29.03.2013 Views

hama dan penyakit tanaman hutan dan sistem - Badan Litbang ...

hama dan penyakit tanaman hutan dan sistem - Badan Litbang ...

hama dan penyakit tanaman hutan dan sistem - Badan Litbang ...

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

PENYAKIT KARAT TUMOR PADA SENGON DAN HAMA<br />

CABUK LILIN PADA PINUS<br />

Oleh :<br />

Illa Anggraeni<br />

(Peneliti Perlindungan Hutan)<br />

KEMENTERIAN KEHUTANAN<br />

BADAN LITBANG KEHUTANAN<br />

PUSLITBANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN BOGOR<br />

2012


I. PENDAHULUAN<br />

Pembangunan <strong>hutan</strong> <strong>tanaman</strong> merupakan suatu kegiatan penting untuk memenuhi<br />

berbagai fungsi produksi <strong>dan</strong> perlindungan, <strong>dan</strong> apabila direncanakan dengan baik dari <strong>hutan</strong><br />

<strong>tanaman</strong> dapat diperoleh pula kestabilan lingkungan. Pembangunan <strong>hutan</strong> <strong>tanaman</strong> umumnya<br />

dilakukan dengan pola tanam satu jenis (monokultur), sehingga <strong>hutan</strong> <strong>tanaman</strong> merupakan suatu<br />

ekologi binaan dengan budidaya pohon <strong>hutan</strong>, <strong>dan</strong> menerapkan silvikultur intensif. Kesengajaan<br />

menyederhanakan eko<strong>sistem</strong> alam menjadi eko<strong>sistem</strong> rekayasa seperti pola per<strong>tanaman</strong><br />

monokultur tersebut sangatlah rentan terhadap kerusakan <strong>hutan</strong> yang disebabkan faktor biotik <strong>dan</strong><br />

abiotik. Upaya mengurangi <strong>dan</strong> menghindarkan <strong>hutan</strong> <strong>tanaman</strong> dari kerusakan menjadi bagian dari<br />

substansi strategi silvikultur yang diletakkan sejak awal. Oleh karena itu tindakan perlindungan<br />

<strong>hutan</strong> tidak dapat dianggap sebagai satu penyelesaian masalah kerusakan sesaat, atau hanya<br />

merupakan tindakan darurat, melainkan lebih diarahkan untuk mengenali <strong>dan</strong> mengevaluasi<br />

semua sumber kerusakan yang potensial, agar kerusakan yang besar dapat dihindari.<br />

Perlindungan <strong>hutan</strong> mengutamakan pencegahan awal terjadinya atau perkembangan<br />

suatu kerusakan <strong>hutan</strong> melalui perencanaan silvikultur <strong>dan</strong> pengelolaan yang baik. Apabila dapat<br />

diwujudkan maka prosedur itu akan lebih efektif daripada pengendalian langsung setelah<br />

kerusakan yang besar terjadi. Oleh karena itu teknik pencegahan <strong>dan</strong> pengendalian Organisme<br />

Pengganggu Tanaman (OPT) di sektor ke<strong>hutan</strong>an perlu segera mendapat perhatian khusus,<br />

karena masalah OPT sektor ke<strong>hutan</strong>an di Indonesia masih kurang mendapat perhatian<br />

dibandingkan dengan kegiatan perlindungan <strong>hutan</strong> yang lain. Upaya ini harus ditempuh karena<br />

masalah OPT merupakan bagian integral dari kegiatan pengelolaan <strong>hutan</strong>. Para ahli ke<strong>hutan</strong>an<br />

mengatakan bahwa banyak faktor yang dapat menyebabkan kerusakan <strong>hutan</strong>, baik yang berasal<br />

dari luar <strong>hutan</strong> maupun faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan <strong>hutan</strong> itu sendiri.<br />

Faktor-faktor penyebab kerusakan <strong>hutan</strong> dapat terdiri dari organisme hidup (biotik) atau faktor-<br />

faktor lingkungan fisik (abiotik). Penyebab kerusakan <strong>hutan</strong> dari organisme hidup salah satunya<br />

adalah <strong>penyakit</strong> <strong>hutan</strong>. Penyakit <strong>hutan</strong> dapat menimbulkan kerugian antara lain mengurangi<br />

kuantitas <strong>dan</strong> kualitas hasil <strong>dan</strong> meningkatnya biaya produksi.<br />

Sejak tahun 2003 sampai sekarang, telah terjadi serangan <strong>penyakit</strong> karat tumor pada<br />

<strong>tanaman</strong> sengon, di hampir seluruh areal per<strong>tanaman</strong> sengon di Pulau Jawa. Serangan <strong>penyakit</strong><br />

ini telah mencapai tingkat epidemik <strong>dan</strong> belum dapat teratasi. Pada <strong>tanaman</strong> muda, <strong>penyakit</strong> ini<br />

dapat menyebabkan kematian <strong>dan</strong> pada <strong>tanaman</strong> siap panen, <strong>penyakit</strong> ini dapat menyebabkan<br />

