You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
USAID SUSTAINABLE ECOSYSTEMS ADVANCED
(SEA) PROJECT | INDONESIA
BASELINE REPORT SORONG SELATAN,
PAPUA BARAT PROVINCE
Ecology, Fisheries, and Social’s Status
WWF-ID | SEA Project
2017
LAPORAN DATA DASAR KABUPATEN SORONG SELATAN
Status Ekologi, Perikanan, dan Sosial
Penulis
Ringkasan Eksekutif: Navisa Nurbandika
Pendahuluan: Navisa Nurbandika & Umi Kalsum Madaul
Status Ekologi: Ehdra Beta Masran, Dirga Daniel, Adib Mustofa, & Navisa Nurbandika
Status Sosial: Irwanto, Inayah & Vinsensius Aman
Aktivitas Perikanan: Inayah &Oktavianto Prasetyo Darmono
Pemanfaatan Sumber Daya Laut: Irwanto
Peluang dan Tantangan: Navisa Nurbandika & Irwanto
Kontributor
Adib Mustofa, Adrian Damora, Ahmad Fahrizal, Amir M. Suruwaky, Christ Rontinsulu, Dirga Daniel, Ehdra
Beta Masran, Fajar Adi P., Inayah, Irwanto, Jhon. Tahoba, La Ode Hasanudin, Marice B. Moom, Melisa
Masengi, M. Dani, Navisa Nurbandika, Oktavianto Prasetyo Darmono, Radityo Hanurjoyo, Rinaldy Ayal,
Risky Abbas, Roberth W. Pattipeiluhu, Subakti Catur Okta Riza, Umi Kalsum Madaul, Vincensius Aman,
Yunita Tanggahma, Zulfirman Rahyantel.
Foto Sampul: Inayah
Desain dan Tata Letak: Navisa Nurbandika
RINGKASAN EKSEKUTIF
WWF-Indonesia, dalam Proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) USAID, mendukung
Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati laut, produktivitas
perikanan dan pemanfaatan sumber daya laut berkelanjutan di WPPNRI-715. Mengenai peningkatan
keberlanjutan dan ketahanan habitat dan masyarakat pesisir, WWF-Indonesia mendukung hal tersebut
dengan mempromosikan kawasan konservasi perairan di beberapa lokasi. Kabupaten Sorong Selatan
yang berada di Provinsi Papua Barat dipilih sebagai salah satu kawasan potensial untuk dikembangkan
sebagai Kawasan Konservasi Perairan.
WWF-ID | Proyek SEA telah menyelesaikan pengumpulan data primer ekologi, perikanan, dan sosial
untuk studi awal KKP baru - seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri No. 2/2009 - di
Kabupaten Sorong Selatan. Survei data dasar dilaksanakan pada tanggal 12-27 Juli 2017 dengan
melibatkan DKP Provinsi Papua Barat, BKSDA Provinsi Papua Barat, DKP Kabupaten Sorong Selatan, UKIP
(Universitas Kristen Indonesia Papua), PIP (Politeknik Ilmu Perikanan Sorong), dan UMS (Universitas
Muhammadiyah Sorong). Survei tersebut meliputi 11 desa di 7 distrik untuk pengumpulan data
perikanan dan sosial dan 18 stasiun pengamatan di sepanjang wilayah pesisir untuk pengumpulan data
ekologi.
Ekologi Mangrove
Daerah pesisir Kabupaten Sorong Selatan sebagian besar tertutup oleh hutan mangrove. Luas
mangrove primer sekitar 414,18 Ha dan mangrove sekunder mencapai 291,68 Ha. Dari 52 jenis
mangrove yang telah diidentifikasi di Papua Barat, 33 jenis mangrove ditemukan di Sorong Selatan. Jenis
mangrove yang paling dominan adalah Rhizophora apiculata dengan nilai kerapatan 164,81 individu/Ha.
Sementara itu, bibit mangrove spesies Brugeira exaristata memiliki nilai kerapatan tertinggi-459,26
individu/Ha. Kualitas perairan mangrove di Sorong Selatan menunjukkan hasil yang baik untuk habitat
juvenile, biota asosiasi, dan satwa terestrial.
Status sosial
Kabupaten Sorong Selatan adalah rumah bagi tiga suku asli Papua-Imeko, Tehit, dan Maybrat. Dua di
antaranya, Imeko dan Tehit, tinggal di daerah pesisir dan hidup berdampingan dengan masyarakat
migran di desa mereka. Semua desa tidak memiliki pasokan listrik dari PLN dan karenanya sebagian
besar masyarakat menggunakan generator sebagai sumber utama mereka. Fasilitas pendidikan
disediakan di semua kabupaten sampel kecuali di Kabupaten Saifi. Di daerah pesisir orang
mengandalkan air hujan dan air tanah untuk air bersih. Tidak ada akses air bersih dari PDAM di lokasi ini.
Sebagian besar orang di Sorong Selatan telah mengandalkan hidup mereka pada perikanan udang
sebagai pendapatan utama mereka. Namun, di beberapa desa seperti Mate, Tarof dan Botain, beberapa
penduduk mendapatkan penghasilan alternatif dari hasil kebun dan ternak.
i
Kegiatan Perikanan
Udang merupakan komoditas perikanan yang paling penting di Sorong Selatan. Jenis udang yang
terkumpul di daerah ini adalah udang jerbung, udang dogol, dan udang galah. Banyak kelompok nelayan
dibangun berdasarkan pinjaman modal dari pengumpul udang. Pinjaman modal dapat berupa alat
tangkap, bahan bakar, dan kebutuhan logistik dalam kegiatan perikanan. Sebagian besar nelayan
menggunakan perahu mesin tempel dan jaring udang untuk menangkap udang. Kondisi cuaca lokal
sangat berpengaruh terhadap musim penangkapan udang. Rata-rata hari memancing adalah 240-250
hari per tahun. Harga udang nelayan bervariasi antar tiap kabupaten. Harga udang tertinggi terdapat di
Teminabuan, senilai Rp 95.000,-/kg dan yang terendah di Kokoda seharga Rp 45.000,-/kg. Sekitar 73%
nelayan mengaku memiliki produksi perikanan udang yang lebih tinggi dalam 5 tahun terakhir.
Pemanfaatan Sumber Daya Laut
Pemanfaatan sumber daya laut di Kabupaten Sorong Selatan terikat oleh adat setempat. Kawasan
pesisir, yang terdiri dari ekosistem mangrove dan perairan sekitarnya, diklaim menggunakan hak adat.
Biasanya disebut sebagai wilayah laut adat atau "Hak Ulayat" oleh klan tertentu. Untuk mengakses
sumber daya laut d seluruh wilayah diperlukan izin dari pemilik atau klan lokal yang memiliki kekuasaan
atas pemanfaatan laut. Secara adat, sasi atau tradisi lokal untuk membatasi pemanfaatan sumber daya
laut di Sorong Selatan, belum pernah terbentuk.
Peluang dan Tantangan
Meningkatnya jumlah nelayan di Kabupaten Sorong Selatan perlu dilengkapi dengan pendidikan dan
peraturan terkait dengan aktivitas perikanan berkelanjutan. Peran pemerintah dalam usaha perikanan
dan fasilitas pascapanen dibutuhkan untuk memperbaiki perekonomian nelayan. Adat yang kuat dan
keterbukaan masyarakat lokal dapat menjadi peluang untuk memperkenalkan isu-isu konservasi di
wilayah ini. Oleh karena itu, baik untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan atau untuk
membuat sistem pengelolaan perikanan, pendekatannya harus melibatkan peraturan adat dari Papua.
ii
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ................................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................................................................... viii
AKRONIM DAN SINGKATAN ........................................................................................................................ ix
I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................................................................ 1
1.2. Tujuan ............................................................................................................................................ 2
1.3. Luaran ............................................................................................................................................ 2
II. STATUS EKOLOGI .................................................................................................................................. 3
2.1. Pendahuluan .................................................................................................................................. 3
2.2. Metode .......................................................................................................................................... 3
2.2.1. Pengumpulan Data ............................................................................................................... 4
2.2.2. Analisis Data ......................................................................................................................... 6
2.3. Hasil ............................................................................................................................................... 8
2.3.1. Distribusi Ekosistem Mangrove ............................................................................................ 8
2.3.2. Kualitas Air Laut.................................................................................................................. 14
2.3.3. Vegetasi Mangrove ............................................................................................................ 20
2.3.4. Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial .................................................................................... 24
2.3.5. Kesehatan, Pemanfaatan dan Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ............................ 27
2.4. Referensi ...................................................................................................................................... 29
III. STATUS SOSIAL ................................................................................................................................... 30
3.1. Pendahuluan ................................................................................................................................ 30
3.2. Metode ........................................................................................................................................ 31
3.2.1. Profil Desa .......................................................................................................................... 31
3.2.2. Kondisi Sosial dan Ekonomi Rumah Tangga........................................................................ 32
3.3. Hasil ............................................................................................................................................. 32
3.3.1. Fasilitas ............................................................................................................................... 32
3.3.2. Pendidikan .......................................................................................................................... 36
3.3.3. Kesehatan, Air Bersih, dan Sanitasi .................................................................................... 37
iii
3.3.4. Masyarakat ......................................................................................................................... 38
3.4. Referensi ...................................................................................................................................... 44
IV. AKTIVITAS PERIKANAN TANGKAP ....................................................................................................... 45
4.1. Pendahuluan ................................................................................................................................ 45
4.2. Metode ........................................................................................................................................ 45
4.2.1. Waktu dan Lokasi Pengambilan Data ................................................................................. 45
4.2.2. Metode Pengambilan Data ................................................................................................. 46
4.2.3. Analisis Data ....................................................................................................................... 47
4.3. Hasil ............................................................................................................................................. 47
4.3.1. Spesies Ikan Target ............................................................................................................. 47
4.3.2. Alat Tangkap (Peta Alat Tangkap) ....................................................................................... 48
4.3.3. Aktivitas Perikanan yang Merusak...................................................................................... 49
4.3.4. Armada Perikanan .............................................................................................................. 50
4.3.5. Lokasi Penangkapan Ikan ................................................................................................... 51
4.3.6. Variasi Musim Penangkapan .............................................................................................. 51
4.3.7. Tren Perikanan dalam Lima Tahun ..................................................................................... 53
4.3.8. Pendaratan Ikan ................................................................................................................. 54
4.3.9. Sistem Usaha Perikanan di Kabupaten Sorong Selatan ...................................................... 58
4.4. Referensi ...................................................................................................................................... 64
V. PEMANFAATAN DAN TATA KELOLA SUMBER DAYA LAUT .................................................................. 65
5.1. Pendahuluan ................................................................................................................................ 65
5.2. Metode ........................................................................................................................................ 65
5.3. Hasil ............................................................................................................................................. 66
5.3.1. Peraturan untuk Pengelolaan Sumber Daya Laut ............................................................... 66
5.3.2. Pemanfaatan Langsung dan Tidak Langsung ...................................................................... 69
5.3.3. Pengguna Sumber Daya Laut .............................................................................................. 70
5.3.4. Kelompok Masyarakat ........................................................................................................ 71
5.3.5. Pengambilan Kebijakan Sumber Daya Laut ........................................................................ 71
5.3.6. Konflik Penggunaan Sumber Daya Laut .............................................................................. 71
5.4. Referensi ...................................................................................................................................... 73
VI. PELUANG DAN TANTANGAN .............................................................................................................. 74
VII. LAMPIRAN .......................................................................................................................................... 75
7.1. Perikanan ..................................................................................................................................... 75
iv
7.2. Indikator Pemantauan Kerja (PMI) ............................................................................................... 76
7.3. Dokumentasi ................................................................................................................................ 83
7.4. Data Hasil Observasi .................................................................................................................... 83
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2- 1 Lokasi pengamatan ekologi mangrove Kabupaten Sorong Selatan ........................................ 4
Gambar 2- 2 Ilustrasi pengambilan data mangrove beserta plot pengamatannya ..................................... 5
Gambar 2- 3 Tutupan mangrove di Kab. Sorong Selatan ............................................................................ 8
Gambar 2- 4 Zona mangrove zones (Giesen, dkk)....................................................................................... 9
Gambar 2- 5 Pola zona mangrove di setiap distrik Kabupaten Sorong Selatan ......................................... 10
Gambar 2- 6 Temperatur air laut di 18 stasiun pengamatan Sorong Selatan ........................................... 16
Gambar 2- 7 Nilai pH air laut di 18 stasiun pengamatan ........................................................................... 16
Gambar 2- 8 Salinitas air laut di 18 stasiun pengamatan .......................................................................... 17
Gambar 2- 9 Kecerahan air laut di 18 stasiun pengamatan ...................................................................... 17
Gambar 2- 10 Dissolved Oxygen di 18 stasiun pengamatan ..................................................................... 18
Gambar 2- 11 Total Suspended Solid (TSS) di 18 stasiun pengamatan ..................................................... 18
Gambar 2- 12 Kerapatan mangrove di 18 lokasi pengamatan di Kab. Sorong Selatan.............................. 21
Gambar 2- 13 Jumlah pohon mangrove berdasarkan kelas diameter ...................................................... 24
Gambar 2- 14 Jumlah biota asosiasi di lokasi survei ................................................................................. 25
Gambar 3- 1 Jenis armada perikanan tangkap nelayan ............................................................................ 32
Gambar 3- 2 Kepemilikian alat tangkap perikanan masyarakat ................................................................ 34
Gambar 3- 3 Penggunaan bahan bakar untuk memasak .......................................................................... 34
Gambar 3- 4 Kondisi ketersediaan listrik .................................................................................................. 35
Gambar 3- 5 Akses kominikasi masyarakat ............................................................................................... 36
Gambar 3- 6 Akses air bersih masyarakat ................................................................................................. 37
Gambar 3- 7 Akses dan kepemilikan fasilitas sanitasi-jamban .................................................................. 38
Gambar 3- 8 Jumlah pengepul udang di lokasi survei ............................................................................... 39
Gambar 3- 9 Kepemilikan lahan perkebunan di lokasi pengamatan ......................................................... 39
Gambar 3- 10 Kepemilikan ternak masyarakat di lokasi pengamatan ...................................................... 40
Gambar 3- 11 Jenis komoditas perikanan selain udang dan kepiting di kampung target ......................... 41
Gambar 3- 12 Produksi perikanan tangkap Kabupaten Sorong Selatan (Sumber: Analisa BPS Statistik
Provinsi Tahun 2007-2016) ................................................................................................. 41
Gambar 4- 1 Peta pendaratan hasil tangkapan dan lokasi pengambilan data perikanan ......................... 46
Gambar 4- 2 Presentase alat tangkap yang digunakan nelayan di lokasi pengamatan ............................. 48
Gambar 4- 3 Akar bore atau Derris elliptica .............................................................................................. 49
Gambar 4- 4 Jenis armada penangkapan di lokasi pengamatan ............................................................... 50
Gambar 4- 5 Jenis perahu yang digunakan oleh nelayan di Perairan Kabupaten Sorong Selatan (dari
kanan ke kiri: perahu dengan dayung, perahu mesin dalam, perahu mesin luar) ............... 50
Gambar 4- 6 Peta lokasi penangkapan ikan di Kabupaten Sorong Selatan ............................................... 51
Gambar 4- 7 Spesies udang target nelayan Sorong Selatan ...................................................................... 54
Gambar 4- 8 Salah satu jenis kepiting target tangkapan nelayan Sorong Selatan .................................... 55
Gambar 4- 9 Hasil tangkapan sampingan (bycatch) nelayan Sorong Selatan ............................................ 55
Gambar 4- 10 Komposisi hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap trammel net ............................. 57
Gambar 4- 11 Sebaran panjang udang jerbung yang tertangkap di perairan Kabupaten Sorong Selatan 57
Gambar 4- 12 Produksi udang di salah satu penampung, Kampung Wamargege periode Januari-Juni
2017 dalam satuan kilogram (kg) ....................................................................................... 59
vi
Gambar 4- 13 Rantai pemasaran udang di Kabupaten Sorong Selatan ..................................................... 62
Gambar 4- 14 Rantai pemasaran kepiting di Kabupaten Sorong Selatan .................................................. 63
Gambar 5- 1 Hak ulayat laut dari suku-suku yang berada di Sorong Selatan ............................................ 69
Gambar 5- 2 Pemanfaatan sumber daya perairan sungai untuk penangkapan udang oleh nelayan
perempuan .......................................................................................................................... 70
Gambar 5- 3 Komposisi nelayan di lokasi pengamatan Kabupaten Sorong Selatan .................................. 71
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2- 1 Parameter kualitas air laut yang diamati .............................................................................. 6
Tabel 2- 2 Macam-macam spesies mangrove berdasarkan pengamatan ........................................... 11
Tabel 2- 3 Jenis mangrove dan tanaman asosiasi mangrove Sorong Selatan ...................................... 13
Tabel 2- 4 Hasil parameter kualitas air laut Sorong Selatan ................................................................ 15
Tabel 2- 5 Lokasi dan waktu pengukuran kualitas air laut .................................................................. 19
Tabel 2- 6 Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (Fr), Dominasi (D),
Dominasi Relatif (Dr), dan Indeks Nilai Penting (INP) Pohon Mangrove ............................. 20
Tabel 2- 7 Keanekaragaman (H’), Kekayaan (R), dan Kemerataan (E’) Pohon Mangrove .................... 22
Tabel 2- 8 Kerapatan (K), Kerapatan relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi relatatif (Fr) dan Indeks Nilai
Penting (INP) Pancang ........................................................................................................ 22
Tabel 2- 9 Kerapatan (K), Kerapatan relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi relatif (Fr) dan Indeks Nilai
Penting (INP) Semai ............................................................................................................ 23
Tabel 2- 10 Keanekaragaman (H’), kemerataan (E’), dan kekayaan (R) biota asosiasi setiap stasiun
pengamatan ........................................................................................................................ 25
Tabel 2- 11 Jenis burung terrestrial Sorong Selatan ............................................................................ 26
Tabel 2- 12 Jenis reptil yang ditemukan di hutan mangrove Sorong Selatan ...................................... 27
Tabel 3- 1 Lokasi pengamatan kondisi sosial masyarakat Sorong Selatan .......................................... 31
Tabel 3- 2 Ketersediaan layanan fasilitas pendidikan ......................................................................... 36
Tabel 3- 3 Klasifikasi wilayah adat di Papua Barat............................................................................... 42
Tabel 3- 4 Deskripsi suku Imeko dan Tehit .......................................................................................... 42
Tabel 4- 1 Spesies target mayoritas nelayan Sorong Selatan .............................................................. 47
Tabel 4- 2 Tipe alat tangkap nelayan di daerah pengamatan ............................................................. 48
Tabel 4- 3 Musim penangkapan udang di lokasi pengamatan ............................................................ 52
Tabel 4- 4 Hasil pengamatan di lokasi pendarata ikan Kabupaten Sorong Selatan ............................. 56
Tabel 4- 5 Harga udang dan kepiting di Kabupaten Sorong Selatan.................................................... 58
Tabel 4- 6 Jumlah pengepul di Kabupaten Sorong Selatan ................................................................. 60
Tabel 5- 1 Lokasi pengamatan aktivitas pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut ......................... 65
Tabel 7- 1 Daerah penangkapan dan waktu tempuh nelayan ............................................................. 75
viii
AKRONIM DAN SINGKATAN
BIG
BPS
CPUE
DBH
DKP
DO
FGD
WPP
GPS
INP
KEPMEN LH
KII
KKP
Komnas Kajiskan
LBD
LHS
NDVI
Badan Informasi Geospasial
Badan Pusat Statistik
Catch per Unit Effort (Hasil Tangkapan per Unit)
Diameter at Breast Height (Diameter Setinggi Dada)
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dissolved Oxygen (Oksigen Terlarut)
Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah)
Wilayah Pengelolaan Perikanan
Global Positioning System
Index Nilai Penting
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Key Informant Interview (Wawancara Informan Kunci)
Kawasan Konservasi Perairan
Komisi Nasional Kajian Stok Ikan
Length at Breast Diameter (Panjang pada Diameter setinggi Dada)
Lembaran Hasil Survei
Normalized Difference Vegetation Index
(Indek Perbedaan Vegetasi Ternomalisasikan)
PDAM
PERKA
PERMEN KP
PIP
PK
PLN
PU
POKMASWAS
RANPERDASUS
RTP
Perusahaan Daerah Air Minum
Peraturan Kepala Badan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Politeknik Ilmu Perikanan Sorong
Paarden Kracht (Daya Kuda)
Perusahaan Listrik Negara
Petak Ukur
Kelompok Masyarakat Pengawas
Rancangan Peraturan Daerah Khusus
Rumah Tangga Perikanan
ix
RTRW
UMS
UKIP
SEA Project
TSS
TSM
WWF
4-WD
Rencana Tata Ruang Wilayah
Universitas Muhammadiyah Sorong
Universitas Kristen Indonesia Papua
Sustainable Ecosystems Advanced Project
Total Suspended Solid (Padatan Tersuspensi Total)
Total Sampel Minimal
World Wildlife Fund
Four Wheel Drive
x
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak tahun 2016, WWF-Indonesia telah tergabung menjadi salah satu konsorsium mitra dalam
proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) USAID Indonesia untuk mendukung pemerintah
Indonesia dalam memperkuat tatakelola sumber daya perikanan dan kelautan serta mendorong upaya
konservasi keanekaragaman hayati. Proyek yang berjangka waktu lima tahun ini menggunakan
pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem dan melibatkan pemangku kepentingan di tingkat lokal,
provinsi, dan nasional. Wilayah kerja proyek USAID SEA berada di kawasan WPP 715 yang salah satunya
berada di provinsi Papua Barat.
Provinsi Papua Barat telah dicanangkan menjadi Provinsi Konservasi pada tahun 2015. Perwujudan
pencanangan kawasan konservasi tersebut terbentuk dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Khusus (RANPERDASUS), sebagai dasar implementasi kawasan konservasi di Provinsi Papua Barat dalam
melakukan perluasan area yang dianggap berpotensi. Kabupaten Sorong Selatan menjadi salah satu
kawasan yang diunggulkan dalam perencanaan ini.
Kabupaten Sorong Selatan memiliki luas wilayah 8.424,165 km2 yang meliputi wilayah daratan
seluas 6.891,551 km2 (95,1%) dan luas lautan 1.535,614 km2 (4,9%) berdasarkan UU Nomor 26/2002.
Sebagian besar wilayah Sorong Selatan tersusun oleh hamparan hutan padat, yang terdiri dari hutan
primer dan sekunder. Wilayah pesisir Kab. Sorong Selatan memiliki hutan mangrove yang menyusun
zona Green Belt dengan luas tutupan sekitar 77.596 Ha (BIG, 2016).
Lokasi pesisir Kabupaten Sorong Selatan memiliki 14 daerah aliran sungai (DAS) yang dikelilingi
mangrove di muaranya. Kondisi tersebut menciptakan habitat yang sesuai untuk udang dan kepiting.
