TELUK BINTUNI BASELINE SURVEY REPORT - ID
WWF-ID | SEA Project2017USAID SUSTAINABLE ECOSYSTEMS ADVANCED (SEA)PROJECT | INDONESIALAPORAN SURVEI DATA DASAR TELUK BINTUNIPROVINSI PAPUA BARATEkologi, Perikanan, dan Status Sosial Masyarakat
- Page 2 and 3: LAPORAN SURVEI DATA DASAR TELUK BIN
- Page 4 and 5: besar nelayan menggunakan perahu ta
- Page 6 and 7: Hasil .............................
- Page 8 and 9: DAFTAR TABELTabel 2-1 Luas dan Fung
- Page 10 and 11: Gambar 5-3 Struktur Pemerintahan Ad
- Page 12 and 13: I. PENDAHULUANLatar BelakangDi era
- Page 14 and 15: II.STATUS EKOSISTEM PESISIRPendahul
- Page 16 and 17: 2.2.3 Pengamatan Foto UdaraDistribu
- Page 18 and 19: a. Kerapatan Suatu Jenis (K)(ind/ha
- Page 20 and 21: Hutan Produksi DapatDikonversi361.0
- Page 22 and 23: INP (%)B. gymnorhizaB. hainessiiC.
- Page 24 and 25: Tabel 2-1 Jenis Mangrove Berdasarka
- Page 26 and 27: Zonasi mangrove pada Stasiun-3 disu
- Page 28 and 29: Berdasarkan analisis keanekaragaman
- Page 30 and 31: Yuliar, 2000. Skrining Bioantagonis
- Page 32 and 33: 4. Aroba Kampung Sidomakmur5. Babo
- Page 34 and 35: lainnya. Handline biasanya digunaka
- Page 36 and 37: DistrikAroba Distrik BaboDsitrikBin
- Page 38 and 39: Sanitation Akses air bersihPengguna
- Page 40 and 41: Tabel 3-4 Jumlah Tenaga Kesehatan d
- Page 42 and 43: Suku SebyarInjil diperkenalkan di D
- Page 44 and 45: wilayah ini. Suku Sumuri berasal da
- Page 46 and 47: ReferensiBalitbangkes, B. P. d. P.
- Page 48 and 49: Memperoleh informasi terkait hasil
- Page 50 and 51: 3 Modan/Babo 964 Sidomakmur/Aroba 1
WWF-ID | SEA Project
2017
USAID SUSTAINABLE ECOSYSTEMS ADVANCED (SEA)
PROJECT | INDONESIA
LAPORAN SURVEI DATA DASAR TELUK BINTUNI
PROVINSI PAPUA BARAT
Ekologi, Perikanan, dan Status Sosial Masyarakat
LAPORAN SURVEI DATA DASAR TELUK BINTUNI
Status Ekologi, Perikanan, dan Status Sosial
Penulis
Ringkasan Eksekutif: Kanyadibya Cendana Prasetyo
Pendahuluan: Kanyadibya Cendana Prasetyo & Umi Kalsum Madaul
Status Ekologi: Ehdra Beta Masran, Dirga Daniel & Navisa Nurbandika
Status Sosial: Irwanto, Umi Kalsum Madaul & Inayah
Aktivitas Perikanan: Inayah & Oktavianto Prasetyo Darmono
Pemanfaatan Sumber Daya Laut: Dirga Daniel, Navisa Nurbandika, Christ Rontinsulu & Irwanto
Peluang dan Tantangan: Irwanto
Kontributor
Adib Mustofa, Aldi Ayal, Ridwan, Christofel Rotinsulu, Dirga Daniel, Ehdra B. Masran, Hafis Samiun, Harry
Sandy Numberi, Herlina, Inayah, Irwanto, La Ode Hasanudin, Muh. Sodikin, Navisa Nurbandika, Oktavianto
Prasetyo Darmono, Reza Fahlevi, Rizky Abbas, Samuel Refideso, Samuri Abidondifu, Syukur Pamilangan,
Tutus Wijanarko, Umi Kalsum Madaul, Vinsensius Aman, Yunita Tanggahma.
Foto Sampul: Muh. Sodikin
Desain dan Tata Letak: Kanyadibya Cendana Prasetyo
RINGKASAN EKSEKUTIF
WWF-Indonesia, dalam Proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) USAID, mendukung
Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati laut, produktivitas perikanan
dan pemanfaatan sumber daya laut berkelanjutan di WPP-715. Mengenai peningkatan keberlanjutan dan
ketahanan habitat dan masyarakat pesisir, WWF-Indonesia mendukung hal tersebut dengan
mempromosikan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan di beberapa lokasi di 3 provinsi, yakni
provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Kabupaten Teluk Bintuni yang terletak di Provinsi Papua
Barat dipilih sebagai salah satu kawasan potensial untuk dikembangkan sebagai Kawasan Konservasi
Perairan.
WWF-ID | Proyek SEA telah menyelesaikan pengumpulan data primer ekologi, perikanan, dan
sosial untuk studi awal pembentukan Kawasan Konservasi Perairan baru - seperti yang tercantum dalam
Keputusan Menteri No. 2/2009 - di Kabupaten Teluk Bintuni. Survei data dasar dilaksanakan pada tanggal
23-29 September 2017 dengan melibatkan DKP Provinsi Papua Barat, DKP Kabupaten Teluk Bintuni,
Universitas Papua (UNIPA), Universitas Kristen Indonesia Papua (UKIP), Universitas Muhammadiyah
Sorong (UMS), dan Politeknik Ilmu Perikanan (PIP). Survei tersebut meliputi 5 kampung di 5 distrik untuk
pengumpulan data perikanan dan sosial dan 5 stasiun pengamatan di sepanjang wilayah pesisir untuk
pengumpulan data ekologi.
Status Ekosistem Pesisir
Sebagian besar ekosistem pesisir Kabupaten Teluk Bintuni tertutup oleh hutan mangrove. Luas
sebaran hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni adalah 260.289 hektar atau sekitar 8,92% dari total
luas hutan mangrove di Indonesia. Kerapatan mangrove tertinggi ditemui di stasiun-1 yang berlokasi di
Muara Bintuni dengan nilai kerapatan 1.440 Ind/Ha. Dari hasil pengamatan di Teluk Bintuni ditemukan 25
jenis mangrove dari 52 jenis mangrove di Papua Barat. Hasil analisis nilai INP tingkat pohon menunjukkan
spesies Rhizophora apiculata memiliki INP tertinggi yaitu 92,02% yang artinya spesies ini paling banyak
ditemui di lokasi survei. Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera parviflora juga termaksud spesies yang
mendominasi di ekosistem mangrove teluk Bintuni. Habitat mangrove di Teluk Bintuni telah menjadi rumah
bagi biota asosiasi dan satwa terestrial. Tercatat ada 17 spesies makrozoobenthos yang hidup di perairan
mangrove Teluk Bintuni.
Status Sosial
Penduduk asli Kabupaten Teluk Bintuni terbagi kedalam 7 kelompok suku yang tersebar di daerah
pegunungan dan pesisir. Lima diantaranya, yaitu Suku Kuri, Wamesa, Sebyar, Irarutu dan Sumuri berada di
wilayah pesisir. Masyarakat pendatang sebagian besar berasal dari Sulawesi dan Jawa. Sebanyak 91%
penduduk telah mendapat pasokan listrik baik dari PLN maupun generator set milik pribadi. Sedangkan 9%
sisanya tidak mendapat suplai listrik. Media telekomunikasi utama yang dimiliki warga di kampung target
adalah telepon seluler, TV, dan radio. Fasilitas pendidikan hampir tersedia diseluruh kampung lokasi survei.
Fasilitas kesehatan yang tersedia diantaranya adalah rumah sakit, posyandu, apotek, dan puskesmas
pembantu (PUSTU). Penggunaan air bersih umumnya bersumber dari air sumur, sungai, ataupun air hujan.
Hanya Kampung Nelayan (RT1 RW 3) yang memiliki akses PDAM di lokasi survey. Sebagian besar orang
di Teluk Bintuni bermatapencaharian sebagai nelayan udang, kepiting dan ikan congge sebagai sumber
pendapatan utama. Hanya 25% dari wilayah Teluk Bintuni yang menjadi lahan pertanian, mayoritas berada
di Kampung Banjar Ausoy.
Aktivitas Perikanan
Udang, kepiting bakau dan kakap congge merupakan komoditas perikanan yang paling penting di
Teluk Bintuni. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2016 mencapai 2.764 ton yang didominasi oleh
produksi udang. Jenis udang yang dominan di daerah ini adalah udang jerbung dan udang dogol. Sebagian
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | i
besar nelayan menggunakan perahu tanpa mesin dan mesin tempel untuk menangkap ikan. Sedangkan rawai
dasar dan jaring insang merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan. Bagi nelayan udang dan
kepiting, musim penangkapan terjadi sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi oleh cuaca. Di sisi lain, faktor
perubahan musim dan cuaca sangat berpengaruh pada musim penangkapan ikan. Harga komoditas
perikanan bervariasi di setiap distrik. Harga udang tertinggi di Bintuni Timur seharga Rp 75.000,-/kg.
Sedangkan harga kepiting tertinggi di Modan seharga Rp 55.000,-/kg. Harga ikan conggek hanya senilai Rp
10.000,-/kg di 4 kampung target namun gelembung renangnya dihargai hingga Rp 3.000.000,-/ons untuk
ikan jantan dan Rp 1.500.000,-/ons untuk ikan betina. Dalam 5 tahun terakhir produksi perikanan di Teluk
Bintuni secara keseluruhan meningkat. Namun sebanyak 57% nelayan menyatakan hasil tangkapan justru
menurun akibat semakin banyaknya jumlah nelayan, semakin jauhnya lokasi penangkapan, dan adanya
aktivitas perusahaan gas.
Pemanfaatan Sumber Daya Laut
Pemanfaatan sumber daya laut di Kabupaten Teluk Bintuni terikat oleh adat setempat. Masyarakat
Teluk Bintuni, khususnya masyarakat adat, telah menjalankan kelembagaan Hak Ulayat Laut sejak lama.
Untuk mengakses sumber daya laut d seluruh wilayah diperlukan izin dari pemilik atau klan lokal yang
memiliki kekuasaan atas pemanfaatan laut. Secara adat, sasi atau tradisi lokal untuk membatasi pemanfaatan
sumber daya laut di Teluk Bintuni belum pernah terbentuk. Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah potensi
konflik antar pengguna yang memanfaatkan sumber daya laut, antara lain antar nelayan udang, kepiting, ikan
conggek di masing-masing distrik dan antara nelayan dengan perusahaan BP Tangguh yang melakukan
aktivitas eksplorasi gas.
Peluang dan Tantangan
Teluk Bintuni memiliki peluang untuk proses pembentukan KKP karena didukung aksesibilitas
transportasi laut, darat, dan udara. Ditambah dengan dukungan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) terhadap
pembentukan KKP. Di sisi lain, pembentukan KKP Teluk Bintuni memiliki ancaman berupa pembangunan
Kawasan Ekonomi Khusus yang akan membangun pabrik smelter dan petrokimia serta adanya aktivitas
perusahaan gas BP Tangguh. Aktivitas industri dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengelola
sumber daya laut secara berkelanjutan menjadi tantangan bagi inisiasi pembentukan Kawasan Konservasi
Perairan di Teluk Bintuni.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | ii
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF................................................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................................................................... vii
AKRONIM DAN SINGKATAN ................................................................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ..................................................................................................................................................... 1
Latar Belakang................................................................................................................................ 1
Tujuan ............................................................................................................................................ 2
Output............................................................................................................................................ 2
II. STATUS EKOSISTEM PESISIR ............................................................................................................................... 3
Pendahuluan .................................................................................................................................. 3
Metodologi .................................................................................................................................... 3
2.2.1 Pengambilan Data ............................................................................................................... 4
2.2.2 Vegetasi Mangrove ............................................................................................................. 4
2.2.3 Pengamatan Foto Udara ..................................................................................................... 5
2.2.4 Biota Asosiasi ...................................................................................................................... 5
2.2.5 Spesies Terancam Punah dan Dilindungi ............................................................................. 6
2.2.6 Analisis Data ........................................................................................................................ 6
2.2.6.1 Distribusi dan sebaran mangrove. ............................................................................................. 6
2.2.6.2 Analisis Vegetasi dan Biota Asosiasi Berdasarkan Pengamatan Garis Transek ............... 6
Hasil ............................................................................................................................................... 8
2.3.1 Distribusi Luas dan Kerapatan Hutan Mangrove ................................................................. 9
2.3.2 Analisis Vegetasi Berdasarkan Transek.............................................................................. 10
2.3.3 Struktur dan Vegetasi Mangrove....................................................................................... 12
2.3.4 Analisis Zonasi dan Jenis Mangrove Berdasarkan Foto Udara ........................................... 14
2.3.5 Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial ................................................................................... 16
2.3.6 Sebaran Spesies Terancam Punah dan Dilindungi ............................................................. 17
Referensi ...................................................................................................................................... 18
III. STATUS SOSIAL ............................................................................................................................................... 20
Pendahuluan ................................................................................................................................ 20
Metode ........................................................................................................................................ 20
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | iii
Hasil ............................................................................................................................................. 21
3.3.1 Sarana dan Prasarana ........................................................................................................ 21
3.3.2 Transportasi ...................................................................................................................... 21
3.3.3 Alat Tangkap Perikanan ..................................................................................................... 22
3.3.4 Bahan Bakar untuk Memasak ............................................................................................ 23
3.3.5 Suplai Listrik ...................................................................................................................... 23
3.3.6 Telekomunikasi ................................................................................................................. 24
3.3.7 Pendidikan......................................................................................................................... 24
3.3.8 Kesehatan, Air Bersih, dan Sanitasi ................................................................................... 26
3.3.9 Kelompok Masyarakat ....................................................................................................... 27
3.3.10 Organisasi Ekonomi ........................................................................................................... 27
3.3.11 Kependudukan .................................................................................................................. 28
3.3.12 Produksi Pertanian dan Perikanan .................................................................................... 29
3.3.13 Sejarah Komunitas ............................................................................................................ 30
Referensi ...................................................................................................................................... 35
IV. AKTIVITAS PERIKANAN ............................................................................................................................... 36
Pendahuluan ................................................................................................................................ 36
Metodologi .................................................................................................................................. 36
Hasil ............................................................................................................................................. 37
4.3.1 Spesies Target ................................................................................................................... 37
4.3.2 Alat Tangkap...................................................................................................................... 38
4.3.3 Nelayan ............................................................................................................................. 38
4.3.4 Armada Penangkapan ....................................................................................................... 39
4.3.5 Lokasi Penangkapan Ikan .................................................................................................. 39
4.3.6 Musim Penangkapan Ikan ................................................................................................. 40
4.3.7 Tren Perikanan Selama 5 Tahun Terakhir .......................................................................... 41
4.3.8 Lokasi Pendaratan Ikan ..................................................................................................... 43
4.3.9 Bisnis dan Rantai Dagang Perikanan.................................................................................. 45
4.3.10 Harga ................................................................................................................................. 45
4.3.11 Produksi ............................................................................................................................ 46
4.3.12 Bisnis Perikanan ................................................................................................................ 48
4.3.13 Rantai Pemasaran ............................................................................................................. 49
Referensi ...................................................................................................................................... 52
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | iv
V. PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAUT ........................................................................................................ 54
Pendahuluan ................................................................................................................................ 54
Metodologi .................................................................................................................................. 54
5.2.1 Pengumpulan Data dan Informasi ..................................................................................... 55
5.2.1.1 Diskusi Grup Terarah (Focus Group Discussion)............................................................... 55
5.2.1.2 Wawancara Informan Kunci (Key Informant Interview) ........................................................ 55
5.2.1.3 Pemetaan Cepat .......................................................................................................................... 56
5.2.2 Data Sekunder ................................................................................................................... 56
5.2.3 Pengolahan data ............................................................................................................... 56
Hasil ............................................................................................................................................. 56
5.3.1 Peraturan Manajemen Sumber Daya Laut ........................................................................ 56
5.3.2 Hak Ulayat/Hak Adat ......................................................................................................... 56
5.3.3 Hak Pemanfaatan .............................................................................................................. 60
5.3.4 Hak Pemanfaatan Sumber Daya ........................................................................................ 63
5.3.5 Pengguna Sumber Daya Laut............................................................................................. 64
Pembuatan Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Laut .............................................................. 65
Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Laut ...................................................................................... 66
Referensi ...................................................................................................................................... 68
VI. PELUANG DAN TANTANGAN ................................................................................................................. 69
LAMPIRAN ........................................................................................................................................................................ 71
Lampiran Status Ekologi ........................................................................................................................ 71
Lampiran Pemanfaataan Sumber Daya Laut ......................................................................................... 76
Lampiran Indikator Pemantauan Kerja (PMI)........................................................................................ 77
Lampiran Dokumentasi ......................................................................................................................... 84
Lampiran Data Hasil Observasi ............................................................................................................. 84
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | v
DAFTAR TABEL
Tabel 2-1 Luas dan Fungsi Hutan Kabupaten Teluk Bintuni. ................................................................................... 8
Tabel 2-2 Jenis Mangrove Berdasarkan Komponen Teluk Bintuni. ...................................................................... 13
Tabel 3-1 Lokasi Pengambilan Data di Masing-Masing Distrik di Kabupaten Teluk Bintuni ........................... 20
Tabel 3-2 Kondisi Keberadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kampung Sampel Kabupaten Teluk
Bintuni................................................................................................................................................................................. 25
Tabel 3-3. Sumber Pendapatan untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-Hari di Kampung Target Survei ....... 28
Tabel 3-4 Jumlah Tenaga Kesehatan di Kampung Target Survei .......................................................................... 29
Tabel 3-5 Sejarah Komunitas yang Menetap di Kabupaten Teluk Bintuni .......................................................... 30
Tabel 4-1 Komoditas perikanan yang menjadi target species di perairan Kabupaten Teluk Bintuni ........... 38
Tabel 4-2 Jenis Alat Tangkap yang Digunakan oleh Nelayan di Kabupaten Teluk Bintuni ............................. 38
Tabel 4-3 Jumlah nelayan di Perairan Kab. Teluk Bintuni ....................................................................................... 38
Tabel 4-4 Jenis Armada Penangkapan yang Digunakan Nelayan di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni ....... 39
Tabel 4-5. Musim Penangkapan Spesies Target Penting di Kabupaten Teluk Bintuni ...................................... 41
Tabel 4-6 Jenis Komoditas Perikanan dengan Nilai Ekonomis Penting yang Didaratkan di Perairan Teluk
Bintuni................................................................................................................................................................................. 44
Tabel 4-7 Harga Udang di Kabupaten Teluk Bintuni ............................................................................................... 46
Tabel 4-8 Harga Kepiting di Kabupaten Teluk Bintuni ........................................................................................... 46
Tabel 4-9 Harga Ikan Conggek dan Gelembung Renang Ikan Conggek di Kabupaten Teluk Bintuni .......... 46
Tabel 4-10 Jumlah Pengepul di Kabupaten Teluk Bintuni ....................................................................................... 48
Tabel 5-1 Sebaran Distrik dan Marga Besar Berdasarkan Suku di Kabupaten Teluk Bintuni ........................ 56
Tabel 5-2 Wilayah Suku Berdasarkan Lokasi Target Survei di Kabupaten Teluk Bintuni ............................... 58
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2-1 Stasiun Pengamatan Baseline Survei Teluk Binuni .............................................................................. 3
Gambar 2-2 Desain Line Transek Kuadran ................................................................................................................. 4
Gambar 2-3 Ilustrasi Foto Udara ................................................................................................................................... 5
Gambar 2-4 Langkah Kerja Pengolahan Citra Lansat 8. ........................................................................................... 6
Gambar 2-5 Peta Sebaran Mangrove dan Kerapatan Mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni ......................... 9
Gambar 2-6 Nilai Kerapatan Tingkat Pohon pada Setiap Stasiun......................................................................... 10
Gambar 2-7 Nilai INP Tingkat Pohon Seluruh Stasiun ........................................................................................... 10
Gambar 2-8 Kerapatan Jenis Setiap Stasiun Tingkat Pancang ................................................................................ 11
Gambar 2-9 Nilai INP Tingkat Pancang ...................................................................................................................... 11
Gambar 2-10 Nilai Kerapatan Tingkat Semai Setiap Stasiun ................................................................................. 12
Gambar 2-11 Nilai INP Tingkat Semai ........................................................................................................................ 12
Gambar 2-12 Struktur Vegetasi Stasiun-1 (a) dan Stasiun-2 (b) ........................................................................... 14
Gambar 2-13 Struktur Vegetasi Stasiun-3 (a) dan Stasiun-4 (b) ........................................................................... 15
Gambar 2-14 Struktur Vegetasi Stasiun-5.................................................................................................................. 16
Gambar 2-15 Jumlah Biota Asosiasi Mangrove di Teluk Bintuni. ......................................................................... 16
Gambar 2-16 Area Kemunculan Spesies Terancam Punah dan Dilindungi ........................................................ 17
Gambar 3-1 Moda Transportasi di Kampung Target .............................................................................................. 22
Gambar 3-2 Penggunaan Alat Tangkap Perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni ................................................ 22
Gambar 3-3 Jenis bahan bakar yang digunakan oleh masyarakat untuk memasak ........................................... 23
Gambar 3-4 Kondisi Suplai Listrik Kampung Target Survei di Kab. Teluk Bintuni .......................................... 23
Gambar 3-5 Persentase Angka Partisipasi Murni Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Teluk
Bintuni (Sumber: BPS Kabupaten Teluk Bintuni 2016) ................................................................... 24
Gambar 3-6 Tingkat Kelususan di 5 Distrik Kabupaten Teluk Bintuni (Sumber: BPS Kabupaten Teluk
Bintuni Tahun 2016) ............................................................................................................................... 25
Gambar 3-7 Fasilitas Kesehatan di Kampung-Kampung Target Kabupaten Teluk Bintuni ............................. 26
Gambar 3-8 Akses Air Bersih dan Sanitasi di Kampung-Kampung Target Kabupaten Teluk Bintuni .......... 27
Gambar 3-9 Persentase Lahan Pertanian di Kab. Teluk Bintuni ........................................................................... 29
Gambar 3-10 Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2007-2016 (Sumber: Statistik
Perikanan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2017) ........................................................................ 30
Gambar 4-1 Peta Pendaratan Ikan dan Lokasi Pengambilan Data Perikanan Kabupaten Teluk Bintuni ...... 37
Gambar 4-2 Daerah Penangkapan Ikan di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni .................................................. 40
Gambar 4-3 Produksi Perikanan Tangkap (i); Armada Penangkapan Ikan (ii); Rumah Tangga Perikanan
(iii); Nilai Produksi Perikanan Tangkap (iv) Periode 2012-2016 di Kabupaten Teluk Bintuni
(Sumber: DKP Provinsi Papua Barat, 2017) ...................................................................................... 42
Gambar 4-4 Sebaran Panjang Udang (i) dan Kepiting (ii) yang Tertangkap di Teluk Bintuni ......................... 44
Gambar 4-5 Produksi Komoditas Sumber Daya Perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2016 (BPS
Teluk Bintuni, 2017) ............................................................................................................................... 47
Gambar 4-6 Produksi Udang Periode Oktober 2016–Mei 2017 di Salah Satu Pengepul ............................... 47
Gambar 4-7 Produksi Kepiting Bakau Periode Januari 2015 – April 2017 di Salah Satu Pengepul .............. 48
Gambar 4-8 Rantai Pemasaran Udang di Kabupaten Teluk Bintuni ..................................................................... 50
Gambar 4-9 Rantai Pemasaran Kepiting di Kabupaten Teluk Bintuni ................................................................. 50
Gambar 4-10 Rantai Pemasaran Ikan Demersal (Kakap Conggek) di Kabupaten Teluk Bintuni .................. 51
Gambar 5-1 Lokasi Survei Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni ............................................. 55
Gambar 5-2 Peta Sebaran Wilayah yang Terbagi dalam Tujuh Suku Besar di Kabupaten Teluk Bintuni .... 58
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | vii
Gambar 5-3 Struktur Pemerintahan Adat yang Dipimpin oleh Koordinator Suku .......................................... 59
Gambar 5-4. Struktur Tatanan Adat Suku A yang Dipimpin oleh Kepala Suku A ............................................ 59
Gambar 5-5 Struktur Lembaga Masyarakat Adat Suku A yang Dipimpin oleh Ketua LMA Suku A ............. 60
Gambar 5-6 Area Pemanfaatan Pertambangan Migas LNG Tangguh di Teluk Bintuni .................................... 60
Gambar 5-7 Area Kotak Merah Merupakan Area Potensi Pertambangan Gas LNG Tangguh. (Sumber:
Peta Rencana Kawasan Strategis Ekonomi Kabupaten Teluk Bintuni, RTRW Kabupaten
Teluk Bintuni 2010-2030) ...................................................................................................................... 61
Gambar 5-8 Peta Wilayah Kerja Migas Status Mei 2016. (Sumber: Peta Rencana Penawaran WK 2016
dan Wilayah Kerja Aktif Migas di Papua Barat) ................................................................................ 62
Gambar 5-9 Pemanfaatan Kawasan Hutan di Teluk Bintuni Tahun 2014 ........................................................... 63
Gambar 5-10 Mekanisme Penambatan Perahu Nelayan Tangkap dan Nelayan Pengepul Komoditas Udang
di K. Sidomakmur Distrik Aroba Kabupaten Teluk Bintuni .......................................................... 66
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | viii
AKRONIM DAN SINGKATAN
BA
BP
DBH/LBD
DKP
DVI
FGD
GPS
GSD
GT
HA
Ha
HTI
INP
KKP
KPH
Migas
NDVI
LMA
LNG
PERMEN KP
PIP
RANPERDASUS
RVI
SEA Project
SK MENHUT
RKI
RVI
UAV
UKIP
UMS
USAID
Basal Area
British Petroleum
Lingkar Pohon Setinggi Dada
Dinas Kelautan and Perikanan
Difference Vegetation Index
Focus Group Discussion
Global Positioning System
Ground Sampling Distance
Gross Tonne
Hutan Alam
Hektar
Hutan Tanaman Industri
Indeks Nilai Penting
Kawasan Konservasi Perairan
Kesatuan Pengelolaan Hutan
Mineral dan gas
Normalized Difference Vegetation Index
Lembaga Masyarakat Adat
Liquefied Natural Gas (Gas Alam Cair)
Peraturan Menteri Kelautan and Perikanan
Politeknik Ilmu Perikanan Sorong
Rancangan Peraturan Daerah Khusus
Ratio Vegetation Index
Sustainable Ecosystems Advanced Project
Surat Keputusan Mentri Kehutanan
Rumah Kayu Indonesia
Transformed Ratio Vegetation Index
Unmanned Aerial Vehicle (Pesawat Tanpa Awak)
Universitas Kristen Indonesia Papua
Universitas Muhammadiyah Sorong
United States Agency for International Development
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | ix
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di era pemerintahan Joko Widodo, Indonesia memiliki komitmen yang cukup tinggi untuk
mengembangkan sektor perikanan dan kelautan. Jokowi memahami bahwa pembangunan Indonesia harus
mulai diarahkan berbasis maritim sebagaimana warisan leluhur bangsa Indonesia yang berkebudayaan
maritim (Rizanny, 2017). Hal ini tertuang dalam Perpres no.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia
yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha untuk ikut serta melaksanakan
pembangunan sektor kelautan.
