13.04.2020 Views

TELUK BINTUNI BASELINE SURVEY REPORT - ID

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

WWF-ID | SEA Project

2017

USAID SUSTAINABLE ECOSYSTEMS ADVANCED (SEA)

PROJECT | INDONESIA

LAPORAN SURVEI DATA DASAR TELUK BINTUNI

PROVINSI PAPUA BARAT

Ekologi, Perikanan, dan Status Sosial Masyarakat


LAPORAN SURVEI DATA DASAR TELUK BINTUNI

Status Ekologi, Perikanan, dan Status Sosial

Penulis

Ringkasan Eksekutif: Kanyadibya Cendana Prasetyo

Pendahuluan: Kanyadibya Cendana Prasetyo & Umi Kalsum Madaul

Status Ekologi: Ehdra Beta Masran, Dirga Daniel & Navisa Nurbandika

Status Sosial: Irwanto, Umi Kalsum Madaul & Inayah

Aktivitas Perikanan: Inayah & Oktavianto Prasetyo Darmono

Pemanfaatan Sumber Daya Laut: Dirga Daniel, Navisa Nurbandika, Christ Rontinsulu & Irwanto

Peluang dan Tantangan: Irwanto

Kontributor

Adib Mustofa, Aldi Ayal, Ridwan, Christofel Rotinsulu, Dirga Daniel, Ehdra B. Masran, Hafis Samiun, Harry

Sandy Numberi, Herlina, Inayah, Irwanto, La Ode Hasanudin, Muh. Sodikin, Navisa Nurbandika, Oktavianto

Prasetyo Darmono, Reza Fahlevi, Rizky Abbas, Samuel Refideso, Samuri Abidondifu, Syukur Pamilangan,

Tutus Wijanarko, Umi Kalsum Madaul, Vinsensius Aman, Yunita Tanggahma.

Foto Sampul: Muh. Sodikin

Desain dan Tata Letak: Kanyadibya Cendana Prasetyo


RINGKASAN EKSEKUTIF

WWF-Indonesia, dalam Proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) USAID, mendukung

Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati laut, produktivitas perikanan

dan pemanfaatan sumber daya laut berkelanjutan di WPP-715. Mengenai peningkatan keberlanjutan dan

ketahanan habitat dan masyarakat pesisir, WWF-Indonesia mendukung hal tersebut dengan

mempromosikan pembentukan Kawasan Konservasi Perairan di beberapa lokasi di 3 provinsi, yakni

provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Kabupaten Teluk Bintuni yang terletak di Provinsi Papua

Barat dipilih sebagai salah satu kawasan potensial untuk dikembangkan sebagai Kawasan Konservasi

Perairan.

WWF-ID | Proyek SEA telah menyelesaikan pengumpulan data primer ekologi, perikanan, dan

sosial untuk studi awal pembentukan Kawasan Konservasi Perairan baru - seperti yang tercantum dalam

Keputusan Menteri No. 2/2009 - di Kabupaten Teluk Bintuni. Survei data dasar dilaksanakan pada tanggal

23-29 September 2017 dengan melibatkan DKP Provinsi Papua Barat, DKP Kabupaten Teluk Bintuni,

Universitas Papua (UNIPA), Universitas Kristen Indonesia Papua (UKIP), Universitas Muhammadiyah

Sorong (UMS), dan Politeknik Ilmu Perikanan (PIP). Survei tersebut meliputi 5 kampung di 5 distrik untuk

pengumpulan data perikanan dan sosial dan 5 stasiun pengamatan di sepanjang wilayah pesisir untuk

pengumpulan data ekologi.

Status Ekosistem Pesisir

Sebagian besar ekosistem pesisir Kabupaten Teluk Bintuni tertutup oleh hutan mangrove. Luas

sebaran hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni adalah 260.289 hektar atau sekitar 8,92% dari total

luas hutan mangrove di Indonesia. Kerapatan mangrove tertinggi ditemui di stasiun-1 yang berlokasi di

Muara Bintuni dengan nilai kerapatan 1.440 Ind/Ha. Dari hasil pengamatan di Teluk Bintuni ditemukan 25

jenis mangrove dari 52 jenis mangrove di Papua Barat. Hasil analisis nilai INP tingkat pohon menunjukkan

spesies Rhizophora apiculata memiliki INP tertinggi yaitu 92,02% yang artinya spesies ini paling banyak

ditemui di lokasi survei. Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera parviflora juga termaksud spesies yang

mendominasi di ekosistem mangrove teluk Bintuni. Habitat mangrove di Teluk Bintuni telah menjadi rumah

bagi biota asosiasi dan satwa terestrial. Tercatat ada 17 spesies makrozoobenthos yang hidup di perairan

mangrove Teluk Bintuni.

Status Sosial

Penduduk asli Kabupaten Teluk Bintuni terbagi kedalam 7 kelompok suku yang tersebar di daerah

pegunungan dan pesisir. Lima diantaranya, yaitu Suku Kuri, Wamesa, Sebyar, Irarutu dan Sumuri berada di

wilayah pesisir. Masyarakat pendatang sebagian besar berasal dari Sulawesi dan Jawa. Sebanyak 91%

penduduk telah mendapat pasokan listrik baik dari PLN maupun generator set milik pribadi. Sedangkan 9%

sisanya tidak mendapat suplai listrik. Media telekomunikasi utama yang dimiliki warga di kampung target

adalah telepon seluler, TV, dan radio. Fasilitas pendidikan hampir tersedia diseluruh kampung lokasi survei.

Fasilitas kesehatan yang tersedia diantaranya adalah rumah sakit, posyandu, apotek, dan puskesmas

pembantu (PUSTU). Penggunaan air bersih umumnya bersumber dari air sumur, sungai, ataupun air hujan.

Hanya Kampung Nelayan (RT1 RW 3) yang memiliki akses PDAM di lokasi survey. Sebagian besar orang

di Teluk Bintuni bermatapencaharian sebagai nelayan udang, kepiting dan ikan congge sebagai sumber

pendapatan utama. Hanya 25% dari wilayah Teluk Bintuni yang menjadi lahan pertanian, mayoritas berada

di Kampung Banjar Ausoy.

Aktivitas Perikanan

Udang, kepiting bakau dan kakap congge merupakan komoditas perikanan yang paling penting di

Teluk Bintuni. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2016 mencapai 2.764 ton yang didominasi oleh

produksi udang. Jenis udang yang dominan di daerah ini adalah udang jerbung dan udang dogol. Sebagian

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | i


besar nelayan menggunakan perahu tanpa mesin dan mesin tempel untuk menangkap ikan. Sedangkan rawai

dasar dan jaring insang merupakan alat tangkap yang paling banyak digunakan. Bagi nelayan udang dan

kepiting, musim penangkapan terjadi sepanjang tahun dan tidak dipengaruhi oleh cuaca. Di sisi lain, faktor

perubahan musim dan cuaca sangat berpengaruh pada musim penangkapan ikan. Harga komoditas

perikanan bervariasi di setiap distrik. Harga udang tertinggi di Bintuni Timur seharga Rp 75.000,-/kg.

Sedangkan harga kepiting tertinggi di Modan seharga Rp 55.000,-/kg. Harga ikan conggek hanya senilai Rp

10.000,-/kg di 4 kampung target namun gelembung renangnya dihargai hingga Rp 3.000.000,-/ons untuk

ikan jantan dan Rp 1.500.000,-/ons untuk ikan betina. Dalam 5 tahun terakhir produksi perikanan di Teluk

Bintuni secara keseluruhan meningkat. Namun sebanyak 57% nelayan menyatakan hasil tangkapan justru

menurun akibat semakin banyaknya jumlah nelayan, semakin jauhnya lokasi penangkapan, dan adanya

aktivitas perusahaan gas.

Pemanfaatan Sumber Daya Laut

Pemanfaatan sumber daya laut di Kabupaten Teluk Bintuni terikat oleh adat setempat. Masyarakat

Teluk Bintuni, khususnya masyarakat adat, telah menjalankan kelembagaan Hak Ulayat Laut sejak lama.

Untuk mengakses sumber daya laut d seluruh wilayah diperlukan izin dari pemilik atau klan lokal yang

memiliki kekuasaan atas pemanfaatan laut. Secara adat, sasi atau tradisi lokal untuk membatasi pemanfaatan

sumber daya laut di Teluk Bintuni belum pernah terbentuk. Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah potensi

konflik antar pengguna yang memanfaatkan sumber daya laut, antara lain antar nelayan udang, kepiting, ikan

conggek di masing-masing distrik dan antara nelayan dengan perusahaan BP Tangguh yang melakukan

aktivitas eksplorasi gas.

Peluang dan Tantangan

Teluk Bintuni memiliki peluang untuk proses pembentukan KKP karena didukung aksesibilitas

transportasi laut, darat, dan udara. Ditambah dengan dukungan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) terhadap

pembentukan KKP. Di sisi lain, pembentukan KKP Teluk Bintuni memiliki ancaman berupa pembangunan

Kawasan Ekonomi Khusus yang akan membangun pabrik smelter dan petrokimia serta adanya aktivitas

perusahaan gas BP Tangguh. Aktivitas industri dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengelola

sumber daya laut secara berkelanjutan menjadi tantangan bagi inisiasi pembentukan Kawasan Konservasi

Perairan di Teluk Bintuni.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | ii


DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF................................................................................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................................................................ iii

DAFTAR TABEL ............................................................................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................................................................... vii

AKRONIM DAN SINGKATAN ................................................................................................................................... ix

I. PENDAHULUAN ..................................................................................................................................................... 1

Latar Belakang................................................................................................................................ 1

Tujuan ............................................................................................................................................ 2

Output............................................................................................................................................ 2

II. STATUS EKOSISTEM PESISIR ............................................................................................................................... 3

Pendahuluan .................................................................................................................................. 3

Metodologi .................................................................................................................................... 3

2.2.1 Pengambilan Data ............................................................................................................... 4

2.2.2 Vegetasi Mangrove ............................................................................................................. 4

2.2.3 Pengamatan Foto Udara ..................................................................................................... 5

2.2.4 Biota Asosiasi ...................................................................................................................... 5

2.2.5 Spesies Terancam Punah dan Dilindungi ............................................................................. 6

2.2.6 Analisis Data ........................................................................................................................ 6

2.2.6.1 Distribusi dan sebaran mangrove. ............................................................................................. 6

2.2.6.2 Analisis Vegetasi dan Biota Asosiasi Berdasarkan Pengamatan Garis Transek ............... 6

Hasil ............................................................................................................................................... 8

2.3.1 Distribusi Luas dan Kerapatan Hutan Mangrove ................................................................. 9

2.3.2 Analisis Vegetasi Berdasarkan Transek.............................................................................. 10

2.3.3 Struktur dan Vegetasi Mangrove....................................................................................... 12

2.3.4 Analisis Zonasi dan Jenis Mangrove Berdasarkan Foto Udara ........................................... 14

2.3.5 Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial ................................................................................... 16

2.3.6 Sebaran Spesies Terancam Punah dan Dilindungi ............................................................. 17

Referensi ...................................................................................................................................... 18

III. STATUS SOSIAL ............................................................................................................................................... 20

Pendahuluan ................................................................................................................................ 20

Metode ........................................................................................................................................ 20

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | iii


Hasil ............................................................................................................................................. 21

3.3.1 Sarana dan Prasarana ........................................................................................................ 21

3.3.2 Transportasi ...................................................................................................................... 21

3.3.3 Alat Tangkap Perikanan ..................................................................................................... 22

3.3.4 Bahan Bakar untuk Memasak ............................................................................................ 23

3.3.5 Suplai Listrik ...................................................................................................................... 23

3.3.6 Telekomunikasi ................................................................................................................. 24

3.3.7 Pendidikan......................................................................................................................... 24

3.3.8 Kesehatan, Air Bersih, dan Sanitasi ................................................................................... 26

3.3.9 Kelompok Masyarakat ....................................................................................................... 27

3.3.10 Organisasi Ekonomi ........................................................................................................... 27

3.3.11 Kependudukan .................................................................................................................. 28

3.3.12 Produksi Pertanian dan Perikanan .................................................................................... 29

3.3.13 Sejarah Komunitas ............................................................................................................ 30

Referensi ...................................................................................................................................... 35

IV. AKTIVITAS PERIKANAN ............................................................................................................................... 36

Pendahuluan ................................................................................................................................ 36

Metodologi .................................................................................................................................. 36

Hasil ............................................................................................................................................. 37

4.3.1 Spesies Target ................................................................................................................... 37

4.3.2 Alat Tangkap...................................................................................................................... 38

4.3.3 Nelayan ............................................................................................................................. 38

4.3.4 Armada Penangkapan ....................................................................................................... 39

4.3.5 Lokasi Penangkapan Ikan .................................................................................................. 39

4.3.6 Musim Penangkapan Ikan ................................................................................................. 40

4.3.7 Tren Perikanan Selama 5 Tahun Terakhir .......................................................................... 41

4.3.8 Lokasi Pendaratan Ikan ..................................................................................................... 43

4.3.9 Bisnis dan Rantai Dagang Perikanan.................................................................................. 45

4.3.10 Harga ................................................................................................................................. 45

4.3.11 Produksi ............................................................................................................................ 46

4.3.12 Bisnis Perikanan ................................................................................................................ 48

4.3.13 Rantai Pemasaran ............................................................................................................. 49

Referensi ...................................................................................................................................... 52

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | iv


V. PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAUT ........................................................................................................ 54

Pendahuluan ................................................................................................................................ 54

Metodologi .................................................................................................................................. 54

5.2.1 Pengumpulan Data dan Informasi ..................................................................................... 55

5.2.1.1 Diskusi Grup Terarah (Focus Group Discussion)............................................................... 55

5.2.1.2 Wawancara Informan Kunci (Key Informant Interview) ........................................................ 55

5.2.1.3 Pemetaan Cepat .......................................................................................................................... 56

5.2.2 Data Sekunder ................................................................................................................... 56

5.2.3 Pengolahan data ............................................................................................................... 56

Hasil ............................................................................................................................................. 56

5.3.1 Peraturan Manajemen Sumber Daya Laut ........................................................................ 56

5.3.2 Hak Ulayat/Hak Adat ......................................................................................................... 56

5.3.3 Hak Pemanfaatan .............................................................................................................. 60

5.3.4 Hak Pemanfaatan Sumber Daya ........................................................................................ 63

5.3.5 Pengguna Sumber Daya Laut............................................................................................. 64

Pembuatan Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Laut .............................................................. 65

Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Laut ...................................................................................... 66

Referensi ...................................................................................................................................... 68

VI. PELUANG DAN TANTANGAN ................................................................................................................. 69

LAMPIRAN ........................................................................................................................................................................ 71

Lampiran Status Ekologi ........................................................................................................................ 71

Lampiran Pemanfaataan Sumber Daya Laut ......................................................................................... 76

Lampiran Indikator Pemantauan Kerja (PMI)........................................................................................ 77

Lampiran Dokumentasi ......................................................................................................................... 84

Lampiran Data Hasil Observasi ............................................................................................................. 84

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | v


DAFTAR TABEL

Tabel 2-1 Luas dan Fungsi Hutan Kabupaten Teluk Bintuni. ................................................................................... 8

Tabel 2-2 Jenis Mangrove Berdasarkan Komponen Teluk Bintuni. ...................................................................... 13

Tabel 3-1 Lokasi Pengambilan Data di Masing-Masing Distrik di Kabupaten Teluk Bintuni ........................... 20

Tabel 3-2 Kondisi Keberadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kampung Sampel Kabupaten Teluk

Bintuni................................................................................................................................................................................. 25

Tabel 3-3. Sumber Pendapatan untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-Hari di Kampung Target Survei ....... 28

Tabel 3-4 Jumlah Tenaga Kesehatan di Kampung Target Survei .......................................................................... 29

Tabel 3-5 Sejarah Komunitas yang Menetap di Kabupaten Teluk Bintuni .......................................................... 30

Tabel 4-1 Komoditas perikanan yang menjadi target species di perairan Kabupaten Teluk Bintuni ........... 38

Tabel 4-2 Jenis Alat Tangkap yang Digunakan oleh Nelayan di Kabupaten Teluk Bintuni ............................. 38

Tabel 4-3 Jumlah nelayan di Perairan Kab. Teluk Bintuni ....................................................................................... 38

Tabel 4-4 Jenis Armada Penangkapan yang Digunakan Nelayan di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni ....... 39

Tabel 4-5. Musim Penangkapan Spesies Target Penting di Kabupaten Teluk Bintuni ...................................... 41

Tabel 4-6 Jenis Komoditas Perikanan dengan Nilai Ekonomis Penting yang Didaratkan di Perairan Teluk

Bintuni................................................................................................................................................................................. 44

Tabel 4-7 Harga Udang di Kabupaten Teluk Bintuni ............................................................................................... 46

Tabel 4-8 Harga Kepiting di Kabupaten Teluk Bintuni ........................................................................................... 46

Tabel 4-9 Harga Ikan Conggek dan Gelembung Renang Ikan Conggek di Kabupaten Teluk Bintuni .......... 46

Tabel 4-10 Jumlah Pengepul di Kabupaten Teluk Bintuni ....................................................................................... 48

Tabel 5-1 Sebaran Distrik dan Marga Besar Berdasarkan Suku di Kabupaten Teluk Bintuni ........................ 56

Tabel 5-2 Wilayah Suku Berdasarkan Lokasi Target Survei di Kabupaten Teluk Bintuni ............................... 58

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | vi


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2-1 Stasiun Pengamatan Baseline Survei Teluk Binuni .............................................................................. 3

Gambar 2-2 Desain Line Transek Kuadran ................................................................................................................. 4

Gambar 2-3 Ilustrasi Foto Udara ................................................................................................................................... 5

Gambar 2-4 Langkah Kerja Pengolahan Citra Lansat 8. ........................................................................................... 6

Gambar 2-5 Peta Sebaran Mangrove dan Kerapatan Mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni ......................... 9

Gambar 2-6 Nilai Kerapatan Tingkat Pohon pada Setiap Stasiun......................................................................... 10

Gambar 2-7 Nilai INP Tingkat Pohon Seluruh Stasiun ........................................................................................... 10

Gambar 2-8 Kerapatan Jenis Setiap Stasiun Tingkat Pancang ................................................................................ 11

Gambar 2-9 Nilai INP Tingkat Pancang ...................................................................................................................... 11

Gambar 2-10 Nilai Kerapatan Tingkat Semai Setiap Stasiun ................................................................................. 12

Gambar 2-11 Nilai INP Tingkat Semai ........................................................................................................................ 12

Gambar 2-12 Struktur Vegetasi Stasiun-1 (a) dan Stasiun-2 (b) ........................................................................... 14

Gambar 2-13 Struktur Vegetasi Stasiun-3 (a) dan Stasiun-4 (b) ........................................................................... 15

Gambar 2-14 Struktur Vegetasi Stasiun-5.................................................................................................................. 16

Gambar 2-15 Jumlah Biota Asosiasi Mangrove di Teluk Bintuni. ......................................................................... 16

Gambar 2-16 Area Kemunculan Spesies Terancam Punah dan Dilindungi ........................................................ 17

Gambar 3-1 Moda Transportasi di Kampung Target .............................................................................................. 22

Gambar 3-2 Penggunaan Alat Tangkap Perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni ................................................ 22

Gambar 3-3 Jenis bahan bakar yang digunakan oleh masyarakat untuk memasak ........................................... 23

Gambar 3-4 Kondisi Suplai Listrik Kampung Target Survei di Kab. Teluk Bintuni .......................................... 23

Gambar 3-5 Persentase Angka Partisipasi Murni Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Teluk

Bintuni (Sumber: BPS Kabupaten Teluk Bintuni 2016) ................................................................... 24

Gambar 3-6 Tingkat Kelususan di 5 Distrik Kabupaten Teluk Bintuni (Sumber: BPS Kabupaten Teluk

Bintuni Tahun 2016) ............................................................................................................................... 25

Gambar 3-7 Fasilitas Kesehatan di Kampung-Kampung Target Kabupaten Teluk Bintuni ............................. 26

Gambar 3-8 Akses Air Bersih dan Sanitasi di Kampung-Kampung Target Kabupaten Teluk Bintuni .......... 27

Gambar 3-9 Persentase Lahan Pertanian di Kab. Teluk Bintuni ........................................................................... 29

Gambar 3-10 Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2007-2016 (Sumber: Statistik

Perikanan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2017) ........................................................................ 30

Gambar 4-1 Peta Pendaratan Ikan dan Lokasi Pengambilan Data Perikanan Kabupaten Teluk Bintuni ...... 37

Gambar 4-2 Daerah Penangkapan Ikan di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni .................................................. 40

Gambar 4-3 Produksi Perikanan Tangkap (i); Armada Penangkapan Ikan (ii); Rumah Tangga Perikanan

(iii); Nilai Produksi Perikanan Tangkap (iv) Periode 2012-2016 di Kabupaten Teluk Bintuni

(Sumber: DKP Provinsi Papua Barat, 2017) ...................................................................................... 42

Gambar 4-4 Sebaran Panjang Udang (i) dan Kepiting (ii) yang Tertangkap di Teluk Bintuni ......................... 44

Gambar 4-5 Produksi Komoditas Sumber Daya Perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2016 (BPS

Teluk Bintuni, 2017) ............................................................................................................................... 47

Gambar 4-6 Produksi Udang Periode Oktober 2016–Mei 2017 di Salah Satu Pengepul ............................... 47

Gambar 4-7 Produksi Kepiting Bakau Periode Januari 2015 – April 2017 di Salah Satu Pengepul .............. 48

Gambar 4-8 Rantai Pemasaran Udang di Kabupaten Teluk Bintuni ..................................................................... 50

Gambar 4-9 Rantai Pemasaran Kepiting di Kabupaten Teluk Bintuni ................................................................. 50

Gambar 4-10 Rantai Pemasaran Ikan Demersal (Kakap Conggek) di Kabupaten Teluk Bintuni .................. 51

Gambar 5-1 Lokasi Survei Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni ............................................. 55

Gambar 5-2 Peta Sebaran Wilayah yang Terbagi dalam Tujuh Suku Besar di Kabupaten Teluk Bintuni .... 58

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | vii


Gambar 5-3 Struktur Pemerintahan Adat yang Dipimpin oleh Koordinator Suku .......................................... 59

Gambar 5-4. Struktur Tatanan Adat Suku A yang Dipimpin oleh Kepala Suku A ............................................ 59

Gambar 5-5 Struktur Lembaga Masyarakat Adat Suku A yang Dipimpin oleh Ketua LMA Suku A ............. 60

Gambar 5-6 Area Pemanfaatan Pertambangan Migas LNG Tangguh di Teluk Bintuni .................................... 60

Gambar 5-7 Area Kotak Merah Merupakan Area Potensi Pertambangan Gas LNG Tangguh. (Sumber:

Peta Rencana Kawasan Strategis Ekonomi Kabupaten Teluk Bintuni, RTRW Kabupaten

Teluk Bintuni 2010-2030) ...................................................................................................................... 61

Gambar 5-8 Peta Wilayah Kerja Migas Status Mei 2016. (Sumber: Peta Rencana Penawaran WK 2016

dan Wilayah Kerja Aktif Migas di Papua Barat) ................................................................................ 62

Gambar 5-9 Pemanfaatan Kawasan Hutan di Teluk Bintuni Tahun 2014 ........................................................... 63

Gambar 5-10 Mekanisme Penambatan Perahu Nelayan Tangkap dan Nelayan Pengepul Komoditas Udang

di K. Sidomakmur Distrik Aroba Kabupaten Teluk Bintuni .......................................................... 66

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | viii


AKRONIM DAN SINGKATAN

BA

BP

DBH/LBD

DKP

DVI

FGD

GPS

GSD

GT

HA

Ha

HTI

INP

KKP

KPH

Migas

NDVI

LMA

LNG

PERMEN KP

PIP

RANPERDASUS

RVI

SEA Project

SK MENHUT

RKI

RVI

UAV

UKIP

UMS

USAID

Basal Area

British Petroleum

Lingkar Pohon Setinggi Dada

Dinas Kelautan and Perikanan

Difference Vegetation Index

Focus Group Discussion

Global Positioning System

Ground Sampling Distance

Gross Tonne

Hutan Alam

Hektar

Hutan Tanaman Industri

Indeks Nilai Penting

Kawasan Konservasi Perairan

Kesatuan Pengelolaan Hutan

Mineral dan gas

Normalized Difference Vegetation Index

Lembaga Masyarakat Adat

Liquefied Natural Gas (Gas Alam Cair)

Peraturan Menteri Kelautan and Perikanan

Politeknik Ilmu Perikanan Sorong

Rancangan Peraturan Daerah Khusus

Ratio Vegetation Index

Sustainable Ecosystems Advanced Project

Surat Keputusan Mentri Kehutanan

Rumah Kayu Indonesia

Transformed Ratio Vegetation Index

Unmanned Aerial Vehicle (Pesawat Tanpa Awak)

Universitas Kristen Indonesia Papua

Universitas Muhammadiyah Sorong

United States Agency for International Development

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | ix


I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di era pemerintahan Joko Widodo, Indonesia memiliki komitmen yang cukup tinggi untuk

mengembangkan sektor perikanan dan kelautan. Jokowi memahami bahwa pembangunan Indonesia harus

mulai diarahkan berbasis maritim sebagaimana warisan leluhur bangsa Indonesia yang berkebudayaan

maritim (Rizanny, 2017). Hal ini tertuang dalam Perpres no.16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia

yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha untuk ikut serta melaksanakan

pembangunan sektor kelautan.

USAID Indonesia melalui Proyek Sustainable Ecosystems Advanced (SEA) mendukung upaya

Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dan kelautan serta upaya konservasi di

tingkat kota/kabupaten, provinsi, dan nasional, terutama di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) – 715

yang mencakup Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Untuk mendukung upaya tersebut, WWF-

Indonesia bergabung dalam konsorsium mitra Proyek SEA USAID Indonesia yang berjalan selama 5 tahun

(2016-2021). Proyek SEA menggarisbawahi pemanfaatan sumber daya laut dan perikanan harus seimbang

dengan upaya konservasi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, Proyek SEA

USAID mendorong inisiasi Kawasan Konservasi Perairan (KKP) baru di wilayah WPP-715 sebagai usaha

menyeimbangkan kedua unsur tersebut. Salah satu wilayah yang dicadangkan untuk inisiasi kawasan

konservasi adalah Kabupaten Teluk Bintuni yang terletak di Provinsi Papua Barat.

