Media-Pusdiklat-BMKG-7-2020

25.08.2020 Views

M e D i AP U S A T P E N D I D I K A N D A N P E L A T I H A NM e d i a E d u k a s i d a n I n f o r m a s i K e d i k l a t a n B M K GE d i s i 07 / 2020Membangun Awareness MasyarakatAkan Kewaspadaan Bencana AlamI S S N : 2 4 0 6 - 9 7 5 2

M e D i A

P U S A T P E N D I D I K A N D A N P E L A T I H A N

M e d i a E d u k a s i d a n I n f o r m a s i K e d i k l a t a n B M K G

E d i s i 07 / 2020

Membangun Awareness Masyarakat

Akan Kewaspadaan Bencana Alam

I S S N : 2 4 0 6 - 9 7 5 2


UPDATE

Terus Kami

pusdiklat.bmkg.go.id

untuk informasi berbagai

pengembangan kompetensi

ASN BMKG (Smart

ASN)

E-mail: pusdiklat@bmkg.go.id

Connect with us:

PUSDIKLAT.BMKG

PUSDIKLATBMKG

@PUSDIKLAT_BMKG

PUSDIKLAT BMKG

Mendidik Melatih

Melayani Mandiri Inovasi

4MI (four-me)

2

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Dari Redaksi

DITERBITKAN OLEH

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BMKG

Jl. Angkasa I, No. 2 Kemayoran

Jakarta Pusat 10720

PENANGGUNGJAWAB

Maman Sudarisman

PENGARAH

Abdul Kamid

Achmad Supandi

Adityawarman

PIMPINAN REDAKSI

Nurhidayat

REDAKTUR PELAKSANA

Arisman

Asep Jamaludin Malik

Imbuh Yuwono

REDAKSI

Nurahmini

Sarimang Aisah Jamco

SEKRETARIAT

Ika Nurmalasari

Widarsih Ariessanti

ARTISTIK & TATA LETAK

Deni Saiful

Telp. (021) 65867058

Fax (021) 65867058

E-mail: buletin.pusdiklat@bmkg.go.id

Dalam edisi 07 tahun 2020 ini MEDIA PUSDIKLAT BMKG mengusung tema

utama “Membangun Awareness Masyarakat Akan Kewaspadaan Bencana

Alam”. Tema utama ini diangkat sejalan dengan kondisi saat ini bahwa

Indonesia sering mengalami ancaman bencana alam dan salah satu fungsi

BMKG adalah memberikan informasi kepada stakeholder berkenaan dengan

perubahan iklim, peringatan dini bencana karena faktor meteorologi,

klimatologi, dan geofisika.

Seiring dengan Hari Meteorologi Dunia ke -70 tahun yang jatuh ada tanggal

23 Maret 2020 dengan tema Iklim dan Air Untuk Kehidupan, BMKG mengajak

kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan mitigasi

dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan air. Hal ini disampaikan

berdasarkan semakin meningkatnya frekwensi bencana hidrometeorologis

yang diakibatkan oleh perubahan iklim, seperti kekeringan yang berdampak

pada ketersediaan air bersih, kebakaran hutan dan lahan, curah hujan ekstrem

yang memicu banjir di beberapa tempat di awal tahun 2020. Bencana ini

berdampak luas dan diprediksi akan terus meningkat berdasarkan proyeksi

perubahan iklim di masa mendatang. Salah satu dampak dari perubahan

iklim ini adalah cadangan ketersediaan air yang semakin berkurang dan atau

menyebabkan kelebihan jumlah debit air pada waktu yang lain.

Dalam kurun waktu yang panjang iklim telah berubah. Perubahan itu ditandai

dengan adanya perubahan/kenaikan temperatur secara global, kenaikan tinggi

muka air laut, semakin sering terjadinya kondisi cuaca ekstrim dan lainnya,

serta terjadi perubahan pola curah hujan. Untuk meminimalisir korban jiwa

dampak kerugian serta kerusakan lingkungan maka salah satu cara yang bisa

dilakukan adalah membangun budaya sadar bencana. Mitigasi dan edukasi

terkait bencana harus diperkuat mulai dari dini, masyarakat harus sudah

mulai membudayakan prilaku sadar bencanam emperbanyak dan merutinkan

latihan-latihan penyelamatan yang dilakukan jika terjadi bencana. Selain itu

tata ruang kota juga harus diperhatikan, wilayah-wilayah rawan dan memiliki

potensi risiko tinggi saat terjadi bencana juga perlu dihindari agar tidak

terjadi kepadatan penduduk di wilayah tersebut. Jika proses mitigasi ini terus

difokuskan dan digencarkan, maka korban akan jauh bisa dikurangi bahkan

dihindari. BMKG berusaha untuk semakin kuat dalam memberikan edukasi

dan mitigasi bencana ke berbagai komunitas. Pembangunan kapasitas untuk

kesiapsiagaan masyarakat menjadi kunci keberhasilan operasional peringatan

dini bencana.

Dalam edisi 07 ini dibahas tentang kesadaran masyarakat tentang bahaya

bencana alam, policy tentang kebencananaan, pendidikan kebencanaan,

pentingnya literasi kebencanaan, teknologi informasi kebencanaan, dan lainlain.

Selamat membaca.

Pembaca yang budiman,

Dengan sepenuh hati kami mengucapkan banyak terima kasih kepada para

penulis yang telah mengirimkan artikelnya. Semoga MEDIA PUSDIKLAT BMKG

tetap mewarnai dan memberikan manfaat bagi para pembaca semuanya.

Rubrik-rubrik yang menarik tetap tersajikan pada edisi kali ini. Harapan kami

informasi yang kami sajikan dapat bermanfaat.

Rubrik-rubrik yang menarik tetap tersajikan pada edisi kali ini. Harapan kami

informasi yang kami sajikan dapat bermanfaat.

Salam,

Redaksi

Redaksi menerima kiriman artikel atau tulisan lain yang (1) bersifat popular

dan (2) sesuai dengan isi Buletin Media Pusdiklat BMKG (3) Panjang tulisan

minimal 400 kata, maksimal 2000 kata (4) Pengiriman naskah dapat dilakukan

melalui e-mail ke buletin.pusdiklat@bmkg.go.id, disertai dengan data diri

berupa biografi singkat dan alamat, nomor telepon, fax, atau e-mail (bila

ada) (5) Naskah yang tidak dimuat biasanya tidak dikembalikan, kecuali atas

permintaan penulis (6) Redaksi berhak melakukan perubahan naskah tanpa

mengubah isi dari tulisan.

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 3


DAFTAR ISI

BAHASAN UTAMA 5

Menuju BMKG Corporate University 5

Membangun Masyarakat Tangguh Terhadap Bencana Alam Di Indonesia 6

Memahami Kebijakan dalam Pengelolaan Bencana di Indonesia 9

Pendidikan Kebencanaan Kepada Masyarakat di Negeri Kaya Bencana 13

Literasi Kebencanaan Indonesia Sangat Penting 15

Peran Teknologi Informasi Dalam Meminimalisir Dampak Bencana 18

Dengan Data Akurat Dampak Bencana Dapat Di Kerat 21

SERAMBI ILMU 32

Bagaimana Pertumbuhan Awan Cb saat Banjir Jabodetabek, Januari 2020? 25

“Expose Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (Lakip) Pusat Pendidikan Dan Pelatihan

Periode Renstra 2014-2019”

Memotret Kebutuhan Diklat melalui AKPK 32

29

Training Development Plan Group Fellowship Training On The Enhancement Of NWP WMO –

BMKG

36

Skala Likert Bukan Skala Ribet 39

OPINI 34

Plus Minus Pegawai WFH (Work From Home) 42

“Berlakunya Ketentuan Bendahara Nasional Tersertifikasi” 45

Mengemas Revolusi Transformasi Digital Dan Tantangannya 47

Pemahaman Tentang Proses Sertifikasi Profesi Dalam Standar Kompetensi Kerja

Nasional Indonesia

49

Menulis Saja Dulu!, Tak Perlu Menunggu Sempurna 54

KISAH INSPIRATIF 57

SERBA - SERBI 59

RESENSI BUKU 61

4

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


BMKG

MENUJU BMKG

CORPORATE UNIVERSITY

Salah satu Engine Strategis suatu organisasi yang mengintegrasikan apa yang telah tersedia, yaitu

sumber daya, proses bisnis, dan orang-orang terlibat dalam proses PEMBELAJARAN untuk mencapai

performansi terbaik dan secara terus menerus meningkatkan Knowledge, Skill dan Attitude dari orangorang

yang berada dalam ekosistem Organisasi dengan didukung oleh Pengelolaan Pengetahuan

(Knowledge Management).

LEARNING FOCUS Corporate University

Visi, Misi, dan Sasaran KinerjaO rganisasi

Pembelajaran Terstruktur

Memperkuat

Performance

Individu

Pembelajaran di Komunitas: Coaching, Mentoring, Feedback,

Communi es ofp rac ce

Pengalaman dan Pembelajaran terintegrasi di Tempat Kerja: Assignment, Probl

em solving, OJT, Internship, Task force, Secondment,R otasi

Budaya Belajar

[Learning with

Passion] &U tilisasi

Knowledge

Management

System

Memperkuat

Performance

Organisasi

Identifikasi Kebutuhan Pembelajaran

B e l a j a r

Dimana Saja,

Kapan Saja,

Oleh Siapa Saja

Drs. Maman Sudarisman, DEA

Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 5


MEMBANGUN MASYARAKAT TANGGUH

TERHADAP BENCANA ALAM DI INDONESIA

lahan sebanyak 78 kejadian, gelombang pasang dan abrasi

sebanyak 2 kejadian dan gempa bumi 1 kejadian. Dampak

dari bencana tersebut sekitar 12.942 rumah rusak dengan

rincian 3.106 rumah rusak berat, 1.876 rumah rusak

sedang dan 7.960 rumah rusak ringan. Selain itu terdapat

311 fasilitas umum mengalami kerusakan dengan rincian

162 fasilitas pendidikan, 133 fasilitas peribadatan, dan

16 fasilitas kesehatan, 51 kantor rusak dan 137 jembatan

mengalami kerusakan akibat bencana.

PERJALANAN SEJARAH MASYARAKAT DALAM KESIAP-

SIAGAAN BENCANA

CATATAN PERISTIWA BENCANA DI INDONESIA PADA

AWAL TAHUN 2020

Gemah ripah loh jinawi adalah semboyan terkenal yang

disandang oleh Negara Indonesia sejak dulu yang

mengandung makna betapa kaya rayanya alam Indonesia.

Gemah ripah loh jinawi dapat pula diartikan kekayaan

alam yang melimpah dan saking berlimpahnya, ada pula

ungkapan dari sebuah lagu, “Tanah kita tanah surga, batu

dan tongkat jadi tanaman”.

Namun dibalik itu semua Indonesia juga merupakan negara

yang sangat rawan terhadap bencana. Indonesia dihimpit

oleh dua benua yaitu Asia dan Australia, dua samudera yaitu

Hindia dan Pasifik, tiga lempeng tektonik yaitu Indo-Australia,

Eurasia, dan Pasifik, jalur cincin api Pasifik, serta jalur

sabuk gempa Alpide sehingga sangat rawan terhadap bahaya

gempabumi, tsunami, letusan gunung api, gelombang

pasang, abrasi dan putting beliung.

Pada sisi lain, wilayah Indonesia juga terletak di daerah iklim

tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan

ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin

yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan

dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang

relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, memang

menghasilkan kondisi tanah yang subur. Namun, kondisi

itu juga dapat menimbulkan beberapa akibat buruk

bagi manusia. Seperti terjadinya bencana hidrometeorologi

seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan

kekeringan dan becna alam lainnya.

Menyuplik dari Sindonews.com yang dirilis tanggal 10 Maret

2020 menyebutkan bahwa Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB) mencatat bahwa dari tanggal 1 Januari

hingga 10 Maret 2020 total 823 bencana telah melanda

Indonesia dengan rincian 136 orang meninggal, 4 orang

hilang, 195 orang luka-luka, 1.564.943 orang terdampak

dan mengungsi.

Bencana tersebut didominasi oleh bencana banjir sebanyak

311 kejadian, angin putting beliung sebanyak 253 kejadian,

tanah longsor sebanyak 176 kejadian, kebakaran hutan dan

Bencana dapat terjadi secara tiba-tiba misalnya Gempabumi

atau melalui proses yang berlangsung perlahan-lahan

misalnya letusan gunung api, kekeringan, banjir, merupakan

bencana yang dapat diperkirakan sebelumnya, atau dapat

diperkirakan melalui berbagai indikator. Sedangkan bencana

karena ulah manusia muncul karena tidak adanya kearifan

dalam memanfaatkan lingkungan, antara lain banjir, tanah

longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan polusi serta

kegagalan teknologi lainnya.

Kesadaran dan kepedulian akan pentingnya kesiapsiagaan

masyarakat terhadap bencana terasa sangat penting

saat setelah terjadi mega bencana Tsunami di Aceh 2004

yang menggemparkan dunia. Pengalaman yang sangat

pahit ini memberi pelajaran yang sangat berharga bahwa

masyarakat mutlak dan harus terlibat dalam kegiatan kesiapsiagaan

mengantisipasi bencana. Ketika terjadi tsunami,

masyarakat tidak siap dan hampir seluruh instansi

pemerintah yang berwenang mengatur dan memberikan

bantuan terhadap korban di Aceh “lumpuh” Sebagian

kecil aparat pemerintah menjadi korban, sedangkan

aparat yang masih hidup, sibuk menyelamatkan diri dan

anggota keluarganya. Bantuan dari luar daerah juga

tidak segera tiba, mengalami hambatan karena rusaknya

infrastruktur, seperti: jalan, jembatan, dan pelabuhan

sehingga banyak korban yang tidak dapat diselamatkan

karena kurang dan lambatnya pertolongan. Belajar dari

peristiwa inilah partisipasi masyarakat sangat penting

dalam penanggulangan bencana bersama-sama dengan

pihak berwenang atau pemerintah.

Sumber: Foto/BNPB/Dok

6

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Bahasan Utama

PERLU ADANYA PERUBAHAN MINDSET MASYARAKAT

TENTANG KESIAPSIAGAAN BENCANA

Pada awalnya penanganan bencana hanya berdasarkan

pada pengalaman berbagai kejadian bencana alam yang

dilakukan setelah kejadian bencana. Penanganan bencana

difokuskan pada upaya merespon keadaan darurat

bencana. Pemerintah dan stakeholders bencana sibuk

menangani korban bencana dan memenuhi kebutuhan

dasar masyarakat yang terpaksa mengungsi. Walaupun

sering dilakukan, upaya ini masih sering mengalami banyak

kendala, misalnya bantuan yang datang terlambat atau

tidak merata seringkali menimbulkan konflik atau masalah

baru di tingkat grassroots atau masyarakat ditingkat bawah

sebagai korban bencana. Sedangkan di pihak pemerintah,

setelah masa tanggap darurat, sibuk menangani kegiatan

rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.

Cara penanganan bencana yang sifatnya responsif seperti

ini sangat tidak efektif dalam mengurangi risiko bencana.

Masyarakat akan tetap panik apabila bencana alam tersebut

kembali terjadi di daerah rawan yang lain karena masyarakat

banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dan

bagaimana menyelamatkan diri. Dampaknya adalah masih

banyak masyarakat yang menjadi korban bencana. Gambaran

seperti inilah yang masih sering terjadi dan berulang

diberbagai wilayah di Indonedia. Banyaknya korban jiwa

dan orang hilang pada kejadian-kejadian bencana alam

di Indonesia menggambarkan kurangnya kesiapsiagaan

masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Keadaan

ini mencerminkan kurangnya pengetahuan dan minimnya

informasi mengenai fenomena alam yang terjadi.

Melihat kondisi seperti ini segera perlu adanya perubahan

mindset masyarakat dari respon terhadap bencana menjadi

kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana. Hal ini

menjadi sangat krusial dan penting untuk segera dilakukan.

Pentingnya kesiapsiagaan masyarakat ini terutama berkaitan

dengan kondisi fisik dan lingkungan yang berisiko tinggi

terhadap bencana.

PERAN PEMERINTAH DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT

TANGGUH MENGHADAPI BENCANA

Seiring dengan perjalanan waktu maka dan besarnya potensi

ancaman bencana alam di Indonesia maka pemerintah

dengan berbagai elemen lainnya harus segera mengambil

langkah di antaranya pemeintah membentuk Badan

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mempunyai

tugas melakukan penanggulangan bencana sesuai dengan

amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana dan Peraturan Presiden Nomor

8 Tahun 2008 yang kemudian diganti dengan Peraturan

Presiden Nomor 1 Tahun 2019. Tugas BNPB tersebut adalah

mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan

penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu; serta

melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan mulai

dari sebelum, pada saat, dan setelah terjadi bencana yang

meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, penanganan darurat,

dan pemulihan.

Pada tujuan membangun masyarakat yang tangguh, selain

tugas diatas BNPB bekerjasama dengan stakeholder yang

lain harus mampu memberikan edukasi kepada masyarakat

Sumber: Foto/BNPB/Dok

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 7


agar masyarakat selalu siap siaga dan tanggap terhadap

bencana. Apa yang sebaiknya dilakukan harus disampaikan.

Pada prakteknya, pemerintah harus memberikan edukasi

dan simulasi yang baik sebab setidaknya pemerintah

tahu persis mengenai bencana apa yang sering melanda

wilayah tersebut. Dengan begitu, pemerintah bisa membuat

rencana tepat yang nantinya dapat disimulasikan kepada

masyarakat. Kegiatan simulasi juga harus dilakukan secara

kontinu agar masyarakat lebih sadar akan bahaya bencana.

Dengan pembelajaran seperti ini, diharapkan timbul

kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga alam dan

apabila ada bencana masyarakat sudah waspada dan siap

siaga sehingga pada akhirnya korban akibat bencana dapat

diminimalisir.

BENTUK-BENTUK EDUKASI KEPADA MASYARAKAT

TENTANG KEBENCANAAN

Dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang kesiapsiagaan

menghadapi bencana, perlu ada langkah-langkah

yang harus dilakukan oleh pemerintah.

1. Membuat Langkah-Langkah Kebijakan

Langkah awal yang harus dilakukan adalah penerapan

kebijakan pembangunan, pembelajaran dan pelatihan

yang disajikan dalam suatu rangkaian yang menarik, kreatif

sebagai langkah antisipasi bencana yang dapat menimbulkan

korban jiwa, kerugian materi, kerusakan lingkungan, dan

dampak kerusakan lainnya. Langkah ini dapat melibatkan

beberapa instansi serta pemangku kepentingan di bidang

bencana, BNPB sebagai kepanjangan tangan pemerintah

dapat bekerjasama dengan BMKG, PVMBG, Kementerian

Kominfo, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, BPBD

Pusat & daerah, Perguruan Tinggi serta Lembaga Swadaya

Masyarakat untuk membuat kajian bersama tentang standar

tata ruang dan bangunan. Misalnya BMKG mengkaji tentang

wilayah-wilayah yang berpotensi gempa dan tsunami, PVM-

BG mengkaji daerah yang rentan bencana geologi seperti

struktur geologi dan litologi, BNPB mengeluarkan peta risiko,

dan Kementerian PUPR membuat standar untuk bangunan

yang tahan terhadap bencana (gempa bumi, tsunami, dan

kebakaran).

2. Membuat Program Penyuluhan Pencegahan, Kesiapsiagaan,

dan Mitigasi Bencana

Program penyuluhan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan

memberikan materi atau pembelajaran kepada

masyarakat tentang bencana, baik dalam tahap kesiapsiagaan,

tanggap darurat, dan pasca bencana. Penyuluhan

dilakukan dalam bentuk sosialisasi ke masyarakat serta

beberapa sekolah mengenai cara evakuasi diri saat

bencana,

sebab dan akibat dari suatu bencana, dan bagaimana

mengantisipasi bencana tersebut. Namun demikian

kearifan lokal masyarakat dalam penanggulangan bencana

tetap diperhatikan.

3. Membuat Simulasi Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Mitigasi

Bencana

Kegiatan simulasi merupakan kegiatan praktik yang

dilakukan setelah rangkaian kegiatan penyuluhan. Agar

kegiatan simulasi ini berjalan dengan baik sesuai tujuan,

maka harus dipandu oleh lembaga yang berwenang dalam

hal ini adalah BNPB dan bekerja sama dengan kementerian

atau lembaga terkait misalnya BMKG, PVMBG, Kementerian

Kominfo, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, BPBD Pusat &

Sumber: Foto/BNPB/Dok

daerah, Perguruan Tinggi, Tokoh-Tokoh Adat atau Agama,

dan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya. Sasaran dari

kegiatan ini adalah masyarakat pada wilayah yang berisiko

bencana..

Jenis simulasi akan bergantung pada potensi bencana yang

terjadi di daerah tertentu. Pelatihan bencana Simulasi

ini menjelaskan secara rinci penanggulangan bencana,

termasuk tahap tanggap darurat. Contohnya, penentuan

jalur evakuasi dan titik kumpul serta proses evakuasi dalam

simulasi gempabumi dan tsunami secara partisipatif.

Adanya sistem penanggulangan bencana yang teratur

dan inovatif tentunya sangat membantu meningkatkan

kesadaran masyarakat terkait potensi bencana alam yang

terjadi di daerah. Kolaborasi antara masyarakat dan pihak

pemangku kepentingan dapat mewujudkan sinergi yang

baik dalam penanganan bencana. Edukasi bencana alam

diharapkan dapat dikemas dalam bentuk dan cara yang

menarik, misalnya melalui media sosial, agar dapat dijangkau

oleh semua kalangan, mengingat kondisi Indonesia yang

berada di jalur ring of fire.

Referensi :

1. Amri dkk. (2016). Risiko Bencana Indonesia. Jakarta:

Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

2. https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Nasional_

Penanggulangan_Bencana

3. https://siaga.bnpb.go.id/hkb/po-content /uploads/documents/buku_panduan_latihan_kesiapsiagaan_bencana_

revisi_april_2017.pdf

4. https://nasional.sindonews.com/read/1551763/15/bnpb-sebut-periode-januari-maret-2020-terjadi-823-bencana-1583830589

Nurhidayat, M.Sc.

(Widyaiswara Madya)

8

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Bahasan Utama

Memahami Kebijakan dalam Pengelolaan Bencana

di Indonesia

Pendahuluan

Dalam periode beberapa tahun terakhir, Indonesia sering

mengalami kejadian bencana yang cukup besar dan

memberikan dampak yang signifikan, baik dari segi korban

jiwa, infrastruktur, ekonomi, maupun sosial. Dampak yang

ditimbulkan dari kejadian bencana cukup berbeda dari satu

bencana dengan bencana lainnya. Peristiwa bencana yang

masih hangat dan menjadi perbincangan masyakarat luas

adalah kejadian bencana banjir di sejumlah wilayah di Indonesia

pada periode awal bulan Januari hingga Maret. BMKG

menyebutkan bahwa banjir yang kerap terjadi ini disebabkan

salah satunya karena faktor curah hujan yang tinggi.

Sepanjang tahun 2019 BNPB telah mencatat 3768 kejadian

bencana alam yang terjadi di Indonesia. Menurut BNPB,

dampak korban jiwa akibat bencana yang terjadi di

sepanjang 2019 sebanyak 478 orang meninggal dunia.

Selain itu, 109 orang hilang, 6,1 juta jiwa mengungsi dan

3419 orang mengalami luka-luka. Sedangkan data kerusakan

tercatat 73.427 rumah rusak yang terdiri daria 15.765 rumah

rusak berat, 14.548 rusak sedang dan 43.114 rusak ringan,

kemudian fasislitas rusak tercatat 2.017 meliputi 1121

sekolah, 684 rumah ibadah, 212 fasilitas kesehatan, 274

akantor dan 442 jembatan (http://dibi.bnpb.goi.d). Diantara

peristiwa bencana tersebut didominasi bencana hidrometeorologi,

dan geologi. Bencana hidrometeorologi adalah

bencana alam seperti banir, longsor, dan puting beliung.

Bencana ini terjadi sebagai dampak dari fenomena meterologi,

seperti angina kencang, hujan lebat, dan gelombang

tinggi. Sedangkan bencana geologi adalah bencana alam

yang terjadi di permukaan seperti gempa bumi, tsnunami,

tanah longsor, dan gunung meletus.

Dengan melihat kondisi yang demikian, maka diperlukan

upaya bagi semua pihak, baik pemerintah maupun masyakarat

untuk lebih memahami kembali beberapa kebijakan

dalam pengelolaan bencana sehingga dengan demikian

akan memberikan gambaran yang jelas ketika akan

mengambil keputusan terkait penanggulangan bencana

sampai ke masyarakat. Berbagai kebijakan yang berlaku di

Indonesia, selain mengacu pada Konsensus Internasional

juga ditetapkan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah

Indonesia sebagai acuan dalam pengelolaan kebencanaan.

Regulasi Internasional

Organisasi Dunia yang menangani dalam pengurangan

risiko bencana adalah UNDRR (United Nation Of Disaster

Risk Reduction). Indonesia menunjuk BNPB sebagai lembaga

pemerintah non kementerian yang diberikan wewenang

untuk menjalankan fungsi penanggulangan bencana di

lingkup nasional. Dalam menjalankan fungsi pengelolaan

kebencanaan BNPB tidak dapat berdiri sendiri, karena harus

melibatkan banyak mitra baik pemerintah pusat seperti

BMKG, BPPT, BIG, Kementerian ESDM, Kementrian Sosial,

BPBD, pemerintah daerah dan masyarakat.

Hyogo Framewok for Action

Pada Januari 2005, 168 perwakilan dari pemerintahan

negara-negara berkesepakatan menyusun dokumen perencanaan

yang digunakan untuk 10 tahun kedepan untuk

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 9


membuat dunia lebih aman dari ancaman bahaya dari alam

pada Konferensi Pengurangan Risiko Bencana, di Konferensi

Dunia di Hyogo, Kobe Japan. Hyogo Framework for Action

atau dikenal HFA merupakan blueprint global dalam

upaya pengurangan risiko bencana antara tahun 2005

sampai dengan 2015. Tujuannya adalah secara substansi

mengurangi hilangnya nyawa manusia, sosial, ekonomi, dan

aset lingkungan di suatu negara terdampak.

Pada akhir 2015, menjelang Konferensi Dunia PBB Ketiga

tentang Pengurangan Risiko Bencana, UNDRR meminta

kepada negara-negara anggota untuk menyerahkan

dokumentasi film yang berisi perayaan keberhasilan implementasi

Kerangka Aksi Hyogo (HFA), dan menyoroti isu-isu

penting untuk kerangka pasca 2015.

Sendai Framework

Pada 18 Maret 2015, Negara-negara anggota PBB

mengadopsi Sendai Framework for Disaster Reduction 2015-

2030. Yang merupakan kelanjutan dari Hyogo Framework for

Action. Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-

2030 (Sendai Framework) atau yang biasa dikenal Kerangka

Sendai (SF) merupakan kesepakatan utama negara-negara

yang dibuat setelah 2015 dalam aksi untuk menanggulangi

risiko kebencanaan.

Kerangka Sendai merupakan kerja dari tangan ke tangan

dari beberapa kesepakatan, termasuk The Paris Agreement

on Climate Change (Kesepakatan Paris), The Addis Ababa Action

Agenda on Financing for Development (Kesepakatan Addis

Ababa dalam Keuangan Pembangunan), the New Urban

Agenda, dan beberapa kesepakatan lainnya. SF diparakarsasi

oleh Sekretaris Jenderal PBB yang mengikuti Konferensi

ke-3 UN World Conference on Disaster Risk Reduction (WC-

DRR) pada tahun 2015.

Sendai Framework (SF) ini merupakan instrument lanjutan

(suksesor) dari Hyogo Frame for Action (HFA) 2005-2015: Building

the Resilience of Nations and communities to Disasters.

Kerangka Sendai berfokus pada penerapan langkah-langkah

yang membahas tiga dimensi risiko bencana (paparan bahaya,

kerentanan dan kapasitas, dan karakteristik bahaya)

untuk mencegah penciptaan risiko baru, mengurangi risiko

yang ada, dan meningkatkan ketahanan. Kerangka Sendai

menguraikan tujuh target global untuk membimbing dan

melawan yang menilai kemajuan.

Tujuh target global dan 38 indikator global akan mengukur

kemajuan yang dibuat oleh semua negara pada pengurangan

risiko bencana pada tahun 2030. Ini akan berkontribusi pada

analisis global informasi tingkat negara yang disampaikan

oleh negara dan didokumentasikan dalam Laporan Penilaian

Global dua tahunan.

Dari kesepakatan Sendai ini mempunyai 7 (tujuh) target

global yang hendak dicapai, yaitu:

1. Mengurangi angka kematian akibat bencana global

2. Mengurangi orang yang terkena dampak bencana global

3. Mengurangi kerugian langsung yang berdampak pada

GDP

4. Mengurangi kerusakan infrastruktur utama dan

gangguan layanan dasar masyarakat

5. Meningkatkan strategi pengurangan risiko bencana tingkat

nasional dan internasional

6. Menguatkan substansi dalam kerjasama internasional

dengan negara-negara berkembang

7. Meningkatkan kemampuan dalam peringatan dini multi

bencana

Dalam mewujudkan 7 target global yang hendak dicapai

tersebut ada 4 (empat) program prioritas yang bisa dilakukan

yaitu:

1) Memahami Risiko Bencana

Manajemen risiko bencana harus didasarkan pada

pemahaman bahwa risiko bencana merupakan dimensi

dari kerentanan, kapasitas, biaya yang disediakan orang

terdampak, serta karakteristik bahaya dan lingkungan.

Pemahaman ini digunakan untuk penilaian risiko,

pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan respons.

2) Penguatan tata kelola manajemen risiko kebencanaan

Tata kelola risiko bencana di tingkat nasional, regional

dan global sangat penting untuk pencegahan, mitigasi,

kesiapsiagaan, tanggapan, pemulihan, dan rehabilitasi.

3) Berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana

untuk ketahanan

Investasi publik dan swasta dalam pencegahan dan

pengurangan risiko bencana melalui langkah-langkah

struktural dan non-struktural sangat penting untuk

meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial, kesehatan

dan budaya orang, masyarakat, negara dan aset mereka,

serta lingkungan.

4) Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon

yang efektif dan untuk “Membangun Kembali dengan

Lebih Baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi

10

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Pertumbuhan risiko bencana berarti ada kebutuhan

untuk memperkuat kesiapsiagaan bencana untuk

merespons, mengambil tindakan untuk mengantisipasi

peristiwa, dan memastikan kapasitas tersedia untuk

respons dan pemulihan yang efektif di ada di semua

tingkatan. Fase pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi

merupakan peluang penting untuk membangun kembali

dengan lebih baik, termasuk dengan mengintegrasikan

pengurangan risiko bencana ke dalam langkah-langkah

pembangunan.

Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia

A. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana

Bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian

peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh factor

alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia

sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007

tersebut bencana dikategorikan menjadi bencana alam,

bencana non-alam, dan bencana sosial.

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh

alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung

meletus, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah longsor.

Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara

lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,

dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang

diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang

diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar

kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan terror.

Dalam rangka melaksanakan amanat UU No24/2007

tersebut, maka diterbitkan Rencana Nasional

Penanggulangan Bencana (2015-2019) sebagai acuan dalam

penyusunan RPJMN 2015-2019 dan rujukan bagi Kementrian/Lembaga

terkait dalam menyusun Rencana Strategis

dan Implementasinya dalam upaya

penanggulangan bencana.

