga orang dewasa, para guru, aparat desa dan<br />

tokoh-tokoh masyarakat hadir dalam kegiatan ini. Ada juga pihak luar yang hadir<br />

173


seperti dari <strong>ACCESS</strong>, gereja, kecamatan, dan Satu Visi. Hal yang membanggakan saya<br />

adalah kegiatan ini dilaksanakan atas dasar swadaya masyarakat.<br />

Ada juga pengalaman menarik lainnya, saat saya mendampingi BP di Desa Bondotera<br />

agar mereka mampu mempengaruhi pemerintah desa dan mengubah sistem<br />

dalam desa yang selama ini terjadi. Misalnya, bila ada kegiatan, khususnya kegiatan<br />

yang difasilitasi oleh Yayasan Satu Visi, pemerintah desa awalnya selalu menolak<br />

melaksanakan kegiatan tersebut dengan alasan anggaran yang disediakan untuk<br />

kegiatan itu sangat kecil, dan masyarakat kesulitan untuk berswadaya karena untuk<br />

hidup dan makan saja sulit. Dua perempuan desa yang menjadi BP terus berjuang<br />

untuk mempengaruhi dan meyakinkan pemerintah desa bahwa kegiatan atau<br />

pelatihan “Pengorganisasian Pemasaran Bersama” yang rencananya akan dilakukan di<br />

Desa Bondotera menjadi kebutuhan masyarakat. Masyarakat sangat antusias untuk<br />

mengikuti pelatihan tersebut.<br />

Setelah berkali-kali BP dan saya berdialog dari hati ke hati dengan kepala desa,<br />

akhirnya pemerintah desa menerima dan mendukung kegiatan tersebut dan<br />

bahkan terlibat aktif dalam kegiatan pelatihan pengorganisasian pemasaran bersama<br />

yang dilakukan selama 3 hari. Sejak saat itu pemerintah desa berkomitmen akan<br />

mendukung progam.<br />

Melalui proses yang panjang dan juga cukup melelahkan, saya, seorang ibu yang<br />

memiliki 3 orang anak ini, merasa semakin yakin dan pecaya diri untuk terus<br />

melakukan kerja-kerja pengorganisasian dan akan terus mendorong perubahan di<br />

tingkat BP. Allah memanggil saya untuk melakukan pekerjaan ini. Saya percaya bahwa<br />

perubahan yang dasyat akan dan terus terjadi kalau kita bekerja dengan aktor-aktor<br />

di desa yang memiliki potensi, kemampuan dan kesamaan tujuan dengan kita untuk<br />

mendorong perubahan.<br />

174


Asa Dari Si Emas Hijau<br />

Petrus Malo Bora<br />

Hijau daun yang terpancar dari perbukitan itu benar-benar menggoda. Terbersit niat<br />

mendekatinya. Deretan hijau daun itu bagaikan perawaan desa yang siap dipinang<br />

oleh perjaka tampan di Desa Manukuku. Itulah si emas hijau, idola warga desaku,<br />

Manukuku.<br />

Si emas hijau itu adalah kemiri, yang tumbuh tegak pada lahan-lahan di Desa<br />

Manukuku. Sesekali, di bulan April sampai Juni, ia merunduk bagai menyembah<br />

pertiwi. Itulah musim buah pertama si emas hijau. Beberapa bulan berikutnya<br />

(September sampai November) ia kembali merunduk lagi untuk mempersembahkan<br />

hasilnya buat kami.<br />

Kemiri, si emas hijau itu, adalah potensi paling menggairahkan dan menjanjikan di<br />

Desa Manukuku. Ia adalah idola warga. Kami menabur asa pada si emas hijau itu.<br />

Hampir semua kepala keluarga di Manukuku memiliki Kaliho (hutan keluarga).<br />

Sebagian besar kaliho ditanami kemiri.<br />

Budi daya kemiri di Manukuku sudah ada sejak sekitar 60 tahun lalu. Dulu, buah<br />

kemiri dijadikan sarana barter (tukar menukar dengan barang). Ada juga yang<br />

memanfaatkan buah kemiri sebagai bahan pelita untuk penerangan, yang dalam<br />

bahasa daerah kami disebut Illu.<br />

Si emas hijau juga begitu menggiurkan para pedagang atau saudagar-saudagar<br />

dari Bugis dan Jawa. Para pedagang lokal pun mengincarnya sebagai komoditi<br />

andalan yang diperdagangkan antar-pulau. Persaingan harga pun tak terhindarkan.<br />

Para pedagang lokal yang memiliki banyak relasi dengan orang-orang kampung,<br />

menggunakan kekuasaan modalnya untuk membeli kemiri dengan harga yang rendah.<br />

Para petani kemiri di Manukuku, dan umumnya Sumba Barat, belum memiliki<br />

175


kekuatan untuk melakukan negosiasi harga dengan para pedagang lokal. Jaringan<br />

mereka sangat terbatas. Belum lagi bicara soal kapasitas (kemampuan) untuk<br />

melakukan lobi dan negosiasi. Mereka akhirnya pasrah pada nasib. Mereka terpaksa<br />

menjual kemirinya dengan harga yang ‘diatur’ seenaknya oleh pedagang lokal atau<br />

saudagar dari luar Sumba.<br />

Kadang-kadang petani kemiri yang sedang terjepit kesulitan ekonomi atau uang,<br />

menggadaikan hasil kemirinya kepada pedagang lokal atau rentenir/tengkulak (orang<br />

yang meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi) sekadar mendapatkan pinjaman.<br />

Saat musim panen tiba, petani kemiri membawa hasil panenannya kepada pedagang<br />

lokal atau rentenir tersebut. Lebih menyedihkan lagi, banyak petani kemiri yang<br />

menggadaikan kemirinya sekadar mendapatkan seekor kerbau, kuda atau babi untuk<br />

tampil ‘megah’ dalam pesta adat.<br />

Sayang, banyak petani merasa bahwa soal-soal seperti di atas bukanlah permasalahan<br />

yang harus segera diselesaikan. Mereka bahkan menganggapnya biasa saja.<br />

Kenyataan itu sungguh-sungguh membuat saya merasa tidak nyaman. Saya ingin<br />

memberontak dan menghentikan semua itu. Namun, saya belum memiliki kapasitas<br />

teknis untuk melakukannya. Pengetahuan saya tentang sistem pemasaran sangat<br />

terbatas. Saya belum memiliki akses informasi tentang jaringan pemasaran dan harga<br />

kemiri di setiap kabupaten, provinsi, bahkan luar negeri.<br />

Faktor-faktor itu menjadi kendala, selain kendala utama di tingkat warga, yakni<br />

bagaimana membangun kesadaran kritis warga tentang penentuan harga kemiri<br />

oleh warga, sistem distribusi, pemasaran dan lain sebagainya. Pola pikir mereka dan<br />

saya juga masih berkutat pada orientasi lama: kemiri sebagai alternatif pemecahan<br />

masalah, saat kami dililit utang.<br />

Persoalan-persoalan itu terus menghantui pikiran saya. Saya sungguh ingin membuka<br />

jendela pengetahuan dan belajar, serta memberikan sesuatu yang berguna untuk<br />

Manukuku, untuk orang-orang sekampung saya. Selalu ada niat di hati saya untuk<br />

membebaskan belenggu ketidaktahuan warga dari belitan ekonomi yang terus<br />

berulang, padahal mereka mempunyai aset yang luar biasa berupa kemiri. Tekad saya<br />

makin kuat: Kede Kuada (bangkit bersama) untuk membuat desa kami berubah, maju<br />

dan sejahtera.<br />

Pergulatan saya, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kami hanya bisa bangkit<br />

bersama, jika kami memiliki perasaan senasib dan seperjuangan. Kami senasib karena<br />

harga kemiri belakangan ini membuat miris. Sekilo kemiri bersih dihargai Rp. 15.000,-<br />

176


hingga Rp. 17.000,-. Harga itu jauh dari harga di daerah lain. Misalnya, di Surabaya,<br />

harga kemiri menembus sampai Rp. 26.000,-.<br />

Perasaan senasib itu menjadi kekuatan bagi kami untuk berjuang bersama. Artinya,<br />

untuk mewujudkan harga yang adil bagi komoditi kemiri. Kami harus memiliki<br />

pandangan ke depan yang sama. Untuk itu, kami dibantu oleh Yayasan Satu Visi<br />

melalui Program Penguatan Kelembagaan Ekonomi Berbasis Komunitas, yang salah<br />

satu kegiatannya adalah Pengorganisasian Kelompok Pemasaran Bersama (PKPB).<br />

Pemasaran bersama, berarti kerja mengumpulkan hasil komoditi untuk dipasarkan<br />

bersama-sama. Saya dan seorang fasilitator Satu Visi bernama Chandra Anamuly<br />

menjelaskan arti dan maksud pemasaran itu secara detil kepada warga Desa<br />

Manukuku dalam beberapa kali pertemuan di desa.<br />

Intinya, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) diberi kewenangan untuk<br />

mengumpulkan hasil dari petani kemiri, kemudian ditimbun di rumah Ketua<br />

Gapoktan. Selanjutnya, pengurus Gapoktan mencari pengusaha lokal, regional<br />

atau nasional untuk menawarkan penjualan kemiri. Jika negosiasi harga disepakati<br />

kedua belah pihak, maka pengusaha bersangkutan dapat mengangkut hasil tersebut,<br />

sekaligus melakukan pembayaran kepada Pengurus Gapoktan sesuai harga yang telah<br />

disepakati.<br />

Hasil penjualan komoditi kemiri kemudian dikumpulkan oleh pengurus Gapoktan.<br />

Masing-masing pihak yang mengambil peran dalam proses pemasaran hasil tersebut<br />

mendapatkan insentif (tunjangan/penghargaan), berupa biaya transportasi dan<br />

konsumsi.<br />

Sistem pemasaran seperti ini telah kami sepakati bersama dengan para petani kemiri,<br />

dan pengurus Gapoktan. Namun hingga saat ini implementasi atau penerapan sistem<br />

ini belum dilakukan, sebab kami masih menunggu musim panen kemiri tiba.<br />

Meskipun belum diterapkan, gagasan pemasaran bersama hasil komoditi merupakan<br />

sebuah langkah maju. Akan lebih membanggakan dan bermanfaat bila gagasan itu<br />

tepat seperti yang kami pikir bersama. Setidaknya dengan pemikiran itu, kami<br />

sudah memulai dengan tindakan dan membuat persiapan serta kesepakatan. Kalau<br />

memang ke depan ada banyak persoalan wajar adanya. Setiap langkah maju pasti<br />

ada tantangannya. Dan tantangan-tantangan yang ada merupakan pelajaran-pelajaran<br />

yang sangat berharga. Tantangan tidak selamanya membuat asa kita pudar. Apalagi<br />

menaruh asa pada si emas hijau.<br />

177


178<br />

Berawal Dari Tenun<br />

Berlanjut Ke Babi<br />

Dina Bani<br />

Sebagai seorang ibu rumah tangga yang memiliki pendidikan yang sangat terbatas,<br />

sehari-hari saya hanya melakukan pekerjaan rutinitas seputar rumah tangga. Hidup<br />

berumah tangga bagi saya merupakan hal yang sangat sarat dengan cita-cita, tanggung<br />

jawab, suka duka dan tantangan. Saya telah memiliki 4 orang anak yang terdiri dari 2<br />

laki-laki dan 2 perempuan. Saya berasal dari Desa Bondotera, Kecamatan Tana Righu,<br />

Kabupaten Sumba Barat.<br />

Dalam perjalanan menuju rumah tangga yang sejahtera dan bahagia, saya merasakan<br />

bahwa cita-cita tersebut sangat sukar untuk dicapai. Sebab pekerjaan utama suami<br />

saya dan saya sendiri adalah bertani dan berternak. Dalam kegiatan berternak, kami<br />

memelihara babi dan ayam. Sedangkan lahan pertanian kami yang luasnya 3 hektar,<br />

kami tanam pohon kemiri. Tanaman lain seperti jagung, ubi, keladi dan sayur-sayuran<br />

kami tanam di pekarangan rumah, memanfaatkan lahan pekarangan yang kosong.<br />

Kami memanen kemiri selama 5 bulan dalam satu tahun. Musim panen kemiri ini<br />

dilakukan mulai bulan Agustus sampai bulan Desember.<br />

Dengan hasil pertanian dan perkebunan yang dilakukan secara musiman, pendapatan<br />

ekonomi pun selalu relatif rendah. Apalagi karena kurangnya pengetahuan<br />

untuk memanfaatkan sumber daya alam lokal yang kami miliki. Pengetahuan dan<br />

keterampilan kami terbatas terkait pengolahan hasil komoditi sehingga ia memiliki<br />

nilai ekonomi yang lebih tinggi. Kami juga tidak berdaya dalam menentukan harga<br />

komoditas. Harga komoditas langsung ditentukan oleh pembeli. Hal ini membuat<br />

pendapatan keluarga masih rendah.<br />

Namun dengan pendapatan yang rendah itu, kami dapat menyekolahkan anakanak<br />

kami bahkan sudah ada yang sampai ke perguruan tinggi. Anak kami yang<br />

sulung sekarang sedang kuliah di Theologia jurusan PAK (Pendidikan Agama<br />

Kristen) di Denpasar, Bali. Kami sebagai orangtua merasa bangga dan senang bisa


menyekolahkan anak kami sampai ke Perguruan Tinggi. Kami berharap anak-anak<br />

kami bisa mendapat kehidupan yang lebih baik dari yang kami miliki sekarang. Jadi,<br />

walaupun penghasilan rendah, kami tetap berusaha menyekolahkan mereka.<br />

Suatu saat di bulan November 2009, saya mengikuti pertemuan yang dilakukan<br />

oleh Yayasan Satu Visi. Ketika itu mereka melakukan sosialisasi awal terkait sebuah<br />

program. Pada pertemuan itu saya mendapat tugas baru sebagai Boundary Partner<br />

(BP) atau Mitra Langsung Yayasan Satu Visi. Saya terpilih melalui proses pemilihan<br />

yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat Desa Bondotera. Ada begitu<br />

banyak masyarakat yang hadir pada saat pertemuan tersebut. Namun, saya tidak<br />

menyangka bahwa dari begitu banyak masyarakat, sayalah yang terpilih dan dipercaya<br />

menjadi Mitra Kerja Langsung Yayasan Satu Visi.<br />

Pada masa awal direkrut untuk mengemban tugas itu, saya merasa tidak percaya<br />

diri karena selama ini saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menyampaikan<br />

pendapat di forum umum. Pengalaman sebelum menjadi BP-lah yang membuat<br />

saya takut dan tidak percaya diri. Selama ini, kami sebagai kaum perempuan hanya<br />

diundang atau diikutsertakan dalam pertemuan atau rapat tapi tidak pernah diberi<br />