USAID Indonesia melalui Proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) mendukung upaya
Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dan kelautan serta upaya konservasi di
tingkat kota/kabupaten, provinsi, dan nasional, terutama di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) – 715
yang mencakup Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Untuk mendukung upaya tersebut, WWF-
Indonesia bergabung dalam konsorsium mitra Proyek SEA USAID Indonesia yang berjalan selama 5 tahun
(2016-2021). Proyek SEA menggarisbawahi pemanfaatan sumber daya laut dan perikanan harus seimbang
dengan upaya konservasi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, Proyek SEA
USAID mendorong inisiasi Kawasan Konservasi Perairan (KKP) baru di wilayah WPP-715 sebagai usaha
menyeimbangkan kedua unsur tersebut. Salah satu wilayah yang dicadangkan untuk inisiasi kawasan
konservasi adalah Kabupaten Teluk Bintuni yang terletak di Provinsi Papua Barat.
Kabupaten Teluk Bintuni memiliki luas wilayah sebesar 18.637,00 km 2 atau 19,2% dari total luas
Provinsi Papua Barat. Berdasarkan Peraturan Bupati Teluk Bintuni no. 2 tahun 2009, wilayah administrasi
Kabupaten Teluk Bintuni terdiri atas 24 distrik (BPS Kabupaten Teluk Bintuni, 2017). Kabupaten ini
merupakan pemekaran dari Kabupaten Manokwari berdasarkan Undang-Undang no. 26 tahun 2002.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Teluk Bintuni merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 0-
100 meter di atas permukaan laut. Selain itu, kabupaten ini memiliki 5 sungai yang dikelilingi hutan mangrove
di muaranya (BPS Kabupaten Teluk Bintuni, 2017). Sehingga ekosistem pesisir di Teluk Bintuni bercirikan
ekosistem mangrove. Ekosistem ini menjadi landasan bagi perikanan berbasis udang dan kepiting bakau di
daerah tersebut.
Salah satu upaya untuk menjaga keberlangsungan ekosistem dan kelestarian sumber daya di
Kabupaten Teluk Bintuni adalah dengan menginisiasi Kawasan Konservasi Perairan di wilayah ini.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no. 2 tahun 2009, studi data dasar adalah salah
satu langkah penting dalam inisiasi pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Di dalam studi
tersebut terdapat studi sosial-budaya, ekonomi, dan ekologi yang akan membantu pemerintah Indonesia
merancang pembentukan KKP. Studi data dasar juga diperlukan untuk mengetahui kondisi terkini di
lapangan dan memperbaharui data yang telah dimiliki sebelumnya. Oleh karena itu, pada tanggal 23-29
September 2017 lalu WWF-Indonesia bekerjasama dengan DKP Provinsi Papua Barat, DKP Kabupaten
Teluk Bintuni, Universitas Papua (UNIPA), Universitas Kristen Indonesia Papua (UKIP), Universitas
Muhammadiyah Sorong (UMS), dan Politeknik Ilmu Perikanan (PIP) melaksanakan survei data dasar di
Kabupaten Teluk Bintuni. Survei data dasar di Kabupaten Teluk Bintuni meliputi survei ekologi, survei
perikanan, dan survei sosial-ekonomi. Hasil survei tersebut dapat menjadi acuan dalam melaksanakan studi
lanjutan dan data dasar untuk proses pembentukan Kawasan Konservasi Perairan di Teluk Bintuni.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 1
Tujuan
• Melakukan identifikasi kondisi ekologi mangrove yang ada di sepanjang pesisir Kabupaten Teluk
Bintuni.
• Melakukan identifikasi aktivitas perikanan terkait spesies target, lokasi pendaratan, rantai
pemasaran, dan aktivitas penangkapan yang merusak di sekitar perairan Kabupaten Teluk
Bintuni.
• Melakukan identifikasi dan penilaian terhadap kondisi sosial masyarakat di wilayah pesisir
Kabupaten Teluk Bintuni.
• Melakukan kerjasama sekaligus meningkatkan kapasitas kerja terhadap stakeholders,
pemerintah daerah, dan lembaga pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan.
Output
Menghasilkan laporan data dasar mengenai kondisi ekologi, perikanan, dan sosial masyarakat di
wilayah pesisir Teluk Bintuni yang dapat dijadikan acuan perencanaan tata ruang laut dan kawasan
konservasi perairan.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 2
II.
STATUS EKOSISTEM PESISIR
Pendahuluan
Hutan mangrove di Provinsi Papua Barat dengan luas kurang lebih 2,25 juta hektar merupakan
hutan mangrove terluas di Indonesia serta merupakan contoh terbaik dari tipe habitat ini di kawasan Asia
Tenggara. Sementara itu, hutan mangrove di Teluk Bintuni seluas ± 260 ribu hektar dan mencakup 10%
dari total luas hutan mangrove Indonesia (Wibowo dan Suyatno, 1998:94). Berdasarkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No. 2 Tahun 2009 mengenai inisiasi Kawasan Konservasi Perairan
(KKP), diperlukan suatu data dasar yang meliputi data ekologi, sosial dan ekonomi dalam menyusun
dokumen awal iniasasi calon KKP. Oleh karena itu, inisiasi calon KKP Teluk Bintuni membutuhkan
pengambilan data ekologi di wilayah Kabupaten Teluk Bintuni. Adapun jenis data yang diambil terdiri atas
data: 1) kondisi vegetasi mangrove, 2) tingkat kesehatan mangrove, 3) zonasi sebaran pertumbuhan
mangrove, 4) jenis dan kerapatan mangrove dan 5) biota asosiasi kawasan.
Metodologi
Survei ini dilakukan mencakup 4 (empat) distrik di wilayah pesisir Kabupaten Teluk Bintuni, yaitu
Bintuni, Aroba, Babo dan Taroi (Gambar 2-1). Pemilihan lokasi sampling dilakukan dengan metode acak
bertingkat yang terdiri dari 5 stasiun pengamatan dengan mempertimbangkan pola zonasi hutan mangrove
(Zona Depan, Zona Tengah dan Zona Belakang) dan berdasarkan pola pemanfaatan lahan (Hutan Lindung,
Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi).
Gambar 2-1 Stasiun Pengamatan Baseline Survei Teluk Binuni
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 3
2.2.1 Pengambilan Data
Jumlah sampel plot kerapatan tajuk minimal adalah 60% dari Total Sampel Minimal (TSM). Wilayah
pengamatan mangrove berada di sepanjang garis pantai bagian pesisir distrik di Kabupaten Teluk Bintuni.
Pengambilan data mangrove dilakukan dengan beberapa metode yaitu 1) pengamatan dan pemotretan
udara dan 2) pengamatan lapangan langsung. Data pengamatan lapangan langsung meliputi pengamatan
pohon terpusat, jenis tegakan mangrove (pohon, pancang dan anakan), diameter pohon, tinggi total, tinggi
bebas ranting, jarak dari titik sumbu, biota asosiasi, satwa terestrial, dan sebaran spesies terancam punah
dan dilindungi. Data-data ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman, kepadatan, kesehatan, tutupan,
kerusakan, serta objek penting lain yang berhubungan dengan kondisi mengrove Teluk Bituni.
2.2.2 Vegetasi Mangrove
a. Pengamatan garis transek
Pengamatan garis transek dilakukan sepanjang 250 meter dengan area pengamatan kiri dan kanan sejauh
2 meter, 5 meter, dan 10 meter untuk pencatatan semua jenis pohon yang ada di dalam petak. Pengamatan
dilakukan untuk mengetahui jenis, tinggi bebas ranting, tinggi total dan diameter pohon, sedangkan tegakan
dan semai/anakan dicatat jenis dan jumlahnya saja.
Gambar 2-1 Desain Line Transek Kuadran
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 4
2.2.3 Pengamatan Foto Udara
Distribusi dan sebaran mangrove serta jenis tutupannya juga diperoleh dengan melakukan
pemotretan udara menggunakan pesawat tanpa awak Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Proses pemotretan
udara menggunakan UAV dilakukan di stasiun pengamatan mangrove yaitu berada di 5 stasiun di lokasi
kajian (Gambar 2-1). Proses pengambilan foto udara dilakukan dengan rentang ketinggian 80-100-meter
(resolusi 3,5 cm) dari ketinggian tinggal landas. Arah pengambilan foto udara menyesuaikan dengan arah
bentang transek survei biofisik mangrove. Adapun ilustrasi pengambilan survei foto udara dapat dilihat pada
Gambar 2-3.
Keterangan:
Sw
FR
H
imW
imH
GSD
Dw
DH
Gambar 2-3 Ilustrasi Foto Udara
20 = Lebar sensor kamera (millimeters)
4 = Focal length kamera (millimeters)
92 = Tinggi terbang (meters)
4000 = Lebar cakupan kamera (pixels)
3000 = Panjang cakupan kamera (pixels)
11,50 = Ground Sampling Distance (centimeters/pixel)
460 = Lebar cakupan pemotretan (meters)
345 = Panjang cakupan pemotretan (meters)
2.2.4 Biota Asosiasi
Pengamatan biota assosiasi dilakukan bersamaan dengan pengamatan mangrove garis transek melalui
metode pengamatan langsung (visual census) dengan mencatat jenis dan jumlah biota yang ditemukan di
sebelah kanan dan kiri transek. Biota yang berasosiasi dengan mangrove diamati di transek berukuran 50
x 50 cm yang di letakan secara acak pada jalur transek mangrove. Sedangkan pengamatan satwa terestrial
dilakukan dengan menggunakan teropong monokuler untuk melihat satwa terestrial yang berasosiasi di
sekitar mangrove.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 5
2.2.5 Spesies Terancam Punah dan Dilindungi
Pengumpulan data dan informasi terkait sumber daya perikanan, khususnya spesies yang
terancam punah dan dilindungi dilakukan dengan beberapa metode yakni wawancara informan kunci,
pemetaan cepat, dan pengamatan langsung.
2.2.6 Analisis Data
2.2.6.1 Distribusi dan sebaran mangrove.
Analisis spasial dilakukan untuk menghitung luas sebarang total mangrove di area kajian. Analisis
spasial dilakukan dengan melalui proses analisis citra pengindraan jauh untuk mengetahui luas distribusi
sebaran mangrove dan kepadatan hutan mangrove di wilayah kajian Teluk Bintuni. Pengolahan citra
bertujuan untuk mengidentifikasi dan membuat klasifikasi kerapatan mangrove. Langkah kerja pengolahan
Citra Landsat 8 untuk kerapatan mangrove dapat dilihat pada Gambar 2-4. Selain distribusi dan kerapatan
mangrove yang meliputi seluruh area kajian Teluk Bintuni, distribusi, zonasi dan jenis mangrove juga
diperoleh dari pengolahan hasil pemotretan udara menggunakan UAV di 5 stasiun pengamatan. Analisis
data dilakukan dengan interpretasi langsung (digitation on screen) berdasarkan kunci interpretasi rona,
tekstur dan warna yang disesuaikan dengan hasil pengamatan langsung transek.
Citra Landsat 8
Path/Raw 111/66
Koreksi
Radiometrik & Geometrik
Transformasi NDVI
Komposit Citra
Reclassify NDVI
Pemotongan citra sesuai AOI
(Area of Interest)
Pemotongan citra untuk
Mangrove
Digitasi Mangrove
Peta Kerapatan Mangrove
Gambar 2-4 Langkah Kerja Pengolahan Citra Lansat 8.
2.2.6.2 Analisis Vegetasi dan Biota Asosiasi Berdasarkan Pengamatan Garis
Transek
Pengolahan data jenis vegetasi dan biota asosiasi dilakukan dengan menghitung beberapa variabel
sebagai berikut:
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 6
a. Kerapatan Suatu Jenis (K)(ind/ha)
Individu Setiap Jenis (ind)
K = ∑
Luas Petak Contoh (ha)
b. Kerapatan Relatif Suatu Jenis (KR) (%)
KR =
K suatu jenis
K seluruh jenis
X 100%
c. Frekuensi suatu jenis (F)
F =
∑ Sub − petak ditemukan suatu jenis
∑ Seluruh sub − petak contoh
d. Frekuensi Relatif Suatu Jenis (FR) (%)
FR =
F suatu Jenis
X 100 %
F Seluruh Jenis
e. Dominansi Suatu Jenis (D) (m 2 /ha)
Besaran D hanya dihitung untuk tingkat pohon dengan rumusan sebagai berikut:
D =
Luas bidang dasar sautu jenis
Luas Petak contoh
Dengan Luas Bidang Dasar (LBD) suatu jenis sebagai berikut:
LBD =
π . R 2
Seluruh sub − petak contoh = 1 π. D2
4
Dimana R adalah jari jari lingkaran dari diameter batang dan D adalah DBH. LBD yang didapatkan
kemudian dikonversi menjadi m 2 .
f. Dominansi Relatif Suatu Jenis (DR) (%)
DR =
D suatu jenis
X 100%
D seluruh Jenis
g. Indeks Nilai Penting (INP) (%)
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 7
Untuk tingkat pohon adalah INP=KR + FR + DR
Untuk tingkat Semai, pancang INP=KR +FR
h. Keanekaragaman jenis
H ′ = − ∑(pi ln pi); dengan pi = ( ni
n )
Dimana H’ adalah indeks keanekaragaman Shannon, ni adalah jumlah individu suatu jenis ke-i
dalam petak ukur (PU), dan n adalah total jumlah individu dalam PU.
i. Indeks kekayaan (Margallef)
R = S − 1
ln(N)
Dimana R adalah indeks kekayaan Margallef, S adalah jumlah jenis dalam petak ukur, dan N adalah
total jumlah individu.
j. Indeks kemerataan (Evenness index) (Ludwig & reynold, 1988)
H′
E ′ =
ln(S)
Dimana E ′ adalah indeks kemerataan untuk jenis, H ′ adalah indeks keanekaragaman jenis, dan S
adalah jumlah jenis dalam petak ukur.
Hasil
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari tahun 2002, peruntukan kawasan hutan
terbagi menjadi; Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi yang dapat dikonversikan, dan
Hutan Tanaman Tahunan. Berdasarkan paduserasi dan penataan ruang Provinsi Papua secara matriks, luas
wilayah dan fungsi hutan kawasan Teluk Bintuni disajikan dalam Tabel 2-1.
Tabel 2-1 Luas dan Fungsi Hutan Kabupaten Teluk Bintuni.
Hutan Lindung Luas (ha) Luas (%)
Hutan Lindung 69.125 5,75
Hutan Produksi 444.067 36,90
Hutan Produksi Terbatas 133.3112 11,08
Hutan PPA 180.562 15,00
Jumlah Kawasan Hutan Tetap 827.067 68,73
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 8
Hutan Produksi Dapat
Dikonversi
361.000 30,00
Penggunaan Lain 15.372 1,28
Jumlah Luas Kawasan 1.203.442 100.00
2.3.1 Distribusi Luas dan Kerapatan Hutan Mangrove
Berdasarkan pengolahan data spasial sebaran mangrove nasional dari Badan Informasi Geospasial
(BIG), luas sebaran hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni adalah hektar atau sekitar 10% dari total
luas hutan mangrove di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis spektral berdasarkan saluran 5 dan 4
menggunakan formula NDVI, diperoleh hasil kelas kerapatan rendah, sedang dan tinggi. Masing-masing
disimbolkankan dengan pewarnaan hijau, kuning, dan merah. Perhitungan data vektor hasil klasifikasi
supervised (terbimbing) diperoleh luasan dalam hektar masing-masing kelas kerapatan, sebagai berikut:
kerapatan tinggi 27.379 Ha; kerapatan sedang 135.672 Ha; kerapatan rendah 300 Ha. Sedangkan sekitar
96.938 hektar tidak dapat dimasukkan dalam kelas kerapatan karena tertutup awan. Hasil sebaran
mangrove beserta kerapatannya dapat dilihat pada Gambar 2-5.
Gambar 2-5 Peta Sebaran Mangrove dan Kerapatan Mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 9
INP (%)
B. gymnorrhiza
B. hainessii
R. apiculata
B. sexangula
B. gymnorrhiza
B. parviflora
B. sexangula
R. apiculata
X. moluccensis
B. gymnorhiza
R. apiculata
X. granatum
X. moluccensis
B. gymnorhiza
B. parviflora
C. tagal
R. apiculata
X. moluccensis
A. eucalyptifolia
R. apiculata
R. mucronata
S. alba
Kerapatan (Ind/Ha)
2.3.2 Analisis Vegetasi Berdasarkan Transek
Berdasarkan hasil pengamatan vegetasi mangrove di lokasi survei, diperoleh nilai total kerapatan
pohon mangrove sebesar 4.720 Ind/Ha. Kerapatan pohon mangrove tertinggi berada pada Stasiun-1 yaitu
sebesar 1.440 Ind/ha. Sementara stasiun-3 memiliki nilai kerapatan terendah yang mencapai 520 Ind/Ha
(Lampiran 2). Vegetasi pohon mangrove dengan jenis Rhizophora apiculata memiliki nilai kerapatan paling
besar pada stasiun-1, 4 dan 5. Pada stasiun-2 jenis vegetasi dengan nilai kerapatan tertinggi adalah Bruguiera
parviflora dan vegetasi kerapatan tertinggi pada stasiun-3 adalah Xylocarpus granatum (Gambar 2-6).
1200
1000
800
600
400
200
0
1000
660
520 480
360
20 60 140 260
60 40 20 20 120200 180
40 100160 120140
20
1 2 3 4 5
Spesies/Stasiun
Gambar 2-6 Nilai Kerapatan Tingkat Pohon pada Setiap Stasiun
Untuk menggambarkan kedudukan suatu jenis mangrove dalam komunitas, digunakan analisis
Indeks Nilai Penting (INP). Pada vegetasi tingkat pohon, INP didapat dari hasil penjumlahan Kerapatan
Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Hasil analisis nilai INP tingkat pohon
menunjukkan spesies Rhizophora apiculata memiliki INP tertinggi yaitu 92,02%. Melalui INP dapat diketahui
selain spesies Rhizophora apiculata yang paling banyak ditemui, spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera
parviflora juga mendominasi spesies pohon mangrove di lokasi survei (Gambar 2-7).
100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
92.02
20.66
49.08
5.59
34.67
29.40
9.62 11.73
6.55
18.13
22.55
JENIS
Gambar 2-7 Nilai INP Tingkat Pohon Seluruh Stasiun
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 10
INP (%)
B. gymnorhiza
B. hainessii
C. decandra
R. apiculata
R. mucronata
X. granatum
B. parviflora
B. gymnorhiza
R. apiculata
B. sexangula
X. granatum
X. moluccensis
B. gymnorhiza
B. parviflora
C. decandra
C. tagal
R. apiculata
X. moluccensis
B. gymnorhiza
B. parviflora
R. apiculata
R. mucronata
Kerapatan (Ind/Ha)
Sama seperti kerapatan tingkat pohon mangrove, vegetasi jenis Rhizophora apiculata juga memiliki
kerapatan tertinggi pada tingkat pancang. Nilai kerapatan tertinggi dari jenis ini ditemui di Stasiun-4 yang
mencapai 5.120 Ind/Ha. Jenis lainnya yaitu Xylocarpus moluccensis, juga mendominasi vegetasi mangrove
ditingkat pancang khususnya di Stasiun-3 (Gambar 2-8).
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
5120
2640
240
2080560
80 560 160 240 240 720 80 240 240 400 240 400
80 80 80 160 320
1 2 3 4 5
Spesies/Stasiun
Gambar 2-8 Kerapatan Jenis Setiap Stasiun Tingkat Pancang
Dari hasil perhitungan INP pada tingkat pancang diseluruh stasiun diperoleh nilai terbesar 70,97%
dimiliki oleh spesies Rhizophora apiculata. Dapat diamati bahwa Rhizophora apiculata memiliki kedudukan
tertinggi ditingkat pancang—dari segi kerapatan, dominasi, maupun frekuensinya. Sementara jenis Bruguiera
sexangula dan Bruguiera hainessii memiliki INP terendah, yaitu 4,7% (Gambar 2-9).
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
17,88
4,70
17,34
4,70
9,54
15,19
70,97
14,25
34,95
10,48
Spesies
Gambar 2-9 Nilai INP Tingkat Pancang
Kerapatan vegetasi tertinggi pada tingkat semai dimiliki oleh jenis Ceriops tagal di Stasiun-4 yang
mencapai 51.666,7 Ind/Ha. Jenis Bruguiera gymnorhiza memiliki kerapatan tertinggi tertinggi pada Stasiun-1
dan Stasiun-2 yaitu 10.000 Ind/Ha dan 24.500 Ind/Ha. Rhizophora mucronata memiliki kerapatan tertinggi di
Stasiun-5 sebesar 17.000 Ind/Ha (Gambar 2-10).
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 11
INP (%)
B.gymnorhiza
B. hainessii
B. sexangula
C. decandra
R. apiculata
R. mucronata
X. moluccensis
B. gymnorhiza
B. parviflora
R. apiculata
R. apiculata
X. granatum
X. moluccensis
B. gymnorhiza
B. parviflora
C. tagal
R. apiculata
X. moluccensis
B. gymnorhiza
R. apiculata
R. mucronata
X. moluccensis
Kerapatan(Ind/Ha)
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
51667
24500
17000
10000
2000 2000 10500
10500 8500 10000 9167
3000 2500 7500 5833
500 2500 2000
2500 500 2500 1500
1 2 3 4 5
Spesies/Stasiun
Gambar 2-10 Nilai Kerapatan Tingkat Semai Setiap Stasiun
INP pada tingkat semai dan tumbuhan bawah diperoleh dari penjumlahan nilai Kerapatan Relatif
(KR) dan Frekuensi Relatif (FR). Hasil perhitungan INP pada tingkat semai, menunjukkan jenis Bruguiera
gymnorrhiza memiliki INP terbesar yaitu 41,02%. Spesies lainnya yang memiliki nilai INP cukup tinggi adalah
Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal sebesar 36,92% dan 28,65%. Kedudukan mangrove ditingkat semai
terendah ada pada spesies Bruguiera hainessii sebesar 4,29% (Gambar 2-11).
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
41,02
4,29
20,95
7,32
4,92
28,65
36,92
24,74
10,67
20,51
Spesies
Gambar 2-11 Nilai INP Tingkat Semai
2.3.3 Struktur dan Vegetasi Mangrove
Untuk mengetahui struktur dan vegetasi mangrove Teluk Bintuni, metode yang digunakan adalah
pengamatan titik tengah (point center). Dari hasil pengamatan ditemukan 25 jenis mangrove—dari 52 jenis
mangrove di Papua Barat (Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Papua Barat, 2014)—yang terdiri
dari; 21 jenis mangrove sejati dan 4 jenis mangrove asosiasi. Secara umum keanekaragaman mangrove di
wilayah pesisir Teluk Bintuni cukup bervariasi. Namun kondisi di Sorong Selatan, dengan total 32 jenis
mangrove, masih lebih bervariasi. Secara keseluruhan famili mangrove yang paling banyak ditemui adalah
Rhizophoraceae (Tabel 2-2).
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 12
Tabel 2-1 Jenis Mangrove Berdasarkan Komponen Teluk Bintuni.
Komponen Nama jenis Famili
Mangrove Sejati
Mangrove Asosiasi
Rhizophora mucronata
Rhizophora stylosa
Rhizophora apiculata
Soneratia albam Smith
Bruguiera gymnorrhiza
Bruguiera sexangula
Ceriops tagal
Avicennia eucalyptifolia
Avicennia lanata Ridley
Xylocarpus moluccensis
Nypa fruticans Wurmb
Heritiera littiralis Aiton
Acrostichum aureum Linn.
Xylocarpuz granatum
Bruguiera parviflora
Ceriops decandra
Avicennia marina
Aegiceras corniculatum
Acrostickum aureum
Acanthus iicifolius
Avicennia alba
Dolichandrone sparthacea
Casawarina equisetifolia
Terminalia catapa
Derris trifolia
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Sonneratiaceae
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Avicenniaceae
Avicenniaceae
Meliaceae
Arecaceae
Sterculiaceae
Pteridaceae
Meliaceae
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Avicenniaceae
Myrsinaceae
Pteridaceae
Pteridaceae
Avicenniaceae
Bignoniaceae
Malvaceae
Combretaceae
Legominasae
Peralihan komunitas dan spesies mangrove mayor hanya mecapai batas zona intertidal. Kategori
jenis mangrove peralihan Teluk Bintuni diantaranya berasal dari famili; Arecaceae, Avicenniaceae,
Combretacea, Meliaceae, Rhizophoraceae, dan Sonneratiaceae (Spalding et al. 2010; Hogart, 2015). Komunitas
dan spesies mangrove minor memiliki toleransi salinitas yang baik. Dari mulai salinitas yang tinggi sampai
dengan salinitas rendah. Biasanya mangrove minor berada diwilayah dengan batas kedalaman air rendah.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 13
Jenis mangrove minor yang ada di Teluk Bintuni terdiri dari family; Acanthaceae, Bignoniaceae, Bombacaceae,
Caesalpiniaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae, Lythraceae, Myrsinaceae, Myrtaceae, Rubicaceae, Sterculaceae, dan
sebagainya (Spalding et al. 2010; Hogart, 2015).
2.3.4 Analisis Zonasi dan Jenis Mangrove Berdasarkan Foto Udara
Vegetasi mangrove yang diamati memiliki perbedaan jenis yang mendominasi. Pada tiap stasiun
masing-masing memiliki perbedaaan struktur pada vegetasinya. Kawasan mangrove Teluk Bintuni memiliki
ciri struktur tumbuh yang besar menuju daratan—dari garis pantai ke arah darat berkisar kurang lebih 16
Ha. Di dalam penelitiannya Pribadi (1998) menemukan bahwa pada zona depan hingga belakang mangrove,
Teluk Bintuni masih didominasi oleh jenis Rhizopora sp, kemudian diikuti oleh jenis Bruguiera sp, Avecennia
sp dan Xylocarpus sp.