Implementasi di Negara/

Masyarakat/Tantangannya?

Tantangan-tantangan dalam

Sendai Framework Disaster Risk

Reduction (SFDRR) 2015-2030

yang dihadapi Indonesia antara

lain kurangnya pengintegrasian

Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

ke dalam kebijakan pemerintah

yang desentralisasi, dengan

melibatkan pemerintahan daerah

dan pembangunan yang parisipatif

serta melibatkan Platform Nasional

PRB dalam jaringan koodinasi

antar pemangku kepentingan di

Indonesia (pemerintah, akademisi,

LSM, sector swasta, dan media)

untuk memberikan wewenang dan

tanggung jawab kebijakan nasional

PRB ke pemerintah daerah (BNPB,

18 Oktober 2015),

Tantangan lain, yaitu program PRB

dapat masuk dalam tataran yang

implementatif di daerah dan memberikan dampak pada

masyarakat dan pembangunan infrastruktur. Pendayagunaan

ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan

pencegahan dan kesiapsiagaan, mengedukasi masyarakat,

dan membangun komitmen bersama di level negara, sub

nasional melalui komunikasi, dan koordinasi khususnya

dengan kelompok rentan area terdampak. Perlu pendekatan

bottom-up dan integrasi inisiatif dari pemerintah pusat yang

menggunakan top-down untuk membangun ketangguhan.

Poin-poin Penting yang menjadi perhatian BMKG

Dengan memahami beberapa regulasi tentang pengelolaan

kebencanaan, tentunya hal ini menjadi perhatian BMKG

agar dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam

memberikan layanan informasi, meteorologi, klimatologi,

dan geofisika mendukung dalam prinsip pegurangan risiko

kebencanaan. Beberapa langkah maju seperti analisis prakiraan

cuaca berbasis dampak seperti yang diamanatkan

WMO perlu untuk ditingkatkan dalam motode analisis

maupun penyampaian produk informasi ke masyarakat.

Beberapa inovasi seperti Sekolah Lapang Cuaca untuk

Nelayan perlu dikembangkan lagi sehingga dapat diterima

luas oleh masyarakat. Peningkatan Sekolah Lapang Gempabumi

(SLG) perlu digalakkan lagi terutama menyasar di

daerah-daerah yang mempunyai potensi risiko kegempaan

yang tinggi dan rawan tsunami.

Referensi :

1. http://wwwpreventionweb.net/sendai-framework/hyogo/

2. http://undrr.org/implementing-sendai-framework/sfand-sdgs

Arisman,S.Si., M.Si.

(Widyaiswara Muda)

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 11


BMKG

InfoBMKG InfoBMKG InfoBMKG InfoBMKG www.bmkg.go.id


Bahasan Utama

Pendidikan Kebencanaan Kepada

Masyarakat di Negeri Kaya Bencana

Gambaran

Umum

Sebagai sebuah

negara dengan

beragam jenis

bencana yang

tak pernah putus

dari waktu ke

waktu Berbagai

bencana di Indonesia

sebagian

besar terkait

secara langsung

dengan proses

geologi (geological

seperti

gempa bumi

dan vulkanisme,

proses hidro-meteorologi (hydrometeorological) seperti

kekeringan, kebakaran, longsor, abrasi, erosi, angin topan,

banjir, dan lain-lain. Dilihat dari letak dan kondisi fisik, Indonesia

merupakan negara yang memiliki resiko tinggi bagi

terjadinya bencana karena secara geologis terletak pada

pertemuan Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Lempeng

Pasifik. Semua itu membentuk rangkaian pegunungan Sirkum

Mediterania dan Sirkum Pasifik, yang bertemu di Indonesia,

tepatnya di Laut Banda, Maluku, Secara Geografis,

Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan bentuk

topografi yang bervariasi.

Kondisi Tersebut berpotensi menimbulkan bencana, dengan

karakteristik yang berbeda, sehingga penanganan terhadap

setiap bencana pun berbeda. Oleh karenanya, identifikasi

karakteristik dan poensi bencana baik secara nasional

maupun lingkungan sekitar, sangat diperlukan pengetahuan

untuk pengurangan risiko bencana. Pentingnya pemahaman

tentang dinamika di permukaan bumi (alam dan manusia),

yang semuanya membentuk sistem spesifik. Disuatu wilayah

bencana alam memiliki implikasi secara langsung terhadap

masyarakat di wilayah tersebut. Partisipasi masyarakat

untuk mengurangi dan menghindari risiko bencana penting

dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran dan

kapasitas masyarakat Menurut Suryanti, dkk, 2010, Motivasi

da Partisipasi masyarakat dalam upaya pengurangan multirisiko

bencana di kawasan kepesisiran parangtritis dalam

penaksiran resiko bencana di wilayah kepesisiran parangtritis,

Yogyakarta, Yogyakarta : PSBA UGM)

Masyarakat menjadi objek utama saat terjadi bencana,

seharusnya masyarakat mempunyai kemampuan untuk

mengetahui kerentanan yang ada, sehingga dapat menjadi

pelaku (subjek) utama dalam usaha-usaha pengurangan

risiko bencana, sehingga kerugian dapat diminimalisir.

Hal ini dapat terjadi jika masyarakat mempunyai perencanaan

untuk mengurangi risiko bencana dan mempunyai

pengetahuan serta mengerti tentang apa yang seharusnya

dilakukan pada saat bencana belum terjadi (prabencana),

pada saat tanggap darurat, dan pada saat pasca bencana.

Pentingnya peningkatan pemahaman dan ketahanan

terhadap bencana itu

harus ditanamkan kepada

masyarakat sekitar,

terutama anak di usia

dini yang masih belum

mengerti tentang hal-hal

apa yang harus mereka

lakukan saat peristiwa

bencana tidak terduga

terjadi.

Pendidikan Kebencanaan

Pendidikan kebencanaan

mencakup banyak aspek

yang penting seputar

kebencanaan. Misalnya

pengenalan tentang

potensi bencana yang

ada di sekitar, histori bencana yang pernah terjadi, bentuk

antisipasi, meningkatkan kesadaran tanda-tanda bencana,

dampak bencana bagi individu, keluarga, dan komunitas,

cara penanganan dalam kondisi bencana, serta bagaimana

cara menyelematkan diri dari saat terjadi bencana.

Bencana dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa bisa diprediksi

sebelumnya, baik itu bencana alam ataupun sosial.

Melalui pendidikan bencana, dampak kerugian dan korban

masyarakat dapat ditekan. Tujuan dan harapan yang ingin

dicapai melalui pendidikan bencana adalah mencapai minimal

resiko dampak bencana.

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membangun

budaya sadar bencana. Mitigasi dan edukasi terkait bencana

harus diperkuat mulai dari dini. Masyarakat harus sudah

mulai membudayakan perilaku sadar bencana. Masyarakat

harus secara rutin diberikan latihan-latihan penyelamatan

yang dilakukan jika terjadi bencana. Diperlukan upaya

konkret dalam membangun budaya sadar bencana, salah

satunya adalah mewujudkan upaya pengurangan risiko

bencana yang berbasis komunitas.

Dalam budaya sadar bencana juga dapat dilakukan melalui

Pendidikan Formal dengan memasukkan materi pelajaran

tentang bencana alam sebagai pelajaran wajib bagi setiap

siswa di semua tingkatan, terutama di sekolah-sekolah yang

berada di wilayah risiko bencana.Tentunya tetap menjunjung

tinggi kearifan local sehingga diharapkan dapat diterima di

pahami oleh semua siswa dan masyarakat.

Pendidikan Kebencanan Berdasar Kurikulum

Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan yang

bersifat rutin dan berkelanjutan atau sustainable disaster

mitigation. Kegiatan mitigasi seharusnya sudah

dilakukan dalam periode jauh sebelum kejadian bencana,

karena bencana bisa datang lebih cepat dari waktu yang

diperkirakan, dan bahkan memiliki intensitas yang lebih

besar dari yang diperkirakan semula. Selain itu pemerintah

hendaknya juga aktif memberikan berbagai arahan yang

tepat dan berkesinambungan dalam memghadapi peristiwa

bencana atau dengan kata lain bisa beradaptasi dengan

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 13


resiko potensi bencana alam yang ada.

Sektor pendidikaan merupakan salah

satu penentu dalam pengurangan

risiko bencana. Pada tahun 2011

Kementerian Pendidikan Nasional

telah mulai menerapkan kurikulum

bencana mulai jenjang pendidikan SD

hingga SMA. Namun pada praktiknya

tidak dimasukkan langsung jadi mata

pelajaran atau kurikulum khusus

bencana, tetapi dimasukkan ke dalam

mata pelajaran secara faktual dalam

memahami dan mengantisipasi kondisi

alam secara terpadu. Seharusnya

pelajaran tentang bencana alam

sebagai pelajaran wajib bagi setiap

siswa di semua tingkatan, terutama di

sekolah-sekolah yang berada di wilayah

risiko bencana.

Pendidikan kebencanaan dapat

disisipkan pada mata pelajaran IPA,

IPS, Bahasa Indonesia, Agama atau juga

mata pelajaran yang lain. Pendidikan

kebencanaan ini memiliki tujuan

umum untuk memberikan gambaran

dan acuan dalam proses pembelajaran

siaga bencana. Guru dan kepala

sekolah mendapat pendidikan dan

pelatihan untuk dapat menerapkan

pendidikan dan keterampilan siaga

bencana. Melalui pendidikan ini

diharapkan siswa mampu berpikir

dan bertindak cepat, tepat, dan akurat

saat menghadapi bencana. Sikap

empati terhadap korban bencana juga

dibangun agar siswa dapat membantu

orang lain. Edukasi bencana dapat

dilaksanakan dengan tiga cara. Apabila

kebutuhan sekolah hanya sekadar

pengetahuan saja, maka bahan

ajar akan berintegrasi dengan mata

pelajaran. Bisa masuk dalam pelajaran

yang memiliki kaitan seperti geografi

dan pengetahuan alam. Jika kebutuhan

dirasa perlu mencakup pelatihan, maka

dapat dimuat dalam muatan lokal dan

Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH).

Pelaksanaan pendidikan dapat pula

meluas hingga kegiatan ekstrakurikuler.

Pentingnya kurikulum kebencanaan

adalah bagaimana siswa bisa terlibat

langsung dalam penanganan bencana.

Upaya ini sebaiknya dilakukan sejak

dini mulai dari Sekolah Tingkat Dasar

hingga Sekolah Tingkat Atas bahkan

sampai Perguruan Tinggi, kurikulum

dibangun berdasarkan konsep dan

pelaksanaannya, maupun kurikulum

berdasarkan struktur dan materi pelajarannya.

Untuk mendapatkan kurikulum

kebencanaan yang bermakna,

kurikulum harus dikembangkan

dengan memperhatikan prinsipprinsip

yang tepat. Ada sejumlah

prinsip pengembangan kurikulum, di

antaranya prinsip relevansi, efektivitas

dan efisiensi, fleksibilitas, Prinsip relevansi

mengandung arti bahwa sebuah

kurikulum harus relevan dengan

perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi (iptek), relevan dengan

kebutuhan dan karakteristik siswa,

dan relevan dengan kebutuhan dan

karakteristik masyarakat. (Khaerudin.

2009). Prinsip fleksibilitas terkait

dengan keluwesan dalam tahap implementasi

kurikulum. Kurikulum harus di

rancang secara fleksibel.

Model Pengelolaan Bencana

Pengelolaan Bencana secara teoritis

terdapat lima model pengelolaan

bencana (Maguire &Hagan, 2007;

Setyowati, 2017) :

a. Disaster management continuum

model, model pengelolaan

bencana ini merupakan model yang

paling popular karena terdiri dari

tahap-tahap yang jelas sehingga

lebih mudah diimplementasikan.

Tahap-tahap manajemen bencana

di dalam model ini meliputi emergency,

relief, rehabilitation, reconstruction,

mitigation, preparedness,

dan early warning.

b. Pre-during-post disaster model,

model pengelolaan bencana ini

membagi tahap kegiatan di sekitar

bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan

yang perlu dilakukan sebelum

bencana, selama bencana terjadi,

dan setelah bencana. Model ini

seringkali digabungkan dengan

disaster management continuum

model.

c. Contract-expand model, model ini

berasumsi bahwa seluruh tahaptahap

yang ada pada pengelolaan

bencana (emergency, relief, rehabilitation,

reconstruction, mitigation,

preparedness, dan early warning)

semestinya tetap dilaksanakan

pada daerah yang rawan bencana.

Perbedaan pada kondisi bencana

dan tidak bencana adalah pada

saat bencana tahap tertentu lebih

dikembangkan (emergency dan

relief) sementara tahap yang

lain seperti rehabilitation, reconstruction,

dan mitigation kurang

ditekankan.

d. The crunch and release model,

model pengelolaan bencana ini

menekankan upaya mengurangi

kerentanan untuk mengatasi

bencana. Bila masyarakat tidak

rentan maka bencana akan juga

kecil kemungkinannya terjadi

meski hazard tetap terjadi.

e. Disaster risk reduction framework,

merupakan model pengelolaan

bencana yang menekankan pada

upaya pengelolaan bencana pada

identifikasi risiko bencana baik

dalam bentuk kerentanan maupun

hazard dan mengembangkan

kapasitas untuk mengurangi risiko

bencana

Sumber :

1. Mirza Desfandi Universitas Syiah

Kuala Banda Aceh

2. Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des

2014

3. Leli Honesti*, Nazwar Djali**,fak

Teknik Sipil Unov Bung Hatta dan

Institute Teknologi Padang

4. Jurnal Momentum, Vol. 12. No. 1

feb 2012

5. Dwi Liesnoor Setyowati,

Pendidikan Kebencanaan, Unive

negeri Semarang 2019

NURAHMINI, S.Sos., M.Pd.

(Widyaiswara Muda)

14

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Bahasan Utama

Literasi Kebencanaan Indonesia

Sangat PENTING

Indonesia merupakan negara tropis

yang sangat kaya. Baik itu kaya akan

sumber daya alam maupun sumber

daya manusia. Kekeyaaan alam yang

luar biasa ini merupakan anugrah Allah

SWT, Tuhan yang Maha Esa yang

harus kita syukuri dan kita jaga. Namun

bukan hanya kekayaan alam saja yang

kita miliki namun ada juga kekayaan

yang tidak kita sadari yaitu kekayaan

akan bencana. Ya kekayaan akan

bencana, Indonesia kaya akan bencana

alam. Hampir semua bencana alam

yang ada didunia Indonesia memiliki

potensinya. Hal ini terjadi karena letak

geografis Indonesia yang berada pada

daerah khatulistiwa yang memiliki

keberagaman morfologi. Keberagaman

ini disebabkan oleh aktivitas lempeng

tektonik aktif.

Mengacu pada studi literasi dalam

budaya popular yang ditulisoleh David

Barton dan Mary Hamilton (1998: Williams dan Zenger,

2007:11) bahwa praktik literasi adalah cara-cara budaya

yang secara general memanfaatkan tulisan dalam bahasa

yang kemudian digunakan oleh masyarakat dalam

kehidupannya, atau dalam definisi yang lain bahwa praktik

literasi adalah konsep menghubungkan antara aktifitas

tulis dan membaca dan struktur sosial dimana mereka

gunakan sebagai bagian dari bantuan atau cara. (Priyowidodo

& Luik, 2013)

Jika kita perhatikan peta yang dikeluarkan Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) diatas tampak jelas bahwa

indonesia memiliki resiko bencana alam yang hampir merata

disetiap wilayahnya. Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB) menyatakan bahwa telah terjadi 1.538

kejadian bencana di Indonesia selama 2019, terhitung sejak

1 Januari hingga 30 April. Jumlah bencana ini mengakibatkan

325 orang meninggal, 113 orang hilang, 1.439 orang luka-luka,

dan sebanyak 996.143 orang mengungsi dan menderita.

Berdasarkan rilis dari BNPB, sejumlah daerah yang terdampak

bencana juga mengalami kerusakan fisik yang meliputi

3.588 rumah rusak berat, 3.289 rumah rusak sedang, 15.376

rumah rusak ringan, dan juga ratusan bangunan pendidikan,

fasilitas peribadatan dan fasilitas kesehatan rusak. Artikel ini

telah tayang di Kompas.com dengan judul “Data Bencana

BNPB pada 2019, 1.538 Kejadian dan 325 Korban Meninggal”.

https://nasional.kompas.com/read/2019/04/30/19322341/

data-bencana-bnpb-pada-2019-1538-kejadian-dan-325-korban-meninggal.

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 15


Indonesia sudah mempunyai landasan sebagai pijakan

dalam mengantisipasi terjadinya berbagai macam bencana

yaitu UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana. Undang menyebutkan definisi bencana adalah

“peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam

maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya

korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta

benda, dan dampak psikologis.”.

Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan berbagai

macam definisi bencana yang terjadi. Bencana yang

disebabkan oleh faktor alam, non alam dan manusia

antara lain antara lain bencana alam adalah bencana yang

diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang

disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,

dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana

yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa

nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal

modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial

adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang

meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas

masyarakat, dan teror.

Dari potensi bencana yang sudah disebutkan diatas Indonesia

masih sangat lemah dalam hal literasi kebencanaan.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh jurnalis spesialis

bencana pada harian kompas Ahmad Arif yang mengatakan

bahwa “Indonesia menduduki peringkat nomor dua terakhir

dari 61 Negara yang tingkat literasinya paling rendah.

Menurutnya, literasi tidak hanya sekadar membaca, tapi

bagaimana memahami tentang pendidikan kebencanaan itu

sendiri”. Dampak dari minimnya literasi ini mengakibatkan

masyarakat tidak mengetahui potensi daerah rawan

bencana yang mereka tempati. Kondisi ini mengakibatkan

korban yang tinggi pada setiap bencana alam.

Dari sekian banyak potensi bencana yang akan terjadi di

Indonesia, ada dua bencana yang mendominasi dan selalu

menimbulkan banyak korban jiwa yaitu bencana gempa

bumi yang kadang menimbulkan efek tsunami dan bencana

hidrometeorologi. Bencana gempabumi dan tsunami sudah

sangat familiar kita mendengarnya. Hampir setiap hari Indonesia

terjadi gempabumi. Namun kejadiannya ada yang kita

rasakan dan yang tidak kita rasakan.

Data dari United Nations Office for Disaster Risk Reduction

(UNISDR) menyebutkan, dalam paparan terhadap

penduduk atau jumlah manusia yang ada di daerah yang

mungkin kehilangan nyawa karena bencana, risiko bencana

yang dihadapi Indonesia sangat tinggi. Kepala Pusat Data,

Informasi, dan Hubungan Masyarakat di BNPB Almarhum

Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa untuk potensi

bencana tsunami, Indonesia menempati peringkat pertama

dari 265 negara di dunia yang disurvei badan PBB itu.

Resiko ancaman tsunami di Indonesia bahkan lebih tinggi

dibandingkan Jepang. Dalam hitung-hitungan UNISDR yaitu

ada 5.402.239 orang yang berpotensi terkena dampaknya.

https://bnpb.go.id/potensi-ancaman-bencana.

BMKG melalui Pusat Gempabumi Dan Tsunami pada tahun

2019 sudah merilis katalog tsunami di Indonesia yang

memuat tentang data gempabumi sejak tahun 416 sampai

dengan 2018 (https://cdn.bmkg.go.id/Web/Katalog-Tsunami-

Indonesia-416-2018-per-Wilayah.pdf). Beberapa peristiwa

tsunami umumnya merupakan bencana

kemanusiaan yang menelan korban jiwa yang

sangat banyak. Data menuliskan bahwa 46

persen dari total panjang pesisir di Indonesia

rawan tsunami dengan penyebab tsunami

yang cukup beragam. Data statistik global

mencatat bahwa 90 persen kejadian tsunami

diawali dengan gempabumi tektonik dan 10

persennya dipicu oleh aktivitas non vulkanik.

Kejadian tsunami di Indonesia tidak hanya

dipicu oleh gempabumi tektonik, namun

juga rawan dengan tsunami yang dipicu oleh

aktivitas non tektonik seperti aktivitas vulkanik,

mengingat Indonesia memiliki beberapa

gunung api yang berada di bawah laut.

(BMKG, 2019)

BMKG terus berupaya meningkatkan literasi

kebencanaan, dengan memasukkan catatancatatan

kejadian penting seperti tsunami

Lombok, Palu-Donggala dan Selat Sunda

tahun 2018. Tsunami Lombok memberi

pelajaran bahwa gempabumi berpusat di

darat dapat memicu tsunami, gempabumi Palu-Donggala

memberi pelajaran bahwa tsunami dapat terjadi sangat

cepat, dan tsunami Selat Sunda memberi pelajaran bahwa

kejadian tsunami tidak selalu diawali oleh gempabumi.

Kiranya buku ini dapat menjadi penggerak bagi seluruh

warga dan pemerintah untuk membangun kesadaran akan

16

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Bahasan Utama

potensi kerawanan tsunami, demi terciptanya Indonesia sebagai ‘tsunami ready nation’ di masa mendatang.

Penyusunan buku ini merupakan salah satu implementasi kegiatan pelayanan publik BMKG dalam hal mitigasi bencana

gempabumi dan tsunami yang menjadi tanggungjawab dari Kedeputian Bidang Geofisika BMKG. Harapan kami, Buku

Katalog Tsunami Indonesia Tahun 416-2017 ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber data dan informasi yang terkait

dengan kondisi kebencanaan Indonesia. Selain itu, penerbitan buku ini diharapkan dapat menyadarkan seluruh masyarakat

Indonesia dalam memahami bahwa wilayah Indonesia sangat rawan terhadap bahaya gempa.

Potensi bencana hidrometeorologi juga tidak kalah mengkhawatirkan. Bencana kekeringan dan Banjir ibarat dua sisi mata

uang yang saling berdampingan dalam waktu bersamaan maupun kehadirannya yang datang silih berganti. Kepala Pusat

Data dan Informasi BNPB Agus Wibowo, mengatakan terjadi peningkatan jumlah bencana selama 2019, dibanding tahun

sebelumnya. BNPB mencatat ada 3.768 bencana yang terjadi hingga 27 Desember 2019. Jumlah ini meningkat dari 3.397

kejadian pada 2018. Dari total bencana tahun ini, Agus mengatakan 99 persen di antaranya merupakan bencana hidrometeorologi.

Bencana ini meliputi kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, banjir, hingga

gelombang pasang atau abrasi.

Bencana alam yang terjadi bukan saja merugikan masyarakat dengan banyaknya korban. Namun juga potensi kerugian

finansial yang sangat besar. Secara umum ini sangat merugikan kita sebagai bangsa. Kondisi ini harusnya menjadi peringatan

bagi kita semua akan apa yang akan terjadi disekitar kita. Pemerintah disetiap lini baik pusat maupun daerah sudah harus

melakukan sosialiasi dan meningkatkan literasi masyarakat yang ada diwilayahnya masing – masing agar memiliki kesadaran

yang baik akan potensi bencana yang kemungkinan terjadi pada wilayahnya masing-masing.

Referesi :

1. BMKG. (2019). Katalog Tsunami Indonesia Tahun 416-2018: Per-Wilayah.

2. Priyowidodo, G., & Luik, J. E. (2013). Literasi Mitigasi Bencana Tsunami untuk Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pacitan.

Ekotrans, 13(1), 47–61.

Deni Saiful, S.Kom., MMSI.

(Widyaiswara Muda)

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 17


Peran Teknologi Informasi Dalam Meminimalisir

Dampak Bencana

Pendahuluan

Peranan teknologi informasi

(TI) pada aktifitas manusia pada

saat ini memang begitu besar.

Teknologi informasi telah menjadi

fasilitator utama bagi kegiatankegiatan

bisnis, memberikan

andil besar terhadap perubahanperubahan

yang mendasar pada

struktur, operasi dan manajemen

organisasi. Luccas (2000)

menyatakan bahwa teknologi

informasi adalah segala bentuk

teknologi yang diterapkan untuk

memproses dan mengirimkan

informasi dalam bentuk elektronis

(Martin, 1999).

Berkat teknologi informasi ini

berbagai kemudahan dapat

dirasakan oleh manusia. Bukan

saja untuk meningkatkan

kesejahteraan, memudahkan

hidup, lebih dari itu juga untuk

menyelamatkan korban bencana

dan menghindari banyaknya

korban jiwa. Begitu banyak pula

bencana alam yang terjadi di negeri

ini, gempabumi, tsunami, banjir, cuaca ekstrim, kekeringan,

longsor, angin puting beliung dan bencana lainnya. Tidak

hanya bencana alam, bencana bahaya pandemic virus Corona

Covid-19 yang sekarang mewabah pun terjadi di seluruh

dunia. Lalu apa yang teknologi informasi bisa lakukan untuk

membantu menanggulangi berbagai bencana yang terjadi?

Infografis Kebencanaan

Lalu informasi yang seperti apa yang lebih efektif membantu

memberikan informasi kebencanaan kepada masyarakat?

Di era digital sekarang ini, penyajian dalam bentuk data dan

infografis sangat penting dalam menyampaikan informasi

sesuai kebutuhan publik yang menginginkan sekali melihat

sudah lengkap informasinya.

Apalagi infografis yang berkaitan

dengan bencana, tentunya akan

lebih mudah dipahami oleh

masyarakat bila pembuatnya

mampu menyajikan dengan baik

dan menarik.

Infografis sering disebut pula

sebagai ilustrasi informasi

(Glasgow, 1994:7). Informasi

dalam konteks ini mengacu pada

informasi atau berita dalam media

massa cetak. Oleh karena itu istilah

“infografis” kerap dipakai dalam

majalah atau surat kabar. Tabel

maupun diagram yang sering juga

dipakai dalam penelitian-penelitian

ilmiah termasuk dalam bentuk

infografis ini, meskipun istilah “infografis”

lebih menitikberatkan

pada tampilan data atau fakta yang

dipadu padankan dengan visual

yang estetik, sehingga memenuhi

unsur warna, bentuk, komposisi,

irama dan kesatuan.

Istilah “infografis” sendiri mengacu

pada bentuk penginformasian

melalui gambar. Biasanya pemakaian istilah “infografis”

ini dilakukan sebagai gambar lepas pada surat kabar atau

majalah. Gambar lepas dari bagian berita terjadi bila tidak

memungkinkan dilakukan pemberitaan secara naratif, karena

kurang tersedianya ruang di halaman surat kabar,majalah

maupun di media cyber atau juga dipandang bahwa pemberitaan

secara naratif kurang mempertimbangkan tingkat

pemahaman pembaca terhadap sebuah peristiwa. Oleh

karena itulah infografis ini dapat menjadi berita visual atau

data bergambar (Wicandra, 2001:14).

Mengapa infografis perlu dan penting dipakai pada media

massa?

1. Infografis akan memudahkan pembaca memahami

proses terjadinya peristiwa maupun proses penemuan

secara ilmiah.

2. Infografis efektif digunakan untuk merekonstruksi

sebuah peristiwa.

3. Infografis efektif dilakukan di media massa untuk

menghindari tata letak koran atau majalah, atau media

online yang menjenuhkan. Apalagi dalam sebuah media

massa berita juga dipengaruhi oleh ketersediaan jumlah

kolom. Sehingga ketika berita yang dipaparkan terkesan

sangat panjang dan memakan ruang yang banyak, maka

infografis menjadi alternatif untuk memadatkan berita

dalam potongan infografis yang kecil.

4. Infografis mampu memaparkan secara artistik dan tidak

terpaku pada penggambaran hasil data maupun proses

secara baku.

18

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Bahasan Utama

5. Infografis memberikan visualisasi

yang menyegarkan.

Media Diseminasi Informasi Kebencanaan

Media memiliki peran penting dalam

bencana alam. Melalui media informasi

mengenai bencana alam dapat

tersebar ke berbagai penjuru dunia.

Informasi mengenai jenis bencana,

informasi mengenai kapan terjadinya

bencana, informasi mengenai lokasi

bencana, dampak, dan

kebutuhan korban

bencana alam dapat

terekam dan tersampaikan

melalui pemberitaan.

Hal ini menjadi

awal fase heroic, pemberitaan

mendorong

pihak-pihak yang

selama ini bergerak di

bidang kemanusiaan

untuk segera

bertindak, bahkan

dapat menstimulasi

orang-orang yang

memiliki empati

untuk memberikan

bantuan yang

dibutuhkan. Kemajuan

teknologi informasi

dan komunikasi

membuat informasi

terkait bencana alam

menjadi lebih cepat

tersebar. Itulah salah

satu keuntungan dari

perkembangan masa

terutama teknologi

komunikasi.

Diseminasi informasi

terkait bencana,

baik bencana alam

maupun bencana

wabah penyakit dapat

diperoleh melalui media

massa:

1. Media Elektronik

Informasi yang dapat

diterima melalui

televisi dan radio

yang terbatas. Namun

pada prinsipnya sejak

masa lalu hingga masa sekarang ini

peran media dalam pemberitaan

bencana alam merupakan unsur

penting dalam layanan kemanusiaan.

Selain itu masyarakat yang tidak

mengalami bencana secara langsung

juga dapat belajar terkait dengan

bencana yang terjadi dan diberitakan

media. Masyarakat mendapatkan

pembelajaran dan pendidikan bencana

secara tidak langsung.

2. Media Cyber/Online

Sebagai bentuk tanggung jawab sosial

kepada masyarakat dalam bentuk

ketersediaan informasi dan jaringan

komunikasi di daerah rawan bencana,

Kementerian Kominfo memiliki tugas

pokok dan fungsi untuk perumusan

dan kebijakan di bidang Komunikasi

dan informatika, yang salah satunya

yaitu melakukan kebijakan untuk

melaksanakan kegiatan dalam

menyebarkan informasi pada saat

terjadinya bencana melalui Program

Penyampaian Informasi Kebencanaan

melalui jaringan bergerak seluler.

Sebagai tindak lanjut tersebut telah

dilakukan kesepakatan kerja sama

antara Kementerian Komunikasi dan

Informatika (Kominfo) dan Badan

Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

(BMKG) yang dituangkan

dalam Nomor: 826/KOMINFO/DJPPI/

HK.03.02/05/2015 Nomor: KS.301/011/

SU/V/2015 tentang Pemanfaatan Sistem

Telekomunikasi Khusus dalam Rangka

Penyebaran Informasi Peringatan Dini

Cuaca Ekstrem, Tsunami dan Informasi

Gempa Bumi. Implementasi Sistem

Penyampaian Informasi Kebencanaan

diharapkan dapat mengurangi

kerugian materiil dan korban jiwa yang

disebabkan oleh bencana alam. Tahun

ini, BMKG sebagai penyedia Informasi

kebencanaan, menyediakan informasi

terkait bencana alam

gempa bumi dan

potensi tsunami.

Begitu juga dengan

Vulkanologi (PVMBG)

untuk informasi terkait

gunung berapi,

Kementerian PU untuk

untuk informasi terkait

banjir, banjir lahar,

tanah longsor, tanah

bergerak, kekeringan.

Kementerian Kehutanan

untuk informasi terkait

kebakaran hutan.

Selanjutnya BNPB dan

BPBD untuk informasi

penanggulangan

bencana. Sedangkan

terkait bencana pandemic

virus Corona

Covid-19, informasi

data kasus Covid-19

akan disampaikan

oleh Badan Nasional

Penanggulangan

Bencana (BNPB)

dan Kementerian

Kesehatan, dimana

informasi tentang Covid-19

dapat diakses

melalui www.covid19.

go.id. Bagi siapa saja

yang menyebarkan

berita Hoax akan

dikenakan sanksi

sesuai peraturan

perundang-undangan

yang berlaku.

