3 penyakit karat tumor pada sengon - Badan Litbang Kehutanan
3 penyakit karat tumor pada sengon - Badan Litbang Kehutanan
3 penyakit karat tumor pada sengon - Badan Litbang Kehutanan
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
PENYAKIT KARAT TUMOR<br />
PADA SENGON<br />
Penulis : Dra. Illa Anggraeni<br />
Neo Endra Lelana, S.Si, M.Si.<br />
Penyunting : Prof. Dr. Tapa Darma, M.Si<br />
Dr. Ir. Bambang Tri Hartono, M.F.<br />
ISBN : 978-979-8452-40-6<br />
Penerbit :<br />
Ir. C. Nungroho Sulistyo Priyono, M.Sc.<br />
<strong>Badan</strong> Penelitian dan Pengembangan <strong>Kehutanan</strong><br />
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XI<br />
Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270<br />
Telp. (021) 5730398, 5734333; Fax. (021) 5720189<br />
Cetakan pertama : Desember 2011<br />
Petikan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta<br />
Ketentuan Pidana Pasal 72<br />
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan<br />
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan<br />
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1<br />
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta<br />
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda<br />
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).<br />
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau<br />
menjual ke<strong>pada</strong> umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak<br />
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud <strong>pada</strong> ayat (1) dipidana<br />
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling<br />
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).<br />
i
Kupersembahkan buku ini bagi mereka para<br />
pengelola hutan <strong>sengon</strong> dan tak lupa untuk :<br />
1. Suamiku tercinta Drs. H. Agus Ismanto dan<br />
anak-anakku tersayang<br />
dr. Ardhea Jaludamascena dan<br />
Bramadhya Fragil Jalananda.<br />
2. Istriku tercinta Ika Prasasty, S.Si dan<br />
anakku tersayang Ahmad Aulya Lathief<br />
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN<br />
DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN<br />
Setiap buku yang diterbitkan pasti memberikan<br />
sumbangan bagi khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi.<br />
Demikian pula halnya dengan buku Penyakit Karat Tumor<br />
Pada Sengon yang ditulis oleh Dra. Illa Anggraeni dan Neo<br />
Endra Lelana, S.Si, M.Si. Buku ini berisi informasi tentang<br />
<strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> dan teknologi pengendalian <strong>penyakit</strong><br />
<strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong>. Dengan adanya buku ini para<br />
pengelola hutan tanaman dan masyarakat awam akan<br />
memiliki tambahan acuan tentang <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>.<br />
Buku semacam ini seyogyanya semakin banyak<br />
diterbitkan oleh <strong>Badan</strong> <strong>Litbang</strong> <strong>Kehutanan</strong>, karena secara<br />
langsung dapat menjadi sumber informasi bagi para<br />
pengelola hutan tanaman dan juga secara tidak langsung,<br />
penerbitan buku oleh peneliti juga akan meningkatkan<br />
eksistensi peneliti dan eksistensi institusi. Bagi peneliti, tidak<br />
berlebih bila penerbitan buku dijadikan sebagai sebuah<br />
milestone pencapaian karier. Buku akan mengabadikan<br />
nama penulisnya dan manfaat yang disebarkannya bagi<br />
umat manusia akan terus bertambah dari waktu ke waktu.<br />
Hal ini saya harapkan akan menjadi motivasi bagi para<br />
peneliti untuk menulis buku.<br />
Saya sampaikan penghargaan yang tinggi ke<strong>pada</strong> Dra.<br />
Illa Anggraeni dan Neo Endra Lelana S.Si, M.Si yang<br />
menghasilkan buku ini. Ke<strong>pada</strong> Pusat <strong>Litbang</strong> Peningkatan<br />
v
Produktivitas Hutan, yang domainnya paling banyak dengan<br />
pembangunan hutan tanaman saya harap agar secara terus<br />
menerus mendorong penelitinya untuk menulis buku<br />
semacam ini.<br />
vi<br />
Kepala <strong>Badan</strong>,<br />
Dr. Ir. Tachir Fathoni, M.Sc.
SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG<br />
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN<br />
Deteksi dini dan identifikasi merupakan salah satu<br />
faktor penting dalam penanganan <strong>penyakit</strong> yang efektif untuk<br />
mencegah ledakan yang dikemudian hari berpotensi<br />
menyebabkan kerugian secara ekonomis yang besar.<br />
Dengan demikian ada tuntutan pengelola hutan tanaman<br />
yang berkaitan langsung dengan tanaman harus mempunyai<br />
pengetahuan dan kemampuan tentang <strong>penyakit</strong> yang<br />
menyerang tanamannya. Buku ini ditulis secara sederhana<br />
namun dengan tidak mengorbankan informasi penting,<br />
dengan harapan para pengelola hutan tanaman dan hutan<br />
rakyat dapat memanfaatkan dalam aplikasinya.<br />
Kehadiran buku ini diharapkan akan menambah<br />
wawasan tentang informasi <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> dan teknik<br />
pengendaliannya. Pemahaman yang benar dampak dan<br />
kerugian yang disebabkan <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> dapat<br />
mencegah potensi kehilangan yang sangat mahal.<br />
Saya menyampaikan penghargaan yang tinggi ke<strong>pada</strong><br />
penulis atas keberhasilannya. Mengingat kedua penulis<br />
adalah peneliti Pusat <strong>Litbang</strong> Peningkatan Produktivitas<br />
Hutan, maka penerbitan buku ini juga sebuah keberhasilan<br />
Pusat <strong>Litbang</strong> Peningkatan Produktivitas Hutan.<br />
vii
viii<br />
Semoga penerbitan buku ini akan diikuti penerbitan-<br />
penerbitan buku lainnya di bidang hutan tanaman sebagai<br />
kontribusi komunitas litbang bagi pembangunan hutan<br />
tanaman.<br />
.<br />
Kepala Pusat,<br />
Dr. Ir. Bambang Trihartono, MF.
KATA PENGANTAR<br />
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT<br />
atas selesainya penulisan buku “Penyakit Karat Tumor <strong>pada</strong><br />
Sengon”. Buku ini merupakan hasil kegiatan penelitian di<br />
lapangan maupun di laboratorium dari penulis sebagai<br />
Peneliti Perlindungan Hutan di Pusat Penelitian Dan<br />
Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan.<br />
Penulisan buku ini bertujuan untuk memberi<br />
informasi mengenai <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong> dan<br />
teknik pengendaliannya ke<strong>pada</strong> kalangan peneliti,<br />
akademisi, maupun praktisi kehutanan. Buku ini di buat<br />
sesederhana mungkin agar para pengelola hutan mudah<br />
memahami.<br />
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa<br />
terima kasih ke<strong>pada</strong> Kepala <strong>Badan</strong> <strong>Litbang</strong>, Kepala Pusat<br />
<strong>Litbang</strong> Peningkatan Produktivitas Hutan beserta jajarannya<br />
atas dukungannya dalam memfasilitasi penelitian dan<br />
menerbitkan buku ini, peneliti dan teknisi Perlindungan<br />
Hutan atas bantuannya serta pihak-pihak yang tidak dapat<br />
kami sebutkan satu per satu.<br />
Bogor, Desember 2011<br />
Penulis<br />
ix
DAFTAR ISI<br />
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN ... v<br />
SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG<br />
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN<br />
KATA PENGANTAR ........................................................ ix<br />
DAFTAR ISI ..................................................................... xi<br />
I. PENDAHULUAN ....................................................... 1<br />
II. SENGON DAN POTENSINYA .................................. 11<br />
Sejarah Penanaman Sengon .................................... 11<br />
Potensi Sengon ......................................................... 14<br />
III. PENYAKIT KARAT TUMOR PADA SENGON ........... 21<br />
Terjadinya Wabah Karat Tumor ................................. 21<br />
Penyebab Penyakit Karat Tumor ............................... 25<br />
IV. MANAJEMEN PENYAKIT KARAT TUMOR PADA 35<br />
TANAMAN SENGON ................................................<br />
Konsep terjadinya <strong>penyakit</strong> <strong>pada</strong> tanaman ................. 35<br />
Pengendalian <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> berbasis 37<br />
ekologi .......................................................................<br />
Pengendalian <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> secara kimiawi ... 40<br />
V. PENUTUP ................................................................. 51<br />
DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 52<br />
vii<br />
xi
1<br />
PENDAHULUAN<br />
Pembangunan hutan tanaman merupakan suatu<br />
kegiatan penting untuk memenuhi berbagai fungsi produksi<br />
dan perlindungan, dan apabila direncanakan dengan baik<br />
dari hutan tanaman dapat diperoleh pula kestabilan<br />
lingkungan. Pembangunan hutan tanaman umumnya<br />
dilakukan dengan pola tanam satu jenis (monokultur),<br />
sehingga hutan tanaman merupakan suatu ekologi binaan<br />
dengan budidaya pohon hutan, dan menerapkan silvikultur<br />
intensif. Kesengajaan menyederhanakan ekosistem alam<br />
menjadi ekosistem rekayasa seperti pola pertanaman<br />
monokultur tersebut sangatlah rentan terhadap kerusakan<br />
hutan yang disebabkan faktor biotik dan abiotik. Upaya<br />
mengurangi dan menghindarkan hutan tanaman dari<br />
kerusakan menjadi bagian dari substansi strategi silvikultur<br />
yang diletakkan sejak awal. Oleh karena itu tindakan<br />
perlindungan hutan tidak dapat dianggap sebagai satu<br />
penyelesaian masalah kerusakan sesaat, atau hanya<br />
merupakan tindakan darurat, melainkan lebih diarahkan<br />
untuk mengenali dan mengevaluasi semua sumber<br />
kerusakan yang potensial, agar kerusakan yang besar dapat<br />
dihindari.<br />
Perlindungan hutan mengutamakan pencegahan awal<br />
terjadinya atau perkembangan suatu kerusakan hutan<br />
1
melalui perencanaan silvikultur dan pengelolaan yang baik.<br />
Apabila dapat diwujudkan maka prosedur itu akan lebih<br />
efektif dari<strong>pada</strong> pengendalian langsung setelah kerusakan<br />
yang besar terjadi. Oleh karena itu teknik pencegahan dan<br />
pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) di<br />
sektor kehutanan perlu segera mendapat perhatian khusus,<br />
karena masalah OPT sektor kehutanan di Indonesia masih<br />
kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan kegiatan<br />
perlindungan hutan yang lain. Upaya ini harus ditempuh<br />
karena masalah OPT merupakan bagian integral dari<br />
kegiatan pengelolaan hutan. Para ahli kehutanan<br />
mengatakan bahwa banyak faktor yang dapat menyebabkan<br />
