EFEK DINANTI PAKET DIRACIK EFEK DINANTI

m-130-2015 m-130-2015

29.12.2015 Views

sumbang saran Paket Kebijakan Ekonomi Kabinet Kerja dalam Perspektif Publik Bagi negara-negara penganut sistem ekonomi nonsentralistik seperti Indonesia merupakan sebuah keniscayaan bahwa kita akan mengalami gelombang pasang surut pertumbuhan ekonomi beserta segala indikatornya, seperti kesempatan kerja, investasi, tabungan, tingkat suku bunga, dan besarnya anggaran negara. Selain itu, ada pula konsekuensi-konsekuensi dari perkembangan ekonomi dari masa sebelumnya yang turut juga berkontribusi menentukan posisi ekonomi saat ini. Keadaan inilah yang mula-mula menurut hemat penulis harus dipahami bersama bahwa kondisi ekonomi dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga bisa didapatkan standing position yang objektif dalam melakukan penilaian. Dalam tulisan ini kami akan mencoba untuk menelaah Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I-V yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dalam kurun waktu 2 bulan (Sep-Okt), dan bagaimana sambutan publik terhadap paket kebijakan ini. PERSEPSI PUBLIK ATAS PAKET KEBIJAKAN PEMERINTAH Kebijakan Paket pertama yang dikeluarkan awal September, awalnya dianggap mengecewakan publik karena tidak menyentuh persoalan jatuhnya nilai tukar rupiah yang mencapai angka Rp. 14.600/U$ Dolar dan IHSG yang bertengger di posisi 4.178. Sementara dalam paket kedua, pemerintah dianggap lambat untuk menahan laju pemutusan hubungan kerja, mengembalikan lagi usaha-usaha yang hampir kolaps. Biaya produksi, termasuk bahan baku impor yang kian mahal karena pelemahan rupiah serta biaya energi lantaran tarif dasar listrik dan elpiji terus naik. Pada fase ini banyak pengusaha yang memang lebih berharap pemerintah fokus pada sisi fiskal dan sisi operasional seperti tarif dasar listrik. Publik seperti terkejut dengan kebijakan paket I-II yang terlalu luas dan banyak, dan khawatir bahwa implementasi dilapangan berubah menjadi tidak efektif. Belajar dari pengalaman paket sebelumnya, kebijakan ekonomi terlihat menjadi khusus saja seperti yang ada dalam kebijakan III-V. Bagi pemerintah, paket I dan II lebih dipandang untuk menyediakan fasilitas kemudahan berusaha, dan baru akan terasa dampaknya pada jangka menengah dan jangka panjang. Sementara untuk paket ke III-V, pemerintah menjalankan resep kontra siklus, terutama menaikkan kemampuan belanja pekerja dan mereka yang berpenghasilan tetap terutama pada kelompok yang paling terdampak, antara lain menyuntik daya tahan ekonomi bagi perusahaan termasuk UMKM, dan membuka peluang lahirnya wirausahawan baru. Program kartu, dana desa dan dan yang menyentuh langsung masyarakat bawah dimasukkan dalam kategori ini. Dalam 3 paket di bulan Oktober ini, negara nampak berusaha untuk hadir dan memastikan bahwa penduduk miskin tidak kian tersingkir. Namun yang mungkin perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah bagaimana kelompok-kelompok terdampak yang menerima bantuan, mendaparkan pendampingan yang terstruktur dan programatis? Khususnya mengenai pengelolaan pinjaman (semisal KUR) dan pinjaman dari pihak yang lain agar meningkatkan kapasitas usahanya. Bagaimana pula mengelola hubungan-hubungan kerjasama antara misalnya pemilik kor­ 26 EDISI 130 TH. XLV, 2015

