Download - Jurnal Dinamika Hukum

Download - Jurnal Dinamika Hukum Download - Jurnal Dinamika Hukum

Model Ideal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah 137gitupun masyarakat, mereka akan dengan sadartunduk dan melaksanakan hukum apabila merasakanmanfaat dari hukum tersebut.Menurut W. Riawan Tjandra dan KresnoBudi Sudarsono, pasca reformasi terjadi pergeserandari rechtsstaat menjadi political state,padahal tujuan negara hukum (goal of state)adalah supremasi hukum. Political state ibaratbis malam, tidak berdiri di atas ”rel” hukumyang berlaku. Baik buruknya,bersih/kotornyaPemerintah Daerah sangat tergantung padakualitas pengaturan hukumnya. Analog denganhal itu, diperlukan eksekutif, legislatif danproduk hukumnya yang berkualitas secara hukum.Produk hukum tersebut mempengaruhikualitas negara hukum. 13 Dalam pembuatanproduk hukum Jangan berprinsip bahwa pasarakan terus berjalan sesuai koridor, tak akanpernah memikirkan agenda-agenda sosial, hanyaberkutat pada urusan bagaimana menghasilkankeuntungan dengan maksimal tanpa tahumenahu dampaknya bagi masyarakat. 14 Karenaproduk hukum yang dibuat dengan berprinsipseperti itu tidak akan dapat berlaku secaraefektif dalam masyarakat. Produk hukum yangbaik juga harus harmonis dan sinkron denganperaturan perundang-undangan yang diatasnya,Bayu Dwi Anggono mengatakan harmonisasitidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifatyang dimaksudkan untuk menghindari pengaturanyang tumpang tindih atau saling bertentangantapi lebih dari itu agar peraturan perundang-undnganyang dilahirkan dan kemudahanhukum positif dapat menjalankan fungsinya denganbaik dalam masyarakat. 15 Masih berkaitandengan hal ini Bagir Manan mengatakan pembentukanhukum yang baik harus memiliki berbagaisyarat pembentukan yang baik pula, sepertiasas, asas tujuan, asas kewenangan, asaskeperluan mengadakan peraturan, asas bahwaperaturan tersebut dapat dilaksanakan danlain. 16 Sejak otonomi daerah diterapkan berdasarkanUU No. 22 Tahun 1999 yang kemudiandicabut dan diganti dengan UU No. 32 Tahun2004, sudah ribuan Peraturan Daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, baik pada levelpropinsi maupun kabupetan/kota. Data yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai Desember2006 terdapat 9.617 Peraturan Daerahyang terkait dengan perizinan, pajak danretribusi di daerah. Data yang diperoleh dariDepartemen Dalam Negeri menunjukkan bahwasejak tahun 2002 sampai tahun 2007, PeraturanDaerah yang dibatalkan baru berjumlah 761Peraturan Daerah. Bahkan Subiharta mengatakanbahkan ada perda yang tidak sah tetapidaerah masih tetap memberlakukan. 17 PeraturanDaerah yang dianggap bermasalah itu, dinilaimenimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerahserta juga membebani masyarakat dan lingkungan.18Hal ini terjadi karena peraturan daerahyang dibuat oleh pemerintah daerah tidak partisipatifartinya belum mampu mengcover aspirasisemua lapisan masyarakat, sehingga ketikaakan diberlakukan bertentangan dengan apayang diinginkan masyarakat. Hal ini tentu sajasangat mengganggu jalannya sistem pemerintahanyang artinya juga mengganggu kestabilanmasyarakat di daerah, terutama dari segikepastian hukumnya. Berangkat dari uraian tersebut,maka tulisan ini akan mengangkat tentangmodel ideal partisipasi masyarakat dalamproses pembentukan peraturan daerah dan kendalayang timbul dalam upaya melibatkan partisipasiaktif masyarakat dalam pembentukanperaturan daerah.131415W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Sudarsono, 2009,Legislative Drafting: Teori dan Teknik Pembuatan PeraturanDaerah, Yogyakarta:Universitas Atmajaya, hlm.85.Setiawan, Bonnie, amalia (ed), “Institute For GlobalJustice”, <strong>Jurnal</strong> Keadilan Global Jakarta, No. 01 Tahun2003, hlm. 16.Bayu Dwi Anggono, “Harmonisasi Peraturan Perundangundangandi bidang penanggu-langan Bencana”, <strong>Jurnal</strong>Mimbar <strong>Hukum</strong> Vol. 22 No. 2 Juni 2010, FH UGM, hlm.385-386.Pembahasan161718Bagir Manan,“Konsistensi Pembangungan Nasional danPenegakan <strong>Hukum</strong>”, Majalah Varia Peradilan No. 275Okto-ber 2008, hlm. 10.Subiharta, “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DalamPerspektif UU No. 28 Tahun 2009”, Majalah Varia Peradilan,No. 305 April 2011, hlm. 21.W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Sudarsono, Op.cit,154-155.


138 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam ProsesPembentukan Peraturan DaerahPartisipasi masyarakat dalam pembentukanperaturan perundang-undangan dapat diartikansebagai partisipasi politik , oleh Huntingtondan Nelson partisipasi politik diartikan sebagaikegiatan warga negara sipil (pivate citizen)yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilankeputusan oleh pemerintah. 19 Partisipasidan pelibatan masyarakat dalam proses rencanapembuatan kebijakan publik, program kebijakanpublik, proses pengambilan keputusanpublik dan alasan dari pengambilan keputusanpublik merupakan salah satu ciri dari penyelenggaraannegara demokratis. 20 Berkaitan denganhal ini Bagir Maman mengatakan bahwakebebasan politik ditandai dengan adanya rasatentram, karena setiap orang merasa dijaminkeamanannya atau kesela-matannya. 21 Bentukpartisipasi masyarakat dalam pemerintahan,khususnya dalam pembentukan peraturan daerahsangat bervariasi, tergantung pada situasidan kondisi disuatu tempat dan waktu. Dalamnegara demokrasi dengan sistem perwakilan,kekuasaan pembentukan undang-undang atauPeraturan Daerah hanya ada ditangan kelompokorang-orang yang telah dipilih melalui pemilihanumum. Dalam hal ini, setiap wakil itu akanbertarung di parlemen demi kepentingan umumdan bila mereka bertindak sebaliknya, makakursi yang didudukinya akan hilang dalam pemilihanumum yang akan datang, digantikan olehorang lain dari partai yang sama ataupun daripartai yang berbeda. Disinilah letak titik kontrolyang utama dari rakyat kepada wakilnya diparlemen. Alat kontrol lain yang dipergunakanmasyarakat adalah demonstrasi atau bentuk-192021Iza Rumesten RS, “Relevansi Partisipasi Masyarakat dalamPerancangan Pembentukan Peraturan PerundangundanganYang Responsif”, <strong>Jurnal</strong> Simbur Cahaya Vol.XVI No. 44 Januari 2011, Unit Penelitian FH UniversitasSriwijaya Palembang, hlm. 2327.Saut P. Panjaitan, “Jaminan Perlindungan KonstitusionalHak Tiap Orang Untuk Memperoleh Informasi danBerkomunikasi”, <strong>Jurnal</strong> Simbur Cahaya, Vol. XV No. 42Mei 2010, Unit Penelitian FH Universitas SriwijayaPalembang, hlm. 1957-1958.Lihat dalam Muhammad Aziz, “Pengujian PeraturanPerundang-undangan dalam Sistem Peraturan Perundang-undanganIndonesia”, <strong>Jurnal</strong> Konstitusi, Vol. 7No. 5 Okto-ber 2010, hlm. 122.bentuk pengerahan massa lainnya, atau bisajuga melalui prosedur hukum. Dengan demikian,untuk mencapai tujuan peraturan perundang-undangantersebut syarat pertama yangharus dipenuhi adalah keterlibatan rakyat/partisipasiaktif masyarakat dalam suatu prosespembentukan Peraturan Daerah atau kebijakanlainnya mulai dari proses pembentukannya,proses pelaksanaannya di lapangan dan terakhirtahap evaluasi.Sehubungan dengan partisipasi aktif masyarakatdalam pembentukan Peraturan Daerah,maka perlu juga dikemukakan pandanganM. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Sudarsono,yang menegaskan terdapat tiga akses (three accesses)yang perlu disediakan bagi masyarakatdalam penyelenggaraan pemerintahan. Pertama,akses terhadap informasi yang meliputi 2(dua) tipe yaitu hak akses informasi pasif dahak informasi aktif; kedua, akses partisipasidalam pengalihan keputusan (public participationin decision making) meliputi hak masyarakatuntuk mempengaruhi pengambilan keputusan,partisipasi dalam penetapan kebijakan,rencana dan program pembangunan dan partisipasidalarn pernbentukan peraturan perundangundangan;dan ketiga, akses terhadap keadilan(access to justice) dengan menyediakan mekanismebagi masyarakat untuk menegakkan hukumlingkungan secara langsung (the justicepillar also provides a mechanism for public toenforce environmental law directly). Sifat dasardan peran serta adalah keterbukaan (openness)dan transparansi (transparency). 22Lebih lanjut, M. Riawan Tjandra danKresno Budi Sudarsono menjelaskan bahwa penguatantri akses tersebut diyakini dapat mendorongterjadinya perubahan orientasi sikapdan perilaku birokrasi yang semula menjadiservice provider menjadi enabler/fasilitator.Perwujudan tri akses tersebut dapat dilihatdalam bebrapa bentuk. Pertama, turut memikirkandan memperjuangkan nasib sendiri; kedua,kesadaran bermasyarakat dan bernegara.Tidak menyerahkan penentuan nasibnya kepada22W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Sudarsono, op.cit,hlm. 43-44.


Model Ideal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah 139orang lain; ketiga, merespons dan bersikap kritis;keempat, penguatan posisi tawar; dan kelima,sumber dan dasar motivasi serta inspirasiyg menjadi kekuatan pelaksanaan tugas dankewajiban pemerintah. 23Sehubungan dengan penjelasan M. RiawanTjandra dan Kresno Budi Sudarsono, MuhammadSyaifuddin mengatakan:“Dapat dipahami bahwa prinsip keterbukaanadalah elemen penting dalam penyelenggaraanpemerintahan di kabupaten/kota,yang berorientasi pada konsepnegara kesejahteraan yang bertumpu padakekuatan masyarakat sipil, denganbercirikan birokrasi yang efisien, efektif,impersonal, impartial, objektif, rasionaldan berorientasi pada kepentingan publik.Prinsip keterbukaan membawa konsekuensiadanya kewajiban bagi PemerintahKabupaten/Kota untuk secara proaktifmemberikan informasi kepada masyarakat,serta menjelaskan kepada masyarakattentang ber-bagai hal yang merekabutuhkan. Pelaksanaan prinsip keterbukaanmembawa konsekuensi perlunya pelaksanaanprinsip partisipasi masyarakatdalam pembentukan Peraturan Daerah. 24Habermas 25 menyatakan, bahwa titik tolakyang dapat menjadi acuan untuk menataulang proses pelibatan partisipasi aktif masyarakattersebut adalah memperluas perdebatanpolitis dalam parlemen ke masyarakat sipil. Bukanhanya aparat negara dan wakil rakyat, melainkanjuga seluruh warga negara berpartisipasidalam wacana politis untuk mengambil keputusanpolitik bersama. Melalui radikalisasikonsep negara hukum klasik kedaulatan rakyatbergeser dari proses pengambilan keputusan diparlemen keproses partisipasi dalam ruang publik.Kedaulatan rakyat bukanlah substansi yangmembeku dalam perkumpulan para wakil rakyat,melainkan juga terdapat diberbagai forumwarga negara, orgnisasi, non pemerintah, gerakansosial atau singkatnya di mana pun dis-kursus tentang kepentingan bersama warga negaradilancarkan.Senada dengan hal ini, Bambang Sugionodan Ahmad Husni M.D menjelaskan bahwa pelaksanaanprinsip peran serta masyarakat bertujuanuntuk: pertama, melahirkan prinsip kecermatandan kehatihatian dari pejabat publikdalam membuat kebijaksanaan publik; dan kedua,membawa konsekuensi munculnya suatukontrol sosial yang konstruktif dan kesiapansosial masyarakat terhadap setiap bentuk dampakakibat suatu kegiatan pembangunan. 26Sistem demokrasi yang melibatkan partisipasiaktif masyarakat bertujuan untuk meningkatkankemampuan rakyat yang rendah darisegi ekonomi, politik, dan sosial. Konsep partisipasimasyarakat mengalami pemaknaan yangberbeda-beda sehingga perlu diperjelas tentangproses yang mana yang dapat disebut partisipasidan yang bukan, sehingga terjadi kesamaancara pandang dalam menilai sebuah prosespartisipasi di masa lalu, sekarang, dan yangakan datang.Lebih lanjut Rival G. Ahmad yang mengacukepada pendapat Arenstein, menyusun modelyang dapat membantu untuk menilai tingkatpartisipasi dalam suatu proses pembentukankebijakan atau peraturan secara umum Perundang-undangan/PeraturanDaerah. Secaraumum ada tiga derajat partisipasi masyarakat.Pertama, tidak partisipatif (non participation);kedua, derajat semu (degrees of tokenism);dan ketiga, kekuatan masyarakat (degrees ofcitizen power) 27Lebih lanjut dikatakannya “dasar penentuanderajat, bukan pada seberapa jauh masyarakattelah terlibat dalam proses pembentukankebijakan atau program dilaksanakan oleh negaratetapi seberapa jauh masyarakat dapatmenentukan hasil akhir atau dampak dari kebijakanatau program tersebut. Derajat terbawahterdiri dari dua tingkat partisipasi, yaitumanipulasi (manipulation) dan terapi (thera-232425Loc.citMuhammad Syaifuddin, Mada Apriandi Zuhir dan AnalisaYahanan, 2009, Demokratisasi Produk <strong>Hukum</strong> Ekonomidaerah (pembentukan peraturan daerah demokratis dibidang ekonomi di Kabupaten/Kota, Malang:TunggalMandiri Publishing, hlm 263.Lihat dalam Hamzah Halim, op. cit, hlm 123.2627W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Sudarsono op. cit.hlm. 46.Rival G. Ahmad dkk, “Dan Parlemen ke Ruang Publik:Menggagas Penyusunan Kebijakan Partisipatif” <strong>Jurnal</strong><strong>Hukum</strong> Jentera Vol. I No. 2 Tahun 2003, PSHK Jakarta,hlm. 108.