1


penurunan kualitas kayu sehingga harga jual kayu sengon dapat menurun. Beberapa laporan telah<br />

menyebutkan kerugian akibat serangan <strong>penyakit</strong> karat tumor. Dalam sebuah wawancaranya<br />

dengan salah satu media masa, Kepala Ba<strong>dan</strong> <strong>Litbang</strong> Ke<strong>hutan</strong>an telah menyebutkan bahwa di<br />

Propinsi Jawa Timur sendiri, potensi kerugian akibat serangan <strong>penyakit</strong> ini dapat mencapai 24<br />

trilyun rupiah. Kondisi ini, jika dibiarkan akan berdampak pada ketersediaan <strong>dan</strong> kesinambungan<br />

bahan baku untuk industri kayu berbasis sengon.<br />

Selain <strong>penyakit</strong> karat tumor pada sengon, telah terjadi serangan <strong>hama</strong> cabuk lilin (Pienus<br />

boerneri) pada pinus. Hama ini mulai menyerang <strong>tanaman</strong> pinus di Baturaden sekitar tahun 1990,<br />

kemudian di Bandung Utara sekitar tahun 1994. Selanjutnya diketahui menyebar luas pada tahun<br />

2003 yang menyerang di sebagian besar <strong>hutan</strong> pinus di Jawa antara lain di Sume<strong>dan</strong>g, Banyumas<br />

Timur, Kedu selatan, Pekalongan Timur, Surakarta, Lawu Das, Pasuruan, Kediri <strong>dan</strong> Probolinggo.<br />

II. HAMA DAN PENYAKIT HUTAN<br />

Agar diperoleh pengertian yang sama tentang <strong>hama</strong>-<strong>penyakit</strong> <strong>hutan</strong>, maka terlebih dahulu<br />

kita jabarkan apa yang disebut <strong>hama</strong> <strong>dan</strong> apa yang disebut <strong>penyakit</strong>.<br />

Hama adalah semua binatang yang menimbulkan kerugian pada pohon <strong>hutan</strong> <strong>dan</strong> hasil <strong>hutan</strong><br />

seperti serangga, bajing, tikus, babi, rusa <strong>dan</strong> lain-lain. Tetapi kenyataan di lapangan <strong>hama</strong> yang<br />

potensial <strong>dan</strong> eksplosif menimbulkan kerugian adalah dari golongan serangga. Sehingga<br />

masyarakat umumnya mengidentikan <strong>hama</strong> sama dengan serangga.<br />

Penyakit adalah a<strong>dan</strong>ya kerusakan proses fisiologis yang disebabkan oleh suatu<br />

tekanan/gangguan yang terus menerus dari penyebab utama (biotik /abiotik) yang mengakibatkan<br />

aktivitas sel/jaringan menjadi abnormal, yang digambarkan dalam bentuk patologi yang khas yang<br />

disebut gejala/tanda. Gejala/tanda inilah yang memberikan petunjuk apakah pohon di dalam <strong>hutan</strong><br />

sehat atau sakit.<br />

Ada empat faktor utama yang memungkinkan <strong>hama</strong> <strong>dan</strong> <strong>penyakit</strong> dapat berkembang<br />

dengan baik, yaitu a<strong>dan</strong>ya <strong>tanaman</strong> inang (<strong>tanaman</strong> <strong>hutan</strong>) yang rentan dalam jumlah cukup,<br />

a<strong>dan</strong>ya <strong>hama</strong> <strong>dan</strong> patogen yang ganas, kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan<br />

<strong>hama</strong> <strong>dan</strong> <strong>penyakit</strong> tersebut, <strong>dan</strong> manusia yang ikut mendukung timbul atau tidaknya suatu <strong>hama</strong>-<br />

<strong>penyakit</strong>. Hama-<strong>penyakit</strong> menyerang <strong>tanaman</strong> <strong>hutan</strong> mulai dari biji, bibit di persemaian, <strong>tanaman</strong><br />

muda di lapangan, tegakan siap tebang, sampai pada hasil <strong>hutan</strong> yang berada dipenyimpanan.<br />

Serangan <strong>hama</strong>-<strong>penyakit</strong> juga tidak memilih, hampir seluruh bagian <strong>tanaman</strong> diserangnya mulai<br />