kerusakan hutan, baik yang berasal dari luar hutan maupun<br />
faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan<br />
hutan itu sendiri. Faktor-faktor penyebab kerusakan hutan<br />
dapat terdiri dari organisme hidup (biotik) atau faktor-faktor<br />
lingkungan fisik (abiotik). Penyebab kerusakan hutan dari<br />
organisme hidup salah satunya adalah <strong>penyakit</strong> hutan.<br />
Penyakit hutan dapat menimbulkan kerugian antara lain<br />
mengurangi kuantitas dan kualitas hasil dan meningkatnya<br />
biaya produksi.<br />
2<br />
Sengon, yang saat ini menjadi komoditas kayu utama<br />
terutama di hutan rakyat tentu tidak terlepas dari masalah<br />
hama dan <strong>penyakit</strong> juga. Beberapa jenis hama, seperti hama<br />
kupu kuning, boktor, ulat kantong dilaporkan banyak<br />
menyerang tanaman <strong>sengon</strong> dan dapat menyebabkan<br />
kerugian yang cukup signifikan. Sementara itu, sejak tahun<br />
2003 sampai diterbitkannya buku ini, telah terjadi serangan
<strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> tanaman <strong>sengon</strong>, di hampir<br />
seluruh areal pertanaman <strong>sengon</strong>, terutama di Pulau Jawa.<br />
Serangan <strong>penyakit</strong> ini telah mencapai tingkat epidemik dan<br />
belum dapat teratasi. Pada tanaman muda, <strong>penyakit</strong> ini<br />
dapat menyebabkan kematian dan <strong>pada</strong> tanaman siap<br />
panen, <strong>penyakit</strong> ini dapat menyebabkan penurunan kualitas<br />
kayu sehingga harga jual kayu <strong>sengon</strong> dapat menurun.<br />
Beberapa laporan telah menyebutkan kerugian akibat<br />
serangan <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>. Dalam sebuah<br />
wawancaranya dengan salah satu media masa, Kepala<br />
<strong>Badan</strong> <strong>Litbang</strong> <strong>Kehutanan</strong> telah menyebutkan bahwa di<br />
Propinsi Jawa Timur sendiri, potensi kerugian akibat<br />
serangan <strong>penyakit</strong> ini dapat mencapai 24 trilyun rupiah.<br />
Kondisi ini, jika dibiarkan akan berdampak <strong>pada</strong><br />
ketersediaan dan kesinambungan bahan baku untuk industri<br />
kayu berbasis <strong>sengon</strong>.<br />
3
4<br />
KOTAK 1.1<br />
PASAR SENGON SANGAT CERAH<br />
Penantian H. Undang Syaefudin terbayar sudah, Mei<br />
2008 ia memanen <strong>sengon</strong> setelah menunggu 5 tahun.<br />
Populasi setiap hektar 600 pohon yang menjulang 16 – 20 m<br />
dan berdiameter 25 cm. Pekebun di Ciawi, Kabupaten<br />
Tasikmalaya, Jawa Barat itu sumringah lantaran rekeningnya<br />
kian gemuk. Ia mengantongi Rp. 211.750.000 dari penjualan<br />
kayu <strong>sengon</strong>. Nilai itu berasal dari penjualan 270m 3 kayu<br />
gelondongan berdiameter 19 cm. Harganya Rp. 650.000<br />
per m 3 . Pekebun berusia 46 tahun itu juga menjual 50 m 3<br />
palet dengan harga Rp. 725.000 per m 3 . Dengan biaya<br />
perawatan setiap tahun rata-rata Rp. 1.200.000 per hektar,<br />
Undang menangguk laba bersih Rp. 193.750.000. Itulah<br />
sebabnya menjelang musim hujan ini, ia mempersiapkan<br />
lahan 12 ha untuk penanaman <strong>sengon</strong>. Bila Undang<br />
memanen semua pohon <strong>sengon</strong> alias tebang habis,<br />
sementara Dian Hadiyanto memilih menjarangkan. Pekebun<br />
di Kawalu, Tasikmalaya itu mengelola 4 ha masing-masing<br />
ber-populasi 600 pohon <strong>sengon</strong>. Pada Juni 2008, ia<br />
menjarangkan 150 pohon per ha sehingga tersisa 450 pohon<br />
<strong>sengon</strong> per/ha. Pria 35 tahun itu memanen 250 m 3 dari ratarata<br />
tinggi pohon 19 – 20 m dan diameter 25 cm dengan<br />
harga Rp. 450.000 per m 3 , maka Dian mengantongi Rp.<br />
112.500.000. Sisa pohon akan dipanen 2 tahun mendatang.<br />
Dian memprediksi memanen 300 m 3 dari 450 pohon berumur<br />
7 tahun <strong>pada</strong> 2010.<br />
Jika harga jual tetap, ia bakal memperoleh Rp. 135<br />
juta atau Rp. 540 juta dari lahan 4 ha. Di sentra <strong>sengon</strong><br />
Pandeglang, Provinsi Banten ada Asep Halimi yang<br />
mewujudkan impian menghajikan 11 kerabatnya berangkat<br />
ke Mekah bersama. Pekebun di Citeureup, Kabupaten<br />
Pandeglang itu mampu mebiayai mereka lantaran baru saja<br />
memanen 10 ha <strong>sengon</strong> senilai Rp. 322 juta.<br />
Sengonisasi, sebelum pekebun ramai-ramai membudidayakan<br />
anggota famili Mimosaceae itu, Departemen<br />
<strong>Kehutanan</strong> meluncurkan program <strong>sengon</strong>isasi <strong>pada</strong> 1989.<br />
Tujuannya untuk menyelamatkan dan melestarikan hutan<br />
serta lahan. Dari target 300.000 ha, realisasi penanaman<br />
hanya 35.039 ha. Pekebun yang mendapat benih gratis<br />
dalam program itu memanen <strong>sengon</strong> <strong>pada</strong> 1997 – 1998<br />
ketika pohon berumur 7 – 8 tahun. Ikin Sodikin, pekebun di<br />
Kotamadya Banjar, Jawa Barat, memanen 5-500 pohon <strong>pada</strong><br />
tahun 1997 hasil program <strong>sengon</strong>isasi. Ia memperoleh
2.000 m 3 kayu senilai Rp. 250 juta. Omzet menjulang itulah<br />
yang mendorong pria kelahiran 11 Januari 1954 getol<br />
mengebunkan <strong>sengon</strong> di lahan 50 ha. Ia tak menyangka<br />
bakal meraup pendapatan besar. Persis yang dialami<br />
Shandy Lazuardi, pekebun di Cimanggis, Kotamadya Depok,<br />
Jawa Barat. Sepuluh tahun silam ia iseng-iseng menanam 40<br />
bibit <strong>sengon</strong> di lahan kritis. Ia praktis tak memberikan<br />
perawatan berarti hingga Paraserianthes falcataria itu<br />
tumbuh besar. Seorang pengepul kebetulan lewat kebun<br />
<strong>sengon</strong> terpikat dan langsung menawar. Jadilah pohon<br />
<strong>sengon</strong> itu ditebang oleh sang pengepul dan Lazuardi<br />
mengantongi Rp. 24 juta. Kisah selanjutnya mudah ditebak,<br />
alumnus IPB itu memper-luas penanaman <strong>sengon</strong> hingga<br />
110.000 bibit.<br />
Tak semua pekebun menapaki jalan mulus seperti<br />
Undang Syaefudin, Dian Hadiyanto dan Asep Halimi.<br />
Beragam rintangan menghadang pekebun <strong>sengon</strong> buat<br />
meraup laba. Peluang memetik laba besar bakal terhambat<br />
jika pekebun tak mengetahui informasi harga seperti dialami<br />
Zaenal Abidin.<br />
Mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri<br />
Gunungjati Bandung itu <strong>pada</strong> pertengahan Juli 2008<br />
memanen 1.000 pohon. Dengan tinggi rata-rata 20 m dan<br />
diameter 30 cm, pohon-pohon itu menghasilkan 800 m 3 .<br />
Pengepul Cuma membayar total Rp. 25 juta. Artinya guru<br />
Madrasah Ibtidaiyah itu menerima harga Rp. 31.250 per m 3 .<br />
Padahal saat itu harga <strong>sengon</strong> di tingkat pekebun mencapai<br />
Rp. 450.000 per m 3 . Meski demikian Zaenal Abidin tetap<br />
merasa untung bibitnya tidak beli, biaya produksi rendah<br />
paling hanya mencabuti gulma yang saya lakukan sendiri.<br />
Ujar pekebun di Buniwati, Kecamatan Surade, Kabupaten<br />
Sukabumi itu.<br />
Menjadi pekebun <strong>sengon</strong> memang enak, cukup<br />
telepon kapan saja dan tinggal terima uang tanpa menebang<br />
kata Amir Rosdiana. Pemilik CV. Hasil Bumi itu biasa<br />
menjemput kayu di lahan.<br />
Begitu mendapat telpon, Amir langsung ke lahan,<br />
mengukur lingkar batang 1,2 meter biasa mencapai 1 m 3 , itu<br />
artinya ia mesti membayar Rp. 450.000. Jika kayunya<br />
sempurna, lurus tak cacat akibat dimakan ulat harganya<br />
melambung Rp. 800.000 per pohon. Itu bersih diterima<br />
pekebun tanpa potongan apapun. Amir mengolah kayu<br />
<strong>sengon</strong> menjadi palet alias papan tipis berukuran 206 cm x<br />
5,2 cm x 25 cm. Setiap pekan ia memproduksi 270 palet<br />
untuk memenuhi permintaan perusahaan di Jakarta dan<br />
Surabaya. Palet hanya salah satu bentuk pemanfaatan<br />
5
6<br />
<strong>sengon</strong>. Sayang Amir baru dapat menjemput kayu di<br />
kawasan Priangan Timur-Banjar, Ciamis, Tasikmalaya dan<br />
Garut. Pekebun di luar Priangan tak perlu khawatir, masih<br />
banyak penampung <strong>sengon</strong>, beberapa diantaranya adalah<br />
PT. Bina Inti Lestari, PT. Bineatama Kayone Lestari,<br />
PT. Dharma Satya Nusantara, PT. Kutai Timber Indonesia,<br />
dan PT. Sumber Graha Sejahtera. Menurut Ir. Himawan<br />
Rahardjo dan PT. Dharma Satya Nusantara Temanggung,<br />
<strong>sengon</strong> kayu multiguna. Kayu pohon asal Maluku itu antara<br />
lain berfaedah sebagai bahan baku bangunan, lantai dan<br />
pintu. Dharma Satya Nusantara Temanggung memproduksi<br />
5.000 m 3 kayu lapis per bulan. Kebutuhan bahan baku<br />
mencapai 5.000 m 3 log dan 10.000 m 3 sawntimber.<br />
Perusahaan yang mempekerjakan 2.000 karyawan itu<br />
memerlukan 600.000 pohon berdiameter rata-rata 25 – 30<br />
cm setara 600 ha per bulan. Himawan Raharjo bakal<br />
meningkatkan produksi 2 kali lipat <strong>pada</strong> 2009; meningkat 5<br />
kali lipat, lima tahun ke depan. Artinya kebutuhan bahan<br />
baku juga bakal melonjak. Kesinambungan produksi Dharma<br />
Satya Nusantara tergantung antara lain ke<strong>pada</strong> produksi<br />
pekebun di Magelang, Purworejo, Temanggung dan<br />
Wonosobo. Maklum perusahaan itu tidak mengelola<br />
perkebunan sendiri. Perusahaan di Temanggung Jawa<br />
Tengah itu mengekspor hasil olahan <strong>sengon</strong> ke Taiwan,<br />
Singapura, Jepang, Inggris, Belanda dan Australia. Jika<br />
memperhitungkan kebutuhan kelompok Dharma Satya<br />
Nusantara yang terdiri atas 4 perusahaan 3 lainnya di<br />
Bekasi, Gresik dan Surabaya kebutuhan <strong>sengon</strong> bakal<br />
melonjak. Grup Dharma Satya Nusantara meproduksi total<br />
250.000 m 3 lumber core alias papan laminating berukuran<br />
204 cm x 102 cm x 3-5 cm, 300.000 m 3 papan blok,<br />
100.000 m 3 kayu lapis, 200.000 pintu dan 500.000 m 2 lantai<br />
per tahun, semua berbahan baku <strong>sengon</strong>. Perusahaan yang<br />
berdiri <strong>pada</strong> 29 September 1980 itu semula mengandalkan<br />
hutan alam di Kalimantan <strong>pada</strong> tahun 1988 perusahaan itu<br />
pindah ke Jawa. Tak bisa selamanya mengandalkan kayu<br />
alam, kata Suyono M Raharjo dari Dharma Satya Nusantara.<br />
Yang berteriak kekurangan bahan baku bukan cuma grup<br />
Dharma Satya Nusantara, PT. Bu Jeon, produsen finger joint<br />
juga kekurangan pasokan. Menurut Hendro Aluan, bagian<br />
ekspor Bu Jeon, finger joint lembaran kayu setebal 3 cm,<br />
bersambungan di ujung yang bergerigi, mirip jari. Faedahnya<br />
sebagai bahan baku meja, komponen pintu, dan kerajinan<br />
tangan. Di pasaran internasional harga joint finger US$400 –<br />
US$415 per m 3 . Dari kebutuhan 1.200 – 1.400 m 3 balok kayu<br />
<strong>sengon</strong> per bulan, hanya 600 m 3 yang dapat terpenuhi.
