Media-Pusdiklat-BMKG-7-2020
M e D i AP U S A T P E N D I D I K A N D A N P E L A T I H A NM e d i a E d u k a s i d a n I n f o r m a s i K e d i k l a t a n B M K GE d i s i 07 / 2020Membangun Awareness MasyarakatAkan Kewaspadaan Bencana AlamI S S N : 2 4 0 6 - 9 7 5 2
- Page 2 and 3: UPDATETerus Kamipusdiklat.bmkg.go.i
- Page 4 and 5: DAFTAR ISIBAHASAN UTAMA 5Menuju BMK
- Page 6 and 7: MEMBANGUN MASYARAKAT TANGGUHTERHADA
- Page 8 and 9: agar masyarakat selalu siap siaga d
- Page 10 and 11: membuat dunia lebih aman dari ancam
- Page 12 and 13: BMKGInfoBMKG InfoBMKG InfoBMKG Info
- Page 14 and 15: resiko potensi bencana alam yang ad
- Page 16 and 17: Indonesia sudah mempunyai landasan
- Page 18 and 19: Peran Teknologi Informasi Dalam Mem
- Page 20 and 21: menggunakan media sosial. Hampirset
- Page 22 and 23: Ketahanan Sosial yang dilaksanakan
- Page 24 and 25: BMKG7 ISTILAH TERKAITVIRUS CORONA (
- Page 26 and 27: Berdasarkan Gambar 3 di titik A ter
- Page 28 and 29: Gambar 14. Produk Kontur Kanal IR-B
- Page 30 and 31: gram Diklat yang Akomodatif (SS-5),
- Page 32 and 33: Memotret KebutuhanDiklat melalui AK
- Page 34 and 35: tingkat pencapaian kinerja UPT term
- Page 36 and 37: TRAINING DEVELOPMENT PLAN(GROUP FEL
- Page 38 and 39: c. WRF Installationd. WRF Simulatio
- Page 40 and 41: Tabel.1 Pengukuran skala sikap pada
- Page 42 and 43: Plus Minus Pegawai WFH (Work From H
- Page 44 and 45: berlaku, secara informal dengan pel
- Page 46 and 47: 1 dan data hasil yang diperoleh,mak
- Page 48 and 49: mengembangkan e-Governmentsesuai de
- Page 50 and 51: Sedangkan Sertifikasi profesional d
M e D i A
P U S A T P E N D I D I K A N D A N P E L A T I H A N
M e d i a E d u k a s i d a n I n f o r m a s i K e d i k l a t a n B M K G
E d i s i 07 / 2020
Membangun Awareness Masyarakat
Akan Kewaspadaan Bencana Alam
I S S N : 2 4 0 6 - 9 7 5 2
UPDATE
Terus Kami
pusdiklat.bmkg.go.id
untuk informasi berbagai
pengembangan kompetensi
ASN BMKG (Smart
ASN)
E-mail: pusdiklat@bmkg.go.id
Connect with us:
PUSDIKLAT.BMKG
PUSDIKLATBMKG
@PUSDIKLAT_BMKG
PUSDIKLAT BMKG
Mendidik Melatih
Melayani Mandiri Inovasi
4MI (four-me)
2
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Dari Redaksi
DITERBITKAN OLEH
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BMKG
Jl. Angkasa I, No. 2 Kemayoran
Jakarta Pusat 10720
PENANGGUNGJAWAB
Maman Sudarisman
PENGARAH
Abdul Kamid
Achmad Supandi
Adityawarman
PIMPINAN REDAKSI
Nurhidayat
REDAKTUR PELAKSANA
Arisman
Asep Jamaludin Malik
Imbuh Yuwono
REDAKSI
Nurahmini
Sarimang Aisah Jamco
SEKRETARIAT
Ika Nurmalasari
Widarsih Ariessanti
ARTISTIK & TATA LETAK
Deni Saiful
Telp. (021) 65867058
Fax (021) 65867058
E-mail: buletin.pusdiklat@bmkg.go.id
Dalam edisi 07 tahun 2020 ini MEDIA PUSDIKLAT BMKG mengusung tema
utama “Membangun Awareness Masyarakat Akan Kewaspadaan Bencana
Alam”. Tema utama ini diangkat sejalan dengan kondisi saat ini bahwa
Indonesia sering mengalami ancaman bencana alam dan salah satu fungsi
BMKG adalah memberikan informasi kepada stakeholder berkenaan dengan
perubahan iklim, peringatan dini bencana karena faktor meteorologi,
klimatologi, dan geofisika.
Seiring dengan Hari Meteorologi Dunia ke -70 tahun yang jatuh ada tanggal
23 Maret 2020 dengan tema Iklim dan Air Untuk Kehidupan, BMKG mengajak
kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan mitigasi
dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan ketahanan air. Hal ini disampaikan
berdasarkan semakin meningkatnya frekwensi bencana hidrometeorologis
yang diakibatkan oleh perubahan iklim, seperti kekeringan yang berdampak
pada ketersediaan air bersih, kebakaran hutan dan lahan, curah hujan ekstrem
yang memicu banjir di beberapa tempat di awal tahun 2020. Bencana ini
berdampak luas dan diprediksi akan terus meningkat berdasarkan proyeksi
perubahan iklim di masa mendatang. Salah satu dampak dari perubahan
iklim ini adalah cadangan ketersediaan air yang semakin berkurang dan atau
menyebabkan kelebihan jumlah debit air pada waktu yang lain.
Dalam kurun waktu yang panjang iklim telah berubah. Perubahan itu ditandai
dengan adanya perubahan/kenaikan temperatur secara global, kenaikan tinggi
muka air laut, semakin sering terjadinya kondisi cuaca ekstrim dan lainnya,
serta terjadi perubahan pola curah hujan. Untuk meminimalisir korban jiwa
dampak kerugian serta kerusakan lingkungan maka salah satu cara yang bisa
dilakukan adalah membangun budaya sadar bencana. Mitigasi dan edukasi
terkait bencana harus diperkuat mulai dari dini, masyarakat harus sudah
mulai membudayakan prilaku sadar bencanam emperbanyak dan merutinkan
latihan-latihan penyelamatan yang dilakukan jika terjadi bencana. Selain itu
tata ruang kota juga harus diperhatikan, wilayah-wilayah rawan dan memiliki
potensi risiko tinggi saat terjadi bencana juga perlu dihindari agar tidak
terjadi kepadatan penduduk di wilayah tersebut. Jika proses mitigasi ini terus
difokuskan dan digencarkan, maka korban akan jauh bisa dikurangi bahkan
dihindari. BMKG berusaha untuk semakin kuat dalam memberikan edukasi
dan mitigasi bencana ke berbagai komunitas. Pembangunan kapasitas untuk
kesiapsiagaan masyarakat menjadi kunci keberhasilan operasional peringatan
dini bencana.
Dalam edisi 07 ini dibahas tentang kesadaran masyarakat tentang bahaya
bencana alam, policy tentang kebencananaan, pendidikan kebencanaan,
pentingnya literasi kebencanaan, teknologi informasi kebencanaan, dan lainlain.
Selamat membaca.
Pembaca yang budiman,
Dengan sepenuh hati kami mengucapkan banyak terima kasih kepada para
penulis yang telah mengirimkan artikelnya. Semoga MEDIA PUSDIKLAT BMKG
tetap mewarnai dan memberikan manfaat bagi para pembaca semuanya.
Rubrik-rubrik yang menarik tetap tersajikan pada edisi kali ini. Harapan kami
informasi yang kami sajikan dapat bermanfaat.
Rubrik-rubrik yang menarik tetap tersajikan pada edisi kali ini. Harapan kami
informasi yang kami sajikan dapat bermanfaat.
Salam,
Redaksi
Redaksi menerima kiriman artikel atau tulisan lain yang (1) bersifat popular
dan (2) sesuai dengan isi Buletin Media Pusdiklat BMKG (3) Panjang tulisan
minimal 400 kata, maksimal 2000 kata (4) Pengiriman naskah dapat dilakukan
melalui e-mail ke buletin.pusdiklat@bmkg.go.id, disertai dengan data diri
berupa biografi singkat dan alamat, nomor telepon, fax, atau e-mail (bila
ada) (5) Naskah yang tidak dimuat biasanya tidak dikembalikan, kecuali atas
permintaan penulis (6) Redaksi berhak melakukan perubahan naskah tanpa
mengubah isi dari tulisan.
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 3
DAFTAR ISI
BAHASAN UTAMA 5
Menuju BMKG Corporate University 5
Membangun Masyarakat Tangguh Terhadap Bencana Alam Di Indonesia 6
Memahami Kebijakan dalam Pengelolaan Bencana di Indonesia 9
Pendidikan Kebencanaan Kepada Masyarakat di Negeri Kaya Bencana 13
Literasi Kebencanaan Indonesia Sangat Penting 15
Peran Teknologi Informasi Dalam Meminimalisir Dampak Bencana 18
Dengan Data Akurat Dampak Bencana Dapat Di Kerat 21
SERAMBI ILMU 32
Bagaimana Pertumbuhan Awan Cb saat Banjir Jabodetabek, Januari 2020? 25
“Expose Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (Lakip) Pusat Pendidikan Dan Pelatihan
Periode Renstra 2014-2019”
Memotret Kebutuhan Diklat melalui AKPK 32
29
Training Development Plan Group Fellowship Training On The Enhancement Of NWP WMO –
BMKG
36
Skala Likert Bukan Skala Ribet 39
OPINI 34
Plus Minus Pegawai WFH (Work From Home) 42
“Berlakunya Ketentuan Bendahara Nasional Tersertifikasi” 45
Mengemas Revolusi Transformasi Digital Dan Tantangannya 47
Pemahaman Tentang Proses Sertifikasi Profesi Dalam Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia
49
Menulis Saja Dulu!, Tak Perlu Menunggu Sempurna 54
KISAH INSPIRATIF 57
SERBA - SERBI 59
RESENSI BUKU 61
4
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
BMKG
MENUJU BMKG
CORPORATE UNIVERSITY
Salah satu Engine Strategis suatu organisasi yang mengintegrasikan apa yang telah tersedia, yaitu
sumber daya, proses bisnis, dan orang-orang terlibat dalam proses PEMBELAJARAN untuk mencapai
performansi terbaik dan secara terus menerus meningkatkan Knowledge, Skill dan Attitude dari orangorang
yang berada dalam ekosistem Organisasi dengan didukung oleh Pengelolaan Pengetahuan
(Knowledge Management).
LEARNING FOCUS Corporate University
Visi, Misi, dan Sasaran KinerjaO rganisasi
Pembelajaran Terstruktur
Memperkuat
Performance
Individu
Pembelajaran di Komunitas: Coaching, Mentoring, Feedback,
Communi es ofp rac ce
Pengalaman dan Pembelajaran terintegrasi di Tempat Kerja: Assignment, Probl
em solving, OJT, Internship, Task force, Secondment,R otasi
Budaya Belajar
[Learning with
Passion] &U tilisasi
Knowledge
Management
System
Memperkuat
Performance
Organisasi
Identifikasi Kebutuhan Pembelajaran
B e l a j a r
Dimana Saja,
Kapan Saja,
Oleh Siapa Saja
Drs. Maman Sudarisman, DEA
Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 5
MEMBANGUN MASYARAKAT TANGGUH
TERHADAP BENCANA ALAM DI INDONESIA
lahan sebanyak 78 kejadian, gelombang pasang dan abrasi
sebanyak 2 kejadian dan gempa bumi 1 kejadian. Dampak
dari bencana tersebut sekitar 12.942 rumah rusak dengan
rincian 3.106 rumah rusak berat, 1.876 rumah rusak
sedang dan 7.960 rumah rusak ringan. Selain itu terdapat
311 fasilitas umum mengalami kerusakan dengan rincian
162 fasilitas pendidikan, 133 fasilitas peribadatan, dan
16 fasilitas kesehatan, 51 kantor rusak dan 137 jembatan
mengalami kerusakan akibat bencana.
PERJALANAN SEJARAH MASYARAKAT DALAM KESIAP-
SIAGAAN BENCANA
CATATAN PERISTIWA BENCANA DI INDONESIA PADA
AWAL TAHUN 2020
Gemah ripah loh jinawi adalah semboyan terkenal yang
disandang oleh Negara Indonesia sejak dulu yang
mengandung makna betapa kaya rayanya alam Indonesia.
Gemah ripah loh jinawi dapat pula diartikan kekayaan
alam yang melimpah dan saking berlimpahnya, ada pula
ungkapan dari sebuah lagu, “Tanah kita tanah surga, batu
dan tongkat jadi tanaman”.
Namun dibalik itu semua Indonesia juga merupakan negara
yang sangat rawan terhadap bencana. Indonesia dihimpit
oleh dua benua yaitu Asia dan Australia, dua samudera yaitu
Hindia dan Pasifik, tiga lempeng tektonik yaitu Indo-Australia,
Eurasia, dan Pasifik, jalur cincin api Pasifik, serta jalur
sabuk gempa Alpide sehingga sangat rawan terhadap bahaya
gempabumi, tsunami, letusan gunung api, gelombang
pasang, abrasi dan putting beliung.
Pada sisi lain, wilayah Indonesia juga terletak di daerah iklim
tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan
ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin
yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan
dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang
relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, memang
menghasilkan kondisi tanah yang subur. Namun, kondisi
itu juga dapat menimbulkan beberapa akibat buruk
bagi manusia. Seperti terjadinya bencana hidrometeorologi
seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan
kekeringan dan becna alam lainnya.
Menyuplik dari Sindonews.com yang dirilis tanggal 10 Maret
2020 menyebutkan bahwa Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) mencatat bahwa dari tanggal 1 Januari
hingga 10 Maret 2020 total 823 bencana telah melanda
Indonesia dengan rincian 136 orang meninggal, 4 orang
hilang, 195 orang luka-luka, 1.564.943 orang terdampak
dan mengungsi.
Bencana tersebut didominasi oleh bencana banjir sebanyak
311 kejadian, angin putting beliung sebanyak 253 kejadian,
tanah longsor sebanyak 176 kejadian, kebakaran hutan dan
Bencana dapat terjadi secara tiba-tiba misalnya Gempabumi
atau melalui proses yang berlangsung perlahan-lahan
misalnya letusan gunung api, kekeringan, banjir, merupakan
bencana yang dapat diperkirakan sebelumnya, atau dapat
diperkirakan melalui berbagai indikator. Sedangkan bencana
karena ulah manusia muncul karena tidak adanya kearifan
dalam memanfaatkan lingkungan, antara lain banjir, tanah
longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan polusi serta
kegagalan teknologi lainnya.
Kesadaran dan kepedulian akan pentingnya kesiapsiagaan
masyarakat terhadap bencana terasa sangat penting
saat setelah terjadi mega bencana Tsunami di Aceh 2004
yang menggemparkan dunia. Pengalaman yang sangat
pahit ini memberi pelajaran yang sangat berharga bahwa
masyarakat mutlak dan harus terlibat dalam kegiatan kesiapsiagaan
mengantisipasi bencana. Ketika terjadi tsunami,
masyarakat tidak siap dan hampir seluruh instansi
pemerintah yang berwenang mengatur dan memberikan
bantuan terhadap korban di Aceh “lumpuh” Sebagian
kecil aparat pemerintah menjadi korban, sedangkan
aparat yang masih hidup, sibuk menyelamatkan diri dan
anggota keluarganya. Bantuan dari luar daerah juga
tidak segera tiba, mengalami hambatan karena rusaknya
infrastruktur, seperti: jalan, jembatan, dan pelabuhan
sehingga banyak korban yang tidak dapat diselamatkan
karena kurang dan lambatnya pertolongan. Belajar dari
peristiwa inilah partisipasi masyarakat sangat penting
dalam penanggulangan bencana bersama-sama dengan
pihak berwenang atau pemerintah.
Sumber: Foto/BNPB/Dok
6
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Bahasan Utama
PERLU ADANYA PERUBAHAN MINDSET MASYARAKAT
TENTANG KESIAPSIAGAAN BENCANA
Pada awalnya penanganan bencana hanya berdasarkan
pada pengalaman berbagai kejadian bencana alam yang
dilakukan setelah kejadian bencana. Penanganan bencana
difokuskan pada upaya merespon keadaan darurat
bencana. Pemerintah dan stakeholders bencana sibuk
menangani korban bencana dan memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat yang terpaksa mengungsi. Walaupun
sering dilakukan, upaya ini masih sering mengalami banyak
kendala, misalnya bantuan yang datang terlambat atau
tidak merata seringkali menimbulkan konflik atau masalah
baru di tingkat grassroots atau masyarakat ditingkat bawah
sebagai korban bencana. Sedangkan di pihak pemerintah,
setelah masa tanggap darurat, sibuk menangani kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
Cara penanganan bencana yang sifatnya responsif seperti
ini sangat tidak efektif dalam mengurangi risiko bencana.
Masyarakat akan tetap panik apabila bencana alam tersebut
kembali terjadi di daerah rawan yang lain karena masyarakat
banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan dan
bagaimana menyelamatkan diri. Dampaknya adalah masih
banyak masyarakat yang menjadi korban bencana. Gambaran
seperti inilah yang masih sering terjadi dan berulang
diberbagai wilayah di Indonedia. Banyaknya korban jiwa
dan orang hilang pada kejadian-kejadian bencana alam
di Indonesia menggambarkan kurangnya kesiapsiagaan
masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Keadaan
ini mencerminkan kurangnya pengetahuan dan minimnya
informasi mengenai fenomena alam yang terjadi.
Melihat kondisi seperti ini segera perlu adanya perubahan
mindset masyarakat dari respon terhadap bencana menjadi
kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana. Hal ini
menjadi sangat krusial dan penting untuk segera dilakukan.
Pentingnya kesiapsiagaan masyarakat ini terutama berkaitan
dengan kondisi fisik dan lingkungan yang berisiko tinggi
terhadap bencana.
PERAN PEMERINTAH DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT
TANGGUH MENGHADAPI BENCANA
Seiring dengan perjalanan waktu maka dan besarnya potensi
ancaman bencana alam di Indonesia maka pemerintah
dengan berbagai elemen lainnya harus segera mengambil
langkah di antaranya pemeintah membentuk Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mempunyai
tugas melakukan penanggulangan bencana sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana dan Peraturan Presiden Nomor
8 Tahun 2008 yang kemudian diganti dengan Peraturan
Presiden Nomor 1 Tahun 2019. Tugas BNPB tersebut adalah
mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu; serta
melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan mulai
dari sebelum, pada saat, dan setelah terjadi bencana yang
meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, penanganan darurat,
dan pemulihan.
Pada tujuan membangun masyarakat yang tangguh, selain
tugas diatas BNPB bekerjasama dengan stakeholder yang
lain harus mampu memberikan edukasi kepada masyarakat
Sumber: Foto/BNPB/Dok
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 7
agar masyarakat selalu siap siaga dan tanggap terhadap
bencana. Apa yang sebaiknya dilakukan harus disampaikan.
Pada prakteknya, pemerintah harus memberikan edukasi
dan simulasi yang baik sebab setidaknya pemerintah
tahu persis mengenai bencana apa yang sering melanda
wilayah tersebut. Dengan begitu, pemerintah bisa membuat
rencana tepat yang nantinya dapat disimulasikan kepada
masyarakat. Kegiatan simulasi juga harus dilakukan secara
kontinu agar masyarakat lebih sadar akan bahaya bencana.
Dengan pembelajaran seperti ini, diharapkan timbul
kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga alam dan
apabila ada bencana masyarakat sudah waspada dan siap
siaga sehingga pada akhirnya korban akibat bencana dapat
diminimalisir.
BENTUK-BENTUK EDUKASI KEPADA MASYARAKAT
TENTANG KEBENCANAAN
Dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang kesiapsiagaan
menghadapi bencana, perlu ada langkah-langkah
yang harus dilakukan oleh pemerintah.
1. Membuat Langkah-Langkah Kebijakan
Langkah awal yang harus dilakukan adalah penerapan
kebijakan pembangunan, pembelajaran dan pelatihan
yang disajikan dalam suatu rangkaian yang menarik, kreatif
sebagai langkah antisipasi bencana yang dapat menimbulkan
korban jiwa, kerugian materi, kerusakan lingkungan, dan
dampak kerusakan lainnya. Langkah ini dapat melibatkan
beberapa instansi serta pemangku kepentingan di bidang
bencana, BNPB sebagai kepanjangan tangan pemerintah
dapat bekerjasama dengan BMKG, PVMBG, Kementerian
Kominfo, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, BPBD
Pusat & daerah, Perguruan Tinggi serta Lembaga Swadaya
Masyarakat untuk membuat kajian bersama tentang standar
tata ruang dan bangunan. Misalnya BMKG mengkaji tentang
wilayah-wilayah yang berpotensi gempa dan tsunami, PVM-
BG mengkaji daerah yang rentan bencana geologi seperti
struktur geologi dan litologi, BNPB mengeluarkan peta risiko,
dan Kementerian PUPR membuat standar untuk bangunan
yang tahan terhadap bencana (gempa bumi, tsunami, dan
kebakaran).
2. Membuat Program Penyuluhan Pencegahan, Kesiapsiagaan,
dan Mitigasi Bencana
Program penyuluhan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan
memberikan materi atau pembelajaran kepada
masyarakat tentang bencana, baik dalam tahap kesiapsiagaan,
tanggap darurat, dan pasca bencana. Penyuluhan
dilakukan dalam bentuk sosialisasi ke masyarakat serta
beberapa sekolah mengenai cara evakuasi diri saat
bencana,
sebab dan akibat dari suatu bencana, dan bagaimana
mengantisipasi bencana tersebut. Namun demikian
kearifan lokal masyarakat dalam penanggulangan bencana
tetap diperhatikan.
3. Membuat Simulasi Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Mitigasi
Bencana
Kegiatan simulasi merupakan kegiatan praktik yang
dilakukan setelah rangkaian kegiatan penyuluhan. Agar
kegiatan simulasi ini berjalan dengan baik sesuai tujuan,
maka harus dipandu oleh lembaga yang berwenang dalam
hal ini adalah BNPB dan bekerja sama dengan kementerian
atau lembaga terkait misalnya BMKG, PVMBG, Kementerian
Kominfo, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, BPBD Pusat &
Sumber: Foto/BNPB/Dok
daerah, Perguruan Tinggi, Tokoh-Tokoh Adat atau Agama,
dan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya. Sasaran dari
kegiatan ini adalah masyarakat pada wilayah yang berisiko
bencana..
Jenis simulasi akan bergantung pada potensi bencana yang
terjadi di daerah tertentu. Pelatihan bencana Simulasi
ini menjelaskan secara rinci penanggulangan bencana,
termasuk tahap tanggap darurat. Contohnya, penentuan
jalur evakuasi dan titik kumpul serta proses evakuasi dalam
simulasi gempabumi dan tsunami secara partisipatif.
Adanya sistem penanggulangan bencana yang teratur
dan inovatif tentunya sangat membantu meningkatkan
kesadaran masyarakat terkait potensi bencana alam yang
terjadi di daerah. Kolaborasi antara masyarakat dan pihak
pemangku kepentingan dapat mewujudkan sinergi yang
baik dalam penanganan bencana. Edukasi bencana alam
diharapkan dapat dikemas dalam bentuk dan cara yang
menarik, misalnya melalui media sosial, agar dapat dijangkau
oleh semua kalangan, mengingat kondisi Indonesia yang
berada di jalur ring of fire.
Referensi :
1. Amri dkk. (2016). Risiko Bencana Indonesia. Jakarta:
Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Nasional_
Penanggulangan_Bencana
3. https://siaga.bnpb.go.id/hkb/po-content /uploads/documents/buku_panduan_latihan_kesiapsiagaan_bencana_
revisi_april_2017.pdf
4. https://nasional.sindonews.com/read/1551763/15/bnpb-sebut-periode-januari-maret-2020-terjadi-823-bencana-1583830589
Nurhidayat, M.Sc.
(Widyaiswara Madya)
8
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Bahasan Utama
Memahami Kebijakan dalam Pengelolaan Bencana
di Indonesia
Pendahuluan
Dalam periode beberapa tahun terakhir, Indonesia sering
mengalami kejadian bencana yang cukup besar dan
memberikan dampak yang signifikan, baik dari segi korban
jiwa, infrastruktur, ekonomi, maupun sosial. Dampak yang
ditimbulkan dari kejadian bencana cukup berbeda dari satu
bencana dengan bencana lainnya. Peristiwa bencana yang
masih hangat dan menjadi perbincangan masyakarat luas
adalah kejadian bencana banjir di sejumlah wilayah di Indonesia
pada periode awal bulan Januari hingga Maret. BMKG
menyebutkan bahwa banjir yang kerap terjadi ini disebabkan
salah satunya karena faktor curah hujan yang tinggi.
Sepanjang tahun 2019 BNPB telah mencatat 3768 kejadian
bencana alam yang terjadi di Indonesia. Menurut BNPB,
dampak korban jiwa akibat bencana yang terjadi di
sepanjang 2019 sebanyak 478 orang meninggal dunia.
Selain itu, 109 orang hilang, 6,1 juta jiwa mengungsi dan
3419 orang mengalami luka-luka. Sedangkan data kerusakan
tercatat 73.427 rumah rusak yang terdiri daria 15.765 rumah
rusak berat, 14.548 rusak sedang dan 43.114 rusak ringan,
kemudian fasislitas rusak tercatat 2.017 meliputi 1121
sekolah, 684 rumah ibadah, 212 fasilitas kesehatan, 274
akantor dan 442 jembatan (http://dibi.bnpb.goi.d). Diantara
peristiwa bencana tersebut didominasi bencana hidrometeorologi,
dan geologi. Bencana hidrometeorologi adalah
bencana alam seperti banir, longsor, dan puting beliung.
Bencana ini terjadi sebagai dampak dari fenomena meterologi,
seperti angina kencang, hujan lebat, dan gelombang
tinggi. Sedangkan bencana geologi adalah bencana alam
yang terjadi di permukaan seperti gempa bumi, tsnunami,
tanah longsor, dan gunung meletus.
Dengan melihat kondisi yang demikian, maka diperlukan
upaya bagi semua pihak, baik pemerintah maupun masyakarat
untuk lebih memahami kembali beberapa kebijakan
dalam pengelolaan bencana sehingga dengan demikian
akan memberikan gambaran yang jelas ketika akan
mengambil keputusan terkait penanggulangan bencana
sampai ke masyarakat. Berbagai kebijakan yang berlaku di
Indonesia, selain mengacu pada Konsensus Internasional
juga ditetapkan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah
Indonesia sebagai acuan dalam pengelolaan kebencanaan.
Regulasi Internasional
Organisasi Dunia yang menangani dalam pengurangan
risiko bencana adalah UNDRR (United Nation Of Disaster
Risk Reduction). Indonesia menunjuk BNPB sebagai lembaga
pemerintah non kementerian yang diberikan wewenang
untuk menjalankan fungsi penanggulangan bencana di
lingkup nasional. Dalam menjalankan fungsi pengelolaan
kebencanaan BNPB tidak dapat berdiri sendiri, karena harus
melibatkan banyak mitra baik pemerintah pusat seperti
BMKG, BPPT, BIG, Kementerian ESDM, Kementrian Sosial,
BPBD, pemerintah daerah dan masyarakat.
Hyogo Framewok for Action
Pada Januari 2005, 168 perwakilan dari pemerintahan
negara-negara berkesepakatan menyusun dokumen perencanaan
yang digunakan untuk 10 tahun kedepan untuk
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 9
membuat dunia lebih aman dari ancaman bahaya dari alam
pada Konferensi Pengurangan Risiko Bencana, di Konferensi
Dunia di Hyogo, Kobe Japan. Hyogo Framework for Action
atau dikenal HFA merupakan blueprint global dalam
upaya pengurangan risiko bencana antara tahun 2005
sampai dengan 2015. Tujuannya adalah secara substansi
mengurangi hilangnya nyawa manusia, sosial, ekonomi, dan
aset lingkungan di suatu negara terdampak.
Pada akhir 2015, menjelang Konferensi Dunia PBB Ketiga
tentang Pengurangan Risiko Bencana, UNDRR meminta
kepada negara-negara anggota untuk menyerahkan
dokumentasi film yang berisi perayaan keberhasilan implementasi
Kerangka Aksi Hyogo (HFA), dan menyoroti isu-isu
penting untuk kerangka pasca 2015.
Sendai Framework
Pada 18 Maret 2015, Negara-negara anggota PBB
mengadopsi Sendai Framework for Disaster Reduction 2015-
2030. Yang merupakan kelanjutan dari Hyogo Framework for
Action. Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-
2030 (Sendai Framework) atau yang biasa dikenal Kerangka
Sendai (SF) merupakan kesepakatan utama negara-negara
yang dibuat setelah 2015 dalam aksi untuk menanggulangi
risiko kebencanaan.
Kerangka Sendai merupakan kerja dari tangan ke tangan
dari beberapa kesepakatan, termasuk The Paris Agreement
on Climate Change (Kesepakatan Paris), The Addis Ababa Action
Agenda on Financing for Development (Kesepakatan Addis
Ababa dalam Keuangan Pembangunan), the New Urban
Agenda, dan beberapa kesepakatan lainnya. SF diparakarsasi
oleh Sekretaris Jenderal PBB yang mengikuti Konferensi
ke-3 UN World Conference on Disaster Risk Reduction (WC-
DRR) pada tahun 2015.
Sendai Framework (SF) ini merupakan instrument lanjutan
(suksesor) dari Hyogo Frame for Action (HFA) 2005-2015: Building
the Resilience of Nations and communities to Disasters.
Kerangka Sendai berfokus pada penerapan langkah-langkah
yang membahas tiga dimensi risiko bencana (paparan bahaya,
kerentanan dan kapasitas, dan karakteristik bahaya)
untuk mencegah penciptaan risiko baru, mengurangi risiko
yang ada, dan meningkatkan ketahanan. Kerangka Sendai
menguraikan tujuh target global untuk membimbing dan
melawan yang menilai kemajuan.
Tujuh target global dan 38 indikator global akan mengukur
kemajuan yang dibuat oleh semua negara pada pengurangan
risiko bencana pada tahun 2030. Ini akan berkontribusi pada
analisis global informasi tingkat negara yang disampaikan
oleh negara dan didokumentasikan dalam Laporan Penilaian
Global dua tahunan.
Dari kesepakatan Sendai ini mempunyai 7 (tujuh) target
global yang hendak dicapai, yaitu:
1. Mengurangi angka kematian akibat bencana global
2. Mengurangi orang yang terkena dampak bencana global
3. Mengurangi kerugian langsung yang berdampak pada
GDP
4. Mengurangi kerusakan infrastruktur utama dan
gangguan layanan dasar masyarakat
5. Meningkatkan strategi pengurangan risiko bencana tingkat
nasional dan internasional
6. Menguatkan substansi dalam kerjasama internasional
dengan negara-negara berkembang
7. Meningkatkan kemampuan dalam peringatan dini multi
bencana
Dalam mewujudkan 7 target global yang hendak dicapai
tersebut ada 4 (empat) program prioritas yang bisa dilakukan
yaitu:
1) Memahami Risiko Bencana
Manajemen risiko bencana harus didasarkan pada
pemahaman bahwa risiko bencana merupakan dimensi
dari kerentanan, kapasitas, biaya yang disediakan orang
terdampak, serta karakteristik bahaya dan lingkungan.
Pemahaman ini digunakan untuk penilaian risiko,
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan respons.
