13.04.2020 Views

FINAL BASELINE REPORT OF SORONG SELATAN - ID

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

USAID SUSTAINABLE ECOSYSTEMS ADVANCED

(SEA) PROJECT | INDONESIA

BASELINE REPORT SORONG SELATAN,

PAPUA BARAT PROVINCE

Ecology, Fisheries, and Social’s Status

WWF-ID | SEA Project

2017


LAPORAN DATA DASAR KABUPATEN SORONG SELATAN

Status Ekologi, Perikanan, dan Sosial

Penulis

Ringkasan Eksekutif: Navisa Nurbandika

Pendahuluan: Navisa Nurbandika & Umi Kalsum Madaul

Status Ekologi: Ehdra Beta Masran, Dirga Daniel, Adib Mustofa, & Navisa Nurbandika

Status Sosial: Irwanto, Inayah & Vinsensius Aman

Aktivitas Perikanan: Inayah &Oktavianto Prasetyo Darmono

Pemanfaatan Sumber Daya Laut: Irwanto

Peluang dan Tantangan: Navisa Nurbandika & Irwanto

Kontributor

Adib Mustofa, Adrian Damora, Ahmad Fahrizal, Amir M. Suruwaky, Christ Rontinsulu, Dirga Daniel, Ehdra

Beta Masran, Fajar Adi P., Inayah, Irwanto, Jhon. Tahoba, La Ode Hasanudin, Marice B. Moom, Melisa

Masengi, M. Dani, Navisa Nurbandika, Oktavianto Prasetyo Darmono, Radityo Hanurjoyo, Rinaldy Ayal,

Risky Abbas, Roberth W. Pattipeiluhu, Subakti Catur Okta Riza, Umi Kalsum Madaul, Vincensius Aman,

Yunita Tanggahma, Zulfirman Rahyantel.

Foto Sampul: Inayah

Desain dan Tata Letak: Navisa Nurbandika


RINGKASAN EKSEKUTIF

WWF-Indonesia, dalam Proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) USAID, mendukung

Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati laut, produktivitas

perikanan dan pemanfaatan sumber daya laut berkelanjutan di WPPNRI-715. Mengenai peningkatan

keberlanjutan dan ketahanan habitat dan masyarakat pesisir, WWF-Indonesia mendukung hal tersebut

dengan mempromosikan kawasan konservasi perairan di beberapa lokasi. Kabupaten Sorong Selatan

yang berada di Provinsi Papua Barat dipilih sebagai salah satu kawasan potensial untuk dikembangkan

sebagai Kawasan Konservasi Perairan.

WWF-ID | Proyek SEA telah menyelesaikan pengumpulan data primer ekologi, perikanan, dan sosial

untuk studi awal KKP baru - seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri No. 2/2009 - di

Kabupaten Sorong Selatan. Survei data dasar dilaksanakan pada tanggal 12-27 Juli 2017 dengan

melibatkan DKP Provinsi Papua Barat, BKSDA Provinsi Papua Barat, DKP Kabupaten Sorong Selatan, UKIP

(Universitas Kristen Indonesia Papua), PIP (Politeknik Ilmu Perikanan Sorong), dan UMS (Universitas

Muhammadiyah Sorong). Survei tersebut meliputi 11 desa di 7 distrik untuk pengumpulan data

perikanan dan sosial dan 18 stasiun pengamatan di sepanjang wilayah pesisir untuk pengumpulan data

ekologi.

Ekologi Mangrove

Daerah pesisir Kabupaten Sorong Selatan sebagian besar tertutup oleh hutan mangrove. Luas

mangrove primer sekitar 414,18 Ha dan mangrove sekunder mencapai 291,68 Ha. Dari 52 jenis

mangrove yang telah diidentifikasi di Papua Barat, 33 jenis mangrove ditemukan di Sorong Selatan. Jenis

mangrove yang paling dominan adalah Rhizophora apiculata dengan nilai kerapatan 164,81 individu/Ha.

Sementara itu, bibit mangrove spesies Brugeira exaristata memiliki nilai kerapatan tertinggi-459,26

individu/Ha. Kualitas perairan mangrove di Sorong Selatan menunjukkan hasil yang baik untuk habitat

juvenile, biota asosiasi, dan satwa terestrial.

Status sosial

Kabupaten Sorong Selatan adalah rumah bagi tiga suku asli Papua-Imeko, Tehit, dan Maybrat. Dua di

antaranya, Imeko dan Tehit, tinggal di daerah pesisir dan hidup berdampingan dengan masyarakat

migran di desa mereka. Semua desa tidak memiliki pasokan listrik dari PLN dan karenanya sebagian

besar masyarakat menggunakan generator sebagai sumber utama mereka. Fasilitas pendidikan

disediakan di semua kabupaten sampel kecuali di Kabupaten Saifi. Di daerah pesisir orang

mengandalkan air hujan dan air tanah untuk air bersih. Tidak ada akses air bersih dari PDAM di lokasi ini.

Sebagian besar orang di Sorong Selatan telah mengandalkan hidup mereka pada perikanan udang

sebagai pendapatan utama mereka. Namun, di beberapa desa seperti Mate, Tarof dan Botain, beberapa

penduduk mendapatkan penghasilan alternatif dari hasil kebun dan ternak.

i


Kegiatan Perikanan

Udang merupakan komoditas perikanan yang paling penting di Sorong Selatan. Jenis udang yang

terkumpul di daerah ini adalah udang jerbung, udang dogol, dan udang galah. Banyak kelompok nelayan

dibangun berdasarkan pinjaman modal dari pengumpul udang. Pinjaman modal dapat berupa alat

tangkap, bahan bakar, dan kebutuhan logistik dalam kegiatan perikanan. Sebagian besar nelayan

menggunakan perahu mesin tempel dan jaring udang untuk menangkap udang. Kondisi cuaca lokal

sangat berpengaruh terhadap musim penangkapan udang. Rata-rata hari memancing adalah 240-250

hari per tahun. Harga udang nelayan bervariasi antar tiap kabupaten. Harga udang tertinggi terdapat di

Teminabuan, senilai Rp 95.000,-/kg dan yang terendah di Kokoda seharga Rp 45.000,-/kg. Sekitar 73%

nelayan mengaku memiliki produksi perikanan udang yang lebih tinggi dalam 5 tahun terakhir.

Pemanfaatan Sumber Daya Laut

Pemanfaatan sumber daya laut di Kabupaten Sorong Selatan terikat oleh adat setempat. Kawasan

pesisir, yang terdiri dari ekosistem mangrove dan perairan sekitarnya, diklaim menggunakan hak adat.

Biasanya disebut sebagai wilayah laut adat atau "Hak Ulayat" oleh klan tertentu. Untuk mengakses

sumber daya laut d seluruh wilayah diperlukan izin dari pemilik atau klan lokal yang memiliki kekuasaan

atas pemanfaatan laut. Secara adat, sasi atau tradisi lokal untuk membatasi pemanfaatan sumber daya

laut di Sorong Selatan, belum pernah terbentuk.

Peluang dan Tantangan

Meningkatnya jumlah nelayan di Kabupaten Sorong Selatan perlu dilengkapi dengan pendidikan dan

peraturan terkait dengan aktivitas perikanan berkelanjutan. Peran pemerintah dalam usaha perikanan

dan fasilitas pascapanen dibutuhkan untuk memperbaiki perekonomian nelayan. Adat yang kuat dan

keterbukaan masyarakat lokal dapat menjadi peluang untuk memperkenalkan isu-isu konservasi di

wilayah ini. Oleh karena itu, baik untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan atau untuk

membuat sistem pengelolaan perikanan, pendekatannya harus melibatkan peraturan adat dari Papua.

ii


DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL .......................................................................................................................................... viii

AKRONIM DAN SINGKATAN ........................................................................................................................ ix

I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang................................................................................................................................ 1

1.2. Tujuan ............................................................................................................................................ 2

1.3. Luaran ............................................................................................................................................ 2

II. STATUS EKOLOGI .................................................................................................................................. 3

2.1. Pendahuluan .................................................................................................................................. 3

2.2. Metode .......................................................................................................................................... 3

2.2.1. Pengumpulan Data ............................................................................................................... 4

2.2.2. Analisis Data ......................................................................................................................... 6

2.3. Hasil ............................................................................................................................................... 8

2.3.1. Distribusi Ekosistem Mangrove ............................................................................................ 8

2.3.2. Kualitas Air Laut.................................................................................................................. 14

2.3.3. Vegetasi Mangrove ............................................................................................................ 20

2.3.4. Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial .................................................................................... 24

2.3.5. Kesehatan, Pemanfaatan dan Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ............................ 27

2.4. Referensi ...................................................................................................................................... 29

III. STATUS SOSIAL ................................................................................................................................... 30

3.1. Pendahuluan ................................................................................................................................ 30

3.2. Metode ........................................................................................................................................ 31

3.2.1. Profil Desa .......................................................................................................................... 31

3.2.2. Kondisi Sosial dan Ekonomi Rumah Tangga........................................................................ 32

3.3. Hasil ............................................................................................................................................. 32

3.3.1. Fasilitas ............................................................................................................................... 32

3.3.2. Pendidikan .......................................................................................................................... 36

3.3.3. Kesehatan, Air Bersih, dan Sanitasi .................................................................................... 37

iii


3.3.4. Masyarakat ......................................................................................................................... 38

3.4. Referensi ...................................................................................................................................... 44

IV. AKTIVITAS PERIKANAN TANGKAP ....................................................................................................... 45

4.1. Pendahuluan ................................................................................................................................ 45

4.2. Metode ........................................................................................................................................ 45

4.2.1. Waktu dan Lokasi Pengambilan Data ................................................................................. 45

4.2.2. Metode Pengambilan Data ................................................................................................. 46

4.2.3. Analisis Data ....................................................................................................................... 47

4.3. Hasil ............................................................................................................................................. 47

4.3.1. Spesies Ikan Target ............................................................................................................. 47

4.3.2. Alat Tangkap (Peta Alat Tangkap) ....................................................................................... 48

4.3.3. Aktivitas Perikanan yang Merusak...................................................................................... 49

4.3.4. Armada Perikanan .............................................................................................................. 50

4.3.5. Lokasi Penangkapan Ikan ................................................................................................... 51

4.3.6. Variasi Musim Penangkapan .............................................................................................. 51

4.3.7. Tren Perikanan dalam Lima Tahun ..................................................................................... 53

4.3.8. Pendaratan Ikan ................................................................................................................. 54

4.3.9. Sistem Usaha Perikanan di Kabupaten Sorong Selatan ...................................................... 58

4.4. Referensi ...................................................................................................................................... 64

V. PEMANFAATAN DAN TATA KELOLA SUMBER DAYA LAUT .................................................................. 65

5.1. Pendahuluan ................................................................................................................................ 65

5.2. Metode ........................................................................................................................................ 65

5.3. Hasil ............................................................................................................................................. 66

5.3.1. Peraturan untuk Pengelolaan Sumber Daya Laut ............................................................... 66

5.3.2. Pemanfaatan Langsung dan Tidak Langsung ...................................................................... 69

5.3.3. Pengguna Sumber Daya Laut .............................................................................................. 70

5.3.4. Kelompok Masyarakat ........................................................................................................ 71

5.3.5. Pengambilan Kebijakan Sumber Daya Laut ........................................................................ 71

5.3.6. Konflik Penggunaan Sumber Daya Laut .............................................................................. 71

5.4. Referensi ...................................................................................................................................... 73

VI. PELUANG DAN TANTANGAN .............................................................................................................. 74

VII. LAMPIRAN .......................................................................................................................................... 75

7.1. Perikanan ..................................................................................................................................... 75

iv


7.2. Indikator Pemantauan Kerja (PMI) ............................................................................................... 76

7.3. Dokumentasi ................................................................................................................................ 83

7.4. Data Hasil Observasi .................................................................................................................... 83

v


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2- 1 Lokasi pengamatan ekologi mangrove Kabupaten Sorong Selatan ........................................ 4

Gambar 2- 2 Ilustrasi pengambilan data mangrove beserta plot pengamatannya ..................................... 5

Gambar 2- 3 Tutupan mangrove di Kab. Sorong Selatan ............................................................................ 8

Gambar 2- 4 Zona mangrove zones (Giesen, dkk)....................................................................................... 9

Gambar 2- 5 Pola zona mangrove di setiap distrik Kabupaten Sorong Selatan ......................................... 10

Gambar 2- 6 Temperatur air laut di 18 stasiun pengamatan Sorong Selatan ........................................... 16

Gambar 2- 7 Nilai pH air laut di 18 stasiun pengamatan ........................................................................... 16

Gambar 2- 8 Salinitas air laut di 18 stasiun pengamatan .......................................................................... 17

Gambar 2- 9 Kecerahan air laut di 18 stasiun pengamatan ...................................................................... 17

Gambar 2- 10 Dissolved Oxygen di 18 stasiun pengamatan ..................................................................... 18

Gambar 2- 11 Total Suspended Solid (TSS) di 18 stasiun pengamatan ..................................................... 18

Gambar 2- 12 Kerapatan mangrove di 18 lokasi pengamatan di Kab. Sorong Selatan.............................. 21

Gambar 2- 13 Jumlah pohon mangrove berdasarkan kelas diameter ...................................................... 24

Gambar 2- 14 Jumlah biota asosiasi di lokasi survei ................................................................................. 25

Gambar 3- 1 Jenis armada perikanan tangkap nelayan ............................................................................ 32

Gambar 3- 2 Kepemilikian alat tangkap perikanan masyarakat ................................................................ 34

Gambar 3- 3 Penggunaan bahan bakar untuk memasak .......................................................................... 34

Gambar 3- 4 Kondisi ketersediaan listrik .................................................................................................. 35

Gambar 3- 5 Akses kominikasi masyarakat ............................................................................................... 36

Gambar 3- 6 Akses air bersih masyarakat ................................................................................................. 37

Gambar 3- 7 Akses dan kepemilikan fasilitas sanitasi-jamban .................................................................. 38

Gambar 3- 8 Jumlah pengepul udang di lokasi survei ............................................................................... 39

Gambar 3- 9 Kepemilikan lahan perkebunan di lokasi pengamatan ......................................................... 39

Gambar 3- 10 Kepemilikan ternak masyarakat di lokasi pengamatan ...................................................... 40

Gambar 3- 11 Jenis komoditas perikanan selain udang dan kepiting di kampung target ......................... 41

Gambar 3- 12 Produksi perikanan tangkap Kabupaten Sorong Selatan (Sumber: Analisa BPS Statistik

Provinsi Tahun 2007-2016) ................................................................................................. 41

Gambar 4- 1 Peta pendaratan hasil tangkapan dan lokasi pengambilan data perikanan ......................... 46

Gambar 4- 2 Presentase alat tangkap yang digunakan nelayan di lokasi pengamatan ............................. 48

Gambar 4- 3 Akar bore atau Derris elliptica .............................................................................................. 49

Gambar 4- 4 Jenis armada penangkapan di lokasi pengamatan ............................................................... 50

Gambar 4- 5 Jenis perahu yang digunakan oleh nelayan di Perairan Kabupaten Sorong Selatan (dari

kanan ke kiri: perahu dengan dayung, perahu mesin dalam, perahu mesin luar) ............... 50

Gambar 4- 6 Peta lokasi penangkapan ikan di Kabupaten Sorong Selatan ............................................... 51

Gambar 4- 7 Spesies udang target nelayan Sorong Selatan ...................................................................... 54

Gambar 4- 8 Salah satu jenis kepiting target tangkapan nelayan Sorong Selatan .................................... 55

Gambar 4- 9 Hasil tangkapan sampingan (bycatch) nelayan Sorong Selatan ............................................ 55

Gambar 4- 10 Komposisi hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap trammel net ............................. 57

Gambar 4- 11 Sebaran panjang udang jerbung yang tertangkap di perairan Kabupaten Sorong Selatan 57

Gambar 4- 12 Produksi udang di salah satu penampung, Kampung Wamargege periode Januari-Juni

2017 dalam satuan kilogram (kg) ....................................................................................... 59

vi


Gambar 4- 13 Rantai pemasaran udang di Kabupaten Sorong Selatan ..................................................... 62

Gambar 4- 14 Rantai pemasaran kepiting di Kabupaten Sorong Selatan .................................................. 63

Gambar 5- 1 Hak ulayat laut dari suku-suku yang berada di Sorong Selatan ............................................ 69

Gambar 5- 2 Pemanfaatan sumber daya perairan sungai untuk penangkapan udang oleh nelayan

perempuan .......................................................................................................................... 70

Gambar 5- 3 Komposisi nelayan di lokasi pengamatan Kabupaten Sorong Selatan .................................. 71

vii


DAFTAR TABEL

Tabel 2- 1 Parameter kualitas air laut yang diamati .............................................................................. 6

Tabel 2- 2 Macam-macam spesies mangrove berdasarkan pengamatan ........................................... 11

Tabel 2- 3 Jenis mangrove dan tanaman asosiasi mangrove Sorong Selatan ...................................... 13

Tabel 2- 4 Hasil parameter kualitas air laut Sorong Selatan ................................................................ 15

Tabel 2- 5 Lokasi dan waktu pengukuran kualitas air laut .................................................................. 19

Tabel 2- 6 Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (Fr), Dominasi (D),

Dominasi Relatif (Dr), dan Indeks Nilai Penting (INP) Pohon Mangrove ............................. 20

Tabel 2- 7 Keanekaragaman (H’), Kekayaan (R), dan Kemerataan (E’) Pohon Mangrove .................... 22

Tabel 2- 8 Kerapatan (K), Kerapatan relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi relatatif (Fr) dan Indeks Nilai

Penting (INP) Pancang ........................................................................................................ 22

Tabel 2- 9 Kerapatan (K), Kerapatan relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi relatif (Fr) dan Indeks Nilai

Penting (INP) Semai ............................................................................................................ 23

Tabel 2- 10 Keanekaragaman (H’), kemerataan (E’), dan kekayaan (R) biota asosiasi setiap stasiun

pengamatan ........................................................................................................................ 25

Tabel 2- 11 Jenis burung terrestrial Sorong Selatan ............................................................................ 26

Tabel 2- 12 Jenis reptil yang ditemukan di hutan mangrove Sorong Selatan ...................................... 27

Tabel 3- 1 Lokasi pengamatan kondisi sosial masyarakat Sorong Selatan .......................................... 31

Tabel 3- 2 Ketersediaan layanan fasilitas pendidikan ......................................................................... 36

Tabel 3- 3 Klasifikasi wilayah adat di Papua Barat............................................................................... 42

Tabel 3- 4 Deskripsi suku Imeko dan Tehit .......................................................................................... 42

Tabel 4- 1 Spesies target mayoritas nelayan Sorong Selatan .............................................................. 47

Tabel 4- 2 Tipe alat tangkap nelayan di daerah pengamatan ............................................................. 48

Tabel 4- 3 Musim penangkapan udang di lokasi pengamatan ............................................................ 52

Tabel 4- 4 Hasil pengamatan di lokasi pendarata ikan Kabupaten Sorong Selatan ............................. 56

Tabel 4- 5 Harga udang dan kepiting di Kabupaten Sorong Selatan.................................................... 58

Tabel 4- 6 Jumlah pengepul di Kabupaten Sorong Selatan ................................................................. 60

Tabel 5- 1 Lokasi pengamatan aktivitas pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut ......................... 65

Tabel 7- 1 Daerah penangkapan dan waktu tempuh nelayan ............................................................. 75

viii


AKRONIM DAN SINGKATAN

BIG

BPS

CPUE

DBH

DKP

DO

FGD

WPP

GPS

INP

KEPMEN LH

KII

KKP

Komnas Kajiskan

LBD

LHS

NDVI

Badan Informasi Geospasial

Badan Pusat Statistik

Catch per Unit Effort (Hasil Tangkapan per Unit)

Diameter at Breast Height (Diameter Setinggi Dada)

Dinas Kelautan dan Perikanan

Dissolved Oxygen (Oksigen Terlarut)

Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah)

Wilayah Pengelolaan Perikanan

Global Positioning System

Index Nilai Penting

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

Key Informant Interview (Wawancara Informan Kunci)

Kawasan Konservasi Perairan

Komisi Nasional Kajian Stok Ikan

Length at Breast Diameter (Panjang pada Diameter setinggi Dada)

Lembaran Hasil Survei

Normalized Difference Vegetation Index

(Indek Perbedaan Vegetasi Ternomalisasikan)

PDAM

PERKA

PERMEN KP

PIP

PK

PLN

PU

POKMASWAS

RANPERDASUS

RTP

Perusahaan Daerah Air Minum

Peraturan Kepala Badan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Politeknik Ilmu Perikanan Sorong

Paarden Kracht (Daya Kuda)

Perusahaan Listrik Negara

Petak Ukur

Kelompok Masyarakat Pengawas

Rancangan Peraturan Daerah Khusus

Rumah Tangga Perikanan

ix


RTRW

UMS

UKIP

SEA Project

TSS

TSM

WWF

4-WD

Rencana Tata Ruang Wilayah

Universitas Muhammadiyah Sorong

Universitas Kristen Indonesia Papua

Sustainable Ecosystems Advanced Project

Total Suspended Solid (Padatan Tersuspensi Total)

Total Sampel Minimal

World Wildlife Fund

Four Wheel Drive

x


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak tahun 2016, WWF-Indonesia telah tergabung menjadi salah satu konsorsium mitra dalam

proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) USAID Indonesia untuk mendukung pemerintah

Indonesia dalam memperkuat tatakelola sumber daya perikanan dan kelautan serta mendorong upaya

konservasi keanekaragaman hayati. Proyek yang berjangka waktu lima tahun ini menggunakan

pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem dan melibatkan pemangku kepentingan di tingkat lokal,

provinsi, dan nasional. Wilayah kerja proyek USAID SEA berada di kawasan WPP 715 yang salah satunya

berada di provinsi Papua Barat.

Provinsi Papua Barat telah dicanangkan menjadi Provinsi Konservasi pada tahun 2015. Perwujudan

pencanangan kawasan konservasi tersebut terbentuk dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah

Khusus (RANPERDASUS), sebagai dasar implementasi kawasan konservasi di Provinsi Papua Barat dalam

melakukan perluasan area yang dianggap berpotensi. Kabupaten Sorong Selatan menjadi salah satu

kawasan yang diunggulkan dalam perencanaan ini.

Kabupaten Sorong Selatan memiliki luas wilayah 8.424,165 km2 yang meliputi wilayah daratan

seluas 6.891,551 km2 (95,1%) dan luas lautan 1.535,614 km2 (4,9%) berdasarkan UU Nomor 26/2002.

Sebagian besar wilayah Sorong Selatan tersusun oleh hamparan hutan padat, yang terdiri dari hutan

primer dan sekunder. Wilayah pesisir Kab. Sorong Selatan memiliki hutan mangrove yang menyusun

zona Green Belt dengan luas tutupan sekitar 77.596 Ha (BIG, 2016).

Lokasi pesisir Kabupaten Sorong Selatan memiliki 14 daerah aliran sungai (DAS) yang dikelilingi

mangrove di muaranya. Kondisi tersebut menciptakan habitat yang sesuai untuk udang dan kepiting.

