29.03.2013 Views

jurnal PHT Vol_7_No5_2010... - Pusat Litbang Hutan Tanaman

jurnal PHT Vol_7_No5_2010... - Pusat Litbang Hutan Tanaman

jurnal PHT Vol_7_No5_2010... - Pusat Litbang Hutan Tanaman

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor Po. Box. 331<br />

Telp. (0251) 8631238 Fax. (0251) 7520005, E-mail: pp_p3ht@yahoo.co.id<br />

<strong>Vol</strong>. 7 No. 5, Desember 2010<br />

MODEL PENDUGA PENDUGA VOLUME POHON KAYU BAWANG<br />

( ( Disoxylum molliscimum<br />

molliscimum Burm Burm F.) F.) DI DI PROVINSI PROVINSI BENGKULU<br />

BENGKULU<br />

AKTIVITAS AKTIVITAS ANTAGONISME ANTAGONISME IN IN VITRO<br />

VITRO Trichoderma harzianum<br />

harzianum<br />

DAN DAN Trichoderma Trichoderma pseudokoningii<br />

pseudokoningii TERHADAP<br />

TERHADAP<br />

PATOGEN PATOGEN LODOH<br />

LODOH Pinus Pinus merkusii<br />

PEMANFAATAN PEMANFAATAN TEGAKAN<br />

TEGAKAN Acacia Acacia auriculiformis<br />

auriculiformis<br />

SEBAGAI SEBAGAI POHON POHON PENAUNG PENAUNG DAN DAN INANG INANG TANAMAN<br />

TANAMAN<br />

CENDANA CENDANA ( ( Santalum Santalum album<br />

Linn)<br />

Linn)<br />

UJI UJI TOKSISITAS EKSTRAK DAUN DAUN Nicolaia atropurpurea<br />

atropurpurea Val.<br />

Val.<br />

TERHADAP SERANGGA HAMA HAMA Spodotera litura<br />

litura Fabricus<br />

Fabricus<br />

(LEPIDOPTERA: (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE)<br />

MUTU BIBIT MANGLID ( Manglieta glauca<br />

glauca BI) PADA TUJUH<br />

JENIS MEDIA SAPIH<br />

PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT TUMOR (<br />

Uromycladium<br />

Uromycladium<br />

tepperianum tepperianum (Sacc.) Mc. Alpin) PADA SENGON (<br />

Falcataria<br />

Falcataria<br />

mollucana<br />

mollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) DI PANJALU<br />

KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT<br />

Jurnal<br />

Penelitian<br />

<strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN<br />

<strong>Vol</strong>. 7<br />

No. 5<br />

Hal.<br />

227 - 278<br />

Bogor<br />

Desember<br />

2010<br />

ISSN<br />

1829-6327<br />

Terakreditasi dengan nilai A<br />

Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 816/D/2009<br />

(182/AU1/P2MBI/08/2009


JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN<br />

<strong>Vol</strong>. 7 No. 5, Desember 2010<br />

ISSN : 1829-6327<br />

Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong> adalah media resmi publikasi ilmiah hasil penelitian dalam bidang hutan tanaman<br />

dari <strong>Pusat</strong> Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas <strong>Hutan</strong> dengan frekuensi terbit lima kali setahun<br />

Penanggung Jawab<br />

Kepala <strong>Pusat</strong> <strong>Litbang</strong> Peningkatan Produktivitas <strong>Hutan</strong><br />

Dewan Redaksi<br />

Ketua Merangkap Anggota<br />

Dr. Dra. Tati Rostiwati, M.Si (Silvikultur, Ekofisiologi dan Perbenihan <strong>Tanaman</strong> <strong>Hutan</strong>)<br />

Anggota<br />

Prof. Ris. Dr. Ir. Hendi Suhaendi, MS (Pemuliaan Pohon)<br />

Prof. Dr. Ir. H. Bambang Hero S., M.Agr.Sc (Kebakaran <strong>Hutan</strong>)<br />

Dr. Ir. Cahyono Agus D., M.Agr.Sc (Ilmu Tanah dan Silvikultur)<br />

Dr. Ir. Nasrullah, M.Sc (Statistik)<br />

Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc (Rehabilitasi dan Mikoriza)<br />

Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS (Hama dan Penyakit <strong>Tanaman</strong> <strong>Hutan</strong>)<br />

Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc (Genetika dan Pemuliaan <strong>Tanaman</strong> <strong>Hutan</strong>)<br />

Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. (Statistik dan Biometrika)<br />

Dr. Tukirin Partomihardjo (Ekologi dan Pengelolaan Lingkungan <strong>Hutan</strong>)<br />

Dr. Ir. Lailan Syaufina, MS (Perlindungan <strong>Hutan</strong> dan Kebakaran <strong>Hutan</strong>)<br />

Dr. Ir. Tania June, M.Sc. (Pengelolaan Lingkungan dan Perubahan Iklim)<br />

Mitra Bestari<br />

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. (lnstitut Pertanian Bogor)<br />

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS. (lnstitut Pertanian Bogor)<br />

Dr. Ir. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc (SEAMEO - BIOTROP)<br />

Dr. Ir. Endang Murniati, MS. (lnstitut Pertanian Bogor)<br />

Dr. Ir. Supriyanto, M.Sc. (lnstitut Pertanian Bogor, SEAMEO - BIOTROP)<br />

Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr. (lnstitut Pertanian Bogor)<br />

Sekretariat Redaksi<br />

Ketua Merangkap Anggota<br />

Kepala Bidang Pelayanan dan Evaluasi Penelitian,<br />

<strong>Pusat</strong> Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas <strong>Hutan</strong><br />

Anggota<br />

Kepala Sub Bidang Pelayanan Penelitian,<br />

<strong>Pusat</strong> Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas <strong>Hutan</strong><br />

Kristina Yuniati, S.Hut<br />

Rohmah Pari, S.Hut<br />

Diterbitkan oleh :<br />

<strong>Pusat</strong> Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas <strong>Hutan</strong><br />

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan<br />

Kementerian Kehutanan<br />

Terbit pertama kali September 1996 dengan judul Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon (ISSN 1410-1165),<br />

sejak April 2003 berganti judul menjadi Jurnal Pemuliaan <strong>Tanaman</strong> <strong>Hutan</strong> (ISSN 1693-7147),<br />

dan sejak April 2004 berganti judul menjadi Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong> (ISSN 1829-6327)<br />

Alamat<br />

Kampus Balitbang Kehutanan<br />

Jl. Gunung Batu Nomor 5, Bogor Po. Box. 331<br />

Telp. (0251) 8631238 Fax. (0251) 7520005 E-mail: pp_p3ht@yahoo.co.id, Website: www.forplan.or.id<br />

Terakreditasi dengan nilai A<br />

Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 816/D/2009<br />

(182/AU1/P2MBI/08/2009)<br />

Accredited A by the Indonesian Institute of Sciences<br />

No. 816/D/2009 (182/AU1/P2MBI/08/2009)<br />

PEDOMAN PENULISAN NASKAH<br />

JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN<br />

1. Jurnal<br />

Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong> adalah publikasi ilmiah resmi dari <strong>Pusat</strong> <strong>Litbang</strong> Peningkatan<br />

Produktivitas <strong>Hutan</strong>. Jurnal ini menerbitkan tulisan hasil penelitian berbagai aspek hutan tanaman seperti<br />

perbenihan, pembibitan, teknik silvikultur, pemuliaan pohon, perlindungan hutan tanaman (hama/penyakit,<br />

gulma, kebakaran), biometrika, silvikultur, sosial ekonomi, dan pengelolaan lingkungan hutan tanaman.<br />

2. Naskah<br />

ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman,<br />

font ukuran 12 dan jarak 2 (dua)<br />

spasi pada kertas A4 putih pada satu permukaan dan disertai file elektroniknya. Pada semua tepi kertas<br />

disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm. Naskah sebanyak 2 (dua) rangkap dikirimkan kepada Sekretariat<br />

Redaksi Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong>, <strong>Pusat</strong> Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas<br />

<strong>Hutan</strong>. File elektronik dikirim ke Sekretariat Redaksi dalam bentuk CD atau dikirim melalui email ke alamat :<br />

pp_p3ht@yahoo.co.id.<br />

3.<br />

Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan belum pernah dimuat/diterbitkan dalam publikasi manapun,<br />

dengan cara mengisi blanko pernyataan yang dapat diperoleh di Sekretariat Redaksi Publikasi P3PPH, atau<br />

download di website P3PPH : www.forplan.or.id.<br />

Pengajuan naskah oleh penulis yang berasal dari<br />

instansi/institusi (bukan perorangan) di luar <strong>Pusat</strong> Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas<br />

<strong>Hutan</strong> harus disertai dengan surat pengantar dari instansi/institusinya.<br />

4. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, dan diusahakan tidak lebih dari 10 kata serta harus<br />

mencerminkan isi tulisan. Di bawah judul ditulis terjemahannya dalam bahasa Inggris yang tercetak dengan<br />

huruf kecil dan miring. Nama penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di<br />

bawah nama ditulis institusi asal penulis dan alamat lengkap instansi/institusi.<br />

5. Isi Naskah terdiri atas: ABSTRACT dengan Keywords<br />

dan ABSTRAK dengan Kata Kunci,<br />

PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN,<br />

5.<br />

PERSANTUNAN (kalau ada), DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN (kalau ada) .<br />

ABSTRAK dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, masing-masing tidak lebih dari 200 kata dalam satu<br />

paragraf. Isinya berupa intisari permasalahan, tujuan, rancangan penelitian dan kesimpulan yang dinyatakan<br />

secara kuantitatif. Bahasa Inggris ditulis dengan huruf kecil miring dan bahasa Indonesia ditulis tegak, jarak<br />

1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci masing-masing tidak lebih dari 5 kata.<br />

7. PENDAHULUAN berisi : latar belakang/masalah, tujuan penelitian dan hipotesis (tidak harus ada). .<br />

8. BAHAN DAN METODE berisi : Waktu dan Tempat, Bahan dan Alat, Metode, Rancangan Penelitian<br />

(kalau ada),Analisa Data. Metode disajikan secara ringkas namun jelas.<br />

9. HASILDAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan Pembahasan, dibuat terpisah atau dijadikan satu.<br />

10. Tabel diberi nomor, judul tabel dan keterangan yang diperlukan. Judul, isi dan keterangan tabel ditulis<br />

dalam bahasa Indonesia dan Inggris secara jelas dan singkat. Judul tabel diletakkan di atas tabel.<br />

11. Gambar, Grafik dan Foto harus jelas dan dibuat kontras, diberi judul dan keterangan dalam bahasa<br />

Indonesia dan Inggris. Judul gambar diberi nomor dan diletakkan di bawah gambar. Foto renik atau peta<br />

harus diberi skala.<br />

12. KESIMPULAN disampaikan secara ringkas (dalam bentuk pointers bernomor), padat, serta diusahakan<br />

dinyatakan secara kuantitatif.<br />

13. PERSANTUNAN berupa ucapan terima kasih kepada orang /instansi/organisasi yang benar-benar<br />

membantu.<br />

14. DAFTAR PUSTAKA (minimal 15 pustaka, dengan referensi yang berkualitas, dan dianjurkan 10 tahun<br />

terakhir), disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan tahun terbit, seperti contoh<br />

berikut :<br />

Departemen Kehutanan. 2005. Eksekutif Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.<br />

Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Plant Physiology.Wadsworth<br />

Publishing Co. Belmont.<br />

U.S. Census Bureau. ”American Factfinder : Facts About My Community”. [Online]17 Agustus<br />

2001.http://factfinder.census.gov/servlet/Basicfactervlet><br />

15. Dewan Redaksi dan Sekretariat Redaksi berhak mengubah dan memperbaiki isi naskah sepanjang tidak<br />

mengubah substansi tulisan. Naskah yang tidak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis.


JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN<br />

<strong>Vol</strong>. 7 No. 5, Desember 2010<br />

DAFTAR ISI<br />

1. MODEL PENDUGA VOLUME POHON KAYU BAWANG ( Disoxylum molliscimum<br />

BurmF)DIPROVINSI .<br />

BENGKULU<br />

Tree <strong>Vol</strong>ume Estimation Model of Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum Burm F. ) in<br />

Bengkulu Province<br />

Agus Sumadi dan/ and Hengki Siahaan<br />

2. AKTIVITAS ANTAGONISME IN VITRO Trichoderma harzianum DAN Trichoderma<br />

pseudokoningii TERHADAP PATOGEN LODOH Pinus merkusii<br />

In Vitro Antagonistic Activity of Trichoderma harzianum and Trichoderma pseudokoningii<br />

againts Damping off Pathogens of Pinus merkusii<br />

Achmad, S. Hadi, S. Harran, E. Gumbira Sa'id, B. Satiawiharja dan/ and<br />

M. Kosim Kardin<br />

3. PEMANFAATAN TEGAKAN Acacia auriculiformis SEBAGAI POHON PENAUNG<br />

DAN INANG TANAMAN CENDANA ( Santalum album Linn)<br />

The Use of Acacia auriculiformis Stand as Shading Trees and Host Plant of Sandalwood<br />

I Komang Surata<br />

4. UJI TOKSISITAS EKSTRAK DAUN Nicolaia atropurpurea Val. TERHADAP<br />

SERANGGA HAMA Spodotera litura Fabricus (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE)<br />

Toxicity Assay of Nicolaia atropurpurea Leaf Extract against Armyworm Spodoptera litura<br />

Asmaliyah, Sumardi dan/ and Musyafa<br />

5. MUTU BIBIT MANGLID ( Manglieta glauca BI) PADA TUJUH JENIS MEDIA<br />

SAPIH<br />

Seedling Quality Index of Manglieta glauca BI on Seven Types of Transplanting Media<br />

Aris Sudomo, Encep Rachman dan/ and Nina Mindawati<br />

6. PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT TUMOR ( Uromycladium tepperianum (Sacc.)<br />

Mc. Alpin) PADA SENGON ( Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) DI<br />

PANJALU KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT<br />

Control of Gall Rust Disease (Uromycladium tepperianum (Sacc.) Mc. Alpin) on Sengon<br />

Tree ( Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) in Panjalu, Ciamis - West Java<br />

Illa Anggraeni , Benyamin Dendang dan/ andNeo<br />

Endra Lelana<br />

ISSN : 1829-6327<br />

227-231<br />

233-240<br />

241-251<br />

253-263<br />

265-272<br />

273-278


JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN<br />

ISSN 1829-6327 <strong>Vol</strong>. VII No. 5, 2010<br />

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya<br />

UDC(OXDCF)630*.............<br />

Agus Sumadi dan Hengki Siahaan (Balai Penelitian dan Pengembangan <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong> (BP2HT) Palembang)<br />

Model Penduga <strong>Vol</strong>ume Pohon Kayu Bawang ( Disoxylum molliscimum Burm F . ) di Provinsi Bengkulu<br />

J. Pen. Htn Tnm <strong>Vol</strong>. VII No. 5, 2010 p:227-231<br />

Model penduga volume pohon jenis kayu bawang (Disoxylum molliscimum) pada hutan rakyat di Bengkulu Utara disusun<br />

berdasarkan data dari 96 pohon sampel, 66 pohon sampel digunakan dalam penyusunan model dan 30 sampel pohon lainnya<br />

digunakan dalam validasi model. Penyusunan model bertujuan untuk pendugaan hasil hutan tanaman yang lebih baik dalam<br />

upaya mencapai pengelolaan hutan yang efektif. Model penduga volume disusun dalam 5 bentuk persamaan regresi dengan<br />

diameter dan tinggi pohon sebagai peubah bebas. Model terbaik diperoleh berdasarkan kriteria uji statistik dalam<br />

2<br />

penyusunan dan validasi model, yaitu koefisien determinasi (R ), akar rata-rata kuadrat simpangan (RMSE), simpangan<br />

rata-rata (SR), dan simpangan agregat (SA). Berdasarkan criteria tersebut, model penduga volume kayu bawang terbaik<br />

2,317 0,239 2<br />

adalah V= 0,0001027 D H dengan nilai R = 95,58%, RMSE = 0,0386, SR = 9,16% dan SA= 0.09%.<br />

Kata kunci : Kayu bawang ( Disoxylum molliscimum),<br />

model penduga volume, persamaan regresi<br />

UDC(OXDCF)630*.............<br />

Achmad (Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB), S. Hadi (Guru Besar pada Fakultas Kehutanan IPB<br />

(almarhum), S. Harran (Staf pengajar pada Fakultas MIPAIPB (purnabakti)), E. Gumbira Sa'id (Guru Besar pada Fakultas<br />

Teknologi Pertanian IPB), B. Satiawiharja (Staf pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB), M. Kosim Kardin<br />

Peneliti Utama pada Balitbio Badan <strong>Litbang</strong> Pertanian Deptan (purnabakti))<br />

Aktivitas Antagonisme In Vitro Trichoderma harzianum dan Trichoderma pseudokoningii terhadap Patogen Lodoh Pinus<br />

merkusii<br />

J. Pen. Htn Tnm <strong>Vol</strong>. VII No. 5, 2010 p:233-240<br />

Studi pengendalian hayati in vitro terhadap serangan patogen lodoh pada semai Pinus merkusii telah dilakukan di<br />

laboratorium Perlindungan <strong>Hutan</strong> Fakultas Kehutanan IPB dari bulan Februari 1996 hingga April 1997. Perolehan fungi<br />

fatogenik penyebab lodoh di lakukan melalui isolasi dari benih dan dari potongan pangkal batang kecambah P. merkusii<br />

yang menunjukkan gejala terserang lodoh dengan teknik tanam langsung. Fungi antagonis diisolasi dari benih dan tanah<br />

yang diambil dari daerah perakaran semai P. merkusii yang terserang lodoh. Hasil uji antagonisme dengan metode langsung<br />

menunjukkan bahwa T. harzianum menghambat pertumbuhan F. oxysporum hingga 28.75 % dan 27.33 % berturut-turut<br />

pada PDAdan MEA, sedang terhadap R. solani penghambatannya sebesar 11.88 % dan 9.38 % berturut-turut pada PDAdan<br />

MEA. Penghambatan T. pseudokoningii terhadap pertumbuhan F. oxysporum pada MEA mencapai 24.38%, sedang pada<br />

PDA sebesar 13.96%. terhadap R. solani. T. pseudokoningii menghambat hingga 8.75% dan 9.37% berturut-turut pada<br />

PDA dan MEA. Kedua jenis fungi antagonis menghasilkan kitinase, dan T. harzianum lebih intensif mendegradasi kitin<br />

pada medium dibanding T. pseudokoningii.<br />

Mekanisme antagonistik yang berperan adalah mikoparasitism yaitu pelilitan<br />

dan penjepitan hifa R. solani berturut-turut oleh T. harzianum dan T. Pseudokoningii serta penetrasi hifa R. solani oleh hifa<br />

T. harzianum,<br />

dan antibiosis yang diduga melibatkan aktivitas kitinase kedua jenis fungi antagonis.<br />

Kata kunci : Pinus merkusii, antagonisme in vitro, Trichoderma harzianum, Trichoderma pseudokoningii, Rhizoctonia<br />

solani, Fusarium oxysporum


JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN<br />

ISSN 1829-6327 <strong>Vol</strong>. VII No. 5, 2010<br />

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya<br />

UDC(OXDCF)630*.............<br />

I Komang Surata (Balai Penelitian Kehutanan Kupang)<br />

Pemanfaatan Tegakan Acacia auriculiformis sebagai Pohon Penaung dan Inang <strong>Tanaman</strong> Cendana ( Santalum album Linn)<br />

J. Pen. Htn Tnm <strong>Vol</strong>. VII No. 5, 2010 p:241-251<br />

Tegakan acasia ( Acacia auriculiformis) adalah salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai pohon penaung dan<br />

inang cendana. Penggunaan acasia sebagai pohon penaung atau inang yang terlalu rapat dan dalam waktu yang lama akan<br />

menurunkan pertumbuhan tanaman cendana karena persaingan akan semakin meningkat, oleh sebab itu pada kerapatan<br />

penaung dan umur tertentu perlu dilakukan pengurangan penutupan tajuk salah satunya dengan cara pemangkasan cabang.<br />

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengurangan penutupan tajuk Acacia auriciliformis sebagai pohon<br />

penaung dan inang dengan cara pemangkasan cabang terhadap pertumbuhan tanaman cendana. Penanaman cendana<br />

dilakukan di bawah tegakan Acacia auriculiformis hasil dari tanaman reboisasi yang telah berumur 5 tahun dengan<br />

kerapatan tegakan 6 m x 6 m dan tajuknya mulai menutup. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Berbelok dengan<br />

perlakuan pemangksan cabang tegakan Acacia auriculiformis : 0 %, 25 %, 50 %, 75 %, 100 % per pohon yang dilakukan<br />

pada umur 2 tahun setelah tanam dan selanjutnya setiap tahun dilakukan pemangkasan terubusan cabang sampai umur 8<br />

tahun. Perlakuan terdiri dari 3 blok dan setiap blok terdiri dari 25 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umur 8<br />

tahun pemangkasan cabang pohon penaung atau inang nyata meningkatkan tinggi, diameter, dan persen hidup tanaman<br />

cendana masing-masing 45 %, 48 %, dan 107 %. Persen hidup tanaman cendana paling baik dihasilkan pada perlakuan<br />

pemangkasan cabang umur 3 tahun sebanyak 76 % dan umur 8 tahun 91 %. Pemangkasan cabang dapat meningkatkan<br />

temperatur udara 14 % dan intensitas cahaya matahari 53 %. Intensitas cahaya matahari nyata meningkatkan persen hidup<br />

tanaman cendana.<br />

Kata kunci : Pohon penaung, tanaman inang, cendana, pemangksan cabang, tegakan Acacia auriculiformis<br />

UDC(OXDCF)630*.............<br />

Asmaliyah (Forestry Research Agency, South Sumatera 30154, Indonesia), Sumardi, Musyafa (Faculty of Forestry,<br />

Gadjah Mada Univeristy,Yogyakarta 55281, Indonesia)<br />

Uji Toksisitas Ekstrak Daun Nicolaia atropurpurea Val. Terhadap Serangga Hama Spodotera litura Fabricus (Lepidoptera:<br />

Noctuidae)<br />

J. Pen. Htn Tnm <strong>Vol</strong>. VII No. 5, 2010 p:253-263<br />

Nicolaia atropurpurea (Zingiberaceae) secara tradisional telah digunakan oleh masyarakat lokal untuk melindungi<br />

tanaman budidaya dan hutan tanaman dari serangan hama. Namun penggaliannya secara ilmiah terhadap potensinya<br />

sebagai sumber insektisida nabati belum pernah diteliti, sehingga sejauh mana toksisitas ekstrak daun N. atropurpurea ini<br />

belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk tujuan tersebut. Penelitian ini dilakukan dalam<br />

2 tahapan percobaan, yaitu: Percobaan 1, pengujian cara ekstraksi dan jenis pelarut yang digunakan terhadap toksisitas<br />

ekstrak daun N. atropurpurea dengan metode kontak. Percobaan menggunakan RancanganAcak Lengkap (RAL) dengan 3<br />

ulangan. Perlakuan terdiri dari 6 taraf konsentrasi.. Percobaan 2, pengujian toksisitas (nilai LC50 dan LC 95)<br />

ekstrak etil asetat<br />

daun N. atropurpurea dengan metode kontak. Percobaan menggunakan RAL dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari 6<br />

taraf konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun N. atropurpurea yang diaplikasikan dengan metode<br />

kontak bersifat toksik terhadap larva Spodoptera litura instar ketiga. Ekstrak yang paling toksik dihasilkan dari ekstraksi<br />

maserasi bertingkat dengan menggunakan pelarut etil asetat dengan nilai LC dan LC sebesar 0,18% dan 0,54%.<br />

Kata kunci : Toksisitas, ekstrak daun Nicolaia atropurpurea, Spodoptera litura<br />

50 95


JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN<br />

ISSN 1829-6327 <strong>Vol</strong>. VII No. 5, 2010<br />

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya<br />

UDC(OXDCF)630*.............<br />

Aris Sudomo, Encep Rachman (Balai Penelitian Kehutanan Ciamis) dan Nina Mindawati (<strong>Pusat</strong> Penelitian dan<br />

Pengembangan <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong>)<br />

Mutu Bibit Manglid ( Manglieta glauca Bi)pada Tujuh Jenis Media Sapih<br />

J. Pen. Htn Tnm <strong>Vol</strong>. VII No. 5, 2010 p:265-272<br />

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis media sapih yang mampu menghasilkan pertumbuhan dan mutu bibit<br />

Manglieta glauca BI terbaik. Penelitian dilakukan di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Ciamis dari bulan Februari<br />

2008 s/d September 2008. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah RancanganAcak Lengkap (RAL) dengan<br />

7 jenis media sapih yaitu M1 (Tanah + Pupuk kandang (3:1)), M2 (Tanah), M3 (Tanah + Pupuk kandang + Sekam padi<br />

(1:1:1)), M4 (Tanah + Pupuk kandang + Pasir (1:1:1)), M5(Tanah + Pupuk kandang + Serbuk sabut kelapa (1:1:1)), M6<br />

((Tanah + Pupuk kandang + Serbuk gergaji (1:1:1)) dan M7 ( Tanah + Pupuk kandang + Abu sekam padi (1:1:1)). Masingmasing<br />

perlakuan 60 bibit sehingga total bibit yang diperlukan adalah 7 x 60 = 420 bibit. Hasil penelitian menunjukkan<br />

bahwa Campuran Media M4 (Tanah+Pupuk kandang+Pasir (1:1:1)) memberikan pertumbuhan diameter (0,469 cm), tinggi<br />

(22,678 cm) dan jumlah daun (9,978) Manglieta glauca BI yang lebih baik dibanding media lainnya. Campuran<br />

media M5 (tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1)) memberikan berat kering akar (2,096), berat kering batang<br />

dan daun (4,046) dan indeks mutu bibit (0,132) Manglieta glauca BI yang terbaik dibanding media lainnya. Kesimpulan<br />

dari penelitian ini adalah penggunaan campuran media M4 dan M5 masing-masing memberikan pertumbuhan dan indeks<br />

mutu bibit yang terbaik dalam teknik pembibitan Manglieta glauca BI.<br />

Kata kunci : Indeks mutu bibit, Manglieta glauca BI dan Media sapih<br />

UDC(OXDCF)630*.............<br />

Illa anggraeni dan Neo Endra Lelana (<strong>Pusat</strong> Penelitian dan Pengembangan <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong>), Benyamin Dendang (Balai<br />

Penelitian Kehutanan Ciamis)<br />

Pengendalian Penyakit Karat Tumor ( Uromycladium tepperianum (sacc.) Mc. Alpin) pada Sengon ( Falcataria mollucana<br />

(miq.) Barneby & J.w. Grimes) di Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat<br />

J. Pen. Htn Tnm <strong>Vol</strong>. VII No. 5, 2010 p:273-278<br />

Sengon ( Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) merupakan salah satu jenis pohon yang saat ini telah<br />

dikembangkan dalam skala usaha, namun permasalahan yang dihadapi ialah adanya serangan penyakit karat tumor yang<br />

disebabkan oleh fungi Uromycladium tepperianum<br />

(Sacc.) Mc. Alpin. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengendalian<br />

agar kerugian yang ditimbulkan tidak semakin besar. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui efektivitas belerang,<br />

kapur dan garam dalam mengendalikan penyakit karat tumor di Panjalu Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Penelitian<br />

menggunakan enam perlakuan dengan individu yang diberi perlakuan sebanyak 10 pohon per perlakuan. Pengendalian<br />

dilakukan menggunakan belerang, kapur dan garam. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah P0 = kontrol, P1<br />

= belerang, P2 = kapur, P3 = kapur : belerang (1:1) (b/b), P4 = belerang : garam (10:1) (b/b), P5 = Kapur : garam (10:1) (b/b),<br />

P6 = belerang : kapur : garam (10:10:1) (b/b). Hasil penelitian menunjukkan perlakuan P4 dan P5 mempunyai persentase<br />

penghambatan tertinggi dan paling banyak menekan rata-rata jumlah karat tumor. Namun demikian, secara statistik nilai ini<br />

tidak berbeda dengan perlakuan P2 dan P6.<br />

Kata kunci : sengon, karat tumor, belerang, kapur, garam


MODEL PENDUGA VOLUME POHON KAYU BAWANG<br />

( Disoxylum molliscimum BurmF)DIPROVINSI .<br />

BENGKULU<br />

Tree <strong>Vol</strong>ume Estimation Model of Kayu Bawang<br />

(Disoxylum molliscimum Burm F. ) in Bengkulu Province<br />

Agus Sumadi dan Hengki Siahaan<br />

Balai Penelitian Kehutanan Palembang<br />

Jl. Kol. H. Burlian KM. 6,5 Kotak Pos 179, Puntikayu, Palembang<br />

Telp./Fax. (0711) 414864<br />

Naskah masuk : 19 Desember 2009 ; Naskah diterima : 4 November 2010<br />

ABSTRACT<br />

A tree volume estimation model of kayu bawang (Disoxylum molliscimum) in farm forestry was made in<br />

North Bengkulu based on data collected from 96 trees sample, 66 trees sample was used in model fitting<br />

and the remain 30 trees sample in model validation. The model construction was aimed for better<br />

estimation of forest plantation yield in order to perform effective forest management. The tree volume<br />

estimation model constructed in 5 form of regression formulas with diameter and height as independent<br />

variable. The best formula was selected by statistic test criteria of model construction and model<br />

2<br />

validation i.e. coefficient of determination (R ), root mean square error (RMSE), average deviation (SR)<br />

and aggregate deviation (SA). Based on the criteria, the best formula of tree volume estimation model of<br />

2,317 0,239 2<br />

kayu bawang is V = 0,0001027 D H with the value of R =95,58%, RMSE=0,0386, SR=9,16% and<br />

SA=0,09% .<br />

Keywords: Kayu bawang (Disoxylum molliscimum), volume estimation model, regression formula<br />

ABSTRAK<br />

Model penduga volume pohon jenis kayu bawang (Disoxylum molliscimum) pada hutan rakyat di<br />

Bengkulu Utara disusun berdasarkan data dari 96 pohon sampel, 66 pohon sampel digunakan dalam<br />

penyusunan model dan 30 sampel pohon lainnya digunakan dalam validasi model. Penyusunan model<br />

bertujuan untuk pendugaan hasil hutan tanaman yang lebih baik dalam upaya mencapai pengelolaan hutan<br />

yang efektif. Model penduga volume disusun dalam 5 bentuk persamaan regresi dengan diameter dan<br />

tinggi pohon sebagai peubah bebas. Model terbaik diperoleh berdasarkan kriteria uji statistik dalam<br />

2<br />

penyusunan dan validasi model, yaitu koefisien determinasi (R ), akar rata-rata kuadrat simpangan<br />

(RMSE), simpangan rata-rata (SR), dan simpangan agregat (SA). Berdasarkan criteria tersebut, model<br />

2,317 0,239 2<br />

penduga volume kayu bawang terbaik adalah V= 0,0001027 D H dengan nilai R = 95,58%, RMSE<br />

= 0,0386, SR = 9,16% dan SA= 0.09%.<br />

Kata kunci : Kayu bawang (Disoxylum molliscimum), model penduga volume, persamaan regresi<br />