Setelah kelompok tenun ini berkembang cukup bagus, saya<br />

membentuk kelompok memelihara ternak babi. Karena babi<br />

ini sangat dibutuhkan untuk pesta atau acara adat di Sumba.<br />

179


kesempatan berbicara dan mengeluarkan pendapat. Dan juga sebelum difasilitasi<br />

oleh Yayasan Satu Visi, pihak-pihak yang mengambil keputusan di dalam desa adalah<br />

Pemerintah Desa. Kami, kaum perempuan tidak pernah dilibatkan untuk mengambil<br />

keputusan. Namun sekarang, kami kaum perempuan sudah mulai aktif dalam<br />

pertemuan-pertemuan, berbicara dan terlibat dalam pembuatan keputusan.<br />

Dengan hadirnya Yayasan Satu Visi di desa, mendorong kami untuk memanfaatkan<br />

kekayaan-kekayaan yang ada di desa untuk pembangunan. Yayasan Satu Visi mengajak<br />

kami untuk melakukan pemetaan terhadap aset-aset desa seperti Sumber Daya<br />

Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), perekonomian, sosial-budaya, dan sarana<br />

prasarana. Dari proses tersebut, sekarang saya jadi lebih tahu tentang aset-aset yang<br />

ada di desa saya. Misalnya, terkait aset sumber daya alam, saya jadi tahu kalau di Desa<br />

Bondotera ada kapur alam, batu gunung, tanah sirtu, sumber mata air dan lain-lain.<br />

Sebelum difasilitasi oleh Yayasan Satu Visi, saya tidak pernah tahu kalau tanah sirtu itu<br />

ternyata bisa dijual. Selama ini tanah sirtu di desa kami hanya diambil begitu saja oleh<br />

orang yang membutuhkannya seperti kontraktor tanpa pernah menghitung jumlah<br />

dan harganya.<br />

Pada proses-proses awal keterlibatan saya dengan kegiatan Yayasan Satu Visi,<br />

pemahaman saya tentang program itu masih kurang. Hal ini membuat saya belum<br />

bisa menunjukkan kemampuan saya untuk melakukan advokasi terhadap kaum<br />

perempuan. Namun seiring perjalanan waktu, peningkatan pengetahuan saya mulai<br />

terasa. Saya mulai paham tentang tujuan program ini. Saya juga mulai tahu tentang<br />

peran-peran apa saja yang dapat saya lakukan untuk mendukung tercapainya tujuan<br />

program ini.<br />

Yayasan Satu Visi terus melakukan proses penguatan kapasitas dan salah satu<br />

kegiatannya adalah perencanaan bisnis, pengorganisasian dan pemasaran bersama.<br />

Pelatihan-pelatihan tersebut melibatkan 5 desa (Bondotera, Manu Kuku, Zala<br />

Kadu, Wee Patola, Kareka Nduku) yang berada di kawasan hutan Poronombu di<br />

Kecamatan Tana Righu. Dari pelatihan demi pelatihan yang saya dapatkan telah<br />

membuat perubahan dalam diri saya. Saya sudah mulai menampakkan kemampuan<br />

untuk berbicara, mengeluarkan pendapat, dan merencanakan berbagai kegiatan untuk<br />

melaksanakan program ini.<br />

Dengan penguatan kapasitas itu juga, saya mulai sadar dan berani membentuk<br />

kelompok di dalam Desa Bondotera, terutama kelompok tenun. Kelompok ini<br />

secara khusus memproduksi kain atau sarung dengan menggunakan alat tradisional.<br />

Usaha saya untuk membentuk kelompok tenun mulanya hanya 1 kelompok yang<br />

terdiri atas 10 orang perempuan. Pembentukan kelompok ini berjalan cukup lancar<br />

180


dan diterima dengan baik oleh ibu-ibu. Untuk modal awal kelompok kami kumpulkan<br />

secara swadaya. Hingga saat ini, kelompok yang saya bentuk ini masih tetap berjalan<br />

dan sudah berkembang cukup pesat. Dari hasil tenun, kelompok kami telah menjual<br />

sampai ke tingkat masyarakat desa dengan harga Rp. 200.000,- per lembar.<br />

Setelah kelompok tenun ini berkembang cukup bagus, saya berusaha membentuk<br />

kelompok lain agar masyarakat lain juga bisa berhasil. Tapi bentuk kelompok ini<br />

bukan lagi kelompok tenun melainkan kelompok ternak. Dalam kelompok ternak ini,<br />

para anggota kelompok fokus untuk memelihara ternak babi. Karena babi ini sangat<br />

dibutuhkan di daerah Sumba, apalagi jika dipakai untuk pesta atau acara adat maka<br />

harga babi menjadi sangat mahal. Kelompok ini baru mulai berjalan dan dalam proses<br />

memelihara ternak. Dana untuk memfasilitasi kelompok ini berasal dari dana PUAP<br />

(Pengembangan Usaha Agrobisnis Pedesaan).<br />

Dampak dari kegiatan-kegiatan di atas telah membuat wajah ibu-ibu di Desa<br />

Bondotera semakin berubah dan membantu pendapatan perekonomian rumah<br />

tangga mereka. Selain itu, program ini juga telah membawa manfaat yang besar<br />

bagi masyarakat di Desa Bondotera. Sekarang, masyarakat sudah dilibatkan dan<br />

diberi kesempatan untuk berpendapat di dalam forum. Perempuan juga sudah mulai<br />

dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan di dalam desa.<br />

Sedangkan dampak untuk diri sendiri, saya telah berubah dan berani untuk<br />

melakukan suatu hal yang dapat bermanfaat bagi masyarakat desa pada umumnya.<br />

Saya sudah bisa berani memimpin pertemuan, dan bahkan sekarang ini saya sedang<br />

belajar menjadi pembawa atau pemandu acara pertemuan. Dari pengalaman ini,<br />

saya memetik suatu pelajaran berharga bahwa perempuan juga bisa melakukan<br />

sesuatu yang berguna. Perempuan juga bisa melakukan banyak hal jika diberi ruang,<br />

kesempatan dan kepercayaan.<br />

181


182<br />

Sesungguhnya Kami Adalah<br />

Manajer Handal<br />

Ester Kaka<br />

Waktu baru menunjuk pukul 05.00 pagi, ketika saya menginjakkan kaki di tanah<br />

basah itu. Ruangan kecil berukuran 2 x 1 meter yang berdinding gedek dan beratap<br />

seng itu adalah tempat pertama yang saya kunjungi, ketika terbangun dari tidur.<br />

Tungku batu yang meringkuk di pojok dapur seolah memanggil saya untuk segera<br />

mendudukkan periuk berisi air di atasnya.<br />

Blaarrr… api menyambar botol bekas minyak goreng itu, dan membuat seisi dapur<br />

terang dan sang tungku tersenyum puas karena panggilannya dijawab. Bukan perkara<br />

mudah menyalakan api di tungku, butuh kesabaran mengumpulkan sampah-sampah<br />

(berupa ban motor bekas, kertas, botol plastik) dan mengaturnya di dalam tungku<br />

lalu menyalakan api di atasnya tanpa bantuan minyak tanah. Harga minyak tanah yang<br />

mahal membuat saya memikirkan cara yang kreatif untuk tetap menghidupkan api<br />

dan memasak.<br />

Dalam harumnya aroma botol minyak yang terbakar itu, saya tiba-tiba teringat<br />

sesuatu, ternyata sudah lama saya tidak berjalan- jalan menikmati indahnya<br />

Bondotera di pagi hari. Desa yang terletak di ketinggian ini, memang selalu membuat<br />

orang malas untuk bangun dari mimpinya karena diselimuti hawa dingin, tetapi<br />

menjadi rumah paling nyaman bagi tanaman kopi, kemiri dan jambu.<br />

Niat saya keluar rumah tertahan oleh suara suami dan anak- anak yang telah<br />

terbangun dan meminta dibuatkan kopi. Air yang menari-nari dalam periuk, dengan<br />

cepat berpindah ke 5 gelas cantik dan berubah menjadi warna hitam. Kopi panas<br />

membantu kami memulai kegiatan di hari itu.<br />

Matahari pagi mulai menampakkan diri di ufuk timur dan sinarnya masuk menembusi<br />

dinding dapur. Sinar mentari pagi ini memberikan energi dan semangat baru bagi saya<br />

yang sedang menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga. Ada satu jam saya memasak di


dapur. Setelah selesai saya merapikan botol-botol yang berisi bumbu masak di atas<br />

meja kayu yang berusia belasan tahun. Tiba-tiba mata saya bertemu dengan sebuah<br />

benda bulat berwarna hitam dengan kulit yang keras. Kemiri. Ya itu nama yang<br />

diberikan pada bumbu masak yang satu ini. Fungsinya sebagai pengempuk makanan<br />

(khususnya daging).<br />

Bondotera terkenal sebagai daerah penghasil kemiri. Desa yang terletak di<br />

Kecamatan Tanarighu, Kabupaten Sumba Barat ini memang sudah lama mengundang<br />

decak kagum orang karena kualitas kemirinya, sehingga membuat para pedagang<br />

tertarik berbisnis di desa ini. Untuk 1 kilogram kemiri berkulit dibeli dari masyarakat<br />

seharga Rp. 1.000,- dan dijual kembali Rp. 2.000,-. Pada saat itu masyarakat hanya<br />

berpikir bagaimana mendapatkan uang dengan cepat tanpa menghitung untung<br />

rugi dari transaksi yang terjadi. Padahal butuh 3 tahun untuk menunggu kemiri<br />

menghasilkan sejak pohon tersebut ditanam.<br />

Melihat Bondotera ibarat melihat harapan. Bagi saya yang telah 20 tahun hidup di<br />

desa ini, saya begitu percaya bahwa kesuksesan adalah milik kami jika kami dapat<br />

mengelola aset kemiri secara optimal dan juga dukungan dari pihak lain yang dapat<br />

membantu kami mengolah hasil kemiri.<br />

Pada bulan November 2009 harapan itu mulai terjawab. Waktu itu saya<br />

berkenalan dengan lembaga yang bernama Yayasan Satu Visi. Lembaga ini datang<br />

dan memperkenalkan program yang bernama “Penguatan Kelembagaan Ekonomi<br />

Masyarakat Melalui Kelompok”. Dengan berbagai tahapan kegiatannya, lembaga ini<br />

mencoba membuka wawasan berpikir masyarakat tentang pentingnya memperkuat<br />

kelompok di dalam membangun sistem ekonomi pedesaan yang berkelanjutan.<br />

Sebagai seorang perempuan, keterlibatan saya dalam kegiatan-kegiatan di desa hanya<br />

sebatas pelengkap kehadiran, yang penting hadir. Dan ketika selesai, saya pulang tanpa<br />

bicara apapun dari awal sampai akhirnya. Begitulah biasanya yang terjadi. Padahal jauh<br />

di hati kecil saya, saya ingin sekali mengeluarkan isi hati tentang harapan saya pada<br />

Bondotera. Tapi sudahlah, jangan sampai saya dianggap sedang bermimpi aneh di siang<br />

bolong.<br />

Perlahan tapi pasti. Perkenalan dengan Yayasan Satu Visi mengganggu tidur saya.<br />

Di sana saya lihat ada banyak perempuan seperti saya yang tampil dan memimpin.<br />

Bagaimana mereka bisa menjadi seperti itu? Jujur, saya merasa agak aneh juga dengan<br />

cara bergaul orang-orang dari lembaga ini. Mereka cepat sekali membaur dengan<br />

masyarakat dan mengajarkan permainan- permainan yang justru membuat kami<br />

mampu mengeluarkan kemampuan dari dalam diri kami. Permainan-permainan itu<br />

183


ingan tapi kreatif. Dan ketika mulai mengikuti permainan-permainan itu, saya pun<br />

mulai berani bicara. Lambat laun, saya bahkan mulai berani bicara di depan umum.<br />

Di desa kami, perempuan bekerja sebagai bos besar perusahaan kereta api berbahan<br />

bakar daun kelapa, yang harus mengeyangkan perut- perut lapar. Kami juga dipercaya<br />

menjadi bagian promosi PT. Unilever, menghabiskan rinso bagi baju-baju yang terkena<br />

noda tanah dan ingus anak-anak.<br />

Satu Visi mulai melibatkan perempuan-perempuan desa dalam kegiatannya. Kami<br />

diajarkan bagaimana menjadi pemimpin, paling tidak bisa memimpin diri sendiri.<br />

Kami disadarkan bahwa kami memiliki kesempatan yang sama dengan kaum lelaki,<br />

untuk berbicara, mengambil keputusan bahkan membangun desa dengan segenap<br />

kemampuan yang kami miliki. Karena terbiasa di dapur, kami sendiri jadi lupa dengan<br />

kemampuan kami. Padahal kalau dilihat kamilah manajer paling handal di dunia ini.<br />

Bayangkan dalam sehari kami bisa menyelesaikan lebih dari 5 pekerjaan sekaligus:<br />

memasak, mencuci, mengurus anak, memelihara ternak, membersihkan kebun,<br />

menghadiri pertemuan di desa sampai menghadiri acara pernikahan atau adat di<br />

desa.<br />

Pekerjaan yang banyak itu dapat kami selesaikan dengan baik bahkan kami yang<br />

harus bangun paling dahulu di dalam rumah dan tidur paling akhir. Semua itu kami<br />

lakukan demi tanggung jawab kami.<br />

Kini semuannya telah berubah. Satu Visi menolong kami dengan membentuk<br />

Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (KSPP) “Dua Dabba” yang artinya “untuk kita<br />

semua”. Adanya kelompok ini membuat kaum perempuan di desa semakin terlibat<br />

aktif dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga.<br />

Dan yang paling utama yang bisa saya banggakan karena kami juga mampu<br />

mempengaruhi Pemerintah Desa untuk mendukung kegiatan dan program yang<br />

ada di desa. Di dalam keluarga pun suami saya sudah mempercayai dan memberi<br />

kesempatan bagi saya untuk mengembangkan kemampuan saya bersama Satu Visi.<br />

Dalam pelatihan membangun sistem dalam membentuk wadah pemasaran bersama,<br />

Pemerintah Desa pun terlibat aktif. Sekarang ini saya masih berproses membentuk<br />

diri sehingga benar-benar menjadi petarung perubahan dengan mengutamakan<br />

partisipasi dan kekuatan desa.<br />

Saya tidak akan bisa berhasil jika tidak ada yang mendampingi. Karena itu saya akan<br />

terus berusaha mengikuti semuanya. Karena dengan penguatan kapasitas yang<br />

184


diberikan secara terus-menerus maka banyak informasi yang saya peroleh untuk<br />

ditindaklanjuti di desa. Karena saya bisa seperti ini karena didampingi, maka saya pun<br />

akan terus berusaha mendampingi orang lain agar mau berubah.<br />

Masa depan desa adalah tangung jawab saya juga. Walau sibuk mengurus keluarga<br />

tetapi selalu ada kesempatan membangun desa. Sesibuk apapun, saya dan<br />

perempuan-perempuan lain pasti bisa membagi waktu. Karena sesungguhnya kamilah<br />

manajer handal, yang sudah belajar lama sekali untuk menuntaskan banyak pekerjaan.<br />

