29.12.2015 Views

EFEK DINANTI PAKET DIRACIK EFEK DINANTI

m-130-2015

m-130-2015

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

laporan<br />

utama<br />

PERSPEKTIK BURUH<br />

HARUS DIKEDEPANKAN<br />

Pada paket kebijakan ekonomi jilid IV, pemerintah dengan antusias<br />

ingin menaikkan upah buruh setiap tahun secara terukur. Kenaikan<br />

itu diukur dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Perspektif dunia<br />

usaha masih jadi sandaran kenaikan upah. Padahal, perspektif<br />

buruh lebih penting untuk dijadikan sandaran kebijakan.<br />

Anggota Komisi IX DPR RI Irgan Chairul Mahfiz<br />

Mudah terbaca arah kebijakan<br />

ini, yaitu agar buruh tak selalu<br />

berdemonstrasi menuntut<br />

kenaikan upah setiap tahun.<br />

Pemerintah mencoba meredamnya<br />

dengan kenaikan upah yang selalu jadi<br />

tuntutan itu. Pertanyaannya, bila pertumbuhan<br />

ekonomi tak bersahabat dan<br />

inflasi terus meningkat, apakah buruh<br />

tetap mendapat kenaikan upah seperti<br />

yang dijanjikan dalam paket kebijakan<br />

tersebut?<br />

Inilah pertanyaan kritis yang dilontarkan<br />

oleh Anggota Komisi IX DPR RI<br />

Irgan Chairul Mahfiz beberapa waktu<br />

lalu kepada Parlementaria. “Saya kira<br />

pemerintah jangan membuat aturan<br />

yang tidak memperhatikan perlindungan<br />

terhadap buruh. Jangan perspektifnya<br />

dunia usaha, tapi perspektifnya<br />

buruh bagaimana mensejahterakan<br />

mereka.”<br />

Persoalan upah, kata Irgan, belum<br />

selesai hingga kini. Yang dikhawatirkan<br />

dengan paket kebijakan ini, kerja Dewan<br />

Pengupahan jadi terganggu. Karena sudah<br />

ada kebijakan ini, Dewan Pengupahan<br />

terpakasa harus mengikuti. Tak bisa<br />

lagi merumuskan kebijakannya sendiri.<br />

Inilah yang dikhawatirkan dari kebijakan<br />

yang telah dirumuskan Presiden Joko<br />

Widodo. Mungkin Dewan Pengupahan<br />

sudah menyusun strategi kebijakannya<br />

sendiri sebelum paket tersebut dirilis.<br />

Menurut politisi PPP ini, kebijakan<br />

pengupahan harus didasarkan pada kebutuhan<br />

hidup layak (KHL), bukan inflasi<br />

dan pertumbuhan ekonomi. “Kalau pertumbuhan<br />

ekonominya bagus, kenaikannya<br />

bagus. Kalau pertumbuhan ekonominya<br />

menurun, apakah upah buruh<br />

juga turun.”<br />

Bagi buruh, sambung Irgan, upah<br />

adalah bagian yang penting. Untuk itu,<br />

perlu ada kepastian atas kebijakan pengupahan.<br />

Adalah wajar ketika buruh<br />

te rus menuntut haknya untuk peningkatan<br />

kesejahteraan. KHL, tegas Irgan,<br />

harus menjadi acuan dalam penetapan<br />

upah buruh. Disampaikan politisi dari<br />

dapil Banten III ini, ada 82 item KHL<br />

yang harus dipenuhi. Namun, hingga<br />

kini baru 60 item yang dipenuhi.<br />

Seperti diketahui, KHL adalah standar<br />

kebutuhan yang harus dipenuhi<br />

oleh seorang buruh lajang agar bisa<br />

hidup layak baik fisik maupun non fisik<br />

dalam satu bulan. Dan beberapa item<br />

KHL yang harus dipenuhi adalah kebutuhan<br />

makan minum, sandang, perumahan,<br />

pendidikan, kesehatan, transportasi,<br />

dan tabungan. Aturan tentang KHL<br />

dimuat dalam UU No.13/2003 tentang<br />

Ketenagakerjaan.<br />

Dari item KHL itu, besaran upah pun<br />

disusun. Buruh Indonesia termasuk<br />

yang paling kecil menerima upah. Umumnya<br />

buruh Indonesia menerima upah<br />

sekitar Rp 1,1 juta-Rp 2,9 juta. Angka<br />

ini masih lebih kecil dibanding Filipina,<br />

Thailand, dan Cina yang telah mencapai<br />

Rp 3,5 juta-Rp 4 juta jika dikonversi ke<br />

mata uang Rupiah.<br />

Ditambahkan Irgan, ada kekhawatiran<br />

buruh bila perlambatan ekonomi<br />

terus terjadi. Buruh tak pernah<br />

mendapat insentif. Sebaliknya, ancaman<br />

PHK dan dirumahkan banyak terjadi.<br />

Seiring melemahnya perekonomian,<br />

banyak perusahaan dan pabrik yang gulung<br />

tikar. “Saya kira pemerintah jangan<br />

membuat aturan yang tidak memperhatikan<br />

perlindungan terhadap buruh.<br />

Itu saya kira poin penting dari kebijakan<br />

keempat Jokowi,” tandas Irgan.<br />

Kebutuhan buruh dari tahun ke tahun<br />

kian meningkat. Sementara upah minimum<br />

regional (UMR) banyak yang belum<br />

disesuaikan. Irgan mencontohkan, di<br />

DKI Jakarta, UMR-nya masih Rp 2,5 juta.<br />

“Padahal, pertumbuhan ekonomi sudah<br />

semakin melesat. APBD sudah semakin<br />

tinggi. Industri berkembang baik. Uang<br />

berputar di Jakarta sekian banyak. Sementara<br />

buruh menjadi marginal akibat<br />

UMR-nya terkunci di Rp 2,5 juta.”<br />

Ditegaskan kembali oleh Irgan, persoalan<br />

buruh jangan sampai menjadi komoditas<br />

politik. Mereka hanya diperhatikan<br />

ketika musim Pilkada tiba. Saat ini,<br />

serapan angkatan kerja masih rendah<br />

dibandingkan dengan jumlah pengangguran.<br />

Data pengangguran saat ini, ungkap<br />

Irgan, sekitar tujuh juta. Sementara<br />

serapan angkatan kerja hanya satu juta<br />

orang. Jumlah itu belum termasuk buruh<br />

yang dirumahkan atau di-PHK.<br />

“Semakin besar orang yang menganggur,<br />

semakin berdampak terhadap<br />

akses sosial. Orang yang tidak bekerja<br />

tentu tidak bisa menghidupi keluarganya.<br />

Melihat buruh itu bukan hanya satu<br />

orang, tapi harus dilihat sebagai kepala<br />

keluarga. Bisa jadi dia punya isteri<br />

dan anak. Jadi, ketika ada buruh yang<br />

dirumahkan atau di-PHK sekian ribu<br />

orang, maka 1000 x 5 sama dengan lima<br />

ribu orang terancam kehidupannya. Ini<br />

bukan angka main-main,” papar Irgan.<br />

(SC, MH) FOTO: NAEFUROJI/PARLE/IW<br />

22 EDISI 130 TH. XLV, 2015

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!