I. PENDAHULUAN<br />

<strong>Hutan</strong> di Indonesia setiap tahun<br />

mengalami penurunan potensi dan degradasi<br />

sehingga menyebabkan terjadinya penurunan<br />

pasokan kayu secara drastis. Kondisi kerusakan<br />

hutan telah menyebabkan terjadinya<br />

ketimpangan antara kebutuhan dan pasokan<br />

kayu. Kondisi tersebut mengakibatkan<br />

keberadaan hutan rakyat menjadi sangat<br />

penting sebagai salah satu pemasok atau<br />

penghasil kayu. Kayu bawang merupakan jenis<br />

kayu pertukangan yang banyak dikembangkan<br />

oleh masyarakat dalam bentuk hutan rakyat<br />

terutama di Bengkulu Utara.<br />

Manajemen pengelolaan hutan rakyat<br />

jenis kayu bawang di Bengkulu Utara yang masih<br />

sederhana dan belum tersedianya perangkat yang<br />

dapat memudahkan dalam penghitungan potensi<br />

kayu yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini<br />

227


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 227 - 231<br />

mengakibatkan perhitungan potensi kayu yang<br />

dihasilkan menjadi tidak akurat. Salah satu<br />

perangkat penting dalam penghitungan potensi<br />

kayu adalah model penduga volume.<br />

Menurut Bambang dan Wahyono (1996),<br />

penaksiran dengan cara menggunakan angka<br />

bentuk batang yang umum digunakan sebesar 0,7<br />

diduga merupakan salah satu sumber kesalahan<br />

dalam penaksiran, sehingga dapat<br />

mengakibatkan perbedaan yang cukup besar<br />

antara angka taksiran dengan angka sebenarnya.<br />

Dengan kondisi ini perlu dilakukan penelitian<br />

dengan tujuan mendapatkan model penduga<br />

volume pohon jenis kayu bawang yang memiliki<br />

ketelitian tinggi.<br />

Penelitian dilaksanakan di hutan rakyat<br />

Bengkulu Utara pada bulan Agustus 2005. Data<br />

yang diperoleh dari 96 pohon model yang dibagi<br />

dalam dua kelompok, yaitu 66 data digunakan<br />

untuk penyusunan model dan sisanya 30 data<br />

digunakan untuk validasi model. Pohon model<br />

dipilih secara purposive sampling sehingga<br />

dapat mewakili sebaran kelas diameter dari<br />

diameter terkecil sampai dengan diameter<br />

terbesar. Pohon yang dipilih sebagai pohon<br />

model adalah pohon yang memiliki pertumbuhan<br />

228<br />

II. BAHAN DAN METODE<br />

A. Pelaksanaan Penelitian<br />

Vs<br />

Bp Bu<br />

x L<br />

2<br />

No. Nama model/Model Ekspresi/Expression Referensi/Reference<br />

1. Constant form factor<br />

2. Combined variable<br />

3. Generalized combined<br />

variable<br />

4. Logarithmic<br />

V=b0D 2 H<br />

V=b0 +b1 D 2 H<br />

V=b0 +b1 D 2 +b2 D 2 H+b3 H<br />

V=b1D b2 H b3<br />

normal, tidak terserang hama penyakit, serta<br />

memiliki tajuk dan batang normal. Pada pohon<br />

model dilakukan pengukuran diameternya<br />

setinggi dada ( diameter at breast height = dbh),<br />

tinggi total, diameter pangkal dan ujung tiap seksi<br />

batang dan cabang dengan panjang seksi 1 m<br />

sampai diameter 7 cm.<br />

B. Pengolahan Data dan Penyusunan Model<br />

Perhitungan volume pohon dilakukan<br />

dengan menjumlahkan volume seksi-seksi<br />

batang dan cabang pohon. Perhitungan volume<br />

seksi batang pohon dan cabang dengan<br />

menggunakan persamaan Smalian (Chapman<br />

dan Meyer, 1949) berikut:<br />

Vp<br />

Spurr, 1952<br />

Burkhart, 1977<br />

n<br />

i 1<br />

Romancier, 1961<br />

Vs<br />

Keterangan Vs = volume seksi batang (m3)<br />

Vp = volume pohon (m3)<br />

Bp = luas bidang dasar pangkal seksi (m2)<br />

Bu = luas bidang dasar ujung seksi (m2)<br />

L = panjang seksi (m)<br />

Penyusunan model volume menggunakan<br />

analisis regresi dengan dua peubah bebas, yaitu<br />

diamater setinggi dada (dbh) dan tinggi pohon<br />

(Husch et al.<br />

1972). Model yang diuji adalah<br />

model yang diajukan oleh Spurr, 1952; Burkhart,<br />

1977; Romancier,1961; dan Schumacher & Hall,<br />

1933 dalam Krisnawati, 2007) (Tabel 1).<br />

Tabel ( Table) 1. Model yang diuji dalam pendugaan volume pohon kayu bawang ( Model tested for kayu<br />

bawang tree volume estimation)<br />

Schumacher and Hall,<br />

1933<br />

Keterangan ( Remark ) : V= volume pohon ( volume tree), D = diameter setinggi dada ( diameter breast height),<br />

H = tinggi total,<br />

( total height), b0, b1, b2, b2 = koefisien regresi ( regression coefficient)<br />

Pada Model 1 hingga model 3 regresi<br />

dilakukan secara langsung pada data asli,<br />

sedangkan pada model 4 regresi dilakukan<br />

dengan terlebih dulu melakukan transformasi<br />

logaritma. Tetapi dalam perhitungan nilai-nilai<br />

2<br />

uji statistik R , RMSE, SA, dan SR, data terlebih<br />

dulu dikembalikan pada bentuk asli.<br />

C. Pemilihan Model Terbaik<br />

Model terbaik dipilih berdasarkan kriteria<br />

uji statistik sebagai berikut:<br />

2<br />

1. Koefisien determinasi (R )<br />

Koefisien determinasi merupakan proporsi<br />

variasi total di sekitar nilai tengah y yang<br />

dapat dijelaskan oleh variasi regresi (Draper


2<br />

& Smith 1992). Semakin tinggi nilai R , maka<br />

semakin besar variasi yang dapat dijelaskan.<br />

2<br />

R dihitung dengan rumus:<br />

R<br />

2<br />

1<br />

2. Akar rata-rata kuadrat simpangan (root mean<br />

squared error = RMSE)<br />

RMSE menyatakan akurasi dugaan (Huang et<br />

al. 2003) yang dinyatakan dengan rumus:<br />

RMSE<br />

( Y<br />

( Y<br />

( Y<br />

n<br />

i<br />

Yˆ<br />

i )<br />

Y )<br />

Yˆ<br />

) i<br />

p<br />

3. Validasi Model<br />

Simpangan rata-rata dan simpangan agregat<br />

digunakan untuk mengukur keakuratan suatu<br />

model yang besarnya ditentukan oleh selisih<br />

nilai hasil pendugaan dan hasil pengukuran.<br />

Semakin kecil nilai simpangan rata-rata dan<br />

simpangan agregat suatu model maka,<br />

keakuratan model tersebut semakin tinggi<br />

(Husch 1963). Nilai SR dan SA dihitung<br />

dengan rumus:<br />

i<br />

i<br />

2<br />

2<br />

2<br />

Model Penduga <strong>Vol</strong>ume Pohon Kayu Bawang<br />

( Disoxylum molliscimum Burm F.) di Provinsi Bengkulu<br />

Agus Sumadi dan Hengki Siahaan<br />

SR<br />

SA<br />

Y<br />

i<br />

Yˆ<br />

Yi<br />

n<br />

i<br />

Yˆ<br />

Yˆ<br />

i<br />

i<br />

x100%<br />

Yi<br />

x100%<br />

Dengan: n = jumlah unit contoh, p = jumlah parameter,<br />

Ỹ= rata-rata nilai pengukuran, Yi = nilai<br />

pengukuran variabel ke-i, dan Ŷ= nilai dugaan<br />

variabel ke-i<br />

III. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

A. Sebaran Pohon Model<br />

Pohon model untuk penelitian ini dipilih<br />

secara purpossive sampling pada tegakan<br />

hutan rakyat yang tersebar di wilayah Bengkulu<br />

Utara. Pohon model untuk penyusunan<br />

model memiliki sebaran diameter antara 6.37 -<br />

34,33 cm dan tinggi total antara 7,3 - 23,7 m<br />

(Tabel 2). Sedangkan pohon model untuk<br />

validasi mempunyai sebaran diameter antara<br />

6,37 - 33,12 cm dan tinggi antara 5,4 - 21,0 m<br />

(Tabel 3).<br />

Tabel ( Table)<br />

2. Sebaran diameter dan tinggi pohon penyusun model penduga volume kayu bawang<br />

( Diameter and height distribution of fitting tree model of kayu bawang)<br />

Kelas diameter/<br />

Diameter class<br />

(cm)<br />

Tinggi pohon/ Height (m)<br />

5,0 – 9,9 10,0 – 14,9 15,0 – 19,9 20,0 – 24,9<br />

Jumlah/<br />

Number of trees<br />

(pohon)<br />

5,0 – 9,9 3 3<br />

10,0 – 14,9 4 3 7<br />

15,0 – 19,9 10 3 2 15<br />

20,0 – 24,9 5 10 4 19<br />

25,0 – 29,9 14 2 16<br />

≥30,0 4 2 6<br />

Jumlah/Sum 7 18 31 10 66<br />

Tabel (Table) 3. Sebaran diameter dan tinggi pohon untuk validasi model penduga volume kayu bawang<br />

(Diametre and height distribution of validation tree model of kayu bawang)<br />

Kelas diameter/<br />

Diameter class<br />

(cm) 5,0 – 9,9<br />

Tinggi pohon/ Height (m)<br />

10,0 – 14,9 15,0 – 19,9 20,0 – 24,9<br />

Jumlah/<br />

Number of trees<br />

(pohon)<br />

5,0 – 9,9 2 2<br />

10,0 – 14,9 3 1 4<br />

15,0 – 19,9 1 4 2 7<br />

20,0 – 24,9 4 6 1 11<br />

25,0 – 29,9 3 1 4<br />

≥30,0 2 2<br />

Jumlah/Sum<br />

6 9 13 2 30<br />

229


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 227 - 231<br />

B. Model Penduga <strong>Vol</strong>ume Pohon<br />

Model penduga volume pohon kayu<br />

bawang yang dikembangkan dalam pola hutan<br />

rakyat di Bengkulu Utara digunakan untuk<br />

menduga volume kayu yang dapat dimanfaatkan<br />

( merchantable volume).<br />

Model dibangun<br />

berdasarkan peubah bebas tinggi dan diameter<br />

pohon dengan empat persamaan regresi seperti<br />

tertera pada Tabel 4, masing-masing dengan<br />

2<br />

nilai-nilai kriteria uji R , RMSE, simpangan<br />

agregat (SA) dan simpangan rata-rata (SR).<br />

Ketiga model pertama memiliki kesamaan<br />

2<br />

bentuk, yaitu menggunakan variabel D H.<br />

Penambahan konstanta pada model pertama<br />

menjadi model 2 hanya meningkatkan nilai<br />

koefisien determinasi sebesar 1,11%, artinya<br />

peningkatan keragaman yang diterangkan oleh<br />

model dengan penambahan konstanta tersebut<br />

tidak cukup berarti. Pada model 3, penambahan<br />

2 2<br />

variabel D , D H, dan H dapat meningkatkan<br />

koefisien determinasi hingga 4,58%. Hasil uji<br />

signifikansi pada ketiga variabel tersebut<br />

2<br />

variabel D mempunyai peran yang sangat<br />

2<br />

nyata (α = 0.000), D H berperan nyata<br />

(α = 0,026), sedangkan H tidak berperan nyata<br />

(α = 0,091).<br />

230<br />

No. Model<br />

2<br />

Selain menggunakan kriteria uji R dan<br />

RMSE yang diperoleh dari data penyusun model,<br />

kriteria uji lain yang perlu diperhatikan dalam<br />

penyusunan model penduga volume pohon<br />

adalah simpangan rata-rata (SR) dan simpangan<br />

agregat (SA) yang merupakan kriteria uji yang<br />

diperoleh dari tahapan validasi model. Validasi<br />

model sangat penting dilakukan karena kualitas dari<br />

model fitting (berdasarkan data yang digunakan<br />

untukmenyusunmodel)belumtentumencerminkan<br />

kualitas hasil prediksi model (berdasarkan<br />

independent data yang tidak digunakan untuk<br />

menyusunmodel)(Huang etal.,<br />

2003).<br />

2<br />

Berdasarkan nilai-nilai kriteria uji R ,<br />

RMSE, SR, dan SA, model penduga volume kayu<br />

bawang yang paling tepat adalah model 3 dan<br />

2<br />

model 4. Nilai R dan RMSE kedua model hampir<br />

sama. Tetapi berdasarkan validasi model, nilai<br />

simpangan rata-rata (SR) dan simpangan agregat<br />

(SA) model ke-4 lebih kecil dibandingkan model<br />

3. Nilai SA dan SR model 4 telah memenuhi<br />

kriteria sebagaimana disyaratkan oleh Chapman<br />

dan Meyer (1949) dan Husch (1963) yang<br />

menyatakan bahwa simpangan agregatif model<br />

penduga pohon sebaiknya tidak lebih dari 1%<br />

serta kriteria Spurr (1952) yang menyatakan<br />

bahwa simpangan rata-rata tidak lebih dari 10%.<br />

2 2<br />

Tabel ( Table) 4. Nilai R , RMSE, SR dan SA model penduga volume pohon kayu bawang ( R , RMSE, SR<br />

dan SA value of kayu bawang tree model estimation)<br />

R 2<br />

(%)<br />

RMSE<br />

1 V = 0.0000351 D 2 H 89,78 0,0587 16,71 3,62<br />

2 V = 0.0113 + 0.0000323 D 2 H 90,89 0,0554 16,09 0,22<br />

3<br />

V = 0.0187 + 0.000456 D 2 + 0.000013 D 2 H-<br />

0.00494 H<br />

4 V = 0,0001027 D 2,317 H 0,239<br />

SR<br />

(%)<br />

SA<br />

(%)<br />

95,47 0,0391 10,65 1,36<br />

95,58 0,0386 9,16 0,09<br />

Tabel ( Table ) 5. Peringkat penilaian model penduga volume kayu pohon bawang (Tree volume estimation<br />

model rank of kayu bawang at Bengkulu )<br />

Peringkat nilai persamaan/<br />

Peringkat gabu-<br />

No. Persamaan/Equation<br />

Rank of equation vallue Jlh ngan/Combination<br />

R of ranks<br />

2<br />

RMSE SR SA<br />

1 V = 0 .0000351 D 2 H 4 4 4 4 16 4<br />

2 V = 0.0113 + 0.0000 323 D 2 H 3 3 3 2 11 3<br />

3<br />

V = 0.0187 + 0.00045 6 D 2 +<br />

0.000013 D 2 H - 0.00494 H<br />

2 2 2 3 9 2<br />

4 V = 0,000 1027 D 2,317 H 0,239 1 1 1 1 4 1


IV. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

A. Kesimpulan<br />

Model penduga volume pohon kayu<br />

bawang dengan persamaan regresi sederhana<br />

dengan peubah bebas tinggi dan diameter pohon<br />

yang memiliki ketelitian tertinggi adalah V =<br />

2,317 0,239 2<br />

0,0001027 D H dengan nilai R = 95,58%,<br />

RMSE = 0,0386, SR = 9,16% dan SA= 0,09%.<br />

B. Saran<br />

Model penduga volume pohon jenis<br />

kayu bawang bisa digunakan di lapangan untuk<br />

menduga volume pohon khususnya pada hutan<br />

rakyat di Bengkulu Utara atau kayu bawang<br />

di lokasi lain yang memiliki karakteristik<br />

pertumbuhan yang tidak terlalu berbeda.<br />

Penggunaan model penduga volume pohon untuk<br />

aplikasi di lapangan atau oleh masyarakat perlu<br />

dibuat tabel volume pohon kayu bawang<br />

berdasarkan persamaan model penduga volume<br />

pohon yang telah terbentuk.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Bambang E. D. dan D. Wahjono. 1996. Tabel Isi<br />

Pohon Jenis Rasamala ( Altingia excelsa)<br />

di KPH Cianjur, Jawa Barat. Buletin<br />

Penelitian Huta. Bogor<br />

Model Penduga <strong>Vol</strong>ume Pohon Kayu Bawang<br />

( Disoxylum molliscimum Burm F.) di Provinsi Bengkulu<br />

Agus Sumadi dan Hengki Siahaan<br />

Chapman, H.H. and W.H. Meyer. 1949. Forest<br />

Mensuration.<br />

McGraw-Hill Book<br />

Company, Inc, NewYork.<br />

Draper N. Smith, H. 1992. Analisis Regresi<br />

Terapan.<br />

Bambang Sumantri, penerjemah.<br />

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.<br />

Terjemahan dari: Applied Regression<br />

Analysis.<br />

Huang, Yang Y., Wang Y. 2003. A critical look at<br />

procedures for validating growth and yield<br />

models. Di dalam: Amaro A, Reed D,<br />

Soares P, editor. Modelling Forest<br />

Systems.<br />

London : CABI Publishing.<br />

Husch, B., C. I. Miller dan T. W. Beer. 1972.<br />

Forest Mensuration.<br />

Second Edition. The<br />

Ronald Press Company. NewYork.<br />

Husch, B. 1963. Forest Mensuration and<br />

Statistics.<br />

Ronald Press Company, New<br />

York.<br />

Krisnawati, H. 2007. Modelling stand growth<br />

and yield for optimizing management of<br />

Acacia mangium Willd. plantation in<br />

Indonesia.<br />

Disertasi. University of<br />

Melbourne.<br />

Spurr, S.H. 1951. Forest Inventory.<br />

The Roland<br />

Press Company. NewYork.<br />

231


1)<br />

AKTIVITAS ANTAGONISME IN VITRO Trichoderma harzianum DAN<br />

Trichoderma pseudokoningii TERHADAP PATOGEN LODOH Pinus merkusii 1)<br />

In Vitro Antagonistic Activity of T. harzianum and T. pseudokoningii againts<br />

Damping off Pathogens of P. merkusii<br />

1) 2) 3) 4) 5) 6)<br />

Achmad , S. Hadi , S. Harran , E. Gumbira Sa'id , B. Satiawiharja , dan/ and M. Kosim Kardin<br />

Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB Darmaga kotak pos 168<br />

Bogor 16680, telp. dan faks. (0251) 8626886, e-mail: deptsilvik@ipb.ac.id atau achmadrm@yahoo.com<br />

2)<br />

Guru Besar pada Fakultas Kehutanan IPB (almarhum)<br />

3)<br />

Staf pengajar pada Fakultas MIPA IPB (purnabakti)<br />

4)<br />

Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB<br />

5)<br />

Staf pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB<br />

6)<br />

Peneliti Utama pada Balitbio Badan <strong>Litbang</strong> Pertanian Deptan (purnabakti)<br />

Naskah masuk : 12 Januari 2010 ; Naskah diterima : 6 November <strong>2010.</strong><br />

ABSTRACT<br />

In vitro study on the biological control of damping-off of Pinus merkusii was done during February<br />

1995 - April 1997 at Forest Protection Laboratory, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural<br />

University. The pathogens, i.e. Rhizoctonia solani and Fusarium oxysporum, were isolated from seed<br />

and sprout stick base cut of damping-off infected P. merkusii seedling by direct planting technique.<br />

Fungi antagonists, i.e. Trichoderma harzianum and Trichoderma pseudokoningii, were isolated from<br />

seed and rhizosphere soil of damping-off infected pine seedlings. Result of antagonistic test by direct<br />

method showed that T. harzianum retarded F. oxysporum growth up to 28.75 % on PDA and 27.33 %<br />

on MEA. T. harzianum also retarded R. solani growth up to 11.88 % on PDA and 9.38 % on MEA.<br />

T. pseudokoningii retarded F. oxysporum growth up to 24.38% on MEA and 13.96% on PDA.<br />

T. pseudokoningii also retarded R. solani growth up to 8.75% on PDA and 9.37% on MEA. The two<br />

antagonists fungi produced chitinase, and T. harzianum degraded chitin of the medium more intensive<br />

than T. pseudokoningii. Antagonistic mechanisms that play role are the mycoparasitism, i.e. coiling and<br />

clamping R. solani hyphae by T. harzianum and T. pseudokoningii and penetration of R. solani hyphae<br />

by T. harzianum, and antibiosis allegedly by the envolvement of chitinase of the two antagonistic fungi.<br />

Keywords: Pinus merkusii, in vitro antagonism, Trichoderma harzianum, Trichoderma<br />

pseudokoningii, Rhizoctonia solani, Fusarium oxysporum<br />

ABSTRAK<br />

Studi pengendalian hayati in vitro terhadap serangan patogen lodoh pada semai Pinus merkusii telah<br />

dilakukan di laboratorium Perlindungan <strong>Hutan</strong> Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dari bulan<br />

Februari 1996 hingga April 1997. Perolehan fungi fatogenik penyebab lodoh di lakukan melalui isolasi dari<br />

benih dan dari potongan pangkal batang kecambah P. merkusii yang menunjukkan gejala terserang lodoh<br />

dengan teknik tanam langsung. Fungi antagonis diisolasi dari benih dan tanah yang diambil dari daerah<br />

perakaran semai P. merkusii yang terserang lodoh. Hasil uji antagonisme dengan metode langsung<br />

menunjukkan bahwa Trichoderma harzianum menghambat pertumbuhan Fusarium oxysporum hingga<br />

28.75 % dan 27.33 % berturut-turut pada PDA dan MEA, sedang terhadap R. solani penghambatannya<br />

sebesar 11.88 % dan 9.38 % berturut-turut pada PDA dan MEA. Penghambatan T. pseudokoningii terhadap<br />

pertumbuhan F. oxysporum pada MEA mencapai 24.38%, sedang pada PDA sebesar 13.96%. terhadap<br />

R. solani. T. pseudokoningii menghambat hingga 8.75% dan 9.37% berturut-turut pada PDA dan MEA.<br />

Kedua jenis fungi antagonis menghasilkan kitinase, dan T. harzianum lebih intensif mendegradasi kitin<br />

pada medium dibanding T. pseudokoningii.<br />

Mekanisme antagonistik yang berperan adalah mikoparasitism<br />

yaitu pelilitan dan penjepitan hifa R. solani berturut-turut oleh T. harzianum dan T. pseudokoningii serta<br />

233


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 233 - 240<br />

penetrasi hifa R. solani oleh hifa T. harzianum,<br />

dan antibiosis yang diduga melibatkan aktivitas kitinase kedua<br />

jenis fungi antagonis.<br />

Kata kunci : Pinus merkusii, antagonisme in vitro, Trichoderma harzianum, Trichoderma<br />

pseudokoningii, Rhizoctonia solani, Fusarium oxysporum<br />

234<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Pinus merkusii Jungh. et de Vriese<br />

merupakan salah satu jenis pohon utama asli<br />

Indonesia yang disarankan ditanam pada<br />

pembangunan hutan tanaman industri (HTI).<br />

Jenis tanaman ini disamping dapat menghasilkan<br />

kayu untuk bahan bangunan, bahan korek api,<br />

terpentin dan gondorukem, juga di manfaatkan<br />

sebagai bahan baku pembuatan pulp untuk<br />

menghasilkan kertas.<br />

Pembangunan HTI yang berimplikasi<br />

dengan penanaman pohon sejenis pada skala<br />

luas menuntut tersedianya bibit berkualitas tinggi<br />

dalam jumlah yang cukup. Serangan patogen<br />

lodoh yang disebabkan oleh Fusarium oxyporum<br />

dan Rhizoctonia solani dapat merupakan satu di<br />

antara beberapa penyebab utama berkurangnya<br />

jumlah semai yang disediakan. Intensitas<br />

serangan lodoh sangat bervariasi dan dapat<br />

mencapai 100% (Suharti et al.,<br />

1991).<br />

Perlindungan semai P. merkusii terhadap<br />

patogen lodoh dapat terjadi melalui faktor<br />

semainya sendiri, dalam hal ini berkaitan dengan<br />

ketahanan, ataupun melalui manipulasi kondisi<br />

lingkungan. Fenomena di lapangan menunjukkan<br />

bahwa ketahanan semai P. merkusii terhadap<br />

penyakit lodoh makin meningkat dengan<br />

bertambahnya umur. Perubahan sifat yang terjadi<br />

secara alami dengan bertambahnya umur tersebut<br />

diduga berkaitan dengan peningkatan ketahanan<br />

semai terhadap penyakit lodoh.<br />

Perlindungan semai P. merkusii melalui<br />

manipulasi faktor lingkungan dapat dilakukan<br />

dengan pengendalian patogen secara hayati yang<br />

pada akhir-akhir ini mendapat perhatian besar.<br />

Lodoh merupakan penyakit pada semai pinus<br />

yang disebabkan oleh patogen tular tanah. Oleh<br />

karena itu pengendalian hayati dapat efektif<br />

mengendalikan penyakit tersebut dan hasilnya<br />

dapat berjangka panjang, bahkan permanen, serta<br />

tidak mengakibatkan polusi atau gangguan bagi<br />

kesehatan manusia dan hewan (Bruehl, 1987).<br />

Pengendalian hayati dilakukan antara lain<br />

melalui introduksi antagonis yang dapat<br />

menghambat patogen dan kolonisasinya pada<br />

rizosfer. Penghambatan tersebut terjadi melalui<br />

mekanisme antagonistik yang antara lain<br />

melibatkan peran enzim dan metabolit lain yang<br />

di hasilkan antagonis. Fungi antagonis<br />

Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dilaporkan<br />

mampu menghambat patogen lodoh (Baker dan<br />

Cook, 1974). Di Indonesia, upaya pengendalian<br />

hayati penyakit lodoh pada P. merkusii yang<br />

disebabkan oleh Fusarium sp., Pythium sp., dan<br />

Rhizoctonia sp. menggunakan fungi antagonis<br />

Trichoderma sp. diteliti oleh Sudjud (1983).<br />

Hasilnya menunjukkan bahwa fungi antagonis<br />

mampu menghambat ketiga patogen lodoh<br />

tersebut antibiosis.<br />

Mekanisme pengendalian hayati dapat<br />

terjadi dalam bentuk antibiosis, kompetisi, dan<br />

mikoparasitisme (Baker dan Cook, 1974).<br />

Antibiosis adalah antagonisme yang diperantarai<br />

oleh metabolit spesifik atau non-spesifik, atau<br />

oleh agensia lisis, enzim, senyawa folatil, atau zat<br />

beracun (toksin) lainnya yang dihasilkan oleh<br />

mikroba (Fravel, 1988). Kompetisi biasanya<br />

terjadi terhadap nutrisi dan ruang tumbuh atau<br />

faktor-faktor pertumbuhan penting tertentu<br />

lainnya. Interaski mikoparasitik secara umum<br />

dibedakan ke dalam dua tipe, yaitu tipe biotrofik<br />

dan tipe nekrotrofik. Kebanyakan interaksi<br />

mikoparasitik yang mempengaruhi struktur<br />

bertahan patogen tular tanah adalah tipe<br />

nekrotrofik (Lockwood, 1988).<br />

Tujuan penelitian ini adalah untuk<br />

mempelajari efektivitas penghambatan in vitro<br />

fungi antagonis T. harzianum dan T.<br />

pseudokoningii terhadap pertumbuhan patogen<br />

lodoh R. solani, dan F. oxysporum serta<br />

mekanisme penghambatan yang terjadi.<br />

II. BAHAN DAN METODE<br />

Percobaan dilaksanakan di Laboratorium<br />

Perlindungan <strong>Hutan</strong> Fahutan IPB dari Februari<br />

1996 hingga April 1997. Penelitian diawali<br />

dengan penyediaan inokulum fungi melalui<br />

isolasi dan seleksi isolat, kemudian dilanjutkan<br />

dengan perlakuan terhadap isolat terpilih sesuai<br />

tujuan tiap tahap kegiatan penelitian.<br />

Perolehan fungi patogenik penyebab lodoh<br />

dilakukan melalui isolasi dari benih dan dari<br />

potongan pangkal batang kecambah P. merkusii<br />

yang menunjukkan gejala terserang lodoh<br />

dengan teknik tanam langsung. Isolasi dari benih


dilakukan dengan menanam benih secara<br />

langsung pada media agar air dan PDA ( Potato<br />

Dexrose Agar).<br />

Benih yang ditanam adalah benih<br />

yang permukaannya tidak disterilkan maupun<br />

yang disterilkan terlebih dahulu dengan<br />

merendamnya dalam larutan NaOCl 1% selama<br />

2-5 menit dan dibilas dengan air steril satu kali.<br />

Isolasi dari pangkal batang dilakukan<br />

dengan prosedur berikut : potongan pangkal<br />

batang yang terserang patogen lodoh dicuci<br />

dengan air steril dalam labu Erlenmeyer,<br />

kemudian permukaannya disterilkan dengan<br />

merendam dalam larutan NaOCl 1% selama dua<br />

menit dan dibilas dengan air steril tiga kali, serta<br />

selanjutnya dikeringkan dengan cara<br />

meletakkannya dalam cawan petri bersih yang<br />

telah dialasi kertas saring steril. Potongan<br />

pangkal batang tersebut kemudian ditanam pada<br />

media agar air dan PDAdan diinkubasi pada suhu<br />

kamar. Setelah patogen tumbuh, kemudian isolat<br />

dimurnikan. Dua isolat dari isolat-isolat patogen<br />

lodoh yang diperoleh yang paling kuat<br />

virulensinya, yaitu yang menimbulkan<br />

persentase semai pinus mati terbesar, digunakan<br />

pada percobaan selanjutnya.<br />

Fungi antagonis diisolasi dari benih dan<br />

tanah yang diambil di daerah perakaran semai<br />

P. merkusii yang terserang lodoh. Isolasi dari<br />

benih dilakukan bersama-sama dengan isolasi<br />

fungi patogen lodoh. Isolasi fungi dari tanah<br />

dilakukan dengan cara mengambil contoh tanah<br />

sebanyak 10 g kering udara yang ditempatkan<br />

dalam gelas piala, kemudian ke dalamnya<br />

ditambahkan air destilata hingga mencapai<br />

volume 100 ml (pengenceran 1 : 10). Suspensi<br />

dikocok, kemudian dituang ke dalam labu<br />

Erlenmeyer 250 ml dan dikocok kembali. Secara<br />

aseptik diambil 10 ml dari suspensi tersebut dan<br />

diencerkan dengan 90 ml air destilata steril<br />

(pengenceran 1 : 100). Selanjutnya, dari suspensi<br />

yang telah diencerkan tersebut dibuat seri<br />

pengenceran 1 : 1000, dan 1 : 10000 dengan<br />

menambah air destilata steril. Dari tiap tingkat<br />

pengenceran, dituangkan 1 ml suspensi ke media<br />

agar air dan PDA yang telah ditambah antibiotik<br />

kemisetin 50 ppm dalam cawan petri secara<br />

aseptik. Cawan petri beserta isinya kemudian<br />

ditempatkan pada suhu kamar selam 24 jam,<br />

miselia yang tumbuh dipotong kemudian<br />

dipindahkan ke medium PDA yang baru, dan<br />

selanjutnya biakan fungi dimurnikan.<br />

Berdasarkan pemurnian dan uji<br />

antagonistik, dua isolat Trichoderma sp. dipilih<br />

untuk digunakan pada tahap percobaan<br />

selanjutnya. Isolat Trichoderma sp. yang pertama<br />

Aktivitas Antagonisme In Vitro Trichoderma harzianum dan<br />

Trichoderma pseudokoningii terhadap Patogen Lodoh Pinus merkusii<br />

Achmad, S. Hadi, S. Harran, E. Gumbira Sa'id, B. Satiawiharja, dan M. Kosim Kardin<br />