Permintaan pasar internasional terhadap <strong>sengon</strong> yang terus<br />
meningkat sebagai bentuk apresiasi terhadap kayu budidaya.<br />
Dunia mengharapkan hutan Indonesia tetap lestari sehingga<br />
kayu <strong>sengon</strong> hasil budidaya sebagai kayu alternative. Pantas<br />
permintaan kayu olahan <strong>sengon</strong> terus melambung, lihatlah<br />
PT. Bineatama Kayone Lestari <strong>pada</strong> 1993 ketika awal berdiri<br />
Cuma mengekspor 5 kontainer barecore per bulan. Kini<br />
hampir 2 windu berselang Taiwan meminta rutin 150<br />
kontainer berecore per bulan. Itu diluar permintaan Timur<br />
Tengah 10 kontainer per bulan. Di pasaran internasional<br />
harga barecore US$220 setara Rp. 1,98 juta per m 3 .<br />
Barecore adalah papan berukuran 1,2 m x 2,4 m ketebalan<br />
10 mm dan 13 mm. Menurut Edo Wijaya dari PT. Bineatama<br />
Kayone Lestari, kebutuhan bahan baku untuk memproduksi<br />
150 kontainer barecore mencapai 14.000 m 3 . Taiwan juga<br />
meminta 50.000 m 3 sawntimber, tetapi baru terpasok 8.000<br />
m 3 . Gegap gempita industri pengolahan <strong>sengon</strong> berimbas di<br />
hulu, para pekebun beramai-ramai membudidayakan kerabat<br />
petai itu, selain lantaran pangsa pasar besar, harga jual juga<br />
terus membaik. Menurut Heru Jhudiarto, direktur muda<br />
penanaman dan lingkungan PT. Kutai Timber Indonesia,<br />
harga <strong>sengon</strong> 6 tahun lalu Rp. 180.000 sekarang Rp.<br />
670.000 per m 3 . Menteri <strong>Kehutanan</strong> Malam Sambat Kaban<br />
memprediksi harga <strong>sengon</strong> bakal meningkat. Harga <strong>sengon</strong><br />
akan terus meningkat hingga harga rasional yaitu masih lebih<br />
murah dibandingkan harga kayu asal hutan alam. Sekitar 4 –<br />
5 tahun lagi kira-kira Rp. I juta per m 3 . Industri tak akan<br />
bermain-main dengan harga itu karena permintaan ekspor<br />
sangat tinggi. Pantas jika Habib Abdul Qodir Alhamid, pemilik<br />
pondok pesantren di Maron, Probolinggo, mengkoordinir<br />
penanaman <strong>sengon</strong> hingga 3.200 ha.<br />
Begitu juga dengan PT. Nasional Plantation yang<br />
mengebunkan 800 ha di Tulungagung, Jawa Timur. Menurut<br />
komisaris National Plantation Radius Muntu, varietas yang<br />
dikebunkan adalah solomon yang kini umurnya baru 10<br />
bulan. Kutai Timber Indonesia (KTI) memilih mitra dengan<br />
para pekebun, setiap tahun KTI memperluas lahan rata-rata<br />
1.000 ha. Hendri Setiawan juga bermitra dengan pekebun<br />
untuk mengembangkan 130 ha <strong>sengon</strong> di Cicurug,<br />
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kemudahan memasarkan<br />
menjadi daya tarik bagi pekebun. Jangankan menjual ratusan<br />
atau puluhan pohon, ketika memerlukan dana segar untuk<br />
membayar SPP anaknya, Mukidi cuma menjual 2 pohon<br />
berumur 6 tahun berdiameter 20 cm. Sengon seperti ATM<br />
berjalan kata pekebun di Temanggung, Jawa Tengah.<br />
Sumber (Trubus, Agustus 2008)<br />
7
8<br />
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa intensitas<br />
dan ekstensitas (epidemi) <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> tidak selalu<br />
sama dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat<br />
lainnya. Fluktuasi intensitas <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> ini<br />
dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Seperti yang kita ketahui<br />
bahwa terjadinya suatu <strong>penyakit</strong> itu sendiri <strong>pada</strong> dasarnya<br />
merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang saling<br />
menunjang yaitu patogen, tanaman inang dan keadaan<br />
lingkungan (segitiga <strong>penyakit</strong>). Selain itu manusia dapat<br />
mempengaruhi inang, patogen dan lingkungan, manusia<br />
berperan dalam menentukan perkembangan dan<br />
pengendalian suatu <strong>penyakit</strong>. Keseluruhan interaksi ini dapat<br />
digambarkan dalam segi-empat <strong>penyakit</strong>. Pemahaman pola<br />
fluktuasi intensitas <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> dalam dimensi<br />
ruang/tempat dan waktu yang berbeda serta pemanfaatan<br />
pengertian pola <strong>penyakit</strong> tersebut untuk tujuan strategi<br />
pengendalian <strong>penyakit</strong>. Sudah banyak diketahui berbagai<br />
cara pengendalian <strong>penyakit</strong> hutan seperti fisik, mekanis,<br />
kimia, biologi, silvikultur dan lain-lain. Oleh karena itu perlu<br />
diketahui berapa besar keefektifan strategi pengendalian<br />
yang berbeda itu dapat meniadakan kehilangan hasil dan<br />
tetap mempertahankan produksi yang ekonomis. Perlu juga<br />
diketahui besarnya pengaruh serangan patogen <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong><br />
<strong>pada</strong> intensitas <strong>penyakit</strong> yang berbeda terhadap penurunan<br />
produksi hasil. Untuk menjawab berbagai pertanyaan yang<br />
timbul dalam kaitannya dengan masalah epidemiologi dan<br />
pengendalian <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>, maka perlu dilakukan<br />
penelitian dasar yang meliputi jenis patogen <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>,
aspek biologi patogen, dan perilaku <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> di<br />
lapangan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka tujuan dari<br />
pembuatan buku ini adalah membahas patogen yang<br />
meliputi gejala serangan patogen <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> di lapangan,<br />
serta perilaku <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> yang meliputi cara<br />
penyebaran serta siklus hidupnya. Berdasarkan hal tersebut<br />
di atas maka dapat ditentukan teknik pengendalian <strong>karat</strong><br />
<strong>tumor</strong> yang tepat.<br />
Buku ini akan menyampaikan tentang <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong><br />
<strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong> dan cara pencegahan serta<br />
pengendaliannya. Teknik pencegahan dan pengendalian<br />
yang praktis memungkinkan petani <strong>sengon</strong> dapat melakukan<br />
sendiri penanganan <strong>penyakit</strong> ini.<br />
9
10<br />
Hutan Rakyat Sengon
Sejarah penanaman <strong>sengon</strong><br />
2<br />
SENGON DAN<br />
POTENSINYA<br />
Teysman <strong>pada</strong> tahun 1871 menemukan <strong>sengon</strong> di<br />
pedalaman Pulau Banda, kemudian dibawa ke Kebun Raya<br />
Bogor. Dari Kebun Raya Bogor inilah kemudian <strong>sengon</strong><br />
tersebar ke berbagai daerah mulai dari Jawa, Sumatera,<br />
Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya (Santoso, 1992). Nama<br />
botanis: (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen); syn. Albizia<br />
falcata (L.) Backer, Albizia moluccana (Miq.), Falcataria<br />
moluccana (Miq.) Berneby and J.W Grimes; subfamili<br />
Mimosoideae; famili Fabaceae. Nama daerah :Albizia, bae,<br />
bai, jeungjing, jeungjing laut, jing laut, rare, salawaku,<br />
salawaku merah, salawaku putih, salawoku, sekat, <strong>sengon</strong><br />
laut, <strong>sengon</strong> sabrang, sika, sika bot, sikas, tawa sela, wai,<br />
wahagom, wiekkie. Nama lain : Batai (Malaysia Barat,<br />
Sabah, Philipina, Inggris, Amerika Serikat, Perancis,<br />
Spanyol, Italia, Belanda, Jerman); kayu machis (Sarawak);<br />
puah (Brunei). Tanaman <strong>sengon</strong> pernah dijuluki sebagai<br />
pohon ajaib (miracle tree) karena dapat tumbuh dengan<br />
cepat dan dapat beradaptasi <strong>pada</strong> berbagai keadaan<br />
lingkungan. Bila ditanam di tanah yang subur dan iklim yang<br />
sesuai tingginya dapat mencapai 7 meter <strong>pada</strong> umur satu<br />
tahun, <strong>pada</strong> umur 3 tahun dapat mencapai 18 meter dan<br />
11
<strong>pada</strong> umur 9 atau 10 tahun tingginya mencapai 30 meter,<br />
tinggi maksimum <strong>sengon</strong> sekitar 45 meter dengan diameter<br />
100 cm. Tanaman <strong>sengon</strong> bersifat multifungsi dan<br />
memberikan dampak ganda, baik sebagai tanaman produksi<br />
maupun sebagai tanaman konservasi dan reboisasi.<br />
12<br />
Ciri-ciri umum tanaman <strong>sengon</strong> ialah pohon berukuran<br />
sedang sampai besar, tinggi dapat mencapai 40 m, tinggi<br />
batang bebas cabang 20 m. Tidak berbanir, kulit licin,<br />
berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter pohon<br />
dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk<br />
perisai, jarang, selalu hijau. Daun majemuk, panjang dapat<br />
mencapai 40 cm, terdiri dari 8 – 15 pasang anak tangkai<br />
daun yang berisi 15 – 25 helai daun. Buah berbentuk<br />
polong, pipih, lurus dan tidak bersekat-sekat waktu muda<br />
berwarna hijau, berubah kuning sampai coklat setelah<br />
masak. Sementara itu benih berbentuk pipih, lonjong, 3 – 4<br />
x 6 – 7 mm, warna hijau, bagian tengah coklat. Jumlah<br />
benih berkisar 40.000 butir/kg.<br />
Tanaman <strong>sengon</strong> tidak memerlukan persyaratan<br />
tumbuh yang tinggi, artinya jenis ini mudah tumbuh <strong>pada</strong><br />
sembarang tanah, baik tanah tegalan atau tanah-tanah<br />
hutan yang baru dibuka, bahkan di tanah tandus pun <strong>sengon</strong><br />
masih bisa tumbuh. Berdasarkan pengamatan di lapangan,<br />
tanaman <strong>sengon</strong> dapat tumbuh baik <strong>pada</strong> tanah regosol,<br />
aluvial, dan latosol bertekstur lempung berpasir atau<br />
lempung berdebu dengan kemasaman tanah (pH) 6 – 7.<br />
Sengon termasuk jenis tanaman tropis sehingga untuk<br />
tumbuhnya memerlukan suhu sekitar 18º – 27 º C, tumbuh di
dataran rendah sampai ketinggian 1.500 meter dari atas<br />
permukaan laut.<br />
Perbanyakan tanaman <strong>sengon</strong> umumnya dengan biji,<br />
yang perlu diperhatikan adalah penggunaan benih harus<br />
bermutu, artinya benih berasal dari pohon induk yang<br />
memiliki sifat-sifat genetik yang baik. Tanaman <strong>sengon</strong> sehat<br />
yang berumur 5-8 tahun dapat menghasilkan biji yang viabel<br />
sekitar 12.000 biji per ha. Penanaman <strong>sengon</strong> harus diawali<br />
dengan pengaturan jarak tanam yang ideal, dan sebaiknya<br />
<strong>sengon</strong> ditanam <strong>pada</strong> awal musim penghujan karena bibit<br />
sangat peka terhadap kekeringan. Sesudah bibit <strong>sengon</strong><br />
ditanam, maka perlu dilakukan pemeliharaan untuk<br />
memperoleh produksi dan mutu kayu <strong>sengon</strong> yang sesuai<br />
dengan harapan. Pemeliharaan tanaman <strong>sengon</strong> meliputi<br />
penyulaman, penyiraman, penyiangan, pemupukkan,<br />
penjarangan, serta pengendalian hama dan <strong>penyakit</strong>.<br />
Ciri umum kayu <strong>sengon</strong> yaitu : Kayu teras berwarna<br />
hampir putih atau coklat muda pucat (seperti daging) warna<br />
kayu gubal umumnya tidak berbeda dengan kayu teras.<br />
Teksturnya agak kasar dan merata dengan arah serat lurus,<br />
bergelombang lebar atau berpadu. Permukaan kayu agak<br />
licin atau licin dan agak mengkilap. Kayu yang masih segar<br />
berbau petai, tetapi bau tersebut lambat laun hilang jika<br />
kayunya menjadi kering. Kayu <strong>sengon</strong> termasuk kelas awet<br />
IV/V dan kelas IV-V dengan berat jenis 0,33 (0,24-0,49).<br />
Kayunya lunak dan mempunyai nilai penyusutan dalam arah<br />
radial dan tangensial berturut-turut 2,5 persen dan 5,2<br />
persen (basah sampai kering tanur). Kayunya mudah<br />
13
digergaji, tetapi tidak semudah kayu meranti merah dan<br />
dapat dikeringkan dengan cepat tanpa cacat yang berarti.<br />
Cacat pengeringan yang lazim adalah kayunya melengkung<br />
atau memilin. Kayu <strong>sengon</strong> dapat digunakan untuk berbagai<br />
keperluan, diantaranya sebagai bahan konstruksi ringan,<br />
kayu lapis, papan blok, venir lamina, kayu lamina, papan<br />
partikel, dan papan gypsum.<br />
Potensi <strong>sengon</strong><br />
14<br />
Saat ini <strong>sengon</strong> banyak diusahakan di kawasan hutan<br />
tanaman, perkebunan maupun di kebun-kebun milik rakyat<br />
(hutan rakyat) di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa.<br />
Dari hasil listing Sensus Pertanian 2003 (ST03),<br />
menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar 2,32 juta<br />
rumah tangga yang mengusai tanaman <strong>sengon</strong> dengan<br />
populasi pohon yang dikuasai mencapai 59,83 juta pohon<br />
atau rata-rata penguasaan per rumah tangganya sebesar<br />
25,84 pohon. Dari total sebanyak 59,83 juta pohon <strong>sengon</strong>,<br />
sekitar 24,61 juta pohon atau 41,14 persen diantaranya<br />
adalah merupakan tanaman <strong>sengon</strong> yang siap tebang. Hal<br />
ini memberikan indikasi bahwa tanaman <strong>sengon</strong> di Indonesia<br />
sebagian besar masih berumur muda (lihat Tabel 2.2.).<br />
Seperti halnya tanaman akasia, bambu, jati, mahoni<br />
dan pinus, tanaman <strong>sengon</strong> juga lebih banyak di tanam di<br />
Jawa yaitu mencapai 50,08 juta pohon atau sekitar 83,69%<br />
dari total populasi pohon di Indonesia, sedangkan sisanya<br />
sekitar 9,76 juta pohon (16,31%) berada di luar Jawa.