2


dari akar, batang, sampai pada daun. Perlindungan terhadap <strong>hama</strong>-<strong>penyakit</strong> akan mulai dirasakan<br />

pentingnya apabila sudah terjadi serangan yang sangat hebat (outbreak/eksplosif/wabah), yang<br />

sebenarnya keberadaan <strong>hama</strong>-<strong>penyakit</strong> tersebut telah lama, tetapi karena akibatnya belum<br />

dirasakan atau masih sedikit jadi tidak dipedulikannya atau dibiarkan saja. Akibatnya lagi <strong>hama</strong>-<br />

<strong>penyakit</strong> makin merajalela sampai akhirnya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit.<br />

Penyakit karat tumor pada sengon<br />

Penyebab <strong>penyakit</strong> karat tumor pada sengon ialah jenis fungi Uromycladium tepperianum<br />

(Sacc.) McAlpine. Jenis fungi karat umumnya masuk dalam divisi Basidiomycotina, kelas<br />

Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili Pileolariaceae. Seperti patogen karat yang lain maka<br />

Uromycladium juga bersifat parasit obligat yang hanya dapat hidup apabila memarasit jaringan<br />

hidup. Pada U. tepperianum, spora yang memegang peran penting dalam pembiakan <strong>dan</strong><br />

pemencarannya adalah teliospora yang dibentuk dalam jumlah besar.<br />

Fungi karat ini hanya memerlukan satu inang saja yaitu <strong>tanaman</strong> sengon sehingga fungi ini daur<br />

hidupnya pendek (mycrocyclus). U. tepperianum yang berdaur pendek adalah sebagai berikut :<br />

Telia<br />

(Menghasilkan teliospora)<br />

Piknia<br />

(menghasilkan pikniospora)<br />

Basidiospora<br />

(menginfeksi <strong>tanaman</strong>)<br />

Penularan <strong>penyakit</strong> dapat terjadi melalui penyebaran teliospora dengan bantuan air (embun),<br />

angin, serangga <strong>dan</strong> manusia. Untuk perkecambahan teliospora diperlukan air, <strong>dan</strong> lamanya<br />

waktu berkecambah sangat tergantung pada suhu <strong>dan</strong> kondisi berkabut/gelap juga<br />

mempercepat perkecambahan teliospora. Teliospora sendiri tidak dapat menginfeksi inang.<br />

Teliospora harus berkecambah membentuk basidiospora, yang terbentuk kurang lebih 10 jam<br />

setelah inokulasi. Basidiospora inilah yang dapat secara langsung melakukan penetrasi<br />

menembus epidermis <strong>dan</strong> membentuk hifa di dalam ataupun di antara sel-sel epidermis, xilem<br />

3


<strong>dan</strong> floem. Setelah tujuh hari inokulasi, hifa vegetatif karat tumor ini berkembang menjadi piknia<br />

sebagai pustul coklat yang memecah epidermis. Infeksi dapat terjadi pada biji, semai maupun<br />

<strong>tanaman</strong> dewasa di lapangan. Semua bagian <strong>tanaman</strong> meliputi pucuk daun, daun, tangkai daun,<br />

cabang, batang, bunga <strong>dan</strong> biji dapat terinfeksi oleh fungi patogen tersebut. Pada semai sengon,<br />

batanglah yang merupakan bagian <strong>tanaman</strong> yang paling rentan terhadap serangan fungi karat.<br />

Fungi karat masih bisa tetap hidup di musim kemarau/kering pada bagian <strong>tanaman</strong> yang<br />

terserang. Pada waktu mulai musim hujan serangan akan bertambah <strong>dan</strong> terus tersebar selama<br />

musim hujan.<br />

Pengendalian Penyakit Karat Tumor Secara Kimiawi :<br />

Uji coba pengendalian karat tumor telah dilakukan di beberapa tempat, diantaranya di Kediri <strong>dan</strong><br />

Ciamis. Di Kediri uji coba dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Oktober 2008, pada<br />

tegakan sengon umur 1 tahun dengan jarak tanam 2 m x 3 m yang terletak di petak 110a. Petak<br />

percobaan masuk ke dalam wilayah Resor Polisi Hutan (RPH) Pan<strong>dan</strong>toyo, Bagian Kesatuan<br />

Pemangkuan Hutan (BKPH) Pare, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kediri, Perum Per<strong>hutan</strong>i<br />

Unit II Jawa Timur. Secara administratif RPH Pan<strong>dan</strong>toyo berada di Kecamatan Ngancar,<br />

Kabupaten Kediri. Lokasi penelitian ini terletak pada ketinggian 381 meter – 561 meter di atas<br />

permukaan laut, bertopografi datar sampai bergelombang dengan kimiringan di bawah 10<br />

persen. Jenis tanah regosol vulkan dengan tekstur berpasir <strong>dan</strong> lempung berdebu. Struktur<br />

tanah lepas, remah <strong>dan</strong> mudah tererosi. Iklim menurut Schmidt <strong>dan</strong> Ferguson (1951) termasuk<br />

tipe C dengan curah hujan rata-rata 2000 – 2200 mm per tahun. Kelembaban berkisar antara<br />