memiliki karakteristik sebagai berikut : hifa<br />

berukuran diameter 4-6 µm, fialospora membulat<br />

dengan permukaan licin berukuran 2.5-3 x 3-4<br />

µm, fialid berukuran 9-12 x 3-4 µm, dan<br />

klamidospora berukuran diameter 9-13 µm.<br />

Fialospora bulat dengan permukaan licin<br />

merupakan karakteristik Trichoderma<br />

harzianum (Rifai, 1969). Sedang karakteristik<br />

isolat Trichoderma sp. yang kedua adalah : hifa<br />

berukuran diameter 3- 5 µm, fialospora lonjong,<br />

berukuran 3.5-4 x 2-2.5 µm, fialid berukuran<br />

6-9 x 3-3.5 µm, dan klamidispora berukuran<br />

diameter 6-9 µm. Biakannya menunjukkan<br />

pewarnaan kekuningan hingga kuning pada PDA<br />

yang merupakan karakteristik Trichoderma<br />

pseudokoningii (Rifai, 1969).<br />

Pengujian antagonisme dengan metode<br />

langsung pada media padat di lakukan terhadap<br />

kombinasi pasangan isolat fungi patogen dan<br />

antagonis. Media yang di gunakan adalah PDA<br />

dan MEA ( Malt Extract Agar),<br />

dengan<br />

mengikuti prosedur yang diterangkan Marx<br />

(1969).<br />

Potongan koloni antagonis dan patogen di<br />

tanam pada media PDA dan MEA dalam cawan<br />

petri pada saat yang sama, dengan jarak antara<br />

koloni 5 cm. Potongan koloni tersebut diambil<br />

dari biakan murni antagonis atau patogen<br />

berumur 5 hari dengan menggunakan bor gabus<br />

diameter 6 mm. Cawan petri beserta isinya<br />

kemudian ditempatkan pada suhu kamar.<br />

Pengujian dilakukan dalam tiga ulangan.<br />

Peubah yang diamati adalah presentase<br />

penghambatan fungi patogen oleh fungi<br />

antagonis dan lebar zona hambatan. Presentase<br />

penghambatan (p) dihitung dengan persamaan<br />

(1) (Fokkema 1973 dalam Skidmore, 1976). Pada<br />

persamaan ini, p menunjukkan presentase<br />

penghambatan, r1 adalah jari-jari koloni fungi<br />

patogen yang tumbuh berlawanan arah terhadap<br />

fungi antagonis, sedang r2 adalah jari-jari koloni<br />

fungi patogen yang tumbuh ke arah fungi<br />

antagonis. Lebar zona hambatan adalah lebar<br />

zona antara kedua ujung koloni fungi, diukur<br />

pada hari ke lima setelah fungi patogen ditanam.<br />

r-r 1 2<br />

P = __________x 100 % .......................(1)<br />

r1<br />

Pengamatan mikroskopik miselia pada<br />

daerah pertemuan antara dua koloni yaitu fungi<br />

antagonis dan fungi patogen dilakukan untuk<br />

mengetahui mekanisme penekanan terhadap<br />

patogen yang mungkin terjadi. Uji kualitatif<br />

produksi kitinase fungi antagonis dilakukan<br />

dengan menumbuhkan kedua jenis fungi tersebut<br />

235


pada media kitin agar (Atlas, 1993). Adanya<br />

produksi kitinase ditandai dengan adanya<br />

perubahan media yang awalnya putih keruh<br />

menjadi transparan. Hal ini menunjukkan adanya<br />

konsumsi kitin oleh fungi antagonis karena fungi<br />

tersebut menghasilkan kitinase.<br />

Hasil uji antagonisme dengan metode<br />

langsung menunjukkan bahwa Trichoderma<br />

harzianum menghambat pertumbuhan Fusarium<br />

oxysporum hingga 28.75 % dan 27.33 %<br />

berturut-turut pada PDA dan MEA, sedang<br />

terhadap Rhizoctonia solani penghambatannya<br />

sebesar 11.88 % dan 9.38 % berturut-turut pada<br />

PDAdan MEA( Tabel 1).<br />

236<br />

III. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Fungi patogen<br />

(Pahogenic fungi)<br />

Media<br />

(Medium)<br />

(%) 1)<br />

(mm) 1)<br />

F. oxysporum PDA 28.75 ± 4.79 5.8 ± 0.64<br />

MEA 27.33 ± 8.03 6.4 ± 0.95<br />

R. solani PDA 11.88 ± 2.39 2.4 ± 0.48<br />

MEA 9.38 ± 3.14 1.6 ± 0.48<br />

1)<br />

Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 233 - 240<br />

Antagonisme antara T. harzianum dengan<br />

kedua jenis fungi patogen menimbulkan<br />

terbentuknya zona hambat, baik pada PDA<br />

maupun MEA. Lebar zona hambatan terhadap<br />

koloni F. oxysporum mencapai 5.8 mm dan 6.4<br />

mm berturut-turut pada PDA dan MEA. Zona<br />

tersebut lebih lebar dibanding yang terbentuk<br />

pada antagonisme antara fungi antagonis yang<br />

sama dengan R. solani,<br />

yaitu hanya selebar 2.4<br />

mm dan 1.6 mm berturut-turut pada PDA dan<br />

MEA(Tabel 1).<br />

Penghambatan T. pseudokoningii<br />

terhadap pertumbuhan F. oxysporum pada<br />

MEA mencapai 24.38%, sedang pada PDA<br />

sebesar 13.96%. Terhadap R. solani, T.<br />

pseudokoningii menghambat hingga 8.75%<br />

dan 9.37% berturut-turut pada PDA dan MEA<br />

(Tabel 2)<br />

Table ( Table) 1. Penghambatan pertumbuhan in vitro F. oxysporum dan R. solani oleh T. harzianum pada<br />

PDA dan MEA ( In vitro growth inhibition of F. oxysporum and R. solani by<br />

T. harzianum on PDA and MEA)<br />

Penghambatan<br />

Lebar zona hambatan<br />

( Inhibition)<br />

( Width of inhibition zone)<br />

nilai pada tiap kolom peubah : rataan ± simpangan baku ( values in each column: average ± standard deviation)<br />

Table ( Table) 2. Penghambatan pertumbuhan in vitro F. oxysporum dan R. solani oleh T. pseudokoningii<br />

pada PDA dan MEA ( In vitro growth inhibition of F. oxysporum and R. solani by<br />

T. pseudokoningii on PDA and MEA)<br />

Penghambatan<br />

Lebar zona hambatan<br />

Fungi patogen Media<br />

( Inhibition)<br />

( Width of inhibition zone)<br />

(Pahogenic fungi) (Medium)<br />

(%) 1)<br />

(mm) 1)<br />

F. oxysporum PDA 13.96 ± 5.76 1)<br />

0.0 2) ± 0.00 1)<br />

MEA 24.38 ± 3.14 5.5 ± 0.95<br />

R. solani PDA 8.75 ± 3.23 0.0 2) ± 0.48<br />

MEA 9.37 ± 2.39 1.5 ± 0.82<br />

1) nilai pada tiap kolom peubah : rataan ± simpangan baku ( values in each column: average ± standard deviation)<br />

2) pertumbuhan fungi patogen terhambat tetapi tidak terbentuk zona hambatan antar kedua koloni ( the growth of the pathogen<br />

was inhibited but inhibition zone between colonies was not formed)<br />

Pada antagonisme antara kedua jenis fungi<br />

patogen dengan T. pseudokoningii,<br />

terbentuknya<br />

zona hambatan tergantung pada media yang<br />

digunakan. Antagonisme T. pseudokoningii<br />

dengan F. oxysporum pada PDA tidak<br />

terbentuk zona hambatan, akan tetapi pada<br />

MEA terbentuk selebar 5.5 mm (Tabel 2 ).<br />

Fenomena yang sama juga ditemukan pada<br />

antagonisme T. pseudokoningii dengan<br />

R. solani,<br />

yaitu pada PDA tidak terbentuk<br />

zona hambatan akan tetapi pada MEA<br />

terbentuk selebar 1.5 mm (Tabel 2). Kemampuan<br />

antagonistik kedua jenis fungi antagonis<br />

juga ditunjang oleh pertumbuhannya yang<br />

lebih pesat dibanding fungi patogen pada PDA<br />

maupun MEA.<br />

Hasil pengamatan mikroskopik miselia<br />

pada daerah pertemuan antara kedua koloni


menunjukan bahwa hifa T. harzianum tumbuh<br />

melilit hifa R. solani.<br />

Disamping itu terjadi<br />

penetrasi oleh hifa T. harzianum dan penjepitan<br />

A B<br />

Gambar ( Figure) 1. Mikrograf daerah pertemuan koloni antagonis patogen.A: pelilitan hifa R. solani oleh<br />

hifa T. harzianum. Th: T. harzianum, Rs: R. solani, fs-Th: fialospora T. harzianum,<br />

tanda anak panah: pelilitan hifa. B: Penetrasi hifa R. solani oleh hifa T. harzianum<br />

mengakibatkan isi sel hifa R. solani kosong. Th: T. harzianum, Rs: R. solani,<br />

fs-Th:<br />

fialospora T. harzianum, tanda anak panah 1: penetrasi hifa ( Micrographs of<br />

antagonist - pathogens colony meeting area. A: hyphae coiling of R. solani by T.<br />

harzianum. Th: T. harzianum, Rs: R. solani, fs-Th: phialospora of T. harzianum,<br />

arrows mark: hyphae coiling. B: Penetration of hyphae of R. solani by T. harzianum<br />

resulted in the contents of cells of R. solani empty. Th: T. harzianum, Rs: R. solani,<br />

fs-<br />

Th: phialospora of T. harzianum , arrows mark 1: hyphae penetration)<br />

Hasil pengujian kualitatif menunjukan<br />

bahwa T. harzianum dan T. pseudokoningii<br />

menghasilkan kitinase. Hal tersebut ditunjukkan<br />

oleh berubahnya media agar kitin yang pada<br />

awalnya putih keruh menjadi transparan, karena<br />

terjadi degradasi kitin pada media oleh enzim<br />

yang dihasilkan kedua jenis fungi (Gambar 2). T.<br />

harzianum lebih intensif mendregdasi kitin pada<br />

media dibanding T. pseudokoningii,<br />

dan hal<br />

tersebut menunjukkan aktivitas kitinasenya yang<br />

lebih tinggi. Hal ini juga menunjukkan bahwa<br />

pertumbuhan T. harzianum pada agar kitin lebih<br />

cepat dibanding pertumbuhan T. pseudokoningii.<br />

Wells (1988) mengemukakan bahwa<br />

Trichoderma merupakan antagonis yang<br />

potensial. Hasil penelitian mendukung pendapat<br />

tersebut. T. harzianum maupun T. pseudokoningii<br />

mampu menghambat pertumbuhan koloni kedua<br />

jenis fungi patogen berdasarkan hasil percobaan<br />

in vitro pada PDA maupun MEA. Kemampuan<br />

tersebut menunjukkan bahwa kedua jenis fungi<br />

antagonis diharapkan dapat dimanfaatkan<br />

sebagai agensia dalam pengendalian hayati<br />

penyakit lodoh.<br />

Terdapat tiga mekanisme dalam<br />

antagonisme antar jazad renik, yaitu antibiosis,<br />

Aktivitas Antagonisme In Vitro Trichoderma harzianum dan<br />

Trichoderma pseudokoningii terhadap Patogen Lodoh Pinus merkusii<br />

Achmad, S. Hadi, S. Harran, E. Gumbira Sa'id, B. Satiawiharja, dan M. Kosim Kardin<br />

oleh hifa T. pseudokoningii terhadap hifa R.<br />

solani (Gambar 1).<br />

kompetisi, dan mikoparasitisme (Baker and<br />

Cook, 1974). Ketiga mekanisme tersebut<br />

teramati pada antagonisme yang melibatkan<br />

kedua jenis<br />

penelitian ini.<br />

Trichoderma<br />

yang diuji dalam<br />

Gambar ( Figure)<br />

2. Degradasi kitin pada media<br />

agar kitin oleh fungi antagonis. A:<br />

kontrol media agar kitin, B: biakan T.<br />

237


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 233 - 240<br />

238<br />

pseudokoningii pada 6 hari setelah<br />

tanam (hst), C: biakan T. harzianum<br />

pada 6 hst, degradasi kitin pada media<br />

mengakibatkan media menjadi<br />

transparan sehingga warna merah latar<br />

belakang obyek terlihat ( Degradation of<br />

chitin on chitin agar medium by fungal<br />

antagonists. A: chitin agar as control,<br />

B: cultured T. pseudokoningii at 6 days<br />

after planting (dap) and C: cultured T.<br />

harzianum at 6 dap on chitin agar, the<br />

degradation of chitin in the medium<br />

resulted in a transparent of the medium<br />

so that the red color of the background<br />

objects become visible)<br />

Wells (1988) mengemukakan bahwa<br />

Trichoderma merupakan antagonis yang<br />

potensial. Hasil penelitian mendukung pendapat<br />

tersebut. T. harzianum maupun T. pseudokoningii<br />

mampu menghambat pertumbuhan koloni kedua<br />

jenis fungi patogen berdasarkan hasil percobaan<br />

in vitro pada PDA maupun MEA. Kemampuan<br />

tersebut menunjukkan bahwa kedua jenis fungi<br />

antagonis diharapkan dapat dimanfaatkan<br />

sebagai agensia dalam pengendalian hayati<br />

penyakit lodoh.<br />

Terdapat tiga mekanisme dalam<br />

antagonisme antar jazad renik, yaitu antibiosis,<br />

kompetisi, dan mikoparasitisme (Baker and<br />

Cook, 1974). Ketiga mekanisme tersebut<br />

teramati pada antagonisme yang melibatkan<br />

kedua jenis Trichoderma yang diuji dalam<br />

penelitian ini.<br />

Terbentuknya zona hambatan pada media<br />

padat merupakan indikasi bekerjanya mekanisme<br />

antibiosis. Pada antagonisme pada media padat<br />

yang melibatkan T. harzianum,<br />

zona hambatan<br />

terbentuk baik pada PDA maupun MEA, akan<br />

tetapi zona hambatan pada antagonisme yang<br />

melibatkan T. pseudokoningii terbentuk hanya<br />

pada MEA, sedang pada PDA tidak. Hal tersebut<br />

disamping menunjukkan bahwa macam<br />

metabolit yang dihasilkan tiap jenis antagonis<br />

berbeda, juga menunjukkan bahwa pengaruh<br />

metabolit yang dihasilkan T. pseudokoningii pada<br />

PDAtersentralisir.<br />

Tersentralisirnya pengaruh metabolit<br />

penghambat pertumbuhan patogen pada PDA<br />

dilaporkan Achmad (1991). Dikemukakannya<br />

bahwa antagonisme in vitro fungi mikoriza<br />

Rhizopogon sp. dengan Fusarium sp. maupun<br />

Rhizoctonia sp. membentuk zona hambatan pada<br />

agar MMN, akan tetapi pada PDA zona tersebut<br />

tidak terbentuk. Fenomena yang sama juga<br />

dilaporkan oleh Darusman (1996) yang<br />

mempelajari potensi antagonistik fungi mikoriza<br />

Pisolithus tinctorius dan Scledorma columnare<br />

terhadap Fusarium sp. dan Rhizoctonia sp.<br />

Menurut Wells (1988), mekanisme<br />

antibiosis dapat melibatkan metabolit beracun<br />

(toksin) atau enzim ekstraseluler yang dihasilkan<br />

oleh fungi antagonis. Dikemukakan bahwa<br />

Trichoderma sp. menghasilkan toksin<br />

trikhordermin yang merupakan suatu senyawa<br />

sesquiterpen, dermadin yaitu asam berbasa<br />

tunggal yang aktif terhadap fungi dengan kisaran<br />

yang luas dan meliputi bakteri gram positif dan<br />

gram negatif, serta dua senyawa peptida yang<br />

bersifat antifungal sekaligus anti bakterial.<br />

Hasil uji kualitatif menunjukkan bahwa T.<br />

harzianum maupun T. pseudokoningii<br />

menghasilkan kitinase. T. harzianum lebih efektif<br />

mendregradasi kitin pada media karena media<br />

menjadi lebih transparan dibanding media T.<br />

pseudokoningii. Hal tersebut juga menunjukkan<br />

bahwa aktivitas kitinase T. harzianum lebih tinggi<br />

dibanding aktifitas kitinase T. pseudokoningii.<br />

Uji produksi kitinase tersebut dilakukan<br />

secara kualitatif, sehingga hasilnya tidak dapat<br />

menunjukkan macam kitinase yang dihasilkan<br />

kedua jenis fungi antagonis, mengingat kitinase<br />

merupakan enzim kompleks. Harman et al.<br />

(1993) mengidentifikasi enam macam enzim<br />

kitinase yang berbeda pada T. harzianum.<br />

Dikemukakan bahwa kompleksitas dan<br />

diversitas sistem enzim tersebut secara<br />

komplementer, sehingga tercapai efisiensi<br />

maksimal melawan spektrum luas fungi patogen<br />

yang mengandung kitin. Hal tersebut sejalan<br />

dengan pernyataan Lorito et al.<br />

(1993) bahwa<br />

enzim kitinolitik T. harzianum secara biologi<br />

lebih aktif dibanding enzim yang sama dari<br />

sumber lainnya, dan lebih efektif melawan fungi<br />

pada kisaran yang lebih luas. Peran kitinase pada<br />

antagonisme T. harzianum dengan R. solani<br />

dilaporkan oleh Benhamou dan Chet (1993).<br />

Dikemukakan bahwa degradasi kitin fungi<br />

patogen terjadi secara bertahap, dan hal tersebut<br />

menunjukkan dihasilkannya kitinase secara<br />

terus-menerus oleh fungi antagonis.<br />

Disorganisasi struktur dinding sel R.<br />

solani tampaknya merupakan kejadian awal yang<br />

mengakibatkan ketidakseimbangan osmotik<br />

internal, yang kemudian memicu kerusakan<br />

intraseluler seperti kebocoran membran plasma<br />

dan agregasi sitoplasma. Sivan and Chet (1989)<br />

mempelajari degradasi dinding sel fungi oleh<br />

enzim kitinolitik dari T. harzianum.<br />

Dilaporkan<br />

bahwa bila dinding sel hifa F. oxysporum


digunakan sebagai sumber karbon pada media<br />

biakan T. harzianum,<br />

maka fungi antagonis<br />

tersebut akan mengeluarkan kitinase dan 1,3-Bglukanase<br />

ke dalam media.<br />

Tertekannya pertumbuhan fungi patogen<br />

menunjukkan mekanisme kompetisi dalam<br />

antagonisme, dalam hal ini fungi antagonis lebih<br />

kompetitif dalam memanfaatkan ruang tumbuh<br />

dan nutrisi. Lebih kompetitifnya fungi antagonis<br />

ditunjang oleh pertumbuhannya yang lebih cepat<br />

dibanding fungi patogen pada media yang sama.<br />

Keberadaan Trichoderma yang melimpah pada<br />

tanah-tanah pertanian di seluruh dunia<br />

merupakan bukti terbaik bahwa fungi tersebut<br />

merupakan kompetitor yang sangat baik untuk<br />

tumbuh dan nutrisi ( Wells,1988).<br />

Mekanisme mikoparasitisme ditunjukkan<br />

oleh hasil pengamatan mikroskopik pada daerah<br />

pertemuan miselia T. harzianum dan R. solani<br />

yang antara lain memperlihatkan pelilitan dan<br />

penetrasi hifa R. solani oleh hifa T. harzianum.<br />

Benhamou dan Chet (1993) mengemukakan<br />

bahwa pada proses mikoparasitisme T.<br />

harzianum terhadap R. solani, pelilitan hifa T.<br />

harzianum di sekeliling hifa R. solani merupakan<br />

fenomena yang mengawali rusaknya hifa<br />

patogen.<br />

Elad et al.<br />

(1983) mempelajari<br />

mikoparasitisme T. harzianum dan T. hamatum<br />

terhadap R. solani dan Sclerotium rolfsii.<br />

Dikemukakan bahwa hifa T. harzianum<br />

memasuki R. solani melalui lubang yang<br />

dibuatnya pada hifa inang. Lisis parsial terjadi<br />

pada bagian hifa inang yang dililit oleh hifa<br />

antagonis. Dikemukakan pula bahwa dalam<br />

antagonisme tersebut terdapat indikasi T.<br />

harzianum mensekresikan B-1,3-glukanase.<br />

Fenomena molekuler yang dikemukakan adalah<br />

terjadinya pengendapan bahan-bahan fibril<br />

ektraseluler antara hifa yang saling beinteraksi,<br />

terakumulasinya organel-organel parasit pada<br />

sel-sel yang tengah memarasit, dan terbentuknya<br />

matriks selubung yang membungkus hifa yang<br />

tengah mempenetrasi.<br />

Dari kedua jenis fungi antagonis yang<br />

diuji, T. harzianum memiliki potensi antagonistik<br />

lebih kuat dibanding T. pseudokoningii.<br />

Hal<br />

tersebut karena T. harzianum menghambat<br />

pertumbuhan fungi patogen dengan persentase<br />

penghambatan lebih tinggi, mengakibatkan<br />

terbentuknya zona hambatan lebih besar, dan<br />

menghasilkan kitinase yang lebih efektif<br />

mendegradsi kitin dibanding T. pseudokoningii<br />

untuk sifat-sifat yang sama.<br />

Aktivitas Antagonisme In Vitro Trichoderma harzianum dan<br />

Trichoderma pseudokoningii terhadap Patogen Lodoh Pinus merkusii<br />

Achmad, S. Hadi, S. Harran, E. Gumbira Sa'id, B. Satiawiharja, dan M. Kosim Kardin<br />

IV. KESIMPULAN<br />

1. Fungi antagonis T. harzianum dan T.<br />

pseudokoningii secara in vitro mampu<br />

menghambat pertumbuhan kedua jenis fungi<br />

patogen lodoh R. solani dan F. oxysporum.<br />

T. harzianum lebih kuat menghambat<br />

pertumbuhan kedua jenis patogen dibanding<br />

T. pseudokoningii.<br />

2. Mekanisme antagonistik yang berperan<br />

adalah mikoparasitisme yang ditunjukkan<br />

oleh pelilitan hifa R. solani oleh T. harzianum<br />

dan penjepitan hifa R. solani oleh T.<br />

pseudokoningii, serta penetrasi hifa R. solani<br />

oleh hifa T. harzianum,<br />

dan antibiosis yang<br />

diduga melibatkan aktivitas kitinase kedua<br />

jenis fungi antagonis.<br />

3. Kedua jenis fungi antagonis menghasilkan<br />

kitinase, dan T. harzianum lebih intensif<br />

mendegradasi kitin pada medium dibanding T.<br />

pseudokoningii.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Achmad. 1991. Kemampuan Rhizopogon sp.<br />

untuk Perlindungan Hayati terhadap<br />

Penyebab Penyakit Lodoh pada Pinus<br />

merkusii. Tesis Magister Sains. Program<br />

Pascasarjana IPB, Bogor. 68 hlm.<br />

Atlas, R.M. 1993. Handbook of Microbiological<br />

Media.<br />

CRC Press, Boca Raton, Ann<br />

Arbor, London, Tokyo. 1079 p.<br />

Baker, K.F. and R.J. Cook. 1974. Biological<br />

Control of Plant Pathogens.<br />

W.H.<br />

Freeman and Co., San Fransisco. 433 p.<br />

Benhamau, N. and I. Chet. 1993. Hyphal<br />

interactions betwen Trichoderma<br />

harzianum and Rhizoctonia solani :<br />

parasitic process. Phytopathology<br />

83:1062-1071.<br />

Bruehl, G.W. 1987. Soil Borne Plant Pathogens.<br />

MacMillan Publ. Co., NewYork. 368 p.<br />

Darusman, L.K. 1996. Telaah Biokimiawi<br />

Proses Asosiasi Shorea selanica dan<br />

Scleroderma columnare : Suatu<br />

Pendekatan Biosintesis. Disertasi Doktor.<br />

Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. 173<br />

hlm.<br />

Elad, Y., I. Chet, P. Boyle, and Y. Henis. 1983.<br />

Parasitism of Trichoderma spp. on<br />

Rhizoctonia solani and Sclerotium rolfsii :<br />

239


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 233 - 240<br />

scanning electron microscopy and<br />

flourescence microscopy. Phytopathology<br />

73 : 85-88<br />

Flentje, N.T. 1965. Pathogenesis by Soil Fungi,<br />

p. 255-268. In K.N. Baker and W.C.<br />

240<br />

Snyder ( Eds. ) Ecology of Soil Borne Plant<br />

Pathogens. Prelude to Biological Control.<br />

University California Press, Berkeley, Los<br />

Angeles.<br />

Fravel, D.R. 1988. Role of antibiosis in the<br />

biocontrol of diseases. Ann. Rev.<br />

Phytopathol. 26:75-81.<br />

Harman, G.E., C.K. Hayes, M. Lorito, R.M.<br />

Broadway, A. Di Pietro, C. Petrebauer and<br />

A. Tronsmo. 1993. Chitinolytic enzymes<br />

of Trichoderma harzianum : purification<br />

of chitobiosidase and endochitinase.<br />

Phytopathology 83: 313-318.<br />

Lockwood, J.L. 1988. Evolution of concepts<br />

associated with soilborne plant pathogens.<br />

Ann. Rev. Phytopathol. 26:93-121.<br />

Lorito, M., G.E. Harman, C.K. Hayes, R.M.<br />

Broadway, A. Tronsmo, S.L. Woo and A.<br />

Di Pietro. 1993. Chitinolytic enzymes<br />

produced by Trichoderma harzianum :<br />

antifungal activity of purified<br />

endochitinase and chitobiosidase.<br />

Phytopathology 83 : 303-307.<br />

Manan, S. 1976. Silvikultur. Proyek<br />

Pengembangan Peningkatan Perguruan<br />

Tinggi IPB, Bogor. 188 hlm.<br />

Marx, D.H. 1969. The influence of ectotrophic<br />

mycorrhizal fungi on the resistance of pine<br />

root to pathogenic infections I.<br />

Antagonism of mycorrhizal fungi to root<br />

pathogenic fungi and soil bacteria.<br />

Phytopathology 59: 153-163.<br />

Marx, D.H. 1973. Mycorrhizae and feeder root<br />

diseases, p. 350-381. In G.C. Marks and<br />

T.T. Kozlowski ( Eds. ) Ectomycorrhizae:<br />

their Ecology and Physiology. Academic<br />

Press, NewYork and London.<br />

Rifai, M.A. 1969. A revision of the genus<br />

Trichoderma.<br />

Mycological Paper no. 16.<br />

Commonwealth Mycological Institute,<br />

Kew Surrey, England.<br />

Siven, A. and I. Chet. 1989. Degradation of<br />

fungal cell by lytic enzymes of<br />

Trichoderma harzianum.<br />

J. General<br />

Microbiol. 135 : 675-682.<br />

Skidmore, A.M. 1976. Interactions in relation to<br />

biological control of plant pathogens, p.<br />

507-528. In C.H. Dickinson and T.F<br />

Preece ( Eds. ) Microbiology ofAerial Plant<br />

Surfaces..Academic Press, London.<br />

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles<br />

and Procedures of Statistics.<br />

A<br />

Biomentrical Approach. McGraw-Hill<br />

Inc., Tokyo. 633 p.<br />

Suharti, M., T. Hardi, dan R.S.B. Rianto. 1991.<br />

Mengenal beberapa hama, penyakit<br />

penting pada hutan tanaman industri.<br />

Makalah di sampaikan pada Seminar<br />

Nasional Peningkatan Produktivitas HTI<br />

Melalui Upaya Pengendalian Hama dan<br />

Penyakit secara Terpadu. Fahutan IPB -<br />

Dephut - RI, Bogor, 31 Juli 1991.<br />

Sudjud, D.A. 1983. Tinjauan antagonisme antara<br />

Trichoderma sp. dengan Pythium sp.,<br />

Rhizoctonia sp., dan Fusarium sp. dalam<br />

rangka usaha pengendalian/penekanan<br />

secara biologis terhadap kerugian akibat<br />

dumping-off.<br />

Lembaga Penelitian <strong>Hutan</strong>.<br />

Bogor.<br />

Tang, J., J.S. Zhou, K.X. Wang, and W.L. Kiu.<br />

1988. Effects of ectomycorrizal fungi on<br />

dumping-off of pines. Forest Pest and<br />

Disease (4) : 20-21.<br />

Wells, H.D. 1988. Trichoderma as a biocontrol<br />

agent, p. 71-82. In K.G. Mukerji and K.L.<br />

Kang ( Eds. ) Biocontrol of Plant Diseases,<br />

vol. I. CRC Press Inc., Boca Raton -<br />

Florida.