Ekosistem mangrove di Kab. Sorong Selatan memiliki peran penting bagi kelangsungan mahluk hidup –

sebagai pemberi jasa lingkungan maupun pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Udang dan kepiting,

yang memiliki ketergantungan hidup pada ekosistem mangrove sebagai tempat pembesaran dan

mencari makan, menjadi tangkapan andalan bagi sebagian besar nelayan di Kabupaten Sorong Selatan.

Salah satu upaya untuk menjaga ketersediaan sumber daya perikanan dan laut adalah dengan

melakukan desain pembentukan kawasan konservasi di Kabupaten Sorong Selatan. Pada tanggal 12-27

Juli 2017, tim peneliti WWF Indonesia – bekerjasama dengan BKSDA Papua Barat, DKP Provinsi Papua

Barat, DKP Kab. Sorong Selatan, UKIP (Universitas Kristen Papua), PIP (Politeknik Ilmu Perikanan) Sorong

dan UMS (Universitas Muhamamadiyah Sorong) – telah melakukan survei pengambilan data dasar untuk

menunjang proses inisiasi kawasan konservasi. Informasi mengenai kondisi ekologi, perikanan, dan

sosial yang telah dikumpulkan, selanjutnya akan digunakan untuk studi lanjutan dalam merancang

daerah konservasi Kabupaten Sorong Selatan.

1


1.2. Tujuan

1. Melakukan identifikasi kondisi ekologi mangrove yang ada di sepanjang pesisir Kabupaten Sorong

Selatan.

2. Melakukan identifikasi aktivitas perikanan terkait spesies target, lokasi pendaratan, rantai dagang,

dan aktivitas penangkapan yang merusak di sekitar perairan Kabupaten Sorong Selatan.

3. Melakukan identifikasi dan penilaian terhadap kondisi sosial masyarakat yang ada di kawasan

perairan Kabupaten Sorong Selatan.

4. Melakukan kerjasama sekaligus meningkatkan kapasitas kerja terhadap stakeholders, pemerintah

daerah, dan lembaga pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan.

1.3. Luaran

Menghasilkan informasi yang benar dan aktual terhadap kondisi ekologi, perikanan, dan sosial di

Kabupaten Sorong Selatan.

2


II.

STATUS EKOLOGI

2.1. Pendahuluan

Provinsi Papua Barat telah dicanangkan menjadi Provinsi Konservasi pada tahun 2015. Bentuk

dari perwujudan pencanangan ini yaitu adanya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Khusus

(RANPERDASUS) yang merupakan dasar implementasi kawasan konservasi di Provinsi Papua Barat.

Kawasan di Kabupaten Sorong Selatan merupakan salah satu area potensial yang telah diidentifikasi

sebagai calon Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Papua Barat. Oleh Karena itu WWF-ID | SEA

Project bersama dengan stakeholder setempat mulai melakukan tahapan inisiasi KKP di Kabupaten

Sorong Selatan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No. 2 Tahun 2009

mengenai inisiasi Kawasan KKP, diperlukan suatu data dasar yang meliputi data ekologi, sosial dan

ekonomi dalam menyusun dokumen awal inisiasi calon KKP. Karena sebagian besar wilayah Sorong

Selatan tersusun oleh hamparan hutan padat, baik hutan primer atapun hutan sekunder, maka

pengambilan data mangrove (jenis, kerapatan, kesehatan mangrove dll) dirasa penting untuk menjadi

salah satu komponen pengambilan data ekologi.

Hutan mangrove Sorong Selatan memiliki hamparan yang menyusun zona GreenBelt. Adanya

aturan adat yang kuat terkait pengelolaan kawasan mangrove di wilayah ini juga dapat secara efektif

melindungi kawasan mangrove tersebut. Namun, aturan berbasis adat ini belum diakui secara legal

oleh pemerintah. Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh wilayah distrik Sorong Selatan.

Berdasarkan data dari Dit. Bina Program INTAG (1996), wilayah Papua memiliki kawasan mangrove

terluas yang mencapai 1.350.600 ha atau sebanyak 38% dari total wilayah tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekologi wilayah perairan Sorong Selatan,

khususnya hutan mangrove. Jenis data yang diambil terdiri dari data; 1) kondisi mangrove, 2) tingkat

kesehatan mangrove, 3) zonasi mangrove, 4) jenis dan kerapatan mangrove dan 5) biota asosiasi

kawasan. Informasi mengenai kondisi awal ekologi hutan mangrove yang dihasilkan dalam penelitian

ini, selanjutnya akan menjadi data acuan dalam menyusun dokumen inisiasi kawasan konservasi di

Sorong Selatan.

2.2. Metode

Survei ini dilakukan di 7 distrik wilayah pesisir Kabupaten Sorong Selatan yang terbagi atas 18

stasiun meliputi wilayah; Teminabuan, Konda, Kais, Metemani, Inanwatan, Kokoda dan Saifi (Gambar

2-1). Lokasi survey dipilih melalui sampling acak bertingkat. Survei dilaksanakan dari tanggal 12

sampai 27 Juli 2017 oleh WWFIndonesia SEA Project yang bekerja sama denganUniversitas Papua,

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Papua Barat, DKP Kabupaten Sorong Selatan, Balai Besar

Konservasi Provinsi BKSDA Papua Barat, Lembaga Adat Kabupaten Sorong Selatan, Universitas

3


Muhammadiyah Sorong (UMS), Universitas Kristen Indonesia Papua (UKIP), dan Politeknik Ilmu

Perikanan Sorong (PIP). Kombinasi antara metode line transect dan metode quadrant digunakan

untuk pengambilan data mangrove ini.

Gambar 2- 1 Lokasi pengamatan ekologi mangrove Kabupaten Sorong Selatan

2.2.1. Pengumpulan Data

Lokasi pengamatan mangrove diambil dari titik-titik sampel yang berada pada tiga area kumpulan

mangrove. Jumlah sampel plot kerapatan tajuk minimal adalah 60% dari total sampel minimal (TSM).

Wilayah pengamatan mangrove berada di sepanjang garis pantai bagian pesisir distrik di Kabupaten

Sorong Selatan. Penentuan lokasi pengambilan titik sampel dilakukan dengan menggunakan teknik

stratified random sampling yang mengacu pada kerapatan vegetasi (tinggi, sedang dan rendah) serta

merupakan hasil interpretasi nilai NDVI dari Citra Landsat 8. Penentuan banyaknya jumlah titik

sampel yang disurvei berdasarkan skala pemetaan 1:250.000 (Perka BIG nomor 3 tahun 2014). Data

data pengamatan meliputi jenis tegakan mangrove (Pohon, Pancang dan anakan), diameter pohon,

tinggi total, tinggi bebas ranting, jarak dari titik sumbuh, biota asosiasi, satwa teristeril, kesehatan,

kerusakan, kualitas perairan, serta data pemanfaatan mangrove. Data ini digunakan untuk

mengetahui keanekaragaman, kepadatan, kesehatan, tutupan, kerusakan, serta objek penting lain

yang berhubungan dengan kondisi mengrove Sorong Selatan.

4


2.2.1.1. Vegetasi Mangrove

Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan dengan cara mencatat titik awal sampling

dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Selanjutnya, transek sepanjang 70 meter

dibentangkan tegak lurus garis pantai. Pengamatan dilakukan setiap 10 meter dari total 70 meter

transek dimana pengamatan mangrove dilakukan disebelah kanan dan kiri garis transek dengan

wilayah pengamatan 10 meter untuk inventarisasi pohon; pengamatan 5 meter untuk inventarisasi

tingkat belta (pancang); dan pengamatan 2 meter untuk inventarisasi tingkat semai (Gambar 2-2).

Semua jenis pohon yang ada di dalam petak dicatat jenis, tinggi bebas ranting, tinggi total dan

diameternya, sedangkan tegakan dan semai/anakan dicatat jenis dan jumlahnya saja.

Gambar 2- 2 Ilustrasi pengambilan data mangrove beserta plot pengamatannya

2.2.1.2. Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial

Pengamatan biota asosiasi dan satwa terestrial dilakukan bersamaan dengan pengamatan

mangrove melalui metode pengamatan langsung (visual census) dengan mencatat jenis dan jumlah

biota yang ditemukan di sebelah kanan dan kiri transek. Biota yang berasosiasi dengan mangrove

diamati di transek berukuran 40 x 40 cm yang di letakan secara acak pada jalur transek mangrove.

Sedangkan pengamatan satwa terestrial dilakukan dengan menggunakan teropong monokuler untuk

melihat satwa di sekitar mangrove.

2.2.1.3. Kesehatan, Pemanfaatan, dan Tingkat Kerusakan Mangrove

Data pemanfaatan mangrove melingkupi pemanfaatan umum mangrove oleh masyarakat, seperti

peruntukan pelabuhan, lokasi wisata, pembuatan rumah, pagar, perahu, kayu bakar, dan peruntukan

lainnya. Sedangkan untuk kesehatan dan kerusakan mangrove mengacu pada nilai tutupan (%) dan

kerapatan jenis (Ind/Ha).

5


2.2.1.4. Kualitas Air Laut

Pengumpulan data Kualitas Perairan dilakukan secara langsung dengan menggunakan Water

Checker. Adapun data-data kualitas perairan yang diambil meliputi suhu, salinitas, pH, Kecerahan,

Dissolved Oxygen (DO), substrat, dan Total Suspended Solid (TSS) (Tabel 2-1).

Tabel 2- 1 Parameter kualitas air laut yang diamati

No Parameter Metode/Alat

1 Temperature ( o ) Water Checker

2 Salinity (ppm) Water Checker

3 pH Water Checker

4 Turbidity (m) Water Checker

5 DO (ppm) Water Checker

6 Substrate Secara Visual

7 TSS (ppm) Water Checker

2.2.2. Analisis Data

Data-data yang telah di ambil ditabulasikan ke dalam lembaran hasil survei (LHS) dan diketik ke

dalam file excel. Perhitungan besarnya nilai kuantitif parameter vegetasi, dilakukan dengan formula

berikut ini:

a. Kerapatan Suatu Jenis (K)(ind/ha)

b. Kerapatan Relatif Suatu Jenis (KR) (%)

c. Frekuensi suatu jenis (F)

Individu Setiap Jenis (ind)

K = ∑

Luas Petak Contoh (ha)

KR =

K suatu jenis

K seluruh jenis

X 100%

F =

∑ Sub − petak ditemukan suatu jenis

∑ Seluruh sub − petak contoh

6


d. Frekuensi Relatif Suatu Jenis (FR) (%)

FR =

F suatu Jenis

X 100 %

F Seluruh Jenis

e. Dominansi Suatu Jenis (D) (m 2 /ha).

D hanya dihitung untuk tingkat pohon

D =

Luas bidang dasar sautu jenis

Luas Petak contoh

Dengan Luas Bidang Dasar (LBD) suatu jenis sebagai berikut:

LBD =

π . R 2

Seluruh sub − petak contoh = 1 π. D2

4

Dimana R adalah jari jari lingkaran dari diameter batang dan D adalah DBH. LBD yang

didapatkan kemudian dikonversi menjadi m 2 .

f. Dominansi Relatif Suatu Jenis (DR)(%)

DR =

g. Indeks Nilai Penting (INP) (%)

Untuk tingkat pohon adalah INP=KR + FR + DR

Untuk tingkat Semai, pancang INP=KR +FR

h. Keanekaragaman jenis

D suatu jenis

X 100%

D seluruh Jenis

H ′ = − ∑(pi Ln pi); dengan pi = ( ni

n )

Dimana H’ adalah indeks keanekaragaman Shannon, ni adalah jumlah individu suatu jenis ke-I

dalam petak ukur (PU), dan n adalah total jumlah individu dalam PU.

i. Indeks kekayaan (Margallef)

R = S − 1

ln(N)

Dimana R adalah indeks kekayaan Margallef, S adalah jumlah jenis dalam petak ukur, dan N

adalah total jumlah individu.

j. Indeks kemerataan

E ′ = H′

ln S

7


Dimana E ′ adalah indeks kemerataan untuk jenis, H ′ adalah indeks keanekaragaman jenis,

dan S adalah jumlah jenis dalam petak ukur.

2.3. Hasil

2.3.1. Distribusi Ekosistem Mangrove

Luas total hutan di Kabupaten Sorong Selatan mencapai kurang lebih 76.171 ha dengan luasan

hutan mangrove primer sebesar 72.904 ha dan hutan mangrove sekunder 3.266 ha (Gambar 2-3).

Luas wilayah survei pengamatan mangrove yang dilakukan yaitu seluas 1,8 ha meliputi mangrove

primer dan mangrove sekunder.

Gambar 2- 3 Tutupan mangrove di Kab. Sorong Selatan

Secara umum habitat vegetasi mangrove biasanya membentuk suatu pola zonasi tertentu

(Gambar 2-4). Jenis mangrove terdepan yang terpapar oleh laut biasanya akan berbeda dengan jenis

mangrove yang berada didekat daratan. Menurut (Giesen dkk, 1991), zonasi yang paling umum

ditemukan di vegetasi mangrove terdiri dari empat macam yaitu:

a) The Exposed Mangrove (zona terluar, paling dekat dengan laut). Secara umum zona ini

didominasi oleh Sonneratia alba, Avicennia alba dan Avicennia marina.

b) Central Mangrove (zona pertengahan antara laut dan darat). Secara umum zona ini

didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora, kadang juga ditemui jenis Bruguiera.

8


c) The Rear Mangrove (back mangrove, landward mangrove, areal yang paling dekat dengan

daratan). Zona ini biasanya tergenangi oleh pasang tinggi saja. Seringkali didominasi oleh

jenis-jenis Bruguiera, Lumnitzera, Xylocarpus dan Pandanus sp.

d) Brackish Stream Mangrove (aliran sungai dekat mangrove yang berair payau). Pada zona

ini sering dijumpai komunitas Nypa fruticans dan kadang dijumpai Sonneratia caseolaris

serta Xylocarpus granatum.

Gambar 2- 4 Zona mangrove zones (Giesen, dkk)

Secara umum, 4 distrik yang berada di Kabupaten Sorong Selatan—Saifi, Kokoda, Inawatan, dan

Konda—mempunyai pola zonasi mangrove yang mirip dengan pola zonasi yang telah diklasifikasikan

oleh Giesen, dkk (Gambar 2-4). Di keempat distrik ini, jenis mangrove terluar yang terpapar langsung

oleh laut didominasi oleh jenis Avicennia atau Sonneratia, diikuti oleh jenis Rhizophora dan jenis Nypa

di zona dekat dengan daratan. Keberadaan jenis Sonneratia dan Avicennia umumnya berada di zonasi

terdepan dari formasi mangrove (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999). Sedangkan di tiga distrik

lainnya, yaitu di Teminabuan, Kais, dan Metenami, pola zonasi mangrove berbeda dari pola umum

yang telah diklasifikasikan oleh Giesen, dkk.

9


Gambar 2- 5 Pola zona mangrove di setiap distrik Kabupaten Sorong Selatan

10


Secara umum hutan mangrove Sorong Selatan terletak pada topografi datar dan terpengaruh

arus pasang surut. Beberapa kawasan hutan mangrove berbentuk pulau (delta) yang merupakan

proses sedimentasi yang telah berlangsung lama. Adanya pasang surut yang tinggi menyebabkan tipe

hutan mangrove seragam, dalam arti formasi vegetasi yang terbentuk adalah asosiasi Sonneratia-

Avicennia-Rhizophora-Bruguiera-Xylocarpus. Formasi Nypa belum mantap dan beberapa tempat di

daerah yang mendekati hutan tanah kering, namun beberapa stasiun pengamatan Nypa tumbuh

pada kawasan tanah basah. Hal ini tentu merupakan salah satu kejanggalan zonasi mangrove karena

menunjukan Nypa tumbuh tidak beraturan, seharusnya Nypa menjadi pembatas antara mangrove

sejati dan mangrove ikutan. Sebagian tempat terdapat tumbuhan hutan rendah seperti sagu, yang

merupakan komponen utama pada kawasan hutan rendah.

Zonasi di Yahadian, Metamani, Konda, dan Inawatan diawali oleh Avicennia lanata dan

Sonneratia caseolaris. Kedua jenis ini mendominasi pada daerah sungai yang masih terpengaruh air

tawar. Kondisi tersebut diduga telah terjadi pedataran pantai (leveling coastal) hingga menuju hutan

rendah. Arah aliran sungai yang tinggi dari banyaknya jumlah sungai menentukan pola alur

penyebaran anakan. Sedangkan untuk Nypa merupakan hutan mangrove yang memiliki zona

tertentu, namun tidak di Sorong Selatan yang banyak dari pertumbuhan Nypa dibagian depan.

Diperkirakan pola pertumbuhan yang dimulai dari penyebaran semai hingga menjadi pohon

dipengaruhi oleh aliran sungai, pasang surut, dan pola alur penyebaran anakan khususnya untuk

wilayah Konda, Kais, Inawatan dan Kokoda.

Jenis mangrove yang ditemukan pada site mangrove keseluruhan Sorong Selatan dapat dilihat

pada Tabel 2-2 di bawah ini:

Tabel 2- 2 Macam-macam spesies mangrove berdasarkan pengamatan

No Spesies Suku

1 Acanthus ilicifolius Acanthaceae

2 Acrostichum speciosum Pteridaceae

3 Aegiceras floridum Myrsinaceae

4 Avicennia eucalyptifolia Avicenniaceae

5 Avicennia lanata Avicenniaceae

6 Avicennia marina Avicenniaceae

7 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae

8 Bruguiera parviflora Rhizophoraceae

9 Bruguiera exaristata Rhizophoraceae

11


10 Bruguiera hainessii Rhizophoraceae

11 Bruguiera sexangula Rhizophoraceae

12 Calophyllum inophyllum Clusiaceae

13 Ceriops decandra Rhizophoraceae

14 Ceriops tagal Rhizophoraceae

15 (Spesies tidak teridentifikasi) Pandanuceae

16 Excoecaria agallocha Euphorbiaceae

17 Heritiera littoralis Sterculiaceae

18 Lumnitzera littorea Combretaceae

19 Myristica fragrans Myristicaceae

20 Nypa fruticans Arecaceae

21 Pandanus odorifer Pandanacaeae

22 Pongamia pinnata Leguminosae

23 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae

24 Rhizophora Mucronata Rhizophoraceae

25 Rhizophora Stylosa Rhizophoraceae

26 Senna siamea Sennaceae

27 Sonneratia alba Sonneratiaceae

28 Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae

29 Terminalia catappa Combretaceae

30 Thespesia populnea Malvaceae

31 Xylocarpus granatum Meliaceae

32 Xylocarpus XMK Meliaceae

33 Xylocarpus MLC Meliaceae

12


Keanekaragaman hayati mangrove di wilayah pesisir Sorong Selatan cukup tinggi. Sebanyak 33

jenis mangrove ditemukan selama pengamatan dari total 52 jenis mangrove di Papua Barat

(Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Papua Barat, 2014). Jenis ekosistem mangrove Sorong

Selatan di susun oleh tiga komponen pertumbuhan yaitu, komponen utama (Mangrove Sejati),

komponen tambahan (mangrove ikutan) dan komponen asosiasi. Berdasarkan survei, ditemukan 26

mangrove sejati dan 7 mangrove ikutan di Kabupaten Sorong Selatan (Tabel 2-3). Sebanyak 10 jenis

tumbuhan mangrove diperoleh disebelah timur Sorong Selatan yaitu Distrik Kais, Metemani,

Inawatan, dan Kokoda sedangkan di bagian Barat Sorong Selatan yaitu distrik Teminabuan, Konda

dan Saifi diperoleh 20 Jenis tumbuhan mangrove. Secara keseluruhan jenis mangrove di Sorong

Selatan didominasi oleh Bruguiera dan Rhizophora.

Tabel 2- 3 Jenis mangrove dan tanaman asosiasi mangrove Sorong Selatan

No Komponen Vegetasi Spesies Nama Lokal

A Komponen Utama Bruguiera gymnorrhiza Lindur, Tanjang

Komponen

Bruguiera parviflora

Bruguiera sexangula

Bruguiera exaristata

Rhizophora apiculata

Rhizophora mucronata

Rhizophora stylosa

Avicennia lanata

Avicennia eucalyptifolia

Avicennia marina

Sonneratia alba

Sonneratia caseolaris

Lumnitzera racemosa

Ceriops tagal

Ceriops decandra

Nypa fruticans

Xylocarpus moluccensis

13

(Tidak Diketahui)

(Tidak Diketahui)

(Tidak Diketahui)

Mangi Bakau Kacang

Mangi mangi tongke

Mangi mangi gandul

Api-api, sia-sia

Api-api, sia-sia

Api-api, sia-sia putih

Prapat, Pedada

(Tidak Diketahui)

Terutun, Kedukduk

Mentigi, Lindur, Parum

(Tidak Diketahui)

(Tidak Diketahui)

Banang banang, Jombok


Tambahan

Xylocarpus granatum

Excoecaria agallocha

Heritiera littoralis

Acrostichum speciosum

Aegiceras floridum

Banang banang, nyirih

Mentigi, lindur, parum

(Tidak Diketahui)

(Tidak Diketahui)

(Tidak Diketahui)

Komponen Asosiasi Pandanus tectorius Pandan

Hibiscus tiliaceus

Terminalia catappa

Thespesia populnea

Pongamia pinata

Waru, Waru Laut

Ketapang, ketapa

(Tidak Diketahui)

(Tidak Diketahui)

2.3.2. Kualitas Air Laut

Sebaran klorofil di wilayah Sorong Selatan bervariasi dan dipengaruhi oleh keadaan topografi

dan keberadaan sungai. Wilayah Distrik Saifi, Konda, dan Kais yang merupakan area teluk dan

merupakan outlet dari sungai-sungai besar mempunyai rata-rata klorofil paling tinggi yaitu 6,5 sampai

7,5 mg/l. Sedangkan wilayah lainnya di Distrik Metamani, Inanwatan, dan Kokoda mempunyai kisaran

klorofil 3,5 - 5 mg/l. Apabila diamati berdasarkan bulan, variasi klorofil di wilayah Sorong Selatan

tidak mengalami perbedaan signifikan dimana kisaran klorofil yaitu antara 3,5 sampai 7 mg/l.

Berdasarkan analisis citra, rata-rata suhu permukaan laut di wilayah Sorong Selatan berkisar

antara 30 0 C-30,5 0 C. Namun suhu permukaan di wilayah ini mempunyai variasi dimana pada bulan

Januari sampai Mei, suhu permukaan laut berkisar antara 30 0 C-31,5 0 C dan dibulan Juni sampai

September suhu permukaan laut mengalami penurunan berkisar antara 28 0 C-29 0 C dan kemudian

mengalami kenaikan kembali dibulan Oktober yaitu berkisar antara 30 0 C-31,5 0 C. Wilayah Distrik

Konda dan Saifi merupakan lokasi dimana suhu permukaan laut ini mengalami variasi suhu yang

cukup tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya di wilayah kajian (Tabel2-4).