Di era milenea ini,

siapa sih yang tidak

kenal dengan Instagram,

Facebook, Twitter,

Youtube, WhatsApp dan aplikasi

mobile? Berbagai aplikasi media sosial

yang tidak bisa disebutkan satu-satu

ini seakan-akan keberadaannya telah

bersanding dengan bahan pangan.

Berbagai aktivitas dari bangun tidur

sampai kembali tidurpun selalu disempatkan

untuk dapat posting atau

update status dari kejadian yang

dialaminya kepada publik! Ya begitulah

keseharian seseorang yang memang

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 19


menggunakan media sosial. Hampir

setiap saat kita tidak dapat lepas

darinya, karena memang begitu mudah

dan cepat seseorang dapat melakukan

obrolan secara online, berbagi file,

bertukar foto tanpa bertatap muka

secara langsung.

Hal inilah mengapa membagikan

informasi kebencanaan yang dikemas

dalam infografis yang menarik di media

sosial akan dengan cepat tersebar

di masyarakat luas. Informasi bencana

yang diperoleh seseorang melalui

media sosial akan tertarik untuk

dibagikan kepada teman atau koleganya

secara bertautan. Tampilan

informasi kebencanaan yang menarik

inilah yang membangkitkan pengguna

media sosial untuk membaca dan

membagikannya, sehingga lebih efektif

dalam penyebaran informasi kebencanaan

yang sedang melanda masyarakat.

Dengan begitu masyarakat akan lebih

tahu apa yang harus dilakukan dalam

menghadapi bencana yang terjadi dan

dapat meminimalisir atas dampak

bencana tersebut.

3. Media Cetak

Media cetak lokal cukup berperan

dalam mitigasi bencana dalam

menyadarkan masyarakat melalui berita-berita

yang di turunkan. Diharapkan

masyarakat dapat sadar akan bahaya

bencana dan dapat menjaga

lingkungan agar keseimbangan alam

dapat terjaga dengan baik.

Masalah komunikasi melalui media

massa adalah tantangan yang

besar, kurangnya pemahaman dalam

penyebaran dan pencernaan informasi

dapat membuat masyarakat mudah

panik, terutama dalam merespon

persoalan bencana. Bencana butuh

partisipasi dari semua pihak, termasuk

dari rekan-rekan media. Peran media

begitu penting dalam penyampaian

persoalan kebencanaan ini, termasuk

peran media sosial begitu efektif untuk

penyebaran informasi kebencanaan.

Disisi lain perlu adanya filter, harus

selalu merujuk pada sumber informasi

dari instansi yang berwenang. Hal

ini untuk menghindari penyebaran

informasi yang tidak benar.

Dampak Teknologi Informasi

terhadap Kebencanaan

Teknologi Informasi sebagai bagian dari

ilmu pengetahuan dan teknologi secara

umum adalah semua teknologi yang

berhubungan dengan pengambilan,

pengumpulan, pengolahan, penyimpanan,

penyebaran, dan penyajian

informasi. Teknologi Informasi

menyebabkan ilmu pengetahuan

menjadi kian berkembang. Dengan

teknologi informasi memberikan

dampak terhadap kehidupan manusia

sekarang ini, khususnya dalam rangka

menyelamatkan korban bencana dan

menghindari banyaknya korban jiwa,

meliputi:

1. Mempercepat arus informasi kebencanaan

kepada masyarakat.

2. Sarana media sosial kekinian yang

sering diakses oleh masyarakat.

3. Membantu individu dalam mencari

informasi kebencanaan.

4. Mempermudah komunikasi antar

individu yang berjauhan terkait

informasi kebencanaan.

5. Kemampuan berbagi data dan

informasi kebencanaan.

6. Membantu menyelesaikan

masalah kebencanaan dengan

lebih mudah.

7. Mengedukasi dan menyadarkan

masyarakat untuk lebih peduli,

sigap dan tanggap terhadap

dampak bencana.

8. Meminimalisir dampak bencana.

Selain memiliki dampak positif, ternyata

teknologi informasi ini juga harus diantisipasi

terhadap penyebaran informasi

kebencanaan yang tidak sesuai fakta

(Hoax). Informasi Hoax kebencanaan

yang tidak bertanggungjawab akan

menambah keresahan masyarakat terkait

bencana-bencana yang dihadapi

oleh masyarakat.

Tips Siaga Informasi Kebencanaan

Dengan semakin banyaknya informasi

kebencanaan yang bertebaran di

masyarakat yang belum tahu akan

kebenarannya, maka ada tips siaga

informasi kebencanaan yang perlu

dijadikan acuan, yaitu:

1. Membaca informasi bencana

secara utuh dan ada filter.

2. Mengikuti informasi bencana yang

disebarkan oleh institusi terkait

yang berwenang.

3. Tidak mengandalkan informasi

dari media sosial saja, mengingat

tidak semua warga memiliki akses.

4. Tidak menyebarkan hoax terkait

informasi kebencanaan.

Referensi :

1. Obed Bima Wicandra, Peran Infografis

Pada Media Massa Cetak,

Dosen Jurusan Desain Komunikasi

Visual, Fakultas Seni dan Desain

Universitas Kristen Petra,

Surabaya. https://www.researchgate.net/publication/43330525_

PERAN_INFOGRAFIS_PADA_ME-

DIA_MASSA_CETAK, Januari 2007

2. Modul Teknologi Informasi Dalam

Diklat, Modul Diklat Kewidyaiswaraan

Berjenjang Tk. Menengah, LAN

RI, Jakarta, November 2016.

3. http://www.biskom.web.

id/2012/06/11/peran-ti-dalambencana.bwi

4. https://siaga.bnpb.go.id/hkb/

berita/peran-media-begitu-penting-dalam-penyebaran-informasikebencanaan.

5. https://www.ubaya.ac.id/2018/

content/articles_detail/158/Peran-

Media-Dalam-Bencana-Alam.html

6. https://www.bbc.com/indonesia/

indonesia-48910426

7. https://bpbd.bantulkab.go.id/peran-media-sosial-dalam-pengurangan-risiko-bencana/

8. https://www.kominfo.go.id/con-

tent/detail/6529/siaran-pers-no-

96pihkominfo122015-tentangisoft-launchingi-sistem-penyampaian-informasi-kebencanaan/0/

siaran_pers

9. https://www.cnnindonesia.com/nasion

al/20200406170852-20-490881/

kepala-bnpb-soal-data-kasus-corona-harus-satu-sumber

10. www.covid19.go.id.

Asep Jamaludin Malik, S.Si., M.Pd.

(Widyaiswara Ahli Muda)

20

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Bahasan Utama

DENGAN DATA AKURAT DAMPAK

BENCANA DAPAT DI KERAT

“Kebijakan mitigasi bencana yang efektif tidak mungkin dapat dibuat tanpa didukung

data statistik yang baik”.

Indonesia sedang diuji dengan berbagai peristiwa

bencana yang mengakibatkan kerugian bahkan korban

jiwa. Beberapa peristiwa bencana alam dan non alam

seakan silih berganti seperti: tsunami Selat Sunda, gempabumi

dan likuifaksi di Palu, karhutla ratusan ribu hektar

di wilayah Sumatera dan Kalimantan, bencana sosial berupa

berita hoax, banjir yang melanda ibukota, serta ancaman virus

SARS, MERS, sekarang pandemi corona virus mulai akhir

tahun 2019 yang menggemparkan dunia karena mampu

melumpuhkan sendi-sendi aktivitas sosial manusia..

Lima tahun lalu, pada 25 September 2015, negaranegara

anggota PBB mengangkat rangkaian Agenda

Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang menyertakan

17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable

Development Goals (SDGs) termasuk di dalamnya

mengangkat isu penanggulangan bencana secara terarah

melalui pengumpulan data statistik bencana untuk mitigasi.

SDGs disusun berdasarkan Tujuan Pembangunan Milenium

(MDGs) yang telah diupayakan dari tahun 2000 sampai

2015, dan akan memandu pencapaian tujuan global yakni

pembangunan berkelanjutan hingga 2030 nanti. Hal ini

ditindaklanjuti oleh Peraturan Presiden RI nomor 59 Tahun

2017.

Hal tersebut jelas akan merubah paradigma penanganan

bencana di dunia yaitu dari responsif menjadi preventif,

dari sektoral menjadi multi sektor, dari tanggung jawab

pemerintah semata menjadi tanggung jawab bersama,

dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan dari tanggap

darurat menjadi pengurangan risiko bencana. Indonesia

sendiri sudah mengeluarkan peraturan terkait rencana

penanggulangan bencana sejak tahun 2007 lalu diperbaharui

tahun 2008 dalam peraturan yang dikeluarkan BNPB

sebagai instansi yang berwenang mengkoordinasinya.

Untuk itu serangkaian upaya dilakukan secara sinergi

oleh pemerintah pusat dan daerah bersama masyarakat

untuk mengurangi resiko atau kerugian akibat bencana,

baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan

peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Upaya ini kita kenal dengan istilah mitigasi, yang merupakan

sebuah rencana dalam penanggulangan bencana, contoh:

Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI dalam Disaster Management

Plan Provinsi DKI Jakarta.

Rencana mitigasi bencana yang baik tentunya harus

dilakukan berdasarkan analisis resiko bencana. Analisis ini

menjabarkan upaya mitigasi bencana berikut rincian anggarannya,

dan ternyata proses rencana mitigasi bencana atau

analisis resiko bencana ini memerlukan langkah-langkah

yang cukup panjang namun harus dilakukan bersama oleh

beberapa instansi terkait secara cepat dan tepat, dimulai

dari pengkajian bahaya, mengenali kerentanan, meneliti

kemungkinan dampaknya, pemilihan tindakan, pembuatan

prosedur sampai kepada pembagian tugas siapa berbuat

apa, dan belum lagi ini harus di simulasikan ke seluruh

stakeholder sebagai rangkaian mitigasi bencana. Mitigasi

bencana yang terencana atau terprogram menjadi sangat

penting dilakukan untuk mengkerat dampak bencana, di

sinilah peran data statistik bencana diperlukan agar mitigasi

bencana dapat dilakukan secara efektif dan efisien

serta tepat sasaran. Artinya, tidak mungkin kebijakan mitigasi

bencana yang efektif dapat dibuat tanpa didukung data

statistik yang baik.

Memang cukup aneh kedengarannya antara statistik dan

mitigasi bencana. Mungkin agar lebih mudah dapat dicontohkan

terkait bidang meteorologi, tiap jam bahkan menit tim

BMKG selalu siaga melakukan observasi unsur-unsur cuaca

melalui berbagai peralatan baik konvensional maupun

inderaja, lalu data-data ini diolah dengan sebuah model

statistik yang disebut dengan Numerical Weather Prediction

yang selalu diverifikasi, outputnya divalidasi dengan citra

inderaja, sehingga hasil akhirnya berupa informasi publik

yang kini berkembang menjadi impact base forecast (IBF)

berdasarkan paduan atau input data dari BNPB, BIG, BPS

serta instansi lainnya, maka bukan hanya informasi hujan

lebat yang tersaji namun sampai kepada dampaknya di

suatu wilayah.

Terbayang dibenak kita masing-masing betapa sulitnya

mengumpulkan data kewilayahan untuk analisis atau

pengkajian resiko bencana, data diharapkan bukan hanya

paparan bencana dampak ekonomi namun sampai kepada

dampak psikologis atau sosial serta tindakan yang sudah

dilakukan pemerintah atau masyarakat serta kesiapan

yang dimiliki daerah tersebut. Pendataan wilayah ini telah

dilaksanakan BPS dengan pengumpulan data Potensi

Desa (Podes) yang dilakukan 3 kali dalam 10 tahun dan

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) berupa Modul

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 21


Ketahanan Sosial yang dilaksanakan setiap 3 tahun sekali

yang merupakan dukungan aksi rencana penanggulangan

bencana melalui penyediaan statistik bencana yang dikoordinasi

BNPB.

Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan

untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang

mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang ada.

Secara konsep potensi dampak negatif bencana dihitung

juga dengan mempertimbangkan tingkat kerentanan dan

kapasitas kawasan tersebut. Potensi dampak negatif ini

menggambarkan potensi jumlah jiwa, kerugian harta benda,

dan kerusakan lingkungan yang terpapar oleh potensi

bencana. Dalam melakukan kajian risiko bencana, pendekatan

fungsi dari tiga parameter pembentuk risiko bencana,

yaitu ancaman atau bahaya, kerentanan, dan kapasitas terkait

bencana.

c. Kerentanan ekonomi terdiri dari parameter konstribusi

PDRB dan lahan produktif. Nilai rupiah lahan produktif

dihitung berdasarkan nilai konstribusi PDRB pada sektor

yang berhubungan dengan lahan produktif (seperti sektor

pertanian) yang dapat diklasifikasikan berdasarkan data

penggunaan lahan.

Tabel 3. Parameter kerentanan ekonomi

Faktor tingkat bahaya bencana alam secara metodologi

didapat dari informasi instansi sesuai tanggungjawab dalam

tupoksinya, seperti BMKG yang memberikan tingkat bahaya

gempabumi dan tsunami serta cuaca ekstrim juga SPI

kekeringan terkait karhutla. Sedangkan beberapa faktor

kerentanan seperti: sosial, fisik, ekonomi dan lingkungan

juga sangat signifikan terhadap resiko bencana.

Tingkat kerentanan ini secara rinci dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a. Kerentanan sosial terdiri dari parameter kepadatan

penduduk dan kelompok rentan. Kelompok rentan terdiri

dari rasio jenis kelamin, rasio kelompok umur rentan,

rasio penduduk miskin, dan rasio penduduk cacat. Secara

spasial, masing-masing nilai parameter didistribusikan di

wilayah pemukiman per desa/kelurahan dalam bentuk

grid raster (piksel);

Tabel 1. Parameter Penyusun dan Skoring Kerentanan Sosial

d. Kerentanan lingkungan terdiri dari parameter hutan

lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove, semak

belukar, dan rawa. Setiap parameter dapat diidentifikasi

menggunakan data tutupan lahan

Tabel 4. Parameter kerentanan lingkungan

Tabel 5. Matriks jumlah paparan risiko bencana multi

ancaman diwilayah Provinsi Tahun 2019

b. Kerentanan fisik terdiri dari parameter rumah, fasilitas

umum dan fasilitas kritis. Jumlah nilai rupiah rumah,

fasilitas umum, dan fasilitas kritis dihitung berdasarkan

kelas bahaya di area yang terdampak;

Tabel 2. Parameter kerentanan fisik

22

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Dari data dan statistik menggambarkan bahwa upaya

pemerintah maupun stakeholder terkait antisipasi bencana

perlu diperkuat lagi. Terutama upaya yang berorientasi pada

rakyat dan memberi perhatian kuat masyarakat rentan.

Masyarakat yang rentan harus dimasukkan dalam perencanaan

kebijakan sebagai bagian manajemen risiko. Untuk itu

diperlukan dukungan data yang tepat waktu, relevan, dan

berkualitas terkait bencana.

Langkah pemerintah dalam memasukkan pendidikan kebencanaan

dalam kurikulum patut diapresiasi. Diperlukan juga

diadakan latihan dalam menghadapi berbagai bencana alam

yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Perlu

sinergi dengan pemerintah daerah dan berbagai instansi,

termasuk yang swasta. Jika diperlukan dapat diwajibkan

dilakukan beberapa kali dalam setahun.

Penting juga dilakukan prosedur khusus tempat wisata, yang

mana telah menjadi salah satu penyumbang utama jumlah

korban setiap terjadi bencana alam. Sementara dari sisi lain,

penguatan infrastruktur mitigasi bencana juga perlu terus

dilakukan. Sistem peringatan ketika terdeteksi akan terjadi

bencana dan penanganan pascabencana yang lebih terkoordinasi

juga penting untuk mengurangi jumlah korban dan

dampak sosialnya. Dengan demikian kita berharap semoga

di masa yang akan datang, kita lebih siap.

Pustaka

1. BNPB, D. P. (2016). Resiko Bencana Indonesia. Jakarta:

Humas BNPB.

2. Direkur Daerah Tertinggal, T. d. (2019). Perencanaan

dan Pelaksanaan Pengurangan Resiko Bencana dalan

SDGs. Jakarta: Humas BAPPENAS.

3. Emosda, Lela, & Fadzlul. (2014). Mengkonstruk

Pemahaman Masyarakat Peduli Bencana Alam Banjir.

Jurnal Pengabdian Masyarakat, 21-29.

4. Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro. (2010).

Manajemen Bencana Respos dan Tindakan Menghadapi

Bencana. Jakarta: Media Pressindo.

5. Lutfiana, F. R. (2016). Hubungan Tingkat Pengetahuan

Kebencanaan dengan Peran Serta Masyarakat dalam

Mengurangi Resiko Bencana. Geografi UNNES, 16-28.

6. Pahleviannur, M. R. (2019). Edukasi Sadar Bencana

Melalui Sosialisasi Kebencanaan Sebagai Upaya

Peningkatan Pengetahuan Siswa Terhadap Mitigasi

Bencana. Jurnal Pendidikan dan Ilmu sosial, 45-55.

Imbuh Yuwono, SP, M.Pd.

(Widyaiswara Muda)

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 23


BMKG

7 ISTILAH TERKAIT

VIRUS CORONA (COVID-19)

? ODP (Orangdalampemantauan)*belumadagejala.

! PDP (Pasiendalampengawasan)*sudahadagejala.

Suspect

Didugaterkenaviruskarenasudahmenunjukkangejaladanpernah

berkontakataubertemudenganorangyangpositifcorona.

+ Positif

Setelahmelaluiceklaboratoriumdanprosedurlain.

ÏLockdown

Menguncikeluarmasukdarisuatuwilayah/daerah/negara.

Social Distancing

Menjauhisegalabentukperkumpulan,menjagajarakantarmanusia,

menghindariberbagaipertemuanyangmelibatkanbanyakorang.

Work From Home

Bekerjadarirumah.

(WFH)

24

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Serambi Ilmu

Bagaimana Pertumbuhan Awan Cb

Saat Banjir Jabodetabek,

Januari 2020?

Indonesia berduka kembali setelah kejadian longsor

dan banjir di wilayah Sentani, Jayapura, pada tanggal

16 Maret 2019. Tepat pada tanggal 1 Januari 2020,

wilayah Jabodetabek terendam banjir dan memakan korban

jiwa meninggal dunia mencapai 67 orang, sebagaimana

disampaikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BNPB).

Banyak berita yang bertebaran di jejaring internet

mengatakan bahwa banjir Jabodetabek pada tanggal

tersebut bukanlah banjir kiriman, melainkan intensitas dan

volume curah hujan yang berlebih. Hal tersebut sejalan

dengan pernyataan dari Deputi Bidang Klimatologi BMKG

pada http://kompas.com bahwa banjir awal tahun 2020 yang

terjadi di Jakarta dan sekitarnya karena curah hujan ekstrim

(lebih dari 150 mm per hari) yang turun cukup merata di

wilayah DKI Jakarta.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan mengidentifikasi

pertumbuhan awan Cumulonimbus (Cb) saat banjir di

wilayah Jabodetabek pada 1 Januari 2020 menggunakan

data Citra Satelit Himawari 8. Seperti yang disampaikan oleh

Habib, dkk (2019) bahwa terjadinya hujan lebat seringkali

terkait dengan keberadaan awan Cb, hal ini disebabkan

oleh karakteristik awan Cb dengan dimensi yang besar serta

mengandung banyak partikel presipitasi seperti air dan

kristal es.

Tinjauan Analisa Citra Satelit Himawari 8 menggunakan software

SATAID

Awan Cb yang telah mengalami fase dewasa umumnya dapat

diidentifikasi berdasarkan nilai suhu puncak awan < -60 °C.

Semakin dingin suhu puncak awan maka akan semakin

tinggi ketebalan awan yang terdeteksi oleh citra satelit. Nilai

suhu puncak awan dapat diidentifikasi menggunakan data

Citra Satelit Himawari 8.

Gambar 2. Histogram sel awan (lingkaran merah

pada Gambar 1).

Lingkaran merah pada Gambar 1 memperlihatkan

kumpulan awan hujan di wilayah Jabodetabek pada tanggal

31 Desember 2019 pukul 18.00 UTC. Apabila dilihat histogram

sel awan tersebut (Gambar 2) didapatkan bahwa nilai

rata-rata suhu puncak kumpulan awan yaitu -56.7 °C. Sedangakan

nilai suhu puncak awan terendah pada nilai -73.5 °C

dengan puncak ketinggian pada 50240 kaki.

Gambar 1. Citra Satelit Himawari 8 Kanal IR B13 tanggal 31

Desember 2019 pukul 18.00 UTC.

Gambar 3. Produk kontur kanal IR-B13 tanggal 31 Desember

2019 pukul 18.00 UTC.

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 25


Berdasarkan Gambar 3 di titik A terlihat sebaran kontur

suhu puncak awan yang terdapat di wilayah Jabodetabek

menunjukkan nilai 52.5°C. Hal ini menandakan terdapat

sebuah awan yang cukup tebal karena objek yang terdeteksi

oleh Citra Satelit menunjukkan nilai -52.5 °C. Pada titik B

(Gambar 3) tepatnya di wilayah perairan Pantai sebelah

Utara Jakarta terdapat suatu Sel Awan Cumulonimbus yang

cukup tinggi bernilai suhu puncak awan hingga -72.5 °C.

Gambar 4. NIlai suhu puncak awan pada titik B tanggal 31

Desember 2019 pukul 18.00 UTC pada nilai -72.4 °C tinggi

puncak awan Cb sekitar 49.629 kaki.

Kondisi pertumbuhan sel awan Cb yang terjadi pada malam

hari di wilayah perairan sebelah Utara Pantai Jakarta dapat

mengakibatkan potensi menimbulkan cuaca hujan dengan

intensitas sedang hingga lebat dan dapat berlangsung

lama jika penjalaran adveksi awan hujan tersebut bergerak

melintasi daratan wilayah Jabodetabek dan sekitarnya.

Perkembangan 3 jam berikutnya yaitu pada jam 21.00 UTC

terlihat pada tampilan citra satelit di Gambar 5.

Gambar 6. Histogram sel awan (lingkaran merah pada Gambar 5).

Gambar 8. Nilai suhu puncak awan pada titik A tanggal 31

Desember 2019 pukul 21.00 UTC pada nilai -68.6 °C tinggi

puncak awan Cb sekitar 47.205 kaki.

Gambar 5. Citra Satelit Himawari 8 Kanal IR B13 tanggal 31

Desember 2019 pukul 21.00 UTC.

Pada titik A di wilayah Jabodetabek dalam waktu

perkembangan 3 jam kemudian terlihat area wilayah

terjadinya hujan menjadi meluas dengan kisaran rata-rata

suhu puncak awan di area tersebut di Gambar 6 menunjukkan

nilai rata-rata suhu puncak awan hingga -68.3 °C. Tinggi

puncak awan Cb dengan suhu puncak awan -68.3 °C berada

pada tinggi puncak awan 47.205 kaki pada Gambar 8.

Gambar 9. Nilai suhu puncak awan pada titik A tanggal 31

Desember 2019 pukul 21.00 UTC pada nilai -77.9 °C tinggi

puncak awan Cb sekitar 53.339 kaki.

Nilai suhu puncak awan hingga mencapai nilai terendah

pada daerah titik A yang mewakili wilayah Jabodetabek di

nilai -77.9 °C pada tinggi puncak awan Cb hingga ketinggian

puncak awannya mencapai sekitar ketinggian 53.339 kaki.

Hal ini menunjukkan selama dalam waktu 3 jam dari pukul

18.00 UTC hingga 21.00 UTC terjadi kondisi hujan yang

disebabkan oleh kumpulan awan konvektif dan Cumulonimbus

sehingga menyebabkan peningkatan debit air

yang terjadi di permukaan daratan di wilayah Jabodetabek

menjadi sangat banyak jumlahnya. Pergerakan awan-awan

hujan tersebut dapat dilihat dari kondisi 3 jam sebelumnya

yaitu pada pukul 18.00 UTC menunjukkan sel awan CB di

titik B yang terdapat di perairan sebelah Utara Pantai Jakarta

mengalami penjalaran memasuki wilayah daratan Jabodetabek

dan menimbulkan pertumbuhan kembali Awan Cumulonimbus

dengan luasan area yang cukup signifikan luasannya

26

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


terlihat pada gambar kontur suhu puncak awan Gambar 10

di bawah ini

Jabodetabek di titik A. Pada wilayah perairan di sebelah Utara

Pantai Jakarta yaitu di titik B menunjukan fase pertumbuhan

kembali sel awan - awan hujan yang sebelumnya saat 3 jam

yang lalu pada pukul 21.00 UTC pada titik B menunjukkan

fase pertumbuhan awan hujan yang tidak signifikan. Pola

sebaran suhu puncak awan secara histogram pada titik A

Gambar 11 dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah ini

Gambar 10. Produk kontur kanal IR-B13 tanggal 31 Desember

2019 pukul 21.00 UTC.

Pola pertumbuhan sel awan Cumulonimbus yang terjadi

pada malam atau dini hari pada kasus kejadian ini

menandakan terdapatnya proses kompleksitas pola cuaca

pada sistem interaksi permukaan daratan dan lautan dalam

skala spasial ruang yang cukup luas. Proses aktifitas konvektif

yang berhubungan dengan pertumbuhan awan Cumulonimbus

yang umumnya terjadi pada waktu siang dan sore

hari pada kejadian ini menjadi tidak terpenuhi karena pada

kejadian ini terlihat pola pertumbuhan awan konvektif dan

Cumulonimbus terjadi pada waktu malam dan dini hari.

Gambar 12. Histogram sel awan (lingkaran merah pada

Gambar 11).

Suhu puncak awan rata-rata yaitu -61.3 °C menunjukkan

pada pukul 00.00 UTC masih terdapat awan hujan berjenis

Cb dengan tinggi puncak awannya sekitar 44.366 kaki

pada gambar 13. Kondisi hujan yang terjadi selama 6 jam

dari pukul 18.00 UTC hingga 00.00 UTC terlihat merupakan

kondisi hujan yang disebabkan oleh hujan awan Cumulonimbus

yang memiliki nilai suhu puncak awan kurang dari

-60 °C. Hal ini menyebabkan secara signifikan selama dalam

waktu 6 jam tersebut dapat mengakibatkan peningkatan

debit air di permukaan daratan wilayah Jabodetabek dan

sekitarnya yang berakiat pada bencana banjir.

Gambar 13. Nilai suhu puncak awan pada titik A tanggal 01

Januari 2020 pukul 00.00 UTC pada nilai -61.4 °C tinggi puncak

awan Cb sekitar 44.366 kaki.

Gambar 11. Citra Satelit Himawari 8 Kanal IR-B13 tanggal 01

Januari 2020 pukul 00.00 UTC.

Kondisi perkembangan 3 jam kemudian dari pukul 21.00 UTC

hingga 00.00 UTC dapat dilihat kembali dari data satelit himawari

8 yang diolah menggunakan software SATAID. Pada

tanggal 01 Januari 2020 pukul 00.00 UTC terlihat sebaran

awan awan hujan masih menutupi sebagian besar wilayah


Gambar 14. Produk Kontur Kanal IR-B13 tanggal 01 Januari

2020 pukul 00.00 UTC.

Kesimpulan

1. Sel awan yang menyebabkan hujan ekstrim sehingga

mengakibatkan banjir di sebagian besar wilayah Jabodetabek

pada tanggal 01 Januari 2020 disebabkan karena

pertumbuhan sel awan Cumulonimbus yang mengalami

fase awal pertumbuhan selama 6 jam dari pukul 18.00

UTC hingga 00.00 UTC.

2. Penjalaran suhu puncak awan Cb < -60 °C secara spasial

dan time series dapat digunakan untuk mengetahui

siklus pertumbuhan dan pergerakannya sehingga dapat

digunakan untuk sumber informasi Warning Peringatan

Dini Cuaca.

3. Pertumbuhan Sel Awan Cumulonimbus yang

berlangsung pada malam hari dengan durasi waktu

cukup lama sekitar 6 jam dan cukup luas wilayah tutupannya

sebagai akibat dari interaksi sistem atmosfer

antara permukaan perairan sebelah Utara Pantai Jakarta

dan wilayah daratan Jabodetabek perlu mendapat

kajian lebih dalam lagi mengenai kondisi parameter

meteorology yang dapat menyebabkan sistem interaksi

tersebut.

4. Kajian mengenai nilai suhu puncak Awan Cumulonimbus

yang bernilai < -60 °C disertai cakupan luasan secara

spasial yang memungkinkan memiliki batasan luasan

spasialnya pada kejadian cuaca ekstrim khususnya

hujan deras dengan durasi waktu yang lama pada

waktu yang lain akan sangat penting diperlukan untuk

mengetahui variasi spasial sebaran suhu puncak awan

Cumulonimbus yang dapat menyebabkan cuaca buruk

dengan durasi waktu yang lama.

Referesi :

1. Habid, A. H., & dkk. (2019). Kajian Pertumbuhan Awan

Hujan pada saat Banjir Bandang Berbasis Citra Satelit

dan Citra Radar (Studi Kasus: Padang, 2 November 2018)

(Vol. 6). Tangerang: Jurnal Meteorologi Klimatologi dan

Geofisika. Retrieved Juli 2, 2019

Madona, M.Si.

(Widyaiswara Muda)

28

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


EXPOSE LAPORAN AKUNTABILITAS

KINERJA PEMERINTAH (LAKIP)

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

PERIODE RENSTRA 2014-2019

Jika ada pertanyaan

“Berapa besar dana

yang telah dan akan

dihabiskan” menjadi

“Berapa besar kinerja

yang dihasilkan dan

kinerja tambahan yang

diperlukan, agar tujuan

yang telah ditetapkan

pada akhir periode bisa

tercapai” , maka seseorang

perlu mengenal apa yang

namanya LAKIP.

Apa yang dimaksud dengan

akuntabilitas kinerja,

berdasarkan Inpres no 7

tahun 1999, Akuntabilitas

kinerja adalah perwujudan

kewajiban suatu instansi

pemerintah untuk

mempertanggungjawabkan

keberhasilan / kegagalan

pelaksanaan misi organisasi

dalam mencapai tujuantujuan

dan sasaran-sasaran yang telah

ditetapkan melalui alat pertanggungwaban

secara periodik. Pada pokoknya terdiri

dari berbagai indikator dan mekanisme

kegiatan pengukuran, penilaian, dan

pelaporan kinerja secara menyeluruh

dan terpadu untuk memenuhi kewajiban

suatu instansi pemerintah dalam

mempertanggungjawabkan keberhasilan

/ kegagalan pelaksanaan tugas pokok dan

fungsi, serta misi organisasi.

Bagi seorang pimpinan, LAKIP akan

berguna untuk bisa mengukur setiap

pembangunan atau kinerja yang

dilakukan pada setiap organisasi.

Selain itu, dengan pelaporan ini bisa

Gambar : Siklus Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

(Sumber : http://www.asncpns.com/2015/03/memahami-sakip-danlakip-sebagai-tolak.html

)

dijadikan sebagai tolok ukur untuk

mempertanggungjawabkan anggaran

yang telah digunakan pada satu periode

anggaran satu tahun sebelumnya.

Kewajiban penyusunan LAKIP

dibebankan kepada setiap instansi

pemerintahan yaitu Kementerian/

Lembaga Negara, Pemerintah Provinsi,

Kabupaten/Kota, Unit Organisasi Eselon

I pada Kementerian/Lembaga

Negara, SKPD (Satuan Kerja Perangkat

Daerah).