PEMANFAATAN TEGAKAN Acacia auriculiformis SEBAGAI POHON PENAUNG<br />

DAN INANG TANAMAN CENDANA ( Santalum Album Linn)<br />

The Use of Acacia auriculiformis Stand as Shading Trees and Host Plant of Sandalwood<br />

I Komang Surata<br />

Balai Penelitian Kehutanan Kupang<br />

Jl. Untung Suropati No. 7 Po. Box. 67 Kupang 85115<br />

Telp. (0380) 823357 Fax. (0380)831068<br />

Email : irat_2006@yahoo.com Hp.08124604124<br />

Naskah masuk : 12 Desember 2009 ; Naskah diterima : 15 November 2010<br />

ABSTRACT<br />

Acacia (Acacia auriculiformis) stand is one of alternatives that can be used as shading trees and host<br />

plant of sandalwood. The utilization of acacia as shading trees and host plant that is too dense and long<br />

periode will decrease the growth of sandalwood plant because competition will arise. Therefore, canopy<br />

dense is need to reduce which one of the alternatives the use of pruning method. The objective of this<br />

research was to observe the effects of reducing canopy covering of acacia as shading trees and host plant<br />

with pruning method on sandalwood plant growth. Sandalwood was planted under 5 years old. Acacia<br />

tree resulted from reforestration with stand density 6 x 6 m and with the canopy that began to close.<br />

The eksperiment was conducted in Randomized Block Design method with the treatment is pruning<br />

intensity of acacia stand earleaf i.e. 0 %, 25 %, 50 %, 75 %, 100 % per tree that was done on 2 years old<br />

and continuing every years until 8 years old. Experiment was done in 3 blocks and each blocks consisted<br />

of 25 replications. The result of this experiment proved that the pruning on 8 years old of shading tree<br />

or host plant had significant effects to increase the height, diameter, and survival percentage of<br />

sandalwood plant namely 44 %, 40 %, and 104 % respectively. The maximum survival percentages of<br />

sandalwood at 5 years old was done 75 % and 8 years old 91 %. The pruning could increase 14 % of air<br />

temperature and 53 % of light radiation. The light intensity was significant to increase survival<br />

percentages of sandalwood plants.<br />

Keywords: Shading trees, host plant, sandalwood, branch pruning,Acacia auriculiformis stand<br />

ABSTRAK<br />

Tegakan acasia ( Acacia auriculiformis) adalah salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai<br />

pohon penaung dan inang cendana. Penggunaan acasia sebagai pohon penaung atau inang yang terlalu<br />

rapat dan dalam waktu yang lama akan menurunkan pertumbuhan tanaman cendana karena persaingan<br />

akan semakin meningkat, oleh sebab itu pada kerapatan penaung dan umur tertentu perlu dilakukan<br />

pengurangan penutupan tajuk salah satunya dengan cara pemangkasan cabang. Tujuan penelitian ini<br />

adalah untuk mengetahui pengaruh pengurangan penutupan tajuk A. auriciliformis sebagai pohon<br />

penaung dan inang dengan cara pemangkasan cabang terhadap pertumbuhan tanaman cendana.<br />

Penanaman cendana dilakukan di bawah tegakan A. auriculiformis hasil dari tanaman reboisasi yang<br />

telah berumur 5 tahun dengan kerapatan tegakan 6x6mdantajuknya mulai menutup. Penelitian disusun<br />

dalam Rancangan Acak Berblok dengan perlakuan pemangksan cabang tegakan A. auriculiformis :<br />

0 %, 25 %, 50 %, 75 %, 100 % per pohon yang dilakukan pada umur 2 tahun setelah tanam dan selanjutnya<br />

setiap tahun dilakukan pemangkasan terubusan cabang sampai umur 8 tahun. Perlakuan terdiri dari 3 blok<br />

dan setiap blok terdiri dari 25 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umur 8 tahun<br />

pemangkasan cabang pohon penaung atau inang nyata meningkatkan tinggi, diameter, dan persen hidup<br />

tanaman cendana masing-masing 45 %, 48 %, dan 107 %. Persen hidup tanaman cendana paling baik<br />

dihasilkan pada perlakuan pemangkasan cabang umur 3 tahun sebanyak 76 % dan umur 8 tahun 91 %.<br />

Pemangkasan cabang dapat meningkatkan temperatur udara 14 % dan intensitas cahaya matahari 53 %.<br />

Intensitas cahaya matahari nyata meningkatkan persen hidup tanaman cendana.<br />

Kata kunci : Pohon penaung, tanaman inang, cendana, pemangksan cabang, tegakan<br />

auriculiformis<br />

Acacia<br />

241


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 241 - 251<br />

242<br />

I. PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang<br />

Upaya pemulihan potensi cendana<br />

( Santalum album Linn) melalui kegiatan<br />

penanaman di Provinsi Nusa Tenggara Timur<br />

(NTT) telah dilakukan sejak tahun 1970-an,<br />

namun sampai saat ini tingkat keberhasilannya<br />

masih rendah rata-rata 20 % (Surata dan Fox,<br />

2000). Rendahnya tingkat keberhasilan<br />

penanaman cendana di daerah semiarid<br />

disebabkan belum diterapkannya teknologi<br />

budidaya secara tepat dan penanaman cendana<br />

masih disamakan dengan jenis tanaman lain.<br />

Secara khusus tanaman cendana pada awal<br />

penanaman di lapangan memerlukan penaung<br />

untuk menjaga agar tanaman tidak mengalami<br />

stres dan cepat beradaptasi dengan kondisi<br />

lingkungannya. Disamping itu tanaman cendana<br />

juga memerlukan inang untuk membantu<br />

mensuplai sebagian unsur hara dan air dari dalam<br />

tanah.<br />

Selama hidupnya tanaman cendana<br />

memerlukan tanaman inang mulai dari tingkat<br />

persemaian (inang primer) dan lapangan (inang<br />

sekunder). Inang ini berfungsi untuk membantu<br />

menyerap sebagian unsur hara melalui haustoria.<br />

Haustoria berfungsi dengan baik apabila akar<br />

tanaman inang telah menempel pada akar<br />

cendana (Hamzah, 1976). Menurut Iyenger<br />

(1965) dalam Barrett (1989), hanya unsur N, P<br />

dan asam amino yang diambil dari tanaman<br />

inang, sedangkan unsur Ca dan K diambil dari<br />

akar cendana. <strong>Tanaman</strong> inang nyata<br />

meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter,<br />

bobot kering, dan persen hidup tanaman cendana<br />

(Surata, 1993).<br />

<strong>Tanaman</strong> inang juga dapat berfungsi<br />

sebagai pohon penaung, oleh sebab itu<br />

disarankan tanaman inang sekunder ditanam<br />

lebih awal dari tanaman cendana atau dengan<br />

cara menanam jenis tanaman inang yang cepat<br />

tumbuh (Surata dan Idris, 2001). Cendana<br />

tumbuh lebih baik apabila ditanam di antara<br />

cemara ( Casuarina junghuniana)<br />

atau di dalam<br />

hutan dibandingkan dengan tempat terbuka<br />

(Hutchins, 1984 dalam Barrett, 1989). Untuk<br />

pertimbangan ekonomis tanaman inang dan<br />

penaung cendana di lapangan dapat<br />

menggunakan semaksemak atau tegakan<br />

tanaman yang sudah ada, yang umurnya masih<br />

muda dan tajuknya belum menutup terlalu rapat,<br />

salah satunya adalah dengan memanfaatkan<br />

tegakan Acacia auriculiformis.<br />

Beberapa jenis<br />

acacia seperti Acacia tracicarpa dan Acacia<br />

ampliceps termasuk jenis pohon cepat tumbuh di<br />

daerah beriklim kering yang dilaporkan dapat<br />

berfungsi dengan baik sebagai tanaman inang<br />

sekunder dan juga dapat dipakai sebagai penaung<br />

awal tanaman cendana (Radomiljac et al. , 1999).<br />

Teknik pemanfaatan tanaman inang<br />

sebagai penaung pada pembuatan hutan tanaman<br />

cendana adalah salah satu teknik yang dapat<br />

diterapankan untuk meningkatkan serapan unsur<br />

hara dan juga untuk mengurangi kerusakan bibit<br />

cendana akibat sengatan panas cahaya matahari<br />

yang ekstrim tinggi dan juga kekeringan di<br />

musim kemarau pada awal penanaman di<br />

lapangan (Surata dan Idris, 2001). Menurut<br />

Hutchine (1984) tanaman cendana yang masih<br />

muda menyukai naungan sedangkan inang<br />

sekunder yang baru ditanam di lapangan belum<br />

berfungsi dengan baik sebagai penaung dan<br />

inang. Oleh karena itu untuk sementara di<br />

lapangan dapat memanfaatkan semak atau pohon<br />

yang sudah ada dengan cara memanipulasi tajuk<br />

pohon penaung. Menurut Anthony, Fox, dan<br />

Barrett (1993) penaungan tanaman cendana<br />

dengan sarlon sampai umur 1 tahun dengan<br />

intensitas penyinaran kurang dari 50 % dapat<br />

meningkatkan persen tumbuh tanaman dan<br />

setelah umur 1 tahun persen tumbuhnya<br />

menurun. Raghavan (1948) dalam Barrett (1989)<br />

juga menyatakan bahwa tanaman cendana pada<br />

awal penanaman sangat peka terhadap<br />

kekeringan dan akan segera mati oleh penyinaran<br />

matahari langsung yang panjang. Oleh karena itu<br />

sampai umur 3-5 tahun diperlukan naungan yang<br />

berupa naungan samping dan setelah itu perlu<br />

dilakukan pengurangan penaung secara<br />

bertahap.<br />

Pemanfaatan Acacia auriculiformis untuk<br />

penaung awal dan inang tanaman cendana<br />

apabila tajuknya terlalu rapat akan menekan<br />

pertumbuhan tanaman pokok karena terjadi<br />

persaingan cahaya, air, dan unsur hara. Oleh<br />

karena itu tingkat persaingannya perlu dikurangi,<br />

salah satunya melalui pemangkasan cabang atau<br />

penjarangan pohon penaung atau inang (Surata<br />

dan Idris, 2001). Mayhead dan Boothman (1997)<br />

melaporkan bahwa penggunaan pohon penaung<br />

yang terlalu rapat pada jenis tanaman Quercus<br />

petraea menyebabkan pertumbuhan tanaman<br />

berkurang. Radomiljac (1994), Surata dan Idris<br />

(2001) juga melaporkan bahwa penggunaan<br />

Cassia siamea dan Acacia auriculiformis yang<br />

terlalu rapat sebagai pohon penaung atau inang<br />

akan meningkatkan kematian tanaman cendana.<br />

Oleh karena itu intensitas pembukaan tajuk<br />

pohon penaung atau inang perlu diatur


sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan<br />

kebutuhan cahaya, suhu, kelembaban udara, dan<br />

ketersedian air tanah yang optimal untuk<br />

pertumbuhan tanaman cendana.<br />

B. Tujuan Penelitian<br />

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas<br />

maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk<br />

mengatahui pengaruh pengurangan penutupan<br />

tajuk pohon penaung dan inang Acacia<br />

auriculiformis dengan cara pemangkasan cabang<br />

terhadap pertumbuhan tanaman cendana.<br />

II. BAHAN DAN METODE<br />

A. Tempat dan Waktu Penelitian<br />

Penelitian dilaksanakan di Oilsonbai,<br />

Stasiun Penelitian Balai Penelitian Kehutanan<br />

Kupang, pulau Timor, Provinsi NTT, pada<br />

bulan Januari 1994 - Januari 2004. Lokasi<br />

penelitian berada pada ketinggian 300 m dari<br />

permukaan laut, curah hujan rata-rata 1530<br />

mm/tahun dengan tipe iklim D (Schmidt dan<br />

Ferguson,1951), dan jenis tanah Grumusol yang<br />

tersusun dari bahan induk endapan batu kapur<br />

(<strong>Pusat</strong> Penelitian Tanah danAgroklimat, 1993).<br />

B. Bahan Penelitian<br />

Dalam penelitian ini digunakan bahanbahan<br />

sebagai berikut: biji cendana, inang<br />

primer Alternantera sp., polybag ukuran 15 x<br />

20 cm, media semai tanah ( top soil)<br />

dan pasir.<br />

Persemaian konvensional yang digunakan<br />

memakai atap plastik gelombang. Pohon<br />

penaung atau inang di lapangan menggunakan<br />

tegakan Acacia auriculiformis yang telah<br />

berumur 5 tahun, jarak tanam 6x6m,tajuknya<br />

belum saling menutup dengan lebar tajuk 2,7 m,<br />

tinggi rata-rata 5,2 m dan diameter 11,2 cm.<br />

Untuk mengamati data digunakan alat ukur roll<br />

meter, phi band, kaliper, lux meter,<br />

termometer<br />

udara, dan higrometer.<br />

C. Metode Penelitian<br />

1. Pelaksanaan Teknis Penelitian<br />

Tahap pertama dari kegiatan penelitian<br />

adalah penyiapan bibit cendana di persemaian<br />

dengan menggunakan kantung plastik ukuran 15<br />

x 20 cm yang diisi dengan media tanam berupa<br />

campuran tanah ( top soil)<br />

: pasir dengan<br />

perbandingan 4 : 1. Penyemaian cendana<br />

dilakukan dengan penanaman biji secara<br />

langsung di polybag yang terlebih dahulu<br />

Pemanfaatan Tegakan Acacia auriculiformis sebagai Pohon<br />

Penaung dan Inang <strong>Tanaman</strong> Cendana ( Santalum album Linn)<br />

I Komang Surata<br />

direndam di dalam air biasa selama 24 jam dan<br />

ditanam di dalam kantung plastik tiga<br />

biji/kantung dengan kedalaman 0,5 cm yang<br />

disertai dengan penanaman inang sekunder<br />

Alternantera sp. Inang sekunder ditanam dalam<br />

satu polybag yang sama dengan biji cendana yang<br />

ditanam dalam bentuk stek pucuk (panjang stek<br />

3 cm). Setelah umur satu bulan anakan cendana<br />

yang tumbuh disisakan satu pohon. Tajuk<br />

tanaman inang yang menaungi anakan cendana<br />

dipangkas secara kontinu. Bibit siap ditanam di<br />

lapangan pada umur 8 bulan.<br />

Setelah dilakukan seleksi, maka pada awal<br />

musim penghujan bibit cendana ditanam diselasela<br />

baris tanaman tegakan Acacia auriculiformis<br />

dengan jarak tanam 3 x 3 m. Tegakan A.<br />

auriculiformis sebagai penaung bibit cendana<br />

telah berumur lima (5) tahun dengan jarak<br />

tanam 6x6m,rata tinggi pohon 5,2 m, diameter<br />

9,43 cm dan lebar tajuk 2,7m<br />

2. Rancangan Penelitian<br />

Penelitian menggunakan Rancangan Acak<br />

Berblok dengan perlakuan intensitas tajuk<br />

penaung dengan cara pemangkasan cabang<br />

Acacia auriculiformis pada umur 2 tahun setelah<br />

tanam cendana. Adapun perlakuan yang<br />

dicobakan antara lain intensitas pemangkasan<br />

jumlah cabang :<br />

1. P0 = Kontrol (pemangkasan cabang 0 %)<br />

2. P1 = Pemangkasan cabang 25 %<br />

3. P2 = Pemangkasan cabang 50 %<br />

4. P3 = Pemangkasan cabang 75 %<br />

5. P4 = Pemangkasan cabang 100 %<br />

(pemangkasan cabang yang hanya<br />

meninggalkan pucuk pohon saja)<br />

Terubusan cabang pohon penaung atau<br />

inang yang tumbuh dipangkas secara kontinu<br />

setiap tahun sampai umur 8 tahun. Perlakuan<br />

terdiri dari tiga blok, setiap blok terdiri dari 25<br />

tanaman cendana. Untuk mengetahui pengaruh<br />

perlakuan maka dilakukan pengamatan tinggi,<br />

diameter, dan persen hidup cendana. Disamping<br />

pengamatan data pertumbuhan tanaman sebagai<br />

data penunjang diamati iklim mikro: suhu udara,<br />

intensitas penyinaran matahari, dan kelembaban<br />

udara. Pengukurannya dilakukan sebanyak 3 kali<br />

yaitu pada saat langit cerah pada jam 12 siang.<br />

Pengamatan iklim mikro dilakukan setinggi<br />

dada (1,3 m) di dekat tajuk pohon cendana<br />

yang dilakukan pada bulan Agustus pada umur<br />

8 tahun setelah tanam. Data hasil pengamatan<br />

diolah secara statistik dengan menggunakan<br />

SPSS ( Statistical Product and Service Solutions)<br />

(Santoso, 2000) yaitu untuk menghitung<br />

243


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 241 - 251<br />

ANOVA, regresi, dan korelasi. Pengaruh<br />

perlakuan yang nyata diuji lebih lanjut dengan<br />

LSD ( Least Significant Diference)<br />

yaitu untuk<br />

mengetahui<br />

perlakuan.<br />

perbedaan antara komponen<br />

A. Hasil<br />

Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan<br />

tinggi, diameter, dan persen hidup tanaman<br />

cendana pada umur 8 tahun setelah tanam<br />

244<br />

III. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

disajikan pada Tabel Lampiran 1. Hasil analisis<br />

sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan<br />

pemangkasan cabang pohon penaung atau inang<br />

Acacia auriculiformis<br />

nyata meningkatkan<br />

pertumbuhan tinggi, diameter, dan persen hidup<br />

tanaman cendana.<br />

Selanjutnya berdasarkan hasil uji lanjutan<br />

LSD 0,05 menunjukkan bahwa perlakuan<br />

pemangkasan cabang pohon penaung atau inang<br />

sebesar 25 %, 50 %, 75 %, dan 100 % nyata<br />

meningkatkan pertumbuhan tinggi dan persen<br />

hidup, serta perlakuan 50 %, 75 %, dan 100 %<br />

nyata meningkatkan pertumbuhan diameter<br />

tanaman cendana.<br />

Tabel ( Table)<br />

1. Rata-rata tinggi, diameter, dan persen hidup pertumbuhan tanaman cendana. pada umur<br />

8 tahun ( Average of height, diameter, and survival on sandalwood plantations at 8<br />

years old)<br />

Nomor<br />

(Number)<br />

Pemangkasan cabang<br />

(Branch pruning)<br />

(%))<br />

Tinggi<br />

(Height)<br />

(cm)<br />

Diameter<br />

(Diameter)<br />

(cm)<br />

Persen hidup<br />

(Survival)<br />

(%)<br />

1 0 274,223 a 2,4479 a 28,67 a<br />

2 25 317,415 b 2,6334 ac 46,12 b<br />

3 50 383,775 bc 2,9704 bc 52,23 b<br />

4 75 391,390 c 3,2817 b 60,60 cd<br />

5 100 346,634 b 3,2980 b 60,07 cd<br />

Keterangan ( Remark):<br />

Angka-angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata<br />

menurut LSD 0,05 ( Mean value with the same letter and same column do not different significantly on<br />

LSD 0,05 )<br />

Selanjutnya untuk menentukan perlakuan<br />

pemangkasan cabang yang terbaik yang dapat<br />

meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter, dan<br />

persen hidup tanaman cendana dilakukan uji<br />

analisis regresi dan korelasi. Hasil analisis regresi<br />

dan korelasi menunjukkan bahwa persamaan<br />

regresi tinggi Y = 265,4079 + 3,5568 X - 0,0268<br />

2<br />

X , dengan nilai korelasi yang sangat kuat<br />

2<br />

(R =0,9631) dan tinggi maksimum 383,42 cm<br />

yang dicapai pada perlakuan pemangkasan<br />

cabang 66,35 %. Persamaan regresi diameter<br />

2<br />

adalah Y = 2,940 + 0,006764 X - 0,000037 X<br />

2<br />

dengan nilai korelasi sangat kuat (R =0,9922)<br />

dan diameter maksimum sebesar 3,28 cm yang<br />

dicapai pada perlakuan pemangkasan cabang 100<br />

%. Sedangkan persamaan regresi persen hidup Y<br />

2<br />

= 29,4020 + 0,6764 X - 0,0037 X nilai korelasi<br />

2<br />

sangat kuat (R =0,9938), dengan persen hidup<br />

maksimum cendana 60 % yang dicapai pada<br />

perlakuan pemangksan cabang pohon penaung<br />

91 %.<br />

Berdasarkan hasil ini maka dapat<br />

,<br />

disimpulkan bahwa, pemangkasan cabang pohon<br />

penaung atau inang meningkatkan tinggi,<br />

diameter, dan persen hidup maksimum tanaman<br />

cendana pada umur 8 tahun masing-masing<br />

sebesar 45 %, 48 %, dan 107 % dibandingkan<br />

tanpa pemangkasan cabang (kontrol).<br />

Tinggi (He ight) (cm)<br />

500<br />

400<br />

300<br />

200<br />

100<br />

0<br />

Y=265,4079 +3,5568 X-0,0268 X 2<br />

(R 2 = 0,9631)<br />

1 10 19 28 37 46 55 64 73 82 91 100<br />

Pemangkasan cabang (Branch pruning) (%)<br />

Gambar ( Figure) 1. Pengaruh pemangkasan<br />

cabang terhadap persen hidup tanaman<br />

cendana pada umur 8 tahun ( Effects of<br />

branch pruning on sandalwood<br />

plantation survival at 8 years old)


Diameter ( Diameter)<br />

(cm)<br />

3.3<br />

3.2<br />

3.1<br />

3<br />

2.9<br />

2.8<br />

2.7<br />

Y=2,940+0,006764X-0,000037X 2<br />

(R 2 = 0,9922)<br />

1 10 19 28 37 46 55 64 73 82 91 100<br />

Pemangkasan cabang (Branch pruning) (%)<br />

Gambar ( Figure) 2. Pengaruh pemangkasan<br />

cabang terhadap tinggi tanaman cendana<br />

pada umur 8 tahun ( Effects of branch<br />

pruning on sandalwood plantation<br />

height at 8 years old)<br />

Hidup ( Survival)<br />

(%)<br />

70<br />

60<br />

50<br />

40<br />

30<br />

20<br />

10<br />

0<br />

Y=28,4020+0,6764X-0,0037X 2<br />

(R 2 = 0,9938)<br />

1 10 19 28 37 46 55 64 73 82 91 100<br />

Pemangkasan cabang (Branch pruning) (%)<br />

Gambar ( Figure) 3. Pengaruh pemangkasan<br />

cabang terhadap persen hidup tanaman<br />

cendana pada umur 8 tahun ( Effects of<br />

branch pruning on sandalwood<br />

plantation diameter at 8 years old)<br />

Hubungan antara persen hidup, tinggi dan<br />

diameter tanaman cendana dengan perlakuan<br />

pemangkasan cabang pohon penaung atau inang<br />

disajikan pada Gambar 1, 2, dan 3. Pada gambar<br />

tersebut terlihat bahwa pertumbuhan tinggi,<br />

diameter dan persen hidup tanaman cendana<br />

meningkat pada perlakuan intensitas<br />

pemangkasan cabang yang semakin besar sampai<br />

tingkat maksimum, dan setelah itu akan menurun<br />

pada perlakuan pemangkasan cabang yang<br />

semakin tinggi.<br />

Hasil rata-rata persen hidup tanaman<br />

cendana pada umur 1-8 tahun disajikan pada<br />

Tabel 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa<br />

pada umur 1-2 tahun sebelum dilakukan<br />

perlakuan pemangkasan cabang pohon penaung<br />

atau inang, persen hidup tanaman sampai umur 2<br />

tahun masih cukup baik yaitu berkisar 75,33 %.<br />

Hasil analisis Uji LSD 0,05 pada umur 3-5 tahun<br />

setelah dilakukan pemangkasan cabang<br />

menunjukkan bahwa perlakuan pemangkasan<br />

cabang 50 % menghasilkan persen hidup nyata<br />

lebih baik, dengan kisaran persen hidup pada<br />

umur 5 tahun 52,49-62,21 %, serta pada umur 6-8<br />

tahun pemangkasan cabang 75 %<br />

menghasilkan persen hidup nyata lebih baik<br />

dengan kisaran persen hidup pada umur 8 tahun<br />

46,12- 60,60 %. Berdasarkan hasil perlakuan<br />

intensitas pemangkasan cabang ini dapat<br />

disimpulkan bahwa peningkatan pertumbuhan<br />

tanaman cendana nyata lebih baik apabila<br />

dilakukan pemangkasan cabang 50 % pada<br />

umur 3 5, dan pemangkasan cabang 75 % pada<br />

umur 6 - 8 tahun. Untuk mengetahui intensitas<br />

pemangkasan cabang yang dapat menghasilkan<br />

persen hidup maksimum pada berbagai tingkat<br />

umur tersebut di atas maka dilakukan uji regresi<br />

dan korelasi.<br />

Tabel ( Table) 2. Rata-rata persen hidup tanaman cendana pada umur 1 - 8 tahun setelah tanam ( Mean<br />

survival growth on sandalwood plantation at 1 - 8 years old after planting)<br />

Perlakuan<br />

(Treatment)<br />

1 tahun<br />

(year)<br />

2 tahun<br />

(year)<br />

Persen hidup ( Survival) (%)<br />

3 tahun 4 tahun 5 tahun<br />

(year) (year) (year)<br />

6 tahun<br />

(year)<br />

7 tahun<br />

(year)<br />

8 tahun<br />

(year)<br />

0 82,45 a 75,33 a 49,76 a 48,33 a 37,22 a 31,29 a 30,66 a 28,67 a<br />

25 79,12 a 78,31 a 70,75 b 57,98 a 52,49 b 50,33 b 49,67 b 46,12 b<br />

50 78,93 a 73,86 a 70,24 b 76,78 b 59,60 bd 53,92 b 54,66 b 52,23 b<br />

75 85,66 a 79,12 a 76,82 b 72,31 b 66,67 cd 63,47 cd 62,79 cd 60,60 cd<br />

100 84,12 a 77,23 a 75,85 b 71,67 b 62,21 cd 61,93 cd 61,14 cd 60.07 cd<br />

Rata-rata<br />

82,06 76,77 68,68 65,41 55,64 52,21 51,78 49,54<br />

(Mean)<br />

Keterangan ( Remark):<br />

Angka-angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada<br />

LSD 0,05 ( Mean value with the same letter and same column do not different significantly on LSD 0,05)<br />

Hasil analisis uji regresi dan korelasi<br />

hubungan antara persen hidup dan perlakuan<br />

pemangkasan cabang pada berbagai umur<br />

Pemanfaatan Tegakan Acacia auriculiformis sebagai Pohon<br />

Penaung dan Inang <strong>Tanaman</strong> Cendana ( Santalum album Linn)<br />

I Komang Surata<br />

disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis<br />

regresi dan korelasi menunjukkan bahwa : pada<br />

umur 3 tahun persamaan regresi yang dihasilkan<br />

245


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 241 - 251<br />

2<br />

Y = 43,544 + 0,9242 X - 0,0062 X , nilai korelasi<br />

2<br />

(R =0,9552) dan persen hidup maksimum<br />

cendana 78 % yang dicapai pada perlakuan<br />

pemangkasan cabang 76 %, dan pada umur 6 tahun<br />

persamaan regresi yang dihasilkan Y = 37,1631 +<br />

2 2<br />

0,7080 X - 0,0045 X , nilai korelasi (R =0,9737)<br />

dengan persen hidup maksimum 65 % pada<br />

perlakuan pemangksan cabang pohon penaung 79<br />

%, serta pada umur 8 tahun persamaan regresi yang<br />

2<br />

dihasilkan Y = 29,4020 + 0,6764 X - 0,0037 X ,<br />

2<br />

nilai korelasi (R =0,9938), dengan persen hidup<br />

maksimum 60 % pada perlakuan pemangkasan<br />

cabang 91 % Berdasarkan hasil analisis ini maka<br />

dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan<br />

persen hidup maksimum tanaman cendana<br />

pemangkasan cabang pohon penaung perlu<br />

dilakukan pada umur 3 tahun sebesar 76 %, umur<br />

6 tahun sebesar 79 % dan umur 8 tahun sebesar 91<br />

246<br />

%. Karena pada umur 3 tahun dan 6 tahun selesih<br />

nilai persen hidupnya kecil, maka pemangkasan<br />

cabang cukup mulai umur 3 dan 8 tahun.<br />

Hasil analisis uji LSD 0,05 intensitas sinar<br />

matahari, suhu udara dan kelembaban udara yang<br />

disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa<br />

perlakuan pemangkasan cabang tajuk pohon<br />

penaung atau inang Acacia auriculiformis nyata<br />

meningkatkan intensitas sinar matahari dan suhu<br />

udara serta tidak nyata meningkatkan<br />

kelembaban udara. Pemangkasan cabang<br />

meningkatkan intensitas sinar matahari 53 %<br />

dan suhu udara 14 % yang masuk ke lantai hutan<br />

atau tajuk pohon cendana. Kondisi iklim mikro<br />

dengan dengan nilai intensitas cahaya 2900 lux,<br />

0<br />

suhu udara 30,8 C dan kelembaban udara 80,9 %,<br />

kondisi ini cukup baik untuk mendukung<br />

pertumbuhan cendana.<br />

Tabel ( Table)<br />

3. Persamaan regresi, korelasi, dan nilai maksimum persen hidup tanaman cendana pada<br />

umur 3, 6, dan 8 tahun ( Equation of regression, correlation, maximum value of survival<br />

sandalwood plantation at 3, 6, and 8 years old )<br />

Umur/Age<br />

Tahun/Year<br />

Regresi<br />

(Regresion)<br />

3 Y=43,544 + 0,9242X-0,0062<br />

X 2<br />

6 Y=37,1631+0,7080 X-0,0045<br />

X 2<br />

8 Y=29,4020+0,6764 X-0,0037<br />

X 2<br />

Korelasi<br />

(Correlation)<br />

R 2<br />

Persen hidup<br />

(Survival)<br />

(Y max)<br />

(%)<br />

Penaung (Shading)<br />

(%)<br />

0,9552 78 76<br />

0,9737 65 79<br />

0,9938 60 91<br />

Tabel ( Table)<br />

4. Rata-rata suhu udara, intensitas cahaya, dan kelembaban udara pada perlakuan<br />

pemangkasan cabang pada umur 8 tahun setelah tanam ( Average of air temperature,<br />

light intensity and air humidity on branch pruning at 8 years old )<br />

Nomor<br />

(Number)<br />

Perlakuan<br />

(Treatment)<br />

Suhu udara<br />

( Air temperature )<br />

( 0 C)<br />

Intensitas cahaya<br />

(Light intensity)<br />

(Lux)<br />

Kelembaban udara<br />

(Air humidity)<br />

(%)<br />

1 0 27,1 a 1900 a 83,7 a<br />

2 25 29,1 a 2100 a 82,3 a<br />

3 50 27,3 a 2600 b 78,6 a<br />

4 75 30,8 b 2800 b 80,9 a<br />

5 100 30,1 b 2900 b 72,1 a<br />

Keterangan ( Remarks)<br />

:Angka-angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata<br />

pada LSD 0,05 ( Mean value with the same letter and same column do not different significantly on LSD<br />

0,05)<br />

Analisis regresi dan korelasi dilakukan untuk<br />

mengetahui apakah persen hidup tanaman<br />

cendana dipengaruhi oleh intensitas cahaya<br />

matahari. Berdasarkan hasil analisis regresi<br />

dan korelasi liner sederhana menunjukkan<br />

bahwa persen hidup cendana nyata dipengaruhi<br />

oleh intensitas cahaya matahari ( sig.<br />

< 0,017),<br />

dengan persamaan Y = 897,663 + 31,538 X dan<br />

2<br />

nilai korelasi (R =0,941) (Gambar 4).