Oleh: Reni Suwarso, Ph.D, Direktur CEPP FISIP UI porasi pertanian/perkebunan dan kelompok-kelompok masyarakat yang bergerak di bidang yang sama. Beberapa pihak menilai paket berjiliid ini terlalu mengistimewakan swasta dan menganaktirikan BUMN yang menjadi salah satu penopang kekuatan ekonomi nasional. Jika kemudahan yang diperoleh swasta seperti pembelian minyak mentah yang termaktub dalam kebijakan ekonomi sebelumnya, tidak demikian dengan BUMN yang harus bersiasat dengan UU tentang BUMN, UU tentang Perseroan Terbatas dan program Corporate Social Responsibility (CSR) sekaligus. Persoalan berikutnya yang menyita perhatian publik secara luas adalah rumusan formula sistem pengupahan dengan memasukkan variabel persentase inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Intinya adalah upah buruh naik setiap tahun dengan besaran yang terukur. PP Pe ngupahan mendapat penolakan dari berbagai elemen buruh, salah satu penyebabnya karena dianggap bertentangan dengan Konvensi ILO Nomor 144 yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Dalam konvensi ini disebutkan bahwa pemerintah harus melibatkan pekerja melalui Forum Tripartit yang terdiri dari pengusaha, pemerintah dan pekerja jika hendak membuata peraturan tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, besarnya inflasi nasional yang digunakan dalam PP tersebut dianggap sepihak karena hanya menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS). BAGI SEJUMLAH PENGAMAT, PAKET KEBIJAKAN SEBAIKNYA TIDAK HANYA MEMBERIKAN KEMUDAHAN BAGI PELAKU USAHA TAPI JUGA PERLU MEMPERKUAT DAYA BELI MASYARAKAT. PAKET KEBIJAKAN DAN MASALAH PEMBANGUNAN Bagi sejumlah pengamat, paket kebijakan sebaiknya tidak hanya memberikan kemudahan bagi pelaku usaha tapi juga perlu memperkuat daya beli masyarakat. Pertimbangannya adalah tanpa kenaikan konsumsi masyarakat, pelaku usaha produksi tetap akan susah berkembang. Banyaknya kebijakan yang nantinya akan dikeluarkan bisa dipahami sebagai antisipasi terhadap situasi yang tidak pasti di kala krisis global seperti sekarang. Namun kita juga tidak hendak terjebak pada kebijakan business as usual yang tidak melahirkan perubahan signifikan bagi pembagunan Indonesia. Setiap kalangan pelaku usaha tentunya sangat mengapresiasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Namun tuntutan implementasi di lapangan yang konsisten dan terukur akan menjadi konsekuensi-konsekuensi lanjutan. Pemerintah pun harus mampu mewaspadai para pemburu rente dalam perumusan payung hukum perundang-undangan atau pada peluncuran skema program-program baru. Kebijakan yang kita belum tahu akan mencapai di jilid berapa, kiranya diharapkan tidak memperlemah aspek monitoring dan evaluasi dari setiap program yang dikeluarkan. Indonesia kini bersiap-siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan segera diimplementasikan pada 1 Januari 2016. Namun hingga saat ini kita masih sulit bersaing karena kelemahan di berbagai hal seperti SDM yang rendah, kelembagaan yang lemah, kurangnya infrastruktur, biaya logistik tinggi, dan perencanaan yang kurang matang. Pemerintah menurut hemat penulis tidak seharusnya fokus pada aspek pertumbuhan semata, melainkan juga capaian di sektor kesejahteraan masyarakat secara agregat seperti di sektor ekonomi dan sektor sosial sekaligus. Ke sejahteraan yang kami maksudkan disini tidak hanya ditilik melalui perspektif ekonomi semata sebagaimana lazim terekam dalam Produk Domestik Regional Bruto, tetapi juga diteropong via capaian di sektor sosial, seperti pendidikan dan kesehatan. Paket Kebijakan Ekonomi yang telah mencapai jilid kelimanya tentu merupakan rumusan-rumusan terbaik dari berbagai pertimbangan pemerintahan. Hasil yang paling nyata dari paket kebijakan pemerintah dalam dua bulan terakhir ini adalah nilai tukar rupiah yang mulai stabil dan masuknya berbagai investasi ke dalam negeri. Ini tentu yang kita harapkan mampu mendorong angka-angka pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Namun rangkaian kebijakan ini masih akan diuji implementasi lapangannya, apakah ia berada tepat di jalur cita-cita bernegara dan berbangsa kita, menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. [PARLE] EDISI 130 TH. XLV, 2015 27