56%–82,5% dengan suhu minimum 20º C <strong>dan</strong> suhu maksimum 32º C.<br />

Di Ciamis, percobaan pengendalian <strong>penyakit</strong> karat tumor pada sengon dilaksanakan pada bulan<br />

April sampai dengan bulan Oktober 2009. Percobaan dilakukan di kebun sengon milik rakyat di<br />

Desa Sandingtaman Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Kecamatan Panjalu<br />

berada di wilayah Ciamis bagian Utara yang secara geografis berada pada posisi 8 ◦ Lintang<br />

Utara <strong>dan</strong> 11 ◦ lintang Selatan, di bawah kaki Gunung Sawal. Tinggi tempat 750 – 1000 m di atas<br />

permukaan laut, dengan kelerangan 45%. Jenis tanah podsolik merah kuning <strong>dan</strong> sebagian<br />

latosol.<br />

4


Dari hasil uji coba tersebut maka pengendalian karat tumor dapat menggunakan bahan-bahan<br />

sebagai berikut:<br />

kapur : belerang (1:1)<br />

belerang : garam (10:1)<br />

kapur : garam (10:1)<br />

Pengendalian karat tumor dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:<br />

1. Setiap <strong>tanaman</strong> (pohon uji) dibersihkan dari karat tumor dengan cara pemangkasan (wiwil),<br />

2. Karat tumor dikumpulkan <strong>dan</strong> dimasukkan dalam lubang kemudian lubang ditutup.<br />

3. Pemberian perlakuan di atas dengan cara melabur pada seluruh permukaan batang utama<br />

<strong>dan</strong> penyemprotan pada seluruh permukaan pohon.<br />

4. Perlakuan dilakukan setiap dua minggu sekali, penghitungan jumlah karat tumor pada setiap<br />

pohon dilakukan satu bulan sekali.<br />

Cabuk lilin<br />

Hama ini menyerang pohon pinus muda <strong>dan</strong> tua. Gejala serangan dapat terlihat jelas pada<br />

bagian ranting yang terserang tertutup lilin yang berwarna putih seperti tepung akibat dari<br />

benang-benang lilin yang dikeluarkan oleh serangga tersebut untuk melindungi dirinya yang<br />

lemah. Akibat serangan <strong>hama</strong> ini beberapa <strong>tanaman</strong> muda mengalami kematian atau<br />

pertumbuhannya terhambat. Tanaman tahun 2000 yang berkali-kali diserang kutu lilin tingginya<br />

sekitar 0,5 – 1 m, padahal <strong>tanaman</strong> yang sehat tingginya sekitar 3 – 4 m. Tanaman tua yang<br />

diserang <strong>hama</strong> ini produksi getahnya menurun. Serangan ini polifag, terdapat di daerah tropis<br />

<strong>dan</strong> sub tropis. Di Jawa umumnya menyerang <strong>tanaman</strong> di dataran tinggi. Penyebarannya<br />

dilakukan oleh angin, hujan, binatang lain seperti semut gramang. Populasinya tinggi pada<br />

musim kemarau terutama jika kelembaban pada siang hari dibawah 75 % <strong>dan</strong> berlangsung terus<br />

selama 3 - 4 bulan dengan curah hujan kurang dari 10 hari / bulan.<br />

Pengendalian <strong>hama</strong> cabuk lilin yang menyerang <strong>tanaman</strong> pinus muda agar dilakukan pada<br />

waktu serangan <strong>hama</strong> masih ringan / mulai terjadi serangan agar dapat sembuh kembali dengan<br />

cepat. Pengendalian menggunakan pestisida hayati berbahan aktif Bacillus thuringiensis (4<br />

gram/liter air) yang dicampur dengan cuka kayu (40 cc/liter air). Perbandingan pestisida hayati<br />

B. thuringiensis : cuka kayu bila dicampur dengan air 10 liter adalah = 20% : 80% atau 8 gram<br />

B. thuringiensis + 320 cc cuka kayu. Perlakuan diulang setiap 1 – 2 bulan sekali dengan cara<br />

semprot.<br />

5


Akibat serangan <strong>hama</strong> cabuk lilin pada pohon pinus di KPH Bandung Utara (Foto koleksi S.E.<br />

Intari <strong>dan</strong> Illa Anggraeni)<br />

III. PENGENDALIAN HAMA/PENYAKIT SECARA UMUM<br />

Maksud dari pengendalian <strong>hama</strong>/ <strong>penyakit</strong> adalah untuk memperbaiki kuantitas <strong>dan</strong><br />

kualitas hasil produksi <strong>tanaman</strong> yang diusahakan. Se<strong>dan</strong>gkan tujuan dari pengendalian<br />