2) Penguatan tata kelola manajemen risiko kebencanaan
Tata kelola risiko bencana di tingkat nasional, regional
dan global sangat penting untuk pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggapan, pemulihan, dan rehabilitasi.
3) Berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana
untuk ketahanan
Investasi publik dan swasta dalam pencegahan dan
pengurangan risiko bencana melalui langkah-langkah
struktural dan non-struktural sangat penting untuk
meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial, kesehatan
dan budaya orang, masyarakat, negara dan aset mereka,
serta lingkungan.
4) Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon
yang efektif dan untuk “Membangun Kembali dengan
Lebih Baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi
10
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Pertumbuhan risiko bencana berarti ada kebutuhan
untuk memperkuat kesiapsiagaan bencana untuk
merespons, mengambil tindakan untuk mengantisipasi
peristiwa, dan memastikan kapasitas tersedia untuk
respons dan pemulihan yang efektif di ada di semua
tingkatan. Fase pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi
merupakan peluang penting untuk membangun kembali
dengan lebih baik, termasuk dengan mengintegrasikan
pengurangan risiko bencana ke dalam langkah-langkah
pembangunan.
Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia
A. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana
Bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh factor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tersebut bencana dikategorikan menjadi bencana alam,
bencana non-alam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah longsor.
Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara
lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar
kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan terror.
Dalam rangka melaksanakan amanat UU No24/2007
tersebut, maka diterbitkan Rencana Nasional
Penanggulangan Bencana (2015-2019) sebagai acuan dalam
penyusunan RPJMN 2015-2019 dan rujukan bagi Kementrian/Lembaga
terkait dalam menyusun Rencana Strategis
dan Implementasinya dalam upaya
penanggulangan bencana.
Implementasi di Negara/
Masyarakat/Tantangannya?
Tantangan-tantangan dalam
Sendai Framework Disaster Risk
Reduction (SFDRR) 2015-2030
yang dihadapi Indonesia antara
lain kurangnya pengintegrasian
Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
ke dalam kebijakan pemerintah
yang desentralisasi, dengan
melibatkan pemerintahan daerah
dan pembangunan yang parisipatif
serta melibatkan Platform Nasional
PRB dalam jaringan koodinasi
antar pemangku kepentingan di
Indonesia (pemerintah, akademisi,
LSM, sector swasta, dan media)
untuk memberikan wewenang dan
tanggung jawab kebijakan nasional
PRB ke pemerintah daerah (BNPB,
18 Oktober 2015),
Tantangan lain, yaitu program PRB
dapat masuk dalam tataran yang
implementatif di daerah dan memberikan dampak pada
masyarakat dan pembangunan infrastruktur. Pendayagunaan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan
pencegahan dan kesiapsiagaan, mengedukasi masyarakat,
dan membangun komitmen bersama di level negara, sub
nasional melalui komunikasi, dan koordinasi khususnya
dengan kelompok rentan area terdampak. Perlu pendekatan
bottom-up dan integrasi inisiatif dari pemerintah pusat yang
menggunakan top-down untuk membangun ketangguhan.
Poin-poin Penting yang menjadi perhatian BMKG
Dengan memahami beberapa regulasi tentang pengelolaan
kebencanaan, tentunya hal ini menjadi perhatian BMKG
agar dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam
memberikan layanan informasi, meteorologi, klimatologi,
dan geofisika mendukung dalam prinsip pegurangan risiko
kebencanaan. Beberapa langkah maju seperti analisis prakiraan
cuaca berbasis dampak seperti yang diamanatkan
WMO perlu untuk ditingkatkan dalam motode analisis
maupun penyampaian produk informasi ke masyarakat.
Beberapa inovasi seperti Sekolah Lapang Cuaca untuk
Nelayan perlu dikembangkan lagi sehingga dapat diterima
luas oleh masyarakat. Peningkatan Sekolah Lapang Gempabumi
(SLG) perlu digalakkan lagi terutama menyasar di
daerah-daerah yang mempunyai potensi risiko kegempaan
yang tinggi dan rawan tsunami.
Referensi :
1. http://wwwpreventionweb.net/sendai-framework/hyogo/
2. http://undrr.org/implementing-sendai-framework/sfand-sdgs
Arisman,S.Si., M.Si.
(Widyaiswara Muda)
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 11
BMKG
InfoBMKG InfoBMKG InfoBMKG InfoBMKG www.bmkg.go.id
Bahasan Utama
Pendidikan Kebencanaan Kepada
Masyarakat di Negeri Kaya Bencana
Gambaran
Umum
Sebagai sebuah
negara dengan
beragam jenis
bencana yang
tak pernah putus
dari waktu ke
waktu Berbagai
bencana di Indonesia
sebagian
besar terkait
secara langsung
dengan proses
geologi (geological
seperti
gempa bumi
dan vulkanisme,
proses hidro-meteorologi (hydrometeorological) seperti
kekeringan, kebakaran, longsor, abrasi, erosi, angin topan,
banjir, dan lain-lain. Dilihat dari letak dan kondisi fisik, Indonesia
merupakan negara yang memiliki resiko tinggi bagi
terjadinya bencana karena secara geologis terletak pada
pertemuan Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Lempeng
Pasifik. Semua itu membentuk rangkaian pegunungan Sirkum
Mediterania dan Sirkum Pasifik, yang bertemu di Indonesia,
tepatnya di Laut Banda, Maluku, Secara Geografis,
Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan bentuk
topografi yang bervariasi.
Kondisi Tersebut berpotensi menimbulkan bencana, dengan
karakteristik yang berbeda, sehingga penanganan terhadap
setiap bencana pun berbeda. Oleh karenanya, identifikasi
karakteristik dan poensi bencana baik secara nasional
maupun lingkungan sekitar, sangat diperlukan pengetahuan
untuk pengurangan risiko bencana. Pentingnya pemahaman
tentang dinamika di permukaan bumi (alam dan manusia),
yang semuanya membentuk sistem spesifik. Disuatu wilayah
bencana alam memiliki implikasi secara langsung terhadap
masyarakat di wilayah tersebut. Partisipasi masyarakat
untuk mengurangi dan menghindari risiko bencana penting
dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran dan
kapasitas masyarakat Menurut Suryanti, dkk, 2010, Motivasi
da Partisipasi masyarakat dalam upaya pengurangan multirisiko
bencana di kawasan kepesisiran parangtritis dalam
penaksiran resiko bencana di wilayah kepesisiran parangtritis,
Yogyakarta, Yogyakarta : PSBA UGM)
Masyarakat menjadi objek utama saat terjadi bencana,
seharusnya masyarakat mempunyai kemampuan untuk
mengetahui kerentanan yang ada, sehingga dapat menjadi
pelaku (subjek) utama dalam usaha-usaha pengurangan
risiko bencana, sehingga kerugian dapat diminimalisir.
Hal ini dapat terjadi jika masyarakat mempunyai perencanaan
untuk mengurangi risiko bencana dan mempunyai
pengetahuan serta mengerti tentang apa yang seharusnya
dilakukan pada saat bencana belum terjadi (prabencana),
pada saat tanggap darurat, dan pada saat pasca bencana.
Pentingnya peningkatan pemahaman dan ketahanan
terhadap bencana itu
harus ditanamkan kepada
masyarakat sekitar,
terutama anak di usia
dini yang masih belum
mengerti tentang hal-hal
apa yang harus mereka
lakukan saat peristiwa
bencana tidak terduga
terjadi.
Pendidikan Kebencanaan
Pendidikan kebencanaan
mencakup banyak aspek
yang penting seputar
kebencanaan. Misalnya
pengenalan tentang
potensi bencana yang
ada di sekitar, histori bencana yang pernah terjadi, bentuk
antisipasi, meningkatkan kesadaran tanda-tanda bencana,
dampak bencana bagi individu, keluarga, dan komunitas,
cara penanganan dalam kondisi bencana, serta bagaimana
cara menyelematkan diri dari saat terjadi bencana.
Bencana dapat terjadi sewaktu-waktu tanpa bisa diprediksi
sebelumnya, baik itu bencana alam ataupun sosial.
Melalui pendidikan bencana, dampak kerugian dan korban
masyarakat dapat ditekan. Tujuan dan harapan yang ingin
dicapai melalui pendidikan bencana adalah mencapai minimal
resiko dampak bencana.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membangun
budaya sadar bencana. Mitigasi dan edukasi terkait bencana
harus diperkuat mulai dari dini. Masyarakat harus sudah
mulai membudayakan perilaku sadar bencana. Masyarakat
harus secara rutin diberikan latihan-latihan penyelamatan
yang dilakukan jika terjadi bencana. Diperlukan upaya
konkret dalam membangun budaya sadar bencana, salah
satunya adalah mewujudkan upaya pengurangan risiko
bencana yang berbasis komunitas.
Dalam budaya sadar bencana juga dapat dilakukan melalui
Pendidikan Formal dengan memasukkan materi pelajaran
tentang bencana alam sebagai pelajaran wajib bagi setiap
siswa di semua tingkatan, terutama di sekolah-sekolah yang
berada di wilayah risiko bencana.Tentunya tetap menjunjung
tinggi kearifan local sehingga diharapkan dapat diterima di
pahami oleh semua siswa dan masyarakat.
Pendidikan Kebencanan Berdasar Kurikulum
Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan yang
bersifat rutin dan berkelanjutan atau sustainable disaster
mitigation. Kegiatan mitigasi seharusnya sudah
dilakukan dalam periode jauh sebelum kejadian bencana,
karena bencana bisa datang lebih cepat dari waktu yang
diperkirakan, dan bahkan memiliki intensitas yang lebih
besar dari yang diperkirakan semula. Selain itu pemerintah
hendaknya juga aktif memberikan berbagai arahan yang
tepat dan berkesinambungan dalam memghadapi peristiwa
bencana atau dengan kata lain bisa beradaptasi dengan
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 13
resiko potensi bencana alam yang ada.
Sektor pendidikaan merupakan salah
satu penentu dalam pengurangan
risiko bencana. Pada tahun 2011
Kementerian Pendidikan Nasional
telah mulai menerapkan kurikulum
bencana mulai jenjang pendidikan SD
hingga SMA. Namun pada praktiknya
tidak dimasukkan langsung jadi mata
pelajaran atau kurikulum khusus
bencana, tetapi dimasukkan ke dalam
mata pelajaran secara faktual dalam
memahami dan mengantisipasi kondisi
alam secara terpadu. Seharusnya
pelajaran tentang bencana alam
sebagai pelajaran wajib bagi setiap
siswa di semua tingkatan, terutama di
sekolah-sekolah yang berada di wilayah
risiko bencana.
Pendidikan kebencanaan dapat
disisipkan pada mata pelajaran IPA,
IPS, Bahasa Indonesia, Agama atau juga
mata pelajaran yang lain. Pendidikan
kebencanaan ini memiliki tujuan
umum untuk memberikan gambaran
dan acuan dalam proses pembelajaran
siaga bencana. Guru dan kepala
sekolah mendapat pendidikan dan
pelatihan untuk dapat menerapkan
pendidikan dan keterampilan siaga
bencana. Melalui pendidikan ini
diharapkan siswa mampu berpikir
dan bertindak cepat, tepat, dan akurat
saat menghadapi bencana. Sikap
empati terhadap korban bencana juga
dibangun agar siswa dapat membantu
orang lain. Edukasi bencana dapat
dilaksanakan dengan tiga cara. Apabila
kebutuhan sekolah hanya sekadar
pengetahuan saja, maka bahan
ajar akan berintegrasi dengan mata
pelajaran. Bisa masuk dalam pelajaran
yang memiliki kaitan seperti geografi
dan pengetahuan alam. Jika kebutuhan
dirasa perlu mencakup pelatihan, maka
dapat dimuat dalam muatan lokal dan
Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH).
Pelaksanaan pendidikan dapat pula
meluas hingga kegiatan ekstrakurikuler.
Pentingnya kurikulum kebencanaan
adalah bagaimana siswa bisa terlibat
langsung dalam penanganan bencana.
Upaya ini sebaiknya dilakukan sejak
dini mulai dari Sekolah Tingkat Dasar
hingga Sekolah Tingkat Atas bahkan
sampai Perguruan Tinggi, kurikulum
dibangun berdasarkan konsep dan
pelaksanaannya, maupun kurikulum
berdasarkan struktur dan materi pelajarannya.
Untuk mendapatkan kurikulum
kebencanaan yang bermakna,
kurikulum harus dikembangkan
dengan memperhatikan prinsipprinsip
yang tepat. Ada sejumlah
prinsip pengembangan kurikulum, di
antaranya prinsip relevansi, efektivitas
dan efisiensi, fleksibilitas, Prinsip relevansi
mengandung arti bahwa sebuah
kurikulum harus relevan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi (iptek), relevan dengan
kebutuhan dan karakteristik siswa,
dan relevan dengan kebutuhan dan
karakteristik masyarakat. (Khaerudin.
2009). Prinsip fleksibilitas terkait
dengan keluwesan dalam tahap implementasi
kurikulum. Kurikulum harus di
rancang secara fleksibel.
Model Pengelolaan Bencana
Pengelolaan Bencana secara teoritis
terdapat lima model pengelolaan
bencana (Maguire &Hagan, 2007;
Setyowati, 2017) :
a. Disaster management continuum
model, model pengelolaan
bencana ini merupakan model yang
paling popular karena terdiri dari
tahap-tahap yang jelas sehingga
lebih mudah diimplementasikan.
Tahap-tahap manajemen bencana
di dalam model ini meliputi emergency,
relief, rehabilitation, reconstruction,
mitigation, preparedness,
dan early warning.
b. Pre-during-post disaster model,
model pengelolaan bencana ini
membagi tahap kegiatan di sekitar
bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan
yang perlu dilakukan sebelum
bencana, selama bencana terjadi,
dan setelah bencana. Model ini
seringkali digabungkan dengan
disaster management continuum
model.
c. Contract-expand model, model ini
berasumsi bahwa seluruh tahaptahap
yang ada pada pengelolaan
bencana (emergency, relief, rehabilitation,
reconstruction, mitigation,
preparedness, dan early warning)
semestinya tetap dilaksanakan
pada daerah yang rawan bencana.
Perbedaan pada kondisi bencana
dan tidak bencana adalah pada
saat bencana tahap tertentu lebih
dikembangkan (emergency dan
relief) sementara tahap yang
lain seperti rehabilitation, reconstruction,
dan mitigation kurang
ditekankan.
d. The crunch and release model,
model pengelolaan bencana ini
menekankan upaya mengurangi
kerentanan untuk mengatasi
bencana. Bila masyarakat tidak
rentan maka bencana akan juga
kecil kemungkinannya terjadi
meski hazard tetap terjadi.
e. Disaster risk reduction framework,
merupakan model pengelolaan
bencana yang menekankan pada
upaya pengelolaan bencana pada
identifikasi risiko bencana baik
dalam bentuk kerentanan maupun
hazard dan mengembangkan
kapasitas untuk mengurangi risiko
bencana
Sumber :
1. Mirza Desfandi Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh
2. Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des
2014
3. Leli Honesti*, Nazwar Djali**,fak
Teknik Sipil Unov Bung Hatta dan
Institute Teknologi Padang
4. Jurnal Momentum, Vol. 12. No. 1
feb 2012
5. Dwi Liesnoor Setyowati,
Pendidikan Kebencanaan, Unive
negeri Semarang 2019
NURAHMINI, S.Sos., M.Pd.
(Widyaiswara Muda)
14
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Bahasan Utama
Literasi Kebencanaan Indonesia
Sangat PENTING
Indonesia merupakan negara tropis
yang sangat kaya. Baik itu kaya akan
sumber daya alam maupun sumber
daya manusia. Kekeyaaan alam yang
luar biasa ini merupakan anugrah Allah
SWT, Tuhan yang Maha Esa yang
harus kita syukuri dan kita jaga. Namun
bukan hanya kekayaan alam saja yang
kita miliki namun ada juga kekayaan
yang tidak kita sadari yaitu kekayaan
akan bencana. Ya kekayaan akan
bencana, Indonesia kaya akan bencana
alam. Hampir semua bencana alam
yang ada didunia Indonesia memiliki
potensinya. Hal ini terjadi karena letak
geografis Indonesia yang berada pada
daerah khatulistiwa yang memiliki
keberagaman morfologi. Keberagaman
ini disebabkan oleh aktivitas lempeng
tektonik aktif.
Mengacu pada studi literasi dalam
budaya popular yang ditulisoleh David
Barton dan Mary Hamilton (1998: Williams dan Zenger,
2007:11) bahwa praktik literasi adalah cara-cara budaya
yang secara general memanfaatkan tulisan dalam bahasa
yang kemudian digunakan oleh masyarakat dalam
kehidupannya, atau dalam definisi yang lain bahwa praktik
literasi adalah konsep menghubungkan antara aktifitas
tulis dan membaca dan struktur sosial dimana mereka
gunakan sebagai bagian dari bantuan atau cara. (Priyowidodo
& Luik, 2013)
Jika kita perhatikan peta yang dikeluarkan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) diatas tampak jelas bahwa
indonesia memiliki resiko bencana alam yang hampir merata
disetiap wilayahnya. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menyatakan bahwa telah terjadi 1.538
kejadian bencana di Indonesia selama 2019, terhitung sejak
1 Januari hingga 30 April. Jumlah bencana ini mengakibatkan
325 orang meninggal, 113 orang hilang, 1.439 orang luka-luka,
dan sebanyak 996.143 orang mengungsi dan menderita.
Berdasarkan rilis dari BNPB, sejumlah daerah yang terdampak
bencana juga mengalami kerusakan fisik yang meliputi
3.588 rumah rusak berat, 3.289 rumah rusak sedang, 15.376
rumah rusak ringan, dan juga ratusan bangunan pendidikan,
fasilitas peribadatan dan fasilitas kesehatan rusak. Artikel ini
telah tayang di Kompas.com dengan judul “Data Bencana
BNPB pada 2019, 1.538 Kejadian dan 325 Korban Meninggal”.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/30/19322341/
data-bencana-bnpb-pada-2019-1538-kejadian-dan-325-korban-meninggal.
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 15
Indonesia sudah mempunyai landasan sebagai pijakan
dalam mengantisipasi terjadinya berbagai macam bencana
yaitu UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Undang menyebutkan definisi bencana adalah
“peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.”.
Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan berbagai
macam definisi bencana yang terjadi. Bencana yang
disebabkan oleh faktor alam, non alam dan manusia
antara lain antara lain bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas
masyarakat, dan teror.
Dari potensi bencana yang sudah disebutkan diatas Indonesia
masih sangat lemah dalam hal literasi kebencanaan.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh jurnalis spesialis
bencana pada harian kompas Ahmad Arif yang mengatakan
bahwa “Indonesia menduduki peringkat nomor dua terakhir
dari 61 Negara yang tingkat literasinya paling rendah.
Menurutnya, literasi tidak hanya sekadar membaca, tapi
bagaimana memahami tentang pendidikan kebencanaan itu
sendiri”. Dampak dari minimnya literasi ini mengakibatkan
masyarakat tidak mengetahui potensi daerah rawan
bencana yang mereka tempati. Kondisi ini mengakibatkan
korban yang tinggi pada setiap bencana alam.
Dari sekian banyak potensi bencana yang akan terjadi di
Indonesia, ada dua bencana yang mendominasi dan selalu
menimbulkan banyak korban jiwa yaitu bencana gempa
bumi yang kadang menimbulkan efek tsunami dan bencana
hidrometeorologi. Bencana gempabumi dan tsunami sudah
sangat familiar kita mendengarnya. Hampir setiap hari Indonesia
terjadi gempabumi. Namun kejadiannya ada yang kita
rasakan dan yang tidak kita rasakan.
Data dari United Nations Office for Disaster Risk Reduction
(UNISDR) menyebutkan, dalam paparan terhadap
penduduk atau jumlah manusia yang ada di daerah yang
mungkin kehilangan nyawa karena bencana, risiko bencana
yang dihadapi Indonesia sangat tinggi. Kepala Pusat Data,
Informasi, dan Hubungan Masyarakat di BNPB Almarhum
Sutopo Purwo Nugroho mengatakan bahwa untuk potensi
bencana tsunami, Indonesia menempati peringkat pertama
dari 265 negara di dunia yang disurvei badan PBB itu.
Resiko ancaman tsunami di Indonesia bahkan lebih tinggi
dibandingkan Jepang. Dalam hitung-hitungan UNISDR yaitu
ada 5.402.239 orang yang berpotensi terkena dampaknya.
https://bnpb.go.id/potensi-ancaman-bencana.
BMKG melalui Pusat Gempabumi Dan Tsunami pada tahun
2019 sudah merilis katalog tsunami di Indonesia yang
memuat tentang data gempabumi sejak tahun 416 sampai
dengan 2018 (https://cdn.bmkg.go.id/Web/Katalog-Tsunami-
Indonesia-416-2018-per-Wilayah.pdf). Beberapa peristiwa
tsunami umumnya merupakan bencana
kemanusiaan yang menelan korban jiwa yang
sangat banyak. Data menuliskan bahwa 46
persen dari total panjang pesisir di Indonesia
rawan tsunami dengan penyebab tsunami
yang cukup beragam. Data statistik global
mencatat bahwa 90 persen kejadian tsunami
diawali dengan gempabumi tektonik dan 10
persennya dipicu oleh aktivitas non vulkanik.
Kejadian tsunami di Indonesia tidak hanya
dipicu oleh gempabumi tektonik, namun
juga rawan dengan tsunami yang dipicu oleh
aktivitas non tektonik seperti aktivitas vulkanik,
mengingat Indonesia memiliki beberapa
gunung api yang berada di bawah laut.
(BMKG, 2019)
BMKG terus berupaya meningkatkan literasi
kebencanaan, dengan memasukkan catatancatatan
kejadian penting seperti tsunami
Lombok, Palu-Donggala dan Selat Sunda
tahun 2018. Tsunami Lombok memberi
pelajaran bahwa gempabumi berpusat di
darat dapat memicu tsunami, gempabumi Palu-Donggala
memberi pelajaran bahwa tsunami dapat terjadi sangat
cepat, dan tsunami Selat Sunda memberi pelajaran bahwa
kejadian tsunami tidak selalu diawali oleh gempabumi.
Kiranya buku ini dapat menjadi penggerak bagi seluruh
warga dan pemerintah untuk membangun kesadaran akan
16
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Bahasan Utama
potensi kerawanan tsunami, demi terciptanya Indonesia sebagai ‘tsunami ready nation’ di masa mendatang.
Penyusunan buku ini merupakan salah satu implementasi kegiatan pelayanan publik BMKG dalam hal mitigasi bencana
gempabumi dan tsunami yang menjadi tanggungjawab dari Kedeputian Bidang Geofisika BMKG. Harapan kami, Buku
Katalog Tsunami Indonesia Tahun 416-2017 ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber data dan informasi yang terkait
dengan kondisi kebencanaan Indonesia. Selain itu, penerbitan buku ini diharapkan dapat menyadarkan seluruh masyarakat
Indonesia dalam memahami bahwa wilayah Indonesia sangat rawan terhadap bahaya gempa.
Potensi bencana hidrometeorologi juga tidak kalah mengkhawatirkan. Bencana kekeringan dan Banjir ibarat dua sisi mata
uang yang saling berdampingan dalam waktu bersamaan maupun kehadirannya yang datang silih berganti. Kepala Pusat
Data dan Informasi BNPB Agus Wibowo, mengatakan terjadi peningkatan jumlah bencana selama 2019, dibanding tahun
sebelumnya. BNPB mencatat ada 3.768 bencana yang terjadi hingga 27 Desember 2019. Jumlah ini meningkat dari 3.397
kejadian pada 2018. Dari total bencana tahun ini, Agus mengatakan 99 persen di antaranya merupakan bencana hidrometeorologi.
Bencana ini meliputi kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, banjir, hingga
gelombang pasang atau abrasi.
Bencana alam yang terjadi bukan saja merugikan masyarakat dengan banyaknya korban. Namun juga potensi kerugian
finansial yang sangat besar. Secara umum ini sangat merugikan kita sebagai bangsa. Kondisi ini harusnya menjadi peringatan
bagi kita semua akan apa yang akan terjadi disekitar kita. Pemerintah disetiap lini baik pusat maupun daerah sudah harus
melakukan sosialiasi dan meningkatkan literasi masyarakat yang ada diwilayahnya masing – masing agar memiliki kesadaran
yang baik akan potensi bencana yang kemungkinan terjadi pada wilayahnya masing-masing.
Referesi :
1. BMKG. (2019). Katalog Tsunami Indonesia Tahun 416-2018: Per-Wilayah.
2. Priyowidodo, G., & Luik, J. E. (2013). Literasi Mitigasi Bencana Tsunami untuk Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pacitan.
Ekotrans, 13(1), 47–61.
Deni Saiful, S.Kom., MMSI.
(Widyaiswara Muda)
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 17
Peran Teknologi Informasi Dalam Meminimalisir
Dampak Bencana
Pendahuluan
Peranan teknologi informasi
(TI) pada aktifitas manusia pada
saat ini memang begitu besar.
Teknologi informasi telah menjadi
fasilitator utama bagi kegiatankegiatan
bisnis, memberikan
andil besar terhadap perubahanperubahan
yang mendasar pada
struktur, operasi dan manajemen
organisasi. Luccas (2000)
menyatakan bahwa teknologi
informasi adalah segala bentuk
teknologi yang diterapkan untuk
memproses dan mengirimkan
informasi dalam bentuk elektronis
(Martin, 1999).
Berkat teknologi informasi ini
berbagai kemudahan dapat
dirasakan oleh manusia. Bukan
saja untuk meningkatkan
kesejahteraan, memudahkan
hidup, lebih dari itu juga untuk
menyelamatkan korban bencana
dan menghindari banyaknya
korban jiwa. Begitu banyak pula
bencana alam yang terjadi di negeri
ini, gempabumi, tsunami, banjir, cuaca ekstrim, kekeringan,
longsor, angin puting beliung dan bencana lainnya. Tidak
hanya bencana alam, bencana bahaya pandemic virus Corona
Covid-19 yang sekarang mewabah pun terjadi di seluruh
dunia. Lalu apa yang teknologi informasi bisa lakukan untuk
membantu menanggulangi berbagai bencana yang terjadi?
Infografis Kebencanaan
Lalu informasi yang seperti apa yang lebih efektif membantu
memberikan informasi kebencanaan kepada masyarakat?
Di era digital sekarang ini, penyajian dalam bentuk data dan
infografis sangat penting dalam menyampaikan informasi
sesuai kebutuhan publik yang menginginkan sekali melihat
sudah lengkap informasinya.
Apalagi infografis yang berkaitan
dengan bencana, tentunya akan
lebih mudah dipahami oleh
masyarakat bila pembuatnya
mampu menyajikan dengan baik
dan menarik.
Infografis sering disebut pula
sebagai ilustrasi informasi
(Glasgow, 1994:7). Informasi
dalam konteks ini mengacu pada
informasi atau berita dalam media
massa cetak. Oleh karena itu istilah
“infografis” kerap dipakai dalam
majalah atau surat kabar. Tabel
maupun diagram yang sering juga
dipakai dalam penelitian-penelitian
ilmiah termasuk dalam bentuk
infografis ini, meskipun istilah “infografis”
lebih menitikberatkan
pada tampilan data atau fakta yang
dipadu padankan dengan visual
yang estetik, sehingga memenuhi
unsur warna, bentuk, komposisi,
irama dan kesatuan.
Istilah “infografis” sendiri mengacu
pada bentuk penginformasian
melalui gambar. Biasanya pemakaian istilah “infografis”
ini dilakukan sebagai gambar lepas pada surat kabar atau
majalah. Gambar lepas dari bagian berita terjadi bila tidak
memungkinkan dilakukan pemberitaan secara naratif, karena
kurang tersedianya ruang di halaman surat kabar,majalah
maupun di media cyber atau juga dipandang bahwa pemberitaan
secara naratif kurang mempertimbangkan tingkat
pemahaman pembaca terhadap sebuah peristiwa. Oleh
karena itulah infografis ini dapat menjadi berita visual atau
data bergambar (Wicandra, 2001:14).
Mengapa infografis perlu dan penting dipakai pada media
massa?
1. Infografis akan memudahkan pembaca memahami
proses terjadinya peristiwa maupun proses penemuan
secara ilmiah.
2. Infografis efektif digunakan untuk merekonstruksi
sebuah peristiwa.
3. Infografis efektif dilakukan di media massa untuk
menghindari tata letak koran atau majalah, atau media
online yang menjenuhkan. Apalagi dalam sebuah media
massa berita juga dipengaruhi oleh ketersediaan jumlah
kolom. Sehingga ketika berita yang dipaparkan terkesan
sangat panjang dan memakan ruang yang banyak, maka
infografis menjadi alternatif untuk memadatkan berita
dalam potongan infografis yang kecil.
4. Infografis mampu memaparkan secara artistik dan tidak
terpaku pada penggambaran hasil data maupun proses
secara baku.
18
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Bahasan Utama
5. Infografis memberikan visualisasi
yang menyegarkan.
Media Diseminasi Informasi Kebencanaan
Media memiliki peran penting dalam
bencana alam. Melalui media informasi
mengenai bencana alam dapat
tersebar ke berbagai penjuru dunia.
Informasi mengenai jenis bencana,
informasi mengenai kapan terjadinya
bencana, informasi mengenai lokasi
bencana, dampak, dan
kebutuhan korban
bencana alam dapat
terekam dan tersampaikan
melalui pemberitaan.
Hal ini menjadi
awal fase heroic, pemberitaan
mendorong
pihak-pihak yang
selama ini bergerak di
bidang kemanusiaan
untuk segera
bertindak, bahkan
dapat menstimulasi
orang-orang yang
memiliki empati
untuk memberikan
bantuan yang
dibutuhkan. Kemajuan
teknologi informasi
dan komunikasi
membuat informasi
terkait bencana alam
menjadi lebih cepat
tersebar. Itulah salah
satu keuntungan dari
perkembangan masa
terutama teknologi
komunikasi.
Diseminasi informasi
terkait bencana,
baik bencana alam
maupun bencana
wabah penyakit dapat
diperoleh melalui media
massa:
1. Media Elektronik
Informasi yang dapat
diterima melalui
televisi dan radio
yang terbatas. Namun
pada prinsipnya sejak
masa lalu hingga masa sekarang ini
peran media dalam pemberitaan
bencana alam merupakan unsur
penting dalam layanan kemanusiaan.
Selain itu masyarakat yang tidak
mengalami bencana secara langsung
juga dapat belajar terkait dengan
bencana yang terjadi dan diberitakan
media. Masyarakat mendapatkan
pembelajaran dan pendidikan bencana
secara tidak langsung.
2. Media Cyber/Online
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial
kepada masyarakat dalam bentuk
ketersediaan informasi dan jaringan
komunikasi di daerah rawan bencana,
Kementerian Kominfo memiliki tugas
pokok dan fungsi untuk perumusan
dan kebijakan di bidang Komunikasi
dan informatika, yang salah satunya
yaitu melakukan kebijakan untuk
melaksanakan kegiatan dalam
menyebarkan informasi pada saat
terjadinya bencana melalui Program
Penyampaian Informasi Kebencanaan
melalui jaringan bergerak seluler.