14


Tabel 2- 4 Hasil parameter kualitas air laut Sorong Selatan

Stasiun

Temperatur

(ºC)

Parameter

pH Salinitas (ppt) Kecerahan (m) DO (ppm) TSS (µmhos)

1 31,4 7,5 20 1 1,05 1

2 30,9 5 19 1 0,42 12

3 29 6 18 1,25 1,02 2,00

4 29,8 6,4 20,5 1,55 1,03 2,00

5 29,1 7 17 1,25 1,38 2,00

6 28,9 7,2 8 0,75 2,2 2,00

7 28,1 7,2 21 1,3 2,01 2,01

8 27,5 8 16 0,11 1,56 12,56

9 28,1 7,5 18 0,1 1,45 12,50

10 27,8 8 17 0,86 2 12,80

11 27,4 7,4 15 2,91 0,11 12,8

12 27,6 6 24 0,8 0,24 32,00

13 27,2 7,6 23 0,9 4,34 12,88

14 27,1 7,5 22 0,9 3,93 12,80

15 27,7 5,6 7 0,45 7,8 25,00

16 28,9 5,6 24 0,85 7,6 12,88

17 29,4 5,6 24 1,05 7,6 2,00

18 30,3 7 12 1,2 7,56 57,70

Rata-rata 28,77 6,78 18,08 2,47 3,12 12,7

Suhu tertinggi terdapat pada Stasiun-1 di Distrik Teminabuan sebesar 31,4 0 C dan terendah pada

Stasiun-14 di Distrik inawatan sebesar 27,1 0 C (Gambar 2-6). Nilai suhu tertinggi menunjukkan bahwa

suhu air lebih besar daripada suhu udara, hal ini disebabkan air masih menyimpan suhu panas dari

kenaikan suhu yang terjadi pada siang hari. Suhu terendah pada disebabkan oleh waktu serapan

15


pH

TEMPERATUR (º)

panas matahari yang mulai terbenam sehingga intensitas cahaya yang masuk ke perairan juga

berkurang yang mengakibatkan suhu air rendah.

32

31

30

29

28

27

26

25

24

31,4

30,9

29,0

30,3

29,8

29,1 28,9 28,9 29,4

28,1 28,1 27,8

27,5 27,4 27,6 27,7

27,2 27,1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

STASIUN

Gambar 2- 6 Temperatur air laut di 18 stasiun pengamatan Sorong Selatan

Nilai pH rata-rata di Kabupaten Sorong Selatan sebesar 6,79. Nilai pH tertinggi pada Stasiun-8 dan

Stasiun 10 sebesar 8 sedangkan pH terendah terdapatdi Stasiun-2 sebesar 5 (Gambar 2-7). Besar

kecilnya nilai pH tersebut dipengaruhi oleh proses fotosintesis. Kadar oksigen tinggi yang

menurunkan kadar CO 2 akan mempengaruhi kadar pH dalam perairan. Hubungan antara kadar pH

dengan CO 2 adalah berbanding terbalik. Kadar pH akan meningkat hingga bernilai 9-10 pada saat

siang hari ketika proses fotosintesis berjalan sangat efektif sedangkan kadar CO 2 menurun. CO 2 yang

berasal dari proses respirasi terjadi pada malam hingga pagi hari sehingga berakibat kadar pH dalam

perairan menurun.

9

8

7

6

5

4

3

2

1

0

8 8

7,5

7 7,2 7,2

7,5 7,4 7,6 7,6

7

6,4

6

6

5,6 5,6 5,6

5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

STASIUN

Gambar 2- 7 Nilai pH air laut di 18 stasiun pengamatan

16


SALINITY (PPT)

KECERAHAN (M)

Salinitas terendah terdapat pada Stasiun-15 Distrik Kokoda dengan nilai sebesar 7 ppt. Sedangkan

salinitas tertinggi pada pengamatan Stasiun-12, Stasiun-16 dan Stasiun-17 yang terletak pada Distrik

Inawatan, Kokoda dan Saifi (Gambar 2-8). Perbedaan nilai salinitas berhubungan dengan besar

kecilnya pengaruh aliran masuk (water flow) menuju ke perairan laut sehingga mempengaruhi tingkat

keasaman suatu perairan.

30

25

20

15

20

19

18

20.5

17

21

16

18

17

15

24

23

22

24 24

12

10

8

7

5

0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

STASIUN

Gambar 2- 8 Salinitas air laut di 18 stasiun pengamatan

Kecerahan terbesar pada Stasiun-11 di Distrik Inawatan sebesar 2,1, sedangkan yang

terendah ada pada Stasiun-9 di Distrik Kais dengan nilai sebesar 0,1 (Gambar 2-9). Kecerahan

menggambarkan tingkat kejernihan air untuk dapat menerima cahaya dari sinar matahari. Kecerahan

tertinggi pada disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang tinggi sehingga kecerahan yang

nampak juga cukup besar selain juga karena aktivitas fitoplanktoon yang belum padat dibandingkan

dengan stasiun yang memiliki tingkat kecerahan terendah dikarenakan banyaknya fitoplankton yang

berfotosintesis pada Stasiun-9 sehingga mengakibatkan tingkat kecerahannya terendah.

2.5

2,1

2

1.5

1

1 1

1,55

1,25 1,25

0,75

1,3

0,86

1,05 1,2

0,85

0,8 0,8 0,8 0,45

0.5

0

0,11 0,1

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

STASIUN

Gambar 2- 9 Kecerahan air laut di 18 stasiun pengamatan

17


TSS (µmhos)

DO (ppm)

Berdasarkan hasil pengamatan, nilai DO terbesar terdapat di Stasiun-15 sebesar 7,8 ppm

sedangkan DO terendah terdapat di Stasiun-11 sebesar 0,11 ppm (Gambar 2-10). Besar kecilnya nilai

DO dipengaruhi oleh proses fotosintesis. Kandungan O 2 terlarut lebih dari 2 ppm sudah cukup untuk

mendukung kehidupan organisme perairan secara normal.

9

8

7

6

5

4

3

2

1

0

7,8 7,6 7,6 7,6

4,3 3,9

2,2 2,0

1,1 1,0 1,0 1,4 1,6 1,5 2,0

0,4

0,1 0,2

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

STASIUN

Gambar 2- 10 Dissolved Oxygen di 18 stasiun pengamatan

Total Suspended Solid (TSS) tertinggi terdapat di Stasiun-18 dengan nilai sebesar 57,00 µmhos

di Distrik Metemani, sedangkan salinitas terendah terletak di Stasiun-1 pada distrik Konda sebesar 1

µmhos (Gambar 2-11). Perbedaan nilai TSS dipengaruhi oleh tingginya proses sedimentasi di perairan

yang biasanya berasal dari proses pengendapan material yang terbawa oleh air, angin, maupun

gletser sekitar sorong selatan. Pengendapan ini bisa terjadi di darat, laut, maupun sungai besar di

muara Kais.

70

60

57,7

50

40

30

32,0

25,0

20

10

0

12,0

12,6 12,5 12,8 12,8 12,9 12,8 12,9

1,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0

2,0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

STASIUN

Gambar 2- 11 Total Suspended Solid (TSS) di 18 stasiun pengamatan

18


Nilai parameter fisika kimia pada hasil pengamatan di Sorong Selatan memiliki perbedaan

yang cukup signifikan karena parameter-parameter fisika kimia tersebut saling berhubungan dan

saling mempengaruhi satu denganyang lain. Nilai-nilai parameter ini juga dapat menentukan baik

atau tidaknya kualitas air suatu perairan. Nilai kualitas air ini juga dipengaruhi oleh waktu dan posisi

pengambilan sampel. Adapun detail waktu pengambilan sampel terdapat pada Tabel 2-6.

Tabel 2- 5 Lokasi dan waktu pengukuran kualitas air laut

Stasiun

Posisi

Keterangan

Lintang Bujur Lokasi Waktu (WIT)

1 01° 34' 55,3'' 131° 53' 45,6" Konda 13:22

2 01° 22' 46,7'' 131° 43' 8,9" Konda 14:33

3 01° 33' 33,2'' 131° 57' 18,8" Konda 15:40

4 01º 59' 09,9" 132º 01' 00,2" Kais (Yahadian) 11:30

5 01º 59' 09,9" 01º 59' 09,9" Kais (Yahadian) 12:56

6 01º 59' 09,9" 01º 59' 09,9" Kais (Yahadian) 14:04

7 01º 59' 09,9" 01º 59' 09,9" Kais (Yahadian) 14:30

8 02º 01' 14,4" 132º 05' 08,8" Metemani 14:42

9 02º 00' 54,7" 132º 05' 41,1" Metemani 13:09

10 02º 59' 30,6" 132º 07' 03,5" Metemani 14:55

11 02º 02' 43,2" 132º 02' 02,4" Metemani 16:45

12 02º 09' 00,3" 132º 11' 45,7" Inanwatan 16:42

13 02º 08' 25,9" 132º 10' 55,9" Inanwatan 17:29

14 02º 07' 36,7" 132º 10' 12,5" Inanwatan 16:00

15 02º 13' 41,9" 132º 27' 18,0" Kokoda (Kenaburi river) 10:12

16 02º 13' 43,6" 132º 27' 34,9" Kokoda (Kenaburi river) 10:30

17 02º 13' 13,5" 132º 28' 15,4" Kokoda (Kenaburi river) 10:40

18 02º 28' 58,5" 131º 52' 203" Saifi 13:13

19


Nilai kualitas air laut berdasarkan hasil pengamatan di 18 lokasi masih menunjukkan kualitas

perairan yang cukup baik untuk digunakan sebagai tempat hidup ikan dan ekosistem utama yaitu

mangrove. Rata-rata suhu berkisar pada nilai 28,77 C°, salinitas 18.08 ppt, TSS 12,72 µmhos, pH 6,78,

DO sebesar 3,12 dan nilai rata rata kecerahan sebesar 2,47 m.

2.3.3. Vegetasi Mangrove

No.

Berdasarkan hasil pengamatan struktur, komunitas, dan jenis tumbuhan di Kabupaten Sorong

Selatan memiliki rata-rata kerapatan sebesar 534,13 pohon/ha pada setiap stasiun pengamatan.

Rhizophora apiculata merupakan jenis mangrove yangmendominasi di kawasan Sorong Selatan.

Secara umum, pohon mangrove di Kabupaten Sorong Selatan ini didominasi oleh empat jenis

mangrove yaitu: R.apiculata, B.gymnorrhiza, R.mucronata dan S. alba (Tabel 2-6).

Tabel 2- 6 Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (Fr), Dominasi (D), Dominasi

Relatif (Dr), dan Indeks Nilai Penting (INP) Pohon Mangrove

Jenis

K

(Ind/ha)

Kr

(%)

F

Fr

(%)

D

(m 2 /ha)

1 Avicennia eucalyptifolia 20.37 4.00 0.15 6.84 3.71 6.43 17.27

2 Avicennia lanata 9.26 1.82 0.06 2.56 0.34 0.58 4.96

3 Avicennia marina 5.56 1.09 0.06 2.56 0.32 0.56 4.21

4 Bruguiera exaristata 16.67 3.27 0.04 1.71 1.98 3.43 8.41

5 Bruguiera gymnorrhiza 105.56 20.73 0.48 22.22 13.81 23.93 66.87

6 Bruguiera parviflora 3.70 0.73 0.04 1.71 0.09 0.15 2.59

7 Bruguiera sexangula 27.78 5.45 0.11 5.13 2.59 4.49 15.07

8 Excoecaria agallocha 5.56 1.09 0.06 2.56 0.45 0.77 4.43

9 Lumnitzera littorea 9.26 1.82 0.02 0.85 0.22 0.38 3.05

10 Nypa Fructicans 7.41 1.45 0.07 3.42 0.00 0.00 4.87

11

Pala-pala pantai(nama

lokal)

3.70 0.73 0.02 0.85 0.20 0.34 1.92

12 Rhizophora apiculata 168.52 33.09 0.59 27.35 18.48 32.01 92.45

13 Rhizophora mucronata 51.85 10.18 0.20 9.40 5.63 9.75 29.34

14 Sonneratia alba 37.04 7.27 0.07 3.42 4.20 7.27 17.96

15 Sonneratia casseolaris 1.85 0.36 0.02 0.85 0.13 0.23 1.44

16 Xylocarpus mekongensis 7.41 1.45 0.06 2.56 0.34 0.59 4.61

17 Xylocarpus granatum 25.93 5.09 0.11 5.13 2.48 4.30 14.52

18 Xylocarpus moluccensis 1.85 0.36 0.02 0.85 2.77 4.80 6.01

Dr

(%)

INP

(%)

Rhizophora apiculata mempunyai kerapatan tertinggi yaitu sebesar 168,52 ind/ha sedangkan

kerapatan terendah mangrove di kabupaten ini adalah jenis S. casseolaris dan Xylocarpus moluccensis

sebesar 1,85 ind/ha. Dari sisi kerapatan relatif, Rhizophora apiculata juga memiliki nilai kerapatan

relatif tertinggi yaitu sebesar 33,09%, diikuti dengan Bruguiera gymnorrhiza sebesar 20,73% dan

20


Rhizophora mucronata sebesar 10,18%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis mangrove ini

mempunyai toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya, termasuk dari pengaruh pasang surut air

laut. Sukardjo (1993) melaporkan bahwa Rhizophora apiculata mampu tumbuh dan menyebar

dengan baik dari mulai rawa sampai ke arah laut. Jenis- jenis mangrove ini juga tumbuh subur pada

kedalaman lumpur tertentu atau terdapat di sepanjang daerah berkoral yang terbuka.

Gambar 2- 12 Kerapatan mangrove di 18 lokasi pengamatan di Kab. Sorong Selatan

Kawasan mangrove di Sorong Selatan didominasi oleh mangrove dengan kerapatan sedang

(Gambar 2-12). Mangrove dengan kerapatan tinggi terdapat di Distrik Teminabuan; Stasiun-2,

Stasiun-3, dan Distrik Kokoda; Stasiun-16. Sementara kerapatan mangrove rendah berada di Distrik

Inawatan; Stasiun-13 dan Stasiun-14 dan Distrik Kokoda; Stasiun-15.

Kondisi keanekaragaman(H’), kekayaan (R), dan kemerataan (E’) jenis setiap stasiun pengamatan

digunakan untuk membandingkan dua komunitas atau lebih, khususnya untuk mempelajari pengaruh

gangguan biotik dan mengetahui tingkatan kestabilan suatu komunitas (Tabel 2-7). Menurut

klasifikasi Magurran (1988), besaran H’ diseluruh stasiun pengamatan tergolong rendah (H’<1,5).

Begitu juga dengan indeks kekayaan (R) diseluruh stasiun yang juga tergolong rendah (R<3,5).

Sementara indeks kemerataan (E’) hampir diseluruh stasiun tergolong tinggi yaitu besaran E’ lebih

besar dari 0,6 kecuali di Stasiun-7 yang tergolong sedang (0,3<E’<0,6).

21


Tabel 2- 7 Keanekaragaman (H’), Kekayaan (R), dan Kemerataan (E’) Pohon Mangrove

Stasiun

Lokasi

Keanekaragaman Kekayaan Kemerataan

H' R E'

1 Teminabuan 1.20 1.21 0.86

2 Teminabuan 1.17 0.91 0.84

3 Konda 1.34 1.31 0.83

4 Konda 1.26 1.36 0.79

5 Konda 0.69 0.38 1.00

6 Kais (Yahadian) 0.95 1.08 0.69

7 Kais (Yahadian) 0.29 0.40 0.41

8 Kais (Yahadian) 0.91 0.78 0.83

9 Metemani 1.20 1.41 0.74

10 Metemani 1.25 1.44 0.78

11 Metemani 1.25 1.11 0.90

12 Inanwatan 1.04 0.96 0.95

13 Inanwatan 1.45 1.76 0.81

14 Inanwatan 1.49 1.92 0.93

15 Kokoda (Kenaburi river) 1.33 1.86 0.96

16 Kokoda (Kenaburi river) 0.67 0.31 0.97

17 Saifi 1.09 0.69 0.99

18 Saifi 1.36 1.61 0.84

Berdasarkan analisis pancang mangrove diseluruh stasiun pengamatan diperoleh nilai

kerapatan tertinggi dimiliki oleh spesiesRhizophora mucronata dengan nilai 637,04 ind/ha. Jenis

lainnya yaitu; Bruguiera gymnorrhiza (K=459,26 ind/ha), Rhizophora apiculata(K=340,74 ind/ha), dan

Xylocarpus granatum (K=340,74 ind/ha), juga memiliki nilai kerapatan yang besar diantara spesies

lainnya. Bisa dipastikan bahwa INP terbesar dari tingkat pancang dimiliki oleh spesies Rhizophora

mucronata sebesar 40,06%. Sementara nilai INP terkecil dimiliki spesies Aegiceras corniculatum,

Ceriops tagal, dan Xylocarpus moluccensis dengan nilai masing-masing 1,22% (Tabel 2-8).

Tabel 2- 8 Kerapatan (K), Kerapatan relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi relatatif (Fr) dan Indeks Nilai Penting

(INP) Pancang

No.

Jenis

K

(Ind/ha)

1 Aegiceras corniculatum 7.41 0.31 0.02 0.92 1.22

2 Aegiceras floridum 125.93 5.20 0.11 5.50 10.70

3 Avicennia eucalyptifolia 37.04 1.53 0.07 3.67 5.20

4 Avicennia marina 103.70 4.28 0.02 0.92 5.20

5 Bruguiera exaristata 22.22 0.92 0.02 0.92 1.83

6 Bruguiera gymnorrhiza 459.26 18.96 0.41 20.18 39.14

Kr

(%)

F

Fr

(%)

INP

(%)

22


7 Bruguiera parviflora 103.70 4.28 0.07 3.67 7.95

8 Bruguiera sexangula 22.22 0.92 0.02 0.92 1.83

9 Ceriops decandra 59.26 2.45 0.07 3.67 6.12

10 Ceriops tagal 7.41 0.31 0.02 0.92 1.22

11 Heritiera littoralis 37.04 1.53 0.07 3.67 5.20

12 Lumnitzera littorea 22.22 0.92 0.02 0.92 1.83

13 Rhizophora apiculata 340.74 14.07 0.33 16.51 30.58

14 Rhizophora mucronata 637.04 26.30 0.28 13.76 40.06

15 Sonneratia alba 29.63 1.22 0.02 0.92 2.14

16 Xylocarpus granatum 340.74 14.07 0.33 16.51 30.58

17 Xylocarpus mekongensis 59.26 2.45 0.11 5.50 7.95

18 Xylocarpus moluccensis 7.41 0.31 0.02 0.92 1.22

Mangrove pada tingkat semai, nilai kerapatan tertinggi dimiliki oleh Rhizophora mucronata

sebesar 9.305,56 ind/ha. Jenis lain yang memiliki nilai kerapatan tinggi adalah Aegiceras floridum

(K=4.583,33 ind/ha), Bruguiera gymnorrhiza (K=2.731,48 ind/ha), dan Rhizophora apiculata

(K=3.3287,04 ind/ha). Kedudukan individu semai tertinggi dimiliki oleh spesies Rhizophora mucronata

yaitu 51,19%. Disisi lain kedudukan inidividu paling rendah dimiliki oleh jenis Sonneratia alba dan

Xylocarpus moluccensis dengan INP masing-masing 0,99% (Tabel 2-9).

Tabel 2- 9 Kerapatan (K), Kerapatan relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi relatif (Fr) dan Indeks Nilai Penting (INP)

Semai

No.

Jenis

K

(Ind/ha)

1 Acrostichum speciosum 231.48 0.77 0.02 0.84 1.61

2 Aegiceras floridum 4583.33 15.28 0.13 5.88 21.16

3 Avicennia eucalyptifolia 1944.44 6.48 0.09 4.20 10.68

4 Avicennia lanata 1944.44 6.48 0.04 1.68 8.16

5 Avicennia marina 1620.37 5.40 0.04 1.68 7.08

6 Bruguiera exaristata 324.07 1.08 0.06 2.52 3.60

7 Bruguiera gymnorrhiza 2731.48 9.10 0.37 16.81 25.91

8 Bruguiera parviflora 370.37 1.23 0.13 5.88 7.12

9 Bruguiera sexangula 1111.11 3.70 0.09 4.20 7.91

11 Ceriops decandra 509.26 1.70 0.09 4.20 5.90

12 Ceriops tagal 46.30 0.15 0.02 0.84 0.99

13 Lumnitzera littorea 92.59 0.31 0.02 0.84 1.15

14 Rhizophora apiculata 3287.04 10.96 0.30 13.45 24.40

15 Rhizophora mucronata 9305.56 31.02 0.44 20.17 51.19

16 Rhizophora stylosa 648.15 2.16 0.09 4.20 6.36

17 Sonneratia alba 46.30 0.15 0.02 0.84 0.99

Kr

(%)

F

Fr

(%)

INP

(%)

23


Jumlah pohon

18 Xylocarpus granatum 648.15 2.16 0.15 6.72 8.88

19 Xylocarpus mekongensis 509.26 1.70 0.09 4.20 5.90

20 Xylocarpus moluccensis 46.30 0.15 0.02 0.84 0.99

Struktur tegakan hutan mangrove merupakan sebaran pohon mangrove setiap jenis per

satuan luas basal tegakan pada setiap kelas diameter (Meyer et al., 1961 dalam Bustomi et al., 2006).

Secara keseluruhan struktur tegakan pohon berhubungan antara banyaknya pohon dengan kelas

diameter pada suatu plot pengamatan (Gambar 2-13).

Jumlah Pohon Mangrove Berdasarkan Diameter

160

149

140

120

100

80

60

40

20

0

81

42

3

D≤20 20<D≤50 50<D≤80 80≤D

Diameter (cm)

Gambar 2- 13 Jumlah pohon mangrove berdasarkan kelas diameter

Struktur pohon mangrove didominasi oleh diameter ukuran 20-50 cm—sebanyak 149 pohon

dari seluruh total stasiun pengamatan. Secara umum struktur pohon mangrove di lokasi penelitian

dapat dikategorikan dalam kondisi normal. Hal tersebut ditunjukkan dari diameter pohon ukuran

kecil (D≤20) dan ukuran sedang (20D<D≤50) yang terbilang banyak dari pada ukuran diameter besar

(50D<D≤80) dan sangat besar (80≤D). Dalam suksesi hutan selalu terjadi perubahan dari waktu ke

waktu. Perubahan struktur tegakan tersebut sangat memperngaruhi ukuran diameter. Kejadian

tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan tiap pohon dalam memanfaatkan energi matahari,

unsur hara/mineral dan air. Oleh karena itu susunan stuktur tegakan pohon di dalam hutan mangrove

akan membentuk sebaran kelas diameter yang bervariasi (Ewusie, 1980).