Intensitas Cahaya ( Light<br />

intensity)<br />

(Lux)<br />

5000<br />

4000<br />

3000<br />

2000<br />

1000<br />

0<br />

Y=897,663+31,538X<br />

(R 2 = 0,941)<br />

1 10 19 28 37 46 55 64 73 82 91 100<br />

Hidup (Survival) (%)<br />

Gambar ( Figure)<br />

4. Pengaruh intensitas cahaya<br />

terhadap rata-rata persen hidup tanaman<br />

cendana umur 8 tahun ( Effects of light<br />

intensity on sandalwood plantation<br />

survival at 8 years old)<br />

Hasil ini juga menunjukkan bahwa persen<br />

hidup tanaman cendana meningkat dengan<br />

semakin meningkatnya intensitas cahaya.<br />

Sedangkan hubungan antara persen hidup dengan<br />

suhu tidak nyata berkorelasi ( sig. < 0,132),<br />

dengan persamaan Y = 2,109 + 0.00963 X<br />

2<br />

(R =0,785), serta hubungan antara persen hidup<br />

dengan kelembaban udara tidak nyata<br />

berkorelasi ( sig.< 0,208) dengan persamaan Y =<br />

2<br />

91,196 - 236 X (R = 0,678). Hal ini<br />

menunjukkan bahwa persen hidup tanaman<br />

cendana tidak meningkat dengan semakin<br />

naiknya suhu udara dan kelembaban udara.<br />

B. Pembahasan<br />

Pemanfaatan tegakan Acacia<br />

auriculiformis sebagai pohon penaung awal dan<br />

inang tanaman cendana yang tidak dilakukan<br />

pemangkasan cabang sampai umur 2 tahun<br />

menghasilkan persen hidup rata rata 75,33 %<br />

(Tabel 2). Persen hidup yang dihasilkan ini<br />

nilainya lebih tinggi apabila dibandingkan<br />

dengan hasil penelitian penanaman cendana di<br />

tempat terbuka (< 20 %) (Surata dan Idris, 2001),<br />

dan juga hasil penelitian pada tanaman cendana<br />

dengan menggunakan penaung dan inang<br />

tumpang sari kacang tanah ( Arachis hypogea),<br />

kacang hijau ( Phaseolus radiatus)<br />

dan kacang<br />

turis ( Cajanus cajan)<br />

rata-rata persen hidupnya<br />

50 % (Surata et al.,<br />

1995). Persen hidup yang<br />

lebih besar pada penggunaan pohon penaung<br />

disebabkan karena tanaman cendana pada umur<br />

muda memerlukan pohon penaung. Pohon<br />

penaung berfungsi untuk membantu mengurangi<br />

stress bibit dan juga mempercepat serta<br />

meningkatkan adaptabilitas awal bibit terhadap<br />

kondisi lingkungan kering di lapangan, sehingga<br />

pertumbuhannya meningkat. Menurut Sinha<br />

Pemanfaatan Tegakan Acacia auriculiformis sebagai Pohon<br />

Penaung dan Inang <strong>Tanaman</strong> Cendana ( Santalum album Linn)<br />

I Komang Surata<br />

(1961) cendana akan mati karena kekeringan<br />

yang panjang dan berlangsung secara terus<br />

menerus dan perlu penaung pada umur pohon<br />

yang masih muda. Selain sebagai pohon<br />

penaung, tegakan Acacia auriculiformis juga<br />

berfungsi sebagai inang sekunder. Inang<br />

sekunder pada awal penanaman cendana sangat<br />

diperlukan mengingat inang sekunder yang baru<br />

ditanam di lapangan belum berfungsi dengan<br />

baik sehingga tanaman cendana untuk jangka<br />

pendek untuk sementara dapat memanfaatakan<br />

inang yang sudah ada ( Acacia auriculiformis)<br />

untuk membantu menyerap unsur hara dan air<br />

dari dalam tanah melalui haustoria, sehingga<br />

pertumbuhannya meningkat.<br />

Pemanfaatan tegakan Acacia<br />

auriculiformis sebagai pohon penaung dan inang<br />

cendana pada umur lebih dari 2 tahun nyata<br />

meningkatkan tinggi, diameter, dan persen hidup<br />

tanaman cendana (Tabel 1). Pohon penaung atau<br />

inang yang terlalu rapat akan menjadi pesaing<br />

yang kuat terhadap kebutuhan cahaya, unsur<br />

hara, dan air dengan tanaman cendana. Menurut<br />

Raghavan (1948) dalam Barrett (1985) pada<br />

daerah-daerah yang kekurangan sinar matahari<br />

(penaungan terlalu padat) pada umur di atas 3- 5<br />

tahun tanaman cendana akan banyak mati. Hal<br />

ini karena cendana pada umur tertentu<br />

membutuhkan sinar matahari yang lebih besar.<br />

Menurut Dupraz (1999) dampak negatif dari<br />

penggunaan penaung atas yang terlalu rapat pada<br />

jenis pohon juglan sangat nyata menurunkan<br />

persen hidup dan diameter,sementara tinggi<br />

tanaman masih menguntungkan. Dengan<br />

demikian dapat disimpulkan pohon penaung<br />

hanya dibutuhkan pada awal penanaman atau<br />

pada pohon muda cendana sampai umur 2 tahun<br />

dan setelah itu perlu pembukaan tajuk pohon<br />

penaung atau inang.<br />

Pertumbuhan tinggi, diameter, dan persen<br />

hidup tanaman cendana dipengaruhi oleh<br />

kerapatan tajuk pohon penaung atau inang dan<br />

pertumbuhan cendana meningkat sampai titik<br />

optimum pada perlakuan intensitas pemangkasan<br />

cabang yang semakin meningkat dan setelah itu<br />

menurun pada pemangkasan cabang yang<br />

melebihi titik maksimum (Gambar 1, 2 dan 3).<br />

Setelah mencapai titik maksimum pertumbuhan<br />

tanaman menurun. Hal ini disebabkan pada umur<br />

tersebut sudah terjadi persaingan unsur hara, air,<br />

dan cahaya matahari antara pohon cendana dan<br />

pohon penaung atau inang yang sangat kuat<br />

dengan memanfaatkan tegakan yang tajuknya<br />

rapat. Menurut Baker (1950) pertumbuhan<br />

tanaman yang mempunyai tinggi dan tajuk<br />

247


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 241 - 251<br />

dominan pada tegakan yang rapat akan menekan<br />

pertumbuhan pohon di bawahnya ( understory)<br />

sehingga akan menyebaban tanaman di<br />

bawahnya pertumbuhannya rendah atau mati.<br />

Semakin terbuka tajuk pohon penaung atau inang<br />

maka akan memberi kesempatan untuk<br />

pertumbuhan: tinggi, diameter, dan persen hidup<br />

tanaman di bawahnya semakin meningkat.<br />

Pertumbuhan tanaman juga sangat dipengaruhi<br />

oleh tingkat toleransi tanaman terhadap<br />

penyinaran matahari oleh karena itu<br />

penggolongan tanaman bisa dibagi menjadi<br />

toleran, semitoleran dan intoleran.<br />

Jenis cendana<br />

termasuk jenis tanaman semitoleran (Faridah,<br />

2007). Menurut Baker (1950) tajuk tanaman<br />

yang rapat akan meningkatkan pemangkasan<br />

cabang secara alami karena pengaruh persaingan<br />

pertumbuhan pohon yang lebih cepat tumbuh ke<br />

atas untuk mendapatkan cahaya matahari. Oleh<br />

karena itu untuk mengurangi persaingan tanaman<br />

di dalam mendapatkan cahaya, air, dan unsur hara<br />

pada tegakan hutan tanaman yang terlalu rapat<br />

perlu dilakukan penjarangan atau pemangkasan<br />

cabang terhadap jenis pohon tajuk di atasnya,<br />

sehingga pohon di bawahnya dapat berkembang<br />

dengan baik.<br />

Pemangkasan cabang pohon penaung atau<br />

inang Acacia auriculiformis pada umur 2 tahun<br />

setelah tanam nyata meningkatkan tinggi,<br />

diameter dan persen hidup tanaman cendana<br />

masing-masing 45 %, 48 %, dan 31 % (Tabel 1).<br />

Pemangkasan cabang pohon penaung atau inang<br />

dapat meningkatkan intensitas sinar matahari<br />

sebesar 53 % dan suhu 14 % yang dapat<br />

mendukung pertumbuhan tanaman. (Tabel 4).<br />

Bergerz dan Dupraz (2000) mengatakan bahwa<br />

sistem penaungan dengan pohon penaung<br />

samping berupa semak pada tanaman Prunus<br />

avium dapat menurunkan radiasi matahari 60 %<br />

dan temperatur udara 15 % .<br />

Pemangkasan cabang perlu diatur<br />

sedemikian rupa agar tidak menimbulkan efek<br />

samping terutama perubahan mikroklimat yang<br />

mendadak seperti kekeringan yang tinggi<br />

sehingga tidak merusak jaringan daun tanaman.<br />

Untuk menghindari perubahan mendadak<br />

mikroklimat maka pemangkasan cabang pohon<br />

penaung atau inang Acacia auriculiformis perlu<br />

dilakukan pada umur 3 tahun sebesar 76 % dan<br />

pada umur 8 tahun sebesar 91 % (Tabel 2).<br />

Pemangkasan cabang pohon penaung yang<br />

terlalu tinggi dalam waktu mendadak dapat<br />

meningkatkan defisit air dan kematian tanaman.<br />

Menurut Salisbury et al.<br />

(1992), pada kondisi<br />

defisit air di musim kering, dan pada penyinaran<br />

248<br />

yang tinggi akan meningkatkan transpirasi<br />

sehingga tanaman mengalami kekurangan air.<br />

Pada kondisi yang kering (defisit air) daun bisa<br />

mengatur lalu lintas air lewat penutupan stomata,<br />

akan tetapi pada kondisi penyinaran yang ekstrim<br />

tinggi akan menyebabkan kerusakan atau<br />

kematian jaringan daun tanaman yang<br />

menyebabkan<br />

2007).<br />

kematian tanaman (Faridah,<br />

Persentase hidup tanaman cendana nyata<br />

berkorelasi positip.secara linier dengan intensitas<br />

cahaya matahari (Tabel 4). Sebagai dampak<br />

penaungan terjadi penurunan mikroklimat dan<br />

juga energi yang dihasilkan dari proses<br />

fotosintesis, transpirasi dan asimilasi menurun<br />

sehingga menurunkan metabolisme tanaman<br />

(Gardener et al.,<br />

1985). Cahaya matahari<br />

memegang peranan yang sangat penting dan<br />

dibutuhkan oleh cendana untuk meningkatkan<br />

persen hidup tanaman terutama untuk kegiatan<br />

fotosintesis yang menghasilkan zat makanan<br />

untuk menopang energi pertumbuhan tanaman.<br />

Peningkatan cahaya matahari<br />

meningkatkan suhu tanaman (Tabel 3).<br />

Perubahan suhu akan mempengaruhi<br />

perkembangan tanaman. <strong>Tanaman</strong> memerlukan<br />

suhu optimum dalam pertumbuhannya. Menurut<br />

Salisbury et al.<br />

(1992) kenaikan suhu pada<br />

tanaman dari optimum ke maksimum, maka<br />

berbagai aktivitas enzim akan menurun satu<br />

persatu sehingga mengurangi perkembangan<br />

tanaman. Suhu yang tinggi akan menyebabkan<br />

reaksi kimia abnormal dan disusul kematian selsel<br />

tanaman. <strong>Tanaman</strong> pada tempat terbuka<br />

(tanpa penaung) pada musim kering akan<br />

mempunyai suhu tinggi yang akan meningkatkan<br />

evapotranspirasi, sehingga absorpsi air tidak bisa<br />

mengimbangi transpirasi daun dan akhirnya<br />

mengakibatkan kerusakan sel daun. Jika<br />

kekurangan air yang tidak diimbangi dari dalam<br />

tanah maka protoplasma akan mengering, daun<br />

akan layu, sel-sel akan mati. Kekurangan air<br />

terjadi pertama pada sel-sel yang terletak di ujung<br />

atau pinggir daun (Faridah, 2007)<br />

IV. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

A. Kesimpulan<br />

1. Pemanfaatan tegakan Acacia auriculiformis<br />

sebagai pohon penaung dan inang cendana<br />

sampai umur 2 tahun yang tidak dilakukan<br />

pemangkasan cabang menghasilkan persen<br />

hidup cendana yang cukup baik yaitu ratarata<br />

75 %.


2. Pemangkasan cabang pohon penaung atau<br />

inang Acacia auriculiformis pada umur 2<br />

tahun setelah tanam nyata meningkatkan<br />

tinggi, diameter, dan persen hidup tanaman<br />

cendana masing-masing<br />

31%.<br />

45 %, 48 %, dan<br />

3. Persen hidup tanaman cendana paling baik<br />

dihasilkan pada perlakuan pemangkasan<br />

cabang pohon penaung atau inang Acacia<br />

auriculiformis sebesar 76 % pada umur 3<br />

tahun dan 91 % pada umur 8 tahun.<br />

4. Pemangkasan cabang pohon penaung atau<br />

inang dapat meningkatkan suhu udara 14 %<br />

dan radiasi penyinaran matahari 53 %.<br />

5. Persen hidup tanaman cendana nyata<br />

berkorelasi positif secara linier dengan<br />

intensitas cahaya matahari.<br />

B. Saran<br />

1. Untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman<br />

cendana di lapangan maka perlu<br />

menggunakan penaung awal dan inang<br />

sekunder, salah satunya dapat<br />

memanfaatankan tegakan semak atau pohon<br />

yang sudah ada di lokasi penanaman.<br />

2. Penggunaan tegakan pohon sebagai penaung<br />

atau inang perlu dipilih jenis pohon dan<br />

kerapatan tajuk yang sesuai.<br />

3. Untuk mengatasi pohon penaung atau inang<br />

yang tajuknya rapat agar tidak menimbulkan<br />

persaingan maka perlu dilakukan<br />

pemangkasan cabang atau penjarangan<br />

sampai mencapai kondisi kerapatan tajuk<br />

yang optimal.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Anthony, T., J. E. D. Fox. and D. R. Barrett. 1993.<br />

Environmental Effects of Early Growth of<br />

Santalum album L. with Particular<br />

Reference to Shade Regimes. Santalum<br />

13: 29-47.<br />

Baker, F. S. 1950. Principles of Silviculture.<br />

Mc.<br />

Graw Hill Book Company. Inc. NewYork.<br />

Barret, D. R. 1989. A Brief Note on the<br />

Regeneration of Sandal to Suplement<br />

Existing Stock in Forest or to Replace<br />

Sandal that May Killed by Spike. In.<br />

Santalum album (Indian Sandalwood)<br />

literature review, Mulga Research Centre.<br />

Western Australian Institute of<br />

Technology. Perth.<br />

Pemanfaatan Tegakan Acacia auriculiformis sebagai Pohon<br />

Penaung dan Inang <strong>Tanaman</strong> Cendana ( Santalum album Linn)<br />

I Komang Surata<br />

Bergez, J. E. and C. Dupraz, 2000. Effect of<br />

Ventilation on Growth of Prunus avium<br />

Seedlings Grown in Tree Shelters. Agr and<br />

For.Met. 104 : 199-214<br />

Dupraz, C. and J. E. Bergez. 1999. Carbon<br />

Dioksida Limitation of the Photosyntesis<br />

of Prunus avium L Seedlings Inside an<br />

Unventilated Treeshelter. For. Ecol.<br />

Mgmt. 119 :89-97<br />

Faridah, E. 2007. Fisiologi Stress. Program Studi<br />

Ilmu Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana.<br />

Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.<br />

Gardener, F.P., R. B. Peace. and R. L. Mitchell.<br />

1985. Physiology of Crop Plants.<br />

The<br />

Iowa State University Press. USA.<br />

Hamzah, Z. 1976. Sifat Silvika dan Silvikultur<br />

Cendana ( Santalum album L.) di Pulau<br />

Timor. Laporan No.227. Lembaga<br />

Penelitian <strong>Hutan</strong>, Bogor.<br />

Mayhead, G. J. and I. R. Boothman. 1997. The<br />

Effect of Treeshelter Height on Early<br />

Growth of Sessile Oak ( Quercus petraea<br />

(matt) Liebl). J. For. 70:151-155.<br />

<strong>Pusat</strong> Penelitian Tanah dan Agroklimat.1993.<br />

Peta Tanah Provinsi Nusa Tenggara Timur.<br />

<strong>Pusat</strong> Penelitian Tanah dan Agroklimat.<br />

Badan Penelitian dan Pengembangan<br />

Pertanian Bogor.<br />

Radomiljac, A. M., J. A. Mc.Comb. and J. F.<br />

Mc.Grath. 1999. Intermediate Host<br />

Influences on the Root Hemi-parasite<br />

Santalum album L. Biomas<br />

Partitioning..For. Ecol. and Mgmt. 143:-<br />

153.<br />

Schmidt, F. G. and J. M. A. Ferguson. 1951.<br />

Rainfall Types Based on Wet and Dry<br />

Period Rations for Indonesia with Western<br />

New Guinea.<br />

Verhand 42. Direktorat<br />

Meteorologi dan Geofisika. Djakarta.<br />

Salisbury, B. F. and C. W. Ross. 1992. Plant<br />

th<br />

Physiology.<br />

Pergamon Press. 4 edition.<br />

Oxford, London, NewYork, Paris<br />

Santoso, S. 2000. SPSS Statistik Parametrik. PT.<br />

Elex Media Komputindo. Kelompok<br />

Gramedia. Jakarta.<br />

Surata, I. K. 1993. Pengaruh Jenis Inang terhadap<br />

Pertumbuhan Semai Cendana ( Santalum<br />

album L.). Santalum 9: 1-9.<br />

249


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 241 - 251<br />

Surata, I. K., Harisetijono. dan M. Sinaga. 1995.<br />

Pengaruh Penanaman Sistem<br />

Tumpangsari terhadap Pertumbuhan<br />

Cendana ( Santalum album L.). Savana 20<br />

: 17-25<br />

Surata, I. K. and J. E. D. Fox. 2000. Government<br />

Initiatives to Encourage Land Holders to<br />

250<br />

Participate in Planting Sandalwood in East<br />

Nusa Tenggara. Paper Presented on the<br />

IUFRO Working Group Meeting at Cairns,<br />

Queensland,Australia, 7-12 January 2000.<br />

Surata, I.K. dan M. Idris. 2001. Status Penelitian<br />

Cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur.<br />

Berita Biologi 5 (5) :521-539


Lampiran ( Appendix)<br />

1. Analisis keragaman tinggi, diamater dan persen hidup tanaman cendana<br />

( Analysis of variance for height, diameter, and survival of cendana plants)<br />

Parameter<br />

(Parameter)<br />

Tinggi<br />

(height)<br />

Diameter<br />

(diameter)<br />

Hidup<br />

(Survival)<br />

Sumber<br />

Keragaman<br />

(Source of<br />

variance)<br />

Perlakuan<br />

(Treament)<br />

Blok (Block)<br />

Acak (Error)<br />

4<br />

2<br />

8<br />

Db<br />

(df)<br />

JK<br />

(SS)<br />

9092,238<br />

2649,091<br />

3237,774<br />

Total 14 34252,027<br />

Perlakuan<br />

(Treament)<br />

Blok (Block)<br />

Acak (Error)<br />

4<br />

2<br />

8<br />

1,683<br />

0,333<br />

0,443<br />

Total 14 2.460<br />

Perlakuan<br />

(Treament)<br />

Blok (Block)<br />

Acak (Error)<br />

4<br />

2<br />

8<br />

Pemanfaatan Tegakan Acacia auriculiformis sebagai Pohon<br />

Penaung dan Inang <strong>Tanaman</strong> Cendana ( Santalum album Linn)<br />

I Komang Surata<br />

1618,667<br />

51,773<br />

222,933<br />

KT<br />

(MS)<br />

5818,448<br />

1324,546<br />

462,539<br />

0,421<br />

0,167<br />

0,053<br />

404,667<br />

25,667<br />

27,867<br />

Total 14 1893.333<br />

Keterangan ( remark ) : *Berbeda nyata pada taraf uji 5%( Significant of 0,05 level)<br />

F Sig.<br />

12,579<br />

2,864<br />

7,605<br />

3,013<br />

14,522<br />

0,928<br />

0,002*<br />

0,123<br />

0,008*<br />

0,106<br />

0,001<br />

0,434<br />

251


Uji Toksisitas Ekstrak Daun Nicolaia atropurpurea Val. Terhadap Serangga Hama<br />

Spodotera litura Fabricus (Lepidoptera: Noctuidae)<br />

Toxicity Assay of Nicolia atropurpurea Leaf Extract against Armyworm Spodoptera litura<br />

2<br />

1 2 2<br />

Asmaliyah , Sumardi , dan/ and Musyafa<br />

1<br />

Balai Penelitian Kehutanan Palembang<br />

Jl. Kol. H. Burlian KM. 6,5 Kotak Pos 179, Puntikayu, Palembang<br />

Telp./Fax. (0711) 414864<br />

Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada<br />

Jl. Agro, Bulaksumur 55281, Yogyakarta<br />

Naskah masuk : ........................... ; Naskah diterima : ..........................<br />

ABSTRACT<br />

Nicolaia atropurpurea (Zingiberaceae) has commonly been used by local people as botanical insecticides<br />

to protect agricultural crops and forest plantation from insect. However, its scientific basis have not been<br />

yet available. This research was done to fill the gap. Two experiments were done in this study: Experiment<br />

1, study on the effect of extraction method and solvent used for extraction on toxicity of N. atropurpurea<br />

leaf extract were carried out using direct contact methods. A completely randomized design with 3<br />

replications.. Treatments consisted of six of concentration level. Experiment 2, study on toxicity (LC<br />

and LC value) of ethyl acetate of N. atropurpurea leaf extract were carried out using direct contact<br />

95<br />

method. A completely randomized design with 3 replications. Treatment consisted of concentrations level<br />

six.. The Results showed that N. atropurpurea leaf extract was toxic to the larvae of S.litura when<br />

it applied with direct contact method. Ethyl acetate extract produced by soaking method show the highest<br />

toxicity, with LC and LC values of 0,18 % and 0,54 %, respectively<br />

Keywords:<br />

50 95 .<br />

toxicity, Nicolaia atropurpurea leaf extract,Armyworm Spodoptera litura<br />

ABSTRAK<br />

Nicolaia atropurpurea (Zingiberaceae) secara tradisional telah digunakan oleh masyarakat lokal untuk<br />

melindungi tanaman budidaya dan hutan tanaman dari serangan hama. Namun penggaliannya secara<br />

ilmiah terhadap potensinya sebagai sumber insektisida nabati belum pernah diteliti, sehingga sejauh mana<br />

toksisitas ekstrak daun N. atropurpurea ini belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, penelitian ini<br />

dilakukan untuk tujuan tersebut. Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan percobaan, yaitu: Percobaan 1,<br />

pengujian cara ekstraksi dan jenis pelarut yang digunakan terhadap toksisitas ekstrak daun N.<br />

atropurpurea dengan metode kontak. Percobaan menggunakan RancanganAcak Lengkap (RAL) dengan<br />

3 ulangan. Perlakuan terdiri dari 6 taraf konsentrasi. Percobaan 2, pengujian toksisitas (nilai LC50 dan<br />

LC 95 ) ekstrak etil asetat daun N. atropurpurea dengan metode kontak. Percobaan menggunakan RAL<br />

dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari 6 taraf konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak<br />

daun N. atropurpurea yang diaplikasikan dengan metode kontak bersifat toksik terhadap larva<br />

Spodoptera litura instar ketiga. Ekstrak yang paling toksik dihasilkan dari ekstraksi maserasi bertingkat<br />

dengan menggunakan pelarut etil asetat dengan nilai LC dan LC sebesar 0,18% dan 0,54%.<br />

50 95<br />

Kata kunci : Toksisitas, ekstrak daun Nicolaia atropurpurea, Spodoptera litura<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Seiring dengan semakin kompleknya<br />

permasalahan hama pada hutan tanaman, maka<br />

alternatif yang lebih bijaksana dan memuaskan<br />

untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah<br />

dengan menerapkan konsep Pengendalian Hama<br />

Terpadu (<strong>PHT</strong>). Taktik-taktik dalam <strong>PHT</strong> meliputi<br />