Ekosistem mangrove di Kab. Sorong Selatan memiliki peran penting bagi kelangsungan mahluk hidup –
sebagai pemberi jasa lingkungan maupun pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Udang dan kepiting,
yang memiliki ketergantungan hidup pada ekosistem mangrove sebagai tempat pembesaran dan
mencari makan, menjadi tangkapan andalan bagi sebagian besar nelayan di Kabupaten Sorong Selatan.
Salah satu upaya untuk menjaga ketersediaan sumber daya perikanan dan laut adalah dengan
melakukan desain pembentukan kawasan konservasi di Kabupaten Sorong Selatan. Pada tanggal 12-27
Juli 2017, tim peneliti WWF Indonesia – bekerjasama dengan BKSDA Papua Barat, DKP Provinsi Papua
Barat, DKP Kab. Sorong Selatan, UKIP (Universitas Kristen Papua), PIP (Politeknik Ilmu Perikanan) Sorong
dan UMS (Universitas Muhamamadiyah Sorong) – telah melakukan survei pengambilan data dasar untuk
menunjang proses inisiasi kawasan konservasi. Informasi mengenai kondisi ekologi, perikanan, dan
sosial yang telah dikumpulkan, selanjutnya akan digunakan untuk studi lanjutan dalam merancang
daerah konservasi Kabupaten Sorong Selatan.
1
1.2. Tujuan
1. Melakukan identifikasi kondisi ekologi mangrove yang ada di sepanjang pesisir Kabupaten Sorong
Selatan.
2. Melakukan identifikasi aktivitas perikanan terkait spesies target, lokasi pendaratan, rantai dagang,
dan aktivitas penangkapan yang merusak di sekitar perairan Kabupaten Sorong Selatan.
3. Melakukan identifikasi dan penilaian terhadap kondisi sosial masyarakat yang ada di kawasan
perairan Kabupaten Sorong Selatan.
4. Melakukan kerjasama sekaligus meningkatkan kapasitas kerja terhadap stakeholders, pemerintah
daerah, dan lembaga pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan.
1.3. Luaran
Menghasilkan informasi yang benar dan aktual terhadap kondisi ekologi, perikanan, dan sosial di
Kabupaten Sorong Selatan.
2
II.
STATUS EKOLOGI
2.1. Pendahuluan
Provinsi Papua Barat telah dicanangkan menjadi Provinsi Konservasi pada tahun 2015. Bentuk
dari perwujudan pencanangan ini yaitu adanya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Khusus
(RANPERDASUS) yang merupakan dasar implementasi kawasan konservasi di Provinsi Papua Barat.
Kawasan di Kabupaten Sorong Selatan merupakan salah satu area potensial yang telah diidentifikasi
sebagai calon Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Papua Barat. Oleh Karena itu WWF-ID | SEA
Project bersama dengan stakeholder setempat mulai melakukan tahapan inisiasi KKP di Kabupaten
Sorong Selatan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No. 2 Tahun 2009
mengenai inisiasi Kawasan KKP, diperlukan suatu data dasar yang meliputi data ekologi, sosial dan
ekonomi dalam menyusun dokumen awal inisiasi calon KKP. Karena sebagian besar wilayah Sorong
Selatan tersusun oleh hamparan hutan padat, baik hutan primer atapun hutan sekunder, maka
pengambilan data mangrove (jenis, kerapatan, kesehatan mangrove dll) dirasa penting untuk menjadi
salah satu komponen pengambilan data ekologi.
Hutan mangrove Sorong Selatan memiliki hamparan yang menyusun zona GreenBelt. Adanya
aturan adat yang kuat terkait pengelolaan kawasan mangrove di wilayah ini juga dapat secara efektif
melindungi kawasan mangrove tersebut. Namun, aturan berbasis adat ini belum diakui secara legal
oleh pemerintah. Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh wilayah distrik Sorong Selatan.
Berdasarkan data dari Dit. Bina Program INTAG (1996), wilayah Papua memiliki kawasan mangrove
terluas yang mencapai 1.350.600 ha atau sebanyak 38% dari total wilayah tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekologi wilayah perairan Sorong Selatan,
khususnya hutan mangrove. Jenis data yang diambil terdiri dari data; 1) kondisi mangrove, 2) tingkat
kesehatan mangrove, 3) zonasi mangrove, 4) jenis dan kerapatan mangrove dan 5) biota asosiasi
kawasan. Informasi mengenai kondisi awal ekologi hutan mangrove yang dihasilkan dalam penelitian
ini, selanjutnya akan menjadi data acuan dalam menyusun dokumen inisiasi kawasan konservasi di
Sorong Selatan.
2.2. Metode
Survei ini dilakukan di 7 distrik wilayah pesisir Kabupaten Sorong Selatan yang terbagi atas 18
stasiun meliputi wilayah; Teminabuan, Konda, Kais, Metemani, Inanwatan, Kokoda dan Saifi (Gambar
2-1). Lokasi survey dipilih melalui sampling acak bertingkat. Survei dilaksanakan dari tanggal 12
sampai 27 Juli 2017 oleh WWFIndonesia SEA Project yang bekerja sama denganUniversitas Papua,
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Papua Barat, DKP Kabupaten Sorong Selatan, Balai Besar
Konservasi Provinsi BKSDA Papua Barat, Lembaga Adat Kabupaten Sorong Selatan, Universitas
3
Muhammadiyah Sorong (UMS), Universitas Kristen Indonesia Papua (UKIP), dan Politeknik Ilmu
Perikanan Sorong (PIP). Kombinasi antara metode line transect dan metode quadrant digunakan
untuk pengambilan data mangrove ini.
Gambar 2- 1 Lokasi pengamatan ekologi mangrove Kabupaten Sorong Selatan
2.2.1. Pengumpulan Data
Lokasi pengamatan mangrove diambil dari titik-titik sampel yang berada pada tiga area kumpulan
mangrove. Jumlah sampel plot kerapatan tajuk minimal adalah 60% dari total sampel minimal (TSM).
Wilayah pengamatan mangrove berada di sepanjang garis pantai bagian pesisir distrik di Kabupaten
Sorong Selatan. Penentuan lokasi pengambilan titik sampel dilakukan dengan menggunakan teknik
stratified random sampling yang mengacu pada kerapatan vegetasi (tinggi, sedang dan rendah) serta
merupakan hasil interpretasi nilai NDVI dari Citra Landsat 8. Penentuan banyaknya jumlah titik
sampel yang disurvei berdasarkan skala pemetaan 1:250.000 (Perka BIG nomor 3 tahun 2014). Data
data pengamatan meliputi jenis tegakan mangrove (Pohon, Pancang dan anakan), diameter pohon,
tinggi total, tinggi bebas ranting, jarak dari titik sumbuh, biota asosiasi, satwa teristeril, kesehatan,
kerusakan, kualitas perairan, serta data pemanfaatan mangrove. Data ini digunakan untuk
mengetahui keanekaragaman, kepadatan, kesehatan, tutupan, kerusakan, serta objek penting lain
yang berhubungan dengan kondisi mengrove Sorong Selatan.
4
2.2.1.1. Vegetasi Mangrove
Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan dengan cara mencatat titik awal sampling
dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Selanjutnya, transek sepanjang 70 meter
dibentangkan tegak lurus garis pantai. Pengamatan dilakukan setiap 10 meter dari total 70 meter
transek dimana pengamatan mangrove dilakukan disebelah kanan dan kiri garis transek dengan
wilayah pengamatan 10 meter untuk inventarisasi pohon; pengamatan 5 meter untuk inventarisasi
tingkat belta (pancang); dan pengamatan 2 meter untuk inventarisasi tingkat semai (Gambar 2-2).
Semua jenis pohon yang ada di dalam petak dicatat jenis, tinggi bebas ranting, tinggi total dan
diameternya, sedangkan tegakan dan semai/anakan dicatat jenis dan jumlahnya saja.
Gambar 2- 2 Ilustrasi pengambilan data mangrove beserta plot pengamatannya
2.2.1.2. Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial
Pengamatan biota asosiasi dan satwa terestrial dilakukan bersamaan dengan pengamatan
mangrove melalui metode pengamatan langsung (visual census) dengan mencatat jenis dan jumlah
biota yang ditemukan di sebelah kanan dan kiri transek. Biota yang berasosiasi dengan mangrove
diamati di transek berukuran 40 x 40 cm yang di letakan secara acak pada jalur transek mangrove.
Sedangkan pengamatan satwa terestrial dilakukan dengan menggunakan teropong monokuler untuk
melihat satwa di sekitar mangrove.
2.2.1.3. Kesehatan, Pemanfaatan, dan Tingkat Kerusakan Mangrove
Data pemanfaatan mangrove melingkupi pemanfaatan umum mangrove oleh masyarakat, seperti
peruntukan pelabuhan, lokasi wisata, pembuatan rumah, pagar, perahu, kayu bakar, dan peruntukan
lainnya. Sedangkan untuk kesehatan dan kerusakan mangrove mengacu pada nilai tutupan (%) dan
kerapatan jenis (Ind/Ha).
5
2.2.1.4. Kualitas Air Laut
Pengumpulan data Kualitas Perairan dilakukan secara langsung dengan menggunakan Water
Checker. Adapun data-data kualitas perairan yang diambil meliputi suhu, salinitas, pH, Kecerahan,
Dissolved Oxygen (DO), substrat, dan Total Suspended Solid (TSS) (Tabel 2-1).
Tabel 2- 1 Parameter kualitas air laut yang diamati
No Parameter Metode/Alat
1 Temperature ( o ) Water Checker
2 Salinity (ppm) Water Checker
3 pH Water Checker
4 Turbidity (m) Water Checker
5 DO (ppm) Water Checker
6 Substrate Secara Visual
7 TSS (ppm) Water Checker
2.2.2. Analisis Data
Data-data yang telah di ambil ditabulasikan ke dalam lembaran hasil survei (LHS) dan diketik ke
dalam file excel. Perhitungan besarnya nilai kuantitif parameter vegetasi, dilakukan dengan formula
berikut ini:
a. Kerapatan Suatu Jenis (K)(ind/ha)
b. Kerapatan Relatif Suatu Jenis (KR) (%)
c. Frekuensi suatu jenis (F)
Individu Setiap Jenis (ind)
K = ∑
Luas Petak Contoh (ha)
KR =
K suatu jenis
K seluruh jenis
X 100%
F =
∑ Sub − petak ditemukan suatu jenis
∑ Seluruh sub − petak contoh
6
d. Frekuensi Relatif Suatu Jenis (FR) (%)
FR =
F suatu Jenis
X 100 %
F Seluruh Jenis
e. Dominansi Suatu Jenis (D) (m 2 /ha).
D hanya dihitung untuk tingkat pohon
D =
Luas bidang dasar sautu jenis
Luas Petak contoh
Dengan Luas Bidang Dasar (LBD) suatu jenis sebagai berikut:
LBD =
π . R 2
Seluruh sub − petak contoh = 1 π. D2
4
Dimana R adalah jari jari lingkaran dari diameter batang dan D adalah DBH. LBD yang
didapatkan kemudian dikonversi menjadi m 2 .
f. Dominansi Relatif Suatu Jenis (DR)(%)
DR =
g. Indeks Nilai Penting (INP) (%)
Untuk tingkat pohon adalah INP=KR + FR + DR
Untuk tingkat Semai, pancang INP=KR +FR
h. Keanekaragaman jenis
D suatu jenis
X 100%
D seluruh Jenis
H ′ = − ∑(pi Ln pi); dengan pi = ( ni
n )
Dimana H’ adalah indeks keanekaragaman Shannon, ni adalah jumlah individu suatu jenis ke-I
dalam petak ukur (PU), dan n adalah total jumlah individu dalam PU.
i. Indeks kekayaan (Margallef)
R = S − 1
ln(N)
Dimana R adalah indeks kekayaan Margallef, S adalah jumlah jenis dalam petak ukur, dan N
adalah total jumlah individu.
j. Indeks kemerataan
E ′ = H′
ln S
7
Dimana E ′ adalah indeks kemerataan untuk jenis, H ′ adalah indeks keanekaragaman jenis,
dan S adalah jumlah jenis dalam petak ukur.
2.3. Hasil
2.3.1. Distribusi Ekosistem Mangrove
Luas total hutan di Kabupaten Sorong Selatan mencapai kurang lebih 76.171 ha dengan luasan
hutan mangrove primer sebesar 72.904 ha dan hutan mangrove sekunder 3.266 ha (Gambar 2-3).
Luas wilayah survei pengamatan mangrove yang dilakukan yaitu seluas 1,8 ha meliputi mangrove
primer dan mangrove sekunder.
Gambar 2- 3 Tutupan mangrove di Kab. Sorong Selatan
Secara umum habitat vegetasi mangrove biasanya membentuk suatu pola zonasi tertentu
(Gambar 2-4). Jenis mangrove terdepan yang terpapar oleh laut biasanya akan berbeda dengan jenis
mangrove yang berada didekat daratan. Menurut (Giesen dkk, 1991), zonasi yang paling umum
ditemukan di vegetasi mangrove terdiri dari empat macam yaitu:
a) The Exposed Mangrove (zona terluar, paling dekat dengan laut). Secara umum zona ini
didominasi oleh Sonneratia alba, Avicennia alba dan Avicennia marina.
b) Central Mangrove (zona pertengahan antara laut dan darat). Secara umum zona ini
didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora, kadang juga ditemui jenis Bruguiera.
8
c) The Rear Mangrove (back mangrove, landward mangrove, areal yang paling dekat dengan
daratan). Zona ini biasanya tergenangi oleh pasang tinggi saja. Seringkali didominasi oleh
jenis-jenis Bruguiera, Lumnitzera, Xylocarpus dan Pandanus sp.
d) Brackish Stream Mangrove (aliran sungai dekat mangrove yang berair payau). Pada zona
ini sering dijumpai komunitas Nypa fruticans dan kadang dijumpai Sonneratia caseolaris
serta Xylocarpus granatum.
Gambar 2- 4 Zona mangrove zones (Giesen, dkk)
Secara umum, 4 distrik yang berada di Kabupaten Sorong Selatan—Saifi, Kokoda, Inawatan, dan
Konda—mempunyai pola zonasi mangrove yang mirip dengan pola zonasi yang telah diklasifikasikan
oleh Giesen, dkk (Gambar 2-4). Di keempat distrik ini, jenis mangrove terluar yang terpapar langsung
oleh laut didominasi oleh jenis Avicennia atau Sonneratia, diikuti oleh jenis Rhizophora dan jenis Nypa
di zona dekat dengan daratan. Keberadaan jenis Sonneratia dan Avicennia umumnya berada di zonasi
terdepan dari formasi mangrove (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999). Sedangkan di tiga distrik
lainnya, yaitu di Teminabuan, Kais, dan Metenami, pola zonasi mangrove berbeda dari pola umum
yang telah diklasifikasikan oleh Giesen, dkk.
9
Gambar 2- 5 Pola zona mangrove di setiap distrik Kabupaten Sorong Selatan
10
Secara umum hutan mangrove Sorong Selatan terletak pada topografi datar dan terpengaruh
arus pasang surut. Beberapa kawasan hutan mangrove berbentuk pulau (delta) yang merupakan
proses sedimentasi yang telah berlangsung lama. Adanya pasang surut yang tinggi menyebabkan tipe
hutan mangrove seragam, dalam arti formasi vegetasi yang terbentuk adalah asosiasi Sonneratia-
Avicennia-Rhizophora-Bruguiera-Xylocarpus. Formasi Nypa belum mantap dan beberapa tempat di
daerah yang mendekati hutan tanah kering, namun beberapa stasiun pengamatan Nypa tumbuh
pada kawasan tanah basah. Hal ini tentu merupakan salah satu kejanggalan zonasi mangrove karena
menunjukan Nypa tumbuh tidak beraturan, seharusnya Nypa menjadi pembatas antara mangrove
sejati dan mangrove ikutan. Sebagian tempat terdapat tumbuhan hutan rendah seperti sagu, yang
merupakan komponen utama pada kawasan hutan rendah.
Zonasi di Yahadian, Metamani, Konda, dan Inawatan diawali oleh Avicennia lanata dan
Sonneratia caseolaris. Kedua jenis ini mendominasi pada daerah sungai yang masih terpengaruh air
tawar. Kondisi tersebut diduga telah terjadi pedataran pantai (leveling coastal) hingga menuju hutan
rendah. Arah aliran sungai yang tinggi dari banyaknya jumlah sungai menentukan pola alur
penyebaran anakan. Sedangkan untuk Nypa merupakan hutan mangrove yang memiliki zona
tertentu, namun tidak di Sorong Selatan yang banyak dari pertumbuhan Nypa dibagian depan.
Diperkirakan pola pertumbuhan yang dimulai dari penyebaran semai hingga menjadi pohon
dipengaruhi oleh aliran sungai, pasang surut, dan pola alur penyebaran anakan khususnya untuk
wilayah Konda, Kais, Inawatan dan Kokoda.
Jenis mangrove yang ditemukan pada site mangrove keseluruhan Sorong Selatan dapat dilihat
pada Tabel 2-2 di bawah ini:
Tabel 2- 2 Macam-macam spesies mangrove berdasarkan pengamatan
No Spesies Suku
1 Acanthus ilicifolius Acanthaceae
2 Acrostichum speciosum Pteridaceae
3 Aegiceras floridum Myrsinaceae
4 Avicennia eucalyptifolia Avicenniaceae
5 Avicennia lanata Avicenniaceae
6 Avicennia marina Avicenniaceae
7 Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae
8 Bruguiera parviflora Rhizophoraceae
9 Bruguiera exaristata Rhizophoraceae
11
10 Bruguiera hainessii Rhizophoraceae
11 Bruguiera sexangula Rhizophoraceae
12 Calophyllum inophyllum Clusiaceae
13 Ceriops decandra Rhizophoraceae
14 Ceriops tagal Rhizophoraceae
15 (Spesies tidak teridentifikasi) Pandanuceae
16 Excoecaria agallocha Euphorbiaceae
17 Heritiera littoralis Sterculiaceae
18 Lumnitzera littorea Combretaceae
19 Myristica fragrans Myristicaceae
20 Nypa fruticans Arecaceae
21 Pandanus odorifer Pandanacaeae
22 Pongamia pinnata Leguminosae
23 Rhizophora apiculata Rhizophoraceae
24 Rhizophora Mucronata Rhizophoraceae
25 Rhizophora Stylosa Rhizophoraceae
26 Senna siamea Sennaceae
27 Sonneratia alba Sonneratiaceae
28 Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae
29 Terminalia catappa Combretaceae
30 Thespesia populnea Malvaceae
31 Xylocarpus granatum Meliaceae
32 Xylocarpus XMK Meliaceae
33 Xylocarpus MLC Meliaceae
12
Keanekaragaman hayati mangrove di wilayah pesisir Sorong Selatan cukup tinggi. Sebanyak 33
jenis mangrove ditemukan selama pengamatan dari total 52 jenis mangrove di Papua Barat
(Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Papua Barat, 2014). Jenis ekosistem mangrove Sorong
Selatan di susun oleh tiga komponen pertumbuhan yaitu, komponen utama (Mangrove Sejati),
komponen tambahan (mangrove ikutan) dan komponen asosiasi. Berdasarkan survei, ditemukan 26
mangrove sejati dan 7 mangrove ikutan di Kabupaten Sorong Selatan (Tabel 2-3). Sebanyak 10 jenis
tumbuhan mangrove diperoleh disebelah timur Sorong Selatan yaitu Distrik Kais, Metemani,
Inawatan, dan Kokoda sedangkan di bagian Barat Sorong Selatan yaitu distrik Teminabuan, Konda
dan Saifi diperoleh 20 Jenis tumbuhan mangrove. Secara keseluruhan jenis mangrove di Sorong
Selatan didominasi oleh Bruguiera dan Rhizophora.
Tabel 2- 3 Jenis mangrove dan tanaman asosiasi mangrove Sorong Selatan
No Komponen Vegetasi Spesies Nama Lokal
A Komponen Utama Bruguiera gymnorrhiza Lindur, Tanjang
Komponen
Bruguiera parviflora
Bruguiera sexangula
Bruguiera exaristata
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Rhizophora stylosa
Avicennia lanata
Avicennia eucalyptifolia
Avicennia marina
Sonneratia alba
Sonneratia caseolaris
Lumnitzera racemosa
Ceriops tagal
Ceriops decandra
Nypa fruticans
Xylocarpus moluccensis
13
(Tidak Diketahui)
(Tidak Diketahui)
(Tidak Diketahui)
Mangi Bakau Kacang
Mangi mangi tongke
Mangi mangi gandul
Api-api, sia-sia
Api-api, sia-sia
Api-api, sia-sia putih
Prapat, Pedada
(Tidak Diketahui)
Terutun, Kedukduk
Mentigi, Lindur, Parum
(Tidak Diketahui)
(Tidak Diketahui)
Banang banang, Jombok
Tambahan
Xylocarpus granatum
Excoecaria agallocha
Heritiera littoralis
Acrostichum speciosum
Aegiceras floridum
Banang banang, nyirih
Mentigi, lindur, parum
(Tidak Diketahui)
(Tidak Diketahui)
(Tidak Diketahui)
Komponen Asosiasi Pandanus tectorius Pandan
Hibiscus tiliaceus
Terminalia catappa
Thespesia populnea
Pongamia pinata
Waru, Waru Laut
Ketapang, ketapa
(Tidak Diketahui)
(Tidak Diketahui)
2.3.2. Kualitas Air Laut
Sebaran klorofil di wilayah Sorong Selatan bervariasi dan dipengaruhi oleh keadaan topografi
dan keberadaan sungai. Wilayah Distrik Saifi, Konda, dan Kais yang merupakan area teluk dan
merupakan outlet dari sungai-sungai besar mempunyai rata-rata klorofil paling tinggi yaitu 6,5 sampai
7,5 mg/l. Sedangkan wilayah lainnya di Distrik Metamani, Inanwatan, dan Kokoda mempunyai kisaran
klorofil 3,5 - 5 mg/l. Apabila diamati berdasarkan bulan, variasi klorofil di wilayah Sorong Selatan
tidak mengalami perbedaan signifikan dimana kisaran klorofil yaitu antara 3,5 sampai 7 mg/l.
Berdasarkan analisis citra, rata-rata suhu permukaan laut di wilayah Sorong Selatan berkisar
antara 30 0 C-30,5 0 C. Namun suhu permukaan di wilayah ini mempunyai variasi dimana pada bulan
Januari sampai Mei, suhu permukaan laut berkisar antara 30 0 C-31,5 0 C dan dibulan Juni sampai
September suhu permukaan laut mengalami penurunan berkisar antara 28 0 C-29 0 C dan kemudian
mengalami kenaikan kembali dibulan Oktober yaitu berkisar antara 30 0 C-31,5 0 C. Wilayah Distrik
Konda dan Saifi merupakan lokasi dimana suhu permukaan laut ini mengalami variasi suhu yang
cukup tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya di wilayah kajian (Tabel2-4).