2.3.4. Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial

Biota asosiasi mangrove di Kabupaten Sorong Selatan didominasi oleh jenis krustasea,

gastropoda dan annelida (Gambar 2-14). Dari hasil pengamatan diseluruh stasiun, kepiting bakau

memiliki jumlah penemuan terbanyak yaitu 163 individu. Kepiting muda, yang memiliki ukuran lebih

24


Jumlah

kecil dari pada kepiting dewasa, ditemui sebanyak 104 individu. Cacing bulu (Polychaeta) dan cacing

tanah (Lumbricus) ditemui dengan jumlah yang cukup banyak yaitu 74 individu dan 26 individu. Jenis

lainnya seperti; Ikan Kes, kelomang, kelabang, dan anakan bia bor—juga ditemukan walaupun dalam

jumlah yang sedikit.

Biota Asosiasi

180

160

140

120

100

80

60

40

20

0

25 26

Bia Bor

Cacing

Tanah

74

Cacing

Bulu

104

Kepiting

Muda

21 20

Juvenil

Kepiting

Hitam

Jenis Biota

Juvenil

Tiram

163

Kepiting

bakau

25

Siput

46

Jenis

Lainnya

Gambar 2- 14 Jumlah biota asosiasi di lokasi survei

Magurran (1988) membagi kedalam tiga kategori untuk menganalisis keanekaragaman,

kemerataan, dan kekayaan—yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan hasil perhitungan

keanekaragaman (H’), diperoleh Stasiun-9 (Metemani) dan Stasiun-6 (Kais) memilikikategori sedang

(1,5<H’<3,5). Stasiun lainnya, karena nilai H’ tidak mencapai 1,5 maka dikategorikan kedalam kategori

keanekaragaman rendah (Tabel 2-10).

Indeks kemerataan jenis (E’) kategori tinggi hampir dimiliki oleh seluruh stasiun dengan nilai

E’ melebihi 0,6. Disisi lain Stasiun-1, Stasiun-11, Stasiun-16, Stasiun-17 dan Stasiun-18, memiliki

kategori indeks kemerataan jenis menengah dengan nilai E’ berada di antara nilai 0,3 sampai 0,6.

Indeks kekayaan (R) dapat dikatakan tinggi apabila nilai R melebihi 5,0. Dalam hasil analisis biota

asosisasi Kabupaten Sorong Selatan, tidak ada stasiun pengamatan yang memiliki kategori indeks

kekayaan tinggi. Seluruh stasiun pengamatan memiliki kategori indeks kekayaan yang rendah—

dengan nilai R yang tidak dapat mencapai 3,5 (Tabel 2-10).

Tabel 2- 10 Keanekaragaman (H’), kemerataan (E’), dan kekayaan (R) biota asosiasi setiap stasiun pengamatan

Stasiun

Lokasi

Keanekaragaman Kemerataan Kekayaan

H' E' R

1 Teminabuan 0.58 0.53 0.71

2 Teminabuan 1.12 0.81 0.82

3 Konda 0.50 0.72 0.43

4 Konda 1.02 0.74 0.89

25


5 Konda 1.08 0.78 0.85

6 Kais (Yahadian) 1.62 0.90 1.23

7 Kais (Yahadian) 1.20 0.86 1.14

8 Kais (Yahadian) 1.05 0.76 0.94

9 Metemani 1.83 0.88 2.10

10 Metemani 1.04 0.95 0.59

11 Metemani 0.90 0.56 1.28

12 Inanwatan 1.41 0.79 1.95

13 Inanwatan 0.79 0.72 0.78

14 Inanwatan 1.30 0.80 1.23

15 Kokoda (Kenaburi river) 1.40 0.87 1.18

16 Kokoda (Kenaburi river) 0.42 0.38 0.59

17 Saifi 0.42 0.60 0.24

18 Saifi 0.97 0.54 1.31

Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat 27 jenis burung di hutan mangrove Kabupaten

Sorong Selatan (Tabel 2-11). Burung Bangau Laut (Ciconia ciconia), Camar Laut (Chroicocephalus),

Raja Udang (A. pusilla) merupakan spesies burung yang paling banyak ditemukan selama survei.

Diperkirakan hutan mangrove Kabupaten Sorong Selatan berperan sebagai suplai nutrisi atau tempat

mencari makan bagi banyak spesies burung ini. Di beberapa titik pengamatan juga ditemukan sarang

burung raja udang dan telur burung bayangkok. Dapat diperkirakan hutan mangrove di Kabupaten

Sorong Selatan juga berperansebagai tempat berkembang biaknya beberapa spesies burung. Jenis

burung Maleo (Macrocephalon maleo) yang merupakan burung khas di wilayah Indonesia timur

ditemukandi Distrik Saifi. Burung ini juga banyak ditemukan di sekitar Kampung Botain maupun

disekitar hutan mangrove.

Tabel 2- 11 Jenis burung terrestrial Sorong Selatan

No Nama Indonesia Nama Latin

1 Bebek Laut Hitam Putih Aythya fuligula

2 Kakatua Putih Jambul Kuning C. sulphurea

3 Mata Merah A. panayensis

4 Kasturi Biru Merah Lorius lory

5 Raja Udang A. pusilla

6 Gagak Corvus sp

7 Siang C. cassicus

8 Camar Laut Chroicocephalus

9 Taung-taung (Rangkong) R. plicatus

10 Pasir Lat Sterna bergii

11 Bangau Ciconia ciconia

26


12 Nuri Hijau Merah Chalcopsitta atra

13 Bangau Putih Ciconia sp.

14 Burung Bengkoli (Tidak diketahui)

15 Sarang Burung Raja udang (Tidak diketahui)

16 Bobogo Paradisaea apoda

17 Telur Bayangkok (Tidak diketahui)

18 Burung Walet Apodidae

19 Camar Larus sp

20 Burung Elang Haliaeetus leucogaster

23 Burung Parcici Hirundo tahitica

24 Burung Nuri Hitam Lorius lory

25 Burung Cui Lonchura vana

26 Burung Ekor Kuning Sericornis Vogelkop

27 Ayam Hutan Macrocephalon maleo

Beberapa species reptil ditemukan selama survei dihutan mangrove Kabupaten Sorong

Selatan (Tabel 2-12). Buaya muara (Crocodylus porosus) ditemukandi distrik Konda dan Saifi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat, buaya dapat ditemukan dalam jumlah

banyak di sekitar perairan Sorong Selatan. Selain jenis reptil, jenis satwa terestrial lainnya yang

ditemukan selama survei adalah kupu-kupu, kumbang, raya pohon, dan laba laba. Satwa lain tersebut

hidup bersimbiosis dengan hamparan hutan mangrove di Sorong Selatan.

Tabel 2- 12 Jenis reptil yang ditemukan di hutan mangrove Sorong Selatan

Jenis (Nama Ilmiah) Nama Indonesia Jumlah

Crocodylus porosus Buaya 1

Infraordo scincomorpha Kadal 1

Varanus giganteus Biawak (Soa-soa) 2

2.3.5. Kesehatan, Pemanfaatan dan Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove

Pemanfaatan hutan mangrove oleh sebagian kecil masyarakat di Kabupaten Sorong Selatan

yaitu untuk memenuhi kebutuhan pembuatan perahu, tiang rumah, camp nelayan, dan kayu bakar.

Hal ini sekaligus menjadi ancaman yang berasal dari aktivitas manusia bagi hutan mangrove

dikawasan ini. Ancaman lainnya berasal dari alam itu sendiri yang biasanya berupa sedimentasi,

limbah padat domestik, limbah rumah tangga, dan tumpah minyak dari perahu nelayan. Khususnya di

sebelah timur dan barat, ancaman manusia bagi hutan mangrove berupa timbunan sampah dan

penebangan pohon untuk kebutuhan kayu masyarakat, karena lokasi ini berdekatan dengan

jangkauan manusia. Di Distrik Konda, Kokoda, Saifi sebagian wilayah mangrove telah dijadikan

pemukiman penduduk. Hutan mangrove oleh masyarakat setempat dimanfaatkan secara tradisional

27


untuk mendukung ekonomi keluarga sebagai lokasi mata pencaharian, yaitu menangkap udang dan

sebagian lagi untuk mencari kepiting. Selain itu, mangrove dimanfaatkan untuk kebutuhan kayu

bakar, bahan bangunan, pembuatan perahu dan untuk sumber obat-obatan tradisional.

28


2.4. Referensi

Bengen DG. 2012. Sinopsis Ekosistem dan Sumber daya Alam Pesisir dan Laut di Raja Ampat West

Papua. LIPI: Jakarta

Duke NC, Meynecke JO, Dittmann S, Ellison AM, Anger K. 2007. A world without mangroves. J Science

317: 41–42.

[BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan ITTO-Project. 2013. Study on socioeconomic

community-based mangrove ecosystem management at South Sorong

West Papua Province. Kementerian Kehutanan RI. 87 hlm

Giesem, W., M. Baltzer & R. Baruadi. 1991. A Field Guide of Indonesia Mangrove. Bogor.

Wetlands International, Indonesia. 204hlm

Jhamhur Martini. IPB. 2014. Model Pengembangan Kawasan Konservasi. Mengenai Tesis dan

Sumber Informasi Serta Pelimpahan Hak Cipta. 234hlm.

[LPPM] Lembaga Pengkajian Pengembangan Mangrove. 2003. Rencana pengelolaan suaka

margasatwa Muara Angke DKI Jakarta. Jakarta (ID): Kerjasama BKSDA DKI Jakarta

dan LPP Mangrove.

Onrizal & C. Kusmana. 2005. Ekologi dan manajemen mangrove Indonesia. Buku Ajar.

Departemen Kehutanan FP USU. Medan.

[PERMENHUT]. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. 2008. tentang Pedoman Teknis Pengawasan

Lingkup Departemen Kehutanan serta. 17hlm.

[PERMENHUT]. Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:

P.9/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian

Intensif Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 19hlm.

[PermenKKP]. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. tentang Tata Cara Penetapan

Kawasan Konsrvasi Perairan (KKP). 15hlm

Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 2016. Panduan Pengenalan Mangrove di

Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor

Winaryo. S. [IPB]. 2016. Strategi pengelolaan mangrove melalui Analisis tingkat kerusakan.

Pernyataan Mengenai Tesis Dan Sumber Informasi Serta Pelimpahan Hak Cipta.

133hlm.

29


III.

STATUS SOSIAL

3.1. Pendahuluan

Kependudukan di Kabupaten Sorong Selatan dipengaruhi oleh sebaran wilayah adat dan

ekspansi suku-suku besar yang merupakan penduduk asli Papua. Masing-masing kampung terdiri dari

masyarakat yang memiliki kekerabatan yang cukup kental. Pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir

Kabupaten Sorong Selatan masih dipengaruhi oleh adanya pengaturan kawin silang antar suku. Pada

tahun 2016 teridentifikasi sebanyak 43.036 jiwa penduduk yang tersebar mulai daerah daratan tinggi

hingga daratan pesisir. Didataran pesisir tersebar di wilayah 7 distrik yaitu Teminabuan, Saifi, Konda,

Kais, Metamani, Inanwatan dan Kokoda. Keseluruhan masyarakatnya hidup dari memanfaatkan

potensi sumber daya pesisir dan laut. Peningkatan kebutuhan masyarakat, mendorong aktivitas

pemanfaatan pesisir dan laut menjadi semakin intensif dan mengundang pengguna sumber daya

yang berasal dari luar Kabupaten Sorong Selatan.

Kondisi sosial masyarakat pesisir ditandai dengan ciri seperti kemiskinan, keterbelakangan

sosial budaya dan lemahnya fungsi kelembagaan sosial (Kusnadi, 2006). Paradigma tersebut menjadi

patron terhadap berbagai macam penilaian terhadap masyarakat pesisir Kab. Sorong Selatan.

Perkembangan masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh aktivitas pemanfaatan sumber daya laut

dimana peningkatan ekonomi bergantung pada pendapatan sebagai nelayan. Di Kabupaten Sorong

Selatan, aktivitas masyarakat pesisir bergantung pada potensi sumber daya laut. Namun demikian

dibatasi oleh sarana dan prasarana produksi perikanan dan sarana pemasaran. Selain itu, aktivitas

pemanfaatan sumber daya laut belum dapat mensejahterakan masyarakat terutama yang bermukim

diwilayah pesisir. Jumlah masyarakat kategori pra-sejahtera di Kabupaten Sorong Selatan sekitar

33,2% yang tersebar diseluruh distrik pesisir (BPS Papua Barat 2017).

Potensi sumber daya perikanan di Kabupaten Sorong Selatan belum sejalan dengan tingkat

kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat pesisir. Agar hubungan antara peningkatan produksi

perikanan tangkap dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dapat berjalan searah, maka perlunya

pengaturan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut. Pengaturan tersebut harus memperhatikan

berbagaimacam aspek dimana salah satunya aspek sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Sehingga

atas dasar tersebut dianggap perlunya mengetahui kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pesisir

Kabupaten Sorong Selatan. Untuk mengetahui kondisi tersebut akan dilakukan pengumpulan data

dasar, memperoleh gambaran umum kondisi sosial dan ekonomi masyarakat peisisr. Hasil survei akan

dijadikan bahan referensi awal dalam upaya mengintervensi program pelestarian sumber daya laut

dan pengendalian pemanfaatan perikanan di Kab. Sorong Selatan. Harapannya adalah semakin

tingginya permintaan pasar yang mempengaruhi produksi akan berdampak pada kesejahteraan

masyarakat pesisir.

30


3.2. Metode

Pelaksanaan perolahan data lapangan dilakukan selama 1 – 2 hari dii tiap kampung target

(Tabel 3-1). Kampung target tersebut merupakan kampung yang dominan masyarakatnya adalah

nelayan.

Tabel 3- 1 Lokasi pengamatan kondisi sosial masyarakat Sorong Selatan

No. Distrik Desa Target

1. Teminabuan Desa Sayolo

Kelurahan Kaibus

2. Konda Desa Konda

Desa Wamargege

3. Kais Desa Yahadian

4. Metamani Desa Mugim

Desa Nusa

5. Inanwatan Desa Mete

Desa Mugibi

6. Kokoda Desa Tarof

7. Saifi Desa Botain

3.2.1. Profil Desa

Pengambilan data menggunakan metode Diskusi Grup Terarah-FGD dan wawancara informan

kunci (Key Informant Interview). Informan kunci yang menajdi target terdiri dari tokoh adat (kepala

suku, perwakilan dari marga besar, dan tetuah adat), tokoh masyarakat (pemuda, ibu-ibu, dan

panutan), pelaku pemanfaatan perikanan (nelayan tangkap, pengepul, dan bameti), perangkat

kampung (kepala kampung, kepala Bamuskam, dan sekretaris kampung) dan komunitas lokal

(POKMASWAS dan komunitas nelayan tangkap). Panduan FGD dan formulir untuk wawancara

informan kunci mengacu pada Protokol Survei Cepat Kondisi Habitat Pesisir, Sosial dan Pemanfaatan

Sumber daya Laut yang disusun oleh WWF Indoensia.

31


3.2.2. Kondisi Sosial dan Ekonomi Rumah Tangga

Pengambilan data menggunakan metode wawancara langsung dilapangan. Jumlah responden

di masing-masing Kampung Target berjumlah 5% dari Rumah Tangga Perikanan (RTP) jika jumlahnya

>150. Namun jika jumlah RTP masing-masing Distrik <150 maka akan ditentukan dengan jumlah 7-9

responden. Panduan pengambilan data melalui wawancara menggunakan bagian Pendataan Kondisi

Sosial dan Ekonomi yang telah dimodifikasi WWF Indoensia tahun 2017. Penentuan informan dengan

metode acak-random sampling dan dengan meminta kesediaan calon responden.

3.3. Hasil

3.3.1. Fasilitas

Kebutuhan dasar rumah tangga perikanan merupakan target tujuan melakukan aktivitas

pemanfaatan sumber daya laut. Sebagain besar hasil tangkapan dari potensi perikanan udang di Kab.

Sorong Selatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga. Namun demikian

aktivitas pemanfaatan sumber daya laut juga dipengaruhi oleh ketersediaan dan kepemilikan sarana

dan prasarana pendukung.

3.3.1.1. Transportasi

Masyarakat pesisir Kabupaten Sorong Selatan yang bermatapencaharian sebagai nelayan, sangat

bergantung pada ketersediaan armada dalam melakukan aktivitas perikanan. Armada digunakan

sebagai alat bantu untuk mengakses daerah penangkapan (fishing ground). Kategori armada

perikanan tangkap dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu armada bermesin tempel (mesin luar),

bermesin dalam, dan tanpa mesin (dayung).

Jenis Armada Perikanan Tangkap

Tanpa mesin

29%

Mesin luar

56%

Tidak Punya

8%

Gambar 3- 1 Jenis armada perikanan tangkap nelayan

Mesin dalam

7%

Gambar 3-1 menunjukkan presentase kepemilikan jenis armada perikanan tangkap masyarakat

Kabupaten Sorong Selatan. Sebagian besar masyaralat nelayan (56%) menggunakan armada dengan

32


mesin luar atau mesin tempel. Kapasitas mesin tempel yang digunakan berkisar 15 – 40 PK. Namun,

nelayan penangkap udang dan kepiting hanya menggunakan mesin tempel dengan kapasitas 15 PK

karena harganya yang relatif murah dan mudah didapatkan.

Sebanyak 8% nelayan tidak memiliki armada perikanan tangkap. Nelayan yang tidak memiliki

armada biasanya ikut menumpang pada perahu kapasitas besar milik kerabat atau sodaranya. Selain

menumpang, nelayan yang tidak memiliki armada perikanan tangkap juga memanfaatkan rumahrumah

warga yang dibangun diatas tepi muara sungai. Target tangkapan nelayan tanpa armada

adalah ikan demersal yang hidup di daerah muara sungai.

Selain sarana transportasi laut, yang menjadi target perolehan informasi adalah transportasi

darat. Transportasi darat digunakan terutama sebagai sarana transportasi yang menghubungkan

antar kampung atau antar distrik. Hasil wawancara menyimpulkan bahwa akses darat yang

menghubungkan antar kampung di pesisir sangat tidak memadai. Akses darat hanya bisa ditempuh

dengan jalan kaki dengan waktu yang cukup lama. Tansportasi laut menjadi alternatif utama

penghubung antara kampung dalam satu distrik dan juga menghubungkan antar distrik dalam satu

kabupaten.

Kepemilikan sarana transportasi darat oleh masyarakat distrik pesisir Kab. Sorong Selatan

masih sangat rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur jalan dari pusat kabupaten

ke distrik-distrik belum terhubung seperti disitrik Metamani, Inanwatan dan Kokoda. Sedangkan

distrik Konda, Saifi dan Kais sudah ada akses darat namun kondisinya masih tahap pengerasan dan

belum di aspal. Kondisi tersebut membuat jenis kendaraan yang dapat melintas terbatas, dan hanya

menggunakan kendaraan dengan kekuatan 4-WD. Seperti yang terjadi di Kampung Konda dan

Wamargege, untuk menuju ke ibukota Kabupaten melalui darat harus menggunakan jenis kendaran

tertentu.

3.3.1.2. Alat Tangkap

Alat tangkap yang digunakan nelayan di Kab. Sorong Selatan dikategorikan kedalam 7 jenis yaitu;

jaring insang besar, jaring insang kecil, bubu, tombak, sero, handline dan rawai dasar (Gambar 3-2).

Jaring insang kecil merupakan jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan nelayan (49%) untuk

menangkap udang. Sebanyak 19% nelayan menggunakan pancing ulur (handline) sebagai alat tangkap

tambahan untuk mencari ikan. Sementara 17% nelayan menggunakan Bubu (Perangkap) untuk

menangkap kepiting bakau. Selain itu nelayan juga menggunakan sero dan tombak sebagai alat

tangkap tambahan. Sero merupakan alat tangkap yang dipasang di celah hutan mangrove untuk

digunakan oleh nelayan dalam memanfaatkan kondisi pasang surut air laut. Sedangkan tombak

biasanya digunakan untuk menombak ikan yang terperangkap dalam Sero. Meskipun jumlahnya

sedikit, alat tangkap rawai dasar masih digunakan oleh beberapa nelayan untuk menangkap ikan

demersal estuaria pada kedalaman 20-40 meter.

33


Jaring insang

kecil, 49%

Kondisi Alat Tangkap Perikanan

Jaring insang

besar, 8%

Tombak, 3%

Bubu/Perangka

p, 17%

Rawai Dasar,

1%

handline, 19%

Sero, 3%

Gambar 3- 2 Kepemilikian alat tangkap perikanan masyarakat

3.3.1.3. Bahan Bakar untuk Memasak

Hasil survei di kampung target teridentifikasi bahan bakar untuk memasak hanya dua macam,

yaitu menggunakan kayu bakar dan minyak tanah. Persentasi keduanya dapat dilihat pada Gambar 3-

3.

Bahan Bakar untuk Memasak

Kayu …

Minyak Tanah

40%

Gambar 3- 3 Penggunaan bahan bakar untuk memasak

Gambar 3-3 diatas menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat di kampung target survei

menggunakan kayu bakar (60 %) untuk memasak. Hal tersebut disebabkan karena tingginya harga

minyak tanah dan sulitnya mendapatkan minyak tanah di wilayah pesisir. Jarak dari kampung cukup

jauh dari ibukota Kabupaten menjadi faktor penghambat suplai minyak tanah. Penggunaan kayu

bakar lebih mudah diperoleh tanpa harus dibeli. Biasanya masyarakat menggunakan pohon tanaman

tertentu untuk kayu bakar dan kadang memanfaatkan tanaman bakau/mangrove sebagai kayu bakar.

34


3.3.1.4. Ketersediaan Listrik

Listrik adalah salah satu sumber energi yang diperlukan oleh masyarakat umum dalam

mendukung aktivitas rumah tangga. Energi listrik digunakan terutama sebagai sumber penerangan

dan mensuplai energi untuk berbagai peralatan elektronik sebagai alat hiburan dan informasi.

Jaringan listrik PLN sangat sulit untuk menjangkau wilayah kampung pesisir target survei dengan

kondisi karakteristik wilayahnya. Sebagian besar masyarakat pesisir menggunakan generator set yang

waktu pengoperasiannya terbatas. Hasil survei mengkategorikan penggunaan listrik berdasarkan

lama pengoperasian dan dapat dilihat pada gambar berikut.

Suplai Listrik

12 jam

37%

6 jam

27%

24 jam

18%

tidak ada

18%

Gambar 3- 4 Kondisi ketersediaan listrik

Hasil survei memperlihatkan bahwa sistem pengoperasian listrik di Kabupaten Sorong Selatan

yang dapat diakses selama 24 Jam mencapai 18% (Gambar 3-4). Kampung yang mengakses listrik

selama 24 jam antara lain Kampung Sayolo dan Ampera Distrik Teminabuan. Pengoperasian listrik

selama 12 Jam sekitar 37 % berada pada Kampung Konda dan Warmagege di Distrik Konda dan

Kampung Mugim dan Kampung Nusa di Distrik Metemani. Kampung Mugibi dan Kampung Mate,

Distrik Inanwatan serta Kampung Tarof, Distrik Kokoda listrik beroperasi hanya 6 Jam. Sedangkan di

Kampung Yahadian, Distrik Kais dan Kampung Botain, Distrik Saifi belum memiliki akses listrik.