Berdasarkan hasil pengamatan foto udara Stasiun-1 terlihat jenis Rhizophora sp mendominasi
wilayah pengamatan ini. Dapat diamati Rhizophora sp muda terletak mendekati garis pantai. Pada bagian
belakang daerah pengamatan Stasiun-1, mulai dapat ditemui jenis Bruguiera sp walaupun dalam jumlah yang
sedikit. Lokasi pengamatan Stasiun-2 berada di daerah aliran sungai. Jenis mangrove yang terletak didekat
batas sungai relatif bervariasi—Rhizophora sp, Bruguiera sp, dan Nypa fructicans. Zonasi mangrove di Stasiun-
2 cenderung didominasi oleh jenis Rhizophora sp dan Bruguiera sp. Rhizophora sp mati juga ditemui di kedua
stasiun tersebut dengan jumlah yang sangat sedikit (Gambar 2-12).
(a)
Gambar 2-12 Struktur Vegetasi Stasiun-1 (a) dan Stasiun-2 (b)
(b)
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 14
Zonasi mangrove pada Stasiun-3 disusun oleh Nypa fructicans pada bagian depan—dekat dengan
batas sungai. Pada bagian tengah merupakan area yang disusun oleh beberapa jenis mangrove yaitu;
Xylocarpus sp, Rhizophora sp, dan Bruguiera sp. Pada bagian belakang Stasiun-3 ditutupi oleh mangrove
dengan variasi jenis yang tinggi sehingga sulit untuk dipetakan. Sementara untuk Stasiun-4 sebagian besar
area di dekat batas sungai didominasi oleh jenis Rhizophora sp. Berdasarkan pengamatan diameter,
mayoritas Rhizophora sp yang menyusun bagian depan merupakan jenis pohon yang sudah berumur tua.
Rhizophora sp dengan kategori muda juga ditemui di bagian depan zonasi sampai ke wilayah tengah.
Kerapatan Rhizophora sp di lokasi pengamatan ini cukup tinggi. Jenis lain yang ditemui di lokasi ini adalah
Bruguiera sp dan Xylocarpus sp dalam jumlah yang sangat sedikit (Gambar 2-13).
(a)
Gambar 2-13 Struktur Vegetasi Stasiun-3 (a) dan Stasiun-4 (b)
(b)
Hasil pengamatan Stasiun-5 ditemukan jenis Soneratia alba pada bagian depan zonasi. Selanjutnya
pada bagian tengah disusun oleh dua jenis mangrove yaitu; Rhizophora sp dan Avecennia sp. Tutupan
Rhizophora sp lebih mendominasi untuk wilayah ini (Gambar 2-14).
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 15
Jumlah (Individu)
Gambar 2-14 Struktur Vegetasi Stasiun-5
2.3.5 Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial
Habitat mangrove menciptakan ekosistem bagi aneka ragam jenis fauna. Kelompok fauna perairan
atau akuatik yang hidup bersama di ekosistem hutan mangrove terdiri atas dua tipe yaitu; biota yang hidup
di kolom air (berbagai jenis ikan dan udang) dan biota yang hidup menempati substrat keras maupun lunak
(kepiting, kerang, dan jenis lainnya). Beberapa jenis makrozoobenthos yang bisa dijumpai di habitat
mangrove antara lain; jenis krustasea, moluska, annelida, dan beberapa jenis pisces. Makrobentik terbagi
menjadi dua jenis yaitu epifauna (hidup di atas permukaan substrat) dan infauna (hidup di dalam substrat).
Terdapat 17 jenis makrozoobenthos yang telah teridentifikasi di hutan mangrove Teluk Bintuni.
Uca sp merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 101 individu (Gambar 2-15). Jenis
yang juga banyak ditemui adalah Telescopium sp, yaitu sebanyak 87 individu. Sementara jenis lain seperti;
Chicoreus sp, Ellobium sp, Littoraria sp, Polumesoda sp, dan Macrobrachium sp juga ditemui dalam jumlah
sedikit.
Biota Asosiasi
120
100
80
60
40
20
0
50 44
101
32
87
10
27
36
Jenis Biota
Gambar 2-15 Jumlah Biota Asosiasi Mangrove di Teluk Bintuni.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 16
Berdasarkan analisis keanekaragaman (H’), kekayaan (R), dan kemerataan (E’) biota asosiasi
menggunakan klasifikasi Magurran (1988), diperoleh hasil bahwa hampir seluruh stasiun pengamatan
memiliki keanekaragaman sedang, kecuali Stasiun-5 di lokasi Tomu, dengan klasifikasi keanekaragaman
rendah. Indeks kekayaan di seluruh stasiun pengamatan juga menunjukan klasifikasi kekayaan rendah,
karena nilai R dari hasil perhitungan tidak ada yang mencapai 3,5. Namun nilai kemerataan dari seluruh
stasiun pengamatan menunjukkan kategori kemerataan tinggi karena nilai E’ melebihi 0.6 (Lampiran 1-5).
2.3.6 Sebaran Spesies Terancam Punah dan Dilindungi
Endangered Threatened and Protected (ETP) merupakan spesies kharismatik yang memegang peranan
penting dalam rantai makanan dan populasi serta keberadaannya sangat mempengaruhi seluruh
keberlangsungan ekosistem yang besar. Oleh karena itu, keberadaan spesies ETP penting untuk diketahui
sebagai parameter terhadap keseimbangan ekosistem di suatu wilayah. Diketahui wilayah perairan Teluk
Bintuni merupakan habitat yang sesuai untuk beberapa jenis spesies ETP. Berdasarkan hasil wawancara
dengan nelayan, masih sering dijumpai lumba-lumba, penyu, hiu, pari, dan buaya muara ketika pergi melaut.
Distribusi dari masing-masing spesies memiliki area yang berbeda-beda. Biasanya berkaitan dengan kondisi
fisik oseanografi dan karakteristik biologi dari masing-masing spesies. Distribusi spesies ETP di Teluk
Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2-16.
Gambar 2-16 Area Kemunculan Spesies Terancam Punah dan Dilindungi
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 17
Referensi
Agustina Y.S. Arobaya, Freddy Pattiselanno, 2017. Potensi Mangrove dan Manfaatnya bagi Kelompok Etnik
di Papua. [Online] Available at:
https://www.academia.edu/7546983/The_potency_of_mangroves_and_its_benefits_to_the_ethnic_
groups_in_Papua
Binsar Liem Sihotang, Soewarno Hasanbahri, Rishadi Purwanto, 2012. Potensi Karbon Hutan Mangrove di
PT Bintuni, p. 4. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Cecep Kusmana, Onrizal, Sudarmadji, 2003. Jenis Jenis Pohon Mangrove di Teluk Bintuni, Papua. Bogor:
Fakultas kehutanan IPB dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries.
Charles P.H. Simanjuntak, Sulistiono, M. F. Rahardjo, Ahmad Zahid, 2011. Iktiodiversitas di Perairan Teluk
Bintuni, Papua Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia, 11(2), p. 176.
Eric Wolansky, et.al., 2001. Water Circulation In Mangrove, and Its Implications For Bidiversity. In: E. Wolanski,
ed. Oceanographic Conditions that Infuence Mangrove Biodiversity, pp. 55-66. Australia: Boca Raton
London.
Holldobler, B, Taylor, RW, 1984. A Behavioral Study of the Primitive ant Nothomyrmecia macrop Clark.
Insectes Sociaux, 30(4), pp. 384-401.
Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara.
Innah, H. S., 2005. Model System Dinamics Pemanfaatan Hutan Mangrove. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Irwanto, 2015. Struktur dan Komposisi. [Online]
Available at: http://www. irwantoshut. 4t. com/
[Accessed Minggu Oktober 2017].
Irwanto, 2016. Analisis Vegetasi Teknik Titik Kwadran. [Online]
Available at: (http://www.irwantoshut.net/analisis_vegetasi_Teknik_titik_kwadran.html)
[Accessed Minggu September 2017].
KKP, 2004. Kreteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan mangrove. Indonesia/Jakarta, Patent No. 201.
Knight, M. dan S. Tighe, (editor) 2003. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003. Jakarta: Pemerintah
Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni, UNIPA, Proyek Pesisir.
Lubis, S. B., 2014. Panduan Penetapan KKP3K. Suplemen 6 ed. Jakarta: Direktorat KKJI.
Monokwari, D. K. K., 2002. Report Tahunan Dinas Kehutanan, Monokwari: 2003.
Pribadi, R., 1998. The Ecology of Mangrove Vegetation (thesis). Scotland: Department of Biological and
Molecular Sciences, p. 105.
Ruitenbeek, H. J., 2017. Modelling Economy-Ecology Linkages In Mangroves: Economic. Elsevier, Volume
10(Issue 3), p. 3.
Supriharyono, 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyatno, B., 2008. Industrialisasi MIGAS dan Existensi Masyarakat Lokal: Hasil Study di Teluk Bintuni, Papua.
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 21- No. 02/2008-04(12), pp. 163-173.
Wahyudi, dkk, 2014. Customary Right Compensation and Forest Villages Development Programs of Mangrove.
EISSN, XX(3), pp. 187-194.
Wan Juliana Wan Ahmad dan Razali Salam, 2014. Mangrove Ecosystem of Asia, Status, Challenges and
Manajement Stategies. Researchgate, I(4612), p. 477.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 18
Yuliar, 2000. Skrining Bioantagonistik Bakteri untuk Agen Biokontrol. Jurnal of Biology Diversity, IX(2), p.
160.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 19
III.
STATUS SOSIAL
Pendahuluan
Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni tersebar dalam 24 distrik dimana 12 distrik diantaranya terletak
di wilayah pesisir (BPS Kabupaten Teluk Bintuni, 2017). Luas Kabupaten Teluk Bintuni adalah 18.637 km2
yang mencakup wilayah laut termasuk muara dan sungai. Potensi sumber daya laut untuk perikanan cukup
besar dan telah dimanfaatkan sejak tahun 1970-an (Atlas Sumber daya Pesisir Teluk Bintuni, 2003).
Komoditas perikanan yang menjadi primadona dan berkembang hingga sekarang adalah udang. Aktivitas
pemanfaatan potensi perikanan udang sejak tahun 1990 oleh perusahaan PT. Bintuni Mina Raya telah banyak
menyerap lapangan kerja. Hingga saat ini aktivitas penangkapan udang masih terus dilakukan dengan
menggunakan armada <10 GT. Diketahui sekitar 1.469 rumah tangga perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni
memproduksi 405,8 ton udang pada tahun 2017. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya (BPS Kab.
Teluk Bintuni, 2017). Selain udang, komoditas kepiting bakau (mud crab), ikan demersal dan pelagis kecil
termasuk komoditas dominan yang dimanfaatkan nelayan Kabupaten Teluk Bintuni.
Ditinjau dari kondisi sosial masyarakatnya, penduduk Kabupaten teluk Bintuni terbagi dalam 7
kelompok suku yang tersebar di daerah pegunungan dan pesisir. Lima di antara suku tersebut tersebar di
wilayah pesisir yaitu Suku Kuri, Wamesa, Sebyar, Irarutu dan Sumuri. Masyarakat pesisir tersebut masih
sangat bergantung pada potensi sumber daya perikanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Diketahui pula bahwa wilayah perairan pesisir laut Kabupaten Teluk Bintuni telah diperuntukkan untuk
kawasan industri, blok migas, konservasi dan hutan lindung. Tekanan terhadap wilayah perairannya semakin
banyak dan tentunya berdampak pada aktivitas perikanan tangkap. Di samping itu, kebijakan pengendalian
penangkapan dan pengaturan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut belum diformulasikan. Isu dan
permasalahan mengenai hilangnya daerah penangkapan (fishing ground), jumlah tangkapan semakin menurun
serta wilayah tangkap yang semakin jauh menjadi kendala yang harus dihadapi masyarakat terutama nelayan
tradisional. Padahal komoditas perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715 adalah komoditas
ekspor yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan mengenai pengaturan pemanfaatan sumber daya pesisir
dan laut di Kabupaten Teluk Bintuni. Pengaturan tersebut harus memperhatikan berbagai macam aspek di
mana salah satunya aspek sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Atas dasar tersebut kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat pesisir Kabupaten Teluk Bintuni penting untuk diketahui. Untuk mengetahui kondisi
sosial dan ekonomi masyarakat peisisr, perlu dilakukan survei lapangan untuk menjadi referensi awal dalam
inisiasi program pelestarian sumber daya laut dan pengendalian pemanfaatan perikanan di Kabupaten Teluk
Bintuni.
Metode
Pelaksanaan pengambilan data lapangan dilakukan selama 7 hari di 5 lokasi kampung target. Kampung
target dipilih berdasarkan tingginya tingkat aktivitas perikanan dan pemanfaatan sumber daya laut (Tabel 3-
1).
Tabel 3-1 Lokasi Pengambilan Data di Masing-Masing Distrik di Kabupaten Teluk Bintuni
No. Distrik Target Kampung/Kelurahan
1. Manimeri Kampung Banjar Ausoy
2. Bintuni Kampung Nelayan (RT1 RW3) Kel. Bintuni Timur
3. Taroi Kampung Taroi
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 20
4. Aroba Kampung Sidomakmur
5. Babo Kampung Modan
a. Profil Desa
Target data yang diperoleh dari survei ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:
Pengambilan data menggunakan metode wawancara informan kunci (key informan interview). Informan
kunci yang menjadi target yaitu kepala desa atau perangkat desa lainnya. Panduan wawancara informan
kunci menggunakan protokol dan kuesioner Survei Cepat Kondisi Habitat Pesisir, Sosial dan
Pemanfaatan Sumber Daya Laut yang disusun oleh WWF Indonesia (2016).
b. Kondisi Sosial dan Ekonomi Rumah Tangga
Pengambilan data sosial dan ekonomi menggunakan kuesioner aset rumah tangga yang dikeluarkan oleh
USAID SEA-Poject. Jumlah responden pada masing-masing kampung target berjumlah 5% dari total
Rumah Tangga. Penentuan responden menggunakan metode simple random sampling dengan meminta
ketersediaan calon responden.
Hasil
3.3.1 Sarana dan Prasarana
Aktivitas pemanfaatan potensi sumber daya laut di Kabupaten Teluk Bintuni dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Upaya pemenuhan kebutuhan tersebut membutuhkan adanya
interaksi sosial antara berbagai pengguna sumber daya. Adanya interaksi sosial menjadi aspek penting untuk
mendukung peningkatan ekonomi dan kapasitas sumber daya manusia. Dukungan dari aspek pengembangan
sumber daya manusia dan peningkatan ekonomi salah satunya adalah melalui pemenuhan sarana dan
prasarana. Dengan demikian, untuk menilai perkembangan kondisi sosial ekonomi perlu mengetahui kondisi
terkini dari aspek sarana dan prasarana tersebut.
3.3.2 Transportasi
Moda transportasi yang digunakan masyarakat di Teluk Bintuni umumnya dengan berjalan kaki
(Gambar 3-1), terutama di Kampung Taroi, Distrik Taroi dan Kampung Sidomakmur, Distrik Aroba.
Penggunaan kendaraan bermotor sangat terbatas di kedua distrik tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi
pemukiman masyarakat yang berbentuk rumah panggung di atas daerah muara dan jauh dari jalan darat.
Akses jalan dari rumah ke rumah atau sekitarnya hanya melalui jembatan papan. Sedangkan masyarakat di
Kampung Nelayan (RT 02), Kampung Modan, dan Kampung Banjar Ausoy umumnya menggunakan moda
transportasi modern, yaitu sepeda motor atau mobil, namun presentase kepemilikan mobil sebagai moda
transportasi hanya 1% karena umumnya masyarakat di ketiga kampung tersebut masih menggunakan
kendaraan umum atau motor untuk bepergian.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 21
Lainnya, 1% Mobil, 1%
Pejalan kaki, 52%
Motor, 46%
Gambar 3-1 Moda Transportasi di Kampung Target
Presentase pengguna sepeda motor dari seluruh kampung target mencapai 46%. Moda transportasi
jenis sepeda motor umumnya digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan dari tempat pendaratan ikan
menuju tempat pengepul. Selain itu sepeda motor juga digunakan untuk aktivitas lain seperti mengangkut
logistik ataupun bepergian ke kampung sekitar. Masyarakat di Kampung Taroi, Kampung Sidomakmur, dan
Kampung Modan umumnya menggunakan perahu bermesin milik pribadi dan kapal regular yang khusus
melayani rute tertentu dengan waktu tempuh sekitar 2-4 jam menuju Ibukota Kabupaten (Bintuni). Berbeda
dengan masyarakat Banjar Ausoy dan Kampung Nelayan yang dapat menempuh jalur darat dengan
menggunakan mobil atau sepeda motor untuk mencapai Ibukota Kabupaten (Bintuni).
3.3.3 Alat Tangkap Perikanan
Alat tangkap perikanan yang digunakan oleh nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Teluk Bintuni
dipengaruhi oleh target spesies tangkapan. Hasil survei pada wilayah target pengambilan data dapat dilihat
pada Gambar 3-2.
Jaring Insang Kecil,
30%
Pancing Tangan/Handline, 1%
Lainnya, 4%
Rawai Dasar, 13%
Jaring Insang Besar, 13%
Bubu, 39%
Gambar 3-2 Penggunaan Alat Tangkap Perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh masyarakat
nelayan di Kabupaten Teluk Bintuni adalah bubu untuk menangkap kepiting sebesar 39%. Sekitar 30%
menggunakan alat tangkap jaring insang kecil (trammel net) yang digunakan untuk tangkapan target
komoditas udang. Sedangkan sebanyak 13% nelayan menggunakan alat tangkap jaring insang besar dengan
target tangkapan ikan congge/Famili Sciaenidae. Sebanyak 13% lainnya menggunakan alat tangkap rawai
dengan target tangkapan ikan congge/Famili Sciaenidae. Sedangkan 4% nelayan menggunakan alat tangkap
lainnya (jaring pele dan lain-lain) yang biasanya digunakan untuk target semua jenis ikan. Alat pancing tangan
atau handline digunakan untuk memancing target tangkapan ikan sembilang, kakap, kerapu dan ikan dasar
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 22
lainnya. Handline biasanya digunakan sebagai alat tangkap tambahan yang dibawa bersamaan dengan alat
tangkap utama.
3.3.4 Bahan Bakar untuk Memasak
Bahan bakar rumah tangga untuk memasak yang paling banyak digunakan oleh masyarakat
Kabupaten Teluk Bintuni adalah minyak tanah. Namun masih ditemukan responden yang menggunakan
kayu bakar untuk memasak yang ditemukan di 4 kampung survei, yaitu Kampung Taroi, Sidomakmur,
Modan, dan Banjar Ausoy. Gambar 3-3 menggambarkan jenis bahan bakar yang digunakan masyarakat di
kampung-kampung target untuk memasak.
Taroy
Sidomakmur (RKI)
Modan
Bintuni Timur (Kampung Nelayan)
Banjar Ausoy
0%
10%
10%
25%
30%
70%
75%
90%
90%
100%
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Bahan Bakar Kayu
Bahan Bakar Minyak Tanah
Gambar 3-3 Jenis bahan bakar yang digunakan oleh masyarakat untuk memasak
3.3.5 Suplai Listrik
Listrik adalah salah satu sumber energi yang diperlukan oleh masyarakat dalam mendukung aktivitas
rumah tangga. Energi listrik terutama digunakan sebagai sumber penerangan dan mensuplai energi untuk
berbagai peralatan elektronik sebagai alat hiburan dan informasi. Jaringan listrik PLN sangat sulit untuk
menjangkau wilayah kampung pesisir target survei karena kondisi geografis wilayahnya. Sebagian besar
masyarakat pesisir menggunakan generator yang waktu pengoperasiannya terbatas. Hasil survei yang
mengkategorikan penggunaan listrik dapat dilihat pada Gambar 3-4.
Menggunakan listrik,
91%
Tidak menggunakan
listrik, 9%
Gambar 3-4 Kondisi Suplai Listrik Kampung Target Survei di Kab. Teluk Bintuni
Grafik diatas memperlihatkan bahwa terdapat sekitar 9% masyarakat tidak memperoleh suplai
listrik dan 91% mendapatkan suplai listrik. Tidak semua kampung target mendapat suplai energi listrik yang
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 23
Jenjang Pendidikan
berasal dari PLN. Terdapat beberapa kampung yang menggunakan energi listrik bersumber dari generator
set milik pribadi seperti pada Kampung Sidomakmur dan Kampung Taroi. Kampung Banjar Ausoy, Bintuni
Timur dan Kampung Modan mendapat suplai energi listrik dari PLN dan beroperasi selama 24 jam. Pada
saat survei di lapangan, ditemui kampung yang sudah pernah dialiri listrik, tetapi selama 2 tahun belakangan
ini tidak ada lagi aliran listrik dari PLN karena masyarakat tidak dapat membayar uang listrik di kampung
Taroi.
3.3.6 Telekomunikasi
Teknologi telekomunikasi sudah berkembang, terutama komunikasi antar masyarakat yang
umumnya memiliki telepon seluler sebagai alat komunikasi. Di kampung-kampung target telepon seluler
sudah menjadi hal yang lumrah dimiliki masyarakat khususnya Kampung Banjar Ausoy dan Kampung
Nelayan Kelurahan Bintuni Timur. Penggunaan alat komunikasi tersebut didukung dengan tersedianya
jaringan komunikasi yang cukup memadai. Masyarakat Banjar Ausoy dan Kampung Nelayan Kelurahan
Bintuni Timur yang secara geografis lebih dekat dengan ibukota kabupaten mendapatkan akses lebih baik
untuk berkomunikasi menggunakan telepon seluler baik smartphone maupun non-smartphone. Kepemilikan
telepon seluler terbanyak berada di kedua distrik tersebut. Sedangkan di ketiga distrik lainnya hanya
sebagian kecil penduduknya yang memiliki akses komunikasi menggunakan telepon seluler. Selain telepon
seluler, akses informasi diperoleh masyarakat melalui TV dan Radio.
3.3.7 Pendidikan
Perkembangan pendidikan yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni ditentukan oleh besarnya
partisipasi masyarakat pada jenjang pendidikan tertentu. Persentase angka partisipasi murni jenjang
pendidikan di Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 3-5 dan ketersediaan fasilitas sekolah
yang tersedia di 5 kampung sampel dapat dilihat pada Tabel 3-2 berikut.
Perguruan Tinggi
14.04
SMA/SMK/MA
56.47
SMP/MTS
64.65
SD/MI
91.62
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
(%)
Gambar 3-5 Persentase Angka Partisipasi Murni Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Teluk Bintuni
(Sumber: BPS Kabupaten Teluk Bintuni 2016)
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 24
Distrik
Aroba Distrik Babo
Dsitrik
Bintuni
Distrik
Tomu
Distrik
Manimeri
Tabel 3-2 Kondisi Keberadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kampung Sampel Kabupaten Teluk Bintuni
Jenjang Pendidikan Banjar Ausoy Kampung Nelayan
RT1 RW3
Taroi Sidomakmur Modan
TK/PAUD 2 Tidak ada 1 1 1
SD/MI 2 Tidak ada 1 2 1
SMP/MTS 2 Tidak ada 1 2 1
SMA/SMK 1 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Universitas Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tingkat pendidikan penduduk di 5 kampung sampel rata-rata lulusan SMA. Hal tersebut dapat
dilihat dari fasilitas sekolah yang tersedia. Minimnya fasilitas sarana dan prasarana pendidikan seperti
Universitas atau Akademi menyebabkan kendala bagi masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Untuk melanjutkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi seperti universitas, masyarakat
harus pergi ke luar daerah. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, sebagian besar siswa yang ingin
melanjutkan pendidikan memilih perguruan tinggi yang ada di Kota Sorong, Manokwari, Pulau Sulawesi dan
Jawa.
SMA/SMK
SMP
SD
SMA/SMK
SMP
SD
SMA/SMK
SMP
SD
SMA/SMK
SMP
SD
SMA/SMK
SMP
SD
0
24
40
36
23
58
80
61
75
122
141
144
274
336
378
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Murid
Gambar 3-6 Tingkat Kelususan di 5 Distrik Kabupaten Teluk Bintuni (Sumber: BPS Kabupaten Teluk Bintuni Tahun
2016)
Tingkat kelulusan di 5 distrik sampel di Kabuputen Teluk Bintuni rata-rata lulusan SMA. Hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3-6. Sebagian besar penduduknya mampu mengenyam pendidikan di
tingkat SMA/SMK. Namun demikian, beberapa kendala yang ditemui oleh masyarakat yaitu akses yang
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 25
Health Facilities Health Workers
belum memadai seperti transportasi menghubungkan antara Dsitrik Aroba dan Distrik Babo. Akibatnya
sebagian besar siswa dari Distrik Aroba harus menetap di distrik yang memiiliki fasilitas SMA/SMK.
3.3.8 Kesehatan, Air Bersih, dan Sanitasi
Kondisi kesehatan masyarakat di Teluk Bintuni khususnya di kampung-kampung target sudah cukup
baik. Fasilitas kesehatan sudah tersedia, seperti Rumah Sakit, Posyandu, Apotek, dan Puskesmas Pembantu
(PUSTU). Kampung Modan merupakan satu-satunya lokasi yang belum memiliki PUSTU, namun terdapat
fasilitas Posyandu dan keberadaan mantri kesehatan. Fasilitas kesehatan yang memadai berada di Kampung
Banjar Ausoy di mana terdapat Rumah Sakit (RS), PUSTU dan Apotek yang didukung dengan tenaga
kesehatan seperti dokter umum, dokter gigi, bidan, dan mantri kesehatan (Gambar 3-7).
Ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat sehingga
adanya peningkatan kesehatan masyarakat di 5 kampung target. Namun di beberapa kampung masih
ditemukan wabah penyakit malaria dan diare, seperti di Kampung Taroi dan Banjar Ausoy. Dalam 2 tahun
terakhir masyarakat Taroi masih mengeluhkan wabah penyakit malaria maupun diare. Hal ini dipengaruhi
kondisi kampung yang memiliki banyak rawa-rawa dan genangan air sehingga memungkinkan perkembangan
penyakit malaria. Wabah malaria di Papua Barat masih tergolong tinggi. Sebagian besar masyarakat pernah
merasakan gejala malaria dan didiagnosis malaria oleh petugas kesehatan (Balitbangkes, 2008). Selain
malaria dan diare, masyarakat di kampung-kampung target juga mengeluhkan asam urat, sakit gigi, diabetes,
dan influenza.