14
Tabel 2- 4 Hasil parameter kualitas air laut Sorong Selatan
Stasiun
Temperatur
(ºC)
Parameter
pH Salinitas (ppt) Kecerahan (m) DO (ppm) TSS (µmhos)
1 31,4 7,5 20 1 1,05 1
2 30,9 5 19 1 0,42 12
3 29 6 18 1,25 1,02 2,00
4 29,8 6,4 20,5 1,55 1,03 2,00
5 29,1 7 17 1,25 1,38 2,00
6 28,9 7,2 8 0,75 2,2 2,00
7 28,1 7,2 21 1,3 2,01 2,01
8 27,5 8 16 0,11 1,56 12,56
9 28,1 7,5 18 0,1 1,45 12,50
10 27,8 8 17 0,86 2 12,80
11 27,4 7,4 15 2,91 0,11 12,8
12 27,6 6 24 0,8 0,24 32,00
13 27,2 7,6 23 0,9 4,34 12,88
14 27,1 7,5 22 0,9 3,93 12,80
15 27,7 5,6 7 0,45 7,8 25,00
16 28,9 5,6 24 0,85 7,6 12,88
17 29,4 5,6 24 1,05 7,6 2,00
18 30,3 7 12 1,2 7,56 57,70
Rata-rata 28,77 6,78 18,08 2,47 3,12 12,7
Suhu tertinggi terdapat pada Stasiun-1 di Distrik Teminabuan sebesar 31,4 0 C dan terendah pada
Stasiun-14 di Distrik inawatan sebesar 27,1 0 C (Gambar 2-6). Nilai suhu tertinggi menunjukkan bahwa
suhu air lebih besar daripada suhu udara, hal ini disebabkan air masih menyimpan suhu panas dari
kenaikan suhu yang terjadi pada siang hari. Suhu terendah pada disebabkan oleh waktu serapan
15
pH
TEMPERATUR (º)
panas matahari yang mulai terbenam sehingga intensitas cahaya yang masuk ke perairan juga
berkurang yang mengakibatkan suhu air rendah.
32
31
30
29
28
27
26
25
24
31,4
30,9
29,0
30,3
29,8
29,1 28,9 28,9 29,4
28,1 28,1 27,8
27,5 27,4 27,6 27,7
27,2 27,1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
STASIUN
Gambar 2- 6 Temperatur air laut di 18 stasiun pengamatan Sorong Selatan
Nilai pH rata-rata di Kabupaten Sorong Selatan sebesar 6,79. Nilai pH tertinggi pada Stasiun-8 dan
Stasiun 10 sebesar 8 sedangkan pH terendah terdapatdi Stasiun-2 sebesar 5 (Gambar 2-7). Besar
kecilnya nilai pH tersebut dipengaruhi oleh proses fotosintesis. Kadar oksigen tinggi yang
menurunkan kadar CO 2 akan mempengaruhi kadar pH dalam perairan. Hubungan antara kadar pH
dengan CO 2 adalah berbanding terbalik. Kadar pH akan meningkat hingga bernilai 9-10 pada saat
siang hari ketika proses fotosintesis berjalan sangat efektif sedangkan kadar CO 2 menurun. CO 2 yang
berasal dari proses respirasi terjadi pada malam hingga pagi hari sehingga berakibat kadar pH dalam
perairan menurun.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
8 8
7,5
7 7,2 7,2
7,5 7,4 7,6 7,6
7
6,4
6
6
5,6 5,6 5,6
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
STASIUN
Gambar 2- 7 Nilai pH air laut di 18 stasiun pengamatan
16
SALINITY (PPT)
KECERAHAN (M)
Salinitas terendah terdapat pada Stasiun-15 Distrik Kokoda dengan nilai sebesar 7 ppt. Sedangkan
salinitas tertinggi pada pengamatan Stasiun-12, Stasiun-16 dan Stasiun-17 yang terletak pada Distrik
Inawatan, Kokoda dan Saifi (Gambar 2-8). Perbedaan nilai salinitas berhubungan dengan besar
kecilnya pengaruh aliran masuk (water flow) menuju ke perairan laut sehingga mempengaruhi tingkat
keasaman suatu perairan.
30
25
20
15
20
19
18
20.5
17
21
16
18
17
15
24
23
22
24 24
12
10
8
7
5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
STASIUN
Gambar 2- 8 Salinitas air laut di 18 stasiun pengamatan
Kecerahan terbesar pada Stasiun-11 di Distrik Inawatan sebesar 2,1, sedangkan yang
terendah ada pada Stasiun-9 di Distrik Kais dengan nilai sebesar 0,1 (Gambar 2-9). Kecerahan
menggambarkan tingkat kejernihan air untuk dapat menerima cahaya dari sinar matahari. Kecerahan
tertinggi pada disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang tinggi sehingga kecerahan yang
nampak juga cukup besar selain juga karena aktivitas fitoplanktoon yang belum padat dibandingkan
dengan stasiun yang memiliki tingkat kecerahan terendah dikarenakan banyaknya fitoplankton yang
berfotosintesis pada Stasiun-9 sehingga mengakibatkan tingkat kecerahannya terendah.
2.5
2,1
2
1.5
1
1 1
1,55
1,25 1,25
0,75
1,3
0,86
1,05 1,2
0,85
0,8 0,8 0,8 0,45
0.5
0
0,11 0,1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
STASIUN
Gambar 2- 9 Kecerahan air laut di 18 stasiun pengamatan
17
TSS (µmhos)
DO (ppm)
Berdasarkan hasil pengamatan, nilai DO terbesar terdapat di Stasiun-15 sebesar 7,8 ppm
sedangkan DO terendah terdapat di Stasiun-11 sebesar 0,11 ppm (Gambar 2-10). Besar kecilnya nilai
DO dipengaruhi oleh proses fotosintesis. Kandungan O 2 terlarut lebih dari 2 ppm sudah cukup untuk
mendukung kehidupan organisme perairan secara normal.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
7,8 7,6 7,6 7,6
4,3 3,9
2,2 2,0
1,1 1,0 1,0 1,4 1,6 1,5 2,0
0,4
0,1 0,2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
STASIUN
Gambar 2- 10 Dissolved Oxygen di 18 stasiun pengamatan
Total Suspended Solid (TSS) tertinggi terdapat di Stasiun-18 dengan nilai sebesar 57,00 µmhos
di Distrik Metemani, sedangkan salinitas terendah terletak di Stasiun-1 pada distrik Konda sebesar 1
µmhos (Gambar 2-11). Perbedaan nilai TSS dipengaruhi oleh tingginya proses sedimentasi di perairan
yang biasanya berasal dari proses pengendapan material yang terbawa oleh air, angin, maupun
gletser sekitar sorong selatan. Pengendapan ini bisa terjadi di darat, laut, maupun sungai besar di
muara Kais.
70
60
57,7
50
40
30
32,0
25,0
20
10
0
12,0
12,6 12,5 12,8 12,8 12,9 12,8 12,9
1,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0
2,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
STASIUN
Gambar 2- 11 Total Suspended Solid (TSS) di 18 stasiun pengamatan
18
Nilai parameter fisika kimia pada hasil pengamatan di Sorong Selatan memiliki perbedaan
yang cukup signifikan karena parameter-parameter fisika kimia tersebut saling berhubungan dan
saling mempengaruhi satu denganyang lain. Nilai-nilai parameter ini juga dapat menentukan baik
atau tidaknya kualitas air suatu perairan. Nilai kualitas air ini juga dipengaruhi oleh waktu dan posisi
pengambilan sampel. Adapun detail waktu pengambilan sampel terdapat pada Tabel 2-6.
Tabel 2- 5 Lokasi dan waktu pengukuran kualitas air laut
Stasiun
Posisi
Keterangan
Lintang Bujur Lokasi Waktu (WIT)
1 01° 34' 55,3'' 131° 53' 45,6" Konda 13:22
2 01° 22' 46,7'' 131° 43' 8,9" Konda 14:33
3 01° 33' 33,2'' 131° 57' 18,8" Konda 15:40
4 01º 59' 09,9" 132º 01' 00,2" Kais (Yahadian) 11:30
5 01º 59' 09,9" 01º 59' 09,9" Kais (Yahadian) 12:56
6 01º 59' 09,9" 01º 59' 09,9" Kais (Yahadian) 14:04
7 01º 59' 09,9" 01º 59' 09,9" Kais (Yahadian) 14:30
8 02º 01' 14,4" 132º 05' 08,8" Metemani 14:42
9 02º 00' 54,7" 132º 05' 41,1" Metemani 13:09
10 02º 59' 30,6" 132º 07' 03,5" Metemani 14:55
11 02º 02' 43,2" 132º 02' 02,4" Metemani 16:45
12 02º 09' 00,3" 132º 11' 45,7" Inanwatan 16:42
13 02º 08' 25,9" 132º 10' 55,9" Inanwatan 17:29
14 02º 07' 36,7" 132º 10' 12,5" Inanwatan 16:00
15 02º 13' 41,9" 132º 27' 18,0" Kokoda (Kenaburi river) 10:12
16 02º 13' 43,6" 132º 27' 34,9" Kokoda (Kenaburi river) 10:30
17 02º 13' 13,5" 132º 28' 15,4" Kokoda (Kenaburi river) 10:40
18 02º 28' 58,5" 131º 52' 203" Saifi 13:13
19
Nilai kualitas air laut berdasarkan hasil pengamatan di 18 lokasi masih menunjukkan kualitas
perairan yang cukup baik untuk digunakan sebagai tempat hidup ikan dan ekosistem utama yaitu
mangrove. Rata-rata suhu berkisar pada nilai 28,77 C°, salinitas 18.08 ppt, TSS 12,72 µmhos, pH 6,78,
DO sebesar 3,12 dan nilai rata rata kecerahan sebesar 2,47 m.
2.3.3. Vegetasi Mangrove
No.
Berdasarkan hasil pengamatan struktur, komunitas, dan jenis tumbuhan di Kabupaten Sorong
Selatan memiliki rata-rata kerapatan sebesar 534,13 pohon/ha pada setiap stasiun pengamatan.
Rhizophora apiculata merupakan jenis mangrove yangmendominasi di kawasan Sorong Selatan.
Secara umum, pohon mangrove di Kabupaten Sorong Selatan ini didominasi oleh empat jenis
mangrove yaitu: R.apiculata, B.gymnorrhiza, R.mucronata dan S. alba (Tabel 2-6).
Tabel 2- 6 Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (Fr), Dominasi (D), Dominasi
Relatif (Dr), dan Indeks Nilai Penting (INP) Pohon Mangrove
Jenis
K
(Ind/ha)
Kr
(%)
F
Fr
(%)
D
(m 2 /ha)
1 Avicennia eucalyptifolia 20.37 4.00 0.15 6.84 3.71 6.43 17.27
2 Avicennia lanata 9.26 1.82 0.06 2.56 0.34 0.58 4.96
3 Avicennia marina 5.56 1.09 0.06 2.56 0.32 0.56 4.21
4 Bruguiera exaristata 16.67 3.27 0.04 1.71 1.98 3.43 8.41
5 Bruguiera gymnorrhiza 105.56 20.73 0.48 22.22 13.81 23.93 66.87
6 Bruguiera parviflora 3.70 0.73 0.04 1.71 0.09 0.15 2.59
7 Bruguiera sexangula 27.78 5.45 0.11 5.13 2.59 4.49 15.07
8 Excoecaria agallocha 5.56 1.09 0.06 2.56 0.45 0.77 4.43
9 Lumnitzera littorea 9.26 1.82 0.02 0.85 0.22 0.38 3.05
10 Nypa Fructicans 7.41 1.45 0.07 3.42 0.00 0.00 4.87
11
Pala-pala pantai(nama
lokal)
3.70 0.73 0.02 0.85 0.20 0.34 1.92
12 Rhizophora apiculata 168.52 33.09 0.59 27.35 18.48 32.01 92.45
13 Rhizophora mucronata 51.85 10.18 0.20 9.40 5.63 9.75 29.34
14 Sonneratia alba 37.04 7.27 0.07 3.42 4.20 7.27 17.96
15 Sonneratia casseolaris 1.85 0.36 0.02 0.85 0.13 0.23 1.44
16 Xylocarpus mekongensis 7.41 1.45 0.06 2.56 0.34 0.59 4.61
17 Xylocarpus granatum 25.93 5.09 0.11 5.13 2.48 4.30 14.52
18 Xylocarpus moluccensis 1.85 0.36 0.02 0.85 2.77 4.80 6.01
Dr
(%)
INP
(%)
Rhizophora apiculata mempunyai kerapatan tertinggi yaitu sebesar 168,52 ind/ha sedangkan
kerapatan terendah mangrove di kabupaten ini adalah jenis S. casseolaris dan Xylocarpus moluccensis
sebesar 1,85 ind/ha. Dari sisi kerapatan relatif, Rhizophora apiculata juga memiliki nilai kerapatan
relatif tertinggi yaitu sebesar 33,09%, diikuti dengan Bruguiera gymnorrhiza sebesar 20,73% dan
20
Rhizophora mucronata sebesar 10,18%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis mangrove ini
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya, termasuk dari pengaruh pasang surut air
laut. Sukardjo (1993) melaporkan bahwa Rhizophora apiculata mampu tumbuh dan menyebar
dengan baik dari mulai rawa sampai ke arah laut. Jenis- jenis mangrove ini juga tumbuh subur pada
kedalaman lumpur tertentu atau terdapat di sepanjang daerah berkoral yang terbuka.
Gambar 2- 12 Kerapatan mangrove di 18 lokasi pengamatan di Kab. Sorong Selatan
Kawasan mangrove di Sorong Selatan didominasi oleh mangrove dengan kerapatan sedang
(Gambar 2-12). Mangrove dengan kerapatan tinggi terdapat di Distrik Teminabuan; Stasiun-2,
Stasiun-3, dan Distrik Kokoda; Stasiun-16. Sementara kerapatan mangrove rendah berada di Distrik
Inawatan; Stasiun-13 dan Stasiun-14 dan Distrik Kokoda; Stasiun-15.
Kondisi keanekaragaman(H’), kekayaan (R), dan kemerataan (E’) jenis setiap stasiun pengamatan
digunakan untuk membandingkan dua komunitas atau lebih, khususnya untuk mempelajari pengaruh
gangguan biotik dan mengetahui tingkatan kestabilan suatu komunitas (Tabel 2-7). Menurut
klasifikasi Magurran (1988), besaran H’ diseluruh stasiun pengamatan tergolong rendah (H’<1,5).
Begitu juga dengan indeks kekayaan (R) diseluruh stasiun yang juga tergolong rendah (R<3,5).
Sementara indeks kemerataan (E’) hampir diseluruh stasiun tergolong tinggi yaitu besaran E’ lebih
besar dari 0,6 kecuali di Stasiun-7 yang tergolong sedang (0,3<E’<0,6).
21
Tabel 2- 7 Keanekaragaman (H’), Kekayaan (R), dan Kemerataan (E’) Pohon Mangrove
Stasiun
Lokasi
Keanekaragaman Kekayaan Kemerataan
H' R E'
1 Teminabuan 1.20 1.21 0.86
2 Teminabuan 1.17 0.91 0.84
3 Konda 1.34 1.31 0.83
4 Konda 1.26 1.36 0.79
5 Konda 0.69 0.38 1.00
6 Kais (Yahadian) 0.95 1.08 0.69
7 Kais (Yahadian) 0.29 0.40 0.41
8 Kais (Yahadian) 0.91 0.78 0.83
9 Metemani 1.20 1.41 0.74
10 Metemani 1.25 1.44 0.78
11 Metemani 1.25 1.11 0.90
12 Inanwatan 1.04 0.96 0.95
13 Inanwatan 1.45 1.76 0.81
14 Inanwatan 1.49 1.92 0.93
15 Kokoda (Kenaburi river) 1.33 1.86 0.96
16 Kokoda (Kenaburi river) 0.67 0.31 0.97
17 Saifi 1.09 0.69 0.99
18 Saifi 1.36 1.61 0.84
Berdasarkan analisis pancang mangrove diseluruh stasiun pengamatan diperoleh nilai
kerapatan tertinggi dimiliki oleh spesiesRhizophora mucronata dengan nilai 637,04 ind/ha. Jenis
lainnya yaitu; Bruguiera gymnorrhiza (K=459,26 ind/ha), Rhizophora apiculata(K=340,74 ind/ha), dan
Xylocarpus granatum (K=340,74 ind/ha), juga memiliki nilai kerapatan yang besar diantara spesies
lainnya. Bisa dipastikan bahwa INP terbesar dari tingkat pancang dimiliki oleh spesies Rhizophora
mucronata sebesar 40,06%. Sementara nilai INP terkecil dimiliki spesies Aegiceras corniculatum,
Ceriops tagal, dan Xylocarpus moluccensis dengan nilai masing-masing 1,22% (Tabel 2-8).
Tabel 2- 8 Kerapatan (K), Kerapatan relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi relatatif (Fr) dan Indeks Nilai Penting
(INP) Pancang
No.
Jenis
K
(Ind/ha)
1 Aegiceras corniculatum 7.41 0.31 0.02 0.92 1.22
2 Aegiceras floridum 125.93 5.20 0.11 5.50 10.70
3 Avicennia eucalyptifolia 37.04 1.53 0.07 3.67 5.20
4 Avicennia marina 103.70 4.28 0.02 0.92 5.20
5 Bruguiera exaristata 22.22 0.92 0.02 0.92 1.83
6 Bruguiera gymnorrhiza 459.26 18.96 0.41 20.18 39.14
Kr
(%)
F
Fr
(%)
INP
(%)
22
7 Bruguiera parviflora 103.70 4.28 0.07 3.67 7.95
8 Bruguiera sexangula 22.22 0.92 0.02 0.92 1.83
9 Ceriops decandra 59.26 2.45 0.07 3.67 6.12
10 Ceriops tagal 7.41 0.31 0.02 0.92 1.22
11 Heritiera littoralis 37.04 1.53 0.07 3.67 5.20
12 Lumnitzera littorea 22.22 0.92 0.02 0.92 1.83
13 Rhizophora apiculata 340.74 14.07 0.33 16.51 30.58
14 Rhizophora mucronata 637.04 26.30 0.28 13.76 40.06
15 Sonneratia alba 29.63 1.22 0.02 0.92 2.14
16 Xylocarpus granatum 340.74 14.07 0.33 16.51 30.58
17 Xylocarpus mekongensis 59.26 2.45 0.11 5.50 7.95
18 Xylocarpus moluccensis 7.41 0.31 0.02 0.92 1.22
Mangrove pada tingkat semai, nilai kerapatan tertinggi dimiliki oleh Rhizophora mucronata
sebesar 9.305,56 ind/ha. Jenis lain yang memiliki nilai kerapatan tinggi adalah Aegiceras floridum
(K=4.583,33 ind/ha), Bruguiera gymnorrhiza (K=2.731,48 ind/ha), dan Rhizophora apiculata
(K=3.3287,04 ind/ha). Kedudukan individu semai tertinggi dimiliki oleh spesies Rhizophora mucronata
yaitu 51,19%. Disisi lain kedudukan inidividu paling rendah dimiliki oleh jenis Sonneratia alba dan
Xylocarpus moluccensis dengan INP masing-masing 0,99% (Tabel 2-9).
Tabel 2- 9 Kerapatan (K), Kerapatan relatif (Kr), Frekuensi (F), Frekuensi relatif (Fr) dan Indeks Nilai Penting (INP)
Semai
No.
Jenis
K
(Ind/ha)
1 Acrostichum speciosum 231.48 0.77 0.02 0.84 1.61
2 Aegiceras floridum 4583.33 15.28 0.13 5.88 21.16
3 Avicennia eucalyptifolia 1944.44 6.48 0.09 4.20 10.68
4 Avicennia lanata 1944.44 6.48 0.04 1.68 8.16
5 Avicennia marina 1620.37 5.40 0.04 1.68 7.08
6 Bruguiera exaristata 324.07 1.08 0.06 2.52 3.60
7 Bruguiera gymnorrhiza 2731.48 9.10 0.37 16.81 25.91
8 Bruguiera parviflora 370.37 1.23 0.13 5.88 7.12
9 Bruguiera sexangula 1111.11 3.70 0.09 4.20 7.91
11 Ceriops decandra 509.26 1.70 0.09 4.20 5.90
12 Ceriops tagal 46.30 0.15 0.02 0.84 0.99
13 Lumnitzera littorea 92.59 0.31 0.02 0.84 1.15
14 Rhizophora apiculata 3287.04 10.96 0.30 13.45 24.40
15 Rhizophora mucronata 9305.56 31.02 0.44 20.17 51.19
16 Rhizophora stylosa 648.15 2.16 0.09 4.20 6.36
17 Sonneratia alba 46.30 0.15 0.02 0.84 0.99
Kr
(%)
F
Fr
(%)
INP
(%)
23
Jumlah pohon
18 Xylocarpus granatum 648.15 2.16 0.15 6.72 8.88
19 Xylocarpus mekongensis 509.26 1.70 0.09 4.20 5.90
20 Xylocarpus moluccensis 46.30 0.15 0.02 0.84 0.99
Struktur tegakan hutan mangrove merupakan sebaran pohon mangrove setiap jenis per
satuan luas basal tegakan pada setiap kelas diameter (Meyer et al., 1961 dalam Bustomi et al., 2006).
Secara keseluruhan struktur tegakan pohon berhubungan antara banyaknya pohon dengan kelas
diameter pada suatu plot pengamatan (Gambar 2-13).
Jumlah Pohon Mangrove Berdasarkan Diameter
160
149
140
120
100
80
60
40
20
0
81
42
3
D≤20 20<D≤50 50<D≤80 80≤D
Diameter (cm)
Gambar 2- 13 Jumlah pohon mangrove berdasarkan kelas diameter
Struktur pohon mangrove didominasi oleh diameter ukuran 20-50 cm—sebanyak 149 pohon
dari seluruh total stasiun pengamatan. Secara umum struktur pohon mangrove di lokasi penelitian
dapat dikategorikan dalam kondisi normal. Hal tersebut ditunjukkan dari diameter pohon ukuran
kecil (D≤20) dan ukuran sedang (20D<D≤50) yang terbilang banyak dari pada ukuran diameter besar
(50D<D≤80) dan sangat besar (80≤D). Dalam suksesi hutan selalu terjadi perubahan dari waktu ke
waktu. Perubahan struktur tegakan tersebut sangat memperngaruhi ukuran diameter. Kejadian
tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan tiap pohon dalam memanfaatkan energi matahari,
unsur hara/mineral dan air. Oleh karena itu susunan stuktur tegakan pohon di dalam hutan mangrove
akan membentuk sebaran kelas diameter yang bervariasi (Ewusie, 1980).
2.3.4. Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial
Biota asosiasi mangrove di Kabupaten Sorong Selatan didominasi oleh jenis krustasea,
gastropoda dan annelida (Gambar 2-14). Dari hasil pengamatan diseluruh stasiun, kepiting bakau
memiliki jumlah penemuan terbanyak yaitu 163 individu. Kepiting muda, yang memiliki ukuran lebih
24
Jumlah
kecil dari pada kepiting dewasa, ditemui sebanyak 104 individu. Cacing bulu (Polychaeta) dan cacing
tanah (Lumbricus) ditemui dengan jumlah yang cukup banyak yaitu 74 individu dan 26 individu. Jenis
lainnya seperti; Ikan Kes, kelomang, kelabang, dan anakan bia bor—juga ditemukan walaupun dalam
jumlah yang sedikit.