Perencanaan Stratejik merupakan

suatu proses yang berorientasi pada

hasil yang ingin dicapai selama kurun

waktu 1 (satu) sampai dengan 5

(lima) tahun secara sistematis dan

berkesinambungan

d e n g a n

memperhitungkan

potensi, peluang,

dan kendala yang

ada atau yang

mungkin timbul.

Rencana Strategis

Kementerian/

Lembaga (Renstra–

KL) untuk menjamin

keterkaitan

dan konsistensi

antara perencanaan,

penganggaran,

pelaksanaan

Serambi Ilmu

dan pengawasan serta

menjamin tercapainya

penggunaan sumber

daya secara efisien,

efektif, berkeadilan,

dan berkelanjutan.

Selanjutnya sistem

akuntabilitas, setiap

instansi pemerintah

sampai tingkat Eselon

II, dalam hal ini Pusat

Pendidikan dan Pelatihan

BMKG wajib menyusun

Rencana Strategis untuk

melaksanakan akuntabilitas

kinerja instansi

pemerintah sebagai wujud

pertanggungjawaban

kinerja

instansi

pemerintah.

Penilaian kinerja melalui

indikator yang akan diukur

diperlukan metode pengukuuran

yang terukur

dengan dasar pengukuran SMART

(Specific-Measurable-Achievable-Result

Oriented-Relevant). Dengan dasar

pengukuran tersebut maka diharapkan

pencapaian akuntabilitas kinerja dapat

berjalan efektif dan efisien.

Dengan demikian sebagai tindak

lanjut dari Perencanaan Strategis

tersebut maka Dibuatlah Pelaporan

Kinerja dengan indikator pengukuran

yang mengacu pada Renstra 2015-

2019, dengan didasarkan pada empat

perspektif sebagai berikut :

1. Stakeholder Perspective

Terdiri dari satu sasaran strategis

yaitu Terwujudnya SDM MKG yang

Kompeten (SS-1)

2. Customer Perspective

Terdiri dari dua sasaran strategis

yaitu Lulusan Diklat Berkualitas

Tinggi Sesuai dengan Kebutuhan

(SS-2) dan Kepuasan Pengguna

Layanan yang Tinggi (SS-3)

3. Internal Process Perspective

Terdiri dari empat sasaran

strategis yaitu Kebutuhan Diklat

yang Teridentifikasi (SS-4), Pro-

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 29


gram Diklat yang Akomodatif (SS-5), Pembelajaran yang

Kreatif, Efektif dan Inovatif (SS-6) dan Penjaminan Mutu

yang Berkelanjutan (SS-7)

4. Learning and Growth Perspective

Terdiri dari empat sasaran strategis yaitu SDM

mempunyai Standard Kualifikasi dan Kompetensi (SS-

8), Organisasi yang Sehat (SS-9), Sarana Prasarana dan

TIK yang Memenuhi Standard (SS-10) dan Pengelolaan

Keuangan yang Optimal dan Akuntabel (SS-11).

Dengan mengacu pada pengertian hal-hal diatas, maka Pusdiklat

perlu menterjemahkan setiap indikator kinerja agar

dapat direalisasikan dengan mengacu pada hasil yang realistis

agar dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu dengan

menggunakan sumberdaya yang tersedia. Berdasarkan

rencana strategis Pusdiklat, dibawah ini adalah IKU yang di

kelompokkan berdasarkan empat perspektif diatas yaitu :

1. Sasaran Strategis 1 (SS-1) : Terwujudnya SDM MKG

yang Kompeten

a. Persentase alumni diklat yang berkontribusi

terhadap kinerja organisasi

b. Persentase alumni diklat yang menerapkan hasil

diklat

2. Sasaran Strategis 2 (SS-2) : Lulusan Diklat Berkualitas

Tinggi Sesuai dengan Kebutuhan

a. Jumlah pegawai yang terdiklat

b. Persentase lulusan diklat dengan nilai kualifikasi

minimal Baik Sekali

3. Sasaran Strategis 3 (SS-3) : Kepuasan Pengguna

Layanan yang Tinggi

a. Penilaian kualitas layanan penyelenggaraan diklat

4. Sasaran Strategis 4 (SS-4) : Kebutuhan Diklat yang

Teridentifikasi

a. Jumlah laporan kajian internal Analisa Kebutuhan

Diklat (AKD) eksternal kebutuhan diklat

b. Jumlah laporan kajian

5. Sasaran Strategis 5 (SS-5) : Program Diklat yang Akomodatif

a. Jumlah kurikulum diklat teknis dan diklat fungsional

b. Jumlah modul yang dihasilkan

c. Jumlah buletin yang dihasilkan

6. Sasaran Strategis 6 (SS-6) : Pembelajaran yang

Kreatif, Efektif dan Inovatif

a. Persentase diklat yang terealeasikan

b. Jumlah seminar on-line yang diselenggarakan

c. Jumlah pegawai penerima beasiswa Pusdiklat BMKG

7. Sasaran Strategis 7 (SS-7) : Penjaminan Mutu yang

Berkelanjutan

a. Persentase evaluasi diklat terhadap

penyelenggaraan

b. Jumlah seminar on-line yag terevaluasi

c. Persentase pengajar mutu yang berkelan-jutan

8. Sasaran Strategis 8 (SS-8) : SDM mempunyai Standard

Kualifikasi dan Kompetensi

a. Persentase pengelola diklat yang mempunyai sertifikat

MoT

b. Persentase penyelenggara diklat yang mempunyai

sertifikat ToC

c. Persentase widyaiswara yang memenuhi kualifikasi

pendidikan

d. Persentase widyaiswara yang memenuhi kualifikasi

kompetensi

9. Sasaran Strategis 9 (SS-9) : Organisasi yang Sehat

a. Penilaian LAKIP

b. Persentase SOP yang telah diimplementasikan

c. Persentase kedisiplinan pegawai

d. Persentase program diklat yang terakreditasi

10. Sasaran Strategis 10 (SS-10) : Sarana Prasarana dan

TIK yang Memenuhi Standard

a. Penilaian sarana prasarana

b. Jumlah kapasitas akses pengguna e-learning

11. Sasaran Strategis 11 (SS-11) : Pengelolaan Keuangan

yang Optimal dan Akuntabel

a. Persentase penyerapan anggaran

Dengan mengikuti periode Renstra 2015-2019 dibawah ini

adalah capaian berdasarkan empat perspektif tahun 2016

sampai dengan 2019 (data tahun 2015 belum ada data).

Tabel Capaian Kinerja Pusdiklat berdasarkan perspektive

dalam Renstra BMKG

Stakeholder

Perspective

Customer

Perspective

Internal

Process

Perspective

Learning

& Growth

Perspective

2016 2017 2018 2019

10.9 14.68 25.14 20.19

29.12 33.35 38.92 46.52

25.03 32.26 31.19 48.44

21.53 24.11 35.52 33.45

Selanjutnya grafik dibawah ini akan memberikan

penjelasan trend capaian kinerja berdasarkan empat perspektive

diatas :

30

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Berdasarkan empat grafik diatas menunjukkan trend yang meningkat secara signifikan pada tahun 2016-2019. Namun

penurunan pada akhir periode Renstra 2015-2019 pada stakeholder perspektif dan learning and growth perspektif. Penurunan

pada stakeholder perspektif disebabkan oleh belum optimalnya indikator pencapaian kinerja pada SS-1 terutama

pada persentase alumni diklat yang berkontribusi terhadap kinerja organisasi dan alumni diklat yang menerapkan hasil

diklat. Salah satu cara meningkatkan kinerja diatas adalah dengan meningkatkan jumlah alumnni melalui kegiatan paska

diklat Diklat PIM III/IV dan Latsar CPNS. Cara yang efektif selain dengan mengunjungi ke lokus UPT juga bisa mnemanfaatkan

sistem informasi secara online, dengan cara ini diharapkan persentase SDM BMKG yang kompeten dapat ditingkatkan.

Penurunan untuk learning and growth perspective juga karena kontribusi pengelola diklat yang bersertifikat MoT

persentasenya masih kurang dari ideal karena belum semuanya memiliki. Hal ini bisa didorong melalui pengiriman

pejabat pengelola diklat mengikuti diklat MoT di LAN. Kontribusi lain adalah pada pesrsentase jumlah SOP yang telah

diimplementasikan juga masih belum optimal karena pada proses pengusulan SOP masih terkendala dengan lamanya proses

legalitas dari Biro Hukum yang mensyahkan SOP untuk diimplementasikan. Dengan demikian diperlukan kerja sama yang

baik para taskforce sehingga selalu termonitor agar prosesnya efektif dan efisien.

Berkaca pada penjelasan diatas, dirasa sangat penting setiap anggota organisasi untuk mengetahui penjabaran kinerja

organisasi melalui pelaporan LAKIP. Dengan mengetahui kinerja organisasi tersebut setiap SDM akan mengetahui sejauh

mana kinerja organisasinyan sehingga mereka akan dapat mengukur sejauh apa bisa kontribusi secara individu terhadap

kinerja organisasi dan pada tahapan selanjutnya setiap individu akan dapat juga mengukur sejauh apa bisa berkontribusi

selanjutnya untuk meningkatkan kinerja organisasi lebih baik.

Referensi :

1. Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG, Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Pusdiklat Tahun 2019.

2. Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG, Perencanaan Strategis Tahun 2015-2019.

Juniarto Widodo, ST, MM

(Widyaiswara Madya)

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 31


Memotret Kebutuhan

Diklat melalui AKPK

Pendahuluan

Analisa Kebutuhan Pengembangan Kompetensi (AKPK)

merupakan salah satu kegiatan Pusdiklat BMKG yang

dirancang dan dilaksanakan memasuki awal tahun 2020

ini. Kegiatan serupa telah dilaksanakan pada tahun-tahun

sebelumnya dengan nama lain yaitu AKD (Analisa Kebutuhan

Diklat) atau TNA (Training Need Analysis) yang semuanya

bertujuan untuk menjaring ide, masukan dan mengetahui

konten dan bentuk pelatihan yang tepat dan up to date bagi

ASN BMKG baik dari sisi teknis Meteorologi, Klimatologi,

Geofisika dan teknis Instrumentasi/ Komunikasi maupun

yang bersifat pelatihan manajerial dan administratif.

Berbeda dengan pelaksanaan TNA pada tahun-tahun

sebelumnya, dimana pelaksanaan analisa kebutuhan diklat

untuk tahun yang akan datang digabungkan dengan evaluasi

pasca diklat yang diselenggarakan untuk tahun berjalan atau

sebelumnya, AKPK tahun 2020 ini murni bertujuan untuk

menggali kebutuhan pelatihan dari staff BMKG di UPT Meteorologi/

Klimatologi/ Geofisika serta identifikasi kesenjangan

(gap) kompetensi pegawai yang muncul di suatu unit kerja

UPT setempat. Pemilihan UPT ditetapkan bersama dengan

metode sampling perwakilan regional pulau Jawa, Sumatera,

Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat.

Dalam pelaksanaannya APKP di 12 UPT terpilih dilakukan

dengan metode pengisian kuesioner dan wawancara kepada

Kepala dan jajaran manajerial UPT serta Focus Group Discussion

dengan staf fungsional PMG serta staf administrasi

dari UPT yang bersangkutan. Hasil AKPK akan dijadikan

dasar rekomendasi untuk penentuan jenis pelatihan

pada tahun 2021. Pada kesempatan ini penulis mendapat

tugas melaksanakan AKPK ke dua lokasi, yaitu Pontianak

Kalimantan Barat dan Gunungsitoli, Nias.

Menjembantani Gap Kompetensi

Kesenjangan atau gap kompetensi

seorang pegawai

diartikan sebagai perbedaan

antara tingkat kompetensi

yang dimilikinya

saat ini dengan level kompetensi

yang diperlukan

organisasi atau dituntut

users yang seharusnya

dimiliki. Kebutuhan untuk

menjembatani kesenjangan

ini perlu dianalisis

melalui suatu metode

yang dinamakan Training

Needs Analysis (TNA). TNA

didefinisikan sebagai suatu

proses untuk menentukan

bilamana dan jenis training

apa yang dibutuhkan (WMO,

2015). Tanpa lebih dulu

melakukan TNA, suatu pelatihan

dapat salah alamat, tidak menjawab permasalahan

organisasi, atau bukan merupakan prioritas pegawai. Jenis

training/pelatihan yang biasanya merupakan prioritas dan

mendesak adalah pelatihan untuk pegawai baru dan pelatihan

untuk posisi pekerjaan yang menuntut pengetahuan

dan ketrampilan baru, dikarenakan adanya perubahan baik

yang datangnya dari dalam maupun luar organisasi yang

menuntut perubahan proses kerja.

Latar belakang perlunya dilakukan analisis seperti yang

dikemukakan Barbazette (2006) pada umumnya untuk

menjawab pertanyaan 5 W dan 1 H (what, who, when,

where, why, how) sebagai berikut:

(1) Why -Mengapa perlu melakukan training/ pelatihan

- Guna melihat keterkaitan antara lemahnya performa

organisasi akibat kesenjangan kompetensi pegawai

dengan kebutuhan bisnis organisasi, serta memastikan

bahwa manfaat pelatihan lebih besar dari kerugian

yang ditimbulkan oleh turunnya performa organisasi;

Dapat dilakukan dengan analisis kebutuhan vs keinginan

dan dengan studi kelaikan (feasibility study)

(2) Who -Siapa saja yang terlibat di dalamnya - Pelatihan

melibatkan pihak-pihak yang terkait untuk mengisi atau

meminimalisir kesenjangan; dapat dilakukan dengan

metode survei untuk menjaring sebanyak mungkin

pihak yang terkait dan mengidentifikasi isi, bentuk dan

metode pelatihan yang hasilnya dapat memenuhi

harapan pihak-pihak tersebut.

(3) How- Bagaimana pelatihan dapat menjawab

permasalahan kinerja organisasi – Untuk menentukan

apakah diperlukan pelatihan atau cara perbaikan lain,

perlu dilakukan analisis kinerja guna mengetahui

dimana letak kekurangan skill/ ketrampilan staff

32

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Serambi Ilmu

(4) What – Apa yang dibutuhkan untuk memperoleh

hasil terbaik , misalnya SOP atau peraturan

tertentu yang diperlukan untuk menyelesaikan

pekerjaan dengan baik – cara terbaik untuk

mengetahuinya adalah melalui analisis uraian

tugas.

(5) When – Kapan sebaiknya

pelatihan dilakukan,

agar jangan sampai

mempengaruhi

proses bisnis, jadwal

libur nasional, dan

sebagainya. Dapat

ditentukan dengan

analisis kontekstual.

Dalam hal ini TNA dibutuhkan

untuk mengambil keputusan

apakah memang pelatihan atau

pengembangan kompetensi

pegawai merupakan solusi

yang tepat untuk pemulihan

kinerja organisasi, karena tanpa

mengetahui pasti bahwa training

dapat menjawab kebutuhan

organisasi, pelatihan

beresiko hanya akan

menyebabkan pemborosan

waktu dan

dana.

Dalam urutan Desain Instruksional ADDIE (Analysis, Design,

Development, Implementation, Evaluation), menurut

Kirkpatrick, (gambar 1) TNA atau AKPK merupakan tahap

pertama dimana kebutuhan diklat, masalah instruksional

didefinisikan, sasaran dan tujuan diklat ditentukan, juga

pengetahuan dan keterampilan dasar peserta diklat digariskan.

Tahap kegiatan berikutnya yaitu perancangan,

pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi diklat mutlak

ditentukan berdasarkan hasil analisis pada tahap ini.

Analisis (dalam hal ini TNA) menduduki urutan pertama

yang harus dilakukan sebelum menDesain, menDevelop/

mengembangkan dan mengImplementasikan suatu pelatihan.

Lingkaran Evaluasi diletakkan pada tahap terakhir

sebelum analisis pelatihan selanjutnya, namun dapat

juga diletakkan di tengah sebagai sentral, yang diartikan

bahwa evaluasi dapat dilakukan pada pasca setiap tahapan

Analisis kebutuhan, perancangan, pengembangan maupun

pelaksanaan pelatihan.

3. Peserta diminta menempatkan kompetensi

masing-masing (2) pada peta analisis kompetensi

pegawai (gambar 2) menurut pikiran

dan kesadaran masing-masing (yang di akhir

kegiatan dikonfirmasikan ke pimpinannya):

a. Kwadran I bagi staff yang

merasa menyukai, memiliki

“passion” mengerjakan

jenis pekerjaan tertentu,

namun memposisikan

diri tidak cakap (berada

di posisi 1 -3 dalam

skala kapabilitas 1-5)

mengerjakannya

b. Kwadran II bagi staff yang merasa

menyukai, memiliki “passion”

mengerjakan jenis pekerjaan

tertentu, dan memposisikan

diri cakap (berada di posisi 4

atau 5 dalam skala abilitas 1-5)

mengerjakannya.

c. Kwadran III bagi staff

yang memposisikan

diri dapat/ cakap

Gambar 1. SIKLUS ADDIE DALAM PERENCANAAN TRAINING menurut Kirkpatrick (berada di posisi

4 dan 5 dalam

skala kapabilitas

1-5) mengerjakan suatu kompetensi pekerjaan,

namun tidak memiliki passion untuk

mengerjakannya

d. Kwadran IV bagi staff yang merasa tidak

menyukai atau tidak memiliki “passion”

mengerjakan jenis pekerjaan tertentu, juga

memposisikan dirinya tidak cakap (berada

di posisi 1-3 dalam skala abilitas 1-5) dalam

mengerjakannya.

5. Sementara itu melalui metode wawancara/ pengisian

kuesioner pimpinan unit (Kepala UPT dan Kepala-

Kepala Seksi/ Tata Usaha) juga dimintakan masukan

tentang target kinerja yang mereka harapkan serta

PETA ANALISIS PERFORMA KINERJA

TIDAK BISA

BISA

Metode Analisis Kebutuhan Pengembangan Kompetensi

Dalam melaksanakan metode analisis untuk mengidentifikasi

kebutuhan pengembangan kompetensi dilakukan

melalui berbagai metode dan teknik. Pada kegiatan analisa

kebutuhan pengembangan kompetensi (AKPK) yang

dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG

dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Peserta FGD di bagi ke dalam 4 (empat) kelompok

jabatan/ profesinya.

2. Peserta diminta menuliskan kompetensi utama

yang paling dibutuhkan untuk profesi pekerjaannya

(staf yang merangkap pekerjaan sebagai analis/

pengamat/ teknisi/tenaga administrasi diminta

menuliskan beberapa kompetensi sesuai profesi

masing-masing)

SUKA

TIDAK SUKA

I

IV

II

III

Gambar 2. Peta Analisis Kompetensi Pegawai (Sumber:Balling dan

Barbazette, 1995)

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 33


tingkat pencapaian kinerja UPT termasuk komponen

kesempatan pelatihan yang sudah dan masih

diperlukan bagi staff di UPT nya.

6. Di akhir kegiatan AKPK, dipaparkan distribusi

penempatan posisi kompetensi hasil FGD (langkah 1-3)

di forum Kepala dan tim manajerial UPT dengan mencocokkan

hasil wawancara lisan dan tertulis (4), khususnya

tentang kebutuhan diklat untuk mendukung tupoksi

unit kerjanya.

Hasil temuan di lapangan.

Berdasarkan pemetaan di beberapa UPT yang kami kunjungi,

diperoleh beberapa list kebutuhan pengembangan kompetensi

yang diklasifikasikan menurut 4 kelompok profesi

pegawai, yaitu kelompok analis/ prakirawan cuaca/forecaster,

kelompok pengamat/observer, kelompok teknisi

dan kelompok tata usaha. Di sebagian besar UPT tugas

fungsi observer serta komputasi (IT) dirangkap oleh analis/

forecaster dan teknisi. Bahkan beberapa fungsi administrasi

(bendahara, pejabat pembuat SPM, dll) dilaksanakan

oleh kelompok analis, pengamat dan/ atau teknisi. Hal ini

disebabkan oleh masalah kekurangan SDM yang seringkali

muncul di UPT dan berdampak pada bias nya uraian

pengembangan kompetensi yang dibutuhkan oleh setiap

kelompok. Disamping itu kami juga menangkap harapan/

keinginan untuk mendapat kesempatan pelatihan bagi staff

dari Kepala dan beberapa pejabat managerial UPT.

Tabel 1 berikut menunjukkan daftar kebutuhan

pengembangan kompetensi pegawai dari Stasiun Meteorologi

Supadio Pontianak, Stasiun Klimatologi Mempawah,

Stasiun Meteorologi Binaka Gunungsitoli dan Stasiun Geofisika

Gunung Sitoli.

Tabel 1. List Kesenjangan Kompetensi 4 kelompok profesi

pegawai

Kelompok Profesi

Analis/ Forecaster

KESENJANGAN KOMPETENSI

1. Model Prakiraan global, regional dan lokal (MK)

2. Tehnik Analisis Cuaca (M)

3. Interpretasi citra Radar dan Satelit Cuaca (MK)

4. Pola Hujan Lokal (MK)

5. Penguasaan statistik dan GIS (K)

6. Standar Analisa & Pelayanan (MK)

7. Teknis Diseminasi Informasi (MKG)

8. Analisa Cuaca Ekstrim (M)

9. Pembuatan shakemap (G)

10. Pembuatan peta evakuasi tsunami (G)

11. Pengolahan data petir (G)

12. Penguasaan software analisa geofisika (G)

13. Kemampuan memprediksi gempabumi dengan prekursor magnet bumi (G)

14. Kemampuan menganalisa signal seismic (G)

Observer

1. Tehnik pembuatan QAM, Metar serta penyebaran ke lokal bandara (M)

2. Pembuatan sandi Synop (M)

3. Pengamatan Observasi Meteorologi Permukaan dan Udara Atas (M)

4. Interpretasi Data Radar dan Satelit (MK)

5. Pengoperasian BMKG Soft (MKG)

6. SOP jika terjadi kecelakaan pesawat (M)

7. Pengoperasian pengamatan geofisika (G)

8. Konsep dasar pengamatan meteorologi (synop) (MG)

9. Konsep dasar pengamatan klimatologi (KG)

Teknisi

1. Pengetahuan tentang Ilmu Dasar Elektronika & Rangkaian Listrik Arus Lemah dan

Kuat

2. Software computer, OS Linux

3. Hardware computer dan jaringan komunikasi

4. Pengoperasian dan pemeliharaan alat pengamatan meteorologi

5. Pemahaman tentang Instrumentation Guide WMO No. 8

6. Pengoperasian dan pemeliharaan alat pengamatan geofisika

7. Memahami konsep jaringan komunikasi

Tata Usaha

M=Meteorologi K=Klimatologi G=Geofisika

1. Tata kelola Arsip

2. Aplikasi keuangan terupdate, termasuk aplikasi KPPN daerah setempat

3. Asset BMN

4. Pengadaan Barang dan Jasa

5. Menguasai ilmu perbendaharaan

34

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Distribusi Kompetensi Pegawai

Selanjutnya, setelah mendapatkan hasil dari yang telah

diuraikan diatas, kemudian dilakukan analisis solusi. Solusi

tindak lanjut dari setiap posisi kompetensi pegawai yang

direkomendasikan untuk dilakukan Kepala UPT/ pimpinan

unit kerja terhadap staff yang memposisikan diri di kwadran

I- IV pada gambar 2 diuraikan sebagai berikut:

I. Kelompok yang bisa/ mampu namun tidak suka

mengerjakan:

II.

--

Mendiskusikan tentang alasan ‘ketidak sukaan/

ketidak bersediaan’ untuk melakukan pekerjaan

tersebut

--

Memberikan umpan balik dan bimbingan (coaching)

--

Mengawasi praktek pekerjaannya

Kelompok yang bisa/ mampu dan suka mengerjakan:

--

Mencari alasan utama penurunan performa kinerja

--

Menyediakan waktu dan sarpras yang cukup

--

Menerapkan metoda pembimbingan (coaching)

III. Kelompok yang suka

mengerjakan:

--

Mengadakan training ketrampilan

namun kurang mampu

--

Melakukan magang /on the job training

--

Mengevaluasi kelengkapan peralatan dan sarprasnya

--

Menemukan penyebab lain kesulitaanya

IV. Kelompok yang tidak suka dan tidak bisa

mengerjakan:

--

Memberikan training ketrampilan

--

Mengawasi praktek

--

Mendiskusikan sikap ‘ketidak bersediaan’nya

melakukan pekerjaan tersebut

--

Mengajak melihat keuntungan/ hasil

--

Menemukan penyebab lain keberatannya

Data di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar Analis/

Forecaster dan teknisi menempatkan dirinya di kwadran

I dan II, yang menunjukkan bahwa mereka menyukai

pekerjaannya dengan berbagai level kemampuan kompetensi.

Sementara itu sebagian kelompok administrasi/ TU memposisikan

diri di kwadran I dan III, dimana dapat diartikan

bahwa mereka belum banyak mendapat kesempatan pelatihan

ketata usahaan dan aplikasi keuangan, yang di sebagian

UPT menjadi ‘beban’ karena adanya tuntutan sertifikasi dan

ketertinggalan dari update informasi terkait baik dari pusat

maupun daerah setempat .

Hal menarik lainnya muncul di kalangan sebagian kelompok

pengamat/ observer yang memposisikan diri di kwadran III

dan IV. Kajian dan diskusi lebih lanjut menengarai penyebab

utama dari ketimpangan tersebut antara lain sebagai

berikut:

(1) Banyak pengamat yang fungsinya dirangkap oleh analis

dan/atau teknisi

(2) Terdapat pengamat yang memiliki tugas mengamati

peralatan ‘titipan’ yang tidak sesuai dengan latar

belakang pendidikan/ pengetahuan peserta misalnya

peralatan pengamat meteorologi permukaan (sinoptik)

dan peralatan pengamat Kualitas Udara yang

ditempatkan di stasiun Geofisika

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pemetaan terhadap kesenjangan kompetensi

pegawai yang dilakukan pada kegiatan AKPK di empat UPT

Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika secara umum dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

a. Permasalahan keterbatasan SDM dibandingkan dengan

tuntutan tugas fungsi pokok yang ditemui di sebagian

besar UPT mengakibatkan fungsi pekerjaan pengamat

dan administrasi dikerjakan rangkap oleh staff yang ada

(dengan profesi analis dan/ atau teknisi)

b. Hasil pemetaan analisis performa kerja (bisa vs suka)

menunjukkan permasalahan utama muncul ketika

kelompok jabatan teknisi diminta merangkap sebagai

pengamat karena memang faktanya bahwa mereka tidak

memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman

yang mendukung pekerjaan pengamat sehingga mereka

tidak mempunyai passion untuk melakukan pekerjaan

tersebut.

Saran solusi yang dapat kami rekomendasikan untuk menjembantani

kesenjangan kompetensi pegawai adalah

mengkomunikasikan hasil temuan AKPK dengan Pembina

teknis dari Kedeputian Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.

Di samping itu perlu dilakukan kaji ulang dan pendalaman

terhadap beban kerja dan uraian tugas UPT,

penyesuaian kurikulum yang memenuhi kompetensi di STM-

KG. Penetapan Standard Kompetensi Kinerja Khusus untuk

setiap unit pelaksana teknis merupakan langkah wajib ke

arah perbaikan kinerja pejabat fungsional dan peningkatan

performa instansi BMKG ke depan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Barbazette Jean, Training Need Assessment: Methods,

Tools and Techniques, Pfeiffer, 2006.

2. Berita Acara Pelaksanaan Kegiatan Analisa Kebutuhan

Pengembangan Kompetensi di UPT Gunung Sitoli,

Nurhayati, Malik AJ, Adyanto C, 2020

3. Ed Forest: The ADDIE Model: Instructional Design. Educational

Technology, 2018.

4. Laporan Tim AKPK Pontianak, Pusdiklat BMKG, 2020.

5. Training Needs Assessment -WMO Resources for Trainers

version 2.0, 2015, https://etrp.wmo.int/mod/resource/view.php?id=8500.

Nurhayati & Widodo

Widyaiswara Pusdiklat BMKG

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 35


TRAINING DEVELOPMENT PLAN

(GROUP FELLOWSHIP TRAINING ON THE

ENHANCEMENT OF NWP WMO – BMKG)

“A goal without a plan is only a dream .” (Brian Tracy)

Idealnya, dalam mempersiapkan suatu pelatihan.

perlu dibuat dokumen perencanaan pelatihan guna

memastikan penyelenggaraan pelatihan yang efisien dan

efektif. Sehubungan dengan hal tersebut, World Meteorological

Organization (WMO) memiliki kriteria dan standar

yang dibakukan menjadi dokumen perencanaan pelatihan

atau Training Development Plan (TDP) atau Training Plan.

Education and Training Programme WMO (ETRP WMO)

memiliki satu pelatihan khusus yang diselenggarakan rutin

setiap tahunnya bagi para trainer/lecturer di berbagai National

Meteorological and Hydrological Services (NMHs) terkait

penyusunan dokumen ini yaitu training of WMO Online

Course for Trainers dengan dokumen Training Development

Plan sebagai outputnya.

Tujuan pembuatan Training Development Plan sendiri

adalah untuk mengetahui poin-poin terkait pengembangan

pembelajaran seperti identifikasi pengetahuan, keterampilan

yang dibutuhkan pada suatu pelatihan, identifikasi sumber

daya yang dibutuhkan, jenis aktivitas pembelajaran, model

evaluasi pelatihan dll.

Dikutip dari artikel Organizing and Managing Training Events,

oleh Mustafa Adiguzel dari Education and Training Programme

WMO, menyatakan bahwa salah satu kegiatan pada

persiapan training adalah “Develop a work Planning Sheet.”

Selanjutnya, pada dokumen Guidelines for Trainers in Meteorological,

Hydrological and Climate Services, WMO No-1114,

disebutkan tentang Instructional System Design yaitu suatu

pendekatan untuk memastikan pengalaman belajar yang

efisien, efektif dan menarik (engaging). Model yang biasa

digunakan adalah ADDIE Model, yang terdiri atas 5 tahapan

yaitu Analyze, Design, Develop, Implement dan Evaluate.

Model ADDIE selanjutnya digambarkan pada proses

pembelajaran sebagai training cycle (Gb. 1). Siklus ini terdiri

dari komponen yang saling terkait berupa langkah-langkah

sistematis, biasanya dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan

belajar dan berakhir dengan penilaian/evaluasi belajar.

Selanjutnya, dokumen TDP yang baik haruslah mencakup

hal-hal sebagai berikut:

• Organizational Context

• Learning Needs

• Learning Solutions

• Learning Activities and resources

• Learning Delivery

• Learning Evaluation

Penyusunan TDP telah dilakukan oleh BMKG InaRTC

sejak tahun 2014, sesuai dengan kriteria dan standar

yang ditetapkan oleh WMO. Selanjutnya, penulis akan

memaparkan rangkuman konten TDP Training on the Enhancement

of NWP WMO 2020 yang disusun bersama-sama

sejak tahun 2019 oleh Education and Training Programme

WMO dan BMKG InaRTC.