Sesibuk apapun, saya dan perempuanperempuan<br />

lain pasti bisa membagi waktu. Karena<br />

sesungguhnya kamilah manajer handal, yang sudah<br />

belajar lama sekali untuk menuntaskan banyak<br />

pekerjaan.<br />

185


186


<strong>ACCESS</strong><br />

Tim Koalisi<br />

Perju a nga n<br />

187


188<br />

Kesempatan emas hanya dapat dimiliki oleh kita<br />

apabila kita tidak melewatkan kesempatan begitu<br />

saja (Naema Landu Marada)


Mulai Dari Diri Sendiri<br />

Naomi Tamar Pangambang<br />

Setiap orang mendambakan perubahan terjadi dalam kehidupannya. Perubahan itu<br />

tidak pernah datang dengan sendirinya kalau tidak diawali dengan kesiapan kita<br />

untuk mengubah diri sendiri dan orang-orang di sekeliling kita. Perubahan seperti<br />

apa yang hendak kita capai, itu pun kembali kepada pribadi masing-masing dan pada<br />

saat kapan kita ingin memulainya?<br />

Desa atau sebuah wilayah butuh wajah yang baru. Wajah dipelihara dengan baik<br />

sehingga semua orang merasa tertarik melihatnya, membanggakannya dan bahkan<br />

ingin memilikinya. Wajah desa perlu dipoles dengan baik sehingga wajah itu tetap<br />

dikenang oleh siapa saja. Kenyataan yang terjadi selama ini bahwa desa belum<br />

mampu mengubah wajahnya. Wajah lama masih tetap dipertahankan sehingga orang<br />

merasa bosan atau jenuh melihatnya bahkan lupa mengenangnya.<br />

Pembangunan yang ada masih mewarisi kebiasaan atau pola-pola lama dimana<br />

perencanaan pembangunan yang dilakukan biasa-biasa saja. Perencanaan<br />

pembangunan sebelumnya dilakukan setiap tahun tanpa melibatkan semua elemen<br />

masyarakat sehingga banyak program yang hanya berdasarkan keinginan saja bukan<br />

berdasarkan kebutuhan. Banyak program masyarakat yang tidak terjawab.<br />

Kaum perempuan sangat kurang dilibatkan dalam pertemuan apalagi dalam<br />

pengambilan keputusan. Forum-forum pertemuan Lembaga Pemberdayaan<br />

Masyarakat sebagi forum untuk menyusun perencana pembangunan desa tidak<br />

difungsikan sehingga perencanaan tidak terarah dan berkesinambungan. Evaluasi dari<br />

Badan Permusyawaratan Desa tidak pernah jalan secara optimal.Pengelolaan dana<br />

Alokasi Desa (ADD) masih belum transparan kepada masyarakat.<br />

Pemberian bantuan bukan diberikan kepada masyarakat yang betul-betul miskin,<br />

namun masih dipengaruhi oleh hubungan keluarga dan emosional. Tim Penggerak<br />

189


PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) belum berfungsi secara maksimal.<br />

Kondisi ini mengakibatkan pembangunan tidak mempunyai dampak yang berarti bagi<br />

masyarakat, khususnya bagi perempuan dan orang miskin.<br />

Kemudian pada tahun 2010, tepatnya pada bulan Maret, Koalisi Perjuangan yang<br />

terdiri dari 2 lembaga yaitu Wanlip (Wahana Pengembangan Lingkungan dan<br />

Perempuan) dan Yasalti (Yayasan Wali Ati), berkerja sama dengan Pemda Sumba<br />

Timur dan <strong>ACCESS</strong> (Australian Community Development and Civil Society<br />

Strengthening Scheme) Phase II memfasilitasi proses penyusunan Rencana<br />

Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa). Kegiatan ini dilakukan pada 11<br />

desa yang tersebar di dua kecamatan yaitu Kecamatan Wulla Waijilu dan Matawai La<br />

Pawu.<br />

Proses penyusunan RPJM-Desa dimulai dengan melakukan sosialisasi oleh Koalisi<br />

Perjuangan di Desa Katiku Tana Kecamatan Matawai La Pawu. Kegiatan ini dilakukan<br />

pada bulan Maret 2009. Pertemuan ini melibatkan semua unsur yang berkepentingan<br />

di desa dan fasilitator pendamping tingkat kecamatan.<br />

Tahapan dan proses yang dilakukan sangat penting diketahui oleh semua lapisan<br />

masyarakat terutama orang miskin, kaum perempuan, pemuda, dan kaum yang<br />

terpinggirkan lainnya. Pertemuan ini menghasilkan beberapa kesepakatan antara<br />

lain pemilihan Fasilitator Desa (1orang dari unsur Pemerintah desa, 2 orang dari<br />

unsur masyarakat dan 1 orang dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat). Dari unsur<br />

masyarakat 1 orang keterwakilan perempuan.<br />

Selain itu, pada kegiatan sosialisasi ini, Koalisi Perjuangan juga menjelaskan tentang<br />

pentingnya partisipasi dari seluruh warga masyarakat desa, terutama orang<br />

miskin, perempuan, pemuda, dan kaum yang terpinggirkan lainnya dalam program.<br />

Juga, memastikan dukungan dan kontribusi dari lembaga-lembaga di desa untuk<br />

menyukseskan pelaksanaan kegiatan penyusunan RPJM-Desa. Misalnya, pemerintah<br />

desa menyumbangkan biaya konsumsi setiap kali pertemuan dan biaya pengganti<br />

transportasi bagi dua orang fasilitator dari unsur masyarakat. Dana ini diambil dari<br />

dana ADD yang dialokasikan untuk operasional.<br />

Sesuai Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa pada pasal 63<br />

menjelaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun<br />

perencanaan pembangunan desa. Perencanaan pembangunan desa disusun secara<br />

berjangka yang meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-<br />

Desa) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan Rencana Kerja Pembangunan Desa<br />

(RKP-Desa) merupakan penjabaran dari RPJM-Desa untuk jangka waktu 1 (satu)<br />

190


tahun. Sejalan dengan itu, Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan<br />

Pembangunan Desa menegaskan bahwa penyusunan RPJM-Desa dilakukan dalam<br />

forum musyawarah perencanaan pembangunan desa. Peserta forum musrenbang<br />

desa terdiri atas: Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPM-Desa) membantu<br />

pemerintah desa dalam menyusun RPJM-Desa dan RKP-Desa, tokoh masyarakat<br />

dan tokoh agama sebagai nara sumber, Rukun Warga/Rukun Tetangga, Kepala<br />

Dusun, Kepala Kampung, dan warga masyarakat sebagai anggota. Dalam melakukan<br />

perencanaan ini, Koalisi Perjuangan mendampingi Fasilitator Desa (Fasdes) dan LPM<br />

untuk memfasilitasi masyarakat untuk menyusun RPJM-Desa.<br />

Kegiatan penyusunan RPJM-Desa membawa perubahan perilaku masyarakat.<br />

Pendekatan yang partisipatif mendorong masyarakat untuk mengoptimalkan potensipotensi<br />

yang ada. Peran aktif kaum perempuan dalam penyusunan RPJM-Desa sangat<br />

diharapkan.<br />

Kemudian memfasilitasi pembentukan kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam<br />

Kelompok Perempuan. Perubahan yang terjadi dalam diri Fasilitator Desa<br />

berdampak pada masyarakat. Kemampuan Fasdes dalam memfasilitasi masyarakat,<br />

kaum perempuan, orang miskin dan kaum yang terpinggirkan lainnya mendorong<br />

lahirnya kesadaran kritis dan keperpihakan pemerintah desa terhadap orang miskin,<br />

perempuan, dan kelompok terpinggirkan lainnya.Warga juga memiliki kesadaran baru<br />

untuk memanfaatkan sumber daya lokal yang mereka miliki.<br />

Proses pelatihan perencanaandan penganggaran desa yang partisipatif dengan<br />

menggunakan pola pendekatan CLAPP-GSI (Community Learning Action and<br />

Participatory Process-Gender Social Inclusive) dimana proses yang dibangun<br />

partisipatif yang difasilitasi oleh Tim Koalisi Perjuangan melibatkan semua fasilitator<br />

desa dari 11 desa, berjumlah 44 orang (13 perempuan dan 31 laki-laki). Melalui<br />

proses ini, Fasdes betul-betul dilatih dan dibimbing untuk mampu memfasilitasi<br />

kegiatan-kegiatan di desa. Alat-alat kajian atau alat bantu yang digunakan dalam<br />

proses penyusunan RPJM-Desa diperagakan melalui praktek diskusi kelompok.<br />

Saat melakukan proses penyusunan tingkat dusun dan desa, Fasdes menerapkan alatalat<br />

kajian yang telah diperoleh saat pelatihan. Pemetaan aset atau potensi seperti<br />

Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), Finansial (keuangan), Fisik<br />

SaranaPrasarana (FISPRA), dan sosial budaya (SOSBUD).<br />

Penentuan klasi kasi kesejahteraan masyarakat dan ciri pembeda berdasarkan<br />

indikator lokal (miskin, sedang, dan kaya). Menerapkan alat ini tentu sangat tidak<br />

mudah karena butuh ketelitian dan keseriusan sehingga dapat menghasilkan data dan<br />

191


informasi yang jelas dan akurat. Beberapa alat kajian yang digunakan membutuhkan<br />

kreativitas dari fasilitator. Bagaimana menggunakan alat-alat bantu untuk menggali<br />

data dan informasi dari masyarakat.<br />

Hal menarik yang saya rasakan saat pembagian peran masing-masing fasilitator<br />

desa. Saya bisa memfasilitasi dengan baik bahkan membantu peran dari teman lain.<br />

Menjadi fasilitator itu ternyata tidak mudah. Tentu butuh waktu dan proses yang<br />

panjang. Mulai dari diri sendiri merupakan kunci agar memperoleh keberhasilan dan<br />

perubahan.<br />

Masih banyak kekurangan yang saya rasakan. Terkadang saya kurang memberi<br />

kesempatan kepada orang lain untuk menjalankan perannya. Hal ini tentu membuat<br />

saya untuk belajar secara terus menerus serta harus menerima koreksi atau<br />

masukan dari orang lain.<br />

Belajar dan terus belajar itulah yang membantu saya semakin bisa. Kemampuan<br />

berbicara di depan forum mulai muncul. Belajar dari kekurangan dapat<br />

membangkitkan semangat baru untuk mulai melakukan perubahan. Bagaimana<br />

memperjuangkan dan menumbuhkan kepedulian kepada sesama terutama kaum<br />

perempuan.<br />

Kerjasama tim membantu saya untuk lebih memahami tahapan dan proses<br />

penyusunan RPJM-Desa. Sebelum dan sesudah melakukan kegiatan fasilitasi selalu<br />

ada proses persiapan dan re eksi bersama. Pemerintah desa dan lembaga desa<br />

lainnya sudah dapat menilai sendiri tentang tahapan dan proses yang telah dilakukan.<br />

Bagaimana membuat sebuah perencanaan pembangunan desa yang benar-benar<br />

partisipatif dan akuntabel.<br />

Fakta yang terjadi selama ini bahwa pemerintah masih kurang memperhatikan<br />

masyarakat yang betul-betul memang miskin. Ada pernyataan dari pemerintah desa<br />

dan lembaga desa lainnya dimana mereka mengakui bahwa selama ini mereka belum<br />

menjalankan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) dengan baik.<br />

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan desa sudah menunjukkan<br />

perubahan yang signi kan. Perempuan sudah aktif terlibat. Sangat berbeda dengan<br />

kegiatan sebelumnya. Misalnya, diskusi atau pertemuan di tingkat dusun. Kehadiran<br />

warga cukup banyak dengan jumlah perempuan 22 orang dan laki-laki 27 orang.<br />

Masyarakat tidak sekadar hadir dalam pertemuan tetapi sudah bisa menyampaikan<br />

pendapat di forum. Pemerintah desa dan lembaga lainnya juga proaktif selama proses<br />

pertemuan berlangsung.<br />

192


Hal yang lebih menarik lagi yaitu perempuan sudah bisa mempertahankan<br />

pendapatnya tanpa dipengaruhi oleh kaum laki-laki. Keberanian mulai muncul dari<br />

perempuan bahwa sebenarnya mereka bisa. Hanya saja selama ini kesempatan tidak<br />

diberikan kepada mereka. Sehingga mereka tidak terbiasa dan keraguan selalu saja<br />

muncul dalam diri mereka.<br />

Perempuan mampu menjelaskan tentang kondisi awal desa hingga lima tahun ke<br />

depan dan memvisualkannya melalui gambar. Misalnya, mereka menggambar meja,<br />

kursi, kumpulan orang yang melakukan pertemuan dipimpin oleh perempuan sebagai<br />

anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).<br />

Perubahan luar biasa terjadi pada kaum perempuan dan hal ini menjadi kebanggaan<br />

tersendiri bagi desa saya. Dari proses fasilitasi yang kami lakukan ternyata membawa<br />

perubahan bagi masyarakat Desa Katiku Tana. Masyarakat menyadari bahwa kondisi<br />

desa mereka saat ini masih tergolong dalam kategori miskin. Sungguh menyedihkan<br />

memang. Hal inilah yang membuat pemerintah desa merasa senang dengan adanya<br />

hasil klasi kasi kesejahteraan yang telah dihasilkan dimana semua keluarga dalam<br />

desa sudah sangat jelas pada posisi mana mereka berada.<br />

Pada bulan September 2010, saat kegiatan pleno tentang tingkat kesejahteraan<br />

masyarakat tingkat desa yang dilakukan di kantor Desa Katiku Tana dihadiri 46<br />

warga desa (27 laki-laki dan19 perempuan). Diskusi sangat alot dan menegangkan.<br />