Biota Asosiasi
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
25 26
Bia Bor
Cacing
Tanah
74
Cacing
Bulu
104
Kepiting
Muda
21 20
Juvenil
Kepiting
Hitam
Jenis Biota
Juvenil
Tiram
163
Kepiting
bakau
25
Siput
46
Jenis
Lainnya
Gambar 2- 14 Jumlah biota asosiasi di lokasi survei
Magurran (1988) membagi kedalam tiga kategori untuk menganalisis keanekaragaman,
kemerataan, dan kekayaan—yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan hasil perhitungan
keanekaragaman (H’), diperoleh Stasiun-9 (Metemani) dan Stasiun-6 (Kais) memilikikategori sedang
(1,5<H’<3,5). Stasiun lainnya, karena nilai H’ tidak mencapai 1,5 maka dikategorikan kedalam kategori
keanekaragaman rendah (Tabel 2-10).
Indeks kemerataan jenis (E’) kategori tinggi hampir dimiliki oleh seluruh stasiun dengan nilai
E’ melebihi 0,6. Disisi lain Stasiun-1, Stasiun-11, Stasiun-16, Stasiun-17 dan Stasiun-18, memiliki
kategori indeks kemerataan jenis menengah dengan nilai E’ berada di antara nilai 0,3 sampai 0,6.
Indeks kekayaan (R) dapat dikatakan tinggi apabila nilai R melebihi 5,0. Dalam hasil analisis biota
asosisasi Kabupaten Sorong Selatan, tidak ada stasiun pengamatan yang memiliki kategori indeks
kekayaan tinggi. Seluruh stasiun pengamatan memiliki kategori indeks kekayaan yang rendah—
dengan nilai R yang tidak dapat mencapai 3,5 (Tabel 2-10).
Tabel 2- 10 Keanekaragaman (H’), kemerataan (E’), dan kekayaan (R) biota asosiasi setiap stasiun pengamatan
Stasiun
Lokasi
Keanekaragaman Kemerataan Kekayaan
H' E' R
1 Teminabuan 0.58 0.53 0.71
2 Teminabuan 1.12 0.81 0.82
3 Konda 0.50 0.72 0.43
4 Konda 1.02 0.74 0.89
25
5 Konda 1.08 0.78 0.85
6 Kais (Yahadian) 1.62 0.90 1.23
7 Kais (Yahadian) 1.20 0.86 1.14
8 Kais (Yahadian) 1.05 0.76 0.94
9 Metemani 1.83 0.88 2.10
10 Metemani 1.04 0.95 0.59
11 Metemani 0.90 0.56 1.28
12 Inanwatan 1.41 0.79 1.95
13 Inanwatan 0.79 0.72 0.78
14 Inanwatan 1.30 0.80 1.23
15 Kokoda (Kenaburi river) 1.40 0.87 1.18
16 Kokoda (Kenaburi river) 0.42 0.38 0.59
17 Saifi 0.42 0.60 0.24
18 Saifi 0.97 0.54 1.31
Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat 27 jenis burung di hutan mangrove Kabupaten
Sorong Selatan (Tabel 2-11). Burung Bangau Laut (Ciconia ciconia), Camar Laut (Chroicocephalus),
Raja Udang (A. pusilla) merupakan spesies burung yang paling banyak ditemukan selama survei.
Diperkirakan hutan mangrove Kabupaten Sorong Selatan berperan sebagai suplai nutrisi atau tempat
mencari makan bagi banyak spesies burung ini. Di beberapa titik pengamatan juga ditemukan sarang
burung raja udang dan telur burung bayangkok. Dapat diperkirakan hutan mangrove di Kabupaten
Sorong Selatan juga berperansebagai tempat berkembang biaknya beberapa spesies burung. Jenis
burung Maleo (Macrocephalon maleo) yang merupakan burung khas di wilayah Indonesia timur
ditemukandi Distrik Saifi. Burung ini juga banyak ditemukan di sekitar Kampung Botain maupun
disekitar hutan mangrove.
Tabel 2- 11 Jenis burung terrestrial Sorong Selatan
No Nama Indonesia Nama Latin
1 Bebek Laut Hitam Putih Aythya fuligula
2 Kakatua Putih Jambul Kuning C. sulphurea
3 Mata Merah A. panayensis
4 Kasturi Biru Merah Lorius lory
5 Raja Udang A. pusilla
6 Gagak Corvus sp
7 Siang C. cassicus
8 Camar Laut Chroicocephalus
9 Taung-taung (Rangkong) R. plicatus
10 Pasir Lat Sterna bergii
11 Bangau Ciconia ciconia
26
12 Nuri Hijau Merah Chalcopsitta atra
13 Bangau Putih Ciconia sp.
14 Burung Bengkoli (Tidak diketahui)
15 Sarang Burung Raja udang (Tidak diketahui)
16 Bobogo Paradisaea apoda
17 Telur Bayangkok (Tidak diketahui)
18 Burung Walet Apodidae
19 Camar Larus sp
20 Burung Elang Haliaeetus leucogaster
23 Burung Parcici Hirundo tahitica
24 Burung Nuri Hitam Lorius lory
25 Burung Cui Lonchura vana
26 Burung Ekor Kuning Sericornis Vogelkop
27 Ayam Hutan Macrocephalon maleo
Beberapa species reptil ditemukan selama survei dihutan mangrove Kabupaten Sorong
Selatan (Tabel 2-12). Buaya muara (Crocodylus porosus) ditemukandi distrik Konda dan Saifi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat, buaya dapat ditemukan dalam jumlah
banyak di sekitar perairan Sorong Selatan. Selain jenis reptil, jenis satwa terestrial lainnya yang
ditemukan selama survei adalah kupu-kupu, kumbang, raya pohon, dan laba laba. Satwa lain tersebut
hidup bersimbiosis dengan hamparan hutan mangrove di Sorong Selatan.
Tabel 2- 12 Jenis reptil yang ditemukan di hutan mangrove Sorong Selatan
Jenis (Nama Ilmiah) Nama Indonesia Jumlah
Crocodylus porosus Buaya 1
Infraordo scincomorpha Kadal 1
Varanus giganteus Biawak (Soa-soa) 2
2.3.5. Kesehatan, Pemanfaatan dan Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove
Pemanfaatan hutan mangrove oleh sebagian kecil masyarakat di Kabupaten Sorong Selatan
yaitu untuk memenuhi kebutuhan pembuatan perahu, tiang rumah, camp nelayan, dan kayu bakar.
Hal ini sekaligus menjadi ancaman yang berasal dari aktivitas manusia bagi hutan mangrove
dikawasan ini. Ancaman lainnya berasal dari alam itu sendiri yang biasanya berupa sedimentasi,
limbah padat domestik, limbah rumah tangga, dan tumpah minyak dari perahu nelayan. Khususnya di
sebelah timur dan barat, ancaman manusia bagi hutan mangrove berupa timbunan sampah dan
penebangan pohon untuk kebutuhan kayu masyarakat, karena lokasi ini berdekatan dengan
jangkauan manusia. Di Distrik Konda, Kokoda, Saifi sebagian wilayah mangrove telah dijadikan
pemukiman penduduk. Hutan mangrove oleh masyarakat setempat dimanfaatkan secara tradisional
27
untuk mendukung ekonomi keluarga sebagai lokasi mata pencaharian, yaitu menangkap udang dan
sebagian lagi untuk mencari kepiting. Selain itu, mangrove dimanfaatkan untuk kebutuhan kayu
bakar, bahan bangunan, pembuatan perahu dan untuk sumber obat-obatan tradisional.
28
2.4. Referensi
Bengen DG. 2012. Sinopsis Ekosistem dan Sumber daya Alam Pesisir dan Laut di Raja Ampat West
Papua. LIPI: Jakarta
Duke NC, Meynecke JO, Dittmann S, Ellison AM, Anger K. 2007. A world without mangroves. J Science
317: 41–42.
[BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan ITTO-Project. 2013. Study on socioeconomic
community-based mangrove ecosystem management at South Sorong
West Papua Province. Kementerian Kehutanan RI. 87 hlm
Giesem, W., M. Baltzer & R. Baruadi. 1991. A Field Guide of Indonesia Mangrove. Bogor.
Wetlands International, Indonesia. 204hlm
Jhamhur Martini. IPB. 2014. Model Pengembangan Kawasan Konservasi. Mengenai Tesis dan
Sumber Informasi Serta Pelimpahan Hak Cipta. 234hlm.
[LPPM] Lembaga Pengkajian Pengembangan Mangrove. 2003. Rencana pengelolaan suaka
margasatwa Muara Angke DKI Jakarta. Jakarta (ID): Kerjasama BKSDA DKI Jakarta
dan LPP Mangrove.
Onrizal & C. Kusmana. 2005. Ekologi dan manajemen mangrove Indonesia. Buku Ajar.
Departemen Kehutanan FP USU. Medan.
[PERMENHUT]. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. 2008. tentang Pedoman Teknis Pengawasan
Lingkup Departemen Kehutanan serta. 17hlm.
[PERMENHUT]. Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.9/Menhut-II/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian
Intensif Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 19hlm.
[PermenKKP]. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. tentang Tata Cara Penetapan
Kawasan Konsrvasi Perairan (KKP). 15hlm
Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 2016. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor
Winaryo. S. [IPB]. 2016. Strategi pengelolaan mangrove melalui Analisis tingkat kerusakan.
Pernyataan Mengenai Tesis Dan Sumber Informasi Serta Pelimpahan Hak Cipta.
133hlm.
29
III.
STATUS SOSIAL
3.1. Pendahuluan
Kependudukan di Kabupaten Sorong Selatan dipengaruhi oleh sebaran wilayah adat dan
ekspansi suku-suku besar yang merupakan penduduk asli Papua. Masing-masing kampung terdiri dari
masyarakat yang memiliki kekerabatan yang cukup kental. Pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir
Kabupaten Sorong Selatan masih dipengaruhi oleh adanya pengaturan kawin silang antar suku. Pada
tahun 2016 teridentifikasi sebanyak 43.036 jiwa penduduk yang tersebar mulai daerah daratan tinggi
hingga daratan pesisir. Didataran pesisir tersebar di wilayah 7 distrik yaitu Teminabuan, Saifi, Konda,
Kais, Metamani, Inanwatan dan Kokoda. Keseluruhan masyarakatnya hidup dari memanfaatkan
potensi sumber daya pesisir dan laut. Peningkatan kebutuhan masyarakat, mendorong aktivitas
pemanfaatan pesisir dan laut menjadi semakin intensif dan mengundang pengguna sumber daya
yang berasal dari luar Kabupaten Sorong Selatan.
Kondisi sosial masyarakat pesisir ditandai dengan ciri seperti kemiskinan, keterbelakangan
sosial budaya dan lemahnya fungsi kelembagaan sosial (Kusnadi, 2006). Paradigma tersebut menjadi
patron terhadap berbagai macam penilaian terhadap masyarakat pesisir Kab. Sorong Selatan.
Perkembangan masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh aktivitas pemanfaatan sumber daya laut
dimana peningkatan ekonomi bergantung pada pendapatan sebagai nelayan. Di Kabupaten Sorong
Selatan, aktivitas masyarakat pesisir bergantung pada potensi sumber daya laut. Namun demikian
dibatasi oleh sarana dan prasarana produksi perikanan dan sarana pemasaran. Selain itu, aktivitas
pemanfaatan sumber daya laut belum dapat mensejahterakan masyarakat terutama yang bermukim
diwilayah pesisir. Jumlah masyarakat kategori pra-sejahtera di Kabupaten Sorong Selatan sekitar
33,2% yang tersebar diseluruh distrik pesisir (BPS Papua Barat 2017).
Potensi sumber daya perikanan di Kabupaten Sorong Selatan belum sejalan dengan tingkat
kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat pesisir. Agar hubungan antara peningkatan produksi
perikanan tangkap dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dapat berjalan searah, maka perlunya
pengaturan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut. Pengaturan tersebut harus memperhatikan
berbagaimacam aspek dimana salah satunya aspek sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Sehingga
atas dasar tersebut dianggap perlunya mengetahui kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pesisir
Kabupaten Sorong Selatan. Untuk mengetahui kondisi tersebut akan dilakukan pengumpulan data
dasar, memperoleh gambaran umum kondisi sosial dan ekonomi masyarakat peisisr. Hasil survei akan
dijadikan bahan referensi awal dalam upaya mengintervensi program pelestarian sumber daya laut
dan pengendalian pemanfaatan perikanan di Kab. Sorong Selatan. Harapannya adalah semakin
tingginya permintaan pasar yang mempengaruhi produksi akan berdampak pada kesejahteraan
masyarakat pesisir.
30
3.2. Metode
Pelaksanaan perolahan data lapangan dilakukan selama 1 – 2 hari dii tiap kampung target
(Tabel 3-1). Kampung target tersebut merupakan kampung yang dominan masyarakatnya adalah
nelayan.
Tabel 3- 1 Lokasi pengamatan kondisi sosial masyarakat Sorong Selatan
No. Distrik Desa Target
1. Teminabuan Desa Sayolo
Kelurahan Kaibus
2. Konda Desa Konda
Desa Wamargege
3. Kais Desa Yahadian
4. Metamani Desa Mugim
Desa Nusa
5. Inanwatan Desa Mete
Desa Mugibi
6. Kokoda Desa Tarof
7. Saifi Desa Botain
3.2.1. Profil Desa
Pengambilan data menggunakan metode Diskusi Grup Terarah-FGD dan wawancara informan
kunci (Key Informant Interview). Informan kunci yang menajdi target terdiri dari tokoh adat (kepala
suku, perwakilan dari marga besar, dan tetuah adat), tokoh masyarakat (pemuda, ibu-ibu, dan
panutan), pelaku pemanfaatan perikanan (nelayan tangkap, pengepul, dan bameti), perangkat
kampung (kepala kampung, kepala Bamuskam, dan sekretaris kampung) dan komunitas lokal
(POKMASWAS dan komunitas nelayan tangkap). Panduan FGD dan formulir untuk wawancara
informan kunci mengacu pada Protokol Survei Cepat Kondisi Habitat Pesisir, Sosial dan Pemanfaatan
Sumber daya Laut yang disusun oleh WWF Indoensia.
31
3.2.2. Kondisi Sosial dan Ekonomi Rumah Tangga
Pengambilan data menggunakan metode wawancara langsung dilapangan. Jumlah responden
di masing-masing Kampung Target berjumlah 5% dari Rumah Tangga Perikanan (RTP) jika jumlahnya
>150. Namun jika jumlah RTP masing-masing Distrik <150 maka akan ditentukan dengan jumlah 7-9
responden. Panduan pengambilan data melalui wawancara menggunakan bagian Pendataan Kondisi
Sosial dan Ekonomi yang telah dimodifikasi WWF Indoensia tahun 2017. Penentuan informan dengan
metode acak-random sampling dan dengan meminta kesediaan calon responden.
3.3. Hasil
3.3.1. Fasilitas
Kebutuhan dasar rumah tangga perikanan merupakan target tujuan melakukan aktivitas
pemanfaatan sumber daya laut. Sebagain besar hasil tangkapan dari potensi perikanan udang di Kab.
Sorong Selatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga. Namun demikian
aktivitas pemanfaatan sumber daya laut juga dipengaruhi oleh ketersediaan dan kepemilikan sarana
dan prasarana pendukung.
3.3.1.1. Transportasi
Masyarakat pesisir Kabupaten Sorong Selatan yang bermatapencaharian sebagai nelayan, sangat
bergantung pada ketersediaan armada dalam melakukan aktivitas perikanan. Armada digunakan
sebagai alat bantu untuk mengakses daerah penangkapan (fishing ground). Kategori armada
perikanan tangkap dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu armada bermesin tempel (mesin luar),
bermesin dalam, dan tanpa mesin (dayung).
Jenis Armada Perikanan Tangkap
Tanpa mesin
29%
Mesin luar
56%
Tidak Punya
8%
Gambar 3- 1 Jenis armada perikanan tangkap nelayan
Mesin dalam
7%
Gambar 3-1 menunjukkan presentase kepemilikan jenis armada perikanan tangkap masyarakat
Kabupaten Sorong Selatan. Sebagian besar masyaralat nelayan (56%) menggunakan armada dengan
32
mesin luar atau mesin tempel. Kapasitas mesin tempel yang digunakan berkisar 15 – 40 PK. Namun,
nelayan penangkap udang dan kepiting hanya menggunakan mesin tempel dengan kapasitas 15 PK
karena harganya yang relatif murah dan mudah didapatkan.
Sebanyak 8% nelayan tidak memiliki armada perikanan tangkap. Nelayan yang tidak memiliki
armada biasanya ikut menumpang pada perahu kapasitas besar milik kerabat atau sodaranya. Selain
menumpang, nelayan yang tidak memiliki armada perikanan tangkap juga memanfaatkan rumahrumah
warga yang dibangun diatas tepi muara sungai. Target tangkapan nelayan tanpa armada
adalah ikan demersal yang hidup di daerah muara sungai.
Selain sarana transportasi laut, yang menjadi target perolehan informasi adalah transportasi
darat. Transportasi darat digunakan terutama sebagai sarana transportasi yang menghubungkan
antar kampung atau antar distrik. Hasil wawancara menyimpulkan bahwa akses darat yang
menghubungkan antar kampung di pesisir sangat tidak memadai. Akses darat hanya bisa ditempuh
dengan jalan kaki dengan waktu yang cukup lama. Tansportasi laut menjadi alternatif utama
penghubung antara kampung dalam satu distrik dan juga menghubungkan antar distrik dalam satu
kabupaten.
Kepemilikan sarana transportasi darat oleh masyarakat distrik pesisir Kab. Sorong Selatan
masih sangat rendah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur jalan dari pusat kabupaten
ke distrik-distrik belum terhubung seperti disitrik Metamani, Inanwatan dan Kokoda. Sedangkan
distrik Konda, Saifi dan Kais sudah ada akses darat namun kondisinya masih tahap pengerasan dan
belum di aspal. Kondisi tersebut membuat jenis kendaraan yang dapat melintas terbatas, dan hanya
menggunakan kendaraan dengan kekuatan 4-WD. Seperti yang terjadi di Kampung Konda dan
Wamargege, untuk menuju ke ibukota Kabupaten melalui darat harus menggunakan jenis kendaran
tertentu.
3.3.1.2. Alat Tangkap
Alat tangkap yang digunakan nelayan di Kab. Sorong Selatan dikategorikan kedalam 7 jenis yaitu;
jaring insang besar, jaring insang kecil, bubu, tombak, sero, handline dan rawai dasar (Gambar 3-2).
Jaring insang kecil merupakan jenis alat tangkap yang paling banyak digunakan nelayan (49%) untuk
menangkap udang. Sebanyak 19% nelayan menggunakan pancing ulur (handline) sebagai alat tangkap
tambahan untuk mencari ikan. Sementara 17% nelayan menggunakan Bubu (Perangkap) untuk
menangkap kepiting bakau. Selain itu nelayan juga menggunakan sero dan tombak sebagai alat
tangkap tambahan. Sero merupakan alat tangkap yang dipasang di celah hutan mangrove untuk
digunakan oleh nelayan dalam memanfaatkan kondisi pasang surut air laut. Sedangkan tombak
biasanya digunakan untuk menombak ikan yang terperangkap dalam Sero. Meskipun jumlahnya
sedikit, alat tangkap rawai dasar masih digunakan oleh beberapa nelayan untuk menangkap ikan
demersal estuaria pada kedalaman 20-40 meter.
33
Jaring insang
kecil, 49%
Kondisi Alat Tangkap Perikanan
Jaring insang
besar, 8%
Tombak, 3%
Bubu/Perangka
p, 17%
Rawai Dasar,
1%
handline, 19%
Sero, 3%
Gambar 3- 2 Kepemilikian alat tangkap perikanan masyarakat
3.3.1.3. Bahan Bakar untuk Memasak
Hasil survei di kampung target teridentifikasi bahan bakar untuk memasak hanya dua macam,
yaitu menggunakan kayu bakar dan minyak tanah. Persentasi keduanya dapat dilihat pada Gambar 3-
3.
Bahan Bakar untuk Memasak
Kayu …
Minyak Tanah
40%
Gambar 3- 3 Penggunaan bahan bakar untuk memasak
Gambar 3-3 diatas menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat di kampung target survei
menggunakan kayu bakar (60 %) untuk memasak. Hal tersebut disebabkan karena tingginya harga
minyak tanah dan sulitnya mendapatkan minyak tanah di wilayah pesisir. Jarak dari kampung cukup
jauh dari ibukota Kabupaten menjadi faktor penghambat suplai minyak tanah. Penggunaan kayu
bakar lebih mudah diperoleh tanpa harus dibeli. Biasanya masyarakat menggunakan pohon tanaman
tertentu untuk kayu bakar dan kadang memanfaatkan tanaman bakau/mangrove sebagai kayu bakar.
34
3.3.1.4. Ketersediaan Listrik
Listrik adalah salah satu sumber energi yang diperlukan oleh masyarakat umum dalam
mendukung aktivitas rumah tangga. Energi listrik digunakan terutama sebagai sumber penerangan
dan mensuplai energi untuk berbagai peralatan elektronik sebagai alat hiburan dan informasi.
Jaringan listrik PLN sangat sulit untuk menjangkau wilayah kampung pesisir target survei dengan
kondisi karakteristik wilayahnya. Sebagian besar masyarakat pesisir menggunakan generator set yang
waktu pengoperasiannya terbatas. Hasil survei mengkategorikan penggunaan listrik berdasarkan
lama pengoperasian dan dapat dilihat pada gambar berikut.
Suplai Listrik
12 jam
37%
6 jam
27%
24 jam
18%
tidak ada
18%
Gambar 3- 4 Kondisi ketersediaan listrik
Hasil survei memperlihatkan bahwa sistem pengoperasian listrik di Kabupaten Sorong Selatan
yang dapat diakses selama 24 Jam mencapai 18% (Gambar 3-4). Kampung yang mengakses listrik
selama 24 jam antara lain Kampung Sayolo dan Ampera Distrik Teminabuan. Pengoperasian listrik
selama 12 Jam sekitar 37 % berada pada Kampung Konda dan Warmagege di Distrik Konda dan
Kampung Mugim dan Kampung Nusa di Distrik Metemani. Kampung Mugibi dan Kampung Mate,
Distrik Inanwatan serta Kampung Tarof, Distrik Kokoda listrik beroperasi hanya 6 Jam. Sedangkan di
Kampung Yahadian, Distrik Kais dan Kampung Botain, Distrik Saifi belum memiliki akses listrik.
Masyarakat yang tidak dapat mengakses listrik biasanya hanya mengandalkan senter, lilin, pelita
sebagai alat bantu penerangan di malam hari.