GROUP FELLOWSHIP TRAINING ON THE ENHANCEMENT

OF NWP WMO – BMKG

Title of Course

Training on the Enhancement of Numerical Weather Prediction

Course Location

BMKG Regional Training Centre, Citeko, Jawa Barat, STMKG

Tangerang dan BMKG Pusat Jakarta

Course Description

Indonesia Regional Training Centre for WMO RA V atau

BMKG InaRTC tahun 2020 ini mendapatkan kepercayaan dan

amanah dari World of Meteorological Organization (WMO)

dalam perannya sebagai RTC untuk meningkatkan kapasitas

operasional prakiraan cuaca negara-negara RA V khususnya

di bidang Numerical Weather Prediction (NWP) melalui

penyelenggaraan Training on The Enhancement of NWP.

Negara anggota RAV WMO yang nantinya akan berpartisipasi

sebagai peserta pada training ini berjumlah 23 yaitu Brunei

Darussalam, Cook Island, Fiji, Kiribati, Malaysia, Niue, Papua

New Guinea, Phillipines, Singapore, Samoa dan lain-lain.

Training ini di latarbelakangi oleh negara-negara RA V WMO

yang terletak di daerah rawan bencana yang rentan akan

fenomena cuaca berbahaya seperti siklon tropis, hujan deras

dan angin kencang yang berpotensi menimbulkan kerugian

baik pada aspek ekonomi maupun sosial negara tersebut.

Hal ini dalam kaitannya dengan prediksi cuaca, khususnya

pemanfaatan produk NWP serta skill operationalnya yang

mumpuni selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan

layanan peringatan dini cuaca.

Gambar 1. Training Cycle (WMO Resouces for Trainer doc.)

Menyikapi GAP kompetensi dalam pembuatan layanan

peringatan dini cuaca di negara-negara RA V tersebut

maka WMO bekerjasama dengan BMKG berinisiatif

menyelenggarakan training yang berfokus pada

pemanfaatan NWP yang rencananya akan diselenggarakan

tahun 2020 ini yaitu Training on The Enhancement of Nu-

36

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Serambi Ilmu

merical Weather Prediction. Sejak pertengahan tahun 2019,

BMKG secara aktif mengkomunikasikan persiapan training

ini dengan WMO baik dalam hal pembuatan Training Development

Plan (TDP) / silabus maupun penyusunan Circular

Letter ke negara-negara RA V, yang pada saat ini di awal

tahun 2020 telah disepakati konten TDP serta mekanisme

penyelenggaraan training dimaksud.

Learning Outcomes

Training ini berfokus pada praktek pemanfaatan produkproduk

NWP khususnya WRF model untuk identifikasi dan

analisis fenomena cuaca dengan penekanan pada simulasi

system cuaca skala meso, teknik verifikasi model dan parameterisasi

model fisis menggunakan model Weather

Research and Forecasting (WRF). Training ini bertujuan

untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan dan ketrampilan

peserta dalam bidang NWP khususnya model WRF

dan mengimplementasikannya sesuai kebutuhan negara

peserta. Para peserta diharapkan mampu meningkatkan

kapasitas NWP resolusi tinggi dengan mengimplementasikan

model WRF dalam operasi, analisis dan interpretasi di

operasional layanan informasi cuaca.

Associations to Standards

• Basic Instructional Package for Meteorological Technicians

(BIP-MT) as described in WMO 1083 – Manual

on the Implementation of Education and Training

Standards in Meteorology and Hydrology

• Technical Regulations Basic Documents No.2, Vol I –

General Meteorological Standards and recommended

Practices

• Silabus kediklatan Meteorologi pada Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika

Course Objectives

Kompetensi kerja yang diharapkan setelah mengikuti training

ini didasarkan pada WMO Competency Framework for

Public Weather Services Forecaster and Advisors yaitu:

• Menjelaskan pengetahuan tentang Basic NWP

• Mengoperasikan software R Program dan GrADS

• Menggunakan teknik-teknik WRF untuk analisis dan

interpretasi data

• Menggunakan model NWP untuk prakiraan fenomena

cuaca berbahaya

Hasil pembelajaran yang diharapkan pada training ini yiatu

peserta mampu:

• Memahami penggunaan dan manfaat model NWP

untuk operasional

• Mengoperasikan perintah dasar Linux

• Mengoperasikan model WRF untuk simulasi fenomena

cuaca ekstrim

• Menampilkan luaran model WRF menggunakan software

R Program

• Memproses ensemble dari luaran model WRF

• Mengidentifikasikan parameter cuaca ekstrim dari

luaran post processing

Target Audience and Qualifications

Kualifikasi umum untuk peserta yang dipersyaratkan pada

training ini yaitu 15 orang peserta dari negara-negara RA

V, latar belakang akademik Sarjana ataupun yang selevel,

berusia maksimal 35 tahun dan memiliki ketrampilan

berbahasa inggris yang cukup baik. Selanjutnya, kualifikasi

teknis yang juga dipersyaratkan yaitu berpengalaman minimal

2 tahun sebagai meteorologis, memiliki pengetahuan

dan keterampilan dasar model NWP.

Training NWP selanjutnya akan diselenggarakan dalam 3

tahapan sebagai berikut:

1st

Phase

2nd

Phase

3rd

Phase

Objectives Activities Output

8 minggu

pelatihan

dengan aktivitas

pembelajaran

seperti ceramah,

diskusi, studi

kasus, collaborative

decision

making, latihan

soal, laporan terkait

project dan

action plan

Meningkatkan

kemampuan

operational NWP

resolusi tinggi

menggunakan

model WRF untuk

layanan meteorology

Mengembangkan

action plan

bersama para

mentor dan experts

di BMKG

Meningkatkan

pemanfaatan NWP

(WRF Model) untuk

meningkatkan

operasional

layanan informasi

cuaca

Mengembangkan

action plan dan

strategi implementasi

Konfirmasi

pelaksanaan

action plan

dengan identifikasi

masalah dan

strategi terkait

solusi implementasi

di negara

peserta

Mengimplementasikan

model WRF di

operasional

layanan

informasi cuaca

Mentoring jarak

jauh/online

Mengunjungi

negara peserta

terpilih untuk

monitoring

dan evaluasi

implementasi action

plan serta

mengidentifikasi

dampak,

tantangan

dan opportunity

terkait

keberlangsungan

action plan

Action Plan

Laporan

singkat

Laporan

kunjungan

ke negara

peserta

terpilih

terkait

implementasi

action

plan (WRF

Model) pada

operasional

layanan

informasi

cuaca

Training ini memiliki konten dengan rincian sebagai berikut:

1. Introduction to NWP Application

2. Ubuntu Linux System Operation

3. NWP Basic

a. The Principles and Concepts of NWP

b. Unreliability of NWP

c. NWP Equation

d. Types of NWP Models

4. Consortium for Small-scale Modeling (COSMO)

5. Ubuntu Linux System Operation

6. Weather Research and Forecasting (WRF) Model

a. WRF Model Introduction and Application

b. WRF model parametrization

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 37


c. WRF Installation

d. WRF Simulation Procedure

e. WRF Simulation of Extreme Weather Events

7. Post-Processing Application and Visualization

a. Application of Post-Processing WRF Model using

Grads, VAPOR and R Programme

b. Displaying WRF Model

c. Interpreting WRF Products to identify weather parameter

8. Verification Techniques

9. WRF Simulation in High Performance Computing (HPC)

10. Advance WRF Model

a. WRF Data Assimilation

b. WRF Ensemble

c. WRF Tropical Cyclone

11. Ocean Model

a. Introduction to Ocean Wave Model

b. Ocean Wave Model Application

12. Climate Model

a. Introduction to Climate Model

b. Regional Climate Model (RegCM) Application

13. Application on NWP products in BMKG Daily Weather

Forecast (Practical Session)

Systems BMKG juga akan dimanfaatkan untuk diskusi,

latihan, dokumentasi dan distribusi materi pembelajaran ke

peserta seperti bahan ajar, bahan tayang, quiz, penugasan

dan forum diskusi.

Aktivitas pembelajaran yang akan diberikan diantaranya

ceramah, diskusi, studi kasus, pengambilan keputusan

bersama (collaborative decision making), latihan, dan action

plan.

Learning Assessment and Evaluation

Evaluasi awal/initial assessment, atau pada pelatihan biasa

kita kenal dengan misalnya: pretest, dilakukan melalui

presentasi singkat terkait country report penyelenggaraan

NWP untuk operasional di negara peserta. Evaluasi formative

akan dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung

misalnya: diskusi, tanya jawab, quiz atau studi kasus,

sedangkan evaluasi summative dilakukan pada akhir

pembelajaran melalui action plan yang dibuat oleh peserta.

Instructors and Qualifications

Tenaga pengajar dan mentor pada pelatihan ini berasal

dari para meteorologis berpengalaman, dosen dan peneliti

di BMKG, serta dosen dari Institut Teknologi Bandung (ITB)

Bandung.

Ratih Prasetya, S.Si., MMSI.

(Widyaiswara Pertama)

Pre-course Content, Activities or Assesment

Peserta diminta untuk menyiapkan presentasi singkat terkait

operasional dan pemanfaatan model serta produk NWP

di negara masing-masing untuk selanjutnya dikembangkan

pada action plan sejalan dengan materi yang diberikan pada

saat training, dengan didampingi oleh para mentor/experts

BMKG.

Course Format

Training akan dilaksanakan selama 6 minggu di kelas dan 2

minggu untuk sesi On The Job Training di Gd. Operasional

Meteorologi, BMKG Pusat Jakarta. Learning Management

38

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


SKALA LIKERT BUKAN SKALA RIBET

Serambi Ilmu

Judul artikel ini terinspirasi dari sebuah kalimat yang

muncul pada sesi diskusi kegiatan evaluasi pelatihan

pusdiklat BMKG semester II tahun 2019, kegiatan

evaluasi sendiri dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal

6-9 Desember 2019. Terdapat beberapa agenda dalam

kegiatan evaluasi, salah satunya yaitu agenda paparan dari

perwakilan masing-masing panitia pelatihan, dalam hal

ini mayoritas disampaikan oleh widyaiswara. Satu persatu

perwakilan panitia pelatihan menyampaikan hasil evaluasinya

di depan peserta evaluasi dan jajaran pimpinan

pusdiklat. Hingga paparan evaluasi pelatihan yang keempat

semua berjalan lancar, perdebatan baru muncul pada

saat paparan evaluasi pelatihan kelima terkait hasil evaluasi

pelatihan kepemimpinan tingkat III. Ada perbedaan

teknik analisis yang dilakukan oleh panitia pelatihan kelima

dengan empat panitia pelatihan sebelumnya. Perbedaan

terjadi pada perlakuan analisis terhadap data hasil kuisioner

(skala likert), panitia kelima memperlakukan data hasil kuisioner

secara komposit dengan tipe data interval, sedangkan

empat panitia lainnya memperlakukan setiap butir

pertanyaan sebagai data interval. Perdebatan tentang skala

likert berlangsung lama hingga kurang lebih sampai jam

21.00 WIB malam dan akhirnya diputuskan untuk didiskusikan

khusus pada waktu lain. Berlarut-larutnya perdebatan

membuat kurang nyaman sebagian peserta evaluasi pelatihan

hingga muncul kalimat “Gara-gara si likert jadi ribet”.

Untuk menghindari persepsi bahwa skala likert adalah skala

yang ribet, penulis mencoba untuk membahas skala likert

sedemikian rupa supaya mudah dimengerti.

Sejarah Skala Likert

Rensis Likert

Untuk lebih mengenal

tentang skala likert,

dalam sub bagian

artikel ini akan dibahas

terlebih dahulu biodata

penemunya,

kemudian dilanjutkan

dengan pembahasan

sejarah lahirnya atau

awal kemunculan

skala likert. Secara

umum berikut biodata/

rincian profile

penemu skala likert,

nama lengkapnya

Rensis Likert lahir di

Cheyenne-Wyoming

United State of America

(USA) pada tanggal

05 Agustus 1903 dari

pasangan George

Herbert Likert dan Comelia Adrianne. Rensis Likert adalah

seorang ahli psikolog sosial Amerika, gelar masternya yaitu

MBA (Master of Business of Administration) dalam bidang

ekonomi diraihnya dari University of Michigan pada tahun

1926. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas

Columbia dan meraih gelar jenjang lebih tinggi dari

sebelumnya yaitu Ph.D pada tahun 1932. Bidang keilmuan

yang didalami pada jenjang Doktoral yaitu psikologi (Harry

& Deborah, 2012).

Menurut Likert (1932) selama bertahun-tahun dari sebelum

penelitian yang dilakukannya, telah banyak metode

yang digunakan untuk mengukur karakter dan sifat-sifat

kepribadian. Sejarah skala likert dimulai dari adanya kesulitan

yang dihadapi dalam melakukan pengukuran sikap, karakter

dan kepribadian terkait alur transfer data kualitatif menjadi

kuantitatif untuk tujuan analisis data (Harry & Deborah,

2012). Dalam rangka merespon kesulitan pengukuran sikap,

karakter dan sifat-sifat kepribadian seseorang, pada tahun

1932 Likert menyusun prosedur untuk mengukur skala sikap,

skala yang digunakan ini dikenal dengan skala likert. Saat

itu skala likert yang orisinal menggunakan pertanyaan yang

beruntun (series of question). Hingga saat ini penggunaan

skala likert telah berkembang pada berbagai bidang, namun

demikian dalam perkembangan tersebut ditemui juga

beberapa kekeliruan dalam penggunaannya. Kekeliruan

ini muncul dikarenakan pengguna tidak memahami secara

benar konsep skala likert, sehingga perlu ada pelurusan dan

penjelasan yang mudah dipahami tentang skala likert.

Tipe Data Berdasarkan Skala Pengukuran

Pemahaman skala likert terkait tipe data yang dihasilkan,

akan lebih mudah bila penguasaan terhadap tipe data

berdasarkan skala pengukuran dikuasai terlebih dahulu.

Hasil temuan steven terkait tipe data berdasarkan hasil

pengukuran, terdapat empat kategori tipe data yaitu : nominal,

ordinal, interval dan rasio (Ary, Jacobs, & Sorenson,

2010). Dari empat kategori tipe data yang ada dikelompokan

kedalam dua kelompok peubah (kategorik dan pengukuran),

dua tipe data kelompok peubah kategorik yaitu nominal

dan ordinal, sedangkan selebihnya yaitu interval dan rasio

masuk dalam kelompok peubah pengukuran (Mattjik & Sumertajaya,

2006). Secara spesisifik empat tipe data ini dikenal

juga skala pengukuran Steven.

Skala nominal merupakan skala dimana angka-angka yang

disajikan hanya berfungsi sebagai nama penggolongan atau

simbol. Angka yang ada pada skala nominal tidak mengukur

besaran dari objek data yang disajikan. Sebagai ilustrasi

pada pengelompokan jenis kelamin, angka 1 sebagai kode

jenis kelamin laki-laki dan angka 0 (nol) sebagai kode

perempuan. Pada kasus ini angka 1 tidak lebih besar dari

angka 0, begitu juga sebaliknya angka 0 tidak lebih kecil dari

angka 1. Angka 1 sebagai kode laki-laki tidak berarti bahwa

laki-laki lebih tinggi dari perempuan yang mempunyai kode

angka 0. Sehingga dalam kasus skala nominal angka-angka

yang berfungsi sebagai symbol dapat dipertukarkan tanpa

merubah makna dari objek datanya. Contoh data lainnya

yang masuk kategori nominal antara lain : agama, suku,

warna kulit, jurusan pada sekolah dan lain-lain.

Skala Ordinal tidak berbeda jauh dengan skala nominal,

angka-angka yang disajikan hanya berfungsi sebagai nama

penggolongan. Hal yang berbeda dengan skala nominal

bahwa angka-angka simbol pada skala ordinal sudah

memiliki tingkatan. Namun demikian jarak antara angkaangka

yang ada tidak menggambarkan sebagai ukuran jarak

sebenarnya, sehingga dengan demikian jarak angka-angka

pada beberapa tingkatan tidak dapat diartikan jaraknya

sama. Untuk lebih jelas berikut ilustrasi penggunaan data

tipe ordinal pada pengukuran sikap seseorang terhadap

suatu pernyataan, hal ini relevan dengan pembahasan skala

likert, ada lima tingkatan (Tabel.1) mulai dari sangat tidak

setuju hingga sangat setuju.

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 39


Tabel.1 Pengukuran skala sikap pada suatu pernyataan

Angka

Pernyataan sikap

5 Sangat Setuju

4 Setuju

3 Tidak Berpendapat

2 Tidak Setuju

1 Sangat Tidak Setuju

Dalam kontek pernyataan sikap diatas, angka-angka yang

ada sudah menyatakan tingkatan, namun demikian kita

tidak dapat mengukur jarak antara sikap setuju dengan

sikap sangat setuju, sehingga jarak antara angka pada setiap

tingkatan tidak dapat diperbandingkan.

Skala interval atau selang masuk dalam kategori skala

pengukuran, angka-angka yang disajikan selain sudah

memiliki tingkatan, jarak antar angka pun sudah dapat

dihitung sebagaimana angka biasa, namun jarak hasil

perhitungan tidak dapat diperbandingkan. Dua angka yang

berurutan memiliki jarak yang sama, namun demikian

nilai jaraknya sekali lagi sebagai penekanan tidak dapat

diperbandingkan. Hal ini karena nilai-nilai pada skala interval

tidak mempunyai nilai dasar/ 0 (nol) mutlak. Contoh

pada data suhu suatu benda, perbedaan jarak antara

suhu 5o dan 10o sama dengan perbedaan jarak suhu

antara 25o dan 30o, keduanya memiliki jarak yg sama

yaitu 5o, namun kondisinya tidak dapat diperbandingkan,

karena benda yang memilki suhu 10o bukan berarti

derajat panasnya dua kali benda yang memilki suhu 5o.

Contoh lainnya yaitu pada data tes standar kecerdasan IQ

(Intelegent quotient).

Pada kelompok skala pengukuran, skala rasio merupakan

skala perguruan tertinggi. Sama halnya dengan skala interval,

jarak antara dua nilai yang berurutan mempunyai ukuran

yang sama, namun kelebihan dari skala interval bahwa pada

skala rasio nilai-nilai yang ada dapat diperbandingkan karena

mempunyai nilai nol atau nilai dasar mutlak. Sebagai contoh

Panjang suatu benda 100 cm sama dengan dua kali Panjang

benda 50 cm, atau berat benda 50 kg sama dengan dua kali

berat benda 25 kg. Beda berat benda 20 kg dan 15 kg sama

dengan beda berat benda 35 kg dan 30 kg, yaitu 5 kg. Hal ini

karena satuan Panjang dan berat pada suatu benda memiliki

nilai dasar mutlak, nol centi meter sama dengan nol meter,

atau nol gram sama dengan nol kilo gram.

Ilustrasi Penggunaan Skala Likert pada Evaluasi Pelatihan

Satu hal penting yang harus diketahui sebelum melakukan

aktivitas analisis dengan menggunakan skala dan type data

likert adalah memahami skala pengukuran secara mendetail.

Dalam penggunaanya terdapat dua istilah yang perlu

dipahami oleh para pengguna (penulis/ peneliti) yaitu skala

likert dan data likert (tipe likert), kedua istilah ini kelihatan

sama namun pada dasarnya merupakan dua hal yang

berbeda. Data likert atau tipe likert diidentifikasi sebagai item

dari pertanyaan tunggal atau beberapa pertanyaan yang

berdiri sendiri tanpa ada tujuan untuk melakukan komposit

dari beberapa pertanyaan tersebut, dimana pertanyaan

yang diberikan menggunakan kriteria atau klasifikasi likert.

Berdasarkan skala pengkuran, maka data likert yang

muncul dari pertanyaan tunggal termasuk dalam kategori

data ordinal. Weksi (2013) memberikan contoh pertanyaan

tunggal atau beberapa pertanyaan berdiri sendiri yang

menggunakan klasifikasi likert seperti pada tabel.2 berikut :

Tabel.2 Contoh Pertanyaan Tunggal atau Beberapa Butir

Pertanyaan Saling Bebas

Butir Pertanyaan STS TS N S SS

1. Program pelatihan

sangat baik

untuk menambah

pengalaman saya

2. Program pelatihan

sangat baik

untuk menambah

pengalaman saya

3. Keterlibatan saya

dalam pelatihan

akan memberikan

perubahan pada

saya

4. Keterlibatan saya

dalam pelatihan

akan memberikan

perubahan pada

saya

5. Teman-teman

pelatihan akan

mempengaruhi

pekerjaan saya dimasa

mendatang

Keterangan : STS (Sangat Tidak Setuju); TS (Tidak Setuju);

N (Netral); S (Setuju); SS (Sangat Setuju)

Pertanyaan-pertanyaan pada tabel.2 diatas diukur dengan

menggunakan klasifikasi likert layaknya skala likert dan

hal semacam ini dikenal dengan data likert (tipe likert)

bukan skala likert. Butir-butir pertanyaan tersebut sifatnya

berdiri sendiri dan tidak dimaksudkan atau dirancang untuk

dibuat menjadi sebuah nilai komposit sebagai gabungan

dari 4(empat) pertanyaan yang ada. Sehingga menurut

pembagian tipe data berdasarkan skala pengukuran, tipe

data yang menggunakan klasifikasi likert pada setiap butir

pertanyaan tunggal masuk dalam kategor tipe data ordinal.

Analisis yang tepat untuk data ordinal antara lain : median

atau modus (ukuran pemusatan), frekuensi (ukuran variabilitas),

Kendall tau (analisis hubungan) dan Chi Square

(Pengujian Hipotesis dan statistik lainnya).

Lalu apa yang dimaksud dengan skala likert?

Menurut Likert (1932) dalam Weksi (2013) Skala likert

merupakan kombinasi dari empat atau lebih butir-butir

pertanyaan sehingga membentuk sebuah skor/nilai yang

merepresentasikan sifat individu, misalkan pengetahuan,

sikap, dan perilaku. Sebagai ilustrasi Harry & Deborah

(2012) memberikan contoh pertanyaan atau beberapa

pertanyaan yang dirancang untuk dikompositkan menjadi

sebuah nilai dalam mengukur kebiasaan makan seperti

pada tabel.3. Dalam kontek nilai hasil komposit 5(lima)

buah pertanyaaan pada tabel.3, kemungkinan akan

menghasilkan interval nilai yang berkisar dari 5 s/d 25 (5

– 25), sehingga nilai komposit ini termasuk dalam kategori

data interval. Analisis yang dapat digunakan untuk

data interval antara lain : Rata-rata atau mean (ukuran

pemusatan), simpangan baku (ukuran penyebaran),

korelasi pearson (ukuran hubungan) dan Anova, Uji t, regresi

(pengujian dan statistik lainnya).

40

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Tabel.3 Contoh Pertanyaan Skala Likert (komposit beberapa pertanyaan)tantang Kebiasaan Makan

1. Saya makan makanan sehat secara rutin

2. Ketika saya membeli makanan, saya mengabaikan “junk food”

Butir Pertanyaan STS TS N S SS

3. Ketika mempersiapkan hidangan, saya mempertimbangkan kandungan lemak pada

makanan

4. Ketika mempersiapkan hidangan, saya mempertimbangkan kandungan gula pada

makanan

5. Diet makanan sehat penting bagi keluarga Diet makanan sehat penting bagi keluarga

Penggunaan skala likert dalam evaluasi pelatihan diantaranya untuk mengukur beberapa aspek, seperti aspek performa

tenaga pengajar (terdapat dua indakator : penampilan dan penguasaan materi), aspek bahan ajar, aspek metode

pembelajaran, dan aspek perencanaan diklat (terdapat dua indikator: kurikulum dan capaian belajar). Tabel.4 contoh hasil

pengolahan data 29 responden pada indikator kurikulum yang terdiri dari 10 (sepuluh) butir pertanyaan. Adapun klasifikasi

pengukuran yang digunakan mengadopsi tipe likert 5 (lima) kelas : 1-Tidak baik, 2-Kurang baik, 3-Cukup baik, 4-Baik, dan

5-Baik sekali. Mengacu pada penjelasan sebelumnya bahwa data dari butir tunggal pertanyaan dengan menggunakan tipe

likert, maka hasil pengukurannya berupa data ordinal. Dengan demikian jelas bahwa terjadi kekeliruan pada tabel.4 yang

menghitung rata-rata (indeks nilai) dari data bertipe ordinal. Kekeliruan ini akan berdampak pada penarikan kesimpulan,

untuk lebih jelasnya berikut simulasi perhitungan indek nilai butir pertanyaan no.1 pada tabel.4: Jumlah responden N = 29,

Indeks nilai butir pertanyaan no.1 = 4.29 dengan claim evaluator masuk dalam kategori Baik Sekali.

Asumsi mayoritas responden menyatakan baik sekali (5) : 4.52, nilai

indeks ini (nilai minimum kategori baik sekali) merupakan kesimpulan ideal bila data dapat dihitung menggunakan operasi

matematika rataan. Namun karena keliru dalam menggunakan teknik analisis pada data bertipe ordinal maka berdampak

kesalahan pada penyimpulan.Dari simulasi diatas jelas bahwa kesimpulan evaluator tidak sejalan dengan sumber data

aslinya, karena nilai 4.29 yang menurut evaluator “baik sekali” bukanlah pendapat mayoritas dari responden sebagai sumber

data.

Dalam konsep teorema matematika, untuk dapat menggugurkan bahwa suatu teorema tidak benar cukup dengan menunjukan

satu kesalahan. Dengan demikian perhitungan rata-rata dari data ordinal cukup dengan bukti satu kekeliruan maka

telah dapat menggugurkan konsep perhitungannya.

Tabel.4 Contoh hasil pengolahan evaluasi pada indikator kurikulum

Aspek

Penilaian

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kurikulum

Indeks Nilai 4,29 4,00 3,90 3,80 3,90 4,05 4,00 4,29 4,14 3,91

Kualifikasi

Baik

Sekali

Baik Baik Baik Baik Baik Baik

Baik

Sekali

Persentase (%) 85,71 80,0 78,0 76,0 78,0 80,95 80,0 85,71 82,86 78,10

Kesimpulan

Pemilihan tipe data diawal pembuatan kuesioner sangat penting, karena akan menentukan pada tujuan yang ingin dicapai.

Untuk itu sebagai rekomendasi bila suatu evaluasi ingin menghasilkan sebuah nilai indeks, maka konsisten dari awal untuk

menggunakan tipe data interval atau rasio. Setelah penjelasan dalam artikel ini, semoga pembaca mempunyai pemahaman

yang baik, dengan demikian skala likert bukanlah skala yang membuat ribet bila dipahami secara seksama.

Referensi :

1. Ary, D., Jacobs, L. C., & Sorensen, C. (2010). Introduction to research in education (8th ed.). California: Thomson Wadsworth.

2. Harry N.B, Jr & Deborah A.B. 2012. Analyzing Likert Data. Journal of Extension, April 2012 Vol 50 Nomor.2.

3. Likert RA. 1932. Technique for the measurement of attitudes. Archives of Psychology, 140 pp: 1-55.

4. Mattjik AA & Sumertaja, IM, 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press – Bogor.

5. Weksi, B. 2013. Skala Pengukuran dan Jumlah Respon Skala Likert. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan, Volume 2 No.2

Hal :127-133.

Baik

Baik

Dede Tarmana, M.Si.

(Widyaiswara Madya)

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 41


Plus Minus Pegawai WFH (Work From Home)

Kemajuan teknologi membuat

Work From Home atau istilah

populernya telework menjadi

sebuah alternatif dalam dunia kerja.

Telework merupakan bentuk lain dari

kerja yang dilakukan di luar kantor

(Grant, Wallace, Spurgeon, 2013) di

mana teleworker dapat bekerja dari

rumah, satellite office ataupun secara

mobile (Kurland & Bailey, 1999; Hynes,

2014). Proses komunikasi dilakukan

dengan menggunakan perangkat

teknologi, seperti perangkat telepon,

komputer, penyimpanan data virtual

dan broad-band internet (Bentley et al.,

2016).

Telework pertama kali dilakukan di California

tahun 1970 guna mengurangi

kemacetan lalu lintas. Seiring dengan

kemajuan teknologi, telework telah

memberikan manfaat bukan hanya

bagi pegawai dan lingkungan namun

juga bagi organisasi (Kurland & Bailey,

1999). Bagi organisasi, telework

berdampak pada efisiensi anggaran

(Kurkland, N. B., & Bailey, 1999)

diantaranya penghematan biaya

operasional pegawai (Sa, Carnicer, &

Pe, 2002) serta berkurangnya biaya

sarana dan prasarana kantor seperti

penyediaan ruang kerja (Kurkland, N.

B., & Bailey, 1999).

Pada tahun 2013, CEO Yahoo Marissa

Mayer menghentikan program telework

karena melihat penurunan produktivitas

pada organisasi. Mayer menyatakan

bahwa memang pada mulanya orang

akan lebih produktif jika bekerja

sendiri namun jika bekerja terlalu lama

telework dapat menimbulkan stress.

Selain itu, menurutnya pegawai akan

lebih kolaboratif dan inovatif jika dapat

bekerja bersama (Goudreau, 2013).

Keputusan Yahoo untuk menghentikan

telework juga diikuti oleh beberapa

perusahaan lain diantaranya Best Buy

dan IBM.

Tindakan Yahoo memperlihatkan

bahwa implementasi telework bukan

hanya sebatas efisiensi anggaran

namun juga berhubungan dengan

bagaimana mempertahankan

produktivitas pegawai dan organisasi

secara berkelanjutan. Dengan

adanya beberapa perusahaan

yang menghentikan telework

memperlihatkan bahwa, telework

tidak lebih efektif dibandingkan

dengan bekerja di kantor. Telework

yang seharusnya diharapkan dapat

meningkatkan produktivitas organisasi

ternyata membuat produktivitas

organisasi menurun. Adapun faktor

penyebab diantaranya yaitu implementasi

telework yang terlalu lama dapat

menurunkan produktivitas teleworker,

kolaborasi dan sinergi antar anggota

tim tidak terbentuk dengan baik, serta

implementasi telework yang belum

melibatkan komitmen semua pihak.

Namun, beberapa hasil penelitian

memperlihatkan bahwa telework

dapat meningkatkan produktivitas

pegawai (Kurland & Bailey, 1999)

bukan sebaliknya. Saat konsentrasi

kerja pegawai di kantor terganggu

karena masalah pribadi yang

merupakan tanggung jawabnya seperti

harus menjaga anak atau orang tua,

telework bisa menjadi solusi. Teleworker

dapat mengatur pekerjaan secara

fleksibel dan membuat keputusan

secara mandiri (Pasi Pyöriä, 2013)

sehingga dapat bekerja dengan efektif

(Grant et al., 2013). Menurut penelitian

kebebasan mengatur jadual kerja

sesuai dengan waktu yang dimiliki

membuat performa dan kepuasan

kerja pegawai meningkat (Vega, Anderson,

& Kaplan, 2015).

42

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Opini

Berbeda dengan penjelasan sebelumnya, menurut Kelly,

dkk. (2014) ketika telework dilakukan dalam waktu yang

cukup lama dan intensitas kerja menggunakan teknologi

meningkat, maka dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Hal ini terjadi karena teleworker mempunyai waktu istirahat

yang lebih sedikit dan kebiasaan duduk yang lebih lama

(Grant et al., 2013). Disisi lain, fleksibilitas yang seharusnya

dapat menciptakan keseimbangan antara kehidupan

kerja dan keluarga ternyata tidak dapat bertahan lama

(Grant et al., 2013). Teleworker yang sudah terlalu lama

telework mengalami konflik pribadi karena kesulitan dalam

memisahkan kehidupan pribadi dengan kerja dan bisa

menimbulkan stres (Golden, 2012). Dampak negatif ini akan

mempengaruhi produktivitas teleworker dan juga produktivitas

organisasi.

