28.02.2020 Views

FUSE#2

FUSE is a bi-annual publication that documents the projects at Dance Nucleus .

FUSE is a bi-annual publication that documents the projects at Dance Nucleus .

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Element#2<br />

BAHASA KOREOGRAFI<br />

((PRAKTIK) SILAT DUDUK:<br />

MENELISIK (KE)MELAYU(AN)<br />

Melayu, Tari Melayu: Tiga Dimensi<br />

Keempat koreografer muda peserta element #2 mewakili kerumitan<br />

tafsir (Ke)Melayu(an) yang menghubungkan tiga noda kebudayaan di<br />

Asia Tenggara: Soultari Amin Farid dan Norhaizad Adam berasal dari<br />

Singapura, Mohd Fauzi bin Aminudin dari Kuala Lumpur dan Ayu<br />

Permata Sari yang asal Lampung tetapi menetap di Yogyakarta selama<br />

tujuh tahun terakhir.<br />

oleh Helly Minarti<br />

Konstelasinya begini: di Singapura, kaum Melayu adalah minoritas<br />

(vis-a-vis kaum keturunan https://www.amazon.com/Flow-Psychology-Experience-Perennial-Classics/dp/0061339202<br />

China yang mayoritas), sementara di<br />

Malaysia sebaliknya (Melayu mayoritas, China dan India minoritas). Di<br />

kedua negara ini, Melayu merujuk pada identitas rasial - dengan segala<br />

konsekuensi kebijakan diskriminatif dari negara - sementara di<br />

Indonesia, Melayu adalah satu diantara ratusan suku-bangsa (etnisitas)<br />

lainnya - sama sekali bukan identitas rasial, meski memang digolongkan<br />

ke dalam kategory yang problematis: pribumi.<br />

Secara geografis, Indonesia merujuk provinsi Riau, Kepulauan Riau<br />

(Kepri) dan Sumatra Utara (Deli, bukan bagian lainnya yang dihuni suku<br />

bangsa Batak), sebagai daerah utama asal suku-bangsa Melayu. Tetapi<br />

seperti juga telah diteliti oleh banyak ahli (Julianti Parani, diantaranya),<br />

suku-bangsa Melayu di Indonesia juga tersebar di pulau-pulau lainnya,<br />

seperti di pesisir Kalimantan, Sulawesi hingga kepulauan Maluku.<br />

Namun, meskipun suku bangsa minoritas, kedudukan suku Melayu unik<br />

di lanskap kebudayaan Indonesia, karena Bahasa Melayu menjadi<br />

dasar Bahasa Indonesia, bahasa nasional. Dengan suku Jawa (dengan<br />

segala keragaman di tataran lokalitasnya) sebagai mayoritas,<br />

menjadikan bahasa suku minoritas sebagai bahasa nasional adalah<br />

strategi yang ikut menyelamatkan Indonesia dari potensi konflik internal<br />

jika menjadikan Bahasa Jawa (bahasa sang mayoritas), sebagai bahasa<br />

nasional.<br />

Jika workshop dua hari oleh Benny menggunakan<br />

Minangkabau untuk mengontraskan perbedaan kultural<br />

dalam spektrum rumpun Melayu di Indonesia (di konteks<br />

kebudayaan tari Minangkabau, tari Melayu dianggap tari<br />

pendatang dan hanya sempat popular di kota-kota besar di<br />

tahun 1960an), maka ceramah Alfian tentang kilasan sejarah<br />

identitas Melayu di dalam praktik teater di Singapura (apa<br />

yang dilarang dan dianggap kurang ajar), menukik ke dalam<br />

arena praktik seni kekinian. Kilas balik ini memantik diskusi<br />

melingkar setelah ceramah, diantaranya seputar<br />

tegangan-tegangan yang ada diantara konstelasi di atas<br />

tentang identitas Ke-Melayu-an dan bagaimana<br />

mengartikulasikan strategi-strategi yang jitu untuk menavigasi<br />

politik-politik yang melekat di dalam (praktik) tari Melayu. Di<br />

bawah ini adalah catatan yang tercecer dari pertemuan,<br />

perbincangan serta rangkaian letupan anekdot di sana-sini<br />

yang ikut mewarnai:<br />

Garis Keturunan Artistik:<br />

Arsip Ketubuhan dan Aspirasi<br />

Menemukan Tubuh yang Kini<br />

Menelusuri proses belajar seseorang sebagai bagian dari lintasan<br />

(trajectory) personal hanyalah langkah awal dalam menyadari dan<br />

menerima bahwa tubuh tari yang kini didiami adalah warisan dari<br />

sebuah garis keturunan artistik yang disampaikan melalui transmisi<br />

tertentu dari modernitas. Di Singapura, transisi ini bisa berbasis<br />

komunitas (sanggar untuk menyebut istilah di Bahasa Indonesia)<br />

ataupun ruang edukatif lainnya - seperti kegiatan ekstra kurikuler di<br />

sekolah dan universitas di Singapura. Amin mendapuk Hasyima (yang<br />

bersama Norhaizad mendirikan Prisma), untuk mengurai lintasan<br />

perjalanannya belajar tari Melayu dari dua guru dari gaya yang berbeda,<br />

hingga proses penciptaan karyanya, Nak Dara, yang memantik diskusi<br />

diantara para guru tari Melayu di Singapura. Buat saya, penuturan<br />

Hasyima yang sarat refleksi diri bukan hanya ilustratif tetapi juga<br />

diskursif untuk bisa memahami konteks apa artinya menjadi anak muda<br />

Melayu di kota Singapura. Salah satunya adalah bagaimana berada di<br />

dalam posisi ketika menjadi proyeksi atau pantulan dari<br />

harapan-harapan sang guru, dan ketika kedua hal ini tak bertemu.<br />

17 18

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!