3.3.1.5. Telekomunikasi
Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang di wilayah Provinsi Papua Barat khususnya
Kab. Sorong Selatan mengandalkan telepon seluler dan Koputer PC/Laptop yang mana bergantung
pada jaringan internet. Penggunaan telepon seluler di Kab. Sorong Selatan lebih dominan digunakan
oleh masyarakat sebagai alat komunikasi. Media komunikasi yang diandalkan oleh masyarakat yang
berada di wilayah pesisir dapat dilihat pada gambar 5.
35
Akses Wifi,
36.4%
Kondisi Telekomunikasi
tidak ada,
27.3%
Sinyal telpon,
36.4%
Gambar 3- 5 Akses kominikasi masyarakat
Hasil survei di kampung target Kabupaten Sorong Selatan teridentifikasi sebanyak 36,4 % rumah
tangga telah memiliki alat komunikasi seperti telepon seluler. Namun demikian, tidak semua wilayah
kampung di pesisir Kab. Sorong Selatan memiliki akses jaringan sinyal telepon. Hanya beberapa
kampung saja yang dapat mengakses jaringan telepon seluler seperti Kampung Konda dan
Wamargege, Distrik Konda. Selain telepon seluler, alat komunikasi lain yang digunakan oleh
masyarakat pesisir adalah internet yang mengandalkan jaringan niikabel wifi. Akses jaringan nirkabel
terdapat di empat kampung yakni Kampung Nusa, Kampung Mugibi, Kampung Mate dan Kampung
Tarof. Akses jaringan tersebut terpasang di tempat umum seperti di Puskesmas, Bandar Udara dan
Sekolah. Juga terdapat kampung yang sama sekali tidak memilki jaringan telepon seluler dan jaringan
wifi yakni Kampung Yahadian, Kampung Mugim dan Kampung Botain.
3.3.2. Pendidikan
Fasilitas pendidikan yang tersebar di Kabupaten Sorong Selatan masih belum merata. Hal
tersebut ditunjukkan dari hasil survei pada kampung target yang belum memiliki fasilitas pendidikan
lengkap (Tabel 3-2).
Tabel 3- 2 Ketersediaan layanan fasilitas pendidikan
No. Distrik Kampung Target SD SMP SMA
1. Teminabuan Kampung Sayolo
Kelurahan Kaibus
v
v
v
v
v
v
2. Konda Kampung Konda
Kampung Wamargege
v
v
-
-
-
-
3. Kais Kampung Yahadian v - -
4. Metamani Kampung Mugim
Kampung Nusa
v
v
-
v
-
-
5. Inanwatan Kampung Mugibi
Kampung Mate
v
v
v
v
-
v
6. Kokoda Kampung Tarof v v -
7. Saifi Kampung Botain
Kampung Glabrat
-
-
-
-
-
-
36
Hampir seluruh distrik target survei sudah memiliki fasilitas sekolas dasar (SD). Namun kondisi
tersebut berbeda pada Distrik Saifi yang sama sekali tidak memiliki fasilitas pendidikan. Beberapa
masyarakat yang tidak memiliki faslitas pendidikan jenjang SMP dan SMA di kampungnya, memilih
untuk melanjutkan jenjang SMP di kampung atau distrik terdekat yang memiliki sarana pendidikan
tersebut. Sama halnya dengan jenjang SMA, sebagian besar masyarakat memilih melanjutkan di
Ibukota Kabupaten dan bahkan sampai ke Kota Sorong dan Kabupaten Sorong.
3.3.3. Kesehatan, Air Bersih, dan Sanitasi
Air bersih merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat
disuatu wilayah. Faktor tersebut dapat diukur melalui kepemilikan sumber air bersih dan akses untuk
mendapatkan air bersih tersebut.
Tidak
ada/lain-lain,
39%
Akses air bersih
Sumur
Pribadi, 25%
Sumur
Umum , 36%
Gambar 3- 6 Akses air bersih masyarakat
Pada wilayah pesisir akses air bersih hanya mengandalkan air tadah hujan dan air tanah
resapan melalui sumur (Gambar 3-6). Hasil survei memperlihatkan bahwa sebagian besar rumah
tangga di wilayah pesisir tidak memilki sumur (39 %). Rumah tangga yang tidak memiliki sumur hanya
mengandalkan air tadah hujan. Terdapat 36 % rumah tangga mengakses air bersih melalui sumur
umum dan 21 % rumah tangga yang. Pada wilayah pesisir akses air bersih dari PDAM belum tersedia.
Kondisi sumur yang digunakan oleh masyarakat baik itu sumur umum maupun sumur pribadi cukup
keruh dan payau. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kampung pesisir masih terpengaruh oleh
kondisi pasang surut air laut. Terdapat beberapa sumur yang kondisi airnya tidak layak untuk
dikonsumsi.
Keadaan sanitasi juga mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat terutama masyarakat pesisir.
Hasil survei terhadap kondisi sanitasi di tiap kampung pesisir target dilihat pada Gambar 3-7.
Sebagian besar rumah tangga memiliki jamban milik pribadi untuk akses sanitasi (50% rumah tangga).
Sebanyak 38% rumah tangga masih menggunakan sanitasi umum, namun sebagian sanitasi umum
berada dalam kondisi tidak layak dan bahkan tidak bisa digunakan lagi. Sebanyak 12% tidak memiliki
sanitasi pribadi dan juga tidak dapat mengakses sanitasi umum. Berdasarkan hasil survei di kawasan
37
pesisir Kab. Sorong Selatan, tidak ditemukan tempat pembuangan akhir untuk sampah rumah tangga.
Sebagian besar rumah tangga memanfaatkan aliran sungai sebagai lokasi pembuangan sampah
terakhir.
Akses Sanitasi-Jamban
Umum, 38%
Tidak punya,
12%
Pribadi, 50%
Gambar 3- 7 Akses dan kepemilikan fasilitas sanitasi-jamban
3.3.4. Masyarakat
Masyarakat Kabupaten Sorong Selatan terdiri dari 3 suku besar yang ada di Papua. Sebagian
besar masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir (kampung target survei) bekerja sebagai nelayan
udang dan kepiting. Beberapa organisasi ekonomi—penunjang aktivitas perikanan—sudah terbentuk
dibeberapa kampung Kabupaten Sorong Selatan. Aktivitas berkebun menjadi salah satu sumber
pendapatan sampingan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan di tiap kampung target survei.
3.3.4.1. Organisasi Ekonomi
Organisasi ekonomi di kampung target survei Kab. Sorong Selatan terdiri beberapa kategori di
antaranya; badan usaha (Koperasi), komunitas nelayan, dan kelompok-kelompok kecil yang
terorganisir. Di wilayah pesisir Kab. Sorong selatan terutama di kampung target survei terdapat
kelompok-kelompok yang terbentuk karena pengaruh pemodal (pengepul udang). Tujuan
pembentukan kelompok didasarkan untuk mengatur kebutuhan aktivitas perikanan tangkap.
Beberapa pemodal masing-masing memiliki kelompok yang terdiri dari 11-12 orang nelayan tangkap
komoditas udang. Anggota kelompoknya memiliki keterikatan pinjaman modal kepada pengepul
(pemodal). Modal tersebut dalam bentuk alat tangkap, bahan bakar serta kebutuhan logistik pada
aktivitas penangkapan udang. Sehingga masing-masing anggota kelompok diharuskan menjual hasil
tangkapan yang nilainya dipotong dari modal pinjaman yang diberikan. Jumlah pengepul (pemodal)
per distrik dapat dilihat pada Gambar 3-8.
38
Sayolo
Ampera
Konda
Wamargege
KEPEMILIKAN LAHAN PERKEBUNAN
Yahadian
Mugim
Nusa
Mugibi
Mate
Tarof
Botain
Distrik Target Survei
Distrik Saifi
2
Dsitrik Kokoda
1
Distrik Inanwatan
3
Distrik Metamani
4
Distrik Kais
3
Distrik Konda
9
Distrik Teminabuan
1
Jumlah Pengepul
Gambar 3- 8 Jumlah pengepul udang di lokasi survei
Distrik Konda khususnya di Kampung Wamargege dan Kampung Konda memiliki jumlah nelayan
yang cukup besar. Sehingga jumlah pemodal (pengepul) juga paling banyak terdapat di kampung
tersebut. Hal ini disebabkan jarak ke ibu kota kabupaten cukup dekat dan mudah diakses baik melalui
transportasi laut maupun transportasi darat. Selain Distrik Konda, Distrik Metamani dan Distrik
Inanwatan juga mudah diakses oleh oleh pengepul melalui jalur transportasi laut. Sebagian besar
pengepul (pemodal) bukan berasal dari masyarakat asli Papua, namun berasal dari luar suku papua
seperti Makassar, Jawa dan Bugis. Keterlibatan pemerintah pada aspek penyediaan modal juga
terdapat di Distrik Konda terutama Dinas Perikanan Kabupaten Sorong Selatan, namun belum merata
di seluruh wilayah distrik pesisir.
3.3.4.2. Pendapatan Alternatif
Masyarakat pesisir Kab. Sorong Selatan terutama di 11 kampung target survei, sebagian besar
bermatapencaharian sebagai nelayan yang mengandalkan hasil laut untuk kebutuhan hidup seharihari.
Namun, tidak sedikit dari nelayan juga memiliki pendapatan sampingan melalui hasil berkebun
seperti yang terlihat di Gambar 3-9.
10%
9%
8%
7%
6%
5%
4%
3%
2%
1%
0%
3%
0%
4%
1%
4%
1% 1% 1%
7%
9% 9%
KAMPUNG TARGET SURVEI
Gambar 3- 9 Kepemilikan lahan perkebunan di lokasi pengamatan
39
Kepemilikan Hewan Ternak
Seyolo
Ampera
Konda
Wamargege
Yahadian
Mugim
Nusa
Mugibi
Mate
Tarof
Botain
Hasil survei menunjukan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat pesisir yang memiliki lahan
perkebunan. Persentase tertinggi terdapat di Kampung Tarof dan Kampung Botai, masing-masing 9%.
Selain perkebunan, masyarakat di kampung target survei juga mengandalkan hasil ternak. Persentase
kepemilikan ternak di kampung target survei dapat dilihat pada Gambar 3-10.
Unggas Kambing/Babi Sapi
10.0%
8.0%
6.0%
4.0%
2.0%
0.0%
5,4%
8,1%
5,4%
Kampung Target Survei
Gambar 3- 10 Kepemilikan ternak masyarakat di lokasi pengamatan
Hasil survei menunjukan bahwa nelayan yang tinggal di Kampung Tarof, Kampung Mate, dan
Kampung Botain mendapat pendapatan tambahan paling banyak dari hewan ternak. Sementara itu
sebagian besar nelayan di Kampung Wamargege dan Kampung Konda tidak memiliki hewan ternak.
Berdasarkan hasil wawancara di kedua kampung tersebut, masyarakat tidak bisa memelihara hewan
ternak karena mereka harus memulai aktivitas menangkap ikan dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore.
3.3.4.3. Produk Pertanian dan Perikanan
Sebagian besar kampung target survei tidak memiliki lahan pertanian. Mayoritas masyarakat
bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal ini disebabkan karena seluruh kampung merupakan daerah
estuaria yang banyak ditumbuhi oleh mangrove sehingga kondisi tanahnya tidak cocok untuk lahan
pertanian. Namun, terdapat beberapa masyarakat yang menanam pohon sagu seperti di Kampung
Wamargege, Kampung Yahadian, Kampung Tarof, dan Kampung Saifi.
Kabupaten Sorong Selatan dikenal dengan sebagai salah satu penghasil komoditas udang
terbesar di Provinsi Papua Barat. Tidak hanya hanya udang namun juga terdapat komoditas perikanan
lain yang potensial, antara lain: ikan sebelah, ekor kuning/pisang-pisang, lema/selar, kuwe, daun
bambu/talang-talang, kakap putih, japuh, tembang, terubuk, ikan terbang, julung-julung, lencam,
kakap merah, belanak, biji nangka, kurisi, madidihang, kerapu, pari dan lain-lain. Namun hingga saat
ini, nelayan dominan menangkap komoditas seperti ikan sembilang/lele muara, kakap putih/conggek.
Beberapa jenis ikan yang tertangkap jaring udang yang tidak memiliki nilai ekonomi biasanya
40
PRODUKSI (TON)
dikonsumsi sendiri oleh masyarakat. Selain ikan dan udang, berbagai jenis siput dan kerang juga
sering menjadi target nelayan (Gambar 3-11).
Gambar 3- 11 Jenis komoditas perikanan selain udang dan kepiting di kampung target
Masyarakat di Kampung Yahadian, Konda dan Wamargege, masih sering memanfaatkan hasilhasil
laut jenis kerang-kerangan dan siput untuk dikonsumsi karena permintaan pasar untuk produk
tersebut masih terbatas. Produksi perikanan tangkap di Kab. Sorong Selatan dapat dilihat pada
Gambar 3-12.
25000
20000
15000
10000
5000
0
12.243 12.258 12.601 12.501
15.386 15.526
12.311
901 920 955
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
TAHUN
Gambar 3- 12 Produksi perikanan tangkap Kabupaten Sorong Selatan (Sumber: Analisa BPS Statistik
Provinsi Tahun 2007-2016)
Sejak tahun 2007 hingga 2016 jumlah produksi perikanan tangkap semakin meningkat. Komoditas
unggulan perikanan adalah udang dimana dari komoditas ini menyumbang sekitar 31,4% dari total
produksi tahun 2016. Komodtas terbesar kedua yaitu jenis ikan pelagis kecil lema/kembung
(Rastrelliger sp.) namun sejak pelarangan penggunaan jaring troll produksinya menurun dan
digantikan oleh komoditas udang yang semakin meningkat.
3.1.1.1 Sejarah Komunitas Masyarakat
Penduduk asli Pulau Papua dibagi dalam 7 wilayah adat. Detail wilayah adat dan jumlah suku
yang ada dijelaskan di Tabel 3-3 di bawah ini.
41
Tabel 3- 3 Klasifikasi wilayah adat di Papua Barat
No Pembagian Wilayah Adat Jumlah Suku
1. Wilayah Adat I-Mamta 87 Suku
2. Wilayah Adat II-Saireri 31 Suku
3. Wilayah Adat III-Bomberai 19 Suku
4. Wilayah Adat IV-Domberai 52 Suku
5. Wilayah Adat V-Ha-Anim 29 Suku
6. Wilayah Adat VI-La-Pago 19 Suku
7. Wilayah Adat VII-Mi-Pago 11 Suku
Kabupaten Sorong Selatan termasuk dalam Wilayah Adat III-Bomberai yang sukunya terdiri dari tiga
suku besar yaitu Suku Imeko, Suku Tehit, dan Suku Maybrat. Dua di antaranya, suku Imeko dan Tehit
tinggal di wilayah pesisir. Informasi deskriptif tentang desa-desa ini disajikan dalam Tabel 3-4.
Tabel 3- 4 Deskripsi suku Imeko dan Tehit
Suku Imeko
Suku Tehit
Suku Imeko mencakup suku-suku besar Inanwatan, Metamani dan Kokoda. Sejarah
Suku Inanwatan merupakan salah satu kelompok sosial yang berdiam di daerah
Kepala Burung Pulau Papua. Sebagian besar suku Inawatan bermukim di wilayah
Distrik Inawatan, Kabupaten Sorong Selatan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Suabo. Masyarakat suku Inanwatan merupakan salah satu dari sembilan klen yang
tergabung dalam suku bangsa Teminabuan. Akan tetapi masing-masing kelompok
ini mempunyai dialek bahasa sendiri. Enam dari kelompok ini (Metemani, Sagapuri,
Oderauw, Kaiso, Sunami, dan Inanwatan) berdiam dalam wilayah Distrik
Inanwatan, dan tiga kelompok lainnya (Tehit, Ogit, Sawiat) berdiam dalam wilayah
Distrik Teminabuan.
Suku Tehit memiliki peranan penting terhadap aktivitas keseharian masyarakat
pesisir terutama di Teminabuan. Kata Tehit berasal dari tahiyid, artinya
"mereka(lah) Tehit", namun arti leksikalnya telah hilang. Hasil wawancara
menyatakan bahwa Suku Tehit datang ke daerah ini beberapa ratus tahun yang lalu
dan mengambil alih penguasaan terhadap penduduk yang lebih dulu datang.
Awalnya masyarakat Suku Tehit bermukim di daerah rawadan hidup dari
menebang dan mengumpulkan pati sagu. Lalu kemudian perlahan-lahan
bermukim di daratan tanah kering dan hidup dari hasil perkebunan yang ditanami
komoditas ubi, keladi dan labu.
Masyarakat SukuTehitdulunya dipimpin oleh raja-raja kecil yang berkedudukan di
empat weri (bandar) yaitu:
1) Weri Ambuam (Teminabuan)
42
2) Weri Sar
3) Weri Konda
4) Weri Kasrer (Seribau)
Raja yang paling dominan berkedudukan di Teminabuan, gelarnya Kaibus atau
Woronemin. Masyarakat Tehit terdiri atas beberapa klan patrilineal. Anggota klan
disebut wendla dan pemimpinnya disebut nakhohokh. Kepemimpinan ini terutama
terlihat dalam masalah kemasyarakatan, seperti dalam masalah pembagian harta
waris, aturan perkawinan, pelanggaran adat dan sebagainya. Nakhohokh sendiri
harus memimpin musyawarah (lelekh wamar) untuk memutuskan suatu perkara.
Keputusannya memerlukan pertimbangan dari sekelompok tetua bijaksana yang
disebut nasemba (penengah). Pada zaman dulu lelekh wamar juga berfungsi
sebagai lembaga ritual, perantara antara nadkhoin (manusia) dengan Tali Nggameri
(Khalik, Sang Pencipta) yang disebut Na Agow Allah.
Sama seperti berbagai suku bangsa asli lain di Kepala Burung Pulau Papua Wilayah
Adat Bomberai, alat bayar bergengsi pada orang Tehit ini adalah not hokh (kain
sakral). Kain sakral tersebut digunakan sebagai mas kawin. Dalam perkawinan itu
sendiri syolo (saudara laki-laki) ibu sangat berperan dalam menentukan jodoh
kemenakannya, karena itu perkawinan ideal dalam masyarakat ini adalah antara
saudara sepupu silang.
Bahasa Tehit terdiri atas 10 dialek yaitu :
1) Dialek Tehit Tehiyit (di Teminabuan dan sekitarnya)
2) Dialek Tehit Afsya atau Mbolfle (di bagian selatan Teminabuan : weri konda
dan Bariat)
3) Dialek Tehit Gemma (di sebelah utara Teminabuan, Wehali dan Eles)
4) Dialek Tehit Yemian (di kampung Hana dan Sanekh)
5) Dialek Tehit Sawiat (di kampung Soroan dan sekitarnya)
6) Dialek Tehit Fkar (di Pegunungan)
7) Dialek Tehit Yatfle
8) Dialek Tehit Sayfi
9) Dialek Tehit Konyokh
10) Dialek Tehit Salmeit.
43
3.4. Referensi
BPS (Badan Pusat Statistik) West Papua Province Dalam Angka 2017
BPS (Badan Pusat Statistik) West Papua Province Dalam Angka 2016
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten South Sorong Dalam Angka 2017
BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten South Sorong Dalam Angka 2016
Imroatus S., Mulyadi dan Maryam L., 2015. Gambaran Sarana Sanitasi Masyarakat Kawasan Pesisir
Pantai Dusun Talaga Desa Kairatu Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat. HIGIENE Volume 1,
No. 2 Mei-Agustus
Gunaisyah E., 2008. Sumber daya Udang Penaeid dan Prospek Pengembangannya di Kabupaten South
Sorong Provinsi Irian jaya barat. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pakpahan HT., 2003. Hubungan Motivasi Kerja Dengan Perilaku Nelayan Pada Usaha Perikanan Tangkap.
STEVIA-Volume III No. 01 Januari.
Santos CP., Carollo C. and Yoskowitz DW., 2012. Gulf of Mexico Ecosystem Service Valuation Database
(Geco Serv) : Gathering Ecosystem Services valuation Studies to Promote Their Inclusionin The Decision
Making Process. ELSEVIER.
Suryaperdana Y., 2011. Keterkaitan Lingkungan Mangrove Terhadap Produksi Udangdan Ikan Bandeng di
Kawasan Silvofisheries Blanakan Subang, Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
44
IV.
AKTIVITAS PERIKANAN TANGKAP
4.1. Pendahuluan
Salah satu karakteristik dari Kabupaten Sorong Selatan adalah adanya hutan mangrove yang
tersebar di sepanjang bibir pantai. Hutan mangrove dapat dikategorikan sebagai ekosistem yang
memiliki produktivitas tinggi karena banyaknya pasokan unsur hara, lumpur, dan merupakan tempat
yang terlindungi dari angin kencang sehingga ekosistem hutam mangrove adalah tempat asuhan,
mencari makan, tempat berkembang biak berbagai jenis udang, kepiting, ikan dan berbagai jenis hewan
lainnya (Kalther, 2010). Kondisi tersebut membuat Kabupaten Sorong Selatan terkenal sebagai penghasil
sumberdaya perikanan yang cukup tinggi, terutama udang dan kepiting. Data statistik perikanan tangkap
Provinsi Papua Barat tahun 2016 mencatat nilai produksi perikanan tangkap di Tabulate Sorong Selatan
dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data perikanan tangkap tahun 2014 sebanyak 351.742.671 (kg)
dan di tahun 2016 sebanyak 463.462.114 kg. Jumlah tangkapan yang semakin tinggi menimbulkan
kekhawatiran jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak buruk pada berbagai macam aspek, baik
secara ekologis, sosial maupun ekonomi di Kabupaten Sorong Selatan.
Aspek-aspek di atas menjadi pertimbangan dalam kegiatan survei perikanan di Kabupaten Sorong
Selatan. Hasil dan analisa kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat ketersedian data primer dan
sekunder terkait pemanfaatan sumber daya perikanan di Sorong Selatan. Diharapkan hasil survei
perikanan yang dilaksanakan dapat disinergikan dengan seluruh pemangku kepentingan untuk
mewujudkan strategi pengembangan perikanan di kabupaten Sorong Selatan.
4.2. Metode
4.2.1. Waktu dan Lokasi Pengambilan Data
Pengambilan data primer dan data sekunder perikanan di Kabupaten Sorong Selatan dilakukan
pada tanggal 13 Juli – 25 Juli 2017. Pengambilan data perikanan dilakukan di 7 distrik yang berada di
wilayah perairan Kabupaten Sorong Selatan yakni Saifi, Teminabuan, Konda, Yahadian, Metemani,
Inanwatan dan Kokoda yang terdiri dari 11 kampung yakni Botain, Konda, Wamargege, Sayolo, Kaibus,
Yahadian, Nusa, Mugim, Mugibi, Mate dan Tarof. Dibawah ini merupakan peta lokasi survei dan
beberapa tempat pendaratan ikan nelayan.