Produktivitas organisasi juga mengalami penurunan akibat

kurangnya sinergi dan kolaborasi tim (Sa et al., 2002). Lebih

jauh lagi, Lilian (2014) memperlihatkan bahwa kerjasama tim

tidak berjalan dengan baik karena ketidakhadiran anggota

tim yang telework. Meskipun kecanggihan teknologi dapat

menyelesaikan masalah komunikasi namun teknologi tidak

akan bisa menggantikan proses pembelajaran yang timbul

secara spontan saat berinteraksi dengan kelompok (Sa et al.,

2002). Selain itu, teleworker juga tidak merasakan interaksi

informal dengan rekan kerja (Patricia & Michael, 1998). Ketika

interaksi informal tidak terbentuk maka akan menimbulkan

isolasi sosial dan kepercayaan antar rekan kerja tidak dapat

terbentuk (Kurland & Bailey, 1999). Kondisi ini secara tidak

langsung akan mempengaruhi sinergi dan kolaborasi tim

seperti yang terjadi pada Yahoo.

Komitmen organisasi terhadap telework juga mempengaruhi

produktivitas organisasi ketika menerapkan telework

(Hunton & Norman, 2010). Organisasi harus memiliki komitmen

yaitu secara emosional maupun normatif (Sanchuli,

Razavi, & Emamgholizadeh, 2014). Komitmen emosional

akan terjadi jika adanya penerimaan dari semua pihak.

Salah satunya adalah komitmen dari pimpinan. Menurut

beberapa hasil penelitian, sebagian manajer menolak

telework karena tidak dapat secara langsung mengontrol

dan mengawasi teleworker bekerja (Kurland & Cooper, 2002;

Grant et al., 2013). Selain itu, manajer tidak yakin bahwa

teleworker akan setia kepada organisasi. Berdasarkan survey

informal yang dilakukan oleh Microsoft kepada pegawai

pemerintah dan komunitas kontraktor online pada tahun

2011 diperoleh bahwa 50% dari responden menyatakan

bahwa akan berganti pekerjaan jika menemukan tawaran

yang lebih baik serta kebijakan telework yang lebih

menguntungkan (Mahler, 2012). Sedangkan komitmen normatif

yaitu organisasi mempunyai aturan terkait telework.

Kegagalan telework karena tidak adanya komitmen normatif

terjadi pada pemerintah Irlandia. Pemerintah Irlandia tidak

memiliki peraturan dan petunjuk terkait telework sehingga

ada sebagian pihak yang tidak paham mengenai telework

dan implementasinya (Hynes, 2014).

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa penurunan

produktivitas dapat terjadi pada organisasi yang tidak

memiliki kesiapan dalam menerapkan telework. Telework

tidak akan meningkatkan produktivitas organisasi jika tidak

ada komitmen dari organisasi, pimpinan, teleworker dan

non-teleworker. Oleh sebab itu, jika organisasi ingin mengimplementasikan

telework dan berharap bisa memberikan

dampak positif maka harus memiliki persiapan dari berbagai

unsur organisasi.

Hal pertama yang harus disiapkan adalah, organisasi harus

memiliki regulasi yang mengatur telework. Pemerintahan

Amerika Serikat sukses dalam penerapan telework karena

sudah memiliki peraturan telework yaitu Federal Telework

Enhancement Act of 2010 (Brown, Smith, Arduengo, & Taylor,

2016). Selain itu, komitmen terbentuk jika organisasi

dan pegawai memiliki pengetahuan tentang telework,

salah satunya dengan pelatihan telework (Sa et al., 2002).

Organisasi juga harus memiliki kontrol manajemen terkait

telework (Kurland & Cooper, 2002), secara formal sesuai

dengan aturan kerja dan prosedur pengawasan yang

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 43


berlaku, secara informal dengan pelaporan langsung kepada

atasan serta melalui pengawasan teman sejawat (Dimitrova,

2003).

Selanjutnya, organisasi harus menentukan jenis pekerjaan

yang sesuai untuk telework. Kriteria pegawai yang cocok

telework juga menjadi faktor penentu. Penelitian yang

dilakukan oleh Caillier, (2016) pada pegawai Pemerintah

Amerika memperlihatkan bahwa pegawai dengan nilai Public

Service Motivation (PSM) tinggi cocok untuk telework karena

mereka memiliki motivasi tinggi dalam pelayanan sehingga

loyalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Penentuan waktu

telework pun menjadi hal penting (Kurland & Cooper, 2002)

guna menghindari dampak kelelahan dan stress akibat

terlalu lama telework.

Hal terakhir yang perlu disiapkan oleh organisasi yaitu

infrastruktur berupa sarana yang menunjang keamanan

komunikasi dan mobilisasi informasi (Sa et al., 2002).

Menjadi perhatian utama bahwa organisasi harus memiliki

sistem keamanan informasi yang baik guna menghindari

kebocoran informasi dan kejahatan virtual.

Kedepannya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai penerapan telework pada negara berkembang,

dimana fasilitas teknologi komunikasi belum merata dan

belum adanya perhatian negara terkait telework. Selain itu,

perlu juga dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh

budaya dalam implementasi telework, seperti di Indonesia

yang memiliki budaya ketimuran yang berbeda dengan

budaya barat.

Referensi :

1. Bentley, T. A., Teo, S. T. T., McLeod, L., Tan, F., Bosua,

R., & Gloet, M. (2016). The role of organisational support

in teleworker wellbeing: A socio-technical systems approach.

Applied Ergonomics, 52, 207–215. https://doi.

org/10.1016/j.apergo.2015.07.019

2. Brown, C., Smith, P., Arduengo, N., & Taylor, M.

(2016). Trusting Telework in the Federal Government.

The Qualitative Report, 21(1), 87–101. Retrieved

from http://search.proquest.com.proxy1.ncu.

edu/docview/1761257187?accountid=28180%5Cnh

ttp://xt6nc6eu9q.search.serialssolutions.com/?ctx_

ver=Z39.88-2004&ctx_enc=info:ofi/enc:UTF-8&rfr_

id=info:sid/ProQ%253Aeducation&rft_val_fmt=info:ofi/

fmt:kev:mtx:journal&rft.g

3. Dimitrova, D. (2003). Controlling teleworkers: Supervision

and flexibility revisited. New Technology,

Work and Employment, 18(3), 181–195. https://doi.

org/10.1111/1468-005X.00120

4. Golden, T. D. (2012). Altering the Effects of Work and

Family Conflict on Exhaustion: Telework During Traditional

and Nontraditional Work Hours. Journal of

Business and Psychology, 27(3), 255–269. https://doi.

org/10.1007/s10869-011-9247-0

5. Grant, C. a., Wallace, L. M., & Spurgeon, P. C. (2013). An

exploration of the psychological factors affecting remote

e-worker’s job effectiveness, well-being and worklife

balance. Employee Relations, 36(5), 527–546. https://

doi.org/10.1108/ER-03-2012-0059

6. Hunton, J. E., & Norman, C. S. (2010). The Impact of Alternative

Telework Arrangements on Organizational Commitment:

Insights from a Longitudinal Field Experiment.

Journal of Information Systems, 24(1), 67–90. https://doi.

org/10.2308/jis.2010.24.1.67

7. Hynes, M. (2014). Telework Isn ’ t Working : A Policy Review.

The Economic and Social Review, 45(4), 579–602.

8. Kelly, E. L., Moen, P., Oakes, J. M., Fan, W., Okechukwu, C.,

Davis, K. D., … Casper, L. M. (2014). Changing Work and

Work-Family Conflict: Evidence from the Work, Family,

and Health Network. American Sociological Review, 79(3),

485–516. https://doi.org/10.1177/0003122414531435

9. Kurkland, N. B., & Bailey, D. E. (1999). The advantages

and challenges of working here, there anywhere, and

anytime. Organizational Dynamics, 28(2), 53–68. https://

doi.org/10.1016/S0090-2616(00)80016-9

10. Kurland, N. B., & Bailey, D. E. (1999). Telework: The Advantages

and Challenges of Working Here, There Anywhere,

and Anytime. Organizational Dynamics, 28(2),

53–68. https://doi.org/10.1016/S0090-2616(00)80016-9

11. Kurland, N. B., & Cooper, C. D. (2002). Manager control

and employee isolation in telecommuting environments.

Journal of High Technology Management

Research, 13(1), 107–126. https://doi.org/10.1016/

S1047-8310(01)00051-7

12. Lilian, S. C. (2014). Virtual Teams: Opportunities and

Challenges for e-Leaders. Procedia - Social and Behavioral

Sciences, 110, 1251–1261. https://doi.org/10.1016/j.

sbspro.2013.12.972

13. Mahler, J. (2012). The Telework Divide: Managerial and

Personnel Challenges of Telework. Review of Public

Personnel Administration, 32(4), 407–418. https://doi.

org/10.1177/0734371X12458127

14. Pasi Pyöriä. (2013). Managing telework: risks, fears and

rules. Management Research Review, 34(4), 386–399.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1108/MRR-09-2015-

0216

15. Patricia, L., & Michael, N. (1998). The Impact of Gender,

Occupation, and Presence of Children on Telecommuting

Motivations and Constraints. Journal of the American

Society for Information Science, 49 (12)(Special Issue on

Social Informatics), 1115–1134.

16. Sa, A. M., Carnicer, M. P. D. L., & Pe, M. P. (2002). Benefits

and barriers of telework : perception differences of human

resources managers according to company ’ s operations

strategy. Technovation, 22, 775–783.

17. Sanchuli, S., Razavi, H. R., & Emamgholizadeh, S. (2014).

The relationship between teleworking , employee loyalty

and organizational commitment from the perspective of

medical experts of golestan province. International Research

Journal of Management Sciences, 2(1), 16–22.

18. Vega, R. P., Anderson, A. J., & Kaplan, S. A. (2015). A Within-Person

Examination of the Effects of Telework. Journal

of Business and Psychology, 30(2), 313–323. https://

doi.org/10.1007/s10869-014-9359-4

Nina A. Sasmita, S.Si.,M.Si.,M.PSit

(Widyaiswara Muda)

44

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Opini

“BERLAKUNYA KETENTUAN BENDAHARA

NASIONAL TERSERTIFIKASI”

Sejak ditetapkannya Peraturan Presiden nomor 7 tahun

2016 tentang Sertifikasi Bendahara Pada Satuan Kerja

Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,

maka setiap Bendahara satuan kerja pengelola APBN wajib

tersertifikasi yang dibuktikan dengan kepemilikan nomor

sertifikasi atau nomor register bendahara. Sertifikasi ini

bertujuan untuk menilai karakter, kompetensi, kemampuan

atau keahlian dan keterampilan Bendahara/calon Bendahara

melalui ujian sertifikasi. Diharapkan dengan adanya sertifkasi

tersebut pengelolaan keuangan oleh Bendahara dapat

dilaksanakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan

dan kualitas pengelolaan keuangan negara dapat makin

ditingkatkan.

Pegawai Negeri Sipil, prajurit TNI atau anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia yang telah lulus ujian sertifikasi

ini disebut sebagai Bendahara Nasional Tersertifikasi (BNT)

[2]. Sasaran dari sertifikasi ini tidak hanya kepada Bendahara

Pengeluaran, namun juga berlaku kepada Bendahara

Penerimaan, Bendahara Pengeluaran Pembantu, dan Calon

Bendahara, sehingga penyelenggaraan sertifikasi ini sangat

penting untuk menjadi pertimbangan para pemangku

kepentingan dalam penunjukkan pegawai pengelola

keuangan negara di masing-masing satuan kerja.

Selama ini beredar opini di masyarakat, bahwa masih

terdapat keraguan terhadap Integritas seorang Bendahara

pengelola APBN. Bendahara pengelola APBN dianggap

cenderung bersikap kompromis atau bahkan koruptif. Oleh

karena itu, dengan adanya sertifikasi ini diharapkan menjadi

salah satu solusi untuk menjawab keraguan tersebut.

Mengapa demikian? Karena Bendahara yang telah memiliki

kompetensi dan karakter yang sesuai dengan standar (lulus

uji), tentunya memiliki potensi yang lebih tinggi dari sisi integritas

dan sikap yang professional jabatannya, sebagai

contoh: (1) APBN yang dikelola dan dipertanggungjawabkan

adalah benar dan sesuai dengan perencanaan dan mata anggarannya,

lalu (2) pembuatan laporan pertanggung jawaban

Bendahara yang realiable kepada stakeholder bendahara,

yakni: Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen

dan Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum

Negara [4].

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2016 juga mengatur

bahwa PNS, anggota TNI, atau anggota Polri yang telah

diangkat sebagai Bendahara sebelum Perpres tersebut

mulai berlaku dan belum memiliki Sertifikat Bendahara,

dapat menjalankan kewenangan sesuai dengan tugas dan

fungsinya sampai dengan jangka waktu 4 (empat) tahun

sejak Perpres tersebut berlaku [1]. Tambahan pula, dalam

jangka waktu 4 (empat) tahun sejak Perpres tersebut

berlaku, bagi PNS, anggota TNI, anggota Polri yang telah

menduduki jabatan Bendahara paling singkat selama 2 (dua)

tahun, dapat mengikuti Ujian Sertifikasi tanpa mengikuti dan

dinyatakan lulus Pendidikan dan Pelatihan Bendahara [2].

Dalam Perpres tersebut juga diatur bahwa Sertifikat

Pendidikan dan Pelatihan Bendahara yang telah diterbitkan

oleh Kementerian Keuangan sebelum Perpres dimaksud

masih berlaku, diakui dan diterbitkan Sertifikat Bendahara,

sehingga pemegang Sertifikat Diklat Bendahara tersebut

tidak perlu mengikuti Ujian Sertifikasi. Adapun alur proses

sertifikasi bendahara dapat dilihat pada gambar 1 berikut:

Gambar 1. Alur Sertifikasi Bendahara [3]

Proses Sertifikasi Bendahara

Secara garis besar, terdapat dua jenis mekanisme sertifikasi,

yakni melalui (1) mekanisme Ujian sertifikasi (terdiri dari tes

berbasis internet, tes berbasis komputer baik yang terintegrasi

melalui diklat Bendahara maupun penyegaran) dan

(2) mekanisme konversi. Khusus untuk mekanisme konversi

dapat dilakukan bagi Bendahara/ calon bendahara yang telah

memiliki sertifikat diklat bendahara yang diterbitkan Badan

Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Keuangan maupun

Lembaga Pendidikan dan Pelatihan lainnya sebelum tanggal

20 Januari 2016. Masa berlaku sertifikasi Bendahara adalah 5

(lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali sesuai dengan

peraturan yang berlaku [2].

Sertifikasi Bendahara dilakukan oleh Menteri Keuangan yang

dilaksanakan oleh unit organisasi di lingkungan Kementerian

Keuangan yang mempunyai fungsi sebagai pembina pejabat

pengelola perbendaharaan, dalam hal ini Direktorat Jenderal

Perbendaharaan. Target sertifikasi tahun 2016 sampai

dengan tahun 2019 ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 1. Target Sertifikasi Bendahara

Target 2016 2017 2018 2019 Total

Bendahara

tersertifikasi

1.000 5.005 9.090 16.000 31.140

Sumber: [4]

Pada Semester I tahun 2019, Ditjen Perbendaharaan telah

melakukan sertifikasi terhadap 24.096 orang bendahara

dan calon bendahara satuan kerja Kementerian Negara/

Lembaga [5], dan sampai dengan Semester II Tahun 2019

diketahui sebanyak 37.683 bendahara yang telah tersertifikasi

[6]. Berdasarkan perbandingan dari data target pada tabel

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 45


1 dan data hasil yang diperoleh,

maka Dirjen Perbendaharaan

telah berhasil mencapai target

melakukan sertifikasi pada

bendahara satuan kerja (BNT).

Peraturan Terkait lainnya

Berikut adalah beberapa

peraturan/ kebijakan yang

telah ditetapkan demi

mendukung proses BNT

Bendahara semenjak

Peraturan Presiden Nomor

7 tahun 2016 ini disahkan,

yakni [4]:

1. PMK No.126/

PMK.05/2016 tentang

Tata Cara Pelaksanaan

Sertifikasi Bendahara

pada Satuan Kerja

Pengelola Anggaran

Pendapatan dan

Belanja Negara

2. PMK No. 128/

PMK.05/2017

tentang perubahan

atas PMK No.126/

PMK.05/2016

tentang Tata Cara Pelaksanaan Sertifikasi

Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara

3. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor

PER-37/PB/2016 tentang Petunjuk Teknis Sertifikasi

Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara

Dalam upaya untuk melaksanakan amanat Perpres tersebut,

tidak hanya pembuatan kebijakan dilakukan Kementerian

Keuangan, berbagai persiapan lain seperti pembuatan

sistem pendukung, penyediaan infrastruktur sarana uji

kompetensi, berbagai sosialisasi yang kerap dilakukan baik

dari Dirjen Perbendaharaan Kantor Wilayah maupun Kantor

Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), dan alokasi

anggaran untuk mengakomodir berbagai kegiatan tersebut

[4].

Mulai tahun anggaran 2020, ketentuan sertifikasi ini sudah

berlaku penuh, setiap satuan kerja diharapkan memiliki

Bendahara yang telah tersertifikasi dan memiliki nomor BNT.

Kesungguhan penerapan peraturan ini dibuktikan dengan

adanya syarat tambahan dalam proses pengajuan Uang

Persediaan (UP) satuan kerja ke KPPN, yakni harus melampirkan

sertifikat Bendahara yang sudah tersertifikasi selain

syarat yang biasa dilengkapi pada tahun sebelumnya. Dalam

prosesnya, masih terdapat satuan kerja yang terlambat

mengajukan proses sertifikasi terutama melalui mekanisme

konversi.

Satuan kerja harus bersikap aktif menanyakan proses

konversi dan melakukan komunikasi kepada Dirjen

Perbendaharaan Kantor Wilayah setempat agar

mendapatkan BNT dari nama yang telah diajukan. Untuk

menyesuaikan dengan keadaan tersebut, KPPN memberikan

kebijakan tambahan kepada Bendahara satuan kerja yang

belum memiliki sertifikat namun telah mendapatkan nomor

BNT dari Dirjen Perbendaharaan, para kepala satuan kerja

membuat dan melampirkan surat pernyataan yang menerangkan

data pegawai yang ditunjuk

sebagai Bendahara telah memiliki

nomor BNT.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kemudian, hal yang dapat kita

pelajari dari pelajaran diatas

adalah, (1) Betapa respon satuan

kerja terhadap peraturan dan

mengetahui urgensi setiap

peraturan menjadi sangat

penting untuk dipatuhi semua

satuan kerja, (2) Kebijakan

tertentu dapat dibuat untuk

menyesuaikan situasi

dan kondisi berdasarkan

pertimbangan berbagai hal,

misalnya pertimbangan

keterlambatan pengajuan

UP yang dapat

memengaruhi kinerja

pelayanan satuan

kerja serta penyerapan

anggaran di awal

triwulan pertama tahun

anggaran. (3) Dengan

adanya masa berlaku

sertifikasi tersebut,

tentunya proses perencanaan pegawai, penyimpanan

data pegawai tersertifikasi, regenerasi Bendahara dan

sistem pengingat (notifikasi) sebelum masa berlaku habis

menjadi hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan

pimpinan satuan kerja supaya tidak menghambat kegiatan

pelayanan dan tugas fungsi yang bersumber dari APBN.

Daftar Pustaka/ Referensi:

1. Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2016 Tentang

Sertifikasi Bendahara Pada Satuan Kerja Pengelola

Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara;

2. PMK No. 128/PMK.05/2017 tentang perubahan atas PMK

No.126/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Sertifikasi Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

3. Panduan Teknis Bendahara Pengeluaran, Direktorat

Sistem Perbendaharaan, Direktoran Jenderal

Perbendaharaan, Kementerian Keuangan RI tahun

2018;

4. Majalah Treasury Indonesia Mini Tahun 2016;

5. Surat Direktorat Jenderal Perbendaharaan Nomor S-846/

PB/2019 tanggal 11 Juli 2019 tentang Penyampaian Capaian

Sertifikasi Bendahara Sampai dengan Semester I

tahun 2019 dan Pengumuman Pelaksanaan Sertifikasi

Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara Periode III Tahun 2019;

6. Sub Direktorat Pengembang Profesi, Direktorat Jenderal

Perbendaharaan, Kementerian Keuangan.

Amalia Solicha, S.Kom.,MTI.

(Widyaiswara Madya)


Opini

MENGEMAS REVOLUSI TRANSFORMASI

DIGITAL DAN TANTANGANNYA

Perkembangan teknologi semakin pesat dan masif

pada era revolusi industri 4.0. Pengembangan

teknologi digital, Internet of Thing, artificial Intellegence

dan big data menjadi tren teknologi ke

depan. Teknologi ini mampu mengubah cara pandang dan

interaksi di masyarakat, diantaranya dalam hal transaksi

pembayaran yang dahulu menggunakan mata uang

fisik, kini masyarakat menggunakan elektronik. Don Tapscott

(1996), seorang pemerhati perkembangan teknologi

informasi dan komunikasi di Amerika Serikat—dalam

bukunya yang berjudul The Digital Economy, Promise and

Peril in the Age of Networked Intelligence—menyatakakan

bahwa perkembangan ekonomi dunia sedang mengalami

perubahan dari dinamika masyarakat industri yang berbasis

pada baja, kendaraan, dan jalan raya ke arah dinamika

masyarakat ekonomi baru yang dibentuk oleh silicon,

komputer, dan jaringan (networking). Begitu juga pelayanan

publik baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta

sudah mulai bergeser dari manual menjadi pelayanan yang

memanfaatkan kemajuan teknologi.

Berdasarkan survey yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara

Jasa Internet Indonesia (APJII), menyatakan bahwa survei

penetrasi untuk pengguna internet di Indonesia pada

tahun 2018 mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil survei

tersebut, jumlah pengguna internet naik hingga mencapai

171.17 juta pengguna pada tahun 2018. Pengguna internet

mencapai 64.8% dari jumlah total penduduk Indonesia

dan . Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara dengan

penggunaan internet terbesar di dunia. Hal ini menandakan

bahwa internet menjadi peran penting bagi manusia di

berbagai aspek kehidupan.

Pesatnya laju penetrasi penggunaan teknologi informasi

didukung juga oleh berkembangnya infrastruktur teknologi

tersebut. Meningkatnya pembangunan infrastruktur

jaringan mendorong masyarakat baik yang diperkotaan

maupun di daerah dapat dengan mudah mencoba berbagai

aplikasi dan konten digital baru yang tersedia. Tak hanya

perkembangan teknologi dalam berkomunikasi, pergeseran

masyarakat menjadi lebih melek teknologi juga dibarengi

dengan adanya digitalisasi di berbagai bidang, diantaranya

belanja online, pemesanan transportasi online, pemesanan

hotel online, eBanking, eMoney dan lain sebagainya.

Transformasi digital adalah perubahan organisasi

yang melibatkan orang, proses, strategi, struktur,

melalui penggunaan teknologi dan model bisnis untuk

meningkatkan kinerja (Westerman et al., 2011). Dengan

melihat pertumbuhan pemanfaatan teknologi informasi

yang begitu pesat dan infrastruktur yang mendukung serta

masyarakat yang semakin kritis terhadap pelayanan publik

yang prima berdasarkan prinsip-prinsip kepastian hukum,

keterbukaan, akuntabilitas serta kinerja yang profesional

maka momen ini merupakan kesempatan pemerintah untuk

melakukan transformasi digital terhadap pelayanan publik

kepada masyarakat.

Dengan kondisi tersebut pemerintah telah mengantisipasi

dengan membuat rencana terhadap pelayanan digital

ini, dengan diterbitkannya kebijakan terkait digitalisasi

pelayanan pemerintah. Diantara kebijakan pemerintah

tersebut, diawali dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden

Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi

Nasional e-Government, Kebijakan ini memerintahkan

kepada menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah untuk

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 47


mengembangkan e-Government

sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya

serta sesuai dengan

kapasitas sumber daya yang dimiliki.

Inpres ini bertujuan bagaimana sistem

penyelenggara pemerintah diupayakan

berbasis elektronik dalam rangka

meningkatkan kualitas layanan publik

secara efektif dan efisien.

Setelah dikeluarkannya Instruksi

Presiden tersebut, untuk lebih

memperkuat peran pemerintah di

dalam pelayanan publik yang bersifat

kolaboratif, maka pemerintah

mengeluarkan kebijakan yang

lebih powerful melalui Peraturan

Pemerintah Nomor 95 Tahun 2018

tentang Sistem Pemerintah Berbasis

Elektronik (SPBE). Dengan dikeluarkannya

kebijakan ini memberi peluang

untuk mempercepat dan merealisasikan

penyelenggaraan pemerintah yang

transparan, meningkatkan kualitas,

jangkauan pelayanan, bertanggung

jawab, akuntabel dan meningkatkan

kolaborasi antara instansi pemerintah.

Selain membuat kebijakan dengan peraturan-peraturan

pemerintah, Langkah

konkrit pemerintah dalam menghadapi

transformasi digital yaitu dibentuknya

Dewan TIK Nasional (Wantiknas) pada

tahun 2014. Wantiknas merupakan

hasil transformasi dari Tim Koordinasi

Telematika Indonesia (TKTI) pada tahun

2000. Wantiknas ini memiliki tugas

dan fungsi diantaranya Merumuskan

kebijakan umum dan arahan

strategis pembangunan nasional,

melalui pengembangan teknologi

informasi dan komunikasi termasuk

infrastruktur, aplikasi, dan konten,

dan juga tugas dan fungsi strategisnya

adalah penyelesaian permasalahan

strategis yang timbul dalam rangka

pengembangan teknologi informasi

dan komunikasi.

Pemerintah menyadari bahwa

transformasi digital ini memiliki dua sisi

mata uang yaitu memilki dampak positif

dan negatif. Diantara dampak negatif

yang paling terasa adalah disruption innovation

memiliki potensi membahayakan

pekerjaan dan industri. Banyak

contoh bagaimana industri hancur dan

hilang dikarenakan dampak dari inovasi

yang bersifat disruptif. Sebagai contoh

kejayaan nokia dengan penguasaan

pasar hampir 73.6 % smartphone dunia

pada tahun 2006, sekarang hilang

seiring dengan inovasi OS andraoid

dan IOS yang sekarang menguasai

pangsa pasar smartphone dunia. Digitalisasi

juga sudah “merusak” tatanan

hidup masyarakat, banyak pekerjaan

yang dapat diselesaikan secara cepat

dan mudah dengan hanya melibatkan

satu orang sebagai operator, sehingga

banyak pekerjaan yang mengurangi

jumlah tenaga kerja nya. Selain disruption

innovation, transformasi digital

memiliki dampak-dampak terhadap

kejahatan cyber berupa pembobolan

keamanan informasi suatu organisasi

baik organisasi komersil maupun nirlaba,

fraud, dan lain-lain.

Sisi lain dari digitalisasi yaitu dampak

positif, diantaranya yaitu menghasilkan

peluang pekerjaan baru yang lebih

spesifik, terutama yang membutuhkan

kompetensi tinggi. Selain itu Informasi

yang dibutuhkan dapat lebih cepat

dan lebih mudah dalam mengaksesnya,

mengurangi biaya, dan

menjamin akutabilitas pekerjaan serta

meningkatkan produktifitas.

Menilik kondisi tersebut, tentunya

tidak ada acara lain selain pemerintah

melakukan merubah proses bisnis

yang selama ini dari business as usual

yang old fashion ke cara yang out of

the box dengan memanfaatkan digitalisasi

tersebut. Karena dengan cara

memanfaatkan transformasi digital

itulah pemerintah paham dampak

yang akan diperoleh berupa inovasi,

akselerasi (pencapaian target prioritas

nasional), efesiensi, kolaborasi dan

akuntabilitas dapat terwujud.

Tentunya untuk menghadapi

transformasi digital tersebut

pemerintah harus memiliki human

capital yang handal, yang memiliki

kompetensi baik itu pengetahuan,

keterampilan dan perilaku yang

memadai agar perencanaan dan

persiapan yang telah disusun dapat

diimplementasikan dengan human

capital yang handal pula.

Berdasarkan data Badan Ekonomi

Kreatif (Bekraf), kebutuhan tenaga

kerja digital sekitar 600 ribu orang per

tahun dan masih belum bisa dipenuhi.

Tingginya kebutuhan karena banyak

perusahaan teknologi dan startup yang

lahir beberapa tahun belakangan. Jadi

ada gap antara supply dan demand,

jumlahnya 600 ribu orang pertahun

dan jika 10 tahun ada sekitar 6 juta

orang gap kebutuhannya.

Berbicara digital talent tentu tidak

lepas dari manusia yang memiliki

penguasaan teknologi digital seperti

inovasi berbasis teknologi berupa

Internet of Thing, Big Data, Cloud Computing,

Digital Manufacturing dan cyber

Security. Selain kompetensi teknis

seseorang menurut World Economic

Forum, digital talent harus memiliki

kompetensi sosio berupa kemampuan

koordinasi dengan orang lain, memiliki

kecerdasan emosional, negotiation,

persuasion, service orientation, dan

kemampuan melatih dan mengajar

orang lain.

Berdasarkan fakta tersebut,

pemerintah memiliki tantangan yang

besar bagaimana menghilangkan gap

digital talent tersebut dalam rangka

menyongsong transformasi digital yang

sedang berevolusi dengan cepat. Dari

tantangan tersebut peran pemerintah

khususnya lembaga pendidikan dan

pelatihan memiliki posisi yang strategis

di dalam mengambil peran membantu

menutupi atau setidaknya mengikis

gap tersebut dengan berperan aktif

melakukan terobosan-terobosan

inovatif di dalam “memproduksi” digital

talent yang tidak hanya kuantitasnya

saja tapi juga kualitasnya.

Rony Kasmanto, MTI.

(Widyaiswara Muda)

48

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Opini

PEMAHAMAN TENTANG PROSES SERTIFIKASI

PROFESI DALAM STANDAR KOMPETENSI KERJA

NASIONAL INDONESIA

Tuntutan reformasi birokrasi mengenai sosok ASN

(Aparatur Sipil Negara), di era zaman milenial

ini, di harapkan mampu melakukan tugas sesuai

dengan tanggung jawabnya. Untuk mewujudkan menjadi

ASN yang berkelas dunia, setidaknya memiliki lima kriteria

yakni professional, intergritas, orientasi ke publik, budaya

pelayanan yang tinggi, serta memiliki wawasan global.

Kelima kriteria tersebut perlu dimiliki dan menjadi pedoman

oleh seluruh ASN yang dipraktekkan/dilakukan secara

berkesinambungan guna memenuhi tuntutan kualifikasi

ASN yang mumpuni untuk mewujudkan Good Governance

di Indonesia. Sejalan dengan upaya tersebut, maka penting

untuk dilakukan standarisasi terhadap kompetensi bagi ASN

di semua bidang. Standar kompetensi ini wajib di susun

sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada setiap lembaga

maupun kementerian.

Agar dapat melaksanakan apa yang menjadi instruksi

pemerintah tersebut, untuk itu kita harus mengetahui regulasi

tentang usulan alternatif proses pengembangan SDM

(Sumber Daya Manusia) di Indonesia melalui sertifikasi

profesi yang dilaksanakan melalui LSP (Lembaga Sertifikat

Profesi) dan BNSP (Badan Nasional Profesi) dalam menetapakan

peta jabatan dalam satu unit organisasi.