Sebagai tindak lanjut tersebut telah
dilakukan kesepakatan kerja sama
antara Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo) dan Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) yang dituangkan
dalam Nomor: 826/KOMINFO/DJPPI/
HK.03.02/05/2015 Nomor: KS.301/011/
SU/V/2015 tentang Pemanfaatan Sistem
Telekomunikasi Khusus dalam Rangka
Penyebaran Informasi Peringatan Dini
Cuaca Ekstrem, Tsunami dan Informasi
Gempa Bumi. Implementasi Sistem
Penyampaian Informasi Kebencanaan
diharapkan dapat mengurangi
kerugian materiil dan korban jiwa yang
disebabkan oleh bencana alam. Tahun
ini, BMKG sebagai penyedia Informasi
kebencanaan, menyediakan informasi
terkait bencana alam
gempa bumi dan
potensi tsunami.
Begitu juga dengan
Vulkanologi (PVMBG)
untuk informasi terkait
gunung berapi,
Kementerian PU untuk
untuk informasi terkait
banjir, banjir lahar,
tanah longsor, tanah
bergerak, kekeringan.
Kementerian Kehutanan
untuk informasi terkait
kebakaran hutan.
Selanjutnya BNPB dan
BPBD untuk informasi
penanggulangan
bencana. Sedangkan
terkait bencana pandemic
virus Corona
Covid-19, informasi
data kasus Covid-19
akan disampaikan
oleh Badan Nasional
Penanggulangan
Bencana (BNPB)
dan Kementerian
Kesehatan, dimana
informasi tentang Covid-19
dapat diakses
melalui www.covid19.
go.id. Bagi siapa saja
yang menyebarkan
berita Hoax akan
dikenakan sanksi
sesuai peraturan
perundang-undangan
yang berlaku.
Di era milenea ini,
siapa sih yang tidak
kenal dengan Instagram,
Facebook, Twitter,
Youtube, WhatsApp dan aplikasi
mobile? Berbagai aplikasi media sosial
yang tidak bisa disebutkan satu-satu
ini seakan-akan keberadaannya telah
bersanding dengan bahan pangan.
Berbagai aktivitas dari bangun tidur
sampai kembali tidurpun selalu disempatkan
untuk dapat posting atau
update status dari kejadian yang
dialaminya kepada publik! Ya begitulah
keseharian seseorang yang memang
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 19
menggunakan media sosial. Hampir
setiap saat kita tidak dapat lepas
darinya, karena memang begitu mudah
dan cepat seseorang dapat melakukan
obrolan secara online, berbagi file,
bertukar foto tanpa bertatap muka
secara langsung.
Hal inilah mengapa membagikan
informasi kebencanaan yang dikemas
dalam infografis yang menarik di media
sosial akan dengan cepat tersebar
di masyarakat luas. Informasi bencana
yang diperoleh seseorang melalui
media sosial akan tertarik untuk
dibagikan kepada teman atau koleganya
secara bertautan. Tampilan
informasi kebencanaan yang menarik
inilah yang membangkitkan pengguna
media sosial untuk membaca dan
membagikannya, sehingga lebih efektif
dalam penyebaran informasi kebencanaan
yang sedang melanda masyarakat.
Dengan begitu masyarakat akan lebih
tahu apa yang harus dilakukan dalam
menghadapi bencana yang terjadi dan
dapat meminimalisir atas dampak
bencana tersebut.
3. Media Cetak
Media cetak lokal cukup berperan
dalam mitigasi bencana dalam
menyadarkan masyarakat melalui berita-berita
yang di turunkan. Diharapkan
masyarakat dapat sadar akan bahaya
bencana dan dapat menjaga
lingkungan agar keseimbangan alam
dapat terjaga dengan baik.
Masalah komunikasi melalui media
massa adalah tantangan yang
besar, kurangnya pemahaman dalam
penyebaran dan pencernaan informasi
dapat membuat masyarakat mudah
panik, terutama dalam merespon
persoalan bencana. Bencana butuh
partisipasi dari semua pihak, termasuk
dari rekan-rekan media. Peran media
begitu penting dalam penyampaian
persoalan kebencanaan ini, termasuk
peran media sosial begitu efektif untuk
penyebaran informasi kebencanaan.
Disisi lain perlu adanya filter, harus
selalu merujuk pada sumber informasi
dari instansi yang berwenang. Hal
ini untuk menghindari penyebaran
informasi yang tidak benar.
Dampak Teknologi Informasi
terhadap Kebencanaan
Teknologi Informasi sebagai bagian dari
ilmu pengetahuan dan teknologi secara
umum adalah semua teknologi yang
berhubungan dengan pengambilan,
pengumpulan, pengolahan, penyimpanan,
penyebaran, dan penyajian
informasi. Teknologi Informasi
menyebabkan ilmu pengetahuan
menjadi kian berkembang. Dengan
teknologi informasi memberikan
dampak terhadap kehidupan manusia
sekarang ini, khususnya dalam rangka
menyelamatkan korban bencana dan
menghindari banyaknya korban jiwa,
meliputi:
1. Mempercepat arus informasi kebencanaan
kepada masyarakat.
2. Sarana media sosial kekinian yang
sering diakses oleh masyarakat.
3. Membantu individu dalam mencari
informasi kebencanaan.
4. Mempermudah komunikasi antar
individu yang berjauhan terkait
informasi kebencanaan.
5. Kemampuan berbagi data dan
informasi kebencanaan.
6. Membantu menyelesaikan
masalah kebencanaan dengan
lebih mudah.
7. Mengedukasi dan menyadarkan
masyarakat untuk lebih peduli,
sigap dan tanggap terhadap
dampak bencana.
8. Meminimalisir dampak bencana.
Selain memiliki dampak positif, ternyata
teknologi informasi ini juga harus diantisipasi
terhadap penyebaran informasi
kebencanaan yang tidak sesuai fakta
(Hoax). Informasi Hoax kebencanaan
yang tidak bertanggungjawab akan
menambah keresahan masyarakat terkait
bencana-bencana yang dihadapi
oleh masyarakat.
Tips Siaga Informasi Kebencanaan
Dengan semakin banyaknya informasi
kebencanaan yang bertebaran di
masyarakat yang belum tahu akan
kebenarannya, maka ada tips siaga
informasi kebencanaan yang perlu
dijadikan acuan, yaitu:
1. Membaca informasi bencana
secara utuh dan ada filter.
2. Mengikuti informasi bencana yang
disebarkan oleh institusi terkait
yang berwenang.
3. Tidak mengandalkan informasi
dari media sosial saja, mengingat
tidak semua warga memiliki akses.
4. Tidak menyebarkan hoax terkait
informasi kebencanaan.
Referensi :
1. Obed Bima Wicandra, Peran Infografis
Pada Media Massa Cetak,
Dosen Jurusan Desain Komunikasi
Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen Petra,
Surabaya. https://www.researchgate.net/publication/43330525_
PERAN_INFOGRAFIS_PADA_ME-
DIA_MASSA_CETAK, Januari 2007
2. Modul Teknologi Informasi Dalam
Diklat, Modul Diklat Kewidyaiswaraan
Berjenjang Tk. Menengah, LAN
RI, Jakarta, November 2016.
3. http://www.biskom.web.
id/2012/06/11/peran-ti-dalambencana.bwi
4. https://siaga.bnpb.go.id/hkb/
berita/peran-media-begitu-penting-dalam-penyebaran-informasikebencanaan.
5. https://www.ubaya.ac.id/2018/
content/articles_detail/158/Peran-
Media-Dalam-Bencana-Alam.html
6. https://www.bbc.com/indonesia/
indonesia-48910426
7. https://bpbd.bantulkab.go.id/peran-media-sosial-dalam-pengurangan-risiko-bencana/
8. https://www.kominfo.go.id/con-
tent/detail/6529/siaran-pers-no-
96pihkominfo122015-tentangisoft-launchingi-sistem-penyampaian-informasi-kebencanaan/0/
siaran_pers
9. https://www.cnnindonesia.com/nasion
al/20200406170852-20-490881/
kepala-bnpb-soal-data-kasus-corona-harus-satu-sumber
10. www.covid19.go.id.
Asep Jamaludin Malik, S.Si., M.Pd.
(Widyaiswara Ahli Muda)
20
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Bahasan Utama
DENGAN DATA AKURAT DAMPAK
BENCANA DAPAT DI KERAT
“Kebijakan mitigasi bencana yang efektif tidak mungkin dapat dibuat tanpa didukung
data statistik yang baik”.
Indonesia sedang diuji dengan berbagai peristiwa
bencana yang mengakibatkan kerugian bahkan korban
jiwa. Beberapa peristiwa bencana alam dan non alam
seakan silih berganti seperti: tsunami Selat Sunda, gempabumi
dan likuifaksi di Palu, karhutla ratusan ribu hektar
di wilayah Sumatera dan Kalimantan, bencana sosial berupa
berita hoax, banjir yang melanda ibukota, serta ancaman virus
SARS, MERS, sekarang pandemi corona virus mulai akhir
tahun 2019 yang menggemparkan dunia karena mampu
melumpuhkan sendi-sendi aktivitas sosial manusia..
Lima tahun lalu, pada 25 September 2015, negaranegara
anggota PBB mengangkat rangkaian Agenda
Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang menyertakan
17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable
Development Goals (SDGs) termasuk di dalamnya
mengangkat isu penanggulangan bencana secara terarah
melalui pengumpulan data statistik bencana untuk mitigasi.
SDGs disusun berdasarkan Tujuan Pembangunan Milenium
(MDGs) yang telah diupayakan dari tahun 2000 sampai
2015, dan akan memandu pencapaian tujuan global yakni
pembangunan berkelanjutan hingga 2030 nanti. Hal ini
ditindaklanjuti oleh Peraturan Presiden RI nomor 59 Tahun
2017.
Hal tersebut jelas akan merubah paradigma penanganan
bencana di dunia yaitu dari responsif menjadi preventif,
dari sektoral menjadi multi sektor, dari tanggung jawab
pemerintah semata menjadi tanggung jawab bersama,
dari sentralisasi menjadi desentralisasi dan dari tanggap
darurat menjadi pengurangan risiko bencana. Indonesia
sendiri sudah mengeluarkan peraturan terkait rencana
penanggulangan bencana sejak tahun 2007 lalu diperbaharui
tahun 2008 dalam peraturan yang dikeluarkan BNPB
sebagai instansi yang berwenang mengkoordinasinya.
Untuk itu serangkaian upaya dilakukan secara sinergi
oleh pemerintah pusat dan daerah bersama masyarakat
untuk mengurangi resiko atau kerugian akibat bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Upaya ini kita kenal dengan istilah mitigasi, yang merupakan
sebuah rencana dalam penanggulangan bencana, contoh:
Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI dalam Disaster Management
Plan Provinsi DKI Jakarta.
Rencana mitigasi bencana yang baik tentunya harus
dilakukan berdasarkan analisis resiko bencana. Analisis ini
menjabarkan upaya mitigasi bencana berikut rincian anggarannya,
dan ternyata proses rencana mitigasi bencana atau
analisis resiko bencana ini memerlukan langkah-langkah
yang cukup panjang namun harus dilakukan bersama oleh
beberapa instansi terkait secara cepat dan tepat, dimulai
dari pengkajian bahaya, mengenali kerentanan, meneliti
kemungkinan dampaknya, pemilihan tindakan, pembuatan
prosedur sampai kepada pembagian tugas siapa berbuat
apa, dan belum lagi ini harus di simulasikan ke seluruh
stakeholder sebagai rangkaian mitigasi bencana. Mitigasi
bencana yang terencana atau terprogram menjadi sangat
penting dilakukan untuk mengkerat dampak bencana, di
sinilah peran data statistik bencana diperlukan agar mitigasi
bencana dapat dilakukan secara efektif dan efisien
serta tepat sasaran. Artinya, tidak mungkin kebijakan mitigasi
bencana yang efektif dapat dibuat tanpa didukung data
statistik yang baik.
Memang cukup aneh kedengarannya antara statistik dan
mitigasi bencana. Mungkin agar lebih mudah dapat dicontohkan
terkait bidang meteorologi, tiap jam bahkan menit tim
BMKG selalu siaga melakukan observasi unsur-unsur cuaca
melalui berbagai peralatan baik konvensional maupun
inderaja, lalu data-data ini diolah dengan sebuah model
statistik yang disebut dengan Numerical Weather Prediction
yang selalu diverifikasi, outputnya divalidasi dengan citra
inderaja, sehingga hasil akhirnya berupa informasi publik
yang kini berkembang menjadi impact base forecast (IBF)
berdasarkan paduan atau input data dari BNPB, BIG, BPS
serta instansi lainnya, maka bukan hanya informasi hujan
lebat yang tersaji namun sampai kepada dampaknya di
suatu wilayah.
Terbayang dibenak kita masing-masing betapa sulitnya
mengumpulkan data kewilayahan untuk analisis atau
pengkajian resiko bencana, data diharapkan bukan hanya
paparan bencana dampak ekonomi namun sampai kepada
dampak psikologis atau sosial serta tindakan yang sudah
dilakukan pemerintah atau masyarakat serta kesiapan
yang dimiliki daerah tersebut. Pendataan wilayah ini telah
dilaksanakan BPS dengan pengumpulan data Potensi
Desa (Podes) yang dilakukan 3 kali dalam 10 tahun dan
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) berupa Modul
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 21
Ketahanan Sosial yang dilaksanakan setiap 3 tahun sekali
yang merupakan dukungan aksi rencana penanggulangan
bencana melalui penyediaan statistik bencana yang dikoordinasi
BNPB.
Pengkajian risiko bencana merupakan sebuah pendekatan
untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang
mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang ada.
Secara konsep potensi dampak negatif bencana dihitung
juga dengan mempertimbangkan tingkat kerentanan dan
kapasitas kawasan tersebut. Potensi dampak negatif ini
menggambarkan potensi jumlah jiwa, kerugian harta benda,
dan kerusakan lingkungan yang terpapar oleh potensi
bencana. Dalam melakukan kajian risiko bencana, pendekatan
fungsi dari tiga parameter pembentuk risiko bencana,
yaitu ancaman atau bahaya, kerentanan, dan kapasitas terkait
bencana.
c. Kerentanan ekonomi terdiri dari parameter konstribusi
PDRB dan lahan produktif. Nilai rupiah lahan produktif
dihitung berdasarkan nilai konstribusi PDRB pada sektor
yang berhubungan dengan lahan produktif (seperti sektor
pertanian) yang dapat diklasifikasikan berdasarkan data
penggunaan lahan.
Tabel 3. Parameter kerentanan ekonomi
Faktor tingkat bahaya bencana alam secara metodologi
didapat dari informasi instansi sesuai tanggungjawab dalam
tupoksinya, seperti BMKG yang memberikan tingkat bahaya
gempabumi dan tsunami serta cuaca ekstrim juga SPI
kekeringan terkait karhutla. Sedangkan beberapa faktor
kerentanan seperti: sosial, fisik, ekonomi dan lingkungan
juga sangat signifikan terhadap resiko bencana.
Tingkat kerentanan ini secara rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Kerentanan sosial terdiri dari parameter kepadatan
penduduk dan kelompok rentan. Kelompok rentan terdiri
dari rasio jenis kelamin, rasio kelompok umur rentan,
rasio penduduk miskin, dan rasio penduduk cacat. Secara
spasial, masing-masing nilai parameter didistribusikan di
wilayah pemukiman per desa/kelurahan dalam bentuk
grid raster (piksel);
Tabel 1. Parameter Penyusun dan Skoring Kerentanan Sosial
d. Kerentanan lingkungan terdiri dari parameter hutan
lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove, semak
belukar, dan rawa. Setiap parameter dapat diidentifikasi
menggunakan data tutupan lahan
Tabel 4. Parameter kerentanan lingkungan
Tabel 5. Matriks jumlah paparan risiko bencana multi
ancaman diwilayah Provinsi Tahun 2019
b. Kerentanan fisik terdiri dari parameter rumah, fasilitas
umum dan fasilitas kritis. Jumlah nilai rupiah rumah,
fasilitas umum, dan fasilitas kritis dihitung berdasarkan
kelas bahaya di area yang terdampak;
Tabel 2. Parameter kerentanan fisik
22
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Dari data dan statistik menggambarkan bahwa upaya
pemerintah maupun stakeholder terkait antisipasi bencana
perlu diperkuat lagi. Terutama upaya yang berorientasi pada
rakyat dan memberi perhatian kuat masyarakat rentan.
Masyarakat yang rentan harus dimasukkan dalam perencanaan
kebijakan sebagai bagian manajemen risiko. Untuk itu
diperlukan dukungan data yang tepat waktu, relevan, dan
berkualitas terkait bencana.
Langkah pemerintah dalam memasukkan pendidikan kebencanaan
dalam kurikulum patut diapresiasi. Diperlukan juga
diadakan latihan dalam menghadapi berbagai bencana alam
yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Perlu
sinergi dengan pemerintah daerah dan berbagai instansi,
termasuk yang swasta. Jika diperlukan dapat diwajibkan
dilakukan beberapa kali dalam setahun.
Penting juga dilakukan prosedur khusus tempat wisata, yang
mana telah menjadi salah satu penyumbang utama jumlah
korban setiap terjadi bencana alam. Sementara dari sisi lain,
penguatan infrastruktur mitigasi bencana juga perlu terus
dilakukan. Sistem peringatan ketika terdeteksi akan terjadi
bencana dan penanganan pascabencana yang lebih terkoordinasi
juga penting untuk mengurangi jumlah korban dan
dampak sosialnya. Dengan demikian kita berharap semoga
di masa yang akan datang, kita lebih siap.
Pustaka
1. BNPB, D. P. (2016). Resiko Bencana Indonesia. Jakarta:
Humas BNPB.
2. Direkur Daerah Tertinggal, T. d. (2019). Perencanaan
dan Pelaksanaan Pengurangan Resiko Bencana dalan
SDGs. Jakarta: Humas BAPPENAS.
3. Emosda, Lela, & Fadzlul. (2014). Mengkonstruk
Pemahaman Masyarakat Peduli Bencana Alam Banjir.
Jurnal Pengabdian Masyarakat, 21-29.
4. Hadi Purnomo dan Ronny Sugiantoro. (2010).
Manajemen Bencana Respos dan Tindakan Menghadapi
Bencana. Jakarta: Media Pressindo.
5. Lutfiana, F. R. (2016). Hubungan Tingkat Pengetahuan
Kebencanaan dengan Peran Serta Masyarakat dalam
Mengurangi Resiko Bencana. Geografi UNNES, 16-28.
6. Pahleviannur, M. R. (2019). Edukasi Sadar Bencana
Melalui Sosialisasi Kebencanaan Sebagai Upaya
Peningkatan Pengetahuan Siswa Terhadap Mitigasi
Bencana. Jurnal Pendidikan dan Ilmu sosial, 45-55.
Imbuh Yuwono, SP, M.Pd.
(Widyaiswara Muda)
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 23
BMKG
7 ISTILAH TERKAIT
VIRUS CORONA (COVID-19)
? ODP (Orangdalampemantauan)*belumadagejala.
! PDP (Pasiendalampengawasan)*sudahadagejala.
Suspect
Didugaterkenaviruskarenasudahmenunjukkangejaladanpernah
berkontakataubertemudenganorangyangpositifcorona.
+ Positif
Setelahmelaluiceklaboratoriumdanprosedurlain.
ÏLockdown
Menguncikeluarmasukdarisuatuwilayah/daerah/negara.
Social Distancing
Menjauhisegalabentukperkumpulan,menjagajarakantarmanusia,
menghindariberbagaipertemuanyangmelibatkanbanyakorang.
Work From Home
Bekerjadarirumah.
(WFH)
24
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Serambi Ilmu
Bagaimana Pertumbuhan Awan Cb
Saat Banjir Jabodetabek,
Januari 2020?
Indonesia berduka kembali setelah kejadian longsor
dan banjir di wilayah Sentani, Jayapura, pada tanggal
16 Maret 2019. Tepat pada tanggal 1 Januari 2020,
wilayah Jabodetabek terendam banjir dan memakan korban
jiwa meninggal dunia mencapai 67 orang, sebagaimana
disampaikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB).
Banyak berita yang bertebaran di jejaring internet
mengatakan bahwa banjir Jabodetabek pada tanggal
tersebut bukanlah banjir kiriman, melainkan intensitas dan
volume curah hujan yang berlebih. Hal tersebut sejalan
dengan pernyataan dari Deputi Bidang Klimatologi BMKG
pada http://kompas.com bahwa banjir awal tahun 2020 yang
terjadi di Jakarta dan sekitarnya karena curah hujan ekstrim
(lebih dari 150 mm per hari) yang turun cukup merata di
wilayah DKI Jakarta.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan mengidentifikasi
pertumbuhan awan Cumulonimbus (Cb) saat banjir di
wilayah Jabodetabek pada 1 Januari 2020 menggunakan
data Citra Satelit Himawari 8. Seperti yang disampaikan oleh
Habib, dkk (2019) bahwa terjadinya hujan lebat seringkali
terkait dengan keberadaan awan Cb, hal ini disebabkan
oleh karakteristik awan Cb dengan dimensi yang besar serta
mengandung banyak partikel presipitasi seperti air dan
kristal es.
Tinjauan Analisa Citra Satelit Himawari 8 menggunakan software
SATAID
Awan Cb yang telah mengalami fase dewasa umumnya dapat
diidentifikasi berdasarkan nilai suhu puncak awan < -60 °C.
Semakin dingin suhu puncak awan maka akan semakin
tinggi ketebalan awan yang terdeteksi oleh citra satelit. Nilai
suhu puncak awan dapat diidentifikasi menggunakan data
Citra Satelit Himawari 8.
Gambar 2. Histogram sel awan (lingkaran merah
pada Gambar 1).
Lingkaran merah pada Gambar 1 memperlihatkan
kumpulan awan hujan di wilayah Jabodetabek pada tanggal
31 Desember 2019 pukul 18.00 UTC. Apabila dilihat histogram
sel awan tersebut (Gambar 2) didapatkan bahwa nilai
rata-rata suhu puncak kumpulan awan yaitu -56.7 °C. Sedangakan
nilai suhu puncak awan terendah pada nilai -73.5 °C
dengan puncak ketinggian pada 50240 kaki.
Gambar 1. Citra Satelit Himawari 8 Kanal IR B13 tanggal 31
Desember 2019 pukul 18.00 UTC.
Gambar 3. Produk kontur kanal IR-B13 tanggal 31 Desember
2019 pukul 18.00 UTC.
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 25
Berdasarkan Gambar 3 di titik A terlihat sebaran kontur
suhu puncak awan yang terdapat di wilayah Jabodetabek
menunjukkan nilai 52.5°C. Hal ini menandakan terdapat
sebuah awan yang cukup tebal karena objek yang terdeteksi
oleh Citra Satelit menunjukkan nilai -52.5 °C. Pada titik B
(Gambar 3) tepatnya di wilayah perairan Pantai sebelah
Utara Jakarta terdapat suatu Sel Awan Cumulonimbus yang
cukup tinggi bernilai suhu puncak awan hingga -72.5 °C.
Gambar 4. NIlai suhu puncak awan pada titik B tanggal 31
Desember 2019 pukul 18.00 UTC pada nilai -72.4 °C tinggi
puncak awan Cb sekitar 49.629 kaki.
Kondisi pertumbuhan sel awan Cb yang terjadi pada malam
hari di wilayah perairan sebelah Utara Pantai Jakarta dapat
mengakibatkan potensi menimbulkan cuaca hujan dengan
intensitas sedang hingga lebat dan dapat berlangsung
lama jika penjalaran adveksi awan hujan tersebut bergerak
melintasi daratan wilayah Jabodetabek dan sekitarnya.
Perkembangan 3 jam berikutnya yaitu pada jam 21.00 UTC
terlihat pada tampilan citra satelit di Gambar 5.
Gambar 6. Histogram sel awan (lingkaran merah pada Gambar 5).
Gambar 8. Nilai suhu puncak awan pada titik A tanggal 31
Desember 2019 pukul 21.00 UTC pada nilai -68.6 °C tinggi
puncak awan Cb sekitar 47.205 kaki.
Gambar 5. Citra Satelit Himawari 8 Kanal IR B13 tanggal 31
Desember 2019 pukul 21.00 UTC.
Pada titik A di wilayah Jabodetabek dalam waktu
perkembangan 3 jam kemudian terlihat area wilayah
terjadinya hujan menjadi meluas dengan kisaran rata-rata
suhu puncak awan di area tersebut di Gambar 6 menunjukkan
nilai rata-rata suhu puncak awan hingga -68.3 °C. Tinggi
puncak awan Cb dengan suhu puncak awan -68.3 °C berada
pada tinggi puncak awan 47.205 kaki pada Gambar 8.
Gambar 9. Nilai suhu puncak awan pada titik A tanggal 31
Desember 2019 pukul 21.00 UTC pada nilai -77.9 °C tinggi
puncak awan Cb sekitar 53.339 kaki.
Nilai suhu puncak awan hingga mencapai nilai terendah
pada daerah titik A yang mewakili wilayah Jabodetabek di
nilai -77.9 °C pada tinggi puncak awan Cb hingga ketinggian
puncak awannya mencapai sekitar ketinggian 53.339 kaki.
Hal ini menunjukkan selama dalam waktu 3 jam dari pukul
18.00 UTC hingga 21.00 UTC terjadi kondisi hujan yang
disebabkan oleh kumpulan awan konvektif dan Cumulonimbus
sehingga menyebabkan peningkatan debit air
yang terjadi di permukaan daratan di wilayah Jabodetabek
menjadi sangat banyak jumlahnya. Pergerakan awan-awan
hujan tersebut dapat dilihat dari kondisi 3 jam sebelumnya
yaitu pada pukul 18.00 UTC menunjukkan sel awan CB di
titik B yang terdapat di perairan sebelah Utara Pantai Jakarta
mengalami penjalaran memasuki wilayah daratan Jabodetabek
dan menimbulkan pertumbuhan kembali Awan Cumulonimbus
dengan luasan area yang cukup signifikan luasannya
26
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
terlihat pada gambar kontur suhu puncak awan Gambar 10
di bawah ini
Jabodetabek di titik A. Pada wilayah perairan di sebelah Utara
Pantai Jakarta yaitu di titik B menunjukan fase pertumbuhan
kembali sel awan - awan hujan yang sebelumnya saat 3 jam
yang lalu pada pukul 21.00 UTC pada titik B menunjukkan
fase pertumbuhan awan hujan yang tidak signifikan. Pola
sebaran suhu puncak awan secara histogram pada titik A
Gambar 11 dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah ini
Gambar 10. Produk kontur kanal IR-B13 tanggal 31 Desember
2019 pukul 21.00 UTC.
Pola pertumbuhan sel awan Cumulonimbus yang terjadi
pada malam atau dini hari pada kasus kejadian ini
menandakan terdapatnya proses kompleksitas pola cuaca
pada sistem interaksi permukaan daratan dan lautan dalam
skala spasial ruang yang cukup luas. Proses aktifitas konvektif
yang berhubungan dengan pertumbuhan awan Cumulonimbus
yang umumnya terjadi pada waktu siang dan sore
hari pada kejadian ini menjadi tidak terpenuhi karena pada
kejadian ini terlihat pola pertumbuhan awan konvektif dan
Cumulonimbus terjadi pada waktu malam dan dini hari.
Gambar 12. Histogram sel awan (lingkaran merah pada
Gambar 11).
Suhu puncak awan rata-rata yaitu -61.3 °C menunjukkan
pada pukul 00.00 UTC masih terdapat awan hujan berjenis
Cb dengan tinggi puncak awannya sekitar 44.366 kaki
pada gambar 13. Kondisi hujan yang terjadi selama 6 jam
dari pukul 18.00 UTC hingga 00.00 UTC terlihat merupakan
kondisi hujan yang disebabkan oleh hujan awan Cumulonimbus
yang memiliki nilai suhu puncak awan kurang dari
-60 °C. Hal ini menyebabkan secara signifikan selama dalam
waktu 6 jam tersebut dapat mengakibatkan peningkatan
debit air di permukaan daratan wilayah Jabodetabek dan
sekitarnya yang berakiat pada bencana banjir.
Gambar 13. Nilai suhu puncak awan pada titik A tanggal 01
Januari 2020 pukul 00.00 UTC pada nilai -61.4 °C tinggi puncak
awan Cb sekitar 44.366 kaki.
Gambar 11. Citra Satelit Himawari 8 Kanal IR-B13 tanggal 01
Januari 2020 pukul 00.00 UTC.
Kondisi perkembangan 3 jam kemudian dari pukul 21.00 UTC
hingga 00.00 UTC dapat dilihat kembali dari data satelit himawari
8 yang diolah menggunakan software SATAID. Pada
tanggal 01 Januari 2020 pukul 00.00 UTC terlihat sebaran
awan awan hujan masih menutupi sebagian besar wilayah
Gambar 14. Produk Kontur Kanal IR-B13 tanggal 01 Januari
2020 pukul 00.00 UTC.
Kesimpulan
1. Sel awan yang menyebabkan hujan ekstrim sehingga
mengakibatkan banjir di sebagian besar wilayah Jabodetabek
pada tanggal 01 Januari 2020 disebabkan karena
pertumbuhan sel awan Cumulonimbus yang mengalami
fase awal pertumbuhan selama 6 jam dari pukul 18.00
UTC hingga 00.00 UTC.
2. Penjalaran suhu puncak awan Cb < -60 °C secara spasial
dan time series dapat digunakan untuk mengetahui
siklus pertumbuhan dan pergerakannya sehingga dapat
digunakan untuk sumber informasi Warning Peringatan
Dini Cuaca.
3. Pertumbuhan Sel Awan Cumulonimbus yang
berlangsung pada malam hari dengan durasi waktu
cukup lama sekitar 6 jam dan cukup luas wilayah tutupannya
sebagai akibat dari interaksi sistem atmosfer
antara permukaan perairan sebelah Utara Pantai Jakarta
dan wilayah daratan Jabodetabek perlu mendapat
kajian lebih dalam lagi mengenai kondisi parameter
meteorology yang dapat menyebabkan sistem interaksi
tersebut.
4. Kajian mengenai nilai suhu puncak Awan Cumulonimbus
yang bernilai < -60 °C disertai cakupan luasan secara
spasial yang memungkinkan memiliki batasan luasan
spasialnya pada kejadian cuaca ekstrim khususnya
hujan deras dengan durasi waktu yang lama pada
waktu yang lain akan sangat penting diperlukan untuk
mengetahui variasi spasial sebaran suhu puncak awan
Cumulonimbus yang dapat menyebabkan cuaca buruk
dengan durasi waktu yang lama.
Referesi :
1. Habid, A. H., & dkk. (2019). Kajian Pertumbuhan Awan
Hujan pada saat Banjir Bandang Berbasis Citra Satelit
dan Citra Radar (Studi Kasus: Padang, 2 November 2018)
(Vol. 6). Tangerang: Jurnal Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika. Retrieved Juli 2, 2019
Madona, M.Si.
(Widyaiswara Muda)
28
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
EXPOSE LAPORAN AKUNTABILITAS
KINERJA PEMERINTAH (LAKIP)
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
PERIODE RENSTRA 2014-2019
Jika ada pertanyaan
“Berapa besar dana
yang telah dan akan
dihabiskan” menjadi
“Berapa besar kinerja
yang dihasilkan dan
kinerja tambahan yang
diperlukan, agar tujuan
yang telah ditetapkan
pada akhir periode bisa
tercapai” , maka seseorang
perlu mengenal apa yang
namanya LAKIP.