45
Gambar 4- 1 Peta pendaratan hasil tangkapan dan lokasi pengambilan data perikanan
4.2.2. Metode Pengambilan Data
Pengumpulan data dan informasi terkait sumber daya perikanan mengacu pada Protokol Baseline
Survei Perikanan Tangkap dan Budidaya yang disusun oleh Kelompok Fisheries Research and
Development WWF-Indonesia. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan beberapa metode yakni:
a. Diskusi kelompok terarah/Focus Group Discussion (FGD)
Melibatkan sekitar 6-10 atau lebih warga kampung untuk memperoleh informasi terkait
persepsi, sikap dan pengalaman yang dimiliki oleh informan berdasarkan diskusi bersama ditiap
kampung. Peserta FGD merupakan warga kampung tempat dilakukan survei.
b. Wawancara Informan Kunci/Key Informant Interview (KII)
Melibatkan sekitar enam sampai sepuluh orang responden. Peserta yang diwawancarai adalah
informan kunci dikampung seperti Nelayan, pengepul, kepala kampung dan beberapa tokoh
kunci informan lainnya yang dapat memberikan informasi terkait perikanan dikampung tersebut
c. Survei di lokasi pendaratan ikan (Fish Landing)
Memperoleh informasi langsung di lokasi pendaratan ikan yakni pada saat ada nelayan selesai
memancing dan melakukan pendaratan ikan di tempat pendaratan tersebut. Pengambilan data
dilakukan 10% dari jumlah armada yang dilakukan pada hari survei.
d. Survei kondisi sosial ekonomi perikanan
46
Memperoleh informasi terkait sosial ekonomi perikanan. Wawancara dilakukan berdasarkan 5%
dari jumlah rumah tangga perikanan di tiap kampung.
4.2.3. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif komprehensif untuk menghasilkan teks deskriptif.
Sedangkan analisis survei dilakukan secara kuantitatif berdasarkan pada masing-masing kondisi desa
atau kampung. Jenis data dan informasi yang coba dikumpulkan di Kabupaten Sorong Selatan meliputi
jenis ikan target, alat tangkap, aktivitas perikanan yang merusak, kondisi sosial ekonomi, armada
perikanan, variasi musim, rantai pemasaran ikan, dan lain-lain.
4.3. Hasil
4.3.1. Spesies Ikan Target
Hasil tangkapan yang mendominasi di perairan Kabupaten Sorong Selatan adalah udang dan
kepiting. Mayoritas nelayan Kabupaten Sorong Selatan menggunakan jaring insang tiga lapis (trammel
net) dalam penangkapan udang. Ekosistem hutan mangrove yang masih lebat dan pantai dengan dasar
substrat lumpur menjadikan wilayah perairan Sorong Selatan merupakan habitat yang sangat baik bagi
jenis udang dan kepiting serta beberapa jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis.
Mengacu pada informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan langsung di
lapangan berikut penjabaran target tangkapan:
Tabel 4- 1 Spesies target mayoritas nelayan Sorong Selatan
Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies
Udang Banana Udang jerbung Penaeidae Penaeus merguiensis
Udang ende Udang dogol Penaeidae Metapenaeus ensis
Udang tiger/udang windu Udang windu Penaeidae Penaeus monodon
Kepiting bakau/karaka Kepiting bakau Geryonidae Scylla oceanica
Jenis udang yang menjadi tangkapan utama nelayan di antaranya adalah udang banana/jerbung,
udang ende/dogol dan udang tiger/windu. Selain itu, kepiting bakau atau disebut juga karaka untuk
masyarakat lokal merupakan salah satu jenis target tangkapan utama nelayan dikarenakan nilai
ekonomisnya yang tinggi. Pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan Kabupaten Sorong Selatan
masih dilakukan dalam jarak maksimal 5 mil dari pantai dan muara sungai.
47
4.3.2. Alat Tangkap (Peta Alat Tangkap)
Nelayan Kabupaten Sorong Selatan melakukan penangkapan udang, kepiting, ikan kembung dan
ikan sembilang dengan berbagai jenis alat tangkap yang dapat dilihat pada Tabel 4-2.
Tabel 4- 2 Tipe alat tangkap nelayan di daerah pengamatan
Tipe Alat Tangkap
Nama Desa/Kampung
Sayolo Ampera Konda Wamargege Yahadian Mugim Nusa Mugibi Mate Tarof Botain
Handline v V V v v V V v v v v
Rawai Dasar v - - v v V V v - v v
Jaring insang kecil v V V v v V V v - v v
Jaring insang besar v V V V v V V V V V -
Tombak - - V - v - - - - - -
Bubu/perangkap - - - V v V - - V - -
Sero V - V V v V V - V V -
Dari informasi di atas secara umum alat tangkap yang digunakan oleh nelayan kabupaten Sorong
Selatan didominasi oleh jaring insang tiga lapis (trammel net), handline dan bubu/perangkap dengan
persentase paling tinggi masing-masing 49%, 19% dan 17%. Selain itu ada jaring insang besar, tombak
dan rawai dasar. Persentase alat tangkap tersebut dapat dilihat pada Gambar 4-2.
Gambar 4- 2 Presentase alat tangkap yang digunakan nelayan di lokasi pengamatan
48
Trammel net merupakan alat yang paling banyak digunakan oleh nelayan, yakni sekitar 49%.
Nelayan menggunakan trammel net sebagai alat tangkap utama untuk menjaring udang. Jenis alat
tangkap yang digunakan di setiap kampung yang dikunjungi hampir sebagian besar sama yaitu trammel
net, hal ini disebabkan target tangkapan utama nelayan adalah udang. Selain itu, ada beberapa kampung
yang sebagian nelayannya menggunakan alat tangkap bubu/perangkap untuk menangkap kepiting.
Tombak dan sero biasa digunakan juga untuk menangkap kepiting, hal ini dapat terlihat pada gambar
diatas yang menunjukkan adanya penggunaan tombak 3% dan sero 3%. Banyak nelayan yang
menggunakan handline sebagai alat tangkap sampingan namun setiap nelayan memiliki alat tangkap ini
walaupun dalam jumlah yang sedikit.
4.3.3. Aktivitas Perikanan yang Merusak
Kegiatan penangkapan ikan yang merusak di perairan Kabupaten Sorong Selatan yang masih
ditemukan adalah akar bore (Gambar 4-3). Akar bore atau biasa dikenal dengan tanaman tuba, yang
dalam bahasa ilmiah disebut Derris elliptica, merupakan jenis tumbuhan yang beracun bagi ikan dan
mengandungrotenone, sejenis racun kuat untuk ikan dan serangga. Akar bore tersebut harus ditumbuk
dan dicampur dengan air sebelum digunakan (Alamendah, 2010).
Gambar 4- 3 Akar bore atau Derris elliptica
Dari hasil wawancara, di setiap kampung yang dikunjungi masih ada beberapa nelayan yang
menggunakan akar bore. Menurut mereka, akar bore hanya membuat ikan yang ingin ditangkap
pingsan. Selain itu, Akar Bore sendiri sangat mudah didapat oleh nelayan dari hutan di Kabupaten
Sorong Selatan. Untungnya, tidak ditemukan adanya penggunaan alat tangkap yang merusak yang
digunakan oleh para nelayan di perairan Kabupaten Sorong Selatan.
49
4.3.4. Armada Perikanan
Perahu merupakan alat yang sangat penting dalam proses penangkapan. Jenis perahu yang
digunakan oleh para nelayan di 11 desa pun bervariasidi antaranya, perahu tanpa mesin, perahu dengan
menggunakan mesin luar dan mesin dalam. Data di bawah ini menjelaskan jenis-jenis armada perikanan
di 11 desa(Gambar 4-4).
Tidak Punya
8%
Mesin dalam
7%
Tanpa mesin
29%
Mesin luar
56%
Mesin dalam Mesin luar Tanpa mesin Tidak Punya
Gambar 4- 4 Jenis armada penangkapan di lokasi pengamatan
Nelayan di Kabupaten Sorong Selatan lebih banyak menggunakan perahu mesin luar dibandingkan
dengan perahu tanpa mesin maupun mesin dalam. Perahu tanpa mesin menunjukkan total 29%, perahu
mesin dalam sebanyak 7%, nelayan yang tidak memiliki perahu ada 8% dan yang paling dominan adalah
perahu yang menggunakan mesin luar yaitu sebanyak 56%. Gambar 4-5 dibawah menunjukkan jenisjenis
perahu yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Sorong Selatan
Gambar 4- 5 Jenis perahu yang digunakan oleh nelayan di Perairan Kabupaten Sorong Selatan (dari kanan ke kiri:
perahu dengan dayung, perahu mesin dalam, perahu mesin luar)
50
4.3.5. Lokasi Penangkapan Ikan
Daerah penangkapan ikan pada masing-masing distrik berbeda-beda karena lokasi penangkapan dari
satu distrik ke distrik yang lain cukup jauh (Lampiran; 6.1 ). Selain itu, jenis perahu dan mesin yang
digunakan oleh nelayan juga mempengaruhi daerah penangkapan. Daerah penangkapan ikan di perairan
Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Gambar 4-6.
Gambar 4- 6 Peta lokasi penangkapan ikan di Kabupaten Sorong Selatan
4.3.6. Variasi Musim Penangkapan
Secara umum, keadaan cuaca di Sorong Selatan dipengaruhi kondisi perairan utara Australia dan
perairan Samudera Pasifik walaupun kondisinya bervariasi tergantung pada topografi lokal. Musim
penangkapan udang sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca di daerah tersebut. Pada musim puncak
nelayan dapat melakukan penangkapan udang secara optimal, namun jumlah tangkapan udang di
musim paceklik dapat menurun drastis. Curah hujan tinggi dan angin yang bertiup kencang membuat
nelayan kesulitan melaut. Pada musim puncak nelayan dengan jaring trammel net di Kabupaten Sorong
Selatan dapat melakukan trip 23-25 trip/bulan; musim sedang 17-20 trip/bulan; dan pada musim
paceklik sebanyak 14-17 trip/bulan. Rata-rata total trip tiap armada penangkapan trammel net per
tahun sekitar 216-227 hari setiap tahunnya. Adapun rata-rata nelayan tidak melakukan penangkapan
dalam setahun sekitar 138-149 hari setiap tahunnya.
Nelayan yang menggunakan bubu atau perangkap bambu untuk menangkap kepiting bakau di
Kabupaten Sorong Selatan tidak terpengaruh oleh variasi musim. Rata-rata total trip tiap armada
51
penangkapan perangkap kepiting per tahun sekitar 240-250 hari. Adapun rata-rata nelayan perangkap
kepiting tidak melakukan penangkapan dalam setahun sekitar 115-125 hari. Kepiting dapat ditangkap
terus menerus sepanjang tahun karena di sepanjang sungai dipengaruhi air pasang dan surut. Meskipun
demikian, nelayan umumnya tidak melakukan penangkapan pada hari pelaksanaan ibadah yakni Sabtu
dan Minggu dan hari libur yang berhubungan dengan kegiatan agama. Aktivitas penangkapan kepiting
juga dipengaruhi kondisi alam (cuaca, angin, arus) yang tidak mendukung dan ketika ada kegiatan atau
musibah di kampung.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari kampung-kampung di Kabupaten Sorong Selatan sebanyak
95% responden menyatakan ada variasi musim penangkapan udang dan sisanya menyatakan tidak ada
variasi musim penangkapan udang. Musim variasi udang terjadi dua kali pada musim puncak, yaitu pada
musim angin selatan dan musim angin barat. Musim penangkapan udang di kampung-kampung wilayah
Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Tabel 4-3.
Tabel 4- 3 Musim penangkapan udang di lokasi pengamatan
Village Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Sayolo
Ampera
Wamargege
Konda
Yahadian
Mugim
Nusa
Mate
Mugibi
Tarof
Botain
Musim puncak
Musim paceklik
Kampung Sayolo, Ampera, Wamargege, Konda, Yahadian, Mugim, Nusa dan Botain mengalami
musim paceklik di bulan Januari, Februari, Juni, Juli, September dan Desember. Responden menyatakan
bahwa cuaca buruk merupakan masalah utama dalam melakukan aktivitas penangkapan. Di sisi lain,
musim puncak biasanya terjadi pada bulan Maret, April, dan Agustus. Responden menyatakan musim
52
puncak terjadi selama angin musim barat (Maret, April, dan Agustus), nelayan melakukan aktivitas
penangkapan di daerah muara Sungai Warungae. Di Kampung Mate, Mugibi dan Tarof musim puncak
terjadi di bulan Mei dan Agustus sedangkan musim paceklik terjadi dibulan Januari, Februari, Juni, Juli,
September dan Desember.
4.3.7. Tren Perikanan dalam Lima Tahun
Berdasarkan wawancara dengan nelayan lokal, ada tren peningkatan penangkapan ikan di wilayah
perairan Kabupaten Sorong Selatan. Sebanyak 73% responden menyatakan selama kurun waktu 5 tahun
terakhir produksi perikanan tangkap khususnya udang mengalami peningkatan. Besar kemungkinan
kondisi ini dipengaruhi oleh aturan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melarang alat tangkap
pukat dan sejenisnya. Faktor perkembangan teknologi armada penangkapan ikan (mesin perahu dan
alat tangkap) ikut mempengaruhi peningkatan hasil tangkapan udang dan kepiting di perairan
Kabupaten Sorong Selatan. Teknologi perahu dan kapal telah berkembang secara signifikan. Nelayan
telah beralih dari perahu tanpa motor (dayung dan layar) ke perahu mesin tempel (katinting dan
jhonson). Adanya bantuan perahu berbahan fiber dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sorong
Selatan membuat nelayan menggunakan perahu fiber dalam melakukan aktivitas penangkapan.
Nelayan awalnya menangkap udang menggunakan pancing, kemudian masuknya nelayan dari
Sulawesi (Bugis dan Buton) yang menangkap udang dengan jaring membuat nelayan lokal mengadopsi
alat tangkap jaring untuk menangkap udang. Sedangkan nelayan kepiting bakau awalnya menangkap
dengan menggunakan alat tangkap tombak. Adanya pengenalan alat tangkap dari luar membuat
sebagian nelayan kepiting menangkap kepiting dengan bubu/perangkap.
Perairan Kabupaten Sorong selatan masuk ke dalam area Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715,
dimana potensi udang pada tahun 2015 di WPP 715 sebesar 6.089 ton per tahun (Komnas Kajiskan
2016). Jenis udang banana (jerbung) diketahui merupakan jenis udang yang paling dominan tertangkap.
Berdasarkan data estimasi pendaratan udang di Kabupaten Sorong Selatan, produksi udang di tahun
2015 sebesar 1.386,35 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 22,78%. Persentase ini menunjukkan
pemanfaatan udang masih bisa untuk dioptimalkan dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini dapat dilihat
dari produksi udang tahun 2006 berdasarkan data DKP Kabupaten Sorong Selatan sebesar 800 ton. Tren
pemanfaatan udang meningkat sebesar 73% dari tahun 2006 ke tahun 2015. Hasil survei cepat ini
menunjukkan Catch per Unit Effort (CPUE) udang yang ditangkap oleh nelayan Kabupaten Sorong
Selatan sebesar (16,34+2,64) = 18,98 kg/trip. Bawole et al., (2008) menyatakan jumlah hasil tangkapan
udang sangat dipengaruhi oleh periode pasang surut, gelombang yang berhubungan dengan musim di
daerahperairan Kabupaten Sorong Selatan sampai Teluk Bintuni (musim selatan dan barat) serta
kepemilikan alat tangkap.
Sektor perikanan tangkap di wilayah Kabupaten Sorong Selatan berkembang cukup pesat. Perhatian
pemerintah daerah dengan pemberian bantuan berupa perahu, mesin, dan alat tangkap menjadikan
nelayan bisa bersaing dengan nelayan andon (pendatang) yang menangkap di perairan Kabupaten
Sorong Selatan. Tren perikanan juga meningkat walaupun baru terbatas pada komoditas
udang.Pemanfaatan komoditas ikan di perairan Kabupaten Sorong Selatan sayangnya masih tertinggal
53
dari pemanfaatan udang. Tidak tersedianya aktor pemasaran ikan menjadi penyebab pemanfaatan
komoditas ikan belum berjalan dan berkembang dengan baik.
4.3.8. Pendaratan Ikan
Dari hasil survei, nelayan melakukan pendaratan udang dan kepiting di dua tempat yakni di
kampung tempat mereka tinggal dan di kamp yang merupakan tempat tinggal sementara nelayan yang
sekaligus dijadikan sebagai pusat pendaratan udang dan kepiting. Udang merupakan hasil tangkapan
yang paling dominan didaratkan oleh nelayan. Banyaknya pengepul udang di wilayah perairan menjadi
faktor utama banyaknya nelayan udang. Terdapat 4 jenis udang yang ditangkap nelayan menggunakan
jaring trammel net yaitu udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang windu (Penaeus monodon), udang
dogol (Metapenaeus monoceros), dan udang ronggeng/mantis (Gonodactylus sp.). Jenis udang yang
dominan tertangkap adalah udang jerbung/banana (Penaeus merguiensis). Jenis komoditas perikanan
yang didaratkan di perairan Kabupaten Sorong Selatan dapat dilihat pada Gambar 4-7, Gambar 4-8, dan
Gambar 4-9.
a) Udang banana/jerbung (Penaeus merguinsis) b) Udang windu (Penaeus monodon)
c) Udang dogol (Metapenaeus ensis) d) Udang ronggeng/mantis (Gonodactylus sp.)
Gambar 4- 7 Spesies udang target nelayan Sorong Selatan
54
Gambar 4- 8 Salah satu jenis kepiting target tangkapan nelayan Sorong Selatan
a) Ikan lidah pasir (Cynoglossus bilineatus) b)Mangiwang/hiu (Carcharhinus leucas)
c) Pari kodok(Dasyatis Kuhlii) d) Pari (Rhinobatos sp.)
Gambar 4- 9 Hasil tangkapan sampingan (bycatch) nelayan Sorong Selatan
Hasil tangkapan jaring trammel net tidak hanya jenis udang, tetapi terdapat hasil tangkapan
sampingan (bycatch). Bycatch trammel net yang dominan di perairan Kabupaten Sorong selatan adalah
ikan kembung (Rastrelliger sp.), sembilang (Plotosus lineatus), kakap putih (Lates calcarifer), hiu
(Carcharhinus sp.), pari (Dasyatis sp.), baronang (Siganus sp.), ikan sebelah (Cynoglossus sp.), dan
55
kepiting bakau (Scylla sp.). Tangkapan nelayan yang didaratkan meliputi jenis-jenis yang terdapat pada
Tabel 4-4.
Tabel 4- 4 Hasil pengamatan di lokasi pendarata ikan Kabupaten Sorong Selatan
Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies
Udang Banana Udang Jerbung Penaeidae Penaeus merguiensis
Udang ende Udang dogol Penaeidae Metapenaeus ensis
Udang tiger
Karaka
Udang windu
Kepiting bakau
Penaeidae
Geryonidae
Penaeus monodon
Scylla oceanica
Ikan sembilang/ lele Manyung Clariidae Clarias sp.
Ikan lidah pasir
Ikan lidah/ilat-ilat/
Fourlined tonguesole
Cynoglossidae
Cynoglossus bilineatus
Mangiwang Hiu Carcharhinidae Carcharhinus leucas
Pari kodok Ikan Pari Dasyatidae Dasyatis kuhlii
Pari Ikan Pari Rhinobatidae Rhinobatos sp.
Ikan Tawar Kakap Putih Latidae Lates calcalifer
Udang Mantis/
Udang Mantis Gonodactylidae Gonodactylus smithii
Udang Lopis
Udang Mantis/
Udang Mantis Gonodactylidae Gonodactylus chiragra
Udang Lopis
Lema Kembung Scombridae Rastrelliger sp.
Bubara Kuwe Carangidae Caranx sp.
Samandar Baronang Siganidae Siganus sp.
Berdasarkan pengambilan data lapangan sebanyak 11 pendaratan di seluruh lokasi survei,
didapatkan kompilasi data hasil tangkapan nelayan dalam satu kali trip yang menggunakan jaring
trammel net seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4-10.
56
Dasyatis sp.
3%
Cynoglossus sp.
5%
Siganus sp.
5%
Scylla sp.
3%
Penaeus
merguiensis
29%
Lates calcarifer
16%
Carcharhinus sp.
7%
Rastrelliger sp.
17%
0%
Penaeus monodon
3%
Metapenaeus ensis
Plotosus lineatus
5%
Gonodactylus sp
2%
Gambar 4- 10 Komposisi hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap trammel net
Udang jerbung (Penaeus murgensis) merupakan hasil tangkapan dominan yaitu 12,56 kg (29%) dari
keseluruhan hasil tangkapan menggunakan jaring trammel net. Kakap putih (Lates calcalifer) dan
kembung (Rastrelliger sp.) merupakan bycatch dominan yang tertangkap jaring trammel net di perairan
Kabupaten Sorong Selatan. Udang jerbung yang tertangkap memiliki panjang yang berbeda-beda seperti
yang dapat dilihat pada Gambar 4-11.
Lc : 33,5
mm
Gambar 4- 11 Sebaran panjang udang jerbung yang tertangkap di perairan Kabupaten Sorong
Selatan
Kisaran udang jerbung yang tertangkap di perairan Kabupaten Sorong Selatan memiliki panjang
karapas 28,45 – 49,6 mm. Analisis panjang udang jerbung pertama kali tertangkap atau length at first
capture (Lc) adalah 33,5 mm. Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa nilai Lc tersebut memiliki arti
untuk sumberdaya ikan dan udang yang mempunyai ukuran panjang di bawah nilai Lc akan dibiarkan
lolossupaya dapat berkembang menjadi dewasa dan membesar. Perkembangan tersebut bergantung
pada banyak faktor, antara lain suhu optimum dan ketersediaan sumber makanan. Ongkers (2006)
menyatakan bahwa setiap jenis ikan mempunyai suhu optimum yang berbeda untuk pertumbuhan dan
57
perkembangannya. Namun setidaknya, ikan di bawah nilai Lc diberikan kesempatan untuk tumbuh lagi,
sehingga akan tertangkap pada ukuran yang ideal. Udang jerbung di perairan Kabupaten Teluk Bintuni
(Kabupaten terdekat dari Kabupaten Sorong Selatan) pertama kali matang gonad pada kisaran panjang
33,87 mm (Sumiono, 1983). Sekitar 62,7% udang jerbung hasil tangkapan nelayan yang menggunakan
trammel net di Kabupaten Sorong Selatan tertangkap sudah dalam kondisi matang gonad.
4.3.9. Sistem Usaha Perikanan di Kabupaten Sorong Selatan
4.3.9.1. Harga
Udang dan kepiting merupakan komoditas utama perikanan tangkap di Kabupaten Sorong
Selatan. Tingginya produksi membuat komoditas udang dan kepiting mempunyai perbedaan harga di
setiap distrik. Perbedaan harga dipengaruhi oleh banyaknya penampung disetiap distrik dan akses
menuju ke distrik tersebut. Daftar harga udang dan kepiting di setiap kampung dapat dilihat pada Tabel
4-5.