<strong>hama</strong>/<strong>penyakit</strong> adalah untuk mencegah terjadinya kerugian ekonomis serta menaikkan nilai<br />

produksi dari <strong>tanaman</strong> yang diusahakan. Jelaslah maksud <strong>dan</strong> tujuan dari pengendalian <strong>hama</strong>/<br />

<strong>penyakit</strong> adalah untuk mempertahankan tingkat produksi yang tinggi, mantap <strong>dan</strong><br />

berkesinambungan, tetapi secara ekologis <strong>dan</strong> ekonomis dapat dipertanggungjawabkan, bahkan<br />

sekarang ini dikaitkan dengan kelestarian lingkungan. Jadi <strong>hama</strong>/<strong>penyakit</strong> haruslah ditekan atau<br />

dikurangi <strong>dan</strong> ditiadakan sampai di bawah ambang ekonomis. Usaha pengendalian dilakukan<br />

apabila biaya yang dikeluarkan lebih kecil daripada kerugian yang terjadi akibat serangan<br />

<strong>hama</strong>/<strong>penyakit</strong>. Dalam prakteknya pengendalian <strong>hama</strong>/<strong>penyakit</strong> dapat berupa :<br />

- Pencegahan (preventive) artinya kita melakukan suatu tindakan atau usaha agar <strong>tanaman</strong><br />

yang masih sehat terhindar dari <strong>hama</strong>/<strong>penyakit</strong> (sebelum a<strong>dan</strong>ya <strong>hama</strong> <strong>dan</strong> <strong>penyakit</strong>).<br />

- Pemberantasan (control) artinya kita mengusahakan atau melakukan tindakan-tindakan<br />

terhadap <strong>tanaman</strong> yang sudah terserang <strong>hama</strong>/<strong>penyakit</strong>, dengan harapan agar <strong>tanaman</strong><br />

itu akan sembuh <strong>dan</strong> normal kembali.<br />

Hadi (1990) mengatakan bahwa konsepsi dasar perlindungan <strong>hutan</strong> dari serangan<br />

<strong>hama</strong>/<strong>penyakit</strong> sedikit berbeda dengan yang biasa digunakan untuk perlindungan <strong>tanaman</strong><br />

pertanian karena beberapa hal, antara lain<br />

6


a. Hasil utama yang dipanen dari <strong>hutan</strong> adalah kayu, meskipun ada beberapa perkecualian<br />

seperti biji pada <strong>hutan</strong> tengkawang (Shorea stenoptera), <strong>dan</strong> hasil <strong>hutan</strong> non-kayu seperti<br />

rotan, bahan obat-obatan yang terkandung dalam rhizom, daun <strong>dan</strong> sebagainya.<br />

b. Di dalam <strong>hutan</strong>, jenis-jenis pohon yang tumbuh tidak dikelola secara intensif seperti pada<br />

per<strong>tanaman</strong> pertanian, walau di beberapa negara pengelolaan <strong>hutan</strong> <strong>tanaman</strong> mulai<br />

dilakukan secara intensif, namun demikian pada umumnya masih belum seintensif pada<br />

per<strong>tanaman</strong> pertanian.<br />

c. Bagian pohon yang dikeluarkan dari <strong>hutan</strong> adalah batangnya apabila <strong>hutan</strong> tersebut<br />

adalah <strong>hutan</strong> produksi kayu pertukangan, <strong>dan</strong> batang beserta seluruh percabangannya<br />

apabila untuk produksi serat <strong>dan</strong> energi.<br />

d. Daur <strong>hutan</strong> dapat mencapai puluhan tahun kecuali untuk produksi serat <strong>dan</strong> produksi<br />

energi, yang lebih pendek.<br />

e. Hutan dapat mempunyai fungsi lain disamping untuk produksi, antara lain untuk<br />

melindungi tanah dari penghanyutan oleh air hujan, tata air, perlindungan marga satwa<br />

<strong>dan</strong> sebagainya.<br />

f. Banyak <strong>hutan</strong> terletak di tempat-tempat yang terpencil, tidak mudah dicapai, <strong>dan</strong> tidak<br />

banyak dihuni manusia yang dapat membatasi kemungkinan untuk pengelolaannya secara<br />

intensif termasuk dalam upaya perlindungannya terhadap gangguan <strong>hama</strong>/<strong>penyakit</strong>.<br />

g. Siklus hidup jenis-jenis pohon yang biasanya panjang, menyebabkan pemuliaan dalam<br />

upaya untuk memperoleh varietas unggul yang resisten terhadap <strong>hama</strong>/<strong>penyakit</strong>, menjadi<br />

lebih sulit <strong>dan</strong> memerlukan program jangka panjang.<br />

Pusat <strong>Litbang</strong> Peningkatan Produktivitas Hutan selama ini telah berhasil melakukan pengendalian<br />

