01.09.2015 Views

FRATER CMM

| DUA ORANG ASOSIASI YANG BARU | 'ATAP DI ATAS ... - Fraters

| DUA ORANG ASOSIASI YANG BARU | 'ATAP DI ATAS ... - Fraters

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

INDONESIA<br />

Cerutu dan<br />

kursi rotan<br />

Perang Dunia Kedua dan tahanan frater-frater di Hindia Belanda merupakan pengalaman bagi mereka yang<br />

sangat menggoyangkan. Frater-frater, sejauh mereka bertahan, melewati masa perang dalam empat kamp<br />

Nipon: di Sumatera Utara, wilayah Padang, Sulawesi Selatan dan di Manado. Kamp Manado, di mana 12 frater<br />

meninggal dunia, ada kamp yang paling kejam. Frater Pieter-Jan van Lierop menulis mengenai pengalaman<br />

kamp di Sumatera Utara.<br />

Kadang-kadang hidup seorang frater dapat menjadi<br />

dramatis. Mereka diutus sebagai frater yang muda<br />

ke pulau Sumatera di Hindia Belanda. Hal itu sudah<br />

merupakan pengalaman yang drastis. Akan tetapi dalam<br />

koloni Belanda pada masa itu masih ada banyak hal yang<br />

mereka kenal baik dari negara asal mereka: pemerintah<br />

gaya Belanda, bahasa Belanda di kantor-kantor dan<br />

di dunia pendidikan, banyak pegawai, pengusaha<br />

16<br />

perkebunan, pedagang, para pastor dan religius serta<br />

kaum prajurid Belanda.<br />

Dihargai<br />

Di koloni ‘Hindia Belanda’ orang-orang Eropa merupakan<br />

suatu kelompok khusus yang sangat dihargai. Pandangan<br />

ini berhubungan dengan mitos bahwa kaum kulit putih<br />

dalam segala hal lebih baik daripada kaum kulit yang<br />

Dari kiri ke kanan: Frater Alex van Aalst, Reinoldus<br />

Korremans dan David Fleerakkers sesudah pembebasan<br />

tahun 1945.<br />

bukan putih. Di samping itu khusus di kalangan gerejani,<br />

kaum religius, terutama para misionaris termasuk para<br />

frater, dihargai secara luar biasa, bahkan lebih dihargai<br />

di Hindia Belanda daripada di tanah air sendiri.<br />

Pada permulaan tahun 1942, hidup berkomunitas<br />

di Medan tidak berbeda banyak dari pola hidup<br />

berkomunitas di Belanda. Komunitas itu terdiri dari<br />

Fater Alex van Aalst, David Fleerakkers, Amator Hugten,<br />

Reinoldus Korremans, Theodatus van Oers (pemimpin<br />

komunitas), Rodulf Ouddeken dan Ranulfo Schippers.<br />

Mereka bekerja di sekolah-sekolah yang berbahasa<br />

Belanda.<br />

Kamp<br />

Pada tanggal 12 Maret 1942 situasi berubah total.<br />

Orang-orang Jepang menduduki Medan, dan langsung<br />

memperkenalkan diri: di muka sekolah frater lima<br />

penjarah dipotong kepala mereka, kepala itu dipasang di<br />

atas tiang-tiang selama satu minggu untuk ditunjukkan<br />

pada masyarakat kota. Tenaga misi, yaitu para pater,<br />

suster, bruder dan frater, menjadi tahanan rumah.<br />

Tetapi itu hanya untuk sementara waktu. Sesudah satu<br />

bulan mereka ditempatkan di suatu kamp di Belawan,<br />

kota pelabuhan Medan. Mereka masing-masing boleh<br />

membawa 30 kilo barang ke kamp dan masih dapat<br />

menyenangkan hidup mereka melalui penyeludupan dan<br />

perdagangan gelap. Terutama kebun sayur dari Frater<br />

David Fleerakkers, yang bertangan hijau, membantu<br />

para frater dan penghuni lain di kamp itu untuk tinggal<br />

dalam keadaan sehat. Dalam waktu singkat para frater<br />

sungguh kelihatan sebagai penghuni lain di kamp itu.<br />

Mereka bercelana pendek, badan mereka setengah<br />

telanjang dan wajah berjenggot. Apalagi mereka berbau<br />

kurang sedap, karena tiada sabun mandi. Sering para<br />

penjaga Jepang menghitung para tahahan dalam acara<br />

apel. Acara semacam itu dapat berlangsung berjam-jam<br />

lamanya. Tindakan disiplin cukup keras dan tahanantahanan<br />

sering dipukul. Terutama tahanan Eropa<br />

mengalami tingkah laku itu sebagai tanda penghinaan,<br />

sebab mereka masih biasa dengan statusnya di zaman<br />

kolonial. Pada Juni 1943 mereka mulai mengalami<br />

kelaparan ketika kamp dipindahkan ke lokasi lain di<br />

daerah Medan. Lokasi baru itu mereka sebut: ‘Belawan<br />

Estate’. Makanan sangat sedikit dan bermutu jelek, maka<br />

para tatahan hanya dapat bertahan lewat penyeludupan,<br />

dengan mencuri atau berdagangan dengan penjagapenjaga<br />

yang korupsi dan memelihara kebun sayur<br />

seperti dilakukan oleh Frater David. Frater Alex van Aalst<br />

menceritakan: “Makanan menyita seluruh perhatian<br />

kami. Di mana-mana para tahanan berbicara tentang<br />

makanan. Kalau kami duduk bersama pada waktu<br />

malam, kami terutama membicarakan hal makanan<br />

dan menyebut jenis makanan yang paling sedap. Kami<br />

seakan-akan dirasuki oleh makanan.”<br />

Unit kesehatan<br />

Moral frater-frater Medan sangat tinggi. Mereka dengan<br />

segera bisa melepaskan perasaan-perasaan sebagai<br />

orang kolonial yang dihina, karena masih ada banyak<br />

hal yang harus dikerjakan. Frater Ranulfo Schippers,<br />

yang berijazah Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan<br />

(PPPK), bersama dengan Frater Alex van Aalst, Amator<br />

van Hugten, Theodatus van Oers dan Rodulf Ouddeken<br />

menjadi sukarerlawan di Unit Kesehatan. Frater-frater<br />

bertahan dalam tugas perawatan itu, juga ketika epidemi<br />

disentri merajalela dan sungguh mengancam nyawa<br />

manusia. Jenazah ratusan orang diurus dan dikuburkan<br />

oleh mereka. Sejauh mungkin para frater berpartisipasi di<br />

lapangan pendidikan anak laki-laki. Mereka dididik agar<br />

memperoleh ijazah sekolah menengah. Mereka<br />

terlibat dalam acara malam hiburan, kegiatan<br />

olehraga, perayaan Paskah, Natal dan Sinterklas,<br />

sampai masalah kelaparan dan penyakit-penyakit<br />

tidak dipedulikan.<br />

17

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!