Oleh: Reni Suwarso, Ph.D, Direktur CEPP FISIP UI<br />

porasi pertanian/perkebunan dan kelompok-kelompok masyarakat<br />

yang bergerak di bidang yang sama. Beberapa pihak<br />

menilai paket berjiliid ini terlalu mengistimewakan swasta dan<br />

menganaktirikan BUMN yang menjadi salah satu penopang<br />

kekuatan ekonomi nasional. Jika kemudahan yang diperoleh<br />

swasta seperti pembelian minyak mentah yang termaktub<br />

dalam kebijakan ekonomi sebelumnya, tidak demikian dengan<br />

BUMN yang harus bersiasat dengan UU tentang BUMN, UU<br />

tentang Perseroan Terbatas dan program Corporate Social<br />

Responsibility (CSR) sekaligus.<br />

Persoalan berikutnya yang menyita perhatian publik secara<br />

luas adalah rumusan formula sistem pengupahan dengan<br />

memasukkan variabel persentase<br />

inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Intinya<br />

adalah upah buruh naik setiap<br />

tahun dengan besaran yang terukur.<br />

PP Pe ngupahan mendapat penolakan<br />

dari berbagai elemen buruh, salah satu<br />

penyebabnya karena dianggap bertentangan<br />

dengan Konvensi ILO Nomor 144<br />

yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.<br />

Dalam konvensi ini disebutkan bahwa<br />

pemerintah harus melibatkan pekerja<br />

melalui Forum Tripartit yang terdiri<br />

dari pengusaha, pemerintah dan pekerja<br />

jika hendak membuata peraturan tentang Ketenagakerjaan.<br />

Selain itu, besarnya inflasi nasional yang digunakan dalam PP<br />

tersebut dianggap sepihak karena hanya menggunakan data<br />

Badan Pusat Statistik (BPS).<br />

BAGI SEJUMLAH PENGAMAT,<br />

<strong>PAKET</strong> KEBIJAKAN SEBAIKNYA<br />

TIDAK HANYA MEMBERIKAN<br />

KEMUDAHAN BAGI PELAKU<br />

USAHA TAPI JUGA PERLU<br />

MEMPERKUAT DAYA BELI<br />

MASYARAKAT.<br />

<strong>PAKET</strong> KEBIJAKAN DAN MASALAH PEMBANGUNAN<br />

Bagi sejumlah pengamat, paket kebijakan sebaiknya tidak<br />

hanya memberikan kemudahan bagi pelaku usaha tapi juga<br />

perlu memperkuat daya beli masyarakat. Pertimbangannya<br />

adalah tanpa kenaikan konsumsi masyarakat, pelaku usaha<br />

produksi tetap akan susah berkembang. Banyaknya kebijakan<br />

yang nantinya akan dikeluarkan bisa dipahami sebagai antisipasi<br />

terhadap situasi yang tidak pasti di kala krisis global<br />

seperti sekarang. Namun kita juga tidak hendak terjebak pada<br />

kebijakan business as usual yang tidak melahirkan perubahan<br />

signifikan bagi pembagunan Indonesia. Setiap kalangan<br />

pelaku usaha tentunya sangat mengapresiasi kebijakan-kebijakan<br />

yang dikeluarkan pemerintah. Namun tuntutan implementasi<br />

di lapangan yang konsisten dan terukur akan menjadi<br />

konsekuensi-konsekuensi lanjutan. Pemerintah pun harus<br />

mampu mewaspadai para pemburu rente dalam perumusan<br />

payung hukum perundang-undangan atau pada peluncuran<br />

skema program-program baru.<br />

Kebijakan yang kita belum tahu akan mencapai di jilid berapa,<br />

kiranya diharapkan tidak memperlemah aspek monitoring<br />

dan evaluasi dari setiap program yang dikeluarkan. Indonesia<br />

kini bersiap-siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN<br />

(MEA) yang akan segera diimplementasikan<br />

pada 1 Januari 2016. Namun hingga<br />

saat ini kita masih sulit bersaing karena<br />

kelemahan di berbagai hal seperti SDM<br />

yang rendah, kelembagaan yang lemah,<br />

kurangnya infrastruktur, biaya logistik<br />

tinggi, dan perencanaan yang kurang<br />

matang. Pemerintah menurut hemat<br />

penulis tidak seharusnya fokus pada<br />

aspek pertumbuhan semata, melainkan<br />

juga capaian di sektor kesejahteraan<br />

masyarakat secara agregat seperti di<br />

sektor ekonomi dan sektor sosial sekaligus.<br />

Ke sejahteraan yang kami maksudkan disini tidak hanya<br />

ditilik melalui perspektif ekonomi semata sebagaimana lazim<br />

terekam dalam Produk Domestik Regional Bruto, tetapi juga<br />

diteropong via capaian di sektor sosial, seperti pendidikan dan<br />

kesehatan. Paket Kebijakan Ekonomi yang telah mencapai jilid<br />

kelimanya tentu merupakan rumusan-rumusan terbaik dari<br />

berbagai pertimbangan pemerintahan. Hasil yang paling nyata<br />

dari paket kebijakan pemerintah dalam dua bulan terakhir<br />

ini adalah nilai tukar rupiah yang mulai stabil dan masuknya<br />

berbagai investasi ke dalam negeri. Ini tentu yang kita harapkan<br />

mampu mendorong angka-angka pertumbuhan ekonomi<br />

dalam jangka pendek. Namun rangkaian kebijakan ini masih<br />

akan diuji implementasi lapangannya, apakah ia berada tepat<br />

di jalur cita-cita bernegara dan berbangsa kita, menuju masyarakat<br />

yang adil dan sejahtera. [PARLE]<br />

EDISI 130 TH. XLV, 2015<br />

27

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!