Semua warga mempertahankan keberadaan atau status kesejahteraan mereka.<br />

Misalnya ada keluarga yang tingkat kesejahterannya berada pada posisi sedang ingin<br />

menjadi keluarga miskin.<br />

Perumusan visi atau cita-cita atau impian yang diharapkan pada lima tahun<br />

mendatang serta misi atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menjawab impian<br />

tersebut berjalan dengan baik. Prosesnya menarik. Masyarakat menyadari bahwa<br />

proses ini sungguh berarti bagi keberlanjutan program yang akan dilakukan di desa.<br />

Perubahan nyata yang saya bisa lakukan adalah memfasilitasi teman ibu-ibu untuk<br />

membentuk diri dalam kelompok. Kelompok ini terbentuk pada tanggal 18 Mei 2010<br />

di RT Mandoku, RW Tamma, Dusun II, Desa Katiku Tana. Jumlah anggota kelompok<br />

sebanyak 10 orang dengan kegiatan Usaha Bersama Simpan Pinjam Kelompok<br />

Perempuan dan kegiatan Usaha Produktif.<br />

Kelompok menyepakati simpanan pokok sebesar Rp. 50.000,- per anggota dan<br />

simpanan wajib sebesar Rp. 5.000,- per anggota untuk setiap bulan. Peraturanperaturan<br />

disepakati untuk mengikat masing-masing anggota kelompok serta<br />

193


menyepakati jadwal pertemuan rutin yaitu setiap tanggal18 setiap bulannya.<br />

Pengukuhan kelempok akan dilakukan oleh pemerintah desa pada bulan Mei 2011.<br />

Kepala Desa dan fasilitator desa dilibatkan untuk mengikuti pertemuan di kabupaten<br />

untuk menyesuaikan program yang telah di susun di desa dengan programprogram<br />

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kegiatan ini difasilitasi oleh<br />

Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Sekembalinya ke desa, hasilnya<br />

disosialisasikan kepada masyarakat.<br />

Sebelumnya, saya mempunyai pengalaman bergabung dengan Yayasan Tananua pada<br />

tahun 1998 hingga 2000, dalam Program Penanggulangan Rawan Pangan. Program ini<br />

bekerja sama dengan CRS (Catholic Relief Services). Saat itu, saya menjadi Petugas<br />

Lapangan (PL) di Desa Makamenggit, Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur.<br />

Makamenggit menjadi salah satu desa sasaran program karena di desa itu terjadi<br />

wabah belalang yang paling ganas di seluruh Sumba.<br />

Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Apakah saya mampu<br />

melakukan tugas ini? Berhadapan dengan masyarakat yang berbeda karakter dimana<br />

lembaga mengharuskan saya untuk tinggal di desa. Penyesuian dengan masyarakat<br />

ternyata butuh waktu dan bukan hal yang mudah. Perasaan minder dan malu selalu<br />

menghantui saya.<br />

Sosialisasi mulai dilakukan di masing-masing wilayah di dalam desa itu. Namun<br />

saya terbantu karena ada petani yang bisa membagi pengalamannya dan bersamasama<br />

memfasilitasi pertemuan. Ia selalu memberikan saran kepada saya dari cara<br />

memfasilitasi dan menanggapi hasil diskusi. Banyak hal menarik yang membangkitkan<br />

semangat juang saya untuk menciptakan perubahan. Penyesuaian diri dengan<br />

masyarakat butuh waktu, kesabaran serta kepercayaan diri yang akan melahirkan<br />

siapa kita sesungguhnya. Kadang-kadang banyak kekecewaan yang dialami tapi<br />

semangat tidak akan pernah pudar selagi masih ada kemauan untuk membenahi diri.<br />

Ternyata mendampingi masyarakat desa bukanlah hal yang mudah. Apalagi saya<br />

sebagai seorang perempuan harus mengelilingi 23 RT, 11 RW, dan 4 Dusun. Yang<br />

kebanyakan saya tempuh dengan berjalan kaki.<br />

Kegiatan yang dilakukan adalah penanaman 200 pohon anakan kemiri oleh masingmasing<br />

kepala keluarga, yang harus dipantau setiap bulannya. Kegiatan ini dilakukan<br />

untuk menanggulangi rawan pangan karena hama belalang. Untuk memotivasi<br />

masyarakat maka setiap bulannya setiap Kepala Keluarga mendapat beras 50 kg<br />

selama 1 tahun.<br />

194


Di desa inilah saya belajar hidup mandiri, mawas diri, siap dikoreksi oleh masyarakat<br />

dan menumbuhkan kepercayaan diri dalam memfasilitasi pertemuan-pertemuan di<br />

desa. Saya mengakui masyarakat adalah “guru”, yang artinya banyak ilmu pengetahuan<br />

yang mereka miliki yang bisa mereka ajarkan melalui kegiatan di kebun. Ada banyak<br />

pertanyaan-pertanyaan kritis yang mereka lontarkan saat pertemuan.<br />

Sering kali muncul pertanyaan dalam diri saya? Mengapa saya bisa terpanggil untuk<br />

melayani masyarakat? Kapan saya harus mengakhiri pelayanan ini? Yang hanya<br />

membuat saya kecewa dan putus asa! Sesaat saya merenung dengan pikiran yang<br />

kosong! Begitu sulit bagi saya untuk menemukan jawabannya.<br />

Hari demi hari saya lalui dengan penuh kehati-hatian hingga saya menemukan jati<br />

diri saya kembali melalui kegiatan yang melibatkan saya sebagai Ketua Kelompok<br />

Usaha Bersama Simpan Pinjam Kelompok Perempuan di Desa Karipi, tempat saya<br />

dilahirkan. Saya menjabat sebagai ketua kelompok selama kurang-lebih 1 tahun<br />

anggaran. Disinilah saya kembali bangkit untuk mengimplementasikan apa yang<br />

pernah saya peroleh bersama bekerja di LSM Yayasan Tananua. Saya bisa memfasilitasi<br />

kelompok tanpa dampingan dari fasilitator kecamatan.<br />

Selain saya bisa memfasilitasi, saya juga bisa mengerjakan administrasi keuangan<br />

kelompok dan mampu membuat rencana kerja bulanan kelompok, dan bahkan<br />

rencana tahunan kelompok yang dievaluasi setiap 3 bulan. Untuk memperkaya<br />

pengetahuan, saya selalu melibatkan diri dalam pelatihan-pelatihan yang difasilitasi<br />

oleh fasilitator kecamatan. Juga, saya sering mengikuti pertemuan di kabupaten<br />

sebagai utusan dari kelompok untuk mengevaluasi kegiatan yang difasilitasi oleh<br />

Fasilitator (Program Daerah) khusus Badan Bimbingan Masyarakat (Bimas).<br />

Anggota kelompok kami berjumlah 20 orang. Kegiatannya Usaha Bersama Simpan<br />

Pinjam dan Usaha-Usaha Produktif. Kelompok tersebut masih jalan hingga saat<br />

ini. Tahun 2010, kelompok mendapat suntikan modal dari Program Nasional<br />

Perberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP). Jumlah modal yang<br />

diperoleh sebesar Rp.10.000.000,- yang jangka pengembaliannya selama 1 tahun.<br />

Sistem angsurannya, cicilan pokok setiap bulan dengan bunga tetap 1,5%. Jumlah<br />

pokok dan bunga yang harus diangsur setiap bulan sebesar Rp. 983.500,-.<br />

Pada tahun 2006 saya dipercaya sebagai sekretaris di Posyandu Namu Angu. Saya<br />

dihadapkan dengan tugas administrasi kader yang mencakup bayi, balita, wanita usia<br />

subur, pasangan usia subur, ibu menyusui serta ibu hamil. Data-data ini harus kami<br />

miliki di tingkat kader sebagai acuan untuk melakukan kegiatan penimbangan yang<br />

dilaksanakan setiap bulan.<br />

195


Penyuluhan di Posyandu secara bergilir kami lakukan dengan teman-teman kader.<br />

Sistem 5 meja kami jalankan setiap ada kegiatan Posyandu (Meja I: pendaftaran, Meja<br />

II: penimbangan, Meja III: pengisian KMS, Meja IV: penyuluhan, dan Meja V: pelayanan<br />

kesehatan). Penyuluhan menjadi satu kegiatan yang dilakukan setiap bulan, terutama<br />

tentang kesehatan. Misalnya, pemanfaatan pekarangan untuk menanam sayur-sayuran<br />

dan tanaman buah yang mengandung nilai gizi yang berdampak pada berat badan bayi<br />

dan balita akan naik.<br />

Keluarga Berencana (KB) menjadi topik yang tak kalah pentingnya dengan materi<br />

penyuluhan lain. Banyak orang menyalahartikan KB. Padahal tujuannya hanya menjaga<br />

jarak kelahiran anak dan mengurangi risiko bagi ibu bila sudah sering kali melahirkan.<br />

Kesadaran dari ibu-ibu sudah mulai nampak untuk mengikuti Program KB tanpa<br />

dipaksa oleh pihak lain.<br />

Hal lain yang membuat saya senang dan semakin bersemangat adalah Posyandu.<br />

Posyandu kami menjadi juara 1 di tingkat kecamatan dari kegiatan lomba yang<br />

difasilitasi oleh Dinas Kesehatan bersama Puskesmas. Tim juri diambil dari staf<br />

kecamatan khusus Kepala Seksi Pemberdayaan. Keberhasilan ini bukan hanya hasil<br />

usaha kader saja, tetapi atas dukungan dari masyarakat di dusun kami karena wilayah<br />

ini termasuk wilayah terpencil dari sarana transportasi dan komunikasi.<br />

Keberhasilan-keberhasilan inilah yang membangkitkan semangat dan keseriusan saya<br />

serta lebih percaya diri akan apa yang saya lakukan dan semakin termotivasi untuk<br />

melakukan perubahan mulai dari diri dan kemudian di tingkat desa.<br />

Pengalaman saya dengan teman-teman di Koalisi Perjuangan semakin menggugah<br />

saya untuk tetap berkomitmen melakukan perubahan di masyarakat desa. Bahkan<br />

mempengaruhi pihak-pihak pengambil kebijakan di tingkat desa untuk lebih<br />

mengutamakan masyarakat miskin, perempuan, kaum pemuda serta kaum yang<br />

selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan pihak lain. Karena kami<br />

percaya bahwa perubahan itu hanya bisa terjadi kalau dilakukan oleh warga sendiri.<br />

196


Tentang Kerja Seorang Fasilitator Desa<br />

Yakub Radamuri<br />

Proses penyusunan perencanaan pembangunan desa di 2 kecamatan yaitu Kecamatan<br />

Wulla Waijilu dan Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur, selama<br />

ini telah berjalan tetapi belum melibatkan masyarakat secara utuh sehingga usulanusulan<br />

kegiatan masih banyak yang bersifat keinginan bukan kebutuhan masyarakat<br />

dan tidak tepat pada sasaran. Meskipun telah banyak dan bahkan sangat banyak dana<br />

yang telah diberikan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah kepada<br />

desa, tetapi kemiskinan tetap ada. Fenomena ini menyisakan banyak pertanyaan, di<br />

antaranya, ”Kemana dana yang begitu besar yang telah diberikan pemerintah untuk<br />

desa? Jika sudah diserap oleh masyarakat kenapa tidak ada yang berubah? Apakah<br />

sistem perencanaan pembangunan yang salah?”<br />

Desa membutuhkan perubahan dan desa membutuhkan perencanaan pembangunan<br />

yang matang dan terarah serta tepat sasaran. Selain itu, desa juga membutuhkan<br />

kader-kader desa yang mampu melakukan perubahan pada desa mereka sehingga<br />

juga dapat membantu pemerintah melakukan perubahan pada pola perencanaan<br />

dan pelaksaan pembangunan maupun perubahan pola pikir masyarakat untuk dapat<br />

memahami pentingnya pembangunan, memahami begitu banyak potensi di desa yang<br />

dapat digunakan untuk membangun desa.<br />

<strong>ACCESS</strong> bersama mitra LSM di Kabupaten Sumba Timur yaitu Yasalti dan Wanlip<br />

yang tergabung dalam Koalisi membuat terobosan untuk menyusunan Rencana<br />

Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa) secara partisipatif dan<br />

berkualitas.<br />

RPJM-Desa memuat gambaran umum yang mencakup segala aspek yang<br />

berpengaruh terhadap kondisi masa lalu dan kini serta harapan masa yang akan<br />

datang dari, oleh dan untuk masyarakat desa. Dan juga memuat daftar usulan<br />

kegiatan tidak lagi bersifat keinginan tetapi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat<br />

197


desa sesungguhnya, tujuan, sasaran, target pembangunan yang lebih jelas dan<br />

terperinci atau detil yang dilengkapi dengan indikator sukses.<br />

Sesuai dengan amanat PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa pada pasal 63 dan<br />

Permendagri No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa<br />

menegaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa maka desa<br />

wajib menyusun perencanaan pembangunan yang mencakup Rencana Pembangunan<br />

Jangka Menengah Desa (RPJM-Desa) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan Rencana<br />

Kerja Pemerintah Desa (RKP-Desa) yang merupakan penjabaran dari RPJM-Desa<br />

untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Secara operasional, sesuai dengan Permendagri<br />

No. 66 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Desa, maka dipandang perlu<br />

bagi desa untuk membuat tim yang memfasilitasi proses penyusunan perencanaan<br />

tersebut. Salah anggota tim adalah Fasilitator Desa.<br />

Menjadi penggerak pembangunan atau Fasilitator Desa merupakan hal yang tidak<br />

mudah karena membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan. Semua orang bisa<br />

menjadi fasilitator, misalnya memimpin sebuah pertemuan kecil di tingkat desa<br />

atau di tingkat kelompok. Namun menjadi Fasilitator untuk memfasilitasi proses<br />

penyusunan RPJM-Desa sangat membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang<br />

lebih spesi k/khusus sehingga dapat mencapai hasil yang baik.<br />

Pada bulan Maret 2010, Kolaborasi Perjuangan memfasilitasi 11 desa untuk<br />

melakukan pemilihan Fasilitator Desa (Fasdes). Jumlah Fasdes yang dipilih sebanyak<br />

4 orang per desa. Pemilihan Fasdes dilakukan secara demokratis oleh warga desa.<br />

