PSIKOLOGI ANAK & PENDIDIKAN Halaman 0

PSIKOLOGI ANAK & PENDIDIKAN, Halaman 0 PSIKOLOGI ANAK & PENDIDIKAN, Halaman 0

azkamiru.files.wordpress.com
from azkamiru.files.wordpress.com More from this publisher
26.09.2015 Views

Anak-anak kita juga masih memikul beban kultur yang keliru dari ibu. Tak sedikit ibu-ibu kita yang beranggapan bahwa gemuk adalah sehat, sehingga ingin semua anaknya gemuk. Padahal, sekarang susah mencari anak gemuk di negara maju, karena justru yang tidak gemuk itu yang dianggap sehat, sementara gemuk itu penyakit. Pada tubuh yang gemuk, jumlah dan ukuran sel lemak anak yang sudah gemuk sejak kecil lebih dari anak normal. Kelebihan sel lemak tidak mungkin disusutkan lagi setelah anak dewasa. Keadaan ini yang ikut menambah besar risiko seseorang terkena penyakit jantung. Jadi betul, peran ibu menentukan bagaimana nasib sel lemak anak-anaknya. Sel lemak anak dibentuk oleh isi meja makan ibu. Dominasi menu lemak, kelebihan porsi nasi, penganan serba bersusu-bermentega, menjadikan anak gemuk sebelum usia remaja. Dulu, darah anak Amerika sudah kelebihan lemak semasih remaja. Sayangnya, anak-anak kita sekarang justru meniru gaya makan dan pilihan menu salah seperti anak Amerika zaman dulu. Kolesterol dan lemak darah anak cenderung sudah pada batas tinggi ketika umur belum lagi dewasa. Ini berbahaya. Ibu yang bijak tidak akan royal memberi makan berlebih, serba gurih, manis, dan berlemak tinggi. Karena itulah, nasib jantung anak ditentukan oleh kesibukan dapur ibu juga. Ibu yang bijak akan memberi anak-anaknya cukup susu, daging, dan mentega, namun tak serba berlebihan. Di tangan ibu, anak dibangun kebiasaan makannya, hobi jajan apa, dan apa pilihan cemilan, apakah ia ketagihan menu junkfood, atau doyan jenis makanan olahan. Lidah anak dibentuk oleh bagaimana cara ibu memberi dan menyajikan makanan rumah. Kalau meja makan anak di rumah selalu penuh dengan menu restoran, sampai dewasa di lidah anak akan seperti itu terbentuk menu favoritnya. Menu seperti itu yang merusak lidah anak menerima makanan tradisional, dan mengantarkan anak memasuki risiko kena penyakit jantung kelak, atau mungkin membuatnya terancam mati prematur. RADIKAL BEBAS Setelah dewasa, pola hidup rata-rata orang Indonesia umumnya tidak berubah. Kesibukan berkarier membuat mereka lupa, atau tak tersedia waktu buat berolahraga. Yang papa waktunya habis untuk kerja otot, yang kecukupan habis untuk kerja otak. Dua-duanya kekurangan waktu berolahraga dan bergerak badan. Padahal menu harian orang kecukupan cenderung banyak dan enak-enak. Maka setelah hidup mapan mereka cenderung kelebihan berat badan. Ukuran lingkar pinggang pun jadi lebih dari lingkar panggul. Sedangkan menu mereka yang hidupnya tak berkecukupan lebih banyak ikan asin, yang rentan bikin darah tinggi (akibat konsumsi garam dapur harian kita lebih lima kali kebutuhan tubuh); saus dan sambal tomat murah dengan zat warna, pengawet, bumbu penyedap, hidup berada di tengah serba polusi, menambah berat memikul beban radikal bebas. Radikal bebas bisa menjadi racun yang merusak badan. Salah satu faktor yang ikut membentuk lemak dinding pembuluh darah diperankan oleh radikal bebas ini. Itu berarti orang papa bisa sama-sama berisiko mengalami kerusakan pembuluh darah dan jantung. PSIKOLOGI ANAK & PENDIDIKAN, Halaman 31