Traditional Midwife
1
1
2
Healthcare Assistant
1
2
2
7
Midwife
1
1
2
1
7
Dentist
1
Doctor
4
Posyandu
1
1
1
2
PUSTU
1
1
1
1
Pharmacy
2
Hospital
1
0 2 4 6 8 10
Sidomakmur Taroy Kampung Nelayan Modan Banjar Ausoy
Gambar 3-7 Fasilitas Kesehatan di Kampung-Kampung Target Kabupaten Teluk Bintuni
Wabah penyakit malaria dan diare berkaitan dengan sanitasi yang buruk dan ketersedian air bersih.
Umumnya masyarakat sudah memahami pentingnya kesehatan dan sanitasi. Hal ini terlihat dari tiap rumah
tangga yang sudah memiliki MCK. Hanya 3,3% rumah tangga di 5 kampung target yang tidak mempunyai
MCK, 15,4 % lainnya menggunakan MCK secara bersama (Gambar 3-8). Penggunaan MCK secara bersama
terbanyak terdapat di Kampung Nelayan (RT 02), hal ini dipengaruhi oleh ketersedian lahan pemukiman
yang tidak memadai sehingga berpengaruh terhadap ketersedian ruangan dalam rumah. Tiap rumah tangga
di Kampung Nelayan (RT 02) umumnya hanya mempunyai 3 ruangan, sehingga tidak memungkinkan untuk
memiliki MCK pribadi.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 26
Sanitation Akses air bersih
Penggunaan air bersih untuk pemenuhan aktivitas rumah tangga, seperti mencuci, memasak, dan
air minum di kampung-kampung target, umumnya bersumber dari air sumur, sungai, ataupun air hujan
(Gambar 3-8). Diantara 5 kampung target hanya Kampung Nelayan (RT 02) yang menikmati air bersih dari
PDAM untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Papua
Barat masih banyak rumah tangga yang menggunakan air minum dari sumber tidak terlindungi. Ketersediaan
air bersih yang terbatas juga berisiko tinggi menyebabkan gangguan kesehatan/penyakit, khususnya penyakit
yang ditularkan melalui air (Balitbangkes, 2008).
Air Hujan
7%
Sungai
2%
Sumur Pribadi
58%
Sumur Bersama
PDAM
15%
18%
Tidak Punya
3.3%
Komunal
15.4%
Pribadi
81.3%
0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 70.0% 80.0% 90.0% 100.0%
Gambar 3-8 Akses Air Bersih dan Sanitasi di Kampung-Kampung Target Kabupaten Teluk Bintuni
3.3.9 Kelompok Masyarakat
Komunitas masyarakat di Kabupaten Teluk Bintuni terbentuk berdasarkan kelompok seperti di
Kampung Banjar Ausoy terdapat komunitas Kuda Lumping yang merupakan kelompok tari-tarian. Di
Kampung Nelayan Kelurahan Bintuni Timur terdapat Komunitas Buruh bernama Gabungan Serikan Buruh
Indonesia (GSBI). Di Kampung Sidomakmur terdapat Komunitas Pemuda Sidomakmur yang bergerak di
bidang karang taruna. Selain itu, ada berbagai komunitas lain seperti komunitas nelayan tangkap, baik
nelayan dengan target komoditas udang maupun nelayan dengan komoditas kepiting.
3.3.10 Organisasi Ekonomi
Keberadaan organisasi ekonomi di Kabupaten Teluk Bintuni terutama di kampung target survei
sangat minim. Organisasi ekonomi yang teridentifikasi salah satunya adalah koperasi yang terletak di
Kampung Taroi. Koperasi tersebut awalnya dibentuk oleh masyarakat nelayan namun terhenti karena
sistem permodalan tidak berjalan dengan baik. Kemudian koperasi tersebut dibangun kembali oleh LNG
Tangguh dengan memberikan modal awal untuk pembelian hasil perikanan tangkap. Saat ini koperasi
tersebut kembali tidak aktif. Selain itu, hanya terdapat kelompok-kelompok nelayan yang dimodali oleh
pengepul atau penampung dengan sistem bagi hasil. Ada juga nelayan yang hasil tangkapannya dijual langsung
ke pengepul atau penampung namun tidak membentuk organisasi.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 27
3.3.11 Kependudukan
Sebagian besar penduduk kampung target survei bermatapencaharian sebagai nelayan yang memiliki
ketergantungan cukup besar terhadap potensi sumber daya perikanan dan kelautan. Di samping itu, dari
hasil survei di 5 kampung target terdapat berbagai macam cara untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari
yang disajikan melalui Tabel 3-3.
No.
Tabel 3-3. Sumber Pendapatan untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-Hari di Kampung Target Survei
Cara memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari
1 Bertani di darat (budidaya tanaman
dan atau beternak);
2 Mengambil hasil hutan (contoh:
kayu, arang, hasil hutan non-kayu)
3 Melaut (termasuk menangkap ikan,
krustasea, dan hasil laut lainnya baik
untuk dijual maupun untuk
dikonsumsi sendiri)
4 Melakukan budidaya perikanan
(Ikan, udang, rumput laut, dll;
termasuk usaha penggemukan ikan)
5 Mengambil sumber daya laut tak
terbarukan (contoh: tambang
karang, tambang pasir, terumbu
karang, dll).
6 Pariwisata laut (skuba, snorkel,
glass-bottom boats, kapal layar, skiair,
jet ski, homestay, guide, dll)
7 Pekerjaan yang menghasilkan upah
lainnya (contoh: guru, pedagang,
tenaga kesehatan, pekerja/buruh,
pegawai negeri)
K. Banjar
Ausoy
K. Nelayan
(RT1/RW 2)
K. Modan K.
Sidomakmur
√ Tidak ada Tidak ada √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √
K. Taroi
√ Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
√ √ √ √ √
Tabel diatas memperlihatkan bahwa cara memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari 5 kampung target
sampel survei diantaranya mengandalkan hasil laut, pekerjaan seperti guru dan pedagang, bertani dan
melakukan budidaya. Lahan pertanian yang cukup luas terdapat di Kampung Banjar Ausoy karena wilayah
tersebut merupakan daerah transmigrasi. Pada tahun 1994 sebanyak 255 KK masing-masing memiliki
sekitar 2 ha lahan untuk dijadikan lahan pertanian. Hingga saat ini, Kampung Banjar Ausoy teridentifikasi
memiliki sekitar 80 ha lahan pertanian padi (sawah) yang masih aktif. Di samping itu, mengandalkan hasil
laut menjadi aktivitas utama masyarakat kampung target. Komoditas perikanan yang menjadi target antara
lain kepiting bakau, udang, ikan demersal serta pelagis kecil.
Pekerjaan yang mengasilkan upah seperti guru dan tenaga kesehatan juga menjadi sumber pendapatan
masyarakat kampung target. Hasil survei jumlah tenaga kesehatan di maisng-masing kampung target sampel
dapat dilihat pada Tabel 3-4.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 28
Tabel 3-4 Jumlah Tenaga Kesehatan di Kampung Target Survei
No Tenaga Medis K. Banjar
Ausoy
K. Nelayan
(RT1 RW 3)
K.
Modan
K.
Sidomakmur
1 Dokter 4 - - - -
2 Dokter gigi 1 - - - -
3 Bidan 7 2 1 1 1
4 Tenaga kesehatan lainnya (Mantri Kesehatan) 7 1 2 - 1
5 Dukun bayi 2 - - 1 1
K.
Taroi
Tenaga medis yang teridentifikasi di Kampung Banjar Ausoy karena di wilayah ini terdapat fasilitas
Rumah Sakit. Masing-masing kampung target memilki tenaga kesehatan bidan dan menetap di kampung
tersebut. Dukun bayi hanya terdapat di Kampung Banjar Ausoy, Kampung Sidomakmur, Kampung Taroi.
Tenaga kesehatan seperti mantri juga dimiliki hampir semua kampung target kecuali Kampung Sidomakmur.
3.3.12 Produksi Pertanian dan Perikanan
a. Pertanian
Di bidang pertanian sebagian besar kampung target survei tidak memiliki lahan pertanian. Mayoritas
masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal ini karena seluruh kampung lokasi survei berada di
daerah estuari yang ditumbuhi oleh mangrove sehingga tidak cocok untuk lahan pertanian. Namun, ada
beberapa masyarakat yang memiliki kebun yang luasnya tidak terlalu besar.
Tidak ada, 75%
Buah-buahan, 15%
Sawah, 2%
sayur, 8%
Gambar 3-9 Persentase Lahan Pertanian di Kab. Teluk Bintuni
Gambar 3-9 menjelaskan masyarakat Kab. Teluk Bintuni yang bergerak di bidang pertanian sangat
sedikit, dimana 75% masyarakat tidak memiliki kebun. Sedangkan 15% masyarakat memiliki kebun buahbuahan,
8% memiliki kebun sayur dan 2% memiliki sawah karena pada dasarnya masyarakat pesisir hanya
mengandalkan mata pencaharian sebagai nelayan udang, kepiting dan ikan congge.
b. Perikanan
Kabupaten Teluk Bintuni dikenal dengan sebagai salah satu penghasil komoditas udang terbesar di
Provinsi Papua Barat. Bukan hanya udang namun terdapat komoditas lain yang menjadi potensi perikanan,
diantaranya kepiting dan ikan congge. Nelayan yang menangkap udang menggunakan jaring selalu
mendapatkan tangkapan ikan lain seperti ikan sembilang, lema dan beberapa jenis ikan lainnya. Namun hasil
tangkapan lain tersebut tidak memiliki nilai jual yang tinggi sehingga tidak dimanfaatkan oleh nelayan.
Produksi perikanan Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 3-10 berikut:
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 29
Ton
3,500.00
3,000.00
2,500.00
2,000.00
1,500.00
1,000.00
500.00
0.00
2728.6
2869
2145.3
2,021.10
2261
2160.6 2160.6 2200
2217.1
2183.3
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
Gambar 3-10 Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2007-2016 (Sumber: Statistik Perikanan
Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2017)
Grafik diatas memperlihatkan terjadinya peningkatan produksi perikanan tiap tahunnya mulai dari
tahun 2007 sampai 2016. Adanya kebijakan moratorium penggunaan alat tangkap trawl di tahun 2013
ternyata tidak mempengaruhi penurunan produksi perikanan. Diketahui bahwa produksi tangkapan
terbesar di Kabupaten Teluk Bintuni setiap tahun adalah komoditas udang. Setelah pelarangan trawl, nelayan
menggunakan alat tangkap trammel net dengan bantuan armada ukuran <10 GT untuk menangkap udang.
3.3.13 Sejarah Komunitas
Kabupaten Teluk Bintuni secara umum termasuk dalam wilayah adat III Bomberai mencakup 7 suku
besar yakni suku Moskona, Sough, Kuri, Wamesa, Irarutu, Sebyar dan Sumuri. Suku yang masuk ke dalam
wilayah kajian pada survei ini adalah wilayah suku yang berada di wilayah pesisir yakni Suku Sebyar, Kuri,
Sumuri dan Irarutu.
Tabel 3-5 Sejarah Komunitas yang Menetap di Kabupaten Teluk Bintuni
Suku Kuri
Orang Kuri merupakan salah satu rumpun besar yang mendiami pesisir pantai
Teluk Bintuni sampai pegunungan sebelah barat Kabupaten Teluk Wondama dan
Kabupaten Kaimana. Suku Kuri dikenal dengan karakter yang keras dan suka
berperang. Suku ini memiliki wilayah yang luas karena suka mengembara. Rumpun
masyarakat Kuri memiliki kebiasaan menanam sagu yang dijadikan sebagai penanda
wilayah adat Suku Kuri. Keuletan dan kecerdasan dari nenek moyang orang Kuri,
menjadikan generasi suku Kuri sekarang mempunyai wilayah (tanah/Kakopa) yang
sangat luas dan di dalamnya terdapat banyak sekali kekayaan yang bisa digunakan
untuk kelangsungan hidup. Saat ini orang kuri tersebar di Naikere, Undurara,
Yahore, Wombu, Sararti, Nanimori, Dusner dan Simei. “Kakopa” merupakan
ungkapan orang Kuri dalam hubungannya dengan ‘tanah’ yang dimaknai sebagai
“ibu kandung” karena dari “kakopa” itulah mereka dapat hidup.
Perubahan peradaban suku terjadi ketika Injil mulai diperkenalkan kepada orangorang
Kuri. Mereka mulai diajak untuk berpindah tempat dari gunung ke pinggiran
sungai dan pesisir pantai dengan alasan mereka harus dikumpulkan dan menetap
di suatu tempat sehingga Injil (kabar baik) yang merupakan sesuatu yang baru bagi
rumpun Kuri ini mudah disampaikan. Perubahan dimulai sejak 1920-1921 dimana
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 30
Suku Sebyar
Injil diperkenalkan di Dusner. Lambat laun kerabat yang masih mendiami daerahdaerah
gunung termsuk Obo akhirnya memilih turun dan menetap di pantai.
Kehidupan modern dimulai sejak itu, salah satunya pendidikan yang mulai masuk.
Kebiasaan hidup orang Kuri mulai mengalami perubahan ketika mereka mulai
berinteraksi dengan suku/masyarakat di luar mereka, seperti barter/tukar barang.
Burung Cenderawasih mempunyai nilai tukar yang sangat tinggi pada saat itu.
Selain itu ada kulit buaya, gaharu dan kekayan alam lainnya. Kebiasaan barter itulah
yang mengakrabkan orang Kuri dengan pihak luar hingga akhirnya mengenal sistem
pasar modern saat ini. Dalam kehidupan orang Kuri tidak ada strata sosial, semua
mempunyai kedudukan yang sama. Orang Kuri juga terkenal dengan agama suku
yang kuat dan memiliki tempat-tempat keramat yang disakralkan dan dijaga dengan
baik. Tempat-tempat keramat ditunjukkan dan dikhususkan untuk tokoh suku di
tiap-tiap keret/marga.
Seiring dengan perputaran waktu, sekitar tahun 1970an hidup orang Kuri mulai
mengalami perubahan dan mulai mengenal mata uang sebagai alat tukar, mulai
meniru budaya orang lain. Hasil meramu dan hasil buruan tidak lagi ditukar dengan
benda tetapi harus ditukarkan dengan uang. Kini semua kebiasaan baik dari leluhur
sudah tidak ada. Hanya segelintir orang yang masih memelihara kearifan lokal.
Kawin campur mulai terjadi dengan suku-suku dari luar orang Kuri mengakibatkan
adanya perpaduan dalam pola hidup dan pola pikir antarsuku.
Tahun 1990-an masuklah perusahan kayu yang pertama, Wapoga Mutiara Timber.
Tahun 2013 datang perusahan Sinar Wijaya Sentosa. Hutan dibabat, sungai dirusak
tempat ikan dan biota lainnya hidup dan berkembang dirusak, babi hutan menjauh,
orang susah untuk berburu, tidak bisa tokok sagu, karena sungai keruh sepanjang
waktu. Pola hidup produktif orang Kuri pun telah berubah menjadi konsumtif.
Suku Sebyar terdiri dari sub-suku Dambad dan Kemberan yang dulunya mendiami
Distrik Arandai. Suku ini terdiri atas beberapa marga asli seperti Kosepa, Kaitam,
Nawarisa, Inai yang berasal dari Gunung Nabi. Gunung Nabi letaknya antara
Distrik Bintuni dan Distrik Babo. Semua etnis menganggapnya sebagai gunung
sakral. Suku Sebyar dan suku lainnya (Kuri, Wamesa, Irarutu, Sumuri, Manikion
dan Kambatin) mendiami sepanjang Sungai Narawasa di sekitar Gunung Nabi.
Ketika terjadi air bah mereka melakukan migrasi. Salah satu nenek moyang dari
Suku Sebyar melakukan perjalanan meninggalkan tempat tinggalnya di Kuri
Wamesa sekitar Gunung Nabi dengan menggunakan rakit bambu yang kemudian
diberi marga Kosepa. Kemudian terdampar di sekitar Sungai Kamaren di wilayah
muara Bintuni. Lalu melakukan perjalanan hingga ke lokasi Sasari. Di lokasi
tersebut pula mereka bertemu dengan nenek moyang dari marga Nawarisa yang
mengajak untuk membuka pemukiman baru yang kemudian diberi nama Kampung
Tomu. Kampung ini sekarang menjadi bagian dari pemekaran Distrik Taroi. Tomu
artinya tempat bertemu. Sedangkan sebagian besar marga Inai dan Kaitam dulunya
mendiami wilayah muara Sungai Sebyar dan membentuk Kampung Manggarina.
Pada tahun 1932 terjadi kontak pertama dengan pihak luar yang membawa misi
penyebaran agama Kristen dan kemudian disusul pada tahun 1939 para pedagang
dari Ternate menyebarkan agama Islam. Lalu pada tahun 1989 masuk perusahaanperusahaan
kayu, sagu, udang, minyak. Hingga tahun 1989 masuk transmigran yang
berasal dari Jawa di Distrik Arandai.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 31
Suku Irarutu
Suku Sumuri
Sebyar yang berarti menyebar, memiliki 26 marga yang tersebar. Marga tersebut
dibagi menjadi dua bagian berdasarkan sub-suku.
a. Sub-suku Dambad terdiri atas marga Nawarisa, Kosepa, Kaitam, Inai,
Gegetu, Efun, Kinder.
b. Sub-suku Kembaran terdiri atas marga Tabyar, Iribaram, Urbon, Nabi,
Bauw, Baraweri, Solowat, Hindom, Patiran, Kutanggas, Frabun, Rumatan,
Eren, Tonoy, Kokop, Ibimbong, Buranda dan Kambori.
Marga-marga tersebut mendiami 7 kampung yaitu Tomu, Weriagar, Kali Tami,
Taroi, Kecap, Arandai dan Kampung Baru.
Nenek moyang suku Irarutu awalnya berasal dari Gunung Nabi yang terletak di
wilayah Distrik Teluk Arguni. Di atas gunung itu terdapat tiga sungai besar.
a. Sungai pertama bermuara ke Teluk Wondama yang didiami oleh suku
Kuri dan sekarang menjadi Kabupaten Teluk Wondama. Bahasa yang
mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Kuri dan Irarutu.
b. Sungai kedua bermuara ke Teluk Triton dan didiami oleh suku Mairasi.
Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Mairasi. Makanan
sehari-hari Suku Mairasi adalah umbi-umbian dan buah merah. Tempat
tinggal mereka berada tepat di matahari terbit.
c. Sungai ketiga bermuara di Teluk Arguni. Yang mendiami sungai itu adalah
Suku Irarutu yang berada di Teluk Arguni. Bahasa yang mereka gunakan
sehari-hari adalah bahasa Irarutu, Mairasi, Kambrau dan Kuri.
Di bawah kaki Gunung Nabi terdapat sebuah pemukiman yang bernama Kampung
Pigo. Kampung tersebut terdapat dua keluarga yang hidup di tempat yang kaya
sumber daya alam. Salah satu dari keluarga tersebut terkenal sebagai panglima
perang yang bernama Toke. Panglima tersebut disegani dan dihormati di kampung
itu. Toke mempunyai 2 orang anak. Anak pertama bernama Sasefa dan anak kedua
bernama Sefeyada. Perjalanannya dimulai dari Kampung Bayeda, Mahua, Urisa lalu
dia menyeberang ke Danau Sifiki dan Kampung Seraran. Setelah sampai di Tanjung
Umafa dia melanjutkan perjalanannya ke Kampung Nagura. Di Tanjung Umafa
hingga Tanjung Mufuriba dia memerintahkan para pengawalnya untuk melintasi
Teluk Arguni dan menyeberang ke Kampung Nagura. Ia melanjutkan perjalanannya
ke Sorong. Sesampainya di Sorong, ia menikah dengan seorang perempuan dan
mempunyai anak laki-laki yang bernama Salosa. Setelah ia merasa tua ia kembali
ke Kampung Nagura lalu ia meninggal di sebuah tanjung yang dinamai Tanjung
Syefiada. Sekarang Syefiada menjadi nama marga bagi masyarakat Irarutu.
Orang-orang Sumuri sering disebut Suku Simuri karena mengacu pada nama
daratan Imuri di Kelapa Dua (sekarang Tofoi). Imuri yang dalam bahasa lokal
artinya air panas diambil dari cerita nenek moyang Siwana yang memasak air
dengan bambu hingga panas di sekitar dermaga Kelapa Dua. Simuri juga
merupakan nama lain dari Saengga karena Saengga atau Simuri merupakan pusat
pemukiman terbesar dan paling sering diakses oleh pihak luar di masa lalu maka
penduduk yang berdiam di Saengga (Simuri) disebut sebagai Suku Simuri. Suku
Sumuri berasal dari legenda Nenek Mai sebagai orang pertama yang berdiam di
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 32
wilayah ini. Suku Sumuri berasal dari Gunung Nabi di wilayah Kuri, Kaimana, dan
Fak-fak yang datang ke wilayah ini dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompokkelompok
kecil ini selanjutnya membentuk sebuah konfederasi dan menamakan
diri sebagai Suku Sumuri.
Beberapa kelompok kecil ini selanjutnya menjadi marga-marga yang menempati
atau menguasai wilayah teritorial tertentu. Terdapat sekitar dua puluh marga Suku
Sumuri yang dapat dikelompokan ke dalam marga besar dan marga kecil. Margamarga
besar orang Sumuri adalah Fosa, Sodefa, Dorisara, Inanosa, Siwana, Ateta,
Agofa, Simuna, Wayuri, dan Masifa. Marga-marga kecil adalah Muerena, Bayuni,
Wamay, Werifa, Dokasi, Sabandafa, Kamisofa, Mayera, Soway, dan Armui. Ketika
pemerintah Belanda masuk ke Papua, perang suku masih berlangsung, namun
sudah mulai berkurang. Pemerintah Belanda kemudian mulai mempersiapkan
pendirian kampung dengan mengajak leluhur Sumuri pada zaman dulu untuk
tinggal di suatu tempat. Saat berakhirnya pemerintahan Belanda dan berlanjut
pemerintahan Indonesia di tahun 1960-an, orang Sumuri mulai untuk menetap
menjadi satu kampung. Terbentuknya pemerintahan di wilayah Bintuni bermula
dari Kokonao, kemudian ke Babo dan Bintuni sendiri (Steankool).
Dalam sejarah pemerintahan Belanda hingga Indonesia, terdapat empat kepala
pemerintahan setingkat camat atau bestuur pada masa Belanda. Pada masa itu,
Sumuri menjadi kampung yang masuk dalam wilayah Ditsrik Babo yang merupakan
perkembangan dari Distrik di Bintuni dan Kokonao. Keempat kepala
pemerintahan di Sumuri itu di antaranya adalah:
1) Bestuur Malu yang berasal dari Biak
2) Bestuur Ohetimur yang berasal dari Ambon
3) Bestuur Wayeni dari Biak
4) Bestuur Putirau dari Ambon.
Bestuur Putirau-lah yang berjasa memindahkan para leluhur orang Sumuri yang
masih tinggal di dekat sungai dan dusun-dusun sagu. Salah satu sungai yang menjadi
sumber dari penghidupan orang Sumuri adalah Sungai Sirito. Bestuur Putirau mulai
menjadi camat pada masa awal pemerintahan Indonesia di Papua, yaitu tahun 1973.
Perpindahan para leluhur orang Sumuri dari tempat asal mereka di hutan dan
pedalaman dimulai pada awal tahun 1960-an, yang sering disebut dengan
perpindahan besar pertama ke wilayah Tanah Merah yang sekarang menjadi lokasi
BP Tangguh. Perpindahan besar pertama ini berlangsung secara adat dan
melibatkan marga-marga Masifa, Fossa, Sodefa, Dokasi, Sanggra, Kamisofa, dan
Simuna.
Perpindahan berikutnya terjadi pada tahun 1970an di mana Lukas Siwana, salah
seorang putra asli Sumuri, memegang peranan penting dalam hal ini. Lukas Siwana
adalah seorang opus, yaitu pesuruh dari Bestuur Putirau. Setelah Bestuur Putirau
meninggalkan jabatannya, Lukas Siwana kemudian mengambil inisiatif untuk
mengajak lagi para leluhur orang Sumuri untuk turun ke lokasi-lokasi kampung
dekat dengan wilayah teluk. Tepatnya pada tahun 1974, Lukas Siwana kemudian
melanjutkan pemindahan kampung-kampung yang berada di sekitar wilayah
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 33
Sumuri. Masyarakat yang berada di Onar kemudian dipindahkan ke Saengga. Satu
tahun kemudian, orang-orang Sumuri yang berada di Tofoi juga dipindahkan ke
Saengga. Orang-orang Sumuri yang masih berada di Sungai Manggosa juga
dipindahkan menuju Tanah Merah Lama, lokasi kampung yang juga menjadi tempat
awal dari orang-orang Sumuri yang berada di Sungai Sirito.
Setelah proses pemindahan yang berlangsung dua tahun itu, mulailah awal dari
pendirian kampung. Pada tahun 1975, orang-orang Sumuri melakukan
pembersihan di beberapa tempat dimana kampung akan didirikan. Pada tahun
1976 rumah-rumah sudah didirikan dan seluruh masyarakat masuk ke rumah
masing-masing yang menandakan telah berdirinya beberapa kampung. Pada tahun
1980-an, ketika kampung-kampung di Sumuri sudah tertata dengan baik dan
masyarakat sudah tinggal menetap, para investor mulai masuk. Perusahaan sawit
mulai masuk ke kawasan Padang Agoda dan merambah wilayah-wilayah ulayat
beberapa marga Orang Sumuri pada tahun 1982. Pada tahun 1986–1987, Djayanti
Group berdiri di daerah Kelapa Dua (sekarang Tofoi). Perusahaan logging pertama
di daerah Sumuri itu memberikan perubahan yang sangat berarti bagi masyarakat
Sumuri. Beberapa masyarakat memutuskan untuk tinggal di Kelapa Dua karena
alasan pekerjaan.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 34
Referensi
Balitbangkes, B. P. d. P. K., 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Papua Barat, s.l.:
s.n.
BPS, 2011. Provinsi Papua Barat Dalam Angka, Manokwari: BPS.
BPS, 2015. Provinsi Papua Barat Dalam Angka, Manokwar: BPS.