<strong>hama</strong> <strong>dan</strong> <strong>penyakit</strong> pada sengon, jabon <strong>dan</strong> gmelina antara lain sebagai berikut :<br />

HAMA PENGENDALIAN<br />

1. Eurema sp. (kupu kuning) - insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis<br />

dengan dosis 0,5 – 2 gram per liter air dengan cara<br />

semprot langsung pada tubuh larva.<br />

- parasitoid Apanteles sp. (Hymenoptera).<br />

- pestisida nabati dari daun suren yang direndam 24<br />

jam kemudian diperas, air perasan tersebut<br />

2. Boktor/ Xystrocera festiva<br />

(penggerek batang sengon),<br />

disemprotkan.<br />

- jamur Beauveria bassiana diperoleh dengan cara<br />

memblender 200 gram inokulum cendawan<br />

kemudian ditambahkan 8 liter air (25gram/liter air).<br />

7


- insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis<br />

dengan dosis 0,5 – 2 gram per liter air dengan cara<br />

semprot langsung pada tubuh larva.<br />

3. Ulat kantong - jamur Beauveria bassiana diperoleh dengan cara<br />

memblender 200 gram inokulum cendawan<br />

kemudian ditambahkan 8 liter air (25gram/liter air).<br />

- insektisida nabati perasan umbi gadung 125 gr/l air,<br />

perasan biji mahoni 150 gr/l air dengan cara semprot,<br />

bacok oles <strong>dan</strong> infus<br />

- Insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis<br />

- Insektisida <strong>sistem</strong>ik berbahan aktif imidakloprid<br />

Confidor), metamidofos + boron/boraks (1 : 10)<br />

4. Uret - Menggunakan jamur entomopatogenik Metarrhizium<br />

- Insektisida berbahan aktif fipronil (Reagent)<br />

5. Ulat grayak - Insektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis,<br />

BPMC (Baycarp) <strong>dan</strong> imidakloprid<br />

6. Ulat pemakan daun - Insektisida berbahan aktif BPMC <strong>dan</strong> imidakloprid<br />

7.. Belalang - Insektisida berbahan aktif BPMC <strong>dan</strong> imidakloprid<br />

8. Kutu putih - Menggunakan cuka kayu + Bacillus thuringiensis,<br />

9. Hama kepik renda - Insektisida berbahan aktiff imidakloprid<br />

PENYAKIT PENGENDALIAN<br />

1. Penyakit Karat tumor - Bahan yang digunakan kapur, belerang <strong>dan</strong> garam<br />

(belerang : kapur + 1 : 1; belerang : garam = 10 : 1;<br />

kapur : garam = 10 : 1; belerang : kapur : garam 10 :<br />

10 : 1). Perlakuan disemprot <strong>dan</strong> di labur (bahan<br />

untuk semprot lebih encer <strong>dan</strong> disaring terlebih<br />

dahulu, se<strong>dan</strong>gkan bahan untuk labur lebih kental)<br />

Sebelum di lakukan penyemprotan <strong>dan</strong> pelaburan<br />

terlebih dahulu menghilangkan puru pada <strong>tanaman</strong><br />

sengon yang terserang, puru dikumpulkan <strong>dan</strong><br />

dikubur dalam tanah agar tidak menular. Setelah<br />

puru dihilangkan batang dilabur <strong>dan</strong> disemprot<br />

2. Penyakit Bercak daun - Menggunakan cuka kayu 40cc per liter air<br />

- Fungisida berbahan aktif benomil <strong>dan</strong> berbahan aktif<br />

3. Penyakit busuk akar, rebah<br />

kecambah <strong>dan</strong> layu<br />

belerang<br />

- Menggunakan fungisida antagonis Trichoderma <strong>dan</strong><br />

Gliocladium<br />

- Fungisida berbahan aktif triadimefon (Bayleton)<br />

4. Penyakit embun tepung - Menggunakan fungisida berbahan aktif benomil<br />

8


I. PENGENDALIAN HAMA<br />

RESEP PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT SECARA UMUM<br />

(Kardinan, 1999; Pracaya, 2008)<br />

1. INSEKTISIDA BERBAHAN AKTIF Bacillus thuringiensis (Nama dagang Bactospeine)<br />

1 g insektisida + 1 liter air, diaduk dengan rata, masukan dalam alat semprot. Cairan<br />

harus mengenai larva/ulat.<br />

2. FUNGI ENTOMOPATOGENIK Beauveria bassiana<br />

25 g biakan masal fungi (media jagung) ditumbuk/diblender tambahkan 1 liter air, diaduk<br />

hingga rata. Disaring kemudian dimasukkan dalam alat semprot. Cairan harus mengenai<br />

larva/ulat, bila ulat berada dalam lobang maka digunakan alat suntik.<br />

3. INSEKTISIDA NABATI<br />

A. Daun mimba 4 ons, lengkuas 3 ons, serai 3 ons <strong>dan</strong> deterjen/sabun colek seujung<br />

sendok (1 g). Daun mimba + lengkuas + serai ditumbuk halus kemudian ditambahkan<br />