Kriteria komposisi Fasdes yaitu harus ada keterwakilan perempuan, keterwakilan<br />

masyarakat, unsur pemerintah desa dan unsur Lembaga Pemberdayaan Masyarakat<br />

(LPM). Mereka mau bekerja keras dan tanpa pamrih untuk membangun desa. Setelah<br />

perekrutan Fasdes, maka mereka diberi pelatihan-pelatihan penguatan kapasitas<br />

seperti pelatihan metodologi perencanaan dan penganggaran pembangunan desa,<br />

teknik fasilitasi, pengorganisasian, advokasi, dan lain-lain.<br />

Pada bulan April 2010, Tim Koalisi Perjuangan memberi pelatihan bagi seluruh<br />

Fasilitator Desa yang berjumlah 44 Orang (12 perempuan dan 32 laki-laki)<br />

tentang metodologi perencanaan desa yang partisipatif yang disebut CLAPP-GSI<br />

(Community LearningAction Participatory Process-Gender Social Inclusive). Proses<br />

pelatihan itu berjalan dengan unik dimana para Fasilitator Desa betul-betul dibimbing<br />

dan dilatih dengan teknik fasilitasi yang berbeda dari biasanya yaitu menggunakan<br />

teknik fasilitasi vibran dan pendekatan berbasis aset. Teknik ini berhasil meningkatkan<br />

antusiasme, kreativitas, rasa percaya diri, citra positif dan keyakinan peserta untuk<br />

dapat memfasitasi kegiatan-kegiatan di tingkat desa secara lebih menarik dan hidup.<br />

198


Semangat para peserta terus-menerus dibakar sehingga ketika mereka kembali ke<br />

desa masing-masing, semangat para fasilitator desa tetap berkobar-kobar dan tidak<br />

akan pernah redup.<br />

Pada bulan Mei 2010, ibarat Para Taruna Tentara yang telah menyelesaikan masa<br />

pendidikannya dan akan turun ke medan laga, para Fasilitator Desa kembali ke<br />

desa masing-masing dan siap untuk berkarya serta berjuang menggerakkan roda<br />

pembangunan desa bersama pemerintahan desa dengan membawa bekal pelatihan<br />

yang telah diterima.Tetapi sejuta rasa berkecamuk di dalam benak para peserta,<br />

sebuah pertanyaan selalu menghantui pikiran mereka, “Mampukah saya?”<br />

Pada tahap inilah para Fasilitator Desa benar-benar diuji yakni ketika berhadapan<br />

dengan masyarakat. Perasaan mereka mungkin sama dengan perasaan para pejuang<br />

45 saat menghadapi tentara Belanda yang bersenjata lengkap. Jantung yang berdebardebar<br />

dag dig dug, seperti ada palu besar menghantam tulang dada, peluh keringat<br />

sebesar biji jagung membasahi wajah, seluruh tubuh rasanya seperti tak bertulang.<br />

Tetapi dorongan untuk membangun desa, juga dukungan sesama teman Fasilitator<br />

Desa dan Fasilitator Pendukung dari Tim Koalisi serta persiapan tim yang mantap<br />

menjadi senjata ampuh untuk membangkitkan rasa percaya diri Fasilitator Desa.<br />

Memang masih banyak kekurangan dan kelemahan yang harus terus dibenahi dan<br />

butuh perbaikan. Hal itu mendorong fasilitator desa untuk terus belajar, bere eksi<br />

dan beraksi. Fasiltator Desa sudah mulai berkarya dan berjuang untuk pembangunan<br />

desa tercinta.<br />

Proses penyusunan RPJM-Desa diawali dengan pengumpulan data dan informasi<br />

melalui 2 tahap yaitu Identi kasi Kondisi Umum Desa dan Kajian Mendalam dengan<br />

menggunakan ± 10 alat kajian yang beberapa diantaranya diuraikan berikut ini.<br />

Pertama, Klasi kasi Kesejahteraan. Alat ini membantu untuk menggali informasi<br />

tentang tingkat kesejahteraan masyarakat yang dinilai berdasarkan aspek dan ciri<br />

pembeda sebagai ukuran. Kemudian menentukan secara bersama pembobotan<br />

dari setiap aspek/indikator dan ciri pembeda dan hasil kesepakatan tersebut<br />

menjadi dasar utama untuk melakukan sensus rumah tangga. Selanjutnya dilakukan<br />

penyempurnaan peta sosial berdasarkan sebaran klasi kasi kesejahteraan yang sudah<br />

dihasilkan.<br />

Kedua, Kalander Musim. Alat ini dipakai untuk menggali informasi terkait keadaan<br />

iklim dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat di desa pada musimmusim<br />

tertentu. Informasi tersebut dibuat dalam bentuk gambar.<br />

199


Ketiga, Diagram Kelembagaan. Alat ini berfungsi untuk mengidenti kasi lembagalembaga<br />

yang ada di desa baik lembaga formal dan nonformal serta manfaat dari<br />

lembaga-lembaga tersebut yang dirasakan menurut masyarakat serta hubungan<br />

kedekatan yang dibangun oleh lembaga-lembaga tersebut terhadap orang miskin,<br />

perempuan, kaum pemuda dan kaum marginal lainnya.<br />

Keempat, Alur Sejarah Desa. Alat ini dipakai untuk menggali informasi tentang<br />

sejarah dan perkembangan desa serta keberhasilan/kesuksesan desa sejak didirikan<br />

hingga saat ini.<br />

Kelima, Pentagonal Asset. Alat ini dipakai untuk melakukan pemetaan terhadap assetasset<br />

yang dimiliki warga, komunitas, dan desa. Pemetaan asset ini mencakup lima<br />

aspek yaitu SDA, SDM, Fisik Sarana Prasarana, Sosial Politik dan Keuangan (Financial).<br />

Dalam pemetaan ini juga termasuk menggali informasi tentang pengelolaan assset<br />

termasuk asset-asset yang belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal.<br />

Keenam, Sumber dan Kajian Mata Pencaharian. Alat ini dipakai untuk mengetahui<br />

proporsi mata pencaharian utama dan sampingan penduduk desa dan kemudian<br />

melakukan analisis dari masing- masing sumber mata pencaharian tersebut.<br />

Ketujuh, Distribusi Pendapatan dan Pengeluaran/100 Sheets. Alat ini dipakai untuk<br />

melihat perolehan pendapatan yang dikontribusikan/di<strong>sumba</strong>ngkan oleh semua<br />

anggota keluarga serta pengunaan dari pendapatan dalam rumah tangga tersebut.<br />

Kedelapan, Pemetaan Proyek. Alat ini dipakai untuk mengidenti kasi proyek-proyek<br />

yang masuk ke desa, akses dan kontrol warga dan pemerintah desa terhadap<br />

sumberdaya-sumberdaya yang ada, bagaimana sumber daya yang ada dapat<br />

dimanfaatkan dan bermanfaat bagi warga masyarakat.<br />

Semua data dan informasi di atas akan menjadi acuan bagi desa dalam proses<br />

penyusunan RPJM-Desa selanjutnya. Proses penggalian data dan infromasi ini<br />

dilakukan dari tingkat keluarga, kelompok, dusun hingga desa. Proses ini difasilitasi<br />

oleh Fasdes. Fasilitator Pendukung dari Tim Koalisi memastikan agar prosesnya<br />

partisipatif dan hasilnya berkualitas. Artinya, semua warga dan pemerintah desa<br />

harus terlibat dalam proses ini. Data dan informasi yang dikumpulkan harus akurat<br />

dan dapat dipertanggungjawabkan. Proses ini cukup panjang dan melelahkan. Tetapi<br />

Fasilitator desa menerimanya sebagai bagian dari tanggung jawabnya.<br />

Proses selanjutnya adalah penyusunan perencanaan desa yang partsipatif. Proses<br />

ini dimulai dengan pemaparan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah<br />

200


Daerah) Kabupaten Sumba Timur. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan visi,<br />

misi, isu strategis, tindakan strategis dan indikator-indikator pencapaian. Hasilhasilnya<br />

kemudian dikonsolidasi untuk penulisan RPJM-Desa dan RKP-Desa.<br />

Penyusunan visi diawali dengan memaparkan hasil visioning, serta beberapa<br />

hasil kajian mendalam, serta meminta pemerintah desa untuk menuliskan dan<br />

menyampaikan visi Kepala Desa (visi desa) yang disampaikan pada saat pemilihan<br />

kepala desa. Bagi Desa yang telah memiliki visi desa, proses selanjutnya adalah<br />

mereview visi tersebut dengan membandingkan hasil visioning. Sehingga dari hasil<br />

visioning masyarakat dapat membandingkan dengan visi desanya, dan kemudian<br />

melakukan penyesuaian dan merumuskan secara bersama.<br />

Setelah merumuskan visi, dilanjutkan dengan memberikan ukuran terhadap katakata<br />

kunci, diplenokan dan setelah disepakati dilanjutkan dengan diskusi kelompok<br />

untuk merumuskan misi dan indikator misi per bidang, isu stretagis, tujuan strategis,<br />

indikator tujuan dan tindakan strategis.<br />

Untuk mempermudah masyarakat dalam proses diskusi, maka metode diskusi<br />

dilakukan dengan pembagian kelompok sesuai bidang/sektor, dan orang-orang yang<br />

merupakan anggota kelompok dalam setiap bidang telah diidenti kasi selama proses<br />

sebelumnya tentang keahlian yang dimilikinya. Keahlian setiap warga masyarakat<br />

dalam bidang tertentu didasarkan pada hasil pemantauan Fasilitator Desa dan<br />

Fasilitator Pendukung selama proses diskusi dan FGD (Focused Group Discussion)<br />

atau diskusi kelompok terfokus.<br />

Setelah itu dilanjutkan dengan penyusunan dan penjabaran indikator 5 tahun ke<br />

dalam target tahunan dari masing–masing bidang. Hal penting dalam penjabaran<br />

indikator ke dalam target tahunan adalah memperhatikan tingkat pengaruh dan<br />

sifat dari kegiatan utama yang mempercepat peningkatan pendapatan, mempercepat<br />

penurunan angka kemiskinan, mempercepat peningkatan kualitas sumber daya<br />

manusia, dan lain-lain.<br />

Kemudian dilanjutkan dengan menyusun RKP-Desa. Penyusunan RKP-Desa harus<br />

memperhatikan konsistensi dari visi, misi, isu strategis, penjabaran indikator tahun<br />

pertama. Hal seperti itulah yang diutamakan dengan memperhatikan RKP-Desa<br />

yang telah dibuat oleh desa untuk tahun 2010 untuk Tahun 2011, karena RKP-Desa<br />

itu telah disampaikan ke tingkat kecamatan dan diteruskan kepada SKPD lainnya di<br />

tingkat Kabupaten. Namun juga tetap mengutamakan konsistensi dimana hasil kajian<br />

juga adalah sangat penting karena merupakan kebutuhan orang miskin, perempuan,<br />

kaum pemuda dan kaum marginal lainnya.<br />

201


Setelah perencanaan program dilaksanakan oleh masyarakat, kemudian dilanjutkan<br />

dengan penyusunan penganggaran desa yang partisipatif atau Rancangan Anggaran<br />

Pendapatan dan Belanja Desa (RAPB-Desa). Di dalam penyusunan ini menggunakan<br />

Standar harga Pemda tahun 2010. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat belajar dan<br />

mulai membuat usulan anggaran yang konsisten sesuai dengan standar harga yang<br />

ada dan juga tidak menghasilkan rencana yang tidak sesuai dengan perencanaan<br />

masyarakat.<br />

Hasil kerja kelompok-kelompok ini selanjutnya diplenokan untuk membangun<br />

komitmen berbagai pihak dan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Para<br />

peserta yang hadir memberi masukan sesuai dengan Tupoksi masing-masing dalam<br />

mendukung perencanaan desa yang sudah dihasilkan secara partisipatif.<br />

Setelah mendapatkan masukan dari berbagai SKPD, para pihak yang hadir bahkan<br />

dari masyarakat sendiri, pada bulan April 2011, dilanjutkan dengan kegiatan<br />

workshop di Kabupaten dengan tujuan: Pertama, untuk menyampaikan hasil-hasil<br />

RPJM-Desa dan RKP-Desa kepada para stakeholder. Sehingga masing-masing dinas/<br />

kantor/badan dapat langsung mendukung rencana kerja pemerintah desa melalui<br />

program dinas/kantor/badan tersebut. Kedua, menyebarluaskan hasil RPJM-Desa<br />

kepada publik yang lebih luas sehingga program-program yang akan bekerja di<br />

desa merujuk pada RPJM-Desa. Semua data dan informasi ini dibuat dalam sebuah<br />

dokumen perencanaan ”Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa”/<br />

RPJM-Desa Tahun Anggaran 2011 – 2016.<br />

Dapat kita bayangkan betapa rumit dan panjangnya proses penyusunan RPJM-<br />

Desa. Oleh karena itu, desa sangat membutuhkan fasilitator yang tangguh dan<br />

tahan banting, yang benar-benar bekerja dari hati yang terdalam dan sepenuh<br />

hati, mau berkarya dan rela atau mau menempatkan kepentingan umum di atas<br />

kepentingan pribadi atau golongan serta mau mengorbankan waktu dan tenaga demi<br />

pembangunan desa tercinta.<br />

Fasilitator Desa sangat perlu dibuatkan SK (Surat Keputusan) pengangkatan oleh<br />

Pemerintah Desa sehingga dalam perjuangannya mempunyai dasar hukum yang<br />

menjadi kekuatan dan keabsahannya atas keberadaannya di desa. Fasilitator Desa<br />

juga sangat perlu mendapat perhatian pemerintah karena mereka merupakan<br />

mitra langsung pemerintah desa dalam proses perencanaan dan penganggaran<br />

pembangunan, termasuk pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Keberhasilan<br />

pembangunan desa dapat dicapai apabila direncanakan dengan baik, dikelola secara<br />

baik dan diawasi oleh semua masyarakat, dipelihara dan dikembangkan dengan baik.<br />

202


Perjuangan pembangunan baru dimulai dan harus terus berjalan. Masih banyak<br />

pekerjaan dan tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan. Karya-karya terbaik,<br />

kerja keras, semangat juang yang tinggi, dukungan masyarakat, pemerintah dan<br />

LSM masih terus dan sangat dibutuhkan demi tercapainya cita-cita bersama yaitu<br />

terciptanya Masyarakat Sumba Timur yang sejatera, mandiri, adil, religius dan<br />

terdepan. Majulah Fasilitator Desa. Majulah desaku tercinta. Majulah Sumba Timurku.<br />