BPS, 2016. Kabupaten Teluk Bintuni Dalam Angka. Bintuni: BPS.
BPS, 2016. Provinsi Papua Barat Dalam Angka, Manokwari: BPS.
BPS, 2017. Provinsi Papua Barat Dalam Angka, Manokwari: BPS.
Knight, Maurice, dkk, 2003. Atlas Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bintuni. Proyek Pesisir (USAID).
Manokwari: Pemerintah Provinsi Papua
Roni Bawole, dkk, 2008. Sumberdaya Perikanan Teluk Bintuni Papua; Potensi, Masalah dan Upaya Pengelolaan.
Konas VI Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Manado.
Rultenbeek, J., 1995. Some Practical Lessons in Applied Resource Valuation. Evaluating Bintuni Bay ed. Canada:
Economy and Environment Program for Southeast Asia.
Tahoba, A. E. P., 2011. Strategi Komunikasi dalam Program Pengembangan Masyarakat : Kasus Program
Community Development Pada Komunitas Adat terkena Dampak Langsung Proyek LNG Tangguh di Sekitar
Teluk Bintuni. Prosiding Seminar Nasional, 7(Pengembangan Pulau-pulau Kecil), pp. 187-197.
Wahyudi, dkk, 2014. Customary Right Compensation and Forest Villages Development Programs, of Mangrove
Company at Bintuni Bay Papua Barat. JMHT, Volume XX, pp. 187-194.
Yulianto, G., 2008. Kajian Kelembagaan Hak Ulayat Laut di Desa-desa Pesisir Teluk Bintuni. Buletin Ekonomi
Perikanan, Volume VIII No. 2, pp. 82-89.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 35
IV.
AKTIVITAS PERIKANAN
Pendahuluan
Perairan Kabupaten Teluk Bintuni memiliki luas area sekitar 5.077,41 km 2 yang dikelilingi 12 distrik
pesisir (British Petroleum Indonesia, 2014). Kawasan pesisir Teluk Bintuni memiliki kekayaan sumber daya
alam yang melimpah terutama hutan mangrove, sumber daya perikanan dan sumber daya gas alam (Bawole,
et al., 2008). Ruitenbeek (1994) menyatakan bahwa nilai manfaat komunitas mangrove Teluk Bintuni untuk
perikanan sebesar 3,5 miliar dolar AS per tahun. Berbagai macam biota perairan banyak ditemukan di
perairan Teluk Bintuni. Terdapat 46 famili ikan (Simanjuntak et al., 2011), 15 famili krustasea (Iskandar,
2010), dan 53 famili Moluska (Petocz, 1983). Mata pencaharian masyarakat pesisir sebagian besar sebagai
nelayan yang memanfaatkan sumber daya laut (Yulianto, 2008). Masyarakat menggunakan berbagai jenis
alat tangkap untuk memanfaatkan sumber daya laut yaitu jaring insang (gillnet dan trammel net), perangkap,
pancing, dan jaring pasang surut. Sektor perikanan tangkap di Teluk Bintuni sudah mengikuti perkembangan
teknologi, namun kondisi masyarakat secara ekonomi masih serba kekurangan.
Padatnya hutan mangrove di sepanjang pesisir membuat Kabupaten Teluk Bintuni terkenal sebagai
penghasil udang, kepiting, dan berbagai jenis ikan seperti kakap conggek, kembung, serta ikan dasar
(Bawole, et al., 2008). Produksi perikanan tangkap pada tahun 2016 mencapai 2.764 ton, dengan produksi
udang sangat dominan. Produksi udang mencapai 1.271,4 ton (46%), kepiting 497,52 ton (18%), dan kakap
putih 414,6 ton (15%). Produksi perikanan tangkap di wilayah pesisir Teluk Bintuni diperkirakan akan terus
meningkat seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dan permintaan pasar akan udang, kepiting,
dan ikan. Peningkatan produksi ini diharapkan dapat selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan sehingga
sektor perikanan dapat terus memberikan kontribusi terhadap perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat. Pengumpulan data ilmiah menjadi penting, khususnya bagi wilayah yang masih minim informasi
terkait dengan pemanfaatan sumber daya perikanan. Data dan informasi ini nantinya akan berguna bagi
pemangku kepentingan dalam menyusun upaya pengelolaan perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni.
Metodologi
Survei data dasar perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni dilaksanakan pada tanggal 22 – 29
September 2017. Lokasi pengambilan data di lima kampung terpilih (Gambar 4-1). Pemilihan kampung
berdasarkan hasil kajian survei pendahuluan yang dilakukan oleh team WWF-Indonesia pada bulan Juli
2017. Lokasi yang dilakukan survei adalah Kampung Banjar Ausoy, Kampung Bintuni Timur RT 1 RW 2,
Kampung Taroi, Kampung Sidomakmur dan Kampung Modan. Jumlah sampel data sebesar 76 nelayan,
dimana setiap lokasi mewakili 5-10% jumlah nelayan.
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan
melakukan wawancara langsung dengan nelayan. Penentuan responden menggunakan metode simple
random sampling. Jenis data primer adalah informasi terkait sumber daya perikanan mengacu yang pada
protokol Data dasar Survei Perikanan Tangkap dan Budidaya--disusun oleh tim Penelitian dan
Pengembangan Perikanan WWF-Indonesia, yakni:
a. Wawancara Informan Kunci/Key Informant Interview (KII)
Melibatkan sekitar 5 sampai 10% dari jumlah Rumah Tangga perikanan (RTP). Peserta yang
diwawancarai adalah informan kunci disetiap kampung seperti nelayan, pengepul, kepala kampung dan
beberapa tokoh lainnya yang dapat memberikan informasi terkait perikanan dikampung tersebut.
b. Survei di lokasi pendaratan Ikan (Fish Landing)
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 36
Memperoleh informasi terkait hasil tangkapan dan berbagai informasi terkait nelayan saat
melakukan aktivitas memancing langsung di lokasi pendaratan ikan yakni pada saat nelayan selesai
memancing dan melakukan aktivitas pendaratan ikan di tempat pendaratan tersebut. Pengambilan data
dilakukan 10% dari jumlah armada yang mendarat pada satu hari dilakukannya survei.
Analisis data dilakukan secara deskriptif komprehensif menghasilkan teks deskriptif, sedangkan
analisis isi menyangkut analisis setiap hasil secara kuantitatif berdasarkan pada masing-masing kondisi desa.
Analisis yang dilakukan secara deskriptif komprehensif diantaranya mengenai lokasi jenis spesies target,
lokasi tangkap, musim penangkapan, lokasi pendaratan dan rantai pemasaran. Sedangkan analisis yang
dilakukan secara kuantitatif diantaranya terkait jumlah nelayan, alat tangkap, kondisi social ekonomi
perikanan, jenis armada dan hasil produksi perikanan. Gambar 4-1 menunjukkan lokasi pendaratan ikan
dan pengambilan data selama survei data dasar perikanan di Kab. Teluk Bintuni.
Gambar 4-1 Peta Pendaratan Ikan dan Lokasi Pengambilan Data Perikanan Kabupaten Teluk Bintuni
Hasil
4.3.1 Spesies Target
Mengacu pada informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan,
jenis udang yang menjadi tangkapan utama nelayan adalah udang jerbung dan udang dogol. Kepiting bakau
atau disebut juga karaka untuk masyarakat lokal merupakan salah satu jenis target tangkapan utama nelayan.
Selain itu, ikan conggek atau kakap cina merupakan tangkapan utama nelayan. Namun, yang menjadi target
utama nelayan bukan pada daging ikan tersebut melainkan pada gelembung renang ikan conggek karena
nilai ekonominya yang tinggi dan laku dijual hingga ke luar wilayah Papua dan luar negeri. Dari 5 kampung
tempat dilakukan survei, nelayan memiliki target spesies tangkapan yang berbeda beda. Di Kampung Banjar
Ausoy dan Kampung Modan spesies target tangkapan adalah kepiting bakau sedangkan Kampung Bintuni
Timur RT 1 RW 2, Kampung Taroi dan Kampung Sidomakmur memiliki target tangkapan udang jerbung,
udang dogol dan ikan conggek.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 37
Tabel 4-1 Komoditas perikanan yang menjadi target species di perairan Kabupaten Teluk Bintuni
Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies
Udang jerbung Udang jerbung Penaeidae Penaeus merguiensis
Udang dogol Udang dogol Penaeidae Metapenaeus ensis
Kepiting bakau/karaka Kepiting bakau Geryonidae Scylla oceanica
Ikan conggek/kakap cina Samge/Gulamah Scianidae Protonibea diacanthus
Ikan conggek Kakap putih Latidae Lates calcalifer
4.3.2 Alat Tangkap
Nelayan Kabupaten Teluk Bintuni melakukan penangkapan dengan menggunakan berbagai jenis alat
tangkap. Dari hasil survei di 5 kampung ada 4 jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan berdasarkan
jenis tangkapan utama. Diantaranya rawai dasar dan jaring insang besar digunakan untuk menangkap target
spesies ikan conggek, jaring insang kecil (gillnet dan trammel net) untuk menangkap target spesies udang dan
perangkap atau bubu untuk menangkap kepiting bakau. Namun tak jarang, nelayan juga memiliki alat
tangkap jenis lain seperti alat pancing handline untuk menangkap jenis ikan lainnya. Berikut adalah tabel
jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayang di Teluk Bintuni.
Jenis alat penangkapan ikan
Tabel 4-2 Jenis Alat Tangkap yang Digunakan oleh Nelayan di Kabupaten Teluk Bintuni
Nama Kampung
Banjar Ausoy Bintuni Timur Taroi Sidomakmur Modan
Pancing ulur - v v v -
Rawai dasar v v v v -
Jaring insang kecil - v v v -
Jaring insang besar v v - - -
Bubu/perangkap v - - - v
4.3.3 Nelayan
Nelayan di lokasi survei didominasi oleh pendatang yang sudah lama menetap. Nelayan yang berasal
dari wilayah Cianjur, Sukabumi, dan Banten banyak menetap di Kampung Banjar Ausoy. Di Kampung Tahiti,
selain nelayan penduduk asli, banyak pula nelayan dari suku Bugis, Makassar, Buton, dan Jawa. Kampung
Sidomakmur merupakan kampung dengan mayoritas nelayan yang berasal dari Banyuwangi, Probolinggo,
Tuban, dan Cirebon. Nelayan yang bermukim di Kampung Modan merupakan campuran masyarakat asli
dan Suku Buton. Mayoritas penduduk asli Papua yang berprofesi sebagai nelayan tinggal di Kampung Taroi.
Jumlah nelayan di lokasi survei bisa dilihat pada Tabel 4-3.
Tabel 4-3 Jumlah nelayan di Perairan Kab. Teluk Bintuni
No. Kampung-Kelurahan/Distrik Jumlah Nelayan
1 Banjar Ausoy/ Manimeri 210
2 Bintuni Timur RT 1 RW 3/Bintuni 520
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 38
3 Modan/Babo 96
4 Sidomakmur/Aroba 106
5 Taroi/Tomu 194
Total 1126
4.3.4 Armada Penangkapan
Perahu merupakan kendaraan air yang digunakan nelayan dalam aktivitas perikanan tangkap.
Terdapat berbagai macam jenis perahu yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Teluk Bintuni. Melalui
survei yang telah dilakukan pada 5 distrik di Kabupaten Teluk Bintuni, diketahui beberapa jenis perahu yang
digunakan yaitu: perahu tanpa motor, perahu jenis motor tempel (mesin luar) dan jenis kapal motor (mesin
dalam). Berdasarkan survei data dasar, nelayan di Kabupaten Teluk Bintuni lebih banyak menggunakan
perahu tanpa motor dan perahu motor tempel (mesin luar) dengan persentase 45% dan 40%, serta perahu
kapal motor (mesin dalam) sebanyak 15%. Jumlah perahu di seluruh Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat
pada Tabel 4-4.
Tabel 4-4 Jenis Armada Penangkapan yang Digunakan Nelayan di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni
Kategori Jenis Armada Penangkapan
Jumlah (unit)
Kecil 169
Perahu Tanpa Motor
Sedang 34
Besar 20
Perahu Motor Tempel 150
<5 GT 6
5 – 10 GT 3
Kapal Motor
11 – 20 GT 4
21 – 30 GT 2
>30 GT 5
TOTAL 393
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap 2017, DKP Provinsi Papua Barat, 2017
4.3.5 Lokasi Penangkapan Ikan
Tingginya potensi sumber daya perikanan dan padatnya hutan mangrove di Teluk Bintuni membuat
nelayan melakukan aktivitas penangkapan tidak jauh dari pangkalan pendaratan ikan. Lokasi penangkapan
ikan di masing-masing kampung berbeda. Perbedaan lokasi tangkap dipengaruhi oleh kepemilikan hak ulayat
wilayah masing-masing kampung dan jenis teknologi penangkapan (alat tangkap dan armada penangkapan)
yang digunakan nelayan. Nelayan jaring udang melakukan aktivitas penangkapan di perairan muara sungai
dan pesisir yang tidak lebih dari 2 mil dari garis pantai. Nelayan perangkap kepiting melakukan aktivitas
penangkapan di wilayah badan sungai di pinggir hutan mangrove. Nelayan penangkap ikan melakukan
aktivitasnya di kawasan pesisir dan perairan teluk. Daerah penangkapan ikan di perairan Kabupaten Teluk
Bintuni dapat dilihat pada Gambar 4-2.
Wilayah pesisir Teluk Bintuni termasuk ekosistem perairan estuari. Ekosistem ini adalah ekosistem
perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut dan masih mendapat pengaruh air tawar
sehingga sungai masih dipengaruhi pasang surut dari laut (Wolanski, 2007). Ekosistem estuari yang
berdampingan dengan hutan mangrove merupakan habitat dan tempat asuhan (nursery ground) berbagai
jenis juvenile ikan, udang dan kepiting (Bengen, 2004). Sepanjang pesisir Teluk Bintuni merupakan daerah
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 39
potensial untuk aktivitas penangkapan nelayan. Waktu tempuh nelayan pada setiap kampung ke lokasi
penangkapan sangat bervariasi. Waktu tempuh berkisar antara 30 menit sampai 4 jam. Waktu tempuh ke
lokasi penangkapan dipengaruhi oleh jenis target tangkapan, jenis mesin kapal, dan jarak lokasi hak ulayat
wilayah. Lokasi tangkap masih di sekitar sungai, muara sungai, kawasan pesisir (estuari) laut, dan kawasan
teluk.
Gambar 4-2 Daerah Penangkapan Ikan di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni
4.3.6 Musim Penangkapan Ikan
Kegiatan penangkapan ikan sangat berkaitan erat dengan faktor perubahan musim dan cuaca.
Perubahan cuaca akan mempengaruhi operasional penangkapan ikan terkait dengan keberhasilan
penggunaan alat tangkap. Dengan demikian perubahan musim dan cuaca akan mempengaruhi produktivitas
hasil tangkapan, komposisi hasil tangkapan, dan daerah penangkapannya (Ernawati et al., 2011). Musim
penangkapan di perairan estuari seperti di Teluk Bintuni tidak dipengaruhi oleh musim dan cuaca karena
berdasarkan informasi nelayan penangkapan udang dan kepiting dapat terjadi sepanjang tahun. Berbeda
pada nelayan penangkap udang dan kepiting, faktor perubahan musim dan cuaca sangat mempengaruhi
musim penangkapan ikan. Musim penangkapan pada beberapa spesies penting dapat dilihat pada Tabel 4-5.
Nelayan penangkap udang yang menggunakan trammel net melakukan 16 hingga 20 trip
penangkapan tiap bulan. Rata-rata total trip pada satu armada trammel net per tahun sekitar 192-240
trip/tahun. Nelayan penangkap kepiting yang menggunakan perangkap (bubu) melakukan trip penangkapan
sebanyak 6-8 trip/bulan. Rata-rata total trip pada satu armada perangkap per tahun sekitar 72-96 trip/tahun.
Nelayan penangkap kakap putih yang menggunakan jaring insang hanyut dan pancing rawai melakukan trip
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 40
penangkapan sebanyak 10-15 trip/bulan. Rata-rata total trip pada satu armada penangkap ikan kakap putih
per tahun sekitar 96-180 trip/tahun. Nelayan penangkap kembung menggunakan jaring insang lingkar
melakukan trip penangkapan sebanyak 16-24 trip/bulan. Rata-rata total trip pada satu armada penangkap
kembung per tahun sekitar 192-288 trip/tahun.
Tabel 4-5. Musim Penangkapan Spesies Target Penting di Kabupaten Teluk Bintuni
Komoditas Musim Puncak Musim Paceklik Cara Pemanfaatan
Udang September-November Januari-Maret, Juni trammel net
Kepiting April-Mei, September -
Perangkap (Bubu lipat
dan Bubu lingkar)
Kembung November-Desember Mei-Agustus Jaring insang hanyut
Kakap Putih
Januari-Maret, November-
Desember
Mei-Agustus
Jaring insang hanyut,
Pancing rawai
Musim penangkapan udang terjadi sepanjang tahun. Cuaca buruk pada musim angin barat tidak
mempengaruhi volume produksi tangkapan nelayan, sedangkan musim puncak penangkapan udang terjadi
pada bulan September, Oktober, dan November. Sularso (2005) menyatakan berdasarkan analisis seasonal
closure, musim penangkapan udang yang baik di Laut Arafura adalah pada Agustus, September dan Oktober.
Berdasarkan informasi nelayan musim penangkapan komoditas kepiting terjadi pada bulan April-Mei (Banjar
Ausoy) dan September-Oktober (Babo). Kepiting bakau yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura
banyak tertangkap pada bulan September dan November karena merupakan musim hujan (Overton et al.,
2009). Pada bulan November-Desember di perairan Teluk Bintuni merupakan puncak musim penangkapan
ikan kembung. Oktaviani (2013) menyatakan musim pemijahan ikan kembung di Perairan Raja Ampat terjadi
pada bulan September-November. Musim puncak penangkapan ikan kakap putih berdasarkan informasi
dari nelayan terjadi pada bulan Januari-Maret dan November-Desember.
4.3.7 Tren Perikanan Selama 5 Tahun Terakhir
Produksi perikanan laut dalam kurun waktu lima tahun terakhir di perairan Teluk Bintuni
menunjukkan tren yang meningkat (Gambar 4-3). Peningkatan produksi perikanan sebesar 18,16% pada
periode 2012-2016. Nilai produksi meningkat sebesar 36,76% pada periode 2012-2016. Armada
penangkapan mengalami peningkatan sebesar 10,45% pada periode 2012-2016. Sementara itu, Rumah
Tangga Perikanan (RTP) mengalami peningkatan sebesar 2,90% pada periode 2012-2016.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 41
RTP (orang)
Nilai Produksi (Rp. 1,000,000)
Produksi (ton)
Armada penangkapan (unit)
3,000
2,500
2,261 2,217
2,183
2,492
2,764
1000
788 803
880
2,000
550 550
1,500
500
1,000
500
0
2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
0
2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
(i)
(ii)
570
60.0
520
535
540
548 549 551
40.0
31,0
38,0 37.4
48,8
49,1
20.0
470
2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
0.0
2012 2013 2014 2015 2016
Tahun
(iii)
Gambar 4-3 Produksi Perikanan Tangkap (i); Armada Penangkapan Ikan (ii); Rumah Tangga Perikanan (iii); Nilai
Produksi Perikanan Tangkap (iv) Periode 2012-2016 di Kabupaten Teluk Bintuni (Sumber: DKP Provinsi Papua
Barat, 2017)
Menurut informasi dari nelayan, peningkatan produksi perikanan terjadi pada komoditas ikan
kembung, kakap putih, udang, dan kepiting. Produksi udang dan kakap putih secara keseluruhan meningkat,
tetapi nelayan (perorangan) mengeluhkan terjadi penurunan. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan
produksi udang dan kakap putih dalam kurun waktu 5 tahun terakhir adalah meningkatnya jumlah nelayan
dan meningkatnya armada penangkapan ikan, pembaruan teknologi alat penangkapan, dan pengaruh adanya
pembangunan rig perusahaan gas negara. Masuknya teknologi alat tangkap baru pada perikanan kakap putih
menimbulkan konflik penangkapan antar nelayan. Penangkapan kakap putih awalnya menggunakan alat
tangkap pancing rawai. Namun semenjak datangnya nelayan dari Sulawesi penangkapan kakap putih
menggunakan jaring insang hanyut. Perkembangan teknologi alat juga terjadi pada perangkap kepiting.
Nelayan penangkap kepiting awalnya menggunakan perangkap berbentuk melingkar atau disebut “wadong”.
Masuknya perangkap berbentuk persegi dan bisa dilipat atau disebut “bubu lipat” menjadi alat tangkap baru
yang digunakan oleh nelayan kepiting.
Sebanyak 80% responden mengakui bahwa terdapat perubahan tren perikanan dalam 5 tahun
terakhir. Produksi hasil perikanan secara keseluruhan pada kurun waktu 5 tahun terakhir meningkat, tetapi
sebesar 57% responden menyatakan hasil tangkapan menurun. Penurunan produksi dipengaruhi oleh
meningkatnya jumlah nelayan, semakin jauhnya lokasi penangkapan, dan adanya aktivitas perusahaan gas.
Penurunan hasil tangkapan dan meningkatnya jumlah nelayan menjadi alasan utama yang diutarakan
(iv)
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 42
responden terkait perubahan sumber daya perikanan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sebanyak 21%
responden menyatakan produksi perikanan dalam 5 tahun terakhir relatif sama. Sementara itu, 24%
responden menyatakan perekonomian nelayan dalam 5 tahun terakhir semakin membaik. Faktor harga jual
komoditas perikanan yang tinggi merupakan penyebab perekonomian nelayan di Teluk Bintuni meningkat.
4.3.8 Lokasi Pendaratan Ikan
Pendaratan hasil tangkapan di perairan Teluk Bintuni dilakukan di pemukiman pesisir setiap
kampung. Di Kampung Banjar Ausoy, Distrik Manimeri, nelayan mendaratkan hasil tangkapan di Sungai
kawasan cagar alam hutan mangrove Teluk Bintuni. Sedangkan di Kampung Tahiti, Distrik Bintuni Timur,
nelayan mendaratkan hasil tangkapan di Sungai Bintuni tepat di belakang pemukiman. Di Kampung Taroi,
Distrik Taroi yang merupakan kampung nelayan penghasil udang, nelayan mendaratkan udangnya di pesisir
perairan dan sungai kecil di wilayah kampung. Di Kampung Sidomakmur, Distrik Aroba merupakan
kampung percontohan trans nelayan dengan penduduk dominan nelayan dari Pulau Jawa, nelayan
mendaratkan hasil tangkapan di wilayah pesisir depan kampung Sidomakmur. Nelayan Kampung Modan,
Distrik Babo mendaratkan kepiting di wilayah pesisir berdekatan dengan hutan mangrove di depan
kampung. Kabupaten Teluk Bintuni memiliki Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di wilayah Distrik Bintuni
Timur. Fasilitas yang terdapat di PPI Teluk Bintuni adalah pabrik es, cold storage, kolam pelabuhan, kantor,
dan pelelangan ikan. Fasilitas pelabuhan yang seharusnya dimanfaatkan oleh nelayan tidak dikelola dengan
baik sehingga status pelabuhan saat ini tidak aktif. Nelayan tidak maksimal memanfaatkan fasilitas pelabuhan.
Fasilitas yang masih aktif adalah pabrik es dan cold storage. Jenis hasil tangkapan yang didaratkan nelayan
adalah krustasea, ikan demersal, dan ikan pelagis kecil. Terdapat 5 spesies yang dominan didaratkan yaitu
kepiting bakau (Scylla sp.), udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang dogol (Metapenaeus ensis), kakap
putih (Lates calcalifer), dan kembung (Rastrelliger sp.). Terdapat beberapa jenis ikan dan udang lainnya yang
didaratkan di perairan Teluk Bintuni. Jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan di perairan Teluk Bintuni
dapat dilihat pada Tabel 4-6.
Udang dan kepiting merupakan komoditas penting di perairan Teluk Bintuni. Produktivitas udang
pada satu trip mencapai 21 kg/trip. Produktivitas kepiting bakau pada satu trip mencapai 100 kg/trip.
Sebaran udang dan kepiting yang tertangkap di perairan Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 4-4.
Kisaran udang jerbung yang tertangkap di perairan Kabupaten Teluk Bintuni dengan panjang karapas 4,5 –
10,75 cm. Panjang udang dominan tertangkap pada kisaran 6,25 – 7,15 cm. Analisis panjang udang jerbung
pertama kali tertangkap (Lc) adalah 6,91 cm. Sparre and Venema (1999) menyatakan bahwa nilai Lc
tersebut memiliki arti untuk sumber daya ikan dan udang yang mempunyai ukuran panjang di bawah nilai
Lc akan lolos dari kegiatan penangkapan dan dapat berkembang lagi hingga ukurannya lebih besar. Udang
jerbung pertama kali matang gonad di perairan Teluk Bintuni pada kisaran panjang 3,38 cm (Sumiono,
1983). Udang jerbung hasil tangkapan berdasarkan sampel dari nelayan Kabupaten Teluk Bintuni 100%
tertangkap sudah dalam kondisi matang gonad. Kisaran kepiting bakau yang tertangkap di perairan
Kabupaten Teluk Bintuni dengan panjang karapas 11,95 – 18,95 cm. Panjang kepiting yang dominan
tertangkap pada kisaran 13,95 – 14,95 cm. Analisis panjang udang jerbung pertama kali tertangkap (Lc)
adalah 14,21 cm. Kepiting bakau pertama kali matang gonad di perairan Teluk Bintuni pada kisaran panjang
12 cm (Hoek et al., 2015). Kepiting bakau hasil tangkapan berdasarkan sampel dari nelayan Kabupaten
Teluk Bintuni 100% tertangkap sudah dalam kondisi matang gonad.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 43
jumlah (ekor)
jumlah (ekor)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Lc : 6.91cm 43
20
15
10
3
4 3
4.45-5.35 5.35-6.25 6.25-7.15 7.15-8.05 8.05-8.95 8.95-9.85 9.85-10.75
Panjang Udang (cm)
(i)
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Lc : 14.21cm
18
12
8
5
4
1
2
11.95-12.95 12.95-13.95 13.95-14.95 14.95-15.95 15.95-16.95 16.95-17.95 17.95-18.95
Panjang Kepiting (cm)
Gambar 4-4 Sebaran Panjang Udang (i) dan Kepiting (ii) yang Tertangkap di Teluk Bintuni
(ii)
Tabel 4-6 Jenis Komoditas Perikanan dengan Nilai Ekonomis Penting yang Didaratkan di Perairan Teluk Bintuni
Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies
Udang Banana
Udang Jerbung/ Banana
shrimp
Penaeidae
Penaeus merguiensis
Udang putih
Udang dogol/ Endeavour
shrimp
Penaeidae
Metapenaeus ensis
Udang tiger
Udang windu/
Giant tiger prawn
Penaeidae
Penaeus monodon
Karaka
Kepiting bakau/
Indo-Pacific swamp crab
Geryonidae
Scylla oceanica
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 44
Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies
Ikan sembilang/ lele Manyung Clariidae Clarias sp.