15. Tahapan Bermain Bagi Anak-anak BERMAIN bagi anak-anak? Apalah gunanya. Itu hanya sekadar pengisi waktu luang. Tidak sedikit orang tua beranggapan demikian. Padahal lewat aktivitas bermain, anak-anak dapat menguasai berbagai keterampilan fisik dan sosial serta dapat mengembangkan psikologi dan kepribadian secara sehat. Banyak orang tua lupa atau mungkin tidak tahu bahwa bermain merupakan bagian penting dalam kehidupan seorang anak, terutama usia balita dan usia sekolah. Gejala-gejala umum yang tampak terutama di kota-kota, anak-anak malah dijejali berbagai kegiatan, baik akademis maupun non akademis untuk mengejar prestasi. Akibatnya banyak waktu anak-anak tersita untuk mengerjakan berbagai tugas sekolah maupun mengikuti bermacam-macam les yang belum tentu mereka sukai. Si anak mungkin terpaksa melakukan untuk memenuhi ambisi orang tuanya. Padahal anak-anak perlu diberi kesempatan penuh untuk bermain dan berkreasi, yang tujuannya sama penting dengan belajar. Bermain bagi anak-anak adalah kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan atau kepuasan. Bermain bagi anak-anak merupakan kegiatan yang saling berkaitan dengan bekerja, karena bermain merupakan persiapan untuk bekerja. Bila mulanya kegiatan (bermain) dilakukan sekadar demi kesenangan, lambat laun dengan meningkatnya usia adanya respons sosial serta proses belajar yang diterima anak, kegiatan yang dilakukan selain untuk kesenangan juga untuk tujuan lain seperti, penghargaan, prestasi, kompetisi atau materi. Peralihan kegiatan dari bermain menjadi bekerja memerlukan proses belajar. Belajar, proses yang diperolehnya keterampilan baru yang relatif menetap dalam diri seseorang dan akan efektif jika dilakukan secara sistematis, terencana, diulang-ulang dan disertai reinforcement. Sehingga bermain bagi anak-anak juga perlu arahan orang tua/guru/orang dewasa lain yang diperoleh anak dalam segi afektif, kognitif maupun psikomotor, di samping unsur kesenangan. Tahap Bermain Anak-anak Menurut para ahli psikologi, perkembangan bermain pada anak-anak akan diikuti perkembangan kognitif, sehingga akan terjadi perubahan kegiatan bermain dari bayi, anak, remaja sampai dewasa. Secara psikologi, ada empat tahap dalam perkembangan bermain bagi anak-anak yang pembagiannya berdasarkan usia. Tahap pertama, anak yang berusia antara 0 sampai 18 bulan atau 24 bulan. Pada tahap ini akan menggunakan refleks, kemampuan penginderaan dan keterampilan motorik yang sudah dikuasai untuk memperoleh pengetahuan serta keterampilan baru. Anak-anak perlu dirangsang untuk mengamati lingkungan sekitarnya dan mengambil inisiatif sendiri untuk menyenangkan diri mereka sendiri. Karena itu, kegiatan bermain bersifat bebas, spontan dan tidak ada aturan permainan. Kegiatan-kegiatannya antara lain berupa latihan menggunakan dan mempertajam penginderaan, meraih, menendang, memukul, merangkak dan menendang. Tahap kedua, anak yang berusia antara 2 tahun sampai 6 tahun atau 7 tahun. Pada tahap ini anak mulai mampu berpikir simbolik dan mampu berbicara untuk memahami lingkungannya. Cara berpikirnya masih terpusat pada diri sendiri dan anak masih belum mampu menerapkan hukumhukum logika terhadap pengalaman dan pikirannya. Bila imajinasi anak bertambah, secara bertahap cara berpikir anak tidak lagi terpusat pada diri sendiri, sehingga sosialisasi dapat dikembangkan. Melalui bermain, anak-anak melatih diri untuk lebih menguasai gerakan motorik kasar dan halus, atau PSIKOLOGI ANAK & PENDIDIKAN, Halaman 32