Apa yang dimaksud dengan
akuntabilitas kinerja,
berdasarkan Inpres no 7
tahun 1999, Akuntabilitas
kinerja adalah perwujudan
kewajiban suatu instansi
pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan
keberhasilan / kegagalan
pelaksanaan misi organisasi
dalam mencapai tujuantujuan
dan sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan melalui alat pertanggungwaban
secara periodik. Pada pokoknya terdiri
dari berbagai indikator dan mekanisme
kegiatan pengukuran, penilaian, dan
pelaporan kinerja secara menyeluruh
dan terpadu untuk memenuhi kewajiban
suatu instansi pemerintah dalam
mempertanggungjawabkan keberhasilan
/ kegagalan pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi, serta misi organisasi.
Bagi seorang pimpinan, LAKIP akan
berguna untuk bisa mengukur setiap
pembangunan atau kinerja yang
dilakukan pada setiap organisasi.
Selain itu, dengan pelaporan ini bisa
Gambar : Siklus Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(Sumber : http://www.asncpns.com/2015/03/memahami-sakip-danlakip-sebagai-tolak.html
)
dijadikan sebagai tolok ukur untuk
mempertanggungjawabkan anggaran
yang telah digunakan pada satu periode
anggaran satu tahun sebelumnya.
Kewajiban penyusunan LAKIP
dibebankan kepada setiap instansi
pemerintahan yaitu Kementerian/
Lembaga Negara, Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota, Unit Organisasi Eselon
I pada Kementerian/Lembaga
Negara, SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah).
Perencanaan Stratejik merupakan
suatu proses yang berorientasi pada
hasil yang ingin dicapai selama kurun
waktu 1 (satu) sampai dengan 5
(lima) tahun secara sistematis dan
berkesinambungan
d e n g a n
memperhitungkan
potensi, peluang,
dan kendala yang
ada atau yang
mungkin timbul.
Rencana Strategis
Kementerian/
Lembaga (Renstra–
KL) untuk menjamin
keterkaitan
dan konsistensi
antara perencanaan,
penganggaran,
pelaksanaan
Serambi Ilmu
dan pengawasan serta
menjamin tercapainya
penggunaan sumber
daya secara efisien,
efektif, berkeadilan,
dan berkelanjutan.
Selanjutnya sistem
akuntabilitas, setiap
instansi pemerintah
sampai tingkat Eselon
II, dalam hal ini Pusat
Pendidikan dan Pelatihan
BMKG wajib menyusun
Rencana Strategis untuk
melaksanakan akuntabilitas
kinerja instansi
pemerintah sebagai wujud
pertanggungjawaban
kinerja
instansi
pemerintah.
Penilaian kinerja melalui
indikator yang akan diukur
diperlukan metode pengukuuran
yang terukur
dengan dasar pengukuran SMART
(Specific-Measurable-Achievable-Result
Oriented-Relevant). Dengan dasar
pengukuran tersebut maka diharapkan
pencapaian akuntabilitas kinerja dapat
berjalan efektif dan efisien.
Dengan demikian sebagai tindak
lanjut dari Perencanaan Strategis
tersebut maka Dibuatlah Pelaporan
Kinerja dengan indikator pengukuran
yang mengacu pada Renstra 2015-
2019, dengan didasarkan pada empat
perspektif sebagai berikut :
1. Stakeholder Perspective
Terdiri dari satu sasaran strategis
yaitu Terwujudnya SDM MKG yang
Kompeten (SS-1)
2. Customer Perspective
Terdiri dari dua sasaran strategis
yaitu Lulusan Diklat Berkualitas
Tinggi Sesuai dengan Kebutuhan
(SS-2) dan Kepuasan Pengguna
Layanan yang Tinggi (SS-3)
3. Internal Process Perspective
Terdiri dari empat sasaran
strategis yaitu Kebutuhan Diklat
yang Teridentifikasi (SS-4), Pro-
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 29
gram Diklat yang Akomodatif (SS-5), Pembelajaran yang
Kreatif, Efektif dan Inovatif (SS-6) dan Penjaminan Mutu
yang Berkelanjutan (SS-7)
4. Learning and Growth Perspective
Terdiri dari empat sasaran strategis yaitu SDM
mempunyai Standard Kualifikasi dan Kompetensi (SS-
8), Organisasi yang Sehat (SS-9), Sarana Prasarana dan
TIK yang Memenuhi Standard (SS-10) dan Pengelolaan
Keuangan yang Optimal dan Akuntabel (SS-11).
Dengan mengacu pada pengertian hal-hal diatas, maka Pusdiklat
perlu menterjemahkan setiap indikator kinerja agar
dapat direalisasikan dengan mengacu pada hasil yang realistis
agar dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu dengan
menggunakan sumberdaya yang tersedia. Berdasarkan
rencana strategis Pusdiklat, dibawah ini adalah IKU yang di
kelompokkan berdasarkan empat perspektif diatas yaitu :
1. Sasaran Strategis 1 (SS-1) : Terwujudnya SDM MKG
yang Kompeten
a. Persentase alumni diklat yang berkontribusi
terhadap kinerja organisasi
b. Persentase alumni diklat yang menerapkan hasil
diklat
2. Sasaran Strategis 2 (SS-2) : Lulusan Diklat Berkualitas
Tinggi Sesuai dengan Kebutuhan
a. Jumlah pegawai yang terdiklat
b. Persentase lulusan diklat dengan nilai kualifikasi
minimal Baik Sekali
3. Sasaran Strategis 3 (SS-3) : Kepuasan Pengguna
Layanan yang Tinggi
a. Penilaian kualitas layanan penyelenggaraan diklat
4. Sasaran Strategis 4 (SS-4) : Kebutuhan Diklat yang
Teridentifikasi
a. Jumlah laporan kajian internal Analisa Kebutuhan
Diklat (AKD) eksternal kebutuhan diklat
b. Jumlah laporan kajian
5. Sasaran Strategis 5 (SS-5) : Program Diklat yang Akomodatif
a. Jumlah kurikulum diklat teknis dan diklat fungsional
b. Jumlah modul yang dihasilkan
c. Jumlah buletin yang dihasilkan
6. Sasaran Strategis 6 (SS-6) : Pembelajaran yang
Kreatif, Efektif dan Inovatif
a. Persentase diklat yang terealeasikan
b. Jumlah seminar on-line yang diselenggarakan
c. Jumlah pegawai penerima beasiswa Pusdiklat BMKG
7. Sasaran Strategis 7 (SS-7) : Penjaminan Mutu yang
Berkelanjutan
a. Persentase evaluasi diklat terhadap
penyelenggaraan
b. Jumlah seminar on-line yag terevaluasi
c. Persentase pengajar mutu yang berkelan-jutan
8. Sasaran Strategis 8 (SS-8) : SDM mempunyai Standard
Kualifikasi dan Kompetensi
a. Persentase pengelola diklat yang mempunyai sertifikat
MoT
b. Persentase penyelenggara diklat yang mempunyai
sertifikat ToC
c. Persentase widyaiswara yang memenuhi kualifikasi
pendidikan
d. Persentase widyaiswara yang memenuhi kualifikasi
kompetensi
9. Sasaran Strategis 9 (SS-9) : Organisasi yang Sehat
a. Penilaian LAKIP
b. Persentase SOP yang telah diimplementasikan
c. Persentase kedisiplinan pegawai
d. Persentase program diklat yang terakreditasi
10. Sasaran Strategis 10 (SS-10) : Sarana Prasarana dan
TIK yang Memenuhi Standard
a. Penilaian sarana prasarana
b. Jumlah kapasitas akses pengguna e-learning
11. Sasaran Strategis 11 (SS-11) : Pengelolaan Keuangan
yang Optimal dan Akuntabel
a. Persentase penyerapan anggaran
Dengan mengikuti periode Renstra 2015-2019 dibawah ini
adalah capaian berdasarkan empat perspektif tahun 2016
sampai dengan 2019 (data tahun 2015 belum ada data).
Tabel Capaian Kinerja Pusdiklat berdasarkan perspektive
dalam Renstra BMKG
Stakeholder
Perspective
Customer
Perspective
Internal
Process
Perspective
Learning
& Growth
Perspective
2016 2017 2018 2019
10.9 14.68 25.14 20.19
29.12 33.35 38.92 46.52
25.03 32.26 31.19 48.44
21.53 24.11 35.52 33.45
Selanjutnya grafik dibawah ini akan memberikan
penjelasan trend capaian kinerja berdasarkan empat perspektive
diatas :
30
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Berdasarkan empat grafik diatas menunjukkan trend yang meningkat secara signifikan pada tahun 2016-2019. Namun
penurunan pada akhir periode Renstra 2015-2019 pada stakeholder perspektif dan learning and growth perspektif. Penurunan
pada stakeholder perspektif disebabkan oleh belum optimalnya indikator pencapaian kinerja pada SS-1 terutama
pada persentase alumni diklat yang berkontribusi terhadap kinerja organisasi dan alumni diklat yang menerapkan hasil
diklat. Salah satu cara meningkatkan kinerja diatas adalah dengan meningkatkan jumlah alumnni melalui kegiatan paska
diklat Diklat PIM III/IV dan Latsar CPNS. Cara yang efektif selain dengan mengunjungi ke lokus UPT juga bisa mnemanfaatkan
sistem informasi secara online, dengan cara ini diharapkan persentase SDM BMKG yang kompeten dapat ditingkatkan.
Penurunan untuk learning and growth perspective juga karena kontribusi pengelola diklat yang bersertifikat MoT
persentasenya masih kurang dari ideal karena belum semuanya memiliki. Hal ini bisa didorong melalui pengiriman
pejabat pengelola diklat mengikuti diklat MoT di LAN. Kontribusi lain adalah pada pesrsentase jumlah SOP yang telah
diimplementasikan juga masih belum optimal karena pada proses pengusulan SOP masih terkendala dengan lamanya proses
legalitas dari Biro Hukum yang mensyahkan SOP untuk diimplementasikan. Dengan demikian diperlukan kerja sama yang
baik para taskforce sehingga selalu termonitor agar prosesnya efektif dan efisien.
Berkaca pada penjelasan diatas, dirasa sangat penting setiap anggota organisasi untuk mengetahui penjabaran kinerja
organisasi melalui pelaporan LAKIP. Dengan mengetahui kinerja organisasi tersebut setiap SDM akan mengetahui sejauh
mana kinerja organisasinyan sehingga mereka akan dapat mengukur sejauh apa bisa kontribusi secara individu terhadap
kinerja organisasi dan pada tahapan selanjutnya setiap individu akan dapat juga mengukur sejauh apa bisa berkontribusi
selanjutnya untuk meningkatkan kinerja organisasi lebih baik.
Referensi :
1. Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG, Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Pusdiklat Tahun 2019.
2. Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG, Perencanaan Strategis Tahun 2015-2019.
Juniarto Widodo, ST, MM
(Widyaiswara Madya)
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 31
Memotret Kebutuhan
Diklat melalui AKPK
Pendahuluan
Analisa Kebutuhan Pengembangan Kompetensi (AKPK)
merupakan salah satu kegiatan Pusdiklat BMKG yang
dirancang dan dilaksanakan memasuki awal tahun 2020
ini. Kegiatan serupa telah dilaksanakan pada tahun-tahun
sebelumnya dengan nama lain yaitu AKD (Analisa Kebutuhan
Diklat) atau TNA (Training Need Analysis) yang semuanya
bertujuan untuk menjaring ide, masukan dan mengetahui
konten dan bentuk pelatihan yang tepat dan up to date bagi
ASN BMKG baik dari sisi teknis Meteorologi, Klimatologi,
Geofisika dan teknis Instrumentasi/ Komunikasi maupun
yang bersifat pelatihan manajerial dan administratif.
Berbeda dengan pelaksanaan TNA pada tahun-tahun
sebelumnya, dimana pelaksanaan analisa kebutuhan diklat
untuk tahun yang akan datang digabungkan dengan evaluasi
pasca diklat yang diselenggarakan untuk tahun berjalan atau
sebelumnya, AKPK tahun 2020 ini murni bertujuan untuk
menggali kebutuhan pelatihan dari staff BMKG di UPT Meteorologi/
Klimatologi/ Geofisika serta identifikasi kesenjangan
(gap) kompetensi pegawai yang muncul di suatu unit kerja
UPT setempat. Pemilihan UPT ditetapkan bersama dengan
metode sampling perwakilan regional pulau Jawa, Sumatera,
Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat.
Dalam pelaksanaannya APKP di 12 UPT terpilih dilakukan
dengan metode pengisian kuesioner dan wawancara kepada
Kepala dan jajaran manajerial UPT serta Focus Group Discussion
dengan staf fungsional PMG serta staf administrasi
dari UPT yang bersangkutan. Hasil AKPK akan dijadikan
dasar rekomendasi untuk penentuan jenis pelatihan
pada tahun 2021. Pada kesempatan ini penulis mendapat
tugas melaksanakan AKPK ke dua lokasi, yaitu Pontianak
Kalimantan Barat dan Gunungsitoli, Nias.
Menjembantani Gap Kompetensi
Kesenjangan atau gap kompetensi
seorang pegawai
diartikan sebagai perbedaan
antara tingkat kompetensi
yang dimilikinya
saat ini dengan level kompetensi
yang diperlukan
organisasi atau dituntut
users yang seharusnya
dimiliki. Kebutuhan untuk
menjembatani kesenjangan
ini perlu dianalisis
melalui suatu metode
yang dinamakan Training
Needs Analysis (TNA). TNA
didefinisikan sebagai suatu
proses untuk menentukan
bilamana dan jenis training
apa yang dibutuhkan (WMO,
2015). Tanpa lebih dulu
melakukan TNA, suatu pelatihan
dapat salah alamat, tidak menjawab permasalahan
organisasi, atau bukan merupakan prioritas pegawai. Jenis
training/pelatihan yang biasanya merupakan prioritas dan
mendesak adalah pelatihan untuk pegawai baru dan pelatihan
untuk posisi pekerjaan yang menuntut pengetahuan
dan ketrampilan baru, dikarenakan adanya perubahan baik
yang datangnya dari dalam maupun luar organisasi yang
menuntut perubahan proses kerja.
Latar belakang perlunya dilakukan analisis seperti yang
dikemukakan Barbazette (2006) pada umumnya untuk
menjawab pertanyaan 5 W dan 1 H (what, who, when,
where, why, how) sebagai berikut:
(1) Why -Mengapa perlu melakukan training/ pelatihan
- Guna melihat keterkaitan antara lemahnya performa
organisasi akibat kesenjangan kompetensi pegawai
dengan kebutuhan bisnis organisasi, serta memastikan
bahwa manfaat pelatihan lebih besar dari kerugian
yang ditimbulkan oleh turunnya performa organisasi;
Dapat dilakukan dengan analisis kebutuhan vs keinginan
dan dengan studi kelaikan (feasibility study)
(2) Who -Siapa saja yang terlibat di dalamnya - Pelatihan
melibatkan pihak-pihak yang terkait untuk mengisi atau
meminimalisir kesenjangan; dapat dilakukan dengan
metode survei untuk menjaring sebanyak mungkin
pihak yang terkait dan mengidentifikasi isi, bentuk dan
metode pelatihan yang hasilnya dapat memenuhi
harapan pihak-pihak tersebut.
(3) How- Bagaimana pelatihan dapat menjawab
permasalahan kinerja organisasi – Untuk menentukan
apakah diperlukan pelatihan atau cara perbaikan lain,
perlu dilakukan analisis kinerja guna mengetahui
dimana letak kekurangan skill/ ketrampilan staff
32
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Serambi Ilmu
(4) What – Apa yang dibutuhkan untuk memperoleh
hasil terbaik , misalnya SOP atau peraturan
tertentu yang diperlukan untuk menyelesaikan
pekerjaan dengan baik – cara terbaik untuk
mengetahuinya adalah melalui analisis uraian
tugas.
(5) When – Kapan sebaiknya
pelatihan dilakukan,
agar jangan sampai
mempengaruhi
proses bisnis, jadwal
libur nasional, dan
sebagainya. Dapat
ditentukan dengan
analisis kontekstual.
Dalam hal ini TNA dibutuhkan
untuk mengambil keputusan
apakah memang pelatihan atau
pengembangan kompetensi
pegawai merupakan solusi
yang tepat untuk pemulihan
kinerja organisasi, karena tanpa
mengetahui pasti bahwa training
dapat menjawab kebutuhan
organisasi, pelatihan
beresiko hanya akan
menyebabkan pemborosan
waktu dan
dana.
Dalam urutan Desain Instruksional ADDIE (Analysis, Design,
Development, Implementation, Evaluation), menurut
Kirkpatrick, (gambar 1) TNA atau AKPK merupakan tahap
pertama dimana kebutuhan diklat, masalah instruksional
didefinisikan, sasaran dan tujuan diklat ditentukan, juga
pengetahuan dan keterampilan dasar peserta diklat digariskan.
Tahap kegiatan berikutnya yaitu perancangan,
pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi diklat mutlak
ditentukan berdasarkan hasil analisis pada tahap ini.
Analisis (dalam hal ini TNA) menduduki urutan pertama
yang harus dilakukan sebelum menDesain, menDevelop/
mengembangkan dan mengImplementasikan suatu pelatihan.
Lingkaran Evaluasi diletakkan pada tahap terakhir
sebelum analisis pelatihan selanjutnya, namun dapat
juga diletakkan di tengah sebagai sentral, yang diartikan
bahwa evaluasi dapat dilakukan pada pasca setiap tahapan
Analisis kebutuhan, perancangan, pengembangan maupun
pelaksanaan pelatihan.
3. Peserta diminta menempatkan kompetensi
masing-masing (2) pada peta analisis kompetensi
pegawai (gambar 2) menurut pikiran
dan kesadaran masing-masing (yang di akhir
kegiatan dikonfirmasikan ke pimpinannya):
a. Kwadran I bagi staff yang
merasa menyukai, memiliki
“passion” mengerjakan
jenis pekerjaan tertentu,
namun memposisikan
diri tidak cakap (berada
di posisi 1 -3 dalam
skala kapabilitas 1-5)
mengerjakannya
b. Kwadran II bagi staff yang merasa
menyukai, memiliki “passion”
mengerjakan jenis pekerjaan
tertentu, dan memposisikan
diri cakap (berada di posisi 4
atau 5 dalam skala abilitas 1-5)
mengerjakannya.
c. Kwadran III bagi staff
yang memposisikan
diri dapat/ cakap
Gambar 1. SIKLUS ADDIE DALAM PERENCANAAN TRAINING menurut Kirkpatrick (berada di posisi
4 dan 5 dalam
skala kapabilitas
1-5) mengerjakan suatu kompetensi pekerjaan,
namun tidak memiliki passion untuk
mengerjakannya
d. Kwadran IV bagi staff yang merasa tidak
menyukai atau tidak memiliki “passion”
mengerjakan jenis pekerjaan tertentu, juga
memposisikan dirinya tidak cakap (berada
di posisi 1-3 dalam skala abilitas 1-5) dalam
mengerjakannya.
5. Sementara itu melalui metode wawancara/ pengisian
kuesioner pimpinan unit (Kepala UPT dan Kepala-
Kepala Seksi/ Tata Usaha) juga dimintakan masukan
tentang target kinerja yang mereka harapkan serta
PETA ANALISIS PERFORMA KINERJA
TIDAK BISA
BISA
Metode Analisis Kebutuhan Pengembangan Kompetensi
Dalam melaksanakan metode analisis untuk mengidentifikasi
kebutuhan pengembangan kompetensi dilakukan
melalui berbagai metode dan teknik. Pada kegiatan analisa
kebutuhan pengembangan kompetensi (AKPK) yang
dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan BMKG
dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Peserta FGD di bagi ke dalam 4 (empat) kelompok
jabatan/ profesinya.
2. Peserta diminta menuliskan kompetensi utama
yang paling dibutuhkan untuk profesi pekerjaannya
(staf yang merangkap pekerjaan sebagai analis/
pengamat/ teknisi/tenaga administrasi diminta
menuliskan beberapa kompetensi sesuai profesi
masing-masing)
SUKA
TIDAK SUKA
I
IV
II
III
Gambar 2. Peta Analisis Kompetensi Pegawai (Sumber:Balling dan
Barbazette, 1995)
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 33
tingkat pencapaian kinerja UPT termasuk komponen
kesempatan pelatihan yang sudah dan masih
diperlukan bagi staff di UPT nya.
6. Di akhir kegiatan AKPK, dipaparkan distribusi
penempatan posisi kompetensi hasil FGD (langkah 1-3)
di forum Kepala dan tim manajerial UPT dengan mencocokkan
hasil wawancara lisan dan tertulis (4), khususnya
tentang kebutuhan diklat untuk mendukung tupoksi
unit kerjanya.
Hasil temuan di lapangan.
Berdasarkan pemetaan di beberapa UPT yang kami kunjungi,
diperoleh beberapa list kebutuhan pengembangan kompetensi
yang diklasifikasikan menurut 4 kelompok profesi
pegawai, yaitu kelompok analis/ prakirawan cuaca/forecaster,
kelompok pengamat/observer, kelompok teknisi
dan kelompok tata usaha. Di sebagian besar UPT tugas
fungsi observer serta komputasi (IT) dirangkap oleh analis/
forecaster dan teknisi. Bahkan beberapa fungsi administrasi
(bendahara, pejabat pembuat SPM, dll) dilaksanakan
oleh kelompok analis, pengamat dan/ atau teknisi. Hal ini
disebabkan oleh masalah kekurangan SDM yang seringkali
muncul di UPT dan berdampak pada bias nya uraian
pengembangan kompetensi yang dibutuhkan oleh setiap
kelompok. Disamping itu kami juga menangkap harapan/
keinginan untuk mendapat kesempatan pelatihan bagi staff
dari Kepala dan beberapa pejabat managerial UPT.
Tabel 1 berikut menunjukkan daftar kebutuhan
pengembangan kompetensi pegawai dari Stasiun Meteorologi
Supadio Pontianak, Stasiun Klimatologi Mempawah,
Stasiun Meteorologi Binaka Gunungsitoli dan Stasiun Geofisika
Gunung Sitoli.
Tabel 1. List Kesenjangan Kompetensi 4 kelompok profesi
pegawai
Kelompok Profesi
Analis/ Forecaster
KESENJANGAN KOMPETENSI
1. Model Prakiraan global, regional dan lokal (MK)
2. Tehnik Analisis Cuaca (M)
3. Interpretasi citra Radar dan Satelit Cuaca (MK)
4. Pola Hujan Lokal (MK)
5. Penguasaan statistik dan GIS (K)
6. Standar Analisa & Pelayanan (MK)
7. Teknis Diseminasi Informasi (MKG)
8. Analisa Cuaca Ekstrim (M)
9. Pembuatan shakemap (G)
10. Pembuatan peta evakuasi tsunami (G)
11. Pengolahan data petir (G)
12. Penguasaan software analisa geofisika (G)
13. Kemampuan memprediksi gempabumi dengan prekursor magnet bumi (G)
14. Kemampuan menganalisa signal seismic (G)
Observer
1. Tehnik pembuatan QAM, Metar serta penyebaran ke lokal bandara (M)
2. Pembuatan sandi Synop (M)
3. Pengamatan Observasi Meteorologi Permukaan dan Udara Atas (M)
4. Interpretasi Data Radar dan Satelit (MK)
5. Pengoperasian BMKG Soft (MKG)
6. SOP jika terjadi kecelakaan pesawat (M)
7. Pengoperasian pengamatan geofisika (G)
8. Konsep dasar pengamatan meteorologi (synop) (MG)
9. Konsep dasar pengamatan klimatologi (KG)
Teknisi
1. Pengetahuan tentang Ilmu Dasar Elektronika & Rangkaian Listrik Arus Lemah dan
Kuat
2. Software computer, OS Linux
3. Hardware computer dan jaringan komunikasi
4. Pengoperasian dan pemeliharaan alat pengamatan meteorologi
5. Pemahaman tentang Instrumentation Guide WMO No. 8
6. Pengoperasian dan pemeliharaan alat pengamatan geofisika
7. Memahami konsep jaringan komunikasi
Tata Usaha
M=Meteorologi K=Klimatologi G=Geofisika
1. Tata kelola Arsip
2. Aplikasi keuangan terupdate, termasuk aplikasi KPPN daerah setempat
3. Asset BMN
4. Pengadaan Barang dan Jasa
5. Menguasai ilmu perbendaharaan
34
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Distribusi Kompetensi Pegawai
Selanjutnya, setelah mendapatkan hasil dari yang telah
diuraikan diatas, kemudian dilakukan analisis solusi. Solusi
tindak lanjut dari setiap posisi kompetensi pegawai yang
direkomendasikan untuk dilakukan Kepala UPT/ pimpinan
unit kerja terhadap staff yang memposisikan diri di kwadran
I- IV pada gambar 2 diuraikan sebagai berikut:
I. Kelompok yang bisa/ mampu namun tidak suka
mengerjakan:
II.
--
Mendiskusikan tentang alasan ‘ketidak sukaan/
ketidak bersediaan’ untuk melakukan pekerjaan
tersebut
--
Memberikan umpan balik dan bimbingan (coaching)
--
Mengawasi praktek pekerjaannya
Kelompok yang bisa/ mampu dan suka mengerjakan:
--
Mencari alasan utama penurunan performa kinerja
--
Menyediakan waktu dan sarpras yang cukup
--
Menerapkan metoda pembimbingan (coaching)
III. Kelompok yang suka
mengerjakan:
--
Mengadakan training ketrampilan
namun kurang mampu
--
Melakukan magang /on the job training
--
Mengevaluasi kelengkapan peralatan dan sarprasnya
--
Menemukan penyebab lain kesulitaanya
IV. Kelompok yang tidak suka dan tidak bisa
mengerjakan:
--
Memberikan training ketrampilan
--
Mengawasi praktek
--
Mendiskusikan sikap ‘ketidak bersediaan’nya
melakukan pekerjaan tersebut
--
Mengajak melihat keuntungan/ hasil
--
Menemukan penyebab lain keberatannya
Data di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar Analis/
Forecaster dan teknisi menempatkan dirinya di kwadran
I dan II, yang menunjukkan bahwa mereka menyukai
pekerjaannya dengan berbagai level kemampuan kompetensi.
Sementara itu sebagian kelompok administrasi/ TU memposisikan
diri di kwadran I dan III, dimana dapat diartikan
bahwa mereka belum banyak mendapat kesempatan pelatihan
ketata usahaan dan aplikasi keuangan, yang di sebagian
UPT menjadi ‘beban’ karena adanya tuntutan sertifikasi dan
ketertinggalan dari update informasi terkait baik dari pusat
maupun daerah setempat .
Hal menarik lainnya muncul di kalangan sebagian kelompok
pengamat/ observer yang memposisikan diri di kwadran III
dan IV. Kajian dan diskusi lebih lanjut menengarai penyebab
utama dari ketimpangan tersebut antara lain sebagai
berikut:
(1) Banyak pengamat yang fungsinya dirangkap oleh analis
dan/atau teknisi
(2) Terdapat pengamat yang memiliki tugas mengamati
peralatan ‘titipan’ yang tidak sesuai dengan latar
belakang pendidikan/ pengetahuan peserta misalnya
peralatan pengamat meteorologi permukaan (sinoptik)
dan peralatan pengamat Kualitas Udara yang
ditempatkan di stasiun Geofisika
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pemetaan terhadap kesenjangan kompetensi
pegawai yang dilakukan pada kegiatan AKPK di empat UPT
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika secara umum dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Permasalahan keterbatasan SDM dibandingkan dengan
tuntutan tugas fungsi pokok yang ditemui di sebagian
besar UPT mengakibatkan fungsi pekerjaan pengamat
dan administrasi dikerjakan rangkap oleh staff yang ada
(dengan profesi analis dan/ atau teknisi)
b. Hasil pemetaan analisis performa kerja (bisa vs suka)
menunjukkan permasalahan utama muncul ketika
kelompok jabatan teknisi diminta merangkap sebagai
pengamat karena memang faktanya bahwa mereka tidak
memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman
yang mendukung pekerjaan pengamat sehingga mereka
tidak mempunyai passion untuk melakukan pekerjaan
tersebut.
Saran solusi yang dapat kami rekomendasikan untuk menjembantani
kesenjangan kompetensi pegawai adalah
mengkomunikasikan hasil temuan AKPK dengan Pembina
teknis dari Kedeputian Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.
Di samping itu perlu dilakukan kaji ulang dan pendalaman
terhadap beban kerja dan uraian tugas UPT,
penyesuaian kurikulum yang memenuhi kompetensi di STM-
KG. Penetapan Standard Kompetensi Kinerja Khusus untuk
setiap unit pelaksana teknis merupakan langkah wajib ke
arah perbaikan kinerja pejabat fungsional dan peningkatan
performa instansi BMKG ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Barbazette Jean, Training Need Assessment: Methods,
Tools and Techniques, Pfeiffer, 2006.
2. Berita Acara Pelaksanaan Kegiatan Analisa Kebutuhan
Pengembangan Kompetensi di UPT Gunung Sitoli,
Nurhayati, Malik AJ, Adyanto C, 2020
3. Ed Forest: The ADDIE Model: Instructional Design. Educational
Technology, 2018.
4. Laporan Tim AKPK Pontianak, Pusdiklat BMKG, 2020.
5. Training Needs Assessment -WMO Resources for Trainers
version 2.0, 2015, https://etrp.wmo.int/mod/resource/view.php?id=8500.
Nurhayati & Widodo
Widyaiswara Pusdiklat BMKG
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 35
TRAINING DEVELOPMENT PLAN
(GROUP FELLOWSHIP TRAINING ON THE
ENHANCEMENT OF NWP WMO – BMKG)
“A goal without a plan is only a dream .” (Brian Tracy)
Idealnya, dalam mempersiapkan suatu pelatihan.
perlu dibuat dokumen perencanaan pelatihan guna
memastikan penyelenggaraan pelatihan yang efisien dan
efektif. Sehubungan dengan hal tersebut, World Meteorological
Organization (WMO) memiliki kriteria dan standar
yang dibakukan menjadi dokumen perencanaan pelatihan
atau Training Development Plan (TDP) atau Training Plan.
Education and Training Programme WMO (ETRP WMO)
memiliki satu pelatihan khusus yang diselenggarakan rutin
setiap tahunnya bagi para trainer/lecturer di berbagai National
Meteorological and Hydrological Services (NMHs) terkait
penyusunan dokumen ini yaitu training of WMO Online
Course for Trainers dengan dokumen Training Development
Plan sebagai outputnya.
Tujuan pembuatan Training Development Plan sendiri
adalah untuk mengetahui poin-poin terkait pengembangan
pembelajaran seperti identifikasi pengetahuan, keterampilan
yang dibutuhkan pada suatu pelatihan, identifikasi sumber
daya yang dibutuhkan, jenis aktivitas pembelajaran, model
evaluasi pelatihan dll.
Dikutip dari artikel Organizing and Managing Training Events,
oleh Mustafa Adiguzel dari Education and Training Programme
WMO, menyatakan bahwa salah satu kegiatan pada
persiapan training adalah “Develop a work Planning Sheet.”
Selanjutnya, pada dokumen Guidelines for Trainers in Meteorological,
Hydrological and Climate Services, WMO No-1114,
disebutkan tentang Instructional System Design yaitu suatu
pendekatan untuk memastikan pengalaman belajar yang
efisien, efektif dan menarik (engaging). Model yang biasa
digunakan adalah ADDIE Model, yang terdiri atas 5 tahapan
yaitu Analyze, Design, Develop, Implement dan Evaluate.
Model ADDIE selanjutnya digambarkan pada proses
pembelajaran sebagai training cycle (Gb. 1). Siklus ini terdiri
dari komponen yang saling terkait berupa langkah-langkah
sistematis, biasanya dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan
belajar dan berakhir dengan penilaian/evaluasi belajar.