Ikan lidah pasir Ikan lidah/ilat-ilat Cynoglossidae Cynoglossus bilineatus
Mangiwang Hiu Carcharhinidae
Sphyrnidae
Carcharhinus sp.
Sphyrna sp.
Pari kodok Pari Dasyatidae Dasyatis kuhlii
Pari Pari Rhinobatidae Rhinobatos sp.
Kakap conggek Kakap Putih Latidae Lates calcalifer
Ikan conggek / kakap
cina
Kakap
Scianidae
Protonibea
diacanthus
Lema Kembung Scombridae Restrailiger sp.
Bubara Kuwe Carangidae Caranx sp.
Tenggiri Tenggiri Scombridae Scromberomorus
commerson
Bawal Bawal hitam Carangideae Stromateus niger
4.3.9 Bisnis dan Rantai Dagang Perikanan
4.3.10 Harga
Udang, kepiting dan ikan conggek merupakan komoditas utama perikanan tangkap di Kabupaten
Teluk Bintuni. Tingginya produksi membuat komoditas udang, kepiting dan ikan conggek sendiri memiliki
perbedaan harga di setiap distrik. Harga beli yang diberikan oleh pengepul kepada nelayan di setiap distrik
berbeda-beda. Untuk jenis tangkapan udang, pengepul biasanya memberi dua harga sesuai dengan kondisi
udang. Kondisi pertama adalah kondisi utuh dan sempurna (head on), sedangkan yang kedua adalah kondisi
tanpa kepala atau cacat (head less). Harga udang di Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Tabel 4-7.
Harga beli pengepul kepada nelayan kepiting dibedakan berdasarkan beratnya. Terdapat empat
kategori yaitu 5 up (berat lebih dari 5 ons), 3 up (berat lebih dari 3 ons), 2 up (berat lebih dari 2 ons) dan
Bs (Biasa atau Berat kurang dari 2 ons dan kualitas kepiting kurang baik). Kepiting dalam kategori 2 up dan
Bs biasanya hanya dijual secara lokal. Selain itu, harga jual kepiting dari pengepul pertama kepada pengepul
kedua (biasanya pengepul luar Papua) dibagi menjadi dua kategori berat yaitu 5 up dan 3 up. Harga kepiting
di Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Tabel 4-8.
Dari hasil survei di 5 distrik Kab. Teluk Bintuni, harga ikan conggek tergolong sangat murah yakni
Rp10.000,-/kg. Namun, gelembung renang ikan conggek memiliki harga jual yang sangat tinggi. Gelembung
renang ikan conggek dibedakan menjadi 2 jenis harga jual yakni jantan dan betina. Tidak terdapat variasi
harga ikan conggek dan gelembung renangnya karena jumlah pembeli yang hanya dua orang di Kabupaten
Teluk Bintuni.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 45
Tabel 4-7 Harga Udang di Kabupaten Teluk Bintuni
No. Kampung-Kelurahan/Distrik
Udang (kg)
dengan kepala (Head on) Tanpa kepala (Head less)
1 Bintuni Timur, RT 1 RW 3/Bintuni 75.000 55.000
2 Sidomakmur/Aroba 52.000 tidak ada
3 Taroi/Tomu 60.000 47.000
Tabel 4-8 Harga Kepiting di Kabupaten Teluk Bintuni
Harga
No Kampung/Distrik Nelayan – Pengepul 1
Pengepul 1 – Pengepul
Besar
5 up 3 up 2 up Bs 5 up 3 up
1
Banjar Ausoy/
Manimeri
50.000 25.000 10.000 10.000 120.000 110.000
2 Modan 55.000 35.000 15.000 15.000 120.000 110.000
Tabel 4-9 Harga Ikan Conggek dan Gelembung Renang Ikan Conggek di Kabupaten Teluk Bintuni
No. Kampung/Distrik Ikan Conggek (kg)
Gelembung Renang
Jantan (ons) Betina (ons)
1 Banjar Ausoy/ Manimeri 10.000 3.000.000 1.500.000
2 Bintuni Timur, RT 01/Bintuni 10.000 3.000.000 1.500.000
3 Modan tidak ada tidak ada tidak ada
4 Sidomakmur 10.000 3.000.000 1.500.000
5 Taroi 10.000 3.000.000 1.500.000
4.3.11 Produksi
Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Teluk Bintuni pada tahun 2016 mencapai 2.764 ton.
Udang menjadi komoditas utama di perairan Teluk Bintuni. Produksi udang mencapai 46% dari keseluruhan
produksi perikanan. Selain udang, kepiting, kakap putih dan kembung termasuk komoditas utama di
perairan Teluk Bintuni (Gambar 4-5). Produksi perikanan tangkap 2016 meningkat sebesar 9,8%
dibandingkan produksi perikanan tangkap pada tahun 2015. Peningkatan produksi perikanan tangkap
dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah armada penangkapan dan meningkatnya jumlah nelayan pendatang.
Peningkatan produksi perikanan yang terjadi harus diimbangi dengan pengelolaan perikanan yang baik dan
tepat, agar keberlanjutan sumber daya tetap terjaga (Bappenas, 2014; Fauzi dan Anna, 2002; Sobari et al.,
2003).
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 46
Produksi (kg)
18%
15%
8%
4%
3%
2%
4%
1%
1%
1%
1%
46%
Udang Kepiting Kakap Putih Kembung
Sembilang Tenggiri Kuwe Belanak
Bawal Putih Bawal Hitam Pari
Gambar 4-5 Produksi Komoditas Sumber Daya Perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2016 (BPS Teluk
Bintuni, 2017)
Produksi perikanan jenis udang sangat dominan di Kabupaten Teluk Bintuni. Ekosistem mangrove
dengan perairan berlumpur dan sungai besar yang bermuara di teluk menjadi habitat yang baik untuk udang
berkembang. Berdasarkan hasil survei dari salah satu pengepul, produksi udang pada periode Oktober
2016 – April 2017 rata-rata dalam satu bulan nelayan menangkap 6,17 ton udang.
16000
14000
12000
14217
12279,5
10000
8000
6000
7405,9
7877
5641
4000
2000
0
194,2
466,4
1267,7
Okt Nov Des Jan Feb Maret April Mei
2016 2017
Tahun (bulan)
Gambar 4-6 Produksi Udang Periode Oktober 2016–Mei 2017 di Salah Satu Pengepul
Produksi udang di pengepul paling besar pada bulan Desember yaitu 14,2 ton (Gambar 4-6).
Tingginya produksi pada bulan Desember dipengaruhi banyaknya jumlah trip pada bulan tersebut. Ratarata
dalam satu trip nelayan mampu menghasilkan udang sebesar 21 kg. Selain udang, kepiting menjadi
komoditas yang dominan ditangkap oleh nelayan. Berdasarkan hasil survei dari salah satu pengepul, pada
periode Januari 2015–April 2017 rata-rata dalam satu bulan nelayan menangkap 3 ton kepiting.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 47
January
February
March
April
May
June
July
August
September
October
November
December
January
February
March
April
May
June
July
August
September
October
November
December
January
February
March
April
Produksi (kg)
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
2015 2016 2017
Tahun (bulan)
Gambar 4-7 Produksi Kepiting Bakau Periode Januari 2015 – April 2017 di Salah Satu Pengepul
Produksi kepiting bakau di salah satu pengepul di Kampung Banjar Ausoy pada periode 2015-April
2017 mengalami penurunan (Gambar 4-7). Penurunan disebabkan faktor jumlah nelayan yang semakin
meningkat. Produksi kepiting bakau paling banyak terjadi pada bulan oktober 2016 sebesar 6,77 ton.
Sedangkan produksi pada tahun 2015 rata-rata pengepul menghasilkan 4,23 ton per bulan. Sekalipun angka
produksi meningkat dari tahun 2015 ke tahun 2016, namun nelayan merasa jumlah tangkapan berkurang.
Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah nelayan sehingga hasil tangkapan rata-rata setiap nelayan justru
berkurang.
4.3.12 Bisnis Perikanan
Sistem bisnis perikanan di perairan Kabupaten Teluk Bintuni bergantung pada keberadaan pengepul
di setiap kampung. Bisnis perikanan Kabupaten Teluk Bintuni terdiri atas 54% kepiting dan 23% udang dan
kepiting. Hal ini berdasarkan banyaknya jumlah pengepul yang terdapat di setiap lokasi survei yang
dikunjungi di Kabupaten Teluk Bintuni. Untuk pengepul ikan conggek terdiri dari dua macam: pengepul
ikan conggek khusus pasar lokal dan pengepul gelembung renang ikan conggek. Jumlah dan jenis pengepul
yang ditemui di lokasi survei dapat dilihat pada Tabel 4-10.
Tabel 4-10 Jumlah Pengepul di Kabupaten Teluk Bintuni
No
Distrik
Jumlah Pengepul
Udang Kepiting Ikan Conggek
1 Banjar Ausoy/ Manimeri - 7 2
2 Bintuni Timur, RT 01/Bintuni 1 - 2
3 Modan - 5 -
4 Sidomakmur 3 - 1
5 Taroi 1 - -
Grand Total 5 12 5
Persentase 23% 54% 23%
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 48
4.3.13 Rantai Pemasaran
Rantai pemasaran di Kabupaten Teluk Bintuni dikelompokkan menjadi 3 komoditas yakni
komoditas udang, kepiting dan ikan demersal (ikan conggek). Sistem rantai pemasaran udang (Gambar 4-
8) diawali dari nelayan tangkap udang yang menjual udang ke penampung tingkat kampung yang memiliki
mini coldstorage dan kapal penampung yang parkir di area dermaga. Udang dengan kualitas tidak bagus
atau memiliki ukuran kecil hanya sebagian yang dibeli. Udang yang dibeli oleh penampung di tingkat
kampung akan dibawa ke ibukota Kabupaten Teluk Bintuni yakni Teminabuan dengan menggunakan kapal
menuju Kota Sorong. Udang yang dibawa ke Sorong akan dimasukkan ke perusahaan untuk dikemas dan
dikirim dengan menggunakan transportasi kapal laut ke Surabaya. Di Surabaya ada perusahaan Indokom
Grup yang masih satu grup dengan perusahaan di Sorong. Dari perusahaan ini udang akan diekspor ke Asia
dan Eropa.
Sementara itu, rantai pemasaran kepiting (Gambar 4-9) diawali oleh nelayan yang berada di
Manimeri yang menjual kepiting di pengepul yang berada di Manimeri. Kepiting dengan kualitas kurang
bagus dan kepiting betina dijual lokal. Sedangkan kepiting dengan kualitas bagus dan jantan ukuran 5 up dan
3 up akan dijual ke luar kota Sorong dengan menggunakan transportasi darat menuju Manokwari.
Selanjutnya dari Manokwari akan dikirimkan menggunakan pesawat ke pengepul yang berada di Jakarta dan
Surabaya. Lalu dari Surabaya dan Jakarta akan diekspor ke pasar Malaysia, Singapura, Taiwan dan Cina.
Sedangkan untuk nelayan yang berada di Distrik Aroba dan Babo akan menjual kepiting ke pengepul
yang berada di Distrik Babo. Kepiting dengan kualitas kurang bagus dan kepiting betina dijual lokal.
Sedangkan kepiting dengan kualitas bagus dan jantan ukuran 5 up dan 3 up akan dijual ke luar kota Sorong
dengan menggunakan transportasi kapal laut menuju Sorong. Selanjutnya dari Sorong kepiting akan
dikirimkan menggunakan pesawat ke pengepul yang berada di Jakarta dan Surabaya. Lalu dari Surabaya dan
Jakarta akan diekspor ke pasar Malaysia, Singapura, Taiwan dan Cina. Untuk rantai pemasaran komoditas
kepiting dapat dilihat pada Gambar 4-9 di bawah.
Rantai pemasaran untuk komoditas kepiting di Distrik Babo dan Aroba berawal dari nelayan
tangkap yang menjual hasil tangkapan ke pengepul yang tersedia di kampung-kampung. Para pengepul
berada di Kampung Wimbro Distrik Aroba, Kampung Nuse dan Kampung Modan Distrik Babo. Setelah
disortir berdasarkan ukuran dagang, selanjutnya masing-masing pengepul mendistribusikan kepiting
tersebut ke Kota Sorong melalui jalur laut dengan lama perjalanan sekitar 16 jam. Setelah sampai di Kota
Sorong, kepiting akan disortir kembali dan dikemas untuk disuplai ke Jakarta dan Surabaya melalui jalur
udara. Suplai ke Jakarta dan Surabaya berdasarkan kesepakatan individu yang melakukan transaksi jual beli
komoditas kepiting tersebut. Selain disuplai ke pasar lokal dan sejumlah restoran di Jakarta dan Surabaya,
kepiting juga akan diekspor ke Malaysia, Singapura, Taiwan dan Cina.
Lain halnya dengan rantai pemasaran ikan demersal khususnya ikan conggek (Gambar 4-10). Ikan
conggek atau kakap cina sebenarnya nama umum dari 2 spesies ikan berbeda yakni Lates calcarifer dan
Protonibea diacanthus. Nelayan kampung Taroi, Sidomakmur dan Bintuni Timur hanya menangkap dan
menjual ikan conggek untuk dijual di pasar lokal saja. Namun untuk gelembung renang ikan conggek dijual
ke pengepul di tingkat kampung atau langsung dikirimkan ke pengepul tetap yang berada di ibukota
kabupaten Teluk Bintuni yang biasa dikenal dengan Ongko Boy dan Ongko Makassar. Kedua pengepul
tersebut akan menjual gelembung renang ikan conggek melalui Sorong dan akan di ekspor ke luar negeri.
Gelembung renang ikan conggek ini umumnya diekspor ke pasar Cina dan Hong Kong. Orang-orang Cina
mengonsumsi gelembung renang sebagai sup untuk kesehatan. Selain itu, mereka juga memanfaatkannya
untuk kepentingan industri sebagai isinglass, lem, campuran tinta, hingga benang jahit operasi (Tuuli, 2010).
Oleh karena itu, gelembung renang ikan conggek laku diekspor dan bernilai tinggi.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 49
Gambar 4-8 Rantai Pemasaran Udang di Kabupaten Teluk Bintuni
Gambar 4-9 Rantai Pemasaran Kepiting di Kabupaten Teluk Bintuni
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 50
Gambar 4-10 Rantai Pemasaran Ikan Demersal (Kakap Conggek) di Kabupaten Teluk Bintuni
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 51
Referensi
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2014. Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan.
Jakarta: Bappenas
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Teluk Bintuni. 2017. Kabupaten Bintuni dalam Angka 2017. Teluk Bintuni:
BPS
Bawole R, dkk. 2008. Sumber daya Perikanan Teluk Bintuni Papua: Potensi, Masalah dan Upaya Pengelolaan.
Prosiding Konferensi Nasional VI Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan hal 823-838. Manado:
Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia.
Bengen, D.G. 2004. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumber daya Pesisir
dan Lautan - IPB.
British Petroleum Indonesia. 2014. Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Kegiatan Terpadu Proyek
Pengembangan Tangguh LNG: Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Jakarta:
SKK MIGAS dan BP Indonesia.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat. 2017. Statistik Perikanan Provinsi Papua Barat 2017.
Manokwari: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat.
Ernawati T, Nurulludin, Atmadja SB. 2011. Produktivitas, Komposisi Hasil Tangkapan dan Daerah Penangkapan
Jaring Cantrang yang Berbasis di PPP Tegalsari, Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 17(3): 193-200.
Fauzi A, Anna S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi
Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan, 4(3): 43-55.
Hoek F, dkk. 2015. Distribusi Frekuensi Ukuran Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau (Scylla serrataforskal)
dengan Alat Tangkap Bubu Lipat di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Jurnal Airaha, 4(2): 57-
64.
Iskandar D. 2010. Perbandingan Hasil Tangkapan Udang dengan Menggunakan Lapdu, Giltong Dan Trammel net di
Perairan Saengga Kabupaten Teluk Bintuni. Jurnal Saintek Perikanan, 6(1): 22-29.
Oktaviani D. 2013. Etnozoologi, Biologi Reproduksi, dan Pelestarian Ikan Lema Rastrelliger kanagurta (Cuvier, 1816)
di Teluk Mayalibit Kabupaten Raja Ampat Papua Barat Indonesia [disertasi]. Depok: Program Pascasarjana,
Universitas Indonesia.
Overton JL, Macintosh DJ, Thorpe RS. 1997. Multivariate Analysis of the Mud Crab Scylla serrata from Four Locations
in Southeast Asia. Marine Biology, 128: 55-62.
Petocz R. 1983. Recommended Reserves for Irian Jaya Province: Statements Prepared for The Formal Gazettement
of Thirty-One Conservation Area. Jayapura (ID): World Wildlife Fund/International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources.
Ruitenbeek HJ. 1994. Modelling economy-ecology linkages in mangroves: Economic evidence for promoting
conservation in Bintuni Bay, Indonesia. Elsevier: Ecological Economics, 10(3): 233-247.
Simanjuntak CPH, dkk. 2011. Iktiodiversitas di Perairan Teluk Bintuni, Papua Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia,
11(2):107-126.
Sobari MP, Kinseng RA, Priyatna FN. 2003. Membangun Model Pengelolaan Sumber daya Perikanan Berkelanjutan
Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan: Tinjauan Sosiologi Antropologi. Buletin
Ekonomi Perikanan, 5(1): 41-48.
Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I Manual. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 52
Sularso A. 2005. Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang di Laut Arafura [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sumiono, B. 1983. Size on Maturity and the Sex Rationof Banana Shrimp (Penaeus merguiensis de Man) in the Bintuni
Bay, Irian Jaya. Marine Fisheries Research Report 29: 41-46.
Tuuli, CD. 2010. The Croaker Fishery and Dried Swimbladder Trade in Hong Kong, and The Reproductive Biology of
The Greyfin Croaker, Pennahia Anea. (Thesis). Hong Kong: University of Hong Kong.
Wolanski E. 2007. Protective Functions of Coastal Forests and Trees against Natural Hazards: In, Coastal Protection
in the Aftermath of the Indian Ocean Tsunami: What Role for Forests and Trees. Rome: FAO - in press.
Yulianto G. 2008. Kajian Kelembagaan Hak Ulayat Laut di Desa-desa Pesisir Teluk Bintuni. Buletin Ekonomi
Perikanan, 8(2): 82-89.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 53
V. PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAUT
Pendahuluan
Teluk Bintuni merupakan daerah dengan tutupan hutan tertinggi—sekitar 450.000 ha tersusun oleh
pohon mangrove dewasa—di Provinsi Papua Barat (Ainsworth, et al., 2008). Berdasarkan SK MENHUT No.
891/KPTS-11/1999 sebagian dari kawasan hutan, yaitu 124.850 ha terdiri dari 90% tutupan mangrove,
ditetapkan menjadi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kawasan cagar alam berperan penting dalam menyangga
kegiatan perikanan komersil yang ada di Teluk Bintuni.
Sebagian besar masyarakat pesisir Teluk Bintuni, khususnya nelayan, telah mengandalkan hasil laut
sebagai mata pencaharian utama dan sumber makanan sehari-hari. Hasil tangkapan yang memiliki nilai ekonomi
tinggi pada wilayah ini adalah udang, kepiting, dan ikan (Bawole, et al., 2008). Jumlah pelaku aktivitas perikanan
di Teluk Bintuni mengalami peningkatan pada tiap tahunnya. Khususnya pada perikanan udang, sejak tahun 1990-
an, jumlah dan ukuran kapal penangkap udang semakin bertambah akibat peningkatan jumlah industri besar
udang pada lokasi ini (Pet Soede et al., 2006 dalam Mangubhai, et al., 2012).
Selain sektor perikanan, perairan Teluk Bintuni juga merupakan daerah konsesi gas cair perusahaan
British Petroleum (BP) Tangguh. Hasil gas alam yang diperoleh diperkirakan mencapai 14,4 triliun per kaki
kubik. Dalam jangka waktu 20 tahun ke depan, diperkirakan proyek LNG (liquefied natural gas) Bintuni dapat
mendatangkan pemasukan sebesar 3,6 juta dolar Amerika pada pemerintah provinsi Papua Barat dan 8,7 juta
dolar Amerika pada pemerintah pusat Indonesia (GMR International, 2009 dalam Mangubhai, et al., 2012).
Di sela-sela banyaknya aktivitas pemanfaatan di perairan Teluk Bintuni, keberadaan hukum adat yang
kuat memegang peran penting dalam keberlangsungan kegiatan tersebut. Masyarakat Teluk Bintuni, khususnya
masyarakat adat, telah menjalankan kelembagaan Hak Ulayat Laut sejak lama. Untuk itu, apabila pengelolaan
sumber daya laut tidak dapat memfasilitasi semua pihak, berbagai macam permasalahan, seperti penurunan stok
sumber daya laut, inefisiensi ekonomi, dan permasalahan sosial berpotensi untuk terjadi (Yulianto, 2008).
Studi mengenai pengelolaan sumber daya laut di Teluk Bintuni perlu dilakukan untuk menghindari
kemunculan konflik-konflik tersebut. Dalam penelitian ini, WWF-Indonesia SEA Project melakukan analisis
terkait peraturan pengelolaan, pola pemanfaatan, tata cara penggunaan, proses pengambilan keputusan, dan
konflik terkait sumber daya laut di Teluk Bintuni. Hasil kajian pengelolaan sumber daya laut akan menjadi
informasi awal untuk mengawali tahapan usulan inisiatif kawasan konservasi atau pun pembuatan rencana
pengelolaan perikanan berbasis adat.
Metodologi
Penelitian untuk mengetahui pola pemanfaatan dan tata kelola sumber daya kelautan dilakukan melalui
survei lapangan dan studi pustaka. Survei lapangan dilakukan di 5 kampung target. Pemilihan kampung target
ditentukan berdasarkan jumlah nelayan dan aktivitas perikanan yang tinggi di suatu area kajian. Kampung target
survei terdiri dari Kampung Banjar Asoy, Kampung Nelayan Kelurahan Bintuni Timur, Kampung Taroi Distrik
Taroi, Kampung Sidomakmur Distrik Aroba, dan Kampung Modan Distrik Babo (Gambar 5-1).
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 54
Gambar 5-2 Lokasi Survei Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni
5.2.1 Pengumpulan Data dan Informasi
5.2.1.1 Diskusi Grup Terarah (Focus Group Discussion)
Diskusi grup terarah (FGD) dilakukan di setiap kampung yang melibatkan informan yang dapat
memberikan informasi mengenai kondisi sumber daya laut dan perikanan di kampung target. Selain itu,
perangkat kampung juga memegang peranan kunci untuk memberikan informasi berupa profil desa dan tata
kelola sumber daya laut yang ada di wilayah kajian. Tokoh-tokoh adat, suku, dan agama dalam hal ini terlibat
untuk memberikan gambaran dan informasi mengenai profil adat, sejarah, dan perkembangan masyarakat adat
di wilayah kajian.
5.2.1.2 Wawancara Informan Kunci (Key Informant Interview)
Dalam penelitian ini, proses pengumpulan data lapangan juga menggunakan metode wawancara
informan kunci. Pemilihan informan dilakukan secara sengaja dengan tidak memperhatikan populasi dan sampel.
Informan kunci dianggap sebagai informan yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang
diperlukan dalam penelitian (Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, 2009). Penentuan informan kunci
berdasarkan pengetahuan spesifik dan detail mengenai aktivitas penangkapan perikanan, sejarah kesukuan, tata
kelola sumber daya, dan adat-istiadat.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 55
5.2.1.3 Pemetaan Cepat
Pemetaan cepat adalah proses pendokumentasian pemanfaatan dan fenomena berdasarkan informasi
dari masyarakat. Proses pemetaan cepat dilakukan untuk mengetahui lokasi dan pola pemanfaatan ruang oleh
masyarakat. Proses pemetaan cepat dilakukan secara partisipatif di wilayah kajian kampung target. Peta dasar
digunakan sebagai media pendokumentasian informasi yang diberikan. Adapun informasi yang akan
didokumentasikan, yaitu gambaran mengenai lokasi potensial untuk dijadikan kawasan perlindungan. Informasi
yang diambil di antaranya adalah penangkapan (fishing ground); lokasi penangkapan potensial untuk target
Ikan/udang/kepiting; batas hak ulayat; tempat pamali atau tempat penting masyarakat adat, dan lokasi-lokasi
kemunculan spesies endemik, langka serta hampir punah. Sedangkan informan yang memberikan informasi
mengacu pada informan pada metode wawancara informan kunci.
5.2.2 Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka, literatur yang relevan, buku-buku, laporan
penelitian, dan pustaka lain yang relevan dengan penelitian. Data sekunder dapat berupa data olahan maupun
data yang belum diolah, baik berupa angka maupun uraian.
5.2.3 Pengolahan data
Metode pengolahan data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Metode
ini digunakan untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai suatu obyek
atau set kondisi masa sekarang serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Sugiono, 2011). Metode ini
terbagi menjadi tiga jalur analisis data, yaitu klasifikasi dan reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan. Proses reduksi data melibatkan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari
semua jenis informasi yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan. Penyajian data disusun berdasarkan pokokpokok
yang terdapat dalam reduksi data dan disajikan dengan menggunakan kalimat yang merupakan rangkaian
kalimat yang disusun secara logis dan sistematis (Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, 1992). Proses akhir,
yaitu dengan mengambil suatu kesimpulan dan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian dari data-data
yang ada.
Hasil
5.3.1 Peraturan Manajemen Sumber Daya Laut
Peraturan manajemen sumber daya laut menjadi bagian penting dalam melihat pola pemanfaatan sumber
daya laut dalam wilayah kajian. Pola pemanfaatan yang ada biasanya sangat bergantung pada peraturan-peraturan
yang sudah ditetapkan maupun peraturan tidak resmi yang diikat secara adat. Berbagai jenis peraturan yang
mengatur kegiatan dan aktivitas dalam wilayah kajian, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber
daya alam akan dijelaskan sebagai berikut.