140 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012py). Dalam tingkat ini partisipasi hanya bertujuanuntuk menata masyarakat dan mengobatiluka yang timbul akibat dari kegagalan sistemdan mekanisme pemerintahan. Tidak ada niatansedikit pun untuk melibatkan masyarakatdalam menyusun kegiatan atau program pemerintah.Derajat menengah (yang semu) terdiridari tiga tingkat partisipasi, yaitu: pemberitahuan(informing); konsultasi (consultation);dan peredaman (placation). Dalam tahap ini sudahada perluasan kadar partisipasi, masyarakatsudah bisa mendengar (tingkat pemberitahuan)dan didengar (tingkat konsultasi), namunbegitu tahap ini belum menyediakan jaminanyang jelas bagi masyarakat bahwa suara merekadiperhitungkan dalam penentuan hasil sebuahkebijakan publik. Sedangkan pada tahapperedaman memang sudah memungkinkan masyarakatpada umumnya khususnya yang rentanuntuk memberikan masukan secara lebih signifikandalam penentuan hasil kebijakan publik,namun proses pengambilan keputusan masih dipegangpenuh oleh pemegang kekuasaan. Derajattertinggi terdiri dari tiga tingkat partisipasi,yakni kemitraan (partnerships), delegasi kekuasaan(delegated power), dan yang teratas adalahkendali masyarakat (citizen control). Dalamtahap ini partisipasi masyarakat termasuk yangrentan sudah masuk dalam ruang penentuanproses, hasil, dan dampak kebijakan. Masyarakatsudah bisa bernegosiasi dengan penguasatradisional dalam posisi politik yang sejajar(tingkat kemitraan). Bahkan lebih jauh mampumengarahkan kebijakan karena ruang pengambilankeputusan telah dikuasai (tingkat delegasikekuasaan). Sehingga pada tahap akhir partisipasimasyarakat telah sampai pada puncaknya,yaitu ketika masyarakat secara politik maupunadministratif sudah mampu mengendalikan proses,pembentukan, pelaksanaan, dan kebijakantersebut (tingkat kendali masyarakat). 28Pembentukan Peraturan Daerah, baikyang berasal dari inisiatif Dewan PerwakilanRakyat Daerah maupun yang berasal dan inisiatifPemerintah Daerah dilakukan melaluibeberapa tahapan. Adapun tahapan pemben-28Hamzah Halim, op.cit, hlm. 124-125.tukan peraturan daerah sama dengan tahapanpenyusunan peraturan perundang-perundanganyang lain, meliputi perencanaan, perancangan,pembaha-san, pengesahan, pengundangan, pelaksanaan,dan evaluasi. Ruang partispasi bagimasyarakat harus ada disetiap tahapan tersebut.Dengan demikian, diharapkan akan lahirperda yang partisipatif, masyarakat yang kritis,dan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhansosial.Partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukandalam proses penyusunan Peraturan Daerah,namun dalam seluruh tahapan pembentukannyasampai dengan evaluasi. Dalam agendaROCCIPI-rule, opportunity, communiction, capacity,interest, process, and ideology (peraturan,kesempatan, komunikasi, kemampuan, kepentingan,proses dan nilai/sikap) dinyatakanbahwa dalam penyusunan peraturan yang baikharus memperhatikan tujuh agenda tersebut.Kategori ini dapat memberikan gambaran awalreaksi masyarakat terhadap peraturan yangakan dibentuk. Kategori ROCCIPI mengidentifikasifaktor-faktor yang kerap menimbulkan masalahberkaitan dengan berlakunya suatu peraturanperundang-undangan. Faktor interest danideology merupakan faktor yang bersifat subjektifsedangkan rule, opportunity, communication,capacity, dan process merupakan faktorobjektif. Agenda ini bermanfaat untuk mempersempitdan mensistematiskan ruang lingkuphipotesis yang muncul dalam benak perancangperaturan tentang penyebab suatu perilakubermasalah. Dalam agenda ini terdapat faktorfaktoryang memengaruhi peran serta masyarakatdalam pelaksanaan Peraturan Daerah berkaitanmateri yang terdapat dalam PeraturanDaerah. Berikut penjelasan dari masing-masingfaktor dimaksud.Pertama, Rule (peraturan). Kepatuhanatau ketidakpatuhan seseorang terhadap suatuperaturan, mungkin terjadi karena banyak peraturanyang tumpang-tindih, tidak jelas, ataumultitafsir/bisa ditafsirkan sesuka hati, bertentanganatau saling tidak mendukung, tidaktransparan, tidak accountable dan tidak partisipatif,atau memberikan wewenang yang berlebihankepada pelaksana peraturan. Dan satu


Model Ideal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah 141hal yang tidak bisa ditawar bahwa peraturantidak dapat menghilangkan penyebab perilakubermasalah.Kedua, Opportunity (kesempatan/peluang).Sebuah peraturan secara tegas melarangperilaku tertentu, namun jika terbuka kesempatanuntuk tidak mematuhinya orang denganmudah melakukan perilaku bermasalah. Pelanggaranterhadap Peraturan Daerah kerap terjadikarena adanya kesempatan dan tidak adanyatindakan tegas dari aparat yang berwenang.Ketiga, Capacity (kemampuan). Peraturantidak dapat memerintahkan seseorang untukmelakukan sesuatu yang dia tidak mampu. Peraturanharus dibuat dengan mengetahui kondisi-kondisimasyarakat yang menjadi subjekperaturan. Kemampuan masyarakat dapat dirincike dalam kemampuan politik, ekonomi, dansosial-budaya.Keempat, Communication (komunikasi).Komunikasi pemerintah daerah dengan rakyattidak efektif, terutama dalam mengumumkanperaturannya. Media sosialisasi yang digunakantidak familier dan sulit untuk diakses oleh masyarakat.Hal ini menunjukkan indikasi kesengajaan,supaya masyarakat tidak tahu cacat yangada di dalam suatu peraturan.Kelima, Interest (kepentingan). Aspek kepentinganterkait erat dengan manfaat bagipelaku peran (pembuat peraturan maupun stakeholder/masyarakatyang akan menjadi sasaranpemberlakuan aturan tersebut). Kepentinganini bisa terdiri dari kepentingan ekonomi,politik, dan sosial-budaya. Keenam, Process(proses). Proses yang dimaksud dalam hal iniadalah proses bagi pelaku untuk memutuskanapakah akan mematuhi atau tidak mematuhisuatu Peraturan Daerah. Proses ini sangat dipengaruhioleh substansi peraturan yang berdampakpositif atau tidak bagi kepentingan masyarakatdi mana Peraturan Daerah tersebutdiberlakukan. Ketujuh, Ideology (nilai dan sikap).Kategori ideologi ini secara umum dimaknaisebagai sekumpulan nilai yang dianut olehsuatu masyarakat untuk merasa, berpikir, danbertindak. Termasuk di dalamnya antara lainsikap mental, pandangan tentang dunia, pemahamankeagamaan. Kadang-kadang ideologi jugadisamakan dengan budaya yang sangat luascakupannya. Dalam masyarakat Indonesia yangserba majemuk (beragam) harus dapat diakomodasioleh pengambil kebijakan agar dapatdengan mudah diterima oleh masyarakat. 