1 liter air biarkan semalam (24 jam). Setelah semalam direndam tambahkan 3 liter air<br />

<strong>dan</strong> sabun colek (diaduk), disaring <strong>dan</strong> siap disemprotkan.<br />

B. Daun mindi sebanyak 500 gram ditumbuk halus kemudian tambahkan 5 liter air,<br />

direndam semalam (24 jam). Setelah direndam tambahkan sabun 1 g, disaring <strong>dan</strong><br />

siap untuk disemprotkan.<br />

C. Bawang putih 2 siung ditumbuk halus tambahkan merica halus 2 sendok kemudian<br />

tambahkan 4 liter air <strong>dan</strong> sabun 1 g, disaring <strong>dan</strong> siap untuk disemprotkan (kumbang)<br />

D. Rawit 24 buah ditumbuk halus, masukkan 120 g kapur <strong>dan</strong> 120 g garam tambahkan<br />

16 liter air <strong>dan</strong> diaduk hingga merata. Campuran didiamkan selama 2 jam, kemudian<br />

disaring <strong>dan</strong> siap untuk disemprotkan (semut, kutu, siput, ulat, virus).<br />

E. Daun pepaya 1 kg ditumbuk halus tambahkan 10 liter air biarkan 2 jam. Setelah dua<br />

jam tambahkan sabun 1 gr diaduk hingga merata, disaring <strong>dan</strong> siap untuk<br />

disemprotkan.<br />

F. Abu ½ cangkir + kapur ½ cangkir + 4 liter air, diaduk hingga rata <strong>dan</strong> dibiarkan 2 jam.<br />

Apabila digunakan langsung pada perakaran tidak perlu disaring, dilakukan<br />

penyaringan apabila perlakuannya disemprot (uret <strong>dan</strong> kumbang).<br />

G. Daun bintaro 1 kg ditumbuk halus ditambah 5 liter air, direndam semalam tambahkan<br />

sabun, disaring <strong>dan</strong> siap untuk digunakan.<br />

H. Daun suren 1 kg ditumbuk halus ditambah 5 liter air, direndam semalam tambahkan<br />

sabun, disaring <strong>dan</strong> siap untuk digunakan.<br />

9


II. PENGENDALIAN PENYAKIT<br />

A. Karat tumor : 1 kg belerang + 1 kg kapur + 1 ons garam, ditambah 5 – 10 liter air diaduk<br />

hingga rata. Larutan untuk labur lebih pekat, se<strong>dan</strong>gkan larutan untuk semprot lebih encer<br />

<strong>dan</strong> harus disaring terlebih dahulu.<br />

B. Fungi antagonis Trichoderma sp <strong>dan</strong> Gliocladium sp. yang dibiakan massal pada<br />

campuran = sekam : dedak : pupuk kan<strong>dan</strong>g : kompos : pasir = 2 : 2 : 1 : 1 : 1<br />

(barangnya dah jadi, diperagakan saja karena harus di laboratorium ada sterilisasi, isolasi<br />

dll.). Biakan massal dicampurkan pada media semai untuk mencegah <strong>penyakit</strong> akar.<br />

C. Cuka kayu : 20 – 40 cc yang dicampur dengan 1 liter air, disemprotkan pada daun yang<br />

terkena <strong>penyakit</strong> bercak daun.<br />

D. Jahe 1 0ns + Lengkuas 1 ons + labu siam 1 0ns ditumbuk halus/diparut airnya diperas,<br />

setiap 20 cc air perasan tadi dicampur 1 liter air diaduk <strong>dan</strong> disaring kemudian<br />

disemprotkan pada <strong>tanaman</strong> yang terserang cendawan.<br />

JENIS TUMBUHAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI PESTISIDA NABATI<br />

1. Babadotan (A. conyzoides)<br />

2. Serai (A. nardus)<br />

3. Sirsak (Annona muricata)<br />

4. Suren (T. sureni)<br />

5. Gadung (Dioscorea hispida)<br />

6. Tuba (Derris eliptica)<br />

7. Mimba (Azadirachta indica)<br />

8. Mindi (Melia azedarach)<br />

9. Tembakau (Nicotiana tabacum)<br />

10. Jarak (Ricinus communis L.)<br />

11. Kecubung (Datura patula)<br />

PENUTUP<br />

Sebelum melakukan langkah pengendalian terhadap <strong>hama</strong> <strong>dan</strong> <strong>penyakit</strong> terlebih dahulu<br />

melakukan identifikasi jenis <strong>hama</strong> <strong>dan</strong> jenis penyebab <strong>penyakit</strong>, mengetahui ekobiologi <strong>hama</strong> <strong>dan</strong><br />

jenis penyebab <strong>penyakit</strong>, barulah kemudian menetapkan strategi pengendaliannya. Mudah-<br />

mudahan tulisan ini dapat berguna <strong>dan</strong> sebagai pedoman bagi para pengelola <strong>hutan</strong>.<br />