Selanjutnya, dokumen TDP yang baik haruslah mencakup
hal-hal sebagai berikut:
• Organizational Context
• Learning Needs
• Learning Solutions
• Learning Activities and resources
• Learning Delivery
• Learning Evaluation
Penyusunan TDP telah dilakukan oleh BMKG InaRTC
sejak tahun 2014, sesuai dengan kriteria dan standar
yang ditetapkan oleh WMO. Selanjutnya, penulis akan
memaparkan rangkuman konten TDP Training on the Enhancement
of NWP WMO 2020 yang disusun bersama-sama
sejak tahun 2019 oleh Education and Training Programme
WMO dan BMKG InaRTC.
GROUP FELLOWSHIP TRAINING ON THE ENHANCEMENT
OF NWP WMO – BMKG
Title of Course
Training on the Enhancement of Numerical Weather Prediction
Course Location
BMKG Regional Training Centre, Citeko, Jawa Barat, STMKG
Tangerang dan BMKG Pusat Jakarta
Course Description
Indonesia Regional Training Centre for WMO RA V atau
BMKG InaRTC tahun 2020 ini mendapatkan kepercayaan dan
amanah dari World of Meteorological Organization (WMO)
dalam perannya sebagai RTC untuk meningkatkan kapasitas
operasional prakiraan cuaca negara-negara RA V khususnya
di bidang Numerical Weather Prediction (NWP) melalui
penyelenggaraan Training on The Enhancement of NWP.
Negara anggota RAV WMO yang nantinya akan berpartisipasi
sebagai peserta pada training ini berjumlah 23 yaitu Brunei
Darussalam, Cook Island, Fiji, Kiribati, Malaysia, Niue, Papua
New Guinea, Phillipines, Singapore, Samoa dan lain-lain.
Training ini di latarbelakangi oleh negara-negara RA V WMO
yang terletak di daerah rawan bencana yang rentan akan
fenomena cuaca berbahaya seperti siklon tropis, hujan deras
dan angin kencang yang berpotensi menimbulkan kerugian
baik pada aspek ekonomi maupun sosial negara tersebut.
Hal ini dalam kaitannya dengan prediksi cuaca, khususnya
pemanfaatan produk NWP serta skill operationalnya yang
mumpuni selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan
layanan peringatan dini cuaca.
Gambar 1. Training Cycle (WMO Resouces for Trainer doc.)
Menyikapi GAP kompetensi dalam pembuatan layanan
peringatan dini cuaca di negara-negara RA V tersebut
maka WMO bekerjasama dengan BMKG berinisiatif
menyelenggarakan training yang berfokus pada
pemanfaatan NWP yang rencananya akan diselenggarakan
tahun 2020 ini yaitu Training on The Enhancement of Nu-
36
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Serambi Ilmu
merical Weather Prediction. Sejak pertengahan tahun 2019,
BMKG secara aktif mengkomunikasikan persiapan training
ini dengan WMO baik dalam hal pembuatan Training Development
Plan (TDP) / silabus maupun penyusunan Circular
Letter ke negara-negara RA V, yang pada saat ini di awal
tahun 2020 telah disepakati konten TDP serta mekanisme
penyelenggaraan training dimaksud.
Learning Outcomes
Training ini berfokus pada praktek pemanfaatan produkproduk
NWP khususnya WRF model untuk identifikasi dan
analisis fenomena cuaca dengan penekanan pada simulasi
system cuaca skala meso, teknik verifikasi model dan parameterisasi
model fisis menggunakan model Weather
Research and Forecasting (WRF). Training ini bertujuan
untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan dan ketrampilan
peserta dalam bidang NWP khususnya model WRF
dan mengimplementasikannya sesuai kebutuhan negara
peserta. Para peserta diharapkan mampu meningkatkan
kapasitas NWP resolusi tinggi dengan mengimplementasikan
model WRF dalam operasi, analisis dan interpretasi di
operasional layanan informasi cuaca.
Associations to Standards
• Basic Instructional Package for Meteorological Technicians
(BIP-MT) as described in WMO 1083 – Manual
on the Implementation of Education and Training
Standards in Meteorology and Hydrology
• Technical Regulations Basic Documents No.2, Vol I –
General Meteorological Standards and recommended
Practices
• Silabus kediklatan Meteorologi pada Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika
Course Objectives
Kompetensi kerja yang diharapkan setelah mengikuti training
ini didasarkan pada WMO Competency Framework for
Public Weather Services Forecaster and Advisors yaitu:
• Menjelaskan pengetahuan tentang Basic NWP
• Mengoperasikan software R Program dan GrADS
• Menggunakan teknik-teknik WRF untuk analisis dan
interpretasi data
• Menggunakan model NWP untuk prakiraan fenomena
cuaca berbahaya
Hasil pembelajaran yang diharapkan pada training ini yiatu
peserta mampu:
• Memahami penggunaan dan manfaat model NWP
untuk operasional
• Mengoperasikan perintah dasar Linux
• Mengoperasikan model WRF untuk simulasi fenomena
cuaca ekstrim
• Menampilkan luaran model WRF menggunakan software
R Program
• Memproses ensemble dari luaran model WRF
• Mengidentifikasikan parameter cuaca ekstrim dari
luaran post processing
Target Audience and Qualifications
Kualifikasi umum untuk peserta yang dipersyaratkan pada
training ini yaitu 15 orang peserta dari negara-negara RA
V, latar belakang akademik Sarjana ataupun yang selevel,
berusia maksimal 35 tahun dan memiliki ketrampilan
berbahasa inggris yang cukup baik. Selanjutnya, kualifikasi
teknis yang juga dipersyaratkan yaitu berpengalaman minimal
2 tahun sebagai meteorologis, memiliki pengetahuan
dan keterampilan dasar model NWP.
Training NWP selanjutnya akan diselenggarakan dalam 3
tahapan sebagai berikut:
1st
Phase
2nd
Phase
3rd
Phase
Objectives Activities Output
8 minggu
pelatihan
dengan aktivitas
pembelajaran
seperti ceramah,
diskusi, studi
kasus, collaborative
decision
making, latihan
soal, laporan terkait
project dan
action plan
Meningkatkan
kemampuan
operational NWP
resolusi tinggi
menggunakan
model WRF untuk
layanan meteorology
Mengembangkan
action plan
bersama para
mentor dan experts
di BMKG
Meningkatkan
pemanfaatan NWP
(WRF Model) untuk
meningkatkan
operasional
layanan informasi
cuaca
Mengembangkan
action plan dan
strategi implementasi
Konfirmasi
pelaksanaan
action plan
dengan identifikasi
masalah dan
strategi terkait
solusi implementasi
di negara
peserta
Mengimplementasikan
model WRF di
operasional
layanan
informasi cuaca
Mentoring jarak
jauh/online
Mengunjungi
negara peserta
terpilih untuk
monitoring
dan evaluasi
implementasi action
plan serta
mengidentifikasi
dampak,
tantangan
dan opportunity
terkait
keberlangsungan
action plan
Action Plan
Laporan
singkat
Laporan
kunjungan
ke negara
peserta
terpilih
terkait
implementasi
action
plan (WRF
Model) pada
operasional
layanan
informasi
cuaca
Training ini memiliki konten dengan rincian sebagai berikut:
1. Introduction to NWP Application
2. Ubuntu Linux System Operation
3. NWP Basic
a. The Principles and Concepts of NWP
b. Unreliability of NWP
c. NWP Equation
d. Types of NWP Models
4. Consortium for Small-scale Modeling (COSMO)
5. Ubuntu Linux System Operation
6. Weather Research and Forecasting (WRF) Model
a. WRF Model Introduction and Application
b. WRF model parametrization
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 37
c. WRF Installation
d. WRF Simulation Procedure
e. WRF Simulation of Extreme Weather Events
7. Post-Processing Application and Visualization
a. Application of Post-Processing WRF Model using
Grads, VAPOR and R Programme
b. Displaying WRF Model
c. Interpreting WRF Products to identify weather parameter
8. Verification Techniques
9. WRF Simulation in High Performance Computing (HPC)
10. Advance WRF Model
a. WRF Data Assimilation
b. WRF Ensemble
c. WRF Tropical Cyclone
11. Ocean Model
a. Introduction to Ocean Wave Model
b. Ocean Wave Model Application
12. Climate Model
a. Introduction to Climate Model
b. Regional Climate Model (RegCM) Application
13. Application on NWP products in BMKG Daily Weather
Forecast (Practical Session)
Systems BMKG juga akan dimanfaatkan untuk diskusi,
latihan, dokumentasi dan distribusi materi pembelajaran ke
peserta seperti bahan ajar, bahan tayang, quiz, penugasan
dan forum diskusi.
Aktivitas pembelajaran yang akan diberikan diantaranya
ceramah, diskusi, studi kasus, pengambilan keputusan
bersama (collaborative decision making), latihan, dan action
plan.
Learning Assessment and Evaluation
Evaluasi awal/initial assessment, atau pada pelatihan biasa
kita kenal dengan misalnya: pretest, dilakukan melalui
presentasi singkat terkait country report penyelenggaraan
NWP untuk operasional di negara peserta. Evaluasi formative
akan dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung
misalnya: diskusi, tanya jawab, quiz atau studi kasus,
sedangkan evaluasi summative dilakukan pada akhir
pembelajaran melalui action plan yang dibuat oleh peserta.
Instructors and Qualifications
Tenaga pengajar dan mentor pada pelatihan ini berasal
dari para meteorologis berpengalaman, dosen dan peneliti
di BMKG, serta dosen dari Institut Teknologi Bandung (ITB)
Bandung.
Ratih Prasetya, S.Si., MMSI.
(Widyaiswara Pertama)
Pre-course Content, Activities or Assesment
Peserta diminta untuk menyiapkan presentasi singkat terkait
operasional dan pemanfaatan model serta produk NWP
di negara masing-masing untuk selanjutnya dikembangkan
pada action plan sejalan dengan materi yang diberikan pada
saat training, dengan didampingi oleh para mentor/experts
BMKG.
Course Format
Training akan dilaksanakan selama 6 minggu di kelas dan 2
minggu untuk sesi On The Job Training di Gd. Operasional
Meteorologi, BMKG Pusat Jakarta. Learning Management
38
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
SKALA LIKERT BUKAN SKALA RIBET
Serambi Ilmu
Judul artikel ini terinspirasi dari sebuah kalimat yang
muncul pada sesi diskusi kegiatan evaluasi pelatihan
pusdiklat BMKG semester II tahun 2019, kegiatan
evaluasi sendiri dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal
6-9 Desember 2019. Terdapat beberapa agenda dalam
kegiatan evaluasi, salah satunya yaitu agenda paparan dari
perwakilan masing-masing panitia pelatihan, dalam hal
ini mayoritas disampaikan oleh widyaiswara. Satu persatu
perwakilan panitia pelatihan menyampaikan hasil evaluasinya
di depan peserta evaluasi dan jajaran pimpinan
pusdiklat. Hingga paparan evaluasi pelatihan yang keempat
semua berjalan lancar, perdebatan baru muncul pada
saat paparan evaluasi pelatihan kelima terkait hasil evaluasi
pelatihan kepemimpinan tingkat III. Ada perbedaan
teknik analisis yang dilakukan oleh panitia pelatihan kelima
dengan empat panitia pelatihan sebelumnya. Perbedaan
terjadi pada perlakuan analisis terhadap data hasil kuisioner
(skala likert), panitia kelima memperlakukan data hasil kuisioner
secara komposit dengan tipe data interval, sedangkan
empat panitia lainnya memperlakukan setiap butir
pertanyaan sebagai data interval. Perdebatan tentang skala
likert berlangsung lama hingga kurang lebih sampai jam
21.00 WIB malam dan akhirnya diputuskan untuk didiskusikan
khusus pada waktu lain. Berlarut-larutnya perdebatan
membuat kurang nyaman sebagian peserta evaluasi pelatihan
hingga muncul kalimat “Gara-gara si likert jadi ribet”.
Untuk menghindari persepsi bahwa skala likert adalah skala
yang ribet, penulis mencoba untuk membahas skala likert
sedemikian rupa supaya mudah dimengerti.
Sejarah Skala Likert
Rensis Likert
Untuk lebih mengenal
tentang skala likert,
dalam sub bagian
artikel ini akan dibahas
terlebih dahulu biodata
penemunya,
kemudian dilanjutkan
dengan pembahasan
sejarah lahirnya atau
awal kemunculan
skala likert. Secara
umum berikut biodata/
rincian profile
penemu skala likert,
nama lengkapnya
Rensis Likert lahir di
Cheyenne-Wyoming
United State of America
(USA) pada tanggal
05 Agustus 1903 dari
pasangan George
Herbert Likert dan Comelia Adrianne. Rensis Likert adalah
seorang ahli psikolog sosial Amerika, gelar masternya yaitu
MBA (Master of Business of Administration) dalam bidang
ekonomi diraihnya dari University of Michigan pada tahun
1926. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke Universitas
Columbia dan meraih gelar jenjang lebih tinggi dari
sebelumnya yaitu Ph.D pada tahun 1932. Bidang keilmuan
yang didalami pada jenjang Doktoral yaitu psikologi (Harry
& Deborah, 2012).
Menurut Likert (1932) selama bertahun-tahun dari sebelum
penelitian yang dilakukannya, telah banyak metode
yang digunakan untuk mengukur karakter dan sifat-sifat
kepribadian. Sejarah skala likert dimulai dari adanya kesulitan
yang dihadapi dalam melakukan pengukuran sikap, karakter
dan kepribadian terkait alur transfer data kualitatif menjadi
kuantitatif untuk tujuan analisis data (Harry & Deborah,
2012). Dalam rangka merespon kesulitan pengukuran sikap,
karakter dan sifat-sifat kepribadian seseorang, pada tahun
1932 Likert menyusun prosedur untuk mengukur skala sikap,
skala yang digunakan ini dikenal dengan skala likert. Saat
itu skala likert yang orisinal menggunakan pertanyaan yang
beruntun (series of question). Hingga saat ini penggunaan
skala likert telah berkembang pada berbagai bidang, namun
demikian dalam perkembangan tersebut ditemui juga
beberapa kekeliruan dalam penggunaannya. Kekeliruan
ini muncul dikarenakan pengguna tidak memahami secara
benar konsep skala likert, sehingga perlu ada pelurusan dan
penjelasan yang mudah dipahami tentang skala likert.
Tipe Data Berdasarkan Skala Pengukuran
Pemahaman skala likert terkait tipe data yang dihasilkan,
akan lebih mudah bila penguasaan terhadap tipe data
berdasarkan skala pengukuran dikuasai terlebih dahulu.
Hasil temuan steven terkait tipe data berdasarkan hasil
pengukuran, terdapat empat kategori tipe data yaitu : nominal,
ordinal, interval dan rasio (Ary, Jacobs, & Sorenson,
2010). Dari empat kategori tipe data yang ada dikelompokan
kedalam dua kelompok peubah (kategorik dan pengukuran),
dua tipe data kelompok peubah kategorik yaitu nominal
dan ordinal, sedangkan selebihnya yaitu interval dan rasio
masuk dalam kelompok peubah pengukuran (Mattjik & Sumertajaya,
2006). Secara spesisifik empat tipe data ini dikenal
juga skala pengukuran Steven.
Skala nominal merupakan skala dimana angka-angka yang
disajikan hanya berfungsi sebagai nama penggolongan atau
simbol. Angka yang ada pada skala nominal tidak mengukur
besaran dari objek data yang disajikan. Sebagai ilustrasi
pada pengelompokan jenis kelamin, angka 1 sebagai kode
jenis kelamin laki-laki dan angka 0 (nol) sebagai kode
perempuan. Pada kasus ini angka 1 tidak lebih besar dari
angka 0, begitu juga sebaliknya angka 0 tidak lebih kecil dari
angka 1. Angka 1 sebagai kode laki-laki tidak berarti bahwa
laki-laki lebih tinggi dari perempuan yang mempunyai kode
angka 0. Sehingga dalam kasus skala nominal angka-angka
yang berfungsi sebagai symbol dapat dipertukarkan tanpa
merubah makna dari objek datanya. Contoh data lainnya
yang masuk kategori nominal antara lain : agama, suku,
warna kulit, jurusan pada sekolah dan lain-lain.
Skala Ordinal tidak berbeda jauh dengan skala nominal,
angka-angka yang disajikan hanya berfungsi sebagai nama
penggolongan. Hal yang berbeda dengan skala nominal
bahwa angka-angka simbol pada skala ordinal sudah
memiliki tingkatan. Namun demikian jarak antara angkaangka
yang ada tidak menggambarkan sebagai ukuran jarak
sebenarnya, sehingga dengan demikian jarak angka-angka
pada beberapa tingkatan tidak dapat diartikan jaraknya
sama. Untuk lebih jelas berikut ilustrasi penggunaan data
tipe ordinal pada pengukuran sikap seseorang terhadap
suatu pernyataan, hal ini relevan dengan pembahasan skala
likert, ada lima tingkatan (Tabel.1) mulai dari sangat tidak
setuju hingga sangat setuju.
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 39
Tabel.1 Pengukuran skala sikap pada suatu pernyataan
Angka
Pernyataan sikap
5 Sangat Setuju
4 Setuju
3 Tidak Berpendapat
2 Tidak Setuju
1 Sangat Tidak Setuju
Dalam kontek pernyataan sikap diatas, angka-angka yang
ada sudah menyatakan tingkatan, namun demikian kita
tidak dapat mengukur jarak antara sikap setuju dengan
sikap sangat setuju, sehingga jarak antara angka pada setiap
tingkatan tidak dapat diperbandingkan.
Skala interval atau selang masuk dalam kategori skala
pengukuran, angka-angka yang disajikan selain sudah
memiliki tingkatan, jarak antar angka pun sudah dapat
dihitung sebagaimana angka biasa, namun jarak hasil
perhitungan tidak dapat diperbandingkan. Dua angka yang
berurutan memiliki jarak yang sama, namun demikian
nilai jaraknya sekali lagi sebagai penekanan tidak dapat
diperbandingkan. Hal ini karena nilai-nilai pada skala interval
tidak mempunyai nilai dasar/ 0 (nol) mutlak. Contoh
pada data suhu suatu benda, perbedaan jarak antara
suhu 5o dan 10o sama dengan perbedaan jarak suhu
antara 25o dan 30o, keduanya memiliki jarak yg sama
yaitu 5o, namun kondisinya tidak dapat diperbandingkan,
karena benda yang memilki suhu 10o bukan berarti
derajat panasnya dua kali benda yang memilki suhu 5o.
Contoh lainnya yaitu pada data tes standar kecerdasan IQ
(Intelegent quotient).
Pada kelompok skala pengukuran, skala rasio merupakan
skala perguruan tertinggi. Sama halnya dengan skala interval,
jarak antara dua nilai yang berurutan mempunyai ukuran
yang sama, namun kelebihan dari skala interval bahwa pada
skala rasio nilai-nilai yang ada dapat diperbandingkan karena
mempunyai nilai nol atau nilai dasar mutlak. Sebagai contoh
Panjang suatu benda 100 cm sama dengan dua kali Panjang
benda 50 cm, atau berat benda 50 kg sama dengan dua kali
berat benda 25 kg. Beda berat benda 20 kg dan 15 kg sama
dengan beda berat benda 35 kg dan 30 kg, yaitu 5 kg. Hal ini
karena satuan Panjang dan berat pada suatu benda memiliki
nilai dasar mutlak, nol centi meter sama dengan nol meter,
atau nol gram sama dengan nol kilo gram.
Ilustrasi Penggunaan Skala Likert pada Evaluasi Pelatihan
Satu hal penting yang harus diketahui sebelum melakukan
aktivitas analisis dengan menggunakan skala dan type data
likert adalah memahami skala pengukuran secara mendetail.
Dalam penggunaanya terdapat dua istilah yang perlu
dipahami oleh para pengguna (penulis/ peneliti) yaitu skala
likert dan data likert (tipe likert), kedua istilah ini kelihatan
sama namun pada dasarnya merupakan dua hal yang
berbeda. Data likert atau tipe likert diidentifikasi sebagai item
dari pertanyaan tunggal atau beberapa pertanyaan yang
berdiri sendiri tanpa ada tujuan untuk melakukan komposit
dari beberapa pertanyaan tersebut, dimana pertanyaan
yang diberikan menggunakan kriteria atau klasifikasi likert.
Berdasarkan skala pengkuran, maka data likert yang
muncul dari pertanyaan tunggal termasuk dalam kategori
data ordinal. Weksi (2013) memberikan contoh pertanyaan
tunggal atau beberapa pertanyaan berdiri sendiri yang
menggunakan klasifikasi likert seperti pada tabel.2 berikut :
Tabel.2 Contoh Pertanyaan Tunggal atau Beberapa Butir
Pertanyaan Saling Bebas
Butir Pertanyaan STS TS N S SS
1. Program pelatihan
sangat baik
untuk menambah
pengalaman saya
2. Program pelatihan
sangat baik
untuk menambah
pengalaman saya
3. Keterlibatan saya
dalam pelatihan
akan memberikan
perubahan pada
saya
4. Keterlibatan saya
dalam pelatihan
akan memberikan
perubahan pada
saya
5. Teman-teman
pelatihan akan
mempengaruhi
pekerjaan saya dimasa
mendatang
Keterangan : STS (Sangat Tidak Setuju); TS (Tidak Setuju);
N (Netral); S (Setuju); SS (Sangat Setuju)
Pertanyaan-pertanyaan pada tabel.2 diatas diukur dengan
menggunakan klasifikasi likert layaknya skala likert dan
hal semacam ini dikenal dengan data likert (tipe likert)
bukan skala likert. Butir-butir pertanyaan tersebut sifatnya
berdiri sendiri dan tidak dimaksudkan atau dirancang untuk
dibuat menjadi sebuah nilai komposit sebagai gabungan
dari 4(empat) pertanyaan yang ada. Sehingga menurut
pembagian tipe data berdasarkan skala pengukuran, tipe
data yang menggunakan klasifikasi likert pada setiap butir
pertanyaan tunggal masuk dalam kategor tipe data ordinal.
Analisis yang tepat untuk data ordinal antara lain : median
atau modus (ukuran pemusatan), frekuensi (ukuran variabilitas),
Kendall tau (analisis hubungan) dan Chi Square
(Pengujian Hipotesis dan statistik lainnya).
Lalu apa yang dimaksud dengan skala likert?
Menurut Likert (1932) dalam Weksi (2013) Skala likert
merupakan kombinasi dari empat atau lebih butir-butir
pertanyaan sehingga membentuk sebuah skor/nilai yang
merepresentasikan sifat individu, misalkan pengetahuan,
sikap, dan perilaku. Sebagai ilustrasi Harry & Deborah
(2012) memberikan contoh pertanyaan atau beberapa
pertanyaan yang dirancang untuk dikompositkan menjadi
sebuah nilai dalam mengukur kebiasaan makan seperti
pada tabel.3. Dalam kontek nilai hasil komposit 5(lima)
buah pertanyaaan pada tabel.3, kemungkinan akan
menghasilkan interval nilai yang berkisar dari 5 s/d 25 (5
– 25), sehingga nilai komposit ini termasuk dalam kategori
data interval. Analisis yang dapat digunakan untuk
data interval antara lain : Rata-rata atau mean (ukuran
pemusatan), simpangan baku (ukuran penyebaran),
korelasi pearson (ukuran hubungan) dan Anova, Uji t, regresi
(pengujian dan statistik lainnya).
40
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Tabel.3 Contoh Pertanyaan Skala Likert (komposit beberapa pertanyaan)tantang Kebiasaan Makan
1. Saya makan makanan sehat secara rutin
2. Ketika saya membeli makanan, saya mengabaikan “junk food”
Butir Pertanyaan STS TS N S SS
3. Ketika mempersiapkan hidangan, saya mempertimbangkan kandungan lemak pada
makanan
4. Ketika mempersiapkan hidangan, saya mempertimbangkan kandungan gula pada
makanan
5. Diet makanan sehat penting bagi keluarga Diet makanan sehat penting bagi keluarga
Penggunaan skala likert dalam evaluasi pelatihan diantaranya untuk mengukur beberapa aspek, seperti aspek performa
tenaga pengajar (terdapat dua indakator : penampilan dan penguasaan materi), aspek bahan ajar, aspek metode
pembelajaran, dan aspek perencanaan diklat (terdapat dua indikator: kurikulum dan capaian belajar). Tabel.4 contoh hasil
pengolahan data 29 responden pada indikator kurikulum yang terdiri dari 10 (sepuluh) butir pertanyaan. Adapun klasifikasi
pengukuran yang digunakan mengadopsi tipe likert 5 (lima) kelas : 1-Tidak baik, 2-Kurang baik, 3-Cukup baik, 4-Baik, dan
5-Baik sekali. Mengacu pada penjelasan sebelumnya bahwa data dari butir tunggal pertanyaan dengan menggunakan tipe
likert, maka hasil pengukurannya berupa data ordinal. Dengan demikian jelas bahwa terjadi kekeliruan pada tabel.4 yang
menghitung rata-rata (indeks nilai) dari data bertipe ordinal. Kekeliruan ini akan berdampak pada penarikan kesimpulan,
untuk lebih jelasnya berikut simulasi perhitungan indek nilai butir pertanyaan no.1 pada tabel.4: Jumlah responden N = 29,
Indeks nilai butir pertanyaan no.1 = 4.29 dengan claim evaluator masuk dalam kategori Baik Sekali.
Asumsi mayoritas responden menyatakan baik sekali (5) : 4.52, nilai
indeks ini (nilai minimum kategori baik sekali) merupakan kesimpulan ideal bila data dapat dihitung menggunakan operasi
matematika rataan. Namun karena keliru dalam menggunakan teknik analisis pada data bertipe ordinal maka berdampak
kesalahan pada penyimpulan.Dari simulasi diatas jelas bahwa kesimpulan evaluator tidak sejalan dengan sumber data
aslinya, karena nilai 4.29 yang menurut evaluator “baik sekali” bukanlah pendapat mayoritas dari responden sebagai sumber
data.
Dalam konsep teorema matematika, untuk dapat menggugurkan bahwa suatu teorema tidak benar cukup dengan menunjukan
satu kesalahan. Dengan demikian perhitungan rata-rata dari data ordinal cukup dengan bukti satu kekeliruan maka
telah dapat menggugurkan konsep perhitungannya.
Tabel.4 Contoh hasil pengolahan evaluasi pada indikator kurikulum
Aspek
Penilaian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kurikulum
Indeks Nilai 4,29 4,00 3,90 3,80 3,90 4,05 4,00 4,29 4,14 3,91
Kualifikasi
Baik
Sekali
Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Baik
Sekali
Persentase (%) 85,71 80,0 78,0 76,0 78,0 80,95 80,0 85,71 82,86 78,10
Kesimpulan
Pemilihan tipe data diawal pembuatan kuesioner sangat penting, karena akan menentukan pada tujuan yang ingin dicapai.
Untuk itu sebagai rekomendasi bila suatu evaluasi ingin menghasilkan sebuah nilai indeks, maka konsisten dari awal untuk
menggunakan tipe data interval atau rasio. Setelah penjelasan dalam artikel ini, semoga pembaca mempunyai pemahaman
yang baik, dengan demikian skala likert bukanlah skala yang membuat ribet bila dipahami secara seksama.
Referensi :
1. Ary, D., Jacobs, L. C., & Sorensen, C. (2010). Introduction to research in education (8th ed.). California: Thomson Wadsworth.
2. Harry N.B, Jr & Deborah A.B. 2012. Analyzing Likert Data. Journal of Extension, April 2012 Vol 50 Nomor.2.
3. Likert RA. 1932. Technique for the measurement of attitudes. Archives of Psychology, 140 pp: 1-55.
4. Mattjik AA & Sumertaja, IM, 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press – Bogor.
5. Weksi, B. 2013. Skala Pengukuran dan Jumlah Respon Skala Likert. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan, Volume 2 No.2
Hal :127-133.
Baik
Baik
Dede Tarmana, M.Si.
(Widyaiswara Madya)
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 41
Plus Minus Pegawai WFH (Work From Home)
Kemajuan teknologi membuat
Work From Home atau istilah
populernya telework menjadi
sebuah alternatif dalam dunia kerja.
Telework merupakan bentuk lain dari
kerja yang dilakukan di luar kantor
(Grant, Wallace, Spurgeon, 2013) di
mana teleworker dapat bekerja dari
rumah, satellite office ataupun secara
mobile (Kurland & Bailey, 1999; Hynes,
2014). Proses komunikasi dilakukan
dengan menggunakan perangkat
teknologi, seperti perangkat telepon,
komputer, penyimpanan data virtual
dan broad-band internet (Bentley et al.,
2016).
Telework pertama kali dilakukan di California
tahun 1970 guna mengurangi
kemacetan lalu lintas. Seiring dengan
kemajuan teknologi, telework telah
memberikan manfaat bukan hanya
bagi pegawai dan lingkungan namun
juga bagi organisasi (Kurland & Bailey,
1999). Bagi organisasi, telework
berdampak pada efisiensi anggaran
(Kurkland, N. B., & Bailey, 1999)
diantaranya penghematan biaya
operasional pegawai (Sa, Carnicer, &
Pe, 2002) serta berkurangnya biaya
sarana dan prasarana kantor seperti
penyediaan ruang kerja (Kurkland, N.
B., & Bailey, 1999).
Pada tahun 2013, CEO Yahoo Marissa
Mayer menghentikan program telework
karena melihat penurunan produktivitas
pada organisasi. Mayer menyatakan
bahwa memang pada mulanya orang
akan lebih produktif jika bekerja
sendiri namun jika bekerja terlalu lama
telework dapat menimbulkan stress.
Selain itu, menurutnya pegawai akan
lebih kolaboratif dan inovatif jika dapat
bekerja bersama (Goudreau, 2013).
Keputusan Yahoo untuk menghentikan
telework juga diikuti oleh beberapa
perusahaan lain diantaranya Best Buy
dan IBM.
Tindakan Yahoo memperlihatkan
bahwa implementasi telework bukan
hanya sebatas efisiensi anggaran
namun juga berhubungan dengan
bagaimana mempertahankan
produktivitas pegawai dan organisasi
secara berkelanjutan. Dengan
adanya beberapa perusahaan
yang menghentikan telework
memperlihatkan bahwa, telework
tidak lebih efektif dibandingkan
dengan bekerja di kantor. Telework
yang seharusnya diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas organisasi
ternyata membuat produktivitas
organisasi menurun. Adapun faktor
penyebab diantaranya yaitu implementasi
telework yang terlalu lama dapat
menurunkan produktivitas teleworker,
kolaborasi dan sinergi antar anggota
tim tidak terbentuk dengan baik, serta
implementasi telework yang belum
melibatkan komitmen semua pihak.
Namun, beberapa hasil penelitian
memperlihatkan bahwa telework
dapat meningkatkan produktivitas
pegawai (Kurland & Bailey, 1999)
bukan sebaliknya. Saat konsentrasi
kerja pegawai di kantor terganggu
karena masalah pribadi yang
merupakan tanggung jawabnya seperti
harus menjaga anak atau orang tua,
telework bisa menjadi solusi. Teleworker
dapat mengatur pekerjaan secara
fleksibel dan membuat keputusan
secara mandiri (Pasi Pyöriä, 2013)
sehingga dapat bekerja dengan efektif
(Grant et al., 2013). Menurut penelitian
kebebasan mengatur jadual kerja
sesuai dengan waktu yang dimiliki
membuat performa dan kepuasan
kerja pegawai meningkat (Vega, Anderson,
& Kaplan, 2015).