Masyarakat yang tidak dapat mengakses listrik biasanya hanya mengandalkan senter, lilin, pelita

sebagai alat bantu penerangan di malam hari.

3.3.1.5. Telekomunikasi

Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang di wilayah Provinsi Papua Barat khususnya

Kab. Sorong Selatan mengandalkan telepon seluler dan Koputer PC/Laptop yang mana bergantung

pada jaringan internet. Penggunaan telepon seluler di Kab. Sorong Selatan lebih dominan digunakan

oleh masyarakat sebagai alat komunikasi. Media komunikasi yang diandalkan oleh masyarakat yang

berada di wilayah pesisir dapat dilihat pada gambar 5.

35


Akses Wifi,

36.4%

Kondisi Telekomunikasi

tidak ada,

27.3%

Sinyal telpon,

36.4%

Gambar 3- 5 Akses kominikasi masyarakat

Hasil survei di kampung target Kabupaten Sorong Selatan teridentifikasi sebanyak 36,4 % rumah

tangga telah memiliki alat komunikasi seperti telepon seluler. Namun demikian, tidak semua wilayah

kampung di pesisir Kab. Sorong Selatan memiliki akses jaringan sinyal telepon. Hanya beberapa

kampung saja yang dapat mengakses jaringan telepon seluler seperti Kampung Konda dan

Wamargege, Distrik Konda. Selain telepon seluler, alat komunikasi lain yang digunakan oleh

masyarakat pesisir adalah internet yang mengandalkan jaringan niikabel wifi. Akses jaringan nirkabel

terdapat di empat kampung yakni Kampung Nusa, Kampung Mugibi, Kampung Mate dan Kampung

Tarof. Akses jaringan tersebut terpasang di tempat umum seperti di Puskesmas, Bandar Udara dan

Sekolah. Juga terdapat kampung yang sama sekali tidak memilki jaringan telepon seluler dan jaringan

wifi yakni Kampung Yahadian, Kampung Mugim dan Kampung Botain.

3.3.2. Pendidikan

Fasilitas pendidikan yang tersebar di Kabupaten Sorong Selatan masih belum merata. Hal

tersebut ditunjukkan dari hasil survei pada kampung target yang belum memiliki fasilitas pendidikan

lengkap (Tabel 3-2).

Tabel 3- 2 Ketersediaan layanan fasilitas pendidikan

No. Distrik Kampung Target SD SMP SMA

1. Teminabuan Kampung Sayolo

Kelurahan Kaibus

v

v

v

v

v

v

2. Konda Kampung Konda

Kampung Wamargege

v

v

-

-

-

-

3. Kais Kampung Yahadian v - -

4. Metamani Kampung Mugim

Kampung Nusa

v

v

-

v

-

-

5. Inanwatan Kampung Mugibi

Kampung Mate

v

v

v

v

-

v

6. Kokoda Kampung Tarof v v -

7. Saifi Kampung Botain

Kampung Glabrat

-

-

-

-

-

-

36


Hampir seluruh distrik target survei sudah memiliki fasilitas sekolas dasar (SD). Namun kondisi

tersebut berbeda pada Distrik Saifi yang sama sekali tidak memiliki fasilitas pendidikan. Beberapa

masyarakat yang tidak memiliki faslitas pendidikan jenjang SMP dan SMA di kampungnya, memilih

untuk melanjutkan jenjang SMP di kampung atau distrik terdekat yang memiliki sarana pendidikan

tersebut. Sama halnya dengan jenjang SMA, sebagian besar masyarakat memilih melanjutkan di

Ibukota Kabupaten dan bahkan sampai ke Kota Sorong dan Kabupaten Sorong.

3.3.3. Kesehatan, Air Bersih, dan Sanitasi

Air bersih merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat

disuatu wilayah. Faktor tersebut dapat diukur melalui kepemilikan sumber air bersih dan akses untuk

mendapatkan air bersih tersebut.

Tidak

ada/lain-lain,

39%

Akses air bersih

Sumur

Pribadi, 25%

Sumur

Umum , 36%

Gambar 3- 6 Akses air bersih masyarakat

Pada wilayah pesisir akses air bersih hanya mengandalkan air tadah hujan dan air tanah

resapan melalui sumur (Gambar 3-6). Hasil survei memperlihatkan bahwa sebagian besar rumah

tangga di wilayah pesisir tidak memilki sumur (39 %). Rumah tangga yang tidak memiliki sumur hanya

mengandalkan air tadah hujan. Terdapat 36 % rumah tangga mengakses air bersih melalui sumur

umum dan 21 % rumah tangga yang. Pada wilayah pesisir akses air bersih dari PDAM belum tersedia.

Kondisi sumur yang digunakan oleh masyarakat baik itu sumur umum maupun sumur pribadi cukup

keruh dan payau. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kampung pesisir masih terpengaruh oleh

kondisi pasang surut air laut. Terdapat beberapa sumur yang kondisi airnya tidak layak untuk

dikonsumsi.

Keadaan sanitasi juga mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat terutama masyarakat pesisir.

Hasil survei terhadap kondisi sanitasi di tiap kampung pesisir target dilihat pada Gambar 3-7.

Sebagian besar rumah tangga memiliki jamban milik pribadi untuk akses sanitasi (50% rumah tangga).

Sebanyak 38% rumah tangga masih menggunakan sanitasi umum, namun sebagian sanitasi umum

berada dalam kondisi tidak layak dan bahkan tidak bisa digunakan lagi. Sebanyak 12% tidak memiliki

sanitasi pribadi dan juga tidak dapat mengakses sanitasi umum. Berdasarkan hasil survei di kawasan

37


pesisir Kab. Sorong Selatan, tidak ditemukan tempat pembuangan akhir untuk sampah rumah tangga.

Sebagian besar rumah tangga memanfaatkan aliran sungai sebagai lokasi pembuangan sampah

terakhir.

Akses Sanitasi-Jamban

Umum, 38%

Tidak punya,

12%

Pribadi, 50%

Gambar 3- 7 Akses dan kepemilikan fasilitas sanitasi-jamban

3.3.4. Masyarakat

Masyarakat Kabupaten Sorong Selatan terdiri dari 3 suku besar yang ada di Papua. Sebagian

besar masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir (kampung target survei) bekerja sebagai nelayan

udang dan kepiting. Beberapa organisasi ekonomi—penunjang aktivitas perikanan—sudah terbentuk

dibeberapa kampung Kabupaten Sorong Selatan. Aktivitas berkebun menjadi salah satu sumber

pendapatan sampingan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan di tiap kampung target survei.

3.3.4.1. Organisasi Ekonomi

Organisasi ekonomi di kampung target survei Kab. Sorong Selatan terdiri beberapa kategori di

antaranya; badan usaha (Koperasi), komunitas nelayan, dan kelompok-kelompok kecil yang

terorganisir. Di wilayah pesisir Kab. Sorong selatan terutama di kampung target survei terdapat

kelompok-kelompok yang terbentuk karena pengaruh pemodal (pengepul udang). Tujuan

pembentukan kelompok didasarkan untuk mengatur kebutuhan aktivitas perikanan tangkap.

Beberapa pemodal masing-masing memiliki kelompok yang terdiri dari 11-12 orang nelayan tangkap

komoditas udang. Anggota kelompoknya memiliki keterikatan pinjaman modal kepada pengepul

(pemodal). Modal tersebut dalam bentuk alat tangkap, bahan bakar serta kebutuhan logistik pada

aktivitas penangkapan udang. Sehingga masing-masing anggota kelompok diharuskan menjual hasil

tangkapan yang nilainya dipotong dari modal pinjaman yang diberikan. Jumlah pengepul (pemodal)

per distrik dapat dilihat pada Gambar 3-8.

38


Sayolo

Ampera

Konda

Wamargege

KEPEMILIKAN LAHAN PERKEBUNAN

Yahadian

Mugim

Nusa

Mugibi

Mate

Tarof

Botain

Distrik Target Survei

Distrik Saifi

2

Dsitrik Kokoda

1

Distrik Inanwatan

3

Distrik Metamani

4

Distrik Kais

3

Distrik Konda

9

Distrik Teminabuan

1

Jumlah Pengepul

Gambar 3- 8 Jumlah pengepul udang di lokasi survei

Distrik Konda khususnya di Kampung Wamargege dan Kampung Konda memiliki jumlah nelayan

yang cukup besar. Sehingga jumlah pemodal (pengepul) juga paling banyak terdapat di kampung

tersebut. Hal ini disebabkan jarak ke ibu kota kabupaten cukup dekat dan mudah diakses baik melalui

transportasi laut maupun transportasi darat. Selain Distrik Konda, Distrik Metamani dan Distrik

Inanwatan juga mudah diakses oleh oleh pengepul melalui jalur transportasi laut. Sebagian besar

pengepul (pemodal) bukan berasal dari masyarakat asli Papua, namun berasal dari luar suku papua

seperti Makassar, Jawa dan Bugis. Keterlibatan pemerintah pada aspek penyediaan modal juga

terdapat di Distrik Konda terutama Dinas Perikanan Kabupaten Sorong Selatan, namun belum merata

di seluruh wilayah distrik pesisir.

3.3.4.2. Pendapatan Alternatif

Masyarakat pesisir Kab. Sorong Selatan terutama di 11 kampung target survei, sebagian besar

bermatapencaharian sebagai nelayan yang mengandalkan hasil laut untuk kebutuhan hidup seharihari.

Namun, tidak sedikit dari nelayan juga memiliki pendapatan sampingan melalui hasil berkebun

seperti yang terlihat di Gambar 3-9.

10%

9%

8%

7%

6%

5%

4%

3%

2%

1%

0%

3%

0%

4%

1%

4%

1% 1% 1%

7%

9% 9%

KAMPUNG TARGET SURVEI

Gambar 3- 9 Kepemilikan lahan perkebunan di lokasi pengamatan

39


Kepemilikan Hewan Ternak

Seyolo

Ampera

Konda

Wamargege

Yahadian

Mugim

Nusa

Mugibi

Mate

Tarof

Botain

Hasil survei menunjukan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat pesisir yang memiliki lahan

perkebunan. Persentase tertinggi terdapat di Kampung Tarof dan Kampung Botai, masing-masing 9%.

Selain perkebunan, masyarakat di kampung target survei juga mengandalkan hasil ternak. Persentase

kepemilikan ternak di kampung target survei dapat dilihat pada Gambar 3-10.

Unggas Kambing/Babi Sapi

10.0%

8.0%

6.0%

4.0%

2.0%

0.0%

5,4%

8,1%

5,4%

Kampung Target Survei

Gambar 3- 10 Kepemilikan ternak masyarakat di lokasi pengamatan

Hasil survei menunjukan bahwa nelayan yang tinggal di Kampung Tarof, Kampung Mate, dan

Kampung Botain mendapat pendapatan tambahan paling banyak dari hewan ternak. Sementara itu

sebagian besar nelayan di Kampung Wamargege dan Kampung Konda tidak memiliki hewan ternak.

Berdasarkan hasil wawancara di kedua kampung tersebut, masyarakat tidak bisa memelihara hewan

ternak karena mereka harus memulai aktivitas menangkap ikan dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore.

3.3.4.3. Produk Pertanian dan Perikanan

Sebagian besar kampung target survei tidak memiliki lahan pertanian. Mayoritas masyarakat

bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal ini disebabkan karena seluruh kampung merupakan daerah

estuaria yang banyak ditumbuhi oleh mangrove sehingga kondisi tanahnya tidak cocok untuk lahan

pertanian. Namun, terdapat beberapa masyarakat yang menanam pohon sagu seperti di Kampung

Wamargege, Kampung Yahadian, Kampung Tarof, dan Kampung Saifi.

Kabupaten Sorong Selatan dikenal dengan sebagai salah satu penghasil komoditas udang

terbesar di Provinsi Papua Barat. Tidak hanya hanya udang namun juga terdapat komoditas perikanan

lain yang potensial, antara lain: ikan sebelah, ekor kuning/pisang-pisang, lema/selar, kuwe, daun

bambu/talang-talang, kakap putih, japuh, tembang, terubuk, ikan terbang, julung-julung, lencam,

kakap merah, belanak, biji nangka, kurisi, madidihang, kerapu, pari dan lain-lain. Namun hingga saat

ini, nelayan dominan menangkap komoditas seperti ikan sembilang/lele muara, kakap putih/conggek.

Beberapa jenis ikan yang tertangkap jaring udang yang tidak memiliki nilai ekonomi biasanya

40


PRODUKSI (TON)

dikonsumsi sendiri oleh masyarakat. Selain ikan dan udang, berbagai jenis siput dan kerang juga

sering menjadi target nelayan (Gambar 3-11).

Gambar 3- 11 Jenis komoditas perikanan selain udang dan kepiting di kampung target

Masyarakat di Kampung Yahadian, Konda dan Wamargege, masih sering memanfaatkan hasilhasil

laut jenis kerang-kerangan dan siput untuk dikonsumsi karena permintaan pasar untuk produk

tersebut masih terbatas. Produksi perikanan tangkap di Kab. Sorong Selatan dapat dilihat pada

Gambar 3-12.

25000

20000

15000

10000

5000

0

12.243 12.258 12.601 12.501

15.386 15.526

12.311

901 920 955

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

TAHUN

Gambar 3- 12 Produksi perikanan tangkap Kabupaten Sorong Selatan (Sumber: Analisa BPS Statistik

Provinsi Tahun 2007-2016)

Sejak tahun 2007 hingga 2016 jumlah produksi perikanan tangkap semakin meningkat. Komoditas

unggulan perikanan adalah udang dimana dari komoditas ini menyumbang sekitar 31,4% dari total

produksi tahun 2016. Komodtas terbesar kedua yaitu jenis ikan pelagis kecil lema/kembung

(Rastrelliger sp.) namun sejak pelarangan penggunaan jaring troll produksinya menurun dan

digantikan oleh komoditas udang yang semakin meningkat.

3.1.1.1 Sejarah Komunitas Masyarakat

Penduduk asli Pulau Papua dibagi dalam 7 wilayah adat. Detail wilayah adat dan jumlah suku

yang ada dijelaskan di Tabel 3-3 di bawah ini.

41


Tabel 3- 3 Klasifikasi wilayah adat di Papua Barat

No Pembagian Wilayah Adat Jumlah Suku

1. Wilayah Adat I-Mamta 87 Suku

2. Wilayah Adat II-Saireri 31 Suku

3. Wilayah Adat III-Bomberai 19 Suku

4. Wilayah Adat IV-Domberai 52 Suku

5. Wilayah Adat V-Ha-Anim 29 Suku

6. Wilayah Adat VI-La-Pago 19 Suku

7. Wilayah Adat VII-Mi-Pago 11 Suku

Kabupaten Sorong Selatan termasuk dalam Wilayah Adat III-Bomberai yang sukunya terdiri dari tiga

suku besar yaitu Suku Imeko, Suku Tehit, dan Suku Maybrat. Dua di antaranya, suku Imeko dan Tehit

tinggal di wilayah pesisir. Informasi deskriptif tentang desa-desa ini disajikan dalam Tabel 3-4.

Tabel 3- 4 Deskripsi suku Imeko dan Tehit

Suku Imeko

Suku Tehit

Suku Imeko mencakup suku-suku besar Inanwatan, Metamani dan Kokoda. Sejarah

Suku Inanwatan merupakan salah satu kelompok sosial yang berdiam di daerah

Kepala Burung Pulau Papua. Sebagian besar suku Inawatan bermukim di wilayah

Distrik Inawatan, Kabupaten Sorong Selatan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa

Suabo. Masyarakat suku Inanwatan merupakan salah satu dari sembilan klen yang

tergabung dalam suku bangsa Teminabuan. Akan tetapi masing-masing kelompok

ini mempunyai dialek bahasa sendiri. Enam dari kelompok ini (Metemani, Sagapuri,

Oderauw, Kaiso, Sunami, dan Inanwatan) berdiam dalam wilayah Distrik

Inanwatan, dan tiga kelompok lainnya (Tehit, Ogit, Sawiat) berdiam dalam wilayah

Distrik Teminabuan.

Suku Tehit memiliki peranan penting terhadap aktivitas keseharian masyarakat

pesisir terutama di Teminabuan. Kata Tehit berasal dari tahiyid, artinya

"mereka(lah) Tehit", namun arti leksikalnya telah hilang. Hasil wawancara

menyatakan bahwa Suku Tehit datang ke daerah ini beberapa ratus tahun yang lalu

dan mengambil alih penguasaan terhadap penduduk yang lebih dulu datang.

Awalnya masyarakat Suku Tehit bermukim di daerah rawadan hidup dari

menebang dan mengumpulkan pati sagu. Lalu kemudian perlahan-lahan

bermukim di daratan tanah kering dan hidup dari hasil perkebunan yang ditanami

komoditas ubi, keladi dan labu.

Masyarakat SukuTehitdulunya dipimpin oleh raja-raja kecil yang berkedudukan di

empat weri (bandar) yaitu:

1) Weri Ambuam (Teminabuan)

42


2) Weri Sar

3) Weri Konda

4) Weri Kasrer (Seribau)

Raja yang paling dominan berkedudukan di Teminabuan, gelarnya Kaibus atau

Woronemin. Masyarakat Tehit terdiri atas beberapa klan patrilineal. Anggota klan

disebut wendla dan pemimpinnya disebut nakhohokh. Kepemimpinan ini terutama

terlihat dalam masalah kemasyarakatan, seperti dalam masalah pembagian harta

waris, aturan perkawinan, pelanggaran adat dan sebagainya. Nakhohokh sendiri

harus memimpin musyawarah (lelekh wamar) untuk memutuskan suatu perkara.

Keputusannya memerlukan pertimbangan dari sekelompok tetua bijaksana yang

disebut nasemba (penengah). Pada zaman dulu lelekh wamar juga berfungsi

sebagai lembaga ritual, perantara antara nadkhoin (manusia) dengan Tali Nggameri

(Khalik, Sang Pencipta) yang disebut Na Agow Allah.

Sama seperti berbagai suku bangsa asli lain di Kepala Burung Pulau Papua Wilayah

Adat Bomberai, alat bayar bergengsi pada orang Tehit ini adalah not hokh (kain

sakral). Kain sakral tersebut digunakan sebagai mas kawin. Dalam perkawinan itu

sendiri syolo (saudara laki-laki) ibu sangat berperan dalam menentukan jodoh

kemenakannya, karena itu perkawinan ideal dalam masyarakat ini adalah antara

saudara sepupu silang.

Bahasa Tehit terdiri atas 10 dialek yaitu :

1) Dialek Tehit Tehiyit (di Teminabuan dan sekitarnya)

2) Dialek Tehit Afsya atau Mbolfle (di bagian selatan Teminabuan : weri konda

dan Bariat)

3) Dialek Tehit Gemma (di sebelah utara Teminabuan, Wehali dan Eles)

4) Dialek Tehit Yemian (di kampung Hana dan Sanekh)

5) Dialek Tehit Sawiat (di kampung Soroan dan sekitarnya)

6) Dialek Tehit Fkar (di Pegunungan)

7) Dialek Tehit Yatfle

8) Dialek Tehit Sayfi

9) Dialek Tehit Konyokh

10) Dialek Tehit Salmeit.

43


3.4. Referensi

BPS (Badan Pusat Statistik) West Papua Province Dalam Angka 2017

BPS (Badan Pusat Statistik) West Papua Province Dalam Angka 2016

BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten South Sorong Dalam Angka 2017

BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten South Sorong Dalam Angka 2016

Imroatus S., Mulyadi dan Maryam L., 2015. Gambaran Sarana Sanitasi Masyarakat Kawasan Pesisir

Pantai Dusun Talaga Desa Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat. HIGIENE Volume 1,

No. 2 Mei-Agustus

Gunaisyah E., 2008. Sumber daya Udang Penaeid dan Prospek Pengembangannya di Kabupaten South

Sorong Provinsi Irian jaya barat. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Pakpahan HT., 2003. Hubungan Motivasi Kerja Dengan Perilaku Nelayan Pada Usaha Perikanan Tangkap.

STEVIA-Volume III No. 01 Januari.

Santos CP., Carollo C. and Yoskowitz DW., 2012. Gulf of Mexico Ecosystem Service Valuation Database

(Geco Serv) : Gathering Ecosystem Services valuation Studies to Promote Their Inclusionin The Decision

Making Process. ELSEVIER.

Suryaperdana Y., 2011. Keterkaitan Lingkungan Mangrove Terhadap Produksi Udangdan Ikan Bandeng di

Kawasan Silvofisheries Blanakan Subang, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

44


IV.

AKTIVITAS PERIKANAN TANGKAP

4.1. Pendahuluan

Salah satu karakteristik dari Kabupaten Sorong Selatan adalah adanya hutan mangrove yang

tersebar di sepanjang bibir pantai. Hutan mangrove dapat dikategorikan sebagai ekosistem yang

memiliki produktivitas tinggi karena banyaknya pasokan unsur hara, lumpur, dan merupakan tempat

yang terlindungi dari angin kencang sehingga ekosistem hutam mangrove adalah tempat asuhan,

mencari makan, tempat berkembang biak berbagai jenis udang, kepiting, ikan dan berbagai jenis hewan

lainnya (Kalther, 2010). Kondisi tersebut membuat Kabupaten Sorong Selatan terkenal sebagai penghasil

sumberdaya perikanan yang cukup tinggi, terutama udang dan kepiting. Data statistik perikanan tangkap

Provinsi Papua Barat tahun 2016 mencatat nilai produksi perikanan tangkap di Tabulate Sorong Selatan

dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data perikanan tangkap tahun 2014 sebanyak 351.742.671 (kg)

dan di tahun 2016 sebanyak 463.462.114 kg. Jumlah tangkapan yang semakin tinggi menimbulkan

kekhawatiran jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak buruk pada berbagai macam aspek, baik

secara ekologis, sosial maupun ekonomi di Kabupaten Sorong Selatan.

Aspek-aspek di atas menjadi pertimbangan dalam kegiatan survei perikanan di Kabupaten Sorong

Selatan. Hasil dan analisa kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat ketersedian data primer dan

sekunder terkait pemanfaatan sumber daya perikanan di Sorong Selatan. Diharapkan hasil survei

perikanan yang dilaksanakan dapat disinergikan dengan seluruh pemangku kepentingan untuk

mewujudkan strategi pengembangan perikanan di kabupaten Sorong Selatan.

4.2. Metode

4.2.1. Waktu dan Lokasi Pengambilan Data

Pengambilan data primer dan data sekunder perikanan di Kabupaten Sorong Selatan dilakukan

pada tanggal 13 Juli – 25 Juli 2017. Pengambilan data perikanan dilakukan di 7 distrik yang berada di

wilayah perairan Kabupaten Sorong Selatan yakni Saifi, Teminabuan, Konda, Yahadian, Metemani,

Inanwatan dan Kokoda yang terdiri dari 11 kampung yakni Botain, Konda, Wamargege, Sayolo, Kaibus,

Yahadian, Nusa, Mugim, Mugibi, Mate dan Tarof. Dibawah ini merupakan peta lokasi survei dan

beberapa tempat pendaratan ikan nelayan.