Tanaman <strong>sengon</strong> di Jawa terkonsentrasi di tiga propinsi<br />
berturut-turut adalah di Jawa Tengah (34,84%), Jawa Barat<br />
(30,62%) dan Jawa Timur (10,88%), sementara di Luar Jawa<br />
terdapat di dua propinsi yang cukup banyak yaitu di<br />
Lampung (3,86%) dan Kalimantan Timur (2,20%).<br />
Meskipun persentase jumlah rumah tangga yang<br />
mengusai tanaman <strong>sengon</strong> di Jawa jauh lebih besar<br />
dibanding di Luar Jawa yaitu mencapai 85,63 persen dari<br />
total Indonesia, tetapi rata-rata pengusaan tanaman per<br />
rumah tangga di Jawa hanya sekitar 25,25 pohon lebih<br />
rendah dibanding dengan rata-rata pengusaan per rumah<br />
tangga di Luar Jawa yang mencapai 29,33 pohon. Demikian<br />
juga dengan kondisi tanaman, di Jawa persentase tanaman<br />
<strong>sengon</strong> yang siap tebang terhadap total jumlah pohon<br />
seluruhnya hanya 39,10 persen sedangkan di Luar Jawa<br />
persentasenya mencapai 51,58 persen.<br />
Rumah tangga pertanian tanaman <strong>sengon</strong> (rumah<br />
tangga usaha BMU) di Indonesia <strong>pada</strong> tahun 2003 tercatat<br />
sebanyak 406,48 ribu dengan populasi pohon yang<br />
diusahakan sebanyak 34,18 juta. Dari 406,48 ribu rumah<br />
tangga pertanian <strong>sengon</strong>, sebagian besar yaitu sekitar 87,44<br />
persen (355,42 ribu) rumah tangga berdomisili di Jawa,<br />
sedangkan sisanya sekitar 51,05 ribu di Luar Jawa. Dari<br />
populasi pohon <strong>sengon</strong> yang diusahakan sebanyak 34,18<br />
juta, sekitar 53,34 persen atau 18,23 juta pohon diantaranya<br />
merupakan tanaman yang siap tebang. Di Jawa populasi<br />
pohon yang diusahakan mencapai 28,70 juta dengan kondisi<br />
tanaman yang siap tebang sebanyak 14,21 juta pohon,<br />
15
sementara di Luar Jawa populasi pohon yang diusahakan<br />
hanya sekitar 5,48 juta dimana sekitar 4,03 juta pohon<br />
adalah tanaman yang siap tebang.<br />
Tabel 2.1. Luas areal hutan rakyat <strong>sengon</strong> dan produksinya<br />
16<br />
di beberapa Kabupaten di Jawa Barat tahun<br />
2003<br />
Kabupaten Luas areal (ha)<br />
Produksi kayu<br />
(m 3 )<br />
Sukabumi 3.544,80 7.404,40<br />
Ciamis 17.369,30 6.475,48<br />
Tasikmalaya 9292,00 3.048,45<br />
Kuningan 5.960,05 1.362,00<br />
Majalengka 3.960,05 1.456,00<br />
Sumber: Pasaribu dan Roliadi (2006)
KOTAK 2.1<br />
JADI JUTAWAN LEWAT SENGON<br />
Bisnis kayu <strong>sengon</strong> (Albazia falcataria) cukup marak selama<br />
beberapa tahun terakhir. Kebutuhan akan kayu <strong>sengon</strong><br />
memunculkan sejumlah petani <strong>sengon</strong> yang kemudian menjadi<br />
jutawan bahkan milyader. Ke<strong>pada</strong> Warta Kota sejumlah pengusaha<br />
kayu yang dimintai konfirmasi membenarkan laporan Trubus,<br />
majalah pertanian yang menyebutkan bahwa sejumlah petani di<br />
Jawa telah berkembang menjadi jutawan karena kayu asal Maluku<br />
itu. Sebab sejak tahun 2008 harga kayu <strong>sengon</strong> mengalami lonjakan<br />
karena tingginya permintaan kayu <strong>sengon</strong> yang telah diolah dari<br />
dalam dan luar negeri.<br />
Seorang warga Jakarta yang memiliki lahan <strong>sengon</strong> di Jawa<br />
Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta mengatakan, untuk tanah<br />
seluas satu hektar seorang petani dapat menanam sekitar 200<br />
batang <strong>sengon</strong>. Sejak 2008 harga satu batang <strong>sengon</strong> berusia lima<br />
tahun ke atas bisa mencapai Rp. 800.000 – Rp. 1 juta per batang.<br />
Kalau hasil panen mencapai 1.000 – 1.500 batang anda bisa<br />
bayangkan jumlah yang diterima <strong>pada</strong> saat panen, kata Nico warga<br />
Ciputat. Untuk biaya atau modal, sejumlah petani <strong>sengon</strong><br />
mengatakan, untuk lahan seluas satu hektar seorang petani <strong>sengon</strong><br />
menghabiskan dana sekitar Rp. 75 juta – Rp. 100 juta. Biaya itu<br />
menyangkut sewa tanah, bibit, pupuk, pagar dan tenaga kerja<br />
selama dua tahun. Untuk lahan milik sendiri biaya akan menjadi<br />
lebih murah.<br />
Peluang ekonomi yang menjanjikan itu juga ditangkap oleh<br />
pemimpin Pondok Pesantren Al Amin, Sukabumi, KH. Abdul Basith.<br />
Bahkan strategisnya <strong>sengon</strong> sebagai kayu yang memiliki fungsi<br />
untuk memulihkan lingkungan yang gundul, KH Abdil Basith kini<br />
mengembangkan pesantren khusus yang dinamai Pesantren<br />
Konservasi. Selama dua tahun terakhir KH. Abul Basith yang pernah<br />
mewakili kalangan pesantren pemerhati lingkungan hidup bertemu<br />
Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris itu rajin berkampanye di<br />
Sukabumi dan sekitarnya, tentang besarnya manfaat menanam<br />
<strong>sengon</strong>. Dengan dukungan perusahaan air kemasan Danone Aqua<br />
dan pejabat terkait setempat, KH. Abdul Basith juga mendampingi<br />
petani, khususnya di sekitar lahan kritis Gunung Salak untuk<br />
bertanam <strong>sengon</strong>. Kalau saat ini sebuah keluarga muda miliki putra<br />
atau putri yang duduk di kelas 1 SD, maka lima tahun lagi dia cukup<br />
menjual sebatang pohon <strong>sengon</strong> untuk biaya masuk SMP.<br />
Sumber: (Warta Kota,Willy Pramudya)<br />
19
20<br />
KOTAK 2.2<br />
LAMPUNG BERPOTENSI JADI SENTRA POHON SENGON<br />
Sekitar 3 juta ton pohon <strong>sengon</strong> ditanam di hutan se Provinsi<br />
Lampung <strong>pada</strong> 2009. Dengan bertambahnya penanaman pohon<br />
<strong>sengon</strong>, Provinsi Lampung berpotensi menjadi sentra pohon <strong>sengon</strong><br />
di luar Pulau Jawa. Sebelumnya hanya sekitar satu juta pohon<br />
<strong>sengon</strong> yang tertanam di Lampung. Tahun ini penanaman pohon<br />
<strong>sengon</strong> ditambah menjadi 3,39 juta ton, kata Kepala Dinas<br />
<strong>Kehutanan</strong> Provinsi Lampung, Arinal Djunaedi, <strong>pada</strong> rapat<br />
koordinasi pengelolaan hutan dalam rangka pengembangan hutan<br />
rakyat, di Hotel Bukit Randu, Bandae Lampung, semalam. Menurut<br />
Arinal lima tahu ke depan, pohon <strong>sengon</strong> tersebut siap panen dan<br />
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Dengan jumlah pohon 2.500<br />
batang per hektar dan investasi Rp. 35 juta hingga Rp. 40 juta,<br />
setelah lima tahun keuntungan petani Rp. 660 juta dengan asumsi<br />
harga kayu <strong>sengon</strong> Rp. 500.000 per m 3 , kara Arinal. Penanaman<br />
<strong>sengon</strong> lanjut Arinal perlu jaminan pasar. Oleh karena itu,<br />
pengembangan <strong>sengon</strong> di Lampung bekerja sama dengan<br />
Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA). Selain itu, juga<br />
bergabung dengan tiga perusahaan sebagai penampung hasil<br />
<strong>sengon</strong> petani, yakni PT. Dinamika Maju Bersama (DMB), PT.<br />
Andatu, dan CV. Kota Agung. Tujuannya agar petani tidak trauma<br />
<strong>pada</strong> gerakan <strong>sengon</strong>isasi masa lalu yang sering dirugikan, ujar<br />
Arinal. Sedikitnya 56% hutan di Lampung mengalami kerusakan.<br />
Dampaknya fungsi dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial menjadi<br />
terganggu. Untuk itu, perlu ditingkatkan lagi Gerakan Lampung Hijau<br />
Mananam Seribu Pohon. Jika program penanaman seribu pohon<br />
berhasil, lima sampai tujuh tahun ke depan dapat dimanfaatkan<br />
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu<br />
Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen<br />
<strong>Kehutanan</strong>, Indriastuti mengatakan, sejalan dengan pesatnya<br />
pembangunan di Lampung, maka kebutuhan bahan baku industri<br />
kayu juga semakin meningkat. Di lain pihak, ketersediaan bahan<br />
baku kayu semakin sulit, akibatnya hutan semakin rusak. Menurut<br />
Indri, saat ini luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan di<br />
Lampung cenderung meningkat, yakni mencapai 509.844 ha dan<br />
potensial kritis 998.161 ha. Kondisi ini terjadi akibat perambahan<br />
hutan, kebakaran hutan dan lahan, ungkapnya. Untuk itu lanjut Indri,<br />
pemerintah terus berupaya melakukan rehabilitasi hutan.<br />
Kemampuan pendanaan masih sangat terbatas, selama kurun<br />
waktu lima tahun hanya mampu merehabilitasi 101.162 ha, katanya.<br />
Pembangunan hutan rakyat <strong>sengon</strong> sudah dilakukan di Negararatu,<br />
Kotabumi, Payung Dadi (Lamteng), Tegineneng Pesawaran, Kota<br />
Agung, Tanggamus, Jabon-Branti, Tanjung Bintang (LamSel).<br />
Kemudian Pugung Raharjo (LampTim), Sekampung (LampTim) dan<br />
Unit II Tulang Bawang.<br />
Sumber: (Suara Karya, Dina Kristiana 26 Juni 2009)
3<br />
PENYAKIT KARAT<br />
TUMOR PADA SENGON<br />
Terjadinya wabah <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong><br />
Ada satu masalah yang dihadapi dalam<br />
pengembangan <strong>sengon</strong> sekarang ini, yaitu adanya ”Wabah<br />
Penyakit Karat Tumor (gall rust)” yang dapat mematikan<br />
<strong>sengon</strong> dari tingkat semai sampai tingkat tegakan. Di<br />
Indonesia <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> pertama kali dilaporkan <strong>pada</strong><br />
tahun 1996 di Pulau Seram, Maluku. Informasi tersebut tidak<br />
mendapat perhatian dari kalangan pengelola hutan tanaman<br />
<strong>sengon</strong>. Kemudian dilaporkan bahwa <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong><br />
juga menyerang <strong>sengon</strong> sebagai pohon pelindung kopi di<br />
Timor Lorosae dengan persentase serangan 57% - 90%.<br />
Pada tahun 2005 <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> menyerang<br />
pertanaman <strong>sengon</strong> di lokasi reboisasi bekas tambang nikel<br />
di Sorowako, Sulawesi Selatan. Di Kabupaten Lumajang<br />
juga terserang <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>, tepatnya di lokasi<br />
pelaksanaan kegiatan GN-RHL/GERHAN tahun tanam 2003<br />
seluas 300 ha, 2004 seluas 1.350 ha dan 2005 seluas 775<br />
ha. Di Kabupaten Probolinggo (Kecamatan Krucil), dan<br />
Kabupaten Banyuwangi (Kecamatan Kalibaru) tanaman<br />
<strong>sengon</strong> milik masyarakat, perkebunan dan instansi lainnya<br />
sebagai mitra/non mitra perusahaan plywood and wood<br />
industry PT. Kutai Timber Indonesia (Surat PT. Kutai Timber<br />
21
Indonesia/KTI No. 469/IX/KTIP/A-16/2006) juga terserang<br />
<strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>. Penyakit ini juga menyerang di<br />
beberapa kebun dalam lingkungan PT. Perkebunan<br />
Nusantara XII (Persero) yaitu UUS Kertowono (Kabupaten<br />
Lumajang), UUS Gunung Gumitir (Kabupaten Banyuwangi),<br />
UUS Jatirono dan UUS Malangsari (Kabupaten<br />
Banyuwangi). Di Kabupaten Pacitan telah terjadi serangan<br />
<strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> di 3 kecamatan seluas 75 ha <strong>pada</strong><br />
tanaman <strong>sengon</strong> milik rakyat. Di areal Perum Perhutani KPH<br />
Kediri, BKPH Pare, RPH Pandantoyo telah terjadi serangan<br />
<strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong> berbagai umur tanam<br />
mulai dari bibit sampai tegakan siap tebang. Di Provinsi Bali<br />
yaitu di Kabupaten Bangli, Tabanan, Badung dan Klungkung<br />
<strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> menyerang <strong>sengon</strong> milik rakyat.<br />
Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya <strong>penyakit</strong> <strong>tumor</strong><br />
menyerang <strong>sengon</strong> milik perusahaan swasta dan milik<br />
rakyat.<br />
22<br />
Sejak tahun 2003 hingga sekarang <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong><br />
<strong>tumor</strong> terus menyebar dari Jawa Timur (Banyuwangi,<br />
Jember, Lumajang, Probolinggo, Malang, Blitar, Kediri dan<br />
Pacitan), Jawa Tengah (Purworejo, Magelang, Temanggung,<br />
Wonosobo, Banjarnegara, dan Banyumas), Jawa Barat<br />
(Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Sukabumi) dan Banten.