42
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Opini
Berbeda dengan penjelasan sebelumnya, menurut Kelly,
dkk. (2014) ketika telework dilakukan dalam waktu yang
cukup lama dan intensitas kerja menggunakan teknologi
meningkat, maka dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Hal ini terjadi karena teleworker mempunyai waktu istirahat
yang lebih sedikit dan kebiasaan duduk yang lebih lama
(Grant et al., 2013). Disisi lain, fleksibilitas yang seharusnya
dapat menciptakan keseimbangan antara kehidupan
kerja dan keluarga ternyata tidak dapat bertahan lama
(Grant et al., 2013). Teleworker yang sudah terlalu lama
telework mengalami konflik pribadi karena kesulitan dalam
memisahkan kehidupan pribadi dengan kerja dan bisa
menimbulkan stres (Golden, 2012). Dampak negatif ini akan
mempengaruhi produktivitas teleworker dan juga produktivitas
organisasi.
Produktivitas organisasi juga mengalami penurunan akibat
kurangnya sinergi dan kolaborasi tim (Sa et al., 2002). Lebih
jauh lagi, Lilian (2014) memperlihatkan bahwa kerjasama tim
tidak berjalan dengan baik karena ketidakhadiran anggota
tim yang telework. Meskipun kecanggihan teknologi dapat
menyelesaikan masalah komunikasi namun teknologi tidak
akan bisa menggantikan proses pembelajaran yang timbul
secara spontan saat berinteraksi dengan kelompok (Sa et al.,
2002). Selain itu, teleworker juga tidak merasakan interaksi
informal dengan rekan kerja (Patricia & Michael, 1998). Ketika
interaksi informal tidak terbentuk maka akan menimbulkan
isolasi sosial dan kepercayaan antar rekan kerja tidak dapat
terbentuk (Kurland & Bailey, 1999). Kondisi ini secara tidak
langsung akan mempengaruhi sinergi dan kolaborasi tim
seperti yang terjadi pada Yahoo.
Komitmen organisasi terhadap telework juga mempengaruhi
produktivitas organisasi ketika menerapkan telework
(Hunton & Norman, 2010). Organisasi harus memiliki komitmen
yaitu secara emosional maupun normatif (Sanchuli,
Razavi, & Emamgholizadeh, 2014). Komitmen emosional
akan terjadi jika adanya penerimaan dari semua pihak.
Salah satunya adalah komitmen dari pimpinan. Menurut
beberapa hasil penelitian, sebagian manajer menolak
telework karena tidak dapat secara langsung mengontrol
dan mengawasi teleworker bekerja (Kurland & Cooper, 2002;
Grant et al., 2013). Selain itu, manajer tidak yakin bahwa
teleworker akan setia kepada organisasi. Berdasarkan survey
informal yang dilakukan oleh Microsoft kepada pegawai
pemerintah dan komunitas kontraktor online pada tahun
2011 diperoleh bahwa 50% dari responden menyatakan
bahwa akan berganti pekerjaan jika menemukan tawaran
yang lebih baik serta kebijakan telework yang lebih
menguntungkan (Mahler, 2012). Sedangkan komitmen normatif
yaitu organisasi mempunyai aturan terkait telework.
Kegagalan telework karena tidak adanya komitmen normatif
terjadi pada pemerintah Irlandia. Pemerintah Irlandia tidak
memiliki peraturan dan petunjuk terkait telework sehingga
ada sebagian pihak yang tidak paham mengenai telework
dan implementasinya (Hynes, 2014).
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa penurunan
produktivitas dapat terjadi pada organisasi yang tidak
memiliki kesiapan dalam menerapkan telework. Telework
tidak akan meningkatkan produktivitas organisasi jika tidak
ada komitmen dari organisasi, pimpinan, teleworker dan
non-teleworker. Oleh sebab itu, jika organisasi ingin mengimplementasikan
telework dan berharap bisa memberikan
dampak positif maka harus memiliki persiapan dari berbagai
unsur organisasi.
Hal pertama yang harus disiapkan adalah, organisasi harus
memiliki regulasi yang mengatur telework. Pemerintahan
Amerika Serikat sukses dalam penerapan telework karena
sudah memiliki peraturan telework yaitu Federal Telework
Enhancement Act of 2010 (Brown, Smith, Arduengo, & Taylor,
2016). Selain itu, komitmen terbentuk jika organisasi
dan pegawai memiliki pengetahuan tentang telework,
salah satunya dengan pelatihan telework (Sa et al., 2002).
Organisasi juga harus memiliki kontrol manajemen terkait
telework (Kurland & Cooper, 2002), secara formal sesuai
dengan aturan kerja dan prosedur pengawasan yang
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 43
berlaku, secara informal dengan pelaporan langsung kepada
atasan serta melalui pengawasan teman sejawat (Dimitrova,
2003).
Selanjutnya, organisasi harus menentukan jenis pekerjaan
yang sesuai untuk telework. Kriteria pegawai yang cocok
telework juga menjadi faktor penentu. Penelitian yang
dilakukan oleh Caillier, (2016) pada pegawai Pemerintah
Amerika memperlihatkan bahwa pegawai dengan nilai Public
Service Motivation (PSM) tinggi cocok untuk telework karena
mereka memiliki motivasi tinggi dalam pelayanan sehingga
loyalitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Penentuan waktu
telework pun menjadi hal penting (Kurland & Cooper, 2002)
guna menghindari dampak kelelahan dan stress akibat
terlalu lama telework.
Hal terakhir yang perlu disiapkan oleh organisasi yaitu
infrastruktur berupa sarana yang menunjang keamanan
komunikasi dan mobilisasi informasi (Sa et al., 2002).
Menjadi perhatian utama bahwa organisasi harus memiliki
sistem keamanan informasi yang baik guna menghindari
kebocoran informasi dan kejahatan virtual.
Kedepannya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai penerapan telework pada negara berkembang,
dimana fasilitas teknologi komunikasi belum merata dan
belum adanya perhatian negara terkait telework. Selain itu,
perlu juga dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh
budaya dalam implementasi telework, seperti di Indonesia
yang memiliki budaya ketimuran yang berbeda dengan
budaya barat.
Referensi :
1. Bentley, T. A., Teo, S. T. T., McLeod, L., Tan, F., Bosua,
R., & Gloet, M. (2016). The role of organisational support
in teleworker wellbeing: A socio-technical systems approach.
Applied Ergonomics, 52, 207–215. https://doi.
org/10.1016/j.apergo.2015.07.019
2. Brown, C., Smith, P., Arduengo, N., & Taylor, M.
(2016). Trusting Telework in the Federal Government.
The Qualitative Report, 21(1), 87–101. Retrieved
from http://search.proquest.com.proxy1.ncu.
edu/docview/1761257187?accountid=28180%5Cnh
ttp://xt6nc6eu9q.search.serialssolutions.com/?ctx_
ver=Z39.88-2004&ctx_enc=info:ofi/enc:UTF-8&rfr_
id=info:sid/ProQ%253Aeducation&rft_val_fmt=info:ofi/
fmt:kev:mtx:journal&rft.g
3. Dimitrova, D. (2003). Controlling teleworkers: Supervision
and flexibility revisited. New Technology,
Work and Employment, 18(3), 181–195. https://doi.
org/10.1111/1468-005X.00120
4. Golden, T. D. (2012). Altering the Effects of Work and
Family Conflict on Exhaustion: Telework During Traditional
and Nontraditional Work Hours. Journal of
Business and Psychology, 27(3), 255–269. https://doi.
org/10.1007/s10869-011-9247-0
5. Grant, C. a., Wallace, L. M., & Spurgeon, P. C. (2013). An
exploration of the psychological factors affecting remote
e-worker’s job effectiveness, well-being and worklife
balance. Employee Relations, 36(5), 527–546. https://
doi.org/10.1108/ER-03-2012-0059
6. Hunton, J. E., & Norman, C. S. (2010). The Impact of Alternative
Telework Arrangements on Organizational Commitment:
Insights from a Longitudinal Field Experiment.
Journal of Information Systems, 24(1), 67–90. https://doi.
org/10.2308/jis.2010.24.1.67
7. Hynes, M. (2014). Telework Isn ’ t Working : A Policy Review.
The Economic and Social Review, 45(4), 579–602.
8. Kelly, E. L., Moen, P., Oakes, J. M., Fan, W., Okechukwu, C.,
Davis, K. D., … Casper, L. M. (2014). Changing Work and
Work-Family Conflict: Evidence from the Work, Family,
and Health Network. American Sociological Review, 79(3),
485–516. https://doi.org/10.1177/0003122414531435
9. Kurkland, N. B., & Bailey, D. E. (1999). The advantages
and challenges of working here, there anywhere, and
anytime. Organizational Dynamics, 28(2), 53–68. https://
doi.org/10.1016/S0090-2616(00)80016-9
10. Kurland, N. B., & Bailey, D. E. (1999). Telework: The Advantages
and Challenges of Working Here, There Anywhere,
and Anytime. Organizational Dynamics, 28(2),
53–68. https://doi.org/10.1016/S0090-2616(00)80016-9
11. Kurland, N. B., & Cooper, C. D. (2002). Manager control
and employee isolation in telecommuting environments.
Journal of High Technology Management
Research, 13(1), 107–126. https://doi.org/10.1016/
S1047-8310(01)00051-7
12. Lilian, S. C. (2014). Virtual Teams: Opportunities and
Challenges for e-Leaders. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 110, 1251–1261. https://doi.org/10.1016/j.
sbspro.2013.12.972
13. Mahler, J. (2012). The Telework Divide: Managerial and
Personnel Challenges of Telework. Review of Public
Personnel Administration, 32(4), 407–418. https://doi.
org/10.1177/0734371X12458127
14. Pasi Pyöriä. (2013). Managing telework: risks, fears and
rules. Management Research Review, 34(4), 386–399.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1108/MRR-09-2015-
0216
15. Patricia, L., & Michael, N. (1998). The Impact of Gender,
Occupation, and Presence of Children on Telecommuting
Motivations and Constraints. Journal of the American
Society for Information Science, 49 (12)(Special Issue on
Social Informatics), 1115–1134.
16. Sa, A. M., Carnicer, M. P. D. L., & Pe, M. P. (2002). Benefits
and barriers of telework : perception differences of human
resources managers according to company ’ s operations
strategy. Technovation, 22, 775–783.
17. Sanchuli, S., Razavi, H. R., & Emamgholizadeh, S. (2014).
The relationship between teleworking , employee loyalty
and organizational commitment from the perspective of
medical experts of golestan province. International Research
Journal of Management Sciences, 2(1), 16–22.
18. Vega, R. P., Anderson, A. J., & Kaplan, S. A. (2015). A Within-Person
Examination of the Effects of Telework. Journal
of Business and Psychology, 30(2), 313–323. https://
doi.org/10.1007/s10869-014-9359-4
Nina A. Sasmita, S.Si.,M.Si.,M.PSit
(Widyaiswara Muda)
44
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Opini
“BERLAKUNYA KETENTUAN BENDAHARA
NASIONAL TERSERTIFIKASI”
Sejak ditetapkannya Peraturan Presiden nomor 7 tahun
2016 tentang Sertifikasi Bendahara Pada Satuan Kerja
Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
maka setiap Bendahara satuan kerja pengelola APBN wajib
tersertifikasi yang dibuktikan dengan kepemilikan nomor
sertifikasi atau nomor register bendahara. Sertifikasi ini
bertujuan untuk menilai karakter, kompetensi, kemampuan
atau keahlian dan keterampilan Bendahara/calon Bendahara
melalui ujian sertifikasi. Diharapkan dengan adanya sertifkasi
tersebut pengelolaan keuangan oleh Bendahara dapat
dilaksanakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
dan kualitas pengelolaan keuangan negara dapat makin
ditingkatkan.
Pegawai Negeri Sipil, prajurit TNI atau anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang telah lulus ujian sertifikasi
ini disebut sebagai Bendahara Nasional Tersertifikasi (BNT)
[2]. Sasaran dari sertifikasi ini tidak hanya kepada Bendahara
Pengeluaran, namun juga berlaku kepada Bendahara
Penerimaan, Bendahara Pengeluaran Pembantu, dan Calon
Bendahara, sehingga penyelenggaraan sertifikasi ini sangat
penting untuk menjadi pertimbangan para pemangku
kepentingan dalam penunjukkan pegawai pengelola
keuangan negara di masing-masing satuan kerja.
Selama ini beredar opini di masyarakat, bahwa masih
terdapat keraguan terhadap Integritas seorang Bendahara
pengelola APBN. Bendahara pengelola APBN dianggap
cenderung bersikap kompromis atau bahkan koruptif. Oleh
karena itu, dengan adanya sertifikasi ini diharapkan menjadi
salah satu solusi untuk menjawab keraguan tersebut.
Mengapa demikian? Karena Bendahara yang telah memiliki
kompetensi dan karakter yang sesuai dengan standar (lulus
uji), tentunya memiliki potensi yang lebih tinggi dari sisi integritas
dan sikap yang professional jabatannya, sebagai
contoh: (1) APBN yang dikelola dan dipertanggungjawabkan
adalah benar dan sesuai dengan perencanaan dan mata anggarannya,
lalu (2) pembuatan laporan pertanggung jawaban
Bendahara yang realiable kepada stakeholder bendahara,
yakni: Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen
dan Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara [4].
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2016 juga mengatur
bahwa PNS, anggota TNI, atau anggota Polri yang telah
diangkat sebagai Bendahara sebelum Perpres tersebut
mulai berlaku dan belum memiliki Sertifikat Bendahara,
dapat menjalankan kewenangan sesuai dengan tugas dan
fungsinya sampai dengan jangka waktu 4 (empat) tahun
sejak Perpres tersebut berlaku [1]. Tambahan pula, dalam
jangka waktu 4 (empat) tahun sejak Perpres tersebut
berlaku, bagi PNS, anggota TNI, anggota Polri yang telah
menduduki jabatan Bendahara paling singkat selama 2 (dua)
tahun, dapat mengikuti Ujian Sertifikasi tanpa mengikuti dan
dinyatakan lulus Pendidikan dan Pelatihan Bendahara [2].
Dalam Perpres tersebut juga diatur bahwa Sertifikat
Pendidikan dan Pelatihan Bendahara yang telah diterbitkan
oleh Kementerian Keuangan sebelum Perpres dimaksud
masih berlaku, diakui dan diterbitkan Sertifikat Bendahara,
sehingga pemegang Sertifikat Diklat Bendahara tersebut
tidak perlu mengikuti Ujian Sertifikasi. Adapun alur proses
sertifikasi bendahara dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
Gambar 1. Alur Sertifikasi Bendahara [3]
Proses Sertifikasi Bendahara
Secara garis besar, terdapat dua jenis mekanisme sertifikasi,
yakni melalui (1) mekanisme Ujian sertifikasi (terdiri dari tes
berbasis internet, tes berbasis komputer baik yang terintegrasi
melalui diklat Bendahara maupun penyegaran) dan
(2) mekanisme konversi. Khusus untuk mekanisme konversi
dapat dilakukan bagi Bendahara/ calon bendahara yang telah
memiliki sertifikat diklat bendahara yang diterbitkan Badan
Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Keuangan maupun
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan lainnya sebelum tanggal
20 Januari 2016. Masa berlaku sertifikasi Bendahara adalah 5
(lima) tahun dan dapat diperpanjang kembali sesuai dengan
peraturan yang berlaku [2].
Sertifikasi Bendahara dilakukan oleh Menteri Keuangan yang
dilaksanakan oleh unit organisasi di lingkungan Kementerian
Keuangan yang mempunyai fungsi sebagai pembina pejabat
pengelola perbendaharaan, dalam hal ini Direktorat Jenderal
Perbendaharaan. Target sertifikasi tahun 2016 sampai
dengan tahun 2019 ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 1. Target Sertifikasi Bendahara
Target 2016 2017 2018 2019 Total
Bendahara
tersertifikasi
1.000 5.005 9.090 16.000 31.140
Sumber: [4]
Pada Semester I tahun 2019, Ditjen Perbendaharaan telah
melakukan sertifikasi terhadap 24.096 orang bendahara
dan calon bendahara satuan kerja Kementerian Negara/
Lembaga [5], dan sampai dengan Semester II Tahun 2019
diketahui sebanyak 37.683 bendahara yang telah tersertifikasi
[6]. Berdasarkan perbandingan dari data target pada tabel
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 45
1 dan data hasil yang diperoleh,
maka Dirjen Perbendaharaan
telah berhasil mencapai target
melakukan sertifikasi pada
bendahara satuan kerja (BNT).
Peraturan Terkait lainnya
Berikut adalah beberapa
peraturan/ kebijakan yang
telah ditetapkan demi
mendukung proses BNT
Bendahara semenjak
Peraturan Presiden Nomor
7 tahun 2016 ini disahkan,
yakni [4]:
1. PMK No.126/
PMK.05/2016 tentang
Tata Cara Pelaksanaan
Sertifikasi Bendahara
pada Satuan Kerja
Pengelola Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Negara
2. PMK No. 128/
PMK.05/2017
tentang perubahan
atas PMK No.126/
PMK.05/2016
tentang Tata Cara Pelaksanaan Sertifikasi
Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
3. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor
PER-37/PB/2016 tentang Petunjuk Teknis Sertifikasi
Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
Dalam upaya untuk melaksanakan amanat Perpres tersebut,
tidak hanya pembuatan kebijakan dilakukan Kementerian
Keuangan, berbagai persiapan lain seperti pembuatan
sistem pendukung, penyediaan infrastruktur sarana uji
kompetensi, berbagai sosialisasi yang kerap dilakukan baik
dari Dirjen Perbendaharaan Kantor Wilayah maupun Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), dan alokasi
anggaran untuk mengakomodir berbagai kegiatan tersebut
[4].
Mulai tahun anggaran 2020, ketentuan sertifikasi ini sudah
berlaku penuh, setiap satuan kerja diharapkan memiliki
Bendahara yang telah tersertifikasi dan memiliki nomor BNT.
Kesungguhan penerapan peraturan ini dibuktikan dengan
adanya syarat tambahan dalam proses pengajuan Uang
Persediaan (UP) satuan kerja ke KPPN, yakni harus melampirkan
sertifikat Bendahara yang sudah tersertifikasi selain
syarat yang biasa dilengkapi pada tahun sebelumnya. Dalam
prosesnya, masih terdapat satuan kerja yang terlambat
mengajukan proses sertifikasi terutama melalui mekanisme
konversi.
Satuan kerja harus bersikap aktif menanyakan proses
konversi dan melakukan komunikasi kepada Dirjen
Perbendaharaan Kantor Wilayah setempat agar
mendapatkan BNT dari nama yang telah diajukan. Untuk
menyesuaikan dengan keadaan tersebut, KPPN memberikan
kebijakan tambahan kepada Bendahara satuan kerja yang
belum memiliki sertifikat namun telah mendapatkan nomor
BNT dari Dirjen Perbendaharaan, para kepala satuan kerja
membuat dan melampirkan surat pernyataan yang menerangkan
data pegawai yang ditunjuk
sebagai Bendahara telah memiliki
nomor BNT.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kemudian, hal yang dapat kita
pelajari dari pelajaran diatas
adalah, (1) Betapa respon satuan
kerja terhadap peraturan dan
mengetahui urgensi setiap
peraturan menjadi sangat
penting untuk dipatuhi semua
satuan kerja, (2) Kebijakan
tertentu dapat dibuat untuk
menyesuaikan situasi
dan kondisi berdasarkan
pertimbangan berbagai hal,
misalnya pertimbangan
keterlambatan pengajuan
UP yang dapat
memengaruhi kinerja
pelayanan satuan
kerja serta penyerapan
anggaran di awal
triwulan pertama tahun
anggaran. (3) Dengan
adanya masa berlaku
sertifikasi tersebut,
tentunya proses perencanaan pegawai, penyimpanan
data pegawai tersertifikasi, regenerasi Bendahara dan
sistem pengingat (notifikasi) sebelum masa berlaku habis
menjadi hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan
pimpinan satuan kerja supaya tidak menghambat kegiatan
pelayanan dan tugas fungsi yang bersumber dari APBN.
Daftar Pustaka/ Referensi:
1. Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2016 Tentang
Sertifikasi Bendahara Pada Satuan Kerja Pengelola
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara;
2. PMK No. 128/PMK.05/2017 tentang perubahan atas PMK
No.126/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Sertifikasi Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
3. Panduan Teknis Bendahara Pengeluaran, Direktorat
Sistem Perbendaharaan, Direktoran Jenderal
Perbendaharaan, Kementerian Keuangan RI tahun
2018;
4. Majalah Treasury Indonesia Mini Tahun 2016;
5. Surat Direktorat Jenderal Perbendaharaan Nomor S-846/
PB/2019 tanggal 11 Juli 2019 tentang Penyampaian Capaian
Sertifikasi Bendahara Sampai dengan Semester I
tahun 2019 dan Pengumuman Pelaksanaan Sertifikasi
Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Periode III Tahun 2019;
6. Sub Direktorat Pengembang Profesi, Direktorat Jenderal
Perbendaharaan, Kementerian Keuangan.
Amalia Solicha, S.Kom.,MTI.
(Widyaiswara Madya)
Opini
MENGEMAS REVOLUSI TRANSFORMASI
DIGITAL DAN TANTANGANNYA
Perkembangan teknologi semakin pesat dan masif
pada era revolusi industri 4.0. Pengembangan
teknologi digital, Internet of Thing, artificial Intellegence
dan big data menjadi tren teknologi ke
depan. Teknologi ini mampu mengubah cara pandang dan
interaksi di masyarakat, diantaranya dalam hal transaksi
pembayaran yang dahulu menggunakan mata uang
fisik, kini masyarakat menggunakan elektronik. Don Tapscott
(1996), seorang pemerhati perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi di Amerika Serikat—dalam
bukunya yang berjudul The Digital Economy, Promise and
Peril in the Age of Networked Intelligence—menyatakakan
bahwa perkembangan ekonomi dunia sedang mengalami
perubahan dari dinamika masyarakat industri yang berbasis
pada baja, kendaraan, dan jalan raya ke arah dinamika
masyarakat ekonomi baru yang dibentuk oleh silicon,
komputer, dan jaringan (networking). Begitu juga pelayanan
publik baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta
sudah mulai bergeser dari manual menjadi pelayanan yang
memanfaatkan kemajuan teknologi.
Berdasarkan survey yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII), menyatakan bahwa survei
penetrasi untuk pengguna internet di Indonesia pada
tahun 2018 mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil survei
tersebut, jumlah pengguna internet naik hingga mencapai
171.17 juta pengguna pada tahun 2018. Pengguna internet
mencapai 64.8% dari jumlah total penduduk Indonesia
dan . Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara dengan
penggunaan internet terbesar di dunia. Hal ini menandakan
bahwa internet menjadi peran penting bagi manusia di
berbagai aspek kehidupan.
Pesatnya laju penetrasi penggunaan teknologi informasi
didukung juga oleh berkembangnya infrastruktur teknologi
tersebut. Meningkatnya pembangunan infrastruktur
jaringan mendorong masyarakat baik yang diperkotaan
maupun di daerah dapat dengan mudah mencoba berbagai
aplikasi dan konten digital baru yang tersedia. Tak hanya
perkembangan teknologi dalam berkomunikasi, pergeseran
masyarakat menjadi lebih melek teknologi juga dibarengi
dengan adanya digitalisasi di berbagai bidang, diantaranya
belanja online, pemesanan transportasi online, pemesanan
hotel online, eBanking, eMoney dan lain sebagainya.
Transformasi digital adalah perubahan organisasi
yang melibatkan orang, proses, strategi, struktur,
melalui penggunaan teknologi dan model bisnis untuk
meningkatkan kinerja (Westerman et al., 2011). Dengan
melihat pertumbuhan pemanfaatan teknologi informasi
yang begitu pesat dan infrastruktur yang mendukung serta
masyarakat yang semakin kritis terhadap pelayanan publik
yang prima berdasarkan prinsip-prinsip kepastian hukum,
keterbukaan, akuntabilitas serta kinerja yang profesional
maka momen ini merupakan kesempatan pemerintah untuk
melakukan transformasi digital terhadap pelayanan publik
kepada masyarakat.
Dengan kondisi tersebut pemerintah telah mengantisipasi
dengan membuat rencana terhadap pelayanan digital
ini, dengan diterbitkannya kebijakan terkait digitalisasi
pelayanan pemerintah. Diantara kebijakan pemerintah
tersebut, diawali dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden
Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional e-Government, Kebijakan ini memerintahkan
kepada menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah untuk
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 47
mengembangkan e-Government
sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya
serta sesuai dengan
kapasitas sumber daya yang dimiliki.
Inpres ini bertujuan bagaimana sistem
penyelenggara pemerintah diupayakan
berbasis elektronik dalam rangka
meningkatkan kualitas layanan publik
secara efektif dan efisien.
Setelah dikeluarkannya Instruksi
Presiden tersebut, untuk lebih
memperkuat peran pemerintah di
dalam pelayanan publik yang bersifat
kolaboratif, maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang
lebih powerful melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 95 Tahun 2018
tentang Sistem Pemerintah Berbasis
Elektronik (SPBE). Dengan dikeluarkannya
kebijakan ini memberi peluang
untuk mempercepat dan merealisasikan
penyelenggaraan pemerintah yang
transparan, meningkatkan kualitas,
jangkauan pelayanan, bertanggung
jawab, akuntabel dan meningkatkan
kolaborasi antara instansi pemerintah.
Selain membuat kebijakan dengan peraturan-peraturan
pemerintah, Langkah
konkrit pemerintah dalam menghadapi
transformasi digital yaitu dibentuknya
Dewan TIK Nasional (Wantiknas) pada
tahun 2014. Wantiknas merupakan
hasil transformasi dari Tim Koordinasi
Telematika Indonesia (TKTI) pada tahun
2000. Wantiknas ini memiliki tugas
dan fungsi diantaranya Merumuskan
kebijakan umum dan arahan
strategis pembangunan nasional,
melalui pengembangan teknologi
informasi dan komunikasi termasuk
infrastruktur, aplikasi, dan konten,
dan juga tugas dan fungsi strategisnya
adalah penyelesaian permasalahan
strategis yang timbul dalam rangka
pengembangan teknologi informasi
dan komunikasi.
Pemerintah menyadari bahwa
transformasi digital ini memiliki dua sisi
mata uang yaitu memilki dampak positif
dan negatif. Diantara dampak negatif
yang paling terasa adalah disruption innovation
memiliki potensi membahayakan
pekerjaan dan industri. Banyak
contoh bagaimana industri hancur dan
hilang dikarenakan dampak dari inovasi
yang bersifat disruptif. Sebagai contoh
kejayaan nokia dengan penguasaan
pasar hampir 73.6 % smartphone dunia
pada tahun 2006, sekarang hilang
seiring dengan inovasi OS andraoid
dan IOS yang sekarang menguasai
pangsa pasar smartphone dunia. Digitalisasi
juga sudah “merusak” tatanan
hidup masyarakat, banyak pekerjaan
yang dapat diselesaikan secara cepat
dan mudah dengan hanya melibatkan
satu orang sebagai operator, sehingga
banyak pekerjaan yang mengurangi
jumlah tenaga kerja nya. Selain disruption
innovation, transformasi digital
memiliki dampak-dampak terhadap
kejahatan cyber berupa pembobolan
keamanan informasi suatu organisasi
baik organisasi komersil maupun nirlaba,
fraud, dan lain-lain.
Sisi lain dari digitalisasi yaitu dampak
positif, diantaranya yaitu menghasilkan
peluang pekerjaan baru yang lebih
spesifik, terutama yang membutuhkan
kompetensi tinggi. Selain itu Informasi
yang dibutuhkan dapat lebih cepat
dan lebih mudah dalam mengaksesnya,
mengurangi biaya, dan
menjamin akutabilitas pekerjaan serta
meningkatkan produktifitas.
Menilik kondisi tersebut, tentunya
tidak ada acara lain selain pemerintah
melakukan merubah proses bisnis
yang selama ini dari business as usual
yang old fashion ke cara yang out of
the box dengan memanfaatkan digitalisasi
tersebut. Karena dengan cara
memanfaatkan transformasi digital
itulah pemerintah paham dampak
yang akan diperoleh berupa inovasi,
akselerasi (pencapaian target prioritas
nasional), efesiensi, kolaborasi dan
akuntabilitas dapat terwujud.
Tentunya untuk menghadapi
transformasi digital tersebut
pemerintah harus memiliki human
capital yang handal, yang memiliki
kompetensi baik itu pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang
memadai agar perencanaan dan
persiapan yang telah disusun dapat
diimplementasikan dengan human
capital yang handal pula.
Berdasarkan data Badan Ekonomi
Kreatif (Bekraf), kebutuhan tenaga
kerja digital sekitar 600 ribu orang per
tahun dan masih belum bisa dipenuhi.
Tingginya kebutuhan karena banyak
perusahaan teknologi dan startup yang
lahir beberapa tahun belakangan. Jadi
ada gap antara supply dan demand,
jumlahnya 600 ribu orang pertahun
dan jika 10 tahun ada sekitar 6 juta
orang gap kebutuhannya.
Berbicara digital talent tentu tidak
lepas dari manusia yang memiliki
penguasaan teknologi digital seperti
inovasi berbasis teknologi berupa
Internet of Thing, Big Data, Cloud Computing,
Digital Manufacturing dan cyber
Security. Selain kompetensi teknis
seseorang menurut World Economic
Forum, digital talent harus memiliki
kompetensi sosio berupa kemampuan
koordinasi dengan orang lain, memiliki
kecerdasan emosional, negotiation,
persuasion, service orientation, dan
kemampuan melatih dan mengajar
orang lain.
Berdasarkan fakta tersebut,
pemerintah memiliki tantangan yang
besar bagaimana menghilangkan gap
digital talent tersebut dalam rangka
menyongsong transformasi digital yang
sedang berevolusi dengan cepat. Dari
tantangan tersebut peran pemerintah
khususnya lembaga pendidikan dan
pelatihan memiliki posisi yang strategis
di dalam mengambil peran membantu
menutupi atau setidaknya mengikis
gap tersebut dengan berperan aktif
melakukan terobosan-terobosan
inovatif di dalam “memproduksi” digital
talent yang tidak hanya kuantitasnya
saja tapi juga kualitasnya.
Rony Kasmanto, MTI.
(Widyaiswara Muda)
48
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Opini
PEMAHAMAN TENTANG PROSES SERTIFIKASI
PROFESI DALAM STANDAR KOMPETENSI KERJA
NASIONAL INDONESIA
Tuntutan reformasi birokrasi mengenai sosok ASN
(Aparatur Sipil Negara), di era zaman milenial
ini, di harapkan mampu melakukan tugas sesuai
dengan tanggung jawabnya. Untuk mewujudkan menjadi
ASN yang berkelas dunia, setidaknya memiliki lima kriteria
yakni professional, intergritas, orientasi ke publik, budaya
pelayanan yang tinggi, serta memiliki wawasan global.
Kelima kriteria tersebut perlu dimiliki dan menjadi pedoman
oleh seluruh ASN yang dipraktekkan/dilakukan secara
berkesinambungan guna memenuhi tuntutan kualifikasi
ASN yang mumpuni untuk mewujudkan Good Governance
di Indonesia. Sejalan dengan upaya tersebut, maka penting
untuk dilakukan standarisasi terhadap kompetensi bagi ASN
di semua bidang. Standar kompetensi ini wajib di susun
sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada setiap lembaga
maupun kementerian.