Majulah Bangsa Indonesiaku! Selamat berkarya para Fasilitator Desa!<br />

Menjadi Fasilitator Desa membutuhkan<br />

pengetahuan dan ketrampilanuntuk dapat<br />

mencapai hasil yang baik.<br />

203


204<br />

Emas Dapat Dibeli, Kesempatan Emas<br />

Sulit Dibeli<br />

Naema Landu Marada<br />

Emas dan perak serta harta lainnya dapat dibeli oleh siapa saja yang membutuhkan<br />

serta memiliki uang yang cukup untuk membelinya, namun siapa yang bilang kalau<br />

kesempatan emas dapat dibeli pula? Sebuah kesempatan emas hanya dapat dimiliki<br />

oleh kita apabila kita tidak melewatkan kesempatan begitu saja.<br />

Ungkapan di atas sangat cocok dan tepat untuk menggambarkan tentang kehidupan<br />

saya saat ini. Saya berasal dari keluarga petani di Desa Pabera Manera, Kecamatan<br />

Paberiwai, Kabupaten Sumba Timur. Siapa menyangka saya bisa menjadi seorang<br />

fasilitator?<br />

Semenjak kecil ketika saya bersekolah dari SD hingga SMA, saya tidak pernah<br />

membayangkan akan terjadi suatu hal yang luar biasa dalam hidup saya. Berbekal<br />

pendidikan tamatan SMA saja tentu membuat saya nyaris putus asa tentang sebuah<br />

pekerjaan yang baik dan layak, yang dapat mengubah hidup saya ke arah yang lebih<br />

baik.<br />

Namun, ternyata ada sebuah anugerah besar terjadi dalam kehidupan saya. Pada<br />

tahun 1997, ketika saya baru seminggu meninggalkan bangku pendidikan karena<br />

sudah lulus dan saya kembali ke kampung halaman, dengan harapan saya bisa<br />

membantu orang tua mencari biaya untuk melanjutkan pendidikan saya ke jenjang<br />

yang lebih tinggi. Harapan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi<br />

ternyata tidak dapat saya capai karena pada bulan Desember 1997, saya mendapat<br />

tawaran dari seorang Petugas Lapangan Yayasan Tananua Sumba Timur untuk<br />

mengikuti kegiatan pertemuan petani di Desa Malimada, Kecamatan Wejewa Timur,<br />

Kabupaten Sumba Barat.<br />

Tawaran dan kesempatan tersebut saya terima dan saya mengikuti kegiatan<br />

pertemuan petani selama 4 hari. Teman-teman dari Yayasan Tananua memberikan


kesempatan kepada saya untuk menjadi moderator dan notulen pada saat<br />

pelaksanaan kegiatan diskusi kelompok dan kunjungan ke lapangan atau kebun petani.<br />

Dari situlah saya mulai belajar tentang bagaimana memfasilitasi sebuah kegiatan<br />

pertemuan.<br />

Setelah kembali ke desa, saya diminta oleh Kepala Sekolah SD Yapriks Mau Maru<br />

untuk membantu mengajar di SD tersebut, dengan modal ijasah SMA yang saya<br />

miliki. Saya bersedia membantu mengajar, namun naluri saya berkata lain bahwa saya<br />

merasa kurang nyaman melakukan pekerjaan tersebut sehingga pada akhirnya saya<br />

memutuskan hanya membantu mengajar selama 6 bulan.<br />

Setelah saya memutuskan untuk tidak mengajar di sekolah, saya memanfaatkan<br />

hari-hari saya yang kosong untuk membantu orang tua. Sejalan dengan itu, khayalan<br />

tentang sebuah pekerjaan yang dapat memberiku kehidupan yang lebih layak selalu<br />

terngiang dalam benak saya. Bahkan, dia muncul dalam mimpi tidur malamku.<br />

Harapan dan rasa putus asa menjadi bercampur aduk karena ketidakjelasan untuk<br />

melanjutkan sekolah. Ketidakjelasan ini karena keterbatasan ekonomi keluarga.<br />

Pada tahun 1998, Yayasan Tananua kembali menemui saya untuk meminta kesediaan<br />

saya menjadi Petani Pemandu (PP) di Desa Pabera Manera menggantikan teman<br />

yang akan pindah tugas ke tempat lain. Awalnya, saya tidak mau menerima tawaran<br />

tersebut dengan alasan bahwa saya masih mau melanjutkan pendidikan. Di<br />

samping itu, saya merasa kurang percaya diri untuk menjalankan tugas itu karena<br />

pengetahuan dan ketrampilan yang saya miliki belum cukup memadai. Akan tetapi,<br />

berkat dorongan orangtua saya, akhirnya saya menerima tawaran tersebut. Saya<br />

menjalani tugas untuk mendampingi kelompok selama dua tahun.<br />

Setelah saya berhenti dari Petani Pemandu, teman-teman Yayasan Tananua kembali<br />

meminta saya untuk menjadi Petugas Lapangan menangani Program Pertanian<br />

Berkelanjutan selama 5 tahun, yaitu dari tahun 2000 hingga 2005. Waktu dimana<br />

saya bergabung dengan Yayasan Tananua merupakan titik awal bagi saya untuk belajar<br />

menjadi seorang fasilitator atau pendamping masyarakat di tingkat kelompok dan<br />

desa. Pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang saya peroleh selama bekerja<br />

di Yayasan Tananua merupakan modal dasar bagi saya dalam pengembangan diri dan<br />

karir saya seterusnya terutama dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Saya merasa<br />

yakin bahwa ternyata pendidikan yang sesungguhnya adalah belajar dari masyarakat.<br />

Bekerja bersama dan untuk masyarakat ternyata mendatangkan keberuntungan yang<br />

tidak pernah berhenti bagi saya. Betapa tidak! Pada tahun 2008, saya ditawarkan<br />

untuk memfasilitasi proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah<br />

205


Desa (RPJM-Desa) di Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, sebuah<br />

program kerjasama <strong>ACCESS</strong> Phase I dengan Mitra Samya dan LSM lokal.<br />

Pada tahun itu, kami mendirikan perkumpulan sendiri, dengan nama Wahana<br />

Pengembangan Lingkungan dan Perempuan (Wanlip) dengan jumlah staf 4 orang<br />

perempuan dan teman-teman memberikan kepercayaan kepada saya menjadi<br />

Sekretaris Perkumpulan, selain saya juga memfasilitasi kegiatan di desa. Ketika saya<br />

bergabung dengan Wanlip, saya memfasilitasi RPJM-Desa Kesehatan Ibu Bayi Baru<br />

Lahir dan Anak (KIBBLA), sebuah program kerjasama AIPH-MNH (Australian<br />

Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health) dengan Wanlip. Kami<br />

melakukan survey keluhan pelanggan Rumah Sakit Umum (RSU Umbu Rara Meha).<br />

Sekarang, dalam Tim Koalisi, saya memfasilitasi penyusunan RPJM-Desa di Kecamatan<br />

Matawai La Pawu, sebuah program kerjasama <strong>ACCESS</strong> dengan Koalisi Perjuangan<br />

(Yayasan Wali Ati/Yasalti dan Wahana Pengembangan Lingkungan dan Perempuan/<br />

Wanlip).<br />

Sejak saya bersama kawan-kawan seperjuangan di Koalisi Perjuangan mendapat<br />

kepercayaan dari <strong>ACCESS</strong> dan Pemda Sumba Timur untuk membantu memfasilitasi<br />

kegiatan penyusunan RPJM-Desa, tentunya tidak luput dari sejumlah tantangan<br />

yang harus kami carikan solusi atau jalan keluarnya. Misalnya, keberadaan tim kami<br />

yang berasal dari dua lembaga yang berbeda dengan latar belakang pendidikan dan<br />

pengalaman yang berbeda, tentunya bukan hal yang gampang untuk menyatukan<br />

pemahaman yang sama. Bagaimana memastikan semua anggota tim menguasai<br />

program, nilai-nilai, pendekatan-pendekatan dan instrumen-instrumen yang<br />

digunakan dalam proses penyusunan RPJM-Desa. Bagaimana caranya meyakinkan<br />

pemerintahan desa dan warga masyarakat desa tentang pentingnya memiliki<br />

dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan desa yang bermutu. Dan<br />

juga bagaimana caranya mempengaruhi pembuat kebijakan, bagaimana menjalin<br />

hubungan kerjasama yang baik dengan stakeholders atau pihak lainnya. Tidak hanya<br />

itu. Kondisi geogra s dan sarana tranportasi yang sulit juga menambah tantangan<br />

bagi kami dalam melaksanakan program ini. Kami harus melewati medan yang cukup<br />

berat, jalan rusak dan harus berjalan kaki sepanjang 8-10 kilo meter. Kami harus<br />

meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama untuk memfasilitasi kegiatan di<br />

tingkat dusun, desa dan kecamatan hingga kabupaten.<br />

Semua masalah atau kendala di atas tidak akan pernah selesai kalau tidak diselesaikan<br />

atau dicarikan solusinya. Kami melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah–<br />

masalah yang kami rasakan.<br />

Menjadikan pengalaman sebelumnya sebagai guru, belajar dari sebuah keberhasilan,<br />

206


mengikuti berbagai kegiatan penguatan kapasitas seperti pelatihan metodologi<br />

CLAPP – GSI untuk penyusunan perencanaan dan penganggaran yang partisipatif,<br />

TOF gender laki-laki, pelatihan pengorganisasian masyarakat, pelatihan fasilitasi<br />

vibran (AI/ABA), lokakarya monitoring, evaluasi dan pembelajaran. Juga melakukan<br />

sharing bersama untuk berbagi informasi satu dengan yang lainnya, membangun<br />

komitmen serta menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan pemerintah<br />

kabupaten, pemerintah kecamatan, pemerintah desa dan lembaga-lembaga<br />

desa lainnya, warga masyarakat desa serta stakeholders lainnya. Komitmen dan<br />

semangat belajar yang tinggi merupakan motivasi bagi kami untuk terus mencari<br />

tahu dan melakukan sesuatu yang belum pernah kami lakukan dan ketahui<br />

sebelumnya, mendorong dan melakukan pendekatan berbasis aset atau kekuatan<br />

serta pendekatan secara kekeluargaan (memfasilitasi atau berkomunikasi dengan<br />

menggunakan bahasa lokal, dan melakukan kunjungan rumah).<br />

Komitmen dan semangat belajar yang tinggi memacu saya dan kawan-kawan<br />

seperjuangan di Koalisi Perjuangan untuk memfasilitasi kegiatan penyusunan RPJM-<br />

Desa di Kabupaten Sumba Timur dengan jumlah kecamatan yang kami dampingi<br />

sebanyak dua kecamatan yakni Kecamatan Wulla Waijilu sebanyak 7 desa yakni Desa<br />

Paranda, Desa Wula, Desa Latena, Desa Lainjanji, Desa Hadakamali, Desa Laipandak,<br />

dan Desa Lumbumanggit. Sedangkan di Kecamatan Matawai La Pawu sebanyak 4<br />

desa yakni Desa Katiku Tana, Desa Katiku Wai, Desa Katiku Luku dan Desa Prai<br />

Bokul.<br />

Proses penyusunan RPJM-Desa di Kecamatan Wulla Waijilu difasilitasi oleh Yasalti<br />

sedangkan di Kecamatan Matawai La Pawu difasilitasi oleh Wanlip. Jumlah staf yang<br />

tergabung dalam Koalisi Perjuangan sebanyak 9 orang (6 perempuan dan 3 laki-laki).<br />

Mitra Kerja Langsung atau Boundary Patners (BP) kami di desa dalam kegiatan<br />

penyusunan RPJM-Desa adalah Fasilitator Pendamping (Fasping) dari kecamatan<br />

sebanyak 4 orang (2 perempuan dan 2 laki-laki) dan Fasilitator Desa (Fasdes)<br />

sebanyak 44 orang sebagai perwakilan dari unsur Pemerintah Desa, LPM, perempuan,<br />

pemuda atau masyarakat.<br />

Kegiatan tersebut kami lakukan selama kurang-lebih 18 bulan dari bulan Desember<br />

2009 hingga Mei 2011 dan kemungkinan akan diperpanjang. Bersama Mitra Langsung<br />

atau Mitra Kerja Utama, hingga saat ini, kami telah menghasilkan 11 dokumen<br />

RPJM-Desa dari 11 desa yang kami damping, yang dilengkapi dengan Perdes tentang<br />

RPJM-Desa.<br />

Kami merasa sangat bangga karena perjuangan kami tidak sia–sia, tetapi membawa<br />

207


hasil yang positif baik bagi diri kami secara pribadi maupun Mitra Langsung atau<br />

Mitra Kerja Langsung kami, pemerintahan desa dan semua warga masyarakat desa.<br />

Begitu banyak ilmu yang kami peroleh lewat program atau kegiatan penyusunan<br />

RPJM-Desa.<br />

Keberanian dan komitmen kami semakin teruji dalam membantu memfasilitasi<br />

proses perencanaan tingkat desa dan kecamatan serta dapat melakukan perubahanperubahan<br />

penting lainnya yang dapat memberikan manfaat bagi orang banyak<br />

khususnya desa yang kami dampingi. Hal lain yang merupakan perubahan penting<br />

yang terjadi adalah kami mampu menjalin kerjasama yang baik dengan semua pihak<br />

(pemerintah kabupaten, pemerintah kecamatan, pemerintah desa, Boundary Patners,<br />

masyarakat desa dan stakeholders lainnya). Fasilitator Desa sudah mendapat<br />

biaya insentif dari Alokasi Dana Desa (ADD). RPM-Desa yang telah dihasilkan<br />

sudah dapat digunakan dalam proses Musrenbangcam, Musrenbangkab serta<br />

kegiatan workshop Temu Pelaku Penyusunan RPJM-Desa tingkat kabupaten yang<br />

diselenggarakan oleh BPM kerjasama dengan <strong>ACCESS</strong> dan OMS mitra <strong>ACCESS</strong>.<br />