KOTAK 3.1<br />
JUTAAN POHON ALBASIA TERSERANG<br />
KARAT TUMOR<br />
Sekitar 1,2 juta pohon albasia atau <strong>sengon</strong> di<br />
Kabupaten Ciamis terserang jamur <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> atau gall<br />
rust. Akibat serangan <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> yang berupa cendawan<br />
tersebut, menjadikan sebagian tanaman tidak dapat<br />
diselamatkan. Yang kami khawatirkan adalah<br />
penyebarannya yang sangat cepat, karena penyebarannya<br />
melalui angin. Untuk pohon yang sudah besar, masih bisa<br />
diselamatkan dalam arti ditebang dan kayunya tetap<br />
dimanfaatkan. Sebaliknya yang kecil atau bibit, dicabut dan<br />
diganti tanaman baru, tutur Kepala Dinas <strong>Kehutanan</strong> dan<br />
Perkebunan (Dishut) Kabupaten Ciamis, Nurhastuti. Dia<br />
memperkirakan <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> menyerang pohon albasia<br />
tersebut, berasal dari luar Jawa Barat yakni<br />
Provinsi Jawa Tengah. Hal itu didasarkan dari sebagian<br />
bibit albasia yang didatangkan dari tempat tersebut<br />
terserang jamur. Saat ini lanjutnya, serangan jamur albasia<br />
tersebut sudah menyebar hingga 12 Kecamatan di Ciamis<br />
bagian Utara. Misalnya di kecamatan Panumbangan,<br />
Sukamantri, Panjalu, Lumbung, Kawali, Panawangan,<br />
Cihaurbeuti, Rancah, Jatinegara, Radjadesa, Cipaku dan<br />
sekitarnya. Total lahan yang terserang seluas 300 hektar.<br />
Dia juga berharap tanaman yang sudah besar dan sudah<br />
masanya, perlu secepatnya ditebang. Langkah tersebut<br />
akan dapat mengurangi sebaran cendawan. Untuk<br />
mengatasi penyebaran, dia juga menjelaskan tidak boleh<br />
dibakar, sebaliknya harus dikubur. Camat Sukamantri,<br />
Adang Darajat mengakui bahwa sebagian pohon albasia di<br />
wilayahnya terserang <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>. Tanaman yang terserang<br />
tidak hanya yang berukuran kecil atau bibit, tetapi juga yang<br />
sudah berukuran besar. Kami berharap pihak yang<br />
berwenang dapat segera mengambil langkah untuk<br />
mengatasi serangan tersebut. Kalau dibiarkan maka akan<br />
semakin banyak yang terserang jamur, apalagi salah satu<br />
penyebabnya melalui udara.<br />
Sumber: (Pikiran Rakyat)<br />
23
24<br />
KOTAK 3.2<br />
TUMOR ANCAM BELASAN RIBU HEKTAR SENGON<br />
Petani desa hutan di Kabupaten Wonosobo resah<br />
setelah <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> menyerang <strong>sengon</strong> atau<br />
albasia. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan <strong>penyakit</strong><br />
itupun beragam. Para petani kian gelisah karena sudah<br />
menanam banyak albasia (Paraserianthes falcataria).<br />
Bahkan luasnya mencapai 19.619,45 ha dan tersebar di 13<br />
kecamatan. Kepala desa Pungangan, kecamatan<br />
Mojotengah, Warseno (38) mengatakan <strong>karat</strong> puru kali<br />
pertama di desa Wonokromo, saat itu tanda-tanda<br />
serangan tidak cepat diketahui. Warga baru tahu setelah<br />
<strong>tumor</strong> tersebut berukuran separo kepalan orang dewasa,<br />
ujarnya. Dia juga mengaku tanaman miliknya terserang<br />
<strong>penyakit</strong> serupa. Ketika itu 2 dari 100 batang albasia yang<br />
berumur satu tahun tiba-tiba melengkung. Ternyata setelah<br />
diamati, ada <strong>tumor</strong> yang menempel di percabangan batang<br />
pokok kayu, <strong>tumor</strong> sudah mengeras. Penyakit ini juga cepat<br />
menyebar bahkan dalam sepekan telah mengganggu<br />
pertumbuhan albasia. Terlebih jika petani tidak rajin<br />
memantau albasia yang berumur 1 – 2 tahun. Para petani<br />
juga mengatakan kesulitan membasmi <strong>penyakit</strong> tersebut.<br />
Penggunaan fungisida juga dirasakan kurang efektif.<br />
Kasi Pembinaan Sarana Produksi Endang Lis, Shut<br />
menjelaskan, sebenarnya hama yang patut diwas<strong>pada</strong>i<br />
adalah penggerek batang <strong>sengon</strong> (Xystrocera festiva).<br />
Sebab banyak demplot penggergajian yang melaporkan,<br />
kualitas kayu petani menurun. Sebab hama penggerek itu<br />
menghasilkan lobang di bagian batang. Untuk parasit <strong>karat</strong><br />
puru, bila sejak dini sudah mengamati, petani secara cepat<br />
bisa mencegahnya agar tidak menyebar ke tanaman<br />
lainnya. Pada umumnya, parasit tersebut <strong>pada</strong> tanaman<br />
muda, menempel <strong>pada</strong> sekitar batang baik di pucuk<br />
maupun cabang.<br />
Sumber: (Suara Merdeka, 28 April 2008)
Penyebab <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong><br />
Penyebab <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong> ialah<br />
jenis fungi Uromycladium tepperianum (Sacc.) McAlpine.<br />
Jenis fungi <strong>karat</strong> umumnya masuk dalam divisi<br />
Basidiomycotina, kelas Urediniomycetes, ordo Uredinales,<br />
famili Pileolariaceae. Seperti patogen <strong>karat</strong> yang lain maka<br />
Uromycladium juga bersifat parasit obligat yang hanya dapat<br />
hidup apabila memarasit jaringan hidup. Pada U.<br />
tepperianum, spora yang memegang peran penting dalam<br />
pembiakan dan pemencarannya adalah teliospora yang<br />
dibentuk dalam jumlah besar. Teliospora mempunyai bentuk<br />
spesifik yaitu mempunyai struktur yang berjalur (berabung-<br />
rabung seperti payung), bergerigi dan setiap satu tangkai<br />
terdiri dari tiga teliospora. Ukuran Teliospora yaitu lebar<br />
berkisar antara 13-18 µm dan panjang 17-26 µm.<br />
Fungi <strong>karat</strong> ini hanya memerlukan satu inang saja yaitu<br />
tanaman <strong>sengon</strong> sehingga fungi ini daur hidupnya pendek<br />
(mycrocyclus). U. tepperianum yang berdaur pendek adalah<br />
sebagai berikut :<br />
Telia<br />
(Menghasilkan teliospora)<br />
Piknia<br />
(menghasilkan pikniospora)<br />
Basidiospora<br />
(menginfeksi tanaman)<br />
25
26<br />
Penularan <strong>penyakit</strong> dapat terjadi melalui penyebaran<br />
teliospora dengan bantuan air (embun), angin, serangga dan<br />
manusia. Untuk perkecambahan teliospora diperlukan air,<br />
dan lamanya waktu berkecambah sangat tergantung <strong>pada</strong><br />
suhu dan kondisi berkabut/gelap juga mempercepat<br />
perkecambahan teliospora. Teliospora sendiri tidak dapat<br />
menginfeksi inang. Teliospora harus berkecambah<br />
membentuk basidiospora, yang terbentuk kurang lebih 10<br />
jam setelah inokulasi. Basidiospora inilah yang dapat secara<br />
langsung melakukan penetrasi menembus epidermis dan<br />
membentuk hifa di dalam ataupun di antara sel-sel<br />
epidermis, xilem dan floem. Setelah tujuh hari inokulasi, hifa<br />
vegetatif <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> ini berkembang menjadi piknia sebagai<br />
pustul coklat yang memecah epidermis.<br />
Infeksi dapat terjadi <strong>pada</strong> biji, semai maupun tanaman<br />
dewasa di lapangan. Semua bagian tanaman meliputi pucuk<br />
daun, daun, tangkai daun, cabang, batang, bunga dan biji<br />
dapat terinfeksi oleh fungi patogen tersebut. Pada semai<br />
<strong>sengon</strong>, batanglah yang merupakan bagian tanaman yang<br />
paling rentan terhadap serangan fungi <strong>karat</strong>. Fungi <strong>karat</strong><br />
masih bisa tetap hidup di musim kemarau/kering <strong>pada</strong><br />
bagian tanaman yang terserang. Pada waktu mulai musim<br />
hujan serangan akan bertambah dan terus tersebar selama<br />
musim hujan.
KOTAK 3.3<br />
JAMUR KARAT TUMOR SERANG MAGELANG<br />
Jamur “<strong>karat</strong> puru” atau “<strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>” menyerang tanaman<br />
albasia atau <strong>sengon</strong> milik warga di empat kecamatan di<br />
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Data luas serangan<br />
secara keseluruhan baru kami kumpulkan, tetapi yang di<br />
Kecamatan Pakis sementara ini mencakup seratus hektar, kata<br />
Kepala Seksi Perlindungan dan Pengawasan Hutan Dinas<br />
Pertanian Pemerintah Kabupaten Magelang, Darmanto, di<br />
Magelang, Selasa (26/5). Empat dari 21 kecamatan di<br />
Kabupaten Magelang yang telah mengalami serangan “<strong>karat</strong><br />
puru” adalah Pakis, Kaliangkrik, Sawangan dan Grabag.<br />
Menurut Darmanto Jamur tersebut menyerang 11 desa di<br />
Kecamatan Pakis. Mulai tahun ini kami menemukan serangan<br />
jamur itu, sampai sekarang belum ada obatnya. Kemungkinan,<br />
lanjut Darmanto, kondisi udara yang relative lembab menjadi<br />
salah satu penyebab merebaknya serangan “<strong>karat</strong> puru”<br />
terhadap albasia. Jamur itu menyerang bagian batang dan<br />
ranting albasia sedangkan penyebarannya antara lain melalui<br />
angina dan air. Kalau sudah kena, maka tanaman mati,<br />
sebaiknya daerah yang sudah terkena untuk sementara waktu<br />
tidak ditanam albasia, kata Darmanto. Ia juga mengaku, sulit<br />
untuk meminta warga di daerah untuk tidak menanam albasia<br />
terlebih dahulu selama beberapa waktu. Tanaman yang sudah<br />
kena sebaiknya dipotong lalu dibakar atau dipendam, terang<br />
Darmanto. Pihaknya dalam berbagai kesempatan telah<br />
menyampaikan informasi tentang serangan jamur itu antara lain<br />
ke<strong>pada</strong> pihak petugas penyuluh pertanian, perangkat desa, dan<br />
pegiat berbagai organisasi kemasyarakatan.. Masyarakat juga<br />
telah diminta untuk memilih bibit albasia yang berkualitas agar<br />
terbebas dari kemungkinan serangan jamur “<strong>karat</strong> puru”, kata<br />
Darmanto<br />
Sumber : (Surya Live - Sugeng Wibowo,2009)<br />
27
28<br />
Telium fungi Uromycladium tepperianum<br />
Gejala <strong>pada</strong> semai sangat bervariasi dan kadang tidak<br />
terlihat jelas. Infeksi fungi <strong>pada</strong> semai umur 2 – 3 minggu<br />
menyebabkan daun mengeriting, melengkung dan tidak<br />
berkembang secara normal, apabila disentuh daun terasa<br />
kaku dan mudah rontok. Pada semai umur 6 minggu gejala<br />
tampak <strong>pada</strong> batang dan pucuk yang melengkung, agak<br />
kaku. Pada semai umur 3 bulan atau lebih kadang <strong>tumor</strong><br />
mulai membesar.