5.3.2 Hak Ulayat/Hak Adat
Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni didiami oleh 7 suku besar yang tersebar dari pesisir hingga ke dataran tinggi
pegunungan. Ketujuh suku besar tersebut, antara lain:
Tabel 5-2 Sebaran Distrik dan Marga Besar Berdasarkan Suku di Kabupaten Teluk Bintuni
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 56
No.
Suku
Besar
1. Suku
Moskona
Karakteristik
Wilayah
Dataran tinggi
pengunungan
2. Suku Sough Pesisir dan
dataran tinggi
Pegunungan
3. Suku
Wamesa
Pesisir dan
dataran tinggi
pegunungan
4. Suku Kuri Pesisir dan
dataran tinggi
pegunungan
5. Suku
Irarutu
6. Suku
Sebyar
7. Suku
Sumuri
Pesisir dan
Dataran tinggi
pegunungan
Wilayah Distrik
Merdey, Moskona Selatan
(Jagero), Meyado, Biscoop,
Masyeta, Moskona Timur
(Mesna), Moskona Barat
(Yerga), Moskona Utara
(Moyeba), dan Inomveina
Manimeri, Bintuni, Tuhiba,
Tembuni, Barma (Meyado),
Horua, Isim, Tahota
Wamesa
Kuri
Babo, Aroba, Kaitaro, dan
Fafurwar
Pesisir Kamundan, Weriagar,
Arandai, Tomu, dan Taroi
Marga Besar
Asmarom, Oganei,
Yerkohok,
Oracomna, Iba, dan
Iborei
Iba, Tiri, Yetu, Mokiri,
Jehido, Ibori, Tomou,
menei, Onyo
Idorwai, Kawab,
Masyewi, Wekabury,
Fimbay, dan Waney
Urbete, Urbon,
Refideso, Tatuta, dan
Penetruma
Kurima, Wokrofa,
Welsin
Patiran, Nawarisa,
Nosefa, Bauw,
Tonoy, Kokop,
Prabun, Kosepa, Inai,
dan Kaitam
Pesisir Sumuri Inanosa, Simuna,
Agofa, Siwana, Ateta,
Wayuri, Sowai, dan
Kamisofa
Ketujuh suku tersebut masing-masing dipimpin oleh kepala suku yang dipilih berdasarkan garis
keturunan dan tentunya memiliki pengetahuan sejarah dan asal usul suku yang dianut (Sri Nuraini Kartikasari,
et al., 2012). Kepala suku adalah pengambil keputusan terkait dengan persoalan-persoalan sosial dan kebudayaan
serta sistem perizinan pengelolaan wilayah. Pada skala kabupaten, terdapat koordinator dari 7 suku besar yang
dipilih melalui musyawarah besar suku Kabupaten Teluk Bintuni. Persebaran wilayah suku yang berada di pesisir
Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 5-2 dan 4 suku besar yang mendiami wilayah survei dapat
dilihat pada Tabel 5-2.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 57
Gambar 5-3 Peta Sebaran Wilayah yang Terbagi dalam Tujuh Suku Besar di Kabupaten Teluk Bintuni
Tabel 5-3 Wilayah Suku Berdasarkan Lokasi Target Survei di Kabupaten Teluk Bintuni
No. Lokasi Survei
Suku Besar
1. Kampung Banjar Ausoy, Distrik Manimeri a. Wilayah Suku Sough
2. Kampung Nelayan RT 1 RW 3 Kel.
Bintuni Timur, Distrik Bintuni
b. Penduduk Suku Jawa,
Bugis, Makassar
a. Wilayah Suku Sough
b. Penduduk Suku Bugis,
Buton, dan Makassar
3. Kampung Sidomakmur, Distrik Aroba a. Wilayah Suku Irarutu
b. Penduduk Suku Jawa,
Bugis, Makassar, Buton, Irarutu,
Sumuri
4. Kampung Taroi, Distrik Taroi a. Wilayah Suku Sebyar
b. Penduduk Suku Sebyar,
Makassar, Bugis
5. Kampung Modan, Distrik Babo a. Wilayah Suku Irarutu
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 58
b. Penduduk Suku Wamesa,
Suku Irarutu
Berdasarkan wilayah adat Kabupaten Teluk Bintuni, terdapat 3 struktur adat yang dapat teridentifikasi. Strukturstruktur
adat tersebut, antara lain Struktur Pemerintahan Adat Suku Kabupaten Teluk Bintuni yang dipimpin
oleh Koordinator Suku Besar Teluk Bintuni, Struktur Tatanan Adat Suku yang dipimpin oleh Kepala Suku, serta
Struktur LMA (Lembaga Masyarakat Adat) Suku yang dipimpin oleh Ketua LMA (Gambar 5-3).
STRUKTUR PEMERINTAHAN ADAT
KABUPATEN TELUK BINTUNI
Koordinator Suku
Suku
Moskona
Suku Sough
Suku Kuri
Suku
Wamesa
Suku Irarutu Suku Sebyar Suku Sumuri
Bidang A Bidang B Bidang C Bidang D
Gambar 5-4 Struktur Pemerintahan Adat yang Dipimpin oleh Koordinator Suku
STRUKTUR TATANAN ADAT SUKU A
KABUPATEN TELUK BINTUNI
Kepala Suku A
Dewan Keret
Dewan Peradilan Adat
LMA Suku A
Marga Besar A
Tua Marga A
Marga Besar B
Tua Marga B
Marga Besar C
Tua Marga C
Gambar 5-5 Struktur Tatanan Adat Suku A yang Dipimpin oleh Kepala Suku A
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 59
STRUKTUR LEMBAGA MASYARAKAT ADAT SUKU A
KABUPATEN TELUK BINTUNI
Ketua LMA Suku A
Sekretaris Adat
Bendahara Adat
Sekretariat Biro Adat Biro Hukum Adat
Gambar 5-6 Struktur Lembaga Masyarakat Adat Suku A yang Dipimpin oleh Ketua LMA Suku A
5.3.3 Hak Pemanfaatan
Salah satu bentuk pemanfaatan ruang laut yang sudah ada adalah aktivitas eksplorasi gas alam cair BP
Tangguh. Kawasan pemanfaatan pertambangan ini meliputi area dengan luas kurang lebih 15.319 hektar yang
meliputi dua buah Vorwata atau ladang gas alam (Vorwata-A dan Vorwata-B), daerah terbatas/terlarang, jalur
pipa bawah laut, dan pelabuhan khusus. Area ini merupakan area yang tidak dapat dimanfaatkan untuk aktivitas
lain selain aktivitas jalur pelayaran dan pertambangan (Gambar 5-6).
Gambar 5-7 Area Pemanfaatan Pertambangan Migas LNG Tangguh di Teluk Bintuni
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 60
Sedangkan dalam perkembangannya, potensi cadangan gas alam di Teluk Bintuni mencakup Kabupaten
Sumuri dengan area perairan meliputi perairan Taroi dan Weriagar (Gambar 5-7). Oleh karena itu, berdasarkan
rencana, pemanfaatan pertambangan dan migas akan mengalami perluasan. Rencananya, akan dibangun dua buah
Vorwata di daerah Taroi dan Weriagar. Area konsesi pertambangan migas, menurut Peta Wilayah Kerja Migas
dan Rencana Wilayah Penawaran WK Migas tahun 2016 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, akan
mengalami perluasan hingga mencakup hampir seluruh wilayah perairaan Teluk Bintuni. Terdapat 3 blok dalam
perencanaan pengembangan, yaitu Blok Berau, Blok Muturi, dan Blok Arguni I. Area ini yang kemudian
direncanakan untuk menjadi konsesi yang ditawarkan kepada pihak perusahaan pengembang pertambangan di
tahun 2016. Adapun rencana penawaran WK lokasi dan area mineral dan gas di Teluk Bintuni dapat dilihat pada
Gambar 5-8.
Gambar 5-8 Area Kotak Merah Merupakan Area Potensi Pertambangan Gas LNG Tangguh. (Sumber: Peta Rencana
Kawasan Strategis Ekonomi Kabupaten Teluk Bintuni, RTRW Kabupaten Teluk Bintuni 2010-2030)
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 61
Gambar 5-9 Peta Wilayah Kerja Migas Status Mei 2016. (Sumber: Peta Rencana Penawaran WK 2016 dan Wilayah Kerja
Aktif Migas di Papua Barat)
Selain konsesi area perairan, pemanfaatan hasil hutan kayu di darat juga menjadi hal yang penting.
Pemanfaatan hutan kayu di wilayah Teluk Bintuni sebagian besar beroperasi dengan memanfaatkan hutan
mangrove. Dengan demikian, aktivitas pemanfaatan hutan mangrove ini akan berpengaruh terhadap kondisi
sumber daya kelautan di wilayah Teluk Bintuni.
Unit pengelola yang mencakup Teluk Bintuni disebut oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di level
regional sebagai KPH Bakau. Berdasarkan fungsi hutan di Kabupaten Teluk Bintuni, terdapat 3 izin pemanfaatan
kawasan hutan di Teluk Bintuni berdasarkan izin pemanfaatan kawasan hutan tahun 2014 yang dikeluarkan oleh
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tiga perusahaan yang memperoleh izin tersebut adalah Hutan
Tanaman Industri (HTI) kepada PT. Kesatuan Mas Abadi dengan luas konsesi 100.960 ha. Sementara untuk
Hutan Alam (HA), terdapat tiga perusahaan yang memegang hak pemanfaatan, yaitu PT. Bintuni Utama Murni
dengan luas konsesi 83.014,62 ha, PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya dengan luas konsesi 39.217,08 ha, dan
PT. Wukirasari dengan luas konsesi 30.417,85 ha. Adapun total luas konsesi pemanfaatan kawasan hutan di
Teluk Bintuni adalah seluas 253.608 ha yang tersebar di bagian selatan dari Kabupaten Teluk Bintuni.
Pemanfaatan kawasan hutan di Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 5-9
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 62
Gambar 5-10 Pemanfaatan Kawasan Hutan di Teluk Bintuni Tahun 2014
5.3.4 Hak Pemanfaatan Sumber Daya
Masyarakat nelayan, yang hidup di sekitar Teluk Bintuni, telah mengenal praktek kepemilikan wilayah
laut sebagai tempat mencari ikan, udang, dan kepiting. Praktek kepemilikan suatu kawasan perairan—dikenal
dengan istilah Hak Ulayat Adat—dibagi berdasarkan wilayah kediaman suku-suku besar yang ada di Teluk
Bintuni. Peraturan mengenai hak kepemilikan wilayah laut, yang mengatur besarnya nominal untuk biaya
perizinan penangkapan ikan, diserahkan kepada masing-masing suku. Berdasarkan analisis hasil wawancara,
sebagian besar nelayan di wilayah desa survei telah mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang diatur dalam Hak
Ulayat Adat pada masing-masing daerah tangkap.
Seperti yang dilakukan oleh kelompok nelayan Kampung Banjar Ausoy, setiap kelompok nelayan
diharuskan membayar Rp500.000 – Rp600.000 per bulan untuk mendapatkan izin menangkap ikan di Distrik
Wamesa. Sama seperti Kampung Banjar Ausoy, kampung nelayan Distrik Bintuni juga melakukan hal yang sama
untuk memancing di daerah Sungai Tifra dan Sungai Tugurama yang diberikan kepada Suku Kuri dan Suku
Kaitaro. Sementara di Kampung Taroi, pembayaran izin penangkapan menggunakan sistem per konda atau satu
kali pasang (15 hari) sebesar Rp600.000 pada masing-masing perahu nelayan. Mayoritas nelayan Taroi hanya
mencari ikan di sekitar wilayah Hak Ulayatnya sehingga tidak diwajibkan membayar uang perizinan.
Kondisi tersebut berbeda dengan Kampung Modan dan Kampung Sido Makmur. Kedua wilayah tersebut
sebagian besar dihuni oleh masyarakat pendatang dari luar Papua. Kendati demikian, nelayan pendatang tetap
diwajibkan membayar perizinan Hak Ulayat di masing-masing distriknya. Nelayan Kampung Modan membayar
Rp500.000 per bulan untuk tiap perahunya kepada Suku Irarutu di Distrik Babo. Nelayan Sido Makmur,
diharuskan membayar iuran kepada Suku Sumuri dan Suku Irarutu—pemilik Hak Ulayat lokasi penangkapan
Tanjung Asap dan sekitarnya. Total iuran yang harus dibayarkan adalah 60 juta per tahun dari seluruh nelayan
pendatang yang menetap maupun dari distrik yang lain (Lampiran 6). Walaupun proses pembayaran izin di lokasi
Hak Ulayat sudah berjalan, sampai saat ini belum ada peraturan tertulis yang sudah dibakukan oleh lembaga
adat Papua Barat terkait pembayaran Hak Ulayat.
Selain adanya Hak Ulayat Adat, nelayan di Teluk Bintuni sudah mengetahui adanya lokasi penambangan
gas alam (di bagian mulut teluk) dan lokasi Cagar Alam Teluk Bintuni (di bagian ujung timur teluk). Terutama
nelayan Kampung Sido Makmur yang memiliki wilayah tangkap di sekitar lokasi penambangan. Mereka sudah
mengetahui peraturan yang melarang aktivitas penangkapan udang pada radius 500 meter dari tiap rig. Sejak
saat itu, nelayan Kampung Sido Makmur mulai melengkapi peralatan memancing mereka dengan alat bantu GPS.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 63
Sedangkan nelayan Kampung Banjar Ausoy dan Kampung Nelayan, yang mencari ikan di sungai-sungai kawasan
cagar alam, diperbolehkan melakukan aktivitas penangkapan selama tidak menggunakan alat tangkap merusak
dan tidak memburu spesies terestrial yang dilindungi.
5.3.5 Pengguna Sumber Daya Laut
Pemanfaatan sumber daya laut di perairan Kabupaten Teluk Bintuni umumnya didominasi oleh kegiatan
perikanan oleh masyarakat pesisir kawasan Teluk Bintuni. Meskipun demikian, pemanfaatan sumber daya non
hayati (minyak dan gas) juga menjadi fokus industri yang berpotensi menyebabkan terjadinya konflik
pemanfaatan pengguna sumber daya dalam waktu yang bersamaan. Pemanfaatan sumber daya perikanan
dilakukan dalam skala kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat setempat ataupun untuk
dijual kepada pembeli yang kemudian diperdagangkan kembali di Kabupaten Teluk Bintuni bahkan sampai ke
luar daerah.
Untuk memaksimalkan nilai tambah bagi nelayan setempat, udang dan kepiting sebagai komoditas utama
umumnya dijual kepada perusahan pengekspor udang yang memiliki sarana dan prasarana pengepakan dan
pengawetan udang, baik di Bintuni maupun Kota Sorong. Selain udang dan kepiting, nelayan pemancing “kakap
Cina” juga merupakan pengguna sumber daya laut di Kabupaten Teluk Bintuni. Mereka melihat potensi nilai jual
ikan kakap yang sangat tinggi. Penjualan gelembung renang ikan conggek saat ini dapat mencapai harga hingga
puluhan juta rupiah per kilogramnya. Para pemancing ikan conggek ini umumnya berasal dari Sulawesi Tenggara
dan Sulawesi Selatan yang sudah bermukim dan menetap di Kabupaten Teluk Bintuni.
Pengguna sumber daya penting lainnya adalah nelayan kepiting. Nelayan kepiting umumnya berasal dari
luar daerah Papua yang saat ini sudah menetap dan menjadi bagian dari masyarakat di Kabupaten Teluk Bintuni.
Di wilayah pesisir utara Teluk Bintuni, aktivitas penangkapan kepiting umumnya dilakukan oleh masyarakat
nelayan yang ada di Kota Bintuni, kampung nelayan (RT1, RW3), dan nelayan yang ada di wilayah Distrik
Manimeri. Di wilayah pesisir Selatan, nelayan kepiting umumnya berada di Kampung Wimro dan Kampung
Modan serta Kampung Nuse di Distrik Babo. Nelayan kepiting di Kampung Wimro juga merupakan sebagian
dari para pekerja yang sebelumnya menjadi karyawan perusahan udang Bintuni Mina Raya yang berada di
Kampung Wimro.
Perairan Teluk Bintuni didominasi oleh pengaruh ekosistem hutan bakau dengan sejumlah besar sungai
yang bermuara di teluk sehingga memiliki karakterik salinitas yang lebih rendah dari perairan umum lainnya.
Perairan ini juga pada waktu-waktu tertentu sering menjadi lokasi penangkapan ikan kembung (Rastrelliger sp.).
Ikan kemung merupakan ikan pelagis kecil yang bergerombol dalam jumlah yang besar sehingga metode
penangkapannya umumnya dilakukan dengan menggunakan jaring cincin (purse seine). Sejumlah nelayan (purse
seine) dari luar Teluk Bintuni datang melakukan penangkapan ikan kembung pada periode sekitar bulan
September hingga bulan Maret, sejalan dengan berlangsungnya musim penangkapan ikan kembung di sekitar
perairan Teluk Bintuni. Nelayan ikan kembung yang bermukim di Bintuni pada dasarnya merupakan nelayan
yang memanfaatkan telur ikan terbang di musim yang berlawanan dengan musim tangkap ikan lema. Lokasi
penangkapan telur ikan terbang dilakukan pada sekitar wilayah perairan Arafura, terutama di wilayah Kabupaten
Fakfak.
Pemanfaatan sumber daya perikanan yang sangat intensif sebelumnya berlangsung di kawasan Teluk
Bintuni dalam pemanfaatan sumber daya udang pada periode tahun 1970-an hingga sekitar tahun 2010-an.
Perusahan-perusahan perikanan dengan armada kapal trawl melakukan aktivitas penangkapan di wilayah ini
dengan mendatangkan pekerja dari luar daerah lewat program transmigrasi nelayan seperti di Kampung Wimro
dan RKI (Rumah Kayu Indonesia) Sidomakmur. Pemanfaatan udang skala industri saat ini sudah berhenti dengan
dikeluarkannya moratorium armada penangkapan trawl oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan
Menteri No. 56 Tahun 2014.
Dengan berakhirnya operasi penangkapan udang dengan kapal trawl di kawasan Teluk Bintuni,
pemanfaatan udang berskala kecil dilanjutkan oleh para pekerja di perusahan perikanan yang kehilangan
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 64
pekerjaan. Para pekerja yang umumnya transmigran yang kehilangan pekerjaan tersebut selanjutnya menjadi
pengguna sumber daya langsung dengan mengusahakan armada penangkapan skala kecil menggunakan perahu
jolor serta jaring udang untuk mengumpulkan udang dari sekitar lokasi penangkapan di wilayah Teluk Bintuni.
Bagi masyarakat setempat yang merupakan suku asli Papua, usaha penangkapan udang ini juga dipelajari dan
dijadikan mata pencaharian utama terutama bagi masyarakat pesisir asli Papua yang bermukim di Desa Taroi
dan di wilayah lainnya di kawasan Teluk Bintuni.
Di sisi lain, pengguna sumber daya laut non-hayati (minyak dan gas), perusahan migas international,
British Petroleum (BP) menjadikan kawasan Teluk Bintuni sebagai lokasi utama untuk eksplorasi LNG melalui
anak perusahaaannya BP Tangguh. BP Tangguh mengoperasikan 2 train lepas pantai dan 1 train lainnya dalam
tahap konstruksi. Perusahan migas lainnya yang sedang mengupayakan pemanfaatan gas alam adalah Genting
Oil, perusahan migas berbasis di Malaysia yang saat ini sedang melakukan tahapan akhir eksplorasi.
Pembuatan Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Laut
Sistem pemanfaatan potensi sumber daya terutama di wilayah pesisir dan laut Kabupaten Teluk Bintuni
menganut konsep property right. Konsep tersebut mengandung unsur-unsur hak ulayat baik di wilayah daratan
maupun laut. Masyarakat di kampung pesisir mempunyai batas yuridiksi hak ulayat laut dengan batas-batas
horizontal tanda-tanda alam seperti sungai, tanjung dan pohon besar. Di samping itu, menurut (Yulianto, 2008)
batas yuridiksi wilayah laut juga ditentukan berdasarkan kemampuan nelayan dalam mencapai lokasi tangkap
dengan catatan bahwa penggunaan armada tangkap yang tradisional dan alat tangkap yang sederhana. Masingmasing
marga memiliki hak ulayat di wilayah tersebut yang dapat dimanfaatkan secara bersama.
Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya laut oleh pihak luar di wilayah hak ulayat marga tertentu
harus memperoleh izin atau perjanjian dan memberikan kompensasi atas penggunaan hak ulayat tersebut.
Perjanjian tersebut dilakukan antara calon pengguna sumber daya dengan pemilik wilayah (hak ulayat). Dari hasil
survei di Kabupaten Teluk Bintuni pada kampung pesisir target, sistem perizinan penggunaan wilayah terbagi
dua, yaitu perizinan untuk wilayah tangkap (fishing ground) dan untuk pendaratan hasil perikanan/penyandaran
kapal/penambatan perahu. Misalnya, pengguna sumber daya di Kampung Banjar Ausoy untuk mendaratkan hasil
tangkapan perikanan di pelabuhan/dermaga harus memperoleh izin dari pemilik wilayah, seperti marga Vimbay,
Yetu, dan Iba. Sedangkan wilayah tangkap harus memperoleh izin pada marga Manubbui dan Maboro. Sistem
perizinan dapat berupa perjanjian dan atau pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan tertentu. Ketentuan
tersebut seperti pembayaran pada wilayah tangkap berdasarkan target lokasi penangkapan yang dibayar per
kelompok atau per perahu.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 65
Gambar 5-11 Mekanisme Penambatan Perahu Nelayan Tangkap dan Nelayan Pengepul Komoditas Udang di K.
Sidomakmur Distrik Aroba Kabupaten Teluk Bintuni
Sedangkan pada level pemerintah dilakukan perizinan hanya pada kategori kapal dengan ukuran >10
GT. Namun semenjak adanya UU 23 Tahun 2014 yang menjelaskan kewenangan pemerintah provinsi terhadap
pengelolaan wilayah laut, sebagian besar perizinan dilakukan di pemerintah provinsi melalui Dinas Perizinan
Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Barat dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat. Untuk itu,
peran pemerintah daerah kabupaten dalam proses pengambilan keputusan, misalnya sistem perizinan SIUP/SIPI
dan seterusnya dilakukan oleh provinsi.
Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Laut
Konflik pemanfaatan sumber daya laut di Kawasan Teluk Bintuni merupakan isu penting saat ini. Adanya
keluhan dari pengguna sumber daya, terutama nelayan udang dan nelayan ikan conggek dengan pemanfaatan gas
alam oleh perusahan BP Tangguh menjadi indikasi adanya ketegangan. Meskipun belum terjadi konflik terbuka
antarpengguna tersebut. Masing-masing mengklaim bahwa wilayah pemanfaatan mereka terganggu oleh
aktivitas. Nelayan udang dan ikan conggek merasakan bahwa aktivitas mereka terganggu oleh aktivitas kapalkapal
perusahan BP Tangguh yang lalu-lalang di perairan sekitar lokasi penangkapan udang dan kakap Cina.
Sebaliknya, BP tangguh juga mengeluhkan bahwa aktivitas olah gerak kapal serta keberadaan train lepas pantai
terganggu oleh aktivitas nelayan lokal. Terlebih, dalam wawancara bersama masyarakat nelayan udang di RKI,
terungkap bahwa aktivitas seismik saat operasi eksplorasi migas menyebabkan gangguan akustik yang berpotensi
menggangu produktivitas sumber daya perikanan, khususnya udang di sekitar perairan Teluk Bintuni. Dengan
demikian, penelitian mendalam terkait dampak operasi seismik saat explorasi migas terhadap keberadaan udang
dan hasil tangkapan perlu dilakukan.
Konflik pemanfaatan nyata yang terjadi saat ini adalah aktivitas konstruksi train 3 BP Tangguh di sekitar
perairan kampung Taroi mengharuskan nelayan udang dan kakap Cina menghindari lokasi sekitar lalu lalangnya
kapal perusahan. Bagi BP tangguh, himbauan ini disampaikan agar kecelakaan tabrakan kapal dengan nelayan
dapat dihindari. Namun bagi nelayan, lokasi utama penangkapan ikan conggek dan udang yang produktif telah
tereliminasi oleh adanya aktivitas olah gerak kapal perusahan.
Konflik pemanfaatan sumber daya juga terjadi pada nelayan asli Papua dan nelayan kepiting serta nelayan
udang yang melakukan aktivitas hingga jauh memasuki wilayah sungai. Nelayan asli suku Kuri mengeluhkan
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 66
bahwa nelayan jaring dari wilayah Kota Bintuni dan Babo sudah meresahkan masyarakat di wilayah ulayat Suku
Kuri. Mereka menginginkan agar pemerintah maupun adat mengatur wilayah penangkapan yang membolehkan
nelayan dari luar untuk menangkap ikan hingga di muara-muara sungai saja dan tidak masuk jauh hingga ke
wilayah hulu.
Sejauh pengamatan selama survei ini, tidak terlihat adanya konflik pemanfaatan antara aktivitas
penangkapan nelayan dengan aktivitas transportasi laut yang menggunakan jalur-jalur pelayaran. Kondisi ramburambu
lalu lintas pelayaran di dalam sungai sepertinya berpotensi menyebabkan konflik antara kapal-kapal
penumpang dan masyarakat umum yang menggunakan transportasi perahu kecil. Kondisi jalur yang berkelokkelok
menuntut kehati-hatian pengendara transportasi laut, baik kapal penumpang maupun perahu masyarakat.
Konflik pemanfaatan sumber daya laut sering terjadi di berbagai lokasi yang memiliki potensi sumber
daya yang menjadi target para pengguna, baik nelayan, pihak swasta, masyarakat adat, pelaku transportasi laut,
sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Meminimalkan konflik dalam pemanfaatan sumber daya laut di perairan
Teluk Bintuni merupakan tantangan pengelolaan yang nyata yang memerlukan pendekatan komprehensif guna
terwujudnya keadilan dan jaminan terhadap pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 67
Referensi
Ainsworth, C. H., Pitcher, T. J. & Rotinsulu, C., 2008. Evidence of fishery Depletions and Shifting Cognitive
Baselines in Eastern Indonesia. Biological Conservation, 141(3), pp. 848-859.
Anon., 2016. Peta Rencana Penawaran WK 2016 dan Wilayah Kerja Aktif Migas di Papua Barat., Jakarta:
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Direktorat Pembinaan Usaha Hulu Migas.