Kabupaten Teluk Bintuni memiliki luas wilayah sebesar 18.637,00 km 2 atau 19,2% dari total luas

Provinsi Papua Barat. Berdasarkan Peraturan Bupati Teluk Bintuni no. 2 tahun 2009, wilayah administrasi

Kabupaten Teluk Bintuni terdiri atas 24 distrik (BPS Kabupaten Teluk Bintuni, 2017). Kabupaten ini

merupakan pemekaran dari Kabupaten Manokwari berdasarkan Undang-Undang no. 26 tahun 2002.

Sebagian besar wilayah Kabupaten Teluk Bintuni merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 0-

100 meter di atas permukaan laut. Selain itu, kabupaten ini memiliki 5 sungai yang dikelilingi hutan mangrove

di muaranya (BPS Kabupaten Teluk Bintuni, 2017). Sehingga ekosistem pesisir di Teluk Bintuni bercirikan

ekosistem mangrove. Ekosistem ini menjadi landasan bagi perikanan berbasis udang dan kepiting bakau di

daerah tersebut.

Salah satu upaya untuk menjaga keberlangsungan ekosistem dan kelestarian sumber daya di

Kabupaten Teluk Bintuni adalah dengan menginisiasi Kawasan Konservasi Perairan di wilayah ini.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no. 2 tahun 2009, studi data dasar adalah salah

satu langkah penting dalam inisiasi pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Di dalam studi

tersebut terdapat studi sosial-budaya, ekonomi, dan ekologi yang akan membantu pemerintah Indonesia

merancang pembentukan KKP. Studi data dasar juga diperlukan untuk mengetahui kondisi terkini di

lapangan dan memperbaharui data yang telah dimiliki sebelumnya. Oleh karena itu, pada tanggal 23-29

September 2017 lalu WWF-Indonesia bekerjasama dengan DKP Provinsi Papua Barat, DKP Kabupaten

Teluk Bintuni, Universitas Papua (UNIPA), Universitas Kristen Indonesia Papua (UKIP), Universitas

Muhammadiyah Sorong (UMS), dan Politeknik Ilmu Perikanan (PIP) melaksanakan survei data dasar di

Kabupaten Teluk Bintuni. Survei data dasar di Kabupaten Teluk Bintuni meliputi survei ekologi, survei

perikanan, dan survei sosial-ekonomi. Hasil survei tersebut dapat menjadi acuan dalam melaksanakan studi

lanjutan dan data dasar untuk proses pembentukan Kawasan Konservasi Perairan di Teluk Bintuni.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 1


Tujuan

• Melakukan identifikasi kondisi ekologi mangrove yang ada di sepanjang pesisir Kabupaten Teluk

Bintuni.

• Melakukan identifikasi aktivitas perikanan terkait spesies target, lokasi pendaratan, rantai

pemasaran, dan aktivitas penangkapan yang merusak di sekitar perairan Kabupaten Teluk

Bintuni.

• Melakukan identifikasi dan penilaian terhadap kondisi sosial masyarakat di wilayah pesisir

Kabupaten Teluk Bintuni.

• Melakukan kerjasama sekaligus meningkatkan kapasitas kerja terhadap stakeholders,

pemerintah daerah, dan lembaga pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan.

Output

Menghasilkan laporan data dasar mengenai kondisi ekologi, perikanan, dan sosial masyarakat di

wilayah pesisir Teluk Bintuni yang dapat dijadikan acuan perencanaan tata ruang laut dan kawasan

konservasi perairan.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 2


II.

STATUS EKOSISTEM PESISIR

Pendahuluan

Hutan mangrove di Provinsi Papua Barat dengan luas kurang lebih 2,25 juta hektar merupakan

hutan mangrove terluas di Indonesia serta merupakan contoh terbaik dari tipe habitat ini di kawasan Asia

Tenggara. Sementara itu, hutan mangrove di Teluk Bintuni seluas ± 260 ribu hektar dan mencakup 10%

dari total luas hutan mangrove Indonesia (Wibowo dan Suyatno, 1998:94). Berdasarkan Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No. 2 Tahun 2009 mengenai inisiasi Kawasan Konservasi Perairan

(KKP), diperlukan suatu data dasar yang meliputi data ekologi, sosial dan ekonomi dalam menyusun

dokumen awal iniasasi calon KKP. Oleh karena itu, inisiasi calon KKP Teluk Bintuni membutuhkan

pengambilan data ekologi di wilayah Kabupaten Teluk Bintuni. Adapun jenis data yang diambil terdiri atas

data: 1) kondisi vegetasi mangrove, 2) tingkat kesehatan mangrove, 3) zonasi sebaran pertumbuhan

mangrove, 4) jenis dan kerapatan mangrove dan 5) biota asosiasi kawasan.

Metodologi

Survei ini dilakukan mencakup 4 (empat) distrik di wilayah pesisir Kabupaten Teluk Bintuni, yaitu

Bintuni, Aroba, Babo dan Taroi (Gambar 2-1). Pemilihan lokasi sampling dilakukan dengan metode acak

bertingkat yang terdiri dari 5 stasiun pengamatan dengan mempertimbangkan pola zonasi hutan mangrove

(Zona Depan, Zona Tengah dan Zona Belakang) dan berdasarkan pola pemanfaatan lahan (Hutan Lindung,

Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi).

Gambar 2-1 Stasiun Pengamatan Baseline Survei Teluk Binuni

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 3


2.2.1 Pengambilan Data

Jumlah sampel plot kerapatan tajuk minimal adalah 60% dari Total Sampel Minimal (TSM). Wilayah

pengamatan mangrove berada di sepanjang garis pantai bagian pesisir distrik di Kabupaten Teluk Bintuni.

Pengambilan data mangrove dilakukan dengan beberapa metode yaitu 1) pengamatan dan pemotretan

udara dan 2) pengamatan lapangan langsung. Data pengamatan lapangan langsung meliputi pengamatan

pohon terpusat, jenis tegakan mangrove (pohon, pancang dan anakan), diameter pohon, tinggi total, tinggi

bebas ranting, jarak dari titik sumbu, biota asosiasi, satwa terestrial, dan sebaran spesies terancam punah

dan dilindungi. Data-data ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman, kepadatan, kesehatan, tutupan,

kerusakan, serta objek penting lain yang berhubungan dengan kondisi mengrove Teluk Bituni.

2.2.2 Vegetasi Mangrove

a. Pengamatan garis transek

Pengamatan garis transek dilakukan sepanjang 250 meter dengan area pengamatan kiri dan kanan sejauh

2 meter, 5 meter, dan 10 meter untuk pencatatan semua jenis pohon yang ada di dalam petak. Pengamatan

dilakukan untuk mengetahui jenis, tinggi bebas ranting, tinggi total dan diameter pohon, sedangkan tegakan

dan semai/anakan dicatat jenis dan jumlahnya saja.

Gambar 2-1 Desain Line Transek Kuadran

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 4


2.2.3 Pengamatan Foto Udara

Distribusi dan sebaran mangrove serta jenis tutupannya juga diperoleh dengan melakukan

pemotretan udara menggunakan pesawat tanpa awak Unmanned Aerial Vehicle (UAV). Proses pemotretan

udara menggunakan UAV dilakukan di stasiun pengamatan mangrove yaitu berada di 5 stasiun di lokasi

kajian (Gambar 2-1). Proses pengambilan foto udara dilakukan dengan rentang ketinggian 80-100-meter

(resolusi 3,5 cm) dari ketinggian tinggal landas. Arah pengambilan foto udara menyesuaikan dengan arah

bentang transek survei biofisik mangrove. Adapun ilustrasi pengambilan survei foto udara dapat dilihat pada

Gambar 2-3.

Keterangan:

Sw

FR

H

imW

imH

GSD

Dw

DH

Gambar 2-3 Ilustrasi Foto Udara

20 = Lebar sensor kamera (millimeters)

4 = Focal length kamera (millimeters)

92 = Tinggi terbang (meters)

4000 = Lebar cakupan kamera (pixels)

3000 = Panjang cakupan kamera (pixels)

11,50 = Ground Sampling Distance (centimeters/pixel)

460 = Lebar cakupan pemotretan (meters)

345 = Panjang cakupan pemotretan (meters)

2.2.4 Biota Asosiasi

Pengamatan biota assosiasi dilakukan bersamaan dengan pengamatan mangrove garis transek melalui

metode pengamatan langsung (visual census) dengan mencatat jenis dan jumlah biota yang ditemukan di

sebelah kanan dan kiri transek. Biota yang berasosiasi dengan mangrove diamati di transek berukuran 50

x 50 cm yang di letakan secara acak pada jalur transek mangrove. Sedangkan pengamatan satwa terestrial

dilakukan dengan menggunakan teropong monokuler untuk melihat satwa terestrial yang berasosiasi di

sekitar mangrove.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 5


2.2.5 Spesies Terancam Punah dan Dilindungi

Pengumpulan data dan informasi terkait sumber daya perikanan, khususnya spesies yang

terancam punah dan dilindungi dilakukan dengan beberapa metode yakni wawancara informan kunci,

pemetaan cepat, dan pengamatan langsung.

2.2.6 Analisis Data

2.2.6.1 Distribusi dan sebaran mangrove.

Analisis spasial dilakukan untuk menghitung luas sebarang total mangrove di area kajian. Analisis

spasial dilakukan dengan melalui proses analisis citra pengindraan jauh untuk mengetahui luas distribusi

sebaran mangrove dan kepadatan hutan mangrove di wilayah kajian Teluk Bintuni. Pengolahan citra

bertujuan untuk mengidentifikasi dan membuat klasifikasi kerapatan mangrove. Langkah kerja pengolahan

Citra Landsat 8 untuk kerapatan mangrove dapat dilihat pada Gambar 2-4. Selain distribusi dan kerapatan

mangrove yang meliputi seluruh area kajian Teluk Bintuni, distribusi, zonasi dan jenis mangrove juga

diperoleh dari pengolahan hasil pemotretan udara menggunakan UAV di 5 stasiun pengamatan. Analisis

data dilakukan dengan interpretasi langsung (digitation on screen) berdasarkan kunci interpretasi rona,

tekstur dan warna yang disesuaikan dengan hasil pengamatan langsung transek.

Citra Landsat 8

Path/Raw 111/66

Koreksi

Radiometrik & Geometrik

Transformasi NDVI

Komposit Citra

Reclassify NDVI

Pemotongan citra sesuai AOI

(Area of Interest)

Pemotongan citra untuk

Mangrove

Digitasi Mangrove

Peta Kerapatan Mangrove

Gambar 2-4 Langkah Kerja Pengolahan Citra Lansat 8.

2.2.6.2 Analisis Vegetasi dan Biota Asosiasi Berdasarkan Pengamatan Garis

Transek

Pengolahan data jenis vegetasi dan biota asosiasi dilakukan dengan menghitung beberapa variabel

sebagai berikut:

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 6


a. Kerapatan Suatu Jenis (K)(ind/ha)

Individu Setiap Jenis (ind)

K = ∑

Luas Petak Contoh (ha)

b. Kerapatan Relatif Suatu Jenis (KR) (%)

KR =

K suatu jenis

K seluruh jenis

X 100%

c. Frekuensi suatu jenis (F)

F =

∑ Sub − petak ditemukan suatu jenis

∑ Seluruh sub − petak contoh

d. Frekuensi Relatif Suatu Jenis (FR) (%)

FR =

F suatu Jenis

X 100 %

F Seluruh Jenis

e. Dominansi Suatu Jenis (D) (m 2 /ha)

Besaran D hanya dihitung untuk tingkat pohon dengan rumusan sebagai berikut:

D =

Luas bidang dasar sautu jenis

Luas Petak contoh

Dengan Luas Bidang Dasar (LBD) suatu jenis sebagai berikut:

LBD =

π . R 2

Seluruh sub − petak contoh = 1 π. D2

4

Dimana R adalah jari jari lingkaran dari diameter batang dan D adalah DBH. LBD yang didapatkan

kemudian dikonversi menjadi m 2 .

f. Dominansi Relatif Suatu Jenis (DR) (%)

DR =

D suatu jenis

X 100%

D seluruh Jenis

g. Indeks Nilai Penting (INP) (%)

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 7


Untuk tingkat pohon adalah INP=KR + FR + DR

Untuk tingkat Semai, pancang INP=KR +FR

h. Keanekaragaman jenis

H ′ = − ∑(pi ln pi); dengan pi = ( ni

n )

Dimana H’ adalah indeks keanekaragaman Shannon, ni adalah jumlah individu suatu jenis ke-i

dalam petak ukur (PU), dan n adalah total jumlah individu dalam PU.

i. Indeks kekayaan (Margallef)

R = S − 1

ln(N)

Dimana R adalah indeks kekayaan Margallef, S adalah jumlah jenis dalam petak ukur, dan N adalah

total jumlah individu.

j. Indeks kemerataan (Evenness index) (Ludwig & reynold, 1988)

H′

E ′ =

ln(S)

Dimana E ′ adalah indeks kemerataan untuk jenis, H ′ adalah indeks keanekaragaman jenis, dan S

adalah jumlah jenis dalam petak ukur.

Hasil

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari tahun 2002, peruntukan kawasan hutan

terbagi menjadi; Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi yang dapat dikonversikan, dan

Hutan Tanaman Tahunan. Berdasarkan paduserasi dan penataan ruang Provinsi Papua secara matriks, luas

wilayah dan fungsi hutan kawasan Teluk Bintuni disajikan dalam Tabel 2-1.

Tabel 2-1 Luas dan Fungsi Hutan Kabupaten Teluk Bintuni.

Hutan Lindung Luas (ha) Luas (%)

Hutan Lindung 69.125 5,75

Hutan Produksi 444.067 36,90

Hutan Produksi Terbatas 133.3112 11,08

Hutan PPA 180.562 15,00

Jumlah Kawasan Hutan Tetap 827.067 68,73

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 8


Hutan Produksi Dapat

Dikonversi

361.000 30,00

Penggunaan Lain 15.372 1,28

Jumlah Luas Kawasan 1.203.442 100.00

2.3.1 Distribusi Luas dan Kerapatan Hutan Mangrove

Berdasarkan pengolahan data spasial sebaran mangrove nasional dari Badan Informasi Geospasial

(BIG), luas sebaran hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni adalah hektar atau sekitar 10% dari total

luas hutan mangrove di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis spektral berdasarkan saluran 5 dan 4

menggunakan formula NDVI, diperoleh hasil kelas kerapatan rendah, sedang dan tinggi. Masing-masing

disimbolkankan dengan pewarnaan hijau, kuning, dan merah. Perhitungan data vektor hasil klasifikasi

supervised (terbimbing) diperoleh luasan dalam hektar masing-masing kelas kerapatan, sebagai berikut:

kerapatan tinggi 27.379 Ha; kerapatan sedang 135.672 Ha; kerapatan rendah 300 Ha. Sedangkan sekitar

96.938 hektar tidak dapat dimasukkan dalam kelas kerapatan karena tertutup awan. Hasil sebaran

mangrove beserta kerapatannya dapat dilihat pada Gambar 2-5.

Gambar 2-5 Peta Sebaran Mangrove dan Kerapatan Mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 9


INP (%)

B. gymnorrhiza

B. hainessii

R. apiculata

B. sexangula

B. gymnorrhiza

B. parviflora

B. sexangula

R. apiculata

X. moluccensis

B. gymnorhiza

R. apiculata

X. granatum

X. moluccensis

B. gymnorhiza

B. parviflora

C. tagal

R. apiculata

X. moluccensis

A. eucalyptifolia

R. apiculata

R. mucronata

S. alba

Kerapatan (Ind/Ha)

2.3.2 Analisis Vegetasi Berdasarkan Transek

Berdasarkan hasil pengamatan vegetasi mangrove di lokasi survei, diperoleh nilai total kerapatan

pohon mangrove sebesar 4.720 Ind/Ha. Kerapatan pohon mangrove tertinggi berada pada Stasiun-1 yaitu

sebesar 1.440 Ind/ha. Sementara stasiun-3 memiliki nilai kerapatan terendah yang mencapai 520 Ind/Ha

(Lampiran 2). Vegetasi pohon mangrove dengan jenis Rhizophora apiculata memiliki nilai kerapatan paling

besar pada stasiun-1, 4 dan 5. Pada stasiun-2 jenis vegetasi dengan nilai kerapatan tertinggi adalah Bruguiera

parviflora dan vegetasi kerapatan tertinggi pada stasiun-3 adalah Xylocarpus granatum (Gambar 2-6).

1200

1000

800

600

400

200

0

1000

660

520 480

360

20 60 140 260

60 40 20 20 120200 180

40 100160 120140

20

1 2 3 4 5

Spesies/Stasiun

Gambar 2-6 Nilai Kerapatan Tingkat Pohon pada Setiap Stasiun

Untuk menggambarkan kedudukan suatu jenis mangrove dalam komunitas, digunakan analisis

Indeks Nilai Penting (INP). Pada vegetasi tingkat pohon, INP didapat dari hasil penjumlahan Kerapatan

Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Hasil analisis nilai INP tingkat pohon

menunjukkan spesies Rhizophora apiculata memiliki INP tertinggi yaitu 92,02%. Melalui INP dapat diketahui

selain spesies Rhizophora apiculata yang paling banyak ditemui, spesies Bruguiera gymnorrhiza dan Bruguiera

parviflora juga mendominasi spesies pohon mangrove di lokasi survei (Gambar 2-7).

100.00

90.00

80.00

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

92.02

20.66

49.08

5.59

34.67

29.40

9.62 11.73

6.55

18.13

22.55

JENIS

Gambar 2-7 Nilai INP Tingkat Pohon Seluruh Stasiun

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 10


INP (%)

B. gymnorhiza

B. hainessii

C. decandra

R. apiculata

R. mucronata

X. granatum

B. parviflora

B. gymnorhiza

R. apiculata

B. sexangula

X. granatum

X. moluccensis

B. gymnorhiza

B. parviflora

C. decandra

C. tagal

R. apiculata

X. moluccensis

B. gymnorhiza

B. parviflora

R. apiculata

R. mucronata

Kerapatan (Ind/Ha)

Sama seperti kerapatan tingkat pohon mangrove, vegetasi jenis Rhizophora apiculata juga memiliki

kerapatan tertinggi pada tingkat pancang. Nilai kerapatan tertinggi dari jenis ini ditemui di Stasiun-4 yang

mencapai 5.120 Ind/Ha. Jenis lainnya yaitu Xylocarpus moluccensis, juga mendominasi vegetasi mangrove

ditingkat pancang khususnya di Stasiun-3 (Gambar 2-8).

6000

5000

4000

3000

2000

1000

0

5120

2640

240

2080560

80 560 160 240 240 720 80 240 240 400 240 400

80 80 80 160 320

1 2 3 4 5

Spesies/Stasiun

Gambar 2-8 Kerapatan Jenis Setiap Stasiun Tingkat Pancang

Dari hasil perhitungan INP pada tingkat pancang diseluruh stasiun diperoleh nilai terbesar 70,97%

dimiliki oleh spesies Rhizophora apiculata. Dapat diamati bahwa Rhizophora apiculata memiliki kedudukan

tertinggi ditingkat pancang—dari segi kerapatan, dominasi, maupun frekuensinya. Sementara jenis Bruguiera

sexangula dan Bruguiera hainessii memiliki INP terendah, yaitu 4,7% (Gambar 2-9).

80.00

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

17,88

4,70

17,34

4,70

9,54

15,19

70,97

14,25

34,95

10,48

Spesies

Gambar 2-9 Nilai INP Tingkat Pancang

Kerapatan vegetasi tertinggi pada tingkat semai dimiliki oleh jenis Ceriops tagal di Stasiun-4 yang

mencapai 51.666,7 Ind/Ha. Jenis Bruguiera gymnorhiza memiliki kerapatan tertinggi tertinggi pada Stasiun-1

dan Stasiun-2 yaitu 10.000 Ind/Ha dan 24.500 Ind/Ha. Rhizophora mucronata memiliki kerapatan tertinggi di

Stasiun-5 sebesar 17.000 Ind/Ha (Gambar 2-10).

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 11


INP (%)

B.gymnorhiza

B. hainessii

B. sexangula

C. decandra

R. apiculata

R. mucronata

X. moluccensis

B. gymnorhiza

B. parviflora

R. apiculata

R. apiculata

X. granatum

X. moluccensis

B. gymnorhiza

B. parviflora

C. tagal

R. apiculata

X. moluccensis

B. gymnorhiza

R. apiculata

R. mucronata

X. moluccensis

Kerapatan(Ind/Ha)

60000

50000

40000

30000

20000

10000

0

51667

24500

17000

10000

2000 2000 10500

10500 8500 10000 9167

3000 2500 7500 5833

500 2500 2000

2500 500 2500 1500

1 2 3 4 5

Spesies/Stasiun

Gambar 2-10 Nilai Kerapatan Tingkat Semai Setiap Stasiun

INP pada tingkat semai dan tumbuhan bawah diperoleh dari penjumlahan nilai Kerapatan Relatif

(KR) dan Frekuensi Relatif (FR). Hasil perhitungan INP pada tingkat semai, menunjukkan jenis Bruguiera

gymnorrhiza memiliki INP terbesar yaitu 41,02%. Spesies lainnya yang memiliki nilai INP cukup tinggi adalah

Rhizophora apiculata dan Ceriops tagal sebesar 36,92% dan 28,65%. Kedudukan mangrove ditingkat semai

terendah ada pada spesies Bruguiera hainessii sebesar 4,29% (Gambar 2-11).

45.00

40.00

35.00

30.00

25.00

20.00

15.00

10.00

5.00

0.00

41,02

4,29

20,95

7,32

4,92

28,65

36,92

24,74

10,67

20,51

Spesies

Gambar 2-11 Nilai INP Tingkat Semai

2.3.3 Struktur dan Vegetasi Mangrove

Untuk mengetahui struktur dan vegetasi mangrove Teluk Bintuni, metode yang digunakan adalah

pengamatan titik tengah (point center). Dari hasil pengamatan ditemukan 25 jenis mangrove—dari 52 jenis

mangrove di Papua Barat (Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Papua Barat, 2014)—yang terdiri

dari; 21 jenis mangrove sejati dan 4 jenis mangrove asosiasi. Secara umum keanekaragaman mangrove di

wilayah pesisir Teluk Bintuni cukup bervariasi. Namun kondisi di Sorong Selatan, dengan total 32 jenis

mangrove, masih lebih bervariasi. Secara keseluruhan famili mangrove yang paling banyak ditemui adalah

Rhizophoraceae (Tabel 2-2).

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 12


Tabel 2-1 Jenis Mangrove Berdasarkan Komponen Teluk Bintuni.

Komponen Nama jenis Famili

Mangrove Sejati

Mangrove Asosiasi

Rhizophora mucronata

Rhizophora stylosa

Rhizophora apiculata

Soneratia albam Smith

Bruguiera gymnorrhiza

Bruguiera sexangula

Ceriops tagal

Avicennia eucalyptifolia

Avicennia lanata Ridley

Xylocarpus moluccensis

Nypa fruticans Wurmb

Heritiera littiralis Aiton

Acrostichum aureum Linn.

Xylocarpuz granatum

Bruguiera parviflora

Ceriops decandra

Avicennia marina

Aegiceras corniculatum

Acrostickum aureum

Acanthus iicifolius

Avicennia alba

Dolichandrone sparthacea

Casawarina equisetifolia

Terminalia catapa

Derris trifolia

Rhizophoraceae

Rhizophoraceae

Rhizophoraceae

Sonneratiaceae

Rhizophoraceae

Rhizophoraceae

Rhizophoraceae

Avicenniaceae

Avicenniaceae

Meliaceae

Arecaceae

Sterculiaceae

Pteridaceae

Meliaceae

Rhizophoraceae

Rhizophoraceae

Avicenniaceae

Myrsinaceae

Pteridaceae

Pteridaceae

Avicenniaceae

Bignoniaceae

Malvaceae

Combretaceae

Legominasae

Peralihan komunitas dan spesies mangrove mayor hanya mecapai batas zona intertidal. Kategori

jenis mangrove peralihan Teluk Bintuni diantaranya berasal dari famili; Arecaceae, Avicenniaceae,

Combretacea, Meliaceae, Rhizophoraceae, dan Sonneratiaceae (Spalding et al. 2010; Hogart, 2015). Komunitas

dan spesies mangrove minor memiliki toleransi salinitas yang baik. Dari mulai salinitas yang tinggi sampai

dengan salinitas rendah. Biasanya mangrove minor berada diwilayah dengan batas kedalaman air rendah.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 13


Jenis mangrove minor yang ada di Teluk Bintuni terdiri dari family; Acanthaceae, Bignoniaceae, Bombacaceae,

Caesalpiniaceae, Ebenaceae, Euphorbiaceae, Lythraceae, Myrsinaceae, Myrtaceae, Rubicaceae, Sterculaceae, dan

sebagainya (Spalding et al. 2010; Hogart, 2015).

2.3.4 Analisis Zonasi dan Jenis Mangrove Berdasarkan Foto Udara

Vegetasi mangrove yang diamati memiliki perbedaan jenis yang mendominasi. Pada tiap stasiun

masing-masing memiliki perbedaaan struktur pada vegetasinya. Kawasan mangrove Teluk Bintuni memiliki

ciri struktur tumbuh yang besar menuju daratan—dari garis pantai ke arah darat berkisar kurang lebih 16

Ha. Di dalam penelitiannya Pribadi (1998) menemukan bahwa pada zona depan hingga belakang mangrove,

Teluk Bintuni masih didominasi oleh jenis Rhizopora sp, kemudian diikuti oleh jenis Bruguiera sp, Avecennia

sp dan Xylocarpus sp.

Berdasarkan hasil pengamatan foto udara Stasiun-1 terlihat jenis Rhizophora sp mendominasi

wilayah pengamatan ini. Dapat diamati Rhizophora sp muda terletak mendekati garis pantai. Pada bagian

belakang daerah pengamatan Stasiun-1, mulai dapat ditemui jenis Bruguiera sp walaupun dalam jumlah yang

sedikit. Lokasi pengamatan Stasiun-2 berada di daerah aliran sungai. Jenis mangrove yang terletak didekat

batas sungai relatif bervariasi—Rhizophora sp, Bruguiera sp, dan Nypa fructicans. Zonasi mangrove di Stasiun-

2 cenderung didominasi oleh jenis Rhizophora sp dan Bruguiera sp. Rhizophora sp mati juga ditemui di kedua

stasiun tersebut dengan jumlah yang sangat sedikit (Gambar 2-12).