Agar dapat melaksanakan apa yang menjadi instruksi
pemerintah tersebut, untuk itu kita harus mengetahui regulasi
tentang usulan alternatif proses pengembangan SDM
(Sumber Daya Manusia) di Indonesia melalui sertifikasi
profesi yang dilaksanakan melalui LSP (Lembaga Sertifikat
Profesi) dan BNSP (Badan Nasional Profesi) dalam menetapakan
peta jabatan dalam satu unit organisasi.
PENGERTIAN PENDIDIKAN PROFESI
Pengertian Pendidikan profesi dan Sertifikasi Profesi memiliki
perbedaan yang mendasar terutama berkaitan dengan
konsep dan tujuan serta penyelenggara nya. Berdasarkan
konsep, profesi memiliki dua pengertian yaitu:
• Pengertian profesi adalah jenjang pendidikan setelah
sarjana untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
bekerja pada bidang yang memerlukan keahlian khusus.
(Undang-Undang No.20 Tahun 2003).
• Pengertian Profesi adalah bidang pekerjaan yang untuk
melaksanakannya diperlukan kompetensi tertentu
(Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2006).
Konsep profesi pertama berkaitan dengan pendidikan.
Pengertian pendidikan profesi adalah untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat bekerja pada bidang yang
memerlukan keahlian khusus, Pendidikan profesi penyelenggaranya
dominan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, misalkan pendidikan profesi guru, dokter,
akuntan, psikolog dan pendidikan profesi lainnya. Sedangkan
konsep profesi kedua berkaitan dengan bidang pekerjaan.
Pengertian sertifikasi profesi adalah sertifikasi kerja yang
diperlukan untuk mendapatkan atau meningkatkan kompetensi
tertentu. Sertifikasi profesi merupakan sertifikasi kerja
yang dominan dikeluarkan oleh LSP (Lembaga Sertifikasi
Profesi) yang diakreditasi oleh BNSP (Badan Nasional
Sertifikasi Profesi), contohnya adalah Sertifikasi Profeso Ahli
Manajemen Risiko, Analisis Keuangan, Akuntan publik, Konsultan
Pajak dan berbagai sertifikasi profesi untuk kompetensi
yang lain.
Sesuai dengan PERPRES 8/2012, Sistem Sertifikasi Kompetensi
Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi
yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji
yang kompetensi sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia, Standar Internasional, dan/atau Standar Khusus.
Sehingga sistim sertifikasi ini mempunyai fleksibilitas berharmonisasi
dengan berbagai system nasional maupun internasional.
Sesuai dengan Peraturan BNSP 01/2015, Sistem Sertifikasi
Kompetensi Profesi Nasional adalah tatanan keterkaitan
komponen sertifikasi kompetensi profesi yang mencakup
pembentukan kelembagaan sertifikasi, lisensi, lembaga
sertifikasi, pengembangan system informasi sertifikasi kompetensi
dan pengendalian mutu sertifikasi yang sinergis
dan harmonis dalam rangka mencapai tujuan pelaksanaan
sertifikasi kompetensi kerja nasional.
PEMAHAMAN TENTANG SERTIFIKASI
Dalam perkembangannya, bahwa untuk melaksanakan
standar kompetensi profesi, maka diperlukan assessment
untuk mengetahui/mengukur apakah pegawai
dapat ditetapkan profesionalisme nya sesuai bidang tugas
atau tidak. Secara umum sertifikasi profesi dan sertifikasi
profesional harus dibedakan keahlianya. Sertifikasi
profesi, dilakukan untuk kompetensi atau keahlian khusus.
Misalnya profesi medis sering membutuhkan tenaga ahli
atau spesialisasi tertentu dalam memberikan pelayanan
kepada pasien. Sertifikasi profesi dilakukan dalam rangka
menerapkan standar profesional, meningkatkan tingkat
praktek, dan mungkin melindungi masyarakat (meskipun
ini juga merupakan domain dari lisensi), sebuah organisasi
profesional mungkin menetapkan sertifikasi. Hal ini
dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi semua tempat
dimana seorang profesional bersertifikat mungkin bekerja.
Tentu saja, hal ini membutuhkan pola penilain dan
pertanggung jawaban secara hukum dari seluruh profesi
yang ada.
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 49
Sedangkan Sertifikasi profesional dapat didefinisikan sebagai
istilah sertifikasi profesional yang seringkali digunakan
untuk menunjukkan kemampuan atau kualifikasi seseorang
berdasarkan atribut atau kriteria yang telah ditentukan oleh
sebuah organisasi/badan atau lembaga pengembangan
(biasanya sudah terakreditasi). Sebutan ‘sertifikasi’ atau
‘kualifikasi’ tersebut ditetapkan bagi tenaga profesional,
sering disebut hanya sertifikasi atau kualifikasi, untuk
menjamin kualifikasi dalam melakukan tugas atau pekerjaan
tertentu. Misalnya, pemberian sertifikasi kepada tenaga
pengajar widyaiswara dapat diartikan
sebagai suatu proses
pemberian
pengakuan
b a h w a
seseorang
t e l a h
memiliki
k o m p e -
tensi untuk
melaksanakan
pelayanan
pendidikan pada
satuan pendidikan
tertentu,
setelah lulus uji kom- petensi yang
diselenggarakan oleh LAN RI. Dengan kata
lain, sertifikasi pengajar Widyaiswara adalah proses
uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan
penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan
pemberian sertifikat widyaiswara (perkalan RI No 22 Tahun
2015).
Sertifikasi sangat umum digunakan dalam bidang konstruksi,
penerbangan, teknologi, keuangan, lingkungan, sektor
industri, bisnis, pendidikan, dan kesehatan. Di Amerika
Serikat, Federah Aviation Administration (FAA) mengatur
sertifikasi penerbangan. Certified Internal Auditor (CIA)
merupakan sebuah organisasi di Amerika mengkususkan
diri dalam penilaian kinerja keuangan internal yang
beroperasi di hampir mencakup 165 negara. Organisasi
ini juga melakukan sertifikasi terhadap tenaga audit profesionalnya
dalam memperoleh lisensi, dan pengembangan
sumber daya manusia. Banyak anggota dari Association of
Test Publisher (ATP) juga organisasi sertifikasi.
Sertifikasi yang diperoleh dari masyarakat profesional atau
dari vendor sebuah perusahaan. Misalnya, Perusahaan,
Perusahaan Microsoft, Cisco, Machintos, dll. Secara umum,
harus diperbaharui secara berkala, atau mungkin berlaku
untuk suatu periode waktu tertentu (misalnya, masa pakai
produk di mana seseorang dinyatakan). Sebagai bagian dari
pembaharuan sertifikasi lengkap dari individu, itu adalah
berlaku umum bagi individu untuk menunjukkan bukti
belajar secara berkelanjutan.
MENGAPA PERLU SERTIFIKASI PROFESI?
Tantangan di era globalisasi dan pasar yang kompetitif
menuntut daya tahan dan daya saing sebuah kelompok,
komunitas, organisasi dan negara dalam bentuk
pengembangan sumber daya manusia sebagai “intellectual
asset” menjadi salah satu factor yang penting dalam
mendukung produktivitas dan keunggulan kompetitif
perusahaan. Pengembangan SDM strategik merupakan
tuntutan bagi setiap organisasi untuk menyelaraskan
program training dengan strategi organisasi. Selain itu,
pengembangan SDM menuntut perpanduan yang sinergik
antara aspek pembelajaran (learning) dan aspek kinerja (performance).
Untuk itu, pengembagan SDM melalui program
training di tempat kerja membutuhkan suatu sarana dan
fasilitas yaitu training center. Untuk merealiasikan upaya
peningkatan pembelajaran dan kinerja, maka diperlukan
suatu standar kompetensi profesi khususnya bagi para
training manager untuk mengelola training center
dalam suatu organisasi. Isu sertifikasi
menjadi sangat h a n g a t
dibicarakan
o l e h
berbagai
kalangan
khususnya
pihak-pihak
yang terlibat
dalam proses
pembinaan profesi baik
pendidikan, kesehatan, keuangan,
pemerintahan dan kemasyarakatan. Isu
sertifikasi menjadi salah satu cara yang
digunakan dalam membangun struktur karir profesional
dan pengembangan kualitas atau mutu.
Tahun 2015, merupakan momentum besar dalam
pembangunan kompetensi yaitu tahun implementasi integrasi
masyarakat Ekonomi ASEAN, dimana salah satu
unsur penting adalah aliran bebas tenaga kerja trampil (free
flow of labor skill) diantara negara negara yang tergabung
dalam ASEAN. Dengan telah ditetapkan kerangka kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) melalui peraturan presiden
Nomor 08 Tahun 2012 dan telaha disepakatinya ASEAN
Qualification Reference Framework (AQRF) pada akhir tahun
2014, maka pengembangan kompetensi SDM semakin
jelas untuk dapat bersaing dengan negara mitra bisnis, dan
memberikan kepastian link and match antara dunia kerja
industry, dimana kerangka kualifikasi ini memberikan pedoman
penyertaan proses pembelajaran proses pembelajaran
dari dunia pendidikan, pelatihan dan pembelajaran di
tempat kerja.
Masalah link and match, dan relevansi lulusan pendidikan
termasuk pelatihan dengan dunia kerja masih terus menjadi
isu nasional, karena masalah kurangnya employability
(kecakapan bekerja) pada dunia kerja. Hal ini menyebabkan
industry harus mengembangkan kelembagaan pendidikan
dan pelatihan seperti traning centre, corporate university
dan bahkan pendidikan tinggi, walaupun sudah merekrut
calon karyawan yang berasal dari Pendidikan vokasional.
Guna bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
diperlukan peningkatan kompetensi baik sisi sumber daya
manusia (SDM) maupun organisasi. Para praktisi SDM
dituntut untuk lebih meningkatkan profesionalisme dalam
50
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
mengelola SDM di organisasi, SDM harus memiliki kompetensi
sesuai standar yang ditetapkan (UU 13 Tahun 2003)
bahwa kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap
individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan sikap kerja. Hal ini menjadi pentinga karena divisi SDM
adalah mitra strategis bagi pimpinan organisasi dalam
rangka mengelola dan mengembangkan SDM.
Salah satu bentuk dukungan untuk meningkatka
profesionalisme prakstisi SDM juga diberikan oleh
pemerintah melalui kementerian tenaga kerja yang
mengeluarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
(SKKNI). SKKNI ini berisi rumusan kemampuan kerja
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, atau
keahlian serta yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan
syarat jabatan. Program sertifikasi kompetensi merupakan
upaya pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk
meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia,
baik untuk skala domestic maupun internasional.
DIMANAKAH TEMPAT MENDAPATKAN SERTIFIKASI
PROFESI
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kualitas pekerja kita cukup
rendah dimana tenaga kerja kita masih kalah bersaing
dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, singapura,
Thailand dan negara Tetangga lainnya. Hal ini semakin
diperparah dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASE-
AN) dimana pekerja kita harus bersaing dengan pekerja dari
negara ASEAN. MEA sendiri adalah sistem perdagangan
bebas antara negara negara ASEAN dimana kawasan MEA
mengharuskan membebaskan arus tenaga terampil. Oleh
karena itu, sekarang banyak orang yang berlomba-lomba
guna mendapatkan gelar akademik yang lebih tinggi (S1/S2/
S3). Tetapi untuk linkungan kerja tentunya tidak benar. Jadi
apa yang dibutuhkan dalam lingkungan kerja? Jawabannya
adalah sertifikasi profesi. Sertifikasi profesi adalah suatu
penetapan yang diberikan oleh suatu organisasi professional
terhadap seseorang untuk menunjukkan bahwa orang
tersebut mampu untuk melakukan suatu pekerjaan atau
tugas spesifik.
LSP (LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI)
Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) adalah lembaga
pelaksanaan kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh
lisensi dari badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Lisensi diberikan melalui proses akreditasi oleh BNSP yang
menyatakan bahwa LSP bersangkutan telah memenuhi
syarat untuk melakukan kegiatan sertifikasi profesi. Sebagai
organisasi tingkat nasional yang berkekedudukan di wilayah
Republik Indonesia.
Pembentukan LSP: LSP dipersiapkan pembentukannya
oleh suatu panitia kerja yang dibentuk oleh atau dengan
dukungan asosiasi industry terkait. Susunan panitia kerja
terdiri dari ketua bersama sekretaris, dibantu beberapa
anggota. Personal panitia mencakup unsur industry, asosiasi
profesi, instansi teknis terkait dan pakar. Tugas panitia kerja
adalah Menyiapkan badan hukum menuyusun organisasi
maupun personal mencari dukungan industry maupun instansi
terkait. Surat permohonan untuk memperoleh lisensi
ditunjukan kepada BNSP. Ketentuan pembentukan LSP
mengacu kepada PBNSP 202.
Fungsi dan Tugas LSP sesuau PBNSP 202 tahun 2014, LSP
memiliki Fungsi melaksanakan Sertifikasi Kompetensi dan
Tugas :
• Menyusun dan mengembangkan skema sertifikasi
• Membuat perangkat asesmen dan uji kompetensi
• Menyediakan tenaga penguji (asesor)
• Melaksanakan sertifikasi
• Melaksanakan surveilen pemeliharaan sertifikasi
• Menetapkan persyaratan, memverifikasi dan
menetapkan TUK
• Memelihara Kinerja asesor dan TUK
• Mengembangkan pelayanan sertifikasi
Standar kompentesi Kerja Nasional Indonesia atau yang
disingkat dengan SKKNI merupakan acuan yang menjadi
standar dalam hubungannya dengan kemampuan kerja
yang meliputi aspek keterampilan, pengetahuan dan sikap
kerja yang sesuai dengan pelaksaan tugasnya serta sesuai
dengan persyaratan dari pekerjaan yang sudah di tetapkan
dimana semua standar atau ketentuan dalam SKKNI sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dengan kata lain, SKKNI merupakan standar
kompetensi tenaga kerja yang berlaku secara nasional di Indonesia
dan merupakan standar kompetensi bersifat lintas
perusahaan. Peraturan Pemerintah PP 31/2006 mengatur
SKKNI dikelompokkan ke dalam jenjang kualifikasi dengan
mengacu pada KKNI dan/atau jenjang jabatan.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari uraian yang telah dijabarkan diatas, penting bagi Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika untuk mewujudkan
sertifikasi profesi bagi pegawai yang melakukan operasional
meteorologi, klimatologi, dan geofisika, serta pendukungnya
seperti di Kedeputian Instrumentasi, Rekayasa, Kalibrasi dan
Jaringan Komunikasi. Dengan segera dibentuknya Lembaga
Sertifikasi Profesi di lingkungan Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika maka akan memberikan jaminan
perlindungan bagi pegawai akan profesionalitas bagi
mereka. Hal ini akan memberikan penguatan, pengakuan
terhadap profesionalisme pegawai di BMKG. Terbentuknya
LSP akan memberikan manfaat juga bagi stakeholder di
luar BMKG, bahwa bagi siapa saja/perorangan/organisasi
yang akan melaksanakan kegiatan berkaitan dengan bidang
meteorologi, klimatologi, dan geofisika maka mereka wajib
untuk mengikuti sertifikasi di BMKG kedepannya.
Referensi :
1. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 21 Tahun 2014
Tentang Pedoman Penerapan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 02 Tahun
2016 Tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja
Nasional
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia.
Agus Prasisto, ST.MM
(Widyaiswara Muda)
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 51
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
DI ERA MILENIAL
Tulisan ini terinspirasi dari modul “Kepemimpinan Transformasional” pada workshop Pelatihan
Kepemimpinan Pengawas dan Pelatihan Kepemimpinan Administrator. Dimana dalam modul
tersebut menjelaskan bahwa pemimpin transformasional adalah bagaimana pemimpin mengubah
orang dan organisasi, dengan cara menstimulus/merangsang para bawahannya untuk bekerja
menghasilkan kinerja yang tinggi. Pemimpin lebih berfokus pada aspek-aspek perubahan (Patricia,
337:2004). Model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang
terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin sehingga para pemimpin lebih berkerakyatan
dan berkeadilan sosial.
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
• Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah ilmu dan
seni mempengaruhi orang lain atau
kelompok untuk bertindak seperti
yang diharapkan untuk mencapai
tujuan secara efektif dan efisien.
Kemampuan untuk mempengaruhi
dan mengerakkan orang lain guna
mencapai tujuan tertentu disebut juga
dengan leadership. Kepemimpinan
sangat menentukan keberhasilan atas
manajemen dan lebih dari itu adalah
menentukan keberhasilan administrasi.
Ini berarti bahwa kepemimpinan
akan menentukan tercapai atau
tidaknya suatu tujuan
organisasi.
• Transformasional
Istilah transformasional berasal
dari kata to transform, yang artinya
mentransformasikan atau mengubah
sesuatu menjadi bentuk lain yang
berbeda. Pemimpin dapat menerapkan
kaidah kepemimpinan transformasional
jika mampu mengubah energi
sumber daya, baik manusia, instrumen,
maupun situasi untuk mencapai tujuan
reformasi birokrasi. Seorang pemimpin
dengan gaya transformasional
merupakan pemimpin yang memiliki
wawasan jauh ke depan dan senantiasa
berupaya untuk memperbaiki dan
mengembangkan organisasi, bukan
hanya untuk saat ini namun sampai
masa yang akan datang. Berdasarkan
hal inilah pemimpin transformasional
dapat dikatakan sebagai pemimpin
yang visioner.
Dari pengertian kepemimpinan
dan transformasional di atas dapat
disimpulkan bahwa Kepemimpin
transformasional mendasarkan dirinya
pada cita-cita di masa depan. Di dalam
organisasi seorang pemimpin transformasional
memandang nilai-nilai
organisasi sebagai nilai-nilai luhur
yang perlu dirancang dan ditetapkan
oleh seluruh staf sehingga para staf
mempunyai rasa memiliki dan komitmen
dalam pelaksanaannya.
Kepemimpinan transforma-
sional lebih
memilih
m e n -
ginsipirasi anak buah mereka agar
mampu mencapai target-target yang
diinginkan daripada motivasi hadiah
atau hukuman sebagaimana halnya
di kepemimpinan tipe transaksional.
Kepemimpinan transformasional bercirikan
tindakan-tindakan di mana
pemimpin mampu membuat teamnya
menghormati, percaya, dan
menghargai pemimpinnya. Pemimpin
tipe ini mampu menjual konsep
pentingnya pekerjaan masing-masing
anak buah, dan menginsiprasi mereka
untuk mengutamakan kepentingan
team yang lebih besar dengan
pencapaian yang melebihi ekspektasi.
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
DI ERA MILENIAL
Pada zaman yang terus berkembang
menuntut generasi milenial memiliki
pengetahuan yang luas dan kreatif
serta inovatif, sehingga dapat menjadi
pemimpin yang dapat mengikuti
perkembangan dunia. Kepemimpinan
milenial diterjemahkan sebagai
kepemimpinan masa kini yang
menyesuaikan dengan gaya generasi
baru yang lahir pada era 1980-an. Pola
kepemimpinan milenial tidak sama
dengan pola kepemimpinan lama dari
generasi sebelumnya.
Merujuk pada riset
dari Ryus
t a h u n
2 0 1 3
tentang
tujuh
faktor
kepuasan
para Milenial
dalam pekerjaan yang
pernah dibahas di Bisnis Indonesia
Weekend (3 April 2016),
ada tendensi model kepemimpinan
transformasional memiliki peluang
lebih tinggi untuk lebih pas dalam
memimpin para karyawan (staf)
Milenial. Hal ini dijelaskan karna
teori Kepemimpinan Bass merujuk
pada empat hal yang menjadi ciri
kepemimpinan transformasional yang
terindikasi cocok dengan faktor yang
mempengaruhi tingkat kepuasan
karyawan Milenial dari riset Ryus.
Empat hal ciri kepemimpinan transformasional
di era Milenial tersebut
adalah :
52
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Opini
1. Idealized influence.
Idealized influence atau kharisma di
mana seorang pemimpin transformasional
berusaha
menjadi
r o l e
model
bagi
anak
buah
4. Individualized consideration,
Individualized consideration, pemimpin
transformasional berusaha menjadi
seorang mentor bagi anak buahnya
dengan membuat konesi interpersonal
yang tulus untuk membantu
mereka, menginspirasi, mendorong,
dan memberikan dukungan-dukungan
yang diperlukan agar target pekerjaan
anak buah bisa tercapai atau bahkan
melebihi ekspektasi awal.
Riset Ryus memberikan bukti bahwa
karyawan Milenial sangat peduli
dengan pengembangan personal
dan professional mereka dalam korporasi.
Pemimpin transformasional
yang memiliki individualized consideration
dan sangat perduli anak
buah mereka untuk terus bertumbuh
dalam karir professional mereka, akan
menjadi pemimpin
idaman bagi
karyawan
Milenial. .
D a r i
mereka. Pemimpin transformational
akan selalu mempromosikan
visi, nilai-nilai organisasi,
dan memberikan contoh
(leading by example) agar
anak buah mereka melihat,
mencontoh, dan pada
akhirnya mengikutinya.
Dari riset Ryus, terbukti bahwa
karyawan Milenial puas bekerja di korporasi
yang menjujung tinggi etika dan
moral dalam visi, misi, dan nilai-nilai korporasi,
serta mendorong lingkungan
bekerja yang saling menghormati.
Terlihat indikasi korelasi bahwa
seorang pemimpin transformasional
yang kharismatik dan leading by example
mempromosikan nilai-nilai korporasi
akan menciptakan lingkungan
bekerja yang menjamin kepuasan bagi
karyawan Milenial.
2. Inspirational motivation
Inspirational motivation, di mana
seorang pemimpin transformasional
menginspirasi anak buah mereka agar
mampu mencapai hasil yang lebih
baik dengan menanamkan pentingnya
tujuan dari apa yang sedang dikerjakan,
dan pada saat yang sama, juga menjual
visi yang lebih besar jika anak buah
mampu mencapai hal-hal di luar ekpektasi.
Hasil riset Ryus membuktikan bahwa
karyawan Milenial mencari pekerjaan
yang bermakna yang mampu berkontribusi
positif ke keluarga, komunitas,
hingga dunia yang lebih luas. Artinya,
pemimpin transformasional yang
mampu menanamkan inspirational
motivation, dengan memberikan arti
yang lebih besar terhadap apa yang
dikerjakan oleh karyawan Milenial bagi
komunitas dan dampak lebih positif ke
organisasi/ industri atau dunia yang
lebih luas akan mampu memberikan
kepuasan dan retensi bagai karyawan
Milenial mereka.
3. Intellectual
stimulation.
Intellectual
stimulation,
seorang
pemimpin transformasional
mendorong anak buahnya agar
mampu lebih berimajinasi dan berinovasi.
Pemimpin akan menciptakan
lingkungan kerja kondusif untuk ideide
baru, menantang status quo, dan
keberanian mengambil resiko.
Ryus dalam riset yang sama juga
membuktikan bahwa karyawan Milenial
membenci manajemen mikro (micro
management). Mereka menginginkan
kebebasan berkreasi dan berkontribusi
karena percaya bahwa mereka memiliki
cara tersendiri untuk mencapai target-target
yang dibebankan. Dengan
demikian, pemimpin transformasional
yang memberikan intellectual stimulation
agar anak buah mereka lebih
berani mengamil resiko, menantang
status quo, berimajinasi dan berinovasi
akan memberikan motivasi lebih
bagi karyawan Milenial dalam bekerja
dan mencapai target-target yang
dibebankan.
pembahasan
di atas, terlihat ada indikasi
korelasi positif antara
empat ciri kepemimpinan
transformasional dengan
tingkat kepuasan karyawan
Milenial. Kesimpulannya,
pemimpin transformasional bisa
menjadi pemimpin yang pas bagi
karyawan Milenial untuk termotivasi
bekerja, lebih produktif, dan
memberikan pencapaian-pencapaian
melebihi ekspektasi.
Kepemimpinan transformasional yang
ulung memiliki resiko untuk mengabuse
kekuasaan mereka karena
kemampuan mereka untuk memotivasi
dan mempengaruhi anak buah
mereka untuk mencapai target-target
pencapaian yang mereka inginkan. Hal
ini, sangatlah penting pemimpin-pemimpin
generasi X untuk berlatih diri
menjadi pemimpin transformasional
dan di saat yang bersamaan, terus
mengingat agar selalu memiliki standar
etika moral tinggi untuk menghindari
penggunaan kepemimpinan transformasional
secara abusive. Dunia
berubah, karyawan berubah, saatnya
pemimpin pun berubah untuk produktifitas
korporasi yang lebih tinggi.
Referensi :
1. Dr. Wahyu Suprapti, MM., M.Psi-T.
“Kepemimpinan Transformasional”
Modul Pelatihan Kepemimpinan
Administrator. LAN-RI 2019
2. Hermawan Sutanto,
“Kepemimpinan Milenial” Published
in Bisnis Indonesia Weekend
Newspaper, April 10, 2016
Widodo, SE. M.Si.
(Widyaiswara Muda)
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 53
MENULIS SAJA DULU!, TAK PERLU
MENUNGGU SEMPURNA
Di era globalisasi, kemampuan mengkomunikasikan
ide bernilai sangat strategis. Kompetensi ini dapat
berbentuk verbal/lisan dan tulisan. Tujuannya
sama yaitu mempengaruhi orang lain sehingga menyetujui
pendapat yang disampaikan komunikator.
Dalam Permenpan 38 tahun 2017, kompetensi komunikasi
dijelaskan sebagai kemampuan seseorang untuk menerangkan
pandangan dan gagasan secara jelas, sistematis
disertai argumentasi yang logis dengan cara-cara yang
sesuai baik secara lisan maupun tertulis; memastikan
pemahaman; mendengarkan secara aktif dan efektif;
mempersuasi, meyakinkan dan membujuk orang
lain dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Seorang ASN dalam jenjang fungsional tingkat
ahli disyaratkan telah mampu
berkomunikasi secara
aktif baik secara
pengetahuan, wawasan dan keterampilan sekaligus
media aktualisasi.
Namun demikian, ditengarai pula adanya
kondisi kepercayaan diri yang
rendah serta keengganan untuk
mencoba memulai sebagai
tantangan di sisi
lain.
formal dan informal, secara asertif, terampil berkomunikasi
lisan/ tertulis untuk menyampaikan informasi yang sensitif/
rumit/ kompleks. Komunikasi tersebut dapat berbentuk
kemampuan menyusun materi presentasi, pidato, naskah
dan laporan. Semakin tinggi jenjangnya, diharapkan
peningkatan keahlian dalam mengemukakan pemikiran
multidimensi untuk mendorong kesepakatan dengan tujuan
meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Kompetensi
tingkat mahir lainnya adalah kemampuan menuangkan
pemikiran/ konsep dari berbagai sudut pandang/
multidimensi dalam bentuk tulisan formal.
Sebagian orang memilih komunikasi melalui tulisan sebagai
media karena merasa lebih nyaman dibandingkan harus
tampil menyampaikan ide melalui narasi verbal yang
memerlukan keterampilan berbicara di depan publik.
Sebagian lainnya menyukai penyampaian lisan yang bersifat
langsung dan spontan. Untuk komunikator tipe ini, maka
kegiatan menulis bisa menjadi tantangan tersendiri, tidak
terkecuali bagi tenaga pendidikan dan pelatihan yang seharihari
lebih banyak beraktivitas dalam kelas, menyampaikan
informasi secara verbal.
Di bidang kediklatan, kajian menarik dipublikasikan Asnofidal
pada tahun 2019 tentang motivasi widyaiswara
dalam membuat karya tulis ilmiah. Adanya unsur wajib
dalam tugas pokok dan fungsi widyaiswara dan fungsi
karya tulis sebagai unsur penambahan angka kredit untuk
kenaikan pangkat, merupakan faktor pendorong tingginya
motivasi widyaiswara menekuni aktivitas menulis. Menulis
juga dipercaya sebagai wadah peningkatan kompetensi,
Asnofidal lebih lanjut menyampaikan faktor penghambat
bagi widyaiswara untuk membuat karya tulis ilmiah, di
antaranya adalah keterbatasan waktu untuk fokus menulis
serta tidak terbiasanya widyaiswara dalam aktivitas literasi,
sehingga masih merasa kaku dalam memulai dan
mengerjakannya. Hal ini dapat menjadi mental blocking
yang kurang menguntungkan.
Mengikuti berbagai workshop dan pelatihan menulis, dapat
memberikan wawasan dan keterampilan bagi pemula
sekaligus memotivasi untuk dapat produktif menulis.
Beberapa hal berikut dapat menjadi panduan bagi para
calon penulis yang ingin belajar menulis, baik dalam bentuk
ilmiah maupun artikel popular bahkan fiksi.
1. Temukan alasan menulis, jauhi mental blocking
Dalam teori motivasi, segala tindakan harus didasari dengan
alasan yang kuat. Menemukan alasan akan membantu kita
untuk mengatasi keengganan dan membuat kita tetap konsisten
menulis. Beberapa orang menulis untuk dapat berbagi
pengetahuan, beberapa lainnya menjadikannya sebagai
wadah aktualisasi diri, lainnya menulis sebagai bagian dari
upaya finansial. Alasan ini bersifat unik pada tiap-tiap inividu,
tapi satu hal yang sama, alasan adalah energi yang akan
membuat seorang penulis akan tetap berkarya.
Menulis membutuhkan kreativitas berpikir. Pada penulis
yang menjadikan aktivitas tersebut sebagai sebuah
aktivitas atau pekerjaan, hal tersebut membutuhkan upaya
tersendiri. Tidak jarang para penulis tersebut mengalami
54
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Opini
mental blocking untuk menyalurkan kreativitasnya. Di sisi
lain, penulis pun dapat menemui kondisi di mana aktivitas
menulisnya menjadi sangat mengalir. Pengalaman ini dalam
psikologi dikenal dengan istilah flow. Kegiatan menulis
merupakan aktivitas yang banyak melibatkan emosional
dan kreativitas, sehingga ini diasumsikan sangat berkaitan
dengan pengalaman flow. Bagi seorang penulis, kondisi yang
mengalir (flow) merupakan suatu pengalaman yang sangat
optimal dalam menghasilkan sebuah karya tulis.
Tak jarang dijumpai orang yang lancar dalam berbicara, tapi
mengaku sulit menulis. Hal ini terjadi karena orang-orang
tertentu cenderung menganggap menulis dan berbicara itu
dua aktivitas yang sangat berbeda jauh. Untuk menangani
hal ini penulis pemula bisa mencoba mengalirkan ide
dengan menggunakan alat perekam untuk disalin ke dalam
tulisan setelahnya. Aplikasi voice note juga bisa digunakan
sebagai alternatif.
2. Siap sedia menyambut ide
Ide ada dimana-mana dan dapat muncul sewaktu-waktu.
Dari obrolan pagi hari bersama sejawat sambil menyeduh
kopi di pantri, berita terkini dari koran dan televisi, kabar
hangat dari media daring saat sedang berada di komuter atau
dari pengalaman dan pengetahuan pribadi yang tiba-tiba
muncul dalam ingatan. Ide tidak menunggu seseorang siap.
Kenali waktu-waktu produktifnya pikiran, saat ide kerap
bermunculan. Simon Sinek, penulis buku terkenal “Starts
with Why” rela memperpanjang waktu mandinya saat
menemukan bahwa 2-3 ide cemerlang didapatkannya saat
badan rileks terguyur air. Saat sedang mengerjakan proyek
bukunya, dinding rumah dipenuhi tempelan post-it-notes
tidak terkecuali dinding kamar mandi.