45


Gambar 4- 1 Peta pendaratan hasil tangkapan dan lokasi pengambilan data perikanan

4.2.2. Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data dan informasi terkait sumber daya perikanan mengacu pada Protokol Baseline

Survei Perikanan Tangkap dan Budidaya yang disusun oleh Kelompok Fisheries Research and

Development WWF-Indonesia. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan beberapa metode yakni:

a. Diskusi kelompok terarah/Focus Group Discussion (FGD)

Melibatkan sekitar 6-10 atau lebih warga kampung untuk memperoleh informasi terkait

persepsi, sikap dan pengalaman yang dimiliki oleh informan berdasarkan diskusi bersama ditiap

kampung. Peserta FGD merupakan warga kampung tempat dilakukan survei.

b. Wawancara Informan Kunci/Key Informant Interview (KII)

Melibatkan sekitar enam sampai sepuluh orang responden. Peserta yang diwawancarai adalah

informan kunci dikampung seperti Nelayan, pengepul, kepala kampung dan beberapa tokoh

kunci informan lainnya yang dapat memberikan informasi terkait perikanan dikampung tersebut

c. Survei di lokasi pendaratan ikan (Fish Landing)

Memperoleh informasi langsung di lokasi pendaratan ikan yakni pada saat ada nelayan selesai

memancing dan melakukan pendaratan ikan di tempat pendaratan tersebut. Pengambilan data

dilakukan 10% dari jumlah armada yang dilakukan pada hari survei.

d. Survei kondisi sosial ekonomi perikanan

46


Memperoleh informasi terkait sosial ekonomi perikanan. Wawancara dilakukan berdasarkan 5%

dari jumlah rumah tangga perikanan di tiap kampung.

4.2.3. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif komprehensif untuk menghasilkan teks deskriptif.

Sedangkan analisis survei dilakukan secara kuantitatif berdasarkan pada masing-masing kondisi desa

atau kampung. Jenis data dan informasi yang coba dikumpulkan di Kabupaten Sorong Selatan meliputi

jenis ikan target, alat tangkap, aktivitas perikanan yang merusak, kondisi sosial ekonomi, armada

perikanan, variasi musim, rantai pemasaran ikan, dan lain-lain.

4.3. Hasil

4.3.1. Spesies Ikan Target

Hasil tangkapan yang mendominasi di perairan Kabupaten Sorong Selatan adalah udang dan

kepiting. Mayoritas nelayan Kabupaten Sorong Selatan menggunakan jaring insang tiga lapis (trammel

net) dalam penangkapan udang. Ekosistem hutan mangrove yang masih lebat dan pantai dengan dasar

substrat lumpur menjadikan wilayah perairan Sorong Selatan merupakan habitat yang sangat baik bagi

jenis udang dan kepiting serta beberapa jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis.

Mengacu pada informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan langsung di

lapangan berikut penjabaran target tangkapan:

Tabel 4- 1 Spesies target mayoritas nelayan Sorong Selatan

Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies

Udang Banana Udang jerbung Penaeidae Penaeus merguiensis

Udang ende Udang dogol Penaeidae Metapenaeus ensis

Udang tiger/udang windu Udang windu Penaeidae Penaeus monodon

Kepiting bakau/karaka Kepiting bakau Geryonidae Scylla oceanica

Jenis udang yang menjadi tangkapan utama nelayan di antaranya adalah udang banana/jerbung,

udang ende/dogol dan udang tiger/windu. Selain itu, kepiting bakau atau disebut juga karaka untuk

masyarakat lokal merupakan salah satu jenis target tangkapan utama nelayan dikarenakan nilai

ekonomisnya yang tinggi. Pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan Kabupaten Sorong Selatan

masih dilakukan dalam jarak maksimal 5 mil dari pantai dan muara sungai.

47


4.3.2. Alat Tangkap (Peta Alat Tangkap)

Nelayan Kabupaten Sorong Selatan melakukan penangkapan udang, kepiting, ikan kembung dan

ikan sembilang dengan berbagai jenis alat tangkap yang dapat dilihat pada Tabel 4-2.

Tabel 4- 2 Tipe alat tangkap nelayan di daerah pengamatan

Tipe Alat Tangkap

Nama Desa/Kampung

Sayolo Ampera Konda Wamargege Yahadian Mugim Nusa Mugibi Mate Tarof Botain

Handline v V V v v V V v v v v

Rawai Dasar v - - v v V V v - v v

Jaring insang kecil v V V v v V V v - v v

Jaring insang besar v V V V v V V V V V -

Tombak - - V - v - - - - - -

Bubu/perangkap - - - V v V - - V - -

Sero V - V V v V V - V V -

Dari informasi di atas secara umum alat tangkap yang digunakan oleh nelayan kabupaten Sorong

Selatan didominasi oleh jaring insang tiga lapis (trammel net), handline dan bubu/perangkap dengan

persentase paling tinggi masing-masing 49%, 19% dan 17%. Selain itu ada jaring insang besar, tombak

dan rawai dasar. Persentase alat tangkap tersebut dapat dilihat pada Gambar 4-2.

Gambar 4- 2 Presentase alat tangkap yang digunakan nelayan di lokasi pengamatan

48


Trammel net merupakan alat yang paling banyak digunakan oleh nelayan, yakni sekitar 49%.

Nelayan menggunakan trammel net sebagai alat tangkap utama untuk menjaring udang. Jenis alat

tangkap yang digunakan di setiap kampung yang dikunjungi hampir sebagian besar sama yaitu trammel

net, hal ini disebabkan target tangkapan utama nelayan adalah udang. Selain itu, ada beberapa kampung

yang sebagian nelayannya menggunakan alat tangkap bubu/perangkap untuk menangkap kepiting.

Tombak dan sero biasa digunakan juga untuk menangkap kepiting, hal ini dapat terlihat pada gambar

diatas yang menunjukkan adanya penggunaan tombak 3% dan sero 3%. Banyak nelayan yang

menggunakan handline sebagai alat tangkap sampingan namun setiap nelayan memiliki alat tangkap ini

walaupun dalam jumlah yang sedikit.

4.3.3. Aktivitas Perikanan yang Merusak

Kegiatan penangkapan ikan yang merusak di perairan Kabupaten Sorong Selatan yang masih

ditemukan adalah akar bore (Gambar 4-3). Akar bore atau biasa dikenal dengan tanaman tuba, yang

dalam bahasa ilmiah disebut Derris elliptica, merupakan jenis tumbuhan yang beracun bagi ikan dan

mengandungrotenone, sejenis racun kuat untuk ikan dan serangga. Akar bore tersebut harus ditumbuk

dan dicampur dengan air sebelum digunakan (Alamendah, 2010).

Gambar 4- 3 Akar bore atau Derris elliptica

Dari hasil wawancara, di setiap kampung yang dikunjungi masih ada beberapa nelayan yang

menggunakan akar bore. Menurut mereka, akar bore hanya membuat ikan yang ingin ditangkap

pingsan. Selain itu, Akar Bore sendiri sangat mudah didapat oleh nelayan dari hutan di Kabupaten

Sorong Selatan. Untungnya, tidak ditemukan adanya penggunaan alat tangkap yang merusak yang

digunakan oleh para nelayan di perairan Kabupaten Sorong Selatan.

49


4.3.4. Armada Perikanan

Perahu merupakan alat yang sangat penting dalam proses penangkapan. Jenis perahu yang

digunakan oleh para nelayan di 11 desa pun bervariasidi antaranya, perahu tanpa mesin, perahu dengan

menggunakan mesin luar dan mesin dalam. Data di bawah ini menjelaskan jenis-jenis armada perikanan

di 11 desa(Gambar 4-4).

Tidak Punya

8%

Mesin dalam

7%

Tanpa mesin

29%

Mesin luar

56%

Mesin dalam Mesin luar Tanpa mesin Tidak Punya

Gambar 4- 4 Jenis armada penangkapan di lokasi pengamatan

Nelayan di Kabupaten Sorong Selatan lebih banyak menggunakan perahu mesin luar dibandingkan

dengan perahu tanpa mesin maupun mesin dalam. Perahu tanpa mesin menunjukkan total 29%, perahu

mesin dalam sebanyak 7%, nelayan yang tidak memiliki perahu ada 8% dan yang paling dominan adalah

perahu yang menggunakan mesin luar yaitu sebanyak 56%. Gambar 4-5 dibawah menunjukkan jenisjenis

perahu yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Sorong Selatan

Gambar 4- 5 Jenis perahu yang digunakan oleh nelayan di Perairan Kabupaten Sorong Selatan (dari kanan ke kiri:

perahu dengan dayung, perahu mesin dalam, perahu mesin luar)

50


4.3.5. Lokasi Penangkapan Ikan

Daerah penangkapan ikan pada masing-masing distrik berbeda-beda karena lokasi penangkapan dari

satu distrik ke distrik yang lain cukup jauh (Lampiran; 6.1 ). Selain itu, jenis perahu dan mesin yang

digunakan oleh nelayan juga mempengaruhi daerah penangkapan. Daerah penangkapan ikan di perairan

Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Gambar 4-6.

Gambar 4- 6 Peta lokasi penangkapan ikan di Kabupaten Sorong Selatan

4.3.6. Variasi Musim Penangkapan

Secara umum, keadaan cuaca di Sorong Selatan dipengaruhi kondisi perairan utara Australia dan

perairan Samudera Pasifik walaupun kondisinya bervariasi tergantung pada topografi lokal. Musim

penangkapan udang sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca di daerah tersebut. Pada musim puncak

nelayan dapat melakukan penangkapan udang secara optimal, namun jumlah tangkapan udang di

musim paceklik dapat menurun drastis. Curah hujan tinggi dan angin yang bertiup kencang membuat

nelayan kesulitan melaut. Pada musim puncak nelayan dengan jaring trammel net di Kabupaten Sorong

Selatan dapat melakukan trip 23-25 trip/bulan; musim sedang 17-20 trip/bulan; dan pada musim

paceklik sebanyak 14-17 trip/bulan. Rata-rata total trip tiap armada penangkapan trammel net per

tahun sekitar 216-227 hari setiap tahunnya. Adapun rata-rata nelayan tidak melakukan penangkapan

dalam setahun sekitar 138-149 hari setiap tahunnya.

Nelayan yang menggunakan bubu atau perangkap bambu untuk menangkap kepiting bakau di

Kabupaten Sorong Selatan tidak terpengaruh oleh variasi musim. Rata-rata total trip tiap armada

51


penangkapan perangkap kepiting per tahun sekitar 240-250 hari. Adapun rata-rata nelayan perangkap

kepiting tidak melakukan penangkapan dalam setahun sekitar 115-125 hari. Kepiting dapat ditangkap

terus menerus sepanjang tahun karena di sepanjang sungai dipengaruhi air pasang dan surut. Meskipun

demikian, nelayan umumnya tidak melakukan penangkapan pada hari pelaksanaan ibadah yakni Sabtu

dan Minggu dan hari libur yang berhubungan dengan kegiatan agama. Aktivitas penangkapan kepiting

juga dipengaruhi kondisi alam (cuaca, angin, arus) yang tidak mendukung dan ketika ada kegiatan atau

musibah di kampung.

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari kampung-kampung di Kabupaten Sorong Selatan sebanyak

95% responden menyatakan ada variasi musim penangkapan udang dan sisanya menyatakan tidak ada

variasi musim penangkapan udang. Musim variasi udang terjadi dua kali pada musim puncak, yaitu pada

musim angin selatan dan musim angin barat. Musim penangkapan udang di kampung-kampung wilayah

Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 4-3.

Tabel 4- 3 Musim penangkapan udang di lokasi pengamatan

Village Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

Sayolo

Ampera

Wamargege

Konda

Yahadian

Mugim

Nusa

Mate

Mugibi

Tarof

Botain

Musim puncak

Musim paceklik

Kampung Sayolo, Ampera, Wamargege, Konda, Yahadian, Mugim, Nusa dan Botain mengalami

musim paceklik di bulan Januari, Februari, Juni, Juli, September dan Desember. Responden menyatakan

bahwa cuaca buruk merupakan masalah utama dalam melakukan aktivitas penangkapan. Di sisi lain,

musim puncak biasanya terjadi pada bulan Maret, April, dan Agustus. Responden menyatakan musim

52


puncak terjadi selama angin musim barat (Maret, April, dan Agustus), nelayan melakukan aktivitas

penangkapan di daerah muara Sungai Warungae. Di Kampung Mate, Mugibi dan Tarof musim puncak

terjadi di bulan Mei dan Agustus sedangkan musim paceklik terjadi dibulan Januari, Februari, Juni, Juli,

September dan Desember.

4.3.7. Tren Perikanan dalam Lima Tahun

Berdasarkan wawancara dengan nelayan lokal, ada tren peningkatan penangkapan ikan di wilayah

perairan Kabupaten Sorong Selatan. Sebanyak 73% responden menyatakan selama kurun waktu 5 tahun

terakhir produksi perikanan tangkap khususnya udang mengalami peningkatan. Besar kemungkinan

kondisi ini dipengaruhi oleh aturan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melarang alat tangkap

pukat dan sejenisnya. Faktor perkembangan teknologi armada penangkapan ikan (mesin perahu dan

alat tangkap) ikut mempengaruhi peningkatan hasil tangkapan udang dan kepiting di perairan

Kabupaten Sorong Selatan. Teknologi perahu dan kapal telah berkembang secara signifikan. Nelayan

telah beralih dari perahu tanpa motor (dayung dan layar) ke perahu mesin tempel (katinting dan

jhonson). Adanya bantuan perahu berbahan fiber dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sorong

Selatan membuat nelayan menggunakan perahu fiber dalam melakukan aktivitas penangkapan.

Nelayan awalnya menangkap udang menggunakan pancing, kemudian masuknya nelayan dari

Sulawesi (Bugis dan Buton) yang menangkap udang dengan jaring membuat nelayan lokal mengadopsi

alat tangkap jaring untuk menangkap udang. Sedangkan nelayan kepiting bakau awalnya menangkap

dengan menggunakan alat tangkap tombak. Adanya pengenalan alat tangkap dari luar membuat

sebagian nelayan kepiting menangkap kepiting dengan bubu/perangkap.

Perairan Kabupaten Sorong selatan masuk ke dalam area Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715,

dimana potensi udang pada tahun 2015 di WPP 715 sebesar 6.089 ton per tahun (Komnas Kajiskan

2016). Jenis udang banana (jerbung) diketahui merupakan jenis udang yang paling dominan tertangkap.

Berdasarkan data estimasi pendaratan udang di Kabupaten Sorong Selatan, produksi udang di tahun

2015 sebesar 1.386,35 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 22,78%. Persentase ini menunjukkan

pemanfaatan udang masih bisa untuk dioptimalkan dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini dapat dilihat

dari produksi udang tahun 2006 berdasarkan data DKP Kabupaten Sorong Selatan sebesar 800 ton. Tren

pemanfaatan udang meningkat sebesar 73% dari tahun 2006 ke tahun 2015. Hasil survei cepat ini

menunjukkan Catch per Unit Effort (CPUE) udang yang ditangkap oleh nelayan Kabupaten Sorong

Selatan sebesar (16,34+2,64) = 18,98 kg/trip. Bawole et al., (2008) menyatakan jumlah hasil tangkapan

udang sangat dipengaruhi oleh periode pasang surut, gelombang yang berhubungan dengan musim di

daerahperairan Kabupaten Sorong Selatan sampai Teluk Bintuni (musim selatan dan barat) serta

kepemilikan alat tangkap.

Sektor perikanan tangkap di wilayah Kabupaten Sorong Selatan berkembang cukup pesat. Perhatian

pemerintah daerah dengan pemberian bantuan berupa perahu, mesin, dan alat tangkap menjadikan

nelayan bisa bersaing dengan nelayan andon (pendatang) yang menangkap di perairan Kabupaten

Sorong Selatan. Tren perikanan juga meningkat walaupun baru terbatas pada komoditas

udang.Pemanfaatan komoditas ikan di perairan Kabupaten Sorong Selatan sayangnya masih tertinggal

53


dari pemanfaatan udang. Tidak tersedianya aktor pemasaran ikan menjadi penyebab pemanfaatan

komoditas ikan belum berjalan dan berkembang dengan baik.

4.3.8. Pendaratan Ikan

Dari hasil survei, nelayan melakukan pendaratan udang dan kepiting di dua tempat yakni di

kampung tempat mereka tinggal dan di kamp yang merupakan tempat tinggal sementara nelayan yang

sekaligus dijadikan sebagai pusat pendaratan udang dan kepiting. Udang merupakan hasil tangkapan

yang paling dominan didaratkan oleh nelayan. Banyaknya pengepul udang di wilayah perairan menjadi

faktor utama banyaknya nelayan udang. Terdapat 4 jenis udang yang ditangkap nelayan menggunakan

jaring trammel net yaitu udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang windu (Penaeus monodon), udang

dogol (Metapenaeus monoceros), dan udang ronggeng/mantis (Gonodactylus sp.). Jenis udang yang

dominan tertangkap adalah udang jerbung/banana (Penaeus merguiensis). Jenis komoditas perikanan

yang didaratkan di perairan Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Gambar 4-7, Gambar 4-8, dan

Gambar 4-9.

a) Udang banana/jerbung (Penaeus merguinsis) b) Udang windu (Penaeus monodon)

c) Udang dogol (Metapenaeus ensis) d) Udang ronggeng/mantis (Gonodactylus sp.)

Gambar 4- 7 Spesies udang target nelayan Sorong Selatan

54


Gambar 4- 8 Salah satu jenis kepiting target tangkapan nelayan Sorong Selatan

a) Ikan lidah pasir (Cynoglossus bilineatus) b)Mangiwang/hiu (Carcharhinus leucas)

c) Pari kodok(Dasyatis Kuhlii) d) Pari (Rhinobatos sp.)

Gambar 4- 9 Hasil tangkapan sampingan (bycatch) nelayan Sorong Selatan

Hasil tangkapan jaring trammel net tidak hanya jenis udang, tetapi terdapat hasil tangkapan

sampingan (bycatch). Bycatch trammel net yang dominan di perairan Kabupaten Sorong selatan adalah

ikan kembung (Rastrelliger sp.), sembilang (Plotosus lineatus), kakap putih (Lates calcarifer), hiu

(Carcharhinus sp.), pari (Dasyatis sp.), baronang (Siganus sp.), ikan sebelah (Cynoglossus sp.), dan

55


kepiting bakau (Scylla sp.). Tangkapan nelayan yang didaratkan meliputi jenis-jenis yang terdapat pada

Tabel 4-4.

Tabel 4- 4 Hasil pengamatan di lokasi pendarata ikan Kabupaten Sorong Selatan

Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies

Udang Banana Udang Jerbung Penaeidae Penaeus merguiensis

Udang ende Udang dogol Penaeidae Metapenaeus ensis

Udang tiger

Karaka

Udang windu

Kepiting bakau

Penaeidae

Geryonidae

Penaeus monodon

Scylla oceanica

Ikan sembilang/ lele Manyung Clariidae Clarias sp.

Ikan lidah pasir

Ikan lidah/ilat-ilat/

Fourlined tonguesole

Cynoglossidae

Cynoglossus bilineatus

Mangiwang Hiu Carcharhinidae Carcharhinus leucas

Pari kodok Ikan Pari Dasyatidae Dasyatis kuhlii

Pari Ikan Pari Rhinobatidae Rhinobatos sp.

Ikan Tawar Kakap Putih Latidae Lates calcalifer

Udang Mantis/

Udang Mantis Gonodactylidae Gonodactylus smithii

Udang Lopis

Udang Mantis/

Udang Mantis Gonodactylidae Gonodactylus chiragra

Udang Lopis

Lema Kembung Scombridae Rastrelliger sp.

Bubara Kuwe Carangidae Caranx sp.

Samandar Baronang Siganidae Siganus sp.

Berdasarkan pengambilan data lapangan sebanyak 11 pendaratan di seluruh lokasi survei,

didapatkan kompilasi data hasil tangkapan nelayan dalam satu kali trip yang menggunakan jaring

trammel net seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4-10.

56


Dasyatis sp.

3%

Cynoglossus sp.

5%

Siganus sp.

5%

Scylla sp.

3%

Penaeus

merguiensis

29%

Lates calcarifer

16%

Carcharhinus sp.

7%

Rastrelliger sp.

17%

0%

Penaeus monodon

3%

Metapenaeus ensis

Plotosus lineatus

5%

Gonodactylus sp

2%

Gambar 4- 10 Komposisi hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap trammel net

Udang jerbung (Penaeus murgensis) merupakan hasil tangkapan dominan yaitu 12,56 kg (29%) dari

keseluruhan hasil tangkapan menggunakan jaring trammel net. Kakap putih (Lates calcalifer) dan

kembung (Rastrelliger sp.) merupakan bycatch dominan yang tertangkap jaring trammel net di perairan

Kabupaten Sorong Selatan. Udang jerbung yang tertangkap memiliki panjang yang berbeda-beda seperti

yang dapat dilihat pada Gambar 4-11.

Lc : 33,5

mm

Gambar 4- 11 Sebaran panjang udang jerbung yang tertangkap di perairan Kabupaten Sorong

Selatan

Kisaran udang jerbung yang tertangkap di perairan Kabupaten Sorong Selatan memiliki panjang

karapas 28,45 – 49,6 mm. Analisis panjang udang jerbung pertama kali tertangkap atau length at first

capture (Lc) adalah 33,5 mm. Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa nilai Lc tersebut memiliki arti

untuk sumberdaya ikan dan udang yang mempunyai ukuran panjang di bawah nilai Lc akan dibiarkan

lolossupaya dapat berkembang menjadi dewasa dan membesar. Perkembangan tersebut bergantung

pada banyak faktor, antara lain suhu optimum dan ketersediaan sumber makanan. Ongkers (2006)

menyatakan bahwa setiap jenis ikan mempunyai suhu optimum yang berbeda untuk pertumbuhan dan

57


perkembangannya. Namun setidaknya, ikan di bawah nilai Lc diberikan kesempatan untuk tumbuh lagi,

sehingga akan tertangkap pada ukuran yang ideal. Udang jerbung di perairan Kabupaten Teluk Bintuni

(Kabupaten terdekat dari Kabupaten Sorong Selatan) pertama kali matang gonad pada kisaran panjang

33,87 mm (Sumiono, 1983). Sekitar 62,7% udang jerbung hasil tangkapan nelayan yang menggunakan

trammel net di Kabupaten Sorong Selatan tertangkap sudah dalam kondisi matang gonad.

4.3.9. Sistem Usaha Perikanan di Kabupaten Sorong Selatan

4.3.9.1. Harga

Udang dan kepiting merupakan komoditas utama perikanan tangkap di Kabupaten Sorong

Selatan. Tingginya produksi membuat komoditas udang dan kepiting mempunyai perbedaan harga di

setiap distrik. Perbedaan harga dipengaruhi oleh banyaknya penampung disetiap distrik dan akses

menuju ke distrik tersebut. Daftar harga udang dan kepiting di setiap kampung dapat dilihat pada Tabel

4-5.