Tabel 4- 5 Harga udang dan kepiting di Kabupaten Sorong Selatan
Harga
No
Distrik
Udang/kg
Kepiting/kg
5 up 3 up 2 up Bs
1 Teminabuan 95.000 50.000 35.000 25.000 15.000
2 Konda 70.000
3 Kais 60.000
Tidak ada klasifikasi berat
4 Metemani 65.000 30.000 30.000 30.000
5 Inanwatan 60.000
6 Kokoda 45.000
no weight classification
7 Saifi 70.000
Harga yang dibeli penampung dari nelayan disetiap distrik memiliki perbedaan. Harga udang yang
dibeli dari nelayan tidak dibagi sesuai ukuran melainkan digabung semua untuk ditimban. Harga udang
dibeli dengan harga paling tinggi yakni Rp 95.000,-/kg di distrik Teminabuan sedangkan yang terendah di
distrik Kokoda dengan harga Rp 45.000,-/kg.
58
Harga kepiting disortir dalam 2 cara, yaitu berdasarkan berat; 5 up untuk berat lebih dari 500
gram, 3 up untuk berat lebih dari 300 gram, 2 up untuk berat lebih dari 200 gram dan Bs (Biasa) untuk
berat kurang dari 200 gram dan kualitas kepiting kurang baik; dan berdasarkan jumlah kepiting.
Salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan harga ini yakni jarak tempuh, transportasi menuju
ke Ibukota Kabupaten Sorong Selatan dan banyaknya penampung yang ada di tiap distrik tersebut.
Semakin jauh jarak tempuh ke Ibukota Kabupaten Sorong Selatan maka harga yang diambil oleh nelayan
semakin rendah dan semakin banyak penampung di satu kampung maka harga udang yang dibeli oleh
nelayan semakin tinggi. Selain itu nilai jual udang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya permintaan
dari luar negeri yang menjadikan ekspor udang sebagai penghasil devisa terbesar di bidang perikanan
(Tritondo N. Lestari, 2008)
4.3.9.2. Produksi
Produksi perikanan, khususnya udang dan kepiting, di Kabupaten Sorong Selatan mencapai
8.594.127 kg pada tahun 2016 dengan total produksi udang sebesar 6.035.376 kg dan kepiting 2.558.751
(Data Statistik Perikanan 2016, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat). Dari hasil survei,
didapatkan hasil produksi udang dari bulan Januari 2017 sampai Juli 2017 di salah satu penampung yang
berada di kampung Wamargege yang dapat dilihat pada Gambar 4-12.
Produksi Udang
5.934,64
6.424,10 6.694,64 6.478,80 6.433,20
3.837,70
Januari Februari Maret April Mei Juni
Gambar 4- 12 Produksi udang di salah satu penampung, Kampung Wamargege periode Januari-Juni 2017 dalam
satuan kilogram (kg)
Produksi udang selama 6 bulan tahun 2017 tertinggi pada bulan Maret sebesar 6.694,64 kg dan
terendah pada bulan Juni sebesar 3.837,7 kg. Total produksi keseluruhan selama 6 bulan sebesar
35.803,08 kg. Untuk rata-rata produksi udang per hari yang diproduksi oleh setiap nelayannya sebesar
19,79 kg.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya produksi udang adalah tersedianya pembeli udang
tetap dengan pembelian harga yang cukup tinggi dari nelayan sehingga nelayan terus menerus
melakukan penangkapan udang. Selain itu, komoditas udang merupakan komoditas unggulan yang
59
paling diminati karena memiliki kandungan gizi yang tinggi, nilai ekonomi tinggi dan mempunyai peluang
pasar yang baik di dalam maupun luar negeri (Aristiyani Ririn, 2017)
4.3.9.3. Bisnis Perikanan
Sistem bisnis perikanan di perairan Kabupaten Sorong Selatan tergantung pada keberadaan
pengepul disetiap kampung. Sekitar 86% bisnis perikanan di Kabupaten Sorong Selatan adalah udang
dan 14% adalah kepiting. Hal ini karena di setiap kampung yang dikunjungi, pengepul udang hampir
selalu ada. Tingginya harga udang juga mempengaruhi tingginya bisnis udang di Kabupaten Sorong
Selatan sehingga nelayan juga ikut menargetkan udang sebagai tangkapan utama. Untuk jenis ikan lain
seperti ikan sembilang/lele laut, sistem penjualannya hanya di pasar lokal saja atau menjadi konsumsi
pribadi nelayan. Tidak adanya pengepul membuat nelayan jarang menargetkan ikan sembilang atau ikan
air tawar lainnya sebagai tangkapan utama. Jumlah pengepul di Kabupaten Sorong Selatan berdasarkan
komoditasnya dapat dilihat pada Tabel 4-6.
Tabel 4- 6 Jumlah pengepul di Kabupaten Sorong Selatan
No
Distrik
Pengepul
Udang
Kepiting
1 Teminabuan 3 3
2 Konda 9
3 Kais 3
Tidak ada
pengepul
4 Metemani 4 1
5 Inanwatan 3
6 Kokoda 1
Tidak ada
pengepul
7 Saifi 1
Total 24 4
Persentase 86% 14%
4.3.9.4. Rantai Pemasaran
Rantai pemasaran di Kabupaten Sorong Selatan terbagi dalam 2 komoditas, yakni komoditas
udang dan komoditas kepiting. Ilustrasi alur rantai pemasaran udang terdapat pada Gambar 4-13.
Sistem rantai pemasaran udang diawali dari nelayan yang menjual udang ke penampung tingkat
kampung yang memiliki mini coldstorage dan perahu penampung berupa perahu jolor yang parkir di
60
area dermaga. Udang dengan kualitas tidak bagus atau memiliki ukuran kecil ada yang dibeli oleh
penampung namun ada juga yang tidak dibeli. Udang yang dibeli oleh penampung di tingkat kampung
akan dibawa ke ibukota Kabupaten Sorong Selatan yakni Teminabuan dengan menggunakan 2 jalur
transportasi, yaitu; 1) Transportasi laut yakni perahu Jolor, 2) Transportasi darat langsung menuju ke
Kota Sorong.
Udang yang dibawa ke Sorong akan dimasukkan ke Perusahaan yang siap melakukan pengepakan
dan dikirim dengan menggunakan transportasi kapal laut ke Surabaya. Di Surabaya sudah ada
perusahaan dari grup yang berada di Sorong yakni Indocom Grup yang selanjutkan akan mengekspor
udang ke Pasar Asia dan Eropa. Sedangkan untuk rantai pemasaran komoditas kepiting dapat dilihat
pada Gambar 4-14.
Gambar 4-14 menjelaskan pembeli kepiting sebagian besar berada di ibukota Kabupaten yakni
Teminabuan. Nelayan di kampung yang aksesnya jauh menuju Teminabuan akan mengumpulkan hasil
tangkapannya lebih dulu sekitar 5 sampai 7 hari dan membawa semua hasil tangkapan ke Teminabuan
untuk dijual ke penampung. Ada juga penampung yang menetap di kampung untuk membawa hasil
tangkapan nelayan menuju ke Teminabuan. Di Teminabuan, kepiting dengan kualitas bagus akan
dilanjutkan proses penjualannya ke pengepul di Kota Sorong dan dari Kota Sorong ada yang dijual lokal
dan ada yang dikirim ke Makassar dan Surabaya menggunakan pesawat.
61
Gambar 4- 13 Rantai pemasaran udang di Kabupaten Sorong Selatan
62
Gambar 4- 14 Rantai pemasaran kepiting di Kabupaten Sorong Selatan
63
4.4. Referensi
Alamendah, 2010. Alamendah's Blog. [Online]
Available at: https://alamendah.org
[Accessed 6 September 2017].
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat, 2016. D (R.Bawole., 2008) Data Statistik
Perikanan Tangkap Tahun 2016. Manokwari : DKP Propinsi Papua Barat
Gunaisah, E., 2008. Sumber daya Udang Penaeid dan Prospek Pengembangannya di Kabupaten Sorong
Selatan Provinsi Irian Jaya Barat. Bogor: s.n.
Kalther, J., 2010. www.hendrasurianta.wordpress.com. [Online]
Available at: https://hendrasurianta.wordpress.com
[Accessed 06 09 2017].
Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2016. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 47/KEPMEN-KP/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan
dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia. Jakarta (ID): Kementrian Kelautan dan Perikanan.
O.T.S, O., 2006. Pemantauan Terhadap Parameter Populasi Ikan Teri Merah Encrasicholina hetereloba di
Teluk Ambon Bagian Dalam. Bogor: Masyarakat Ikhtiologi Indonesia kerjasama dengan Loka Riset
Pemacuan Stok Ikan, PRPT-DKP, Departemen MSP-IPB dan Puslit Biologi LIPI.
R.Bawole., F. W. Y. A. M. T., 2008. Sumber daya Perikanan Teluk Bintuni; Potensi, Masalah dan Upaya
Pengelolaan.. Manado, Dinas Kelautan dan perikanan Kota Manado, pp. 823-838.
Sparre, P., dan Venema, S.C. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I Manual. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Sumiono, B. 1983. Size on maturity and the sex ration of banana shrimp (Penaeus merguiensis de Man)
in the Bintuni Bay, Irian Jaya. Marine Fisheries Research Report 29: 41-46.
64
V. PEMANFAATAN DAN TATA KELOLA SUMBER DAYA LAUT
5.1. Pendahuluan
Salah satu sektor yang mampu meningkatan sumber pendapatan asli daerah Kabupaten Sorong
Selatan adalah perikanan. Produksi perikanan dan hasil sumber daya laut telah mengalami kenaikan
pada tiap tahunnya, yaitu 12.242,8 ton (2010) menjadi 15.386 ton (2015) (Statistik Perikanan Papua
Barat, 2016). Salah satu dukungan pemerintah terhadap pelaku industri perikanan di Kabupaten
Sorong Selatan yaitu berupa implementasi bentuk kebijakan yang mengatur produktivitas dan nilai
tambah produk hasil laut.
Namun, maraknya pemanfaatan perikanan dan sumber daya laut di Kabupaten Sorong Selatan
berpotensi menyebabkan berbagai ancaman baik dari segi ekologi maupun sosial, seperti; 1)
menurunnya hasil tangkapan ikan, 2) lokasi penangkapan yang semakin bertambah jauh, dan 3)
lahirnya konflik antar masyarakat terkait lokasi pemanfaatan sumber daya laut. Kondisi tersebut
diperburuk oleh jumlah masyarakat pesisir yang semakin bertambah. Pengalihan fungsi lahan untuk
pemukiman dan bertambahnya aktivitas pembangunan dapat mereduksi norma-norma adat yang
berpengaruh terhadap entitas budaya masyarakat adat pesisir Kabupaten Sorong Selatan.
Atas dasar itulah pengaturan wilayah pemanfaatan laut dan pesisir perlu dilakukan, untuk
menjaga ketersediaan hasil laut dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat disekitarnya. Aspek sosial
budaya, kelembagaan, norma masyarakat dan adat diharapkan juga dapat terakomodasi melalui
pengaturan wilayah pemanfaatan laut didalam calon kawasan konservasi perairan Kabupaten
Sorong Selatan. Oleh karena itu, untuk mengawali tahapan usulan kawasan konservasi, dilakukan
survei data dasar potensi sumber daya laut dan perikanan dengan mengidentifikasi aspek penting
sosial dan budaya masyarakat pesisir dan pola pemanfaaatan ruang laut yang ada di Kabupaten
Sorong Selatan.
5.2. Metode
Proses pengumpulan data dilakukan di 11 kampung sampel di Kabupaten Sorong Selatan dari
tanggal 13 sampai 24 Juli 2017 (Tabel 5-1). Kampung sampel dipilih berdasarkan ada atau tidaknya
aktivitas perikanan. Sebagian besar kampung sampel juga merupakan tempat tinggal nelayan yang
mencari ikan disekitar perairan Kabupaten Sorong Selatan.
Tabel 5- 1 Lokasi pengamatan aktivitas pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut
No. Distrik Kampung
1. Teminabuan Kampung Sayolo
Kelurahan Kaibus
2. Konda Kampung Konda
Kampung Wamargege
3. Kais Kampung Yahadian
65
4. Metamani Kampung Mugim
Kampung Nusa
5. Inanwatan Kampung Mugibi
Kampung Mate
6. Kokoda Kampung Tarof
7. Saifi Kampung Botain
Pengambilan data tiap kampung dilakukan selama dua hari. Metode yang digunakan adalah
diskusi kelompok terarah (FGD) dan wawancara informan kunci (KII). Peserta diskusi kelompok
terarah terdiri dari perwakilan tiap kelompok masyarakat—baik nelayan atau pun bukan nelayan—
yang sering melakukan aktivitas pemanfaatan sumber daya laut dan juga perikanan. Tujuan dari
adanya diskusi ini adalah untuk mengetahui pola pemanfaatan yang ada di Kabupaten Sorong
Selatan. Proses FGD mengacu pada Protokol Survei Cepat Kondisi Habitat Pesisir, Sosial dan
Pemanfaatan Sumber daya Laut yang disusun oleh WWF Indoensia.
Sementara itu, wawancara informan kunci dilakukan untuk menggali informasi lebih dalam
mengenai isu-isu hasil diskusi kelompok terarah. Informan kuci yang menjadi target wawancara di
antaranya adalah tokoh adat (terdiri dari kepala suku dan perwakilan marga besar), tokoh
masyarakat (terdiri dari pemuda, panutan, dan ibu-ibu), nelayan (tangkap, pengepul, dan bameti),
aparat kampung (terdiri dari kepala kampung dan kepala Bamuskam) serta kelompok/komunitas
lokal (terdiri dari POKMASWAS, komunitas nelayan tangkap dan pengepul). Traget informan kunci di
setiap kampung minimal 2 orang.
Terdapat beberapa parameter yang diamati untuk mengetahui gambaran umum pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya laut di antaranya adalah; 1) aturan mengenai pemanfaatan sumber
daya laut, 2) kelompok pemanfaatan sumber daya laut, 3) pengambilan keputusan, 4) konflik yang
ada di masyarakat, dan 5) peran masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya lautnya.
5.3. Hasil
Berbagai norma adat yang mengatur interaksi manusia dengan alam masih menjadi kepercayaan
yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat adat di wilayah Kab. Sorong Selatan. Sistem
kepercayaan tersebut masih menjadi pedoman hingga saat ini. Khususnya masyarakat adat yang
bermukim di wilayah pesisir, yang mana sangat bergantung pada potensi sumber daya perikanan.
5.3.1. Peraturan untuk Pengelolaan Sumber Daya Laut
Arah kebijakan dan strategi pengelolaan pada penataan ruang Kabupaten Sorong Selatan
menitikberatkan pada pemanfatan kawasan lindung sesuai dengan fungsinya, terutama dalam
memberi ruang perlindungan terhadap keanekaragaman flora fauna dan ekosistemnya. Hal tersebut
yang menjadi landasan pengembangan wilayah sejalan dengan prioritas pembangunan di Kabupaten
66
Sorong Selatan dimana salah satu prioritasnya adalah peningkatan pengelolaan sumber daya alam
untuk menambah pendapatan daerah dan kemakmuran rakyat.
Saat ini regulasi dan kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan masih mengacu pada
Peraturan Daerah Kab. Sorong Selatan No. 11 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab.
Sorong Selatan. Dokumen RTRW tersebut telah direvisi pada tahun 2011 untuk pedoman hingga
tahun 2031. Selain itu, kebijakan daerah yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah-RPJMD 2016-2021 telah disepakati dan masih dalam tahapan advokasi untuk
menjadi Perda. Provinsi Papua Barat juga telah menjadikan perairan Kab. Sorong Selatan menjadi
Kawasan Strategis Perikanan khususnya udang dan pelagis kecil.
Kabupaten Sorong Selatan sedang melakukan proses peralihan kewenangan dari tingkat
kabupaten ke tingkat provinsi, sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014. Namun demikian, hal ini masih
belum diimplementasikan dengan baik dikarenakan skema pengelolaan Pemerintah Daerah di
tingkat provinsi terhadap pemanfaatan sumber daya lingkungan belum disosialisasikan secara
menyeluruh. Oleh karena itu, mekanisme perizinan aktivitas penangkapan di kabupaten mengalami
kendala akibat proses pengalihan pada tingkat provinsi.
Di Kabupaten Sorong Selatan belum ada kebijakan yang mengatur pemanfaatan sumber daya
laut (SDL). Namun kebijakan terhadap perlindungan wilayah hutan telah ada dan tertuang dalam
Dokumen Peruntukan Lahan Provinsi Papua Barat. Dokumen tersebut mengalokasikan Wilayah
Distrik Kais, Distrik Metamani, Distrik Inanwatan dan Distrik Kokoda masuk dalam kategori Hutan
Lindung, dimana kawasan Hutan Lindung tersebut merupakan wilayah mangrove dan perairan
sungai. Saat ini pemerintah Kab. Sorong Selatan juga belum mengidentifikasi wilayah pesisir yang
potensial untuk dilindungi. Namun, pemerintah kabupaten melalui Dinas Perikanan Kab. Sorong
Selatan telah berkomitmen untuk membangun dan menginisasi Kawasan Konservasi Perairan.
Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan menargetkan sektor perikanan sebagai sektor
unggulan yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Dinas Kelautan dan Perikanan,
menganggarkan program perencanaan yang cukup penting bagi pengembangan perikanan. Program
tersebut terdiri dari; a) peningkatan taraf hidup masyarakat pesisir, b) penyiapan lahan budidaya, c)
pemenuhan infrastruktur perikanan, dan d) pemberian bantuan operasional kepada nelayan
potensial.
Pemerintah daerah juga telah berperan dalam pemenuhan kebutuhan terkait isu pemanfaatan
sumber daya laut, seperti pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS),
penyediaan sarana pemasaran, mempermudah akses pasar, dan penyediaan sarana pembenihan
ikan. Perhatian terhadap peningkatan Sumber daya manusia juga masih terus ditingkatkan melalui
pelatihan, sosialisasi atau penyuluhan terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut. Sejak
tahun 2016 hingga tahun 2017 peningkatan kapasitas SDM tersebut masih tetap dilakukan seperti
pelatihan pengolahan hasil perikanan, teknik budidaya, perbaikan mesin perahu dan pembuatan
pakan ikan.
67
5.3.1.1. Hak Ulayat
Pemanfaatan sumber daya laut Kab. Sorong Selatan tidak lepas dari kerangka Hukum Adat yang
berlaku. Wilayah pesisir terutama ekosistem mangrove dan daerah perairan sekitarnya merupakan
hak klaim kepemilikan atau biasa dikenal dengan Hak Ulayat oleh marga tertentu. Sehingga, untuk
mengakses potensi sumber daya alam diwilayah tersebut, pengguna sumber daya seharusnya telah
memperoleh izin dari pemilik hak ulayat setempat. Biasanya, hak ulayat melekat atau diberikan oleh
marga besar asli Papua yang telah lama menguasai tempat tersebut.
Mayoritas masyarakat di Kampung Konda dan Wamargege adalah Suku Yaben, Suku Nagna dan
Suku Apsia. Masing-masing suku tersebut memiliki hak ulayat di wiayah hukum adat yang mengatur
interaksi sosial dan lingkungannya terutama interaksi dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Pemanfaatan potensi sumber daya laut di wilayah perairan Kampung Konda dan Wamargege harus
meminta izin secara lisan jika akan melakukan aktivitas tersebut tidak berlangsung lama dan tidak
menetap. Namun jika pemanfaatannya berlangsung lama dan menetap, sistem perizinannya harus
secara tertulis.
Sebagian besar masyarakat Kampung Botain Distrik Saifi merupakan Suku Yaben dimana wilayah
tersebut dikuasai oleh marga besar Ajamsaru, Saru, Saminya, Kasminya dan Oliminya. Sama halnya
di Kampung Konda dan Wamargege, pemanfaatan potensi sumber daya alam laut terutama
perikanan harus memperoleh izin lisan atau tertulis untuk jenis pemanfaatan kriteria tertentu.
Namun, ada beberapa aktivitas yang telah dilarang oleh masyarakat adat Suku Yaben di Kampung
Botain, contohnya yaitu perburuan hewan kus-kus pada wilayah ekosistem mangrove sekitar wilayah
hak ulayat Suku Yaben. Hal tersebut telah disepakati oleh Dewan Adat sejak tahun 2012.
Sebagian besar masyarakat Kampung Yahadian Distrik Kais termasuk dalam Suku Nerigo. Suku
tersebut terdiri dari marga besar Genuni, Regori, Hahar, Betobahar dan Yaben. Wilayah ulayat Suku
Nerigo mencakup sebagian besar wilayah hutan mangrove dan perairan laut di sekitar Distrik Kais.
Wilayah sebelah timur membatasi Distrik Inanwatan yang dibatasi oleh Sungai Yahadian. Sedangkan
pada bagian barat membatasi Distrik Konda dibatasi oleh sungai Kais.
Masyarakat Kampung Tarof Distrik Kokoda merupakan Suku Emiyode. Batas-batas ulayat
dibagian timur hingga masuk dalam wilayah Kabupaten Teluk Bintuni yang termasuk wilayah adat di
Sungai Kamundan dan Tanjung Kara-kara. Sedangkan pada wilayah barat wilayah adat Suku Emiyode
hingga Tanjung Lampu. Wilayah perairan disekitar mangrove merupakan daerah yang telah
dimanfaatkan secara turun temurun dan menjadi wilayah pemanfaatan tradisional oleh Suku
Emiyode.
5.3.1.2. Hak Penggunaan
Wilayah pesisir Kabupaten Sorong Selatan telah ditetapkan sebagai wilayah hutan mangrove
oleh Pemerintah Provinsi. Fungsi kawasan hutan mangrove yang ada di Kabupaten Sorong Selatan
terdiri dari; 1) Hutan produksi yang mencakup Distrik Saifi dan Konda, 2) Hutan Lindung yang
mencakup Distrik Kais, Metamani dan Kokoda, dan 3) Hutan Produksi Terbatas yang mencakup
Distrik Inanwatan dan Metamani.
68
Pemanfaatan hutan sebagai daerah perkebunan sawit terletak di Distrik Kais Metamani dan
Kokoda. Beberapa wilayah pesisir seperti Distrik Saifi dan Kais telah telah ditargetkan menjadi lokasi
eksplorasi Minyak dan Gas. Tahun 2013 pengeboran dilakukan di Tanjung Suabor Distrik Kais yang
merupakan Blok Eksplorasi seluas 7.176 km2 di Salawati Basin Papua Barat. Sedangkan untuk
wilayah Kokoda masih dalam tahap operasi seismik yang telah mendapat persetujuan dari Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas). Wilayah konsesi migas yang aktif di
perairan Kab. Sorong Selatan teridentifikasi menjadi dua lokasi yaitu Blok Kasuari dan Blok Berau
(Kemeterian ESDM, 2016).