penggunaan agen atau produk pengendali hayati,<br />

penggunaan tanaman resisten, penggunaan<br />

insektisida sintetik yang bersifat spesifik dan luas<br />

spektrumnya sempit (Sumardi, 2007). <strong>PHT</strong> juga<br />

50<br />

253


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 253 - 263<br />

mendukung penelitian dan pemanfaatan senyawa<br />

aktif alami yang berasal dari tanaman yang dapat<br />

digunakan untuk mengatasi permasalahan hama<br />

pada hutan tanaman (Hiljie dan Mora, 2006).<br />

Salah satu kelompok tumbuhan yang<br />

potensial dikembangkan sebagai sumber<br />

insektisida nabati baru adalah zingiberaceae<br />

(Dadang, 1999; Yang et al.,<br />

2004). Hasil-hasil<br />

penelitian sebelumnya membuktikan bahwa<br />

ekstrak dan atau senyawa aktif dari berbagai<br />

species zingiberaceae memiliki aktivitas<br />

insektisida, repelen dan antifeedant.<br />

Jenis-jenis<br />

tanaman zingiberaceae yang dilaporkan<br />

mempunyai aktivitas terhadap serangga hama,<br />

antara lain tepung rizom kering Curcuma longa<br />

bersifat menghalangi serangan serangga hama<br />

gudang Tribolium castaneum (Nugroho et al.,<br />

1996). Ekstrak rimpang C. xanthorriza, C.<br />

zedoaria, Kaempferia galanga dan K. pandurata<br />

bersifat insektisida terhadap larva Spodoptera<br />

littoralis yang diaplikasikan melalui integumen<br />

larva (Pandji et al., 1993). Tawata et al.<br />

(1996)<br />

juga menginformasikan bahwa daun dari genus<br />

Alpinia mempunyai aktivitas insektisida<br />

terhadap rayap. Esktrak biji Aframomum<br />

melequeta mempunyai aktivitas kuat sebagai<br />

penghambat makan rayap Reticulitermes<br />

speratus (Escoubas et al.,<br />

2000).<br />

Didasari hal ini, maka penggalian potensi<br />

spesies tanaman yang berasal dari famili<br />

zingiberaceae sebagai sumber insektisida nabati<br />

baru cukup tepat dan masih terbuka lebar.<br />

Nicolaia atropurpurea Val. yang dikenal dengan<br />

nama kecombrang, atau honje merupakan salah<br />

satu jenis tumbuhan hutan dari famili<br />

zingiberaceae yang potensial untuk<br />

dikembangkan sebagai sumber insektisida nabati<br />

baru. Di beberapa daerah di kepulauan Sumatera,<br />

spesies ini merupakan salah satu tumbuhan yang<br />

secara tradisional dimanfaatkan masyarakat lokal<br />

untuk melindungi tanaman budidaya dari<br />

serangan organisme pengganggu.<br />

Kandungan komponen kimia yang<br />

terdapat dalam daun, batang, bunga dan rizom<br />

hampir semua genus dari famili zingiberaceae,<br />

termasuk genus Nicolaia terdiri dari flavonoid,<br />

saponin, polifenol, minyak atsiri, alkaloid,<br />

steroid dan triterpenoid (Tampubolon et al.,<br />

1983; Naufalin, 2005; Jaafar et al.,<br />

2007;<br />

Departemen Kesehatan, 2008). Hasil-hasil<br />

penelitian sebelumnya menunjukkan flavonoid,<br />

polifenol, alkaloid, minyak atsiri, saponin<br />

berfungsi sebagai racun serangga, penolak<br />

makan, mempengaruhi hormone serangga,<br />

mengganggu fungsi-fungsi organ tubuh dan<br />

254<br />

sebagai insektisida (Harborne, 1987; Robinson,<br />

1995; Kardinan, 2005; Doke, 2006). Namun<br />

sampai sekarang penggalian terhadap potensi<br />

spesies N. atropurpurea sebagai sumber<br />

insektisida nabati belum pernah diteliti, sehingga<br />

sejauh mana toksisitas ekstrak daun N.<br />

atropurpurea ini belum diketahui secara pasti.<br />

Pemilihan pelarut organik yang digunakan<br />

dalam mengekstrak komponen bioaktif dan cara<br />

ekstraksinya merupakan faktor penentu untuk<br />

pencapaian tujuan dan sasaran ekstraksi<br />

komponen. Mendapatkan ekstrak yang baik<br />

dilakukan ekstraksi secara bertingkat dimulai<br />

dengan pelarut non polar, lalu dengan pelarut<br />

semi polar dan polar sehingga diperoleh ekstrak<br />

yang mengandung berturut-turut senyawa non<br />

polar, semi polar dan polar.<br />

Berdasarkan keterangan di atas, maka<br />

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui<br />

toksisitas ekstrak daun N. atropurpurea dan<br />

pengaruh cara ekstraksi serta jenis pelarut yang<br />

digunakan terhadap toksisitas ekstrak daun N.<br />

atropurpurea.<br />

Penelitian ini menggunakan<br />

serangga hama Spodoptera litura karena spesies<br />

ini sebagai bioindikator untuk pengujian<br />

insektisida baru (Schneider et al.,<br />

2000).<br />

II. METODOLOGI<br />

A. Perbanyakan Serangga Uji<br />

Ulat atau larva S. litura diperoleh dari hasil<br />

perbanyakan di Laboratorium Fisiologi, Jurusan<br />

Proteksi <strong>Tanaman</strong> Fakultas Pertanian IPB.<br />

Selama pemeliharaan ulat diberi makan daun<br />

keladi dan sebagai tempat pemeliharaan<br />

digunakan wadah plastik berventilasi yang<br />

beralaskan kertas saring. Menjelang<br />

berkepompong ulat diletakkan dalam wadah<br />

plastik lainnya yang berisi serbuk gergaji steril<br />

setebal 10 cm sebagai tempat berkepompong<br />

sampai muncul serangga dewasa (ngengat).<br />

Ngengat yang terbentuk kemudian dipindahkan<br />

ke dalam stoples besar yang bagian atasnya<br />

ditutupi dengan kain kasa dan di sekeliling toples<br />

ditutupi dengan kertas tisu. Di dalam stoples<br />

diletakkan daun keladi segar sebagai tempat<br />

peletakan telur dan dimasukkan juga cairan madu<br />

yang telah diencerkan dan diserapkan pada kapas<br />

sebagai pakan ngengat. Kelompok telur yang<br />

diletakkan, dikumpulkan setiap hari dan<br />

dipindahkan ke dalam wadah plastik sampai<br />

menjadi larva. Perkembangan larva diikuti setiap<br />

hari dan sebagian larva yang siap ganti kulit


menjadi instar ke tiga ditempatkan dalam wadah<br />

plastik terpisah dari larva-larva lain. Larva instar<br />

ke tiga generasi ke dua lebih kurang 8 jam setelah<br />

ganti kulit digunakan untuk pengujian.<br />

B. Persiapan Materi <strong>Tanaman</strong> dan Ekstrak<br />

Materi tanaman dikumpulkan dari lokasi<br />

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)<br />

yang terletak di Pekon Kubu Perahu, Kec. Balik<br />

Bukit, Kab. Lampung Barat, Prov. Lampung.<br />

Daun N. atropurpurea yang diperoleh dari<br />

lapangan dikering udarakan kemudian dipotongpotong<br />

dan selanjutnya dihaluskan hingga<br />

menjadi serbuk. Serbuk halus kemudian<br />

dimasukkan ke dalam botol dan dimaserasi<br />

dengan menggunakan berbagai pelarut organik<br />

yang berbeda kepolarannya, yaitu n.heksan (nonpolar),<br />

etil asetat (semi polar) dan metanol<br />

(polar).<br />

Ekstrak yang dihasilkan diperoleh dengan<br />

dua cara, yaitu ekstraksi cair-cair (partisi) dan<br />

ekstraksi maserasi bertingkat (perendaman).<br />

Ekstraksi cair-cair, diawali dengan merendam<br />

serbuk daun dengan pelarut metanol selama<br />

minimal 24 jam dalam botol, kemudian disaring<br />

dengan corong kaca yang dialasi dengan kertas<br />

saring. Ampas serbuk daun kemudian dimaserasi<br />

ulang dengan metanol sampai ekstrak jernih<br />

(minimal 3 kali pengulangan). Cairan ekstrak<br />

hasil saringan atau filtrat kemudian dimasukkan<br />

ke dalam labu penguap, yang terlebih dahulu<br />

ditimbang, untuk menguapkan pelarutnya<br />

dengan menggunakan rotary evaporator pada<br />

o o<br />

suhu 50 -60 C dan tekanan rendah (500-700<br />

mmHg vakum). Setelah penguapan selesai, labu<br />

berisi ekstrak ditimbang lagi, dan selisih antara<br />

hasil kedua penimbangan tersebut merupakan<br />

bobot ekstrak (%). Ekstrak kasar metanol<br />

kemudian dipartisikan dengan menggunakan<br />

corong pemisah dalam campuran pelarut metanol<br />

dan n-heksan, kemudian dilanjutkan dengan<br />

pelarut etil asetat. Masing-masing fase yang<br />

dihasilkan selanjutnya diuapkan pelarutnya<br />

dengan rotary evaporator. Esktrak yang dihasilkan<br />

disebut ekstrak n-heksan, ekstrak etil asetat dan<br />

ekstrak metanol, yang kemudian disimpan dalam<br />

o<br />

lemari es (≤ 4 C) hingga saat digunakan.<br />

Ekstrak maserasi bertingkat diawali<br />

dengan perendaman menggunakan pelarut nheksan,<br />

kemudian etil asetat dan terakhir<br />

metanol. Campuran bubuk daun dan pelarut<br />

tersebut dimaserasi atau direndam selama<br />

minimal 24 jam. Ekstrak kemudian disaring<br />

sampai jernih dengan menggunakan corong kaca<br />

yang dialasi kertas saring lokal. Filtrat yang<br />

Uji Toksisitas Ekstrak Daun Nicolaia atropurpurea Val. terhadap<br />

Serangga Hama Spodotera litura Fabricus ( Lepidoptera: Noctuidae)<br />

Asmaliyah, Sumardi, dan Musyafa<br />

dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam labu<br />

penguap, yang telah ditimbang, untuk<br />

menguapkan pelarutnya dengan menggunakan<br />

o o<br />

rotary evaporator pada suhu 50 -60 C dan tekanan<br />

rendah (500-700 mmHg vakum). Setelah<br />

penguapan selesai, labu berisi ekstrak ditimbang<br />

lagi, selisih antara hasil kedua penimbangan<br />

tersebut merupakan bobot ekstrak (%). Esktrak<br />

yang dihasilkan disebut ekstrak n-heksan, ekstrak<br />

etil asetat dan ekstrak metanol, yang kemudian<br />

o<br />

disimpan dalam lemari es (≤ 4 C) hingga saat<br />

digunakan.<br />

C. Bioassay atau Uji Hayati<br />

Percobaan 1: Pengujian Pengaruh Cara<br />

Ekstraksi dan Pelarut yang<br />

Digunakan terhadap Toksisitas<br />

Ekstrak Daun N. atropurpurea<br />

1.1. Uji toksisitas ekstrak daun N.<br />

atropurpurea<br />

hasil ekstraksi cair-cair<br />

Pengujian ini menggunakan 2 jenis<br />

ekstrak, yaitu ekstrak metanol dan ekstrak nheksan<br />

yang diperoleh dari ekstraksi cair-cair,<br />

sedangkan ekstrak etil asetat tidak dilakukan<br />

pengujian karena rendemen yang dihasilkan<br />

tidak mencukupi untuk pengujian. Perlakuan<br />

untuk masing-masing ekstrak menggunakan<br />

enam taraf konsentrasi, yaitu 5,00%, 2,50%,<br />

1,25%, 0,63%, 0,31% dan 0% (kontrol/tanpa<br />

ekstrak). Pada setiap taraf konsentrasi dan<br />

kontrol diulang tiga kali dan pada setiap ulangan<br />

digunakan 10 ekor larva S. litura instar ketiga.<br />

Jadi setiap kelompok terdapat 30 ekor larva.<br />

Sebelum membuat larutan uji terlebih<br />

dahulu membuat larutan induk dengan<br />

konsentrasi 5%, dengan cara sebanyak 5 gram<br />

ekstrak dilarutkan dalam campuran deterjen dan<br />

aceton dengan konsentrasi masing-masing 0,2%<br />

dan 1%. Campuran ekstrak dengan deterjen dan<br />

aceton dimasukkan dalam gelas ukur, kemudian<br />

ditambahkan air hingga mencapai tera 100 ml.<br />

Larutan induk kemudian diambil 25, 12,5, 6,25<br />

dan 3,12 ml dimasukkan ke dalam gelas ukur<br />

sehingga konsentrasi menjadi 2,50%, 1,25%,<br />

0,63% dan 0,31% setelah ditambahkan air hingga<br />

50 ml. Pada perlakuan kontrol hanya<br />

menggunakan campuran air dengan pengemulsi<br />

deterjen dan aceton tanpa ekstrak, dengan<br />

konsentrasi masing-masing 0,2% dan 1%.<br />

Pengujian dilakukan dengan metode kontak.<br />

Cara Kerja<br />

Serangga uji (larva S. litura instar ke tiga)<br />

sebanyak 10 ekor dimasukkan ke dalam<br />

kurungan kasa kawat pencelup dan kemudian<br />

255


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 253 - 263<br />

dicelupkan dalam sediaan ekstrak uji dengan<br />

konsentrasi tertentu pada setiap pelarut selama 10<br />

detik sebanyak 3 kali pengulangan untuk setiap<br />

perlakuan. Serangga kontrol dicelup dalam air<br />

pengencer (campuran pengemulsi dengan<br />

aceton). Kurungan pencelup kemudian ditiriskan<br />

di atas tisu sekitar 1 menit, kemudian serangga uji<br />

dipindahkan dalam wadah plastik berdiameter<br />

5,5 cm satu per satu, kemudian dalam wadah<br />

plastik yang sudah terdapat serangga uji tersebut<br />

diletakkan pakan daun keladi berbentuk bujur<br />

sangkar (3 x 3 cm). Larva diganti pakannya setiap<br />

hari dengan yang segar hingga mencapai stadia<br />

pupa. Jumlah larva yang mati dicatat setiap hari<br />

hingga hari ke tujuh setelah perlakuan. Data<br />

jumlah larva yang mati (mortalitas) kemudian<br />

dianalisis dengan analisis probit (Finney, 1971)<br />

dengan program komputer SPSS version 13.<br />

1.2. Uji toksisitas ekstrak daun N.<br />

atropurpurea<br />

bertingkat<br />

hasil ekstraksi maserasi<br />

Pengujian ini menggunakan 3 jenis ekstrak,<br />

yaitu ekstrak n-heksan, ekstrak metanol dan<br />

ekstrak etil asetat yang dihasilkan dari ekstraksi<br />

maserasi bertingkat. Pada masing-masing<br />

ekstrak menggunakan perlakuan enam taraf<br />

konsentrasi, yaitu 5,00%, 2,50%, 1,25%, 0,63%,<br />

0,31% dan kontrol (tanpa ekstrak). Pada setiap<br />

taraf konsentrasi dan kontrol diulang tiga kali<br />

dengan menggunakan 30 ekor larva instar ketiga.<br />

Pembuatan larutan uji, sama seperti pada<br />

percobaan 1.1. Pada perlakuan kontrol hanya<br />

menggunakan campuran air dengan pengemulsi<br />

deterjen dan aceton tanpa ekstrak, dengan<br />

konsentrasi masing-masing 0,2% dan 1%.<br />

Pengujian ini dilakukan dengan metode kontak<br />

(metode celup serangga uji) sama seperti pada<br />

percobaan 1.1. Pengamatan dilakukan setiap hari<br />

terhadap jumlah larva yang mati selama tujuh<br />

hari. Data jumlah larva yang mati (mortalitas)<br />

diolah dengan analisis probit (Finney, 1971)<br />

256<br />

dengan program komputer SPSS version 13<br />

untuk menentukan kisaran konsentrasi yang akan<br />

digunakan pada uji penentuan LC50 dan LC95 pada<br />

uji sebenarnya.<br />

Percobaan 2. Pengujian Toksisitas Ekstrak<br />

Daun N. atropurpurea terhadap<br />

Serangga Uji S. litura<br />

Percobaan ini dilakukan untuk<br />

menentukan nilai LC50 dan LC 95.<br />

Ekstrak yang<br />

terbukti memiliki aktivitas insektisida paling<br />

tinggi (toksisitas paling tinggi) pada uji<br />

pendahuluan diuji lanjut dengan menggunakan<br />

lima taraf konsentrasi yang ditentukan<br />

berdasarkan hasil uji pendahuluan. Penentuan<br />

konsentrasi dilakukan sesuai prosedur yang<br />

diuraikan oleh Prijono (2003). Konsentrasi yang<br />

digunakan adalah yang diperkirakan dapat<br />

mematikan larva 15-95% dan kontrol. Setiap<br />

taraf konsentrasi dan kontrol diulang sebanyak<br />

tiga kali dengan menggunakan 90 ekor larva<br />

instar ke tiga per perlakuan.<br />

Metode pengujian dilakukan dengan<br />

metode kontak sama dengan pengujian<br />

sebelumnya, yang berbeda adalah jumlah<br />

serangga uji dan tingkat konsentrasi ekstrak.<br />

Pengamatan mortalitas larva uji dilakukan setiap<br />

hari hingga hari ke lima setelah perlakuan. Bila<br />

mortalitas larva uji kontrol lebih besar dari 20%,<br />

pengujian di atas harus diulangi. Data mortalitas<br />

larva dalam persentase yang berkisar antara 0-<br />

100% akan ditransformasi ke Arcsin √%<br />

sebelum diolah dengan analisis varians pada taraf<br />

5% dengan menggunakan program SAS (SAS<br />

Institute, 1997). Perbandingan nilai tengah antar<br />

perlakuan dilakukan dengan uji selang berganda<br />

Duncan. Hubungan antara konsentrasi ekstrak<br />

dengan mortalitas serangga uji diolah dengan<br />

analisis korelasi. Penentuan nilai LC50 dan LC95<br />

dilakukan dengan analisis probit dengan program<br />

SPSS Version.13.<br />

Tabel ( Table)<br />

1. Bobot ekstrak dan rendemen hasil ekstraksi dengan cara ekstraksi cair- cair dan ekstraksi<br />

maserasi bertingkat ( weight and content of extract by partition and soaking method)<br />

Cara ekstraksi ( Extraction method)<br />

Ekstraksi cair-cair (200 g) (1:10)<br />

Bobot ekstrak ( Extract weight) (g) Rendemen (content) (%)<br />

- Ekstrak n-heksan 4,70 2,35<br />

- Ekstrak etil asetat 0,24 0,12<br />

- Ekstrak metanol<br />

Ekstraksi maserasi bertingkat<br />

(2000 g) (1:5)<br />

12,94 6,47<br />

- Ekstrak n-heksan 19,00 0,95<br />

- Ekstrak etil asetat 26,40 1,32<br />

- Ekstrak metanol 29,54 1,48


III. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

A. Hasil Pengamatan<br />

1. Cara Ekstraksi terhadap Bobot dan<br />

Rendemen Ekstrak<br />

Bobot ekstrak dan rendemen hasil ekstrak<br />

yang diperoleh dengan cara ekstraksi cair-cair<br />

dan ekstrak maserasi bertingkat menunjukkan<br />

rendemen hasil ekstraksi cair-cair lebih tinggi<br />

dari pada ekstrak yang diperoleh dengan cara<br />

maserasi bertingkat. Ekstraksi dengan<br />

menggunakan pelarut metanol paling tinggi<br />

rendemennya dibandingkan dengan<br />

menggunakan pelarut etil asetat dan n-heksan<br />

baik pada ekstraksi cair-cair maupun ekstraksi<br />

maserasi bertingkat (Tabel 1).<br />

2. Uji Toksisitas Ekstrak Daun N.<br />

atropurpurea Hasil Ekstraksi Cair-cair<br />

Hasil pengujian terhadap masing-masing<br />

ekstrak yang dihasilkan dengan cara ekstraksi<br />

cair-cair terhadap mortalitas larva S. litura pada<br />

hari ke tujuh setelah perlakuan dapat dilihat pada<br />

Tabel 2. Hasil pengujian menunjukkan bahwa,<br />

pada perlakuan ekstrak metanol daun N.<br />

atropurpurea kematian sudah terjadi satu hari<br />

Uji Toksisitas Ekstrak Daun Nicolaia atropurpurea Val. terhadap<br />

Serangga Hama Spodotera litura Fabricus ( Lepidoptera: Noctuidae)<br />

Asmaliyah, Sumardi, dan Musyafa<br />

setelah perlakuan (24 jam). Pada semua rentang<br />

konsentrasi yang diuji, mortalitas larva pada hari<br />

pertama setelah perlakuan sudah cukup banyak<br />

dan relatif konstan pada hari berikutnya hingga<br />

hari ke tujuh setelah perlakuan. Namun,<br />

perlakuan ekstrak metanol ini masih kurang<br />

efektif dalam menyebabkan kematian larva S.<br />

litura<br />

instar ketiga. Hal ini disebabkan pada<br />

konsentrasi yang paling tinggi yaitu pada<br />

konsentrasi 5,00% hanya dapat mematikan 18<br />

dari 30 ekor larva uji atau 60,00% (Gambar 1).<br />

Deptan (1995), menyatakan insektisida dianggap<br />

efektif bila mampu membunuh serangga uji<br />

minimal 80%.<br />

Hasil pengujian terhadap ekstrak n-heksan<br />

daun N. atropurpurea juga masih kurang efektif<br />

dalam menyebabkan kematian larva S. litura.<br />

Kematian pada konsentrasi tertinggi yaitu 5,00%<br />

baru dapat mencapai kematian 23 ekor dari 30<br />

larva uji atau 76,67% 24 jam setelah perlakuan.<br />

Pola perkembangan mortalitas larva sama<br />

dengan pola perkembangan mortalitas ekstrak<br />

metanol yaitu mortalitas larva sudah cukup<br />

banyak pada hari pertama setelah perlakuan dan<br />

relatif konstan pada hari berikutnya hingga hari<br />

ke tujuh setelah perlakuan (Gambar 2). Oleh<br />

karena itu kedua ekstrak hasil ekstraksi cair-cair<br />

ini tidak dilakukan analisis probit.<br />

Tabel ( Table) 2. Mortalitas larva uji pada masing-masing ekstrak daun N. atropurpurea setelah 24 jam<br />

( Mortality of larvae on N. atropurpurea leaf extract after 24 hour)<br />

Metode<br />

ekstraksi<br />

Konsentrasi<br />

(Concentration)<br />

Jumlah<br />

larva<br />

Mortalitas (Mortality) (%)<br />

(Extraction) (%) (Number of Ekstrak Ekstrak Ekstrak<br />

larvae) n-heksan etil asetat metanol<br />

Ekstraksi 5,00 30 76,67 - 60,00<br />

Cair-cair 2,50 30 66,67 - 33,33<br />

1,25 30 53,33 - 53,33<br />

0,63 30 43,31 - 43,33<br />

0,31 30 23,33 - 43,33<br />

Kontrol 30 0 - 0<br />

Ekstraksi 5,00 30 90,00 100,00 100,00<br />

Maserasi 2,50 30 86,67 100,00 100,00<br />

Bertingkat 1,25 30 70,00 100,00 90,00<br />

0,63 30 60,00 90,00 83,33<br />

0,31 30 46,67 86,67 63,33<br />

Kontrol 30 3,33 3,33 3,33<br />

257


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 253 - 263<br />

Gambar ( Figure) 1. Mortalitas larva S. litura<br />

setelah perlakuan pada ekstrak metanol<br />

(ekstraksi cair-cair) dengan metode<br />

kontak ( Mortality of larvae on methanol<br />

extract by partition extraction with<br />

direct contact method)<br />

Gambar ( Figure) 2. Mortalitas larva S. litura<br />

setelah perlakuan pada ekstrak n-heksan<br />

(ekstraksi cair-cair) dengan metode<br />

kontak ( Mortality of larvae on n-hexan<br />

extract by partition extraction with<br />

direct contact method)<br />

3. Uji Toksisitas Ekstrak Daun N.<br />

atropurpurea<br />

Bertingkat<br />

Hasil Ekstraksi Maserasi<br />

Hasil pengujian masing-masing ekstrak<br />

daun N. atropurpurea terhadap mortalitas larva S.<br />

litura pada hari ke tujuh setelah perlakuan dapat<br />

dilihat pada Tabel 2. Hasil pengujian ini<br />

menunjukkan senyawa kimia ekstrak daun N.<br />

atropurpurea memiliki daya bunuh atau bersifat<br />

toksik terhadap larva S. litura. Toksisitasnya<br />

sangat kuat hanya bila diaplikasikan secara<br />

kontak. Pada masing-masing ekstrak daun N.<br />

atropurpurea,<br />

menunjukkan pola perkembangan<br />

mortalitas S. litura yang sama pada semua<br />

rentang konsentrasi uji, yaitu kematian larva<br />

sudah terlihat nyata pada hari pertama (24 jam)<br />

setelah perlakuan dan relatif konstan pada hari<br />

258<br />

berikutnya hingga hari ke tujuh setelah perlakuan<br />

(Gambar 3, 4 dan 5).<br />

Hasil pengujian ini menunjukkan, ekstrak<br />

etil asetat dapat mematikan larva sebesar 100%<br />

paling cepat dibandingkan ekstrak metanol dan<br />

ekstrak n-heksan 1 hari (24 jam) setelah<br />

perlakuan karena pada konsentrasi 1,25% sudah<br />

dapat mematikan larva sebesar 100%. Waktu<br />

kematian ekstrak etil asetat juga lebih cepat, pada<br />

konsentrasi 1,25%, 2,50% dan 5,00% dapat<br />

menyebabkan kematian sebesar 100% hanya satu<br />

hari setelah perlakuan. Sedangkan ekstrak<br />

metanol pada konsentrasi 2,50% baru dapat<br />

menyebabkan kematian sebesar 100% pada hari<br />

ke empat setelah perlakuan dan esktrak n-heksan<br />

pada konsentrasi 5,00% juga baru dapat<br />

menyebabkan kematian sebesar 90% pada hari<br />

ke empat setelah perlakuan.<br />

Gambar ( Figure) 3. Mortalitas larva S. litura<br />

setelah perlakuan pada ekstrak n-heksan<br />

(esktraksi maserasi bertingkat) dengan<br />

metode kontak ( Mortality of larvae on<br />

n-hexan extract by soaking extraction<br />

with direct contact method)<br />

Gambar ( Figure) 4. Mortalitas larva S. litura<br />

setelah perlakuan pada ekstrak<br />

metanol (ekstraksi maserasi<br />

bertingkat) dengan metode kontak<br />

( Mortality of larvae on methanol<br />

extract by soaking extraction with<br />

direct contact method)


Gambar ( Figure) 5. Mortalitas larva S. litura<br />

setelah perlakuan pada ekstrak etil asetat<br />

(ekstraksi maserasi bertingkat) dengan<br />

metode kontak ( Mortality of larvae on<br />

ethyl acetate extract by soaking<br />

extraction with direct contact method)<br />

Hasil analisis probit menunjukkan<br />

nilai lethal concentration (LC 50)<br />

ekstrak metanol<br />

dan n-heksan menunjukkan 1,5 kali dan 4 kali<br />

lebih tinggi dari nilai LC50 ekstrak etil asetat.<br />

Begitu juga nilai LC95 ekstrak etil asetat 1,5 kali<br />

lebih rendah daripada ekstrak metanol dan 8 kali<br />

lebih rendah daripada ekstrak heksan (Tabel 3).<br />

Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa<br />

ekstrak etil asetat paling toksik atau paling<br />

aktif menyebabkan mortalitas larva S. litura<br />

instar ke tiga, dibandingkan ekstrak metanol dan<br />

ekstrak n-heksan. Oleh karena itu untuk uji<br />

selanjutnya, pengujian hanya dilakukan pada<br />

ekstrak etil asetat.<br />

Tabel ( Table) 3. Daya racun berbagai ekstrak daun N. atropurpurea terhadap larva S. litura pada hari<br />

ketujuh setelah perlakuan dengan metode kontak ( Toxicity of N. atropurpurea leaf extract<br />

against S. litura larvae on seventh day after treament with direct contact method)<br />

Jenis Ekstrak (Extract kind) LC50 (sk. 95 %) LC95 (sk. 95 %)<br />

Ekstrak Heksan 0,84 % (-) 4,47 % (-)<br />

Ekstrak Metanol 0,34 % (batas atas 0,90) 0,89 % (batas bawah 0,56-batas<br />

atas 7,29)<br />

Ekstrak Etil asetat 0,23 % (batas atas 0,49) 0,59 % (batas bawah 0,38-batas<br />

Keterangan ( Remarks):<br />

SK = Selang Kepercayaan<br />

4. Uji Lanjut (Penentuan LC dan Lc )<br />

50 95<br />

Berdasarkan hasil analisis probit dapat<br />

ditentukan kisaran konsentrasi ekstrak untuk uji<br />

selanjutnya, yaitu 0,007% (pada Gambar 6<br />

dibulatkan menjadi 0,01%), 0,12%, 0,23%,<br />

0,38% dan 0,59% serta kontrol (tanpa ekstrak<br />

hanya menggunakan air). Hasil pengujian lanjut<br />

ekstrak etil asetat daun N. atropurpurea terhadap<br />

mortalitas larva S. litura melalui metode kontak<br />

menunjukkan pola yang sama dengan percobaan<br />

sebelumnya. Mortalitas larva sudah terlihat<br />

nyata pada hari pertama dan relatif konstan pada<br />

hari berikutnya hingga hari ke tujuh setelah<br />

perlakuan (Gambar 6). Hasil pengujian ini<br />

menunjukkan ekstrak etil asetat mempunyai daya<br />

racun yang tinggi terhadap larva S. litura,<br />

pada<br />

konsentrasi 0,59% dapat mematikan larva<br />

sebesar 92,22%, pada konsentrasi 0,38% dan<br />

0,23% masing-masing dapat mematikan larva<br />

sebesar 83,33% dan 70,00% dan pada<br />

konsentrasi yang lebih rendah 0,12% dan 0,007%<br />

masih dapat mematikan larva sebesar 44,44%<br />

dan 22,22%, dengan kematian kontrol sebesar<br />

6,67%.<br />

Uji Toksisitas Ekstrak Daun Nicolaia atropurpurea Val. terhadap<br />

Serangga Hama Spodotera litura Fabricus ( Lepidoptera: Noctuidae)<br />

Asmaliyah, Sumardi, dan Musyafa<br />

atas 2,35)<br />

Gambar ( Figure) 6. Mortalitas larva S. litura<br />

setelah perlakuan pada ekstrak etil asetat<br />

dengan metode kontak ( Mortality of S.<br />

litura larvae on ethyl acetate with direct<br />

contact method)<br />

Hasil analisis probit terhadap data jumlah<br />

mortalitas larva menunjukkan nilai LC50 ekstrak<br />

etil asetat daun N. atropurpurea adalah 0,18%<br />

dengan batas bawah 0,08% dan batas atas 0,29%<br />

dan LC95 sebesar 0,54% dengan batas bawah<br />

0,39% dan batas atas 0,96%.<br />

Hasil analisis varians menunjukkan<br />

perlakuan konsentrasi berpengaruh nyata<br />

terhadap mortalitas larva S.litura.<br />

Hasil uji lanjut<br />

menunjukkan semua rentang konsentrasi uji<br />

259


erbeda nyata dengan kontrol (Gambar 7). Hasil<br />

uji korelasi menunjukkan ada hubungan yang<br />

sangat kuat antara konsentrasi terhadap<br />

mortalitas larva S. litura (P


Herawati (2006), hasil uji warna menunjukkan<br />

golongan metabolit sekunder yang terkandung<br />

didalam ekstrak metanol, esktrak diklorometan<br />

dan ekstrak etil asetat relatif sama, tetapi ekstrak<br />

etil asetat paling aktif sebagai biopestisida.<br />

Pola perkembangan mortalitas larva S.<br />

litura pada ketiga ekstrak baik yang dihasilkan<br />

secara maserasi bertingkat maupun ekstraksi<br />

cair-cair menunjukkan pola yang sama. Pada<br />

semua rentang konsentrasi yang diuji, mortalitas<br />

larva sudah terlihat nyata pada hari pertama<br />

setelah perlakuan dan relatif konstan pada hari<br />

berikutnya hingga mendekati konstan pada hari<br />

ke lima setelah perlakuan. Pola perkembangan<br />

mortalitas ini mengindikasikan bahwa senyawa<br />

aktif yang terkandung dalam ekstrak daun N.<br />

atropurpurea memiliki cara kerja yang relatif<br />

cepat dalam menimbulkan mortalitas larva S.<br />

litura.<br />

Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa<br />

segera setelah perlakuan larva tidak bergerak,<br />

diduga larva mengalami kelumpuhan (efek knock<br />

down),<br />

walaupun kemudian ada diantaranya<br />

dapat bergerak kembali. Larva yang dapat<br />

bergerak kembali akan terus hidup hingga<br />

mencapai stadia pupa, sedangkan larva yang<br />

tidak bergerak lagi akan mengalami kematian<br />

dengan kondisi tubuh apabila disentuh lunak dan<br />

lemas serta warna tubuh berubah dari hijau<br />

kecoklatan menjadi coklat muda (Gambar 8).<br />

Di duga larva yang bisa bergerak kembali karena<br />

bisa menetralkan racun yang masuk ke dalam<br />

tubuhnya. Adanya proses kelumpuhan terlebih<br />

Uji Toksisitas Ekstrak Daun Nicolaia atropurpurea Val. terhadap<br />

Serangga Hama Spodotera litura Fabricus ( Lepidoptera: Noctuidae)<br />

Asmaliyah, Sumardi, dan Musyafa<br />

a b<br />

dahulu sebelum kematian serangga uji,<br />

diperkirakan senyawa aktif yang berasal dari<br />

ekstrak daun N. atropurpurea bekerja sebagai<br />

racun syaraf (Harahap, 1997). Hasil penelitian<br />

Enan (2001) menyatakan bahwa Periplaneta<br />

americana yang diperlakukan secara kontak<br />

dengan minyak atsiri (eugenol) yang bekerja<br />

sebagai racun syaraf menunjukkan gejala<br />

hiperaktif yang diikuti dengan hyperextention<br />

pada kaki dan abdomen, kemudian kelumpuhan<br />

atau tidak bergerak yang diikuti dengan<br />

kematian. Gejala ini sesuai dengan yang<br />

dikemukakan Tarumingkeng (1992), bahwa pada<br />

dosis median secara khas racun syaraf<br />

menimbulkan 4 tahap simptom yaitu : eksitasi<br />

(sering didahului dengan kegelisahan), konvulsi<br />

(kekejangan), paralisis (kelumpuhan) dan<br />

kematian.<br />

Hasil uji korelasi menunjukkan semakin<br />

tinggi tingkat konsentrasi uji, mortalitas larva<br />

semakin tinggi, diduga karena semakin tinggi<br />

jumlah racun yang masuk dan terakumulasi<br />

ke dalam tubuh serangga melalui kutikula,<br />

sehingga senyawa aktif yang sampai keorgan<br />

sasaran juga tinggi, akibatnya tekanan terhadap<br />

aktivitas sistem syaraf menjadi lebih tinggi, yang<br />

berakibat paralisis dan kematian.<br />

Pada seluruh gambar yang ada terlihat<br />

bahwa kematian yang nyata hanya terjadi 1 hari<br />

atau 24 jam setelah perlakuan. Hal ini memberi<br />

gambaran bahwa ekstrak daun N. atropurpurea<br />

ini kemungkinan hanya memiliki umur residu<br />

efektif 1 hari.<br />

Gambar ( Figure)<br />

8. Larva yang mati (a) dan larva yang bertahan hidup (b) setelah aplikasi perlakuan<br />

ekstrak daun N. atropurourea ( death larvae (a) and survive larvae (b) after N.<br />

atropurpurea leaf extract application)<br />

261


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 253 - 263<br />

262<br />

IV. KESIMPULAN DAN SARAN<br />

A. Kesimpulan<br />

Ekstrak daun Nicolaia atropurpurea yang<br />

diaplikasikan dengan metode kontak bersifat<br />

toksik terhadap larva Spodaptera litura instar<br />

ketiga dengan nilai LC50 dan LC95 sebesar 0,18%<br />

dan 0,54%. Semakin tinggi tingkat konsentrasi<br />

uji, mortalitas larva semakin tinggi ekstrak yang<br />

paling toksik dihasilkan dari ekstraksi maserasi<br />

bertingkat dengan menggunakan pelarut etil<br />

asetat.<br />

B. Saran<br />

Perlu penelitian lanjutan untuk<br />

mengembangkan potensi tumbuhan ini sebagai<br />

insektisida nabati, yaitu melakukan penelitian<br />

lanjutan terhadap aktivitas biologi lainnya dari<br />

ekstrak N. atropurpurea dan bagaimana<br />

pengaruhnya terhadap organisme non target<br />

(keamanannya). Penelitian untuk mengisolasi<br />

dan mengidentifikasi senyawa aktif daun N.<br />

atropurpurea<br />

dilakukan.<br />

yang bersifat toksik juga perlu<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Dadang. 1999. Insect Regulatory and Active<br />

Substances of Indonesia Plants Particulary<br />

to the Diamond Back Moth Department of<br />

Bio Regulation Studies, Graduate School<br />

of Agriculture. Tokyo<br />

Agriculture. Disertasi.<br />

University of<br />

Departemen Kesehatan. 2008. Daftar jenis-jenis<br />

tanaman obat. Riset Perguruan<br />

Tinggi/Unas/LIPI-PDII/Resep.<br />

http://www.smecda.com.<br />

19/6/<strong>2010.</strong><br />

Diakses<br />

Doke, S. 2006. Uji toksisitas minyak atsiri kayu<br />

manis ( Cinnamomum burmanii BL), serai<br />

wangi ( Andropogon nardus L) dan jeruk<br />

purut ( Citrus hystrix D.C.) terhadap jentik<br />

Aedes aegypti.<br />

Tesis Program<br />

Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,<br />

Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan.<br />

Enan, E. 2001. Insecticides activity of essential<br />

oils : octopaminergic sites of action.<br />

Comparative Biochemistry and<br />

Psysiology Part C.130: 325-337.<br />

Escoubas, P., L. Lajide dan J. Mizutani. 1995.<br />

Termite antifeedant activity in<br />

Aframomum melequeta.<br />

Phytochemistry,<br />

<strong>Vol</strong>.40, No.4: 1097-1099.<br />

Farrel, K.T. 1990. Spices, condiments and<br />

seasonings. Second Edition AVI<br />

Pubs.Co.Inc.Westpat.Connecticut.<br />

http://books.google.co.id/books?id.<br />

Diakses 30/5/2009.<br />

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia.<br />

Penuntun cara modern menganalisa<br />

tumbuhan. Terbitan Kedua. Penerbit ITB<br />

Bandung.<br />

Herawati, Y. 2006. Uji aktivitas ekstrak daun<br />

mengkudu ( Morinda citrifolia Linn)<br />

sebagai biopestisida melalui uji hayati lalat<br />

buah ( Bactrocera dorsalis).<br />

Skripsi<br />

Jurusan Kimia. http://digilib.upi.edu.<br />

Diakses 30/5/2009.<br />

Hilje, L. and G.A. Mora. 2006. Promissory<br />

botanical repellents/deterents for<br />

managing two key tropical insects pests,<br />

the whitefly Bemisia tabaci and mahogany<br />

shootborer Hypsipyla grandella.<br />

Rai and<br />

Carpinella (eds.) Naturally Occuring<br />

Bioactive Compounds. Elsevier B.V. All<br />

rights reserved.<br />

Jaafar, F.M, C.P. Osman, N.H. Ismail dan<br />

K. Awang. 2007. Analysis of essential<br />

oils of leaves, stems, flower, and rhizomes<br />

of Etlingera elatior (Jack) R.M.Smith.<br />

Malaysian Journal of Analytical Science<br />

11 (1): 1-2.<br />

Kardinan,A. 1999. Pestisida Nabati, Ramuan dan<br />

Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.<br />

Lenny, S. 2006. Isolasi dan Uji Bioaktivitas<br />

Kandungan Kimia Utama Puding Merah<br />

dengan Metode Uji Brine Shrimp.<br />

Karya<br />

Ilmiah, e-USU Repository, Universitas<br />

Sumatera Utara, medan.<br />

Naufalin, R. 2005. Kajian sifat antimikroba<br />

ekstrak bunga kecombrang ( Nicolaia<br />

speciosa Horan) terhadap berbagai<br />

mikroba patogen dan perusak pangan.<br />

Disertasi Sekolah Pascasarjana, Institut<br />

Pertanian Bogor (IPB). Tidak<br />

Dipublikasikan<br />

Nugroho, W. B . , B. Schwarz, V. Wray and<br />

P.Proksch. 1996. Insecticidal<br />

Constituents from Rhizome of Zingiber<br />

cassumunar and Kaempferia rotunda.<br />

Phytochemistry, <strong>Vol</strong>. 41, No.1: 129-132.