Gejala serangan <strong>pada</strong> semai terlihat dengan adanya<br />
batang yang melengkung<br />
Gejala di lapangan <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong> menunjukkan gejala<br />
yang khas, yaitu hiperplasia (pertumbuhan lebih) <strong>pada</strong><br />
bagian tumbuhan yang terserang. Gejala <strong>penyakit</strong> diawali<br />
dengan adanya pem-bengkakan lokal (tumefaksi) di bagian<br />
tanaman yang terserang (daun, cabang, dan batang). Lama<br />
kelamaan pembengkakan berubah menjadi benjolan-<br />
benjolan yang kemudian menjadi bintil-bintil kecil atau<br />
disebut <strong>tumor</strong> (gall). Tumor yang timbul mempunyai bentuk<br />
bervariasi mulai bulat sampai tidak beraturan dengan<br />
diameter mulai dari beberapa milimeter sampai lebih besar<br />
dari 10 cm. Tumor tersebut dapat berkelompok atau<br />
menyebar <strong>pada</strong> bagian yang terserang. Tumor yang masih<br />
muda berwarna hijau kecoklat-coklatan muda yang diselimuti<br />
oleh lapisan seperti tepung berwarna agak kemerah-<br />
merahan yang merupakan kumpulan dari spora patogen,<br />
sedangkan <strong>tumor</strong> yang tua berwarna coklat kemerah-<br />
merahan sampai hitam dan biasanya <strong>tumor</strong> sudah keropos<br />
berlobang serta digunakan sebagai sarang semut atau<br />
29
serangga lainnya. Apabila yang terserang <strong>penyakit</strong> bagian<br />
tangkai daun majemuk atau tajuk maka bagian tersebut agak<br />
membengkok karena adanya penebalan dan pembengkakan<br />
kemudian tajuk daun menggulung berubah bentuk<br />
(malformasi) tanpa daun lagi. Serangan <strong>pada</strong> daun diawali<br />
dengan bentuk daun agak mengeriting, tangkai daun<br />
terbentuk <strong>tumor</strong>. Jika tanaman mengalami serangan yang<br />
parah, maka seluruh bagian tanaman dipenuhi oleh <strong>tumor</strong>,<br />
kemudian daun mengering mengalami kerontokan, diikuti<br />
oleh batang dan cabang pohon dan akhirnya tanaman mati.<br />
30<br />
Berdasarkan kecepatan infeksi, mortalitas total karena<br />
serangan <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> dan pengaruh <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> terhadap<br />
kecepatan pertumbuhan, maka bibit <strong>sengon</strong> dengan sumber<br />
benih dari Wamena lebih resisten dibandingkan dengan bibit<br />
<strong>sengon</strong> dengan sumber benih dari tempat lain.
Daun mengeriting<br />
Karat <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> daun mulai terbentuk<br />
Karat <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> daun mulai menyebar<br />
31
32<br />
Penebalan daun akibat serangan <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong><br />
Karat <strong>tumor</strong> terbentuk <strong>pada</strong> ujung daun majemuk<br />
Karat <strong>tumor</strong> mulai membesar <strong>pada</strong> ranting daun
Karat <strong>tumor</strong> menyebar ke seluruh ranting daun<br />
Karat <strong>tumor</strong> membesar<br />
Karat <strong>tumor</strong> yang membentuk spiral <strong>pada</strong> pucuk<br />
daun<br />
33
34<br />
Gejala <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> batang
4<br />
MANAJEMEN<br />
PENYAKIT KARAT TUMOR<br />
PADA TANAMAN SENGON<br />
Konsep Terjadinya Penyakit Pada Tanaman<br />
Suatu tanaman menjadi sakit ketika tanaman terserang<br />
patogen (<strong>penyakit</strong>) atau ketika terpengaruh oleh faktor<br />
abiotik. Secara sederhana perkembangan <strong>penyakit</strong> <strong>pada</strong><br />
tanaman dapat digambarkan sebagai segitiga <strong>penyakit</strong><br />
berikut.<br />
Inang<br />
Patogen<br />
Segitiga <strong>penyakit</strong><br />
Lingkungan<br />
35
36<br />
Pada tahap pertama terjadinya <strong>penyakit</strong>, setidaknya<br />
ada dua komponen (tanaman inang dan patogen) yang<br />
harus menjalin kontak dan berinteraksi. Jika <strong>pada</strong> saat<br />
terjadinya kontak kondisi lingkungan terlalu dingin, terlalu<br />
panas, terlalu kering atau kondisi ekstrem lainnya, maka<br />
kemungkinan patogen tidak dapat menyerang tanaman.<br />
Meskipun sudah terjadi kontak, namun <strong>penyakit</strong> tidak<br />
berkembang. Agar <strong>penyakit</strong> dapat berkembang, diperlukan<br />
komponen ketiga, yaitu kondisi lingkungan yang sesuai.<br />
Hubungan antara ketiga komponen tersebut bersifat<br />
dinamis. Masing-masing dari kondisi komponen tersebut<br />
akan saling mempengaruhi derajat serangan patogen<br />
terhadap individu tanaman maupun populasi tanaman. Suatu<br />
spesies atau varietas tanaman dapat bersifat resisten atau<br />
kurang resisten, terlalu tua atau muda bagi patogen,<br />
sehingga dapat mengurangi atau meningkatkan kecepatan<br />
perkembangan <strong>penyakit</strong>. Demikian juga dengan <strong>penyakit</strong>,<br />
dapat mempunyai tingkat virulensi tinggi atau rendah<br />
maupun terdapat dalam jumlah sedikit atau banyak. Yang<br />
terakhir faktor lingkungan akan mempengaruhi pertumbuhan<br />
dan toleransi tanaman inang dan juga mempengaruhi tingkat<br />
virulensi dan kecepatan multiplikasi patogen.
Pengendalian Penyakit Karat Tumor<br />
Berbasis Ekologi<br />
Dengan memperhatikan hubungan antara patogen,<br />
tanaman dan lingkungan maka saat ini banyak<br />
dikembangkan konsep manajemen <strong>penyakit</strong> yang didasari<br />
oleh konsep ekologi. Pendekatan pengendalian secara “ad<br />
hoc” misalnya pemakaian pestisida dirasa kurang tepat<br />
karena kurang mendekati kenyataan hidup yang kompleks<br />
sekali dari sistem interaksi tanaman dan patogen dan<br />
lingkungannya. Cara ini seringkali menimbulkan dampak<br />
ekologis yang tidak diinginkan.<br />
Saat ini <strong>sengon</strong> banyak ditanam secara monokultur.<br />
Ekologi semacam ini menyebabkan tanaman mudah<br />
menderita berbagai kerusakan oleh faktor iklim maupun<br />
patogen. Selain itu juga akan memudahkan terjadinya race<br />
baru dari <strong>penyakit</strong> dan hal ini dapat saja terjadi <strong>pada</strong> kasus<br />
<strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>.<br />
Terjadinya epidemi <strong>penyakit</strong> merupakan hasil<br />
rangkaian panjang. Dengan diketahuinya rangkaian tersebut<br />
dapat diusahakan (1) pencegahan pengendalian<br />
<strong>penyakit</strong>nya dengan menjaga agar tidak terjadi<br />
perkembangan yang cepat (ledakan/outbreak), dan (2)<br />
menurunkan tingkat populasi <strong>penyakit</strong> tersebut. Kedua<br />
aspek ini dapat dicapai <strong>pada</strong> hutan tanaman <strong>sengon</strong> yaitu<br />
dengan:<br />
37
1. Mengusahakan varietas-varietas yang resisten atau<br />
38<br />
toleran. Hal ini akan menahan laju perkembangan<br />
<strong>penyakit</strong> (r) atau menunda terjadinya suatu epidemic (t).<br />
2. Pemusnahan inang atau bagian-bagian inang dengan<br />
sanitasi (<strong>pada</strong> biji, anakan, tanaman muda yang<br />
terserang).<br />
3. Cara bertanam yang tepat (tindakan silvikultur). Misalnya<br />
dengan penyesuaian kerapatan atau jarak tanam.<br />
Berkaitan dengan praktek silvikultur <strong>sengon</strong> dalam<br />
hubungannya dengan manajemen <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>,<br />
beberapa hal dapat dilakukan seperti berikut ini:<br />
1. Pembuatan persemaian sehat<br />
Persemaian yang sehat akan menghasilkan tanaman<br />
yang sehat. Kegiatan ini meliputi penggunaan benih<br />
berkualitas, perawatan benih atau bibit dan pemeliharaan<br />
persemaian secara intensif. Penggunaan benih setidak<br />
tidaknya harus berasal dari pohon yang jelas asal-usulnya.<br />
Perlakuan benih harus dilakukan dengan tepat untuk<br />
mengurangi resiko terbawanya jamur melalui benih. Jamur<br />
U. tapperianum dapat terbawa melalui biji, namun bukan<br />
merupakan jamur yang berasal dari biji. Lokasi persemaian<br />
hendaklah dipilih di tempat terbuka, <strong>pada</strong> ketinggian di<br />
bawah 250 m dpl. Monitoring gejala <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong><br />
harus dilakukan secara teratur sejak dini. Tindakan sanitasi<br />
dengan cara menyingkirkan dan menimbun semai yang<br />
terinfeksi jamur U. tepperianum perlu dilakukan untuk<br />
meningkatkan kesehatan lingkungan semai.
2. Pertanaman <strong>sengon</strong><br />
Mengingat hampir seluruh pulau Jawa telah terinfestasi<br />
spora jamur <strong>karat</strong> U. tepperianum, maka penanaman <strong>sengon</strong><br />
baru hanya dianjuran <strong>pada</strong> lokasi di bawah 300 m d.p.l.<br />
Penanaman sebaiknya tidak dilakukan <strong>pada</strong> lokasi-lokasi<br />
yang mempunyai sejarah epidemi. Penanaman <strong>sengon</strong><br />
sebaiknya tidak dilakukan secara monokultur melainkan<br />
secara campuran. Tanaman campuran sebaiknya di pilih<br />
dari jenis-jenis yang bukan keluarga Leguminoceae.<br />
Walaupun jamur U. tepperianum hanya diketahui menyerang<br />
tanaman <strong>sengon</strong> saja, namun mengingat perilaku jamur<br />
<strong>karat</strong> yang mudah membentuk ras patogenik baru, maka hal<br />
ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kecepatan<br />
penyebaran <strong>penyakit</strong> di lapangan.<br />
3. Pemeliharaan tanaman <strong>sengon</strong><br />
Pemupukan yang tepat sampai tanaman berumur 2<br />
tahun perlu dilakukan. Hal ini untuk membuat tanaman<br />
menjadi sehat dan meningkatkan resistensinya terhadap<br />
<strong>penyakit</strong>. Selain itu monitoring secara teratur <strong>pada</strong> tanaman<br />
muda di lapangan juga harus selalu dilakukan. Hal ini untuk<br />
mendeteksi secara dini jika ada <strong>penyakit</strong>, sehingga langkah<br />
pengendalian dapat segera dilakukan. Pengaturan<br />
kelembaban dan sinar matahari yang masuk <strong>pada</strong><br />
pertanaman <strong>sengon</strong> perlu dilakukan. Hal tersebut dapat<br />
dilakukan melalui penjarangan tanaman. Penjarangan<br />
diprioritaskan untuk mengeluarkan tanaman yang<br />
pertumbuhannya kurang baik atau telah menunjukkan gejala<br />
39
<strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>. Tanaman muda yang telah menunjukkan gejala<br />
lanjut, dan tidak berpotensi untuk tumbuh secara normal<br />
perlu disingkirkan dari pertanaman dan ditimbun dengan<br />
tanah. Jika gejala <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> terletak di cabang maka perlu<br />
dilakukan pemangkasan secara tepat. Pemangkasan yang<br />
tidak tepat dapat menimbulkan infeksi yang berulang dan<br />
dapat memperparah serangan <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> berikutya.<br />
Pengendalian Penyakit Karat Tumor Secara<br />
Kimiawi<br />
40<br />
Uji coba pengendalian <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> telah dilakukan di<br />
beberapa tempat, diantaranya di Kediri dan Ciamis. Di Kediri<br />
uji coba dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan<br />
Oktober 2008, <strong>pada</strong> tegakan <strong>sengon</strong> umur 1 tahun dengan<br />
jarak tanam 2 m x 3 m yang terletak di petak 110a. Petak<br />
percobaan masuk ke dalam wilayah Resor Polisi Hutan<br />
(RPH) Pandantoyo, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan<br />
(BKPH) Pare, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kediri,<br />
Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Secara administratif<br />
RPH Pandantoyo berada di Kecamatan Ngancar, Kabupaten<br />
Kediri. Lokasi penelitian ini terletak <strong>pada</strong> ketinggian 381<br />
meter – 561 meter di atas permukaan laut, bertopografi datar<br />
sampai bergelombang dengan kimiringan di bawah 10<br />
persen. Jenis tanah regosol vulkan dengan tekstur berpasir<br />
dan lempung berdebu. Struktur tanah lepas, remah dan<br />
mudah tererosi. Iklim menurut Schmidt dan Ferguson (1951)<br />
termasuk tipe C dengan curah hujan rata-rata 2000 – 2200
mm per tahun. Kelembaban berkisar antara 56% – 82,5%<br />
dengan suhu minimum 20º C dan suhu maksimum 32º C.<br />
Di Ciamis, percobaan pengendalian <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong><br />
<strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong> dilaksanakan <strong>pada</strong> bulan April sampai<br />
dengan bulan Oktober 2009. Percobaan dilakukan di kebun<br />
<strong>sengon</strong> milik rakyat di Desa Sandingtaman Kecamatan<br />
Panjalu, Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Kecamatan Panjalu<br />
berada di wilayah Ciamis bagian Utara yang secara<br />
geografis berada <strong>pada</strong> posisi 8 ◦ Lintang Utara dan 11 ◦ lintang<br />
Selatan, di bawah kaki Gunung Sawal. Tinggi tempat 750 –<br />
1000 m di atas permukaan laut, dengan kelerangan 45%.<br />
Jenis tanah podsolik merah kuning dan sebagian latosol.<br />
Dari hasil uji coba tersebut maka pengendalian <strong>karat</strong><br />
<strong>tumor</strong> dapat menggunakan bahan-bahan sebagai berikut:<br />
kapur : belerang = 1:1<br />
belerang : garam = 10:1<br />
kapur : garam = 10:1<br />
Pengendalian <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> dapat dilakukan dengan<br />
cara sebagai berikut:<br />
1. Setiap tanaman (pohon uji) dibersihkan dari <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong><br />
dengan cara pemangkasan (wiwil),<br />
2. Karat <strong>tumor</strong> dikumpulkan dan dimasukkan dalam<br />
lubang kemudian lubang ditutup.<br />
3. Pemberian perlakuan di atas dengan cara melabur <strong>pada</strong><br />
seluruh permukaan batang utama dan penyemprotan<br />
<strong>pada</strong> seluruh permukaan pohon.<br />
41
4. Perlakuan dilakukan setiap dua minggu sekali,<br />
42<br />
penghitungan jumlah <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> setiap pohon<br />
dilakukan satu bulan sekali.<br />
Pemangkasan <strong>tumor</strong> (wiwil)<br />
Pengumpulan <strong>tumor</strong> dalam lubang
Tumor dikubur dalam lubang<br />
Melabur dan menyemprot setelah <strong>tumor</strong> dihilangakan<br />
43
44<br />
Tanaman yang telah dilabur dan disemprot<br />
Untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme<br />
(termasuk jamur patogen <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>) dapat dicapai dengan<br />
jalan menghilangkan satu atau lebih kondisi yang<br />
mempengaruhi metabolisme mikroorganisme tersebut.<br />
Pertumbuhan adalah pertambahan jumlah sel<br />
mikroorganisme dalam populasi, dan kecenderungan bagi<br />
organisme mengalami pertambahan ukuran, masa serta<br />
jumlah dari komponen-komponen penyusunnya.<br />
Pertumbuhan dan aktivitas mikroba sangat dipengaruhi oleh<br />
kondisi fisik dan kimia lingkungan tempat tumbuhnya.<br />
Dengan diketahui pengaruh lingkungan tersebut maka dapat<br />
dipelajari bagaimana penyebaran mikroorganisme di alam,<br />
sehingga dimungkinkan untuk menemukan metode<br />
pengendalian dan pemusnahan organisme yang dianggap<br />
merugikan. Ada beberapa faktor yang penting dalam<br />
mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan fungi.