5.3.1.3. Hak Akses Pengelolaan
Seluruh masyarakat nelayan kampung target survei 11 (kampung) memanfaatakan potensi
perikanan terutama udang dan 10 kampung dari 11 kampung target survei memanfaatkan potensi
perikanan kepiting. Masing-masing nelayan memilki wilayah tangkap di perairan dekat kampung
yang merupakan wilayah hak ulayat mereka. Sebagian besar (40 %) wilayah tangkap tersebut
merupakan wilayah ulayat Suku Yaben, Suku Nerigo (20 %), Suku Inanwatan dan Metamani (15 %)
dan Suku Emiyode (25 %).
Hak Terhadap Wilayah Laut
Suku Metamani &
Inanwatan
15%
Suku Emiyode
25%
Suku Nerigo
20%
Suku Yaben
40%
Gambar 5- 1 Hak ulayat laut dari suku-suku yang berada di Sorong Selatan
Jika salah satu suku akan memanfaatkan potensi sumber daya laut dalam hal ini perikanan harus
memperoleh izin lisan kepada pemilik hak ulayat. Terdapat sekitar 10% nelayan pengguna sumber
daya laut yang merupakan masyarakat pendatang berasal dari Suku Makassar dan Bugis. Nelayan
pendatang bermukim di Distrik Teminabuan, Kampung Wamargege Distrik Konda dan Kampung
Botain Distrik Saifi ketika akan melakukan aktivitas pemanfaatan sumber daya laut harus
memperoleh izin dari pemilik ulayat dengan membayar sejumlah uang dengan kisaran Rp. 500.000–
Rp 1.500.000/bulan/nelayan.
5.3.2. Pemanfaatan Langsung dan Tidak Langsung
Sebagian besar pemanfaatansumber daya laut di wilayah kampung target survei dilakukan
oleh nelayan. Wilayah perairan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk aktivitas perikanan dengan
target tangkapan udang sedangkan wilayah ekosistem mangrove digunakan untuk aktivitas
69
perikanan dengan target tangkapan kepiting. Terdapat sekitar 24 pengepul komoditas udang dan 4
pengepul komoditas kepiting. Selain itu, pemanfaatan langsung perairan oleh masyarakat yaitu
sebagai jalur transportasi yang menghubungkan antar kampung, antar distrik serta menghubungkan
ibu Kota Kabupaten.
Wilayah ekosistem mangrove selain dijadikan sebagai daerah tangkapan kepiting, juga
dimanfaatakan untuk memenuhi kebutuhan seperti makanan dan bahan dasar bangunan rumah.
Sekitar 30% masyarakat pesisir di kampung target memanfaatkan jenis tumbuhan mangrove untuk
bahan bangunan seperti tiang rumah, dinding dan atap rumah. Di kampung target survei juga
ditemui aktivitas bameti yang dilakukan oleh ibu-ibu dengan alat tangkap menggunakan tombak dan
alat tradisional untuk menangkap ikan. Di wilayah perairan sungai Kab. Sorong Selatan terutama
pada Kampung Sayolo terdapat pemanfaatan oleh nelayan jala dengan target tangkapan udang.
Nelayan yang melakukan aktivitas tersebut adalah perempuan dengan menggunakan perahu tanpa
mesin dan alat tangkap jala.
Gambar 5- 2 Pemanfaatan sumber daya perairan sungai untuk penangkapan udang oleh nelayan perempuan
5.3.3. Pengguna Sumber Daya Laut
Sebagian besar (85%) pengguna sumber daya disekitar perairan kampung target survei
merupakan nelayan asli Papua dari kampung-kampung sekitar di Kabupaten Sorong Selatan.
Sejumlah 5% dari total masyarakat kampung target survei merupakan nelayan lokal pendatang yang
menetap di kampung. Sedangkan sekitar 10% dari total masyarakat kampung target survei
merupakan nelayan pendatang dari kampung lain. Nelayan pendatang dari luar kampung tersebut
berasal dari Suku Makassar, Bugis, Jawa dan Sanger.
70
Karakteristik Pengguna Sumber daya Laut (%)
Asli Papua
85%
Pendatang yang sudah
menetap di kampung
5%
Pendatang dari luar
kampung
10%
Gambar 5- 3 Komposisi nelayan di lokasi pengamatan Kabupaten Sorong Selatan
5.3.4. Kelompok Masyarakat
Kelompok masyarakat yang teridentifikasi di Kab. Sorong Selatan adalah kelompok nelayan
yang terbentuk berdasarkan ikatan pemodal atau pengepul. Semua Kampung target sudah memiliki
kelompok nelayan udang terdiri dari 2-6 kelompok yang masing-masing kelompok dianggotai 9-15
orang nelayan. Fasilitas yang diberikan oleh pemilik modal kepada kelompok nelayan udang terdiri
dari alat tangkap berupa jaring, bahan bakar serta logisitik untuk keperluan melaut. Selain itu, di
dalam kampung target juga teridentifikasi kelompok yang pernah dibentuk oleh pemerintah dalam
skema implementasi program penanaman mangrove. Namun, seiring berakhirnya rangkaian
program tersebut, berakhir pula keberadaan kelompok penanam mangrove.
5.3.5. Pengambilan Kebijakan Sumber Daya Laut
Pengambilan keputusan yang ada diseluruh kampung lokasi survei menggunakan proses
pendekatan adat. Dalam hal ini proses pendekatan adat dinamakan tikar adat atau lebih dikenal
dengan istilah musyawarah. Tikar Adat biasanya diselenggarakan untuk menyelesaikan persoalan
terkait pemanfaatan sumber daya laut, sosial, dan wilayah ulayat. Kepala Suku Besar merupakan
orang yang memimpin proses Tikar Adat. Acara tersebut dihadiri oleh seluruh masyarakat adat
termaksud tokoh-tokoh penting dari level kampung maupun distrik. Apabila dalam proses Tikar Adat
tidak mencapai suatu keputusan maka akan dilakukan Sumpah Adat—sebuah janji untuk
menyerahkan segala keputusan kepada leluhur secara gaib. Pengambilan keputusan lain seperti
sistem perizinan pemanfaatan potensi perikanan hanya melalui pemilik hak ulayat di masing-masing
kampung.
5.3.6. Konflik Penggunaan Sumber Daya Laut
Perebutan wilayah tangkap merupakan salah satu konflik yang paling banyak ditemui pada lokasi
survei. Lokasi yang menglamai konflik perebutan wilayah di antaranya Suku Yaben di Kampung
Konda dan Suku Nerigo Kampung Yahadian. Namun konflik tersebut tidak memicu pada tindakan
kriminalitas. Selain itu, Konflik hak ulayat juga teridentifikasi di antara masyarakat Kampung
71
Yahadian dan Masyarakat kampung Mugim dan Nusa. Konflik tersebut diawali dengan adanya
aktivitas eksplorasi migas pada wilayah adat Distrik Kais tahun 2015. Namun konflik tersebut belum
belum terselesaikan sampai saat ini.
Konflik antara nelayan asli dan nelayan pendatang (yang sudah menetap) juga masih sering
terjadi. Hal tersebut karena aktivitas pemanfaatan perikanan tidak meminta izin kepada pemiliki hak
ulayat. Selain itu, konflik antara pengepul dan nelayan tangkap juga terjadi di Kampung Botain,
Distrik Saifi. Hal tersebut dipicu oleh kesalahpahaman sosial seperti pembayaran hak ulayat yang
tidak sesuai kesepakatan. Namun, sebagain besar (90% kampung target) pemecahan konflik dapat
dilakukan melalui proses musyawarah.
72
5.4. Referensi
Anonim, 2014. Pemanfaatan Hutan Bakau Suatu Kearifan Lokal Orang Bira di Distrik Iananwatan.
BPNB Jayapura.
BPS Provinsi Papua Barat. 2016. Statistik Perikanan Provinsi Papua Barat.
Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD), 2013. Analisis Penerimaan dan Pengeluaran Publik
Kabupaten Sorong Selatan. Yayasan BaKTI. Australian AID
Yuwen M., Mudjirahayu, Pattiasina TF., Bawole R., 2016. Struktur Komunitas dan Penyebaran
Mangrove Serta Upaya Pengelolaannya oleh Masyarakat Distrik Teminabuan, Kabupaten
Sorong Selatan. Konas VI Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan. Menado.
73
VI.
PELUANG DAN TANTANGAN
Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Konservasi pada tahun 2015. Perwujudan
yang telah dilakukan dapat dilihat dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Khusus
(RANPERDASUS). Provinsi Papua Barat mulai menerapkan dasar implementasi kawasan konservasi
dengan melakukan perluasan area yang dianggap berpotensi, salah satunya Kabupaten Sorong
Selatan.
Kabupaten Sorong Selatan terletak di daerah pesisir yang hampir sebagian besar wilayahnya
ditutupi oleh hutan mangrove. Sebanyak 33 dari 52 jenis spesies mangrove yang terdapat di Papua
Barat, dimiliki oleh Kabupaten Sorong Selatan. Kondisi hutan mangrove yang baik—kerapatan pohon
yang tinggi—dapat ditemui diseluruh lokasi kampung survei. Ekosistem mangrove ini telah
memberikan banyak manfaat bagi masyarakatnya.
Mayoritas masyarakat Kabupaten Sorong Selatan memiliki matapencaharian sebagai nelayan.
Dengan keterampilan yang dimiliki, nelayan Kabupaten Sorong Selatan mampu memanfaatkan hutan
mangrove sebagai tempat memancing udang dan kepiting. Udang yang menjadi komoditas ekspor
unggulan adalah jenis jerbung atau dikenal dengan istilah banana shrimp. Hasil tangkapan perikanan
selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Bertambahnya angka produksi hasil laut, membuat
pemerintah Kabupaten Sorong Selatan memprioritaskan perikanan sebagai sektor unggulan daerah.
Dukungan pemerintah terhadap kemajuan sektor perikanan telah dilakukan dalam bentuk
pemberian bantuan berupa alat tangkap dan kapal mesin tempel.
Namun, dengan bertambahnya jumlah nelayan dalam memanfaatkan hasil perikanan,
dibutuhkan regulasi terkait aktivitas perikanan dan pengawasan khusus dari pemerintah. Aktivitas
penangkapan ikan yang merusak untuk mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak, seperti
menggunakan racun yang biasanya berasal dari akar bore, terkadang masih ditemukan di wilyahi ini.
Peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan khususnya dalam mengatasi aktivitas ilegal tersebut.
Harga jual ikan nelayan Kabupaten Sorong Selatan masih tergolong rendah. Permasalahan
tersebut merupakan salah satu faktor yang menggiring banyak nelayan pada kondisi ekonomi yang
buruk. Rendahnya harga jual ikan pada nelayan, disebabkan oleh kurangnya aktor pengelola hasil
perikanan dan buruknya fasilitas perikanan yang ada di desa nelayan. Permasalahan tersebut dapat
ditanggulangi dengan memperbaiki akses menuju desa nelayan, memperbaharui infrastuktur
perikanan, dan menyediakan koperasi pengelola hasil tangkapan.
Sampai saat ini program pemerintah terkait pengendalian penangkapan dan perlindungan
wilayah laut masih belum pernah diterapkan. Walaupun demikian, masyarakat Kabupaten Sorong
Selatan memiliki kecenderungan membuka diri terhadap sesuatu yang baru khususnya hal-hal yang
menyangkut isu wilayahnya. Disamping itu, pengaruh hukum adat yang kuat masih mengingat
hampir seluruh masyarakat kampung Kabupaten Sorong Selatan. Dengan demikian, adanya kondisi
sosial masyarakat yang menunjang dapat dimanfaatkan untuk melakukan pendekatan konservasi
berbasis adat.
74
VII.
LAMPIRAN
7.1. Perikanan
Tabel 7- 1 Daerah penangkapan dan waktu tempuh nelayan
KAMPUNG– DISTRIK DAERAH PENANGKAPAN WAKTU TEMPUH
KAMPUNG SAYOLO- DISTRIK
TEMINABUAN
KAMPUNG AMPERA- DISTRIK
TEMINABUAN
KAMPUNG KONDA DAN
WAMARGEGE- DISTRIK
KONDA
KAMPUNG
DISTRIK KAIS
YAHADIAN-
Sungai Sayolo
Siligin
Waren
Perairan Kelapa Satu
Kali Ade Kaka
Sungai Ampera
Sungai Wermit
Tiwit
Tomanggo
Kohein
Sungai Kaibus
Sungai Konda
Sungai Seremuk
Sungai Botain
Perairan Pulau Dua Bambu
Muara Sirimu
Muara Warunggei
Sungai Klabra
Sungai Ampera
Perairan Isogo
Perairan Inanwatan
Muara lima
Muara Warunggei
Lampu Luar
Tanjung Jarum
Acigini
Mawan
Perairan Seneboi,
Sungai Seremuk
Sungai Klabra
Muara Sungai Wamargege
Muara Warunggei
Muara Tapuri
Sungai Warunggei
Tanjung Metamani
Muara Yahadian
Sepanjang sungai Kais
Tanjung Jarum
Tanjung Moyafa
Muara Pasir Hitam
Tanjung Siori
Muara Bebegin
Tanjung Sigei
10 menit
120 menit
120 menit
120 menit
120 menit
10 menit
10 menit
20 menit
20 menit
20 menit
20 menit
60 menit
60 menit
60 menit
120 menit
120 menit
120 menit
30 menit
5 menit
300 menit
300 menit
60 menit
60 menit
60 menit
60 menit
30 menit
30 menit
60 menit
45 menit
30 menit
30 menit
30 menit
15 menit
30 menit
30 menit
30 menit
15-30 menit
90 menit
90 menit
90 menit
90 menit
90 menit
75
KAMPUNG MUGIM DAN
NUSA– DISTRIK METEMANI
KAMPUNG MUGIBI DAN
MATE– DISTRIK INANWATAN
KAMPUNG
KOKODA
KAMPUNG
SAIFI
TAROF–DISTRIK
BOTAIN-DISTRIK
Suabor
Pasir Hitam
Siari
Metamani
Sebora
Muara Tapuri
Sungai Kais
Sungai Adolop
Perairan Mugim
Muara Sigeiruni
Agaresi
Nawetira
Muara Metemani
Weriana
Tanjung Lampu
Isogo
Sungai Sibora/Siri-siri
Sigano
Segei
Muara Tarof
Tanjung Lampu
Sungai Kamundan
Muara Kenaburi
Muara Pulau Dua Klamono
Sabaki
Klabra
Pulau Bambu
60 menit
60 menit
60 menit
10 menit
60 menit
60 menit
60 menit
60 menit
5 menit
180 menit
180 menit
180 menit
180 menit
180 menit
180 menit
180 menit
60 menit
60 menit
15 menit
5 menit
30 menit
60 menit
90 menit
10 menit
60 menit
60 menit
60 menit
31 enit
7.2. Indikator Pemantauan Kerja (PMI)
INDIKATOR SA
untuk PMI
SA1.1:
Behavior
Change
Unit
Jumlah orang atau %
anggota masyarakat yang
disurvei sadar & terlibat
dalam upaya konservasi
Papua Barat|Kabupaten Sorong Selatan
0 orang
Catatan:
> Bantuan USG baru dimulai pada Mei 2017.
> Diperkirakan 1.760 orang hidup di desa-desa
nelayan di Sorong Selatan.
SA2.1a Hektar
EAFM (di
bawah FMP)
Area (ha) yang dinilai
menggunakan EAFM
Belum ada
76
SA2.1b Hektar
KKP
SA2.1c Hektar
MSP
Nilai EAFM dari Area
tersebut (per domain dan
agregat)
Area (ha) yang dinilai
menggunakan EKKP3K
Nilai EKKP3K dari Area
tersebut (% per level)
Area (ha) KKP baru
Area (ha) yang termasuk
RZWP3K
Status RZWP3K
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
SA2.2
Peningkatan
Biofisik:
Tutupan
Mangrove,
Kelimpahan
Ikan, Ukuran
Ikan/Biomassa
% Mangrove
Kelimpahan Ikan (ind/ha)
Parameter biologi lain
% Tutupan Mangrove
(Data Ekologi Mangrove Sorong Selatan 2017) -
18 Transek
-Area survei mangrove: 1,8 Ha
-Rata-rata kerapatan: 534,13 ind/ha
-Total Spesies: 33
Kelimpahan Udang:
Udang Jerbung: 750 ind/km 2
(Data Ekologi Mangrove Sorong Selatan 2017)
Biota Asosiasi:
> Kepiting
> Siput
> Polychaeta (cacing lumpur)
> Lumbricus sp.
77
SA 2.3 # Kapal
yang Terdaftar
Wilayah Zona KKP
Jumlah armada kapal yang
terdaftar/punya izin
(armada kecil & menengah)
Hingga Juli 2017, KKP dan zona-zonanya belum
ditentukan
0 Kapal yang terdaftar
Nelayan menggunakan mesin kecil (15 PK)
untuk menangkap ikan
(Data Perikanan Sorong Selatan 2017)
SA2.4 CPUE
Kg/Hari/Alat
per lokasi
Jenis alat tangkap yang
disurvei
CPUE data untuk alat
tangkap (kg/trip)
> Jaring insang kecil (49%)
> Pancing ulur (19%)
> Bubu –Perangkap ikan (17%)
> Jaring insang besar (8%)
> Tombak (3%)
Produksi udang bulanan di Kampung
Wamargege – Konda:
> September 2014: 1.246,2 kg
> Oktober 2014: 8.329,8 kg
> November 2014: 6.876,2 kg
> Desember 2014: 4.399,4 kg
> Januari 2015: 4.044,8 kg
> Februari 2015: 8.807,1 kg
> Maret 2015: 9.044,8 kg
> April 2015: 10.678 kg (produksi tertinggi)
> Mei 2015: 8.626,6 kg
> Juni 2015: 5.714,8 kg
> Juli 2015: 4.311,5 kg
78
(Data Perikanan Sorong Selatan 2017)
Spesies target utama:
> Udang Jerbung
> Udang Dogol
> Udang Windu
> Kepiting Bakau
Spesies ikan target
Spesies target alternatif:
> Lele (Ikan sembilang)
> Ikan Lidah Pasir
> Hiu Banteng
> Ikan Pari Kodok
> Ikan Pari
> Udang Mantis
> Udang Mantis
SA2.5
Biomassa Ikan
Karang dalam
NTZ
SA 3.1 Kondisi
Ekonomi (10
Aset)
Kelimpahan (ind/ha) &
Biomassa Ikan (kg/ha)
Jumlah orang yang disurvei
dalam Pendataan Sosial
Rata-rata Biomassa Udang
Udang Jerbung: 8,24 kg/km 2
Data Sosial-Ekonomi Sorong Selatan (Juli
2017);
> Total desa yang disurvei: 11
> Total rumah tangga yang disurvei: 73
Catatan:
>Intervensi MPA belum dilakukan
79
SA 3.2
Leverage
Investasi
Data untuk Indikator Umum
Pendataan Sosial SEA
Aktivitas & luaran yang
bersumber dari pembiayaan
bersama dengan sumber
dana WWF lainnya
1. Kepemilikan rumah tangga (5 barang yang dimiliki):
> Listrik (77%), TV (64%), Telepon Seluler (35%),
VCD/DVD (42%), Kipas Angin (36%)
2. Material atap (3 material teratas):
> Seng (66%), Kayu/Bambu (9%), Rumbia (20%)
3. Material dinding (3 material teratas):
> Kayu (57%), Bambu (26%), Batu Bata (16%)
4. Material lantai:
>Kayu (55%), Semen (20%), Keramik (3%)
5. Jumlah kamar:
> Lebih dari 4 kamar (38%), 3-4 kamar (30%), 1-2 kamar
(32%)
6. Alat transportasi darat
> Sepeda motor (14%)
7. Kapal/perahu:
> Bermesin (63%), Dayung (29%)
8. Alat tangkap (3 alat tangkap terbanyak):
> Jaring insang kecil (49%), Pancing ulur (19%), Bubu
(17%)
9. Ternak (3 hewan terbanyak):
> Unggas (86%), Babi (11%), Sapi (3%)
10. Pertanian (3 tanaman utama):
> Pisang, Singkong, Kelapa (42%)
11. Akses air bersih:
>Sumur pribadi/air ledeng-PAM (28%), Sumur komunal
(41%), Lain-lain (45%)
12. Akses sanitasi:
> WC pribadi (50%), WC umum (38%), WC terbuka (12%)
13. Rumah tangga dengan tabungan (30%), Rumah
tangga dengan utang (12%), Rumah tangga dengan
asuransi (34%)
14. Rumah tangga anggota koperasi (0%)
15. Program bantuan pemerintah
>Rumah tangga penerima bantuan (54%)
16. Sumber pendapatan alternatif:
> Usaha rumah tangga (39%)
Tidak ada
80
Aktivitas & luaran yang
bersumber dari pembiayaan
bersama dengan organisasi
mitra (pemerintah, LSM lain,
dll)
Jumlah pembiayaan
bersama
Tidak ada
Tidak ada
Keberadaan sistem
pengelolaan sumber daya
lokal (hak milik, sasi, hak
ulayat, dll)
Informasi apakah sistem ini
telah dilegalisasi/disahkan
atau dalam bentuk tidak
tertulis
Tidak ada desa survei yang memiliki peraturan
adat.
SA 3.3 Hak
Ulayat #
Masyarakat
Jumlah desa yang
melaksanakan sistem
pengelolaan sumber daya
lokal (hak milik, sasi, dll) di
wilayah yang disurvei
0 desa
Jumlah masyarakat
(individu) yang tinggal di
wilayah/terdampak dengan
sistem pengelolaan sumber
daya lokal
Pendataan belum lengkap
81
SA 4.1
Peraturan dan
Kebijakan
Jumlah undangundang/kebijakan/peraturan
yang dikeluarkan karena
advokasi SEA Project
Tidak ada
SA 5.1 Orang
yang Dilatih
SA 5.2 Inovasi
SA5.3 Praktik
Penegakan
hukum # oleh
masyarakat
Jumlah peserta (dan rasio
gender) dalam pelatihan
yang diadakan SEA Project
Nilai peningkatan kapasitas
orang yang dilatih (Pre-test
vs Post-test)
Jumlah inovasi/teknologi
yang dikeluarkan WWF
dengan dukungan SEA
Project
Hasil penggunaan inovasi
tersebut
Jumlah peserta pada
pelatihan penegakan hukum
yang diadakan SEA – WWF
(Contoh: Wildlife Crime Unit,
Pokmaswas)
Penilaian performa pada
orang yang dilatih dalam
penegakan hukum
konservasi (Contoh: Wildlife
Crime Unit, Pokmaswas)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
82
Jumlah kasus yang
diinvestigasi/diselesaikan
sebagai hasil intervensi dari
yang telah dilatih (tim WCU,
Pokmaswas, dll)
Tidak ada
7.3. Dokumentasi
Dokumentasi survei dapat diakses melalui tautan berikut: http://bit.ly/2zbZNkh.
7.4. Data Hasil Observasi
Sumber data (ekologi, sosial, dan perikanan) yang diolah dalam laporan ini dapat diakses melalui tautan
berikut: http://bit.ly/2yNEBmD.
83