(a)

Gambar 2-12 Struktur Vegetasi Stasiun-1 (a) dan Stasiun-2 (b)

(b)

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 14


Zonasi mangrove pada Stasiun-3 disusun oleh Nypa fructicans pada bagian depan—dekat dengan

batas sungai. Pada bagian tengah merupakan area yang disusun oleh beberapa jenis mangrove yaitu;

Xylocarpus sp, Rhizophora sp, dan Bruguiera sp. Pada bagian belakang Stasiun-3 ditutupi oleh mangrove

dengan variasi jenis yang tinggi sehingga sulit untuk dipetakan. Sementara untuk Stasiun-4 sebagian besar

area di dekat batas sungai didominasi oleh jenis Rhizophora sp. Berdasarkan pengamatan diameter,

mayoritas Rhizophora sp yang menyusun bagian depan merupakan jenis pohon yang sudah berumur tua.

Rhizophora sp dengan kategori muda juga ditemui di bagian depan zonasi sampai ke wilayah tengah.

Kerapatan Rhizophora sp di lokasi pengamatan ini cukup tinggi. Jenis lain yang ditemui di lokasi ini adalah

Bruguiera sp dan Xylocarpus sp dalam jumlah yang sangat sedikit (Gambar 2-13).

(a)

Gambar 2-13 Struktur Vegetasi Stasiun-3 (a) dan Stasiun-4 (b)

(b)

Hasil pengamatan Stasiun-5 ditemukan jenis Soneratia alba pada bagian depan zonasi. Selanjutnya

pada bagian tengah disusun oleh dua jenis mangrove yaitu; Rhizophora sp dan Avecennia sp. Tutupan

Rhizophora sp lebih mendominasi untuk wilayah ini (Gambar 2-14).

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 15


Jumlah (Individu)

Gambar 2-14 Struktur Vegetasi Stasiun-5

2.3.5 Biota Asosiasi dan Satwa Terestrial

Habitat mangrove menciptakan ekosistem bagi aneka ragam jenis fauna. Kelompok fauna perairan

atau akuatik yang hidup bersama di ekosistem hutan mangrove terdiri atas dua tipe yaitu; biota yang hidup

di kolom air (berbagai jenis ikan dan udang) dan biota yang hidup menempati substrat keras maupun lunak

(kepiting, kerang, dan jenis lainnya). Beberapa jenis makrozoobenthos yang bisa dijumpai di habitat

mangrove antara lain; jenis krustasea, moluska, annelida, dan beberapa jenis pisces. Makrobentik terbagi

menjadi dua jenis yaitu epifauna (hidup di atas permukaan substrat) dan infauna (hidup di dalam substrat).

Terdapat 17 jenis makrozoobenthos yang telah teridentifikasi di hutan mangrove Teluk Bintuni.

Uca sp merupakan jenis yang paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 101 individu (Gambar 2-15). Jenis

yang juga banyak ditemui adalah Telescopium sp, yaitu sebanyak 87 individu. Sementara jenis lain seperti;

Chicoreus sp, Ellobium sp, Littoraria sp, Polumesoda sp, dan Macrobrachium sp juga ditemui dalam jumlah

sedikit.

Biota Asosiasi

120

100

80

60

40

20

0

50 44

101

32

87

10

27

36

Jenis Biota

Gambar 2-15 Jumlah Biota Asosiasi Mangrove di Teluk Bintuni.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 16


Berdasarkan analisis keanekaragaman (H’), kekayaan (R), dan kemerataan (E’) biota asosiasi

menggunakan klasifikasi Magurran (1988), diperoleh hasil bahwa hampir seluruh stasiun pengamatan

memiliki keanekaragaman sedang, kecuali Stasiun-5 di lokasi Tomu, dengan klasifikasi keanekaragaman

rendah. Indeks kekayaan di seluruh stasiun pengamatan juga menunjukan klasifikasi kekayaan rendah,

karena nilai R dari hasil perhitungan tidak ada yang mencapai 3,5. Namun nilai kemerataan dari seluruh

stasiun pengamatan menunjukkan kategori kemerataan tinggi karena nilai E’ melebihi 0.6 (Lampiran 1-5).

2.3.6 Sebaran Spesies Terancam Punah dan Dilindungi

Endangered Threatened and Protected (ETP) merupakan spesies kharismatik yang memegang peranan

penting dalam rantai makanan dan populasi serta keberadaannya sangat mempengaruhi seluruh

keberlangsungan ekosistem yang besar. Oleh karena itu, keberadaan spesies ETP penting untuk diketahui

sebagai parameter terhadap keseimbangan ekosistem di suatu wilayah. Diketahui wilayah perairan Teluk

Bintuni merupakan habitat yang sesuai untuk beberapa jenis spesies ETP. Berdasarkan hasil wawancara

dengan nelayan, masih sering dijumpai lumba-lumba, penyu, hiu, pari, dan buaya muara ketika pergi melaut.

Distribusi dari masing-masing spesies memiliki area yang berbeda-beda. Biasanya berkaitan dengan kondisi

fisik oseanografi dan karakteristik biologi dari masing-masing spesies. Distribusi spesies ETP di Teluk

Bintuni dapat dilihat pada Gambar 2-16.

Gambar 2-16 Area Kemunculan Spesies Terancam Punah dan Dilindungi

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 17


Referensi

Agustina Y.S. Arobaya, Freddy Pattiselanno, 2017. Potensi Mangrove dan Manfaatnya bagi Kelompok Etnik

di Papua. [Online] Available at:

https://www.academia.edu/7546983/The_potency_of_mangroves_and_its_benefits_to_the_ethnic_

groups_in_Papua

Binsar Liem Sihotang, Soewarno Hasanbahri, Rishadi Purwanto, 2012. Potensi Karbon Hutan Mangrove di

PT Bintuni, p. 4. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Cecep Kusmana, Onrizal, Sudarmadji, 2003. Jenis Jenis Pohon Mangrove di Teluk Bintuni, Papua. Bogor:

Fakultas kehutanan IPB dan PT Bintuni Utama Murni Wood Industries.

Charles P.H. Simanjuntak, Sulistiono, M. F. Rahardjo, Ahmad Zahid, 2011. Iktiodiversitas di Perairan Teluk

Bintuni, Papua Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia, 11(2), p. 176.

Eric Wolansky, et.al., 2001. Water Circulation In Mangrove, and Its Implications For Bidiversity. In: E. Wolanski,

ed. Oceanographic Conditions that Infuence Mangrove Biodiversity, pp. 55-66. Australia: Boca Raton

London.

Holldobler, B, Taylor, RW, 1984. A Behavioral Study of the Primitive ant Nothomyrmecia macrop Clark.

Insectes Sociaux, 30(4), pp. 384-401.

Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara.

Innah, H. S., 2005. Model System Dinamics Pemanfaatan Hutan Mangrove. Bandung: Institut Teknologi

Bandung.

Irwanto, 2015. Struktur dan Komposisi. [Online]

Available at: http://www. irwantoshut. 4t. com/

[Accessed Minggu Oktober 2017].

Irwanto, 2016. Analisis Vegetasi Teknik Titik Kwadran. [Online]

Available at: (http://www.irwantoshut.net/analisis_vegetasi_Teknik_titik_kwadran.html)

[Accessed Minggu September 2017].

KKP, 2004. Kreteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan mangrove. Indonesia/Jakarta, Patent No. 201.

Knight, M. dan S. Tighe, (editor) 2003. Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997-2003. Jakarta: Pemerintah

Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni, UNIPA, Proyek Pesisir.

Lubis, S. B., 2014. Panduan Penetapan KKP3K. Suplemen 6 ed. Jakarta: Direktorat KKJI.

Monokwari, D. K. K., 2002. Report Tahunan Dinas Kehutanan, Monokwari: 2003.

Pribadi, R., 1998. The Ecology of Mangrove Vegetation (thesis). Scotland: Department of Biological and

Molecular Sciences, p. 105.

Ruitenbeek, H. J., 2017. Modelling Economy-Ecology Linkages In Mangroves: Economic. Elsevier, Volume

10(Issue 3), p. 3.

Supriharyono, 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suyatno, B., 2008. Industrialisasi MIGAS dan Existensi Masyarakat Lokal: Hasil Study di Teluk Bintuni, Papua.

Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 21- No. 02/2008-04(12), pp. 163-173.

Wahyudi, dkk, 2014. Customary Right Compensation and Forest Villages Development Programs of Mangrove.

EISSN, XX(3), pp. 187-194.

Wan Juliana Wan Ahmad dan Razali Salam, 2014. Mangrove Ecosystem of Asia, Status, Challenges and

Manajement Stategies. Researchgate, I(4612), p. 477.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 18


Yuliar, 2000. Skrining Bioantagonistik Bakteri untuk Agen Biokontrol. Jurnal of Biology Diversity, IX(2), p.

160.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 19


III.

STATUS SOSIAL

Pendahuluan

Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni tersebar dalam 24 distrik dimana 12 distrik diantaranya terletak

di wilayah pesisir (BPS Kabupaten Teluk Bintuni, 2017). Luas Kabupaten Teluk Bintuni adalah 18.637 km2

yang mencakup wilayah laut termasuk muara dan sungai. Potensi sumber daya laut untuk perikanan cukup

besar dan telah dimanfaatkan sejak tahun 1970-an (Atlas Sumber daya Pesisir Teluk Bintuni, 2003).

Komoditas perikanan yang menjadi primadona dan berkembang hingga sekarang adalah udang. Aktivitas

pemanfaatan potensi perikanan udang sejak tahun 1990 oleh perusahaan PT. Bintuni Mina Raya telah banyak

menyerap lapangan kerja. Hingga saat ini aktivitas penangkapan udang masih terus dilakukan dengan

menggunakan armada <10 GT. Diketahui sekitar 1.469 rumah tangga perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni

memproduksi 405,8 ton udang pada tahun 2017. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya (BPS Kab.

Teluk Bintuni, 2017). Selain udang, komoditas kepiting bakau (mud crab), ikan demersal dan pelagis kecil

termasuk komoditas dominan yang dimanfaatkan nelayan Kabupaten Teluk Bintuni.

Ditinjau dari kondisi sosial masyarakatnya, penduduk Kabupaten teluk Bintuni terbagi dalam 7

kelompok suku yang tersebar di daerah pegunungan dan pesisir. Lima di antara suku tersebut tersebar di

wilayah pesisir yaitu Suku Kuri, Wamesa, Sebyar, Irarutu dan Sumuri. Masyarakat pesisir tersebut masih

sangat bergantung pada potensi sumber daya perikanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Diketahui pula bahwa wilayah perairan pesisir laut Kabupaten Teluk Bintuni telah diperuntukkan untuk

kawasan industri, blok migas, konservasi dan hutan lindung. Tekanan terhadap wilayah perairannya semakin

banyak dan tentunya berdampak pada aktivitas perikanan tangkap. Di samping itu, kebijakan pengendalian

penangkapan dan pengaturan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut belum diformulasikan. Isu dan

permasalahan mengenai hilangnya daerah penangkapan (fishing ground), jumlah tangkapan semakin menurun

serta wilayah tangkap yang semakin jauh menjadi kendala yang harus dihadapi masyarakat terutama nelayan

tradisional. Padahal komoditas perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715 adalah komoditas

ekspor yang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.

Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan mengenai pengaturan pemanfaatan sumber daya pesisir

dan laut di Kabupaten Teluk Bintuni. Pengaturan tersebut harus memperhatikan berbagai macam aspek di

mana salah satunya aspek sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Atas dasar tersebut kondisi sosial dan

ekonomi masyarakat pesisir Kabupaten Teluk Bintuni penting untuk diketahui. Untuk mengetahui kondisi

sosial dan ekonomi masyarakat peisisr, perlu dilakukan survei lapangan untuk menjadi referensi awal dalam

inisiasi program pelestarian sumber daya laut dan pengendalian pemanfaatan perikanan di Kabupaten Teluk

Bintuni.

Metode

Pelaksanaan pengambilan data lapangan dilakukan selama 7 hari di 5 lokasi kampung target. Kampung

target dipilih berdasarkan tingginya tingkat aktivitas perikanan dan pemanfaatan sumber daya laut (Tabel 3-

1).

Tabel 3-1 Lokasi Pengambilan Data di Masing-Masing Distrik di Kabupaten Teluk Bintuni

No. Distrik Target Kampung/Kelurahan

1. Manimeri Kampung Banjar Ausoy

2. Bintuni Kampung Nelayan (RT1 RW3) Kel. Bintuni Timur

3. Taroi Kampung Taroi

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 20


4. Aroba Kampung Sidomakmur

5. Babo Kampung Modan

a. Profil Desa

Target data yang diperoleh dari survei ini terbagi menjadi dua bagian yaitu:

Pengambilan data menggunakan metode wawancara informan kunci (key informan interview). Informan

kunci yang menjadi target yaitu kepala desa atau perangkat desa lainnya. Panduan wawancara informan

kunci menggunakan protokol dan kuesioner Survei Cepat Kondisi Habitat Pesisir, Sosial dan

Pemanfaatan Sumber Daya Laut yang disusun oleh WWF Indonesia (2016).

b. Kondisi Sosial dan Ekonomi Rumah Tangga

Pengambilan data sosial dan ekonomi menggunakan kuesioner aset rumah tangga yang dikeluarkan oleh

USAID SEA-Poject. Jumlah responden pada masing-masing kampung target berjumlah 5% dari total

Rumah Tangga. Penentuan responden menggunakan metode simple random sampling dengan meminta

ketersediaan calon responden.

Hasil

3.3.1 Sarana dan Prasarana

Aktivitas pemanfaatan potensi sumber daya laut di Kabupaten Teluk Bintuni dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Upaya pemenuhan kebutuhan tersebut membutuhkan adanya

interaksi sosial antara berbagai pengguna sumber daya. Adanya interaksi sosial menjadi aspek penting untuk

mendukung peningkatan ekonomi dan kapasitas sumber daya manusia. Dukungan dari aspek pengembangan

sumber daya manusia dan peningkatan ekonomi salah satunya adalah melalui pemenuhan sarana dan

prasarana. Dengan demikian, untuk menilai perkembangan kondisi sosial ekonomi perlu mengetahui kondisi

terkini dari aspek sarana dan prasarana tersebut.

3.3.2 Transportasi

Moda transportasi yang digunakan masyarakat di Teluk Bintuni umumnya dengan berjalan kaki

(Gambar 3-1), terutama di Kampung Taroi, Distrik Taroi dan Kampung Sidomakmur, Distrik Aroba.

Penggunaan kendaraan bermotor sangat terbatas di kedua distrik tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi

pemukiman masyarakat yang berbentuk rumah panggung di atas daerah muara dan jauh dari jalan darat.

Akses jalan dari rumah ke rumah atau sekitarnya hanya melalui jembatan papan. Sedangkan masyarakat di

Kampung Nelayan (RT 02), Kampung Modan, dan Kampung Banjar Ausoy umumnya menggunakan moda

transportasi modern, yaitu sepeda motor atau mobil, namun presentase kepemilikan mobil sebagai moda

transportasi hanya 1% karena umumnya masyarakat di ketiga kampung tersebut masih menggunakan

kendaraan umum atau motor untuk bepergian.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 21


Lainnya, 1% Mobil, 1%

Pejalan kaki, 52%

Motor, 46%

Gambar 3-1 Moda Transportasi di Kampung Target

Presentase pengguna sepeda motor dari seluruh kampung target mencapai 46%. Moda transportasi

jenis sepeda motor umumnya digunakan untuk mengangkut hasil tangkapan dari tempat pendaratan ikan

menuju tempat pengepul. Selain itu sepeda motor juga digunakan untuk aktivitas lain seperti mengangkut

logistik ataupun bepergian ke kampung sekitar. Masyarakat di Kampung Taroi, Kampung Sidomakmur, dan

Kampung Modan umumnya menggunakan perahu bermesin milik pribadi dan kapal regular yang khusus

melayani rute tertentu dengan waktu tempuh sekitar 2-4 jam menuju Ibukota Kabupaten (Bintuni). Berbeda

dengan masyarakat Banjar Ausoy dan Kampung Nelayan yang dapat menempuh jalur darat dengan

menggunakan mobil atau sepeda motor untuk mencapai Ibukota Kabupaten (Bintuni).

3.3.3 Alat Tangkap Perikanan

Alat tangkap perikanan yang digunakan oleh nelayan di wilayah pesisir Kabupaten Teluk Bintuni

dipengaruhi oleh target spesies tangkapan. Hasil survei pada wilayah target pengambilan data dapat dilihat

pada Gambar 3-2.

Jaring Insang Kecil,

30%

Pancing Tangan/Handline, 1%

Lainnya, 4%

Rawai Dasar, 13%

Jaring Insang Besar, 13%

Bubu, 39%

Gambar 3-2 Penggunaan Alat Tangkap Perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat alat tangkap yang paling banyak digunakan oleh masyarakat

nelayan di Kabupaten Teluk Bintuni adalah bubu untuk menangkap kepiting sebesar 39%. Sekitar 30%

menggunakan alat tangkap jaring insang kecil (trammel net) yang digunakan untuk tangkapan target

komoditas udang. Sedangkan sebanyak 13% nelayan menggunakan alat tangkap jaring insang besar dengan

target tangkapan ikan congge/Famili Sciaenidae. Sebanyak 13% lainnya menggunakan alat tangkap rawai

dengan target tangkapan ikan congge/Famili Sciaenidae. Sedangkan 4% nelayan menggunakan alat tangkap

lainnya (jaring pele dan lain-lain) yang biasanya digunakan untuk target semua jenis ikan. Alat pancing tangan

atau handline digunakan untuk memancing target tangkapan ikan sembilang, kakap, kerapu dan ikan dasar

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 22


lainnya. Handline biasanya digunakan sebagai alat tangkap tambahan yang dibawa bersamaan dengan alat

tangkap utama.

3.3.4 Bahan Bakar untuk Memasak

Bahan bakar rumah tangga untuk memasak yang paling banyak digunakan oleh masyarakat

Kabupaten Teluk Bintuni adalah minyak tanah. Namun masih ditemukan responden yang menggunakan

kayu bakar untuk memasak yang ditemukan di 4 kampung survei, yaitu Kampung Taroi, Sidomakmur,

Modan, dan Banjar Ausoy. Gambar 3-3 menggambarkan jenis bahan bakar yang digunakan masyarakat di

kampung-kampung target untuk memasak.

Taroy

Sidomakmur (RKI)

Modan

Bintuni Timur (Kampung Nelayan)

Banjar Ausoy

0%

10%

10%

25%

30%

70%

75%

90%

90%

100%

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Bahan Bakar Kayu

Bahan Bakar Minyak Tanah

Gambar 3-3 Jenis bahan bakar yang digunakan oleh masyarakat untuk memasak

3.3.5 Suplai Listrik

Listrik adalah salah satu sumber energi yang diperlukan oleh masyarakat dalam mendukung aktivitas

rumah tangga. Energi listrik terutama digunakan sebagai sumber penerangan dan mensuplai energi untuk

berbagai peralatan elektronik sebagai alat hiburan dan informasi. Jaringan listrik PLN sangat sulit untuk

menjangkau wilayah kampung pesisir target survei karena kondisi geografis wilayahnya. Sebagian besar

masyarakat pesisir menggunakan generator yang waktu pengoperasiannya terbatas. Hasil survei yang

mengkategorikan penggunaan listrik dapat dilihat pada Gambar 3-4.

Menggunakan listrik,

91%

Tidak menggunakan

listrik, 9%

Gambar 3-4 Kondisi Suplai Listrik Kampung Target Survei di Kab. Teluk Bintuni

Grafik diatas memperlihatkan bahwa terdapat sekitar 9% masyarakat tidak memperoleh suplai

listrik dan 91% mendapatkan suplai listrik. Tidak semua kampung target mendapat suplai energi listrik yang

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 23


Jenjang Pendidikan

berasal dari PLN. Terdapat beberapa kampung yang menggunakan energi listrik bersumber dari generator

set milik pribadi seperti pada Kampung Sidomakmur dan Kampung Taroi. Kampung Banjar Ausoy, Bintuni

Timur dan Kampung Modan mendapat suplai energi listrik dari PLN dan beroperasi selama 24 jam. Pada

saat survei di lapangan, ditemui kampung yang sudah pernah dialiri listrik, tetapi selama 2 tahun belakangan

ini tidak ada lagi aliran listrik dari PLN karena masyarakat tidak dapat membayar uang listrik di kampung

Taroi.

3.3.6 Telekomunikasi

Teknologi telekomunikasi sudah berkembang, terutama komunikasi antar masyarakat yang

umumnya memiliki telepon seluler sebagai alat komunikasi. Di kampung-kampung target telepon seluler

sudah menjadi hal yang lumrah dimiliki masyarakat khususnya Kampung Banjar Ausoy dan Kampung

Nelayan Kelurahan Bintuni Timur. Penggunaan alat komunikasi tersebut didukung dengan tersedianya

jaringan komunikasi yang cukup memadai. Masyarakat Banjar Ausoy dan Kampung Nelayan Kelurahan

Bintuni Timur yang secara geografis lebih dekat dengan ibukota kabupaten mendapatkan akses lebih baik

untuk berkomunikasi menggunakan telepon seluler baik smartphone maupun non-smartphone. Kepemilikan

telepon seluler terbanyak berada di kedua distrik tersebut. Sedangkan di ketiga distrik lainnya hanya

sebagian kecil penduduknya yang memiliki akses komunikasi menggunakan telepon seluler. Selain telepon

seluler, akses informasi diperoleh masyarakat melalui TV dan Radio.

3.3.7 Pendidikan

Perkembangan pendidikan yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni ditentukan oleh besarnya

partisipasi masyarakat pada jenjang pendidikan tertentu. Persentase angka partisipasi murni jenjang

pendidikan di Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 3-5 dan ketersediaan fasilitas sekolah

yang tersedia di 5 kampung sampel dapat dilihat pada Tabel 3-2 berikut.

Perguruan Tinggi

14.04

SMA/SMK/MA

56.47

SMP/MTS

64.65

SD/MI

91.62

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

(%)

Gambar 3-5 Persentase Angka Partisipasi Murni Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Teluk Bintuni

(Sumber: BPS Kabupaten Teluk Bintuni 2016)

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 24


Distrik

Aroba Distrik Babo

Dsitrik

Bintuni

Distrik

Tomu

Distrik

Manimeri

Tabel 3-2 Kondisi Keberadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kampung Sampel Kabupaten Teluk Bintuni

Jenjang Pendidikan Banjar Ausoy Kampung Nelayan

RT1 RW3

Taroi Sidomakmur Modan

TK/PAUD 2 Tidak ada 1 1 1

SD/MI 2 Tidak ada 1 2 1

SMP/MTS 2 Tidak ada 1 2 1

SMA/SMK 1 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Universitas Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tingkat pendidikan penduduk di 5 kampung sampel rata-rata lulusan SMA. Hal tersebut dapat

dilihat dari fasilitas sekolah yang tersedia. Minimnya fasilitas sarana dan prasarana pendidikan seperti

Universitas atau Akademi menyebabkan kendala bagi masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang

yang lebih tinggi. Untuk melanjutkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi seperti universitas, masyarakat

harus pergi ke luar daerah. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, sebagian besar siswa yang ingin

melanjutkan pendidikan memilih perguruan tinggi yang ada di Kota Sorong, Manokwari, Pulau Sulawesi dan

Jawa.

SMA/SMK

SMP

SD

SMA/SMK

SMP

SD

SMA/SMK

SMP

SD

SMA/SMK

SMP

SD

SMA/SMK

SMP

SD

0

24

40

36

23

58

80

61

75

122

141

144

274

336

378

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Murid

Gambar 3-6 Tingkat Kelususan di 5 Distrik Kabupaten Teluk Bintuni (Sumber: BPS Kabupaten Teluk Bintuni Tahun

2016)

Tingkat kelulusan di 5 distrik sampel di Kabuputen Teluk Bintuni rata-rata lulusan SMA. Hal

tersebut dapat dilihat pada Gambar 3-6. Sebagian besar penduduknya mampu mengenyam pendidikan di

tingkat SMA/SMK. Namun demikian, beberapa kendala yang ditemui oleh masyarakat yaitu akses yang

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 25


Health Facilities Health Workers

belum memadai seperti transportasi menghubungkan antara Dsitrik Aroba dan Distrik Babo. Akibatnya

sebagian besar siswa dari Distrik Aroba harus menetap di distrik yang memiiliki fasilitas SMA/SMK.

3.3.8 Kesehatan, Air Bersih, dan Sanitasi

Kondisi kesehatan masyarakat di Teluk Bintuni khususnya di kampung-kampung target sudah cukup

baik. Fasilitas kesehatan sudah tersedia, seperti Rumah Sakit, Posyandu, Apotek, dan Puskesmas Pembantu

(PUSTU). Kampung Modan merupakan satu-satunya lokasi yang belum memiliki PUSTU, namun terdapat

fasilitas Posyandu dan keberadaan mantri kesehatan. Fasilitas kesehatan yang memadai berada di Kampung

Banjar Ausoy di mana terdapat Rumah Sakit (RS), PUSTU dan Apotek yang didukung dengan tenaga

kesehatan seperti dokter umum, dokter gigi, bidan, dan mantri kesehatan (Gambar 3-7).

Ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat sehingga

adanya peningkatan kesehatan masyarakat di 5 kampung target. Namun di beberapa kampung masih

ditemukan wabah penyakit malaria dan diare, seperti di Kampung Taroi dan Banjar Ausoy. Dalam 2 tahun

terakhir masyarakat Taroi masih mengeluhkan wabah penyakit malaria maupun diare. Hal ini dipengaruhi

kondisi kampung yang memiliki banyak rawa-rawa dan genangan air sehingga memungkinkan perkembangan

penyakit malaria. Wabah malaria di Papua Barat masih tergolong tinggi. Sebagian besar masyarakat pernah

merasakan gejala malaria dan didiagnosis malaria oleh petugas kesehatan (Balitbangkes, 2008). Selain

malaria dan diare, masyarakat di kampung-kampung target juga mengeluhkan asam urat, sakit gigi, diabetes,

dan influenza.

Traditional Midwife

1

1

2

Healthcare Assistant

1

2

2

7

Midwife

1

1

2

1

7

Dentist

1

Doctor

4

Posyandu

1

1

1

2

PUSTU

1

1

1

1

Pharmacy

2

Hospital

1

0 2 4 6 8 10

Sidomakmur Taroy Kampung Nelayan Modan Banjar Ausoy

Gambar 3-7 Fasilitas Kesehatan di Kampung-Kampung Target Kabupaten Teluk Bintuni

Wabah penyakit malaria dan diare berkaitan dengan sanitasi yang buruk dan ketersedian air bersih.