Faktor-faktor tersebut antara lain cahaya, suhu, air, pH,<br />
sumber karbon, vitamin, oksigen, gas CO2, bahan atsiri,<br />
sumber nitrogen, hara mineral dan hormon.<br />
KOTAK 4.1<br />
KAPUR UNTUK TUMOR<br />
Kapur dan garam ternyata efektif mengendalikan <strong>karat</strong><br />
<strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong>, itu dibuktikan dalam riset Pusat Penelitian<br />
dan Pengembangan Hutan Tanaman Bogor, di perkebunan PT.<br />
Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sepuluh kg<br />
kapur dan 1 kg garam dapur dilarutkan dalam 10 liter air.<br />
Setelah tercampur sempurna, larutan dilaburkan <strong>pada</strong> batang<br />
<strong>sengon</strong>. Aplikasi itu ampuh menekan pertumbuhan <strong>tumor</strong><br />
96,67%. Hasil itu diperoleh setelah 2 kali perlakuan dengan<br />
interval 2 pekan terhadap 64 pohon uji. Sebelum pengolesan,<br />
peneliti membersihkan <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> setiap pohon terserang,<br />
caranya <strong>tumor</strong> yang menempel dipangkas. Tumor yang<br />
terkumpul dikubur dalam tanah dengan kedalaman 1 – 2 meter<br />
agar tidak menular. Selanjutnya larutan campuran kapur dan<br />
garam dilaburkan atau disemprotkan di bagian batang utama<br />
<strong>sengon</strong>. Untuk pelaburan sebaiknya konsentrasi larutan lebih<br />
pekat. Sebelum disemprotkan, larutan disaring terlebih dahulu.<br />
Setelah pelaburan, ternyata <strong>tumor</strong> tak muncul lagi. Padahal<br />
lazimnya <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> datang lagi meski benjolan telah dibuang.<br />
Pilihan lain, belerang dicampur kapur dengan perbandingan 1 :<br />
1. Campuran kemudian dilarutkan dalam 10 liter air. Laburkan<br />
atau semprotkan di batang utama <strong>sengon</strong>. Cara itu ampuh<br />
menekan penyebaran <strong>tumor</strong> 96,06%. Metode pelaburan hanya<br />
efektif untuk tanaman berumur 0 – 3 tahun. Setelah itu<br />
pertumbuhan <strong>sengon</strong> yang menjulang tidak memungkinkan<br />
perlakuan dilaksanakan. (Dra. Illa Anggraeni, peneliti<br />
Perlindungan Hutan, Pusat <strong>Litbang</strong> Hutan Tanaman, Bogor).<br />
Sumber: (Trubus 475- Juni 2009)<br />
45
46<br />
KOTAK 4.2<br />
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN<br />
PENYAKIT KARAT PURU<br />
(Siaran Pers Nomor : S.256/PIK-1?2009)<br />
Dewasa ini <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> puru/<strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> tanaman<br />
<strong>sengon</strong> telah menyerang semua provinsi di Pulau Jawas dan<br />
sebagian Pulau Bali. Akibat epidemi <strong>penyakit</strong> ini telah<br />
mengancam kelangsungan produksi dan pendapatan petani<br />
hutan rakyat di Jawa serta mengakibatkan gangguan serius<br />
terhadap penyediaan bahan baku dan kelangsungan industri<br />
kehutanan berbasis kayu <strong>sengon</strong> (plywood, rough sawnwood).<br />
Epidemi <strong>penyakit</strong> Karat puru/<strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> (gall rust) yang<br />
merusak seluruh bagian tanaman <strong>sengon</strong> (Paraserianthes<br />
falcataria) disebabkan oleh fungi (Uromycladium tepperianum).<br />
Upaya serius untuk pencegahan dan pengendalian <strong>penyakit</strong><br />
<strong>karat</strong> puru ini perlu dilakukan secara terpadu oleh <strong>Badan</strong><br />
<strong>Litbang</strong> <strong>Kehutanan</strong>, Ditjen BPK, Ditjen RLPS, Pusdiklat<br />
<strong>Kehutanan</strong>, Pusbinluh, Pusinfo, Perum Perhutani, PT Inhutani 1<br />
– V, APHI, APKINDO, dsb. Upaya pencegahan dan<br />
pengendalian dilakukan mencakup 3 (tiga) tahapan :<br />
1. Praepidemi : yaitu dengan cara promotif meliputi<br />
sosialisasi/diseminasi. Penyuluhan cara-cara<br />
pencegahan, serta preventif dengan menghindari<br />
tanaman monokultur. Cara ini meliputi kegiatan<br />
silvikultur antara lain : pengaturan jarak tanam,<br />
pemupukan yang tepat, pemangkasan, pengendalian<br />
gulma secara selektif, menggunakan pola tanam<br />
multikultur.<br />
2. Epidemi : yaitu dengan cara eradikasi: tebang pohon<br />
yang ber<strong>penyakit</strong>; isolasi : penjarangan pohon; terapi:<br />
dengan pengobatan campuran belerang, kapur dan<br />
garam dengan komposisi belerang 1 kg + kapur 1 kg<br />
(1:1) + air 10/20 liter diaduk hingga rata. Bagian<br />
tanaman yang terserang dibersihkan dari gallnya<br />
kemudian disemprot/dioles larutan belerang kapur.<br />
3. Pasca Epidemi : dengan cara rehabilitasi, pemuliaan<br />
pohon (benih, bibit unggul tahan <strong>penyakit</strong>), dan<br />
konversi jenis tanaman.<br />
Jakarta, 18 Mei 2009<br />
Kepala Pusat Informasi <strong>Kehutanan</strong>
Mekanisme suatu senyawa antimikroba dalam<br />
menghambat pertumbuhan mikroba adalah dengan cara<br />
sebagai berikut :<br />
1. Merusak dinding sel sehingga menyebabkan lisis atau<br />
menghambat proses pembentukan dinding sel <strong>pada</strong> sel-<br />
sel yang sedang tumbuh.<br />
2. Mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang<br />
meng-akibatkan kebocoran nutrien dari dalam sel.<br />
3. Mendenaturasi protein sel.<br />
4. Merusak sistem metabolisme di dalam sel dengan<br />
menghambat kerja enzim intraseluler.<br />
Dalam penelitian ini mekanisme biokimia seperti<br />
tersebut di atas diduga terjadi <strong>pada</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> yang diberi<br />
perlakuan belerang, kapur, kapur : belerang (1:1), belerang<br />
: garam (10:1) dan kapur : garam (10:1) dapat menekan<br />
pertumbuhan <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>. Indikator dari dugaan tersebut<br />
adalah menurunnya pertumbuhan <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> yang diberi<br />
perlakuan. Beberapa formula belerang anorganik telah<br />
terbukti sangat baik sebagai fungisida dan digunakan untuk<br />
mengendalikan beberapa <strong>penyakit</strong> tanaman. Unsur belerang<br />
dapat dipakai sebagai embusan, berupa tepung yang dapat<br />
larut (wettable powder), pasta atau cairan yang banyak<br />
digunakan untuk memberantas <strong>penyakit</strong> embun tepung<br />
(powdery mildew), tetapi juga efektif terhadap <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong><br />
tertentu, bercak daun (leaf blight) dan busuk buah. Belerang<br />
dipakai sebagai fungisida karena sifat fitotoksisitasnya,<br />
47
artinya kerusakan/keracunan terhadap tanaman yang lebih<br />
rendah dari<strong>pada</strong> logam berat. Tepung belerang (Umumnya<br />
digunakan dalam bentuk serbuk dengan partikel yang halus)<br />
dipakai sebagai fungisida untuk pemberantasan <strong>penyakit</strong><br />
tepung.<br />
48<br />
Untuk mengatasi terjadinya gumpalan <strong>pada</strong><br />
pengembusan biasanya ditambah dengan bahan karier<br />
seperti kaolin atau bentonit. Belerang fitotoksisitasnya lebih<br />
rendah dari<strong>pada</strong> logam berat dan dapat membunuh jamur<br />
dengan jarak waktu tertentu dengan lebih dulu membentuk<br />
gas. Oleh karena itu belerang bekerja baik bila temperatur<br />
rata-rata lebih tinggi dari 20 o C. Gas S02 yang terjadi akan<br />
berubah menjadi SO3 dan H2SO4 di dalam air. Dalam<br />
keadaan tertentu belerang dapat juga menyebabkan<br />
fitotoksis <strong>pada</strong> daun, pertumbuhan terhambat dan gugur<br />
misal <strong>pada</strong> daun melon (Cucumis melo L.) yang sangat<br />
peka. Sulfur atau belerang bekerja mengganggu transpor<br />
elektron sepanjang sitokrom jamur dan kemudian direduksi<br />
menjadi hidrogen sulfida (H2S) yang beracun terhadap<br />
sebagian besar protein selular. Selain itu campuran kapur<br />
dan belerang dengan perbandingan 1 : 1 juga dapat<br />
menekan serangan <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong>. Campuran kapur-<br />
belerang (Lime Sulfur) yang lebih dikenal dengan sebutan<br />
Bubur California, dapat digunakan sebagai semprotan untuk<br />
pohon buah-buahan yang dalam keadaan istirahat<br />
(dormancy), guna memberantas <strong>penyakit</strong> bercak (blight)<br />
atau antraknosa (anthracnose), embun tepung atau kudis
(scab), bercak coklat (brown spot) <strong>pada</strong> buah berbiji keras<br />
atau batu, <strong>penyakit</strong> daun <strong>pada</strong> peach (peach leaf). Bubur<br />
California selain sebagai fungisida juga mempunyai<br />
pengaruh sebagai insektisida. Bubur California dapat dibuat<br />
dengan jalan memasukkan tepung belerang ke dalam kapur<br />
kemudian diberi air. Campuran ini mengandung polisulfida-<br />
kapur (CaS.Sx) selain itu juga mengandung thiosulfat-kapur<br />
(CaS2O3). Kandungan belerang <strong>pada</strong> fungisida kapur-<br />
belerang dapat bertindak sebagai akseptor hidrogen dalam<br />
sistem metabolisme, yang bekerjanya mengganggu sistem<br />
hidrogenasi dan dehidrogenasi yang normal dalam sel.<br />
Fungisida kapur-belerang juga mengeluarkan uap yang<br />
mampu menghambat perkecambahan konidia cendawan.<br />
Sedangkan pemberian kapur secara tunggal berfungsi<br />
sebagai protektan atau pelindung atau penutup, sehingga<br />
batang, cabang maupun daun yang dilabur atau disemprot<br />
dapat terhindar dari spora cendawan di udara yang akan<br />
menempel.<br />
Pengaruh satu jenis antimikroba terhadap fungi akan<br />
berbeda-beda. Suatu antimikroba dapat bersifat fungistatis<br />
(antifungi) yaitu merupakan keadaan yang menggambarkan<br />
kerja suatu bahan yang menghambat pertumbuhan fungi.<br />
Sedangkan fungitoksik (fungisidal) merupakan keadaan<br />
yang menggambarkan kerja suatu bahan yang<br />
menghentikan pertumbuhan (membunuh) fungi. Dalam<br />
penelitian ini bahan-bahan yang digunakan seperti belerang,<br />
kapur dan garam ternyata bersifat fungistat yaitu bahan<br />
49
yang hanya menghambat pertumbuhan patogen sementara,<br />
bila bahan tersebut tidak diberikan maka patogen akan<br />
tumbuh kembali.<br />
50
5<br />
PENUTUP<br />
Serangan <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong> di Indonesia<br />
khususnya di Pulau Jawa terutama di Jawa Timur dan Jawa<br />
Tengah telah mencapai tingkat epidemik. Hal ini akan<br />
berdampak <strong>pada</strong> ketersediaan dan kesinambungan bahan<br />
baku untuk industri kayu berbasis <strong>sengon</strong>.<br />
Pengelolaan <strong>penyakit</strong> secara terpadu yang efektif dan<br />