Kini, 11 (sebelas) desa dari 2 (dua) kecamatan telah menghasilkan dan memiliki<br />

dokumen RPJM-Desa yang disusun secara partisipatif dan inklusif oleh seluruh<br />

warga dan pemerintah desa. Namun dokumen tersebut tidak memberikan arti atau<br />

dampak yang positif bagi siapapun juga jika tidak diwujudnyatakan pada tindakan<br />

selanjutnya dalam melakukan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan<br />

desa. Komitmen dan kesadaran bersama untuk mengimplementasikan RPJM-Desa<br />

sebagai penentu bagi keberhasilan pembangunan desa ke depan. Setiap warga desa<br />

memiliki tanggung jawab yang sama untuk melaksanakan RPJM-Desa sebagai acuan<br />

bersama dalam menjalankan roda pemerintahan. Desa lebih maju apabila semua<br />

elemen masyarakat yang ada menjadi pelaku utama pembangunan, bukan sebagai<br />

penonton. Bagi <strong>ACCESS</strong> dan Tim Koalisi, RPJM-Desa hanyalah alat, bukan tujuan.<br />

Tujuan program kami yang didukung <strong>ACCESS</strong> adalah warga dan organisasi warga<br />

menjadi lebih berdaya, sejahtera dan mandiri. Warga desa yang kritis dan secara<br />

bersama mampu memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasarnya oleh negara. Warga<br />

negara yang kuat dalam mengontrol dan mengawasi proses-proses pembangunan di<br />

lingkup desa, kecamatan dan bahkan hingga kabupaten.<br />

Memfasilitasi proses penyusunan RPJM-Desa telah membawa perubahan yang sangat<br />

bermakna bagi saya bersama kawan-kawan seperjuangan di Koalisi Perjuangan dan<br />

merupakan momen yang sangat berharga. Ini merupakan pendidikan kehidupan<br />

karena membuat kami bisa tahu dari yang kami tidak tahu, membuat kami lebih<br />

berani dan percaya diri dalam memfasilitasi dan menjalin kerjasama dengan<br />

208


stakeholders lainnya. Kebanggaan kami yang sangat luar biasa adalah bahwa semua<br />

orang bisa menjadi fasilitator tetapi tidak semua orang bisa menjadi fasilitator<br />

perencanaan dan penganggaran desa. Hal itu selalu memacu saya dan kawan-kawan<br />

seperjuangan di Koalisi Perjuangan untuk selalu tetap berjuang.<br />

Kesempatan berharga diberikan bagi siapa saja. Tergantung kita mau menggunakan<br />

kesempatan tersebut atau membiarkan dia pergi begitu saja dari hadapan kita. Siapa<br />

pun kita dan apapun latar belakang kita, kalau kita mau berusaha untuk lebih baik,<br />

pasti selalu ada jalan bagi kita untuk menggapainya. Dan, kalau bukan saat ini kapan<br />

lagi; kalau bukan kita siapa lagi? Raihlah kesempatan itu jika datang menghampirimu.<br />

Jangan biarkan kesempatan tersebut berlalu begitu saja. Berjuanglah terus selagi ada<br />

kesempatan. Mengapa tidak! Salam Perjuangan.<br />

Memfasilitasi proses perencanaan tingkat desa<br />

dan dapat melakukan perubahan-perubahan<br />

penting yang memberikan manfaat bagi orang desa<br />

merupakan pendidikan kehidupan tiada ternilai<br />

209


210


<strong>ACCESS</strong><br />

Para Penulis<br />

211


212


Tim <strong>ACCESS</strong><br />

Martha Hebi, dilahirkan di Waingapu, 30 Maret<br />

1976. Menyelesaikan studinya di sekolah Tinggi<br />

Teknik Lingkungan Yogyakarta. Pernah menjadi<br />

pengelola Majalah Antisipasi GMKI Yogyakarta. Saat<br />

ini, ia menjadi Program Of cer <strong>ACCESS</strong> Phase II di<br />

Sumba-NTT.<br />

Yose na Linda, dilahirkan di Ruteng, Flores,<br />

pada tanggal 22 Februari 1976. Menyelesaikan<br />

Pendidikan Diploma III Sekolah Tinggi Ilmu<br />

Ekonomi jurusan keuangan dan perbankan<br />

tahun 1998 di Yogyakarta, dan Universitas Flores<br />

jurusan Fakultas Ekonomi tahun 2007 di Ende,<br />

Flores. Kini, ia sebagai staf PAO (Provincial<br />

Administration Of cer) <strong>ACCESS</strong> Sumba.<br />

Tim Pakta Sumba<br />

Siprianus Dede Ngara dilahirkan di Pageso Tobu<br />

pada Tanggal 04 April 1982. Menyelesaikan SMU<br />

pada tahun 2003. Dan berstatus belum menikah.<br />

Ia menjadi anggota BPD (Badan Permusyawaratan<br />

Desa) tahun 2007 sampai 2013; menjadi pembina<br />

umat Stasi ST. Dominikus Lewa Pare pada tahun<br />

2005 sampai sekarang; dan menjadi guru tidak tetap<br />

di SD Inpres Dorga Delo dari tahun 2007 sampai<br />

sekarang.<br />

213


Kons De Gesi, dilahirkan di Kabupaten Lembata<br />

Nusa Tenggara Timur (NTT), 29 Juni 1971.<br />

Pernah kuliah pada Fakultas Teologi Weda Bhakti<br />

Kentungan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta<br />

hingga semester delapan (1997-2001). Pernah<br />

meraih 10 besar dalam lomba tulisan ilmiah yang<br />

diselenggarakan oleh Universitas Sanata Dharma<br />

Yogyakarta dengan judul “Reformasi Pendidikan<br />

Pasca Rezim Soeharto” (tahun 2000). Mengikuti<br />

pelatihan jurnalistik di Waikabubak, Sumba Barat<br />

atas kerja sama Tabloid Mingguan SABANA dan<br />

Diklat (Pendidikan dan Pelatihan) Surat Kabar<br />

Harian Kompas (November 2005). Mengikuti workshop Penulisan Cerita Perubahan<br />

yang diselenggarakan oleh <strong>ACCESS</strong> Sumba dan Kawanusa (2011). Pada tahun 2007<br />

memfasilitasi dan menjadi tim penyunting buku: Pemekaran Sumba Barat: Dari<br />

Jules Verne Ke Momentum Provinsi Pulau Bunga karya Hugo R. Kalembu. Menjadi<br />

wartawan sejak 2003 antara lain pernah bertugas di: Tabloid Sinar Alor Pos (2003-<br />

2004); Tabloid SABANA ( 2005-2008 ); Tabloid Gong Sumba ( 2008-2009 ); dan<br />

Tabloid Pos Kota (2009-2010) sebagai Pemimpin Redaksi. Ia bergabung dengan<br />

Yayasan Pakta Sumba sejak Desember 2009 sebagai Koordinator Program dan tetap<br />

aktif menulis di berbagai media lokal.<br />

Nona Rambu Podu, dilahirkan di Anakalang,<br />

Sumba Tengah pada tahun 1976. Ia adalah salah<br />

seorang Fasilitator Pendamping (Fasping) dalam<br />

program “Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis<br />

Masyarakat Miskin dan Perempuan, Bertumpu pada<br />

Potensi dan Kekuatan Lokal serta Berkelanjutan”<br />

kerja sama antara <strong>ACCESS</strong> dan Yayasan PAKTA<br />

Sumba. Selama bergabung dengan PAKTA Sumba<br />

melalui program tersebut, ia banyak ditingkatkan<br />

kapasitasnya melalui pelatihan-pelatihan yang<br />

diselenggarakan <strong>ACCESS</strong>, seperti Appreciative<br />

Inquiry (Inspirit), Pengorganisasian Masyarakat<br />

(Remdec), Fasilitasi Vibran (Inspirit), dan Media<br />

Populer (Kawanusa).<br />

214


Erna Umbu Warata, dilahirkan di Jakarta pada<br />

tanggal 04 Oktober 1958. Pendidikan terakhir SMA.<br />

Ibu bersuami Nicolas Umbu Warata dan seorang<br />

anak Christian Umbu Rossalen Warata ini pernah<br />

jadi aktivis PDIP. Berbagai kegiatan lain yang pernah<br />

diikuti diantaranya: Pelatihan Petani Terpadu se-<br />

Kabupaten Sumba, tahun 2004-2005; anggota LPD<br />

program PIDRA Phase I dan II tahun 2003-2009;<br />

Tim Penilaian lomba desa/ Kelurahan se-Kecamatan<br />

Loli 2005-2011; Anggota BPD desa Tena Tana,<br />

Kecamatan Loli tahun 2010-2011.<br />

Daniel Tuga Walu Waja, dilahirkan di Puu Pau,<br />

Umbu Ratu Nggay, Kabupaten Sumba Tengah,<br />

tahun 1978. Ia adalah salah seorang Fasilitator<br />

Pendamping (Fasping) dalam program “Pengelolaan<br />

Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Miskin dan<br />

Perempuan, Bertumpu pada Potensi dan Kekuatan<br />

Lokal serta Berkelanjutan” kerja sama <strong>ACCESS</strong><br />

dan Yayasan PAKTA Sumba. Ia memperkuat<br />

kapasitasnya melalui pelatihan-pelatihan yang<br />

diselenggaraakan <strong>ACCESS</strong>, seperti Appreciative<br />

Inquiry (Inspirit), Pengorganisasian Masyarakat<br />

(Remdec), Fasilitasi Vibran (Inspirit), dan Media<br />

Populer (Kawanusa).<br />

Marieti Wala, dilahirkan Homba Karipit,<br />

Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat, 15 November<br />

1969. Ia menyelesaikan pendidikan formal pada<br />

Akademi Sekretaris Santa Maria Yogyakarta,<br />

pada tahun 1996. Sekarang menjabat sebagai<br />

Bendahara Dewan Pengurus Yayasan PAKTA Sumba,<br />

merangkap sebagai Staf Administrasi dan Keuangan<br />

dalam Program <strong>ACCESS</strong> Phase II, yang mengambil<br />

isu Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis<br />

Masyarakat Miskin dan Perempuan, Bertumpu pada<br />

Kekuatan dan Potensi Lokal serta Berkelanjutan.<br />

215


Tim Kolaborasi<br />

216<br />

Melkianus Hina Janggakadu, dilahirkan<br />

di Makamenggit pada tanggal 31 Juli 1982.<br />

Menyelesaikan pendidikan akhir SMP. Pernah<br />

mengikuti kursus guru sekolah minggu di SGI Lewa;<br />

Pernah menjadi pengurus komisi Anak Komisi<br />

Remaja (KAKR); Pernah menjadi juara lomba Uji<br />

Kompetensi Aparat Desa tingkat kecamatan; Pernah<br />

menjadi aparat Desa Tanatuku hingga sekarang;<br />

Pernah menjadi pengurus Gabungan Kelompok Tani<br />

(Gapoktan); Kini menjadi Fasilitator Desa (Fasdes)<br />

di Desa Tanatuku<br />

Ika Kahali, dilahirkan di Wangga, Sumba Timur<br />

pada tanggal 13 Juli 1981. Menyelesaikan pendidikan<br />

formal S1 jurusan Ekonomi Pembangunan,<br />

Universitas Udayana. Ia pernah mengikuti<br />

kegiatan: Pendamping Lapangan di Nakertrans,<br />

Sumba Timur tahun 2006-2008. Kini menjabat<br />

sebagai pendamping lapangan di YCM (Yayasan<br />

Cendana Mekar) untuk Program Perencanaan dan<br />

Penganggaran yang Partisipatif.<br />

Anthony K Awang, dilahirkan di Ramuk, 22 April<br />

1978. Menyelesaikan studi di Fakultan Pertanian<br />

Universitas Janabadra Yogyakarta tahun 2010,.<br />

Semasa kuliah aktif pada kegiatan mahasiswa<br />

tahun 2002-2003, Pernah dipilih sebagai ketua<br />

BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Ia aktif juga<br />

mengikuti berbagai lokakarya: tentang pluralisme<br />

(2003); mengikuti studi Islam Transformatif<br />

dengan tema Multikultur yang diselenggarakan<br />

LKIS Yogyakarta, Diskusi ke-Indonesiaan bersama<br />

forum Cipayung. Pernah aktif di GMKI Yogyakarta<br />

bidang kepemudaan. Saat ini bekerja di lembaga<br />

KOPPESDA Waingapu bersama Tim Kolaborasi,<br />

dan dipercaya mendampingi masyarakat di Desa Waimbidi, Tanatuku dan Praihambuli<br />

dalam program perencanaan dan penganggaran desa partisipatif kerja sama dengan<br />

<strong>ACCESS</strong> Phase II.


Stefanus Landu Paranggi, dilahirkan di<br />

Mauramba Sumba Timur, 19 September 1969.<br />

Menyelesaikan pendidikan S1 Sosiologi di UKSW-<br />

Salatiga. Pernah mengikuti pelatihan Lokatulis<br />

pengalaman pengorganisasian masyarakat sipil yang<br />

diselenggarakan oleh DFID bersama Transform di<br />

Mataram tahun 2007. Mengikuti praktik Analisa<br />

Anggaran dan Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya<br />

(Ekosob) di Manggarai, Flores tahun 2009 yang<br />

diselenggarakan oleh ECOSOB RIGHT. Dan saat ini<br />

bekerja di KOPPESDA dalam Program Perencanaan<br />

dan Penganggaran Partisipatif.<br />

Kristina Kaita Wey, dilahirkan di<br />

Rambangaru,Sumba Timur, pada tanggal 28 Februari<br />

1990. Menamatkan pendidikan Sekolah Menengah<br />

Atas (SMA) pada tahun 2008. Pernah mendapat<br />

penghargaan sebagai “Bintang Perubahan” pada<br />

saat mengikuti acara “Temu Bintang Perencanaan<br />

dan Penganggaran Partisipatif “ Kawasan Timur<br />

Indonesia di Makassar, Sulawesi Selatan. Dan<br />

sekarang menjabat sebagai Fasilitator Desa (Fasdes)<br />

di Desa Rambangaru, Kecamatan Haharu.<br />

Umbu Bahi, dilahirkan di Karera, 13 Agustus<br />

1978. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas<br />

Nusa Cendana Kupang. Mengikuti magang<br />

pengorganisasian di Buntok, Kalimantan Tengah<br />

tahun 2005. Mengikuti magang pertanian<br />

berkelanjutan di Yogjakarta tahun 2005. Menjadi<br />

Koordinator Program Yayasan Alam Lestari tahun<br />

2005-2007. Menjadi Supervisor Ekonomi Rakyat di<br />

Yayasan Tananua Sumba tahun 2007-2009. Sekarang<br />

sebagai staf Yayasan Cendana Mekar (YCM) melalui<br />

Program Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif<br />

kerjasama dengan <strong>ACCESS</strong> Phase II.<br />

217


Tim Koalisi Perjuangan<br />

Yacub Radamuri, lahir di Desa Wulla pada<br />

tanggal 18 Desember 1982. Menyelesaikan<br />

pendidikan formal di SMA pada tahun 2000. Pernah<br />

mewakili petani rumput laut ke Pekan Nasional di<br />

Minahasa, Sulawesi Utara tahun 2004. Selain sebagai<br />

fasilitator desa, ia juga menjabat kepala urusan<br />

pembangunan di desa.<br />

218<br />

Naomi Tamar Pangambang, dilahirkan di<br />

Kananggar, 10 Mei 1976. Menyelesaikan pendidikan<br />

formal SMA tahun 1996. Pernah juara 1 Lomba<br />

Kader Posyandu Tingkat Kecamatan. Sekarang<br />

menjabat sebagai fasilitator desa, bendahara UPK<br />

(Unit Pengelola Kegiatan) tingkat kecamatan;<br />

Program Nasional Pemberdayaan Kemasyarakatan<br />

Mandiri Pedesaan (PNPM –MPD); dan sebagai<br />

kader Posyandu di Desa Katikutana.<br />

Naema Landu Marada, lahir di Desa Pabera<br />

Manera tanggal 27 Desember 1978. Menyelesaikan<br />

SMA tahun 1997. Pernah juara 1 Tingkat Kecamatan<br />

dan juara 2 Tingkat Kabupaten yakni pada Lomba<br />

Bidang Studi tahun 1990. Juara 2 tingkat Kabupaten<br />

pada Lomba Kader Posyandu tahun 1998. Pernah<br />

mengikuti kegiatan: Serti kasi Hutan Indonesia<br />

di Jawa Tengah tahun 2005; Evaluasi Silang Mitra<br />

Yapensel di Lembata, Flores Timur-NTT.