Tabel 4- 5 Harga udang dan kepiting di Kabupaten Sorong Selatan

Harga

No

Distrik

Udang/kg

Kepiting/kg

5 up 3 up 2 up Bs

1 Teminabuan 95.000 50.000 35.000 25.000 15.000

2 Konda 70.000

3 Kais 60.000

Tidak ada klasifikasi berat

4 Metemani 65.000 30.000 30.000 30.000

5 Inanwatan 60.000

6 Kokoda 45.000

no weight classification

7 Saifi 70.000

Harga yang dibeli penampung dari nelayan disetiap distrik memiliki perbedaan. Harga udang yang

dibeli dari nelayan tidak dibagi sesuai ukuran melainkan digabung semua untuk ditimban. Harga udang

dibeli dengan harga paling tinggi yakni Rp 95.000,-/kg di distrik Teminabuan sedangkan yang terendah di

distrik Kokoda dengan harga Rp 45.000,-/kg.

58


Harga kepiting disortir dalam 2 cara, yaitu berdasarkan berat; 5 up untuk berat lebih dari 500

gram, 3 up untuk berat lebih dari 300 gram, 2 up untuk berat lebih dari 200 gram dan Bs (Biasa) untuk

berat kurang dari 200 gram dan kualitas kepiting kurang baik; dan berdasarkan jumlah kepiting.

Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan harga ini yakni jarak tempuh, transportasi menuju

ke Ibukota Kabupaten Sorong Selatan dan banyaknya penampung yang ada di tiap distrik tersebut.

Semakin jauh jarak tempuh ke Ibukota Kabupaten Sorong Selatan maka harga yang diambil oleh nelayan

semakin rendah dan semakin banyak penampung di satu kampung maka harga udang yang dibeli oleh

nelayan semakin tinggi. Selain itu nilai jual udang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya permintaan

dari luar negeri yang menjadikan ekspor udang sebagai penghasil devisa terbesar di bidang perikanan

(Tritondo N. Lestari, 2008)

4.3.9.2. Produksi

Produksi perikanan, khususnya udang dan kepiting, di Kabupaten Sorong Selatan mencapai

8.594.127 kg pada tahun 2016 dengan total produksi udang sebesar 6.035.376 kg dan kepiting 2.558.751

(Data Statistik Perikanan 2016, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat). Dari hasil survei,

didapatkan hasil produksi udang dari bulan Januari 2017 sampai Juli 2017 di salah satu penampung yang

berada di kampung Wamargege yang dapat dilihat pada Gambar 4-12.

Produksi Udang

5.934,64

6.424,10 6.694,64 6.478,80 6.433,20

3.837,70

Januari Februari Maret April Mei Juni

Gambar 4- 12 Produksi udang di salah satu penampung, Kampung Wamargege periode Januari-Juni 2017 dalam

satuan kilogram (kg)

Produksi udang selama 6 bulan tahun 2017 tertinggi pada bulan Maret sebesar 6.694,64 kg dan

terendah pada bulan Juni sebesar 3.837,7 kg. Total produksi keseluruhan selama 6 bulan sebesar

35.803,08 kg. Untuk rata-rata produksi udang per hari yang diproduksi oleh setiap nelayannya sebesar

19,79 kg.

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya produksi udang adalah tersedianya pembeli udang

tetap dengan pembelian harga yang cukup tinggi dari nelayan sehingga nelayan terus menerus

melakukan penangkapan udang. Selain itu, komoditas udang merupakan komoditas unggulan yang

59


paling diminati karena memiliki kandungan gizi yang tinggi, nilai ekonomi tinggi dan mempunyai peluang

pasar yang baik di dalam maupun luar negeri (Aristiyani Ririn, 2017)

4.3.9.3. Bisnis Perikanan

Sistem bisnis perikanan di perairan Kabupaten Sorong Selatan tergantung pada keberadaan

pengepul disetiap kampung. Sekitar 86% bisnis perikanan di Kabupaten Sorong Selatan adalah udang

dan 14% adalah kepiting. Hal ini karena di setiap kampung yang dikunjungi, pengepul udang hampir

selalu ada. Tingginya harga udang juga mempengaruhi tingginya bisnis udang di Kabupaten Sorong

Selatan sehingga nelayan juga ikut menargetkan udang sebagai tangkapan utama. Untuk jenis ikan lain

seperti ikan sembilang/lele laut, sistem penjualannya hanya di pasar lokal saja atau menjadi konsumsi

pribadi nelayan. Tidak adanya pengepul membuat nelayan jarang menargetkan ikan sembilang atau ikan

air tawar lainnya sebagai tangkapan utama. Jumlah pengepul di Kabupaten Sorong Selatan berdasarkan

komoditasnya dapat dilihat pada Tabel 4-6.

Tabel 4- 6 Jumlah pengepul di Kabupaten Sorong Selatan

No

Distrik

Pengepul

Udang

Kepiting

1 Teminabuan 3 3

2 Konda 9

3 Kais 3

Tidak ada

pengepul

4 Metemani 4 1

5 Inanwatan 3

6 Kokoda 1

Tidak ada

pengepul

7 Saifi 1

Total 24 4

Persentase 86% 14%

4.3.9.4. Rantai Pemasaran

Rantai pemasaran di Kabupaten Sorong Selatan terbagi dalam 2 komoditas, yakni komoditas

udang dan komoditas kepiting. Ilustrasi alur rantai pemasaran udang terdapat pada Gambar 4-13.

Sistem rantai pemasaran udang diawali dari nelayan yang menjual udang ke penampung tingkat

kampung yang memiliki mini coldstorage dan perahu penampung berupa perahu jolor yang parkir di

60


area dermaga. Udang dengan kualitas tidak bagus atau memiliki ukuran kecil ada yang dibeli oleh

penampung namun ada juga yang tidak dibeli. Udang yang dibeli oleh penampung di tingkat kampung

akan dibawa ke ibukota Kabupaten Sorong Selatan yakni Teminabuan dengan menggunakan 2 jalur

transportasi, yaitu; 1) Transportasi laut yakni perahu Jolor, 2) Transportasi darat langsung menuju ke

Kota Sorong.

Udang yang dibawa ke Sorong akan dimasukkan ke Perusahaan yang siap melakukan pengepakan

dan dikirim dengan menggunakan transportasi kapal laut ke Surabaya. Di Surabaya sudah ada

perusahaan dari grup yang berada di Sorong yakni Indocom Grup yang selanjutkan akan mengekspor

udang ke Pasar Asia dan Eropa. Sedangkan untuk rantai pemasaran komoditas kepiting dapat dilihat

pada Gambar 4-14.

Gambar 4-14 menjelaskan pembeli kepiting sebagian besar berada di ibukota Kabupaten yakni

Teminabuan. Nelayan di kampung yang aksesnya jauh menuju Teminabuan akan mengumpulkan hasil

tangkapannya lebih dulu sekitar 5 sampai 7 hari dan membawa semua hasil tangkapan ke Teminabuan

untuk dijual ke penampung. Ada juga penampung yang menetap di kampung untuk membawa hasil

tangkapan nelayan menuju ke Teminabuan. Di Teminabuan, kepiting dengan kualitas bagus akan

dilanjutkan proses penjualannya ke pengepul di Kota Sorong dan dari Kota Sorong ada yang dijual lokal

dan ada yang dikirim ke Makassar dan Surabaya menggunakan pesawat.

61


Gambar 4- 13 Rantai pemasaran udang di Kabupaten Sorong Selatan

62



Gambar 4- 14 Rantai pemasaran kepiting di Kabupaten Sorong Selatan

63



4.4. Referensi

Alamendah, 2010. Alamendah's Blog. [Online]

Available at: https://alamendah.org

[Accessed 6 September 2017].

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat, 2016. D (R.Bawole., 2008) Data Statistik

Perikanan Tangkap Tahun 2016. Manokwari : DKP Propinsi Papua Barat

Gunaisah, E., 2008. Sumber daya Udang Penaeid dan Prospek Pengembangannya di Kabupaten Sorong

Selatan Provinsi Irian Jaya Barat. Bogor: s.n.

Kalther, J., 2010. www.hendrasurianta.wordpress.com. [Online]

Available at: https://hendrasurianta.wordpress.com

[Accessed 06 09 2017].

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik

Indonesia Nomor 47/KEPMEN-KP/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan

dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik

Indonesia. Jakarta (ID): Kementrian Kelautan dan Perikanan.

O.T.S, O., 2006. Pemantauan Terhadap Parameter Populasi Ikan Teri Merah Encrasicholina hetereloba di

Teluk Ambon Bagian Dalam. Bogor: Masyarakat Ikhtiologi Indonesia kerjasama dengan Loka Riset

Pemacuan Stok Ikan, PRPT-DKP, Departemen MSP-IPB dan Puslit Biologi LIPI.

R.Bawole., F. W. Y. A. M. T., 2008. Sumber daya Perikanan Teluk Bintuni; Potensi, Masalah dan Upaya

Pengelolaan.. Manado, Dinas Kelautan dan perikanan Kota Manado, pp. 823-838.

Sparre, P., dan Venema, S.C. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I Manual. Jakarta: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Sumiono, B. 1983. Size on maturity and the sex ration of banana shrimp (Penaeus merguiensis de Man)

in the Bintuni Bay, Irian Jaya. Marine Fisheries Research Report 29: 41-46.

64


V. PEMANFAATAN DAN TATA KELOLA SUMBER DAYA LAUT

5.1. Pendahuluan

Salah satu sektor yang mampu meningkatan sumber pendapatan asli daerah Kabupaten Sorong

Selatan adalah perikanan. Produksi perikanan dan hasil sumber daya laut telah mengalami kenaikan

pada tiap tahunnya, yaitu 12.242,8 ton (2010) menjadi 15.386 ton (2015) (Statistik Perikanan Papua

Barat, 2016). Salah satu dukungan pemerintah terhadap pelaku industri perikanan di Kabupaten

Sorong Selatan yaitu berupa implementasi bentuk kebijakan yang mengatur produktivitas dan nilai

tambah produk hasil laut.

Namun, maraknya pemanfaatan perikanan dan sumber daya laut di Kabupaten Sorong Selatan

berpotensi menyebabkan berbagai ancaman baik dari segi ekologi maupun sosial, seperti; 1)

menurunnya hasil tangkapan ikan, 2) lokasi penangkapan yang semakin bertambah jauh, dan 3)

lahirnya konflik antar masyarakat terkait lokasi pemanfaatan sumber daya laut. Kondisi tersebut

diperburuk oleh jumlah masyarakat pesisir yang semakin bertambah. Pengalihan fungsi lahan untuk

pemukiman dan bertambahnya aktivitas pembangunan dapat mereduksi norma-norma adat yang

berpengaruh terhadap entitas budaya masyarakat adat pesisir Kabupaten Sorong Selatan.

Atas dasar itulah pengaturan wilayah pemanfaatan laut dan pesisir perlu dilakukan, untuk

menjaga ketersediaan hasil laut dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat disekitarnya. Aspek sosial

budaya, kelembagaan, norma masyarakat dan adat diharapkan juga dapat terakomodasi melalui

pengaturan wilayah pemanfaatan laut didalam calon kawasan konservasi perairan Kabupaten

Sorong Selatan. Oleh karena itu, untuk mengawali tahapan usulan kawasan konservasi, dilakukan

survei data dasar potensi sumber daya laut dan perikanan dengan mengidentifikasi aspek penting

sosial dan budaya masyarakat pesisir dan pola pemanfaaatan ruang laut yang ada di Kabupaten

Sorong Selatan.

5.2. Metode

Proses pengumpulan data dilakukan di 11 kampung sampel di Kabupaten Sorong Selatan dari

tanggal 13 sampai 24 Juli 2017 (Tabel 5-1). Kampung sampel dipilih berdasarkan ada atau tidaknya

aktivitas perikanan. Sebagian besar kampung sampel juga merupakan tempat tinggal nelayan yang

mencari ikan disekitar perairan Kabupaten Sorong Selatan.

Tabel 5- 1 Lokasi pengamatan aktivitas pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut

No. Distrik Kampung

1. Teminabuan Kampung Sayolo

Kelurahan Kaibus

2. Konda Kampung Konda

Kampung Wamargege

3. Kais Kampung Yahadian

65


4. Metamani Kampung Mugim

Kampung Nusa

5. Inanwatan Kampung Mugibi

Kampung Mate

6. Kokoda Kampung Tarof

7. Saifi Kampung Botain

Pengambilan data tiap kampung dilakukan selama dua hari. Metode yang digunakan adalah

diskusi kelompok terarah (FGD) dan wawancara informan kunci (KII). Peserta diskusi kelompok

terarah terdiri dari perwakilan tiap kelompok masyarakat—baik nelayan atau pun bukan nelayan—

yang sering melakukan aktivitas pemanfaatan sumber daya laut dan juga perikanan. Tujuan dari

adanya diskusi ini adalah untuk mengetahui pola pemanfaatan yang ada di Kabupaten Sorong

Selatan. Proses FGD mengacu pada Protokol Survei Cepat Kondisi Habitat Pesisir, Sosial dan

Pemanfaatan Sumber daya Laut yang disusun oleh WWF Indoensia.

Sementara itu, wawancara informan kunci dilakukan untuk menggali informasi lebih dalam

mengenai isu-isu hasil diskusi kelompok terarah. Informan kuci yang menjadi target wawancara di

antaranya adalah tokoh adat (terdiri dari kepala suku dan perwakilan marga besar), tokoh

masyarakat (terdiri dari pemuda, panutan, dan ibu-ibu), nelayan (tangkap, pengepul, dan bameti),

aparat kampung (terdiri dari kepala kampung dan kepala Bamuskam) serta kelompok/komunitas

lokal (terdiri dari POKMASWAS, komunitas nelayan tangkap dan pengepul). Traget informan kunci di

setiap kampung minimal 2 orang.

Terdapat beberapa parameter yang diamati untuk mengetahui gambaran umum pemanfaatan

dan pengelolaan sumber daya laut di antaranya adalah; 1) aturan mengenai pemanfaatan sumber

daya laut, 2) kelompok pemanfaatan sumber daya laut, 3) pengambilan keputusan, 4) konflik yang

ada di masyarakat, dan 5) peran masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya lautnya.

5.3. Hasil

Berbagai norma adat yang mengatur interaksi manusia dengan alam masih menjadi kepercayaan

yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat adat di wilayah Kab. Sorong Selatan. Sistem

kepercayaan tersebut masih menjadi pedoman hingga saat ini. Khususnya masyarakat adat yang

bermukim di wilayah pesisir, yang mana sangat bergantung pada potensi sumber daya perikanan.

5.3.1. Peraturan untuk Pengelolaan Sumber Daya Laut

Arah kebijakan dan strategi pengelolaan pada penataan ruang Kabupaten Sorong Selatan

menitikberatkan pada pemanfatan kawasan lindung sesuai dengan fungsinya, terutama dalam

memberi ruang perlindungan terhadap keanekaragaman flora fauna dan ekosistemnya. Hal tersebut

yang menjadi landasan pengembangan wilayah sejalan dengan prioritas pembangunan di Kabupaten

66


Sorong Selatan dimana salah satu prioritasnya adalah peningkatan pengelolaan sumber daya alam

untuk menambah pendapatan daerah dan kemakmuran rakyat.

Saat ini regulasi dan kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan masih mengacu pada

Peraturan Daerah Kab. Sorong Selatan No. 11 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab.

Sorong Selatan. Dokumen RTRW tersebut telah direvisi pada tahun 2011 untuk pedoman hingga

tahun 2031. Selain itu, kebijakan daerah yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah-RPJMD 2016-2021 telah disepakati dan masih dalam tahapan advokasi untuk

menjadi Perda. Provinsi Papua Barat juga telah menjadikan perairan Kab. Sorong Selatan menjadi

Kawasan Strategis Perikanan khususnya udang dan pelagis kecil.

Kabupaten Sorong Selatan sedang melakukan proses peralihan kewenangan dari tingkat

kabupaten ke tingkat provinsi, sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014. Namun demikian, hal ini masih

belum diimplementasikan dengan baik dikarenakan skema pengelolaan Pemerintah Daerah di

tingkat provinsi terhadap pemanfaatan sumber daya lingkungan belum disosialisasikan secara

menyeluruh. Oleh karena itu, mekanisme perizinan aktivitas penangkapan di kabupaten mengalami

kendala akibat proses pengalihan pada tingkat provinsi.

Di Kabupaten Sorong Selatan belum ada kebijakan yang mengatur pemanfaatan sumber daya

laut (SDL). Namun kebijakan terhadap perlindungan wilayah hutan telah ada dan tertuang dalam

Dokumen Peruntukan Lahan Provinsi Papua Barat. Dokumen tersebut mengalokasikan Wilayah

Distrik Kais, Distrik Metamani, Distrik Inanwatan dan Distrik Kokoda masuk dalam kategori Hutan

Lindung, dimana kawasan Hutan Lindung tersebut merupakan wilayah mangrove dan perairan

sungai. Saat ini pemerintah Kab. Sorong Selatan juga belum mengidentifikasi wilayah pesisir yang

potensial untuk dilindungi. Namun, pemerintah kabupaten melalui Dinas Perikanan Kab. Sorong

Selatan telah berkomitmen untuk membangun dan menginisasi Kawasan Konservasi Perairan.

Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan menargetkan sektor perikanan sebagai sektor

unggulan yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Dinas Kelautan dan Perikanan,

menganggarkan program perencanaan yang cukup penting bagi pengembangan perikanan. Program

tersebut terdiri dari; a) peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir, b) penyiapan lahan budidaya, c)

pemenuhan infrastruktur perikanan, dan d) pemberian bantuan operasional kepada nelayan

potensial.

Pemerintah daerah juga telah berperan dalam pemenuhan kebutuhan terkait isu pemanfaatan

sumber daya laut, seperti pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS),

penyediaan sarana pemasaran, mempermudah akses pasar, dan penyediaan sarana pembenihan

ikan. Perhatian terhadap peningkatan Sumber daya manusia juga masih terus ditingkatkan melalui

pelatihan, sosialisasi atau penyuluhan terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut. Sejak

tahun 2016 hingga tahun 2017 peningkatan kapasitas SDM tersebut masih tetap dilakukan seperti

pelatihan pengolahan hasil perikanan, teknik budidaya, perbaikan mesin perahu dan pembuatan

pakan ikan.

67


5.3.1.1. Hak Ulayat

Pemanfaatan sumber daya laut Kab. Sorong Selatan tidak lepas dari kerangka Hukum Adat yang

berlaku. Wilayah pesisir terutama ekosistem mangrove dan daerah perairan sekitarnya merupakan

hak klaim kepemilikan atau biasa dikenal dengan Hak Ulayat oleh marga tertentu. Sehingga, untuk

mengakses potensi sumber daya alam diwilayah tersebut, pengguna sumber daya seharusnya telah

memperoleh izin dari pemilik hak ulayat setempat. Biasanya, hak ulayat melekat atau diberikan oleh

marga besar asli Papua yang telah lama menguasai tempat tersebut.

Mayoritas masyarakat di Kampung Konda dan Wamargege adalah Suku Yaben, Suku Nagna dan

Suku Apsia. Masing-masing suku tersebut memiliki hak ulayat di wiayah hukum adat yang mengatur

interaksi sosial dan lingkungannya terutama interaksi dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Pemanfaatan potensi sumber daya laut di wilayah perairan Kampung Konda dan Wamargege harus

meminta izin secara lisan jika akan melakukan aktivitas tersebut tidak berlangsung lama dan tidak

menetap. Namun jika pemanfaatannya berlangsung lama dan menetap, sistem perizinannya harus

secara tertulis.

Sebagian besar masyarakat Kampung Botain Distrik Saifi merupakan Suku Yaben dimana wilayah

tersebut dikuasai oleh marga besar Ajamsaru, Saru, Saminya, Kasminya dan Oliminya. Sama halnya

di Kampung Konda dan Wamargege, pemanfaatan potensi sumber daya alam laut terutama

perikanan harus memperoleh izin lisan atau tertulis untuk jenis pemanfaatan kriteria tertentu.

Namun, ada beberapa aktivitas yang telah dilarang oleh masyarakat adat Suku Yaben di Kampung

Botain, contohnya yaitu perburuan hewan kus-kus pada wilayah ekosistem mangrove sekitar wilayah

hak ulayat Suku Yaben. Hal tersebut telah disepakati oleh Dewan Adat sejak tahun 2012.

Sebagian besar masyarakat Kampung Yahadian Distrik Kais termasuk dalam Suku Nerigo. Suku

tersebut terdiri dari marga besar Genuni, Regori, Hahar, Betobahar dan Yaben. Wilayah ulayat Suku

Nerigo mencakup sebagian besar wilayah hutan mangrove dan perairan laut di sekitar Distrik Kais.

Wilayah sebelah timur membatasi Distrik Inanwatan yang dibatasi oleh Sungai Yahadian. Sedangkan

pada bagian barat membatasi Distrik Konda dibatasi oleh sungai Kais.

Masyarakat Kampung Tarof Distrik Kokoda merupakan Suku Emiyode. Batas-batas ulayat

dibagian timur hingga masuk dalam wilayah Kabupaten Teluk Bintuni yang termasuk wilayah adat di

Sungai Kamundan dan Tanjung Kara-kara. Sedangkan pada wilayah barat wilayah adat Suku Emiyode

hingga Tanjung Lampu. Wilayah perairan disekitar mangrove merupakan daerah yang telah

dimanfaatkan secara turun temurun dan menjadi wilayah pemanfaatan tradisional oleh Suku

Emiyode.

5.3.1.2. Hak Penggunaan

Wilayah pesisir Kabupaten Sorong Selatan telah ditetapkan sebagai wilayah hutan mangrove

oleh Pemerintah Provinsi. Fungsi kawasan hutan mangrove yang ada di Kabupaten Sorong Selatan

terdiri dari; 1) Hutan produksi yang mencakup Distrik Saifi dan Konda, 2) Hutan Lindung yang

mencakup Distrik Kais, Metamani dan Kokoda, dan 3) Hutan Produksi Terbatas yang mencakup

Distrik Inanwatan dan Metamani.

68


Pemanfaatan hutan sebagai daerah perkebunan sawit terletak di Distrik Kais Metamani dan

Kokoda. Beberapa wilayah pesisir seperti Distrik Saifi dan Kais telah telah ditargetkan menjadi lokasi

eksplorasi Minyak dan Gas. Tahun 2013 pengeboran dilakukan di Tanjung Suabor Distrik Kais yang

merupakan Blok Eksplorasi seluas 7.176 km2 di Salawati Basin Papua Barat. Sedangkan untuk

wilayah Kokoda masih dalam tahap operasi seismik yang telah mendapat persetujuan dari Satuan

Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas). Wilayah konsesi migas yang aktif di

perairan Kab. Sorong Selatan teridentifikasi menjadi dua lokasi yaitu Blok Kasuari dan Blok Berau

(Kemeterian ESDM, 2016).