efisien perlu dilakukan sesegera mungkin. Aplikasi<br />
perpaduan antara cara mekanik (pemangkasan <strong>tumor</strong><br />
sebelum perlakuan) dengan bahan-bahan seperti belerang,<br />
kapur, belerang-kapur, belerang-garam dan kapur-garam<br />
terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan (fungistatik)<br />
<strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong>.<br />
51
52<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5 th eds. Elsevier<br />
Academic Press. USA.<br />
Anggraeni, I. dan E. Santoso. 2003. Penyakit <strong>karat</strong> puru<br />
<strong>pada</strong> <strong>sengon</strong> (Paraserianthes falcataria) di Pulau<br />
Seram. Buletin Penelitian Hutan. No. 636/2003.<br />
Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor.<br />
Anggraeni, I. 2008. Penyakit <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> (gall rust) <strong>pada</strong><br />
tanaman <strong>sengon</strong> (Paraserianthes falcataria) di RPH<br />
Pandantoyo, BKPH Pare, KPH Kediri. Workshop<br />
Serangan Karat Tumor <strong>pada</strong> Sengon. Balai Besar<br />
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman<br />
Hutan. Yogyakarta 19 November 2008.<br />
Anggraeni, I. 2008. Penyakit <strong>karat</strong> puru <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong><br />
(Paraserianthes falcataria) dan teknik<br />
pengendaliannya. Booklet. Pusat <strong>Litbang</strong> Hutan<br />
Tanaman. Bogor.<br />
Anggraeni, I., B. Dendang dan N. E. Lelana. 2010.<br />
Pengendalian <strong>penyakit</strong> <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> (Uromycladium<br />
tepperianum (Sacc.) Mc. Alpin) <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong><br />
(Falcataria mollucana (Miq.) Barneby & J.W.<br />
Grimes) di Panjalu Kabupaten Ciamis Jawa Barat.<br />
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7 (5): 273-278.<br />
Departemen <strong>Kehutanan</strong> Republik Indonesia. Pencegahan<br />
dan pengendalian <strong>karat</strong> puru. Siaran pers No.<br />
S256/PIK – 2009. 18 Mei 2009.<br />
Departemen <strong>Kehutanan</strong> dan <strong>Badan</strong> Pusat Statistik. 2003.<br />
Potensi Hutan Rakyat Indonesia 2003. Jakarta<br />
Dick, M. 1985. Uromycladium rusts of Acacia. Forest<br />
Pathology in New Zealand No. 15. New Zealand
Forest Service. http//www.maf.govt.nz/sff/ . Diakses<br />
<strong>pada</strong> 27-10-2008.<br />
Djafaruddin. 2000. Dasar-dasar pengendalian <strong>penyakit</strong><br />
tanaman. Bumi Aksara. Jakarta.<br />
Hadi, S. 2001. Patologi Hutan. Perkembangannya di<br />
Indonesia. Fahutan IPB. Bogor.<br />
http://www.biotifor.or.id/index.php?action=news.detail &<br />
id_news = 12. Workshop Penanggulangan<br />
Serangan Karat Tumor <strong>pada</strong> Tanaman Sengon.<br />
Diakses 26 Juli 2009.<br />
http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fusection =<br />
berita cetak.detail beritacetak & id_b. 3/4/2009.<br />
Tumor Ancam Belasan Ribu Ha Sengon. Diakses<br />
26 Juli 2009.<br />
http://addthis.com/bookmark.php? V = 20. Petani Sengon Vs<br />
Karat Tumor. 10 Juni 2009. Diakses 26 Juli 2009.<br />
http://<strong>sengon</strong> merah.co.cc/tag/<strong>sengon</strong>.merah/Karat Tumor<br />
Serang Sengon. 1 April 2009. Diakses 26 Juli 2009.<br />
http://4.bp.blogspot.com/-dsnxEmbbokI/SsuR-Do.htI<br />
/AAAAAAAA x B4/.dp2k x<br />
EythA/s1600h/Sengonpun + bisa + <strong>tumor</strong>.jpg.<br />
Diakses 26 Juli 2009.<br />
http://4.bp.blogspot.com/-dsn xEmbbok I/SsuR-<br />
Do.htI/AAAAAAAA x B4/.dp2k x<br />
EythA/s1600h/Sengonpun + bisa + <strong>tumor</strong>.jpg.<br />
Serangan Tumor <strong>sengon</strong> meluas. Diakses 26 Juli<br />
2009.<br />
http://www.addthis.com/bookmark.php. v=10. Ribuan batang<br />
albasia terserang <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> by Republika<br />
Newsroom. Selasa, 26 Mei 2009. Diakses 26 Juli<br />
2009.<br />
53
Iskandar, M.I. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat <strong>sengon</strong><br />
(Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) untuk kayu<br />
rakitan. Prosiding Seminar Hasil <strong>Litbang</strong> Hasil<br />
Hutan 2006 : 183-195.<br />
Jakarta Global. 16 April 2009. Losses Growing as Fungus<br />
Leaves Trial of Destruction. http://www.the<br />
Jakartaglobe.com / home / article / 16659.html.<br />
Diakses 26 Juli 2009.<br />
Krisnawati, H., E. Varis, M. Kallio, and M. Kanninen. 2011.<br />
Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen: Ecology,<br />
Silviculture, Productivity. Center for International<br />
Forestry Research.<br />
Madigan MT., Martinko, JM., and Parker J. 1997. Biology of<br />
Microorganism. New Jersey. Prentise Hall, Inc.<br />
Nene, Y.I. 1971. Fungicide in plant diseases control. New<br />
Delhi.<br />
Old, K.M. 2002. Misi penelitian madre cacao. Laporan untuk<br />
klien, No. 1119 Juni 2002. Klien : Dinas<br />
Pembangunan Internasional Australia (Australian<br />
Agency for International Development). Produk<br />
Hutan dan <strong>Kehutanan</strong> CSIRO. Canberra.<br />
Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 2006. Kajian potensi kayu<br />
pertukangan dari hutan rakyat <strong>pada</strong> beberapa<br />
kabupaten di Jawa Barat. Prosiding Seminar Hasil<br />
<strong>Litbang</strong> Hasil Hutan 2006 : 35-48.<br />
Pelczar, MJ. dan ECS. Chan. 1986. Dasar-Dasar<br />
Mikrobiologi. Universitas Indonesia Press.Jakarta.<br />
Rahayu, S. 2008. Penyakit <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> <strong>pada</strong> <strong>sengon</strong>.<br />
Makalah Workshop Serangan Karat Tumor <strong>pada</strong><br />
Sengon. Yogyakarta 19 Nopember 2008.<br />
Santoso, H.B. 1992. Budidaya Sengon. Penerbit Kanisius<br />
Yogyakarta. Yogyakarta.<br />
54
Surya live. Jamur <strong>karat</strong> <strong>tumor</strong> serang Magelang. 26 Mei<br />
2009.<br />
Triharso. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman.<br />
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.<br />
Trubus. 2008. Pasar <strong>sengon</strong> sangat cerah.<br />
Trubus.2009. Cegah elmaut datang. Trubus 475 Juni<br />
2009/XL.<br />
55
Tabel 2.2. Populasi Pohon Tanaman Sengon Yang Dikuasai/ Diusahakan Rumah Tangga<br />
JAWA<br />
Uraian<br />
Jumlah<br />
RTK<br />
Rumah Tangga <strong>Kehutanan</strong> RT Usaha BMU<br />
Jumlah<br />
Pohon<br />
Jml Phn<br />
Siap Tebang<br />
Jumlah<br />
RT Usaha<br />
a. Absolut 1 983 192 50 075 525 19 579 689 355 424<br />
b. Persentase<br />
Jumlah<br />
Pohon<br />
28 701<br />
Jml Phn<br />
Siap Tebang<br />
783 14 205 763<br />
•Thd total 85,63 83,69 79,55 87,44 83,97 77,91<br />
•Siap tebang 39,10 49,49<br />
c. Rata-rata 25,25 9,87 80,75 39,97<br />
LUAR JAWA<br />
a. Absolut 332 780 9 758 776 5 033 539 51 051 5 481 076 4 027 273<br />
b. Persentase<br />
•Thd total 14,37 16,31 20,45 12,56 16,03 22,09<br />
•Siap tebang 51,58 73,48<br />
c. Rata-rata 29,33 15,13 107,36 78,89
INDONESIA<br />
a. Absolut 2 315 972 59 834 301 24 613 228 406 475<br />
b. Persentase<br />
34 182<br />
859 18 233 036<br />
•Thd total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00<br />
•Siap tebang 41,14 53,34<br />
c. Rata-rata 25,84 10,63 84,10 44,86<br />
Sumber:Dephut&BPS(2003).
BIODATA PENULIS<br />
Dra. Illa Anggraeni dilahirkan di Malang, tanggal 7<br />
April 1958. Menamatkan Sekolah Dasar di Mardi<br />
Yuana di Sukabumi <strong>pada</strong> tahun 1970, Sekolah<br />
Menengah Pertama Negeri I di Bogor <strong>pada</strong> tahun<br />
1973, dan Sekolah Mengah Atas Negeri II di Bogor<br />
<strong>pada</strong> tahun 1976. Gelar Sarjana Strata Satu (Dra.)<br />
diperoleh <strong>pada</strong> tahun 1983 <strong>pada</strong> Fakultas Biologi<br />
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)<br />
Purwokerto. Pada tahun 1984 – 1991 menjadi guru<br />
mata pelajaran Biologi Di SMAK Tunas Harapan Bogor. Juli tahun 1991<br />
penulis diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di <strong>Badan</strong><br />
Penelitian dan Pengembangan <strong>Kehutanan</strong> dengan jabatan fungsional<br />
calon peneliti Bidang Perlindungan Hutan. Tahun 1996 Asisten Peneliti<br />
Muda, tahun 1998 Ajun Peneliti Muda, tahun 2000 Ajun Peneliti Madya,<br />
tahun 2002 Peneliti Muda, tahun 2004 Peneliti Madya Gol.IV/b, tahun<br />
2007 Peneliti Madya Gol.IV/c, tahun 2011 Peneliti Utama. Pada tahun<br />
2003 – 2011 menjabat Ketua Kelompok Peneliti Perlindungan Hutan di<br />
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan<br />
Bogor (Pusprohut). Penulis mendapat Penghargaan Satya Lancana Karya<br />
Satya 10 tahun <strong>pada</strong> tahun 2007 dan Satya Lancana Karya Satya 20<br />
tahun <strong>pada</strong> tahun 2011.<br />
Neo Endra Lelana, S.Si, M.Si. saat ini<br />
merupakan peneliti bidang Perlindungan Hutan<br />
<strong>pada</strong> Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />
Peningkatan Produktivitas Hutan, Kementerian<br />
<strong>Kehutanan</strong>. Penulis dilahirkan di Sukoharjo,<br />
tanggal 6 Nopember 1978. Menamatkan Sekolah<br />
Dasar di SDN Kleco 1 Surakarta <strong>pada</strong> tahun 1990,<br />
Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 di Surakarta<br />
<strong>pada</strong> tahun 1993, dan Sekolah Mengah Atas<br />
Negeri 7 Surakarta <strong>pada</strong> tahun 1996.<br />
Gelar Sarjana diperoleh <strong>pada</strong> tahun 2002 <strong>pada</strong> Jurusan Biologi, Fakultas<br />
MIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan gelar Master<br />
bidang Bioteknologi diperoleh <strong>pada</strong> tahun 2009 dari Institut Pertanian<br />
Bogor (IPB). Pernah menjadi asisten penelitian bidang genetika molekuler<br />
<strong>pada</strong> Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta<br />
selama 2 tahun sebelum berkarir di Departemen <strong>Kehutanan</strong> <strong>pada</strong> tahun<br />
2004. Pada tahun 2004-2009 mulai berkarir <strong>pada</strong> Kelti Biologi Pusat<br />
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan sebagai peneliti organisme<br />
perusak kayu dan pengawetan kayu. Pada tahun 2009 bergabung <strong>pada</strong><br />
Kelti Perlindungan Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan<br />
Peningkatan Produktivitas Hutan sebagai peneliti hama dan <strong>penyakit</strong><br />
tanaman hutan.