Umumnya masyarakat sudah memahami pentingnya kesehatan dan sanitasi. Hal ini terlihat dari tiap rumah

tangga yang sudah memiliki MCK. Hanya 3,3% rumah tangga di 5 kampung target yang tidak mempunyai

MCK, 15,4 % lainnya menggunakan MCK secara bersama (Gambar 3-8). Penggunaan MCK secara bersama

terbanyak terdapat di Kampung Nelayan (RT 02), hal ini dipengaruhi oleh ketersedian lahan pemukiman

yang tidak memadai sehingga berpengaruh terhadap ketersedian ruangan dalam rumah. Tiap rumah tangga

di Kampung Nelayan (RT 02) umumnya hanya mempunyai 3 ruangan, sehingga tidak memungkinkan untuk

memiliki MCK pribadi.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 26


Sanitation Akses air bersih

Penggunaan air bersih untuk pemenuhan aktivitas rumah tangga, seperti mencuci, memasak, dan

air minum di kampung-kampung target, umumnya bersumber dari air sumur, sungai, ataupun air hujan

(Gambar 3-8). Diantara 5 kampung target hanya Kampung Nelayan (RT 02) yang menikmati air bersih dari

PDAM untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Papua

Barat masih banyak rumah tangga yang menggunakan air minum dari sumber tidak terlindungi. Ketersediaan

air bersih yang terbatas juga berisiko tinggi menyebabkan gangguan kesehatan/penyakit, khususnya penyakit

yang ditularkan melalui air (Balitbangkes, 2008).

Air Hujan

7%

Sungai

2%

Sumur Pribadi

58%

Sumur Bersama

PDAM

15%

18%

Tidak Punya

3.3%

Komunal

15.4%

Pribadi

81.3%

0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 70.0% 80.0% 90.0% 100.0%

Gambar 3-8 Akses Air Bersih dan Sanitasi di Kampung-Kampung Target Kabupaten Teluk Bintuni

3.3.9 Kelompok Masyarakat

Komunitas masyarakat di Kabupaten Teluk Bintuni terbentuk berdasarkan kelompok seperti di

Kampung Banjar Ausoy terdapat komunitas Kuda Lumping yang merupakan kelompok tari-tarian. Di

Kampung Nelayan Kelurahan Bintuni Timur terdapat Komunitas Buruh bernama Gabungan Serikan Buruh

Indonesia (GSBI). Di Kampung Sidomakmur terdapat Komunitas Pemuda Sidomakmur yang bergerak di

bidang karang taruna. Selain itu, ada berbagai komunitas lain seperti komunitas nelayan tangkap, baik

nelayan dengan target komoditas udang maupun nelayan dengan komoditas kepiting.

3.3.10 Organisasi Ekonomi

Keberadaan organisasi ekonomi di Kabupaten Teluk Bintuni terutama di kampung target survei

sangat minim. Organisasi ekonomi yang teridentifikasi salah satunya adalah koperasi yang terletak di

Kampung Taroi. Koperasi tersebut awalnya dibentuk oleh masyarakat nelayan namun terhenti karena

sistem permodalan tidak berjalan dengan baik. Kemudian koperasi tersebut dibangun kembali oleh LNG

Tangguh dengan memberikan modal awal untuk pembelian hasil perikanan tangkap. Saat ini koperasi

tersebut kembali tidak aktif. Selain itu, hanya terdapat kelompok-kelompok nelayan yang dimodali oleh

pengepul atau penampung dengan sistem bagi hasil. Ada juga nelayan yang hasil tangkapannya dijual langsung

ke pengepul atau penampung namun tidak membentuk organisasi.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 27


3.3.11 Kependudukan

Sebagian besar penduduk kampung target survei bermatapencaharian sebagai nelayan yang memiliki

ketergantungan cukup besar terhadap potensi sumber daya perikanan dan kelautan. Di samping itu, dari

hasil survei di 5 kampung target terdapat berbagai macam cara untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari

yang disajikan melalui Tabel 3-3.

No.

Tabel 3-3. Sumber Pendapatan untuk Memenuhi Kebutuhan Sehari-Hari di Kampung Target Survei

Cara memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari

1 Bertani di darat (budidaya tanaman

dan atau beternak);

2 Mengambil hasil hutan (contoh:

kayu, arang, hasil hutan non-kayu)

3 Melaut (termasuk menangkap ikan,

krustasea, dan hasil laut lainnya baik

untuk dijual maupun untuk

dikonsumsi sendiri)

4 Melakukan budidaya perikanan

(Ikan, udang, rumput laut, dll;

termasuk usaha penggemukan ikan)

5 Mengambil sumber daya laut tak

terbarukan (contoh: tambang

karang, tambang pasir, terumbu

karang, dll).

6 Pariwisata laut (skuba, snorkel,

glass-bottom boats, kapal layar, skiair,

jet ski, homestay, guide, dll)

7 Pekerjaan yang menghasilkan upah

lainnya (contoh: guru, pedagang,

tenaga kesehatan, pekerja/buruh,

pegawai negeri)

K. Banjar

Ausoy

K. Nelayan

(RT1/RW 2)

K. Modan K.

Sidomakmur

√ Tidak ada Tidak ada √ √

√ √ √ √ √

√ √ √ √ √

K. Taroi

√ Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

√ √ √ √ √

Tabel diatas memperlihatkan bahwa cara memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari 5 kampung target

sampel survei diantaranya mengandalkan hasil laut, pekerjaan seperti guru dan pedagang, bertani dan

melakukan budidaya. Lahan pertanian yang cukup luas terdapat di Kampung Banjar Ausoy karena wilayah

tersebut merupakan daerah transmigrasi. Pada tahun 1994 sebanyak 255 KK masing-masing memiliki

sekitar 2 ha lahan untuk dijadikan lahan pertanian. Hingga saat ini, Kampung Banjar Ausoy teridentifikasi

memiliki sekitar 80 ha lahan pertanian padi (sawah) yang masih aktif. Di samping itu, mengandalkan hasil

laut menjadi aktivitas utama masyarakat kampung target. Komoditas perikanan yang menjadi target antara

lain kepiting bakau, udang, ikan demersal serta pelagis kecil.

Pekerjaan yang mengasilkan upah seperti guru dan tenaga kesehatan juga menjadi sumber pendapatan

masyarakat kampung target. Hasil survei jumlah tenaga kesehatan di maisng-masing kampung target sampel

dapat dilihat pada Tabel 3-4.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 28


Tabel 3-4 Jumlah Tenaga Kesehatan di Kampung Target Survei

No Tenaga Medis K. Banjar

Ausoy

K. Nelayan

(RT1 RW 3)

K.

Modan

K.

Sidomakmur

1 Dokter 4 - - - -

2 Dokter gigi 1 - - - -

3 Bidan 7 2 1 1 1

4 Tenaga kesehatan lainnya (Mantri Kesehatan) 7 1 2 - 1

5 Dukun bayi 2 - - 1 1

K.

Taroi

Tenaga medis yang teridentifikasi di Kampung Banjar Ausoy karena di wilayah ini terdapat fasilitas

Rumah Sakit. Masing-masing kampung target memilki tenaga kesehatan bidan dan menetap di kampung

tersebut. Dukun bayi hanya terdapat di Kampung Banjar Ausoy, Kampung Sidomakmur, Kampung Taroi.

Tenaga kesehatan seperti mantri juga dimiliki hampir semua kampung target kecuali Kampung Sidomakmur.

3.3.12 Produksi Pertanian dan Perikanan

a. Pertanian

Di bidang pertanian sebagian besar kampung target survei tidak memiliki lahan pertanian. Mayoritas

masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal ini karena seluruh kampung lokasi survei berada di

daerah estuari yang ditumbuhi oleh mangrove sehingga tidak cocok untuk lahan pertanian. Namun, ada

beberapa masyarakat yang memiliki kebun yang luasnya tidak terlalu besar.

Tidak ada, 75%

Buah-buahan, 15%

Sawah, 2%

sayur, 8%

Gambar 3-9 Persentase Lahan Pertanian di Kab. Teluk Bintuni

Gambar 3-9 menjelaskan masyarakat Kab. Teluk Bintuni yang bergerak di bidang pertanian sangat

sedikit, dimana 75% masyarakat tidak memiliki kebun. Sedangkan 15% masyarakat memiliki kebun buahbuahan,

8% memiliki kebun sayur dan 2% memiliki sawah karena pada dasarnya masyarakat pesisir hanya

mengandalkan mata pencaharian sebagai nelayan udang, kepiting dan ikan congge.

b. Perikanan

Kabupaten Teluk Bintuni dikenal dengan sebagai salah satu penghasil komoditas udang terbesar di

Provinsi Papua Barat. Bukan hanya udang namun terdapat komoditas lain yang menjadi potensi perikanan,

diantaranya kepiting dan ikan congge. Nelayan yang menangkap udang menggunakan jaring selalu

mendapatkan tangkapan ikan lain seperti ikan sembilang, lema dan beberapa jenis ikan lainnya. Namun hasil

tangkapan lain tersebut tidak memiliki nilai jual yang tinggi sehingga tidak dimanfaatkan oleh nelayan.

Produksi perikanan Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 3-10 berikut:

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 29


Ton

3,500.00

3,000.00

2,500.00

2,000.00

1,500.00

1,000.00

500.00

0.00

2728.6

2869

2145.3

2,021.10

2261

2160.6 2160.6 2200

2217.1

2183.3

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Tahun

Gambar 3-10 Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2007-2016 (Sumber: Statistik Perikanan

Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2017)

Grafik diatas memperlihatkan terjadinya peningkatan produksi perikanan tiap tahunnya mulai dari

tahun 2007 sampai 2016. Adanya kebijakan moratorium penggunaan alat tangkap trawl di tahun 2013

ternyata tidak mempengaruhi penurunan produksi perikanan. Diketahui bahwa produksi tangkapan

terbesar di Kabupaten Teluk Bintuni setiap tahun adalah komoditas udang. Setelah pelarangan trawl, nelayan

menggunakan alat tangkap trammel net dengan bantuan armada ukuran <10 GT untuk menangkap udang.

3.3.13 Sejarah Komunitas

Kabupaten Teluk Bintuni secara umum termasuk dalam wilayah adat III Bomberai mencakup 7 suku

besar yakni suku Moskona, Sough, Kuri, Wamesa, Irarutu, Sebyar dan Sumuri. Suku yang masuk ke dalam

wilayah kajian pada survei ini adalah wilayah suku yang berada di wilayah pesisir yakni Suku Sebyar, Kuri,

Sumuri dan Irarutu.

Tabel 3-5 Sejarah Komunitas yang Menetap di Kabupaten Teluk Bintuni

Suku Kuri

Orang Kuri merupakan salah satu rumpun besar yang mendiami pesisir pantai

Teluk Bintuni sampai pegunungan sebelah barat Kabupaten Teluk Wondama dan

Kabupaten Kaimana. Suku Kuri dikenal dengan karakter yang keras dan suka

berperang. Suku ini memiliki wilayah yang luas karena suka mengembara. Rumpun

masyarakat Kuri memiliki kebiasaan menanam sagu yang dijadikan sebagai penanda

wilayah adat Suku Kuri. Keuletan dan kecerdasan dari nenek moyang orang Kuri,

menjadikan generasi suku Kuri sekarang mempunyai wilayah (tanah/Kakopa) yang

sangat luas dan di dalamnya terdapat banyak sekali kekayaan yang bisa digunakan

untuk kelangsungan hidup. Saat ini orang kuri tersebar di Naikere, Undurara,

Yahore, Wombu, Sararti, Nanimori, Dusner dan Simei. “Kakopa” merupakan

ungkapan orang Kuri dalam hubungannya dengan ‘tanah’ yang dimaknai sebagai

“ibu kandung” karena dari “kakopa” itulah mereka dapat hidup.

Perubahan peradaban suku terjadi ketika Injil mulai diperkenalkan kepada orangorang

Kuri. Mereka mulai diajak untuk berpindah tempat dari gunung ke pinggiran

sungai dan pesisir pantai dengan alasan mereka harus dikumpulkan dan menetap

di suatu tempat sehingga Injil (kabar baik) yang merupakan sesuatu yang baru bagi

rumpun Kuri ini mudah disampaikan. Perubahan dimulai sejak 1920-1921 dimana

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 30


Suku Sebyar

Injil diperkenalkan di Dusner. Lambat laun kerabat yang masih mendiami daerahdaerah

gunung termsuk Obo akhirnya memilih turun dan menetap di pantai.

Kehidupan modern dimulai sejak itu, salah satunya pendidikan yang mulai masuk.

Kebiasaan hidup orang Kuri mulai mengalami perubahan ketika mereka mulai

berinteraksi dengan suku/masyarakat di luar mereka, seperti barter/tukar barang.

Burung Cenderawasih mempunyai nilai tukar yang sangat tinggi pada saat itu.

Selain itu ada kulit buaya, gaharu dan kekayan alam lainnya. Kebiasaan barter itulah

yang mengakrabkan orang Kuri dengan pihak luar hingga akhirnya mengenal sistem

pasar modern saat ini. Dalam kehidupan orang Kuri tidak ada strata sosial, semua

mempunyai kedudukan yang sama. Orang Kuri juga terkenal dengan agama suku

yang kuat dan memiliki tempat-tempat keramat yang disakralkan dan dijaga dengan

baik. Tempat-tempat keramat ditunjukkan dan dikhususkan untuk tokoh suku di

tiap-tiap keret/marga.

Seiring dengan perputaran waktu, sekitar tahun 1970an hidup orang Kuri mulai

mengalami perubahan dan mulai mengenal mata uang sebagai alat tukar, mulai

meniru budaya orang lain. Hasil meramu dan hasil buruan tidak lagi ditukar dengan

benda tetapi harus ditukarkan dengan uang. Kini semua kebiasaan baik dari leluhur

sudah tidak ada. Hanya segelintir orang yang masih memelihara kearifan lokal.

Kawin campur mulai terjadi dengan suku-suku dari luar orang Kuri mengakibatkan

adanya perpaduan dalam pola hidup dan pola pikir antarsuku.

Tahun 1990-an masuklah perusahan kayu yang pertama, Wapoga Mutiara Timber.

Tahun 2013 datang perusahan Sinar Wijaya Sentosa. Hutan dibabat, sungai dirusak

tempat ikan dan biota lainnya hidup dan berkembang dirusak, babi hutan menjauh,

orang susah untuk berburu, tidak bisa tokok sagu, karena sungai keruh sepanjang

waktu. Pola hidup produktif orang Kuri pun telah berubah menjadi konsumtif.

Suku Sebyar terdiri dari sub-suku Dambad dan Kemberan yang dulunya mendiami

Distrik Arandai. Suku ini terdiri atas beberapa marga asli seperti Kosepa, Kaitam,

Nawarisa, Inai yang berasal dari Gunung Nabi. Gunung Nabi letaknya antara

Distrik Bintuni dan Distrik Babo. Semua etnis menganggapnya sebagai gunung

sakral. Suku Sebyar dan suku lainnya (Kuri, Wamesa, Irarutu, Sumuri, Manikion

dan Kambatin) mendiami sepanjang Sungai Narawasa di sekitar Gunung Nabi.

Ketika terjadi air bah mereka melakukan migrasi. Salah satu nenek moyang dari

Suku Sebyar melakukan perjalanan meninggalkan tempat tinggalnya di Kuri

Wamesa sekitar Gunung Nabi dengan menggunakan rakit bambu yang kemudian

diberi marga Kosepa. Kemudian terdampar di sekitar Sungai Kamaren di wilayah

muara Bintuni. Lalu melakukan perjalanan hingga ke lokasi Sasari. Di lokasi

tersebut pula mereka bertemu dengan nenek moyang dari marga Nawarisa yang

mengajak untuk membuka pemukiman baru yang kemudian diberi nama Kampung

Tomu. Kampung ini sekarang menjadi bagian dari pemekaran Distrik Taroi. Tomu

artinya tempat bertemu. Sedangkan sebagian besar marga Inai dan Kaitam dulunya

mendiami wilayah muara Sungai Sebyar dan membentuk Kampung Manggarina.

Pada tahun 1932 terjadi kontak pertama dengan pihak luar yang membawa misi

penyebaran agama Kristen dan kemudian disusul pada tahun 1939 para pedagang

dari Ternate menyebarkan agama Islam. Lalu pada tahun 1989 masuk perusahaanperusahaan

kayu, sagu, udang, minyak. Hingga tahun 1989 masuk transmigran yang

berasal dari Jawa di Distrik Arandai.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 31


Suku Irarutu

Suku Sumuri

Sebyar yang berarti menyebar, memiliki 26 marga yang tersebar. Marga tersebut

dibagi menjadi dua bagian berdasarkan sub-suku.

a. Sub-suku Dambad terdiri atas marga Nawarisa, Kosepa, Kaitam, Inai,

Gegetu, Efun, Kinder.

b. Sub-suku Kembaran terdiri atas marga Tabyar, Iribaram, Urbon, Nabi,

Bauw, Baraweri, Solowat, Hindom, Patiran, Kutanggas, Frabun, Rumatan,

Eren, Tonoy, Kokop, Ibimbong, Buranda dan Kambori.

Marga-marga tersebut mendiami 7 kampung yaitu Tomu, Weriagar, Kali Tami,

Taroi, Kecap, Arandai dan Kampung Baru.

Nenek moyang suku Irarutu awalnya berasal dari Gunung Nabi yang terletak di

wilayah Distrik Teluk Arguni. Di atas gunung itu terdapat tiga sungai besar.

a. Sungai pertama bermuara ke Teluk Wondama yang didiami oleh suku

Kuri dan sekarang menjadi Kabupaten Teluk Wondama. Bahasa yang

mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Kuri dan Irarutu.

b. Sungai kedua bermuara ke Teluk Triton dan didiami oleh suku Mairasi.

Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Mairasi. Makanan

sehari-hari Suku Mairasi adalah umbi-umbian dan buah merah. Tempat

tinggal mereka berada tepat di matahari terbit.

c. Sungai ketiga bermuara di Teluk Arguni. Yang mendiami sungai itu adalah

Suku Irarutu yang berada di Teluk Arguni. Bahasa yang mereka gunakan

sehari-hari adalah bahasa Irarutu, Mairasi, Kambrau dan Kuri.

Di bawah kaki Gunung Nabi terdapat sebuah pemukiman yang bernama Kampung

Pigo. Kampung tersebut terdapat dua keluarga yang hidup di tempat yang kaya

sumber daya alam. Salah satu dari keluarga tersebut terkenal sebagai panglima

perang yang bernama Toke. Panglima tersebut disegani dan dihormati di kampung

itu. Toke mempunyai 2 orang anak. Anak pertama bernama Sasefa dan anak kedua

bernama Sefeyada. Perjalanannya dimulai dari Kampung Bayeda, Mahua, Urisa lalu

dia menyeberang ke Danau Sifiki dan Kampung Seraran. Setelah sampai di Tanjung

Umafa dia melanjutkan perjalanannya ke Kampung Nagura. Di Tanjung Umafa

hingga Tanjung Mufuriba dia memerintahkan para pengawalnya untuk melintasi

Teluk Arguni dan menyeberang ke Kampung Nagura. Ia melanjutkan perjalanannya

ke Sorong. Sesampainya di Sorong, ia menikah dengan seorang perempuan dan

mempunyai anak laki-laki yang bernama Salosa. Setelah ia merasa tua ia kembali

ke Kampung Nagura lalu ia meninggal di sebuah tanjung yang dinamai Tanjung

Syefiada. Sekarang Syefiada menjadi nama marga bagi masyarakat Irarutu.

Orang-orang Sumuri sering disebut Suku Simuri karena mengacu pada nama

daratan Imuri di Kelapa Dua (sekarang Tofoi). Imuri yang dalam bahasa lokal

artinya air panas diambil dari cerita nenek moyang Siwana yang memasak air

dengan bambu hingga panas di sekitar dermaga Kelapa Dua. Simuri juga

merupakan nama lain dari Saengga karena Saengga atau Simuri merupakan pusat

pemukiman terbesar dan paling sering diakses oleh pihak luar di masa lalu maka

penduduk yang berdiam di Saengga (Simuri) disebut sebagai Suku Simuri. Suku

Sumuri berasal dari legenda Nenek Mai sebagai orang pertama yang berdiam di

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 32


wilayah ini. Suku Sumuri berasal dari Gunung Nabi di wilayah Kuri, Kaimana, dan

Fak-fak yang datang ke wilayah ini dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompokkelompok

kecil ini selanjutnya membentuk sebuah konfederasi dan menamakan

diri sebagai Suku Sumuri.

Beberapa kelompok kecil ini selanjutnya menjadi marga-marga yang menempati

atau menguasai wilayah teritorial tertentu. Terdapat sekitar dua puluh marga Suku

Sumuri yang dapat dikelompokan ke dalam marga besar dan marga kecil. Margamarga

besar orang Sumuri adalah Fosa, Sodefa, Dorisara, Inanosa, Siwana, Ateta,

Agofa, Simuna, Wayuri, dan Masifa. Marga-marga kecil adalah Muerena, Bayuni,

Wamay, Werifa, Dokasi, Sabandafa, Kamisofa, Mayera, Soway, dan Armui. Ketika

pemerintah Belanda masuk ke Papua, perang suku masih berlangsung, namun

sudah mulai berkurang. Pemerintah Belanda kemudian mulai mempersiapkan

pendirian kampung dengan mengajak leluhur Sumuri pada zaman dulu untuk

tinggal di suatu tempat. Saat berakhirnya pemerintahan Belanda dan berlanjut

pemerintahan Indonesia di tahun 1960-an, orang Sumuri mulai untuk menetap

menjadi satu kampung. Terbentuknya pemerintahan di wilayah Bintuni bermula

dari Kokonao, kemudian ke Babo dan Bintuni sendiri (Steankool).

Dalam sejarah pemerintahan Belanda hingga Indonesia, terdapat empat kepala

pemerintahan setingkat camat atau bestuur pada masa Belanda. Pada masa itu,

Sumuri menjadi kampung yang masuk dalam wilayah Ditsrik Babo yang merupakan

perkembangan dari Distrik di Bintuni dan Kokonao. Keempat kepala

pemerintahan di Sumuri itu di antaranya adalah:

1) Bestuur Malu yang berasal dari Biak

2) Bestuur Ohetimur yang berasal dari Ambon

3) Bestuur Wayeni dari Biak

4) Bestuur Putirau dari Ambon.

Bestuur Putirau-lah yang berjasa memindahkan para leluhur orang Sumuri yang

masih tinggal di dekat sungai dan dusun-dusun sagu. Salah satu sungai yang menjadi

sumber dari penghidupan orang Sumuri adalah Sungai Sirito. Bestuur Putirau mulai

menjadi camat pada masa awal pemerintahan Indonesia di Papua, yaitu tahun 1973.

Perpindahan para leluhur orang Sumuri dari tempat asal mereka di hutan dan

pedalaman dimulai pada awal tahun 1960-an, yang sering disebut dengan

perpindahan besar pertama ke wilayah Tanah Merah yang sekarang menjadi lokasi

BP Tangguh. Perpindahan besar pertama ini berlangsung secara adat dan

melibatkan marga-marga Masifa, Fossa, Sodefa, Dokasi, Sanggra, Kamisofa, dan

Simuna.

Perpindahan berikutnya terjadi pada tahun 1970an di mana Lukas Siwana, salah

seorang putra asli Sumuri, memegang peranan penting dalam hal ini. Lukas Siwana

adalah seorang opus, yaitu pesuruh dari Bestuur Putirau. Setelah Bestuur Putirau

meninggalkan jabatannya, Lukas Siwana kemudian mengambil inisiatif untuk

mengajak lagi para leluhur orang Sumuri untuk turun ke lokasi-lokasi kampung

dekat dengan wilayah teluk. Tepatnya pada tahun 1974, Lukas Siwana kemudian

melanjutkan pemindahan kampung-kampung yang berada di sekitar wilayah

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 33


Sumuri. Masyarakat yang berada di Onar kemudian dipindahkan ke Saengga. Satu

tahun kemudian, orang-orang Sumuri yang berada di Tofoi juga dipindahkan ke

Saengga. Orang-orang Sumuri yang masih berada di Sungai Manggosa juga

dipindahkan menuju Tanah Merah Lama, lokasi kampung yang juga menjadi tempat

awal dari orang-orang Sumuri yang berada di Sungai Sirito.

Setelah proses pemindahan yang berlangsung dua tahun itu, mulailah awal dari

pendirian kampung. Pada tahun 1975, orang-orang Sumuri melakukan

pembersihan di beberapa tempat dimana kampung akan didirikan. Pada tahun

1976 rumah-rumah sudah didirikan dan seluruh masyarakat masuk ke rumah

masing-masing yang menandakan telah berdirinya beberapa kampung. Pada tahun

1980-an, ketika kampung-kampung di Sumuri sudah tertata dengan baik dan

masyarakat sudah tinggal menetap, para investor mulai masuk. Perusahaan sawit

mulai masuk ke kawasan Padang Agoda dan merambah wilayah-wilayah ulayat

beberapa marga Orang Sumuri pada tahun 1982. Pada tahun 1986–1987, Djayanti

Group berdiri di daerah Kelapa Dua (sekarang Tofoi). Perusahaan logging pertama

di daerah Sumuri itu memberikan perubahan yang sangat berarti bagi masyarakat

Sumuri. Beberapa masyarakat memutuskan untuk tinggal di Kelapa Dua karena

alasan pekerjaan.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 34


Referensi

Balitbangkes, B. P. d. P. K., 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Papua Barat, s.l.:

s.n.

BPS, 2011. Provinsi Papua Barat Dalam Angka, Manokwari: BPS.

BPS, 2015. Provinsi Papua Barat Dalam Angka, Manokwar: BPS.

BPS, 2016. Kabupaten Teluk Bintuni Dalam Angka. Bintuni: BPS.

BPS, 2016. Provinsi Papua Barat Dalam Angka, Manokwari: BPS.

BPS, 2017. Provinsi Papua Barat Dalam Angka, Manokwari: BPS.

Knight, Maurice, dkk, 2003. Atlas Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bintuni. Proyek Pesisir (USAID).

Manokwari: Pemerintah Provinsi Papua

Roni Bawole, dkk, 2008. Sumberdaya Perikanan Teluk Bintuni Papua; Potensi, Masalah dan Upaya Pengelolaan.

Konas VI Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Manado.

Rultenbeek, J., 1995. Some Practical Lessons in Applied Resource Valuation. Evaluating Bintuni Bay ed. Canada:

Economy and Environment Program for Southeast Asia.