29Bagaimanapun rumit dan kompleksnyapermasalahan yang ditemukan dalam masyarakat,jika dijabarkan berdasarkan kategoriROCCIPI sebagaimana tersebut, kemungkinanbesar akan dapat dicegah (preventif) atau dicarikansolusinya, tentunya dengan menyesuaikandengan substansi (materi) suatu PeraturanDaerah yang hendak dibuat dengan terlebih dahulumelakukan pengkajian terhadap keinginankeinginanatau harapan-harapan dari masyarakatdi mana Peraturan Daerah itu kelak hendakdiberlakukan. Tentunya pengkajian tersebut disandarkanpada tujuh kategori ROCCIPI tersebut.Meskipun demikian, akan lebih tepat jikadalam setiap proses pembentukan PeraturanDaerah tersebut, masyarakat setempat senantiasadisediakan ruang untuk berpartisipasi dandijamin adanya informasi mengenai prosedurnya.Pada dasarnya keikutsertaan masyarakat(partisipasi) dalam proses pembentukan suatuPeraturan Daerah telah diatur dan dijamin olehPasal 53 UU No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian,maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnyatelah ada koridor hukum yang jelas melindungihak atas informasi masyarakat. Ketentuanini juga berarti dalam pembentukan sebuahPeraturan Daerah harus terdapat proseduryang memungkinkan masyarakat untuk berperanaktif di dalam proses perancangan tersebut.Berkaitan dengan hal ini, Iza Rumestenmengatakan bahwa naskah akademik merupakanbentuk konkret partisipasi masyarakat dalamrangka pembentukan peraturan perundangundangan(termasuk peraturan daerah yangberbasis riset). 302930Jazim Hamidi, 2006, Revolusi <strong>Hukum</strong> Indonesia (Makna,kedudukan dan Implikasi <strong>Hukum</strong> Naskah ProklamasiIndonesia 17 Agustus 1945 dalam Sistem KetatanegaraanRI), Yogyakarta:Kerjasama Konstitusi Press Jakartadengan Citra Media, hlm. 77.Iza Rumesten RS, “Peningkatan Fungsi Naskah AkademikDalam Membantu DPRD Menghasilkan Peraturan DaerahYang Responsif”, <strong>Jurnal</strong> Penelitian <strong>Hukum</strong> Supremasi<strong>Hukum</strong>, Vol. 19 No. 1 Januari 2010, UNIB, hlm. 51.


142 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012Praktik yang terjadi selama ini dalamproses pembentukan perda peran masyarakatmasih bersifat parsial dan simbolis. Beberapakomunikasi massa yang dilakukan hanyalah sebagaipelengkap prosedur adanya basic researchyang melandasi perencanaan pembentukanPeraturan Daerah. Itu pun, dilakukan hanyapada tahap perencanaan. Kemudian dalamtahap pembahasan di Dewan Perwakilan RakyatDaerah, masyarakat yang sudah ”terlanjur” mewakilkankekuasaannya pada wakil rakyat diDewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak lagimendapatkan hak suara. Sidang paripurna anggotaDewan Perwakilan Rakyat Daerah yangterhormat memang bersifat terbuka, tetapikebal kritik karena protokol dan tata tertib sidang.Sementara rakyat yang tidak puas, haruscukup puas dengan meneriakkan aspirasi dankepentingannya dengan cara ”itu-itu saja”demo dan unjuk rasa yang tidak pernah efektif.Berkaitan dengan hal tersebut Natabaya mengatakanbahwa DPRD sebagai lembaga politiktidak lepas dari kepentingan politik para anggotanya,menjadi semacam kewajaran dimanasaja diseluruh dunia para anggota DPRD menyuarakanaspirasi politik partainya sedangkanaspirasi masyarakat (konstituennya) menjadinomor 2. 31Menurut Sirajuddin, 32 terdapat sedikitnya8 (delapan) prinsip mengenai optimalisasi partisipasimasyarakat di dalam proses pembentukansuatu Peraturan Daerah. Pertama, adanyakewaiiban publikasi yang efektif; kedua, adanyakewajiban informasi dan dokumentasi yangsistematis, bebas, dan accessible; ketiga, adanyajaminan prosedur dan forum yang terbukadan efektif bagi masyarakat untuk terlibat dalammengawasi proses sejak tahap perencanaan;keempat, adanya prosedur yang menjaminpublik bisa mengajukan Rancangan PeraturanDaerah selain anggota Dewan Perwakilan Rak-3132AS. Natabaya, “Peningkatan Kualitas Peraturan Perundang-undangan(suatu Pendekatan Input dan Output”,<strong>Jurnal</strong> Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 2 Juni 2007, hlm.13-14.Sirajudin dkk, 2006, Legislative Drafting; PelembagaanMetode Partisipasi masyarakat Dalam PenyelenggaraanOtonomi Daerah, Malang: Corruption Watch danYAPPIKA, hlm. 189.yat Daerah dan pemerintah; kelima, adanya pengaturanyang jelas mengenai dokumen dasaryang wajib tersedia dan accessible seperti naskahakademik dan Rancangan Peraturan Daerah;keenam, adanya jaminan banding bagipublik bila proses pembentukan Peraturan Daerahtidak dilakukan secara partisipatif; ketujuh,ada pengaturan jangka waktu yang memadaiuntuk seluruh proses penyusunan, pembahasanRancangan Peraturan Daerah, dan diseminasiPeraturan Daerah yang telah dilaksanakan;dan kedelapan, ada pertanggungjawaban yangjelas dan memadai bagi proses pembentukanPeraturan Daerah yang dengan sengaja menutuppeluang masyarakat untuk berpartisipasi. 33Sebuah pemerintahan yang baik (good governance)dan demokratis harus menjamin terealisasinyaprinsip-prinsip tersebut. Ada beberapabentuk upaya menjaring partisipasi masyarakatyang dapat dilakukan oleh pembentukPeraturan Daerah dalam pembentukan PeraturanDaerah. Pertama, melakukan penelitian terpadusebelum perancangan Peraturan Daerah;kedua, menggelar public hearing materi yangakan diperdakan (hal ini bisa dilakukan di DewanPerwakilan Rakyat Daerah tetapi juga bisadilakukan dengan cara turun langsung ke tengah-tengahmasyarakat terkait (stakeholder);dan ketiga, memberikan kesempatan kepadawarga untuk mengikuti persidangan di kantorDPRD (dengan membuka informasi jadwal sidangpembentukan perda tersebut). 34 Jika kewajibanpemerintah untuk memfasilitasi partisipasimasyarakat telah terpenuhi maka adalahjuga menjadi kewajiban masyarakat untuk dapatmemanfaatkan fasilitas tersebut secaraefektif agar dapat menjadi kekuatatan kontroldan menjadi pengawas bagi kebijakan yang dikeluarkanpemerintah.Partisipasi tidak cukup hanya dilakukanoleh sekelompok orang yang duduk di lembagaperwakilan di kabupaten/kota, karena institusidan orang-orang yang duduk dalam lembagaperwakilan seringkali menggunakan politik atasnama kepentingan rakyat untuk memperjuang-3334Hamzah Halim, op. cit, hlm. 141.Ibid, hlm. 141.