Bila ada yang kurang jelas atau apapun masalah <strong>hama</strong> <strong>dan</strong> <strong>penyakit</strong> dapat menghubungi Illa<br />

Anggraeni (08129980410) E-mail : illa_anggraeni@yahoo.co.id, Neo Endra Lelana, Wida Darwiati,<br />

Ujang W. D. di Kelompok Peneliti Perlindungan Hutan, Pusat <strong>Litbang</strong> Peningkatan Produktivitas<br />

Hutan. Jalan Gunung Batu No. 5. Bogor. Telp. 0251-8631238, Fax 0251-7520005.<br />

10


DAFTAR PUSTAKA<br />

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Academic Press, Inc. London.<br />

Alexopoulos, C.J. and C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley & Sons.<br />

Anggraeni, I. <strong>dan</strong> E. Santoso. 2003. Penyakit karat puru pada sengon (paraserianthes falcataria) di Pulau<br />

Seram. Buletin Penelitian Hutan No. 636/2003. Edisi khusus, Mycorrhiza. Puslitbang Hutan <strong>dan</strong><br />

KA. Bogor.<br />

Anggraeni, I. Dan Neo E. Lelana. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Hutan. Puslitbang Peningkatan<br />

Produktivitas Hutan. Bogor.<br />

Anggraeni, I. Dan Neo E. Lelana. 2011.Penyakit Karat Tumor Pada Sengon. Ba<strong>dan</strong> Penelitian <strong>dan</strong><br />

Pengembangan Ke<strong>hutan</strong>an> Jakarta.<br />

Dwidjoseputro. 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni. Bandung.<br />

Hadi, S. 1986. Pengelolaan HTI dengan penekanan pada masalah upaya perlindungan terhadap <strong>penyakit</strong>.<br />

Prosiding Seminar Nasional Fmipa-UI. Jakarta.<br />

Kalshoven,L.G.E. 1953. Important out breaks of insect pest in the forest of Indonesia.<br />

Tran(X/TH.Intern.Congress.Entomol).<br />

Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati : Ramuan <strong>dan</strong> Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta.<br />

Notoatmodjo,S.1963. Cara-cara mencegah serangan masal dari boktor Xystrocera festiva Pascoe pada<br />

tegakan Albizia falcata.Laporan LLPH.No.92.<br />

Old, K. 2002. Misi penelitian <strong>penyakit</strong> madre cacao. Laporan untuk klien, No. 1119, Juni 2002. Klien : Dinas<br />

Ppembangunan Internasional Australia.<br />

Pracaya, 2008. Hama <strong>dan</strong> Penyakit Tanaman: edisi revisi. Penerbit Swadaya, Jakarta<br />

Rahayu, S. 1999. Penyakit <strong>tanaman</strong> <strong>hutan</strong> di Indonesia (Gejala, penyebab, <strong>dan</strong> teknik pengendaliannya).<br />

Penerbit Kanisius. Yogyakarta.<br />

Semangun, H. 1996. Pengantar Penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.<br />

Soeratmo, F.G. 1979. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan. Fa<strong>hutan</strong> IPB. Bogor.<br />

Suharti,M. Ragil B. Irianto <strong>dan</strong> Sugeng S. 1994. Perilaku Hama Penggerek Batang Sengon <strong>dan</strong> Teknik<br />

Pengendalian Secara Terpadu. Bull. Pen Hutan.No.558<br />

Suharti, M., Irnayuli R. Sitepu, Wida Darwiati <strong>dan</strong> Illa Anggraeni. 2000. Uji Efikasi Beberapa Agens<br />

Pengendali Biologi, Nabati <strong>dan</strong> Kimia terhadap Hama Ulat Kantong. Buletin Penelitian Hutan No.<br />

624/2000. Puslitbang Hutan <strong>dan</strong> KA. Bogor.<br />

Suharti, M. 2002. Beberapa Hama <strong>dan</strong> Penyakit pada Sengon (Paraserianthes falcataria) <strong>dan</strong> Teknik<br />

Pengendaliannya. Buletin Penelitian Hutan No. 632/2002. Puslitbang Hutan <strong>dan</strong> KA. Bogor.<br />

Widyastuti, SM., Sumardi <strong>dan</strong> Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.<br />

11

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!