Bawole, R. dkk. 2008. Sumber Daya Perikanan Teluk Bintuni Papua; Potensi, Masalah, dan Upaya
Pengelolaan. Prosiding Konferensi Nasional VI Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan, pp. 823-838.
Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Kementerian Kehutanan 2015. Daftar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHK-
HA). Diakses dari: http://kph.menlhk.go.id/pemanfaatan/
[Diakses pada 17 Oktober 2017].
Mangubhai, S. dkk. 2012. Papuan Bird’s Head Seascape: Emerging Threats And Challenges In The Global
Center of Marine Biodiversity. Marine Pollution Bulletin.
Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-
Metode Baru. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia .
Sri Nurani Kartikasari, Andrew J. Marshall, Bruce Beehler. 2012. Ekologi Papua. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia dan Conservation International.
Sugiono, 2011. Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif dan R & B, Bandung. Bandung: Alfabeta.
Torre-Castro, M. D., 2012. Governance For Sustainability: Insights From Marine Resource Use In A Tropical
Setting In The Western Indian Ocean. Coastal Management, pp. 612-633.
Yulianto, G., 2008. Kajian Kelembagaan Hak Ulayat Laut di Desa-Desa Pesisir Teluk Bintuni. Buletin Ekonomi
Perikanan, Volume VIII.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 68
VI.
PELUANG DAN TANTANGAN
Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Konservasi pada tahun 2015. Perwujudan konsep
Provinsi onservasi ini dapat dilihat dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (RANPERDASUS)
Tahun 2015 tentang Provinsi Konservasi. Sejalan dengan konsep tersebut, pemerintah Papua Barat
berkomitmen untuk menambah dan memperkuat pengelolaan kawasan konservasi perairan di wilayah Papua
Barat. Salah satunya adalah inisiasi kawasan konservasi perairan di Teluk Bintuni.
Berdasarkan hasil survei data dasar ekologi, perikanan, dan sosial ekonomi yang dilakukan pada bulan
September 2017, terdapat berbagai faktor internal & eksternal yang dapat mempengaruhi strategi
pengembangan kawasan konservasi perairan baru di Kab. Teluk Bintuni. Penjabaran berbagai faktor tersebut
adalah sebagai berikut:
Faktor Internal
Kekuatan (+):
Keanekaragaman hayati ekosistem pesisir Teluk Bintuni cukup tinggi, dimana terdapat 25 spesies
mangrove (21 species mangrove sejati dan 4 species mangrove asosiasi) dari 52 spesies mangrove di Papua
Barat. Luasan kawasan ekosistem mangrove di Teluk Bintuni sebesar 260.289 Ha, yang merupakan 8,92% dari
total luas mangrove di Indonesia. Selain itu, sering dijumpai spesies penting yang terancam punah dan dilindungi,
seperti hiu, pari, lumba-lumba, penyu dan jenis burung laut.
Kabupaten Teluk Bintuni merupakan daerah asuhan (nursery ground) bagi berbagai komoditas perikanan
yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti udang, kepiting dan jenis ikan lainnya. Adanya sistem pemanfaatan
sumber daya laut melalui mekanisme perijinan hak ulayat di Teluk Bintuni membuat pemanfaatan potensi
perikanan pada wilayah ruang laut dapat terkendali.
Produksi perikanan tangkap di Teluk Bintuni mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun
2016, jumlah produksi perikanan tangkap di Teluk Bintuni sebesar 2.764 ton, meningkat signifikan dari produksi
perikanan tangkap tahun 2012 yang sebesar 2.261 ton (Buku Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2016, Dinas
Kelautan dan Perikanan Propinsi Papua Barat). Komoditas perikanan udang dan kepiting dari Kabupaten Teluk
Bintuni memiliki kualitas yang cukup tinggi untuk menembus pasar ekspor ke mancanegara.
Saat ini terdapat berbagai kelompok nelayan setempat yang melakukan aktivitas penangkapan ikan
secara tradisional di wilayah perairan Teluk Bintuni. Keberadaan berbagai kelompok nelayan tersebut menjadi
modal awal yang paling baik untuk memulai implementasi pengembangan program perbaikan perikanan dan
inisiasi MPA baru di Teluk Bintuni.
Kelemahan (-):
Kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan
di Teluk Bintuni masih rendah. Hal ini diindikasikan dengan pemanfaatan hasil tangkapan yang belum optimal,
pemanfaatan hutan mangrove yang belum terkendali, dan maraknya aktivitas pencemaran di lingkungan pesisir
terutama dari pembuangan limbah domestik.
Pada beberapa wilayah tertentu, inovasi untuk penambahan nilai atau diversifikasi produk perikanan
dan hasil laut lain masih tergolong rendah sehingga mempengaruhi rendahnya alternatif pendapatan tambahan
bagi nelayan. Hal ini umumnya terjadi di sebagian besar kampung yang tidak secara langsung mendapat bantuan
dari pihak swasta. Rendahnya kapasitas pengelola sumber daya pesisir menyebabkan belum optimalnya
pengaturan pemanfaatan wilayah pesisir. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai peraturan perlindungan
spesies langka, terancam punah dan dilindungi menyebabkan masih terjadinya pemanfaatan terhadap spesiesspesies
tersebut.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 69
Faktor External
Peluang (+):
Kabupaten Teluk Bintuni memiliki aksesibilitas yang semakin baik dengan tersedianya transportasi darat,
laut dan udara. Situasi tersebut didukung dengan tersedianya sarana dan prasarana seperti pelabuhan, bandar
udara dan infrastruktur jalan raya yang memadai. Dukungan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) 7 Suku Besar di
Kabupaten Teluk Bintuni terhadap pembentukan kawasan konservasi perairan baru cukup positif. Hal ini terlihat
melalui keterlibatan aktif LMA dalam proses inisiasi dan persiapan deklarasi adat untuk pencadangan kawasan
konservasi perairan di Teluk Bintuni.
Saat ini terdapat pengelolaan kawasan pesisir di Kabupaten Teluk Bintuni yang berupa Hutan Lindung
dan Cagar Alam Teluk Bintuni. Keberadaaan kawasan-kawasan tersebut dapat mendorong pengelolaan wilayah
perairan sekitar sehingga pengelolaan kawasan komprehensif yang memiliki keterkaitan ekologis, sosial dan
budaya dapat terwujud.
Ancaman (-):
Teluk Bintuni termasuk dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yaitu kawasan industri
strategis untuk minyak dan gas serta industri pengolahan hasil hutan. Saat ini di Teluk Bintuni telah beroperasi
perusahaan gas BP Tangguh yang melakukan eksplorasi gas alam cair (LNG) dalam skala besar. Selain itu,
pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendorong
terbentuknya industri smelter dan petrokimia di Teluk Bintuni. Hal ini dapat menjadi ancaman apabila bentuk
pemanfaatan kawasan industri tersebut tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dan sumber daya yang
ada. Pemanfaatan sumber daya perikanan yang tidak berkelanjutan dapat mempengaruhi ketersedian stok
sumber daya ikan. Penangkapan yang dilakukan secara terus menerus dan masif pada area tertentu
menyebabkan menurunnya jumlah tangkapan nelayan dari waktu ke waktu.
Eksploitasi ekosistem mangrove seperti pemanfaatan oleh pihak swasta pada skala besar untuk industri
kertas dan kayu olahan menyebabkan degradasi fungsi ekosistem mangrove. Selain itu, terdapat alih fungsi lahan
mangrove untuk pengembangan kawasan pemukiman dan perluasan kota yang menyebabkan berkurangnya
tutupan vegetasi mangrove secara signifikan. Pembuangan limbah domestik ke laut seperti limbah rumah tangga,
limbah yang berasal dari aktivitas pelayaran dan perikanan tangkap (pembuangan jaring bekas) berdampak pada
menurunnya kualitas sanitasi, perairan dan nilai estetika.
Rekomendasi Strategi Pengelolaan
1. Inisiasi kawasan konservasi perairan untuk keberlanjutan sumber daya perikanan dan pelayanan
ekosistem di Teluk Bintuni yang melibatkan pihak pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat.
2. Pengaturan pemanfaatan sumber daya perikanan melalui strategi pemanfaatan (harvest strategy) yang
didukung oleh kelembagaan pengelola yang memadai.
3. Penyusunan regulasi/kebijakan dalam mendukung pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya secara
terpadu serta berkelanjutan.
4. Peningkatan kapasitas pengelola sumber daya pesisir dan perikanan untuk memastikan pemanfaatan
yang optimal.
5. Peningkatan kesadartahuan dan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya pesisir dan perikanan secara lestari.
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 70
LAMPIRAN
Lampiran Status Ekologi
Lampiran 1. Kerapatan Pohon Mangrove di Setiap Stasiun Pengamatan Teluk Bintuni
Stasiun Lokasi Kerapatan (Ind/ha)
1 Muara Bintuni 1440
2 Tomu 920
3 Sungai Taberai 520
4 Pulau Asap 840
5 Sungai Tifa 1000
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 71
Lampiran 2. Data Pohon Mangrove di Setiap Stasiun Pengamatan Teluk Bintuni
Stasiun
1
2
3
4
5
Kerapatan
Relatif
Frekuensi
Relatif
Dominasi
Relatif
Indeks
Nilai
Penting
Kerapatan
Frekuensi
Dominasi
Jenis
K (Ind/ha) Kr (%) F Fr (%)
D
(Ind/m 2 )
Dr (%) INP (%)
B.
gymnorrhiza
360 25,00 100 38,46 29,19 22,07 85,54
B. hainessii 20 1,39 20 7,69 0,40 0,30 9,39
R. apiculata 1000 69,44 100 38,46 100,00 75,61 183,52
B. sexangula 60 4,17 40 15,38 2,66 2,01 21,56
B.
gymnorrhiza
140 15,22 60 25,00 45,18 54,01 94,23
B. parviflora 660 71,74 60 25,00 24,03 28,72 125,46
B. sexangula 60 6,52 60 25,00 3,96 4,73 36,25
R. apiculata 40 4,35 40 16,67 5,74 6,86 27,87
X. moluccensis 20 2,17 20 8,33 4,75 5,68 16,18
B. gymnorhiza 20 3,85 20 7,69 2,51 6,18 17,72
R. apiculata 120 23,08 80 30,77 17,22 42,38 96,23
X. granatum 200 38,46 100 38,46 11,39 28,03 104,95
X. moluccensis 180 34,62 60 23,08 9,51 23,41 81,10
B. gymnorhiza 40 4,76 20 8,33 0,63 1,02 14,12
B. parviflora 100 11,90 60 25,00 7,15 11,63 48,54
C. tagal 160 19,05 40 16,67 11,64 18,94 54,66
R. apiculata 520 61,90 100 41,67 40,11 65,27 168,84
X. moluccensis 20 2,38 20 8,33 1,92 3,13 13,84
A.
eucalyptifolia
260 26,00 100 38,46 24,66 26,26 90,72
R. apiculata 480 48,00 80 30,77 42,64 45,40 124,17
R. mucronata 120 12,00 60 23,08 15,83 16,85 51,93
S. alba 140 14,00 20 7,69 10,80 11,50 33,19
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 72
Lampiran 3. Data Pancang Mangrove di Setiap Stasiun Pengamatan Teluk Bintuni
Stasiun Jenis Kerapatan Kerapatan
Relatif
Frekuensi Frekuensi
Relatif
Indeks Nilai
Penting
K
Kr (%) F Fr (%) INP (%)
(Ind/ha)
1 B. gymnorhiza 240 6,52 240 25 31,52
B. hainessii 80 2,17 80 8,33 10,51
C. decandra 560 15,22 80 8,33 23,55
R. apiculata 2080 56,52 320 33,33 89,86
R. mucronata 560 15,22 80 8,33 23,55
X. granatum 160 4,35 160 16,67 21,01
2 B. parviflora 240 20 160 33,33 53,33
B. gymnorhiza 240 20 80 16,67 36,67
R. apiculata 720 60 240 50 110
3 B. sexangula 80 2,7 80 16,67 19,37
X. granatum 2640 89,19 320 66,67 155,86
X. moluccensis 240 8,11 80 16,67 24,77
4 B. gymnorhiza 240 3,7 80 7,69 11,4
B. parviflora 400 6,17 160 15,38 21,56
C. decandra 240 3,7 80 7,69 11,4
C. tagal 400 6,17 240 23,08 29,25
R. apiculata 5120 79,01 400 38,46 117,47
X. moluccensis 80 1,23 80 7,69 8,93
5 B. gymnorhiza 80 12,5 80 20 32,5
B. parviflora 80 12,5 80 20 32,5
R. apiculata 160 25 160 40 65
R. mucronata 320 50 80 20 70
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 73
Lampiran 4. Data Semai Mangrove di Setiap Stasiun Pengamatan Teluk Bintuni
Stasiun
1
2
3
4
5
Kerapatan
Frekuensi Indeks Nilai
Kerapatan
Frekuensi
Jenis
Relatif
Relatif
Penting
K (Ind/ha) Kr (%) F Fr (%) INP (%)
B. gymnorhiza 10000 32,79 1500 25 57,79
B. hainessii 2000 6,56 500 8,33 14,89
B. sexangula 2000 6,56 1000 16,67 23,22
C. decandra 3000 9,84 500 8,33 18,17
R. apiculata 10500 34,43 1500 25 59,43
R. mucronata 2500 8,2 500 8,33 16,53
X. moluccensis 500 1,64 500 8,33 9,97
B. gymnorhiza 24500 57,65 1500 42,86 100,5
B. parviflora 10500 24,71 1000 28,57 53,28
R. apiculata 7500 17,65 1000 28,57 46,22
R. apiculata 8500 65,38 2000 40 105,38
X. granatum 2500 19,23 1500 30 49,23
X. moluccensis 2000 15,38 1500 30 45,38
B. gymnorhiza 10000 12,63 1500 23,08 35,71
B. parviflora 5833 7,37 1500 23,08 30,45
C. tagal 51667 65,26 1500 23,08 88,34
R. apiculata 9167 11,58 1000 15,38 26,96
X. moluccensis 2500 3,16 1000 15,38 18,54
B. gymnorhiza 500 2,33 500 10 12,33
R. apiculata 2500 11,63 1500 30 41,63
R. mucronata 17000 79,07 2000 40 119,07
X. moluccensis 1500 6,98 1000 20 26,98
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 74
Lampiran 5. Keanekaragaman, Kekayaan, dan Kemerataan Biota Asosiasi
Stasiun Lokasi N S
Keanekaragaman Kekayaan Kemerataan
H' R E'
1 Muara bintuni 77 11 1,85 2,30 0,77
2 Pulau Asap 93 11 2,01 2,21 0,84
3 Sungai Teberai 37 7 1,65 1,66 0,85
4 Sungai Tifa 68 10 1,67 2,13 0,73
5 Tomu 112 8 1,43 1,48 0,69
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 75
Lampiran Pemanfaataan Sumber Daya Laut
Lampiran 6. Pembagian Hak Ulayat dan Jumlah Retribusi yang Harus Dibayar
Asal Nelayan
Kampung Banjar
Ausoy-Distrik Bintuni
Kampung Nelayan
Kampung Taroi-Distrik
Taroi
Kampung Sido
Makmur-RKI
Kampung Modan-
Distrik Babo
Lokasi
Penangkapan
Distrik Wamesa
1. Sungai Tifra
2. Sungai
Tugurama
Distrik Taroi
1. Distrik Taroi
2. Tanjung Asap
3. Distrik Sumuri
1. Distrik Babo
2. Distrik Kaitaro
3. Tanjung Asap
Hak Ulayat
Marga Dianaisiobona,
Boren, Kabok, Kodai,
Kurwari, dan
Masimusi
1. Suku Kuri-Distrik
Kuri
2. Suku Kaitaro
Suku Sebyar-Distrik
Taroi
1. Suku Sebyar-Distrik
Taroi
2. Suku Irarutu-
Tanjung Asap
3. Suku Sumuri-Distrik
Sumuri
1. Suku Irarutu-Distrik
Babo
2. Suku Irarutu-Distrik
Kaitaro
3. Suku Irarutu-
Tanjung Asap
Retribusi
Rp 500.000 - Rp 600.000
per bulan untuk tiap
kelompok nelayan.
1. Rp 600.000 per konda
(15 hari) untuk tiap
perahu.
2. Rp 600.000 per konda
(15 hari) untuk tiap
perahu.
Rp 600.000 per konda
(15 hari) untuk tiap
perahu.
1. Rp 600.000 per konda
(15 hari) untuk tiap
perahu
2. Rp 60.000.000 per
tahun (jumlah iuran
dibagi sesuai dengan
jumlah nelayan yang
melakukan aktivitas
penangkapan di wilayah
tersebut)
3. (belum diketahui)
1. Rp 500.000 per konda
(15 hari) untuk tiap
perahu
2. (belum diketahui)
3. Rp 60.000.000 per
tahun (jumlah iuran
dibagi sesuai dengan
jumlah nelayan yang
melakukan aktivitas
penangkapan di wilayah
tersebut)
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 76
Lampiran Indikator Pemantauan Kerja (PMI)
INDIKATOR SA
untuk PMI
SA1.1:
Behavior
Change
Unit
Jumlah orang atau %
anggota masyarakat yang
disurvei sadar & terlibat
dalam upaya konservasi
0 orang
Papua Barat|Kabupaten Teluk Bintuni
Catatan:
> Bantuan USG baru dimulai pada Mei 2017.
> Diperkirakan 6.719 orang hidup di desa-desa
nelayan di Teluk Bintuni.
SA2.1a Hektar
EAFM (di
bawah FMP)
SA2.1b Hektar
KKP
SA2.1c Hektar
MSP
Area (ha) yang dinilai
menggunakan EAFM
Nilai EAFM dari Area
tersebut (per domain dan
agregat)
Area (ha) yang dinilai
menggunakan EKKP3K
Nilai EKKP3K dari Area
tersebut (% per level)
Area (ha) KKP baru
Area (ha) yang termasuk
RZWP3K
Status RZWP3K
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Belum ada
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 77
% Tutupan Mangrove
(Data Ekologi Mangrove Teluk Bintuni 2017)
- Total transek: 5 Transek
% Mangrove
- Area survei mangrove: 27,94 Ha
- Kerapatan: 4.720 ind/m 2
- Total Spesies: 25
SA2.2
Peningkatan
Biofisik:
Tutupan
Mangrove,
Kelimpahan
Ikan, Ukuran
Ikan/Biomassa
Kelimpahan Ikan (ind/ha)
Parameter biologi lain
Belum ada
(Data Ekologi Mangrove Sorong Selatan 2017)
Biota Asosiasi:
• Talescopium sp
• Uca sp
• Solenopsis sp
• Periothalamus sp
• Crab Juvenile
• Nerita sp
SA 2.3 # Kapal
yang Terdaftar
Wilayah Zona KKP
Jumlah armada kapal yang
terdaftar/punya izin
(armada kecil & menengah)
Hingga Agustus 2017, KKP dan zona-zonanya
belum ditentukan
0 Kapal yang terdaftar
Nelayan menggunakan mesin kecil (15 PK)
untuk menangkap ikan
(Data Perikanan Sorong Selatan 2017)
SA2.4 CPUE
Kg/Hari/Alat
per lokasi
Jenis alat tangkap yang
disurvei
> Rawai dasar (Kakap putih)
> Jaring insang besar (Kakap Putih)
> Trammel net (Udang)
> Bubu (Kepiting rawa)
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 78
Produksi kepiting di Banjar Ausoy- Distrik
Bintuni:
2015
> Jan: 20.283 kg/trip
> Feb: 31.79 kg/trip
> Mar: 30.744 kg/trip
> Apr: 22.494 kg/trip
> May: 25.103 kg/trip
> Jun: 27.786 kg/trip
> Jul: 14.453 kg/trip
> Aug: -
> Sep: 14.49 kg/trip
> Oct: 24.55 kg/trip
> Nov: 28.203 kg/trip
> Dec: 25.102 kg/trip
CPUE data untuk alat
tangkap (kg/trip)
2016
> Jan: 22.435 kg/trip
> Feb: 18.574 kg/trip
> Mar: 14.536 kg/trip
> Apr: 16.77 kg/trip
> May: 21.615 kg/trip
> Jun: 12.672 kg/trip
> Jul: -
> Aug:
> Sep: 13.095 kg/trip
> Oct: 29.42 kg/trip
> Nov: -
> Dec: 10.889 kg/trip
2017
> Jan: 20.475 kg/trip
> Feb: 11.3 kg/trip
> Apr: 8.978 kg/trip
Produksi bulanan udang di Desa Sidomakmur:
2016
> Sep: 17.655 kg/trip
> Oct: 22.579 kg/trip
> Nov: 31.593 kg/trip
> Dec: 27.834 kg/trip
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 79
2017
> Jan: 26.294 kg/trip
> Feb: 21.696 kg/trip
> Mar: 21.2 kg/trip
> Apr: 21.857 kg/trip
(Data Perikanan Teluk Bintuni 2017)
SA2.5
Biomassa Ikan
Karang dalam
NTZ
SA 3.1 Kondisi
Ekonomi (10
Aset)
Spesies ikan target
Kelimpahan (ind/ha) &
Biomassa Ikan (kg/ha)
Jumlah orang yang disurvei
dalam Pendataan Sosial
Spesies target utama:
> Banana shrimp (Panaeus merguiensis)
> Endeavour shrimp (Metapenaeus ensis)
> Indo-Pacific swamp crab (Scylla oceanica)
> Blackspotted croaker (Protonibea
diacanthus)
> Kakap putih (Lates calcalifer)
Belum ada
Data Sosial-Ekonomi Teluk Bintuni 2017;
> Total desa yang disurvei: 5
> Total rumah tangga yang disurvei: 91
Catatan:
> Intervensi MPA belum dilakukan
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 80
Data untuk Indikator Umum
Pendataan Sosial SEA
1. Alat rumah tangga (5 benda terbanyak):
> TV (98%), Listrik (91%), Kipas Angin (68%), Handphone
(60%), Smartphone (49%)
2. Material atap rumah (2 material terbanyak):
> Metal (96%), Papan (2%)
3. Material dinding rumah (3 material terbanyak):
> Kayu (79%), Semen (12%), Bata (9%)
4. Material lantai rumah:
> Kayu (66%), Semen (19%), Keramik (14%)
5. Jumlah ruangan rumah:
> Lebih dari 4 ruangan (48%), 3-4 ruangan (34%), 1-2
ruangan (18%)
6. Kepemilikan alat transportasi darat:
> Motor (46%)
7. Kepemilikan alat transportasi laut:
> Perahu mesin (56%)
8. Alat tangkap (3 alat terbanyak):
> Bubu (39%), Trammel Nets (30%), Rawai Dasar (13%)
9. Hewan ternak (3 binatang terbanyak):
> Unggas (89%), Kambing (7%), Sapi (4%)
10. Ladang (3 komoditi terbanyak):
> Buah-buahan (15%), Sayuran (8%), Padi (2%)
11. Akses menuju air bersih:
> Sumur pribadi/PAM (56%), Sumur bersama (18%),
Lainnya (8%)
12. Akses fasilitas sanitasi:
> Toilet pribadi (55%), Toilet umum (15%), Defekasi
terbuka (3%)
13. Kondisi Finansial:
Jumlah rumah tangga yang memiliki tabungan (40%),
Jumlah rumah tangga yang memiliki hutang/pinjaman
(13%), Jumlah keluarga yang memiliki asuransi (31%)
14. Jumlah rumah tangga yang tergabung menjadi
anggota koperasi (22%)
15. Bantuan pemerintah:
> Jumlah keluarga yang pernah menerima (31%)
16. Sumber pendapatan alternatif (2 sumber utama):
> Aktivitas perdagangan (11%), Buruh bangunan (3%)
SA 3.2
Leverage
Investasi
Aktivitas & luaran yang
bersumber dari pembiayaan
bersama dengan sumber
dana WWF lainnya
Tidak ada
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 81
Aktivitas & luaran yang
bersumber dari pembiayaan
bersama dengan organisasi
mitra (pemerintah, LSM lain,
dll)
Tidak ada
Jumlah pembiayaan
bersama
Tidak ada
Keberadaan sistem
pengelolaan sumber daya
lokal (hak milik, sasi, hak
ulayat, dll)
Informasi apakah sistem ini
telah dilegalisasi/disahkan
atau dalam bentuk tidak
tertulis
Hak ulayat laut hampir diterapkan diseluruh
desa survei. Namun peraturan tersebut belum
pernah dibakukan diatas kertas.
SA 3.3 Hak
Ulayat #
Masyarakat
Jumlah desa yang
melaksanakan sistem
pengelolaan sumber daya
lokal (hak milik, sasi, dll) di
wilayah yang disurvei
5 desa survei telah menerapkan sistem Hak
Ulayat Laut
Jumlah masyarakat
(individu) yang tinggal di
wilayah/terdampak dengan
sistem pengelolaan sumber
daya lokal
Kurang lebih 6.719 individu tinggal di kawasan
tersebut
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 82
SA 4.1
Peraturan dan
Kebijakan
Jumlah undangundang/kebijakan/peraturan
yang dikeluarkan karena
advokasi SEA Project
Tidak ada
SA 5.1 Orang
yang Dilatih
SA 5.2 Inovasi
SA5.3 Praktik
Penegakan
hukum # oleh
masyarakat
Jumlah peserta (dan rasio
gender) dalam pelatihan
yang diadakan SEA Project
Nilai peningkatan kapasitas
orang yang dilatih (Pre-test
vs Post-test)
Jumlah inovasi/teknologi
yang dikeluarkan WWF
dengan dukungan SEA
Project
Hasil penggunaan inovasi
tersebut
Jumlah peserta pada
pelatihan penegakan hukum
yang diadakan SEA – WWF
(Contoh: Wildlife Crime Unit,
Pokmaswas)
Penilaian performa pada
orang yang dilatih dalam
penegakan hukum
konservasi (Contoh: Wildlife
Crime Unit, Pokmaswas)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 83
Jumlah kasus yang
diinvestigasi/diselesaikan
sebagai hasil intervensi dari
yang telah dilatih (tim WCU,
Pokmaswas, dll)
Tidak ada
Lampiran Dokumentasi
Dokumentasi survei dapat diakses melalui tautan berikut:
http://bit.ly/DokumentasiBaselineSurveiTelukBintuni
Lampiran Data Hasil Observasi
Sumber data (ekologi, sosial, dan perikanan) yang diolah dalam laporan ini dapat diakses melalui
tautan berikut: http://bit.ly/CleannedDataBaselineSurveyTelukBintuni
Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 84