Tahoba, A. E. P., 2011. Strategi Komunikasi dalam Program Pengembangan Masyarakat : Kasus Program

Community Development Pada Komunitas Adat terkena Dampak Langsung Proyek LNG Tangguh di Sekitar

Teluk Bintuni. Prosiding Seminar Nasional, 7(Pengembangan Pulau-pulau Kecil), pp. 187-197.

Wahyudi, dkk, 2014. Customary Right Compensation and Forest Villages Development Programs, of Mangrove

Company at Bintuni Bay Papua Barat. JMHT, Volume XX, pp. 187-194.

Yulianto, G., 2008. Kajian Kelembagaan Hak Ulayat Laut di Desa-desa Pesisir Teluk Bintuni. Buletin Ekonomi

Perikanan, Volume VIII No. 2, pp. 82-89.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 35


IV.

AKTIVITAS PERIKANAN

Pendahuluan

Perairan Kabupaten Teluk Bintuni memiliki luas area sekitar 5.077,41 km 2 yang dikelilingi 12 distrik

pesisir (British Petroleum Indonesia, 2014). Kawasan pesisir Teluk Bintuni memiliki kekayaan sumber daya

alam yang melimpah terutama hutan mangrove, sumber daya perikanan dan sumber daya gas alam (Bawole,

et al., 2008). Ruitenbeek (1994) menyatakan bahwa nilai manfaat komunitas mangrove Teluk Bintuni untuk

perikanan sebesar 3,5 miliar dolar AS per tahun. Berbagai macam biota perairan banyak ditemukan di

perairan Teluk Bintuni. Terdapat 46 famili ikan (Simanjuntak et al., 2011), 15 famili krustasea (Iskandar,

2010), dan 53 famili Moluska (Petocz, 1983). Mata pencaharian masyarakat pesisir sebagian besar sebagai

nelayan yang memanfaatkan sumber daya laut (Yulianto, 2008). Masyarakat menggunakan berbagai jenis

alat tangkap untuk memanfaatkan sumber daya laut yaitu jaring insang (gillnet dan trammel net), perangkap,

pancing, dan jaring pasang surut. Sektor perikanan tangkap di Teluk Bintuni sudah mengikuti perkembangan

teknologi, namun kondisi masyarakat secara ekonomi masih serba kekurangan.

Padatnya hutan mangrove di sepanjang pesisir membuat Kabupaten Teluk Bintuni terkenal sebagai

penghasil udang, kepiting, dan berbagai jenis ikan seperti kakap conggek, kembung, serta ikan dasar

(Bawole, et al., 2008). Produksi perikanan tangkap pada tahun 2016 mencapai 2.764 ton, dengan produksi

udang sangat dominan. Produksi udang mencapai 1.271,4 ton (46%), kepiting 497,52 ton (18%), dan kakap

putih 414,6 ton (15%). Produksi perikanan tangkap di wilayah pesisir Teluk Bintuni diperkirakan akan terus

meningkat seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dan permintaan pasar akan udang, kepiting,

dan ikan. Peningkatan produksi ini diharapkan dapat selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan sehingga

sektor perikanan dapat terus memberikan kontribusi terhadap perekonomian dan kesejahteraan

masyarakat. Pengumpulan data ilmiah menjadi penting, khususnya bagi wilayah yang masih minim informasi

terkait dengan pemanfaatan sumber daya perikanan. Data dan informasi ini nantinya akan berguna bagi

pemangku kepentingan dalam menyusun upaya pengelolaan perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni.

Metodologi

Survei data dasar perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni dilaksanakan pada tanggal 22 – 29

September 2017. Lokasi pengambilan data di lima kampung terpilih (Gambar 4-1). Pemilihan kampung

berdasarkan hasil kajian survei pendahuluan yang dilakukan oleh team WWF-Indonesia pada bulan Juli

2017. Lokasi yang dilakukan survei adalah Kampung Banjar Ausoy, Kampung Bintuni Timur RT 1 RW 2,

Kampung Taroi, Kampung Sidomakmur dan Kampung Modan. Jumlah sampel data sebesar 76 nelayan,

dimana setiap lokasi mewakili 5-10% jumlah nelayan.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan

melakukan wawancara langsung dengan nelayan. Penentuan responden menggunakan metode simple

random sampling. Jenis data primer adalah informasi terkait sumber daya perikanan mengacu yang pada

protokol Data dasar Survei Perikanan Tangkap dan Budidaya--disusun oleh tim Penelitian dan

Pengembangan Perikanan WWF-Indonesia, yakni:

a. Wawancara Informan Kunci/Key Informant Interview (KII)

Melibatkan sekitar 5 sampai 10% dari jumlah Rumah Tangga perikanan (RTP). Peserta yang

diwawancarai adalah informan kunci disetiap kampung seperti nelayan, pengepul, kepala kampung dan

beberapa tokoh lainnya yang dapat memberikan informasi terkait perikanan dikampung tersebut.

b. Survei di lokasi pendaratan Ikan (Fish Landing)

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 36


Memperoleh informasi terkait hasil tangkapan dan berbagai informasi terkait nelayan saat

melakukan aktivitas memancing langsung di lokasi pendaratan ikan yakni pada saat nelayan selesai

memancing dan melakukan aktivitas pendaratan ikan di tempat pendaratan tersebut. Pengambilan data

dilakukan 10% dari jumlah armada yang mendarat pada satu hari dilakukannya survei.

Analisis data dilakukan secara deskriptif komprehensif menghasilkan teks deskriptif, sedangkan

analisis isi menyangkut analisis setiap hasil secara kuantitatif berdasarkan pada masing-masing kondisi desa.

Analisis yang dilakukan secara deskriptif komprehensif diantaranya mengenai lokasi jenis spesies target,

lokasi tangkap, musim penangkapan, lokasi pendaratan dan rantai pemasaran. Sedangkan analisis yang

dilakukan secara kuantitatif diantaranya terkait jumlah nelayan, alat tangkap, kondisi social ekonomi

perikanan, jenis armada dan hasil produksi perikanan. Gambar 4-1 menunjukkan lokasi pendaratan ikan

dan pengambilan data selama survei data dasar perikanan di Kab. Teluk Bintuni.

Gambar 4-1 Peta Pendaratan Ikan dan Lokasi Pengambilan Data Perikanan Kabupaten Teluk Bintuni

Hasil

4.3.1 Spesies Target

Mengacu pada informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan,

jenis udang yang menjadi tangkapan utama nelayan adalah udang jerbung dan udang dogol. Kepiting bakau

atau disebut juga karaka untuk masyarakat lokal merupakan salah satu jenis target tangkapan utama nelayan.

Selain itu, ikan conggek atau kakap cina merupakan tangkapan utama nelayan. Namun, yang menjadi target

utama nelayan bukan pada daging ikan tersebut melainkan pada gelembung renang ikan conggek karena

nilai ekonominya yang tinggi dan laku dijual hingga ke luar wilayah Papua dan luar negeri. Dari 5 kampung

tempat dilakukan survei, nelayan memiliki target spesies tangkapan yang berbeda beda. Di Kampung Banjar

Ausoy dan Kampung Modan spesies target tangkapan adalah kepiting bakau sedangkan Kampung Bintuni

Timur RT 1 RW 2, Kampung Taroi dan Kampung Sidomakmur memiliki target tangkapan udang jerbung,

udang dogol dan ikan conggek.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 37


Tabel 4-1 Komoditas perikanan yang menjadi target species di perairan Kabupaten Teluk Bintuni

Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies

Udang jerbung Udang jerbung Penaeidae Penaeus merguiensis

Udang dogol Udang dogol Penaeidae Metapenaeus ensis

Kepiting bakau/karaka Kepiting bakau Geryonidae Scylla oceanica

Ikan conggek/kakap cina Samge/Gulamah Scianidae Protonibea diacanthus

Ikan conggek Kakap putih Latidae Lates calcalifer

4.3.2 Alat Tangkap

Nelayan Kabupaten Teluk Bintuni melakukan penangkapan dengan menggunakan berbagai jenis alat

tangkap. Dari hasil survei di 5 kampung ada 4 jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan berdasarkan

jenis tangkapan utama. Diantaranya rawai dasar dan jaring insang besar digunakan untuk menangkap target

spesies ikan conggek, jaring insang kecil (gillnet dan trammel net) untuk menangkap target spesies udang dan

perangkap atau bubu untuk menangkap kepiting bakau. Namun tak jarang, nelayan juga memiliki alat

tangkap jenis lain seperti alat pancing handline untuk menangkap jenis ikan lainnya. Berikut adalah tabel

jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayang di Teluk Bintuni.

Jenis alat penangkapan ikan

Tabel 4-2 Jenis Alat Tangkap yang Digunakan oleh Nelayan di Kabupaten Teluk Bintuni

Nama Kampung

Banjar Ausoy Bintuni Timur Taroi Sidomakmur Modan

Pancing ulur - v v v -

Rawai dasar v v v v -

Jaring insang kecil - v v v -

Jaring insang besar v v - - -

Bubu/perangkap v - - - v

4.3.3 Nelayan

Nelayan di lokasi survei didominasi oleh pendatang yang sudah lama menetap. Nelayan yang berasal

dari wilayah Cianjur, Sukabumi, dan Banten banyak menetap di Kampung Banjar Ausoy. Di Kampung Tahiti,

selain nelayan penduduk asli, banyak pula nelayan dari suku Bugis, Makassar, Buton, dan Jawa. Kampung

Sidomakmur merupakan kampung dengan mayoritas nelayan yang berasal dari Banyuwangi, Probolinggo,

Tuban, dan Cirebon. Nelayan yang bermukim di Kampung Modan merupakan campuran masyarakat asli

dan Suku Buton. Mayoritas penduduk asli Papua yang berprofesi sebagai nelayan tinggal di Kampung Taroi.

Jumlah nelayan di lokasi survei bisa dilihat pada Tabel 4-3.

Tabel 4-3 Jumlah nelayan di Perairan Kab. Teluk Bintuni

No. Kampung-Kelurahan/Distrik Jumlah Nelayan

1 Banjar Ausoy/ Manimeri 210

2 Bintuni Timur RT 1 RW 3/Bintuni 520

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 38


3 Modan/Babo 96

4 Sidomakmur/Aroba 106

5 Taroi/Tomu 194

Total 1126

4.3.4 Armada Penangkapan

Perahu merupakan kendaraan air yang digunakan nelayan dalam aktivitas perikanan tangkap.

Terdapat berbagai macam jenis perahu yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Teluk Bintuni. Melalui

survei yang telah dilakukan pada 5 distrik di Kabupaten Teluk Bintuni, diketahui beberapa jenis perahu yang

digunakan yaitu: perahu tanpa motor, perahu jenis motor tempel (mesin luar) dan jenis kapal motor (mesin

dalam). Berdasarkan survei data dasar, nelayan di Kabupaten Teluk Bintuni lebih banyak menggunakan

perahu tanpa motor dan perahu motor tempel (mesin luar) dengan persentase 45% dan 40%, serta perahu

kapal motor (mesin dalam) sebanyak 15%. Jumlah perahu di seluruh Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat

pada Tabel 4-4.

Tabel 4-4 Jenis Armada Penangkapan yang Digunakan Nelayan di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni

Kategori Jenis Armada Penangkapan

Jumlah (unit)

Kecil 169

Perahu Tanpa Motor

Sedang 34

Besar 20

Perahu Motor Tempel 150

<5 GT 6

5 – 10 GT 3

Kapal Motor

11 – 20 GT 4

21 – 30 GT 2

>30 GT 5

TOTAL 393

Sumber: Statistik Perikanan Tangkap 2017, DKP Provinsi Papua Barat, 2017

4.3.5 Lokasi Penangkapan Ikan

Tingginya potensi sumber daya perikanan dan padatnya hutan mangrove di Teluk Bintuni membuat

nelayan melakukan aktivitas penangkapan tidak jauh dari pangkalan pendaratan ikan. Lokasi penangkapan

ikan di masing-masing kampung berbeda. Perbedaan lokasi tangkap dipengaruhi oleh kepemilikan hak ulayat

wilayah masing-masing kampung dan jenis teknologi penangkapan (alat tangkap dan armada penangkapan)

yang digunakan nelayan. Nelayan jaring udang melakukan aktivitas penangkapan di perairan muara sungai

dan pesisir yang tidak lebih dari 2 mil dari garis pantai. Nelayan perangkap kepiting melakukan aktivitas

penangkapan di wilayah badan sungai di pinggir hutan mangrove. Nelayan penangkap ikan melakukan

aktivitasnya di kawasan pesisir dan perairan teluk. Daerah penangkapan ikan di perairan Kabupaten Teluk

Bintuni dapat dilihat pada Gambar 4-2.

Wilayah pesisir Teluk Bintuni termasuk ekosistem perairan estuari. Ekosistem ini adalah ekosistem

perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut dan masih mendapat pengaruh air tawar

sehingga sungai masih dipengaruhi pasang surut dari laut (Wolanski, 2007). Ekosistem estuari yang

berdampingan dengan hutan mangrove merupakan habitat dan tempat asuhan (nursery ground) berbagai

jenis juvenile ikan, udang dan kepiting (Bengen, 2004). Sepanjang pesisir Teluk Bintuni merupakan daerah

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 39


potensial untuk aktivitas penangkapan nelayan. Waktu tempuh nelayan pada setiap kampung ke lokasi

penangkapan sangat bervariasi. Waktu tempuh berkisar antara 30 menit sampai 4 jam. Waktu tempuh ke

lokasi penangkapan dipengaruhi oleh jenis target tangkapan, jenis mesin kapal, dan jarak lokasi hak ulayat

wilayah. Lokasi tangkap masih di sekitar sungai, muara sungai, kawasan pesisir (estuari) laut, dan kawasan

teluk.

Gambar 4-2 Daerah Penangkapan Ikan di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni

4.3.6 Musim Penangkapan Ikan

Kegiatan penangkapan ikan sangat berkaitan erat dengan faktor perubahan musim dan cuaca.

Perubahan cuaca akan mempengaruhi operasional penangkapan ikan terkait dengan keberhasilan

penggunaan alat tangkap. Dengan demikian perubahan musim dan cuaca akan mempengaruhi produktivitas

hasil tangkapan, komposisi hasil tangkapan, dan daerah penangkapannya (Ernawati et al., 2011). Musim

penangkapan di perairan estuari seperti di Teluk Bintuni tidak dipengaruhi oleh musim dan cuaca karena

berdasarkan informasi nelayan penangkapan udang dan kepiting dapat terjadi sepanjang tahun. Berbeda

pada nelayan penangkap udang dan kepiting, faktor perubahan musim dan cuaca sangat mempengaruhi

musim penangkapan ikan. Musim penangkapan pada beberapa spesies penting dapat dilihat pada Tabel 4-5.

Nelayan penangkap udang yang menggunakan trammel net melakukan 16 hingga 20 trip

penangkapan tiap bulan. Rata-rata total trip pada satu armada trammel net per tahun sekitar 192-240

trip/tahun. Nelayan penangkap kepiting yang menggunakan perangkap (bubu) melakukan trip penangkapan

sebanyak 6-8 trip/bulan. Rata-rata total trip pada satu armada perangkap per tahun sekitar 72-96 trip/tahun.

Nelayan penangkap kakap putih yang menggunakan jaring insang hanyut dan pancing rawai melakukan trip

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 40


penangkapan sebanyak 10-15 trip/bulan. Rata-rata total trip pada satu armada penangkap ikan kakap putih

per tahun sekitar 96-180 trip/tahun. Nelayan penangkap kembung menggunakan jaring insang lingkar

melakukan trip penangkapan sebanyak 16-24 trip/bulan. Rata-rata total trip pada satu armada penangkap

kembung per tahun sekitar 192-288 trip/tahun.

Tabel 4-5. Musim Penangkapan Spesies Target Penting di Kabupaten Teluk Bintuni

Komoditas Musim Puncak Musim Paceklik Cara Pemanfaatan

Udang September-November Januari-Maret, Juni trammel net

Kepiting April-Mei, September -

Perangkap (Bubu lipat

dan Bubu lingkar)

Kembung November-Desember Mei-Agustus Jaring insang hanyut

Kakap Putih

Januari-Maret, November-

Desember

Mei-Agustus

Jaring insang hanyut,

Pancing rawai

Musim penangkapan udang terjadi sepanjang tahun. Cuaca buruk pada musim angin barat tidak

mempengaruhi volume produksi tangkapan nelayan, sedangkan musim puncak penangkapan udang terjadi

pada bulan September, Oktober, dan November. Sularso (2005) menyatakan berdasarkan analisis seasonal

closure, musim penangkapan udang yang baik di Laut Arafura adalah pada Agustus, September dan Oktober.

Berdasarkan informasi nelayan musim penangkapan komoditas kepiting terjadi pada bulan April-Mei (Banjar

Ausoy) dan September-Oktober (Babo). Kepiting bakau yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura

banyak tertangkap pada bulan September dan November karena merupakan musim hujan (Overton et al.,

2009). Pada bulan November-Desember di perairan Teluk Bintuni merupakan puncak musim penangkapan

ikan kembung. Oktaviani (2013) menyatakan musim pemijahan ikan kembung di Perairan Raja Ampat terjadi

pada bulan September-November. Musim puncak penangkapan ikan kakap putih berdasarkan informasi

dari nelayan terjadi pada bulan Januari-Maret dan November-Desember.

4.3.7 Tren Perikanan Selama 5 Tahun Terakhir

Produksi perikanan laut dalam kurun waktu lima tahun terakhir di perairan Teluk Bintuni

menunjukkan tren yang meningkat (Gambar 4-3). Peningkatan produksi perikanan sebesar 18,16% pada

periode 2012-2016. Nilai produksi meningkat sebesar 36,76% pada periode 2012-2016. Armada

penangkapan mengalami peningkatan sebesar 10,45% pada periode 2012-2016. Sementara itu, Rumah

Tangga Perikanan (RTP) mengalami peningkatan sebesar 2,90% pada periode 2012-2016.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 41


RTP (orang)

Nilai Produksi (Rp. 1,000,000)

Produksi (ton)

Armada penangkapan (unit)

3,000

2,500

2,261 2,217

2,183

2,492

2,764

1000

788 803

880

2,000

550 550

1,500

500

1,000

500

0

2012 2013 2014 2015 2016

Tahun

0

2012 2013 2014 2015 2016

Tahun

(i)

(ii)

570

60.0

520

535

540

548 549 551

40.0

31,0

38,0 37.4

48,8

49,1

20.0

470

2012 2013 2014 2015 2016

Tahun

0.0

2012 2013 2014 2015 2016

Tahun

(iii)

Gambar 4-3 Produksi Perikanan Tangkap (i); Armada Penangkapan Ikan (ii); Rumah Tangga Perikanan (iii); Nilai

Produksi Perikanan Tangkap (iv) Periode 2012-2016 di Kabupaten Teluk Bintuni (Sumber: DKP Provinsi Papua

Barat, 2017)

Menurut informasi dari nelayan, peningkatan produksi perikanan terjadi pada komoditas ikan

kembung, kakap putih, udang, dan kepiting. Produksi udang dan kakap putih secara keseluruhan meningkat,

tetapi nelayan (perorangan) mengeluhkan terjadi penurunan. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan

produksi udang dan kakap putih dalam kurun waktu 5 tahun terakhir adalah meningkatnya jumlah nelayan

dan meningkatnya armada penangkapan ikan, pembaruan teknologi alat penangkapan, dan pengaruh adanya

pembangunan rig perusahaan gas negara. Masuknya teknologi alat tangkap baru pada perikanan kakap putih

menimbulkan konflik penangkapan antar nelayan. Penangkapan kakap putih awalnya menggunakan alat

tangkap pancing rawai. Namun semenjak datangnya nelayan dari Sulawesi penangkapan kakap putih

menggunakan jaring insang hanyut. Perkembangan teknologi alat juga terjadi pada perangkap kepiting.

Nelayan penangkap kepiting awalnya menggunakan perangkap berbentuk melingkar atau disebut “wadong”.

Masuknya perangkap berbentuk persegi dan bisa dilipat atau disebut “bubu lipat” menjadi alat tangkap baru

yang digunakan oleh nelayan kepiting.

Sebanyak 80% responden mengakui bahwa terdapat perubahan tren perikanan dalam 5 tahun

terakhir. Produksi hasil perikanan secara keseluruhan pada kurun waktu 5 tahun terakhir meningkat, tetapi

sebesar 57% responden menyatakan hasil tangkapan menurun. Penurunan produksi dipengaruhi oleh

meningkatnya jumlah nelayan, semakin jauhnya lokasi penangkapan, dan adanya aktivitas perusahaan gas.

Penurunan hasil tangkapan dan meningkatnya jumlah nelayan menjadi alasan utama yang diutarakan

(iv)

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 42


responden terkait perubahan sumber daya perikanan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sebanyak 21%

responden menyatakan produksi perikanan dalam 5 tahun terakhir relatif sama. Sementara itu, 24%

responden menyatakan perekonomian nelayan dalam 5 tahun terakhir semakin membaik. Faktor harga jual

komoditas perikanan yang tinggi merupakan penyebab perekonomian nelayan di Teluk Bintuni meningkat.

4.3.8 Lokasi Pendaratan Ikan

Pendaratan hasil tangkapan di perairan Teluk Bintuni dilakukan di pemukiman pesisir setiap

kampung. Di Kampung Banjar Ausoy, Distrik Manimeri, nelayan mendaratkan hasil tangkapan di Sungai

kawasan cagar alam hutan mangrove Teluk Bintuni. Sedangkan di Kampung Tahiti, Distrik Bintuni Timur,

nelayan mendaratkan hasil tangkapan di Sungai Bintuni tepat di belakang pemukiman. Di Kampung Taroi,

Distrik Taroi yang merupakan kampung nelayan penghasil udang, nelayan mendaratkan udangnya di pesisir

perairan dan sungai kecil di wilayah kampung. Di Kampung Sidomakmur, Distrik Aroba merupakan

kampung percontohan trans nelayan dengan penduduk dominan nelayan dari Pulau Jawa, nelayan

mendaratkan hasil tangkapan di wilayah pesisir depan kampung Sidomakmur. Nelayan Kampung Modan,

Distrik Babo mendaratkan kepiting di wilayah pesisir berdekatan dengan hutan mangrove di depan

kampung. Kabupaten Teluk Bintuni memiliki Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di wilayah Distrik Bintuni

Timur. Fasilitas yang terdapat di PPI Teluk Bintuni adalah pabrik es, cold storage, kolam pelabuhan, kantor,

dan pelelangan ikan. Fasilitas pelabuhan yang seharusnya dimanfaatkan oleh nelayan tidak dikelola dengan

baik sehingga status pelabuhan saat ini tidak aktif. Nelayan tidak maksimal memanfaatkan fasilitas pelabuhan.

Fasilitas yang masih aktif adalah pabrik es dan cold storage. Jenis hasil tangkapan yang didaratkan nelayan

adalah krustasea, ikan demersal, dan ikan pelagis kecil. Terdapat 5 spesies yang dominan didaratkan yaitu

kepiting bakau (Scylla sp.), udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang dogol (Metapenaeus ensis), kakap

putih (Lates calcalifer), dan kembung (Rastrelliger sp.). Terdapat beberapa jenis ikan dan udang lainnya yang

didaratkan di perairan Teluk Bintuni. Jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan di perairan Teluk Bintuni

dapat dilihat pada Tabel 4-6.

Udang dan kepiting merupakan komoditas penting di perairan Teluk Bintuni. Produktivitas udang

pada satu trip mencapai 21 kg/trip. Produktivitas kepiting bakau pada satu trip mencapai 100 kg/trip.

Sebaran udang dan kepiting yang tertangkap di perairan Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 4-4.

Kisaran udang jerbung yang tertangkap di perairan Kabupaten Teluk Bintuni dengan panjang karapas 4,5 –

10,75 cm. Panjang udang dominan tertangkap pada kisaran 6,25 – 7,15 cm. Analisis panjang udang jerbung

pertama kali tertangkap (Lc) adalah 6,91 cm. Sparre and Venema (1999) menyatakan bahwa nilai Lc

tersebut memiliki arti untuk sumber daya ikan dan udang yang mempunyai ukuran panjang di bawah nilai

Lc akan lolos dari kegiatan penangkapan dan dapat berkembang lagi hingga ukurannya lebih besar. Udang

jerbung pertama kali matang gonad di perairan Teluk Bintuni pada kisaran panjang 3,38 cm (Sumiono,

1983). Udang jerbung hasil tangkapan berdasarkan sampel dari nelayan Kabupaten Teluk Bintuni 100%

tertangkap sudah dalam kondisi matang gonad. Kisaran kepiting bakau yang tertangkap di perairan

Kabupaten Teluk Bintuni dengan panjang karapas 11,95 – 18,95 cm. Panjang kepiting yang dominan

tertangkap pada kisaran 13,95 – 14,95 cm. Analisis panjang udang jerbung pertama kali tertangkap (Lc)

adalah 14,21 cm. Kepiting bakau pertama kali matang gonad di perairan Teluk Bintuni pada kisaran panjang

12 cm (Hoek et al., 2015). Kepiting bakau hasil tangkapan berdasarkan sampel dari nelayan Kabupaten

Teluk Bintuni 100% tertangkap sudah dalam kondisi matang gonad.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 43


jumlah (ekor)

jumlah (ekor)

50

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

Lc : 6.91cm 43

20

15

10

3

4 3

4.45-5.35 5.35-6.25 6.25-7.15 7.15-8.05 8.05-8.95 8.95-9.85 9.85-10.75

Panjang Udang (cm)

(i)

20

18

16

14

12

10

8

6

4

2

0

Lc : 14.21cm

18

12

8

5

4

1

2

11.95-12.95 12.95-13.95 13.95-14.95 14.95-15.95 15.95-16.95 16.95-17.95 17.95-18.95

Panjang Kepiting (cm)

Gambar 4-4 Sebaran Panjang Udang (i) dan Kepiting (ii) yang Tertangkap di Teluk Bintuni

(ii)

Tabel 4-6 Jenis Komoditas Perikanan dengan Nilai Ekonomis Penting yang Didaratkan di Perairan Teluk Bintuni

Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies

Udang Banana

Udang Jerbung/ Banana

shrimp

Penaeidae

Penaeus merguiensis

Udang putih

Udang dogol/ Endeavour

shrimp

Penaeidae

Metapenaeus ensis

Udang tiger

Udang windu/

Giant tiger prawn

Penaeidae

Penaeus monodon

Karaka

Kepiting bakau/

Indo-Pacific swamp crab

Geryonidae

Scylla oceanica

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 44


Nama Lokal Nama Umum Famili Spesies

Ikan sembilang/ lele Manyung Clariidae Clarias sp.