Tim Satu Visi<br />

Chandra Anamuly, dilahirkan di Anakalang<br />

Sumba Tengah tanggal 26 Juni 1980. Alumni SMU,<br />

sekarang bekerja sebagai pendamping lapangan<br />

Yayasan Satu Visi. Pendidikan dan pelatihan yang<br />

pernah diikutinya antara lain: Pelatihan Media<br />

Visual oleh Kawanusa tahun 2006; Pelatihan<br />

Dancing Anak Remaja tahun 2007; Pelatihan<br />

Teknik Memfasilitasi Appreciative Inquiry oleh<br />

Inspirit tahun 2010; Pelatihan pengarusutamaan<br />

HIV/ AIDS di Kupang Tahun 2010; dan Pelatihan<br />

Pengorganisasian Masyarakat oleh Remdec.<br />

Sebelum bergabung dengan Yayasan Satu Visi<br />

bekerja sebagai staf Rumah sakit Karitas Waitabula<br />

(2000-2002), Pendamping/ tutor anak-anak remaja<br />

dampingan CCF (2004-2006).<br />

Petrus Malo Bora, lahir di Bondokapaka,<br />

Manukuku tanggal 25 September 1975. Pendidikan<br />

terakhir SD. Tahun 2005 hingga sekarang menjadi<br />

anggota Linmas. Pada tahun 2009 dipilih sebagai<br />

sekretaris Gapoktan (Gabungan Kelompok<br />

Tani). Pada tahun 2010 mengikuti pelatihan yang<br />

diselenggarakan oleh Yayasan Satu Visi tentang<br />

pengorganisasian pemasaran bersama, kewirausaan<br />

dan perencanaan bisnis.<br />

Daniel L Ledy, dilahirkan di Anakalang, Sumba<br />

Tengah, tanggal 7 Desember 1971. Menyelesaikan<br />

SMA tahun 1991 di Waikabubak. Pernah mengikuti<br />

Lokakarya Nasional tentang Sharing Pembelajaran<br />

Program <strong>ACCESS</strong> di Bali tahun 2006; pelatihan<br />

Community Based Monitoring oleh Increase di<br />

Kupang. Pernah menjabat Staf Khusus Forum<br />

Masyarakat Sipil Sumba Barat (Formasi) tahun<br />

2005-2007. Sekarang menjabat sebagai Koordinator<br />

Program di Yayasan Satu Visi.<br />

219


Ester Kaka, lahir tanggal 30 Mei 1969. Pendidikan<br />

terakhirnya SMA. Di kampungnya, Bondotera,<br />

ia bergabung dengan Kelompok Simpan Pinjam<br />

Perempuan (KSPP) “Dua Dabba”.<br />

Tim Bahtera<br />

Agustina Bili, lahir di Waijewa pada tanggal 24<br />

Agustus 1976. Pendidikan terakhir SMA (Sekolah<br />

Menengah Atas). Pernah menjadi juara menari dan<br />

lomba masak. Kini sebagai kader Pembangunan<br />

Desa Hupumada..<br />

220<br />

Dina Bani, lahir di Bondotera tanggal 15<br />

Desember 1969. Pendidikan terakhir SMP. Sehari<br />

hari ia bekerja sebagai penenun. Pernah mengikuti<br />

pelatihan penyuluh swadaya (agribisnis) di Kupang<br />

tahun 2010.<br />

Naomi Malingara, lahir di Waikabubak tanggal 22<br />

November 1986. Tamat SMK 1 Waikabubak tahun<br />

2004. Sekarang bekerja di Yayasan Bahtera sebagai<br />

fasilitator pendukung di Kecamatan Wanukaka.<br />

Pelatihan yang diikuti: Pelatihan Fasilitasi Vibrant<br />

dan Pelatihan Pengorganisasian Masyarakat serta<br />

Pelatihan Menulis Perubahan. Ketiganya dilakukan<br />

pada tahun 2010


Chorlina T Goro, dilahirkan di kampung<br />

Letekonis desa Ringurara, 7 Juni 1974.<br />

Menyelesaikan pendidikan formal SD (Sekolah<br />

Dasar). Pernah mengikuti: Lomba Cerdas Cermat<br />

Kesehatan Tentang Proses 5 Meja pada Kegiatan<br />

Posyandu, dan meraih juara I dari dua Kecamatan<br />

(Kecamatan Lamboya dan Lamboya Barat) pada<br />

tahun 2009. Mengikuti Lomba Penyuluhan Tanpa<br />

Teks dari Dinas Kesehatan yang bekerjasama<br />

dengan WVI, tahun 2007, dan meraih juara pertama<br />

di tingkat desa dengan hadiah 10 ekor ayam (5 ekor<br />

jantan, 5 ekor betina). .<br />

Haryati P Lobu, Kelahiran Waihura 21 Juni 1979.<br />

Menyelesaikan pendidikan S1 (Sarjana Ekonomi) di<br />

Universitas Kristen Artha Wacana Kupang tahun<br />

2005. Pernah mendapat juara Lomba Karya Ilmiah<br />

tahun 2000 dari Bank Mandiri Kupang sebagai<br />

syarat untuk mendapatkan beasiswa. Pernah<br />

mengikuti seminar tentang Sex, Love, and Dating<br />

tahun 2003 di Kupang yang diselenggarakan oleh<br />

GKPB Masa Depan Cerah Kupang; tentang HIV/<br />

AIDS dari PKBI Kupang tahun 2002. Sekarang<br />

bekerja di Yayasan Bahtera sebagai Fasilitator<br />

Pendukung di desa Waihura dan Desa Pahola<br />

di Kecamatan Wanukaka, Kabupaten Sumba Barat-NTT. Pelatihan-pelatihan yang<br />

pernah diikutinya: AI (Apreciative Inquiry) dengan pendekatan Berbasis Aset;<br />

Pelatihan CLAPP-GSI; dan Pelatihan Media Populer.<br />

Maria L Bole, dilahirkan di Tailelu 01 November<br />

1973. Menyelesaikan pendidikan terakhir SMP.<br />

Pernah mengikuti penyuluhan tentang HIV/<br />

AIDS. Pernah mengikuti pelatihan pendataan<br />

RTM (Rumah Tangga Miskin). Sekarang menjabat<br />

sebagai Kapedes (Kader Pembangunan Desa) yang<br />

didampingi Yayasan Bahtera, di Desa Watu Karera.<br />

221


Ferdinan Mahat, lahir di Waingapu, 2 Februari<br />

1972. Pendidikan terakhir adalah Sekolah Dasar<br />

(SD). Sangat senang berkumpul sehingga dipilih oleh<br />

warga sebagai ketua RT 05 di Kelurahan Kambajawa<br />

dan sebagai Koordinator Pusat Sumber Daya Warga<br />

“Ninda La Kahaungu” Kelurahan Kambajawa,<br />

Kabupaten Sumba Timur dari tahun 2010 sampai<br />

sekarang. Pernah Mengikuti Pelatihan Pembukuan<br />

oleh Wahana Visi Indonesia di Waingapu, tahun<br />

2002, dan Pelatihan Manajemen Pusat Sumber Daya<br />

Warga oleh ICW di Waingapu, tahun 2010.<br />

222<br />

Tim Stimulant Institute<br />

Wenda Radjah, lahir di Waingapu, 8 Juni 1980.<br />

Alumni Ekonomi Manajemen STIE Kriswina Sumba.<br />

Tahun 2010 dan 2011 banyak mengisi kegiatan<br />

dengan Pelatihan Fasilitasi Vibran di Waingapu<br />

(Sumba Timur); Pelatihan Penggorganisasian<br />

Masyarakat di Waikabubak (Sumba Barat);<br />

Pelatihan Media di Waingapu (Sumba Timur),<br />

Pelatihan “Coorporate Fundrising” di Jakarta;<br />

dan Pelatihan Penulisan Cerita Perubahan di<br />

Waingapu, Sumba Timur, tahun 2011. Kini ia<br />

menjabat sebagai Koordinator Penelitian, Advokasi<br />

dan Pengembangan Masyarakat di Stimulant<br />

Institute (Lembaga Studi Perubahan Sosial dan<br />

Pengembangan Masyarakat).<br />

Frederika Nday Ngana, dilahirkan di Waingapu,<br />

6 Oktober 1969. Alumni SMEA itu, kini menjabat<br />

sebagai Divisi Advokasi pusat sumber daya warga<br />

“Ninda La Kahaungu” Kelurahan Kambajawa,<br />

Kabupaten Sumba Timur dari tahun 2010 sampai<br />

sekarang. Ia pernah mengikuti beberapa pelatihan<br />

seperti: Pelatihan Relawan P2KP di Waingapu<br />

(2007). Pelatihan Manajemen Pusat Sumber Daya<br />

Warga oleh ICW di Waingapu (2010); Pelatihan<br />

Penulisan Cerita Perubahan oleh Kawanusa di<br />

Waingapu (2011).


Debora Jonas, lahir di Kambaniru, 11 Desember 1980. Aktif di berbagai kegiatan<br />

masyarakat dan dipercaya menjabat beberapa organisasi seperti: Staf RT 08<br />

Kelurahan Prailiu dari tahun 2007 sampai sekarang; KPMD Kelurahan Prailiu dari<br />

tahun 2010; Kader Posyandu dari tahun 1998; BKM P2KP dari tahun 2007 sampai<br />

2010; Divisi pencatatan dan pengadaan Pusat sumber Daya Warga “Titu Hari”<br />

Kelurahan Prailiu, Kabupaten Sumba Timur, dari tahun 2010 sampai sekarang.<br />

Pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD). Beberapa pelatihan yang pernah diikuti;<br />

Pelatihan Kader Posyandu di Waingapu; Pelatihan relawan P2KP di Waingapu (2007);<br />

Pelatihan KPMD kelurahan di Waingapu; Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Warga<br />

di Waingapu (2010). Prestasi lainnya: juara I lomba lari karung putri antar-gereja di<br />

Waingapu; juara lomba tarik tambang di depan kantor Bupati antar-kelurahan di<br />

Waingapu.<br />

223


Tentang Editor<br />

Puthut EA, lahir di Rembang, Jawa Tengah: 28 Maret 1977. Menyelesaikan<br />

pendidikan formal dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (2002). Ia sudah<br />

menulis di media massa sejak berada di bangku SMP. Sejauh ini, ia telah menulis 17<br />

buku secara mandiri, dan karya-karyanya juga dimuat di berbagai media nasional<br />

seperti Kompas, Majalah Tempo, Koran Tempo, Media Indonesia, Tabloid Nova, dan<br />

lain-lain. Ia juga menyunting lebih dari 40 buku dengan beragam tema: sastra, politik,<br />

kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Selain menulis dan menyunting buku, ia pernah<br />

mengikuti sejumlah penelitian dengan berbagai tema: kesehatan, pendidikan, politik<br />

lokal, seni dan budaya.<br />

Aktivitas lainnya adalah menjadi pemandu (fasilitator) berbagai pelatihan menulis<br />

dengan berbagai latar belakang peserta seperti siswa SMA, mahasiswa, peneliti,<br />

petani dan aktivis LSM. Ia telah memfasilitasi puluhan pelatihan menulis di berbagai<br />

wilayah di Indonesia mulai dari Aceh hingga Maluku Tenggara. Ia bisa dihubungi lewat:<br />

puthutea@yahoo.com.<br />

IBK Yoga Atmaja, Konsultan senior Kawanusa, Sekarang menjabat sebagai<br />

Direktur Kawanusa. Selama lebih dari 15 tahun melakukan perannya sebagai<br />

fasilitator program pendidikan kerakyatan di Bali, NTB, NTT, Sulawesi, Kalimantan,<br />

Maluku dan Papua. Mulai aktif memproduksi dan menggunakan berbagai media<br />

foto, video sejak 15 tahun yang lalu untuk kepentingan media pendidikan dan<br />

pengorganisasian. Tidak kurang lima puluh judul video telah dibuatnya. Diantaranya<br />

adalah Sekolah Banjar, Melawan Bayangan, Bidan Desa, Potret Pengorganisir, Hutan<br />

Kiadan dan lainnya. Salah satu produksinya dengan judul Jauh Panggang dari Api<br />

mendapat penghargaan dalam Freedom Film festival Asia Paci c di Kuala Lumpur<br />

Malaysia tahun 2006.<br />

Sejak tahun 1998 mulai menuliskan berbagai pengalaman kerja lapangannya. Sudah<br />

menulis 7 judul buku secara mandiri, dengan tema pengorganisasian masyarakat,<br />

media, komunikasi, pariwisata, lingkungan dan perkembangan LSM. Dan ada sekitar<br />

20 buku yang ditulis bersama-sama dengan tema kesehatan, advokasi, pengelolaan<br />

sumber daya alam, manual pendidikan masyarakat dan lain-lain.<br />

224

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!