Hal yang sama bisa kita lakukan. Jika ide tiba-tiba muncul,
segera ambil alat pencatat dan tuangkan kata-kata kunci yang
terbersit di benak. Alat pencatat dapat berupa apa saja. Jika
tidak sedang menggunakan laptop atau komputer, gunakan
menu/ aplikasi catatan di ponsel, memo kecil dan pensil,
kertas post-it. Kata-kata kunci ini dapat dilihat kembali dan
dirangkai lalu didetilkan dalam tulisan jika sudah ada waktu
yang lebih panjang. Jangan biarkan ide menguap begitu saja
sebelum sempat dituliskan. Bersiaplah selalu menyambut
kedatangan ide.
3. Buat asosiasi dengan waktu, tempat dan alat
menulis
Membuat asosiasi akan menumbuhkan kelekatan dengan
aktivitas tertentu. Tips ini juga berlaku untuk kegiatan
menulis. Membuat
asosiasi dengan waktu
berarti menetapkan
berapa lama dan
pukul berapa setiap
hari diluangkan untuk
menulis. Lebih baik
lagi jika kita dapat
mengenali waktu
produktif kita, maka
kegiatan menulis
bisa kita asosiasikan
pada waktu tersebut.
Beberapa orang
menemukan waktu
produktifnya 30 menit
di pagi hari, saat berada
dalam perjalanan atau
baru tiba di tempat
kerja. Ada pula yang menemukan kreativitasnya menyala
pada sore hari, 20 menit menjelang persiapan pulang.
Bagi yang menyukai kesunyian dini hari, merasa lebih
lancar menulis di pagi yang sepi, sambil menunggu terbitnya
matahari. Tidak harus lama, tapi harus konsisten. Asosiasi
ini dapat pula dilekatkan pada rutinitas harian untuk
memudahkan pelaksanaannya.
Membuat asosiasi dengan tempat berarti menetapkan lokasi
spesifik untuk menulis. Di meja kerja, di meja dapur, dalam
kereta komuter atau bus jemputan, di sudut perpustakaan.
Pilihlah tempat favorit untuk menulis. Suatu tempat yang
secara rutin kita kunjungi setiap hari, yang berada di
dalamnya akan mendorong kita merasa berkewajiban untuk
menuangkan ide dalam tulisan.
Membuat asosiasi dengan alat artinya menetapkan alat dan
sarana yang digunakan untuk menulis, sehingga setiap kali
menyentuh atau melihat atau menggunakan alat tersebut,
muncul keinginan untuk menulis. Beberapa penulis mengasosiasikan
kegiatan menulis dengan laptop atau komputernya,
sehingga setiap kali membuka laptop atau komputer,
segera tergerak untuk merangkai kata menjadi tulisan. Kelekatan
juga dapat dilakukan pada ponsel, yang kerap menemani
kegiatan sehari-hari. Alih-alih menggunakan hanya
untuk memutakhirkan status, telepon pintar ini juga bisa
menjadi sarana untuk menjadi penulis yang produktif.
Untuk penulis pemula dapat menggunakan tiga asosiasi
sekaligus. Mulailah dengan mengkondisikan diri untuk
harus menulis saat berada dalam tempat favorit, di waktu
favorit dan sedang menggunakan sarana favorit. Kondisi ini
dapat berupa misalnya waktu pagi hari selama 30 menit di
meja kerja saat menggunakan komputer atau di sore hari
selama 20 menit saat berada dalam bus jemputan dengan
menggunakan ponsel. Jika dilakukan secara rutin, maka
secara bertahap gairah menulis akan terus tumbuh sehingga
nantinya akan dapat lebih mudah termotivasi meski hanya
dengan satu asosiasi saja.
4. Sediakan waktu terpisah untuk menggali ide, riset
dan menulis
Salah satu kunci sukses proses kreatif yang diinisiasi Walt
Disney adalah dengan melakukan pemisahan tiga proses
yaitu menggali ide dan melakukan riset, merealisasikan
ide dan mengkritisi produk. Dalam menulis pun dianjurkan
untuk tidak menggabungkan aktivitas riset, menuangkan ide
dalam tulisan dan mengedit dalam satu waktu. Jika sedang
riset, jangan menulis. Jika sedang menulis, jangan melakukan
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 55
pengeditan dan koreksi. Biarkan seluruh ide hadir secara
utuh tanpa mempedulikan kualitasnya, detil dapat ditambahkan
kemudian. Hal ini penting untuk mencegah terputusnya
aliran ide serta menjaga proses flow (mengalir)
tetap berlangsung.
Secara praktis, beberapa penulis mengalokasikan waktu
yang berbeda untuk melakukan tiga proses ini dalam
rutinitas hariannya. Menulis selama 30 menit di pagi hari,
brainstorming dan berselancar di internet mencari data
dukung selama 30 menit di sore hari, dilanjutkan 20 menit
melakukan koreksi dan menambahkan detil dan referensi
pada malam hari.
5. Banyak membaca sebagai bahan bakar
Rata-rata penulis memiliki kegemaran membaca yang tinggi.
Aktivitas ini seperti melekat pada menulis. Ini merupakan
satu tips ampuh yang dimiliki banyak penulis untuk menggali
ide, seperti yang dilakukan oleh DR. Daryono, seorang pakar
bidang gempabumi dan tsunami. Aktivitas membaca yang
disarankan oleh penulis produktif ini adalah membaca
berkali-kali lalu mencernanya dengan sangat dalam. Proses
membaca yang telah mencapai level ini bahkan berefek
pada kemampuan menghapal isi bacaan hingga ke detilnya
seperti tahun dan nama tempat. Membaca akan membuat
pemahaman akan satu topik menjadi komprehensif,
sekaligus mengirimkan serta mengekalkan informasi yang
dibaca ke dalam long term memory. Jika sudah berada dalam
kondisi ini, penulis akan lebih mudah mencapai tahap flow
pada proses kreatifnya. Menuangkan ide menjadi mudah
dan menulis pun menjadi lebih lancar.
6. Mulai menulis
Bagi penulis yang benar-benar pemula dan baru mulai
belajar untuk menulis, target pertama yang sebaiknya
ditetapkan adalah lancar menulis. Dalam tahap ini, kualitas
tulisan sebaiknya tidak tidak terlalu dipikirkan. Tujuannya
agar terbentuk kebiasaan menulis sebagai bagian awal dari
pembentukan kemampuan menuangkan ide dan pemikiran.
Diibaratkan membentuk postur binaragawan, tahap lancar
menulis ini seperti membentuk otot-otot lebih dulu. Untuk
menjadikan tulisan lebih sistematis, dapat dilakukan pada
tahap berikutnya setelah seorang penulis melewati masa
kritis pembentukan motivasinya.
Agar lancar menulis, seorang pemula dapat melakukan
free writing atau menulis bebas. Saat ini di sekolah-sekolah
dasar sudah mulai dilakukan aktivitas menjurnal setiap
hari. Ini merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan
kemampuan menulis sejak kanak-kanak. Pada orang dewasa
pun tahap ini sebaiknya tidak dilewatkan. Teknisnya, penulis
menuliskan segala sesuatu secara bebas, sampai lancar
menulis. Setelah melalui tahap ini, biasanya seorang pemula
akan tercengang melihat betapa mudahnya menuangkan
ide dan buah pemikiran dalam satu tulisan. Hal ini tentu
menguntungkan mengingat pencapaian dari satu tahap
akan secara signifikan melonjakkan motivasi sekaligus
kepercayaan diri.
7. Mengedit dan Melakukan Publikasi
Tidak semua tulisan harus dipublikasikan seketika setelah
dihasilkan. Proses pengeditan diperlukan untuk membuat
sebuah tulisan menjadi enak dibaca dan layak publikasi.
Selain memastikan tata naskahnya dan tidak ada kesalahan
ejaan dalam penulisan, perlu juga diperhatikan kesesuaian
dengan format dan ketentuan media yang akan menjadi target
publikasi.
Penulis profesional biasanya mengendapkan tulisan selama
beberapa lama, lalu melakukan tinjau ulang. Hal ini berguna
untuk membuat emosi dan subyetifitas yang menyertai
tulisan dan diperoleh dari proses free writing maupun brainstorming,
menjadi berkurang. Tulisan pun menjadi lebih
obyektif.
Setelah dilakukan pengeditan dan penambahan referensi
yang dapat memperkaya konten, sebaiknya tulisan segera
dipublikasikan. Hal penting yang harus diingat dalam
proses ini bahwa tidak pernah ada karya yang sempurna.
Penulis yang bijak mengetahui kapan waktu yang tepat
untuk berhenti mengedit semata-mata demi mengejar kesempurnaan,
lalu mulai bertindak untuk mempublikasikan.
Tidak perlu menunggu sempurna, aksi nyata menuliskan ide
dan buah pemikiran akan lebih berarti bagi tapak langkah
menjadi seorang penulis yang produktif. Satu-satunya
jalan untuk menjadi penulis adalah dengan mulai menulis.
Sekarang dan saat ini juga.
You might not write well every day, but you can always edit
a bad page.
You can’t edit a blank page – Jodi Picoult
Referensi:
1. Asnofidal, 2019. Motivasi Widyaiswara Dalam Penulisan
Karya Tulis Ilmiah Pada Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Provinsi Jambi. Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Provinsi Jambi Jurnal Sains Sosio
Humaniora Volume 3 Nomor 2 Desember 2019
2. Bolt, C. 2019. How to Write and Lauch Your Book to
$10.000 in 90 Days – The Busy’s Person Guide to Getting
Your Book Done in 30 Minutes Per Day. E-Book. Self-
Publishing School. United States
3. Daryono, 2019. “Menulis dengan Produktif”. Hasil
wawancara: 11 Oktober 2019. Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika.
4. Sinek, S. 2020. Spend more time in the shower. E-article.
Re: Focus, Simple Idea to Help You Thrive.
5. Hamzah, I. F. 2019. Pengalaman menulis pada penulis
nonfiksi: Sebuah wawancara online kualitatif. Fakultas
Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Prosiding
Seminar Nasional Magister Psikologi Universitas
Ahmad Dahlan 08 Agustus, 2019, Hal. 214-220
6. Mastuti, I. 2019. Gampang Jebol Media. E-Book. Jilid-3:
Seri Serba Gampang. Indscript Corporation.
7. Mustafa, A. J, 2019. Kebijakan Manajemen ASN menuju
Smart ASN 2024. Paparan dalam Rakor Administrasi
Kepegawaian 2019 Kemenkes RI. Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
8. PAN-RB, 2017. Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 38
Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Aparatur Sipil
Negara. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia.
9. Takariawan, C. 2017. Agar Menulis Semudah Bernafas.
E-book. Wonderful Publishing. Jogjakarta
Roro Yuliana Purwati, S.Si., M.Si.
(Widyaiswara Madya)
56
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Kisah Inspiratif
Hoegeng
Iman
Santoso
PANTANG
TERIMA
PEMBERIAN
KARENA
JABATAN
Konon, menjadi polisi sudah menjadi cita-cita masa
kecil Hoegeng Iman Santoso. Itu antara lain karena
ia sangat terkesan oleh sosok Ating Natadikusumah
yang kala itu menjabat Kepala Jawatan Kepolisian Karesidenan
Pekalongan. Di mata Hoegeng, Ating yang gagah, suka
menolong, dan banyak teman adalah sosok yang pantas
dijadikan teladan.
Menariknya, saat menapaki dunia pendidikan, Hoegeng
justru mengambil jalur hukum. Selepas bersekolah di Algemeene
Middelbare School (AMS) Yogyakarta, ia malah
melanjutkan ke Rechtshogeschool (RHS) di Jakarta. Ini sangat
mungkin karena ayahnya, Sukario Hatmodjo, berkiprah di
bidang hukum dan sempat menjadi Kepala Kejaksaan Pekalongan.
Perpindahan jalur yang dialami Hoegeng tak terlepas dari
kedatangan Jepang pada 1942. Hoegeng terpaksa harus
pulang ke Pekalongan dan meninggalkan kuliahnya di RHS.
Memasuki 1943, Hoegeng mengikuti pendidikan polisi Leeterling
Hoofdagent Van Politie (Pendidikan Ajun Inspektur
Polisi).
Setelah itu, ia masuk Koto Keitsatsu Gakko (Sekolah Tinggi
Polisi) di Sukabumi pada 1944, mengikuti pendidikan di
Provost Marshall General School, AS, pada 1950, masuk
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 1952, dan
mengikuti Pendidikan Brigade Mobil (Brimob) di Porong
pada 1959.
Kariernya dijalani secara bertahap. Hoegeng pada awalnya
menjadi agen polisi, lalu menjabat Kapolsek Jomblang,
Semarang, pada 1945. Selanjutnya, ia menjabat Kepala Dinas
Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) Surabaya (1952–
1955), Kepala Reskrim Sumatera Utara (1955–1959), Deputi
Operasi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak)
pada 1967–1968, hingga akhirnya diangkat sebagai
Kepala Kepolisian Republik Indonesia pada 1968– 1971.
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 57
Di samping di jalur kepolisian, Hoegeng yang meninggal
di Jakarta pada 14 Juli 2004 juga sempat menjadi kepala
Jawatan Imigrasi RI (1960– 1965) dan Menteri Iuran Negara
RI (1966–1967).
Tutupnya Toko
Kembang Kami
“Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan kepala
jawatan imigrasi?”
Itulah protes yang dilontarkan Merry Roeslani, istri Jenderal
Hoegeng Iman Santoso yang lantas menjadi Kapolri, ketika
diminta sang suami menutup toko kembang milik mereka
hanya satu hari jelang pelantikan sebagai kepala jawatan
imigrasi
Ibu Merry tak habis pikir dengan permintaan suaminya itu
karena toko kembang tersebut adalah salah satu sumber
penghasilan tambahan mereka.
Hoegeng menjawab tegas, “Nanti semua orang yang
berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang
pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko
kembang lainnya.”
Rupa-rupanya, Hoegeng takut toko bunga itu menjadi beban
bagi dirinya dalam menjalankan tugasnya. Dia tak ingin
orang-orang membeli kembang di toko itu hanya karena
melihat jabatan yang diembannya.
Itu Bukan
Rumah Kami
Hoegeng Iman Santosa dan keluarganya mendapat sebuah
kejutan besar ketika diangkat sebagai Kepala Direktorat Reserse
dan Kriminal Polda Sumatera Utara pada 1956. Sempat
berdiam di Hotel De Boer selama beberapa waktu karena
rumah dinas masih dihuni pejabat lama, Hoegeng terkejut
bukan kepalang saat tiba giliran menempati rumah itu.
Rumah dinas itu dipenuhi barang-barang mewah.
Hoegeng tak bisa menerima hal itu. Ia dan keluarganya
berkeras tetap tinggal di hotel jika barang-barang mewah
itu masih ada di sana. Mereka baru akan pindah bila rumah
tersebut hanya diisi barang-barang inventaris kantor. Pada
akhirnya, Hoegeng dan keluarganya mengeluarkan semua
barang mewah itu ke tepi jalan.
Bagi Hoegeng, keberadaan barang-barang mewah itu sangat
mencurigakan. Pasalnya, mereka belum mengenal siapa pun
di tempat baru tersebut. Belakangan diketahui, barangbarang
itu berasal dari bandar judi yang hendak menyuapnya.
Sumber : Buku Orange Juice (Tokoh-Tokoh Bangsa
Berintegritas
Nurhidayat, M.Sc.
(Widyaiswara Madya)
58
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
Serba-Serbi
SERBA SERBI DIBALIK PANDEMI VIRUS CORONA
KEGIATAN YANG JARANG
BAHKAN TIDAK PERNAH DILAKUKAN
PADA SAAT SITUASI NORMAL
Virus Corona Mampu Mengubah
Tradisi Sosial Dunia
gong shou. Untuk pria, tangan kanan
setengah mengepal, dan kemudian
tangan kiri memegang tangan kanan di
depan dada, dan sisi sebaliknya untuk
wanita.
Istilah Virus corona saat ini sedang populer
diperbincangkan oleh hampir semua
manusia di dunia. Hal ini disebabkan
karena penyebarannya begitu cepat
menjalar ke seluruh dunia dan telah
menjangkiti jutaan umat manusia di
dunia. Oleh dahsyatnya serbuan virus
inilah akhirnya mampu merubah kebiasaan-kebiasaan
sosial yang terpaksa
harus dihindari demi mencegah
penyebaran virus yang lebih luas.
Dikatakan bahwa virus ini
penyebarannya bisa melalui kontak
fisik, maka masyarakat dunia terpaksa
mengubah kebiasaan-kebiasaan yang
biasa dilakukan baik di rumah, di tempat
kerja, di sekolah, di tempat umum
hingga di tempat-tempat ibadah.
Seperti dilansir AFP, berikut ini negaranegara
yang harus mengabaikan tradisi
persahabatan mereka demi kesehatan
bersama.
China
Pemerintah China mengambil langkah
drastis demi memutus penyebaran virus
Corona. Setelah penutupan kota
dan pembatasan aktivitas publik,
melalui pengeras suara China menghimbau
masyarakatnya agar tidak
berjabat tangan. Sebagai pengganti
sebaiknya mereka melakukan gestur
Perancis
Masyarakat Perancis terkenal dengan
sapaan yang diikuti dengan cipika-cipiki
di forum informal, meski baru saling
mengenal. Menurut ahli etiket Philippe
Lichfus, berjabat merupakan budaya
yang relatif baru, yang dimulai sejak
abad pertengahan. Kini, menurutnya,
menatap mata seseorang ketika baru
berjumpa sudah cukup.
Brasil
Rekomendasi menteri kesehatan Brasil,
Luiz Henrique Mandetta, adalah agar
para warganya menikmati Chimarrao,
sejenis minuman teh tradisional,
dengan cara berbeda. Biasanya,
beberapa orang membagi satu sedotan
metal untuk menikmatinya. Kini,
mereka sebaiknya menghindari
kebiasaan ini. Selain itu, ciuman yang
lazim dilakukan setelah saling menyapa
juga sangat disarankan untuk dihindari.
Jerman
Untuk membatasi penyebaran virus
corona, para dokter menyarankan
untuk mencuci tangan dan mengurangi
kedekatan fisik. Berjabat tangan juga
harus dihindari. Kanselir Angela Merkel
mengumumkan pada sebuah acara di
Stralsund pada hari Sabtu. “Saya tidak
berjabatan tangan dengan siapa pun
malam ini”.
Di hari Senin, saat Angela Merkel
akan memimpin rapat dan mendekati
Menteri Dalam Negeri Host Seehofer,
ia menjulurkan tangan untuk berjabat
tangan. Sang Menteri hanya mengankat
tangan kanannya. Keduanya
lantas tertawa. “Tidak ada jabat tangan.
Anda benar”, ujar Merkel seperti dilansir
Der Spiegel.
Iran
‘Jabat kaki’ adalah sebuah praktik baru
yang muncul di Iran, negara dengan
kasus infeksi virus corona dengan
kasus meninggal mencapai 66 orang.
Sebagai gestur yang unik dan baru,
tentu saja praktik ini menjadi viral
di dunia maya. ‘Jabat kaki’ ini juga
dilakukan oleh dua selebriti Lebanon,
Ragheb Alama dan Michel Abou Sleiman,
seraya melakukan air kissing.
Selandia Baru
Tradisi penyambutan suku Maori
yakni hongi, dimana dua orang yang
bertemu saling menempelkan hidung
mereka, untuk sementara tidak
dilakukan oleh beberapa institusi
pendidikan untuk menyambut muridmurid
baru. Penggantinya, mereka
mendendangkan waiata, lagu selamat
datang suku Maori, seperti yang
dilakukan oleh Politeknik WelTec di
Wellington.
Munculnya Istilah-Istilah Baru/
Populer
Setelah dunia diguncang wabah covid19
maka muncul istilah-istilah baru/
popular yang dulu saat kondisi normal
belum pernah/jarang didengar istilahistilah
tersebut diantaranya adalah :
1. Social Distancing.
Istilah ‘social distancing’ atau lebih
dikenal dengan istilah ‘pembatasan
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 59
sosial’ adalah menghindari tempat
umum, menjauhi keramaian, dan
menjaga jarak optimal 2 meter dari
orang lain.
Dengan adanya usaha menjaga jarak,
maka diharapkan penyebaran virus corona
ini dapat dicegah/berkurang.
2. Physical Distancing
Dilihat dari artinya, physical distancing
merujuk pada tindakan menjaga jarak
fisik antara satu orang dengan orang
lain. Setelah social distancing mulai
populer, Badan Organisasi Kesehatan
orang-orang yang tinggal serumah.
4. Lockdown
Istilah ‘lockdown’ berarti karantina
wilayah, yaitu pembatasan
khusus terkait aspek pertahanan
dan keamanan
Aturan meliburkan tempat kerja
memberikan pengecualian untuk
tempat kerja yang memberikan
pelayanan pertahanan keamanan,
ketertiban umum, kebutuhan pangan,
bahan bakar minyak dan gas, pelayanan
kesehatan, perekonomian, komunikasi,
industri, ekspor impor, distribusi logistik,
dan kebutuhan dasar lainnya.
7. WFH (Work From Home)
Menurut artinya WFH adalah bekerja
darim rumah. Kebijakan WFH dipilih
Dunia WHO mengubah penggunaan
istilah social distancing menjadi physical
distancing. Alasan mengganti frasa
social distancing menjadi physical
distancing salah satunya adalah agar
setiap orang bisa saling menguatkan
satu sama lain, meski secara fisik tidak
bisa berdekatan. Mengutip pidato Pak
Jokowi dalam agenda rapat terbatas
melalui video conference dengan
para Gubernur seluruh Indonesia di
Istana Merdeka, pada tanggal 24 Maret
2020 mengatakan bahwa “Di negara
kita yang paling pas adalah physical
distancing, menjaga jarak aman,” ini
artinya bahwa kita masih dapat tetap
terhubung secara sosial walaupun
ketika terpisah.
3. Isolasi dan karantina
Kedua istilah terkait virus Corona
ini merujuk pada tindakan untuk
mencegah penularan virus corona dari
orang yang sudah terpapar virus ini ke
orang lain yang belum. Perbedaannya
adalah isolasi memisahkan orang yang
sudah sakit dengan orang yang tidak
sakit untuk mencegah penyebaran
virus corona, sedangkan karantina
memisahkan dan membatasi kegiatan
orang yang sudah terpapar virus corona
namun belum menunjukkan
gejala. Berbagai pakar menganjurkan
untuk melakukan karantina di rumah
atau isolasi mandiri selama setidaknya
14 hari. Selama karantina, Anda
dianjurkan untuk tinggal di rumah
sambil menjalani pola hidup bersih dan
sehat, tidak bertemu orang lain, dan
menjaga jarak setidaknya 2 meter dari
60
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
pergerakan penduduk dalam suatu
wilayah, termasuk menutup akses
masuk dan keluar wilayah. Penutupan
jalur keluar masuk serta pembatasan
pergerakan penduduk ini dilakukan
untuk mengurangi kontaminasi
dan penyebaran penyakit covid 19
sehingga diharapkan dapat memutus
penyebaran virus corona tersebut.
5. PDP (Pasien dalam pengawasan)
dan ODP (orang dalam pemantauan)
PDP dan ODP merupakan definisi yang
digunakan untuk mengelompokkan
individu berdasarkan:
• Gejala demam dan/atau gangguan
pernapasan
• Riwayat perjalanan ke daerah
pandemi infeksi virus corona atau
tinggal di daerah tersebut selama
14 hari terakhir sebelum gejala
timbul
• Riwayat kontak dengan orang yang
terinfeksi atau diduga terinfeksi
covid 19 dalam 14 hari terakhir
sebelum gejala timbul
6. PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar)
Sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan yang dikeluarkan untuk
penanganan covid 19, beberapa
daerah di Indonesia memberlakukan
Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB). Selama PSBB, pemerintah
daerah akan melakukan beberapa hal
berikut ini:
• Meliburkan sekolah dan tempat
kerja
• Pembatasan kegiatan keagamaan
• Pembatasan kegiatan di tempat
atau fasilitas umum
• Pembatasan kegiatan sosial
budaya
• Pembatasan moda transportasi
• Pembatasan kegiatan lainnya
oleh banyak perusahaan, lembaga
pemerintahan hingga sekolah-sekolah.
Jika dilihat dalam situasi pandemi covid
19 ini, WFH dilakukan guna mencegah
penularan penyakit selama menuju dan
berada di tempat kerja. Selain terkait virus,
bagi sebagian orang menganggap
bahwa WFH dapat menjadi solusi
tanggungjawab pekerjaan kantor dan
pekerjaan rumah, karena dirumah bisa
mengerjakan pekerjaan kantor dari
pekerjaan individu hingga kerja tim
bahkan metting atau rapat-rapat. Dibalik
itu sekaligus kita dapat melakukan
pekerjaan rumah.
Itulah berbagai istilah terkait infeksi
virus corona atau covid 19. Untuk
meminimalkan risiko Anda terjangkit
penyakit ini, patuhilah anjuran dokter
dan pemerintah. Selain mencuci
tangan, memakai masker, serta
menjalani pola hidup bersih dan sehat,
hindari tempat-tempat yang ramai atau
berkumpul dengan banyak orang.
Pandemi COVID-19 memang
mengkhawatirkan, tetapi setiap orang
dapat membantu meringkankan
kondisi ini dengan melakukan perannya
masing-masing.
Referensi :
1. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200303154912-284-480133/
corona-virus-yang-mengubahtradisi-sosial-dunia
2. https://www.alodokter.com/beragam-istilah-terkait-virus-coronadan-covid-19
Nurhidayat, M.Sc.
(Widyaiswara Madya)
Resensi Buku
Belajar Membuat WhiteBoard Animation
Untuk Pemula
Judul Buku :
Belajar Membuat Whiteboard Animation Untuk Pemula
Pengarang :
Jefferly Helianthusontri
Penerbit :
Elex Media Komputindo
Tebal Halaman :
viii+200 Halaman; 14cm x 21cm
Cetakan pertama : 2019
Saat ini era perkembangan
teknologi informasi dan
multimedia sangat pesat
dan beragam, salah saatu
diantaranya adalah teknologi pengolah
animasi video. Salah satu jenis video
yang populer di internet saat ini adalah
video whiteboard animation. Whiteboard
animation merupkan sebuah
proses dimana cerita atau storyboard
berupa gambar digambar pada papan
tulis putih (whiteboard) atau sesuatu
yang lain yang tampak seperti papan
tulis putih. Kita bisa menggunakan
video whiteboard animation untuk
berbagai keperluan, mulai dari video
promosi, video edukasi, video tutorial,
video konten YouTube, video profil
bisnis, dan banyak lagi. Bagi seorang
tenaga pengajar, widyaiswara atau
guru buku ini akan sangat bemanfaat
dalam memberikan alternative
terhadap berbagai pilihan teknologi
untuk membuat bahan ajar yang
interaktif menggunakan tools berbagai
platform white board animation yang
tersedia di internet baik yang berbayar
maupun yang gratis. Tentunya hal
ini sangat membantu bagi pengajar
yang ingin berkreasi dan berinovasi
dalam menyajikan ragam metode
pembelajaran kepada peserta didik
menggunakan video pembelajaran,
sehingga hal ini akan menarik dan
meningkatkan motivasi siswa dalam
belajar.
Buku ini akan memandu pembaca
membuat whiteboard animation dengn
mudah dan praktis. Setelah membaca
ini pembaca dapat mempraktekkan
isi buku ini. Buku ini terdiri dari 9 Bab,
dan masing-masing bab menyajikan
pengetahuan yang menarik dan
sangat membantu pembaca untuk
mempraktekkan membuat video whiteboard
animation sendiri. Bab I pada
buku menjelaskan pendahuluan yang
menjelaskan tentang whiteboard animation,
mengapa kita membutuhkan
whiteboard animation, dan penjelasan
mengenai software-software yang
dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
video whiteboard animation dan yang
dijelaskan pada bab-bab selanjutnya.
Pada Bab II berisi tentang perencanaan
video, yang dimulai dari bagaimana
mendapatkan ide untuk pembuatan
video. Selanjutnya dijelaskan juga
mengenai teknik penulisan naskah
video, dan penjelasan tentang videoscribe.
Bab III dari buku ini menjelaskan
tentang bagaimana mempersiapkan
kelengkapan video, yang dimulai
dari cara mendapatkan grafis yang
dibutuhkan pada sumber-sumber
gambar dan ilustrasi gratis di internet,
selain itu juga penjelasan mencari
sumber musik untuk menambah
kelengkapan saat pembuatan video.
Selanjutnya pada Bab IV merupakan inti
dari buku ini, yaitu teknik pembuatan
whiteboard animation menggunakan
aplikasi videoscribe. Pembuatan video
ini diawali dengan membuat intro video,
membuat isi video, penambahan
rekaman suara pada video dan musik
pada video, dan teknik mengekspor
video yang sudah selesai dikerjakan.
Pada bab ini pembaca akan dipandu
secara runut, step by step dalam
membuat video nya. Langkahnya
mudah untuk diikuti. Kemudian pada
bagian Bab V sampai dengan Bab
VII pembaca akan diberikan alternative
pilihan dalam pembuatan video
menggunakan aplikasi selain videoscribe,
yaitu menggunakan video
animaker, video explainer, dan ren-
Edisi 7 Tahun 2020 I M E D I A P U S D I K L A T B M K G 61
derforest. Kelebihan buku ini adalah
penulis dengan sangat runut step by
step membimbing pembaca untuk
mempraktekkan membuat video
dengan mudah, dan ini sangatlah
cocok bagi pemula. Kemudian pada
Bab VIII dijelaskan bagaimana teknik
mempublikasikan video, baik melalui
youtube, maupun membagikan video
di situs web. Pada bagian ini pembaca
akan dibimbing bagaimana membuat
akun di youtube dan membuat situs
web untuk mempublikasikan
hasil karya video yang sudah berhasil
dibuat. Pada bagian akhir dari buku ini
yaitu di Bab IX pembaca akan diberikan
motivasi dengan memanfaatkan karya
yang berhasil dibuat untuk selanjutnya
dipromosikan ke internet sehingga
akan berpotensi untuk mendapatkan
passive income dari internet. Pada
bab ini juga dijelaskan bagaimana
teknik monetisasi di akun youtube
untuk mendapatkan penghasilan
dari youtube memanfaatkan hasil
karya video yang telah dipublikasikan.
Selanjutnya dijelaskan juga bagaimana
mempromosikan video kita
menggunakan situs web yang praktis
dan mudah untuk dibuatnya dengan
memanfaatkan situs penyedia layanan
situs web gratis.
Setelah kita membaca keseluruhan
rangkaian buku ini, rasanya tidak akan
menemukan kekurangan yang berarti,
karena buku ini memberikan panduan
secara step by step bagi pembaca
sehingga mampu mempunyai keahlian
dalam membuat video whiteboard
animation. Dengan membaca buku
ini, tentunya bagi para widyaiswara,
pengajar akan lebih tertarik dalam
mengembangkan diri dalam
memberikan alternative pembelajaran
yang sangat menarik dan sedang popular
saat ini. Hal ini akan meningkatkan
minat peserta diklat/atau siswa didik
untuk menyimak bahan pembelajaran
yang disajikan.
Diresensi oleh:
Arisman,S.Si,M.Si.
(Widyaiswara Muda)
62
M E D I A P U S D I K L A T B M K G I Edisi 7 Tahun 2020
BMKG
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA
Jalan Angkasa I No. 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720 - Indonesia
Telp & Fax : (021) 65867058