Model Ideal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah 143kan kepentingan pribadi atau kelompok merekasendiri. Partisipasi rakyat secara langsung, menurutAlexander Abe, akan membawa tiga dampakpenting. Pertama, terhindar dari peluangterjadinya manipulasi keterlibatan rakyat danmemperjelas apa yang dikehendaki masyarakat;kedua, memberi nilai tambah pada legitimasirumusan perencanaan, karena semakinbanyak jumlah pihak yang terlibat semakinbaik; dan ketiga, mening-katkan kesadaran danketerampilan politik masyarakat. 35Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaanpartisipasi masyarakat yang paling utamaadalah masyarakat itu sendiri. Kesadaran berpartisipasidan dukungan terhadap aktivitaspartisipasi melalui pendidikan politik perlu dibangun.Tokoh-tokoh masyarakat dan organisasilokal baik berupa institusi akademis, mediamassa, dan lembaga swadaya masyarakat bertanggungjawab terhadap penyelenggaraanpendidikan politik bagi masyarakat. Selain itu,harus ada dukungan dari pemerintah daerahdan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mungkinbanyak yang beranggapan bahwa partisipasimasyarakat telah cukup (cukup representatifdan legitimatif) terwakili oleh wakil rakyat diDewan Perwakilan Rakyat Daerah 36 . Namun kinihal itu tidaklah cukup, partisipasi masyarakatlebih dibutuhkan dalam memberi masukan padasaat proses pembuatan peraturan daerah danmemberikan legitimasi terhadap PeraturanDaerah tersebut, karena menurut Rosmala Polaniinti dari otonomi daerah adalah demokratisasidan pemberdayaan. 37Masyarakat dapat menyalurkan aspirasimereka dalam setiap tahap pembentukan PeraturanDaerah, secara aktif maupun pasif. Halini diatur dalam konstitusi negara kita. LaicaMarzuki mengatakan Konstitusi merupakan naskahlegitimasi paham kedaulatan rakyat. Naskahdimaksud merupakan kontrak sosial yang353637Alexander Abe, 2005, Perencanaan Daerah Partisipatif,Pembaruan, Yogyakarta, hlm. 90-91.Khairul Muluk, 2007, Menggugat Partisipasi PublikDalam Pemerintah Daerah, Malang: LPD FIA UB danBayu Media, hlm. 225.Rosmala Polani, “Pembagian Kewenangan di WilayahPerairan Pada Era Otonomi Daerah”, <strong>Jurnal</strong> SimburCahaya, Vol. XIII No. 35 Januari 2008, Unit PenelitianFH Universitas Sriwijaya Palembang hlm. 623.mengikat setiap warga dalam membangun pahamkedaulatan rakyat. 38 Partisipasi aktif dalamarti: masyarakat memiliki inisiatif sendiriuntuk berperan serta dalam pembentukan PeraturanDaerah. Partisipasi aktif dapat dilakukandengan cara: mengikuti debat publik, rapatumum, demonstrasi, atau melalui surat terbukadi media massa. Partisipasi pasif, berarti inisiatifpartisipasi datang dari luar diri masyarakat.Inisiatif bisa datang dari lembaga legislatifatau eksekutif dengan mengadakan dengar pendapat(hearing), dialog publik, kunjungan kerja,maupun wawancara penelitian dalam rangkaperancangan peraturan daerah.Bentuk-bentuk pelaksanaan partispasimasyarakat sangat tergantung pada situasi dankondisi masyarakat dan lingkungannya. Tingkatkualitas sumber daya masyarakat, kepedulianlembaga pendidikan atau lembaga swadaya masyarakatdan sikap pemerintah sangat mempengaruhipola-pola partisipasi yang digunakanoleh masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.Masyarakat berhak menentukan cara yangdigunakan untuk berpartisipasi dalam prosespenyusunan Peraturan Daerah. Partisipasi dapatdilakukan secara langsung, yaitu dengan ikutserta dalam salah satu atau seluruh prosespembentukan baik dilakukan melalui lembagaeksekutif maupun legislatif. Partisipasi iugadapat dilakukan secara tidak langsung, yaitudengan melakukan kegiatan yang kurang lebihdapat mempengaruhi proses pembentukan peraturandaerah. Cara paling konvensional dalamupaya mempengaruhi proses persidangan pembentukanPeraturan Daerah adalah demonstrasiatau unjuk rasa. Undang-Undang KemerdekaanMenyampaikan Pendapat di Muka Umum No. 9Tahun 1998 menyatakan bahwa bentuk mengeluarkanpendapat di muka umum adalah unjukrasa, pawai, mimbar bebas, atau rapat umum.Melalui 4 cara tersebut, masyarakat dapat berpartisipasimeneriakkan keinginan dan sikapnyamengenai materi yang sedang dibahas dalamsidang pembentukan peraturan perundang-undangan.Meskipun cara-cara tersebut kurang38Laica Marzuki, “Konstitusi dan Konstitusionalisme” <strong>Jurnal</strong>Konstitusi Vol. 7 No. 4 Agustus 2010, hlm. 2.