Pandji, C., C. Grimm, V. Wray, L. Witte<br />

dan P. Proksch. 1993. Insecticidal<br />

constituents from four species of the<br />

zingiberaceae.<br />

No.2: 415-419.<br />

Phytochemistry, <strong>Vol</strong>. 34,<br />

Prijono, D. 2003. Teknik Ekstraksi, Uji Hayati<br />

dan Aplikasi Senyawa Bioaktif<br />

Tumbuhan. Departemen Hama dan<br />

Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian,<br />

IPB.<br />

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik<br />

Tumbuhan<br />

Bandung<br />

Tinggi. Penerbit ITB.<br />

Schneider, C . , F.I Bohnenstengel, B.W. Nugroho,<br />

V. Wray, K. Witte, P.D. Hung, L.C. Kiet<br />

dan P. Proksch. 2000. Insecticidal<br />

rocaglamide derivatives from Aglaia<br />

spectabilis (Meliaceae). Phytochemistry<br />

54: 731-736.<br />

Sumardi. 2008. Perlindungan <strong>Hutan</strong> Lanjut.<br />

Bahan Kuliah PSIK Program Khusus-<br />

KTB 602. Program Studi Ilmu Kehutanan-<br />

Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah<br />

Mada.<br />

Tampubolon, O.T . , Suhatsyah, S. Sastrapradja.<br />

1983. Penelitian pendahuluan kimia<br />

Uji Toksisitas Ekstrak Daun Nicolaia atropurpurea Val. terhadap<br />

Serangga Hama Spodotera litura Fabricus ( Lepidoptera: Noctuidae)<br />

Asmaliyah, Sumardi, dan Musyafa<br />

kecombrang ( Nicolaia speciosa Horan).<br />

Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan<br />

Obat III. Fakultas Farmasi, UGM.<br />

Yogyakarta.<br />

Tarmadi, D., A.H. Prianto, I.Guswenrivo, T.<br />

Kartika dan S. Yusuf. 2007. Pengaruh<br />

ekstrak Bintaro ( Carbera odollam Gaertn)<br />

dan Kecubung ( Brugmansia candida Pers)<br />

terhadap rayap tanah Coptotermes sp.<br />

Jurnal Tropical Wood Science and<br />

Technology. <strong>Vol</strong>. 5, No.1: 38-42.<br />

Tarumingkeng, R.C. 1992. Insektisida: Sifat,<br />

mekanisme kerja, dan dampak<br />

penggunaannya. Jakarta; Ukrida.<br />

Tawata, S., S. Taira, N. Kobamoto, M. Ishihara<br />

and S. Toyama. 1996. Synthesis and<br />

biological activities of dihydro-5,6dehydrokawain<br />

derivatives. Bioscience,<br />

Biotechnology and Biochemistry <strong>Vol</strong>.60.<br />

No:10: 1643-1645.<br />

Yang, Y.C, I.K. Park, E.H. Kim, H.S. Lee and Y.J.<br />

Ahn. 2004. Larvicidal activity of<br />

medicinal plant extracts against Aedes<br />

aegypti, Ochlerotatus togoi, and Culex<br />

pipiens pallens (Diptera:Culicidae). J.<br />

Asia-Pasific Entomol. 7 (2): 227-232.<br />

263


2)<br />

MUTU BIBIT MANGLID ( Manglieta glauca BI)<br />

PADA TUJUH JENIS MEDIA SAPIH<br />

Seedling Quality Index of Manglieta glauca BI<br />

on Seven Types of Transplanting Media<br />

1) 1) 2)<br />

Aris Sudomo , Encep Rachman dan/ and Nina Mindawati<br />

1)<br />

Balai Penelitian Kehutanan Ciamis<br />

Jl. Raya Ciamis Banjar Km. 4, Ds. Pamalayan, Ciamis 46201<br />

Telp. (0265) 771352 Fax. (0265) 775866<br />

<strong>Pusat</strong> Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas <strong>Hutan</strong><br />

Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610<br />

Telp. (0251) 8631238, Fax. (0251) 7520005<br />

Naskah masuk : 19 Desember 2009 ; Naskah diterima : 15 November 2010<br />

ABSTRACT<br />

The objective of this research was to find out the transplanting media which is able to promote the best<br />

growth and quality of Manglieta glauca BI seedling. The experiment was conducted at the nursery of<br />

Ciamis Forestry Research Institute (CiFRI), started from February to September 2008 by using Complete<br />

Random Design (CRD). There were seven types of transplanting media, namely M1 (soil + compost<br />

(3:1)), M2 (soil), M3 (soil + compost + rice shell (1:1:1)), M4 (soil + compost + sand (1:1:1)), M5 (soil +<br />

compost + cocopeat (1:1:1)), M6 ((soil + compost + saw dust (1:1:1)), and M7 (soil + compost + burned<br />

rice shell (1:1:1)). Each treatment was applied to 60 seedlings, so that the required seedlings were 7 x 60 =<br />

420 seedlings. The result shows that M4 media gave better growth responses than others as follow: 0.469<br />

cm of diameter's growth, 22.678 cm of height, and 9.978 of leave number. The M5 gave better responses<br />

than others in the following things: 2.096 of root's biomass, 4.046 of stem's and leaf's weight, and 0.132 of<br />

seedling quality index. These are the best result than the others. It is concluded that that the use of media<br />

mix M4 and M5 gave the best seedling growth and its quality index in Manglieta glauca BI.<br />

Keywords: Manglieta glauca BI, transplanting media and seedling quality index<br />

ABSTRAK<br />

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis media sapih yang mampu menghasilkan<br />

pertumbuhan dan mutu bibit Manglieta glauca BI terbaik. Penelitian dilakukan di persemaian Balai<br />

Penelitian Kehutanan Ciamis dari bulan Februari 2008 s/d September 2008. Rancangan yang<br />

digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 jenis media sapih<br />

yaitu M1 (Tanah + Pupuk kandang (3:1)), M2 (Tanah), M3 (Tanah + Pupuk kandang + Sekam padi<br />

(1:1:1)), M4 (Tanah + Pupuk kandang + Pasir (1:1:1)), M5(Tanah + Pupuk kandang + Serbuk sabut<br />

kelapa (1:1:1)), M6 ((Tanah + Pupuk kandang + Serbuk gergaji (1:1:1)) dan M7 ( Tanah + Pupuk kandang<br />

+ Abu sekam padi (1:1:1)). Masing-masing perlakuan 60 bibit sehingga total bibit yang diperlukan<br />

adalah 7 x 60 = 420 bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran media M4 (Tanah+<br />

Pupuk kandang+Pasir (1:1:1)) memberikan pertumbuhan diameter (0,469 cm), tinggi (22,678 cm)<br />

dan jumlah daun (9,978) M. glauca BI yang lebih baik dibanding media lainnya. Campuran<br />

media M5 (tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa (1:1:1)) memberikan berat kering akar (2,096),<br />

berat kering batang dan daun (4,046) dan indeks mutu bibit (0,132) M. glauca BI yang<br />

terbaik dibanding media lainnya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan campuran media<br />

M4 dan M5 masing-masing memberikan pertumbuhan dan indeks mutu bibit yang terbaik dalam<br />

teknik pembibitan M. glauca BI.<br />

.<br />

Kata kunci : Indeks mutu bibit, Manglieta glauca BI dan media sapih<br />

265


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 265 - 272<br />

266<br />

I. PENDAHULUAN<br />

A. Latar Belakang<br />

Manglieta glauca BI merupakan salah satu<br />

jenis tanaman andalan setempat dan tergolong<br />

fast growing spesies sehingga banyak disukai<br />

petani hutan rakyat. Di Jawa Barat, manglid<br />

dikembangkan melalui agroforestry pada<br />

progam perhutanan sosial dan dijadikan<br />

komoditas unggulan dalam pengembangan hutan<br />

rakyat dalam rangka meningkatkan<br />

kesejahteraan masyarakat sekitar hutan<br />

(Rimpala, 2001). Pohon manglid dapat mencapai<br />

tinggi maksimum 40 m dengan garis tengah 150<br />

cm dan mampu mencapai tinggi 4-6 m dalam<br />

waktu lima tahun (Hildebran 1935 dalam<br />

Rimpala, 2001). Di Jawa Barat jenis ini sangat<br />

disukai karena selain kayunya mengkilat,<br />

strukturnya padat, halus, ringan dan kuat,<br />

kekuatan kayunya digolongkan dalam kelas III<br />

dan keawetannya kelas II. Adapun keuntungan<br />

dari kayu manglid tersebut karena ringan yaitu<br />

dengan berat jenis (BJ) 0,41 sehingga mudah<br />

dikerjakan, sering dijadikan bahan baku<br />

pembuatan jembatan, perkakas rumah, barangbarang<br />

hiasan, patung dan ukiran dan ini banyak<br />

ditemukan di daerah Bali (Rimpala 2001).<br />

Kegunaan kayu manglid selama ini adalah<br />

sebagai daun pintu, perkakas rumah tangga<br />

(meja, kursi, almari), bangunan rumah,<br />

pembangunan jembatan, pelapis kayu dan<br />

plywood serta diharapkan dapat dijadikan bahan<br />

baku pulp (Prosea, 1998; Diniyati dkk., 2005).<br />

Keberhasilan progam penanaman baik<br />

dalam rangka pembangunan hutan tanaman<br />

maupun rehabilitasi lahan terdegradasi<br />

diperlukan ketersediaan bibit berkualitas. Untuk<br />

menghasilkan bibit berkualitas diantaranya<br />

memerlukan media dengan komposisi bahan<br />

organik dan unsur hara yang diperlukan bagi<br />

tanaman (Durahim, 2001). Selain kandungan<br />

unsur hara diperlukan berbagai campuran di<br />

dalam media untuk meningkatkan porositas<br />

sehingga sesuai bagi pertumbuhan akar tanaman.<br />

Oleh karena itu campuran media yang<br />

mempunyai unsur hara dan porositas sekaligus<br />

menjadi pilihan dalam menghasilkan bibit<br />

berkualitas. Pada umumnya media yang<br />

digunakan untuk pembibitan berasal dari top soil<br />

dicampur pupuk kandang. Pengambilan top soil<br />

dalam skala besar dapat berdampak negatif bagi<br />

ekosistem di areal tersebut (Hendromono, 1994).<br />

Selain itu top soil di suatu daerah tidak selalu<br />

subur sehingga memerlukan campuran untuk<br />

menambah unsur hara, aerasi dan porositas<br />

media. Oleh karena itu dalam rangka menjaga<br />

ekosistem dan memperbaiki kualitas bibit<br />

diperlukan media yang merupakan campuran<br />

limbah bahan organik dan tanah.<br />

Dalam pembangunan hutan tanaman,<br />

khususnya hutan rakyat maupun GNRHL, masih<br />

dijumpai kendala, dengan bibit yang ditanam<br />

memiliki kualitas pertumbuhan yang rendah<br />

diantaranya karena dari penggunaan media<br />

tumbuh semai yang berkualitas rendah. Media<br />

tumbuh semai yang dipergunakan pada<br />

persemaian di areal hutan tanaman, khususnya<br />

hutan rakyat pada umumnya hanya<br />

menggunakan tanah (top soil). Media semai<br />

tanah (top soil) tidak selalu mempunyai tingkat<br />

kesuburan yang baik sehingga diperlukan<br />

campuran bahan organik untuk menghasilkan<br />

bibit berkualitas. Ketersediaan berbagai limbah<br />

bahan organik, seperti serbuk gergaji, serbuk<br />

sabut kelapa, sekam padi dan kotoran hewan di<br />

sekitar lingkungan petani hutan rakyat sangat<br />

potensial digunakan sebagai media sapih dalam<br />

pembuatan bibit tanaman hutan. Masalahnya<br />

adalah pengetahuan petani tentang penggunaan<br />

berbagai limbah bahan organik tersebut sebagai<br />

media pertumbuhan semai masih terbatas. Oleh<br />

karena itu diperlukan dukungan IPTEK tentang<br />

penggunaan berbagai bahan organik sebagai<br />

media sapih untuk menghasilkan bibit M. glauca<br />

BI berkualitas.<br />

B. Tujuan penelitian<br />

Tujuan penelitian ini adalah untuk<br />

mengetahui jenis media sapih yang mampu<br />

menghasilkan pertumbuhan dan mutu bibit<br />

Manglieta glauca BI yang terbaik.<br />

.<br />

II. BAHAN DAN METODE<br />

A. Lokasi dan Waktu Penelitian<br />

Penelitian dilakukan di persemaian Balai<br />

Penelitian Kehutanan Ciamis dari bulan Februari<br />

sampai dengan September 2008.<br />

B. Bahan danAlat<br />

Bahan dan alat yang digunakan dalam<br />

penelitian ini adalah benih manglid, ayakan pasir,<br />

tampah, bak kecambah, tanah, pasir, serbuk sabut<br />

kelapa ( coco peat),<br />

serbuk gergaji, abu sekam<br />

padi, sekam padi, polybag,<br />

kaliper, luxmeter,<br />

timbangan analitik,gembor, oven dan alat tulis.


C. Metode Penelitian<br />

Metode yang digunakan dalam penelitian<br />

ini diuraikan sebagai berikut.<br />

1. Penanganan Buah<br />

Ekstrasi benih atau cara mengeluarkan<br />

benih dari buah untuk manglid adalah dengan<br />

menjemur buah yang telah masak sampai pecah<br />

sehingga memudahkan mengeluarkan benihnya.<br />

Benih yang telah keluar dari kulit buah masih<br />

diselimuti daging buah sehingga perlu<br />

dibersihkan dengan cara menaruh benih dalam<br />

tempayan lalu menggosoknya dengan kain<br />

sehingga benih bersih dari daging buah,<br />

kemudian dicuci bersih dan dikeringanginkan<br />

dalam ruangan selama 2 jam.<br />

2. Perkecambahan<br />

Perkecambahan dilakukan dengan<br />

menabur benih yang telah dibersihkan sesegera<br />

mungkin agar tidak berkurang daya<br />

kecambahnya pada bak kecambah yang berisi<br />

media serbuk gergaji atau abu sekam padi.<br />

Penyiraman dilakukan sehari sekali<br />

menggunakan gembor.<br />

3. Penyapihan<br />

Penyapihan dilakukan pada kecambah<br />

yang telah memiliki rata-rata 3 daun. Media yang<br />

digunakan adalah :<br />

M1 = Tanah + Pupuk kandang (3:1)<br />

M2 = Tanah<br />

M3 = Tanah + Pupuk kandang + Sekam padi<br />

(1:1:1)<br />

M4 = Tanah + Pupuk kandang + Pasir (1:1:1)<br />

M5 = Tanah + Pupuk kandang + Serbuk sabut<br />

kelapa (1:1:1)<br />

M6 = Tanah + Pupuk kandang + Serbuk gergaji<br />

(1:1:1)<br />

M7 = Tanah + Pupuk kandang +Abu sekam padi<br />

(1:1:1)<br />

4. Pengamatan<br />

Pengukuran pertumbuhan bibit yaitu<br />

tinggi, diameter, jumlah daun, persen hidup bibit<br />

dilakukan setiap bulan sampai bibit berumur 4<br />

bulan setelah penyapihan. Untuk mengetahui<br />

kualitas bibit secara fisiologis, maka dilakukan<br />

penghitungan Indeks Mutu Bibit (IMB) pada<br />

akhir pengukuran. Penghitungan indeks mutu<br />

bibit mengunakan cara Dickson (1960)<br />

dalam<br />

Kurniaty dkk (2007) dengan dengan rumus<br />

sebagai berikut :<br />

IMB = (A+B)/(C/D+A/B)<br />

Mutu Bibit Manglid ( Manglieta glauca Bi)<br />

pada Tujuh Jenis Media Sapih<br />

Aris Sudomo, Encep Rachman dan Nina Mindawati<br />

Keterangan :<br />

IMB = Indeks Mutu Bibit<br />

A = Berat kering batang + daun (gram)<br />

B = Berat keringAkar (gram)<br />

C = Tinggi (cm)<br />

D = Diameter (cm)<br />

D. Rancangan Penelitian<br />

Rancangan penelitian yang digunakan<br />

dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak<br />

Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan. Masingmasing<br />

perlakuan 60 bibit sehingga total bibit<br />

yang diperlukan 7 x 60 = 420 bibit. Pengamatan<br />

terhadap panjang akar, jumlah akar dan berat<br />

kering akar, berat kering batang+daun dan indeks<br />

mutu bibit pada masing-masing perlakukan<br />

diambil 10 sampel bibit sedangkan pada<br />

pengamatan survival dilakukan terhadap 20 bibit<br />

yang terdapat dalam 3 kelompok.<br />

E. Analisis Data<br />

Analisis yang digunakan untuk menguji<br />

variasi dari variabel yang diamati adalah analisis<br />

varian dengan menggunakan uji F dengan taraf<br />

5%. Selanjutnya apabila perlakuan berpengaruh<br />

nyata terhadap parameter yang diukur maka<br />

dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan<br />

(Sastrosupadi, 2000)<br />

III. HASIL DAN PEMBAHASAN<br />

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa<br />

perlakuan media yang diuji berpengaruh nyata<br />

terhadap pertumbuhan diameter, tinggi, jumlah<br />

daun, persen hidup, berat kering akar, berat<br />

kering batang + daun dan indeks mutu bibit tetapi<br />

tidak berpengaruh nyata pada panjang dan<br />

jumlah akar seperti yang disajikan pada Tabel 1.<br />

Dari hasil uji lanjut Duncan yang disajikan<br />

pada Tabel 2 terlihat bahwa media M4<br />

(Tanah+Pupuk kandang+Pasir (1:1:1))<br />

memberikan pertumbuhan diameter (0,469 cm),<br />

tinggi (22,678 cm) dan jumlah daun (9,978) yang<br />

relatif lebih baik dibanding penggunaan media<br />

lainnya. Meskipun demikian media M4<br />

memberikan persen hidup semai yang relatif<br />

lebih rendah yaitu 75% dan tidak berbeda nyata<br />

dengan M1 (90%), M2 (91,7%), M3 (91,7%),<br />

M5 (81,7%) dan M6 (78,3%). Media M4<br />

memberikan indeks mutu bibit (0,071) yang<br />

berbeda nyata lebih rendah dengan M5 (0,132)<br />

dan M7 (0,095). Hal ini menunjukkan bahwa<br />

penggunaan media M4 (Tanah+Pupuk<br />

267


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 265 - 272<br />

Tabel ( Table)<br />

1. Hasil analisis varian pertumbuhan diameter, tinggi, jumlah daun, persen hidup, panjang<br />

akar, jumlah akar, berat kering akar, berat kering batang + daun dan indeks mutu bibit<br />

umur 4 bulan Manglieta glauca BI ( The result of analysis varians on diameter, height,<br />

leave number, survival rate, root and stem + leave's biomass, and seedling quality index<br />

of 4 months old Manglieta glauca BI)<br />

No.<br />

kandang+Pasir (1:1:1)) akan memberikan<br />

pertumbuhan semai lebih baik tetapi dengan<br />

persen hidup dan indeks mutu bibit relatif kurang<br />

baik di banding media lainnya. Menurut Winarto<br />

(2003) bahwa pupuk organik biasanya<br />

mengandung unsur lengkap unsur hara yang<br />

dibutuhkan tanaman baik hara makro maupun<br />

mikro walaupun lambat diserap oleh tanaman.<br />

Input pasir dapat menjaga struktur tanah tetap<br />

remah dan gembur sehingga memperlancar<br />

pertumbuhan akar dalam menyerap unsur hara.<br />

Pada media tanah tanpa campuran pasir dan<br />

pupuk kandang lamakelamaan menjadi padat dan<br />

tidak gembur sehingga memperlambat<br />

pertumbuhan bibit. Dengan mencampur media<br />

tanah + pasir, menyebabkan aerasi dan drainase<br />

menjadi lebih baik, kemampuan mengikat air dan<br />

unsur hara juga lebih baik dibandingkan dengan<br />

media tanah atau media pasir. Sesuai dengan<br />

pendapat Buckman et al., (1982), bahwa pasir<br />

mempunyai daya aerasi dan draenase yang baik,<br />

tetapi sukar mengikat air dan miskin zat hara.<br />

Tanah mempunyai daya mengikat air dan<br />

unsur hara yang baik, tetapi cenderung memiliki<br />

aerasi dan drainase yang kurang baik. Hal ini<br />

sesuai dengan penelitian Lendri (2003)<br />

menyatakan bahwa media tanah+pasir+kompos<br />

(1:1:1) memberikan persentase hidup yang tinggi<br />

dan kondisi bibit yang baik daripada campuran<br />

268<br />

Parameter<br />

(Parameter)<br />

F Hitung<br />

(F Value)<br />

F Tabel<br />

(F Table)<br />

1 Diameter (cm) 7,854* 2,14<br />

2 Tinggi (cm) 33,742* 2,14<br />

3 Jumlah daun 3,904* 2,14<br />

4 Persen hidup (%) 3,930* 2,85<br />

5 Panjang akar 2,238ns 2,25<br />

6 Jumlah akar 1,012ns 2,25<br />

7 Berat kering akar 14,332* 2,25<br />

8 Berat kering batang+daun 6,469* 2,25<br />

9 Indeks mutu bibit 19,795* 2,25<br />

Keterangan ( Remark) : * : berbeda pada tingkat kepercayaan 95% ( significant at level of 95%) dan ns : tidak berbeda nyata pada<br />

tingkat kepercayaan 95% ( nonsignificant at level 95%)<br />

tanah+pupuk kandang (2:1) pada bibit mengkudu<br />

( Morinda citrifolia).<br />

Novizan (2005) dalam<br />

Kosasih dan Heryati (2006) mengatakan bahwa<br />

media yang baik mempunyai empat fungsi utama<br />

yaitu memberi usur hara dan sebagai media<br />

perakaran, meyediakan air dan tempat<br />

penampungan air, menyediakan udara untuk<br />

respirasi akar dan sebagai tempat bertumbuhnya<br />

tanaman.<br />

Berat kering akar, berat kering batang dan<br />

daun dan indeks mutu bibit pada media M5<br />

(tanah+pupuk kandang+serbuk sabut kelapa<br />

(1:1:1)) menunjukkan hasil yang terbaik<br />

dibanding media lainnya. Hal ini menunjukkan<br />

bahwa serbuk sabut kelapa memberikan<br />

keseimbangan pertumbuhan akar dengan<br />

pertumbuhan batang dan daun yang relatif lebih<br />

baik dibanding media lainnya. Dengan indeks<br />

mutu bibit yang lebih baik maka peluang<br />

keberhasilan penanaman di lapangan juga akan<br />

semakin besar. Pemilihan campuran media M5<br />

akan sesuai untuk peningkatan kualitas bibit<br />

meskipun dengan pertumbuhan tinggi relatif<br />

lebih rendah dibanding M1, M3, M4, M6 dan<br />

jumlah daun yang relatif lebih rendah dibanding<br />

M2 dan M4. Hendromono (2004) melaporkan<br />

bahwa kompos sabut kelapa sawit + sekam padi 1<br />

: 1 (V:V) merupakan media yang sesuai untuk<br />

pembibitan Khaya anthoteca.<br />

Sementara


Durahim (2001) menyimpulkan bahwa<br />

penggunaan media campuran top-soil + sekam<br />

padi + sabut kelapa 1:1:1 (V:V:V) meningkatkan<br />

pertumbuhan dan mutu morfologi bibit mahoni<br />

( Switenia macrophylla).<br />

Campuran media M3 (Tanah+pupuk<br />

kandang+sekam padi (1:1:1)) memberikan<br />

pertumbuhan jumlah daun yang tidak berbeda<br />

nyata dengan M1, M2, M4 dan M6 tetapi berbeda<br />

nyata lebih baik dibanding M5 dan M7.<br />

Indriyanto (2003) melaporkan bahwa media<br />

tanah + bokashi sekam padi (2:1) memberikan<br />

hasil relatif lebih baik untuk pembibitan cengal<br />

( Hopea sangal Korth) dibandingkan tanah dan<br />

tanah + serbuk gergaji. Media sekam padi dapat<br />

menciptakan kondisi lingkungan tumbuh<br />

khususnya sifat fisik dan kimia tanah yang lebih<br />

baik bagi pertumbuhan tanaman karena lebih<br />

cepat proses pelapukan dan dekomposisi,<br />

mengandung unsur hara N, P, K, Cl dan Mg<br />

(Thomas, 1995). Media tumbuh yang<br />

mengandung sekam, laju absorbsi Ca dan Mg<br />

lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.<br />

Erlan (2005) menyatakan bahwa urutan media<br />

yang relatif lebih baik untuk pertumbuhan<br />

mahkota dewa ( Phaleria macrocarpha (Scheff.)<br />

Boerl.) berturut-turut adalah tanah + kompos,<br />

tanah + serbuk gergaji dan tanah + sekam padi<br />

dibanding dengan tanah + pupuk kandang dan<br />

tanah tanpa campuran. Mahfudz dkk, 2005<br />

menyatakan bahwa media tanah+kompos (1:1).<br />

menghasilkan bibit jati terbaik dibanding<br />

penggunaan tanah, tanah + sekam padi (1:1) dan<br />

tanah+pupuk kandang(1:1).<br />

Walaupun media campuran M6 (Tanah +<br />

Pupuk kandang + Serbuk gergaji (1:1:1)) relatif<br />

mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih<br />

lambat dibanding M4 dan M5, semai yang<br />

ditumbuhkan pada media yang mengandung<br />

serbuk gergaji cenderung mempunyai kandungan<br />

K yang paling tinggi (Sunantara dkk., 2005). Hal<br />

ini diduga ada kaitannya dengan kemampuan<br />

media tumbuh dalam menyediakan unsur-unsur<br />

hara tersebut selama pertumbuhan semai<br />

berlangsung seperti yang disajikan pada Lakitan<br />

(1995) menyatakan bahwa serbuk gergaji sedikit<br />

mengandung N, P, K dan Mg dengan kapasitas<br />

penyangga baik dan kapasitas pegang/pengikat<br />

air baik sampai sangat baik walaupun sulit<br />

terdekomposisi karena kandungan kimia (lignin,<br />

hemiselulosa dan lain-lain) dan zat ekstratif yang<br />

mengganggu pertumbuhan cendawan.<br />

Tabel ( Table ) 2. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh komposisi media sapih terhadap diameter, tinggi,<br />

jumlah daun, persen hidup, berat kering akar, berat kering batang + daun dan indeks mutu<br />

bibit Manglieta glauca BI pada umur 4 bulan (The result of Duncan advanced test on the<br />

influence of replanting media composition on diameter, height, leave number, survival<br />

rate, root and stem + leave's biomass, and seedling quality index of 4 months old -<br />

Manglieta glauca BI)<br />

M<br />

e<br />

d<br />

i<br />

a<br />

Diameter/<br />

Diameter<br />

(cm)<br />

Tinggi<br />

/Height<br />

(cm)<br />

Jumlah<br />

daun /<br />

Leave<br />

number<br />

Persen<br />

hidup /<br />

Survival<br />

(%)<br />

Mutu Bibit Manglid ( Manglieta glauca Bi)<br />

pada Tujuh Jenis Media Sapih<br />

Aris Sudomo, Encep Rachman dan Nina Mindawati<br />

Berat<br />

kering<br />

akar /Root<br />

biomass<br />

(gr)<br />

Berat kering<br />

batang +<br />

daun /<br />

stem+leave’s<br />

biomass<br />

(gr)<br />

Indeks<br />

mutu<br />

bibit /<br />

seedling<br />

quality<br />

index<br />

M1 0,427 bcd 18,833 c 9,352 bc 90,0 b 0,845ab 2,753 b 0,056 bc<br />

M2 0,333a 11,364 b 9,673 c 91,7 b 0,450a 1,170a 0,030a<br />

M3 0,41 b 18,955 c 9,200 bc 91,7 b 0,695ab 2,074ab 0,042ab<br />

M4 0,469 d 22,678 d 9,978 c 75,0 b 1,096 bc 2,624 b 0,071 c<br />

M5 0,433 cd 13,388 b 8,551ab 81,7 b 2,096 e 4,046 c 0,132 e<br />

M6 0,379ab 17,000 c 9,234 bc 78,3 b 1,474 cd 4,214 c 0,072 c<br />

M7 0,34a 8,953a 8,063a 53,3a 1,764 de 3,171 bc 0,095 d<br />

Keterangan ( Remark)<br />

: Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama dalam suatu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada<br />

tingkat kepercayaan 95% (Value followed by same letter on column indicated not different at level 95%)<br />

269


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 265 - 272<br />

Tabel ( Table)<br />

3. Hasil analisis sifat fisik dan kimia serbuk sabut kelapa.(The<br />

analysis result on physical<br />

and chemical characteristics of cocopeat)<br />

No Seri Tekstur Ekstrak 1:5 Terhadap contoh kering 105 o C<br />

Pasir Debu Liat pH Bahan organik<br />

H20 KCL Walkley&Black Kjeldahl C/N Olsen Morgan<br />

C<br />

N<br />

P2O5 K2O<br />

1 Cocopeat 0 35 65 6,1 5,0 47,05 0,81 58 412 13896<br />

Sumber ( Source) : Hasil analisis data primer di Balai Penelitian Tanah Bogor ( The result of analysis primary data at Bogor Soil<br />

Research Institute)<br />

Penambahan pupuk kandang, sekam<br />

maupun serbuk gergaji dapat menurunkan bobot<br />

jenis isi (BI) dan bobot jenis partikel (BJP), tetapi<br />

meningkatkan porositas, air tersedia, pori<br />

drainase cepat dan lambat (Sunantara dkk, 2005).<br />

Penambahan bahan organik menyebabkan jarak<br />

antar partikel tanah semakin besar dan terisi oleh<br />

hasil dekomposisi. Dibandingkan sekam dan<br />

serbuk gergaji, pupuk kandang dapat menciptakan<br />

granulasi media tumbuh lebih baik, sehingga<br />

tercipta struktur media yang baik pula. seperti yang<br />

ditunjukkan dengan persen pori drainase cepat<br />

yang lebih kecil atau jumlah pori makro yang lebih<br />

sedikit. Hal ini berkaitan erat dengan kandungan<br />

lignin dan hypoprotein yang relatif resisten<br />

terhadap pelapukan yang berturut-turut dari<br />

tertinggi pada serbuk gergaji, sekam dan pupuk<br />

kandang. Supardi (1983) menyatakan bahwa 0,2%<br />

bagian kotoran sapi merupakan jaringan jasad<br />

yang berperan penting dalam aktivitas biologi.<br />

Black (1946) menambahkan bahwa<br />

kemampuan media tumbuh dalam menunjang<br />

pertumbuhan akar yang baik, juga tergantung<br />

pada distribusi ukuran pori dan aktivitas jasad<br />

mikro. Tingkat pH media tumbuh yang<br />

menggunakan pupuk kandang relatif lebih<br />

rendah dibandingkan yang menggunakan sekam<br />

maupun serbuk gergaji karena asam-asam humid<br />

yang dilepaskan oleh jasad mikro. Kenyataan ini<br />

menunjukkan bahwa proses dekomposisi bahan<br />

organik dari pupuk kandang berlangsung lebih<br />

awal daripada sekam dan serbuk gergaji. Proses<br />

dekomposisi akan meningkat seperti ditunjukkan<br />

dengan menurunnya nilai bandingan C/N<br />

(Supriyanto dan Ernawanto, 1986).<br />

Dalam proses mineralisasi ini, kationkation<br />

akan segera dilepas, sehingga pH pada<br />

akhir pengamatan menjadi lebih besar. Proses<br />

mineralisasi bahan organik akan terjadi bila<br />

bandingan C/N < 25 (Anonim, 1984<br />

Sunantara dkk, 2005). Media tumbuh yang<br />

mengandung pupuk kandang memiliki sifat fisik<br />

dan kimia yang lebih mantap, sehingga mampu<br />

menunjang pertumbuhan perakaran dan semai<br />

lebih baik. Semai yang ditumbuhkan pada media<br />

270<br />

dalam<br />

yang mengandung pupuk kandang cenderung<br />

mempunyai laju absorbsi N dan P lebih tinggi.<br />

Berdasarkan hasil analisa sifat fisik dan kimia,<br />

media tumbuh yang mengandung pupuk kandang<br />

mempunyai sifat-sifat fisik dan kimia sebagai<br />

3 3<br />

berikut. BI 0,90-1,22 g/cm . BJP 2,25-2,31 g/cm ,<br />

porositas 46,94-59,85%, air tersedia 6,75-<br />

17,13% pori drainase cepat 23,03-30,24 dan pori<br />

drainase lambat 1,72-2,88; pH (H O) berkisar<br />

7,2-7,5 dan pH (KCl) 6,3-6,6 serta bandingan<br />

C/N 9,4-18,6 (Sunantara dkk, 2005).<br />

Media M7 memberikan hasil pertumbuhan<br />

diameter, tinggi, jumlah daun dan persentase<br />

hidup bibit Manglieta glauca BI terjelek<br />

dibanding media lainnya, hal ini dikarenakan<br />

bibit banyak terserang penyakit rebah semai/<br />

dumping off.<br />

Penggunanaan abu sekam padi juga<br />

bukan merupakan tambahan unsur hara tetapi<br />

dapat meningkatkan pH, aerasi dan porositas<br />

media. Mengingat dumpig off banyak terjadi pada<br />

persemaian yang terlalu lembab dan media yang<br />

dapat meningkatkan pH, maka kelembaban dari<br />

persemaian hendaknya dijaga jangan sampai<br />

tinggi dan usahakan adanya cukup sinar matahari<br />

yang masuk serta hindari penggunaaan media<br />

yang dapat meningkatkan pH seperti abu sekam<br />

padi. Penggunaan abu sekam padi sebagai<br />

campuran media dapat menaikkan pH dan<br />

kelembaban sehingga kondusif bagi patogen<br />

dumping off.<br />

Penggunaan arang sekam padi akan<br />

lebih baik karena butiran bersifat lebih besar dan<br />

kasar sehingga akan memperbaiki aerasi dan<br />

porositas media tanpa menaikkan pH secara lebih<br />

besar dibanding abu sekam padi. Hasil penelitian<br />

Kurniaty dkk. (2007) menunjukkan hasil yang<br />

berbeda pada media tanah + arang sekam padi<br />

(1:1) dengan pertumbuhan tinggi, diameter dan<br />

persen hidup bibit mindi ( Melia azedaract)<br />

terbaik dibanding dengan media tanah, sabut<br />

kelapa, arang sekam padi+sabut kelapa (1:1) dan<br />

tanah +sabut kelapa (1:1) sampai umur 5 bulan.<br />

Hal ini menunjukkan bahwa setiap jenis tanaman<br />

memerlukan kondisi media penyapihan yang<br />

berbeda untuk dapat menghasilkan pertumbuhan<br />

dan mutu bibit yang lebih baik.<br />

2


Gambar (Figure) 1. Kenampakan bibit Manglieta glauca BI umur 2 bulan ( Performance of seedling<br />