PENGERTIAN PENDIDIKAN PROFESI

Pengertian Pendidikan profesi dan Sertifikasi Profesi memiliki

perbedaan yang mendasar terutama berkaitan dengan

konsep dan tujuan serta penyelenggara nya. Berdasarkan

konsep, profesi memiliki dua pengertian yaitu:

• Pengertian profesi adalah jenjang pendidikan setelah

sarjana untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat

bekerja pada bidang yang memerlukan keahlian khusus.

(Undang-Undang No.20 Tahun 2003).

• Pengertian Profesi adalah bidang pekerjaan yang untuk

melaksanakannya diperlukan kompetensi tertentu

(Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2006).

Konsep profesi pertama berkaitan dengan pendidikan.

Pengertian pendidikan profesi adalah untuk mempersiapkan

peserta didik agar dapat bekerja pada bidang yang

memerlukan keahlian khusus, Pendidikan profesi penyelenggaranya

dominan oleh Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, misalkan pendidikan profesi guru, dokter,

akuntan, psikolog dan pendidikan profesi lainnya. Sedangkan

konsep profesi kedua berkaitan dengan bidang pekerjaan.

Pengertian sertifikasi profesi adalah sertifikasi kerja yang

diperlukan untuk mendapatkan atau meningkatkan kompetensi

tertentu. Sertifikasi profesi merupakan sertifikasi kerja

yang dominan dikeluarkan oleh LSP (Lembaga Sertifikasi

Profesi) yang diakreditasi oleh BNSP (Badan Nasional

Sertifikasi Profesi), contohnya adalah Sertifikasi Profeso Ahli

Manajemen Risiko, Analisis Keuangan, Akuntan publik, Konsultan

Pajak dan berbagai sertifikasi profesi untuk kompetensi

yang lain.

Sesuai dengan PERPRES 8/2012, Sistem Sertifikasi Kompetensi

Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi

yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji

yang kompetensi sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional

Indonesia, Standar Internasional, dan/atau Standar Khusus.

Sehingga sistim sertifikasi ini mempunyai fleksibilitas berharmonisasi

dengan berbagai system nasional maupun internasional.

Sesuai dengan Peraturan BNSP 01/2015, Sistem Sertifikasi

Kompetensi Profesi Nasional adalah tatanan keterkaitan

komponen sertifikasi kompetensi profesi yang mencakup

pembentukan kelembagaan sertifikasi, lisensi, lembaga

sertifikasi, pengembangan system informasi sertifikasi kompetensi

dan pengendalian mutu sertifikasi yang sinergis

dan harmonis dalam rangka mencapai tujuan pelaksanaan

sertifikasi kompetensi kerja nasional.

PEMAHAMAN TENTANG SERTIFIKASI

Dalam perkembangannya, bahwa untuk melaksanakan

standar kompetensi profesi, maka diperlukan assessment

untuk mengetahui/mengukur apakah pegawai

dapat ditetapkan profesionalisme nya sesuai bidang tugas

atau tidak. Secara umum sertifikasi profesi dan sertifikasi

profesional harus dibedakan keahlianya. Sertifikasi

profesi, dilakukan untuk kompetensi atau keahlian khusus.

Misalnya profesi medis sering membutuhkan tenaga ahli

atau spesialisasi tertentu dalam memberikan pelayanan

kepada pasien. Sertifikasi profesi dilakukan dalam rangka

menerapkan standar profesional, meningkatkan tingkat

praktek, dan mungkin melindungi masyarakat (meskipun

ini juga merupakan domain dari lisensi), sebuah organisasi

profesional mungkin menetapkan sertifikasi. Hal ini

dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi semua tempat

dimana seorang profesional bersertifikat mungkin bekerja.

Tentu saja, hal ini membutuhkan pola penilain dan

pertanggung jawaban secara hukum dari seluruh profesi

yang ada.

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 49


Sedangkan Sertifikasi profesional dapat didefinisikan sebagai

istilah sertifikasi profesional yang seringkali digunakan

untuk menunjukkan kemampuan atau kualifikasi seseorang

berdasarkan atribut atau kriteria yang telah ditentukan oleh

sebuah organisasi/badan atau lembaga pengembangan

(biasanya sudah terakreditasi). Sebutan ‘sertifikasi’ atau

‘kualifikasi’ tersebut ditetapkan bagi tenaga profesional,

sering disebut hanya sertifikasi atau kualifikasi, untuk

menjamin kualifikasi dalam melakukan tugas atau pekerjaan

tertentu. Misalnya, pemberian sertifikasi kepada tenaga

pengajar widyaiswara dapat diartikan

sebagai suatu proses

pemberian

pengakuan

b a h w a

seseorang

t e l a h

memiliki

k o m p e -

tensi untuk

melaksanakan

pelayanan

pendidikan pada

satuan pendidikan

tertentu,

setelah lulus uji kom- petensi yang

diselenggarakan oleh LAN RI. Dengan kata

lain, sertifikasi pengajar Widyaiswara adalah proses

uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan

penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan

pemberian sertifikat widyaiswara (perkalan RI No 22 Tahun

2015).

Sertifikasi sangat umum digunakan dalam bidang konstruksi,

penerbangan, teknologi, keuangan, lingkungan, sektor

industri, bisnis, pendidikan, dan kesehatan. Di Amerika

Serikat, Federah Aviation Administration (FAA) mengatur

sertifikasi penerbangan. Certified Internal Auditor (CIA)

merupakan sebuah organisasi di Amerika mengkususkan

diri dalam penilaian kinerja keuangan internal yang

beroperasi di hampir mencakup 165 negara. Organisasi

ini juga melakukan sertifikasi terhadap tenaga audit profesionalnya

dalam memperoleh lisensi, dan pengembangan

sumber daya manusia. Banyak anggota dari Association of

Test Publisher (ATP) juga organisasi sertifikasi.

Sertifikasi yang diperoleh dari masyarakat profesional atau

dari vendor sebuah perusahaan. Misalnya, Perusahaan,

Perusahaan Microsoft, Cisco, Machintos, dll. Secara umum,

harus diperbaharui secara berkala, atau mungkin berlaku

untuk suatu periode waktu tertentu (misalnya, masa pakai

produk di mana seseorang dinyatakan). Sebagai bagian dari

pembaharuan sertifikasi lengkap dari individu, itu adalah

berlaku umum bagi individu untuk menunjukkan bukti

belajar secara berkelanjutan.

MENGAPA PERLU SERTIFIKASI PROFESI?

Tantangan di era globalisasi dan pasar yang kompetitif

menuntut daya tahan dan daya saing sebuah kelompok,

komunitas, organisasi dan negara dalam bentuk

pengembangan sumber daya manusia sebagai “intellectual

asset” menjadi salah satu factor yang penting dalam

mendukung produktivitas dan keunggulan kompetitif

perusahaan. Pengembangan SDM strategik merupakan

tuntutan bagi setiap organisasi untuk menyelaraskan

program training dengan strategi organisasi. Selain itu,

pengembangan SDM menuntut perpanduan yang sinergik

antara aspek pembelajaran (learning) dan aspek kinerja (performance).

Untuk itu, pengembagan SDM melalui program

training di tempat kerja membutuhkan suatu sarana dan

fasilitas yaitu training center. Untuk merealiasikan upaya

peningkatan pembelajaran dan kinerja, maka diperlukan

suatu standar kompetensi profesi khususnya bagi para

training manager untuk mengelola training center

dalam suatu organisasi. Isu sertifikasi

menjadi sangat h a n g a t

dibicarakan

o l e h

berbagai

kalangan

khususnya

pihak-pihak

yang terlibat

dalam proses

pembinaan profesi baik

pendidikan, kesehatan, keuangan,

pemerintahan dan kemasyarakatan. Isu

sertifikasi menjadi salah satu cara yang

digunakan dalam membangun struktur karir profesional

dan pengembangan kualitas atau mutu.

Tahun 2015, merupakan momentum besar dalam

pembangunan kompetensi yaitu tahun implementasi integrasi

masyarakat Ekonomi ASEAN, dimana salah satu

unsur penting adalah aliran bebas tenaga kerja trampil (free

flow of labor skill) diantara negara negara yang tergabung

dalam ASEAN. Dengan telah ditetapkan kerangka kualifikasi

Nasional Indonesia (KKNI) melalui peraturan presiden

Nomor 08 Tahun 2012 dan telaha disepakatinya ASEAN

Qualification Reference Framework (AQRF) pada akhir tahun

2014, maka pengembangan kompetensi SDM semakin

jelas untuk dapat bersaing dengan negara mitra bisnis, dan

memberikan kepastian link and match antara dunia kerja

industry, dimana kerangka kualifikasi ini memberikan pedoman

penyertaan proses pembelajaran proses pembelajaran

dari dunia pendidikan, pelatihan dan pembelajaran di

tempat kerja.

Masalah link and match, dan relevansi lulusan pendidikan

termasuk pelatihan dengan dunia kerja masih terus menjadi

isu nasional, karena masalah kurangnya employability

(kecakapan bekerja) pada dunia kerja. Hal ini menyebabkan

industry harus mengembangkan kelembagaan pendidikan

dan pelatihan seperti traning centre, corporate university

dan bahkan pendidikan tinggi, walaupun sudah merekrut

calon karyawan yang berasal dari Pendidikan vokasional.

Guna bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

diperlukan peningkatan kompetensi baik sisi sumber daya

manusia (SDM) maupun organisasi. Para praktisi SDM

dituntut untuk lebih meningkatkan profesionalisme dalam

50

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


mengelola SDM di organisasi, SDM harus memiliki kompetensi

sesuai standar yang ditetapkan (UU 13 Tahun 2003)

bahwa kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap

individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan

dan sikap kerja. Hal ini menjadi pentinga karena divisi SDM

adalah mitra strategis bagi pimpinan organisasi dalam

rangka mengelola dan mengembangkan SDM.

Salah satu bentuk dukungan untuk meningkatka

profesionalisme prakstisi SDM juga diberikan oleh

pemerintah melalui kementerian tenaga kerja yang

mengeluarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia

(SKKNI). SKKNI ini berisi rumusan kemampuan kerja

yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, atau

keahlian serta yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan

syarat jabatan. Program sertifikasi kompetensi merupakan

upaya pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk

meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia,

baik untuk skala domestic maupun internasional.

DIMANAKAH TEMPAT MENDAPATKAN SERTIFIKASI

PROFESI

Tidak bisa kita pungkiri bahwa kualitas pekerja kita cukup

rendah dimana tenaga kerja kita masih kalah bersaing

dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, singapura,

Thailand dan negara Tetangga lainnya. Hal ini semakin

diperparah dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASE-

AN) dimana pekerja kita harus bersaing dengan pekerja dari

negara ASEAN. MEA sendiri adalah sistem perdagangan

bebas antara negara negara ASEAN dimana kawasan MEA

mengharuskan membebaskan arus tenaga terampil. Oleh

karena itu, sekarang banyak orang yang berlomba-lomba

guna mendapatkan gelar akademik yang lebih tinggi (S1/S2/

S3). Tetapi untuk linkungan kerja tentunya tidak benar. Jadi

apa yang dibutuhkan dalam lingkungan kerja? Jawabannya

adalah sertifikasi profesi. Sertifikasi profesi adalah suatu

penetapan yang diberikan oleh suatu organisasi professional

terhadap seseorang untuk menunjukkan bahwa orang

tersebut mampu untuk melakukan suatu pekerjaan atau

tugas spesifik.

LSP (LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI)

Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) adalah lembaga

pelaksanaan kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh

lisensi dari badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Lisensi diberikan melalui proses akreditasi oleh BNSP yang

menyatakan bahwa LSP bersangkutan telah memenuhi

syarat untuk melakukan kegiatan sertifikasi profesi. Sebagai

organisasi tingkat nasional yang berkekedudukan di wilayah

Republik Indonesia.

Pembentukan LSP: LSP dipersiapkan pembentukannya

oleh suatu panitia kerja yang dibentuk oleh atau dengan

dukungan asosiasi industry terkait. Susunan panitia kerja

terdiri dari ketua bersama sekretaris, dibantu beberapa

anggota. Personal panitia mencakup unsur industry, asosiasi

profesi, instansi teknis terkait dan pakar. Tugas panitia kerja

adalah Menyiapkan badan hukum menuyusun organisasi

maupun personal mencari dukungan industry maupun instansi

terkait. Surat permohonan untuk memperoleh lisensi

ditunjukan kepada BNSP. Ketentuan pembentukan LSP

mengacu kepada PBNSP 202.

Fungsi dan Tugas LSP sesuau PBNSP 202 tahun 2014, LSP

memiliki Fungsi melaksanakan Sertifikasi Kompetensi dan

Tugas :

• Menyusun dan mengembangkan skema sertifikasi

• Membuat perangkat asesmen dan uji kompetensi

• Menyediakan tenaga penguji (asesor)

• Melaksanakan sertifikasi

• Melaksanakan surveilen pemeliharaan sertifikasi

• Menetapkan persyaratan, memverifikasi dan

menetapkan TUK

• Memelihara Kinerja asesor dan TUK

• Mengembangkan pelayanan sertifikasi

Standar kompentesi Kerja Nasional Indonesia atau yang

disingkat dengan SKKNI merupakan acuan yang menjadi

standar dalam hubungannya dengan kemampuan kerja

yang meliputi aspek keterampilan, pengetahuan dan sikap

kerja yang sesuai dengan pelaksaan tugasnya serta sesuai

dengan persyaratan dari pekerjaan yang sudah di tetapkan

dimana semua standar atau ketentuan dalam SKKNI sesuai

dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Dengan kata lain, SKKNI merupakan standar

kompetensi tenaga kerja yang berlaku secara nasional di Indonesia

dan merupakan standar kompetensi bersifat lintas

perusahaan. Peraturan Pemerintah PP 31/2006 mengatur

SKKNI dikelompokkan ke dalam jenjang kualifikasi dengan

mengacu pada KKNI dan/atau jenjang jabatan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari uraian yang telah dijabarkan diatas, penting bagi Badan

Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika untuk mewujudkan

sertifikasi profesi bagi pegawai yang melakukan operasional

meteorologi, klimatologi, dan geofisika, serta pendukungnya

seperti di Kedeputian Instrumentasi, Rekayasa, Kalibrasi dan

Jaringan Komunikasi. Dengan segera dibentuknya Lembaga

Sertifikasi Profesi di lingkungan Badan Meteorologi, Klimatologi

dan Geofisika maka akan memberikan jaminan

perlindungan bagi pegawai akan profesionalitas bagi

mereka. Hal ini akan memberikan penguatan, pengakuan

terhadap profesionalisme pegawai di BMKG. Terbentuknya

LSP akan memberikan manfaat juga bagi stakeholder di

luar BMKG, bahwa bagi siapa saja/perorangan/organisasi

yang akan melaksanakan kegiatan berkaitan dengan bidang

meteorologi, klimatologi, dan geofisika maka mereka wajib

untuk mengikuti sertifikasi di BMKG kedepannya.

Referensi :

1. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 Tentang

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 21 Tahun 2014

Tentang Pedoman Penerapan Kerangka Kualifikasi

Nasional Indonesia

3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 02 Tahun

2016 Tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja

Nasional

4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03 Tahun 2016

Tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja

Nasional Indonesia.

Agus Prasisto, ST.MM

(Widyaiswara Muda)

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 51


KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

DI ERA MILENIAL

Tulisan ini terinspirasi dari modul “Kepemimpinan Transformasional” pada workshop Pelatihan

Kepemimpinan Pengawas dan Pelatihan Kepemimpinan Administrator. Dimana dalam modul

tersebut menjelaskan bahwa pemimpin transformasional adalah bagaimana pemimpin mengubah

orang dan organisasi, dengan cara menstimulus/merangsang para bawahannya untuk bekerja

menghasilkan kinerja yang tinggi. Pemimpin lebih berfokus pada aspek-aspek perubahan (Patricia,

337:2004). Model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang

terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin sehingga para pemimpin lebih berkerakyatan

dan berkeadilan sosial.

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

• Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah ilmu dan

seni mempengaruhi orang lain atau

kelompok untuk bertindak seperti

yang diharapkan untuk mencapai

tujuan secara efektif dan efisien.

Kemampuan untuk mempengaruhi

dan mengerakkan orang lain guna

mencapai tujuan tertentu disebut juga

dengan leadership. Kepemimpinan

sangat menentukan keberhasilan atas

manajemen dan lebih dari itu adalah

menentukan keberhasilan administrasi.

Ini berarti bahwa kepemimpinan

akan menentukan tercapai atau

tidaknya suatu tujuan

organisasi.

• Transformasional

Istilah transformasional berasal

dari kata to transform, yang artinya

mentransformasikan atau mengubah

sesuatu menjadi bentuk lain yang

berbeda. Pemimpin dapat menerapkan

kaidah kepemimpinan transformasional

jika mampu mengubah energi

sumber daya, baik manusia, instrumen,

maupun situasi untuk mencapai tujuan

reformasi birokrasi. Seorang pemimpin

dengan gaya transformasional

merupakan pemimpin yang memiliki

wawasan jauh ke depan dan senantiasa

berupaya untuk memperbaiki dan

mengembangkan organisasi, bukan

hanya untuk saat ini namun sampai

masa yang akan datang. Berdasarkan

hal inilah pemimpin transformasional

dapat dikatakan sebagai pemimpin

yang visioner.

Dari pengertian kepemimpinan

dan transformasional di atas dapat

disimpulkan bahwa Kepemimpin

transformasional mendasarkan dirinya

pada cita-cita di masa depan. Di dalam

organisasi seorang pemimpin transformasional

memandang nilai-nilai

organisasi sebagai nilai-nilai luhur

yang perlu dirancang dan ditetapkan

oleh seluruh staf sehingga para staf

mempunyai rasa memiliki dan komitmen

dalam pelaksanaannya.

Kepemimpinan transforma-

sional lebih

memilih

m e n -

ginsipirasi anak buah mereka agar

mampu mencapai target-target yang

diinginkan daripada motivasi hadiah

atau hukuman sebagaimana halnya

di kepemimpinan tipe transaksional.

Kepemimpinan transformasional bercirikan

tindakan-tindakan di mana

pemimpin mampu membuat teamnya

menghormati, percaya, dan

menghargai pemimpinnya. Pemimpin

tipe ini mampu menjual konsep

pentingnya pekerjaan masing-masing

anak buah, dan menginsiprasi mereka

untuk mengutamakan kepentingan

team yang lebih besar dengan

pencapaian yang melebihi ekspektasi.

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

DI ERA MILENIAL

Pada zaman yang terus berkembang

menuntut generasi milenial memiliki

pengetahuan yang luas dan kreatif

serta inovatif, sehingga dapat menjadi

pemimpin yang dapat mengikuti

perkembangan dunia. Kepemimpinan

milenial diterjemahkan sebagai

kepemimpinan masa kini yang

menyesuaikan dengan gaya generasi

baru yang lahir pada era 1980-an. Pola

kepemimpinan milenial tidak sama

dengan pola kepemimpinan lama dari

generasi sebelumnya.

Merujuk pada riset

dari Ryus

t a h u n

2 0 1 3

tentang

tujuh

faktor

kepuasan

para Milenial

dalam pekerjaan yang

pernah dibahas di Bisnis Indonesia

Weekend (3 April 2016),

ada tendensi model kepemimpinan

transformasional memiliki peluang

lebih tinggi untuk lebih pas dalam

memimpin para karyawan (staf)

Milenial. Hal ini dijelaskan karna

teori Kepemimpinan Bass merujuk

pada empat hal yang menjadi ciri

kepemimpinan transformasional yang

terindikasi cocok dengan faktor yang

mempengaruhi tingkat kepuasan

karyawan Milenial dari riset Ryus.

Empat hal ciri kepemimpinan transformasional

di era Milenial tersebut

adalah :

52

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Opini

1. Idealized influence.

Idealized influence atau kharisma di

mana seorang pemimpin transformasional

berusaha

menjadi

r o l e

model

bagi

anak

buah

4. Individualized consideration,

Individualized consideration, pemimpin

transformasional berusaha menjadi

seorang mentor bagi anak buahnya

dengan membuat konesi interpersonal

yang tulus untuk membantu

mereka, menginspirasi, mendorong,

dan memberikan dukungan-dukungan

yang diperlukan agar target pekerjaan

anak buah bisa tercapai atau bahkan

melebihi ekspektasi awal.

Riset Ryus memberikan bukti bahwa

karyawan Milenial sangat peduli

dengan pengembangan personal

dan professional mereka dalam korporasi.

Pemimpin transformasional

yang memiliki individualized consideration

dan sangat perduli anak

buah mereka untuk terus bertumbuh

dalam karir professional mereka, akan

menjadi pemimpin

idaman bagi

karyawan

Milenial. .

D a r i

mereka. Pemimpin transformational

akan selalu mempromosikan

visi, nilai-nilai organisasi,

dan memberikan contoh

(leading by example) agar

anak buah mereka melihat,

mencontoh, dan pada

akhirnya mengikutinya.

Dari riset Ryus, terbukti bahwa

karyawan Milenial puas bekerja di korporasi

yang menjujung tinggi etika dan

moral dalam visi, misi, dan nilai-nilai korporasi,

serta mendorong lingkungan

bekerja yang saling menghormati.

Terlihat indikasi korelasi bahwa

seorang pemimpin transformasional

yang kharismatik dan leading by example

mempromosikan nilai-nilai korporasi

akan menciptakan lingkungan

bekerja yang menjamin kepuasan bagi

karyawan Milenial.

2. Inspirational motivation

Inspirational motivation, di mana

seorang pemimpin transformasional

menginspirasi anak buah mereka agar

mampu mencapai hasil yang lebih

baik dengan menanamkan pentingnya

tujuan dari apa yang sedang dikerjakan,

dan pada saat yang sama, juga menjual

visi yang lebih besar jika anak buah

mampu mencapai hal-hal di luar ekpektasi.

Hasil riset Ryus membuktikan bahwa

karyawan Milenial mencari pekerjaan

yang bermakna yang mampu berkontribusi

positif ke keluarga, komunitas,

hingga dunia yang lebih luas. Artinya,

pemimpin transformasional yang

mampu menanamkan inspirational

motivation, dengan memberikan arti

yang lebih besar terhadap apa yang

dikerjakan oleh karyawan Milenial bagi

komunitas dan dampak lebih positif ke

organisasi/ industri atau dunia yang

lebih luas akan mampu memberikan

kepuasan dan retensi bagai karyawan

Milenial mereka.

3. Intellectual

stimulation.

Intellectual

stimulation,

seorang

pemimpin transformasional

mendorong anak buahnya agar

mampu lebih berimajinasi dan berinovasi.

Pemimpin akan menciptakan

lingkungan kerja kondusif untuk ideide

baru, menantang status quo, dan

keberanian mengambil resiko.

Ryus dalam riset yang sama juga

membuktikan bahwa karyawan Milenial

membenci manajemen mikro (micro

management). Mereka menginginkan

kebebasan berkreasi dan berkontribusi

karena percaya bahwa mereka memiliki

cara tersendiri untuk mencapai target-target

yang dibebankan. Dengan

demikian, pemimpin transformasional

yang memberikan intellectual stimulation

agar anak buah mereka lebih

berani mengamil resiko, menantang

status quo, berimajinasi dan berinovasi

akan memberikan motivasi lebih

bagi karyawan Milenial dalam bekerja

dan mencapai target-target yang

dibebankan.

pembahasan

di atas, terlihat ada indikasi

korelasi positif antara

empat ciri kepemimpinan

transformasional dengan

tingkat kepuasan karyawan

Milenial. Kesimpulannya,

pemimpin transformasional bisa

menjadi pemimpin yang pas bagi

karyawan Milenial untuk termotivasi

bekerja, lebih produktif, dan

memberikan pencapaian-pencapaian

melebihi ekspektasi.

Kepemimpinan transformasional yang

ulung memiliki resiko untuk mengabuse

kekuasaan mereka karena

kemampuan mereka untuk memotivasi

dan mempengaruhi anak buah

mereka untuk mencapai target-target

pencapaian yang mereka inginkan. Hal

ini, sangatlah penting pemimpin-pemimpin

generasi X untuk berlatih diri

menjadi pemimpin transformasional

dan di saat yang bersamaan, terus

mengingat agar selalu memiliki standar

etika moral tinggi untuk menghindari

penggunaan kepemimpinan transformasional

secara abusive. Dunia

berubah, karyawan berubah, saatnya

pemimpin pun berubah untuk produktifitas

korporasi yang lebih tinggi.

Referensi :

1. Dr. Wahyu Suprapti, MM., M.Psi-T.

“Kepemimpinan Transformasional”

Modul Pelatihan Kepemimpinan

Administrator. LAN-RI 2019

2. Hermawan Sutanto,

“Kepemimpinan Milenial” Published

in Bisnis Indonesia Weekend

Newspaper, April 10, 2016

Widodo, SE. M.Si.

(Widyaiswara Muda)

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 53


MENULIS SAJA DULU!, TAK PERLU

MENUNGGU SEMPURNA

Di era globalisasi, kemampuan mengkomunikasikan

ide bernilai sangat strategis. Kompetensi ini dapat

berbentuk verbal/lisan dan tulisan. Tujuannya

sama yaitu mempengaruhi orang lain sehingga menyetujui

pendapat yang disampaikan komunikator.

Dalam Permenpan 38 tahun 2017, kompetensi komunikasi

dijelaskan sebagai kemampuan seseorang untuk menerangkan

pandangan dan gagasan secara jelas, sistematis

disertai argumentasi yang logis dengan cara-cara yang

sesuai baik secara lisan maupun tertulis; memastikan

pemahaman; mendengarkan secara aktif dan efektif;

mempersuasi, meyakinkan dan membujuk orang

lain dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Seorang ASN dalam jenjang fungsional tingkat

ahli disyaratkan telah mampu

berkomunikasi secara

aktif baik secara

pengetahuan, wawasan dan keterampilan sekaligus

media aktualisasi.

Namun demikian, ditengarai pula adanya

kondisi kepercayaan diri yang

rendah serta keengganan untuk

mencoba memulai sebagai

tantangan di sisi

lain.

formal dan informal, secara asertif, terampil berkomunikasi

lisan/ tertulis untuk menyampaikan informasi yang sensitif/

rumit/ kompleks. Komunikasi tersebut dapat berbentuk

kemampuan menyusun materi presentasi, pidato, naskah

dan laporan. Semakin tinggi jenjangnya, diharapkan

peningkatan keahlian dalam mengemukakan pemikiran

multidimensi untuk mendorong kesepakatan dengan tujuan

meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Kompetensi

tingkat mahir lainnya adalah kemampuan menuangkan

pemikiran/ konsep dari berbagai sudut pandang/

multidimensi dalam bentuk tulisan formal.

Sebagian orang memilih komunikasi melalui tulisan sebagai

media karena merasa lebih nyaman dibandingkan harus

tampil menyampaikan ide melalui narasi verbal yang

memerlukan keterampilan berbicara di depan publik.

Sebagian lainnya menyukai penyampaian lisan yang bersifat

langsung dan spontan. Untuk komunikator tipe ini, maka

kegiatan menulis bisa menjadi tantangan tersendiri, tidak

terkecuali bagi tenaga pendidikan dan pelatihan yang seharihari

lebih banyak beraktivitas dalam kelas, menyampaikan

informasi secara verbal.

Di bidang kediklatan, kajian menarik dipublikasikan Asnofidal

pada tahun 2019 tentang motivasi widyaiswara

dalam membuat karya tulis ilmiah. Adanya unsur wajib

dalam tugas pokok dan fungsi widyaiswara dan fungsi

karya tulis sebagai unsur penambahan angka kredit untuk

kenaikan pangkat, merupakan faktor pendorong tingginya

motivasi widyaiswara menekuni aktivitas menulis. Menulis

juga dipercaya sebagai wadah peningkatan kompetensi,

Asnofidal lebih lanjut menyampaikan faktor penghambat

bagi widyaiswara untuk membuat karya tulis ilmiah, di

antaranya adalah keterbatasan waktu untuk fokus menulis

serta tidak terbiasanya widyaiswara dalam aktivitas literasi,

sehingga masih merasa kaku dalam memulai dan

mengerjakannya. Hal ini dapat menjadi mental blocking

yang kurang menguntungkan.

Mengikuti berbagai workshop dan pelatihan menulis, dapat

memberikan wawasan dan keterampilan bagi pemula

sekaligus memotivasi untuk dapat produktif menulis.

Beberapa hal berikut dapat menjadi panduan bagi para

calon penulis yang ingin belajar menulis, baik dalam bentuk

ilmiah maupun artikel popular bahkan fiksi.

1. Temukan alasan menulis, jauhi mental blocking

Dalam teori motivasi, segala tindakan harus didasari dengan

alasan yang kuat. Menemukan alasan akan membantu kita

untuk mengatasi keengganan dan membuat kita tetap konsisten

menulis. Beberapa orang menulis untuk dapat berbagi

pengetahuan, beberapa lainnya menjadikannya sebagai

wadah aktualisasi diri, lainnya menulis sebagai bagian dari

upaya finansial. Alasan ini bersifat unik pada tiap-tiap inividu,

tapi satu hal yang sama, alasan adalah energi yang akan

membuat seorang penulis akan tetap berkarya.

Menulis membutuhkan kreativitas berpikir. Pada penulis

yang menjadikan aktivitas tersebut sebagai sebuah

aktivitas atau pekerjaan, hal tersebut membutuhkan upaya

tersendiri. Tidak jarang para penulis tersebut mengalami

54

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Opini

mental blocking untuk menyalurkan kreativitasnya. Di sisi

lain, penulis pun dapat menemui kondisi di mana aktivitas

menulisnya menjadi sangat mengalir. Pengalaman ini dalam

psikologi dikenal dengan istilah flow. Kegiatan menulis

merupakan aktivitas yang banyak melibatkan emosional

dan kreativitas, sehingga ini diasumsikan sangat berkaitan

dengan pengalaman flow. Bagi seorang penulis, kondisi yang

mengalir (flow) merupakan suatu pengalaman yang sangat

optimal dalam menghasilkan sebuah karya tulis.

Tak jarang dijumpai orang yang lancar dalam berbicara, tapi

mengaku sulit menulis. Hal ini terjadi karena orang-orang

tertentu cenderung menganggap menulis dan berbicara itu

dua aktivitas yang sangat berbeda jauh. Untuk menangani

hal ini penulis pemula bisa mencoba mengalirkan ide

dengan menggunakan alat perekam untuk disalin ke dalam

tulisan setelahnya. Aplikasi voice note juga bisa digunakan

sebagai alternatif.

2. Siap sedia menyambut ide

Ide ada dimana-mana dan dapat muncul sewaktu-waktu.

Dari obrolan pagi hari bersama sejawat sambil menyeduh

kopi di pantri, berita terkini dari koran dan televisi, kabar

hangat dari media daring saat sedang berada di komuter atau

dari pengalaman dan pengetahuan pribadi yang tiba-tiba

muncul dalam ingatan. Ide tidak menunggu seseorang siap.

Kenali waktu-waktu produktifnya pikiran, saat ide kerap

bermunculan. Simon Sinek, penulis buku terkenal “Starts

with Why” rela memperpanjang waktu mandinya saat

menemukan bahwa 2-3 ide cemerlang didapatkannya saat

badan rileks terguyur air. Saat sedang mengerjakan proyek

bukunya, dinding rumah dipenuhi tempelan post-it-notes

tidak terkecuali dinding kamar mandi.