144 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012efektif, namun cara ini banyak digunakan karenakurangnya ruang partisipasi secara langsungmelalui lembaga pemerintah sangat minim.Diantara model partisipasi yang dapat dilakukan,antara lain: pertama, mengikutsertakananggota masyarakat yang dianggap sah danindependen dalam team atau kelompok kerjadalam penyusunan peraturan perundangan; kedua,melakukan public hearing melalui seminar,lokakarya atau mengundang pihak-pihakyang berkepentingan dalam rapat-rapat penyusunanperaturan perundang-undangan, musyawarahrencana pembangunan; ketiga, melakukanuji sahih terhadap Peraturan Daerah; keempat,melakukan jajak pendapat, kontak publikmelalui media massa; dan kelima, melaluilembaga pemberdayaan masyarakat kelurahan(LPMK) atau membentuk forum warga. 39Berkaitan dengan penyusunan Raperdabaik di lingkungan Pemerintah Daerah maupunDewan Perwakilan Rakyat Daerah, secara normatifmasayarakat dapat berperan serta secaraaktif untuk memberikan masukan perda yangdibentuk. Demikian juga pada saat dilakukanpembahasan bersama antara Dewan PerwakilanRakyat Daerah dan Pemerintah Daerah, DewanPerwakilan Rakyat Daerah dapat menyelenggarakanrapat dengar pendapat umum untuk mendapatmasukan dari masyarakat umum. Bentuklain dari partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerahdan pemerintah daerah adalah seminar terbatas,Foccus Group Discussion (FGD), InteractionalGroup Discussion (IGD), dialog publik,sosialisasi berkala dan diskusi ahli. Dalam merumuskanperaturan daerah mengenai PKDRTmisalnya bentuk tanggung jawab yang dilakukanpemerintah daerah untuk merumuskan danmerencang perda tersebut pemerintah daerahSumatera Selatan gencar melakukan sosialisasidan edukasi tentang KDRT, menyelanggarakanadvokasi dan sosialisasi serta menyelenggarakanpendidikan dan pelatihan mengenai sensitifitasgender dan isu-isu mengenai PKDRT (editpenulis), 40 hanya saja tidak setiap perumusanperda yang melakukan sosialiasi secara gencardalam perumusan dan pembuatan rancanganperaturan daerah.Kendala yang Timbul dalam Upaya MelibatkanPartisipasi Masyarakat dalam PembentukanPeraturan DaerahSalah satu tahapan yang penting dilakukandalam proses penyusunan perda adalahcommunication, yaitu adanya komunikasi antarapemangku kepentingan dan pengambilankebi-jakan. Komunikasi ini sangat penting dalampelaksanaan peraturan daerah. Setidaknyakomunikasi yang dapat dilakukan oleh pemerintahadalah sosialisasi. Meskipun bersifat searah,informasi yang didapatkan oleh masyarakat melaluisosialisasi Peraturan Daerah sedikit banyakdapat memberikan kesempatan masyarakat untukmelaksanakan atau tidak melaksanakanperaturan tersebut sesuai dengan kebutuhannya.Dengan demikian, pelaksanaan PeraturanDaerah yang tidak mencerminkan atau tidakmengakomodasi kepentingan masyarakat mendapatreaksi negatif dari masyarakat. Secarateoretis dalam ilmu hukum dikenal adanya anggapanyang menyatakan bahwa semua orangdianggap tahu hukum, namun teori fiksi ini tidakdapat diberlakukan begitu saja, karena masalahkomunikasi sering kali muncul karena selamaini pemerintah (pemerintah daerah) kurangdalam mengumumkan peraturannya (sosialisasi).Ketidakefektifan suatu peraturan daerahmungkin terjadi karena beberapa faktor yangsaling berkaitan dalam sistem hukum. MenurutLawrence Meir Friedman, ada 3 (tiga) unsuryang sangat berpengaruh dalam sistem hukum,yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum dalammasyarakat. Faktor-faktor yang memengaruhipartisipasi masyarakat di dalam pelaksanaansuatu peraturan daerah. Pertama, substansiPeraturan Daerah yang tidak sesuai dengan nilaimasyarakat memancing reaksi masyarakat, sedangkanprosedur partisipasi tidak jelas; Ke-39Sirajuddin, dkk, op.cit, hlm.189.40Iza Rumesten RS, “Peranan Pemerintah Daerah terhadapPengaduan Kekerasan dalam Rumah Tangga”,<strong>Jurnal</strong> Jipswari, Vol. 1 No. 1 Tahun 2010, hlm. 21


Model Ideal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah 145dua, kurangnya optimal kinerja aparatur pemerintahyang berwenang dalam menangani setiappenyelewengan atau pelanggaran peraturan.Dalam struktur hukum, masyarakat sebagai subjekhukum memiliki peran yang sangat besardalam pelaksanaan Peraturan Daerah; ketiga,kurangnya sosialisasi dan kesadaran politik masyarakatyang rendah karena tingkat pendidikanatau karena prioritas hidup sebagian besar masyarakatyang lebih tersita untuk memenuhi kebutuhanpokok sehari-hari. Sehingga kepekaanmasyarakat terhadap proses pembentukan suatuPeraturan Daerah sangat rendah 41 .Sherry Arnstein, menjabarkan peran sertamasyarakat berdasarkan kekuatan masyarakatuntuk memengaruhi hasil akhir kebijakan pemerintahdapat dilakukan melalui beberapacara, yaitu manipulasi (manipulation); terapi(therapy); penginformasian (informing); konsultasi(consultation); peredaman (placation);kemitraan (partnership); delegasi kekuasaan(delegated power); dan kendali masyarakat(citizen control). 42 Berdasarkan tahapan tersebut,Sirajuddin mengklasifikasikan kedelapantingkat partisipasi tersebut di atas menjadi3 tingkat. Tingkat pertama diklasifikasikan sebagaitidak partisipasi (non-participation), yaitutingkat manipulasi dan terapi. Tingkat keduadisebut dengan partisipasi semu (degree of takenism),yaitu tingkat peredaman, konsultasi,dan informasi. Dalam tingkatan kedua ini masyarakatdidengarkan dan diperkenankan berpendapat,tetapi tidak memiliki kemampuandan tidak ada jaminan bahwa pandangan merekaakan dipertimbangkan secara sungguh-sungguholeh penentu kebijakan. Tingkat ketigaadalah kekuasaan masyarakat (degree of citizenpower), yaitu tingkat kemitraan, delegasikekuasaan, dan kendali masyarakat. Dalamtingkat ini masyarakat memiliki pengaruh dalamproses penentuan kebijakan.Lebih lanjut Khairul Muluk, 43 menguraikan6 (enam) tahapan partisipasi Arnstein di atasdan mengklasifikasikannya dalam 5 tingkat. Na-414243Lawrance M Friedman, 1975, The Legal System: SocialScience Perspective, New York: Russel Sage.Siradjuddin, op.cit, hlm. 183.Khairul Muluk, op.cit, hlm. 171mun menurut Muluk hanya 4 tahapan yang tergolongpartisipatif, satu tergolong nonpartisipatifkarena partisipasi yang ada hanya formalitas,pengerahan masa ”bayaran” maupun distorsiinformasi. Oleh sebab itu, tahap ini disebutdengan nonpartisipatif. Terakhir kendaliwarga (bukan lagi sekadar partisipasi, tetapiwargalah yang mengambil keputusan (decisionmaker). Gambaran lebih jelas lihat di dalamtabel di bawah ini.Tabel 1: Tingkat Partisipasi MasyarakatTINGKATPARTISIPASIKLASIFIKASI6. Kendali Kendali Warga5. Delegasi Partisipasi Kuat4. Kemitraan Sedang3. Konsultasi2. Informasi Lemah1. Manipulasi NonpartisipasiApa pun model partisipasi yang disediakan,tidak akan berarti jika masyarakat masihsaja bersikap apatis terhadap keputusan ataukebijakan pemerintah. Untuk itu harus adastrategi khusus untuk mendorong masyarakatagar aktif berpartisipasi dalam setiap proseskebijakan. Ada beberapa strategi yang dapatdilakukan untuk menstimulasi partisipasi masyarakat,antara lain: mensolidkan kekuatanmasyarakat terutama para stakeholders; memberdayakanmasyarakat (membangun kesadarankritis masyarakat); publikasi hasil-hasil investigasiatau riset-riset yang penting; berupayamempengaruhi pengambil kebijakan; memunculkanaksi dan gerakan secara kontinu. 44Ada beberapa problematika yang terjadiberkaitan dengan hal partisipasi masyarakat dalamperaturan perundang-undangan. Setidaknyaada 3 faktor yang melatarbelakangi munculnyaproblematika partisipasi, yaitu: faktor masyarakat,yuridis, dan birokrasi. Dari ketiga faktortersebut ditemukan beberapa permasalahanyang dapat diuraikan, sebagai berikut.Tabel 2: Problematika Partisipasi Masyarakat 454445FAKTORPROBLEMATIKAMasyarakat 1. Sikap apatis masyarakat.2. Kurangnya pengetahuan dan pemahamanmasyarakat.Sirajuddin dkk., op.cit, hlm. 152Ibid, hlm. 149.