Manglieta glauca BI at 2 months old)<br />

IV. KESIMPULAN<br />

1. Perlakuan 7 jenis media sapih pada tanaman<br />

manglid memberikan respon yang berbeda<br />

nyata terhadap pertumbuhan diameter, tinggi,<br />

persen hidup, berat kering akar, berat kering<br />

batang+daun dan indeks mutu bibit.<br />

2. Pertumbuhan diameter, tinggi dan jumlah<br />

daun bibit manglid yang terbaik adalah<br />

menggunakan campuran media tanah + pupuk<br />

kandang + pasir (1:1:1) yaitu sebesar 0,469<br />

cm, 22,678 cm dan 9,978, sedangkan<br />

persentase hidup bibit manglid terbaik sebesar<br />

91,7% dihasilkan pada campuran media sapih<br />

tanah + pupuk kandang+sekam padi (1:1:1)<br />

dan terendah sebesar 53,3% pada campuran<br />

media tanah + pupuk kandang + abu sekam<br />

padi (1:1:1).<br />

3. Campuran media tanah + pupuk kandang +<br />

serbuk sabut kelapa (1:1:1) menghasilkan<br />

indeks mutu bibit manglid terbaik yaitu<br />

sebesar 0,132 sedangkan indeks mutu bibit<br />

terendah dihasilkan pada campuran media<br />

sapih tanah + pupuk kandang + sekam padi<br />

(1:1:1) yaitu sebesar 0,042.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

Buckman, H.O., and N.C.Brady. 1982. Ilmu<br />

Tanah. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.<br />

788 hal.<br />

Mutu Bibit Manglid ( Manglieta glauca Bi)<br />

pada Tujuh Jenis Media Sapih<br />

Aris Sudomo, Encep Rachman dan Nina Mindawati<br />

Diniyati, D. Suyarno, D.P. Kuswantoro, A.<br />

Badrunasar, E. Fauziyah, T. Sulistyati, dan<br />

E. Mulyati. 2005. Teknik Perbanyakan<br />

<strong>Tanaman</strong> Manglid ( Manglieta glauca BI)<br />

dengan Biji. Loka Penelitian dan<br />

Pengembangan <strong>Hutan</strong> Monsoon. Ciamis<br />

Durahim dan Hendromono, 2001. Kemungkinan<br />

Penggunaan Limbah Organik Sabut<br />

Kelapa Sawit dan Sekam Padi sebagai<br />

Campuran Top Soil untuk Media<br />

Pertumbuhan Bibit Mahoni ( Swictenia<br />

macrophylla King). Buletin Penelitian<br />

<strong>Hutan</strong> no. 628 Hal 13-26<br />

Erlan, 2005. Pengaruh Berbagai Media terhadap<br />

Pertumbuhan Bibit Mahkota Dewa<br />

( Phaleria macrocarpha (Scheff.) Boerl.)<br />

di Polibag. Jurnal Akta Agrosia <strong>Vol</strong>. 7<br />

No.2 hlm 72-75 Jul - Des 2005 ISSN :<br />

1410-3354 Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian<br />

Sriwigama. Palembang. Tanggal Akses<br />

15 November 2008<br />

Hendromono, 1994. Pengaruh Media Organik<br />

dan Tanah Mineral terhadap Mutu Bibit<br />

Pterygota alata Roxb. Buletin Penelitian<br />

<strong>Hutan</strong> no 617 : 55-64<br />

Hendromono dan Durahim, 2004. Pemanfaatan<br />

Limbah Sabut Kelapa Sawit dan Sekam<br />

Padi sebagai Medium Pertumbuhan Bibit<br />

Mahoni Afrika ( Khaya anthoteca C. DC).<br />

Buletin Penelitian <strong>Hutan</strong> No 644. Badan<br />

271


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 265 - 272<br />

<strong>Litbang</strong> Kehutanan. Puslitbang <strong>Hutan</strong> dan<br />

KonservasiAlam. Bogor.<br />

Indriyanto, 2003. Laporan Penelitian Respon<br />

Semai Pohon Cengal ( Hopea sangal<br />

Korth) terhadap campuran media tanah,<br />

bokashi sekam padi dan Bokhasi serbuk<br />

kayu gergaji di Persemaian. Universitas<br />

Lampung.<br />

Kurniaty, R., B. Budiman dan M. Suartana.<br />

Pengaruh Media dan Naungan terhadap<br />

Mutu Bibit Mindi. 2007. Buletin<br />

Puslitbang <strong>Vol</strong>ume X No 02 Oktober 2007.<br />

Cepu<br />

Lakitan, B. 1995. Fisiologi Pertumbuhan dan<br />

Perkembangan <strong>Tanaman</strong>. PT. Raja<br />

Grafindo Persada, Jakarta.<br />

Lendri, S. 2003. Buletin Teknik Pertanian <strong>Vol</strong> 8.<br />

Nomor 1, 2003. Bogor.<br />

Mahfudz, H. Supriyo, Suryanaji dan H.<br />

Supriyanto. 2005. Pengaruh Penggunaan<br />

Biostimulan, Jenis dan <strong>Vol</strong>ume Media<br />

terhadap Pertumbuhan Semai Jati. <strong>Pusat</strong><br />

Penelitian dan Pengembangan <strong>Hutan</strong><br />

<strong>Tanaman</strong>.Yogyakarta.<br />

Rimpala, 2001. Penyebaran Pohon Manglid<br />

( Manglietia Glauca BI.) di Kawasan<br />

272<br />

<strong>Hutan</strong> Lindung Gunung Salak. Laporan<br />

Ekspedisi Manglid. www .rimpala.com.<br />

Bogor.<br />

Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan<br />

Praktis Bidang Pertanian. Penerbit<br />

Kanisius,Yogyakarta<br />

Supriyanto, A. dan Ernawanto. 1986. Media<br />

Tumbuh untuk Pembibitan Jeruk. Buletin<br />

<strong>Tanaman</strong>HortikulturaXIVEdisiKhusus23.<br />

Sunantara,M., I.B. Aribawa dan I.K. Kariada,<br />

2005. Pengaruh Berbagai Media Tumbuh<br />

terhadap Pertumbuhan Bibit Jeruk Bali<br />

( Citrus maxima. Merr).<br />

Balai Pengkajian<br />

Teknologi Pertanian (BPTP). Bali.<br />

TanggalAkses 15 November 2008<br />

Kurniaty, R., B. Budiman, dan M. Suartana 2007.<br />

Pengaruh Media dan Naungan Terhadap<br />

Mutu Bibit Mindi. Buletin Puslitbang<br />

<strong>Vol</strong>ume X No. 02 Oktober 2007 hal 668-<br />

677. Cepu.<br />

Kosasih, A.S., 2006. Pengaruh Medium Sapih<br />

terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea<br />

selanica BI di Persemaian. Jurnal <strong>Hutan</strong><br />

dan Konservasi Alam. <strong>Pusat</strong> Penelitian<br />

dan Pengembangan <strong>Hutan</strong> dan<br />

Konservasi Alam. Bogor


PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT TUMOR ( Uromycladium tepperianum (Sacc.) Mc.<br />

Alpin) PADA SENGON ( Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) DI PANJALU<br />

KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT<br />

Control of Gall Rust Disease (Uromycladium tepperianum (Sacc.) Mc. Alpin)<br />

on Sengon Tree ( Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes)<br />

in Panjalu, Ciamis, West Java<br />

1) 2) 1)<br />

Illa anggraeni , Benyamin Dendang dan/ and Neo Endra Lelana<br />

1)<br />

<strong>Pusat</strong> Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas <strong>Hutan</strong><br />

2)<br />

Balai Penelitian Kehutanan Ciamis<br />

Jl. Raya Ciamis Banjar Km. 4, Ds. Pamalayan, Ciamis 46201<br />

Telp. (0265) 771352 Fax. (0265) 775866<br />

Naskah masuk : 2 Pebruari 2010 ; Naskah diterima : 1 November 2010<br />

Keywords: sengon, gall rust, sulphur, lime, salt<br />

ABSTRACT<br />

Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & JW Grimes) is one of the current tree developed on<br />

commercial scale, however, the existence of disease caused by a gall rust (Uromycladium tepperianum<br />

(Sacc.) Mc. Alpin) fungi is quite serious constraint for its development. Therefore, it needs to performed<br />

disease control to avoid a huge loss. The aim of the research was to know effectiveness of sulphur, lime and<br />

salt to control gall rust disease in Panjalu, Ciamis District, West Java. The experiment consists of six<br />

treatments and each treatment used ten trees. Treatments were P0= control, P1= sulphur, P2= lime, P3=<br />

lime and sulphur mixture (1:1) (w/w), P4= sulphur and salt mixture (10:1) (w/w), P5= lime and salt<br />

mixture (10:1) (w/w), and P6= sulphur, lime and salt mixture (10:10:1) (w/w/w). The results showed<br />

treatment P4 and P5 had the highest inhibiting percentage of gall rust growth and total amount of gall rust<br />

suppression. However, this value statistically not different from the treatment of P2 and P6.<br />

ABSTRAK<br />

Sengon ( Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) merupakan salah satu jenis pohon yang<br />

saat ini telah dikembangkan dalam skala usaha, namun permasalahan yang dihadapi ialah adanya<br />

serangan penyakit karat tumor yang disebabkan oleh fungi Uromycladium tepperianum (Sacc.) Mc.<br />

Alpin. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengendalian agar kerugian yang ditimbulkan tidak semakin<br />

besar. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui efektivitas belerang, kapur dan garam dalam<br />

mengendalikan penyakit karat tumor di Panjalu Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Penelitian menggunakan<br />

enam perlakuan dengan individu yang diberi perlakuan sebanyak 10 pohon per perlakuan. Pengendalian<br />

dilakukan menggunakan belerang, kapur dan garam. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini<br />

adalah P0 = kontrol, P1 = belerang, P2 = kapur, P3 = kapur : belerang (1:1) (b/b), P4 = belerang : garam<br />

(10:1) (b/b), P5 = Kapur : garam (10:1) (b/b), P6 = belerang : kapur : garam (10:10:1) (b/b). Hasil<br />

penelitian menunjukkan perlakuan P4 dan P5 mempunyai persentase penghambatan tertinggi dan paling<br />

banyak menekan rata-rata jumlah karat tumor. Namun demikian, secara statistik nilai ini tidak berbeda<br />

dengan perlakuan P2 dan P6.<br />

Kata kunci :<br />

Kampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610<br />

Telp. (0251) 8631238, Fax. (0251) 7520005<br />

sengon, karat tumor, belerang, kapur, garam<br />

273


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 273 - 278<br />

274<br />

I. PENDAHULUAN<br />

Sengon ( Falcataria moluccana (Miq.)<br />

Barneby & J.W. Grimes) merupakan tanaman<br />

yang saat ini menjadi primadona. <strong>Tanaman</strong> ini<br />

banyak diusahakan dan dikembangkan di<br />

kawasan hutan tanaman, perkebunan maupun di<br />

kebun-kebun milik rakyat (hutan rakyat).<br />

Kelebihan jenis tanaman ialah pertumbuhannya<br />

yang sangat cepat, sehingga tanaman ini pernah<br />

dijuluki sebagai pohon ajaib ( miracle tree).<br />

Selain itu tanaman ini bersifat multifungsi,<br />

memberikan dampak ganda, baik sebagai<br />

tanaman produksi maupun sebagai tanaman<br />

konservasi dan reboisasi.<br />

Salah satu masalah yang dihadapi dalam<br />

pengembangan sengon sekarang ini, yaitu adanya<br />

serangan penyakit karat tumor ( gall rust)<br />

yang<br />

disebabkan oleh fungi Uromycladium<br />

tepperianum (Sacc.) Mc. Alpin (Old, 2002;<br />

Anggraeni dan Santoso, 2003; Rahayu, 2008).<br />

U. tepperianum yang menyerang sengon di<br />

Indonesia hanya memerlukan satu inang<br />

saja untuk menyelesaikan siklus hidupnya<br />

dan membentuk satu macam spora yaitu<br />

teliospora dalam telium, sehingga fungi ini<br />

mempunyai daur hidup pendek ( microcyclus)<br />

(Gathe, 1971).<br />

Di Indonesia penyakit karat tumor<br />

pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 di<br />

Pulau Seram, Maluku (Anggraeni dan Santoso,<br />

2003). Kemudian Old (2002) melaporkan<br />

bahwa penyakit karat tumor juga menyerang<br />

sengon sebagai pohon pelindung kopi di<br />

Timor Lorosae dengan persentase serangan<br />

57% - 90%. Pada tahun 2006 Puslitbang<br />

<strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong> menerima laporan dari Dinas<br />

Kehutanan Kabupaten Lumajang (Surat Dinas<br />

Kehutanan Kabupaten Lumajang No.<br />

522/211/427.50/2006 dan No. 522/345/<br />

427.50/2006) bahwa tanaman sengon di lokasi<br />

kegiatan GN-RHL/GERHAN tahun tanam<br />

2003 seluas 300 ha, 2004 seluas 1.350 ha dan<br />

2005 seluas 775 ha telah terserang karat tumor.<br />

Hasil survei dan informasi dari beberapa media<br />

menunjukkan bahwa penyakit karat tumor<br />

terus menyebar sampai Jawa Timur<br />

(Banyuwangi, Bondowoso, Pasuruan, Malang,<br />

Jember, Lumajang, Probolinggo, Blitar, Kediri<br />

dan Pacitan); Jawa Tengah (Purworejo,<br />

Magelang, Temanggung, Wonosobo,<br />

Banjarnegara, Boyolali, Kutoarjo, Purwokerto<br />

dan Banyumas); serta Jawa Barat (Ciamis,<br />

Tasikmalaya, Sumedang dan Banten).<br />

Adanya epidemi penyakit karat tumor<br />

pada tanaman sengon di Pulau Jawa menurut<br />

Rahayu (2008) dapat menjadi ancaman yang<br />

dapat mengakibatkan penurunan produk kayu<br />

sengon besar-besaran pada tahun-tahun<br />

mendatang. Hal ini dapat mempengaruhi<br />

peta pengusahaan tanaman sengon di Pulau<br />

Jawa serta pengembangan produk-produk<br />

berbasis kayu sengon. Tujuan dari penelitian ini<br />

ialah untuk mengetahui efektivitas belerang,<br />

kapur dan garam untuk mengendalikan<br />

penyakit karat tumor di Panjalu Kabupaten<br />

Ciamis Jawa Barat.<br />

II. BAHAN DAN METODE<br />

A. Waktu dan Lokasi Penelitian<br />

Penelitian pengendalian penyakit karat<br />

tumor pada sengon dilaksanakan pada bulan<br />

April sampai dengan bulan Oktober 2009.<br />

Penelitian dilakukan di kebun sengon milik<br />

rakyat di Desa Sandingtaman Kecamatan<br />

Panjalu, Kabupaten Ciamis Jawa Barat.<br />

Kecamatan Panjalu berada di wilayah Ciamis<br />

bagian Utara yang secara geografis berada pada<br />

◦ ◦<br />

posisi 8 Lintang Utara dan 11 Lintang Selatan, di<br />

bawah kaki Gunung Sawal. Tinggi tempat 750 -<br />

1000 m di atas permukaan laut, dengan<br />

kelerangan 45%. Jenis tanah podsolik merah<br />

kuning dan sebagian latosol.<br />

B. Bahan danAlat<br />

Bahan yang digunakan ialah tanaman<br />

sengon umur 1 tahun, serbuk belerang, kapur,<br />

garam dapur, air, cat dan pengencer cat. Alat-alat<br />

yang digunakan antara lain lup, pisau, pinset, tali<br />

plastik, kantong plastik, obyek gelas & gelas<br />

penutup, kuas, sprayer,<br />

jerigen, ember, cangkul,<br />

golok, sabit, tangga aluminium lipat, galah, slang<br />

plastik, saringan plastik, alat pengaduk, gunting<br />

pangkas, hand counter,<br />

foto-mikroskop dan<br />

kamera.<br />

C. Metode<br />

1. Tahapan Kegiatan<br />

Sebelum diberi perlakuan setiap tanaman<br />

(pohon uji) dibersihkan dari karat tumor dengan<br />

cara pemangkasan ( wiwil),<br />

karat tumor<br />

dikumpulkan dan dimasukkan dalam lubang<br />

kemudian lubang ditutup. Setelah tanaman uji<br />

bersih dari karat tumor maka diberi perlakuan<br />

seperti yang tersebut di atas dengan cara<br />

pelaburan pada seluruh permukaan batang utama<br />

dan cabang kemudian dilakukan penyemprotan<br />

pada seluruh permukaan pohon secara merata.


Pengendalian Penyakit Karat Tumor ( Uromycladium tepperianum (Sacc.) Mc. Alpin)<br />

pada Sengon ( Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.w. Grimes) di Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat<br />

Illa Anggraeni, Benyamin Dendang dan Neo Endra Lelana<br />

A B C<br />

Gambar ( Figure) 1. A. Pemangkasan ( Pruning) B. Pelaburan ( Brushing) C. Penyemprotan ( Spraying)<br />

2. Metode Penelitian<br />

Dalam penelitian ini digunakan enam<br />

macam perlakuan yang terdiri dari belerang,<br />

kapur dan garam ditambah kontrol (Tabel 1).<br />

Masing-masing perlakuan digunakan tiga<br />

ulangan dan setiap ulangan terdiri dari sepuluh<br />

pohon.<br />

Bahan-bahan dalam perlakuan tersebut di<br />

atas dilarutkan dalam 5 liter air untuk pelaburan,<br />

sedangkan untuk penyemprotan bahan dilarutkan<br />

dalam 10 liter air. Sebelum digunakan larutan<br />

untuk semprot dilakukan penyaringan agar tidak<br />

menyumpat alat semprot. Perlakuan dilakukan<br />

setiap dua minggu sekali, penghitungan jumlah<br />

karat tumor pada setiap pohon dilakukan satu<br />

bulan sekali, sebelum perlakuan.<br />

Tabel ( Table ) 1. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian (The treatments used in this study)<br />

No.<br />

1<br />

2<br />

3<br />

4<br />

5<br />

6<br />

7<br />

Perlakuan (Treatment) Bahan (Materials)<br />

P0 kontrol<br />

P1 belerang<br />

P2 kapur<br />

P3 kapur : belerang (1:1) (b/b)<br />

P4 belerang : garam (10:1) (b/b)<br />

P5 kapur : garam (10:1) (b/b)<br />

P6 belerang : kapur : garam (10:10:1) (b/b)<br />

275


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 273 - 278<br />

3. Analisis Data<br />

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis<br />

dengan analisis sidik ragam dengan program<br />

SPSS 14. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan<br />

uji lanjut Tukey pada taraf 5% (P


Pengendalian Penyakit Karat Tumor ( Uromycladium tepperianum (Sacc.) Mc. Alpin)<br />

pada Sengon ( Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.w. Grimes) di Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat<br />

Illa Anggraeni, Benyamin Dendang dan Neo Endra Lelana<br />

menjadi 57,33 pada bulan ke-1 dan 34,67 pada<br />

bulan ke-2. Secara statistik, rata-rata penurunan<br />

jumlah karat tumor sudah terlihat nyata pada<br />

bulan ke-1 kecuali pada kontrol dan perlakuan P1<br />

(Gambar 2). Penurunan jumlah karat tumor pada<br />

kontrol tidak berbeda nyata sampai bulan ke-2<br />

sedangkan pada perlakuan P1, penurunan jumlah<br />

karat tumor berbeda nyata setelah bulan ke-2.<br />

Perlakuan yang dilakukan yaitu dengan<br />

pemangkasan ( wiwil)<br />

dan pelaburan batang<br />

pohon uji dengan berbagai formulasi dari<br />

belerang, kapur dan garam. Pada kontrol,<br />

perlakuan yang dilakukan hanya dengan<br />

pemangkasan tanpa pelaburan dengan bahan<br />

fungisida. Walaupun perlakuan dengan<br />

pemangkasan ini terlihat dapat menurunkan<br />

jumlah karat tumor tiap bulannya, namun<br />

penurunan ini secara statistik tidak nyata. Jadi<br />

dapat dikatakan penurunan jumlah karat tumor<br />

secara nyata pada beberapa perlakuan diduga<br />

bukan karena pengaruh perlakuan pemangkasan<br />

tetapi karena adanya penghambatan dari formula<br />

yang digunakan.<br />

B. Persentase penghambatan pertumbuhan<br />

karat tumor<br />

Penurunan jumlah karat tumor diduga<br />

karena adanya penghambatan oleh belerang,<br />

kapur dan garam. Pada Gambar 2 terlihat ratarata<br />

persentase penghambatan meningkat seiring<br />

dengan waktu. Pada bulan ke-1 persentase<br />

penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh<br />

perlakuan P6, yaitu sebesar 86,96%, namun pada<br />

bulan ke-2 persentase penghambatan tertinggi<br />

ditunjukkan oleh perlakuan P4, yaitu sebesar<br />

95,88%. Persentase penghambatan terendah<br />

ditunjukkan oleh kontrol, yaitu 29,48% pada<br />

bulan ke-1 dan 34,51% pada bulan ke-2. Secara<br />

statistik, rata-rata persentase penghambatan<br />

antara perlakuan dan kontrol pada bulan ke-1<br />

tidak menunjukkan beda nyata dan baru terlihat<br />

nyata pada bulan ke-2 (Gambar 3). Perlakuan P2,<br />

P4, P5 dan P6 terlihat berbeda secara nyata<br />

dengan kontrol, namun antar perlakuan tersebut<br />

tidak menunjukkan beda nyata.<br />

Djafaruddin (2000) menyebutkan bahwa<br />

beberapa formula belerang anorganik telah<br />

terbukti sangat baik sebagai fungisida dan<br />

digunakan untuk mengendalikan beberapa<br />

penyakit tanaman. Unsur belerang dapat dipakai<br />

sebagai embusan, berupa tepung yang dapat larut<br />

( wettable powder),<br />

pasta atau cairan yang banyak<br />

digunakan untuk memberantas penyakit embun<br />

tepung ( powdery mildew),<br />

tetapi juga efektif<br />

terhadap penyakit karat tertentu, bercak daun<br />

( leaf blight)<br />

dan busuk buah. Belerang dipakai<br />

sebagai fungisida karena sifat fitotoksisitasnya,<br />

artinya kerusakan/keracunan terhadap tanaman<br />

yang lebih rendah daripada logam berat.<br />

Sedangkan menurut Triharso (2004), tepung<br />

belerang (umumnya digunakan dalam bentuk<br />

serbuk dengan partikel yang halus) dipakai<br />

sebagai fungisida untuk pemberantasan penyakit<br />

tepung. Dalam mengatasi terjadinya gumpalan<br />

pada pengembusan biasanya ditambah dengan<br />

bahan karier seperti kaolin atau bentonit.<br />

Fitotoksisitas belerang lebih rendah daripada<br />

logam berat dan dapat membunuh jamur dengan<br />

jarak waktu tertentu dengan lebih dulu<br />

membentuk gas. Oleh karena itu belerang bekerja<br />

o<br />

baik bila suhu rata-rata lebih tinggi dari 20 C. Gas<br />

S02 yang terjadi akan berubah menjadi SO3 dan<br />

H2SO4di dalam air.<br />

Dalam keadaan tertentu belerang dapat<br />

juga menyebabkan fitotoksis pada daun,<br />

pertumbuhan terhambat dan gugur misal pada<br />

daun melon ( Cucumis melo L.) yang sangat peka.<br />

Sulfur atau belerang bekerja mengganggu<br />

transpor elektron sepanjang sitokrom jamur dan<br />

kemudian direduksi menjadi hidrogen sulfida<br />

(H2S) yang beracun terhadap sebagian besar<br />

protein selular. Selain itu campuran kapur dan<br />

belerang dengan perbandingan 1 : 1 juga dapat<br />

menekan serangan penyakit karat tumor (Agrios,<br />

2005). Campuran kapur-belerang ( lime-sulphur<br />

mixture)<br />

yang lebih dikenal dengan sebutan<br />

bubur California,<br />

dapat digunakan sebagai<br />

semprotan untuk pohon buah-buahan yang dalam<br />

keadaan istirahat ( dormancy),<br />

guna memberantas<br />

penyakit bercak ( blight)<br />

atau antraknosa<br />

( anthracnose), embun tepung atau kudis ( scab),<br />

bercak coklat ( brown spot)<br />

pada buah berbiji<br />

keras atau batu, penyakit daun pada peach ( peach<br />

leaf).<br />

Bubur California selain sebagai fungisida<br />

juga mempunyai pengaruh sebagai insektisida<br />

(Djafaruddin, 2000).<br />

Bubur California dapat dibuat dengan cara<br />

memasukkan tepung belerang (1 kg) yang<br />

dipanaskan dalam 10 liter air sampai larut,<br />

setelah larut disaring. Dalam kondisi panas<br />

masukkan kapur (2 kg) diaduk hingga merata.<br />

Campuran ini mengandung polisulfida-kapur<br />

(CaS.Sx) dan thiosulfat-kapur (CaS2O 3)<br />

(Djafaruddin, 2000 dan Triharso, 2004).<br />

Sedangkan menurut Nene (1971), kandungan<br />

belerang pada fungisida kapur-belerang dapat<br />

bertindak sebagai akseptor hidrogen dalam<br />

sistem metabolisme, yang bekerja dengan cara<br />

mengganggu sistem hidrogenasi dan<br />

277


Jurnal Penelitian <strong>Hutan</strong> <strong>Tanaman</strong><br />

<strong>Vol</strong>.7 No.5, Desember 2010, 273 - 278<br />

dehidrogenasi yang normal dalam sel. Fungisida<br />

kapur-belerang juga mengeluarkan uap yang<br />

mampu menghambat perkecambahan konidia<br />

cendawan. Sedangkan pemberian kapur secara<br />

tunggal berfungsi sebagai protektan atau<br />

pelindung atau penutup, sehingga batang, cabang<br />

maupun daun yang dilabur atau disemprot dapat<br />

terhindar dari spora cendawan di udara yang akan<br />

menempel (Djafaruddin, 2000).<br />

Gambar ( Figure)<br />

3. Persentase penghambatan<br />

karat tumor oleh berbagai perlakuan<br />

(The inhibiting percentage of gall rust by<br />

various treatments )<br />

Pengaruh satu jenis antimikroba terhadap<br />

fungi akan berbeda-beda. Suatu antimikroba<br />

dapat bersifat bersifat fungistatis (antifungi)<br />

yaitu merupakan keadaan yang menggambarkan<br />

kerja suatu bahan yang menghambat<br />

pertumbuhan fungi. Sedangkan fungitoksik<br />

(fungisidal) merupakan keadaan yang<br />

menggambarkan kerja suatu bahan yang<br />

menghentikan pertumbuhan (membunuh) fungi.<br />

Dalam penelitian ini bahan-bahan yang<br />

digunakan seperti belerang, kapur dan garam<br />

ternyata bersifat fungistatis yaitu bahan yang<br />

hanya menghambat pertumbuhan patogen<br />

sementara, bila bahan tersebut tidak diberikan<br />

maka patogen akan tumbuh kembali<br />

(Djafaruddin, 2000).<br />

1. Perlakuan P4 (campuran belerang dan<br />

garam (10:1) (b/b)) cenderung menunjukkan<br />

aktivitas penghambatan pertumbuhan<br />

karat tumor tertinggi dan paling banyak<br />

menurunkan jumlah karat tumor sampai<br />

bulan ke-2.<br />

278<br />

KESIMPULAN<br />

2. Pemanfaatan kapur secara teknis lebih mudah<br />

untuk diterapkan di masyarakat.<br />

DAFTAR PUSTAKA<br />

th<br />

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology.<br />

5 eds.<br />

ElsevierAcademic Press. USA.<br />

Anggraeni, I. dan E. Santoso. 2003. Penyakit<br />

karat puru pada sengon ( Paraserianthes<br />

falcataria) di Pulau Seram. Buletin<br />

Penenlitian <strong>Hutan</strong> 636. Puslitbang <strong>Hutan</strong><br />

dan KonservasiAlam Bogor.<br />

Djafaruddin, 2000. Dasar-dasar Pengendalian<br />

Penyakit <strong>Tanaman</strong>. Bumi Aksara.<br />

Jakarta.<br />

Gathe, J. 1971. Host range and symptoms<br />

in western Australia of gall rust,<br />

Uromycladium tepperianum. J. Roy.<br />

Soc. W. Australia (Australian Agency<br />

for International Development).<br />

Produk <strong>Hutan</strong> dan Kehutanan CSIRO.<br />

Canberra.<br />

Hadi, S. 2001. Patologi <strong>Hutan</strong>. Perkembangannya<br />

di Indonesia. Fakultas Kehutanan<br />

IPB. Bogor.<br />

Madigan, M.T., Martinko, JM., and Parker J.<br />

1997. Biology of Microorganism.<br />

New<br />

Jersey. Prentice Hall, Inc.<br />

Nene, Y.I. 1971. Fungicide in Plant Diseases<br />

Control.<br />

New Delhi.<br />

Old, K.M. 2002. Misi penelitian madre<br />

cacao. Laporan untuk klien, No. 1119<br />

Juni 2002. Klien : Dinas Pembangunan<br />

Internasional Australia (Australian<br />

Agency for International Development).<br />

Produk <strong>Hutan</strong> dan Kehutanan CSIRO.<br />

Canberra.<br />

Rahayu, S. 2008. Penyakit karat tumor pada<br />

sengon. Makalah Workshop Serangan<br />

Karat Tumor pada Sengon. Yogyakarta 19<br />

Nopember 2008.<br />

Triharso, 2004. Dasar-dasar Perlindungan<br />

<strong>Tanaman</strong>. Gadjah Mada University Press.<br />

Yogyakarta.

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!