Ikan lidah pasir Ikan lidah/ilat-ilat Cynoglossidae Cynoglossus bilineatus

Mangiwang Hiu Carcharhinidae

Sphyrnidae

Carcharhinus sp.

Sphyrna sp.

Pari kodok Pari Dasyatidae Dasyatis kuhlii

Pari Pari Rhinobatidae Rhinobatos sp.

Kakap conggek Kakap Putih Latidae Lates calcalifer

Ikan conggek / kakap

cina

Kakap

Scianidae

Protonibea

diacanthus

Lema Kembung Scombridae Restrailiger sp.

Bubara Kuwe Carangidae Caranx sp.

Tenggiri Tenggiri Scombridae Scromberomorus

commerson

Bawal Bawal hitam Carangideae Stromateus niger

4.3.9 Bisnis dan Rantai Dagang Perikanan

4.3.10 Harga

Udang, kepiting dan ikan conggek merupakan komoditas utama perikanan tangkap di Kabupaten

Teluk Bintuni. Tingginya produksi membuat komoditas udang, kepiting dan ikan conggek sendiri memiliki

perbedaan harga di setiap distrik. Harga beli yang diberikan oleh pengepul kepada nelayan di setiap distrik

berbeda-beda. Untuk jenis tangkapan udang, pengepul biasanya memberi dua harga sesuai dengan kondisi

udang. Kondisi pertama adalah kondisi utuh dan sempurna (head on), sedangkan yang kedua adalah kondisi

tanpa kepala atau cacat (head less). Harga udang di Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Tabel 4-7.

Harga beli pengepul kepada nelayan kepiting dibedakan berdasarkan beratnya. Terdapat empat

kategori yaitu 5 up (berat lebih dari 5 ons), 3 up (berat lebih dari 3 ons), 2 up (berat lebih dari 2 ons) dan

Bs (Biasa atau Berat kurang dari 2 ons dan kualitas kepiting kurang baik). Kepiting dalam kategori 2 up dan

Bs biasanya hanya dijual secara lokal. Selain itu, harga jual kepiting dari pengepul pertama kepada pengepul

kedua (biasanya pengepul luar Papua) dibagi menjadi dua kategori berat yaitu 5 up dan 3 up. Harga kepiting

di Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Tabel 4-8.

Dari hasil survei di 5 distrik Kab. Teluk Bintuni, harga ikan conggek tergolong sangat murah yakni

Rp10.000,-/kg. Namun, gelembung renang ikan conggek memiliki harga jual yang sangat tinggi. Gelembung

renang ikan conggek dibedakan menjadi 2 jenis harga jual yakni jantan dan betina. Tidak terdapat variasi

harga ikan conggek dan gelembung renangnya karena jumlah pembeli yang hanya dua orang di Kabupaten

Teluk Bintuni.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 45


Tabel 4-7 Harga Udang di Kabupaten Teluk Bintuni

No. Kampung-Kelurahan/Distrik

Udang (kg)

dengan kepala (Head on) Tanpa kepala (Head less)

1 Bintuni Timur, RT 1 RW 3/Bintuni 75.000 55.000

2 Sidomakmur/Aroba 52.000 tidak ada

3 Taroi/Tomu 60.000 47.000

Tabel 4-8 Harga Kepiting di Kabupaten Teluk Bintuni

Harga

No Kampung/Distrik Nelayan – Pengepul 1

Pengepul 1 – Pengepul

Besar

5 up 3 up 2 up Bs 5 up 3 up

1

Banjar Ausoy/

Manimeri

50.000 25.000 10.000 10.000 120.000 110.000

2 Modan 55.000 35.000 15.000 15.000 120.000 110.000

Tabel 4-9 Harga Ikan Conggek dan Gelembung Renang Ikan Conggek di Kabupaten Teluk Bintuni

No. Kampung/Distrik Ikan Conggek (kg)

Gelembung Renang

Jantan (ons) Betina (ons)

1 Banjar Ausoy/ Manimeri 10.000 3.000.000 1.500.000

2 Bintuni Timur, RT 01/Bintuni 10.000 3.000.000 1.500.000

3 Modan tidak ada tidak ada tidak ada

4 Sidomakmur 10.000 3.000.000 1.500.000

5 Taroi 10.000 3.000.000 1.500.000

4.3.11 Produksi

Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Teluk Bintuni pada tahun 2016 mencapai 2.764 ton.

Udang menjadi komoditas utama di perairan Teluk Bintuni. Produksi udang mencapai 46% dari keseluruhan

produksi perikanan. Selain udang, kepiting, kakap putih dan kembung termasuk komoditas utama di

perairan Teluk Bintuni (Gambar 4-5). Produksi perikanan tangkap 2016 meningkat sebesar 9,8%

dibandingkan produksi perikanan tangkap pada tahun 2015. Peningkatan produksi perikanan tangkap

dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah armada penangkapan dan meningkatnya jumlah nelayan pendatang.

Peningkatan produksi perikanan yang terjadi harus diimbangi dengan pengelolaan perikanan yang baik dan

tepat, agar keberlanjutan sumber daya tetap terjaga (Bappenas, 2014; Fauzi dan Anna, 2002; Sobari et al.,

2003).

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 46


Produksi (kg)

18%

15%

8%

4%

3%

2%

4%

1%

1%

1%

1%

46%

Udang Kepiting Kakap Putih Kembung

Sembilang Tenggiri Kuwe Belanak

Bawal Putih Bawal Hitam Pari

Gambar 4-5 Produksi Komoditas Sumber Daya Perikanan di Kabupaten Teluk Bintuni Tahun 2016 (BPS Teluk

Bintuni, 2017)

Produksi perikanan jenis udang sangat dominan di Kabupaten Teluk Bintuni. Ekosistem mangrove

dengan perairan berlumpur dan sungai besar yang bermuara di teluk menjadi habitat yang baik untuk udang

berkembang. Berdasarkan hasil survei dari salah satu pengepul, produksi udang pada periode Oktober

2016 – April 2017 rata-rata dalam satu bulan nelayan menangkap 6,17 ton udang.

16000

14000

12000

14217

12279,5

10000

8000

6000

7405,9

7877

5641

4000

2000

0

194,2

466,4

1267,7

Okt Nov Des Jan Feb Maret April Mei

2016 2017

Tahun (bulan)

Gambar 4-6 Produksi Udang Periode Oktober 2016–Mei 2017 di Salah Satu Pengepul

Produksi udang di pengepul paling besar pada bulan Desember yaitu 14,2 ton (Gambar 4-6).

Tingginya produksi pada bulan Desember dipengaruhi banyaknya jumlah trip pada bulan tersebut. Ratarata

dalam satu trip nelayan mampu menghasilkan udang sebesar 21 kg. Selain udang, kepiting menjadi

komoditas yang dominan ditangkap oleh nelayan. Berdasarkan hasil survei dari salah satu pengepul, pada

periode Januari 2015–April 2017 rata-rata dalam satu bulan nelayan menangkap 3 ton kepiting.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 47


January

February

March

April

May

June

July

August

September

October

November

December

January

February

March

April

May

June

July

August

September

October

November

December

January

February

March

April

Produksi (kg)

8000

7000

6000

5000

4000

3000

2000

1000

0

2015 2016 2017

Tahun (bulan)

Gambar 4-7 Produksi Kepiting Bakau Periode Januari 2015 – April 2017 di Salah Satu Pengepul

Produksi kepiting bakau di salah satu pengepul di Kampung Banjar Ausoy pada periode 2015-April

2017 mengalami penurunan (Gambar 4-7). Penurunan disebabkan faktor jumlah nelayan yang semakin

meningkat. Produksi kepiting bakau paling banyak terjadi pada bulan oktober 2016 sebesar 6,77 ton.

Sedangkan produksi pada tahun 2015 rata-rata pengepul menghasilkan 4,23 ton per bulan. Sekalipun angka

produksi meningkat dari tahun 2015 ke tahun 2016, namun nelayan merasa jumlah tangkapan berkurang.

Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah nelayan sehingga hasil tangkapan rata-rata setiap nelayan justru

berkurang.

4.3.12 Bisnis Perikanan

Sistem bisnis perikanan di perairan Kabupaten Teluk Bintuni bergantung pada keberadaan pengepul

di setiap kampung. Bisnis perikanan Kabupaten Teluk Bintuni terdiri atas 54% kepiting dan 23% udang dan

kepiting. Hal ini berdasarkan banyaknya jumlah pengepul yang terdapat di setiap lokasi survei yang

dikunjungi di Kabupaten Teluk Bintuni. Untuk pengepul ikan conggek terdiri dari dua macam: pengepul

ikan conggek khusus pasar lokal dan pengepul gelembung renang ikan conggek. Jumlah dan jenis pengepul

yang ditemui di lokasi survei dapat dilihat pada Tabel 4-10.

Tabel 4-10 Jumlah Pengepul di Kabupaten Teluk Bintuni

No

Distrik

Jumlah Pengepul

Udang Kepiting Ikan Conggek

1 Banjar Ausoy/ Manimeri - 7 2

2 Bintuni Timur, RT 01/Bintuni 1 - 2

3 Modan - 5 -

4 Sidomakmur 3 - 1

5 Taroi 1 - -

Grand Total 5 12 5

Persentase 23% 54% 23%

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 48


4.3.13 Rantai Pemasaran

Rantai pemasaran di Kabupaten Teluk Bintuni dikelompokkan menjadi 3 komoditas yakni

komoditas udang, kepiting dan ikan demersal (ikan conggek). Sistem rantai pemasaran udang (Gambar 4-

8) diawali dari nelayan tangkap udang yang menjual udang ke penampung tingkat kampung yang memiliki

mini coldstorage dan kapal penampung yang parkir di area dermaga. Udang dengan kualitas tidak bagus

atau memiliki ukuran kecil hanya sebagian yang dibeli. Udang yang dibeli oleh penampung di tingkat

kampung akan dibawa ke ibukota Kabupaten Teluk Bintuni yakni Teminabuan dengan menggunakan kapal

menuju Kota Sorong. Udang yang dibawa ke Sorong akan dimasukkan ke perusahaan untuk dikemas dan

dikirim dengan menggunakan transportasi kapal laut ke Surabaya. Di Surabaya ada perusahaan Indokom

Grup yang masih satu grup dengan perusahaan di Sorong. Dari perusahaan ini udang akan diekspor ke Asia

dan Eropa.

Sementara itu, rantai pemasaran kepiting (Gambar 4-9) diawali oleh nelayan yang berada di

Manimeri yang menjual kepiting di pengepul yang berada di Manimeri. Kepiting dengan kualitas kurang

bagus dan kepiting betina dijual lokal. Sedangkan kepiting dengan kualitas bagus dan jantan ukuran 5 up dan

3 up akan dijual ke luar kota Sorong dengan menggunakan transportasi darat menuju Manokwari.

Selanjutnya dari Manokwari akan dikirimkan menggunakan pesawat ke pengepul yang berada di Jakarta dan

Surabaya. Lalu dari Surabaya dan Jakarta akan diekspor ke pasar Malaysia, Singapura, Taiwan dan Cina.

Sedangkan untuk nelayan yang berada di Distrik Aroba dan Babo akan menjual kepiting ke pengepul

yang berada di Distrik Babo. Kepiting dengan kualitas kurang bagus dan kepiting betina dijual lokal.

Sedangkan kepiting dengan kualitas bagus dan jantan ukuran 5 up dan 3 up akan dijual ke luar kota Sorong

dengan menggunakan transportasi kapal laut menuju Sorong. Selanjutnya dari Sorong kepiting akan

dikirimkan menggunakan pesawat ke pengepul yang berada di Jakarta dan Surabaya. Lalu dari Surabaya dan

Jakarta akan diekspor ke pasar Malaysia, Singapura, Taiwan dan Cina. Untuk rantai pemasaran komoditas

kepiting dapat dilihat pada Gambar 4-9 di bawah.

Rantai pemasaran untuk komoditas kepiting di Distrik Babo dan Aroba berawal dari nelayan

tangkap yang menjual hasil tangkapan ke pengepul yang tersedia di kampung-kampung. Para pengepul

berada di Kampung Wimbro Distrik Aroba, Kampung Nuse dan Kampung Modan Distrik Babo. Setelah

disortir berdasarkan ukuran dagang, selanjutnya masing-masing pengepul mendistribusikan kepiting

tersebut ke Kota Sorong melalui jalur laut dengan lama perjalanan sekitar 16 jam. Setelah sampai di Kota

Sorong, kepiting akan disortir kembali dan dikemas untuk disuplai ke Jakarta dan Surabaya melalui jalur

udara. Suplai ke Jakarta dan Surabaya berdasarkan kesepakatan individu yang melakukan transaksi jual beli

komoditas kepiting tersebut. Selain disuplai ke pasar lokal dan sejumlah restoran di Jakarta dan Surabaya,

kepiting juga akan diekspor ke Malaysia, Singapura, Taiwan dan Cina.

Lain halnya dengan rantai pemasaran ikan demersal khususnya ikan conggek (Gambar 4-10). Ikan

conggek atau kakap cina sebenarnya nama umum dari 2 spesies ikan berbeda yakni Lates calcarifer dan

Protonibea diacanthus. Nelayan kampung Taroi, Sidomakmur dan Bintuni Timur hanya menangkap dan

menjual ikan conggek untuk dijual di pasar lokal saja. Namun untuk gelembung renang ikan conggek dijual

ke pengepul di tingkat kampung atau langsung dikirimkan ke pengepul tetap yang berada di ibukota

kabupaten Teluk Bintuni yang biasa dikenal dengan Ongko Boy dan Ongko Makassar. Kedua pengepul

tersebut akan menjual gelembung renang ikan conggek melalui Sorong dan akan di ekspor ke luar negeri.

Gelembung renang ikan conggek ini umumnya diekspor ke pasar Cina dan Hong Kong. Orang-orang Cina

mengonsumsi gelembung renang sebagai sup untuk kesehatan. Selain itu, mereka juga memanfaatkannya

untuk kepentingan industri sebagai isinglass, lem, campuran tinta, hingga benang jahit operasi (Tuuli, 2010).

Oleh karena itu, gelembung renang ikan conggek laku diekspor dan bernilai tinggi.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 49


Gambar 4-8 Rantai Pemasaran Udang di Kabupaten Teluk Bintuni

Gambar 4-9 Rantai Pemasaran Kepiting di Kabupaten Teluk Bintuni

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 50


Gambar 4-10 Rantai Pemasaran Ikan Demersal (Kakap Conggek) di Kabupaten Teluk Bintuni

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 51


Referensi

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2014. Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan.

Jakarta: Bappenas

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Teluk Bintuni. 2017. Kabupaten Bintuni dalam Angka 2017. Teluk Bintuni:

BPS

Bawole R, dkk. 2008. Sumber daya Perikanan Teluk Bintuni Papua: Potensi, Masalah dan Upaya Pengelolaan.

Prosiding Konferensi Nasional VI Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan hal 823-838. Manado:

Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia.

Bengen, D.G. 2004. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumber daya Pesisir

dan Lautan - IPB.

British Petroleum Indonesia. 2014. Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Kegiatan Terpadu Proyek

Pengembangan Tangguh LNG: Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Jakarta:

SKK MIGAS dan BP Indonesia.

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat. 2017. Statistik Perikanan Provinsi Papua Barat 2017.

Manokwari: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat.

Ernawati T, Nurulludin, Atmadja SB. 2011. Produktivitas, Komposisi Hasil Tangkapan dan Daerah Penangkapan

Jaring Cantrang yang Berbasis di PPP Tegalsari, Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 17(3): 193-200.

Fauzi A, Anna S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi

Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan, 4(3): 43-55.

Hoek F, dkk. 2015. Distribusi Frekuensi Ukuran Lebar Karapas dan Berat Kepiting Bakau (Scylla serrataforskal)

dengan Alat Tangkap Bubu Lipat di Perairan Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Jurnal Airaha, 4(2): 57-

64.

Iskandar D. 2010. Perbandingan Hasil Tangkapan Udang dengan Menggunakan Lapdu, Giltong Dan Trammel net di

Perairan Saengga Kabupaten Teluk Bintuni. Jurnal Saintek Perikanan, 6(1): 22-29.

Oktaviani D. 2013. Etnozoologi, Biologi Reproduksi, dan Pelestarian Ikan Lema Rastrelliger kanagurta (Cuvier, 1816)

di Teluk Mayalibit Kabupaten Raja Ampat Papua Barat Indonesia [disertasi]. Depok: Program Pascasarjana,

Universitas Indonesia.

Overton JL, Macintosh DJ, Thorpe RS. 1997. Multivariate Analysis of the Mud Crab Scylla serrata from Four Locations

in Southeast Asia. Marine Biology, 128: 55-62.

Petocz R. 1983. Recommended Reserves for Irian Jaya Province: Statements Prepared for The Formal Gazettement

of Thirty-One Conservation Area. Jayapura (ID): World Wildlife Fund/International Union for the

Conservation of Nature and Natural Resources.

Ruitenbeek HJ. 1994. Modelling economy-ecology linkages in mangroves: Economic evidence for promoting

conservation in Bintuni Bay, Indonesia. Elsevier: Ecological Economics, 10(3): 233-247.

Simanjuntak CPH, dkk. 2011. Iktiodiversitas di Perairan Teluk Bintuni, Papua Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia,

11(2):107-126.

Sobari MP, Kinseng RA, Priyatna FN. 2003. Membangun Model Pengelolaan Sumber daya Perikanan Berkelanjutan

Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan: Tinjauan Sosiologi Antropologi. Buletin

Ekonomi Perikanan, 5(1): 41-48.

Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I Manual. Jakarta: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perikanan.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 52


Sularso A. 2005. Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang di Laut Arafura [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pasca

Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sumiono, B. 1983. Size on Maturity and the Sex Rationof Banana Shrimp (Penaeus merguiensis de Man) in the Bintuni

Bay, Irian Jaya. Marine Fisheries Research Report 29: 41-46.

Tuuli, CD. 2010. The Croaker Fishery and Dried Swimbladder Trade in Hong Kong, and The Reproductive Biology of

The Greyfin Croaker, Pennahia Anea. (Thesis). Hong Kong: University of Hong Kong.

Wolanski E. 2007. Protective Functions of Coastal Forests and Trees against Natural Hazards: In, Coastal Protection

in the Aftermath of the Indian Ocean Tsunami: What Role for Forests and Trees. Rome: FAO - in press.

Yulianto G. 2008. Kajian Kelembagaan Hak Ulayat Laut di Desa-desa Pesisir Teluk Bintuni. Buletin Ekonomi

Perikanan, 8(2): 82-89.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 53


V. PEMANFAATAN SUMBER DAYA LAUT

Pendahuluan

Teluk Bintuni merupakan daerah dengan tutupan hutan tertinggi—sekitar 450.000 ha tersusun oleh

pohon mangrove dewasa—di Provinsi Papua Barat (Ainsworth, et al., 2008). Berdasarkan SK MENHUT No.

891/KPTS-11/1999 sebagian dari kawasan hutan, yaitu 124.850 ha terdiri dari 90% tutupan mangrove,

ditetapkan menjadi kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni. Kawasan cagar alam berperan penting dalam menyangga

kegiatan perikanan komersil yang ada di Teluk Bintuni.

Sebagian besar masyarakat pesisir Teluk Bintuni, khususnya nelayan, telah mengandalkan hasil laut

sebagai mata pencaharian utama dan sumber makanan sehari-hari. Hasil tangkapan yang memiliki nilai ekonomi

tinggi pada wilayah ini adalah udang, kepiting, dan ikan (Bawole, et al., 2008). Jumlah pelaku aktivitas perikanan

di Teluk Bintuni mengalami peningkatan pada tiap tahunnya. Khususnya pada perikanan udang, sejak tahun 1990-

an, jumlah dan ukuran kapal penangkap udang semakin bertambah akibat peningkatan jumlah industri besar

udang pada lokasi ini (Pet Soede et al., 2006 dalam Mangubhai, et al., 2012).

Selain sektor perikanan, perairan Teluk Bintuni juga merupakan daerah konsesi gas cair perusahaan

British Petroleum (BP) Tangguh. Hasil gas alam yang diperoleh diperkirakan mencapai 14,4 triliun per kaki

kubik. Dalam jangka waktu 20 tahun ke depan, diperkirakan proyek LNG (liquefied natural gas) Bintuni dapat

mendatangkan pemasukan sebesar 3,6 juta dolar Amerika pada pemerintah provinsi Papua Barat dan 8,7 juta

dolar Amerika pada pemerintah pusat Indonesia (GMR International, 2009 dalam Mangubhai, et al., 2012).

Di sela-sela banyaknya aktivitas pemanfaatan di perairan Teluk Bintuni, keberadaan hukum adat yang

kuat memegang peran penting dalam keberlangsungan kegiatan tersebut. Masyarakat Teluk Bintuni, khususnya

masyarakat adat, telah menjalankan kelembagaan Hak Ulayat Laut sejak lama. Untuk itu, apabila pengelolaan

sumber daya laut tidak dapat memfasilitasi semua pihak, berbagai macam permasalahan, seperti penurunan stok

sumber daya laut, inefisiensi ekonomi, dan permasalahan sosial berpotensi untuk terjadi (Yulianto, 2008).

Studi mengenai pengelolaan sumber daya laut di Teluk Bintuni perlu dilakukan untuk menghindari

kemunculan konflik-konflik tersebut. Dalam penelitian ini, WWF-Indonesia SEA Project melakukan analisis

terkait peraturan pengelolaan, pola pemanfaatan, tata cara penggunaan, proses pengambilan keputusan, dan

konflik terkait sumber daya laut di Teluk Bintuni. Hasil kajian pengelolaan sumber daya laut akan menjadi

informasi awal untuk mengawali tahapan usulan inisiatif kawasan konservasi atau pun pembuatan rencana

pengelolaan perikanan berbasis adat.

Metodologi

Penelitian untuk mengetahui pola pemanfaatan dan tata kelola sumber daya kelautan dilakukan melalui

survei lapangan dan studi pustaka. Survei lapangan dilakukan di 5 kampung target. Pemilihan kampung target

ditentukan berdasarkan jumlah nelayan dan aktivitas perikanan yang tinggi di suatu area kajian. Kampung target

survei terdiri dari Kampung Banjar Asoy, Kampung Nelayan Kelurahan Bintuni Timur, Kampung Taroi Distrik

Taroi, Kampung Sidomakmur Distrik Aroba, dan Kampung Modan Distrik Babo (Gambar 5-1).

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 54


Gambar 5-2 Lokasi Survei Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Teluk Bintuni

5.2.1 Pengumpulan Data dan Informasi

5.2.1.1 Diskusi Grup Terarah (Focus Group Discussion)

Diskusi grup terarah (FGD) dilakukan di setiap kampung yang melibatkan informan yang dapat

memberikan informasi mengenai kondisi sumber daya laut dan perikanan di kampung target. Selain itu,

perangkat kampung juga memegang peranan kunci untuk memberikan informasi berupa profil desa dan tata

kelola sumber daya laut yang ada di wilayah kajian. Tokoh-tokoh adat, suku, dan agama dalam hal ini terlibat

untuk memberikan gambaran dan informasi mengenai profil adat, sejarah, dan perkembangan masyarakat adat

di wilayah kajian.

5.2.1.2 Wawancara Informan Kunci (Key Informant Interview)

Dalam penelitian ini, proses pengumpulan data lapangan juga menggunakan metode wawancara

informan kunci. Pemilihan informan dilakukan secara sengaja dengan tidak memperhatikan populasi dan sampel.

Informan kunci dianggap sebagai informan yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang

diperlukan dalam penelitian (Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, 2009). Penentuan informan kunci

berdasarkan pengetahuan spesifik dan detail mengenai aktivitas penangkapan perikanan, sejarah kesukuan, tata

kelola sumber daya, dan adat-istiadat.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 55


5.2.1.3 Pemetaan Cepat

Pemetaan cepat adalah proses pendokumentasian pemanfaatan dan fenomena berdasarkan informasi

dari masyarakat. Proses pemetaan cepat dilakukan untuk mengetahui lokasi dan pola pemanfaatan ruang oleh

masyarakat. Proses pemetaan cepat dilakukan secara partisipatif di wilayah kajian kampung target. Peta dasar

digunakan sebagai media pendokumentasian informasi yang diberikan. Adapun informasi yang akan

didokumentasikan, yaitu gambaran mengenai lokasi potensial untuk dijadikan kawasan perlindungan. Informasi

yang diambil di antaranya adalah penangkapan (fishing ground); lokasi penangkapan potensial untuk target

Ikan/udang/kepiting; batas hak ulayat; tempat pamali atau tempat penting masyarakat adat, dan lokasi-lokasi

kemunculan spesies endemik, langka serta hampir punah. Sedangkan informan yang memberikan informasi

mengacu pada informan pada metode wawancara informan kunci.

5.2.2 Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka, literatur yang relevan, buku-buku, laporan

penelitian, dan pustaka lain yang relevan dengan penelitian. Data sekunder dapat berupa data olahan maupun

data yang belum diolah, baik berupa angka maupun uraian.

5.2.3 Pengolahan data

Metode pengolahan data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Metode

ini digunakan untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai suatu obyek

atau set kondisi masa sekarang serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Sugiono, 2011). Metode ini

terbagi menjadi tiga jalur analisis data, yaitu klasifikasi dan reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan. Proses reduksi data melibatkan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari

semua jenis informasi yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan. Penyajian data disusun berdasarkan pokokpokok

yang terdapat dalam reduksi data dan disajikan dengan menggunakan kalimat yang merupakan rangkaian

kalimat yang disusun secara logis dan sistematis (Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, 1992). Proses akhir,

yaitu dengan mengambil suatu kesimpulan dan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian dari data-data

yang ada.

Hasil

5.3.1 Peraturan Manajemen Sumber Daya Laut

Peraturan manajemen sumber daya laut menjadi bagian penting dalam melihat pola pemanfaatan sumber

daya laut dalam wilayah kajian. Pola pemanfaatan yang ada biasanya sangat bergantung pada peraturan-peraturan

yang sudah ditetapkan maupun peraturan tidak resmi yang diikat secara adat. Berbagai jenis peraturan yang

mengatur kegiatan dan aktivitas dalam wilayah kajian, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber

daya alam akan dijelaskan sebagai berikut.

5.3.2 Hak Ulayat/Hak Adat

Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni didiami oleh 7 suku besar yang tersebar dari pesisir hingga ke dataran tinggi

pegunungan. Ketujuh suku besar tersebut, antara lain:

Tabel 5-2 Sebaran Distrik dan Marga Besar Berdasarkan Suku di Kabupaten Teluk Bintuni

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 56


No.