15. Tahapan Bermain Bagi Anak-anak<br />

BERMAIN bagi anak-anak? Apalah gunanya.<br />

Itu hanya sekadar pengisi waktu luang.<br />

Tidak sedikit orang tua beranggapan demikian.<br />

Padahal lewat aktivitas bermain, anak-anak dapat menguasai berbagai keterampilan fisik dan sosial<br />

serta dapat mengembangkan psikologi dan kepribadian secara sehat.<br />

Banyak orang tua lupa atau mungkin tidak tahu bahwa bermain merupakan bagian penting dalam<br />

kehidupan seorang anak, terutama usia balita dan usia sekolah. Gejala-gejala umum yang tampak<br />

terutama di kota-kota, anak-anak malah dijejali berbagai kegiatan, baik akademis maupun non<br />

akademis untuk mengejar prestasi.<br />

Akibatnya banyak waktu anak-anak tersita untuk mengerjakan berbagai tugas sekolah maupun<br />

mengikuti bermacam-macam les yang belum tentu mereka sukai. Si anak mungkin terpaksa<br />

melakukan untuk memenuhi ambisi orang tuanya. Padahal anak-anak perlu diberi kesempatan penuh<br />

untuk bermain dan berkreasi, yang tujuannya sama penting dengan belajar.<br />

Bermain bagi anak-anak adalah kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan atau kepuasan. Bermain<br />

bagi anak-anak merupakan kegiatan yang saling berkaitan dengan bekerja, karena bermain merupakan<br />

persiapan untuk bekerja. Bila mulanya kegiatan (bermain) dilakukan sekadar demi kesenangan,<br />

lambat laun dengan meningkatnya usia adanya respons sosial serta proses belajar yang diterima anak,<br />

kegiatan yang dilakukan selain untuk kesenangan juga untuk tujuan lain seperti, penghargaan,<br />

prestasi, kompetisi atau materi.<br />

Peralihan kegiatan dari bermain menjadi bekerja memerlukan proses belajar. Belajar, proses yang<br />

diperolehnya keterampilan baru yang relatif menetap dalam diri seseorang dan akan efektif jika<br />

dilakukan secara sistematis, terencana, diulang-ulang dan disertai reinforcement. Sehingga bermain<br />

bagi anak-anak juga perlu arahan orang tua/guru/orang dewasa lain yang diperoleh anak dalam segi<br />

afektif, kognitif maupun psikomotor, di samping unsur kesenangan.<br />

Tahap Bermain Anak-anak<br />

Menurut para ahli psikologi, perkembangan bermain pada anak-anak akan diikuti perkembangan<br />

kognitif, sehingga akan terjadi perubahan kegiatan bermain dari bayi, anak, remaja sampai dewasa.<br />

Secara psikologi, ada empat tahap dalam perkembangan bermain bagi anak-anak yang pembagiannya<br />

berdasarkan usia. Tahap pertama, anak yang berusia antara 0 sampai 18 bulan atau 24 bulan. Pada<br />

tahap ini akan menggunakan refleks, kemampuan penginderaan dan keterampilan motorik yang sudah<br />

dikuasai untuk memperoleh pengetahuan serta keterampilan baru. Anak-anak perlu dirangsang untuk<br />

mengamati lingkungan sekitarnya dan mengambil inisiatif sendiri untuk menyenangkan diri mereka<br />

sendiri. Karena itu, kegiatan bermain bersifat bebas, spontan dan tidak ada aturan permainan.<br />

Kegiatan-kegiatannya antara lain berupa latihan menggunakan dan mempertajam penginderaan,<br />

meraih, menendang, memukul, merangkak dan menendang.<br />

Tahap kedua, anak yang berusia antara 2 tahun sampai 6 tahun atau 7 tahun. Pada tahap ini anak<br />

mulai mampu berpikir simbolik dan mampu berbicara untuk memahami lingkungannya. Cara<br />

berpikirnya masih terpusat pada diri sendiri dan anak masih belum mampu menerapkan hukumhukum<br />

logika terhadap pengalaman dan pikirannya. Bila imajinasi anak bertambah, secara bertahap<br />

cara berpikir anak tidak lagi terpusat pada diri sendiri, sehingga sosialisasi dapat dikembangkan.<br />

Melalui bermain, anak-anak melatih diri untuk lebih menguasai gerakan motorik kasar dan halus, atau<br />

<strong>PSIKOLOGI</strong> <strong>ANAK</strong> & <strong>PENDIDIKAN</strong>, <strong>Halaman</strong> 32

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!