FUSE#2
FUSE is a bi-annual publication that documents the projects at Dance Nucleus .
FUSE is a bi-annual publication that documents the projects at Dance Nucleus .
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Element# 2<br />
BAHASA KOREOGRAFI<br />
(PRAKTIK) SILAT DUDUK:<br />
MENELISIK<br />
(KE)MELAYU(AN)<br />
https://www.youtube.com/watch?v=cbqvm1nvJD4<br />
https://www.youtube.com/watch?v=V21eCFIvr-w<br />
Istilah silat duduk diperkenalkan oleh Benny Krishnawardi<br />
yang saya undang untuk memberi workshop tentang gaya<br />
gerak Gumarang Sakti dasar yang diformulasikan oleh<br />
pendirinya, koreografer asal Minangkabau, Gusmiati Suid<br />
(1942-2001). Saya sengaja mengusulkan untuk<br />
mengundang Benny sebagai cara membuka percakapan<br />
tentang identitas Melayu - dan ketidak-Melayuan - di dalam<br />
tubuh-tari, garis keturunan (lineage) artistik serta<br />
perbedaan kultural tentang identitas Melayu di tiga konteks<br />
kenegaraan yang berbeda: Singapura, Malaysia dan<br />
Indonesia.<br />
Menurut Benny, silat duduk merujuk pada sesi informal<br />
dimana sang guru silat mengajak muridnya bicara tentang<br />
falsafah silat dan hakiki kehidupan, di dalam sasaran silat -<br />
tempat lapang di nagari (desa adat) Minangkabau dimana<br />
para pemuda sejatinya berlatih silat atau randai (teater<br />
tradisional). Biasanya, pembicaraan intim semacam ini<br />
ditujukan untuk murid yang dianggap sudah mendapat<br />
bekal cukup di dalam ilmu bela diri silat. Di dalam konteks<br />
Minangkabau, silat duduk adalah saat ketika percakapan<br />
tentang falsafah silat, adat yang mencakup etika<br />
kehidupan, terjalin. Silat duduk inilah yang akhirnya menjadi<br />
model alamiah bagi forum atau platform koreografik<br />
Bahasa Koreografi.<br />
oleh Helly Minarti<br />
Ketika Daniel Kok pertama kali mengutarakan gagasan<br />
tentang program element #2 tahun ini yang berfokus pada<br />
isu-isu seputar identitas serta praktik tari Melayu sebagai<br />
praktik transnasional di beberapa negara Asia Tenggara<br />
(utamanya Singapura, Malaysia dan Indonesia), saya<br />
merasa "dipaksa" menimbang ulang tentang pentingnya<br />
membawa identifikasi kultural di dalam praktik seni tari<br />
kontemporer. Awalnya, Daniel mengaku skeptikal tentang<br />
ini (".. saya koreografer kontemporer. Bukan koreografer<br />
Singapura atau China kontemporer"). Pandangan ini berubah<br />
ketika ia ikut menonton program Joget awal tahun ini di<br />
Esplanade Theatres on the Bay. Menyaksikan diskusi seru<br />
yang terpicu dari beberapa karya eksperimental dalam<br />
platform itu, terutamanya reaksi para tetua tari Melayu di<br />
Singapura atas beberapa karya yang dipentaskan, Daniel<br />
pun menangkap urgensi dalam membicarakan topik<br />
tentang tari Melayu sebagai sumber eksperimentasi tari<br />
kontemporer di Singapura.<br />
Ketika saya diundang untuk menjadi semacam 'mentor' https://www.youtube.com/watch?v=UDKVycVfouQ<br />
(sebutan yang pada<br />
awalnya saya keberatan menyandang, karena mengisyaratkan adanya hierarki<br />
pengetahuan), saya segera mensyaratkan keikutsertaan Alfian Sa'at sebagai<br />
semacam 'provokator' di dalam forum yang diberi tajuk begitu tepat oleh Daniel<br />
(yang ajaibnya, justru tidak bisa berbahasa Melayu): Bahasa Koreografi.<br />
Saya merasa kehadiran Alfian penting sebagai sosok interlocutor yang banyak<br />
mendiskusikan masalah tentang identitas ke-Melayuan di status Facebooknya<br />
yang rajin saya ikuti. Ketika politik di Jakarta akhir 2016 memanas dengan isu<br />
lama tentang identitas ke-Indonesia-an (pribumi versus non pribumi, kategori<br />
yang terakhir ini otomatis diidentifikasi sebagai warga negara Indonesia keturunan<br />
Tionghoa), saya sempat mengusulkan sebuah gagasan proyek artistik ke Alfian,<br />
meski kami belum sempat membahasnya kembali dikarenakan kesibukan<br />
masing-masing.<br />
15 16