5.3.1.3. Hak Akses Pengelolaan

Seluruh masyarakat nelayan kampung target survei 11 (kampung) memanfaatakan potensi

perikanan terutama udang dan 10 kampung dari 11 kampung target survei memanfaatkan potensi

perikanan kepiting. Masing-masing nelayan memilki wilayah tangkap di perairan dekat kampung

yang merupakan wilayah hak ulayat mereka. Sebagian besar (40 %) wilayah tangkap tersebut

merupakan wilayah ulayat Suku Yaben, Suku Nerigo (20 %), Suku Inanwatan dan Metamani (15 %)

dan Suku Emiyode (25 %).

Hak Terhadap Wilayah Laut

Suku Metamani &

Inanwatan

15%

Suku Emiyode

25%

Suku Nerigo

20%

Suku Yaben

40%

Gambar 5- 1 Hak ulayat laut dari suku-suku yang berada di Sorong Selatan

Jika salah satu suku akan memanfaatkan potensi sumber daya laut dalam hal ini perikanan harus

memperoleh izin lisan kepada pemilik hak ulayat. Terdapat sekitar 10% nelayan pengguna sumber

daya laut yang merupakan masyarakat pendatang berasal dari Suku Makassar dan Bugis. Nelayan

pendatang bermukim di Distrik Teminabuan, Kampung Wamargege Distrik Konda dan Kampung

Botain Distrik Saifi ketika akan melakukan aktivitas pemanfaatan sumber daya laut harus

memperoleh izin dari pemilik ulayat dengan membayar sejumlah uang dengan kisaran Rp. 500.000–

Rp 1.500.000/bulan/nelayan.

5.3.2. Pemanfaatan Langsung dan Tidak Langsung

Sebagian besar pemanfaatansumber daya laut di wilayah kampung target survei dilakukan

oleh nelayan. Wilayah perairan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk aktivitas perikanan dengan

target tangkapan udang sedangkan wilayah ekosistem mangrove digunakan untuk aktivitas

69


perikanan dengan target tangkapan kepiting. Terdapat sekitar 24 pengepul komoditas udang dan 4

pengepul komoditas kepiting. Selain itu, pemanfaatan langsung perairan oleh masyarakat yaitu

sebagai jalur transportasi yang menghubungkan antar kampung, antar distrik serta menghubungkan

ibu Kota Kabupaten.

Wilayah ekosistem mangrove selain dijadikan sebagai daerah tangkapan kepiting, juga

dimanfaatakan untuk memenuhi kebutuhan seperti makanan dan bahan dasar bangunan rumah.

Sekitar 30% masyarakat pesisir di kampung target memanfaatkan jenis tumbuhan mangrove untuk

bahan bangunan seperti tiang rumah, dinding dan atap rumah. Di kampung target survei juga

ditemui aktivitas bameti yang dilakukan oleh ibu-ibu dengan alat tangkap menggunakan tombak dan

alat tradisional untuk menangkap ikan. Di wilayah perairan sungai Kab. Sorong Selatan terutama

pada Kampung Sayolo terdapat pemanfaatan oleh nelayan jala dengan target tangkapan udang.

Nelayan yang melakukan aktivitas tersebut adalah perempuan dengan menggunakan perahu tanpa

mesin dan alat tangkap jala.

Gambar 5- 2 Pemanfaatan sumber daya perairan sungai untuk penangkapan udang oleh nelayan perempuan

5.3.3. Pengguna Sumber Daya Laut

Sebagian besar (85%) pengguna sumber daya disekitar perairan kampung target survei

merupakan nelayan asli Papua dari kampung-kampung sekitar di Kabupaten Sorong Selatan.

Sejumlah 5% dari total masyarakat kampung target survei merupakan nelayan lokal pendatang yang

menetap di kampung. Sedangkan sekitar 10% dari total masyarakat kampung target survei

merupakan nelayan pendatang dari kampung lain. Nelayan pendatang dari luar kampung tersebut

berasal dari Suku Makassar, Bugis, Jawa dan Sanger.

70


Karakteristik Pengguna Sumber daya Laut (%)

Asli Papua

85%

Pendatang yang sudah

menetap di kampung

5%

Pendatang dari luar

kampung

10%

Gambar 5- 3 Komposisi nelayan di lokasi pengamatan Kabupaten Sorong Selatan

5.3.4. Kelompok Masyarakat

Kelompok masyarakat yang teridentifikasi di Kab. Sorong Selatan adalah kelompok nelayan

yang terbentuk berdasarkan ikatan pemodal atau pengepul. Semua Kampung target sudah memiliki

kelompok nelayan udang terdiri dari 2-6 kelompok yang masing-masing kelompok dianggotai 9-15

orang nelayan. Fasilitas yang diberikan oleh pemilik modal kepada kelompok nelayan udang terdiri

dari alat tangkap berupa jaring, bahan bakar serta logisitik untuk keperluan melaut. Selain itu, di

dalam kampung target juga teridentifikasi kelompok yang pernah dibentuk oleh pemerintah dalam

skema implementasi program penanaman mangrove. Namun, seiring berakhirnya rangkaian

program tersebut, berakhir pula keberadaan kelompok penanam mangrove.

5.3.5. Pengambilan Kebijakan Sumber Daya Laut

Pengambilan keputusan yang ada diseluruh kampung lokasi survei menggunakan proses

pendekatan adat. Dalam hal ini proses pendekatan adat dinamakan tikar adat atau lebih dikenal

dengan istilah musyawarah. Tikar Adat biasanya diselenggarakan untuk menyelesaikan persoalan

terkait pemanfaatan sumber daya laut, sosial, dan wilayah ulayat. Kepala Suku Besar merupakan

orang yang memimpin proses Tikar Adat. Acara tersebut dihadiri oleh seluruh masyarakat adat

termaksud tokoh-tokoh penting dari level kampung maupun distrik. Apabila dalam proses Tikar Adat

tidak mencapai suatu keputusan maka akan dilakukan Sumpah Adat—sebuah janji untuk

menyerahkan segala keputusan kepada leluhur secara gaib. Pengambilan keputusan lain seperti

sistem perizinan pemanfaatan potensi perikanan hanya melalui pemilik hak ulayat di masing-masing

kampung.

5.3.6. Konflik Penggunaan Sumber Daya Laut

Perebutan wilayah tangkap merupakan salah satu konflik yang paling banyak ditemui pada lokasi

survei. Lokasi yang menglamai konflik perebutan wilayah di antaranya Suku Yaben di Kampung

Konda dan Suku Nerigo Kampung Yahadian. Namun konflik tersebut tidak memicu pada tindakan

kriminalitas. Selain itu, Konflik hak ulayat juga teridentifikasi di antara masyarakat Kampung

71


Yahadian dan Masyarakat kampung Mugim dan Nusa. Konflik tersebut diawali dengan adanya

aktivitas eksplorasi migas pada wilayah adat Distrik Kais tahun 2015. Namun konflik tersebut belum

belum terselesaikan sampai saat ini.

Konflik antara nelayan asli dan nelayan pendatang (yang sudah menetap) juga masih sering

terjadi. Hal tersebut karena aktivitas pemanfaatan perikanan tidak meminta izin kepada pemiliki hak

ulayat. Selain itu, konflik antara pengepul dan nelayan tangkap juga terjadi di Kampung Botain,

Distrik Saifi. Hal tersebut dipicu oleh kesalahpahaman sosial seperti pembayaran hak ulayat yang

tidak sesuai kesepakatan. Namun, sebagain besar (90% kampung target) pemecahan konflik dapat

dilakukan melalui proses musyawarah.

72


5.4. Referensi

Anonim, 2014. Pemanfaatan Hutan Bakau Suatu Kearifan Lokal Orang Bira di Distrik Iananwatan.

BPNB Jayapura.

BPS Provinsi Papua Barat. 2016. Statistik Perikanan Provinsi Papua Barat.

Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD), 2013. Analisis Penerimaan dan Pengeluaran Publik

Kabupaten Sorong Selatan. Yayasan BaKTI. Australian AID

Yuwen M., Mudjirahayu, Pattiasina TF., Bawole R., 2016. Struktur Komunitas dan Penyebaran

Mangrove Serta Upaya Pengelolaannya oleh Masyarakat Distrik Teminabuan, Kabupaten

Sorong Selatan. Konas VI Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan. Menado.

73


VI.

PELUANG DAN TANTANGAN

Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Konservasi pada tahun 2015. Perwujudan

yang telah dilakukan dapat dilihat dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Khusus

(RANPERDASUS). Provinsi Papua Barat mulai menerapkan dasar implementasi kawasan konservasi

dengan melakukan perluasan area yang dianggap berpotensi, salah satunya Kabupaten Sorong

Selatan.

Kabupaten Sorong Selatan terletak di daerah pesisir yang hampir sebagian besar wilayahnya

ditutupi oleh hutan mangrove. Sebanyak 33 dari 52 jenis spesies mangrove yang terdapat di Papua

Barat, dimiliki oleh Kabupaten Sorong Selatan. Kondisi hutan mangrove yang baik—kerapatan pohon

yang tinggi—dapat ditemui diseluruh lokasi kampung survei. Ekosistem mangrove ini telah

memberikan banyak manfaat bagi masyarakatnya.

Mayoritas masyarakat Kabupaten Sorong Selatan memiliki matapencaharian sebagai nelayan.

Dengan keterampilan yang dimiliki, nelayan Kabupaten Sorong Selatan mampu memanfaatkan hutan

mangrove sebagai tempat memancing udang dan kepiting. Udang yang menjadi komoditas ekspor

unggulan adalah jenis jerbung atau dikenal dengan istilah banana shrimp. Hasil tangkapan perikanan

selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Bertambahnya angka produksi hasil laut, membuat

pemerintah Kabupaten Sorong Selatan memprioritaskan perikanan sebagai sektor unggulan daerah.

Dukungan pemerintah terhadap kemajuan sektor perikanan telah dilakukan dalam bentuk

pemberian bantuan berupa alat tangkap dan kapal mesin tempel.

Namun, dengan bertambahnya jumlah nelayan dalam memanfaatkan hasil perikanan,

dibutuhkan regulasi terkait aktivitas perikanan dan pengawasan khusus dari pemerintah. Aktivitas

penangkapan ikan yang merusak untuk mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak, seperti

menggunakan racun yang biasanya berasal dari akar bore, terkadang masih ditemukan di wilyahi ini.

Peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan khususnya dalam mengatasi aktivitas ilegal tersebut.

Harga jual ikan nelayan Kabupaten Sorong Selatan masih tergolong rendah. Permasalahan

tersebut merupakan salah satu faktor yang menggiring banyak nelayan pada kondisi ekonomi yang

buruk. Rendahnya harga jual ikan pada nelayan, disebabkan oleh kurangnya aktor pengelola hasil

perikanan dan buruknya fasilitas perikanan yang ada di desa nelayan. Permasalahan tersebut dapat

ditanggulangi dengan memperbaiki akses menuju desa nelayan, memperbaharui infrastuktur

perikanan, dan menyediakan koperasi pengelola hasil tangkapan.

Sampai saat ini program pemerintah terkait pengendalian penangkapan dan perlindungan

wilayah laut masih belum pernah diterapkan. Walaupun demikian, masyarakat Kabupaten Sorong

Selatan memiliki kecenderungan membuka diri terhadap sesuatu yang baru khususnya hal-hal yang

menyangkut isu wilayahnya. Disamping itu, pengaruh hukum adat yang kuat masih mengingat

hampir seluruh masyarakat kampung Kabupaten Sorong Selatan. Dengan demikian, adanya kondisi

sosial masyarakat yang menunjang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pendekatan konservasi

berbasis adat.

74


VII.

LAMPIRAN

7.1. Perikanan

Tabel 7- 1 Daerah penangkapan dan waktu tempuh nelayan

KAMPUNG– DISTRIK DAERAH PENANGKAPAN WAKTU TEMPUH

KAMPUNG SAYOLO- DISTRIK

TEMINABUAN

KAMPUNG AMPERA- DISTRIK

TEMINABUAN

KAMPUNG KONDA DAN

WAMARGEGE- DISTRIK

KONDA

KAMPUNG

DISTRIK KAIS

YAHADIAN-

Sungai Sayolo

Siligin

Waren

Perairan Kelapa Satu

Kali Ade Kaka

Sungai Ampera

Sungai Wermit

Tiwit

Tomanggo

Kohein

Sungai Kaibus

Sungai Konda

Sungai Seremuk

Sungai Botain

Perairan Pulau Dua Bambu

Muara Sirimu

Muara Warunggei

Sungai Klabra

Sungai Ampera

Perairan Isogo

Perairan Inanwatan

Muara lima

Muara Warunggei

Lampu Luar

Tanjung Jarum

Acigini

Mawan

Perairan Seneboi,

Sungai Seremuk

Sungai Klabra

Muara Sungai Wamargege

Muara Warunggei

Muara Tapuri

Sungai Warunggei

Tanjung Metamani

Muara Yahadian

Sepanjang sungai Kais

Tanjung Jarum

Tanjung Moyafa

Muara Pasir Hitam

Tanjung Siori

Muara Bebegin

Tanjung Sigei

10 menit

120 menit

120 menit

120 menit

120 menit

10 menit

10 menit

20 menit

20 menit

20 menit

20 menit

60 menit

60 menit

60 menit

120 menit

120 menit

120 menit

30 menit

5 menit

300 menit

300 menit

60 menit

60 menit

60 menit

60 menit

30 menit

30 menit

60 menit

45 menit

30 menit

30 menit

30 menit

15 menit

30 menit

30 menit

30 menit

15-30 menit

90 menit

90 menit

90 menit

90 menit

90 menit

75


KAMPUNG MUGIM DAN

NUSA– DISTRIK METEMANI

KAMPUNG MUGIBI DAN

MATE– DISTRIK INANWATAN

KAMPUNG

KOKODA

KAMPUNG

SAIFI

TAROF–DISTRIK

BOTAIN-DISTRIK

Suabor

Pasir Hitam

Siari

Metamani

Sebora

Muara Tapuri

Sungai Kais

Sungai Adolop

Perairan Mugim

Muara Sigeiruni

Agaresi

Nawetira

Muara Metemani

Weriana

Tanjung Lampu

Isogo

Sungai Sibora/Siri-siri

Sigano

Segei

Muara Tarof

Tanjung Lampu

Sungai Kamundan

Muara Kenaburi

Muara Pulau Dua Klamono

Sabaki

Klabra

Pulau Bambu

60 menit

60 menit

60 menit

10 menit

60 menit

60 menit

60 menit

60 menit

5 menit

180 menit

180 menit

180 menit

180 menit

180 menit

180 menit

180 menit

60 menit

60 menit

15 menit

5 menit

30 menit

60 menit

90 menit

10 menit

60 menit

60 menit

60 menit

31 enit

7.2. Indikator Pemantauan Kerja (PMI)

INDIKATOR SA

untuk PMI

SA1.1:

Behavior

Change

Unit

Jumlah orang atau %

anggota masyarakat yang

disurvei sadar & terlibat

dalam upaya konservasi

Papua Barat|Kabupaten Sorong Selatan

0 orang

Catatan:

> Bantuan USG baru dimulai pada Mei 2017.

> Diperkirakan 1.760 orang hidup di desa-desa

nelayan di Sorong Selatan.

SA2.1a Hektar

EAFM (di

bawah FMP)

Area (ha) yang dinilai

menggunakan EAFM

Belum ada

76


SA2.1b Hektar

KKP

SA2.1c Hektar

MSP

Nilai EAFM dari Area

tersebut (per domain dan

agregat)

Area (ha) yang dinilai

menggunakan EKKP3K

Nilai EKKP3K dari Area

tersebut (% per level)

Area (ha) KKP baru

Area (ha) yang termasuk

RZWP3K

Status RZWP3K

Belum ada

Belum ada

Belum ada

Belum ada

Belum ada

Belum ada

SA2.2

Peningkatan

Biofisik:

Tutupan

Mangrove,

Kelimpahan

Ikan, Ukuran

Ikan/Biomassa

% Mangrove

Kelimpahan Ikan (ind/ha)

Parameter biologi lain

% Tutupan Mangrove

(Data Ekologi Mangrove Sorong Selatan 2017) -

18 Transek

-Area survei mangrove: 1,8 Ha

-Rata-rata kerapatan: 534,13 ind/ha

-Total Spesies: 33

Kelimpahan Udang:

Udang Jerbung: 750 ind/km 2

(Data Ekologi Mangrove Sorong Selatan 2017)

Biota Asosiasi:

> Kepiting

> Siput

> Polychaeta (cacing lumpur)

> Lumbricus sp.

77


SA 2.3 # Kapal

yang Terdaftar

Wilayah Zona KKP

Jumlah armada kapal yang

terdaftar/punya izin

(armada kecil & menengah)

Hingga Juli 2017, KKP dan zona-zonanya belum

ditentukan

0 Kapal yang terdaftar

Nelayan menggunakan mesin kecil (15 PK)

untuk menangkap ikan

(Data Perikanan Sorong Selatan 2017)

SA2.4 CPUE

Kg/Hari/Alat

per lokasi

Jenis alat tangkap yang

disurvei

CPUE data untuk alat

tangkap (kg/trip)

> Jaring insang kecil (49%)

> Pancing ulur (19%)

> Bubu –Perangkap ikan (17%)

> Jaring insang besar (8%)

> Tombak (3%)

Produksi udang bulanan di Kampung

Wamargege – Konda:

> September 2014: 1.246,2 kg

> Oktober 2014: 8.329,8 kg

> November 2014: 6.876,2 kg

> Desember 2014: 4.399,4 kg

> Januari 2015: 4.044,8 kg

> Februari 2015: 8.807,1 kg

> Maret 2015: 9.044,8 kg

> April 2015: 10.678 kg (produksi tertinggi)

> Mei 2015: 8.626,6 kg

> Juni 2015: 5.714,8 kg

> Juli 2015: 4.311,5 kg

78


(Data Perikanan Sorong Selatan 2017)

Spesies target utama:

> Udang Jerbung

> Udang Dogol

> Udang Windu

> Kepiting Bakau

Spesies ikan target

Spesies target alternatif:

> Lele (Ikan sembilang)

> Ikan Lidah Pasir

> Hiu Banteng

> Ikan Pari Kodok

> Ikan Pari

> Udang Mantis

> Udang Mantis

SA2.5

Biomassa Ikan

Karang dalam

NTZ

SA 3.1 Kondisi

Ekonomi (10

Aset)

Kelimpahan (ind/ha) &

Biomassa Ikan (kg/ha)

Jumlah orang yang disurvei

dalam Pendataan Sosial

Rata-rata Biomassa Udang

Udang Jerbung: 8,24 kg/km 2

Data Sosial-Ekonomi Sorong Selatan (Juli

2017);

> Total desa yang disurvei: 11

> Total rumah tangga yang disurvei: 73

Catatan:

>Intervensi MPA belum dilakukan

79


SA 3.2

Leverage

Investasi

Data untuk Indikator Umum

Pendataan Sosial SEA

Aktivitas & luaran yang

bersumber dari pembiayaan

bersama dengan sumber

dana WWF lainnya

1. Kepemilikan rumah tangga (5 barang yang dimiliki):

> Listrik (77%), TV (64%), Telepon Seluler (35%),

VCD/DVD (42%), Kipas Angin (36%)

2. Material atap (3 material teratas):

> Seng (66%), Kayu/Bambu (9%), Rumbia (20%)

3. Material dinding (3 material teratas):

> Kayu (57%), Bambu (26%), Batu Bata (16%)

4. Material lantai:

>Kayu (55%), Semen (20%), Keramik (3%)

5. Jumlah kamar:

> Lebih dari 4 kamar (38%), 3-4 kamar (30%), 1-2 kamar

(32%)

6. Alat transportasi darat

> Sepeda motor (14%)

7. Kapal/perahu:

> Bermesin (63%), Dayung (29%)

8. Alat tangkap (3 alat tangkap terbanyak):

> Jaring insang kecil (49%), Pancing ulur (19%), Bubu

(17%)

9. Ternak (3 hewan terbanyak):

> Unggas (86%), Babi (11%), Sapi (3%)

10. Pertanian (3 tanaman utama):

> Pisang, Singkong, Kelapa (42%)

11. Akses air bersih:

>Sumur pribadi/air ledeng-PAM (28%), Sumur komunal

(41%), Lain-lain (45%)

12. Akses sanitasi:

> WC pribadi (50%), WC umum (38%), WC terbuka (12%)

13. Rumah tangga dengan tabungan (30%), Rumah

tangga dengan utang (12%), Rumah tangga dengan

asuransi (34%)

14. Rumah tangga anggota koperasi (0%)

15. Program bantuan pemerintah

>Rumah tangga penerima bantuan (54%)

16. Sumber pendapatan alternatif:

> Usaha rumah tangga (39%)

Tidak ada

80


Aktivitas & luaran yang

bersumber dari pembiayaan

bersama dengan organisasi

mitra (pemerintah, LSM lain,

dll)

Jumlah pembiayaan

bersama

Tidak ada

Tidak ada

Keberadaan sistem

pengelolaan sumber daya

lokal (hak milik, sasi, hak

ulayat, dll)

Informasi apakah sistem ini

telah dilegalisasi/disahkan

atau dalam bentuk tidak

tertulis

Tidak ada desa survei yang memiliki peraturan

adat.

SA 3.3 Hak

Ulayat #

Masyarakat

Jumlah desa yang

melaksanakan sistem

pengelolaan sumber daya

lokal (hak milik, sasi, dll) di

wilayah yang disurvei

0 desa

Jumlah masyarakat

(individu) yang tinggal di

wilayah/terdampak dengan

sistem pengelolaan sumber

daya lokal

Pendataan belum lengkap

81


SA 4.1

Peraturan dan

Kebijakan

Jumlah undangundang/kebijakan/peraturan

yang dikeluarkan karena

advokasi SEA Project

Tidak ada

SA 5.1 Orang

yang Dilatih

SA 5.2 Inovasi

SA5.3 Praktik

Penegakan

hukum # oleh

masyarakat

Jumlah peserta (dan rasio

gender) dalam pelatihan

yang diadakan SEA Project

Nilai peningkatan kapasitas

orang yang dilatih (Pre-test

vs Post-test)

Jumlah inovasi/teknologi

yang dikeluarkan WWF

dengan dukungan SEA

Project

Hasil penggunaan inovasi

tersebut

Jumlah peserta pada

pelatihan penegakan hukum

yang diadakan SEA – WWF

(Contoh: Wildlife Crime Unit,

Pokmaswas)

Penilaian performa pada

orang yang dilatih dalam

penegakan hukum

konservasi (Contoh: Wildlife

Crime Unit, Pokmaswas)

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

82


Jumlah kasus yang

diinvestigasi/diselesaikan

sebagai hasil intervensi dari

yang telah dilatih (tim WCU,

Pokmaswas, dll)

Tidak ada

7.3. Dokumentasi

Dokumentasi survei dapat diakses melalui tautan berikut: http://bit.ly/2zbZNkh.

7.4. Data Hasil Observasi

Sumber data (ekologi, sosial, dan perikanan) yang diolah dalam laporan ini dapat diakses melalui tautan

berikut: http://bit.ly/2yNEBmD.

83

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!