146 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 20123. Budaya paternalistis yang masihkuat mengakar.4. Tidak ada reward (berupa tindaklanjut) partispasi masyarakat5. Responsibilitas masyarakat yangkurang.6. Masyarakat tidak mengetahui mekanismepenyaluran aspirasi.7. Keterbatasan akses masyarakatinformasi.8. Kurangnya dukungan elemen masyarakatyang seharusnya membantumemberdayakan seperti:LSM atau media massa yang cenderungprovokatif dan/atau profitoriented.Yuridis 1. Banyak peraturan yang belum berpihakpada kepentingan masyarakat.2. Belum ada peraturan yang dapatmemaksa pemerintah untuk melibatkanrakyat dalam proses pembentukanperda.3. Belum ada peraturan yang menjaminmasyarakat mendapatkaninfomasi.4. Mudahnya melakukan korupsi kebijakandi bawah payung legalitas.5. Adanya ketentuan partisipasi yangtidak mengikat karena tidak adanyasanksi atas pengabaiannya.6. Banyak peraturan yang menyangkutkewajiban masyarakat (ex.perda retribusi), tetapi mengabaikanhak-hak masyarakat.7. Tidak adanya sosialisasi peraturanatau kebijakan.Birokrasi 1. Sistem birokrasi yang belum memberikanruang bagi publik.2. Birokrasi diposisikan sebagai mesinyang hanya bekerja sesuai jalur.3. Tidak ada keterlibatan masyarakatdalam pengambilan kebijakandengan dalih high cost.4. Kurang pahamnya birokrat akanmakna partisipasi secara mendasar.5. Image birokrasi yang kental denganuang.6. Saluran aspirasi yang kurang baik.7. Kerap terjadi mobilitas massa untukkepentingan politik.8. Partai tidak mampu berperan untukkepentingan rakyat.Berikut ini teknik pemberdayaan masyarakat(peningkatan partisipasi masyarakat)dalam proses pembentukan-pembentukan peraturandaerah. Pertama, membangun relasipertolongan yang: merefleksikan respons empati;menghargai pilihan dan hak masyarakat;menghargai perbedaan dan keunikan masingmasingkelompok masyarakat; dan menekankanpola kerja sama klien (client partnerships).Kedua, membangun komunikasi yang:menghormati martabat dan harga diri; mempertimbangkankeragaman individu; dan fokuspada kepentingan masyarakat (umum). Ketiga,terlibat dalam pemecahan masalah yang: memperkuatpartisipasi masyarakat dalam pemecahanmasalah sosial; menghargai hak-hak masyarakat;merangkai tantangan sebagai kesempatanbelajar; dan melibatkan masyarakat dalampembentukan peraturan daerah dan evaluasinya.Keempat, merefleksikan sikap dan nilaidalam kode etik jabatan pemerintahan yangmeliputi: ketaatan terhadap kode etik dan prinsip-prinsipgood governance; keterlibatan dalamproses perumusan peraturan daerah; danpenghapusan segala bentuk diskriminasi danketidakadilan. 46PenutupSimpulanKendala dalam proses pembentukan peraturandaerah berupa kelemahan normatif aturanhukum positif (vide UU No. 10/2004) yanghanya memuat 1 (satu) pasal, (vide Pasal 53)yang mengatur partisipasi masyarakat, dan tidakmengatur cara/metode pelaksanaan berpartisipasimasyarakat dalam proses pembentukanPeraturan Daerah di kabupaten/kota, sehinggametode pelaksanaan hak berpartisipasimasyarakat hanya mengandalkan inovasi KepalaDaerah dan DPRD yang diwujudkan dalam PeraturanTata Tertib DPRD. Namun, sampai saatini Peraturan Presiden tentang pembentukanPeraturan Daerah belum diterbitkan, sehinggamasih mengacu pada Kepmendagri dan OtodaNo. 23 Tahun 2001. Berbagai regulasi sektoralselama ini mendorong dibukanya hak akses publikuntuk berperan serta. Namun, pada umumnya,hak untuk berperan serta dalam berbagai46Edi Soeharto, 2005, Analisis Kebijakan Publik PanduanPraktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial,Bandung:Alfa Beta, hlm. 68.


Model Ideal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Daerah 147regulasi itu hanya berhenti pada level formulasiPeraturan Daerah, tidak teroperasionalisasikansampai pada level aturan pelaksanaan yang secarariil dapat digunakan sebagai landasan normatifbagi akses publik. Dalam kondisi tersebut,masyarakat yang secara teoritik memilikihak untuk mengakses informasi publik dalamproses penetapan kebijakan, tidak sungguhsungguhmampu mempergunakan haknya untukmemantau, mengkritisi dan mengevaluasi kebijakanpublik yang akan ditetapkan oleh pejabatpublik.SaranPartisipasi masyarakat dalam proses pembentukanPeraturan Daerah harus dikembangkandengan beberapa cara. Pertama, mengikutsertakananggota masyarakat yang dianggapahli dan independen dalam tim atau kelompokkerja dalam pembentukan Peraturan Daerah;kedua, melakukan public hearing (diskusi publik)melalui seminar, lokakarya atau mengundangpihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders)dalam rapat-rapat penyusunan PeraturanDaerah; ketiga, melakukan uji sahih kepadapihak-pihak tertentu untuk mendapatkantanggapan; keempat, mengadakan kegiatanmusyawarah atas Peraturan Daerah sebelumsecara resmi dibahas oleh institusi yang berkompeten;dan kelima, mempublikasikan rancanganPeraturan Daerah agar mendapatkantanggapan masyarakat.RekomendasiMencermati hal diatas, penulis memberikanbeberapa rekomendasi. Pertama, Prinsipkedaulatan rakyat yang bersifat langsung, hendaknyadilakukan melalui saluran-saluran yangsah sesuai dengan prosedur demokrasi (proceduraldemocracy). Sudah seharusnya lembagaperwakilan rakyat dan lembaga perwakilan rakyatdaerah diberdayakan fungsinya dan pelembagaannya,sehingga dapat memperkuat sistemdemokrasi yang berdasar atas hukum (constitutionaldemocracy) dan prinsip negara hukumyang demokratis (democratische rechtstaat).Kedua, prinsip-prinsip negara hukum hendaklahdibangun dan dikembangkan menurut prinsipprinsipdemokrasi atau kedaulatan rakyat (democratischerechtstaate). <strong>Hukum</strong> tidak bolehdibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkandengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka(machtsstaati). Prinsip negara hukum tidakboleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsipprinsipdemokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.Daftar PustakaAbdullah, Alexander. “Desentralisasi dan Undang-undangOtonomi Daerah di Era Reformasi.<strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong> Vol. 3 No. 1 Januari2010. UII Yogyakarta;Abe, Alexander. 2005. Perencanaan DaerahPartisipatif. Yogyakarta: Pembaruan;Ahmad, Rival G. dkk. “Dan Parlemen ke RuangPublik: Menggagas Penyusunan KebijakanPartisipatif”. <strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong> Jentera, Vol.I No. 2 Tahun 2003. PSHK Jakarta;Anggono, Bayu Dwi. “Harmonisasi PeraturanPerundang-undangan di bidang penanggulanganBencana”. <strong>Jurnal</strong> Mimbar <strong>Hukum</strong>Vol. 22 No. 2 Juni 2010. FH UGM;Aziz, Muhammad. “Pengujian Peraturan Perundang-undangandalam Sistem PeraturanPerundang-undangan Indonesia”. <strong>Jurnal</strong>Konstitusi Mahkamah Konstitusi Vol. 7No. 5 Oktober 2010;Friedman, Lawrance M. 1975. The Legal System:Social Science Perspective. NewYork: Russel Sage;Hamidi, Jazim. 2006. Revolusi <strong>Hukum</strong> Indonesia(Makna, kedudukan dan Implikasi <strong>Hukum</strong>Naskah Proklamasi Indonesia 17 Agustus1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI).Yogyakarta: Kerjasama Konstitusi PressJakarta dengan Citra Media;Indrati, Maria Farida. “Proses PembentukanPeraturan Perundang-undangan PascaAmandemen UUD 1945”. Majalah <strong>Hukum</strong>Nasional No. 1 Tahun 2005;Limbach, Jutta. “The Concept of the Supremacyof the Constitution”. The ModernLaw Review, Vol. 64 No. 1 Januari 2001;Mahendra, Oka. “Mekanisme Penyusunan danPengolahan Program Legislasi Daerah”.<strong>Jurnal</strong> Legislasi Indonesia, Vol. 3 No. 1Maret 2006. Ditjen Peraturan Perundangan-undanganJakarta;Manan, Bagir. “Konsistensi Pembangungan Nasionaldan Penegakan <strong>Hukum</strong>”. MajalahVaria Peradilan No. 275 Oktober 2008;


148 <strong>Jurnal</strong> <strong>Dinamika</strong> <strong>Hukum</strong>Vol. 12 No. 1 Januari 2012Marzuki, Laica. “Konstitusi dan Konstitusionalisme”.<strong>Jurnal</strong> Konstitusi Vol. 7 No. 4Agustus 2010;Muluk, Khairul. 2007. Menggugat PartisipasiPublik Dalam Pemerintah Daerah. Malang:LPD FIA UB dan Bayu Media;Natabaya, AS. “Peningkatan Kualitas PeraturanPerundang-undangan (suatu PendekatanInput dan Output”. <strong>Jurnal</strong> Legislasi Indonesia,Vol. 4 No. 2 Juni 2007. Ditjen PeraturanPerundangan-undangan Jakarta;Panjaitan, Saut P. “Jaminan Perlindungan KonstitusionalHak Tiap Orang Untuk MemperolehInformasi dan Berkomunikasi”. <strong>Jurnal</strong>Simbur Cahaya Vol. XV No. 42 Mei2010. Unit Penelitian Fakultas <strong>Hukum</strong>Universitas Sriwijaya Palembang;Polani, Rosmala. “Pembagian Kewenangan diWilayah Perairan Pada Era Otonomi Daerah”.<strong>Jurnal</strong> Simbur Cahaya Vol. XIII No.35 Januari 2008. Unit Penelitian FH UniversitasSriwijaya Palembang;Potimbang, Hodio. “Faktor-faktor yang MelahirkanPeradilan Massa ditinjau dari Aspek<strong>Hukum</strong> Pidana”. Majalah Varia PeradilanNo. 302 Januari 2011;Priyanto, I Made Dedy. “Kewenangan Gubernurdalam Pembatalan Perda Kabupaten Tabanan”.<strong>Jurnal</strong> Advokasi Vol 1 No 1 2011.FH Universitas Mahasaraswati Denpasar;Purba, Hasim. “Sinkronisasi dan HarmonisasiSistem <strong>Hukum</strong> Nasional Bidang Pertambangan,Kehutanan, Pertanahan dan LingkunganHidup”. <strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong> Equality Vol.13 No. 2 Agustus 2008. FH USU Medan;RS, Iza Rumesten. “Peningkatan Fungsi NaskahAkademik dalam Membantu DPRD MenghasilkanPeraturan Daerah Yang Responsif”.<strong>Jurnal</strong> Penelitian <strong>Hukum</strong> Supremasi<strong>Hukum</strong> Vol. 19 No. 1 Januari 2010. UniversitasBengkulu;--------------. “Peranan Pemerintah Daerah terhadapPengaduan Kekerasan dalam RumahTangga”. <strong>Jurnal</strong> Jipswari, Vol. 1 No.1 Tahun 2010. Palembang;--------------. “Relevansi Partisipasi Masyarakatdalam Perancangan Pembentukan PeraturanPerundang-undangan Yang Responsif”.<strong>Jurnal</strong> Simbur Cahaya Vol. XVI No.44 Januari 2011 Unit Penelitian FH UniversitasSriwijaya Palembang;Setiawan, Bonnie, Amalia (ed). “Institute ForGlobal Justice”. <strong>Jurnal</strong> Keadilan GlobalNo. 01 Tahun 2003;Sirajudin dkk. 2006. Legislative Drafting; PelembagaanMetode Partisipasi MasyarakatDalam Penyelenggaraan OtonomiDaerah. Malang: Corruption Watch danYAPPIKA;Soeharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan PublikPanduan Praktis Mengkaji Masalah danKebijakan Sosial. Bandung: Alfa Beta;Subiharta. “Pajak Daerah dan Retribusi DaerahDalam Perspektif UU No. 28 Tahun 2009”.Majalah Varia Peradilan No. 305 April2011;Suharizal. “Penguatan demokrasi Lokal MelaluiPenghapusan Jabatan Wakil Kepala Daerah”.<strong>Jurnal</strong> Konstitusi, Vol. 7 No. 5 Oktober2010;Sukriono, Didik. “Membela Desa dengan Desentralisasidan Melawan desa dengan Demokratisasi”.<strong>Jurnal</strong> Yustika Vol. 12 No. 2Desember 2009. FH Universitas Surabaya;------------. “Pembentukan dan Pengawasan Produk<strong>Hukum</strong> Daerah”. <strong>Jurnal</strong> <strong>Hukum</strong> AdilVol. 2 No 2 Agustus 2011 FH Univ. YarsiJakarta;Syaifuddin, Muhammad; Mada Apriandi Zuhirdan Analisa Yahanan. 2009, DemokratisasiProduk <strong>Hukum</strong> Ekonomi daerah (Pembentukanperaturan daerah demokratisdi bidang ekonomi di Kabupaten/Kota.Malang:Tunggal Mandiri Publishing;Syawalluddin, M. “Pilkada Langsung dan PenegakanKonstitusionalisme; Bingkai UpayaMewujudkan Kemaslahatan Umat”. <strong>Jurnal</strong>Universalisme Islam Mimbar AkademikVol. 2 No. 1 Juni 2006 Direktorat PembinaanBadan Peradilan Agama Islam Jakarta;Taufiqurrahman. “Konvergensi Paradigma dalamPerubahan Karakter Pilihan <strong>Hukum</strong> DiBidang Kontrak Jual Beli Barang Internasional”.<strong>Jurnal</strong> Repertorium, Vol. 1 No.1 Tahun 2010;W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Sudarsono.2009. Legislative Drafting: Teori danTeknik Pembuatan Peraturan Daerah.Yogyakarta:Universitas Atmajaya;

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!