Hal yang sama bisa kita lakukan. Jika ide tiba-tiba muncul,

segera ambil alat pencatat dan tuangkan kata-kata kunci yang

terbersit di benak. Alat pencatat dapat berupa apa saja. Jika

tidak sedang menggunakan laptop atau komputer, gunakan

menu/ aplikasi catatan di ponsel, memo kecil dan pensil,

kertas post-it. Kata-kata kunci ini dapat dilihat kembali dan

dirangkai lalu didetilkan dalam tulisan jika sudah ada waktu

yang lebih panjang. Jangan biarkan ide menguap begitu saja

sebelum sempat dituliskan. Bersiaplah selalu menyambut

kedatangan ide.

3. Buat asosiasi dengan waktu, tempat dan alat

menulis

Membuat asosiasi akan menumbuhkan kelekatan dengan

aktivitas tertentu. Tips ini juga berlaku untuk kegiatan

menulis. Membuat

asosiasi dengan waktu

berarti menetapkan

berapa lama dan

pukul berapa setiap

hari diluangkan untuk

menulis. Lebih baik

lagi jika kita dapat

mengenali waktu

produktif kita, maka

kegiatan menulis

bisa kita asosiasikan

pada waktu tersebut.

Beberapa orang

menemukan waktu

produktifnya 30 menit

di pagi hari, saat berada

dalam perjalanan atau

baru tiba di tempat

kerja. Ada pula yang menemukan kreativitasnya menyala

pada sore hari, 20 menit menjelang persiapan pulang.

Bagi yang menyukai kesunyian dini hari, merasa lebih

lancar menulis di pagi yang sepi, sambil menunggu terbitnya

matahari. Tidak harus lama, tapi harus konsisten. Asosiasi

ini dapat pula dilekatkan pada rutinitas harian untuk

memudahkan pelaksanaannya.

Membuat asosiasi dengan tempat berarti menetapkan lokasi

spesifik untuk menulis. Di meja kerja, di meja dapur, dalam

kereta komuter atau bus jemputan, di sudut perpustakaan.

Pilihlah tempat favorit untuk menulis. Suatu tempat yang

secara rutin kita kunjungi setiap hari, yang berada di

dalamnya akan mendorong kita merasa berkewajiban untuk

menuangkan ide dalam tulisan.

Membuat asosiasi dengan alat artinya menetapkan alat dan

sarana yang digunakan untuk menulis, sehingga setiap kali

menyentuh atau melihat atau menggunakan alat tersebut,

muncul keinginan untuk menulis. Beberapa penulis mengasosiasikan

kegiatan menulis dengan laptop atau komputernya,

sehingga setiap kali membuka laptop atau komputer,

segera tergerak untuk merangkai kata menjadi tulisan. Kelekatan

juga dapat dilakukan pada ponsel, yang kerap menemani

kegiatan sehari-hari. Alih-alih menggunakan hanya

untuk memutakhirkan status, telepon pintar ini juga bisa

menjadi sarana untuk menjadi penulis yang produktif.

Untuk penulis pemula dapat menggunakan tiga asosiasi

sekaligus. Mulailah dengan mengkondisikan diri untuk

harus menulis saat berada dalam tempat favorit, di waktu

favorit dan sedang menggunakan sarana favorit. Kondisi ini

dapat berupa misalnya waktu pagi hari selama 30 menit di

meja kerja saat menggunakan komputer atau di sore hari

selama 20 menit saat berada dalam bus jemputan dengan

menggunakan ponsel. Jika dilakukan secara rutin, maka

secara bertahap gairah menulis akan terus tumbuh sehingga

nantinya akan dapat lebih mudah termotivasi meski hanya

dengan satu asosiasi saja.

4. Sediakan waktu terpisah untuk menggali ide, riset

dan menulis

Salah satu kunci sukses proses kreatif yang diinisiasi Walt

Disney adalah dengan melakukan pemisahan tiga proses

yaitu menggali ide dan melakukan riset, merealisasikan

ide dan mengkritisi produk. Dalam menulis pun dianjurkan

untuk tidak menggabungkan aktivitas riset, menuangkan ide

dalam tulisan dan mengedit dalam satu waktu. Jika sedang

riset, jangan menulis. Jika sedang menulis, jangan melakukan

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 55


pengeditan dan koreksi. Biarkan seluruh ide hadir secara

utuh tanpa mempedulikan kualitasnya, detil dapat ditambahkan

kemudian. Hal ini penting untuk mencegah terputusnya

aliran ide serta menjaga proses flow (mengalir)

tetap berlangsung.

Secara praktis, beberapa penulis mengalokasikan waktu

yang berbeda untuk melakukan tiga proses ini dalam

rutinitas hariannya. Menulis selama 30 menit di pagi hari,

brainstorming dan berselancar di internet mencari data

dukung selama 30 menit di sore hari, dilanjutkan 20 menit

melakukan koreksi dan menambahkan detil dan referensi

pada malam hari.

5. Banyak membaca sebagai bahan bakar

Rata-rata penulis memiliki kegemaran membaca yang tinggi.

Aktivitas ini seperti melekat pada menulis. Ini merupakan

satu tips ampuh yang dimiliki banyak penulis untuk menggali

ide, seperti yang dilakukan oleh DR. Daryono, seorang pakar

bidang gempabumi dan tsunami. Aktivitas membaca yang

disarankan oleh penulis produktif ini adalah membaca

berkali-kali lalu mencernanya dengan sangat dalam. Proses

membaca yang telah mencapai level ini bahkan berefek

pada kemampuan menghapal isi bacaan hingga ke detilnya

seperti tahun dan nama tempat. Membaca akan membuat

pemahaman akan satu topik menjadi komprehensif,

sekaligus mengirimkan serta mengekalkan informasi yang

dibaca ke dalam long term memory. Jika sudah berada dalam

kondisi ini, penulis akan lebih mudah mencapai tahap flow

pada proses kreatifnya. Menuangkan ide menjadi mudah

dan menulis pun menjadi lebih lancar.

6. Mulai menulis

Bagi penulis yang benar-benar pemula dan baru mulai

belajar untuk menulis, target pertama yang sebaiknya

ditetapkan adalah lancar menulis. Dalam tahap ini, kualitas

tulisan sebaiknya tidak tidak terlalu dipikirkan. Tujuannya

agar terbentuk kebiasaan menulis sebagai bagian awal dari

pembentukan kemampuan menuangkan ide dan pemikiran.

Diibaratkan membentuk postur binaragawan, tahap lancar

menulis ini seperti membentuk otot-otot lebih dulu. Untuk

menjadikan tulisan lebih sistematis, dapat dilakukan pada

tahap berikutnya setelah seorang penulis melewati masa

kritis pembentukan motivasinya.

Agar lancar menulis, seorang pemula dapat melakukan

free writing atau menulis bebas. Saat ini di sekolah-sekolah

dasar sudah mulai dilakukan aktivitas menjurnal setiap

hari. Ini merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan

kemampuan menulis sejak kanak-kanak. Pada orang dewasa

pun tahap ini sebaiknya tidak dilewatkan. Teknisnya, penulis

menuliskan segala sesuatu secara bebas, sampai lancar

menulis. Setelah melalui tahap ini, biasanya seorang pemula

akan tercengang melihat betapa mudahnya menuangkan

ide dan buah pemikiran dalam satu tulisan. Hal ini tentu

menguntungkan mengingat pencapaian dari satu tahap

akan secara signifikan melonjakkan motivasi sekaligus

kepercayaan diri.

7. Mengedit dan Melakukan Publikasi

Tidak semua tulisan harus dipublikasikan seketika setelah

dihasilkan. Proses pengeditan diperlukan untuk membuat

sebuah tulisan menjadi enak dibaca dan layak publikasi.

Selain memastikan tata naskahnya dan tidak ada kesalahan

ejaan dalam penulisan, perlu juga diperhatikan kesesuaian

dengan format dan ketentuan media yang akan menjadi target

publikasi.

Penulis profesional biasanya mengendapkan tulisan selama

beberapa lama, lalu melakukan tinjau ulang. Hal ini berguna

untuk membuat emosi dan subyetifitas yang menyertai

tulisan dan diperoleh dari proses free writing maupun brainstorming,

menjadi berkurang. Tulisan pun menjadi lebih

obyektif.

Setelah dilakukan pengeditan dan penambahan referensi

yang dapat memperkaya konten, sebaiknya tulisan segera

dipublikasikan. Hal penting yang harus diingat dalam

proses ini bahwa tidak pernah ada karya yang sempurna.

Penulis yang bijak mengetahui kapan waktu yang tepat

untuk berhenti mengedit semata-mata demi mengejar kesempurnaan,

lalu mulai bertindak untuk mempublikasikan.

Tidak perlu menunggu sempurna, aksi nyata menuliskan ide

dan buah pemikiran akan lebih berarti bagi tapak langkah

menjadi seorang penulis yang produktif. Satu-satunya

jalan untuk menjadi penulis adalah dengan mulai menulis.

Sekarang dan saat ini juga.

You might not write well every day, but you can always edit

a bad page.

You can’t edit a blank page – Jodi Picoult

Referensi:

1. Asnofidal, 2019. Motivasi Widyaiswara Dalam Penulisan

Karya Tulis Ilmiah Pada Badan Pengembangan Sumber

Daya Manusia Provinsi Jambi. Badan Pengembangan

Sumber Daya Manusia Provinsi Jambi Jurnal Sains Sosio

Humaniora Volume 3 Nomor 2 Desember 2019

2. Bolt, C. 2019. How to Write and Lauch Your Book to

$10.000 in 90 Days – The Busy’s Person Guide to Getting

Your Book Done in 30 Minutes Per Day. E-Book. Self-

Publishing School. United States

3. Daryono, 2019. “Menulis dengan Produktif”. Hasil

wawancara: 11 Oktober 2019. Badan Meteorologi, Klimatologi

dan Geofisika.

4. Sinek, S. 2020. Spend more time in the shower. E-article.

Re: Focus, Simple Idea to Help You Thrive.

5. Hamzah, I. F. 2019. Pengalaman menulis pada penulis

nonfiksi: Sebuah wawancara online kualitatif. Fakultas

Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Prosiding

Seminar Nasional Magister Psikologi Universitas

Ahmad Dahlan 08 Agustus, 2019, Hal. 214-220

6. Mastuti, I. 2019. Gampang Jebol Media. E-Book. Jilid-3:

Seri Serba Gampang. Indscript Corporation.

7. Mustafa, A. J, 2019. Kebijakan Manajemen ASN menuju

Smart ASN 2024. Paparan dalam Rakor Administrasi

Kepegawaian 2019 Kemenkes RI. Kementerian Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

8. PAN-RB, 2017. Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 38

Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Aparatur Sipil

Negara. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara

dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia.

9. Takariawan, C. 2017. Agar Menulis Semudah Bernafas.

E-book. Wonderful Publishing. Jogjakarta

Roro Yuliana Purwati, S.Si., M.Si.

(Widyaiswara Madya)

56

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Kisah Inspiratif

Hoegeng

Iman

Santoso

PANTANG

TERIMA

PEMBERIAN

KARENA

JABATAN

Konon, menjadi polisi sudah menjadi cita-cita masa

kecil Hoegeng Iman Santoso. Itu antara lain karena

ia sangat terkesan oleh sosok Ating Natadikusumah

yang kala itu menjabat Kepala Jawatan Kepolisian Karesidenan

Pekalongan. Di mata Hoegeng, Ating yang gagah, suka

menolong, dan banyak teman adalah sosok yang pantas

dijadikan teladan.

Menariknya, saat menapaki dunia pendidikan, Hoegeng

justru mengambil jalur hukum. Selepas bersekolah di Algemeene

Middelbare School (AMS) Yogyakarta, ia malah

melanjutkan ke Rechtshogeschool (RHS) di Jakarta. Ini sangat

mungkin karena ayahnya, Sukario Hatmodjo, berkiprah di

bidang hukum dan sempat menjadi Kepala Kejaksaan Pekalongan.

Perpindahan jalur yang dialami Hoegeng tak terlepas dari

kedatangan Jepang pada 1942. Hoegeng terpaksa harus

pulang ke Pekalongan dan meninggalkan kuliahnya di RHS.

Memasuki 1943, Hoegeng mengikuti pendidikan polisi Leeterling

Hoofdagent Van Politie (Pendidikan Ajun Inspektur

Polisi).

Setelah itu, ia masuk Koto Keitsatsu Gakko (Sekolah Tinggi

Polisi) di Sukabumi pada 1944, mengikuti pendidikan di

Provost Marshall General School, AS, pada 1950, masuk

Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 1952, dan

mengikuti Pendidikan Brigade Mobil (Brimob) di Porong

pada 1959.

Kariernya dijalani secara bertahap. Hoegeng pada awalnya

menjadi agen polisi, lalu menjabat Kapolsek Jomblang,

Semarang, pada 1945. Selanjutnya, ia menjabat Kepala Dinas

Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) Surabaya (1952–

1955), Kepala Reskrim Sumatera Utara (1955–1959), Deputi

Operasi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak)

pada 1967–1968, hingga akhirnya diangkat sebagai

Kepala Kepolisian Republik Indonesia pada 1968– 1971.

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 57


Di samping di jalur kepolisian, Hoegeng yang meninggal

di Jakarta pada 14 Juli 2004 juga sempat menjadi kepala

Jawatan Imigrasi RI (1960– 1965) dan Menteri Iuran Negara

RI (1966–1967).

Tutupnya Toko

Kembang Kami

“Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan kepala

jawatan imigrasi?”

Itulah protes yang dilontarkan Merry Roeslani, istri Jenderal

Hoegeng Iman Santoso yang lantas menjadi Kapolri, ketika

diminta sang suami menutup toko kembang milik mereka

hanya satu hari jelang pelantikan sebagai kepala jawatan

imigrasi

Ibu Merry tak habis pikir dengan permintaan suaminya itu

karena toko kembang tersebut adalah salah satu sumber

penghasilan tambahan mereka.

Hoegeng menjawab tegas, “Nanti semua orang yang

berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang

pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko

kembang lainnya.”

Rupa-rupanya, Hoegeng takut toko bunga itu menjadi beban

bagi dirinya dalam menjalankan tugasnya. Dia tak ingin

orang-orang membeli kembang di toko itu hanya karena

melihat jabatan yang diembannya.

Itu Bukan

Rumah Kami

Hoegeng Iman Santosa dan keluarganya mendapat sebuah

kejutan besar ketika diangkat sebagai Kepala Direktorat Reserse

dan Kriminal Polda Sumatera Utara pada 1956. Sempat

berdiam di Hotel De Boer selama beberapa waktu karena

rumah dinas masih dihuni pejabat lama, Hoegeng terkejut

bukan kepalang saat tiba giliran menempati rumah itu.

Rumah dinas itu dipenuhi barang-barang mewah.

Hoegeng tak bisa menerima hal itu. Ia dan keluarganya

berkeras tetap tinggal di hotel jika barang-barang mewah

itu masih ada di sana. Mereka baru akan pindah bila rumah

tersebut hanya diisi barang-barang inventaris kantor. Pada

akhirnya, Hoegeng dan keluarganya mengeluarkan semua

barang mewah itu ke tepi jalan.

Bagi Hoegeng, keberadaan barang-barang mewah itu sangat

mencurigakan. Pasalnya, mereka belum mengenal siapa pun

di tempat baru tersebut. Belakangan diketahui, barangbarang

itu berasal dari bandar judi yang hendak menyuapnya.

Sumber : Buku Orange Juice (Tokoh-Tokoh Bangsa

Berintegritas

Nurhidayat, M.Sc.

(Widyaiswara Madya)

58

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020


Serba-Serbi

SERBA SERBI DIBALIK PANDEMI VIRUS CORONA

KEGIATAN YANG JARANG

BAHKAN TIDAK PERNAH DILAKUKAN

PADA SAAT SITUASI NORMAL

Virus Corona Mampu Mengubah

Tradisi Sosial Dunia

gong shou. Untuk pria, tangan kanan

setengah mengepal, dan kemudian

tangan kiri memegang tangan kanan di

depan dada, dan sisi sebaliknya untuk

wanita.

Istilah Virus corona saat ini sedang populer

diperbincangkan oleh hampir semua

manusia di dunia. Hal ini disebabkan

karena penyebarannya begitu cepat

menjalar ke seluruh dunia dan telah

menjangkiti jutaan umat manusia di

dunia. Oleh dahsyatnya serbuan virus

inilah akhirnya mampu merubah kebiasaan-kebiasaan

sosial yang terpaksa

harus dihindari demi mencegah

penyebaran virus yang lebih luas.

Dikatakan bahwa virus ini

penyebarannya bisa melalui kontak

fisik, maka masyarakat dunia terpaksa

mengubah kebiasaan-kebiasaan yang

biasa dilakukan baik di rumah, di tempat

kerja, di sekolah, di tempat umum

hingga di tempat-tempat ibadah.

Seperti dilansir AFP, berikut ini negaranegara

yang harus mengabaikan tradisi

persahabatan mereka demi kesehatan

bersama.

China

Pemerintah China mengambil langkah

drastis demi memutus penyebaran virus

Corona. Setelah penutupan kota

dan pembatasan aktivitas publik,

melalui pengeras suara China menghimbau

masyarakatnya agar tidak

berjabat tangan. Sebagai pengganti

sebaiknya mereka melakukan gestur

Perancis

Masyarakat Perancis terkenal dengan

sapaan yang diikuti dengan cipika-cipiki

di forum informal, meski baru saling

mengenal. Menurut ahli etiket Philippe

Lichfus, berjabat merupakan budaya

yang relatif baru, yang dimulai sejak

abad pertengahan. Kini, menurutnya,

menatap mata seseorang ketika baru

berjumpa sudah cukup.

Brasil

Rekomendasi menteri kesehatan Brasil,

Luiz Henrique Mandetta, adalah agar

para warganya menikmati Chimarrao,

sejenis minuman teh tradisional,

dengan cara berbeda. Biasanya,

beberapa orang membagi satu sedotan

metal untuk menikmatinya. Kini,

mereka sebaiknya menghindari

kebiasaan ini. Selain itu, ciuman yang

lazim dilakukan setelah saling menyapa

juga sangat disarankan untuk dihindari.

Jerman

Untuk membatasi penyebaran virus

corona, para dokter menyarankan

untuk mencuci tangan dan mengurangi

kedekatan fisik. Berjabat tangan juga

harus dihindari. Kanselir Angela Merkel

mengumumkan pada sebuah acara di

Stralsund pada hari Sabtu. “Saya tidak

berjabatan tangan dengan siapa pun

malam ini”.

Di hari Senin, saat Angela Merkel

akan memimpin rapat dan mendekati

Menteri Dalam Negeri Host Seehofer,

ia menjulurkan tangan untuk berjabat

tangan. Sang Menteri hanya mengankat

tangan kanannya. Keduanya

lantas tertawa. “Tidak ada jabat tangan.

Anda benar”, ujar Merkel seperti dilansir

Der Spiegel.

Iran

‘Jabat kaki’ adalah sebuah praktik baru

yang muncul di Iran, negara dengan

kasus infeksi virus corona dengan

kasus meninggal mencapai 66 orang.

Sebagai gestur yang unik dan baru,

tentu saja praktik ini menjadi viral

di dunia maya. ‘Jabat kaki’ ini juga

dilakukan oleh dua selebriti Lebanon,

Ragheb Alama dan Michel Abou Sleiman,

seraya melakukan air kissing.

Selandia Baru

Tradisi penyambutan suku Maori

yakni hongi, dimana dua orang yang

bertemu saling menempelkan hidung

mereka, untuk sementara tidak

dilakukan oleh beberapa institusi

pendidikan untuk menyambut muridmurid

baru. Penggantinya, mereka

mendendangkan waiata, lagu selamat

datang suku Maori, seperti yang

dilakukan oleh Politeknik WelTec di

Wellington.

Munculnya Istilah-Istilah Baru/

Populer

Setelah dunia diguncang wabah covid19

maka muncul istilah-istilah baru/

popular yang dulu saat kondisi normal

belum pernah/jarang didengar istilahistilah

tersebut diantaranya adalah :

1. Social Distancing.

Istilah ‘social distancing’ atau lebih

dikenal dengan istilah ‘pembatasan

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 59


sosial’ adalah menghindari tempat

umum, menjauhi keramaian, dan

menjaga jarak optimal 2 meter dari

orang lain.

Dengan adanya usaha menjaga jarak,

maka diharapkan penyebaran virus corona

ini dapat dicegah/berkurang.

2. Physical Distancing

Dilihat dari artinya, physical distancing

merujuk pada tindakan menjaga jarak

fisik antara satu orang dengan orang

lain. Setelah social distancing mulai

populer, Badan Organisasi Kesehatan

orang-orang yang tinggal serumah.

4. Lockdown

Istilah ‘lockdown’ berarti karantina

wilayah, yaitu pembatasan

khusus terkait aspek pertahanan

dan keamanan

Aturan meliburkan tempat kerja

memberikan pengecualian untuk

tempat kerja yang memberikan

pelayanan pertahanan keamanan,

ketertiban umum, kebutuhan pangan,

bahan bakar minyak dan gas, pelayanan

kesehatan, perekonomian, komunikasi,

industri, ekspor impor, distribusi logistik,

dan kebutuhan dasar lainnya.

7. WFH (Work From Home)

Menurut artinya WFH adalah bekerja

darim rumah. Kebijakan WFH dipilih

Dunia WHO mengubah penggunaan

istilah social distancing menjadi physical

distancing. Alasan mengganti frasa

social distancing menjadi physical

distancing salah satunya adalah agar

setiap orang bisa saling menguatkan

satu sama lain, meski secara fisik tidak

bisa berdekatan. Mengutip pidato Pak

Jokowi dalam agenda rapat terbatas

melalui video conference dengan

para Gubernur seluruh Indonesia di

Istana Merdeka, pada tanggal 24 Maret

2020 mengatakan bahwa “Di negara

kita yang paling pas adalah physical

distancing, menjaga jarak aman,” ini

artinya bahwa kita masih dapat tetap

terhubung secara sosial walaupun

ketika terpisah.

3. Isolasi dan karantina

Kedua istilah terkait virus Corona

ini merujuk pada tindakan untuk

mencegah penularan virus corona dari

orang yang sudah terpapar virus ini ke

orang lain yang belum. Perbedaannya

adalah isolasi memisahkan orang yang

sudah sakit dengan orang yang tidak

sakit untuk mencegah penyebaran

virus corona, sedangkan karantina

memisahkan dan membatasi kegiatan

orang yang sudah terpapar virus corona

namun belum menunjukkan

gejala. Berbagai pakar menganjurkan

untuk melakukan karantina di rumah

atau isolasi mandiri selama setidaknya

14 hari. Selama karantina, Anda

dianjurkan untuk tinggal di rumah

sambil menjalani pola hidup bersih dan

sehat, tidak bertemu orang lain, dan

menjaga jarak setidaknya 2 meter dari

60

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020

pergerakan penduduk dalam suatu

wilayah, termasuk menutup akses

masuk dan keluar wilayah. Penutupan

jalur keluar masuk serta pembatasan

pergerakan penduduk ini dilakukan

untuk mengurangi kontaminasi

dan penyebaran penyakit covid 19

sehingga diharapkan dapat memutus

penyebaran virus corona tersebut.

5. PDP (Pasien dalam pengawasan)

dan ODP (orang dalam pemantauan)

PDP dan ODP merupakan definisi yang

digunakan untuk mengelompokkan

individu berdasarkan:

• Gejala demam dan/atau gangguan

pernapasan

• Riwayat perjalanan ke daerah

pandemi infeksi virus corona atau

tinggal di daerah tersebut selama

14 hari terakhir sebelum gejala

timbul

• Riwayat kontak dengan orang yang

terinfeksi atau diduga terinfeksi

covid 19 dalam 14 hari terakhir

sebelum gejala timbul

6. PSBB (Pembatasan Sosial

Berskala Besar)

Sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan yang dikeluarkan untuk

penanganan covid 19, beberapa

daerah di Indonesia memberlakukan

Pembatasan Sosial Berskala Besar

(PSBB). Selama PSBB, pemerintah

daerah akan melakukan beberapa hal

berikut ini:

• Meliburkan sekolah dan tempat

kerja

• Pembatasan kegiatan keagamaan

• Pembatasan kegiatan di tempat

atau fasilitas umum

• Pembatasan kegiatan sosial

budaya

• Pembatasan moda transportasi

• Pembatasan kegiatan lainnya

oleh banyak perusahaan, lembaga

pemerintahan hingga sekolah-sekolah.

Jika dilihat dalam situasi pandemi covid

19 ini, WFH dilakukan guna mencegah

penularan penyakit selama menuju dan

berada di tempat kerja. Selain terkait virus,

bagi sebagian orang menganggap

bahwa WFH dapat menjadi solusi

tanggungjawab pekerjaan kantor dan

pekerjaan rumah, karena dirumah bisa

mengerjakan pekerjaan kantor dari

pekerjaan individu hingga kerja tim

bahkan metting atau rapat-rapat. Dibalik

itu sekaligus kita dapat melakukan

pekerjaan rumah.

Itulah berbagai istilah terkait infeksi

virus corona atau covid 19. Untuk

meminimalkan risiko Anda terjangkit

penyakit ini, patuhilah anjuran dokter

dan pemerintah. Selain mencuci

tangan, memakai masker, serta

menjalani pola hidup bersih dan sehat,

hindari tempat-tempat yang ramai atau

berkumpul dengan banyak orang.

Pandemi COVID-19 memang

mengkhawatirkan, tetapi setiap orang

dapat membantu meringkankan

kondisi ini dengan melakukan perannya

masing-masing.

Referensi :

1. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200303154912-284-480133/

corona-virus-yang-mengubahtradisi-sosial-dunia

2. https://www.alodokter.com/beragam-istilah-terkait-virus-coronadan-covid-19

Nurhidayat, M.Sc.

(Widyaiswara Madya)


Resensi Buku

Belajar Membuat WhiteBoard Animation

Untuk Pemula

Judul Buku :

Belajar Membuat Whiteboard Animation Untuk Pemula

Pengarang :

Jefferly Helianthusontri

Penerbit :

Elex Media Komputindo

Tebal Halaman :

viii+200 Halaman; 14cm x 21cm

Cetakan pertama : 2019

Saat ini era perkembangan

teknologi informasi dan

multimedia sangat pesat

dan beragam, salah saatu

diantaranya adalah teknologi pengolah

animasi video. Salah satu jenis video

yang populer di internet saat ini adalah

video whiteboard animation. Whiteboard

animation merupkan sebuah

proses dimana cerita atau storyboard

berupa gambar digambar pada papan

tulis putih (whiteboard) atau sesuatu

yang lain yang tampak seperti papan

tulis putih. Kita bisa menggunakan

video whiteboard animation untuk

berbagai keperluan, mulai dari video

promosi, video edukasi, video tutorial,

video konten YouTube, video profil

bisnis, dan banyak lagi. Bagi seorang

tenaga pengajar, widyaiswara atau

guru buku ini akan sangat bemanfaat

dalam memberikan alternative

terhadap berbagai pilihan teknologi

untuk membuat bahan ajar yang

interaktif menggunakan tools berbagai

platform white board animation yang

tersedia di internet baik yang berbayar

maupun yang gratis. Tentunya hal

ini sangat membantu bagi pengajar

yang ingin berkreasi dan berinovasi

dalam menyajikan ragam metode

pembelajaran kepada peserta didik

menggunakan video pembelajaran,

sehingga hal ini akan menarik dan

meningkatkan motivasi siswa dalam

belajar.

Buku ini akan memandu pembaca

membuat whiteboard animation dengn

mudah dan praktis. Setelah membaca

ini pembaca dapat mempraktekkan

isi buku ini. Buku ini terdiri dari 9 Bab,

dan masing-masing bab menyajikan

pengetahuan yang menarik dan

sangat membantu pembaca untuk

mempraktekkan membuat video whiteboard

animation sendiri. Bab I pada

buku menjelaskan pendahuluan yang

menjelaskan tentang whiteboard animation,

mengapa kita membutuhkan

whiteboard animation, dan penjelasan

mengenai software-software yang

dapat dimanfaatkan untuk pembuatan

video whiteboard animation dan yang

dijelaskan pada bab-bab selanjutnya.

Pada Bab II berisi tentang perencanaan

video, yang dimulai dari bagaimana

mendapatkan ide untuk pembuatan

video. Selanjutnya dijelaskan juga

mengenai teknik penulisan naskah

video, dan penjelasan tentang videoscribe.

Bab III dari buku ini menjelaskan

tentang bagaimana mempersiapkan

kelengkapan video, yang dimulai

dari cara mendapatkan grafis yang

dibutuhkan pada sumber-sumber

gambar dan ilustrasi gratis di internet,

selain itu juga penjelasan mencari

sumber musik untuk menambah

kelengkapan saat pembuatan video.

Selanjutnya pada Bab IV merupakan inti

dari buku ini, yaitu teknik pembuatan

whiteboard animation menggunakan

aplikasi videoscribe. Pembuatan video

ini diawali dengan membuat intro video,

membuat isi video, penambahan

rekaman suara pada video dan musik

pada video, dan teknik mengekspor

video yang sudah selesai dikerjakan.

Pada bab ini pembaca akan dipandu

secara runut, step by step dalam

membuat video nya. Langkahnya

mudah untuk diikuti. Kemudian pada

bagian Bab V sampai dengan Bab

VII pembaca akan diberikan alternative

pilihan dalam pembuatan video

menggunakan aplikasi selain videoscribe,

yaitu menggunakan video

animaker, video explainer, dan ren-

Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 61


derforest. Kelebihan buku ini adalah

penulis dengan sangat runut step by

step membimbing pembaca untuk

mempraktekkan membuat video

dengan mudah, dan ini sangatlah

cocok bagi pemula. Kemudian pada

Bab VIII dijelaskan bagaimana teknik

mempublikasikan video, baik melalui

youtube, maupun membagikan video

di situs web. Pada bagian ini pembaca

akan dibimbing bagaimana membuat

akun di youtube dan membuat situs

web untuk mempublikasikan

hasil karya video yang sudah berhasil

dibuat. Pada bagian akhir dari buku ini

yaitu di Bab IX pembaca akan diberikan

motivasi dengan memanfaatkan karya

yang berhasil dibuat untuk selanjutnya

dipromosikan ke internet sehingga

akan berpotensi untuk mendapatkan

passive income dari internet. Pada

bab ini juga dijelaskan bagaimana

teknik monetisasi di akun youtube

untuk mendapatkan penghasilan

dari youtube memanfaatkan hasil

karya video yang telah dipublikasikan.

Selanjutnya dijelaskan juga bagaimana

mempromosikan video kita

menggunakan situs web yang praktis

dan mudah untuk dibuatnya dengan

memanfaatkan situs penyedia layanan

situs web gratis.

Setelah kita membaca keseluruhan

rangkaian buku ini, rasanya tidak akan

menemukan kekurangan yang berarti,

karena buku ini memberikan panduan

secara step by step bagi pembaca

sehingga mampu mempunyai keahlian

dalam membuat video whiteboard

animation. Dengan membaca buku

ini, tentunya bagi para widyaiswara,

pengajar akan lebih tertarik dalam

mengembangkan diri dalam

memberikan alternative pembelajaran

yang sangat menarik dan sedang popular

saat ini. Hal ini akan meningkatkan

minat peserta diklat/atau siswa didik

untuk menyimak bahan pembelajaran

yang disajikan.

Diresensi oleh:

Arisman,S.Si,M.Si.

(Widyaiswara Muda)

62

M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020



BMKG

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA

Jalan Angkasa I No. 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720 - Indonesia

Telp & Fax : (021) 65867058

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!