Suku

Besar

1. Suku

Moskona

Karakteristik

Wilayah

Dataran tinggi

pengunungan

2. Suku Sough Pesisir dan

dataran tinggi

Pegunungan

3. Suku

Wamesa

Pesisir dan

dataran tinggi

pegunungan

4. Suku Kuri Pesisir dan

dataran tinggi

pegunungan

5. Suku

Irarutu

6. Suku

Sebyar

7. Suku

Sumuri

Pesisir dan

Dataran tinggi

pegunungan

Wilayah Distrik

Merdey, Moskona Selatan

(Jagero), Meyado, Biscoop,

Masyeta, Moskona Timur

(Mesna), Moskona Barat

(Yerga), Moskona Utara

(Moyeba), dan Inomveina

Manimeri, Bintuni, Tuhiba,

Tembuni, Barma (Meyado),

Horua, Isim, Tahota

Wamesa

Kuri

Babo, Aroba, Kaitaro, dan

Fafurwar

Pesisir Kamundan, Weriagar,

Arandai, Tomu, dan Taroi

Marga Besar

Asmarom, Oganei,

Yerkohok,

Oracomna, Iba, dan

Iborei

Iba, Tiri, Yetu, Mokiri,

Jehido, Ibori, Tomou,

menei, Onyo

Idorwai, Kawab,

Masyewi, Wekabury,

Fimbay, dan Waney

Urbete, Urbon,

Refideso, Tatuta, dan

Penetruma

Kurima, Wokrofa,

Welsin

Patiran, Nawarisa,

Nosefa, Bauw,

Tonoy, Kokop,

Prabun, Kosepa, Inai,

dan Kaitam

Pesisir Sumuri Inanosa, Simuna,

Agofa, Siwana, Ateta,

Wayuri, Sowai, dan

Kamisofa

Ketujuh suku tersebut masing-masing dipimpin oleh kepala suku yang dipilih berdasarkan garis

keturunan dan tentunya memiliki pengetahuan sejarah dan asal usul suku yang dianut (Sri Nuraini Kartikasari,

et al., 2012). Kepala suku adalah pengambil keputusan terkait dengan persoalan-persoalan sosial dan kebudayaan

serta sistem perizinan pengelolaan wilayah. Pada skala kabupaten, terdapat koordinator dari 7 suku besar yang

dipilih melalui musyawarah besar suku Kabupaten Teluk Bintuni. Persebaran wilayah suku yang berada di pesisir

Kabupaten Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 5-2 dan 4 suku besar yang mendiami wilayah survei dapat

dilihat pada Tabel 5-2.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 57


Gambar 5-3 Peta Sebaran Wilayah yang Terbagi dalam Tujuh Suku Besar di Kabupaten Teluk Bintuni

Tabel 5-3 Wilayah Suku Berdasarkan Lokasi Target Survei di Kabupaten Teluk Bintuni

No. Lokasi Survei

Suku Besar

1. Kampung Banjar Ausoy, Distrik Manimeri a. Wilayah Suku Sough

2. Kampung Nelayan RT 1 RW 3 Kel.

Bintuni Timur, Distrik Bintuni

b. Penduduk Suku Jawa,

Bugis, Makassar

a. Wilayah Suku Sough

b. Penduduk Suku Bugis,

Buton, dan Makassar

3. Kampung Sidomakmur, Distrik Aroba a. Wilayah Suku Irarutu

b. Penduduk Suku Jawa,

Bugis, Makassar, Buton, Irarutu,

Sumuri

4. Kampung Taroi, Distrik Taroi a. Wilayah Suku Sebyar

b. Penduduk Suku Sebyar,

Makassar, Bugis

5. Kampung Modan, Distrik Babo a. Wilayah Suku Irarutu

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 58


b. Penduduk Suku Wamesa,

Suku Irarutu

Berdasarkan wilayah adat Kabupaten Teluk Bintuni, terdapat 3 struktur adat yang dapat teridentifikasi. Strukturstruktur

adat tersebut, antara lain Struktur Pemerintahan Adat Suku Kabupaten Teluk Bintuni yang dipimpin

oleh Koordinator Suku Besar Teluk Bintuni, Struktur Tatanan Adat Suku yang dipimpin oleh Kepala Suku, serta

Struktur LMA (Lembaga Masyarakat Adat) Suku yang dipimpin oleh Ketua LMA (Gambar 5-3).

STRUKTUR PEMERINTAHAN ADAT

KABUPATEN TELUK BINTUNI

Koordinator Suku

Suku

Moskona

Suku Sough

Suku Kuri

Suku

Wamesa

Suku Irarutu Suku Sebyar Suku Sumuri

Bidang A Bidang B Bidang C Bidang D

Gambar 5-4 Struktur Pemerintahan Adat yang Dipimpin oleh Koordinator Suku

STRUKTUR TATANAN ADAT SUKU A

KABUPATEN TELUK BINTUNI

Kepala Suku A

Dewan Keret

Dewan Peradilan Adat

LMA Suku A

Marga Besar A

Tua Marga A

Marga Besar B

Tua Marga B

Marga Besar C

Tua Marga C

Gambar 5-5 Struktur Tatanan Adat Suku A yang Dipimpin oleh Kepala Suku A

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 59


STRUKTUR LEMBAGA MASYARAKAT ADAT SUKU A

KABUPATEN TELUK BINTUNI

Ketua LMA Suku A

Sekretaris Adat

Bendahara Adat

Sekretariat Biro Adat Biro Hukum Adat

Gambar 5-6 Struktur Lembaga Masyarakat Adat Suku A yang Dipimpin oleh Ketua LMA Suku A

5.3.3 Hak Pemanfaatan

Salah satu bentuk pemanfaatan ruang laut yang sudah ada adalah aktivitas eksplorasi gas alam cair BP

Tangguh. Kawasan pemanfaatan pertambangan ini meliputi area dengan luas kurang lebih 15.319 hektar yang

meliputi dua buah Vorwata atau ladang gas alam (Vorwata-A dan Vorwata-B), daerah terbatas/terlarang, jalur

pipa bawah laut, dan pelabuhan khusus. Area ini merupakan area yang tidak dapat dimanfaatkan untuk aktivitas

lain selain aktivitas jalur pelayaran dan pertambangan (Gambar 5-6).

Gambar 5-7 Area Pemanfaatan Pertambangan Migas LNG Tangguh di Teluk Bintuni

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 60


Sedangkan dalam perkembangannya, potensi cadangan gas alam di Teluk Bintuni mencakup Kabupaten

Sumuri dengan area perairan meliputi perairan Taroi dan Weriagar (Gambar 5-7). Oleh karena itu, berdasarkan

rencana, pemanfaatan pertambangan dan migas akan mengalami perluasan. Rencananya, akan dibangun dua buah

Vorwata di daerah Taroi dan Weriagar. Area konsesi pertambangan migas, menurut Peta Wilayah Kerja Migas

dan Rencana Wilayah Penawaran WK Migas tahun 2016 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, akan

mengalami perluasan hingga mencakup hampir seluruh wilayah perairaan Teluk Bintuni. Terdapat 3 blok dalam

perencanaan pengembangan, yaitu Blok Berau, Blok Muturi, dan Blok Arguni I. Area ini yang kemudian

direncanakan untuk menjadi konsesi yang ditawarkan kepada pihak perusahaan pengembang pertambangan di

tahun 2016. Adapun rencana penawaran WK lokasi dan area mineral dan gas di Teluk Bintuni dapat dilihat pada

Gambar 5-8.

Gambar 5-8 Area Kotak Merah Merupakan Area Potensi Pertambangan Gas LNG Tangguh. (Sumber: Peta Rencana

Kawasan Strategis Ekonomi Kabupaten Teluk Bintuni, RTRW Kabupaten Teluk Bintuni 2010-2030)

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 61


Gambar 5-9 Peta Wilayah Kerja Migas Status Mei 2016. (Sumber: Peta Rencana Penawaran WK 2016 dan Wilayah Kerja

Aktif Migas di Papua Barat)

Selain konsesi area perairan, pemanfaatan hasil hutan kayu di darat juga menjadi hal yang penting.

Pemanfaatan hutan kayu di wilayah Teluk Bintuni sebagian besar beroperasi dengan memanfaatkan hutan

mangrove. Dengan demikian, aktivitas pemanfaatan hutan mangrove ini akan berpengaruh terhadap kondisi

sumber daya kelautan di wilayah Teluk Bintuni.

Unit pengelola yang mencakup Teluk Bintuni disebut oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di level

regional sebagai KPH Bakau. Berdasarkan fungsi hutan di Kabupaten Teluk Bintuni, terdapat 3 izin pemanfaatan

kawasan hutan di Teluk Bintuni berdasarkan izin pemanfaatan kawasan hutan tahun 2014 yang dikeluarkan oleh

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tiga perusahaan yang memperoleh izin tersebut adalah Hutan

Tanaman Industri (HTI) kepada PT. Kesatuan Mas Abadi dengan luas konsesi 100.960 ha. Sementara untuk

Hutan Alam (HA), terdapat tiga perusahaan yang memegang hak pemanfaatan, yaitu PT. Bintuni Utama Murni

dengan luas konsesi 83.014,62 ha, PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya dengan luas konsesi 39.217,08 ha, dan

PT. Wukirasari dengan luas konsesi 30.417,85 ha. Adapun total luas konsesi pemanfaatan kawasan hutan di

Teluk Bintuni adalah seluas 253.608 ha yang tersebar di bagian selatan dari Kabupaten Teluk Bintuni.

Pemanfaatan kawasan hutan di Teluk Bintuni dapat dilihat pada Gambar 5-9

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 62


Gambar 5-10 Pemanfaatan Kawasan Hutan di Teluk Bintuni Tahun 2014

5.3.4 Hak Pemanfaatan Sumber Daya

Masyarakat nelayan, yang hidup di sekitar Teluk Bintuni, telah mengenal praktek kepemilikan wilayah

laut sebagai tempat mencari ikan, udang, dan kepiting. Praktek kepemilikan suatu kawasan perairan—dikenal

dengan istilah Hak Ulayat Adat—dibagi berdasarkan wilayah kediaman suku-suku besar yang ada di Teluk

Bintuni. Peraturan mengenai hak kepemilikan wilayah laut, yang mengatur besarnya nominal untuk biaya

perizinan penangkapan ikan, diserahkan kepada masing-masing suku. Berdasarkan analisis hasil wawancara,

sebagian besar nelayan di wilayah desa survei telah mengikuti kesepakatan-kesepakatan yang diatur dalam Hak

Ulayat Adat pada masing-masing daerah tangkap.

Seperti yang dilakukan oleh kelompok nelayan Kampung Banjar Ausoy, setiap kelompok nelayan

diharuskan membayar Rp500.000 – Rp600.000 per bulan untuk mendapatkan izin menangkap ikan di Distrik

Wamesa. Sama seperti Kampung Banjar Ausoy, kampung nelayan Distrik Bintuni juga melakukan hal yang sama

untuk memancing di daerah Sungai Tifra dan Sungai Tugurama yang diberikan kepada Suku Kuri dan Suku

Kaitaro. Sementara di Kampung Taroi, pembayaran izin penangkapan menggunakan sistem per konda atau satu

kali pasang (15 hari) sebesar Rp600.000 pada masing-masing perahu nelayan. Mayoritas nelayan Taroi hanya

mencari ikan di sekitar wilayah Hak Ulayatnya sehingga tidak diwajibkan membayar uang perizinan.

Kondisi tersebut berbeda dengan Kampung Modan dan Kampung Sido Makmur. Kedua wilayah tersebut

sebagian besar dihuni oleh masyarakat pendatang dari luar Papua. Kendati demikian, nelayan pendatang tetap

diwajibkan membayar perizinan Hak Ulayat di masing-masing distriknya. Nelayan Kampung Modan membayar

Rp500.000 per bulan untuk tiap perahunya kepada Suku Irarutu di Distrik Babo. Nelayan Sido Makmur,

diharuskan membayar iuran kepada Suku Sumuri dan Suku Irarutu—pemilik Hak Ulayat lokasi penangkapan

Tanjung Asap dan sekitarnya. Total iuran yang harus dibayarkan adalah 60 juta per tahun dari seluruh nelayan

pendatang yang menetap maupun dari distrik yang lain (Lampiran 6). Walaupun proses pembayaran izin di lokasi

Hak Ulayat sudah berjalan, sampai saat ini belum ada peraturan tertulis yang sudah dibakukan oleh lembaga

adat Papua Barat terkait pembayaran Hak Ulayat.

Selain adanya Hak Ulayat Adat, nelayan di Teluk Bintuni sudah mengetahui adanya lokasi penambangan

gas alam (di bagian mulut teluk) dan lokasi Cagar Alam Teluk Bintuni (di bagian ujung timur teluk). Terutama

nelayan Kampung Sido Makmur yang memiliki wilayah tangkap di sekitar lokasi penambangan. Mereka sudah

mengetahui peraturan yang melarang aktivitas penangkapan udang pada radius 500 meter dari tiap rig. Sejak

saat itu, nelayan Kampung Sido Makmur mulai melengkapi peralatan memancing mereka dengan alat bantu GPS.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 63


Sedangkan nelayan Kampung Banjar Ausoy dan Kampung Nelayan, yang mencari ikan di sungai-sungai kawasan

cagar alam, diperbolehkan melakukan aktivitas penangkapan selama tidak menggunakan alat tangkap merusak

dan tidak memburu spesies terestrial yang dilindungi.

5.3.5 Pengguna Sumber Daya Laut

Pemanfaatan sumber daya laut di perairan Kabupaten Teluk Bintuni umumnya didominasi oleh kegiatan

perikanan oleh masyarakat pesisir kawasan Teluk Bintuni. Meskipun demikian, pemanfaatan sumber daya non

hayati (minyak dan gas) juga menjadi fokus industri yang berpotensi menyebabkan terjadinya konflik

pemanfaatan pengguna sumber daya dalam waktu yang bersamaan. Pemanfaatan sumber daya perikanan

dilakukan dalam skala kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat setempat ataupun untuk

dijual kepada pembeli yang kemudian diperdagangkan kembali di Kabupaten Teluk Bintuni bahkan sampai ke

luar daerah.

Untuk memaksimalkan nilai tambah bagi nelayan setempat, udang dan kepiting sebagai komoditas utama

umumnya dijual kepada perusahan pengekspor udang yang memiliki sarana dan prasarana pengepakan dan

pengawetan udang, baik di Bintuni maupun Kota Sorong. Selain udang dan kepiting, nelayan pemancing “kakap

Cina” juga merupakan pengguna sumber daya laut di Kabupaten Teluk Bintuni. Mereka melihat potensi nilai jual

ikan kakap yang sangat tinggi. Penjualan gelembung renang ikan conggek saat ini dapat mencapai harga hingga

puluhan juta rupiah per kilogramnya. Para pemancing ikan conggek ini umumnya berasal dari Sulawesi Tenggara

dan Sulawesi Selatan yang sudah bermukim dan menetap di Kabupaten Teluk Bintuni.

Pengguna sumber daya penting lainnya adalah nelayan kepiting. Nelayan kepiting umumnya berasal dari

luar daerah Papua yang saat ini sudah menetap dan menjadi bagian dari masyarakat di Kabupaten Teluk Bintuni.

Di wilayah pesisir utara Teluk Bintuni, aktivitas penangkapan kepiting umumnya dilakukan oleh masyarakat

nelayan yang ada di Kota Bintuni, kampung nelayan (RT1, RW3), dan nelayan yang ada di wilayah Distrik

Manimeri. Di wilayah pesisir Selatan, nelayan kepiting umumnya berada di Kampung Wimro dan Kampung

Modan serta Kampung Nuse di Distrik Babo. Nelayan kepiting di Kampung Wimro juga merupakan sebagian

dari para pekerja yang sebelumnya menjadi karyawan perusahan udang Bintuni Mina Raya yang berada di

Kampung Wimro.

Perairan Teluk Bintuni didominasi oleh pengaruh ekosistem hutan bakau dengan sejumlah besar sungai

yang bermuara di teluk sehingga memiliki karakterik salinitas yang lebih rendah dari perairan umum lainnya.

Perairan ini juga pada waktu-waktu tertentu sering menjadi lokasi penangkapan ikan kembung (Rastrelliger sp.).

Ikan kemung merupakan ikan pelagis kecil yang bergerombol dalam jumlah yang besar sehingga metode

penangkapannya umumnya dilakukan dengan menggunakan jaring cincin (purse seine). Sejumlah nelayan (purse

seine) dari luar Teluk Bintuni datang melakukan penangkapan ikan kembung pada periode sekitar bulan

September hingga bulan Maret, sejalan dengan berlangsungnya musim penangkapan ikan kembung di sekitar

perairan Teluk Bintuni. Nelayan ikan kembung yang bermukim di Bintuni pada dasarnya merupakan nelayan

yang memanfaatkan telur ikan terbang di musim yang berlawanan dengan musim tangkap ikan lema. Lokasi

penangkapan telur ikan terbang dilakukan pada sekitar wilayah perairan Arafura, terutama di wilayah Kabupaten

Fakfak.

Pemanfaatan sumber daya perikanan yang sangat intensif sebelumnya berlangsung di kawasan Teluk

Bintuni dalam pemanfaatan sumber daya udang pada periode tahun 1970-an hingga sekitar tahun 2010-an.

Perusahan-perusahan perikanan dengan armada kapal trawl melakukan aktivitas penangkapan di wilayah ini

dengan mendatangkan pekerja dari luar daerah lewat program transmigrasi nelayan seperti di Kampung Wimro

dan RKI (Rumah Kayu Indonesia) Sidomakmur. Pemanfaatan udang skala industri saat ini sudah berhenti dengan

dikeluarkannya moratorium armada penangkapan trawl oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan

Menteri No. 56 Tahun 2014.

Dengan berakhirnya operasi penangkapan udang dengan kapal trawl di kawasan Teluk Bintuni,

pemanfaatan udang berskala kecil dilanjutkan oleh para pekerja di perusahan perikanan yang kehilangan

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 64


pekerjaan. Para pekerja yang umumnya transmigran yang kehilangan pekerjaan tersebut selanjutnya menjadi

pengguna sumber daya langsung dengan mengusahakan armada penangkapan skala kecil menggunakan perahu

jolor serta jaring udang untuk mengumpulkan udang dari sekitar lokasi penangkapan di wilayah Teluk Bintuni.

Bagi masyarakat setempat yang merupakan suku asli Papua, usaha penangkapan udang ini juga dipelajari dan

dijadikan mata pencaharian utama terutama bagi masyarakat pesisir asli Papua yang bermukim di Desa Taroi

dan di wilayah lainnya di kawasan Teluk Bintuni.

Di sisi lain, pengguna sumber daya laut non-hayati (minyak dan gas), perusahan migas international,

British Petroleum (BP) menjadikan kawasan Teluk Bintuni sebagai lokasi utama untuk eksplorasi LNG melalui

anak perusahaaannya BP Tangguh. BP Tangguh mengoperasikan 2 train lepas pantai dan 1 train lainnya dalam

tahap konstruksi. Perusahan migas lainnya yang sedang mengupayakan pemanfaatan gas alam adalah Genting

Oil, perusahan migas berbasis di Malaysia yang saat ini sedang melakukan tahapan akhir eksplorasi.

Pembuatan Kebijakan Pemanfaatan Sumber Daya Laut

Sistem pemanfaatan potensi sumber daya terutama di wilayah pesisir dan laut Kabupaten Teluk Bintuni

menganut konsep property right. Konsep tersebut mengandung unsur-unsur hak ulayat baik di wilayah daratan

maupun laut. Masyarakat di kampung pesisir mempunyai batas yuridiksi hak ulayat laut dengan batas-batas

horizontal tanda-tanda alam seperti sungai, tanjung dan pohon besar. Di samping itu, menurut (Yulianto, 2008)

batas yuridiksi wilayah laut juga ditentukan berdasarkan kemampuan nelayan dalam mencapai lokasi tangkap

dengan catatan bahwa penggunaan armada tangkap yang tradisional dan alat tangkap yang sederhana. Masingmasing

marga memiliki hak ulayat di wilayah tersebut yang dapat dimanfaatkan secara bersama.

Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya laut oleh pihak luar di wilayah hak ulayat marga tertentu

harus memperoleh izin atau perjanjian dan memberikan kompensasi atas penggunaan hak ulayat tersebut.

Perjanjian tersebut dilakukan antara calon pengguna sumber daya dengan pemilik wilayah (hak ulayat). Dari hasil

survei di Kabupaten Teluk Bintuni pada kampung pesisir target, sistem perizinan penggunaan wilayah terbagi

dua, yaitu perizinan untuk wilayah tangkap (fishing ground) dan untuk pendaratan hasil perikanan/penyandaran

kapal/penambatan perahu. Misalnya, pengguna sumber daya di Kampung Banjar Ausoy untuk mendaratkan hasil

tangkapan perikanan di pelabuhan/dermaga harus memperoleh izin dari pemilik wilayah, seperti marga Vimbay,

Yetu, dan Iba. Sedangkan wilayah tangkap harus memperoleh izin pada marga Manubbui dan Maboro. Sistem

perizinan dapat berupa perjanjian dan atau pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan tertentu. Ketentuan

tersebut seperti pembayaran pada wilayah tangkap berdasarkan target lokasi penangkapan yang dibayar per

kelompok atau per perahu.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 65


Gambar 5-11 Mekanisme Penambatan Perahu Nelayan Tangkap dan Nelayan Pengepul Komoditas Udang di K.

Sidomakmur Distrik Aroba Kabupaten Teluk Bintuni

Sedangkan pada level pemerintah dilakukan perizinan hanya pada kategori kapal dengan ukuran >10

GT. Namun semenjak adanya UU 23 Tahun 2014 yang menjelaskan kewenangan pemerintah provinsi terhadap

pengelolaan wilayah laut, sebagian besar perizinan dilakukan di pemerintah provinsi melalui Dinas Perizinan

Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Barat dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua Barat. Untuk itu,

peran pemerintah daerah kabupaten dalam proses pengambilan keputusan, misalnya sistem perizinan SIUP/SIPI

dan seterusnya dilakukan oleh provinsi.

Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Laut

Konflik pemanfaatan sumber daya laut di Kawasan Teluk Bintuni merupakan isu penting saat ini. Adanya

keluhan dari pengguna sumber daya, terutama nelayan udang dan nelayan ikan conggek dengan pemanfaatan gas

alam oleh perusahan BP Tangguh menjadi indikasi adanya ketegangan. Meskipun belum terjadi konflik terbuka

antarpengguna tersebut. Masing-masing mengklaim bahwa wilayah pemanfaatan mereka terganggu oleh

aktivitas. Nelayan udang dan ikan conggek merasakan bahwa aktivitas mereka terganggu oleh aktivitas kapalkapal

perusahan BP Tangguh yang lalu-lalang di perairan sekitar lokasi penangkapan udang dan kakap Cina.

Sebaliknya, BP tangguh juga mengeluhkan bahwa aktivitas olah gerak kapal serta keberadaan train lepas pantai

terganggu oleh aktivitas nelayan lokal. Terlebih, dalam wawancara bersama masyarakat nelayan udang di RKI,

terungkap bahwa aktivitas seismik saat operasi eksplorasi migas menyebabkan gangguan akustik yang berpotensi

menggangu produktivitas sumber daya perikanan, khususnya udang di sekitar perairan Teluk Bintuni. Dengan

demikian, penelitian mendalam terkait dampak operasi seismik saat explorasi migas terhadap keberadaan udang

dan hasil tangkapan perlu dilakukan.

Konflik pemanfaatan nyata yang terjadi saat ini adalah aktivitas konstruksi train 3 BP Tangguh di sekitar

perairan kampung Taroi mengharuskan nelayan udang dan kakap Cina menghindari lokasi sekitar lalu lalangnya

kapal perusahan. Bagi BP tangguh, himbauan ini disampaikan agar kecelakaan tabrakan kapal dengan nelayan

dapat dihindari. Namun bagi nelayan, lokasi utama penangkapan ikan conggek dan udang yang produktif telah

tereliminasi oleh adanya aktivitas olah gerak kapal perusahan.

Konflik pemanfaatan sumber daya juga terjadi pada nelayan asli Papua dan nelayan kepiting serta nelayan

udang yang melakukan aktivitas hingga jauh memasuki wilayah sungai. Nelayan asli suku Kuri mengeluhkan

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 66


bahwa nelayan jaring dari wilayah Kota Bintuni dan Babo sudah meresahkan masyarakat di wilayah ulayat Suku

Kuri. Mereka menginginkan agar pemerintah maupun adat mengatur wilayah penangkapan yang membolehkan

nelayan dari luar untuk menangkap ikan hingga di muara-muara sungai saja dan tidak masuk jauh hingga ke

wilayah hulu.

Sejauh pengamatan selama survei ini, tidak terlihat adanya konflik pemanfaatan antara aktivitas

penangkapan nelayan dengan aktivitas transportasi laut yang menggunakan jalur-jalur pelayaran. Kondisi ramburambu

lalu lintas pelayaran di dalam sungai sepertinya berpotensi menyebabkan konflik antara kapal-kapal

penumpang dan masyarakat umum yang menggunakan transportasi perahu kecil. Kondisi jalur yang berkelokkelok

menuntut kehati-hatian pengendara transportasi laut, baik kapal penumpang maupun perahu masyarakat.

Konflik pemanfaatan sumber daya laut sering terjadi di berbagai lokasi yang memiliki potensi sumber

daya yang menjadi target para pengguna, baik nelayan, pihak swasta, masyarakat adat, pelaku transportasi laut,

sektor pariwisata, dan lain sebagainya. Meminimalkan konflik dalam pemanfaatan sumber daya laut di perairan

Teluk Bintuni merupakan tantangan pengelolaan yang nyata yang memerlukan pendekatan komprehensif guna

terwujudnya keadilan dan jaminan terhadap pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 67


Referensi

Ainsworth, C. H., Pitcher, T. J. & Rotinsulu, C., 2008. Evidence of fishery Depletions and Shifting Cognitive

Baselines in Eastern Indonesia. Biological Conservation, 141(3), pp. 848-859.

Anon., 2016. Peta Rencana Penawaran WK 2016 dan Wilayah Kerja Aktif Migas di Papua Barat., Jakarta:

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Direktorat Pembinaan Usaha Hulu Migas.

Bawole, R. dkk. 2008. Sumber Daya Perikanan Teluk Bintuni Papua; Potensi, Masalah, dan Upaya

Pengelolaan. Prosiding Konferensi Nasional VI Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan, pp. 823-838.

Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Kementerian Kehutanan 2015. Daftar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam (IUPHHK-

HA). Diakses dari: http://kph.menlhk.go.id/pemanfaatan/

[Diakses pada 17 Oktober 2017].

Mangubhai, S. dkk. 2012. Papuan Bird’s Head Seascape: Emerging Threats And Challenges In The Global

Center of Marine Biodiversity. Marine Pollution Bulletin.

Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-

Metode Baru. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia .

Sri Nurani Kartikasari, Andrew J. Marshall, Bruce Beehler. 2012. Ekologi Papua. Jakarta: Yayasan Pustaka

Obor Indonesia dan Conservation International.

Sugiono, 2011. Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif dan R & B, Bandung. Bandung: Alfabeta.

Torre-Castro, M. D., 2012. Governance For Sustainability: Insights From Marine Resource Use In A Tropical

Setting In The Western Indian Ocean. Coastal Management, pp. 612-633.

Yulianto, G., 2008. Kajian Kelembagaan Hak Ulayat Laut di Desa-Desa Pesisir Teluk Bintuni. Buletin Ekonomi

Perikanan, Volume VIII.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 68


VI.

PELUANG DAN TANTANGAN

Papua Barat mendeklarasikan diri sebagai Provinsi Konservasi pada tahun 2015. Perwujudan konsep

Provinsi onservasi ini dapat dilihat dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (RANPERDASUS)

Tahun 2015 tentang Provinsi Konservasi. Sejalan dengan konsep tersebut, pemerintah Papua Barat

berkomitmen untuk menambah dan memperkuat pengelolaan kawasan konservasi perairan di wilayah Papua

Barat. Salah satunya adalah inisiasi kawasan konservasi perairan di Teluk Bintuni.

Berdasarkan hasil survei data dasar ekologi, perikanan, dan sosial ekonomi yang dilakukan pada bulan

September 2017, terdapat berbagai faktor internal & eksternal yang dapat mempengaruhi strategi

pengembangan kawasan konservasi perairan baru di Kab. Teluk Bintuni. Penjabaran berbagai faktor tersebut

adalah sebagai berikut:

Faktor Internal

Kekuatan (+):

Keanekaragaman hayati ekosistem pesisir Teluk Bintuni cukup tinggi, dimana terdapat 25 spesies

mangrove (21 species mangrove sejati dan 4 species mangrove asosiasi) dari 52 spesies mangrove di Papua

Barat. Luasan kawasan ekosistem mangrove di Teluk Bintuni sebesar 260.289 Ha, yang merupakan 8,92% dari

total luas mangrove di Indonesia. Selain itu, sering dijumpai spesies penting yang terancam punah dan dilindungi,

seperti hiu, pari, lumba-lumba, penyu dan jenis burung laut.

Kabupaten Teluk Bintuni merupakan daerah asuhan (nursery ground) bagi berbagai komoditas perikanan

yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti udang, kepiting dan jenis ikan lainnya. Adanya sistem pemanfaatan

sumber daya laut melalui mekanisme perijinan hak ulayat di Teluk Bintuni membuat pemanfaatan potensi

perikanan pada wilayah ruang laut dapat terkendali.

Produksi perikanan tangkap di Teluk Bintuni mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun

2016, jumlah produksi perikanan tangkap di Teluk Bintuni sebesar 2.764 ton, meningkat signifikan dari produksi

perikanan tangkap tahun 2012 yang sebesar 2.261 ton (Buku Statistik Perikanan Tangkap Tahun 2016, Dinas

Kelautan dan Perikanan Propinsi Papua Barat). Komoditas perikanan udang dan kepiting dari Kabupaten Teluk

Bintuni memiliki kualitas yang cukup tinggi untuk menembus pasar ekspor ke mancanegara.

Saat ini terdapat berbagai kelompok nelayan setempat yang melakukan aktivitas penangkapan ikan

secara tradisional di wilayah perairan Teluk Bintuni. Keberadaan berbagai kelompok nelayan tersebut menjadi

modal awal yang paling baik untuk memulai implementasi pengembangan program perbaikan perikanan dan

inisiasi MPA baru di Teluk Bintuni.

Kelemahan (-):

Kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan

di Teluk Bintuni masih rendah. Hal ini diindikasikan dengan pemanfaatan hasil tangkapan yang belum optimal,

pemanfaatan hutan mangrove yang belum terkendali, dan maraknya aktivitas pencemaran di lingkungan pesisir

terutama dari pembuangan limbah domestik.

Pada beberapa wilayah tertentu, inovasi untuk penambahan nilai atau diversifikasi produk perikanan

dan hasil laut lain masih tergolong rendah sehingga mempengaruhi rendahnya alternatif pendapatan tambahan

bagi nelayan. Hal ini umumnya terjadi di sebagian besar kampung yang tidak secara langsung mendapat bantuan

dari pihak swasta. Rendahnya kapasitas pengelola sumber daya pesisir menyebabkan belum optimalnya

pengaturan pemanfaatan wilayah pesisir. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai peraturan perlindungan

spesies langka, terancam punah dan dilindungi menyebabkan masih terjadinya pemanfaatan terhadap spesiesspesies

tersebut.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 69


Faktor External

Peluang (+):

Kabupaten Teluk Bintuni memiliki aksesibilitas yang semakin baik dengan tersedianya transportasi darat,

laut dan udara. Situasi tersebut didukung dengan tersedianya sarana dan prasarana seperti pelabuhan, bandar

udara dan infrastruktur jalan raya yang memadai. Dukungan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) 7 Suku Besar di

Kabupaten Teluk Bintuni terhadap pembentukan kawasan konservasi perairan baru cukup positif. Hal ini terlihat

melalui keterlibatan aktif LMA dalam proses inisiasi dan persiapan deklarasi adat untuk pencadangan kawasan

konservasi perairan di Teluk Bintuni.

Saat ini terdapat pengelolaan kawasan pesisir di Kabupaten Teluk Bintuni yang berupa Hutan Lindung

dan Cagar Alam Teluk Bintuni. Keberadaaan kawasan-kawasan tersebut dapat mendorong pengelolaan wilayah

perairan sekitar sehingga pengelolaan kawasan komprehensif yang memiliki keterkaitan ekologis, sosial dan

budaya dapat terwujud.

Ancaman (-):

Teluk Bintuni termasuk dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yaitu kawasan industri

strategis untuk minyak dan gas serta industri pengolahan hasil hutan. Saat ini di Teluk Bintuni telah beroperasi

perusahaan gas BP Tangguh yang melakukan eksplorasi gas alam cair (LNG) dalam skala besar. Selain itu,

pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendorong

terbentuknya industri smelter dan petrokimia di Teluk Bintuni. Hal ini dapat menjadi ancaman apabila bentuk

pemanfaatan kawasan industri tersebut tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dan sumber daya yang

ada. Pemanfaatan sumber daya perikanan yang tidak berkelanjutan dapat mempengaruhi ketersedian stok

sumber daya ikan. Penangkapan yang dilakukan secara terus menerus dan masif pada area tertentu

menyebabkan menurunnya jumlah tangkapan nelayan dari waktu ke waktu.

Eksploitasi ekosistem mangrove seperti pemanfaatan oleh pihak swasta pada skala besar untuk industri

kertas dan kayu olahan menyebabkan degradasi fungsi ekosistem mangrove. Selain itu, terdapat alih fungsi lahan

mangrove untuk pengembangan kawasan pemukiman dan perluasan kota yang menyebabkan berkurangnya

tutupan vegetasi mangrove secara signifikan. Pembuangan limbah domestik ke laut seperti limbah rumah tangga,

limbah yang berasal dari aktivitas pelayaran dan perikanan tangkap (pembuangan jaring bekas) berdampak pada

menurunnya kualitas sanitasi, perairan dan nilai estetika.

Rekomendasi Strategi Pengelolaan

1. Inisiasi kawasan konservasi perairan untuk keberlanjutan sumber daya perikanan dan pelayanan

ekosistem di Teluk Bintuni yang melibatkan pihak pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat.

2. Pengaturan pemanfaatan sumber daya perikanan melalui strategi pemanfaatan (harvest strategy) yang

didukung oleh kelembagaan pengelola yang memadai.

3. Penyusunan regulasi/kebijakan dalam mendukung pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya secara

terpadu serta berkelanjutan.

4. Peningkatan kapasitas pengelola sumber daya pesisir dan perikanan untuk memastikan pemanfaatan

yang optimal.

5. Peningkatan kesadartahuan dan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber

daya pesisir dan perikanan secara lestari.

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 70


LAMPIRAN

Lampiran Status Ekologi

Lampiran 1. Kerapatan Pohon Mangrove di Setiap Stasiun Pengamatan Teluk Bintuni

Stasiun Lokasi Kerapatan (Ind/ha)

1 Muara Bintuni 1440

2 Tomu 920

3 Sungai Taberai 520

4 Pulau Asap 840

5 Sungai Tifa 1000

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 71


Lampiran 2. Data Pohon Mangrove di Setiap Stasiun Pengamatan Teluk Bintuni

Stasiun

1

2

3

4

5

Kerapatan

Relatif

Frekuensi

Relatif

Dominasi

Relatif

Indeks

Nilai

Penting

Kerapatan

Frekuensi

Dominasi

Jenis

K (Ind/ha) Kr (%) F Fr (%)

D

(Ind/m 2 )

Dr (%) INP (%)

B.

gymnorrhiza

360 25,00 100 38,46 29,19 22,07 85,54

B. hainessii 20 1,39 20 7,69 0,40 0,30 9,39

R. apiculata 1000 69,44 100 38,46 100,00 75,61 183,52

B. sexangula 60 4,17 40 15,38 2,66 2,01 21,56

B.

gymnorrhiza

140 15,22 60 25,00 45,18 54,01 94,23

B. parviflora 660 71,74 60 25,00 24,03 28,72 125,46

B. sexangula 60 6,52 60 25,00 3,96 4,73 36,25

R. apiculata 40 4,35 40 16,67 5,74 6,86 27,87

X. moluccensis 20 2,17 20 8,33 4,75 5,68 16,18

B. gymnorhiza 20 3,85 20 7,69 2,51 6,18 17,72

R. apiculata 120 23,08 80 30,77 17,22 42,38 96,23

X. granatum 200 38,46 100 38,46 11,39 28,03 104,95

X. moluccensis 180 34,62 60 23,08 9,51 23,41 81,10

B. gymnorhiza 40 4,76 20 8,33 0,63 1,02 14,12

B. parviflora 100 11,90 60 25,00 7,15 11,63 48,54

C. tagal 160 19,05 40 16,67 11,64 18,94 54,66

R. apiculata 520 61,90 100 41,67 40,11 65,27 168,84

X. moluccensis 20 2,38 20 8,33 1,92 3,13 13,84

A.

eucalyptifolia

260 26,00 100 38,46 24,66 26,26 90,72

R. apiculata 480 48,00 80 30,77 42,64 45,40 124,17

R. mucronata 120 12,00 60 23,08 15,83 16,85 51,93

S. alba 140 14,00 20 7,69 10,80 11,50 33,19

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 72


Lampiran 3. Data Pancang Mangrove di Setiap Stasiun Pengamatan Teluk Bintuni

Stasiun Jenis Kerapatan Kerapatan

Relatif

Frekuensi Frekuensi

Relatif

Indeks Nilai

Penting

K

Kr (%) F Fr (%) INP (%)

(Ind/ha)

1 B. gymnorhiza 240 6,52 240 25 31,52

B. hainessii 80 2,17 80 8,33 10,51

C. decandra 560 15,22 80 8,33 23,55

R. apiculata 2080 56,52 320 33,33 89,86

R. mucronata 560 15,22 80 8,33 23,55

X. granatum 160 4,35 160 16,67 21,01

2 B. parviflora 240 20 160 33,33 53,33

B. gymnorhiza 240 20 80 16,67 36,67

R. apiculata 720 60 240 50 110

3 B. sexangula 80 2,7 80 16,67 19,37

X. granatum 2640 89,19 320 66,67 155,86

X. moluccensis 240 8,11 80 16,67 24,77

4 B. gymnorhiza 240 3,7 80 7,69 11,4

B. parviflora 400 6,17 160 15,38 21,56

C. decandra 240 3,7 80 7,69 11,4

C. tagal 400 6,17 240 23,08 29,25

R. apiculata 5120 79,01 400 38,46 117,47

X. moluccensis 80 1,23 80 7,69 8,93

5 B. gymnorhiza 80 12,5 80 20 32,5

B. parviflora 80 12,5 80 20 32,5

R. apiculata 160 25 160 40 65

R. mucronata 320 50 80 20 70

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 73


Lampiran 4. Data Semai Mangrove di Setiap Stasiun Pengamatan Teluk Bintuni

Stasiun

1

2

3

4

5

Kerapatan

Frekuensi Indeks Nilai

Kerapatan

Frekuensi

Jenis

Relatif

Relatif

Penting

K (Ind/ha) Kr (%) F Fr (%) INP (%)

B. gymnorhiza 10000 32,79 1500 25 57,79

B. hainessii 2000 6,56 500 8,33 14,89

B. sexangula 2000 6,56 1000 16,67 23,22

C. decandra 3000 9,84 500 8,33 18,17

R. apiculata 10500 34,43 1500 25 59,43

R. mucronata 2500 8,2 500 8,33 16,53

X. moluccensis 500 1,64 500 8,33 9,97

B. gymnorhiza 24500 57,65 1500 42,86 100,5

B. parviflora 10500 24,71 1000 28,57 53,28

R. apiculata 7500 17,65 1000 28,57 46,22

R. apiculata 8500 65,38 2000 40 105,38

X. granatum 2500 19,23 1500 30 49,23

X. moluccensis 2000 15,38 1500 30 45,38

B. gymnorhiza 10000 12,63 1500 23,08 35,71

B. parviflora 5833 7,37 1500 23,08 30,45

C. tagal 51667 65,26 1500 23,08 88,34

R. apiculata 9167 11,58 1000 15,38 26,96

X. moluccensis 2500 3,16 1000 15,38 18,54

B. gymnorhiza 500 2,33 500 10 12,33

R. apiculata 2500 11,63 1500 30 41,63

R. mucronata 17000 79,07 2000 40 119,07

X. moluccensis 1500 6,98 1000 20 26,98

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 74


Lampiran 5. Keanekaragaman, Kekayaan, dan Kemerataan Biota Asosiasi

Stasiun Lokasi N S

Keanekaragaman Kekayaan Kemerataan

H' R E'

1 Muara bintuni 77 11 1,85 2,30 0,77

2 Pulau Asap 93 11 2,01 2,21 0,84

3 Sungai Teberai 37 7 1,65 1,66 0,85

4 Sungai Tifa 68 10 1,67 2,13 0,73

5 Tomu 112 8 1,43 1,48 0,69

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 75


Lampiran Pemanfaataan Sumber Daya Laut

Lampiran 6. Pembagian Hak Ulayat dan Jumlah Retribusi yang Harus Dibayar

Asal Nelayan

Kampung Banjar

Ausoy-Distrik Bintuni

Kampung Nelayan

Kampung Taroi-Distrik

Taroi

Kampung Sido

Makmur-RKI

Kampung Modan-

Distrik Babo

Lokasi

Penangkapan

Distrik Wamesa

1. Sungai Tifra

2. Sungai

Tugurama

Distrik Taroi

1. Distrik Taroi

2. Tanjung Asap

3. Distrik Sumuri

1. Distrik Babo

2. Distrik Kaitaro

3. Tanjung Asap

Hak Ulayat

Marga Dianaisiobona,

Boren, Kabok, Kodai,

Kurwari, dan

Masimusi

1. Suku Kuri-Distrik

Kuri

2. Suku Kaitaro

Suku Sebyar-Distrik

Taroi

1. Suku Sebyar-Distrik

Taroi

2. Suku Irarutu-

Tanjung Asap

3. Suku Sumuri-Distrik

Sumuri

1. Suku Irarutu-Distrik

Babo

2. Suku Irarutu-Distrik

Kaitaro

3. Suku Irarutu-

Tanjung Asap

Retribusi

Rp 500.000 - Rp 600.000

per bulan untuk tiap

kelompok nelayan.

1. Rp 600.000 per konda

(15 hari) untuk tiap

perahu.

2. Rp 600.000 per konda

(15 hari) untuk tiap

perahu.

Rp 600.000 per konda

(15 hari) untuk tiap

perahu.

1. Rp 600.000 per konda

(15 hari) untuk tiap

perahu

2. Rp 60.000.000 per

tahun (jumlah iuran

dibagi sesuai dengan

jumlah nelayan yang

melakukan aktivitas

penangkapan di wilayah

tersebut)

3. (belum diketahui)

1. Rp 500.000 per konda

(15 hari) untuk tiap

perahu

2. (belum diketahui)

3. Rp 60.000.000 per

tahun (jumlah iuran

dibagi sesuai dengan

jumlah nelayan yang

melakukan aktivitas

penangkapan di wilayah

tersebut)

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 76


Lampiran Indikator Pemantauan Kerja (PMI)

INDIKATOR SA

untuk PMI

SA1.1:

Behavior

Change

Unit

Jumlah orang atau %

anggota masyarakat yang

disurvei sadar & terlibat

dalam upaya konservasi

0 orang

Papua Barat|Kabupaten Teluk Bintuni

Catatan:

> Bantuan USG baru dimulai pada Mei 2017.

> Diperkirakan 6.719 orang hidup di desa-desa

nelayan di Teluk Bintuni.

SA2.1a Hektar

EAFM (di

bawah FMP)

SA2.1b Hektar

KKP

SA2.1c Hektar

MSP

Area (ha) yang dinilai

menggunakan EAFM

Nilai EAFM dari Area

tersebut (per domain dan

agregat)

Area (ha) yang dinilai

menggunakan EKKP3K

Nilai EKKP3K dari Area

tersebut (% per level)

Area (ha) KKP baru

Area (ha) yang termasuk

RZWP3K

Status RZWP3K

Belum ada

Belum ada

Belum ada

Belum ada

Belum ada

Belum ada

Belum ada

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 77


% Tutupan Mangrove

(Data Ekologi Mangrove Teluk Bintuni 2017)

- Total transek: 5 Transek

% Mangrove

- Area survei mangrove: 27,94 Ha

- Kerapatan: 4.720 ind/m 2

- Total Spesies: 25

SA2.2

Peningkatan

Biofisik:

Tutupan

Mangrove,

Kelimpahan

Ikan, Ukuran

Ikan/Biomassa

Kelimpahan Ikan (ind/ha)

Parameter biologi lain

Belum ada

(Data Ekologi Mangrove Sorong Selatan 2017)

Biota Asosiasi:

• Talescopium sp

• Uca sp

• Solenopsis sp

• Periothalamus sp

• Crab Juvenile

• Nerita sp

SA 2.3 # Kapal

yang Terdaftar

Wilayah Zona KKP

Jumlah armada kapal yang

terdaftar/punya izin

(armada kecil & menengah)

Hingga Agustus 2017, KKP dan zona-zonanya

belum ditentukan

0 Kapal yang terdaftar

Nelayan menggunakan mesin kecil (15 PK)

untuk menangkap ikan

(Data Perikanan Sorong Selatan 2017)

SA2.4 CPUE

Kg/Hari/Alat

per lokasi

Jenis alat tangkap yang

disurvei

> Rawai dasar (Kakap putih)

> Jaring insang besar (Kakap Putih)

> Trammel net (Udang)

> Bubu (Kepiting rawa)

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 78


Produksi kepiting di Banjar Ausoy- Distrik

Bintuni:

2015

> Jan: 20.283 kg/trip

> Feb: 31.79 kg/trip

> Mar: 30.744 kg/trip

> Apr: 22.494 kg/trip

> May: 25.103 kg/trip

> Jun: 27.786 kg/trip

> Jul: 14.453 kg/trip

> Aug: -

> Sep: 14.49 kg/trip

> Oct: 24.55 kg/trip

> Nov: 28.203 kg/trip

> Dec: 25.102 kg/trip

CPUE data untuk alat

tangkap (kg/trip)

2016

> Jan: 22.435 kg/trip

> Feb: 18.574 kg/trip

> Mar: 14.536 kg/trip

> Apr: 16.77 kg/trip

> May: 21.615 kg/trip

> Jun: 12.672 kg/trip

> Jul: -

> Aug:

> Sep: 13.095 kg/trip

> Oct: 29.42 kg/trip

> Nov: -

> Dec: 10.889 kg/trip

2017

> Jan: 20.475 kg/trip

> Feb: 11.3 kg/trip

> Apr: 8.978 kg/trip

Produksi bulanan udang di Desa Sidomakmur:

2016

> Sep: 17.655 kg/trip

> Oct: 22.579 kg/trip

> Nov: 31.593 kg/trip

> Dec: 27.834 kg/trip

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 79


2017

> Jan: 26.294 kg/trip

> Feb: 21.696 kg/trip

> Mar: 21.2 kg/trip

> Apr: 21.857 kg/trip

(Data Perikanan Teluk Bintuni 2017)

SA2.5

Biomassa Ikan

Karang dalam

NTZ

SA 3.1 Kondisi

Ekonomi (10

Aset)

Spesies ikan target

Kelimpahan (ind/ha) &

Biomassa Ikan (kg/ha)

Jumlah orang yang disurvei

dalam Pendataan Sosial

Spesies target utama:

> Banana shrimp (Panaeus merguiensis)

> Endeavour shrimp (Metapenaeus ensis)

> Indo-Pacific swamp crab (Scylla oceanica)

> Blackspotted croaker (Protonibea

diacanthus)

> Kakap putih (Lates calcalifer)

Belum ada

Data Sosial-Ekonomi Teluk Bintuni 2017;

> Total desa yang disurvei: 5

> Total rumah tangga yang disurvei: 91

Catatan:

> Intervensi MPA belum dilakukan

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 80


Data untuk Indikator Umum

Pendataan Sosial SEA

1. Alat rumah tangga (5 benda terbanyak):

> TV (98%), Listrik (91%), Kipas Angin (68%), Handphone

(60%), Smartphone (49%)

2. Material atap rumah (2 material terbanyak):

> Metal (96%), Papan (2%)

3. Material dinding rumah (3 material terbanyak):

> Kayu (79%), Semen (12%), Bata (9%)

4. Material lantai rumah:

> Kayu (66%), Semen (19%), Keramik (14%)

5. Jumlah ruangan rumah:

> Lebih dari 4 ruangan (48%), 3-4 ruangan (34%), 1-2

ruangan (18%)

6. Kepemilikan alat transportasi darat:

> Motor (46%)

7. Kepemilikan alat transportasi laut:

> Perahu mesin (56%)

8. Alat tangkap (3 alat terbanyak):

> Bubu (39%), Trammel Nets (30%), Rawai Dasar (13%)

9. Hewan ternak (3 binatang terbanyak):

> Unggas (89%), Kambing (7%), Sapi (4%)

10. Ladang (3 komoditi terbanyak):

> Buah-buahan (15%), Sayuran (8%), Padi (2%)

11. Akses menuju air bersih:

> Sumur pribadi/PAM (56%), Sumur bersama (18%),

Lainnya (8%)

12. Akses fasilitas sanitasi:

> Toilet pribadi (55%), Toilet umum (15%), Defekasi

terbuka (3%)

13. Kondisi Finansial:

Jumlah rumah tangga yang memiliki tabungan (40%),

Jumlah rumah tangga yang memiliki hutang/pinjaman

(13%), Jumlah keluarga yang memiliki asuransi (31%)

14. Jumlah rumah tangga yang tergabung menjadi

anggota koperasi (22%)

15. Bantuan pemerintah:

> Jumlah keluarga yang pernah menerima (31%)

16. Sumber pendapatan alternatif (2 sumber utama):

> Aktivitas perdagangan (11%), Buruh bangunan (3%)

SA 3.2

Leverage

Investasi

Aktivitas & luaran yang

bersumber dari pembiayaan

bersama dengan sumber

dana WWF lainnya

Tidak ada

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 81


Aktivitas & luaran yang

bersumber dari pembiayaan

bersama dengan organisasi

mitra (pemerintah, LSM lain,

dll)

Tidak ada

Jumlah pembiayaan

bersama

Tidak ada

Keberadaan sistem

pengelolaan sumber daya

lokal (hak milik, sasi, hak

ulayat, dll)

Informasi apakah sistem ini

telah dilegalisasi/disahkan

atau dalam bentuk tidak

tertulis

Hak ulayat laut hampir diterapkan diseluruh

desa survei. Namun peraturan tersebut belum

pernah dibakukan diatas kertas.

SA 3.3 Hak

Ulayat #

Masyarakat

Jumlah desa yang

melaksanakan sistem

pengelolaan sumber daya

lokal (hak milik, sasi, dll) di

wilayah yang disurvei

5 desa survei telah menerapkan sistem Hak

Ulayat Laut

Jumlah masyarakat

(individu) yang tinggal di

wilayah/terdampak dengan

sistem pengelolaan sumber

daya lokal

Kurang lebih 6.719 individu tinggal di kawasan

tersebut

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 82


SA 4.1

Peraturan dan

Kebijakan

Jumlah undangundang/kebijakan/peraturan

yang dikeluarkan karena

advokasi SEA Project

Tidak ada

SA 5.1 Orang

yang Dilatih

SA 5.2 Inovasi

SA5.3 Praktik

Penegakan

hukum # oleh

masyarakat

Jumlah peserta (dan rasio

gender) dalam pelatihan

yang diadakan SEA Project

Nilai peningkatan kapasitas

orang yang dilatih (Pre-test

vs Post-test)

Jumlah inovasi/teknologi

yang dikeluarkan WWF

dengan dukungan SEA

Project

Hasil penggunaan inovasi

tersebut

Jumlah peserta pada

pelatihan penegakan hukum

yang diadakan SEA – WWF

(Contoh: Wildlife Crime Unit,

Pokmaswas)

Penilaian performa pada

orang yang dilatih dalam

penegakan hukum

konservasi (Contoh: Wildlife

Crime Unit, Pokmaswas)

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 83


Jumlah kasus yang

diinvestigasi/diselesaikan

sebagai hasil intervensi dari

yang telah dilatih (tim WCU,

Pokmaswas, dll)

Tidak ada

Lampiran Dokumentasi

Dokumentasi survei dapat diakses melalui tautan berikut:

http://bit.ly/DokumentasiBaselineSurveiTelukBintuni

Lampiran Data Hasil Observasi

Sumber data (ekologi, sosial, dan perikanan) yang diolah dalam laporan ini dapat diakses melalui

tautan berikut: http://bit.ly/CleannedDataBaselineSurveyTelukBintuni

Laporan Survei Data Dasar Teluk Bintuni 2017 | 84

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!